STUDI EKSPLORATIF MENGENAI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK SOSIAL KEKERASAN DALAM PACARAN (DATING VIOLENCE) DI KALANGAN MAHASISWA
Oleh : KARLINA SETYAWATI D 0305006
SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Remaja adalah aset dan potensi bangsa yang sangat berharga karena mereka adalah sumber daya insani yang akan meneruskan pembangunan nasional di masa mendatang. Masa remaja adalah masa yang rentan, karena merupakan masa transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating) yang melibatkan remaja perempuan dan laki-laki. Ketika masa remaja mereka tumbuh dan berkembang mengenal masa cinta dan kasih sayang, mereka mewujudkannya dalam sebuah hubungan berbaut rasa sayang dan rasa memiliki. Mereka menyebutnya sebagai masa bercinta, pacaran, dating, hubungan romantis atau apapun istilah lainnya yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Hal yang menjadi motif untuk berpacaran adalah proses interaksi personal antara dua jenis kelamin, trend status sosial, tempat untuk mencurahkan isi hati, mencari sosok pelindung, dan memilih pasangan hidup (Al-Huda, 2009, dikutip
dari
http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_
Cegah_Kekerasan_dalam_Pacaran). Seiring berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya dianggap sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka
1
2
bersama selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi sedemikian rupa sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan menyenangkan, bahkan dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk pelecehan, intimidasi, kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas namakan cinta dan kasih sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan,
ternyata
banyak
yang
melakukan
kekerasan
terhadap
pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulangulang. Pacaran mestinya menjadi proses pengenalan untuk melangkah ke tahap berikutnya, yaitu perkawinan. Namun, akibat perubahan zaman dan kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan lebih baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi yang tidak seharusnya. Perilaku-perilaku menyimpang pun terjadi pada remaja yang berpacaran. Beberapa kasus pacaran, misalnya, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan kekerasan pranikah yang mengakibatkan kematian pun tahun demi tahun meningkat. Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan gender menemukan bahwa sejak tahun 1994–2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) (Komnas Perempuan, 2002 dikutip dari http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/gendervaw 02.htm). Berdasarkan catatan Rifka Annisa, data kasus kekerasan terhadap pacar di DIY yang masuk ke Rifka Annisa sejak 1994 hingga 2007 mencapai
3
703 kasus. Untuk tahun 2008, hingga bulan November tercatat ada 19 kasus kekerasan dalam pacaran (http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/ kasus.kekerasan.dalam.pacaran.masih.cukup.tinggi). Sedangkan
Persatuan
Keluarga
Berencana
Indonesia
(PKBI)
Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari hingga Juni 2001, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi (Kompas, 20 Juli 2002 dalam http://www.bkkbn.go.id/). Namun, hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum mendapat porsi perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua, remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence, kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah permainan belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di kalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat. Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (domestic violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat
4
mereka sedang berpacaran atau dating violence. Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini. Fenomena kekerasan dalam pacaran seperti gunung es karena selama ini tertutupi oleh pemberitaan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) padahal seringkali kekerasan dalam pacaran inilah yang merupakan cikal bakal KDRT. Dijelaskan dalam Jurnal Perempuan (2002:148) bahwa bentuk-bentuk dari dating violence antara lain: 1. Kekerasan fisik Bentuk kekerasan fisik ini berupa memukul, menendang, menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok, mencekik, membakar bagian tubuh/ menyundut dengan rokok, pemaksaan berhubungan seks, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat yang membahayakan keselamatan. Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan. 2. Kekerasan seksual Berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, atau sentuhan) tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan
5
atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik. 3. Kekerasan emosional Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang mengandung olokolok, membuat seseorang jadi bahan tertawaan, mengancam, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, kekerasan ekonomi, wujudnya dapat berupa pemerasan, memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya, mengisolasi, larangan berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada orang lain dan sebagainya. Penyebab kekerasan dalam pacaran dalam Jurnal Perempuan tahun 2002 yang berjudul Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan, antara lain: 1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak sejak lahir. Orang tua secara lahir memberikan hidup, bertanggung jawab dan berkewajiban mengusahakan perkembangan anak yang sehat baik rohani maupun jasmani. Proses ini dapat dilakukan melalui pola asuh orang tua terhadap anaknya karena peranan dan bantuan orang tua tercermin dalam pola asuhnya.
6
Menurut Tarsis Tarmuji (http:/www.depdiknas.go.id), “Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap keinginan anak. Oleh karena itu orang tua besar sekali andilnya dalam pembentukan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis anak, terutama konsep diri anak mengingat konsep diri merupakan inti kepribadian. Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga ketika dia dewasa. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun tidak suka. 2. Peer group Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam
7
kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group. Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Secara individual, pada awalnya remaja mungkin merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, tetapi lama kelamaan hal ini akan membuat remaja menjadi permisif terhadap kekerasan dan tidak berpikir panjang jika suatu ketika memiliki kesempatan untuk melakukannya. 3. Media massa Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. Sebuah riset di Amerika menganalis bahwa banyaknya tayangan kekerasan di televisi membuat seorang anak pada usia menjelang 12 tahun rata-rata telah menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian (Standfield, 1973 dikutip dari http://ruangstudio .blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tv-merubah-anak.html). Riset seperti ini (mungkin) belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi jika menghitung banyaknya program yang bernuansa kekerasan di TV
8
nasional, bukan tidak mungkin bahwa angka yang cenderung sama, mungkin saja terjadi. Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran, pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungannya. 4. Kepribadian Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa para pasangan kekasih oleh kekasihnya sendiri adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para
9
remaja yang melakukan tindak kekerasan ini tidak pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai pacar menyebabkannya berperilaku keras terhadap pacarnya. 5. Peran jenis kelamin Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan feminim dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya. Walaupun kesetaraan jender sudah marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki. Dari berbagai bentuk human relations, berpacaran merupakan salah satu fase yang pada umumnya tidak terlewatkan oleh tiap individu di usia remaja atau dewasa awal. Dalam prosesnya, wajar jika terjadi konflik atau perselisihan dalam berpacaran, dan bagaimana seseorang menyikapi konflik akan relasinya dengan lawan jenis ini diasumsikan dapat dipengaruhi oleh peran jender yang terbentuk dalam dirinya. Konflik itu sendiri pada akhirnya dapat menjadi kekerasan jika individu-individu di dalamnya tidak menyikapinya dengan toleransi terhadap pasangannya. (Jurnal Perempuan, 2002:148)
10
Penyebab berlangsungnya kekerasan terus-menerus menurut Jurnal Perempuan ISPSI (2002, hal 148) adalah karena sikap pihak yang saling mendukung keberlangsungan kekerasan dalam hubungan mereka, sikap tersebut yaitu: 1. Laki-laki yang menggunakan kekerasan dalam berpacaran a. Mereka belajar sikap dan tingkah laku tersebut dalam keluarga mereka sendiri. 75 % dari pelaku kekerasan mengatakan bahwa mereka menyaksikan ayah mereka telah menyiksa ibu mereka b. Mereka berupaya untuk terus memelihara citra laki-laki macho yang mendapat penguatan dari masyarakat dan juga media c. Mereka sangat meyakini bahwa kontrol dan kekuasaan ada pada lakilaki d. Tidak mampu mengontrol diri, biasanya hanya sedikit orang yang menyadari akibat dari tindakan kekerasan tersebut 2. Perempuan yang kelihatannya menerima kekerasan dalam berpacaran a. Mereka mengharapkan hubungan mereka berjalan dengan mulus, dan berharap pasangannya akan berubah pada akhirnya b. Mereka merasa takut atau kuatir bahwa pacar mereka akan menyakiti atau melakukan balas dendam c. Mereka merasa bersalah atau malu d. Mereka melihat bahwa memang tidak ada alternatif lain, dan tidak menyadari bahwa meminta pertolongan bisa dilakukan e. Mereka tidak memiliki dukungan baik secara sosial maupun individu
11
f. Mereka menganggap bahwa pasangan yang hanya sekali-sekali melakukan kekerasan lebih baik dibandingkan tidak memiliki pasangan sama sekali g. Mereka meyakini bahwa sebetulnya tindakan kekerasan normalnormal saja h. Mereka berpikir bahwa tindak kekerasan akan lenyap dengan sendirinya ketika mereka sudah menikah dan memiliki anak Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola asuh dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu kepribadian individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk dari lingkungan sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis yang mengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban. Berikut ini adalah beberapa dampak kekerasan pada masa pacaran yang kemudian akan menimbulkan adanya dampak sosial bagi kehidupan pelaku dan korbannya (Error! Hyperlink reference not valid. //sindy.student.um.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadapperempuan-pada-ma sa-pacaran/): 1. Menurunnya rasa percaya diri Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki, tidak menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan
12
membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi temantemannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan
diri
dengan
lingkungan.
Bentuk
rasionalisasi
dan
pembenaran dari laki-laki akan memperhebat bentuk kekerasan ini. Beberapa perempuan akan menganggap hal ini wajar dia terima, bahkan kemungkinan perempuan tersebut ikut menertawakan dirinya sendiri. 2. Meningkatnya rasa tidak berdaya Perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan korban, termasuk memanggil dengan panggilan yang tidak wajar atau tidak menyenangkan akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat beruntung karena masih ada pacarnya yang mau menjadikannya sebagai pacar. Hal ini membuat korban merasa tidak berdaya jika ditingalkan oleh pacarnya karena baginya pacarnya adalah segalanya. Sehingga korban menerima apa pun perlakuan pacarnya terhadapnya sekalipun perlakuan tersebut berupa pengekangan untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang mengakibatkan korban terasingkan dari lingkungannya. 3. Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa
13
takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas yang dialami korban secara terus menerus terbawa dalam kehidupan sehari-hari korban ketika ia
bersosialisasi
dengan
lingkungannya.
Korban
menjadi
sulit
mempercayai orang lain sehingga dalam kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya. 4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya. 5. Mengalami sakit fisik Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan kencan (Kompas, 10 Februari
14
2010). Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya. Tindakan kekerasan dalam pacaran rentan terjadi pada remaja terutama usia 18-21 tahun, ini adalah jenjang usia remaja yang duduk di bangku perkuliahan atau dengan kata lain mahasiswa/ mahasiswi. Karena pada usia tersebut minat untuk menjalin hubungan pacaran dan kecenderungan untuk mengeksplorasinya terlihat lebih nyata. Pacaran di kalangan mahasiswa, kadang juga tidak seromantis sebagaimana buku-buku dan artikel-artikel panduan pacaran. Dalam banyak kasus, pacaran di kalangan mahasiswa juga banyak diwarnai dengan berbagai macam penyimpangan. Tidak jarang pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dan dominasi adalah awal dari terjadinya kekerasan dan penindasan. Latar belakang di atas mendorong penulis untuk melakukan suatu penelitian mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa yang nantinya diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada banyak pihak mengenai kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa.
B. PERUMUSAN MASALAH Adapun rumusan penelitian ini adalah: a. Apa saja faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa?
15
b. Apa saja dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa?
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui faktor-faktor sosial penyebab kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa. b. Untuk mengetahui dampak sosial kekerasan dalam pacaran (dating violence) di kalangan mahasiswa.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara pribadi maupun secara umum. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya mengenai kekerasan dalam pacaran (dating violence). 2. Secara Teoritis a. Memberi alternatif solusi tentang permasalahan seputar kekerasan dalam pacaran b. Memberi masukan untuk mempelajari dan memecahkan masalah kekerasan dalam pacaran
16
c. Dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara lebih mendalam dan dalam lingkup yang lebih luas
E. LANDASAN TEORI Di dalam melihat masalah-masalah dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah paradigma perilaku sosial. Menurut B.F. Skinner, pemuka exemplar paradigma ini, obyek studi sosiologi yang konkrid-realistis itu adalah: perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcment) (Ritzer, 2004:69). Dalam paradigma ini Skinner mengatakan bahwa pengertian kultur yang diciptakan itu tidak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan nilai sosial. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas terlihat adalah bagaimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur kehidupan bersamanya, dan sebagainya. Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat, atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
17
Dalam penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology, yang merupakan salah satu teori yang termasuk dalam paradigma Perilaku Sosial. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Jadi nyata secara metafisik teori ini mencoba menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa yang akan datang. Yang menarik perhatian Behavioral Sosiology adalah hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang. Dengan mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkah laku nyata di masa lalu akan dapat diramalkan apakah seorang aktor akan bertingkah laku yang sama (mengulanginya) dalam situasi sekarang. Konsep dasar Behavioral Sosiology yang menjadi pemahamannya adalah: “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran. Perulangan tingkah laku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap perilaku itu sendiri. Perulangan dirumuskan dalam perulangannya terhadap aktor. Sesuatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar.
18
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien. Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment (hukuman) maupun reward (ganjaran). Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang pernah terjadi disekitarnya tidak mendapatkan hukuman maka aksi yang sama akan dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang. Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.
F. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kekerasan Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain)
yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
19
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang (Krucil, 2007 dikutip dari http://republik damai.blogspot.com//2007/06/kekerasan.html). Dalam penelitian mengenai hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan gagasan untuk melakukan bunuh diri di kalangan mahasiwa terdapat jurnal internasional sebagai berikut: “Aggressive personality disorders which involve high levels of anger expression, such as antisocial, borderline, and self-harm personality disorders, are common among domestic violence offenders.” (International Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529) “Gangguan kepribadian agresif (galak) pada tingkat yang tinggi yang melibatkan ekspresi kemarahan, seperti antisosial, pembatasan, dan gangguan kepribadian yang melukai diri sendiri adalah hal yang umum dilakukan di antara pelaku kekerasan dalam rumah tangga”. (International Journal of Midwifery & Women’s Health, 2008:529) Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999:476). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Fakih, 1996:17). Sementara menurut Johan Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang
20
berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa (Warsana, 1992:30). Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga mahasiswa, dari kekerasan antar fakultas dalam satu perguruan tinggi, demonstrasi dengan kekerasan, perploncoan dengan kekerasan, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial. Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien. Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa. Di samping itu, observasi langsung para pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu (dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru) kemudian ditiru oleh mahasiswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward.
21
Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di lingkungan akademisnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh rektorat maupun kepolisian), maka aksi yang sama akan dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan mendapatkan hukuman, maka mahasiswa akan cenderung menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya dan mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya seperti pacar atau keluarga. 2. Pacaran Pacaran bisa diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis atau sesama jenis yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam berumah tangga
22
(Mustika, 2009 dikutip dari http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuknyata-pacaran-islami.html). Pacaran diidentikkan dengan pengenalan antara dua individu secara mendalam. Bisa juga diartikan terjalinnya hubungan khusus dengan lawan jenis atau sesama jenis. Pada umumnya pacaran dilakukan sebagai upaya pematangan (pengkondisian) sebelum bertunangan atau pernikahan. Pacaran dilakukan dalam waktu tertentu dengan menitikberatkan pada aktivitas berkasih sayang yang menuntut satu atau lebih pasangan memperlihatkan perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain (Hamzah, 2008 dikutip dari http://hamzahasdullah.multiply.com). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pacaran adalah bercintaan dengan kekasih tetap. Bercintaan merupakan aktivitas ekspresi cinta dua arah, antara dua pihak. Jika berlangsung secara searah saja, hanya sebatas mencintai, maka aktivitas ini belum tergolong pacaran. Sedangkan kekasih ialah teman lain-jenis yang dicintai. Walau dapat berlangsung dua arah, cinta bisa pula searah saja. Karenanya, kekasih kita belum tentu adalah orang yang mencintai kita. Tetap adalah selama mungkin, bukan sesaat. Jadi, kekasih tetap bisa diartikan sebagai sahabat lain jenis yang dicintai untuk selama mungkin, bukan untuk sesaat. Pacaran berasal dari kata pacar, yang sekarang berarti kekasih. Pacar/ kekasih berhubungan dengan perasaan ketertarikan seseorang terhadap orang lain. Ketertarikan ini disebabkan karena banyak hal, antara lain fisik, ketrampilan, kepandaian, kekayaan, kebangsawanan, kepribadian,
23
dsb. Jika perasaan ketertarikan itu disampaikan dan diterima atau berbalas maka akan terbentuk sebuah komitmen pacaran. Saat itu ada semacam rasa memiliki satu sama lain. Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Demikian definisi yang dikemukakan Reiss dalam buku Marriage and Family Development karangan Duval and Miller,
keluaran
tahun
1985
(http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0309/26/muda /584131.htm). Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut: a. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-kasihan b. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap c. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain. Dalam jurnal internasional Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide, Murray A. Straus mendefinisikan pacaran sebagai berikut: “Dating was defined as a dyadic relationship involving meeting for social interaction and joint activities with an explicit or implicit intention to continue the relationship until one or the other party terminates or until some other more committed relationship is established (e.g., cohabiting, engagement, or marriage). The social norms for dating and actual dating behavior differ according to many dimensions, including individual differences, racial/ethnic and socioeconomic group differences, historical era, and cultural context. Despite these differences, there are also some inherent structural similarities; for example, it is a dyadic relationship and the parties usually invest time and energy. Therefore, social interactional
24
processes typical of dyads are likely to apply, regardless of whether the relationship was arranged by parents or friends, by newspaper or by Internet, or by one party initiating the development of a relationship.” (Straus, 2004:792) “Dating (pacaran) didefinisikan sebagai hubungan khusus yang melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen didirikan (misalnya, pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini, ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai mengembangkan hubungan tersebut.” (Straus, 2004:792)
Pacaran di kalangan mahasiswa terjalin oleh dua orang yang telah sama-sama dewasa. Pada umumnya, mahasiswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan hingga berat seperti free seks dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran. Tingginya tingkat privacy sebagai mahasiswa, mengakibatkan mahasiswa bebas melakukan apa pun tanpa ada yang memperhatikan. Apalagi gaya pacaran anak kuliahan adalah pacaran di kamar. Selain tidak mengeluarkan biaya (untuk makan, nonton di bioskop, atau transport), pacaran di kamar lebih terjaga privacy-nya. Ada semacam
25
kode etik di kalangan mahasiswa bahwa jika si mahasiswa sudah mengunci kamar, maka yang lain dilarang mengganggu. 3. Kekerasan dalam Pacaran Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi (Abbot, 1992 dikutip dari http://ariekaonly.multiply.com). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Atas nama cinta, kekerasan dalam pacaran terjadi berulangulang. Kekerasan dalam pacaran adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup hubungan pacaran. Kekerasan dalam pacaran (KDP) terjadi ketika seseorang yang sedang berpacaran merasa terpaksa menerima segala perilaku yang dilakukan pasangannya. KDP merupakan salah satu bentuk dari kekerasan yang mayoritas terjadi terhadap perempuan walaupun tidak semua korbannya adalah perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994 pasal 1, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
26
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Definisi ini juga berlaku sebaliknya jika korbannya adalah laki-laki.
