FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK BADUTA (USIA 12-24 BULAN) DI KECAMATAN DARUL IMARAH, KABUPATEN ACEH BESAR
SURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Baduta (usia 12-24 bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Suryana NIM 1151124121
RINGKASAN Suyana. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Baduta (usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan DADANG SUKANDAR. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik anak baduta usia 12-24 bulan. Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut: (1) mengidentifikasi karakteristik baduta (umur, jenis kelamin dan berat badan lahir), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan perkapita, besar keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktik pola asuh makan, konsumsi pangan, status kesehatan, dan status anemia baduta serta perkembangan motorik (motorik kasar dan halus) baduta usia 12-24 bulan; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia anak baduta usia 12-24 bulan; (3) menganalisis dampak anemia terhadap perkembangan motorik kasar dan halus anak baduta usia 12-24 bulan. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak baduta berusia 1224 bulan yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sementara yang menjadi populasi sasaran adalah populasi target yang terpilih memenuhi kriteria yaitu lahir cukup bulan (≥ 37 minggu), kondisi anak tidak sedang dalam kondisi sakit parah, tinggal bersama ibu, serta ibu bersedia berpartisipasi. Contoh adalah bagian dari populasi sasaran yang direncanakan yaitu yang dipilih secara acak dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional, yang mewakili rumah tangga Pra Sejahtera/Sejahtera I, Sejahtera II, dan Sejahtera III. Ukuran minimal contoh adalah 102 orang baduta usia 12-24 bulan. Pengukuran variabel karakteristik baduta, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, praktik pola asuh makan dan riwayat ISPA dan diare dengan metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Konsumsi pangan dengan metode recall 24 jam. Status gizi antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan panjang badan menurut umur (PB/U). Kadar Hb menggunakan alat Hemocue 201+. Data perkembangan motorik halus dan motorik kasar dengan menggunakan instrumen DENVER II. Data dianalisis menggunakan microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan yaitu deskriptif, dan regresi linear berganda. Contoh dalam penelitian ini adalah baduta berjumlah 102 orang yang tinggal di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Prevalensi anemia sebesar 68.6% dan kadar Hb berkisar 7.0 – 12.4 g/dL dengan rata-rata sebesar 10.1 ± 1.3 g/dL. Terdapat kecenderungan proporsi baduta laki-laki lebih tinggi (75.0%) mengalami anemia dibandingkan baduta perempuan 63.8%. Selanjutnya, terdapat kecenderungan proporsi baduta dengan usia 19-24 bulan lebih tinggi (70.6%) mengalami anemia dibandingkan usia 12-18 bulan sebesar 67.8%. Proporsi baduta dengan berat badan lahir ≥2500 g lebih tinggi (69.7%) mengalami anemia dibandingkan berat badan lahir <2500 sebesar 62.5%.
Rata-rata lama pendidikan ayah baduta anemia lebih rendah (11.6 tahun) dibandingkan dengan baduta tidak anemia (12.5 tahun). Sementara lama pendidikan ibu baduta anemia dan tidak anemia adalah sama (12.4 tahun). Jumlah anggota keluarga di kedua kelompok adalah 4 orang atau tergolong kategori rumah tangga kecil (≤4 orang) dengan rata-rata jumlah balita dalam rumah tangga adalah 1 orang. Sebagian besar ayah baduta anemia dan tidak anemia bekerja di bidang buruh tidak tani/jasa dan pegawai negeri sipil. Sementara ibu sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan rumah tangga baduta anemia lebih rendah (Rp 697 372 kapita/bulan) dibandingkan baduta tidak anemia (Rp 775 468 kapita/bulan). Secara umum, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu pada kedua kelompok tergolong kurang. Namun, skor rata-rata pengetahuan gizi dan kesehatan ibu lebih rendah pada baduta anemia (54.0) dibandingkan baduta tidak anemia (57.0). Sementara, praktik pola asuh makan anak yang diterapkan ibu/pengasuh tergolong sedang. Skor rata-rata praktik pola asuh makan baduta tidak anemia lebih tinggi (64.5) dibandingkan baduta anemia (63.4%). Secara umum, baduta anemia dan tidak anemia memiliki tingkat kecukupan energi berada pada kategori defisit tingkat sedang, tingkat kecukupan protein pada kategori cukup, tingkat kecukupan zat besi/Fe pada kategori kurang, tingkat kecukupan vitamin A pada kategori cukup, dan tingkat kecukupan vitamin C pada kategori kurang. Namun, rata-rata tingkat kecukupan protein, zat besi/Fe, vitamin A dan vitamin C pada baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia. Sementara tingkat kecukupan energi dan protein yang dimiliki baduta anemia dan tidak anemia adalah sama yaitu berada pada kategori normal atau cukup. Rata-rata z-skor status gizi dengan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) dan panjang badan menurut umur (PB/U) yang dimiliki baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori gizi baik dan normal. Proporsi anemia lebih tinggi ditemukan pada kelompok baduta dengan status gizi kurang (88.2%), buruk (71.4%), dan sangat pendek (95.0%). Selanjutnya, baduta yang menjadi contoh dalam penelitian memiliki persentase riwayat ISPA dan diare dalam dua minggu terakhir masingmasing sebesar 51,0% dan 45.1%. Rata-rata lama baduta mengalami ISPA dan diare adalah sebanyak 3 hari. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diketahui bahwa Tingkat Kecukupan Zat Besi (TKFe), Tingkat Kecukupan Energi (TKE), lama pendidikan ayah, pendapatan, dan umur ayah berpengaruh secara signifikan terhadap status anemia baduta secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.243. Artinya, sebesar 24.3% keragaman dari status anemia/kadar Hb baduta dapat dijelaskan oleh variabel TKFe, TKE, lama pendidikan ayah, pendapatan perkapita dan umur ayah, sedangkan sisanya 75.7% diduga dijelaskan oleh faktor lain seperti faktor penyerapan zat besi. Hasil uji korelasi juga menunjukkan status anemia berhubungan secara signifikan dengan perkembangan motorik halus (r:0.291; p:0.003), sedangkan perkembangan motorik kasar tidak berhubungan signifikan (r:0.092; p:0.357). Artinya terdapat hubungan signifikan secara positif antara status anemia dengan perkembangan motorik halus, sedangkan pada perkembangan motorik kasar tidak berhubungan secara signifikan.
