FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DAN CAPAIAN TRANSFER PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PADA UMK (Studi Pengenalan Produksi Tempe Kacang Lupin Kepada Produsen Tempe) Lieli Suharti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected] Like Sugiono Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected] Yenny Purwati Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email:
[email protected] ABSTRACT Tempe is a typical and traditional food in Indonesia, also well known as product that is made with simple production technology and unstandardized. The application of technology innovation is a must to produce a high quality and hygienic tempe. The preliminary study showed there were pretty much tempe producers categorized as laggards. They will adopt a new production technology after seeing the tangible results of others. However, the study also found that there were numbers of tempe producers which can be called as innovators and early adopters. Accelerating the adoption of a new innovation in small businesses is important to enhance the competitiveness of tempe producers. Therefore, this study aimed to explore the key success factors of knowledge transfer (knowledge sharing) to accelerate the adoption of new innovations on the tempe producers. Research carried out on a number of producers especially innovators and early adopters.The results of the study show the key success factors of knowledge and technology transferred were influenced by several factors such as characteristics of technology agent, characteristics of environment, characteristics of media, characteristics of target groups, and characteristics of knowledge to be transferred. Keywords : Adoption of technology, Transfer of knowledge, Tempe producers ABSTRAK Tempe adalah makanan khas dan tradisional di Indonesia, juga dikenal sebagai produk yang dibuat dengan teknologi produksi sederhana dan tidak terstandardisasi. Penerapan inovasi teknologi adalah suatu keharusan untuk menghasilkan kualitas tinggi dan tempe higienis. Penelitian awal menunjukkan ada produsen tempe cukup banyak dikategorikan sebagai lamban. Mereka akan mengadopsi teknologi produksi baru setelah melihat hasil nyata dari orang lain. Mempercepat adopsi inovasi baru dalam usaha kecil sangat penting untuk meningkatkan daya saing produsen tempe. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan (knowledge sharing) yang mempercepat adopsi inovasi baru produsen tempe. Penelitian ini dilakukan terhadap produsen tempe kelompok innovator dan early adopter Hasil penelitian menunjukkan faktor kunci keberhasilan transfer pengetahuan dan teknologi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik agen teknologi, karakteristik lingkungan, karakteristik media, karakteristik kelompok sasaran, dan karakteristik pengetahuan yang ditransfer. Kata Kunci: Adopsi Teknologi, Transfer Pengetahuan, Produsen Tempe
PENDAHULUAN Keberhasilan usaha sangat tergantung pada kemampuan usaha menerapkan berbagai teknologi tepat guna yang dapat meningkatkan efisiensi usaha dan pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing usaha. Penggunaan teknologi yang masih sederhana dan tradisional diyakini menjadi salah satu kendala yang menyebabkan industri kecil tidak dapat maju dan berkembang secara optimal disamping kendala lain seperti terbatasnya modal, kurangnya keahlian dan keterampilan sumberdaya manusia, dan masalah manajemen (Hanani, 2003 dalam Sumarno, 2010). Indonesia sebagai negara penghasil tempe terbesar di dunia, isu meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi tempe menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian yang dilakukan Hidayat, Sukardi dan Insani (2004) memperlihatkan bahwa teknologi pengolahan tempe di Indonesia sangat bervariasi dan sebagian besar produsen masih menggunakan cara yang konvensional sehingga belum ada standar yang dapat digunakan secara nasional. Hal ini antara lain yang menyebabkan produk tempe belum mampu memperluas jangkauan pemasaran maupun menjadi pemasok bagi industri pengolahan makanan berbahan baku tempe. Julianto dan Wahyudi (2010) menemukan bahwa pelaku usaha kecil seringkali kesulitan dalam mengadopsi teknologi baru karena mereka tidak memiliki kemampuan sumber daya yang cukup dan kesulitan dalam mengelola perubahan teknologi yang berkembang dengan cepat. Dengan keterbatasan – keterbatasan tersebut, usaha kecil perlu membentuk budaya belajar untuk meningkatkan kapabilitas mengadopsi inovasi baru yang menuntun pada peningkatan daya saing. Usaha kecil akan dapat memanfaatkan inovasi baru guna peningkatan daya saing jika mereka mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk dapat memanfaatkan apa yang dipelajari. Oleh karena itu, proses transfer pengetahuan menjadi penting dalam meningkatkan kapasitas menyerap informasi dan mengadopsi inovasi teknologi baru. Beberapa tahun terakhir ini tepatnya sejak tahun 2010 telah diperkenalkan kepada para produsen tempe di Indonesia sejenis kacang bernama Lupin sebagai alternatif pengganti kacang kedele yang harganya tidak menentu. Lupin merupakan grain legume yang telah digunakan cukup lama sebagai bahan pangan dari Australia Barat. Kacang Lupin mulai diperkenalkan ke Indonesia karena memiliki manfaat dan nilai gizi tinggi serta berpotensi menjadi bahan baku pembuatan Tempe dan Tahu yang memiliki harga yang lebih murah dibanding harga kedele import dari Amerika (www.detikfinance.com, 9April 2010). Berkaitan dengan itu, maka terjadi kegiatan transfer pengetahuan dan teknologi dari pihak
pemerintah Australia Barat (Western Australia) kepada para produsen tempe di Indonesia yang tergabung dalam wadah KOPTI (Koperasi Tahu Tempe Indonesia). Studi tentang transfer pengetahuan dan teknologi menemukan adanya sejumlah faktor yang dapat menjadi kunci keberhasilan transfer teknologi seperti kelayakan sisi SDM yang menerima transfer, keberadaan media pendukung, bentuk pengetahuan/teknologi yang ditransfer, karakteristik penerima, karakteristik lingkungan dan karakteristik agen yang melakukan transfer (Bozeman, 2000; Emery, 2002; Gouza, 2006). Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa keberhasilan pemanfaatan teknologi oleh industri kecil tidak terlepas dari proses transfer pengetahuan dan teknologi. Dengan kerangka berpikir seperti yang telah dipaparkan di atas, maka muncul beberapa persoalan penelitian berikut: (1) Apa yang menjadi faktor kunci Keberhasilan Transfer pengetahuan/teknologi baru pada produsen Tempe, dan (2) Sampai tahap apa transfer pengetahuan/ teknologi baru yang dicapai para produsen tempe?.
KAJIAN PUSTAKA Transfer Pengetahuan dan Teknologi Transfer pengetahuan adalah proses atau cara para peneliti melakukan penyebaran pembuktian suatu teori atau menyebarkan pengetahuan baru (Profetto, 2004). Sedangkan, transfer pengetahuan dan teknologi oleh Sung dan Gibson (2001) didefinisikan sebagai sebuah proses komunikasi pengetahuan dan teknologi antar individu ataupun antar organisasi yang memiliki tingkat kesulitan tinggi karena memerlukan kolaborasi antara dua atau lebih individu maupun unit fungsional yang berbeda kultur budaya. Proses transfer teknologi tidak dapat terpisah dari proses transfer pengetahuan seperti yang dapat disimpulkan dari gambar berikut ini.