Dating violence seperti lingkaran setan dimana pihak-pihak yang terlibat sulit sekali terlepas dari lingkaran setan ini. Jika dijabarkan akan menjadi seperti berikut:
Permintaan putus
Kekerasan fisik/ Kekerasan non fisik
Pelaku meminta maaf (menangis-nangis, bersujud, dsb) dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
Pemakluman korban (dirasa wajar, sayang yang berlebihan)
Korban menerima maaf
Kekerasan awal terjadi, contoh: posesif
Gambar 1. Skema dating violence (Sumber: http://arieka only.multiply.com)
Pada kasus dating violence cinta telah membutakan batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya kembali
27
menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak yang terlibat dating violence kemudian mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban mengenai dating violence adalah bentuk kasih sayang yang berbeda (Arika NS, 2007 dikutip dari http://arieka only.multiply.com). Dalam hubungan pacaran di kalangan mahasiswa, pada umumnya mereka menganggap hubungan cinta sebagai hal yang serius yang biasanya dibumbui dengan rasa sayang, sedih, duka, haru, nyaman, serta segala perasaan lain layaknya sepasang kekasih. Ada perasaan saling melindungi, menjaga, atau rasa takut untuk berpisah walau hanya sesaat. Namun rasa cinta dan sayang itu bisa hancur ketika ada kondisi hubungan dominan yang tidak seimbang. Biasanya sebagian besar kaum laki-laki melakukan dominasi terhadap pasangannya. Ketika dominasi terjadi cepat atau lambat akan muncul kondisi yang disebut dating violence, kekerasan dan pelanggaran etika fisik maupun psikis dalam hubungan cinta. Pihak perempuan yang tidak menyadari akan menganggap bahwa ia hanyalah makhluk yang harus menuruti segala perintah sang kekasih. Kemudian, deraan dan siksaan yang lebih keras akan terjadi, baik secara
28
fisik maupun mental. Dan tidak ada satu pun early warning system yang bisa dijadikan panduan untuk mengetahui dan menghindari kekerasan dalam pacaran. Dalam jurnal internasional Prevalence of Dating Partner Violence and Suicidal Ideation Among Male and Female University Students Worldwide, kekerasan dalam pacaran yang terjadi di kalangan mahasiswa diuraikan sebagai berikut: “Dating couples are even more likely to be violent than married couples, despite the fact that the higher rate has been demonstrated by more than 50 studies, starting in the 1980s (Stets & Straus, 1989; Sugarman & Hotaling, 1989). Numerous studies in the United States and Canada have found an extremely high prevalence of physical assault on dating partners by university students. For example, in Canada and the United States, 20% to 40% of students report one or more assaults in the previous 12 months (Sugarman & Hotaling, 1989). University studies have also indicated similar rates of physical assault by men and by women (Sugarman & Hotaling, 1989), except for sexual assault whenwomenare overwhelmingly the victims (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, & Eccles, 1997). For purposes of primary prevention (Cowen, 1978; A. O’Leary & Sweet-Jemmott, 1995), it is vital to increase our understanding of the etiology of this dating couple violence because it can establish patterns that persist over a lifetime (O’Leary et al., 1989; O’Leary, Malone, & Tyree, 1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner, 2004:791) “Pasangan kencan bahkan lebih cenderung melakukan kekerasan daripada pasangan suami istri, meskipun dalam kenyataannya tingkat yang lebih tinggi telah dibuktikan oleh lebih dari 50 study, yang dimulai pada tahun 1980-an (Stets & Straus, 1989; Sugarman & Hotaling, 1989). Sejumlah penelitian di Amerika Serikat dan Canada telah menemukan hubungan yang sangat tinggi dari serangan fisik dalam pacaran oleh mahasiswa. Sebagai contoh, di Canada dan Amerika Serikat, 20% hingga 40% dari siswa melaporkan satu atau lebih serangan dalam 12 bulan terakhir (Sugarman & Hotaling, 1989). Penelitian di universitas juga menunjukkan angka yang sama serangan fisik oleh laki-laki dan perempuan (Sugarman & Hotaling, 1989), kecuali untuk serangan sekisual ketika perempuan adalah korbannya (Hines & Saudino, 2003; Zweig, Barber, & Eccles, 1997). 1997). Untuk tujuan pencegahan primer(Cowen, 1978; A. O'Leary & Sweet-Jemmott, 1995), sangat penting untuk meningkatkan
29
pengertian kita atas etiologi dari pasangan dating violence ini karena dapat menetapkan pola-pola yang menetap sepanjang hidup (O'Leary et al., 1989; O'Leary, Malone, & Tyree, 1994). 1989; O'Leary, Malone, & Tyree, 1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner, 2004:791) Macam-macam tanda dating violence di kalangan mahasiswa antara lain: a. Pertama adalah intimidation (intimidasi) yaitu perlakuan menakutnakuti dan menggertak pasangan dengan cara merusak benda, bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan, atau bergaya seolah seorang preman yang setiap waktu mengawasi gerak-gerik pacarnya. b. Kedua violating your privacy (melanggar privasi) yaitu menerobos area pribadi dan mengacak-acak segala rahasia diri pasangan. Perilaku ini ditandai dengan mengambil alih catatan pribadi, sms pada handphone hingga men-sweeping isi tas. Pelaku menganggap bahwa orang lain tidak berhak mencampuri urusan cintanya. c. Ketiga adalah threats (tindakan ancaman) yang lebih serius dan lebih menakutkan. Pelaku sering memaksa korban untuk menuruti kemauannya dengan ancaman bunuh diri, memutuskan hubungan cinta, hingga mengancam menyebarkan foto-foto dan video pribadi yang dibuat bersama kekasihnya. d. Keempat using male privilege (menggunakan hak istimewa laki-laki). Biasanya pelaku selalu menggambarkan dirinya sebagai jagoan, lakilaki yang perkasa. Ia selalu berusaha mengalahkan cara pikir perempuan dan tidak mau menerima argumen apa pun. Dalam tahap
30
ini, laki-laki telah menguasai perempuan untuk melakukan apa pun kehendaknya. e. Kelima limiting independence (membatasi kebebasan). Pelaku mengurung kebebasan kekasihnya dengan cara mengatur penampilan sesuai kehendaknya. Ia juga mengatur teman-teman yang harus dijauhi atau didekati, memaksakan pengaruh rokok dan minuman keras pada kekasihnya, serta membatasi pergaulannya. Pada saat itu, pelaku bahkan bisa mengatur beragam rencana kekasihnya, termasuk rencana pendidikan, masa depan, dan pekerjaan. f. Keenam humiliation (penghinaan) yaitu tindakan mempermalukan nama baik sang kekasih di depan umum. Perilaku ini ditandai dengan cara mernperlakukan sang pacar dengan tidak manusiawi. g. Ketujuh isolation (pengasingan). Tindakan mengisolasi segala bentuk hubungan keluarga, pertemanan, sekolah, dan masyarakat dari kekasihnya sendiri. Jenis tindakan seperti ini, seolah-olah seperti memenjara sang kekasih dan memutuskannya dari komunikasi dunia luar. h. Kedelapan harassment (gangguan). Bentuk gangguan yang dilakukan pelaku dalam berbagai macam aktivitas yang dilakukan kekasihnya. Bahkan meskipun hubungan cinta telah berhenti, bentuk gangguan ini tetap berlangsung. Pelaku berusaha masuk ke dalam pergaulan sosial korban, meskipun tidak diundang atau dilarang sekalipun (Sony Set, 2009:45).
31
4. Mahasiswa Mahasiswa atau mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indone
sia). Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mahasiswa memiliki pengertian berupa orang atau setiap orang yang terdaftar secara resmi dan belajar di suatu perguruan tinggi (Yasyin, 1997:329). Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dinamis, insan sosial dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga negara. Mahasiswa secara harfiah adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, entah di universitas, institut atau akademi (Takwin, 2008 dikutip dari http://bagustakwin.multiply.com). Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut sebagai mahasiswa. Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif.
32
Mahasiswa merupakan calon pembaharu, calon cendekiawan dan calon penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Dan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mahasiswa dituntut untuk memiliki tiga kualitas psikologis yaitu keterbukaan pikiran, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas. Dunia kampus saat ini seolah menjadi dunia politik, yang sarat dengan intrik kepentingan dan intrik politik praktis. Bahkan, tak jauh berbeda dengan budaya politik di legislatif. Kekerasan seolah menjadi salah satu alternatif dalam mewujudkan kepentingan politik di kampus. Pejuangpejuang kampus yang semestinya diwarnai aroma akademis dan keilmuan, kemudian muncul ke permukaan dengan warna-warna yang menakutkan. Kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi, baik lisan, tulisan, maupun beban psikologis, tumbuh kembang di lingkungan dunia kampus. Mahasiswa yang merupakan salah satu elemen kampus, saat ini terjebak pada lingkungan yang dekat dengan nuansa kekerasan. Menjadikan mereka menganggapnya bukanlah hal yang tabu lagi untuk dilihat dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh kaum akademisi yang memiliki intelektual tinggi yang seharusnya lebih tahu mana hal yang baik dan buruk serta lebih terbuka pemikirannya dalam menghadapi suatu masalah. Pada akhirnya kekerasan menjamah kehidupan mahasiswa dalam berbagai segi kehidupannya terutama permasalahan pribadi seperti dalam menjalin hubungan dengan pasangannya.
33
Jurnal internasional yang berjudul Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide menyebutkan beberapa alasan mengapa kekerasan dalam pacaran difokuskan di kalangan mahasiswa: “The International Dating Violence Study is focused on the dating relationships of university students for a number of reasons: (a) Data on university students can be obtained in a uniform way by inexpensive questionnaires. This puts participation in the study within the resources of investigators in many countries; (b) In many countries, heterosexual relationships in the form of “dating” are more likely to exist among university students than in other sectors of the population; (c) As indicated above, a large number of studies show that physical assaults occur very frequently among student dating couples; (d) Students constitute a sizeable population in many countries. In the United States, for example, there are about 15 million currently enrolled in colleges and universities; (e) Students are at a formative period in their lives, especially in relation to the development of appropriate patterns of behavior with a partner. The patterns manifested at this age are often enduring features of their relationship”. (International Journal of Violence Against Dating Partner, 2004:792) “Penelitian Dating Violence Internasional ini difokuskan pada mahasiswa untuk sejumlah alasan: (a) Data tentang mahasiswa dapat diperoleh dengan cara yang seragam dengan dana yang tidak mahal. Hal ini menempatkan partisipasi dalam penelitian ini dengan sumber-sumber penyelidikan di banyak negara; (b) Di banyak negara, hubungan heteroseksual dalam bentuk pacaran lebih mungkin terjadi di antara mahasiswa daripada sektor penduduk lain; (c) Sebagaimana ditunjukkan di atas, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa serangan fisik terjadi sangat sering terjadi di antara pasangan dating di kalangan mahasiswa; (d) Mahasiswa merupakan populasi yang cukup besar di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, saat ini ada sekitar 15 juta mahasiswa terdaftar universitas; (e) Mahasiswa berada pada periode formatif kehidupan mereka, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan pola-pola perilaku dengan pasangan. Pola-pola ini dibuktikan dalam usia ini sering tahan lama fitur dari hubungan mereka (Murphy & O'Leary, 1989; O'Leary et al., 1989; O'Leary et al., 1994; Pan, & O'Leary, 1989; O'Leary et al., 1989; O'Leary et al., 1994; Pan, Neidig, & O'Leary, 1994). Neidig, & O'Leary, 1994).” (International Journal of Violence Against Dating Partner, 2004:792)
34
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Berdasarkan masalah yang diambil yaitu tentang faktor-faktor penyebab dan dampak kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploatif karena peneliti tidak familiar dengan masalah yang diteliti. Topik penelitian ini masih relatif baru karena belum banyak orang yang meneliti masalah ini. Literatur atau hasil penelitian yang membahas permasalahan tersebut masih langka. Dalam
metode
penelitian
ini,
sampel-sampel
yang
ada
diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri sosiologis dan perannya di dalam masyarakat. Kemudian dicatat kejadian-kejadian yang terjadi dan disusun kategori atas subyek-subyek pelaku dan kategori atas kejadian-kejadian. Dari kategori-kategori itu dikembangkan konsep sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan (Slamet, 2006:7). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan pertimbangan lokasi ini dianggap sesuai dengan tujuan penelitian, lokasi ini merupakan salah satu universitas negeri di wilayah Surakarta dan merupakan universitas terbesar di kota ini. Sebagai universitas yang besar UNS memiliki mahasiswa dengan jumlah yang besar pula dengan beragam tingkah lakunya. Di lokasi ini dimungkinkan terdapat data-data yang diperlukan.
35
3. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi adalah keseluruhan daripada unit-unit analisis yang memiliki spesifikasi tertentu (Slamet, 2006:40). Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh pasangan kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) di Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel ini diambil dari anggota populasi yang diketahui peneliti dapat menjadi sumber informasi data yang diinginkan dan diperlukan dalam penelitian ini. Tujuan penentuan sampel adalah untuk memperoleh keterangan tentang obyek penelitian dengan cara hanya mengamati sebagian dari populasi, suatu reduksi terhadap obyek penelitian (Komaruddin, 1991:26-27). Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah tiga pasangan kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) yang merupakan mahasiswa UNS dari berbagai fakultas dan tiga orang teman dekat pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran yang mengetahui peristiwa tersebut. c. Teknik Pengambilan Sampel Sedangkan strategi pengambilan sampel yang peneliti gunakan yaitu purposive sampling. Penarikan sampel dengan cara ini
36
membutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang baik dari peneliti terhadap populasi penelitian. Dalam menentukan siapa yang masuk menjadi anggota sampel penelitiannya, peneliti harus benar-benar mengetahui dan beranggapan bahwa orang yang dipilihnya dapat memberikan informasi yang diinginkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Untuk itu peneliti melakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap orang-orang yang nantinya akan dijadikan sampel dengan memasuki lingkungannya dan mengamati perilaku berpacarannya. Pengamatan ini betujuan agar sampel yang diambil benar-benar sesuai dengan penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Sumber Data 1) Data Primer Yaitu data yang diperoleh dari wawancara dengan informan. Dan yang menjadi informan dari penelitian ini yaitu: pasangan kekerasan dalam pacaran (Mala dan Adit, Tata dan Ryan, Tya dan Affan) dan orang-orang di sekitar pelaku dan korban (dalam hal ini teman dekat pelaku atau korban) kekerasan dalam pacaran yang mengetahui peristiwa tersebut (Nia, Ana, dan Sari). 2) Data Sekunder Data sekunder yaitu literatur berupa buku-buku dan literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti yaitu:
37
a)
Dokumen: International Journal of Midwifery & Women’s Health dan International Journal of Violence Againts Dating Partner
b)
Internet: http://ariefbharata.multiply.com/;http://republikdamai.blogspo t.com/;http://shodiq.com/;http://ruangstudio.blogspot.com/;htt p://bkkbn.go.id/;http://situs.kesrepro.info/;http://kompas.com/; http://bagustakwin.multiply.com/;http://depdiknas.go.id/;http:/ /uns.ac.id/.
c)
Buku: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Metode Penelitian Kualitatif, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda,
Teen
Dating Violence,
Metode
Penelitian Sosial, Kamus Sosiologi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. b. Metode Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data pada penelitian ini digunakan tekniktehnik berikut: 1) Metode observasi (pengamatan) Tehnik observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan pengamatan dan pencatatan suatu objek dari masalah yang diteliti.