SUMMARY Suryana. Factors Affecting Anemia Status and Impact to Motoric Development of Children Under Two Years (Aged 12-24 months) in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District. Supervised by SITI MADANIJAH dan DADANG SUKANDAR. The general objective of this study is to determine the factors that affected the anemia status of children under two years in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District. The specific objectives of this study were to: (1) identify child characteristics (gender, birth weight and birth age), socioeconomic characteristics of the family (parental education, parental occupation, per capita income, family size, number of child under five years in the family), mother knowledge about nutrition and health, the practice of parenting a child's, children's food consumption, nutritional status and health history, anemia status and motor development (gross and fine motor) children aged 12-24 months; (2) analyze the factors that affect the status of anemia baduta children aged 12-24 months; (3) analyze the impact of anemia on the development of gross and fine motor baduta children aged 12-24 months. Population in this study was all children under two years aged 12-24 months in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District while the target populations were the chosen targets who met the criteria i.e. born at term (≥ 37 weeks), not in the state of severe pain, lived with their mothers, and willing to participate. Sample was part of the planned target population which was randomly selected using stratified random sampling technique with proportional allocation. The classification was based on pre-prosperous household/ prosperous I (Jeumpet village = 56 people), prosperous II (Lambheu village = 40 people), and prosperous III (Geugajah village = 45 people) which stood as each layer/level. Minimum sample size was 102 children under two years. Outcome measures is children’s characteristics, socioeconomic status of the family, nutrition and health knowledge of the mothers, feeding practices, and history of diarrhea and upper respiratory tract infection (URTI) were measured by interview using a structured questionnaire. Food consumption was measured through a 24-hour recall method. Anthropometric nutritional status was measured by weight-for-age index (WAZ) and length-for-age (LAZ). Hb level was measured by Hemocue 201+ tool. Data development of fine motor and gross motor skills by using instruments DENVER II. Sample in this study was 102 children under two years who lived in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District. Anemia prevalence was 68.6% and Hb level ranged from 7.0 – 12.4 g/dL with an average of 10.0 ± 1.3 g/dL. There was a tendency of boys (75%) to have higher anemia prevalence compared to girls (63.8%). Average age of children in both groups was 17 months and birth weight of the children with anemia was slightly higher (3105.9 g) than those without anemia (3065.6 g). There was a tendency of a higher anemia prevalence in children aged 19-24 months (70.6%) compared to children aged 12-18 months (67.8%).
Mean of education length of the fathers in children under two years with anemia (11.6 years) was lower than non-anemic children (12.5%) while education length of the mothers in both groups were the same (12.4 years). Number of family members in both groups classified as small family size (≤ 4 people) with average number of children in the household was one child. Most fathers worked as non-peasant labor (service labor) and civil servants while mothers were mostly housewives. Household income per capita were lower in anemic children (IDR 697 372/ capita/ month) than non-anemic children (IDR 775 468/capita/month). In general, nutrition and health knowledge of the mothers in both groups were relatively low. However, the average score of mother’s nutrition and health knowledge was lower in anemic children (54%) than non-anemic children (57%). Meanwhile, feeding practices applied by mothers/caregivers were moderate. Mean score of feeding practices in non-anemic children was higher (64.5%) than anemic children (63.4%). The mean of adequacy level of protein, iron/Fe, vitamin A and vitamin C in anemic children under two years were lower than non-anemic children, except for energy adequacy level. In general, nutrition status in both groups was categorized as good based on WAZ index and normal based on LAZ index. However, there was a greater tendency of anemia in children with moderate malnutrition, moderate stunting, and severe stunting. In general, history of URTI by 51% and diarrhea by 45.1% had been experienced by children under two in the last two week of the study date. Average duration of URTI was 3 days and diarrhea was 2.7 days. However, duration of URTI and diarrhea experienced by non-anemic children was slightly longer than the anemic children. Factors which were expected to affect anemia status of children under two years were analyzed using multiple linear regression with independent variables as follows: characteristics of children under two years, socio-economic characteristics of the family, nutrition and health knowledge of the mothers, feeding practices, and children’s history of health (nutrition status, history of URTI and diarrhea). Based on multiple regression analyses, Fe and energy adequacy level, father’s education length, income per capita, and age of the father had significant effect on anemia status simultaneously. There is a tendency of delay / suspected in the development of fine motor and gross motor higher in baduta anemia compared baduta not anemia. But the correlation is only associated with the development of fine motor, gross motor while the does not.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau mneyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK BADUTA (USIA 12-24 BULAN) DI KECAMATAN DARUL IMARAH, KABUPATEN ACEH BESAR
SURYANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Anak (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar Nama : Suryana NIM : I151124121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Ketua
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Tanggal Ujian: 07 Mei 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dengan judul “Faktorfaktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Baduta (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar” berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini, serta Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku penguji yang telah memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI selaku pemberi dana. Ucapan terimakasih kepada orangtua tercinta (Ayahanda Alm. Abdullah Ali Basyah dan Ibunda Nurkisyah) yang telah membesarkan, mengasuh Ananda dengan segala kasih sayang, doa, dan motivasi. Kepada Suami (Putra Chairullah SE) dan Putra ku tercinta (Arkan Nafis Alfatih) terimakasih atas cinta, doa, dan motivasi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada tim enumerator (Inna, Sari, Putri) dan tenaga kesehatan Puskesmas Darul Imarah (Ibu Maya Sofa) yang telah membantu selama pengambilan data. Kepada teman-teman seperjuangan atau sahabat (Firdaus, Mas Wawan, Ibnu, Febri, Juntra, Kiki, Mba Rian, Mba Nurul, Oci, Andi, Mbak Cica, Liska, Elda, Ratih, Inna, Dila), dan teman-teman lainnya yang tidak disebutkan yang telah membantu dan memberikan keceriaan, semangat serta motivasi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat menjadi salah satu bagian bagi landasan ilmu pengetahuan dan dapat bermanfaat bagi para pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Suryana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 3 4 4
2
TINJAUAN PUSTAKA Anemia Pengukuran Anemia Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Karakteristik Baduta Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Praktik Pola Asuh Makan Konsumsi Pangan Status Gizi Infeksi Penyakit Dampak Anemia Perkembangan Motorik Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
5 5 7 8 8 8 8 8 9 10 10 11 12 13
3
KERANGKA PEMIKIRAN
14
4
METODE Lokasi, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
16 16 16 17 20 24
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Anak Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Praktik Pola Asuh Makan Konsumsi Pangan Anak Status Kesehatan Anak Status Anemia Hubungan Faktor-Faktor Pengaruh dengan Status Anemia Baduta
26 26 27 27 30 32 37 40 41 42
ii
DAFTAR ISI (lanjutan) Karakteristik Baduta dengan Status Anemia Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Status Anemia Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu dengan Status Anemia Praktik Pola Asuh Makan dengan Status Anemia Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Lainnya dengan Status Anemia Status Kesehatan dengan Status Anemia Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Baduta Dampak Anemia terhadap Perkembangan Motorik Baduta 6
42 43 46 47 51 54 56 59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
62 63 63
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
70
RIWAYAT HIDUP
76