Gambar 1. Proses Transfer Teknologi Sumber: Roger, dkk (2012)
Pengetahuan adalah dasar dari penciptaan teknologi yang nantinya pengetahuan akan teknologi tersebut perlu ditransfer dalam mendorong adopsi dan penerapan teknologi. Devine dkk (1987) mengemukakan tiga model umum untuk menerangkan proses transfer teknologi yaitu (1)
Appropriability Model, memberikan penekanan akan pentingnya kualitas penelitian dan persaingan pasar yang kompetitif; (2) Dissemination Model yang berfokus pada penyebaran inovasi antar individu; dan (3) Knowledge Utilization Model yang menekankan pentingnya komunikasi interpersonal serta hambatan dan pendorong proses transfer dari aspek organisasi.
Knowledge Utilization Model digunakan oleh para peneliti untuk memahami proses tranfer pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan. Terkait dengan knowledge utilization model, Gibson dan Smilor (1991) mengemukakan empat tahapan dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi, seperti yang tampak pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Tahapan Proses Transfer Pengetahuan dan Teknologi Sumber: Gibson dan Smilor (1991)
Penciptaan pengetahuan dan teknologi merupakan tahap awal dari proses transfer pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, pengetahuan dan teknologi tersebut di sebarkan atau dibagikan (knowledge and technology sharing) kepada pengguna. Tahap dua ini dikatakan berhasil apabila pengetahuan dan teknologi yang disebarkan tersebut dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh pengguna. Tahap ketiga, merupakan tahap implementasi, yaitu penerapan dari pengetahuan dan teknologi yang diciptakan pada individu ataupun organisasi yang menjadi role model. Tahap terakhir dari proses transfer pengetahuan dan teknologi ini adalah komersialisasi yaitu penyebarluasan pengetahuan dan teknologi tersebut dalam skala besar. Indriartiningtias dan Wirajmadja (2012) mengembangkan model transfer pengetahuan dan teknologi bagi industri kecil berdasarkan penelaahan berbagai variabel endogen dan variabel eksogen dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi pada industri kecil, seperti yang tampak pada gambar berikut ini.
Karakteristik agent technology
Sumber daya Kepemimpinan Organisasi Arah/Tujuan Keandalan Pengalaman
Karakteristik Lingkungan
Karakteristik media
Mekanisme transfer Sistem informasi Bentuk transfer
Hubungan personal/sosial Budaya Dana Pemerintah Perguruan Tinggi
Karakteristik Industri Kecil (UMKM)
Kemampuan SDM Ketersediaan SDM Motivasi industri kecil Daya serap industri kecil
Transfer pengetahuan dan teknologi
Karakteristik Pengetahuan
Bentuk pengetahuan Kompleksitas Ambiguitas Bukti kegunaan
Gambar 3. Modifikasi Model Transfer Pengetahuan dan TeknologiIndustri Kecil Sumber: Indriartiningtias dan Wirajmadja (2012)
Keberhasilan transfer pengetahuan dan teknologi pada usaha kecil dan mikro (UKM) tergantung pada lima unsur, yaitu karakteristik dari agen teknologi, karakteristik media, karakteristik pengetahuan, karakteristik lingkungan dan karakteristik target (UKM). Mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi dalam karakteristik media dapat dipilah menjadi tipe kategori (Nokes, 2009). Mekanisme pertama adalah analogical transfer, mekanisme tranfer ini terdiri dari 3 kegiatan utama: 1) meniru pengetahuan yang telah ada, 2) melakukan pemetaan kondisi saat ini dan masalah yang dihadapi, serta 3) memanfaatkan pemetaan kondisi dan masalah untuk merumuskan solusi yang relevan dengan konteks aplikatif yang dihadapi. Tipe mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi yang kedua disebut knowledge compilation. Dalam knowledge compilation, pelaku transfer pengetahuan berusaha mencari solusi pemecahan masalah dengan merumuskan sebuah prosedur berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Tipe ketiga dari mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi disebut constraint violation, mekanisme ini juga merupakan jenis transfer prosedural namun melibatkan proses kognitif pelaku dalam menyusun sebuah pengetahuan. Di dalam mekanisme constraint violation ada kegiatan mengevaluasi dan merevisi dalam rangka menyempurnakan pengetahuan guna meningkatkan kinerja. Adapun sistem informasi dan bentuk media tranfer yang tepat dalam proses transfer pengetahuan terkait dengan bentuk pengetahuan yang ditransfer dalam proses tersebut. Merujuk pada knowledge based view dan information richness (IR) theory diperlukan adanya penyesuaian antara sistem informasi dan bentuk media transfer dengan degree of tacitness of knowledge
(Windsperger dan Gorovaia, 2010). Alternatif pilihan sistem informasi dan bentuk media transfer yang sesuai dengan bentuk pengetahuan yang ditransfer disajikan dalam gambar berikut ini.
Gambar 4. Hubungan antara sistem dan bentuk media tranfer dengan bentuk pengetahuan Sumber: (Windsperger dan Gorovaia, 2010)
Dimana semakin eksplisit bentuk pengetahuan yang ditransfer serta mudah dikoding maka media pos, media surat, email, serta media internet dapat digunakan. Di lain sisi, apabila bentuk pengetahuan yang ditransfer adalah pengetahuan tacit dan susah dikoding maka media pelatihan, media pertemuan, serta seminar lebih sesuai.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian terapan yang menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development) serta pendekatan penelitian aksi (action research). Penelitian ini dilakukan di Kotamadya Salatiga, Propinsi Jawa Tengah dengan populasi pengusaha kecil yang bergerak dalam industri tempe. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada kondisi sosial dan perekonomian pengusaha kecil tempe yang bisa menggambarkan situasi penelitian. Pertimbangan lainnya adalah mendukung usaha Primkopti Jawa Tengah dalam menciptakan teknologi baru untuk menunjang kegiatan produksi tempe yang lebih efisien dan lebih higienis. Populasi dari penelitian ini adalah produsen tempe di Kotamadya Salatiga serta Pengurus PRIMKOPTI Propinsi Jawa Tengah dan Jakarta Pusat. Produsen tempe yang menjadi responden atau nara sumber dalam penelitian ini adalah produsen yang termasuk kategori Early adopter dan Innovator yang memenuhi kriteria berikut: 1) ikut serta atau menghadiri pertemuan – pertemuan PRIMKOPTI mengenai penggunaan kacang lupin sebagai bentuk teknologi baru, serta 2) telah mencoba mengolah kacang lupin menjadi produk tempe dan produk makanan olahan lainnya. Data-data diperoleh dengan pendekatan focus group discussion (FGD) dan in-depth interview.
HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Kunci Keberhasilan Proses Transfer Pengetahuan/teknologi pada UMK Karakteristik Agen Gambaran proses transfer pengetahuan dan teknologi dari sudut agen akan dilihat dari faktor sumber daya, kepemimpinan agen, keandalan organisasi, kejelasan arah tujuan dan pengalaman akan pengetahuan/teknologi yang ditransfer. Pengenalan tentang Kacang Lupin ke produsen tempe di Indonesia dilakukan melalui organisasi WATO (Western Australian Trade Organization). Lupin pertama kali di perkenalkan ke Indonesia pada tahun 2009 di wilayah Jakarta, yang kemudian dilanjutkan ke berbagai wilayah lain seperti Jawa tengah, Jawa timur dan Bali. Dengan terlibatnya secara langsung pihak pemerintah dari Australia menunjukkan keseriusan pihak agen untuk mensukseskan program transfer pengetahuan tentang Lupin ini kepada pelaku usaha tempe di Indonesia. Dari perspektif organisasi, nampak bahwa keberadaan organisasi agen cukup meyakinkan. Dalam melakukan pendekatan kepada pihak pengguna (user) di Indonesia, pihak agen selalu menunjuk pihak yang memiliki wibawa. Untuk proses transfer pengetahuan tentang Lupin kepada pihak Primkopti di Jakarta, pihak yang dilibatkan antara lain menteri Pangan dan Pertanian Australia Barat (Mr. Terry Redman), Mr. Martin Newbery (Regional Diretor of WATO) dan Mr. Bralen dari kedutaan Australia di Indonesia. Wakil dari pihak agen melakukan turun lapangan secara langsung. Mereka memiliki gaya kepemimpinan yang partispatif terlihat dari sejumlah upaya yang dilakukan pihak LUPIN untuk mendapat masukan dari pelaku bisnis di Indonesia, melalui sejumlah kegiatan FGD maupun melalui kegiatan gathering. Berbagai kegiatan yang dilakukan pihak agen untuk mengintrodusir kacang Lupin di Indonesia dari tahun 2009-2014 memperlihatkan adanya kejelasan arah, perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai. Adapun gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan pihak agen untuk proses transfer pengetahuan dan teknologi produksi tempe Lupin dari tahun 2009 sd tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 1. Kegiatan yang dilakukan pihak Agen (Produsen Lupin) Tahun 2009 Maret 2010
Juni
Hal Hal yang dilakukan pihak agen (produsen Lupin) Kacang Lupin mulai diperkenalkan ke Primkopti Jakarta, waktu itu kacang lupin masih berbentuk butir kacang lupin yang belum dikupas. Melibatkan LIPI melalui kerja sama dengan Curtin University Australia, dengan disponsori oleh Grain Foods CRC ltd. Australia, meneliti kualitas dan kesesuaian kacang Lupin sebagai pengganti kacang kedele untuk memproduksi tempe dan menghasilkan rekomendasi penggunaan kacang lupin sebagai bahan baku pembuat tempe lupin, Melalui kementrian Pertanian dan Pangan Australia barat bekerja sama dengan Primkopti
Tahun 2010
Hal Hal yang dilakukan pihak agen (produsen Lupin) Jakarta pusat melakukan sosialisasi pembuatan tempe dari kacang Lupin kepada produsen tempe di Jakarta dan sekitarnya. Sosialisasi di lakukan di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Sept Melakukan tes kualitas produk Tempe Lupin oleh konsultan dari LIPI. Tempe Lupin yang 2010 diuji merupakan hasil produksi produsen tempe anggota PRIMKOPTI Jakarta Pusat yang memproduksi sejumlah 100 potong Jan Memberikan contoh sampel gratis kacang Lupin tanpa kulit sebanyak 1 container untuk 2011 kepada sejumlah produsen tempe untuk membuat tempe Lupin. Pada tahap ini telah dilakukan percobaan penjualan hasil produksi ke beberapa area di Jabodetabek Mei 2011 Melakukan Promosi pembuatan tempe lupin untuk bahan dasar pizza di Sanur Hotel Bali dengan melibatkan chef dari WA bernama Theo Kalogeracos. Agustus Bersama dengan pihak IPB mengadakan seminar Nasional dengan tema: “Price Volatility of 2012 Soybean and It’s Solutions” di IPB International Conference Centre 2012 Pihak Lupin Mengadakan pertemuan di Hotel Sheraton Surabaya dengan mengundang wakil produsen dari 5 Primkopti, dan PT Inja selaku importir Lupin 2012 Bapak H. Slamet Hanafie dan Bp Suyoto selaku pengurus Primkopti Jakarta Pusat berkunjung ke Australia Barat atas undangan pihak Lupin. 2013 Pihak Lupin dengan di fasilitasi Primkopti Jakarta Pusat gencar memperkenalkan lupin keprodusen tempe di Salatiga, Purwodadi, Surabaya dan Bali 2014 Melihat tanggapan pasar yang lamban terhadap tempe Lupin, bahkan cenderung menolak, produsen (agen) melakukan berbagai upaya penyempurnaan proses produksi tempe Lupin Sumber: Hasil Wawancara dengan Primkopti Jakarta, 2014
Dari sisi sumber daya yang dimiliki, pihak agen mampu meyakinkan bahwa ketersediaan Lupin akan dapat dipenuhi dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa luas lahan areal penanaman di Australia Barat masih terbuka lebar dan memiliki potensi besar untuk budidaya tanaman kacang Lupin sehingga dapat menjamin ketersediaan supply jangka panjang. Selain luas areal tanam, produsen Lupin di Australia juga memiliki tenaga petani yang terampil dan skillfull. Disamping itu pihak agen selalu berusaha meyakinkan akan komitmen mereka menyediakan bahan baku kacang Lupin yang berkualitas dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal itu ditunjukkan dari usaha produsen Lupin
menyempurnakan kacang Lupin dari yang semula masih berkulit -- sehingga
menambah biaya dan waktu dalam pengolahan untuk dibuat tempe--, menjadi kacang Lupin yang sudah bersih dari kulit sehingga dapat diolah dengan proses produksi yang lebih efisien. Untuk meyakinkan pihak Indonesia akan dukungan sumberdaya mereka, maka pengurus Primkopti Jakarta pusat dan sekretarisnya (bp. H.Slamet Hanafie & bp. Suyoto) diajak berkunjung ke Australia pada tahun 2013 guna menyaksikan sendiri kondisi dan potensi sumberdaya pendukung disana. Australia Barat merencanakan akan memenuhi 70% dari kebutuhan impor domestik kacang kedele yaitu sejumlah 1,2 juta ton kacang Lupin Ke Indonesia (The West Australian news, 10 Nov 2010).