38
Observasi itu sendiri dapat dilakukan secara sesaat maupun berulang-ulang. Observasi ada dua, yaitu observasi participant dan non participant. Dalam penelitian ini, peneliti memakai tehnik observasi non participant, dimana peneliti hanya sebatas melihat atau mengamati subyek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dilakukan terlebih dahulu terhadap calon informan untuk memastikan bahwa informan tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian. Observasi yang
pertama
kali
dilakukan
adalah
mengamati
perilaku
berpacaran calon informan untuk memastikan terjadinya kekerasan dalam pacaran dalam hubungan calon informan tersebut dengan pacarnya. Selanjutnya setelah dipastikan sebagai informan, peneliti mengamati perilaku berpacaran informan, mengamati bagaimana terjadinya mengamati
kekerasan
dalam
bagaimana
latar
pacaran belakang
mahasiswa
tersebut,
sosialnya
sehingga
mahasiswa tersebut dapat melakukan kekerasan dalam pacaran serta mengamati dampak sosial kekerasan dalam pacaran dalam kehidupan sehari-harinya. 2) Metode in dept interview (wawancara mendalam) Tehnik wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data yang diinginkan dengan melakukan interaksi langsung dengan informan. Didalam interaksi itu, peneliti berusaha
39
mengungkapkan kasus yang sedang diteliti melalui proses tanyajawab. Sebelum mengadakan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang diperlukan peneliti menggunakan pembicaraan informal terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan hubungan yang akrab antara peneliti dan informan. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara dengan mahasiswa UNS dan pasangannya yang menjadi pelaku atau korban kekerasan dalam pacaran serta teman dekatnya yang mengetahui
peristiwa
tersebut.
Pelaksanaan
wawancara
di
lapangan peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada pelaksanaannya daftar pertanyaan berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Inti dari pertanyaannya adalah menanyakan tentang terjadinya kekerasan dalam pacaran mahasiswa UNS, faktor-faktor sosial yang menyebabkannya serta dampak sosial dari perilaku kekerasan tersebut terhadap kehidupan sosialnya. 5. Validitas Data Pengecekan validitas data dalam penelitian ini adalah dengan tehnik
triangulasi,
yaitu
pemeriksaan
keabsahan
data
dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut. Maksudnya adalah untuk mengecek balik atau membanding derajat keabsahan data tersebut melalui waktu dan alat yang berbeda, yang dapat diperoleh melalui beberapa cara yaitu:
40
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara b. Membandingkan keadaan dan perspektif dari seseorang dengan berbekal pendapat dan pandangan orang lain c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi hasil suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 1998:178) Peneliti cenderung menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Trianggulasi data disebut juga trianggulasi sumber. Jenis trianggulasi ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, data yang sejenis dikumpulkan dengan berbagai sumber data yang tersedia dengan teknik pengambilan data sama. Kedua, data yang sejenis dikumpulkan dari sumber data yang berbeda dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Trianggulasi sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis di sini tekanannya pada perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain. Peneliti bisa memperoleh dari informan yang berbeda-beda posisinya dengan teknik wawancara mendalam, sehingga informasi dari informan yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari informan lainnya. Dengan cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik pengumpulan data yang berbeda itu pun data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya, dan teknik ini tetap dinyatakan sebagai teknik trianggulasi sumber.
41
Informan 1 Data
wawancara
Informan 2 Informan 3
Gambar 2. Skema Trianggulasi (Sumber: HB. Sutopo, 2002:80) Sedangkan
trianggulasi
metode
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data sejenis dari sumber data yang sama tapi dengan teknik pengumpulan data berbeda. Dari sini akan diketahui keabsahan data-data tersebut. 6. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Yang menjadi dasar analisa dalam penelitian ini yaitu; seluruh data dicermati secara mendalam, ditelaah, diberi kode mengacu pada kepustakaan yang relevan atau apa yang dipelajari dan dibaca dari kepustakaan tetap dilihat dari perspektif paradigma dan asumsi peneliti sendiri. Data yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui wawancara diolah dan dianalisa supaya menghasilkan kesimpulan yang valid. Ada tiga komponen pokok dalam tahap analisis (Sutopo, 2002:91) yaitu:
42
a. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung di lapangan. Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, permasalahan dan cara pengumpulan data yang dipakai. Pada saat pengumpulan data berlangsung, reduksi data dapat berupa ringkasan, mengkode, memusatkan tema, membuat batasan permasalahan, menulis memo. Proses reduksi ini terus berlangsung sesudah penelitian lapangan sampai laporan akhir selesai. Data setelah diperoleh dari lapangan akan dipilah-pilahkan sesuai dengan fokus perhatian yang peneliti inginkan. Kemudian disusun disesuaikan dengan format yang ditentukan oleh peneliti. b. Penyajian Data Penyajian
data
merupakan
organisasi
informasi
yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyajian data dalam hal ini meliputi berbagai macam matrik, skema, jaringan kerja, keterkaitan kegiatan dan tabel. Hal itu merupakan kegiatan yang dirancang untuk merakit informasi secara
43
teratur agar mudah dilihat, dimengerti, praktis dan mudah diterima oleh khalayak sebagai informasi yang lengkap dan saling mendukung. c. Menarik Kesimpulan (Verifikasi) Dalam menarik sebuah kesimpulan, dapat juga diverifikasi selama penelitian berlangsung, dengan cara merefleksi kembali apa yang telah kembali ditemukan serta bertukar pikiran untuk memperoleh kebenaran intersubjektif sehingga makna-makna yang muncul dari data dapat diuji kebenarannya dan kekokohannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 3. Model Analisis Interaktif (Sumber: H. B. Sutopo, 2002:96)
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Sejarah Singkat dan Lokasi Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret resmi didirikan sejak tanggal 11 Maret 1976, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1976 yang ditanda tangani tanggal 8 Maret 1976 dengan nama resmi Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret yang selanjutnya lazim disebut dengan singkatan UNS saja. Namun, sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1982 nama resmi Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret diganti menjadi hanya Universitas Sebelas Maret (Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret, 2007). Universitas Sebelas Maret pada awalnya merupakan gabungan dari beberapa perguruan tinggi yang ada di kota Surakarta dan sekitarnya, antara lain adalah: 1. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta, 2. Akademi Administrasi Negara Surakarta, 3. Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta, 4. Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Surakarta (FKPTPN), dan 5. Universitas Gabungan Surakarta yang terdiri dari beberapa perguruan tinggi swasta, antara lain Universitas Islam Indonesia Cabang Surakarta, Universitas 17 Agustus Cabang Surakarta, Universitas Cokroaminoto
44
45
Cabang Surakarta dan Universitas Nasional Saraswati (Company Profile Universitas Sebelas Maret). Setelah 5 tahun melakukan konsolidasi, UNS mempersiapkan diri untuk memulai proses perkembangannya. Pembangunan secara fisik dimulai pada tahun 1980. Di bawah kepemimpinan dr. Prakosa, kampus yang semula terletak di beberapa tempat disatukan dalam suatu kawasan. Lokasi tersebut adalah di daerah Kentingan, di tepi Sungai Bengawan Solo, dengan cakupan area sekitar 60 hektar. Di daerah Kentingan inilah, pembangunan kampus tahap pertama berakhir pada tahun 1985. Pembangunan fisik kampus yang tergolong cepat, juga diimbangi dengan perkembangan di sektor yang lain. Tahun 1986, Prof. Dr. Koento Wibisono selaku rektor berikutnya, melakukan peletakan dasar-dasar percepatan pertumbuhan. Pada masa ini perubahan telah terjadi seperti perkembangan yang cukup bagus dalam bidang akademik dan jumlah staf, juga dalam penguatan infrastruktur kampus. Setelah Prof. Haris Mudjiman, Ph.D menjadi rektor berikutnya, percepatan UNS dimulai untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Universitas Sebelas Maret pada awal berdirinya terdiri dari 17 (tujuh belas) jurusan yang tergabung dalam sembilan fakultas, yaitu: 1. Fakultas Ilmu Pendidikan 2. Fakultas Ilmu Keguruan 3. Fakultas Sastra Budaya 4. Fakultas Sosial Politik
46
5. Fakultas Hukum 6. Fakultas Ekonomi 7. Fakultas Kedokteran 8. Fakultas Pertanian 9. Fakultas Teknik. Pada saat diresmikan, Universitas Sebelas Maret memiliki tenaga dosen/ asisten sebanyak 810 orang yang terdiri dari 365 dosen/ asisten tetap dan 454 dosen/ asisten tidak tetap, serta memiliki 5.578 mahasiswa. Pada tanggal 8 Maret 1976 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) mengeluarkan SK No.03/C/Depk/76 yang mengantur tentang Pimpinan Sementara Universitas Sebelas Maret, dengan Kantor Pusat Universitas Sebelas Maret sementara bertempat di Pagelaran Keraton Surakarta dan tempat untuk kegiatan kuliah tersebut di beberapa tempat (Buku Sejarah Berdirinya Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret). Universitas Sebelas Maret saat ini berpusat di jalan Ir. Sutami No.36A Kentingan, Surakarta. Selain di Kentingan, Universitas Sebelas Maret memiliki beberapa kampus yang letaknya terpisah, yaitu: 1. Kampus Fakultas Ekonomi program Diploma 3 di daerah Mesen 2. Kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) 3. Program pendidikan (prodi) olah raga di daerah Manahan dan di Ngoresan 4. Prodi teknik mesin di daerah Pabelan dan PGSD di daerah Kleco Surakarta
47
5. Kampus FKIP program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di kabupaten Kebumen B. Susunan Organisasi dan Fungsi Susunan Organisasi Susunan organisasi Universitas Sebelas Maret ditetapkan berdasarkan SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18 Juli 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja UNS untuk jabatan struktural. Sedangkan pengembangan organisasi non struktural didasarkan pada SK Rektor. Susunan organisasi dan fungsi susunan organisasi menurut SK Mendikbud No. 0201/O/95 tanggal 18 Juli 1995 tentang Organisasi dan Tata KerjaUNS adalah sebagai berikut: 1. Rektor Rektor adalah pembantu menteri pendidikan dan kebudayaan di bidang yang menjadi tugas kewajiban di samping kedudukannya selaku pimpinan Universitas Sebelas Maret. Rektor mempunyai tugas: a. Memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi serta hubungannya dengan lingkungan. b. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi, badan swasta dan masyarakat untuk memecahkan persoalan yang timbul terutama yang menyangkut bidang tanggung jawabnya. Dalam menjalankan tugasnya Rektor dibantu oleh Pembantu Rektor, yaitu:
48
a. Pembantu Rektor Bidang Akademik, selanjutnya disebut Pembantu Rektor I, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam memimpin pelaksanaan
pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian
kepada
masyarakat. b. Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, selanjutnya disebut Pembantu Rektor II, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi umum. c. Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, selanjutnya disebut Pembantu Rektor III, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan layanan kesejahteraan mahasiswa d. Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan dan Kerjasama, selanjutnya disebut Pembantu Rektor IV, yang mempunyai tugas membantu Rektor dalam perencanaan, pengembangan dan kerjasama Universitas Sebelas Maret. 2. Dewan Penyantun Dewan penyantun adalah sebuah dewan yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat yang diadakan untuk membantu perkembangan perguruan tinggi yang bersangkutan. Dewan penyantun memiliki tugas sebagai berikut: a. Mengasuh hubungan baik antara masyarakat, instansi pemerintah dan badan swasta dengan perguruan tinggi.
49
b. Membantu memecahkan permasalahan perguruan tinggi. c. Membantu perkembangan perguruan tinggi. d. Menampung aspirasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam meningkatkan peranan dan pengembangan perguruan tinggi. 3. Senat Universitas Senat Universitas Sebelas Maret merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi di universitas yang diketuai oleh rektor dan didampingi oleh sekretaris beserta sejumlah anggota. Anggota senat terdiri dari para guru besar, guru besar emeritus, pimpinan fakultas atau lembaga dan perwakilan dosen dari setiap fakultas. Senat Universitas terdiri dari 6 komisi, yaitu: a. Komisi A (Pendidikan dan Pengajaran) b. Komisi B (Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) c. Komisi C (Kemahasiswaan dan Alumni) d. Komisi D (Administrasi Keuangan dan Kesejahteraan) e. Komisi E (Pengembangan dan Kerjasama) f. Komisi F (Penilaian Tenaga Akademik dan Tata Cara Akademik) 4. Biro beserta bagian dan sub bagian a. Biro Administrasi Akademik (BAA) Biro
Administrasi
Akademik
(BAA)
adalah
pembantu
pimpinan di bidang administrasi akademik di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Rektor. BAA mempunyai tugas melaksanakan layanan teknis dan administrasi di bidang akademik di
50
lingkungan
UNS.
Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
BAA
mempunyai fungsi: 1) Melaksanakan administrasi pendidikan dan evaluasi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat 2) Melaksanakan urusan administrasi di bidang kerjasama 3) Melaksanakan registrasi dan statistik 4) Melaksanakan sarana administrasi pendidikan BAA terdiri atas: 1) Bagian Pendidikan bertugas melaksanakan administrasi pendidikan dan evaluasi, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. 2) Bagian Kerjasama bertugas melaksanakan administrasi kerjasama. b. Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) adalah unsur pembantu pimpinan di bidang administrasi umum dan keungan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Rektor. BAUK mempunyai tugas memberikan pelayanan administrasi umum dan keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut BAUK mempunyai fungsi: 1) Melakukan urusan tata usaha, rumah tangga, hukum, dan tata laksana 2) Melaksanakan administrasi kepegawaian 3) Melakukan administrasi keuangan
51
4) Melaksanakan administrasi perlengkapan BAUK terdiri atas: 1) Bagian Tata Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga, hukum, dan tata laksana. Untuk melaksanakan tugas tersebut Tata Usaha, Rumah Tangga, Hukum dan Tata Laksana mempunyai fungsi:
Melaksanakan ketatausahaan
Melaksanakan urusan rumah tangga
Melaksanakan hukum dan tata laksana
2) Bagian Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan urusan kepegawaian.
Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
bagian
kepegawaian mempunyai fungsi:
Melaksanakan administrasi tenaga akademik
Melaksanakan administrasi tenaga administratif
3) Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan administrasi keuangan di lingkungan Universitas Sebelas Maret. Untuk melaksanakan tugas tersebut bagian keuangan mempunyai fungsi:
Melaksanakan
administrasi
anggaran
rutin
dan
megkoordinasikan anggaran keuangan
Melaksanakan administrasi dana yang berasal dari masyarakat
Melaksanakan monitoring dan evaluasi
52
4) Bagian Perlengkapan mempunyai tugas melaksanakan administrasi perlengkapan.
Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
bagian
perlengkapan mempunyai fungsi:
Melaksanakan administrasi pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan
Melaksanakan
inventarisasi
dan
mempersiapkan
usul
penghapusan barang perlengkapan c. Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK) Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK) adalah unsur pembantu pimpinan di bidang kemahasiswaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada rektor. BAK mempunyai tugas memberikan pelayanan administrasi kemahasiswaan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut BAK mempunyai fungsi: 1) Melaksanakan administrasi minat, penalaran, dan informasi kemahasiswaan 2) Melaksanakan layanan kesejahteraan mahasiswa BAK terdiri atas: 1) Bagian Minat, Penalaran, dan Informasi Kemahasiswaan bertugas melaksanakan
administrasi
minat,
penalaran,
fasilitas,
dan
informasi kemahasiswaan. 2) Bagian
Kesejahteraan
kesejahteraan mahasiswa.
bertugas
melaksanakan
layanan
53
d. Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI) Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI) adalah unsur pembantu pimpinan di bidang perencanaan dan sistem informasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Rektor. BAPSI mempunyai tugas melaksanakan layanan administrasi
perencanaan
dan
sistem
informasi.
Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, BAPSI mempunyai fungsi: 1) Melaksanakan administrasi perencanaan akademik. 2) Melaksanakan administrasi sistem informasi. BAPSI terdiri atas: 1) Bagian
Perencanaan
bertugas
melaksanakan
administrasi
perencanaan akademik dan fisik. 2) Bagian Sistem Informasi bertugas melaksanakan administrasi sistem informasi. 5. Fakultas Fakultas adalah unsur pelaksana akademika yang melaksanakan tugas pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret yang berada di bawah Rektor. Fakultas dipimpin oleh Dekan yang bertanggung jawab langsung kepada Rektor. Dalam melaksanakan tugas, Dekan dibantu oleh tiga orang Pembantu Dekan. Fakultas mempunyai tugas mengkoordinasi dan melaksanakan pendidikan akademika dan profesional dalam satu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian tertentu. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, fakultas mempunyai fungsi:
54
a. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan b. Melaksanakan penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian c. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat d. Melaksanakan pembinaan civitas akademika e. Melaksanakan urusan tata usaha fakultas Menurut pasal 10, fakultas terdiri dari: a. Dekan dan Pembantu Dekan 1) Dekan
mempunyai
tugas
memimpin,
menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan,
mahasiswa, tenaga
administrasi,
dan
administrasi fakultas, dan bertanggung jawab kepada Rektor. 2) Pembantu Dekan terdiri atas: a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut Pembantu Dekan I yang mempunyai tugas membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi yang selanjutnya disebut Pembantu dekan II yang mempunyai tugas membantu Dekan dalam memimpin dalam pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi umum. c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya disebut Pembantu Dekan III yang mempunyai tugas membantu
55
Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan layanan kesejahteraan mahasiswa. b. Senat Fakultas Senat fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan universitas. Senat fakultas terdiri atas guru besar, pimpinan fakultas, ketua jurusan, dan wakil dosen. Senat fakultas diketuai oleh Dekan yang dibantu oleh seorang sekretaris senat yang dipilih diantara anggotanya. c. Jurusan/ Bagian Jurusan atau bagian adalah unsur pelaksana akademik pada fakultas di bidang studi tertentu yang berada dibawah Dekan. Jurusan atau bagian mempunyai tugas melaksanakan pendidikan akademika dan professional dalam sebagian atau satu cabang ilmu, pengetahuan, teknologi, dan kesenian tertentu dan bertanggung jawab kepada ketua jurusan/ bagian. Jurusan atau bagian dipimpin oleh ketua jurusan yang dipilih diantara dosen dan bertanggung jawab langsung kepada Dekan. Dalam melaksanakantugas sehari-hari, ketua jurusan/ bagian dibantu oleh seorang sekretaris jurusan/ bagian. d. Laboratorium Laboratorium merupakan perangkat penunjang pelaksanaan pendidikan pada jurusan atau bagian dalam pendidikan akademika dan professional. Laboratorium mempunyai tugas melakukan kegiatan
56
dalam cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian tertentu sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok jurusan/ bagian sesuai dengan ketentuan bidang yang bersangkutan. e. Dosen Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan melatih mahasiswa serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dosen terdiri dari dosen biasa, dosen luar biasa dan dosen tamu, dengan jenis dan kepangkatan dosen tersebut menyesuaikan peraturan perundang-undangan. f. Bagian Tata Usaha (TU) Bagian Tata Usaha (TU) mempunyai tugas melaksanakan administrasi umum, perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pendidikan di fakultas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut tata usaha mempunyai fungsi: a) Melaksanakan administrasi umum dan perlengkapan b) Melaksanakan administrasi keuangan dan kepegawaian c) Melaksanakan administrasi pendidikan d) Melaksanakan administrasi kemahasiswaan dan alumni Bagian TU dari masing-masing fakultas terdiri dari: a) Sub
Bagian
Pendidikan
bertugas
melakukan
administrasi
pendidikan. b) Sub Bagian Umum dan Perlengkapan bertugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga dan perlengkapan.
57
c) Sub Bagian Keuangan dan kepegawaian bertugas melakukan administrasi keuangan dan kepegawaian. d) Sub Bagian Kemahasiswaan bertugas administrasi kemahasiswaan dan alumni. Universitas Sebelas Maret memiliki sembilan fakultas, yaitu: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 6. Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret memiliki 1 program pasca sarjana dengan rincian 24 program studi jenjang S2, 11 prodi Pendidikan Dokter Spesialis I, 4 prodi jenjang S3, 1 prodi profesi, dan 9 prodi keahlian. 7. Lembaga Penelitian dan Pengembangan a. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Universitas Sebelas Maret di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat dibawah Rektor. Kedudukan LPPM adalah untuk memfasilitasi dan mendukung aktivitas pusat untuk melakukan perannya sebagai produksi ilmu pengetahuan. LPPM terdiri dari 18 pusat, yaitu: 1)
Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKwu)
58
2)
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)
3)
Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW)
4)
Pusat Penelitian Kependudukan (PPK)
5)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPARI)
6)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual (PPHKI)
7)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (PPPG)
8)
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Bioteknologi
dan
Biodiversitas (PPPBB) 9)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Gizi dan Kesehatan Masyarakat (PPPGKM)
10) Pusat
Penelitian
Pedesaan
dan
Pengembangan
Daerah
(PUSLITDESGANDA) 11) Pusat Kajian dan Pengembangan Teknologi dan Kolaborasi Industri (PKPTKI) 12) Pusat Pemberdayaan Mahasiswa dan Masyarakat (PPMM) 13) Pusat Pengkajian Kebijakan Daerah dan Kelembagaan (PPKDK) 14) Pusat Penelitian Rehabilitasi dan Remediasi (PPRR) 15) Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (PPPKHANKAM) 16) Pusat Penelitian dan Pengembangan Olah Raga (PUSLITBANG OR) 17) Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)
59
18) Pusat Studi Kesehatan Seksual (PPSKS) (Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret 2007)
b. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) terus berupaya mewujudkan perguruan tinggi yang berkualitas dan meningkatkan mutu akademik Universitas Sebelas Maret, antara lain melalui peningkatan kualitas dan materi pengajaran, penyempurnaan sistem pembelajaran yang mengarah pada belajar aktif dan mandiri serta penyempurnaan evaluasi belajar mengajar. Dalam pengembangan misi tersebut LPP dibantu oleh 2 pusat, yaitu: Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran (PPSP) dan Pusat Bimbingan dan Konseling dan Pembinaan Karier (PBKPK). 8. Unsur Penunjang Akademik Universitas
Sebelas
Maret
memiliki
unit-unit
penunjang
pendidikan, antara lain adalah UPT Pusat Komputer, UPT Perpustakaan, UPT Pelayanan dan Pengembangan Bahasa (P2B), UPT Laboratorium MIPA Pusat, UPT UNS Press, UPT Mata Kuliah Umum. 9. Kantor Humas dan Kerjasama Kantor Humas dan Kerjasama merupakan kantor yang menangani hal komunikasi dengan pihak eksternal, pengenalan dan pencitraan universitas, serta menjalin kerjasama dengan berbagai instansi baik instansi pemerintah, swasta, masyarakat, yayasan atau organisasi kemasyarakatan serta media massa. Bagian Humas dan Kerjasama
60
memiliki kantor yang terpisah karena pembagian kerja di antara keduanya memiliki perbedaan. Fungsi Humas hanya sebagai fasilitator karena kerjakerja humas bersifat fungsional sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh bagian kerjasama. 10. Kantor Penjaminan Mutu Kantor Penjaminan Mutu merupakan kantor yang memiliki fungsi dalam aspek pengelolaan manajemen serta kualitas produk akademik yang dapat
dipertanggungjawabkan
secara
transparan
kepada
publik
kepercayaan masyarakat terus dibangun melalui upaya-upaya penjaminan kualitas
secara
berkelanjutan
yang
dimplementasikan
dengan
menyempurnakan sistem akuntabilitas kinerja secara terukur, terprogram dan transparan.
C. Jumlah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta 1.
Jumlah mahasiswa Program S1 Reguler Universitas Sebelas Maret tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010 Tabel 1 Jumlah Mahasiswa S1 Regular UNS Tahun Akademik FAKULTAS
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa
268
296
280
387
346
ISIP
284
278
274
314
235
Hukum
268
250
244
348
380
61
Ekonomi
278
305
296
403
343
Kedokteran
244
293
299
314
298
Pertanian
309
432
380
419
397
Tehnik
272
387
443
525
371
KIP
640
826
911
1930
1721
MIPA
174
236
284
370
342
UNS
2737
3303
3411
5010
4433
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
2.
Jumlah mahasiswa Program Diploma Universitas Sebelas Maret tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010 Tabel 2 Jumlah Mahasiswa Diploma UNS Tahun Akademik FAKULTAS
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa
399
359
333
273
279
ISIP
412
373
357
394
399
Ekonomi
443
500
534
555
570
Kedokteran
225
65
274
245
239
Pertanian
125
110
88
138
139
Tehnik
234
220
240
287
226
MIPA
141
146
209
266
302
UNS
1979
1773
2035
2158
2154
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
62
3.
Jumlah mahasiswa Program S1 Non Reguler Universitas Sebelas Maret tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010 Tabel 3 Jumlah Mahasiswa S1 Non Regular UNS Tahun Akademik FAKULTAS
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Sastra & Seni Rupa
43
87
81
0
0
ISIP
176
183
207
0
135
Hukum
130
130
170
0
0
Ekonomi
274
307
284
0
196
Pertanian
61
56
105
0
22
Tehnik
168
197
223
0
51
KIP
0
367
687
127
360
UNS
852
1327
1775
127
764
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
4.
Jumlah mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret tahun akademik 2005/2006 sampai dengan 2009/2010 Tabel 4 Jumlah Mahasiswa Pasca Sarjana UNS Tahun Akademik FAKULTAS
Pasca Sarjana Pasca Sarjana (S3) UNS
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 419
456
1007
688
1622
0
0
0
0
53
419
456
1007
688
1675
Sumber: Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1. Profil informan Pada bagian ini akan dideskripsikan mengenai profil informan yang menunjukkan adanya kekerasan dalam pacaran dalam kehidupan mereka ataupun kehidupan orang di sekitarnya yang mereka ketahui. Para informan ini akan menguraikan penyebab dan dampak sosial kekerasan dalam pacaran bagi kehidupan pelaku dan korban atau dengan kata lain para informan diminta untuk menceritakan apa yang mereka ketahui tentang penyebab sosial dan dampak sosial kekerasan dalam pacaran. Jawaban para informan ini berasal dari pengalaman pribadi dan pengetahuan yang mereka peroleh dengan mengamati orang-orang di sekitarnya yang mengalami kekerasan dalam pacaran baik sebagai korban ataupun pelaku. Dalam penelitian ini informan yang diambil adalah pasangan kekerasan dalam pacaran (dating violence’s couple) dan orangorang di sekitar pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran (dalam hal ini teman dekat korban atau pelaku) yang mengetahui peristiwa tersebut berikut penyebab dan dampak sosialnya bagi kehidupan pelaku dan korban. Informan dalam penelitian ini adalah tiga pasangan kekerasan dalam pacaran dan tiga orang teman dekat mereka. Adapun profil informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
63
64
a. Informan 1 Informan pertama dalam penelitian ini adalah pasangan Adit dan Mala. Adit berumur 23 tahun sedangkan Mala selisih satu tahun di bawahnya. Mereka sedang menempuh pendidikan tingkat akhir di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adit pada program Sarjana (S1) Non Regular Fakultas Teknik dan Mala program Diploma (D3) Fakultas Pertanian. Saat ini Adit tinggal di salah satu rumah kos di kawasan Intitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sedangkan Mala tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jl. Ki Hajar Dewantara di samping keduanya masih tinggal di rumah kedua orang tuanya masing-masing di Purwodadi dan Boyolali. Adit mulai mengenal Mala ketika mereka bertemu di counter hp milik teman Adit. Mereka berteman dan kurang lebih sebulan kemudian mereka menjalin hubungan pacaran. Intensitas pertemuan mereka setelah menjalin hubungan pacaran cukup tinggi, hampir setiap hari mereka bertemu. Gaya pacaran mereka adalah pacaran di kamar karena mayoritas waktu pertemuannya dihabiskan di kamar kos Adit. Hal ini mereka lakukan karena menurut pendapat mereka pacaran di kamar lebih terjaga privacy-nya. Aktivitas dating mereka antara lain ngobrol, nonton televisi, bermain game, mengerjakan tugas kuliah bersama, dll. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas dating di luar seperti jalan-jalan, nonton film di bioskop, hang out atau makan. Hubungan Adit dan Mala telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun.
65
Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah kurangnya pengertian satu sama lain dan meningkatnya sensitivitas masingmasing karena intensitas pertemuan yang tinggi. Sensitivitas yang tinggi ini sangat berpotensi menimbulkan konflik diantara keduanya. 1) Aktivitas Aktivitas Mala sehari-hari adalah kuliah, mengerjakan Tugas Akhir, menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah kontrakan, hang out dengan teman-teman kampus atau temanteman satu kontrakan, dan dating. Hobby Mala adalah nyalon dan shoping. Mala
tidak
aktif
di
organisasi
kemahasiswaan
di
kampusnya karena ia kurang berminat dengan hal tersebut, begitu pula dengan Adit. Namun di rumah mereka mengikuti organisasi kepemudaan walaupun tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi tersebut. Kegiatan Adit tidak jauh berbeda dengan Mala; kuliah, menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di kos, hang out bersama teman-teman, menghabiskan waktu bersama Mala dan hobbynya adalah bermain game online di salah satu game center di Jl. Surya Utama belakang kampus UNS. 2) Latar belakang keluarga Adit merupakan anak sulung dari tiga bersaudara dengan dua orang adik laki-laki, sedangkan Mala anak kedua dari empat
66
bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan dua orang adik laki-laki. Keduanya berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang tua Mala adalah pengrajin tembaga yang cukup sukses di daerah Cepogo, Boyolali sedangkan ayah dan ibu Adit adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS). 3) Latar belakang agama Keluarga Adit adalah penganut agama yang kurang taat. Adit memaparkan bahwa ayah dan ibunya jarang melaksanakan salat walaupun keduanya beragama Islam. Orang tua Adit juga membebaskan Adit dan adik-adiknya untuk mengerjakan ibadah atau tidak. Mala berasal dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat. Ayah dan Ibu Mala rajin melaksanakan ibadah seperti salat, puasa, dll. Mereka juga menghimbau anak-anaknya yang perempuan untuk mengenakan jilbab. 4) Karakter informan Berdasarkan keterangan dari Nia, teman dekat Mala yang menjadi informan kedua dalam penelitian ini, Adit memiliki karakter yang cuek. Hal itu juga terlihat dari cara dia berpakaian yang santai. Sedangkan Mala adalah orang yang baik dan suka menolong, namun terkadang ia bersikap keras kepada Adit, tambah Nia dalam keterangannya. Sifat Mala yang suka menolong juga
67
tampak ketika Peneliti memintanya untuk menjadi informan dalam penelitian ini, dia langsung menyetujuinya dan memberikan waktu kepada Peneliti untuk melakukan wawancara. 5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran Dalam menjalani hubungan ini Adit dan Mala membuat komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya. Komitmenkomitmen tersebut meliputi: saling menghargai, setia dan saling percaya. Ketiga komitmen tersebut dibuat agar hubungan mereka dapat berjalan dengan lancar. Namun, seiring berjalannya waktu komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Ketika terjadi pelanggaran komitmen, akan terjadi konflik yang menyulut kemarahan salah satu pihak terhadap pihak yang melanggar komitmen tersebut. Kemarahan ini akan memuncak dan terjadilah kekerasan dalam pacaran. Adit dan Mala sama-sama pernah menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam pacaran. Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Adit dan Mala adalah sebagai berikut: a) Kekerasan Fisik (Physical Abuse) Adit pernah memukul, mencubit Mala hingga memarmemar, menendang, mendorong sekuat tenaga, menonjok dan mencekik.