DAFTAR TABEL 1 Kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin dalam mendefiniskan anemia 2 Tingkat keparahan anemia menurut kategori umur/fisiologis dan jenis kelamin 3 Pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada populasi menurut estimasi prevalensi dari kadar Hb 4 Angka kecukupan gizi baduta usia 1-3 tahun 5 Jenis dan cara pengumpulan data 9 Sebaran baduta menurut karakteristik Baduta 10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga 11 Sebaran baduta menurut kategori pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan 12 Sebaran baduta menurut butirpertanyaan yang dijawab benar tentang pengetahuan gizi dan kesehatan ibu 13 Sebaran baduta menurut kategori skor praktik pola asuh makan 14 Sebaran baduta menurut butirpraktik pola asuh makan 15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta 16 Sebaran baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya 17 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor 18 Sebaran baduta menurut status gizi indeks BB/U dan PB/U 19 Sebaran baduta menurut riwayat ISPA dan diare 20 Sebaran baduta menurut status anemia 21 Proporsi baduta menurut karakteristik individu dan status anemia 22 Proporsi baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga 23 Proporsi baduta menurut pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan status anemia 24 Proporsi baduta menurut kategori praktik pola asuh makan dan status anemia 25 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh riwayat ASI dan status anemia 26 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh MP-ASIdan status anemia 27 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh "responsive feeding" dan status anemia 28 Proporsi baduta menurut praktik pola asuh "higiene/sanita pemberian makan dan pemberian makan anak ketika sakit" 29 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta menurut status anemia 30 Proporsi baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya dan status anemia 31 Rata-rata dan standar deviasi frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor (teh) baduta dan status anemia 32 Proporsi baduta menurut status kesehatan dan status anemia 33 Variabel dominan yang mempengaruhi status anemia baduta 34 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik 35 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik kasar dan status anemia
5 7 7 10 18 27 28 30 31 32 34 37 38 39 40 41 42 43 45 46 47 48 49 50 51 51 52 53 55 56 60 60
iv
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Stadium deplesi besi Model konseptual anemia defisiensi vitamin A (Semba dan Bloem 2012) Faktor-faktor eksogenus yang menyebabkan anemia (Trurnham 2007) Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik Skema penarikan contoh
6 10 11 15 17
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Hasil uji korelasi antar variabel Regresi linear berganda Instrumen Denver II
70 71 75
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu periode penting kehidupan anak adalah masa baduta (masa bayi berusia di bawah dua tahun). Masa baduta sering disebut periode pertumbuhan jaringan otak yang paling rawan karena terjadi pembelahan sel-sel otak dan perkembangan sel-sel saraf yang cukup pesat (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Masa baduta merupakan bagian dari Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) setelah melewati masa kehamilan. Berdasarkan Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam rangka 1000 HPK (2012), periode ini merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan dari masalah gizi akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi di usia selanjutnya. Anemia merupakan keadaan ketika produksi sel darah merah rendah atau konsentrasi pengangkut darah dalam bentuk Hemoglobin (Hb) tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh (Balitbangkes 2013; World Bank 2006). Anemia yang umum terjadi adalah disebabkan oleh kekurangan zat besi (WHO 2008). Zat besi diperlukan untuk membentuk hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru melalui aliran darah ke otak, dan kemudian didistribusikan ke seluruh organ atau jaringan tubuh. Anemia dapat terjadi pada semua siklus kehidupan, namun yang lebih umum terjadi pada usia tertentu seperti wanita hamil dan anak-anak (WHO 2008). Anemia pada baduta saat ini merupakan salah satu masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 prevalensi anemia balita di Indonesia menunjukkan peningkatan, dari 40.1% tahun 1996 dan 48.1% tahun 2001 (BPPN 2007). Prevalensi anemia balita di beberapa wilayah di Indonesia lebih tinggi dari prevalensi anemia Nasional. Aceh merupakan salah satu Provinsi dengan prevalensi anemia balita di atas angka nasional. Hasil survei World Vision Indonesia tahun 2009, di empat Kabupaten Provinsi Aceh (Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Banda Aceh) ditemukan balita anemia sebesar 67.8%. Kabupaten Aceh Besar merupakan urutan kedua prevalensi anemia balita tertinggi (68.5%) diatas Aceh Jaya (66.7%) dan dibawah Aceh Barat (69.1%). Prevalensi anemia balita cukup tinggi ditemukan pada rentang usia 11-24 bulan (77.0%) (WVI 2010). Prevalensi anemia tinggi lainnya ditemukan pada rentang usia 12-23 bulan di Kabupaten Meurauke 78.8% (Wibowo et al. 2012). Pada cakupan wilayah yang lebih kecil yaitu Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar diperoleh prevalensi anemia mencapai 78.3% (Ahmad et al. 2010). Prevalensi anemia ini termasuk masalah kesehatan masyarakat pada kategori berat dengan prevalensi ≥40% (WHO 2001). Tingginya masalah anemia pada anak usia 12-23 bulan berhubungan dengan semakin meningkatnya kebutuhan asupan zat besi dalam masa pertumbuhan yang pesat bersamaan dengan mulai menipisnya cadangan zat besi saat lahir, serta terjadinya perubahan pola makan. Berbagai penelitian tentang penyebab terjadinya anemia pada anak telah diketahui. Domellof dan Hernell (2002) menyebutkan faktor-faktor yang menentukan berkembangnya anemia pada
2
anak dibawah dua tahun antara lain disebabkan oleh berat badan lahir, faktor ibu, praktik pola makan termasuk pemberian ASI Ekslusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI Ekslusif lebih dari usia enam bulan memiliki kadar Hb yang rendah dibandingkan yang diberikan ASI 4-6 bulan, yang diukur pada usia 9 bulan (Meiden-Derr et al. 2006). Selanjutnya, pemberian ASI selama lebih dari 6 bulan tanpa menerima tambahan makanan yang diperkaya zat besi berisiko mengalami anemia gizi besi pada anak usia 8-26 bulan di Kelantan (Siti et al. 2006). Asupan zat besi dalam bentuk mudah dicerna (bioavialibilitas tinggi) pada anak usia 12-23 bulan masih dibawah angka kecukupan (Ososio et al. 2004). Proporsi anemia pada anak usia 6-23 bulan lebih tinggi terjadi pada kelompok asupan gizi kurang, baik asupan zat besi, asam folat, vitamin A, vitamin C maupun protein (Wijaya 2012). Asupan zat gizi dapat mempengaruhi status gizi serta status anemia. Status gizi dan kesehatan yang kurang atau buruk pada anak juga berpotensi terjadinya defisiensi zat gizi mikro (Almatsier 2006). Hasil penelitian Doloksaribu (2005), terdapat hubungan secara signifikan antara status gizi menurut indeks TB/U serta infeksi penyakit dengan kejadian anemia pada baduta usia 12-23 bulan di 7 Provinsi di Indonesia. Faktor-faktor lainnya seperti karakteristik sosial ekonomi (umur anak yang lebih muda, jenis kelamin laki-laki, usia ibu lebih muda, pendidikan orangtua rendah, anggota keluarga lebih besar, dan pengeluaran per kapita rumah tangga mingguan lebih rendah) diketahui berhubungan signifikan dengan peluang tinggi terjadinya anemia pada anak usia 6-59 di Indonesia (Semba et al. 2010). Anak yang berasal dari rumah tangga dengan penghasilan bulanaan yang lebih rendah kecenderungan kurang mendapatkan makanan kaya zat besi, seperti pangan hewani dan makanan yang mengandung vitamin A dan vitamin C yang penting untuk penyerapan zat besi (Adist et al. 1998). Tingkat pendidikan ibu yang rendah serta pengetahuan ibu tentang cara pemberian makanan anak yang kurang juga merupakan beberapa faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian anemia pada balita di Uganda (Kikafunda et al. 2009). Tingginya prevalensi anemia pada baduta ini diperhitungkan sebagai masalah kesehatan masayarakat serius yang akan berdampak buruk bagi generasi mendatang. Hasil Review McGregor dan Ani (2001), dampak defisiensi besi dan anemia pada bayi dan anak usia 2 (dua) tahun pertama kehidupan berhubungan dengan penurunan perkembangan kognitif, motorik dan mental anak. Studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya (middle childhood) akan memiliki perkembangan kognitif, motorik serta prestasi belajar yang rendah. Kekurangan zat besi ringan tanpa anemia saja dapat menyebabkan dampak merugikan terhadap perkembangan otak, dan kekurangan zat besi yang berlanjut anemia diketahui dapat mengganggu perkembangan yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan mental, motorik baik motorik kasar maupun motorik halus secara permanen (Lozoff et al. 1987; Stolzfus 2001; McGregor dan Ani 2001). Perkembangan motorik yang terdiri dari motorik kasar dan motorik halus merupakan salah satu perkembangan yang sangat penting dalam seluruh perkembangan individu (Khomsan et al. 2013).