Karakteristik Media Pembahasan mengenai karakteristik media dalam hal ini akan mencakup mekanisme transfer, sistem informasi dan bentuk transfer. Mekanisme transfer pengetahuan untuk produk
kacang Lupin dilakukan dengan membawa contoh bentuk fisik kacang Lupin dari Australia untuk diperlihatkan langsung kepada para produsen tempe. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengurus Primkopti Jakarta Pusat diperoleh informasi bahwa kacang lupin telah diperkenalkan pada tahun 2009 berupa butiran kacang Lupin berkulit. Karena kacang Lupin berkulit menimbulkan in efisiensi dalam proses produksi tempe, maka pada tahun 2011 Pihak produsen Lupin berhasil membuat kacang Lupin bebas kulit. Pada awalnya pihak produsen Lupin telah memiliki pengetahuan awal mengenai prosedur pengolahan lupin menjadi tempe Lupin yang kemudian didesiminasikan kepada produsen, yaitu sebagai berikut 1) butiran kacang lupin direndam air yang memiliki pH 4,5 selama 12 sampai 20 jam dalam suhu ruang dengan perbandingan 3 liter air untuk 1 kg kacang lupin; 2) Setelah ditiriskan, kacang lupin tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih selama 2-10 menit; 3) Tiriskan dan diberi ragi lalu dikemas (www.lupinfoods.com.au/ indonesian-information-for-tempe-producers/). Namun prosedur awal
pembuatan tempe
Lupin ini ternyata tidak menghasilkan produk tempe seperti yang diharapkan diberbagai daerah. Hasil produksi tempe Lupin berlendir dan kalau dijadikan tempe goreng menjadi keras. Hal ini disebabkan kacang Lupin banyak mengandung gluten disamping keberhasilan pembuatan tempe sangat tergantung pada kondisi air serta suhu udara setempat. Hal ini kemudian mendorong pihak produsen menggunakan mekanisme transfer lain yaitu memberikan sampel gratis kepada sejumlah produsen di sejumlah daerah (Salatiga, Surabaya, Purwokerto, Bali) untuk diuji coba oleh para produsen dalam membuat tempe dari Lupin dengan maksud untuk memperoleh sebuah proses produksi yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Dari hasil wawancara dan FGD terungkap ada kegiatan evaluasi dan revisi secara terus menerus yang didasarkan pada aspek kognitif terhadap hasil pengetahuan yang ditransfer setiap tahapnya untuk menyempurnakan kinerja produk yang dihasilkan. Mekanisme transfer pengetahuan dan teknologi terkait dengan penggunaan kacang Lupin sebagai pengganti bahan baku kedele dalam proses pembuatan tempe yang terjadi di kalangan UMK produsen tempe anggota Primkopti dapat dikategorikan sebagai constraint violation. Merujuk Nokes (2009), constraint violation merupakan jenis transfer prosedural namun melibatkan proses kognitif pelaku dalam menyusun sebuah pengetahuan. Di dalam mekanisme constraint violation ada kegiatan mengevaluasi dan merevisi dalam rangka menyempurnakan pengetahuan guna meningkatkan kinerja. Sistem informasi dalam proses transfer pengetahuan yang terjadi di kalangan UMK produsen tempe anggota Primkopti dimulai dari pengurus Primkopti Jakarta Pusat yang bekerjasama dengan produsen kacang lupin Australia. Dimana bentuk media transfer
pengetahuan yang dipilih adalah melalui media pertemuan, Bapak Haji Slamet melakukan kunjungan ke beberapa Primkopti di daerah seperti Malang, Purwodadi, Salatiga, dan Bali untuk membagikan pengetahuan prosedur pengolahan kacang lupin menjadi produk tempe. Media pelatihan juga dipilih dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi yang berlangsung ditengah produsen tempe anggota Primkopti. Sebagai contoh, Ibu Nurchayati dari Salatiga yang dinilai berhasil dalam memproduksi tempe dan kripik tempe berbahan baku kacang lupin diminta untuk melatih produsen tempe di Bali. Selain media pertemuan dan media pelatihan, media massa serta media internet juga menjadi alternatif bentuk media terpilih dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi produsen tempe anggota Primkopti. TEMPO adalah salah satu media massa yang pernah mengulas mengenai pemanfaatan kacang
lupin
oleh
produsen
tempe
di
Malang
(www.tempo.co/read/news/2014
/01/26/090548396/Perajin-Tempe-di-Malang-Tergoda-Kacang-Lupin). Selain itu tersedia juga
web khusus mengenai kacang lupin yang dikelola oleh pihak produsen Australia
www.lupinfoods.com.au/, dimana disajikan mengenai berbagai informasi maupun cara pengolahan kacang lupin. Penelitian ini menemukan perkembangan proses transfer pengetahuan produsen tempe di Jakarta cenderung stagnan dikarenakan aliran informasi hanya terhenti pada tataran pengurus sehingga penciptaan pengetahuan kurang berkembang. Lain halnya dengan produsen tempe di Salatiga yang lebih berhasil proses transfer pengetahuannya dikarenakan adanya aliran informasi dua arah antara pengurus dan anggota dimana anggota berperan aktif dalam kegiatan transfer pengetahuan, berpartisipasi aktif melakukan evaluasi dan revisi sehingga tercipta pengetahuan baru, serta adanya kegiatan berbagi pengetahuan antar anggota dan pengurus melalui pertemuan – pertemuan rutin. Merujuk pada knowledge based view dan information richness (IR) theory diperlukan adanya penyesuaian antara sistem informasi dan bentuk media transfer dengan degree of tacitness of knowledge (Windsperger dan Gorovaia, 2010). Semakin eksplisit bentuk pengetahuan yang ditransfer serta mudah dikoding maka media pos, media surat, email, serta media internet dapat digunakan. Di lain sisi, apabila bentuk pengetahuan yang ditransfer adalah pengetahuan tacit dan susah dikoding maka media pelatihan, media pertemuan, serta seminar lebih sesuai. Dengan demikian terlihat bahwa proses transfer pengetahuan /teknologi kacang Lupin ini telah menggunakan media yang tepat.