68
Sedangkan Mala pernah mencubit Adit hingga memarmemar, menampar, memukul, dan mendorong sekuat tenaga. Kesemuanya itu merupakan tindakan pelecehan fisik yang menimbulkan rasa takut dan menjadi suatu tekanan tersendiri bagi korban. Pelaku kekerasan tidak menghargai dan menjaga
fisik
pasangannya
tetapi
sebaliknya
malah
melukainya. b) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse) Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan Adit adalah mencaci maki dengan kata-kata kasar, membuat Mala merasa bersalah, intimidasi dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga membuat Mala ketakutan. Bentuk kekerasan emosional yang pernah dilakukan Mala adalah cemburu yang berlebihan, memaksa pasangannya untuk tidak melakukan kegiatan yang disukai (melarang Adit bermain game online kesukaannnya dengan ancaman akan ditinggalkan), dan melanggar privasi dengan men-sweeping handphone Adit. Kesemuanya itu termasuk pelecehan psikologis karena pelaku tidak menjaga kondisi psikologis korban yang merupakan pasangannya tetapi malah memberikan berbagai
69
tekanan dengan tindakan kekerasan emosional sehingga korban terganggu kestabilan psikologisnya. 6) Solusi setelah terjadi kekerasan Dalam
menghadapi
kekerasan
yang
terjadi
dalam
hubungannya, Adit dan Mala beranggapan bahwa hubungan mereka didasari perasaan yang positif (cinta dan kasih sayang), sehingga ketika pasangannya marah, mereka berpikir karena pasangannya memang sedang lelah, kesal, bad mood atau mungkin karena kesalahan mereka sendiri, sehingga pasangannya marah. Yang kemudian mucul adalah perasaan menyalahkan diri sendiri dan merasa pantas diperlakukan seperti itu. Karena itu, setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka dan emosi telah mereda, hubungan Adit dan Mala akan kembali seperti semula. Adit dan Mala sama-sama menyadari bahwa keduanya memiliki
kecenderungan
untuk
berbuat
kasar
terhadap
pasangannya namun mereka berusaha untuk sedikit demi sedikit menghilangkan kebiasaan buruknya tersebut dan lebih bijaksana dalam menghadapi masalah serta lebih menghargai satu sama lain. b. Informan 2 Informan berikutnya adalah Nia. Nia adalah teman dekat Mala. Mereka mulai berteman semenjak Nia pindah dari tempat kosnya yang lama ke rumah kontrakan yang sama dengan Mala. Nia yang merupakan sulung dari dua bersaudara ini saat ini masih berstatus
70
sebagai mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat ini Nia sedang sibuk menyusun skripsi untuk menyelesaikan program sarjananya. Nia yang asli Salatiga ini mengetahui terjadinya kekerasan dalam hubungan Adit dan Mala dari cerita Mala kepadanya. Selain itu, beberapa kali Nia menemukan luka memar dan lebam pada tubuh Mala. Terkadang Mala juga terlihat begitu tertekan. Berdasarkan cerita Mala dan pengamatan Nia kekerasan yang terjadi antara Adit dan Mala adalah kekerasan emosional dan fisik. Di mata Nia, Mala adalah seorang teman yang baik dan suka menolong.
Namun,
Mala
terkadang
bersikap
keras
kepada
pasangannya. Berdasarkan pengamatan Nia, Mala menjadi seperti itu karena orang tuanya yang keras dan kurang memperhatikannya. c. Informan 3 Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Ryan dan Tata. Keduanya saat ini ia berumur 22 tahun. Ryan telah menyelesaikan pendidikan diplomanya (D1) di salah satu akademi swasta di Surakarta dan saat ini bekerja di Batam. Sedangkan Tata masih berstatus sebagai mahasiswi program diploma (D3) di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta dan bekerja di salah satu bank swasta di kota Solo.
71
Saat ini Ryan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Batam. Ia bermukim disana sejak kuliah D-1nya selesai dan bekerja disana. Ryan pulang ke daerah asalnya di Boyolali hanya pada hari Raya Idul Fitri. Sedangkan Tata bertempat tinggal di rumah kos di daerah Ngoresan disamping tinggal di rumah orang tuanya. Kebanyakan waktu Tata dihabiskan di Solo karena tuntutan pekerjaan dan kuliahnya. Hanya pada akhir pekan Tata pulang ke Boyolali. Ryan dan Tata berteman sejak kelas 2 SMA. Mereka menjalin hubungan pacaran hanya selisih beberapa bulan setelah keduanya berkenalan. Mereka telah menjalin hubungan selama kurang lebih 5 tahun. Pada awalnya mereka menjalin hubungan layaknya remaja lain dengan intensitas pertemuan yang cukup sering, apalagi mereka bersekolah di SMA yang sama. Hingga akhirnya gaya pacaran mereka berubah menjadi long distance relationship (hubungan jarak jauh) semenjak Ryan diterima bekerja di Batam. Intensitas pertemuan mereka sangat jarang, hanya setahun sekali ketika Ryan pulang ke Boyolali pada saat hari raya Idul Fitri, namun komunikasi lewat berbagai media terus berjalan. Aktifitas dating mereka ketika jauh hanyalah berbicara lewat telepon, mengirim message melalui sms atau email dan facebook’an. Sedangkan aktifitas dating mereka kertika bertemu antara lain jalan-jalan, nonton bioskop, makan, atau hang out berdua.
72
Kendala yang mereka hadapi dalam menjalin hubungan jarak jauh cukup banyak seperti rentan terjadi kesalahfahaman, godaan dari pihak ketiga, dan meningkatnya sensitivitas masing-masing karena banyak kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasangan yang berada jauh dari pasangannya. 1) Aktivitas Aktivitas Ryan di Batam adalah bekerja di salah satu pabrik di kota Batam, melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah kontrakannya, dan terkadang jalan-jalan dengan teman-temannya pada saat ia libur bekerja. Dan aktivitas Tata setiap harinya adalah bekerja di kantornya yang terletak di Jl. Slamet Riyadi Surakarta, mengerjakan Tugas Akhir, melakukan pekerjaan sehari-hari di kos, dan jalan-jalan dengan teman-teman kampus atau teman-teman kosnya. Saat ini Ryan tidak mengikuti kegiatan organisasi apa pun di tempat perantauannya sedangkan Tata walaupun tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan di kampusnya, di rumah ia aktif sebagai pengurus RISMA (Remaja Islam Masjid) dan Karang Taruna. 2) Latar belakang keluarga Ryan dan Tata merupakan anak sulung dalam keluarganya, masing-masing dari dua bersaudara dengan satu orang adik lakilaki dan tiga bersaudara dengan dua orang adik laki-laki.
73
Berdasarkan keterangan dari Ana, teman dekat Tata, Tata berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang cukup berada, ayahnya adalah seorang wiraswastawan yang sukses. Sedangkan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi
yang
lebih
sederhana,
orang
tua
Ryan
juga
wiraswastawan tetapi tidak sesukses orang tua Tata. 3) Latar belakang agama Tata dan Ryan berasal dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat, terutama Tata. Kakek Tata adalah seorang Kyai Nahdhatul Ulama di daerahnya. Bahkan rumah Tata digunakan sebagai kantor cabang Nahdhatul Ulama. Orang tua Ryan dan Tata juga penganut agama yang taat. Mereka rajin mengerjakan ibadah wajib dan sunah dalam agamanya seperti salat, puasa sunah dan wajib, tadarus Al-Qur’an, pengajian, dll. 4) Karakter informan Berdasarkan keterangan dari Ana, sahabat Tata yang sudah mengenal Ryan dan Tata sejak SMA, Ryan dan Tata memiliki karerakter yang tidak jauh berbeda. Keduanya adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan, rajin beribadah, dan humoris. Berdasarkan pengamatan peneliti, karakter informan yang rajin beribadah terlihat ketika wawancara peneliti dengan Tata terhenti karena Tata ingin mengerjakan salat terlebih dahulu. Karakter Ryan yang bertanggung jawab terlihat ketika ia menolak
74
untuk diwawancara pada saat bekerja dan meminta untuk wawancara di lain waktu ketika ia sedang free. Dalam pengamatan Peneliti, hal ini menunjukkan bahwa Ryan bertanggung jawab atas pekerjaannya dan ia bertanggung jawab pula atas kesediaannya menjadi informan dalam penelitian ini. 5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran Dalam hubungan yang dijalani Ryan dan Tata terdapat beberapa komitmen yang harus dipatuhi oleh keduanya, meliputi komitmen untuk saling menjaga kepercayaan, keseriusan menjalani hubungan, berusaha memenuhi permintaaan pasangannya dan yang utama adalah komitmen untuk menikah. Fungsi utama dari komitmen tersebut adalah agar tidak saling menyakiti satu sama lain dan untuk membuktikan keseriusan keduanya. Namun, seiring berjalannya waktu komitmen-komitmen tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya walaupun keduanya telah berusaha untuk menaatinya. Ryan merupakan korban kekerasan emosional dalam pacaran, begitu pula dengan Tata. Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Ryan dan Tata adalah: a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse) Interaksi yang terbatas membuat keduanya menjadi kurang bisa mengerti kesibukan satu sama lain dan membuat keduanya sering bertengkar karena salah paham. Pada akhirnya
75
Ryan menjadi possesif. Akibatnya Tata sering mengalami kekerasan non fisik atau kekerasan emosional. Ryan sering merasa cemburu yang berlebihan, pemaksaaan untuk tidak melakukan kegiatan yang disukai bahkan kegiatan akademis sekalipun, caci maki, dan pemberian julukan yang mengandung olok-olok juga pernah dilontarkan Ryan kepada Tata ketika sedang marah. Kekerasan ini menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman pada diri Tata. Begitu pula dengan Tata, tidak sekali dua kali ia membuat Ryan merasa tertekan karena tidak bersedia menuruti permintaannya. Menurut Ryan, dia sudah lelah bekerja di tempat yang jauh dengan jam kerja yang cukup padat demi masa depannya dengan Tata tetapi Tata tidak bisa memenuhi harapannya. Ryan merasa kecewa hingga tertekan batinnya. Yang terjadi disini adalah pelecehan psikologis dimana pelaku memberikan tekanan yang mengganggu keadaan psikologis korban, padahal seharusnya ia menjaga keadaan psikologis pasangannya. 6) Solusi setelah terjadi kekerasan Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, pada awalnya mereka akan meminta untuk putus seperti kesepakatan awal bahwa jika terjadi pelanggaran komitmen hukumannya adalah
76
pemutusan hubungan tersebut, tetapi kemudian hubungan mereka akan membaik ketika pihak yang bersalah bersedia minta maaf dan memperbaiki kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Ryan dan Tata menanggapi kekerasan emosional dalam hubungannya sebagi suatu hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam hubungan
orang
berpacaran.
Mereka
beranggapan
bahwa
hubungan mereka didasari perasaan yang positif untuk tujuan yang positif juga. Hal-hal buruk yang terjadi di dalamnya mereka anggap sebagai ujian bagi keberlangsungan hubungan mereka. d. Informan 4 Informan selanjutnya adalah Ana. Dia adalah teman dekat Tata dan Ryan. Mereka bersekolah di SMA yang sama dan saat ini Tata dan Ana tinggal di tempat kos yang sama. Ana yang masih berstatus mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) Fakultas Ekonomi di Universitas Sebelas Maret Surakarta ini berumur 22 tahun. Kegiatannya saat ini adalah menyusun skripsi untuk menyelesaikan program sarjananya. Sulung dari tiga bersaudara ini sudah berteman lama dengan Tata dan Ryan tetapi mulai mengetahui terjadinya kekerasan dalam hubungan Tata dengan Ryan sejak ia tinggal dengan Tata di tempat kos yang sama. Di matanya, hubungan Tata dan Ryan berjalan dengan baik tetapi sering diwarnai dengan pertengkaran. Beberapa kali Ana
77
mendapati temannya itu menangis setelah bertengkar dengan pacarnya. Tata juga sering bercerita kepadanya tentang hubungannya dengan Ryan.
Berdasarkan
cerita
Tata
dan
pengamatan
Ana,
Ana
menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi antara Ryan dan Tata adalah kekerasan emosional. e. Informan 5 Pasangan berikutnya yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Affan dan Tya. Affan berumur 25 tahun dan Tya selisih dua tahun di bawahnya. Affan bekerja sebagai operator warnet di daerah tempat tinggalnya sedangkan Tya adalah mahasiswi tingkat akhir program sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat ini Affan dan Tya tinggal di rumah orang tuanya masingmasing di Kota Klaten. Mereka pertama kali bertemu saat Tya masih duduk di bangku SMA. Mereka bertemu ketika Tya mengunjungi salah satu salon di kotanya itu yang pada saat itu juga merupakan tempat kerja Affan. Hubungan mereka berlanjut hingga beberapa bulan kemudian mereka resmi menjalin hubungan pacaran. Hubungan mereka telah berjalan dalam hitungan tahun dan putus-nyambung selama beberapa kali. Kendala terbesar dalam hubungan mereka adalah masalah pengertian dan penerimaan satu sama lain. Aktivitas dating mereka
78
jalan-jalan, nonton bioskop, makan dan terkadang Tya menemani Affan bekerja. 1) Aktivitas Aktivitas Tya saat ini adalah mencari pekerjaan karena dia telah menyelesaikan skripsinya dan hanya tinggal menunggu wisuda. Selain itu, aktivitas lainnya adalah aktivitas rutin seharihari seperti menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah, hang out dengan teman-temannya, dan menghabiskan waktu dengan pacarnya dengan berbagai kegiatan. Tya
tidak
mengikuti
organisasi
kemahasiswaan
di
kampusnya atau organisasi serupa di luar. Sejak SD dia tidak berminat untuk mengikuti organisasi-organisasi formal dalam lingkungan sekolah kecuali diwajibkan. Sedangkan Affan hanya mengikuti organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya. Kegiatan Affan sehari-hari adalah bekerja sebagai operator warnet di salah satu warnet di Kota Klaten, menyelesaikan pekerjaan sehari-hari di rumah, hang out bersama teman-teman atau pacarnya. 2) Latar belakang keluarga Affan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan seorang adik perempuan. Sedangkan Tya yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dengan seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan.
79
Dari segi ekonomi, keluarga Affan tergolong keluarga sederhana. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan orang tua Affan yang bekerja wiraswasta untuk membiayainya kuliah. Affan hanya bersekolah hingga SMA dan harus bekerja setelah lulus SMA. Sedangkan Tya berasal dari keluarga yang cukup berada, ayahnya adalah seorang pengusaha dan ibunya bekerja sebagai PNS. Hal ini juga tampak dari keseharian Tya yang sering bergonta ganti mobil serta hobby-nya berbelanja. 3) Latar belakang agama Affan dan Tya berasal dari keluarga penganut agama yang cukup taat. Keluarga mereka taat melaksanakan ibadah seperti salat dan puasa. 4) Karakter informan Berdasarkan keterangan dari Sari, teman dekat Tya, Tya adalah orang yang terbuka, royal dan humoris, namun Tya memiliki sifat buruk yaitu agak sombong. Dan menurut Sari lagi, Affan memiliki karakter yang kurang baik. Affan sering bersikap genit di tempat kerjanya kepada user warnet yang dianggapnya menarik, Affan juga orang yang pelit. 5) Kekerasan yang pernah terjadi dalam pacaran Dalam hubungan yang dijalani Affan dan Tya terdapat beberapa komitmen yang meliputi komitmen untuk saling setia, keseriusan menjalani hubungan, dan menikah. Fungsi utama dari komitmen-komitmen tersebut adalah agar hubungan keduanya
80
dapat berjalan dengan baik dan langgeng. Seiring berjalannya waktu,
komitmen-komitmen
tersebut
tidak
dapat
berjalan
sebagaimana mestinya. Kurangnya pengertian diantara keduanya membuat mereka sering bertengkar. Tya dan Affan sama-sama merupakan korban dan pelaku kekerasan dalam pacaran. Kekerasan yang pernah terjadi dalam hubungan Affan dan Tya adalah sebagai berikut: a) Kekerasan Emosional (Emotional Abuse) Kekerasan emosional yang pernah dilakukan Affan kepada Tya adalah kurangnya perhatian Affan kepada Tya, sikap Affan yang menginginkan Tya selalu ada ketika dia butuh tetapi dia tidak jarang ada ketika Tya membutuhkannya, serta pemerasan (pemaksaan pemberian kebutuhan ekonomi). Selain itu sikap Affan yang sering dekat dengan perempuan lain membuat Tya merasa marah, cemburu dan tertekan. Sedangkan kekerasan emosional yang pernah dilakukan Tya kepada Affan adalah cemburu berlebihan, possesif (pemaksaan untuk tidak bergaul dengan teman lain jenis), ketidakjujuran, dan mempermalukan nama baik Affan di depan umum (melalui facebook). Pelecehan yang terjadi dalam hubungan Affan dan Tya adalah pelecehan psikologis dimana keduanya menyakiti psikis pasangannnya dengan berbagai tindakan kekerasan emosional hingga pembunuhan karakter.