3
Perumusan Masalah Tingginya prevalensi anemia di wilayah Kecamatan Darul Imarah yaitu mencapai 78.3% (Ahmat et al. 2010) merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kategori berat (≥40%) (WHO 2001). Khususnya anak berusia dibawah dua tahun dikatakan berisiko tinggi terhadap prevalensi anemia adalah sebagai akibat dari kebutuhan zat besi lebih tinggi karena terjadinya pertumbuhan pesat bersamaan dengan cadangan zat besi saat lahir mulai menipis (Domello dan Hernell 2002). Penyebab langsung terjadinya anemia antara lain dipengaruhi oleh faktor konsumsi zat besi dalam makanan tidak cukup, penyerapan zat besi rendah, kebutuhan meningkat dan kehilangan darah. Selanjutnya, penyebab tidak langsungnya antara lain ketersediaan zat besi dalam bahan makanan rendah, praktik pemberian makan kurang baik, sosial ekonomi rendah, komposisi makanan kurang beragam, terdapat zat-zat penghambat, dan pertumbuhan fisik, serta infeksi. Menurut McGregor dan Ani (2001), menyimpulkan hasil evaluasi terhadap sejumlah penelitian tentang dampak kekurangan zat besi pada bayi usia 6-24 bulan yang berlanjut anemia diketahui berhubungan dengan penurunan kognitif dan perkembangan motorik serta perkembangan mental anak (penelitian korelasional dan kasus kontrol). Selanjutnya studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya (middle childhood) akan memiliki kognitif dan perkembangan motorik serta prestasi belajar yang rendah. Walaupun pemberian suplementasi besi pada anak dapat memperbaiki status besi atau anemia dalam jangka pendek, namun tidak efektif dalam meningkatkan skor motorik pada anak yang anemia dibandingkan anak tidak anemia (Walter 2003). Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampak terhadap perkembangan motorik pada baduta belum pernah dilakukan Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Sehingga penelitian ini perlu diketahui karena dalam merencanakan suatu program intervensi masalah anemia di wilayah tersebut supaya menghasilkan generasi yang berkualitas. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik baduta, karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktik pemberian makan anak, asupan zat gizi, status kesehatan dan status anemia? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status anemia baduta usia (12-24 bulan)? 3. Apakah anemia berdampak terhadap perkembangan motorik kasar dan motorik halus baduta usia (12-24 bulan)?
4
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik anak baduta usia 12-24 bulan. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik baduta (jenis kelamin, berat lahir dan usia kelahiran), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan perkapita, besar keluarga, jumlah baduta dalam keluarga), pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktek pola asuh makan anak, konsumsi pangan anak, status gizi dan riwayat kesehatan, status anemia, serta perkembangan motorik (motorik kasar dan halus) anak baduta usia 12-24 bulan. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia anak baduta usia 12-24 bulan. 3. Menganalisis dampak anemia terhadap perkembangan motorik kasar dan halus anak baduta usia 12-24 bulan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberi gambaran secara umum mengenai karakteristik sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktik pola asuh makan, asupan gizi anak, status kesehatan (status gizi, infeksi, anemia dan perkembangan motorik halus dan motorik kasar) baduta di Wilayah Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan khususnya kepada orangtua tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan dampak anemia terhadap perkembangan motorik kasar dan motorik halus baduta usia 12-24 bulan. Sedangkan bagi pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan intervensi yang tepat, penyusunan dan pengembangan kebijakan pelayanan anak dalam hal pengurangan status anemia baduta dan pencegahan dampak dari anemia, terutama di wilayah Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, guna terwujudnya sumberdaya manusia yang berkualitas.
5
2
TINJAUAN PUSTAKA Anemia
Anemia berasal dari bahasa Yunani (an=tidak; haima = darah) yang berarti “tidak ada darah”. WHO memberikan batasan seseorang dikatakan mengalami anemia yaitu bila kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya lebih rendah dari batas nilai normal, menurut umur, jenis kelamin dan kehamilan (WHO 2008). Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang terjadi di negara berkembang dan negara maju dengan konsekuensi besar bagi kesehatan manusia serta keadaan sosial dan ekonomi pembangunan (WHO 2008). Anemia terjadi jika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga kadarnya di dalam darah menurun (Gibney et al. 2008; World Bank 2006). Nilai cut off untuk kadar hemoglobin dalam mendefinisikan anemia sesuai umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin dalam mendefiniskan anemia Kelompok Kadar Hb (g/dL) Anak-anak (usia 0.5 -4.99 tahun) < 11.0 Anak-anak (usia 5.00-11.99 tahun) < 11.5 Anak-anak (usia 12.00-13.99 tahun) < 12.0 Laki-laki dewasa < 13.0 Wanita Tidak hamil < 12,0 Wanita hamil < 11.0 Anemia gizi paling sering dijumpai pada masyarakat, baik pada ibu hamil, bayi, anak balita, anak usia sekolah dan remaja. Anemia gizi dapat terjadi karena defisiensi beberapa zat gizi mikro seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12, namun yang menjadi penyebab anemia di hampir seluruh dunia adalah defisiensi zat besi (WHO 2001). Yip et al. (2001) menguraikan bahwa meskipun tidak semua anemia tidak disebabkan oleh defisiensi zat besi, pada wilayah dimana prevalensi anemia lebih dari 30-40%, sebagain besar atau hampir seluruhnya anemia tersebut disebabkan oleh defisiensi zat besi. Anemia merupakan cerminan dari tingkat keparahan defisiensi zat besi sehingga umumnya anemia digunakan sebagai indikator screening defisiensi zat besi secara klinis, ataupun untuk menjelaskan masalah defisiensi zat besi pada survei di masyarakat. Alasan lainnya karena pengukuran status zat besi yang lebih mahal dibandingkan pengukuran hemoglobin pada penentuan anemia, juga karena membutuhkan contoh darah yang lebih banyak dan seringkali pengukurannya dirancukan oleh adanya infeksi. Defisiensi zat besi dalam tubuh dapat dibagi menjadi 3 tahap dengan derajat keparahan yang berbeda dan berkisar dari yang ringan hingga berat (Gambar 1) (Gibney et al. 2008; MCDermid dan Lonnerdal 2012). Ringkasan penjelasan gambar di bawah adalah sebagai berikut: 1. Tahap awal meliputi berkurangnya simpanan zat besi (iron depletion) yang ditandai berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini
6
menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi yang berat. Tahap ini belum ada gangguan/efek di dalam tubuh 2. Tahap kedua atau lanjut ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Gangguan transportasi zat besi dari simpanana ke jaringan, meskipun simpanan masih mencukupi. Kadar Hb mulai turun yang menandakan anemia ringan. Gangguan ini dapat terjadi karena inflamasi atau defisiensi vitamin. Pada keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reptor transferin serum.Tahap ini terjadinya gangguan fungsi fisiologis seperti penurunan kapasitas kerja. 3. Tahap ketiga atau parah adalah defisiensi zat besi berupa anemia atau Iron Deficient Anemia (IDA). Terjadi akibat tidak sempurnanya hemoglobin, dan menyebabkan sel darah merah ukurannya lebih kecil dan lebih sedikit Hb (Hypochromic). Pada anemia karenadefisiensi zat besi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dL.