Karakteristik Pengetahuan Karakteristik pengetahuan meliputi bentuk, kompleksitas, ambiguitas, dan bukti penggunaan. Untuk pembuatan tempe lupin, pengetahuan yang terjadi terbagi dalam pengetahuan mengenai kacang lupin dan pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe lupin. Pengetahuan mengenai kacang lupin merupakan karakteristik kacang lupin berupa wujud fisik (utuh, kupas, dan pecah biji), jenis tanaman, kandungan gizi, rasa dan kegunaan. Responden produsen tempe di Jakarta memperoleh pengetahuan mengenai kacang lupin dari pihak produsen kacang lupin, sedangkan untuk responden produsen tempe di Salatiga memperoleh pengetahuan dari pihak produsen kacang lupin dan pengurus Primkopti Jakarta yang telah memperoleh transfer pengetahuan tentang kacang Lupin terlebih dahulu. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai kacang lupin merupakan pengetahuan explicit, karena dapat diformulasikan. Karakteristik pengetahuan untuk kacang lupin yang diperoleh oleh Primkopti Jakarta dan Salatiga tertuang dalam tabel berikut. Tabel 2. Karakteristik Pengetahuan mengenai Produk Lupin Karakteristik Bentuk
Kacang Lupin Secara fisik kacang lupin terdiri dari bentuk utuh, kupas, dan pecah biji teridentifikasi. Kompleksitas Memiliki kandungan gluten yang tinggi, tidak dapat direbus karena akan menggumpal walaupun dapat digunakan untuk membuat tempe, tapi proses produksi tidaklah sama,dan tempe yang dihasilkan cenderung berlendir kalau digoreng cenderung memiliki tekstur yang keras Ambiguitas Kacang lupin sebagai bahan substitusi atau komplementer dalam produksi tempe, karena karakter produk yang “mirip” dengan kacang kedele tetapi “tidak sama” dengan kacang kedele. Bukti Penggunaan Kandungan gizi dalam kacang lupin telah diuji cobakan kepada pihak ketiga dan terbukti memiliki nilai gizi tinggi (Hasil uji Laboratorium IPB) Telah digunakan sebagai bahan dasar pembuatan berbagai jenis makanan di Australia (www.lupinfoods.com.au/indonesian-information-for-tempeproducers/). Telah di uji coba sebagai bahan dasar membuat tempe oleh pengurus dan produsen tempe Primkopti Jakarta. Sumber: Hasil in-depth interview diolah, 2014
Pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe lupin, menggunakan dasar pengetahuan pembuatan tempe kacang kedele yang telah dimiliki oleh produsen tempe. Tahapan pembuatan tempe secara umum adalah sama melalui proses perendaman, pencucian, perebusan, dan pemberian ragi. Pengetahuan tahapan umum tersebut tersimpan dalam pikiran produsen tempe, tetapi dapat diformulasikan. Untuk detil setiap proses pembuatan tidak dengan mudah diformulasikan karena pengalaman dan kerahasiaan produk untuk dapat bersaing menjadi bagian pengembangan pengetahuan tersebut. Pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe merupakan tacit yang dapat diubah menjadi explicit. Oleh karena itu
karakteristik pengetahuan mengenai proses pembuatan tempe Lupin menunjukkan adanya perbedaan beberapa karakteristik antara produsen tempe di Primkopti Jakarta dengan produsen tempe di Primkopti Salatiga seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut Tabel 3. Karakteristik Pengetahuan mengenai Proses Pembuatan Tempe Lupin Karakteristik Bentuk
Primkopti Jakarta Pengetahuan pengurus dan produsen untuk tahapan pembuatan tempe merupakan hasil turun temurun dan pengalaman menjalankan usaha. Perbedaan pada setiap produsen terjadi karena modifikasi (tahapan, waktu proses dan komposisi) untuk kepentingan keunggulan bersaing. Pengetahuan pemrosesan tempe lupin difasilitasi oleh pengurus Primkopti Jakarta. Tahapan dalam proses pembuatan tempe lupin dirancang sama dengan tahapan dalam proses pembuatan tempe kedele. Sehingga membantu mempercepat penyerapan pengetahuan pembuatan tempe lupin. Kompleksitas Kompleksitas muncul dalam tahap uji coba untuk proses pembuatan tempe Lupin karena perbedaan karakter kacang lupin dengan kacang kedele. Untuk mengatasi kondisi tersebut, pihak produsen mencoba menggali dari pihak ketiga dengan pendekatan ilmiah. Ambiguitas Standarisasi proses karena karakteristik produk kacang lupin tidak sama dengan kedele. Bukti Tempe yang dihasilkan dari kacang lupin memiliki waktu pemrosesan yang relatif Penggunaan lebih pendek dibandingkan dengan pemrosesan tempe kedele, sehingga lebih efisien dan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produsen. Pengrajin tempe di Salatiga mengolah menjadi produk turunan yang dapat mengatasi kekerasan dan berlendirnya produk tempe lupin. Sumber: Hasil in-depth interview diolah, 2014
Berdasarkan pendapat dan uji coba produsen menggunakan kacang lupin sebagai bahan dasar pembuatan tempe menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai produk lupin maupun proses pembuatan tempe kacang lupin mudah dipahami bagi produsen baik dari Primkopti Jakarta maupun Primkopti Salatiga. Ambiguitas pengetahuan yang muncul adalah setelah proses uji coba pembuatan tempe kacang lupin. Pada awal pengetahuan yang dipahami oleh produsen, kacang lupin adalah barang substitusi untuk kacang kedele dalam pembuatan tempe. Tetapi setelah uji coba dilakukan dan masih adanya masalah berkaitan dengan produk tempe kacang lupin (berlendir dan keras kalau digoreng) dan adanya ketidak stabilan harga kacang lupin, maka terjadi pergeseran dari produk substitusi menjadi komplementer dalam pembuatan tempe. Apabila masalah hasil produk tempe kacang lupin yang berlendir dan lengket dapat diatasi, maka produsen mempertimbangkan untuk menggunakan kacang lupin sebagai produk substitusi bahan baku kacang kedele, tetapi jika masalah tidak dapat diatasi yang paling memungkinkan adalah menggunakan sebagai barang komplementer dalam pembuatan tempe.
Karakteristik UMK Karakteristik UMK dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi mencakup kemampuan dan ketersediaan SDM, motivasi UMK serta daya serap UMK. Dari segi ketersediaan SDM dapat dikatakan di kedua wilayah amatan yaitu Jakarta Pusat dan Salatiga memiliki jumlah produsen tempe yang cukup banyak. Berdasarkan rekapitulasi data anggota, PRIMKOPTI Jakarta Pusat memiliki 504 orang anggota pada tahun 2010 (Daftar Anggota Primkopti Jakarta Pusat, 2010). Sedangkan pada tahun 2012 tercatat 424 orang produsen tempe merupakan anggota PRIMKOPTI Handayani Salatiga (Daftar Anggota Primkopti Salatiga, 2012). Terkait dengan kemampuan dan daya serap UMK terhadap pengetahuan dan teknologi baru diwakili oleh tingkat adopsi produsen UMK. Suharti dkk (2013) menemukan bahwa lebih dari 50% produsen tempe anggota PRIMKOPTI Salatiga terkategori sebagai innovator, early adopter dan early majority. Berdasarkan temuan ini dapat diduga bahwa produsen tempe Salatiga memiliki kemampuan dan daya serap yang baik dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi. Dugaan ini diperkuat dengan temuan cukup tingginya jumlah produsen tempe (30 orang) yang melakukan uji coba pengolahan kacang lupin sebagai bahan baku tempe (Daftar Hadir FGD, 2014). Terkait perihal motivasi UMK, aspek ini menjadi salah satu penentu perbedaan hasil proses transfer pengetahuan dan teknologi di Jakarta Pusat dengan Salatiga. UMK produsen tempe di Jakarta Pusat terbilang telah memiliki kapasitas produksi dan pemasaran yang cukup besar, rata – rata per produsen membutuhkan bahan baku kedelai 55 kg per hari (Daftar Anggota Primkopti Jakarta Pusat, 2010) dimana berdasarkan keterangan Bapak Haji Slamet jumlah produksi produsen setiap harinya selalu habis. Kestabilan aspek pemasaran tersebut mendorong produsen tempe Jakarta Pusat enggan mencoba sesuatu yang baru dan belum pasti, seperti mengolah Lupin sebagai bahan baku tempe pengganti kedele. Oleh karena itu dapat disimpulkan motivasi UMK produsen tempe dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi ini rendah dan mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok adopter late majority dan laggards. UMK produsen tempe Salatiga memiliki kapasitas produksi dan kapasitas pemasaran lebih rendah dimana rata – rata kebutuhan kedelai per hari adalah 16 kg untuk perorangan. Hal ini menyebabkan produsen memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk mempelajari sesuatu yang baru yang dapat meningkatkan kapasitas usaha serta kemampuan bersaing mereka. Hal ini terlihat melalui antusiasme mereka dalam proses FGD dimana produsen yang belum sukses dalam mengolah kacang lupin mendengarkan dan bertanya secara aktif. Sebagai contoh Bapak Amat Rohim, salah satu produsen yang telah mencoba kacang lupin
namun berhenti di tengah jalan karena produk yang dihasilkan tidak sesuai harapan dan keinginan pasar. Bapak Amat Rohim secara antusias bertanya kepada Bapak Basori dan Ibu Nurchayati selaku produsen yang telah berhasil dalam mengolah kacang lupin mengenai proses dan perlakuan yang mereka lakukan sehingga produk yang dihasilkan sesuai yang diharapkan. Motivasi para produsen tempe di Salatiga yang tinggi semakin jelas terlihat dengan adanya berbagai upaya inovasi produk turunan dari tempe Lupin yang dikembangkan oleh mereka setelah hasil produk tempe Lupin kurang dapat diterima pasar. Sejumlah produk turunan tempe Lupin yang dihasilkan produsen tempe Primkopti Salatiga antara lain Kripik tempe Lupin (Bapak Basori dan Ibu Nurchayati), Minuman instant kacang Lupin (Bapak Eko susilo), pia Lupin (Bapak Slamet). Ke semua produk turunan tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan memberi sumbangan nilai tambah yang jauh lebih besar kepada produsen tempe daripada menjual dalam bentuk tempe mentah.