81
6) Solusi setelah terjadi kekerasan Setelah terjadinya kekerasan dalam hubungan mereka, dan pertengkaran mereda. Akan ada dua pilihan untuk ke depannya, memutuskan hubungan atau salah satu pihak mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf. Beberapa kali Affan dan Tya mengambil permintaan maaf untuk menyelesaikan konflik ini sehingga hubungan mereka berjalan kembali. Namun, beberapa kali pula pemutusan hubungan yang mereka ambil sebagai jalan keluar. Namun setelah terjadinya perpisahan, dalam jangka waktu yang tidak lama mereka akan segera bersama-sama lagi karena keduanya mengaku masih saling menyayangi. f. Informan 6 Informan terakhir adalah Sari. Dia adalah teman dekat Tya. Mereka berteman sejak SMA. Mereka bersekolah di SMA yang sama dan kuliah di universitas yang sama. Sari yang berumur 23 tahun ini telah menyelesaikan studi S1nya di Fakultas Kedokteran UNS dan saat ini sedang co ass. Anak ketiga dari empat bersaudara ini mulai mengetahui terjadinya kekerasan dalam hubungan Affan dengan Tya sejak SMA. Di matanya, Affan hanya memanfaatkan temannya itu. Tya sering mengeluh kepadan Sari tentang sikap Affan yang cuek dan genit. Sari menyimpulkan berdasarkan cerita Tya dan pengamatannya, kekerasan yang terjadi antara Affan dan Tya adalah kekerasan emosional terutama kekerasan ekonomi.
82
83
84
85
2. Gambaran Umum Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa Kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Hal khas yang sering muncul dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban cenderung lemah dan amat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan akan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada saat inilah, karena korban sangat mencintainya dan berharap sang pacar akan benar-benar insyaf, maka dia serta merta memaafkannya, dan hubungan diharapkan bisa berjalan lancar kembali. Padahal kekerasan dalam pacaran ini seperti sesuatu yang berpola, ada siklusnya. Seseorang yang pada dasarnya memiliki kebiasaan bersikap kasar pada pasangannya, akan cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah menjadi bagian dari kepribadiannya, dan merupakan caranya untuk menghadapi konflik atau masalah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia, teman dekat Mala, salah satu korban kekerasan dalam pacaran berikut: “Mala itu udah cinta mati ma pacarnya, jadi mau disakitin ampe gimana juga tetep aja masih sayang. Padahal dia tu ma cowoknya sering berantem ampe ngamuk-ngamuk dan saling mukul gitu. Si Aditnya juga sama aja, sering diamuk Mala tapi tetep aja ga mau putus. Abis berantem pasti nyesel dan minta maaf, terus baekan lagi. Gitu-gitu terus dari dulu.”
86
Hal serupa diungkapkan Ana pada wawancara tanggal 9 Maret 2010: “Tata ma Ryan sering banget berantem. Abis berantem pasti jadi kacau semua. Tata nangis, males makan. Ryannya juga mabukmabukan. Udah tau gitu masih aja dipertahanin, katanya sech udah terlanjur sayang.” Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain: 1. Kekerasan fisik Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata di tubuh korban. Bentuk dari kekerasan fisik ini berupa memukul, menendang, mendorong sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar menampar, menonjok, dan mencekik. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mala berikut: “Aku pernah dipukul ma pacarku, trus didorong ampe aku jatuh. Trus pernah ditonjok ma dicekik. Dicubitin ampe memar juga pernah. Kalau yang aku laku’in ke dia, aku pernah nampar dia, mukul ma nyubit-nyubit juga pernah. Itu yang aku sadar, terkadang pas lagi marah banget aku ma dia ampe enggak sadar pernah ngapain aja. Semuanya terjadi begitu aja kalau udah kalap.” 2. Kekerasan emosional Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini berupa caci maki, membuat korban merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan, membatasi
87
pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, melanggar privasi, possesif, pemerasan, dan pencemaran nama baik. Seperti yang diungkapkan oleh Adit pada petikan wawancara di bawah ini: “Aku kalau lagi marah jadi kasar ma cewekku, kadang aku makimaki dia kalau salahnya udah keterlaluan tapi enggak nyadarnyadar juga, biar dia nyadar ma kesalahannya dan enggak ngulangin lagi. Kalau udah marah banget aku bisa ampe ngebanting barang-barang juga. Tapi dia juga sering ngelarangngelarang aku maen game online padahal aku suka maen game online. Dia juga suka buka-buka hpku tanpa seijinku dulu. Jadi kayak enggak punya privasi lagi.” Hal yang lain diungkapkan Ryan pada wawancara tanggal 6 Maret 2010 berikut: “Gara-gara PJJ aku sering ngerasa enggak percaya ma cewekku jadinya malah jadi possesif dan jealousan.” Hal yang lain diungkapkan Tya pada wawancara tanggal 10 Maret 2010: “Cowokku tu kurang perhatian ma ceweknya, dia tu pengen’e aku selalu ada pas dia butuh, tapi kalau pas aku yang butuh dianya ngilang. Tu anak enggak modal juga jadi cowok, pelit. Dari pertama jadian ampe sekarang bisa diitung pake jari kapan dia ngeluarin duit pas kita lagi jalan. Udah gitu temen-temen ceweknya banyak, bikin jealous aja.” Hal yang lain diungkapkan Affan pada wawancara tanggal 14 Maret 2010: “Cewekku pernah bikin status di fb seolah-olah hubungan kami tu udah kayak suami istri, aku malu banget gara-gara hal itu. Foto mesra kami juga dia upload di fb, privasi kami berdua jadi konsumsi publik.” Umumnya para remaja korban kekerasan tidak menceritakan kepada pihak yang berwenang terhadap masalah ini, bahkan kepada orang
88
tuanya. Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang ada dengan berbagai cara atau dalih. Kasus kekerasan yang tidak dilaporkan biasanya karena korban merasa iba karena pelaku memohon maaf sedemikian rupa setelah melakukan kekerasan, sehingga korban percaya bahwa pelaku benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya. Selain itu juga karena menganggap hal tersebut masalah privasi diantara mereka berdua yang tidak seharusnya dicampuri oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan Adit pada wawancara tanggal 7 Maret berikut: “Enggak perlu dilaporin ke pihak manapun karena itu privasi kami berdua, kami enggak mau pihak luar ikut campur dalam hubungan kami. Lagian udah minta maaf juga jadi enggak perlu diperpanjang lagi. Konflik dalam pacaran kan hal biasa.” Hal yang senada diungkapkan Mala pada wawancara tanggal 8 Maret 2010 berikut: “Kasian kalau dilaporin, ntar malah panjang urusannya dan semua orang jadi tahu. Malu juga kan. Yang penting udah minta maaf dan nyadarin kesalahannya.” Kekerasan, apapun bentuknya, adalah suatu hal yang akan mengakar dan akan terjadi berulang. Sikap menyesal dan pernyataan maaf yang dilakukan pelaku adalah suatu fase reda dari suatu siklus. Biasanya setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi. Dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa sudah muncul adanya saling ketergantungan yang tidak sehat
89
antara pelaku dan korban, korban dating violence menganggap bahwa perlakuan yang diterimanya adalah wajar sebagai konsekuensi dari sebuah hubungan. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari pelaku namun selalu saja korban memaafkan dan akhirnya kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Pihak-pihak yang terlibat dating violence mengalami disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal dalam memaknai pacaran yang sehat. Mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka duka sebuah hubungan.
MATRIK 2 JENIS-JENIS KEKERASAN DALAM PACARAN No 1
Jenis Kekerasan Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan Memukul Menendang Mendorong sekuat tenaga Mencubit hingga memar-memar Menampar Menonjok Mencekik dll
2
Kekerasan non fisik
Caci maki
(emosional)
Membuat korban merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus Intimidasi dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga membuat korban ketakutan
90
Cemburu yang berlebihan Membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai Melanggar privasi Possesif Pemerasan Pencemaran nama baik dll Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
3. Faktor-Faktor Sosial Penyebab Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, semua informan yang termasuk pasangan kekerasan dalam pacaran pernah menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Dan faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa menurut jurnal ISPSI (2002:148) adalah sebagai berikut: a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang timbul dalam lingkungan keluarga seperti family stress (stress pada diri individu yang disebabkan oleh permasalahan-permasalhan di dalam keluarga), yang kurang diperhatikan oleh orang tua memicu timbulnya permasalahan bagi anak di masa yang akan datang. Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi
91
fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin yang ketat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Nia berikut: “Orang tua Mala dua-duanya sama-sama keras. Kalau ibu Mala kerasnya lewat omongan, beliau sering marah-marahin suami ma anak-anaknya. Tapi kalau bapaknya Mala kerasnya maen tangan. Mungkin itu nurun ke Mala, makanya dia jadi tega ngasarin Adit.” Hal senada diungkapkan Tata pada wawancara tanggal 12 Maret 2010: “Orang tuaku banyak nuntut ke aku. Aku harus begini lah harus begitu lah. Aku enggak krasan di tempat kerjaku yang sekarang aja enggak dibolehin pindah. Kadang tertekan juga tapi gimana lagi, namanya juga ma orang tua.” Stres berasal dari situasi tertentu misalnya krisis ekonomi dalam keluarga, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut: “Affan tu keluarganya biasa aja, enggak kaya lah. Buat nguliahin Affan aja orang tuanya enggak mampu. Sejak ketemu Tya, tu anak kayak nemu’in tambang emas.” Hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran (role model) yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam
92
pacaran akan muncul. Walaupun secara logika anak membenci perilaku kekerasan yang dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik di saat remaja atau dewasanya. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Ryan berikut: “Aku dulu waktu kecil sering ngeliat ayahku bentak-bentak ibu make kata-kata kasar kalau lagi marah.” Hal senada diungkapkan Mala pada kutipan wawancara berikut: “Waktu kecil aku pernah liat bapakku mukul ibu. Kadang bapak juga mukul, njewer, atau nendang aku ma ade-adeku kalau kita enggak nurut.” Semua
tindakan
kekerasan
yang
dilakukan
mahasiswa
merupakan ekspresi perasaan-perasaan yang tertekan yang dialami selama bertahun-tahun sejak kecil. Ada paradigma salah dalam mendidik anak. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan melakukan tindakan keras seperti menjewer, memukul, mencubit, bisa menekankan disiplin pada diri anak. Padahal sama sekali tidak. Justru perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam diri anak tersebut, dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia melakukan kekerasan serupa atau lebih. Adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil merupakan akar kekerasan. Ini terutama karena budaya pengasuhan di Indonesia yang umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola
93
kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse (kekerasan) pada waktu kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser (pelaku kekerasan) juga ketika dia dewasa. b. Peer group Teman
sebaya
memiliki
pengaruh
yang
besar
dalam
memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mala berikut: “Kekerasan dalam pacaran itu udah biasa sekarang. Temenku ada yang gitu juga, bahkan lebih parah dari aku. Jadi aku nganggepnya bukan hal yang aneh lagi. Udah enggak kaget juga kalau itu terjadi ma aku. Palagi sering banget ketemunya, jadinya sering berantem juga.” Dengan melihat terjadinya kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada teman, individu akan merasa bahwa hal tersebut bukan hal yang tabu dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hubungan pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi dalam pacaran akan meningkat. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Sari berikut: “Lama-lama udah enggak asing lagi ya ma kekerasan dalam pacaran. Temen-temenku banyak yang ngalamin, biasanya sech kekerasan fisik ma emosional. Tapi itu urusan masing-masing. Aku enggak mau ikut campur kecuali kalau orangnya minta tolong ma aku. Mau ada kekerasan atau enggak dalam hubungan mereka udah jadi pilihannya.”
94
c. Media massa Media seperti televisi, radio, koran, majalah atau internet ikut berperan
dalam
membentuk
kebiasaan
melakukan
kekerasan.
Tayangan berita berisi kekerasan seperti demonstrasi mahasiswa, bentrokan massa dengan aparat pemerintah, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, atau kejahatan yang mengandung unsur kekerasan; film dan sinetron yang mengandung adegan kekerasan dan pornoaksi; serta game-game di internet yang menampilkan adegan kekerasan direkam sangat baik oleh remaja dan anak-anak. Seperti petikan wawancara dengan Adit di bawah ini: “Aku biasa liat adegan kekerasan terutama di game. Aku kan hobby maen game online. Selain itu palingan liat di film-film action atau berita-berita di tv. Sekarang kan banyak banget kasus-kasus kekerasan.” Remaja dan anak-anak akan menganggap bahwa itu semua wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungannya. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. Hal di atas dikarenakan terjadinya proses belajar sosial. Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
95
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien. Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang kekerasan berpotensi menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward. Jika mahasiswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi disekitarnya yang dilakukan oleh sesama mahasiswa tidak mendapatkan hukuman, melainkan hal sebaliknya maka aksi yang sama akan dilakukan oleh mahasiswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama bahwa melakukan kekerasan akan
mendapatkan
hukuman.
Hal
ini
dapat
menimbulkan
kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan dapat membentuk persepsi terhadap penegakan hukum. Jika mahasiswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan mendapatkan hukuman, maka mahasiswa
akan
cenderung
menggunakan
kekerasan
untuk
memperjuangkan kepentingannya. Seperti petikan wawancara dengan Tya di bawah ini: “Keras ma pacar kan enggak ada hukumannya, orang hubungan ini juga enggak ada aturan resminya. Lagian pacar-pacar aku ini, hak aku juga mau gimana-gimana ma dia.” d. Kepribadian Selain pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil, akar kekerasan yang lain adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku
96
tindak kekerasan. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi
sehingga
yang bersangkutan gagal
mencapai
tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan mereka hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan mudah sekali menimbulkan frustrasi. Seperti petikan wawancara dengan Affan di bawah ini: “Aku enggak mampu ngikutin gaya hidup cewekku yang serba wah, ortuku pas-pasan. Aku hidup juga make uangku sendiri.” Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa dirinya lemah/ minoritas ataukah kuat/ mayoritas. Bila dia merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Seperti lanjutan petikan wawancara dengan Affan di bawah ini:
97
“Karena dia tetep enggak mau aku tinggalin, ya sudah konsekuensinya dia yang biaya’in hubungan kami. Akunya enggak ada duit.” Akar kekerasan berikutnya adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Seperti petikan wawancara dengan Tata di bawah ini: “Saking deketnya ma Ryan aku jadi lebih sensitif, mudah tersinggung atau marah kalau dia enggak mau ngasih yang aku minta. Terus kalau dia marahin aku dan buat aku terpojok, ntar aku gantian marah ma dia.” Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Para mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai pemegang dominasi dalam hubungan pacaran menyebabkannya berperilaku keras terhadap pasangannya. Seperti petikan wawancara dengan Ryan di bawah ini: “Aku kerasnya ma Tata aja, ma orang lain sech santai-santai aja kalau tu orang enggak bikin masalah ma aku.”
98
Hal senada diungkapkan Affan pada kutipan wawancara berikut: “Aku kayak gitu ma cewekku doank, kan gara-garanya dia juga yang gaya hidupnya mewah ampe enggak kejangkau ma aku.” Seseorang yang pada dasarnya punya kebiasaan bersikap kasar pada pasangan, akan cenderung mengulangi lagi, karena hal ini sudah menjadi bagian kepribadiannya, dan merupakan cara dia untuk menghadapi konflik atau masalah. Seperti petikan wawancara dengan Tata di bawah ini: “Tiap kali berantem pasti maki-maki ma ngomong kasar lagi, udah kebiasaan.” Hal senada diungkapkan Nia pada kutipan wawancara berikut: “Adit ma Mala itu engak pernah kapok. Kalau marahan pasti maen tangan lagi. Katanya sech uda pengen berubah tapi masih aja kayak gitu.” e. Peran jenis kelamin Dalam berpacaran, wajar jika terjadi konflik atau perselisihan. Bagaimana seseorang menyikapi konflik akan relasinya dengan lawan jenis ini dapat dipengaruhi oleh peran jenis kelamin. Dalam masyarakat kita yang lekat dengan budaya pariarkhi, peran laki-laki lebih menonjol dalam suatu hubungan dibandingkan perempuan. Kontrol dan kekuasaan ada di tangan laki-laki. Seperti petikan wawancara dengan Ryan di bawah ini: “Pacaran itu kaya suami istri. Pemimpinnya harus tetap lakilaki biar entar kalau udah beneran jadi istri udah terbiasa ngormatin suaminya.”
99
Anggapan
ini
kemudian
akan
menimbulkan
terjadinya
dominasi dalam hubungan. Dominasi yang terjadi dalam suatu hubungan akan memicu terjadinya konflik yang berbuntut pada terjadinya kekerasan dalam pacaran. Seperti petikan wawancara dengan Tya di bawah ini: “Hubunganku didominasi cowokku makanya kadang dia jadi seenaknya sendiri.” Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Lakilaki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan feminine dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya. Pada awalnya perempuan pelaku kekerasan ini tidak berkeinginan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya, namun karena tidak mampu lagi menahan emosi, mereka pun melakukan
kekerasan
terhadap
pasangannya.