Tahap awal awal
Tahap II IIII
Tahap III
Berkurangnya simpanan zat besi
Indikator biokimia berkurangnya simpanan zat besi
Anemia karena defisiensi zat besi
Kadar feritin
Kejenuhan transferin Protoporfirin eritrosin
Hemoglobin Hematokrit
i
Gambar 1 Stadium deplesi besi Status anemia dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahan anemia berdasarkan kadar Hb. Berikut disajikan pengklasifikasian tingkat keparahan anemia berdasarkan kadar hemoglobin yaitu anemia ringan, sedang dan berat (WHO 2011). Kategori tingkat keparahan anemia dapat dilihat dalam Tabel 2.
7
Tabel 2 Tingkat keparahan anemia menurut kategori umur/fisiologis dan jenis kelamin Anemia (kadar Hb g/dL) Kategori Normal Ringan Sedang Berat Anak usia 6-59 bulan ≥ 11 10-10.9 7-9.9 <7 Anak usia 5-11 tahun ≥ 11.5 11-11.4 8-10.9 <8 Anak usia 12-14 tahun ≥ 12 11-11.9 8-10.9 <8 Wanita tidak hamil (≥15 tahun) ≥ 12 11-11.9 8-10.9 <8 Wanita Hamil ≥ 11 10-10.9 7-9.9 <7 Laki-laki ( ≥15 tahun) ≥ 13 11-12.9 8-10.9 <8 Menurut WHO (2001), pemetaan prevalensi secara epidemiologis membutuhkan tingkatan cut-off atau kriteria untuk penilaian beratnya anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat. Kategori masalah kesehatan masyarakat berdasarkan persentase prevalensi anemia yaitu berat, sedang, ringan dan normal. Berikut disajikan pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada populasi tertentu (WHO 2001). Tabel 3 Pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada populasi menurut estimasi prevalensi dari kadar Hb Kategori kesehatan masyarakat Prevalensi Anemia (%) Parah/berat ≥40 Sedang 20.0-39.9 Ringan 5.0-19.9 Normal ≤4.9
Pengukuran Anemia Prevalensi anemia pada suatu populasi yang baik ditentukan dengan menggunakan metode yang reliabel untuk mengukur konsentrasi hemoglobin. Pengukuran prevalensi anemia di populasi dilihat dari aspek biaya dan kesulitan biokimia relatif lebih mudah dan murah dibandingkan dengan penilaian defisiensi iodium dan vitamin A (WHO 2001). Metode cyanmethemoglobin merupakan metode laboratorium terbaik untuk pengukuran hemoglobin secara kuantitatif. Metode hemoCue reliabel untuk menentukan konsentrasi hemoglobin pada survei lapangan berdasarkan metode cyanmenthemoglobin. Salah satu metode umum yang direkomendasikan digunakan dalam survei untuk menentukan prevalensi populasi anemia adalah menggunakan hemoCue. HemoCue adalah metode kuantitatif yang dapat diandalkan untuk menentukan konsentrasi kadar hemoglobin dalam darah dalam survei lapangan. Metode ini cocok untuk survei lapangan karena cepat, murah, pengumpulan darah satu langkah dan penetapan Hb tidak membutuhkan penambahan reagent cairan. Selain itu, bisa dilakukan oleh staf lapangan tanpa pelatihan khusus. HemoCue sistem menunjukkan akurasi dan presisi yang memuaskan ketika dievaluasi kembali dengan metode laboratorium. Pengalaman di lapangan untuk jangka waktu lama menunjukkan bahwa alat ini stabil dan tahan lama.
8
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada baduta sangat luas, namun dalam penelitian ini akan dibatasi pada faktor sosial ekonomi keluarga (umur orangtua, besar keluarga, pendidikan orangtua,pendapatan), Karakteristik baduta (umur baduta, berat badan lahir, jenis kelamin), pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, praktik pola asuh makan, asupan gizi, status gizi dan riwayat sakit. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Pendidikan seseorang dapat mencerminkan pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan orangtua terutama pendidikan ibu berperan dalam penyusunan pola makan keluarga maupun dalam pola pengasuhan. Menurut Onyemaobi dan Onimawo et al. (2011), pendidikan ibu yang rendah berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak balita di Nigeria. Menurut Doloksaribu (2005), terdapat hubungan secara signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian anemia gizi pada anak umur 12-23 bulan di Pedesan Tujuh Provinsi di Indonesia. Defisiensi zat besi umumnya terjadi pada kelompok keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah (WHO 2001). Mahalnya sumber pangan hewani merupakan penghalang terhadap konsumsi sumber pangan hewani sehari-hari masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Karakteristik Baduta Selanjutnya, berat badan lahir dan usia kehamilan merupakan faktor penentu utama terhadap kandungan besi total tubuh sejak lahir, meskipun variasi antar individu cukup besar. Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor anemia defisiensi besi pada bayi. Berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi simpanan besi sejak lahir (Domello dan Hernell 2002). Umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar Hb. Perbedaan kadar hemoglobin pada jenis kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia enam bulan. Anak laki-laki mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan (Gibson 2005). Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Secara umum pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan mempengaruhi praktik pola asuh makan oleh ibu yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap asupan gizi atau zat besi anak. Kikafunda et al. (2009) membuktikan dalam penelitiannya terhadap balita di Uganda, dimana ibu-ibu yang tidak mengetahui tentang penganekaragaman makanan anak berkontribusi terhadap kejadian anemia pada anak-anak mereka. Praktik Pola Asuh Makan Pola asuh makan meliputi siapa yang menyiapkan makan, praktik pemberian makan (menyuapi atau tidak), pengawasan ibu ketika anak tidak disuapi, penentuan jadwal makan anak, ketepatan jadwal makan anak. Selain dari itu, pola asuh makan juga diukur melalui cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makan, memperkenalkan makanan baru, respon ketika anak menolak makan, dan respon ketika anak menghabiskan makan (Khomsan et al. 2012). Proporsi ibu dengan skor lebih rendah pada interkasi ibu dengan anak