Karakteristik Lingkungan Berbagai upaya telah
dilakukan pihak Lupin dalam konteks menjalin relasi/
hubungan sosial/personal dengan berbagai pihak yang dihormati dalam lingkungan produsen tempe di Indonesia. Untuk memperkenalkan kacang Lupin di Indonesia khususnya di Jakarta dilakukan dengan menggandeng pihak Primkopti Jakarta Pusat yang menjadi pendiri dan perintis berdirinya Kopti di Indonesia. Melalui Kopti pusat ini pihak Lupin juga berharap pendekatan kepada pihak pemerintah akan lebih mudah. Selanjutnya untuk transfer pengetahuan dan teknologi tentang Lupin ke produsen tempe diwilayah lain seperti di Kotamadya Salatiga, maka pihak Lupin mengandalkan pihak Primkopti Jakarta sebagai kepanjangan tangan pihak Lupin. Wawancara dengan bapak haji Slamet Ketua pengurus Primkopti Jakarta dapat disimpulkan bahwa ada hubungan sosial yang dekat dan terjalin baik antara Primkopti di daerah dengan Primkopti Jakarta. Hal ini dipercaya menjadi salah satu faktor yang menjadikan sosialisasi dan transfer pengetahuan mengenai kacang Lupin dapat diterima dengan baik di sejumlah Primkopti daerah termasuk Salatiga. Selain itu Pihak WATO / Lupin juga secara sistematis dan terencana menggandeng dan melibatkan pihak perguruan tinggi seperti Curtin University di Australia dan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta lembaga riset LIPI di Indonesia untuk menguji kelayakan nilai gizi Lupin sebagai substitusi kacang kedele untuk produksi tempe. Upaya ini cukup meyakinkan pihak Primkopti maupun produsen tempe akan manfaat dan nilai gizi kacang Lupin. Hal ini seperti yang diakui oleh seorang nara sumber dari Salatiga (Pak Amat Rohim) sebagai berikut:
“Kalau dari sudut khasiat kacang Lupin bagi kesehatan kami tidak meragukan, yang penting kacang Lupin dapat digunakan sebagai bahan pengganti kedele dan dapat diterima oleh pasar..”.
Peranan pihak Pemerintah sangat penting dalam kaitannya dengan ketersediaan kacang lupin sebagai substitusi kacang kedele. Salah satu hal yang akan menjadi nilai tambah bagi produsen tempe dengan mengadopsi lupin adalah apabila harga kacang Lupin bisa lebih murah dibanding harga kacang kedele. Untuk itu adanya pembebasan bea masuk terhadap kacang Lupin menjadi penentu harga kacang Lupin. Berbagai upaya telah dilakukan pihak Lupin bersama Primkopti Jakarta untuk memuluskan import kacang Lupin dengan pembebasan bea masuk, namun sampai sekarang hal tersebut belum terealisasi dan masih dalam proses. Selain berbagai aspek lingkungan di atas yang telah diakomodir dengan baik oleh pihak produsen Lupin, faktor lain yang penting juga untuk diperhatikan adalah aspek social budaya dan juga pasar. Seperti yang kita ketahui, tempe menjadi makanan yang sudah merakyat di Indonesia, dan bagi konsumen tempe di Indonesia tempe identik dengan kacang kedele. Sehingga berbagai upaya untuk mensubstitusi kacang kedele dengan bahan baku lain untuk pembuatan tempe perlu mempertimbangkan aspek sosial budaya dan persepsi konsumen diIndonesia. Kenyataannya setelah kacang Lupin diperkenalkan hampir selama 5 tahun sejak tahun 2009, tempe Lupin belum dikenal luas di pasar Indonesia. Hal ini diduga sangat erat berhubungan dengan lingkungan Indonesia yang memiliki nilai-nilai dan budaya yang khas berkaitan dengan persepsi terhadap suatu makanan tradisional. Penerimaan Pasar atau Konsumen menjadi salah satu aspek yang sangat penting ditemukan dalam penelitian ini. Hasil produksi tempe Lupin yang ternyata bertekstur lebih keras dan berlendir dibanding tempe dari kedele membuat produk tempe sulit diterima oleh konsumen pecinta produk tempe di Indonesia. Dalam benak konsumen, tempe Lupin yang secara fisik bentuknya hampir sama dengan tempe Kedele diharapkan juga memiliki rasa yang sama dengan tempe kedele. Lain halnya dengan tempe “benguk” maupun tempe “koro” yang dapat diterima sebagian mayarakat Indonesia karena bentuk dan teksturnya berbeda dengan tempe kedele, sehingga konsumen dapat menerima “rasa khas” yang memang berbeda dengan tempe berbahan kedele. Kurang diterimanya produk tempe Lupin oleh konsumen menjadi salah satu alasan berhentinya produsen tempe di Jakarta meneruskan memproduksi tempe Lupin. Demikian juga produsen tempe di Primkopti Salatiga, juga tidak memproduksi tempe Lupin untuk dijual ke konsumen dalam bentuk tempe mentah,
melainkan diproses lagi menjadi produk turunan seperti kripik Lupin, pia Lupin dan lain sebagainya yang dapat diterima pasar.
Capaian Tahap Transfer Pengetahuan dan Teknologi padaUMK Tempe Gibson dan Smilor (1991) mengemukakan ada empat tahapan dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi, yaitu tahap creation, sharing, implementation dan commercialization. Pada kasus transfer pengetahuan/teknologi Lupin ini juga melewati beberapa tahap.