Seperti
petikan
wawancara dengan Mala di bawah ini: “Awalnya aku enggak ada niat sama sekali buat kasar ma dia. Dia yang mulai duluan, ya aku balas. Tapi abis itu kadangkadang aku yang mulai kasar duluan kalau lagi marah.” Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan kekerasan dalam pacaran pada remaja perempuan dan laki-laki dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama sebagai pelaku
kekerasan,
tetapi
jika
dilihat
kuantitas
dan
kualitas
100
kekerasannya, perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Seperti petikan wawancara dengan Nia berikut: “Adit ma Mala sama-sama pernah jadi pelaku ma korban, tapi kalau diliat dari seringnya ma kualitasnya jelas lebih sering Adit. Adit kan cowok, tenaganya lebih gedhe daripada Mala.” Hal senada diungkapkan Sari pada kutipan wawancara berikut: “Kalau ngebandingin kekerasan emisional yang pernah dilaku’in Affan ma Tya, dari kualitas ma kuantitasnya lebih sering Affan. Tya gitu-gitu orangnya setia, tapi kalau Affan maen mata kanan kiri mulu.” Ketidakadilan dalam hal gender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.
MATRIK 3 FAKTOR-FAKTOR SOSIAL PENYEBAB KEKERASAN DALAM PACARAN No Faktor-Faktor
Keadaan faktor sosial
Sosial
Pengaruhnya terhadap perilaku kekerasan dalam pacaran mahasiswa
1
Pola asuh dan
Pola asuh diwarnai dengan
Berpengaruh pada model peran
lingkungan
perilaku kekerasan dan
(role model) yang dianut oleh
keluarga
lingkungan keluarga tidak
anak pada masa dewasanya.
menyenangkan. 2
Peer group
Lingkungan teman sebaya
Memberikan kontribusi yang
yang terdiri dari orang-
besar semakin tingginya angka
101
orang yang pernah terlibat
kekerasan antar pasangan
kekerasan 3
Media massa
Media massa yang
Memicu tindakan kekerasan
menampilkan berbagai
terhadap pasangan
macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan 4
Kepribadian
Gaya hidup modern yang
Reaksi terhadap frustrasi salah
menyebabkan frustrasi dan
satunya adalah dengan
pada akhirnya
melakukan tingkah laku agresi
menimbulkan gangguan kepribadian 5
Peran jenis
Budaya pariarkhi dalam
Dominasi yang terjadi dalam
kelamin
masyarakat lebih
suatu hubungan akan memicu
menonjolkan peran laki-laki terjadinya konflik yang dalam suatu hubungan
berbuntut pada terjadinya
sehingga menimbulkan
kekerasan dalam pacaran
munculnya dominasi dalam hubungan
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
4. Dampak Sosial Kekerasan dalam Pacaran di Kalangan Mahasiswa Kekerasan dalam pacaran menimbulkan berbagai dampak baik fisik, maupun psikis. a. Dampak fisik Dampak fisik kekerasan dalam pacaran bisa berupa memar, lecet, lebam, luka bakar, dsb. Seperti petikan wawancara dengan Mala berikut ini; “Luka fisik yang pernah aku alamin gara-gara dikasarin ma cowokku palingan memar-memar ma lecet karena dicubitin, trus lebam karena dipukul ma ditonjok.”
102
b. Dampak psikis Dampak psikis bagi korban berupa sakit hati, harga diri yang terluka, terhina, depresi, menyalahkan diri sendiri, rasa malu, merasa sedih, bingung, cemas, tertekan, tidak bebas, tidak nyaman dan merasa bersalah. Seperti petikan wawancara dengan Tata berikut ini; “Gara-gara sering dimaki-maki ma dibentak-bentak cowokku kadang aku ngerasa hina banget, udah kaya enggak dihargai lagi. Sakit sech tapi mungkin emang aku yang salah.” Hal senada diungkapkan Tya pada kutipan wawancara berikut: “Sikap cowokku yang cuek itu kadang bikin aku tertekan, padahal aku udah usahain sebisa mungkin buat nyenengin dia, masih aja salah. Bikin bingung ma was-was. Takutnya dia macam-macam di belakangku.” Selain itu juga adanya pengalaman abuse pada diri korban akan berpotensi untuk menjadikannya seorang abuser (pelaku kekerasan) juga ketika di kemudian hari. Dampak psikis bagi pelaku adalah pelaku mengalami gangguan kepribadian dengan pola agresif, sehingga ia terbiasa mengambil jalan kekerasan
untuk
menyelesaikan
berbagai
permasalahan
yang
dihadapinya karena hal tersebut sudah menjadi bagian dari kepribadiannya. Seperti petikan wawancara dengan Adit berikut ini; “Tiap kali ada masalah pasti berantem, udah kebiasaan gitu. Tapi aku pengennya enggak gitu terus. Nyoba lebih sabar.” Dampak-dampak fisik dan psikis di atas akan mempengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban, atau dengan kata lain menyebabkan dampak sosial bagi kehidupan korban dan pelaku
103
kekerasan dalam pacaran. Berikut ini adalah beberapa dampak fisik dan psikis kekerasan pada masa pacaran yang menyebabkan timbulnya dampak sosial bagi pelaku dan korbannya (http://sindy.student. umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan-pada-masa-pa caran/): 1) Menurunnya rasa percaya diri Kekerasan dalam pacaran akan menyebabkan penurunan rasa percaya diri korban dalam kehidupan sosialnya. Kekerasan dalam pacaran, terutama kekerasan emosional menciptakan suatu perasaan tertekan pada diri korban. Perasaan tertekan ini kemudian menyebabkan frustasi, korban merasa gagal dalam hidupnya. Kegagalan ini akan mengembangkan penilaian negatif dalam diri korban terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Rasa percaya diri korban menjadi lemah yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki kompetensi,
tidak
memiliki
keyakinan,
kemampuan
dan
kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Seperti petikan wawancara dengan Mala berikut ini;
104
“Aku suka enggak pede kalau masuk ke lingkungan baru, jadinya susah dapat teman. Minder aja, ngerasa enggak sepadan ma orang lain.” Salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan dalam pacaran adalah kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat katakata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut biasanya bermakna melecehkan pasangan, menganggap pasangan sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti pasangan, memberikan julukan negatif kepada pasangan, mempermalukan pasangan dan memberikan kesan bahwa pasangan tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan pasangan dan dapat memengaruhi citra diri mereka. Seperti petikan wawancara dengan Affan berikut ini; ”Malu banget pas Tya bikin status yang aneh-aneh gitu, seolah-olah kami itu udah tidur bareng dan aku sering nyakitin dia. Jadi enggak pede nongol di fb, temen-temenku juga jadi negative thinking ke aku. Menghambat pergaulan aja.” Kekerasan verbal terhadap pasangan akan menumbuhkan sakit hati hingga membuat mereka berpikir seperti yang kerap diucapkan oleh pasangannya tersebut. Jika pasangan mengatakan bahwa pasangannya bodoh atau jelek, maka dia akan menganggap dirinya demikian. Dampaknya tidak terjadi secara langsung, namun melalui proses. Karena ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam memori korban. Semakin lama, maka akan bertambah berat dan membuat korban memiliki
105
pencitraan negatif terhadap dirinya sendiri. Remaja yang sering mengalami kekerasan verbal di kemudian hari akan hilang rasa percaya dirinya. Hilangnya kepercayaan diri tersebut akan menghambat kehidupan sosial korban dimana korban akan sulit bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 2) Meningkatnya rasa tidak berdaya Kekerasan dalam pacaran meningkatkan ketergantungan korban terhadap pelakunya. Hal ini terjadi karena pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul membuatnya terasingkan dari lingkungan sosialnya. Seperti petikan wawancara dengan Ana berikut ini; ”Gara-gara Ryan over posssesif ma Tata, Tata jadi susah pergaul. Mau temenan ma temen baru dilarang-larang ma Ryan, takut Tata macem-macem. Jadinya Tata enggak bisa lepas dari Ryan. Kata Tata sech kalau lepas dari Ryan dia ngerasa enggak punya siapa-siapa lagi.” Korban kekerasan dalam pacaran akan merasa tidak berdaya dan tidak mampu melakukan apa-apa tanpa pasangannya. Korban merasa sendiri karena sudah terlalu bergantung pada pasangannya.
Hal
ini
akan
membuat
korban
tidak
bisa
mengembangkan diri dalam kehidupan sosialnya. Selain itu perilaku pelaku kekerasan yang merendahkan korban akan membuat korban merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak berarti, sekaligus juga membuat korban merasa sangat beruntung karena masih ada pacarnya yang mau menjadikannya
106
sebagai pacar. Hal ini membuat korban merasa tidak berdaya jika ditingalkan oleh pacarnya karena baginya pacarnya adalah segalanya sehingga korban menerima segala perlakuan pacarnya terhadapnya. Seperti yang diungkapkan Mala pada petikan wawancara berikut ini; ”Lama-lama aku jadi mikir kalau yang diomongin Adit itu bener. Aku emang udah enggak ada harganya lagi. Kalau Adit ninggalin aku, pasti enggak ada lagi yang mau ma aku.” 3) Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Hal ini akan mempengaruhi cara korban bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. Seperti petikan wawancara dengan Tya berikut ini; ”Aku sering cemas, takut cowokku macem-macem. Masalahnya dia itu banyak temen ceweknya dan lebih mentingin temen-temennya daripada aku. Aku jadi enggak percaya’an ma orang lain, apalagi ma orang-orang yang aku anggep bakalan ngerusak hubunganku ma dia.” Korban yang sulit mempercayai orang lain dalam kehidupan sosialnya menjadi sulit bergaul dengan orang lain, lama kelamaan
hal
ini
akan
membuat
korban
terisolir
dari
lingkungannya. 4) Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Ketergantungan antara korban terhadap pasangannya akan berakibat kepada menurunnya produktivitasa kerja atau prestasi.
107
Hal ini terjadi ketika sedang terjadi konflik antara korban dan pelaku hingga terjadi kekerasan, korban akan merasa tertekan, cemas, sedih, dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu akan membuat korban menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya dan menurun produktivitasnya. Selain itu pembatasan pelaku terhadap korban juga akan membatasi ruang gerak aktivitas sosial korban untuk berinteraksi dengan orang lain terutama dengan orang-orang yang dianggap pelaku akan membahayakan hubungannya dengan korban. Seperti petikan wawancara dengan Ana berikut ini; ”Tata jadi kehambat ngerjain TAnya gara-gara Ryan ngebatasin dia ketemu ma Adi. Padahal si Adi itu cuma bantu Tata bikin program buat TAnya. Tata kesulitan buat bikin program sendiri.” Hal senada diungkapkan Adit pada kutipan wawancara berikut: “Kadang aku cemas kalau mau ngelaku’in sesuatu. Takut salah di mata cewekku dan bikin dia marah-marah.” Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya. Seperti petikan wawancara dengan Tata berikut ini; “Ryan terkadang enggak suka aku jalan ma temen-temenku, katanya sech aku terlalu mentingin mereka daripada dia. Jadinya aku batalin dech, padahal sebenarnya aku suka
108
jalan-jalan ma temen-temen, lumayan lah buat ngilangin stress.” 5) Mengalami sakit fisik Luka fisik yang dialami korban seperti memar, lecet, lebam, luka bakar, dsb terutama yang meninggalkan bekas akan membuat korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya karena merasa malu dan takut sehingga kehidupan sosialnya terhambat. Seperti yang diungkapkan Nia pada petikan wawancara berikut ini; ”Gara-gara dicubit ampe memar-memar, Mala enggak mau berangkat kuliah sampai bekas lukanya itu hilang. Dia kaya gitu karena malu dan dia enggak mau banyak orang tahu kalau dia ma cowoknya sering berantem.” MATRIK 4 DAMPAK KEKERASAN DALAM PACARAN No
Jenis
Dampak kekerasan
Dampak
Dampak Terhadap Kehidupan Sosial
Kekerasan 1.
Psikis
a. Menurunnya rasa percaya diri
Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
109
b. Meningkatnya rasa tidak berdaya
Korban terisolir dari lingkungan sosialnya akibat pengekangan pelaku.
c. Meningkatnya
Mempengaruhi cara
rasa cemas
korban bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga, akibatnya dalam kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.
d. Menurunnya produktivitas
Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban.
kerja atau prestasi 2.
Fisik
Mengalami sakit fisik
Korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya karena merasa malu dan takut sehingga kehidupan sosialnya terhambat.
Sumber: Data primer, diolah Mei 2010
B. PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan teori Behavioral Sosiology yang masuk ke dalam paradigma definisi sosial. Teori ini menekankan hubungan antara akibat
110
dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Kekerasan dalam pacaran yang meliputi kekerasan fisik dan non fisik (emosional) dapat terjadi karena tingkah laku sosial di dalam lingkungan pelaku dan korban secara langsung maupun tidak langsung mendorong pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan. Tingkah laku sosial ini meliputi: 1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional, 2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang pernah terlibat kekerasan, 3. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi, 4. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain yang menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan kepribadian dengan pola agresif, 5. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan.
111
Pengaruhnya terhadap mahasiswa yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung mendorong mereka untuk melakukan tindakan kekerasan meliputi: 1. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan serta diwarnai dengan kekerasan berpengaruh pada model peran (role model) yang dianut oleh anak pada masa dewasanya. Bila model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran akan muncul. Walaupun secara logika anak membenci perilaku kekerasan yang dilakukan orang tuanya tersebut, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik di saat remaja atau dewasanya. Perilaku kekerasan itu terus berkembang di dalam diri anak tersebut, dan dianggap biasa. Alhasil, kepada orang lain pun dia melakukan kekerasan serupa atau lebih. 2. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang pernah terlibat kekerasan memberikan kontribusi yang besar semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Dengan melihat terjadinya kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada teman, individu akan merasa bahwa hal tersebut bukan hal yang tabu dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hubungan pacaran. Toleransi atas kekerasan yang terjadi dalam pacaran akan meningkat. Selain itu hal ini dapat terjadi karena adanya proses belajar sosial. Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya.
112
3. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam media massa dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. Hal ini terjadi karena berbagai macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan direkam sangat baik oleh remaja dan anak-anak. Mereka akan menganggap bahwa itu semua wajar dilakukan dan merasa layak melakukan hal serupa. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungannya dikarenakan terjadinya proses belajar sosial. 4. Reaksi terhadap frustrasi salah satunya adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Pada gangguan jiwa yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian dengan pola agresif, orang menjadi mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai
atau bila menghadapi situasi
yang
menyebabkannya menjadi frustrasi. 5. Dominasi yang terjadi dalam suatu hubungan akan memicu terjadinya konflik yang berbuntut pada terjadinya kekerasan dalam pacaran. Walaupun laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran, namun secara kuantitas dan kualitasnya, perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas.
113
Dalam teori Behavioral Sociology, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien. Lingkungan sosial menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para mahasiswa karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu masalah. Tingkah laku kekerasan terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, teman dan media massa) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut. Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya. Dari hasil temuan di lapangan, selain faktor-faktor penyebab kekerasan dalam pacaran, peneliti juga menemukan beberapa dampak kekerasan dalam pacaran yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial korban, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Menurunnya rasa percaya diri pada korban karena perasaan tertekan yang diakibatkan oleh kekerasan emosional. Hal ini kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul
114
terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. 2. Meningkatnya rasa tidak berdaya karena ketergantungan korban terhadap pelaku kekerasan. Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul membuat korban terasingkan (terisolir) dari lingkungan sosialnya dan hanya berinteraksi dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat tergantung pada pelaku dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan merasa hidup sendirian. 3. Meningkatnya rasa cemas akibat perasaan tertekan yang dialami korban secara terus menerus. Hal ini akan mempengaruhi cara korban bersosialisasi
dengan
lingkungan
sekitar.
Korban
menjadi
sulit
mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. 4. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi disebabkan karena konflik yang terjadi antara korban dan pelaku membuat korban merasa tertekan, cemas, sedih, dan sebagainya yang membuat korban menjadi tidak bersemangat dalam hidupnya dan menurun produktivitasnya. Pengekangan pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban. 5. Mengalami sakit fisik yang akan membuat korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya karena merasa malu dan takut, sehingga kehidupan sosialnya terhambat.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kesimpulan Empiris Masa remaja adalah masa yang rentan, karena merupakan masa transisi dari kanak-kanak menjelang dewasa yang ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, biologis dan sosial. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran (dating). Seiring berjalannya waktu, hubungan pacaran (dating) yang awalnya dianggap sebagai ajang saling mengasihi, melindungi, berbagi suka dan duka bersama selanjutnya berkembang menjadi sesuatu yang dieksplorasi sedemikian rupa sehingga pacaran tidak melulu berjalan indah dan menyenangkan, bahkan dalam kenyataan yang terjadi adalah berbagai bentuk pelecehan, intimidasi, kekerasan ataupun pemerkosaan yang mengatas namakan cinta dan kasih sayang. Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Akibat perubahan zaman dan kebudayaan, kini pacaran tidak lagi menjadi proses mengenal pasangan lebih baik. Bisa dikatakan, pacaran justru menjadi arena pelampiasan emosi yang tidak seharusnya.