9
selama pemberian makan lebih tinggi ditemukan pada bayi anemia dibandingkan pada bayi tidak anemia (Sivan et al. 2010). Konsumsi Pangan Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk heme dan non heme (McDermid dan Lonnerdal 2012; Fairbanks 1998 dalam Swain 2000). Sebagai komponen dari hemoglobin, zat besi heme banyak ditemukan dalam jaringan hewan (daging, organ, unggas, daging ikan, dan makanan laut), 10-15% dari total zat besi, dapat diserap secara efisien sekitar 25%, tidak dipengaruhi oleh diet, 1/3 dari jumlah zat besi dapat diserap serta dipengaruhi oleh status besi. Sedangkan zat besi non heme terutama ditemukan dalam jaringan biji-bijian, sayuran, makanan yang difortifikasi besi dan beberapa jaringan hewan, 85-90% dari total zat besi, penyerapannya sekitar 10%, dan 2/3 dari total zat besi diserap, serta dipengaruhi oleh status besi. Penyerapan zat besi di dalam usus dapat dipengaruhi oleh bentuk zat besi yang dikonsumsi. Terdapat faktor-faktor yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi diantaranya adalah besi heme atau jaringan otot. Menurut Monte dan Giugliani (2004), makanan yang berasal dari pangan hewani memiliki bioavalabilitas yang lebih baik (22%) dibandingkan dengan yang berasal dari sayuran (1-6%). Daging (terutama daging merah) dan beberapa organ hewan (terutama hati) memiliki kandungan zat besi yang bioavalabilitasnya lebih baik. Faktor lainnya adalah asam askorbat atau vitamin C termasuk (jus, buah-buahan, kentang atau beberapa umbi-umbian, sayuran daun berwarna hijau, kembang kol, dan kubis). Vitamin C membantu penyerapan besi non heme dengan merubah bentuk feri menjadi fero yang lebih mudah diserap. Sedangkan faktor yang menghambat penyerapan atau inhibitor zat besi dipengaruhi oleh phytat termasuk sereal dan kulit sereal, tepung yang diekstrak tinggi, kacang-kacangan; pangan yang mengandung inositol tinggi; komponen besi yang berikatan dengan tanin dalam teh, kopi, coklat; dan kalsium khususnya dari susu dan produk susu (WHO 2001; Monte dan Giugliani 2004). Telur, susu dan teh merupakan makan yang dapat menghambat penyerapan zat besi karena makanan tersebut membentuk dapat endapatan yang tidak larut dalam besi. Susu menghambat penyerapan zat besi heme dan non heme karena mengandung kalsium (Monte dan Giugliani 2004). Kekurangan Vitamin A dapat berpengaruh terhadap status anemia. Hasil penelitian Gamble et al. (2004), defisiensi vitamin A tingkat berat yang di nilai dari kadar retinol darah merupakan faktor risko yang mempengaruhi anemia pada anak usia 1-2 tahun di Kepulauan Marshall. Menurut Semba dan Bloem (2012), Mekanisme biologis defisiensi vitamin A dalam menyebabkan terjadinya anemia dapat dijelaskan melalui tiga jalur (Gambar 2) yaitu kadar retinol dapat mempengaruhi erythropoiesis (proses pembentukan sel darah merah), mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap penyakit dan infeksi, dan mempengaruhi metabolisme besi. Defisiensi vitamin A menunjukkan zat besi terjebak dalam hati dan limfa karena tidak dapat disebarkan untuk proses erythropoiesis oleh sumsum tulang (Mejia et al. 1979 dalam Semba dan Bloem 2012).
10
Gambar 2 Model konseptual anemia defisiensi vitamin A (Semba dan Bloem 2012)
Kebutuhan individu terhadap pemenuhan zat gizi berbeda-beda, tergantung usia jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas masing-masing. Angka kecukupan zat gizi harian untuk baduta usia 1-3 tahun menurut Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 (Permenkes 2013) adalah sebagai berikut: Tabel 4 Angka kecukupan gizi baduta usia 1-3 tahun Zat Gizi AKG Energi 1125 kkal Protein 26 g Vitamin A 400 RE Vitamin C 40 mg Besi 7 mg Status Gizi Pada anak dengan status gizi kurang atau buruk sebagai akibat kurang Energi Protein (KEP) cenderung mengalami gangguan metabolisme zat besi karena peranan protein (transferin) dalam hal ini berfungsi sebagai pengangkut zat besi ke seluruh jaringan tubuh (Almatsier 2001). Hasil penelitian Doloksaribu (2005), status gizi menurut indeks TB/U berhubungan signifikan dengan kejadian anemia pada anak umur 12-23 bulan. Menurut Onyemaobi dan Onimawo et al. (2011), kondisi gizi kurang berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia. Infeksi Penyakit Menurut Hay et al. (2004), anak yang memiliki riwayat demam pada saat pengambilan darah tidak mempengaruhi prevalensi anemia, akan tetapi riwayat demam seminggu atau sebulan sebelum pemeriksaan darah dapat meningkatnya nilai ferritin dan rendahnya nilai Hb. Menurut Thurnham (2007), menjelaskan terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan anemia yaitu penyakit infeksi,
11
kehilangan darah dan kekurangan asupan makanan. Terjadinya anemia dapat memalui salah satu dari ketiga faktor tersebut. Faktor-faktor eksogenus menjadi anemia dapat dilihat dalam Gambar 3. Penyakit infeksi dapat mempengaruhi anemia melalui beberapa mekanisme anatara lain melalui terjadinya perdarahan, seperti cacingan dan malaria; melalui penurunan nafsu makan anak sehingga asupan zat gizi berkurang; serta melalui reaksi peradangan. Peradangan secara umum akan menurunkan kadar zat besi dalam darah yang berakibat pada peningkatan feritin plasma. Feritin yang meningkat akan berperan dalam regulasi cadangan zat besi dengan menurunkan mobilitas zat besi dan mencegah penyerapan zat besi. Akibatnya akan terjadi penekanan proses pembentukan sel darah merah dan akhirnya menyebabkan terjadinya anemia (Trurnham 2007).