Yang
menarik ditemukan dalam penelitian adalah bahwa tahap Creation dalam proses transfer pengetahuan kacang Lupin cukup panjang. Pertama-tama,
dilakukan sosialisasi tentang
kacang lupin sebagai bahan baku kepada produsen tempe. Selanjutnya pengembangan pengetahuan yang terjadi mengalami proses internalisasi untuk awal pengetahuan proses pembuatan kacang lupin. Kondisi ini sangat menarik karena untuk menemukan proses pembuatan tempe lupin, pihak agen sebenarnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk proses pembuatan tempe. Sehingga pengembangan untuk menemukan pengetahuan tersebut dilakukan oleh produsen. Hasil uji coba dari para produsen tempe berlanjut pada proses sharing pengetahuan yang dimiliki oleh produsen, produsen, ahli gizi, uji coba pelanggan, dan lembaga perguruan tinggi untuk pendekatan ilmiah menuju formulasi yang tepat terkait pembuatan tempe lupin. Semua kegiatan ini termasuk dalam tahap Creation. Yang menarik disini, dalam tahap Creation juga terjadi kegiatan Sharing, seperti kegiatan sharing pengetahuan/ teknologi produksi tempe Lupin awal dari Primkopti Jakarta ke Primkopti Salatiga. Dalam tahap sharing terjadi juga penciptaan pengetahuan baru dari hasil memadukan hasil uji coba masing-masing produsen dalam membuat tempe Lupin. Tahap sharing terjadi ketika produsen saling berdiskusi dalam forum FGD maupun pertemuan non formal berbagi pengalaman untuk menyempurnakan hasil tempe lupin. Dengan demikian, dalam penelitian ini ditemukan tahap Creation berjalan bersama dengan tahap Sharing. Pada umumnya kegiatan transfer pengetahuan dan teknologi pembuatan tempe menggunakan kacang Lupin baik
pada produsen tempe dari Primkopti Jakarta maupun
produsen tempe dari Primkopti Salatiga telah sampai pada tahap Implementasi. Produsen tempe di Jakarta telah berhasil membuat tempe Lupin dan telah mencoba memasarkan pada kalangan terbatas. Namun karena tidak mendapat respon positif dari pasar, produsen tempe dari Primkopti Jakarta berhenti memproduksi tempe Lupin yang berarti tidak melanjutkan sampai tahap komersialisasi (commercialization stage). Hasil penelitian menemukan hal yang berbeda menyangkut tahap transfer pengetahuan /teknologi ini pada produsen tempe di Salatiga yang lebih berhasil dibandingkan
produsen di Jakarta. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa produsen yang telah memasuki tahap komersialisasi dengan memproduksi produk turunan dari kacang lupin lainnya, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tempe Lupin yang berlendir dan kurang disukai konsumen. Beberapa produsen seperti Bu Nurchayati dan Bapak Basori yang membuat kripik tempe Lupin mendapat tanggapan positif dari pasar dan sering kewalahan melayani permintaan konsumen. Capaian tahapan dalam Proses transfer pengetahuan dalam pembuatan tempe lupin ini dapat digambarkan sebagai berikut. Creation:
Implementation:
Bahan Baku Lupin
Formulasi Pembuatan tempe Lupin
3
2
Produsen Lupin
Kajian Ilmiah 1
Organisasi Primkopti Jakarta
Pembahasan
Pengenalan produk Lupin oleh Produsen kepada pengurus di Primkopti Jakarta Proses Pembuatan Tempe Lupin
Uji Coba
Mengeumpulkan pengetahuan kelompok, untuk membangun konsep baru proses pembuatan tempe lupin sesuai dengan karakter bahan baku.
Analisis Hasil Tempe Lupin
Berbagi pengetahuan untuk mengatasi masalah lendir dalam forum non formal dan FGD
5
Evaluasi Hasil Tempe Lupin Proses pembuatan tempe lupin menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pengrajin tempe kedele di Primkopti Jakarta.
Commercialization: Formulasi Pembuatan tempe Lupin
Uji Coba: pelanggan
Ahli gizi
Sharing: Pengenalan produk lupin dan proses pembuatan tempe lupin oleh Pengurus Primkopti Jakarta kepada pengrajin tempe kedele dibawah binaan Primkopti Salatiga
Pengrajin
Produsen
Organisasi Primkopti Jakarta
Organisasi Primkopti Salatiga
Transfer pengetahuan untuk dibagikan kepada orgranisasi lainnya
7
6
Inovasi Produk turunan untuk mengatasi lendir dan selera konsumen
Proses pembuatan tempe lupin menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pengrajin tempe kedele di Salatiga. 4
Gambar 5. Capaian Tahapan Proses Transfer Pengetahuan Pembuatan Tempe Lupin Sumber: Hasil in-depth interview diolah
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menemukan bahwa proses transfer pengetahuan dan teknologi di kalangan produsen tempe baik untuk anggota primkopti Jakarta maupun Primkopti Salatiga telah berjalan baik. Hal ini terlihat dari capaian transfer yang telah mencapai tahap implementasi untuk Primkopti Jakarta dan tahap komersialisasi untuk produsen tempe di Primkopti Salatiga. Sejumlah faktor yang ditemukan menjadi kunci sukses dalam proses transfer pengetahuan dan teknologi kepada UMK tempe ini adalah: 1. Pihak agen harus memiliki keandalan organisasi dan dukungan sumber daya yang memadai. Pihak agen mampu menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri.
2. Menggunakan media yang meliputi mekanisme dan bentuk transfer yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik target yang akan ditransfer. Kepada UMK mekanisme transfer dilakukan melalui pemberian sampel, uji coba, pelatihan, pertemuan, media massa serta media internet mrupakan karakteristik media yang sesuai digunakan untuk transfer pengetahuan tacit seperti proses pembuatan tempe dari kacang Lupin dalam penelitian ini 3. Bentuk dan kegunaan pengetahuan dan teknologi yang ditransfer haruslah jelas, eksplisit dan tidak menimbulkan ambiguitas. Dalam penelitian ini ditemukan ambiguitas pengetahuan dan teknologi yang ditransfer membuat kegiatan transfer berjalan lamban 4. Faktor lingkungan terutama hubungan sosial dalam proses transfer merupakan salah satu kunci sukses yang penting. Dalam penelitian ini upaya pihak agen (produsen) menggandeng pengurus Primkopti Jakarta untuk membantu kegiatan transfer pengetahuan bagi primkopti primkopti didaerah merupakan satu langkah yang cerdik. Hubungan sosial yang baik antara Primkopti Jakarta selaku pendiri Primkopti dengan primkopti daerah dapat memuluskan kegiatan transfer dari pihak agen kepada primkopti daerah. 5. Faktor lingkungan berkaitan dengan penerimaan pasar juga menjadi penentu keberhasilan transfer. Kegiatan transfer bagi para produsen tempe di Jakarta tidak sampai tahap komersialisasi karena pasar belum dapat menerima tempe kacang Lupin. Dari hasil FGD dan penelitian yang dilakukan sebenarnya ditemukan bahwa para produsen tempe tidak merasa keberatan maupun menghadapi kesulitan dalam mengadopsi kacang Lupin sebagai pengganti kedele, asal produk tempe Lupin dapat diterima konsumen sehingga produksi mereka dapat laku terjual. 6. Motivasi target dalam hal ini UMK tempe sangat menentukan keberhasilan transfer. Produsen tempe di Salatiga lebih berhasil dibandingkan di Jakarta Pusat disebabkan antara lain motivasi UMK di salatiga sangat tinggi untuk berkreasi dan berinovasi sehingga dapat menghasilkan produk turunan tempe Lupin yang dapat dikomersialisasi. Lain halnya dengan produsen di Jakarta, kurang punya motivasi untuk mencoba hal baru karena mereka sudah nyaman dengan memproduksi tempe kedele dengan omzet yang relatif sudah besar.