115
116
Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi namun belum mendapat porsi perhatian yang lebih dari masyarakat. Banyak sekali orang tua, remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah dating violence, kebanyakan dari mereka belum menganggap persoalaan unik ini sebagai sebuah kasus besar yang harus dicermati bersama. Pacaran di kalangan remaja masih dianggap sebagai aktivitas main-main, cinta monyet, atau beberapa anggapan lain yang menyatakan pacaran gaya remaja hanya sebuah permainan belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas pacaran di kalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat. Bentuk-bentuk dari dating violence antara lain: a. Kekerasan fisik, bentuknya berupa memukul, menendang, mendorong sekuat tenaga, mencubit hingga memar-memar menampar, menonjok, mencekik, dll. b. Kekerasan non fisik (emosional) berupa caci maki, membuat korban merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri terus menerus, intimidasi dengan menggertak dan merusak benda-benda yang ada di sekitarnya sehingga membuat korban ketakutan, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, melanggar privasi, possesif, pemerasan, pencemaran nama baik, dll.
117
Penyebab kekerasan dalam berpacaran antara lain: a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan karena berbagai permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga serta diwarnainya pengasuhan orang tua dengan kekerasan fisik dan emosional, b. Lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang pernah terlibat kekerasan, c. Media massa yang menampilkan berbagai macam adegan dan pemberitaan mengenai kekerasan dengan intensitas cukup tinggi, d. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme di satu sisi sedangkan kepemilikan sumber daya yang sangat terbatas pada sisi lain yang menyebabkan frustrasi dan pada akhirnya menimbulkan gangguan kepribadian dengan pola agresif, e. Budaya pariarkhi melekat dalam masyarakat dan lebih menonjolkan peran laki-laki dalam suatu hubungan. Kontrol dan kekuasaan berada di tangan laki-laki sehingga timbul dominasi dalam hubungan. Sedangkan dampak kekerasan dalam berpacaran antara lain: a. Menurunnya rasa percaya diri Agresivitas dalam berkomunikasi, seperti: membentak, memaki, tidak menghargai pendapat korban, melarang bergaul, tidak pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-temannya
118
maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Rasa percaya diri korban menjadi lemah yang kemudian merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan korban tersebut dimana ia merasa tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki keyakinan, kemampuan dan kepercayaan bahwa dia bisa. Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. b. Meningkatnya rasa tidak berdaya Pengekangan pelaku terhadap korban dalam bergaul membuat korban terasingkan dari lingkungan sosialnya dan hanya berinteraksi dengan pelaku sehingga korban menjadi sangat tergantung pada pelaku dan takut ditinggalkan oleh pelaku karena akan merasa hidup sendirian. c. Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Hal ini mempengaruhi cara korban bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain dan selalu merasa curiga. Akibatnya, dalam
119
kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya. d. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Pengekangan pelaku atas korban mengakibatkan terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban terbatas ruang geraknya. Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui
beberapa
aktivitas
pacarnya.
Pelaku
mungkin
tidak
melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya. e. Mengalami sakit fisik Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya yang akan membuat korban enggan berinteraksi dengan lingkungannya. 2. Kesimpulan Teoritis Berdasarkan paradigma Perilaku Sosial yang dikemukakan oleh B.F. Skinner adalah tepat khususnya penggunaan teori Behavioral Sosiology terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Yang menarik perhatian Behavioral Sosiology adalah hubungan historis antara akibat tingkah laku
120
yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan, lingkungan teman sebaya (peer group) yang terdiri dari orang-orang yang pernah terlibat kekerasan, media massa yang menampilkan berbagai macam tayangan kekerasan, gaya hidup modern menyebabkan frustrasi, dan budaya pariarkhi yang melekat dalam masyarakat memeberikan pembelajaran kepada individu mengenai kekerasan. Terjadilah proses modelling (belajar meniru). Behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan modelmodel untuk melakukannya. 3. Kesimpulan Metodologis Penelitian ini menggunakan strategi yang sangat sederhana yaitu dengan menggunakan metode observasi yang dilakukan untuk mengamati secara langsung perilaku pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran.
121
Dalam observasi tentang kekerasan dalam pacaran ini menggunakan observasi non participant yaitu di mana peneliti tidak ikut aktif dalam melakukan kegiatan yang ada tetapi hanya sebatas mengamati perilaku pelaku dan korban kekerasan dalam pacaran. Setelah diperoleh gambaran tentang kekerasan dalam pacaran, maka perlu mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga perlu diadakan wawancara yang mendalam dengan para informan yaitu pasangan kekerasan dalam pacaran dan orang-orang terdekatnya yang mengetahui hal tersebut. Selain observasi dan wawancara peneliti juga menggunakan data sekunder sebagai tambahan dalam mendapatkan informasi. Data sekunder yang peneliti gunakan meliputi buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan kekerasan dalam pacaran. Dalam pengambilan sampel, penulis menggunakan metode purposive sampling, purposive sampling berguna untuk mendapatkan informan yang tepat untuk menguasai permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Dan secara metodologis, penelitian ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah: a. Penelitian kualitatif mampu mengungkapkan realita secara mendalam karena mengungkapkan realita internal seperti pola pikir manusia dengan
122
segala
subyektivitasnya,
emosi
dan
nilai-nilai
sehingga
mampu
memberikan gambaran realita sebagai adanya. b. Kebenaran dalam penelitian kualitatif merupakan hasil, interprestasi yang dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data. Kekurangannya adalah: a. Tidak
semua
hasil
penelitian
kualitatif
dapat
digeneralisasikan,
generalisasi hanya dapat dilakukan dalam batas waktu dan konteks penelitian. Dalam penelitian kualitatif, dimungkinkan emosi, pandangan dan prasangka peneliti ikut masuk dalam analisa atau hasil penelitian.
B. Saran 1. Bagi Korban a. Membantu pasangan yang melakukan kekerasan untuk memiliki rasa percaya diri (biasanya pasangan yang melakukan kekerasan memiliki riwayat kekerasan dan kekurangan kebutuhan kasih sayang / afiliasi); b. Bersikap tegas pada pasangan yang melakukan kekerasan (menolak kekerasan yang dilakukan oleh pasangan); c. Jika pasangan tetap melakukan kekerasan, sebaiknya berpikir dua kali untuk meneruskan hubungan dengannya; d. Berani berkata tidak;
123
e. Belajar menjadi diri sendiri. Jangan membiarkan kekerasan dalam berpacaran menimpa hanya karena ingin menyenangkan pacar. Kita bisa belajar menjadi diri sendiri. Selama sikap dan perbuatan kita positif, pertahankan. Karena peran kita lebih banyak dibentuk oleh pola pengasuhan yang dipengaruhi budaya, untuk mengubahnya kita juga harus mulai dengan proses pembelajaran baru; f. Cari dukungan, jika perlu buatlah komunitas anti kekerasan. Karena kekerasan dalam pacaran juga dipengaruhi oleh aspek budaya, untuk mengubahnya juga harus dilakukan bersama-sama secara massal. Ungkapkan dan kampanyekan pikiran kita, cari teman yang sependapat. Secara bersama terus kampanyekan keinginan kita untuk menolak kekerasan dalam berpacaran; g. Cari bantuan orang tua, teman, dan juga para ahli. 2. Bagi Pelaku a. Segera meminta bantuan pada Psikolog untuk mendapatkan terapi yang tepat untuk mengatasi pikiran-pikiran irasional, mungkin pelaku mengalami kecanduan cinta sehingga melakukan kekerasan pada pacar Anda. b. Segera menyadari bahaya dari perilakunya, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi pasangannya.
124
c. Melakukan
pengendalian
emosi
dengan
pelatihan
yoga,
latihan
pernafasan, dsb. 3. Bagi Lingkungan Sosial a. Pasangan pacaran Untuk mencegah terjadinya kekerasan pada masa pacaran, perlu membuat komitmen dengan pacar untuk tidak adanya kekerasan dalam pacaran dan menerapkan pacaran yang sehat. Adapun, pacaran yang sehat meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Adanya rasa saling percaya. 2) Adanya rasa saling menghargai. 3) Adanya waktu untuk dihabiskan oleh mereka berdua tetapi juga menghargai waktu untuk saling sendiri. 4) Tidak mengisolasi pasangan. 5) Tidak memanipulasi pasangan. 6) Adanya rasa saling memahami perasaan masing-masing. 7) Hubungan pacaran juga disertai dengan hubungan pertemanan yang akrab di antara mereka berdua. Definisikan dengan konkret makna pacaran dan bagaimana hubungan akan dibina. Pacaran seharusnya merupakan keputusan sadar dengan penuh pertimbangan dan itikad baik sepasang manusia, melibatkan aspek emosi, keyakinan, sosial, dan budaya. Tentu ada unsur pembelajaran, penghargaan, penghormatan, komunikasi yang dapat
125
menjadi pendekatan positif. Jika terjadi kekerasan dalam pacaran, berarti tujuan ini tidak tercapai lagi. b. Orang tua Mengubah paradigma dalam keluarga, bahwa kekerasan adalah salah satu bentuk pendidikan disiplin pada anak. c. Pemerintah Pemerintah harus tegas pada media, mensensor adegan kekerasan di TV dan media lain. Komite Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih tajam. Selain itu juga diadakan sosialisasi berupa kampanye, pidato dan talkshow bahwa tindakan kekerasan pada anak-anak harus dihentikan. d. Masyarakat Kepada korban, masyarakat sekitar perlu meyakinkan dia untuk berkata tidak untuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, membantunya melihat pilihan dan alternatif yang mungkin dan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Bagi pelaku kekerasan, sebelumnya perlu telusuri apa penyebab dari perilakunya tersebut, apakah ada peristiwa buruk atau perilaku traumatik sehingga dia menggunakan cara penyelesaian konflik dengan cara kekerasan atau pada penyebab lainnya. Pelaku dibantu dengan dibawa ke psikolog atau psikiater untuk melakukan konseling ataupun psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret. 2007. Surakarta. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Jurnal Perempuan. 2002. Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta : Sinar Grafika Offset. Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Set, Sony. 2009. Teen Dating Violence - Stop Kekerasan Dalam Pacaran!. Yogyakarta : Kanisius. Slamet, Y. 1990. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : UNS Press. Soekanto, Soerjono. 1999. Kamus Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Warsana, Windhu. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta. Internet: Al-Huda, Arief Bathara. 2009. Kenali dan Cegah Kekerasan dalam Pacaran. http://ariefbharata.multiply.com/journal/item/14/Kenali_dan_Cegah_Kekerasa n_dalam_Pacaran. (4 Juli 2009, 09:30 WIB)
Data dan Informasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. http://uns.ac.id// (22 Juli 2010, 19:30) Hamzah. 2008. Pacaran sebagai Alat Ukur Seleksi Pasangan http://hamzahasdullah.multiply.com. (5 Juli 2009, 15:05 WIB)
Hidup.
Krucil. 2007. Kekerasan. http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan. Html. (5 Juli 2009, 15:10 WIB) Minna, Konnichiwa. 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan Pada Masa Pacaran. http://sindy.student.umm.ac.id/2010/02/05/kekerasan-terhadap-perempuan pada-masa-pacaran/. (5 Juli 2009, 16:05 WIB) Mustika, M. Shodiq. 2009. Definisi dan Bentuk Nyata “Pacaran Islami”. http://shodiq.com/2009/03/16/definisi-bentuk-nyata-pacaran-islami.html. (5 Juli 2009, 15:05 WIB) N. S., Arika. 2007. Love Shouldn’t Hurt Sebuah Ulasan tentang Dating Violence. http://ariekaonly.multiply.com/journal/.../LOVE_SHOULDNT_HURT_sebua h_ulasan_tentang_DATING_VIOLENCE_Keke. (30 Juni 2009, 16:30 WIB) Phyrman. 2009. Tayangan Kekerasan di TV Merubah “Anak Normal” Menjadi Agresif. http://ruangstudio.blogspot.com/2009/07/tayangan-kekerasan-di-tvmerubah-anak.html. (1 Agustus 2009, 19:00 WIB) Redaksi. 2002. Pengaruh Sebaya hingga Kekerasan. http://bkkbn.go.id/. (4 Juli 2009, 10:00 WIB) Redaksi. 2007. Kekerasan dalam Pacaran: Sebuah Fenomena yang Terjadi pada Remaja. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/des/2004/ gendervaw02.htm. (1 Juli 2009, 05:05 WIB) Redaksi. 2008. Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Masih Cukup Tinggi. http://kompas.com/read/xml/2008/12/19/18564931/kasus.kekerasan.dalampac aran.masih.cukup.tinggi. (28 Juni 2009, 22:15 WIB) Redaksi. 2010. Berbagai Resiko Pacaran di Usia Belia. http://female.kompas. com/. (3 Maret 2010, 16:00 WIB)
Takwin, Bagus. 2008. Menjadi Mahasiswa. http://bagustakwin.multiply.com. (6 September 2009 15:45 WIB) http://kompas.com/kompas-cetak/0309/26/ muda/584131.htm. (4 September 2009, 12:30 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Pergerakan_Mahasiswa_Islam_Indonesia. (30 Juni 2009, 16:35 WIB) http://depdiknas.go.id/. (3 Maret 2010, 16:15 WIB) Jurnal: Chan, Ko Ling, Straus, M. A., Brownridge, Douglas A., Tiwari, Agnes And Leung, W. C. 2008. International Journal of Midwifery & Women’s Health. Amerika: Elsevier Inc. Straus, M. A. 2004. Violence Againts Dating Partner, Vol 10 No. 7. University of New Hampshire : Sage Publications.
1.
Pasangan Kekerasan dalam Pacaran
No Nama
1
Mala
Umur
22 thn
Pendidikan
D3 Fakultas
Aktivitas
Kuliah
Latar
Latar
Karakter
Kekerasan
Solusi setelah
belakang
belakang
infoman
yang terjadi
terjadi
keluarga
agaman
dalam pacaran
kekrasan
Cukup berada
Taat ibadah
Pertanian 2
Adit
23 thn
S1 Non Regular
Kuliah
Cukup berada
Fakultas Teknik
Tidak taat
Baik dan suka
Fisik dan
Memaafkan
menolong
emosional
pasangan
Cuek
Fisik dan
Berbaikan
emosional
kembali
ibadah
setelah emosi mereda 3
Tata
22 thn
D3 Fakultas
Kuliah dan
MIPA
bekerja
Cukup berada
Taat ibadah
Tanggung
Emosional
Meminta putus
jawab,
namun
humoris, rajin
kemudian
ibadah
bersedia memaafkan pasangan ketika emosi sudah mereda
4
Ryan
22 thn
D1
Bekerja
Sederhana
Taat ibadah
Tanggung
Emosional
Berbaikan 82
jawab, rajin
setelah pihak
ibadah,
yang salah
humoris
bersedia meminta maaf
7
Tya
S1 Fakultas
Kuliah
Cukup berada
Taat ibadah
Hukum
Terbuka dan
Emosional
Putus namun
royal tapi agak
beberapa saat
sombong
kemudian jadian lagi
8
Affan
25 thn
SMA
Bekerja
Sederhana
Taat ibadah
Genit dan pelit
Emosional
Putus namun beberapa saat kemudian jadian lagi
2. Teman Dekat Pelaku / Korban Kekerasan dalam Pacaran No
1
Nama Umur
Nia
Aktivitas
22 thn Kuliah
Hubungan dengan
Kekerasan dalam
Mulai mengetahui
Karakter korban /
pelaku atau korban
pacaran yang terjadi
terjadinya kekerasan
pelaku menurut
pada pelaku / korban
dalam pacaran
informan
Teman dekat Mala Fisik dan emosional
+ 1 tahun yang lalu Mala baik dan suka 83
menolong namun terkadang bersikap keras kepada pasangannya, sedangkan Adit cuek 2
Ana
22 thn Kuliah
Teman dekat Tata
Emosional
+ 2 tahun yang lalu Bertanggung jawab terhadap pekerjaan, rajin beribadah, usil, dan humoris.
3
Sari
23 thn Co ass
Teman dekat Tya
Emosional
+ 6 tahun yang lalu Terbuka, royal dan humoris, namun agak sombong, sedangkan Affan genit dan pelit.
Sumber : Data primer, diolah Maret 2010
84