Gambar 3 Faktor-faktor eksogenus yang menyebabkan anemia (Trurnham 2007)
Dampak Anemia Menurut McGregor & Ani (2001), menyimpulkan hasil evaluasi terhadap sejumlah penelitian tentang dampak kekurangan zat besi pada bayi usia 6-24 bulan yang berlanjut anemia diketahui berhubungan dengan penurunan kognitif dan perkembangan motorik serta perkembangan mental anak (penelitian korelasional dan kasus kontrol). Selanjutnya studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya (middle childhood) akan memiliki kognitif dan perkembangan motorik serta prestasi belajar yang rendah. Pemberian suplementasi besi pada anak dapat memperbaiki status besi atau anemia dalam jangka pendek, namun tidak efektif dalam meningkatkan skor motorik pada anak yang anemia dibandingkan anak
12
tidak anemia (Walter 2003). Menurut Gibney et al. (2008) anak-anak mengalami anemia terlihat lebih penakut dan menarik diri dari pergaulan sosial, tidak bereaksi terhadap stimulus, lebih pendiam, kurang mau terlibat dan kurang bahagia selama mengikuti pemeriksaan perkembangan dirinya, selalu ingin berada dekat ibunya, kurang menunjukkan rasa senang, tampak lebih khawatir serta lebih mudah lelah dalam situasi ketika dia harus bermain dengan bebas. Perkembangan Motorik Perkembangan psikomotorik atau sering disebut perkembangan motorik adalah perkembangan mengontrol gerakan-gerakan tubuh melalui kegiatan terkoordinasi antara susunan syaraf pusat dan organ. Perkembangan motorik dimulai dengan gerakan-gerakan kasar (gross movement) yang melibatkan bagianbagian besar dari tubuh dalam fungsi duduk, berjalan, berlari, meloncat, dan lainlainnya. selanjutnya dilajutkan dengan koordinasi halus (finer coordination) yang melibatkan kelompok otot-otot halus dalam fungsi-fungsi meraih, memegang, melempar, dan lain-lainnya (Khomsan et al. 2013). Menurut Soetjiningsih dan Ranuh; Santrock (2006), keterampilan perkembangan motorik halus dan motorik kasar anak menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Keterampilan perkembangan motorik anak menurut umur Umur (bulan) 12-13 13-18
18-24
9-12
12-18 18-24
Keterampilan motorik kasar Dapat berjalan tanpa bantuan Dapat berjalan dan menarik suatu mainan yang diikat dengan tali/benang menggunakan kedua tangan dan kaki untuk memanjat sejumlah anak tangga dan mengendarai maianan roda empat Dapat belajar berjalan cepat/berlari dengan susah payah untuk jarak yang dekat, menyeimbangkan kaki mereka dalam posisi berjongkok sambil bermain dengan benda-benda diatas lantai, berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan, berdiri dan menendang bola tanpa terjatuh, berdiri dan melempar bola dan melompat ditempat Keterampilan motorik halus Mengulurkan lengan/badan untuk meraih benda yang diinginkan Menggenggam erat pensil Memasukkan benda ke mulut Menumpuk dua buah kubus Memasukkan kubus ke dalam kotak Bertepuk tangan Menumpuk empat buah kubus Memungut benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk Menggelindingkan bola ke arah sasaran
Terdapat berbagai instrumen atau alat tes untuk perkembangan motorik pada bayi dan balita. Namun, intrumen Denver II merupakan salah satu alat skrining perkembangan, membantu tenaga kesehatan atau dokter untuk mengetahui sedini mungkin penyimpangan pekembangan yang terjadi pada anak sejak lahir sampai umur 6 tahun (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Beberapa manfaat tes perkembangan dengan menggunakan instrumen DENVER II yaitu dapat menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan umur, menilai perkembangan anak sejak baru lahir samapi umur 6 bulan; menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan perkembangan, memastikan apakah
13
anak dengan kecurigaan terhadap kelainan, memang benar mengalami kelainan perkembangan; melalukan pemantauan perkembangan anak yang beresiko.
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Menangani masalah anemia pada anak diperlukan pendekatan yang holistik meliputi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan serta penanganan lingkungan (Adish et al. 1998). Terdapat dua strategi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah anemia gizi besi pada baduta yaitu komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan suplementasi zat besi. KIE dianjurkan agar sasaran khususnya ibu balita mengerti manfaat penanggulangan anemia terhadap balita dan mengetahui cara melakukan penanggulangan. Suplementasi zat besi dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan memberikan preparat dalam bentuk multivitamin dan mineral yang mengandung besi, asam folat dan seng, disamping juga mengandung vitamin A dan vitamin C. Di daerah endemis cacing, suplementasi dapat disertai dengan pemberian obat cacing. Sedangkan di daerah endemis malaria, pada individu yang dicurigai menderita malaria diberikan obat anti malaria (Depkes 2005). Menurut Arisman (2004), terdapat empat pendekatan dasar pencegahan anemia defisiensi zat besi antara lain; (1) pemberian tablet atau suntikan zat besi; (2) pendidikan upaya yang ada kaitan dengan peningkatan asupan zat besi melalui makanan; (3) pengawasan penyakit infeksi, dan (4) fortifikasi makanan pokok dengan zat besi. Fortifikasi zat besi pada beras terbukti sama efektifnya dengan pemberian suplentasi drop zat besi dalam meningkatkan Hb dan ferritin serum balita di Brazil (Beinner 2009). Konsumsi susu dan mie yang difortifikasi berhubungan dengan peluang menurunkan anemia pada anak balita di Indonesia (Semba et al. 2010). Suplementasi Fe+Zn secara harian dan mingguan cenderung meningkatkan kadar Hb anak usia 6-24 bulan (Riyadi 2002). Menurut Chew dan Lam (2012), pencegahan Anemia Gizi Besi (AGB) pada bayi dan anak dapat dilakukan dengan memastikan terpenuhinya asupan zat besi. Rekomendasi pola makan dan asupan zat besi pada bayi dan anak menurut The American Academy of Pediatrics antara lain: pemberian ASI Ekslusif 4-6 bulan pada bayi lahir cukup bulan dan menerima suplementasi besi pada usia enam bulan keatas serta mulai diperkenalkan Makanan Pendamping ASI (MPASI) tinggi zat besi. Balita usia satu sampai tiga tahun harus memiliki asupan zat besi sebanyak 7 mg/hari. Memberikan makanan seperti daging merah, biji-bijian yang mengandung zat besi, sayur-sayuran tinggi zat besi dan buah-buahan tinggi vitamin C untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Bayi dan balita usia 12-36 bulan yang tidak menerima asupan zat besi sesuai yang dibutuhkan, maka dapat diberikan suplemen cairan, dan multivitamin kunyah untuk anak usia tiga tahun atau lebih tua.
14
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Anemia adalah masalah gizi dan kesehatan yang umum terjadi ketika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga kadarnya di dalam darah menurun (World Bank 2006). Merujuk kepada pola pikir Unicef (1989) dalam mengembangkan bagan penyebab masalah gizi termasuk anemia gizi merupakan masalah yang multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Pada level awal individu mengalami anemia karena disebabkan oleh ketidakcukupan asupan gizi terutama rendahnya konsumsi pangan sumber hewani dan faktor adanya penyakit seperti diare, ISPA dan parasit. Riwayat penyakit dan infeksi menurunkan selera makan dan meningkatkan kebutuhan zat gizi, sementara ketidakcukupan asupan gizi membuat tubuh lebih mudah diserang penyakit infeksi. Selanjutnya pola asuh makan merupakan faktor baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi anemia pada baduta namun merupakan faktor langsung yang dapat mempengaruhi asupan zat gizi, status kesehatan baduta. Praktek pola asuh makan anak tersebut meliputi riwayat ASI dan penyapihan, higiene/sanitasi pemberian makan, pemberian makan anak saat sakit dan pemberian makan anak yang responsive (responsive feeding). Baiknya penerapan pola asuh makan anak ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki ibu tentang gizi dan kesehatan. Ibu yang memiliki pengetahun yang baik maka secara umum lebih memperhatikan asupan makanan dan kesehatan ananya. Maka secara tidak langsung kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan berpengaruh terhadap anemia pada baduta. Faktor karakteristik sosial ekonomi keluarga turut berperan dalam terjadinya anemia pada baduta. Menurut Adish et al. (1998), kemiskinan merupakan akar penyebab terjadinya anemia. Anak yang berasal dari rumah tangga dengan penghasilan bulanan yang lebih rendah cenderung kurang mendapatkan makanan kaya zat besi, seperti makanan hewani dan makanan yang mengandung vitamin A dan vitamin C yang sangat penting untuk penyerapan zat besi. Selain dari itu, rumah tangga tersebut juga kurang mampu untuk membayar pelayanan kesehatan selama sakit. Karakteristik anak berupa jenis kelamin umur dan umur merupakan karakteristik yang umum perlu diketahui dalam penelitian survei. Salah satu dampak anemia pada anak baduta adalah terjadinya kegagalan perkembangan motorik baik motorik kasar dan halus. Faktor status gizi dan status kesehatan diketahui juga berpengaruh terhadap perkembangan motorik anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik anak dapat dilihat pada Gambar 4.