Saran Beberapa saran berikut dikemukakan berdasarkan temuan hasil penelitian: 1. Ada ambiguitas pengetahuan yang akan ditransfer yaitu proses produksi yang selalu berubah-ubah dan belum ada standard baku. Walaupun dari sudut proses produksi tempe Lupin tidak memperlihatkan adanya kompleksitas yang berarti, bahkan terkesan lebih
mudah dan efisien penanganannya ketimbang kacang kedele, namun tidak adanya standard produksi yang jelas yang dapat menjamin kualitas hasil produksi yang dihasilkan (berlendir dan keras kalau digoreng) membuat pihak target transfer menjadi ragu-ragu mengadopsi kacang lupin sebagai bahan baku substitusi kacang kedele. Demikian juga, kegiatan proses produksi belum meliputi pengelolaan pasca produksi yaitu saat tempe Lupin tidak laku dipasar, bagaimana memanfaatkan produk yang tidak laku mengingat tempe adalah produk yang mudah busuk. Hal ini menjadi tugas pihak produsen Lupin kedepan, apakah mau membuat tempe Lupin yang identik dengan tempe kedele, atau ingin membuat tempe Lupin yang “khas”. Jika ingin membuat tempe Lupin yang identik dengan tempe kedele, maka tugas Lupin kedepan adalah perlu menghasilkan suatu proses produksi yang mampu menghasilkan output yang hampir sama dengan kualitas tempe kedele. Untuk itu mungkin perlu melakukan perbaikan mulai dari sisi input seperti rekayasa budidaya tanaman kacang Lupin, dan dari sisi proses produksi sampai pasca produksi. Sebaliknya jika yang diharapkan adalah tempe Lupin dapat diterima konsumen dengan segala kekhasannya (lebih keras dan agak berlendir), maka pihak produsen tentunya perlu meyakinkan pihak konsumen akan kelebihan dan manfaat mengkonsumsi tempe Lupin sambil terus berupaya menyempurnakan proses produksi tempe Lupin. 2. Dari 5 tahun usaha produsen melakukan upaya introdusir, transfer pengetahuan dan teknologi
kacang Lupin yang dilakukan kepada pasar di Indonesia terkesan pihak
produsen Lupin lebih fokus pada target mengekspor kacang Lupin dalam jumlah besar ke pasar Indonesia. Oleh karena itu upaya yang dilakukan pihak produsen lebih terfokus pada usaha meyakinkan pihak pengguna kacang Lupin yaitu para produsen tempe. Ada kesan bahwa pihak produsen Lupin sebagai pihak agen transfer pengetahuan mengabaikan penerimaaan pasar/ konsumen terhadap produk tempe Lupin. Padahal hal tersebut merupakan elemen terpenting yang dapat mengatur kegiatan dan jumlah produksi tempe Lupin dari pihak produsen. Oleh sebab itu sebelum kegiatan transfer dilakukan seharusnya pihak agen juga memiliki informasi mengenai pasar/ konsumen dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Bozeman, B., 2000. Technology Transfer and Public Policy: A Review of Research and Theory. Journal of Research Policy, 29: 627-655. Devine, M. D., T. E. James, Jr., and I. T. Adams. 1987. Government Supported Industry Research Centers: Issues for Successful Technology Transfer. Journal of Technology Transfer, Vol. 12, No.1, pp. 27-38.
Djmbp.esdm.go.id., 2008. Undang – Undang RI tentang Usaha Kecil dan Menengah. Diunduh dari http://www.djmbp.esdm.go.id/sijh/UU_2008_20_TENTANG_USAHA_MIKRO_ KECIL_ DAN_MENENGAH.pdf, tanggal unduh 24 November 2011. Gibson, David and Smilor, Raymond. 1991. Key Variables in Technology Transfer: A FieldStudy Based Empirical Analysis. Journal of Engineering and Technology Management, Vol.8, pp. 287-312. Hidayat, Sukardi dan Nurul Insani. 2004. Analisis perbandingan pembuatan tempe. Laporan Penelitian Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya. Diunduh dari http://ptp2007.wordpress.com/2007/08/31/ , tanggal 20 Januari 2012 Indriartiningtias, R., dan Wirajmadja, I.I. 2012. Pengembangan Model Konseptual Transfer Pengetahuan dari Perguruan Tinggi ke Industri Kecil. Diunduh dari ejournal.umm.ac.id/index.php/industri/article/.../613, tanggal unduh 3 Desember 2013. Julianto, D. E dan Wahyudi, E. 2010. Model Peningkatan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Di Tulungagung. Diunduh dari http://www.jurnalinspirat.com/Download/JI2_8.pdf, tanggal unduh 5 Maret 2014. Lupinfoods.com.au. 2013. Informasi Bagi Pengrajin Tempe. Diakses dari http://www.lupinfoods.com.au/indonesian-information-for-tempe-producers/, tanggal akses 17 Agustus 2014. Nokes, T.J. 2009. Mechanismm of Knowledge Transfer. Thinking and Reasoning, Vol. 15, No. 1, pp. 1-36. Profetto, J. 2004. Knowledge transfer : what it is and what it takes to do it best. Diakses dari; http://doc.mbalib.com/view/78ddb71531aa1561f55d2e8741435525.html, tanggal akses 17 Maret 2014. Sumarno, Muhammad. 2010. Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha Sentra Industri Kecil Kerajinan Gerabah Kasongan Kabupaten Bantul. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.12, NO. 1, MARET : 1-10. Sung T.K., dan Gibson D. 2001. Knowledge and Technology Transfer: Levels and KeyFactors. Diunduh dari web.bsru.ac.th/~orapim/my_doc/knowledge.pdf, tanggal unduh 18 Maret 2014. Tempo.co. 2014. Perajin Tempe di Malang Tergoda Kacang Lupin. Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/01/26/090548396/Perajin-Tempe-di-MalangTergoda-Kacang-Lupin, tanggal akses 17 Agustus 2014. Windsperger, J. dan Gorovaia, N. 2010. Knowledge Attributes and The Choice of Knowledge Transfer Mechanism in Networks: the case of franchising. Journal of Management & Governance, Vol. 15, No. 4, pp 617-640.