15 Karakteristik Sosial Ekonomi RT 1.Umur orangtua 2. Pendidikan orangtua 3. Pekerjaaan orangtua 4. Jumlah angggota keluarga 5. Jumlah balita 6. Pendapatan perkapita
Pemanfaatan Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan
Praktek pola asuh makan - Pemberian ASI - Pemberian MP-ASI - Higiene/sanitasi pemberian makan - Pemberian makan saat anak sakit - Responsive Feeding
Status Kesehatan - ISPA - Diare - Cacingan Status Gizi - BB/U - TB/U Status Anemia Karakteristik anak - Umur - Jenis kelamin - Berat lahir
Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu
Perkembangan - Motorik kasar - Motorik Halus
Konsumsi Pangan: - Frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor - Asupan Energi - Asupan protein - Asupan zat besi/Fe - Asupan Vitamin A dan C - Asupan Vitamin C
Stimulasi Psikososial
Keterangan: = Hubungan antar variabel yang dianalisis =Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis =Variabel yang diteliti =Variabel yang tidak diteliti
Gambar 4 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik
16
4
METODE
Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian yang menggunakan desain survei, dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik yang ada di kelompok tertentu. Penelitian ini termasuk penelitian survei dimana faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan efek diobservasi pada saat yang sama, akan tetapi data yang diambil juga meliputi data yang menggambarkan kondisi masa lalu. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Geugajah, Lambheu, dan Jeumpet yang terletak di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober sampai November 2014. Teknik Penarikan Contoh Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak baduta berusia 12-24 bulan yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sementara yang menjadi populasi sasaran adalah semua baduta berusia 12-24 bulan yang terpilih memenuhi kriteria yaitu kondisi anak tidak sedang dalam kondisi sakit parah, tinggal bersama ibu, serta ibu bersedia berpartisipasi. Contoh adalah bagian dari pupulasi sasaran yang direncanakan yaitu yang dipilih secara acak dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional (Gambar 5). Berdasarkan survei awal yang dilakukan di lokasi penelitian total populasi baduta di Kecamatan Darul Imarah adalah 1120 baduta (Profil Puskesmas Darul Imarah 2012). Ukuran minimal contoh yang diperoleh sebesar 102 baduta usia 1224 bulan. Ukuran contoh dihitung berdasarkan rumus pendugaan proporsi seperti yang dikemukakan oleh Lameshow et al. (1997).
Z 2 α/2p q n d2 Keterangan: n = ukuran minimal contoh p = perkiraan proporsi baduta anemia di Kecamatan Darul Imarah q = 1-p (proporsi prevalensi tidak anemia) d = presisi (8%) 2 Z / 2 = nilai peubah acak normal baku sehingga p (Z > Z 2 / 2 ) = / 2
17
Purposive
Kecamatan Darul Imarah
Desa Jeumpet n1 = 56
Baduta n1= 17
Desa Lambheu n2 = 132
Desa Geugajah n3= 145
Pengambilan contoh dengan cara acak berlapis alokasi proporsional
Baduta n3= 45
Baduta n2= 40 i
Gambar 5 Skema penarikan contoh Cara III perhitungan jumlah contoh dari masing-masing desa sebagai berikut: Desa Jeumpet = 56 x 102 = 17 baduta 333 i Desa Desa Lambheu = 132 x 102 = 40 baduta 333 Desa Desa Geugajah = 145 x 102 = 45 baduta 333
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga dan jumlah balita, pendapatan perkapita; karakteristik baduta yaitu umur, jenis kelamin dan berat lahir; pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan; praktik pola asuh makan yaitu riwayat menyusui dan penyapihan, pemberian MP-ASI, higiene/sanitasi pemberian makan, responsive feeding dan pemberian makan anak saat sakit; konsumsi pangan meliputi berat dan jenis pangan; status gizi baduta meliputi berat badan dan panjang badan; riwayat penyakit/infeksi diare dan ISPA; status anemia baduta yaitu kadar hemoglobin (Hb); perkembangan motorik yaitu tugas perkembangan motorik kasar dan motorik halus sesuai umur baduta. Sedangkan data sekunder meliputi data demografi wilayah penelitian. Variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 5.
18
Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data No
Variabel
Cara Pengumpulan
Data Primer 1. Karakteristik baduta
Wawancara langsung dan pengamatan KMS
2.
Wawancara langsung menggunakan kuesioner
3.
Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Konsumsi pangan
4.
Praktek pola asuh makan
5.
Antropometri
6.
Riwayat penyakit/infeksi
7.
Status anemia
8.
Perkembangan motorik
Data Sekunder 9. Profil wilayah
Wawancara menggunakan recall 1x24 jam dan FFQ Wawancara menggunakan kuesioner Penimbangan berat menggunakan timbangan digital dan pengukuran panjang badan dengan length board Wawancara menggunakan kuesioner atau pengamatan KMS Pengukuran kadar Hb menggunakan alat HemoCue Observasi dan wawancara menggunakan kuesioner DENVER II Arsip wilayah penelitian
Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung. Sebelum dilakukan pengumpulan data, formulir persetujuan (informed consent) dibagikan peneliti untuk diisi dan ditanda tangani oleh keluarga baduta yang tepilih. Selanjutnya orangtua contoh yang bersedia untuk berpatisipasi dalam pengambilan data dikunjungi oleh peneliti dibantu enumerator yang sudah terlatih untuk dilakukan proses wawancara, penimbangan Berat Badan (BB), pengukuran Panjang Badan (PB) dan kadar Hemoglobin (Hb), serta penilaian perkembangan motorik kasar dan motorik halus baduta. Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti dan dibantu enumerator lulusan Diploma III Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh dan lulusan Magister Psikologi Universitas Syiah Kuala. Penilaian pengukuran kadar Hb dilakukan dengan menggunakan alat Hemocue 201+ yang dilakukan oleh bidan Puskemas Darul Imarah. Data pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada responden sebanyak 15 pertanyaan. Jenis pertanyaan tersebut mencakup pengertian ASI Ekslusif, usia pertama pengenalan MP-ASI, usia pengenalan makanan keluarga, definisi anemia, tanda-tanda anemia, penyebab anemia, sumber zat besi yang baik, bahan pangan nabati tinggi sumber zat besi, sumber vitamin dan mineral, bahan makan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, dampak anemia, cara pencegahan anemia, usia pertumbuhan dan perkembangan otak, tanda gizi buruk dari KMS serta pengertian BBLR.
19
Data asupan zat gizi baduta dikumpulkan menggunakan metode 24-Hour Food Recall melalui wawancara langsung dengan ibu atau pengasuh. Data yang dikumpulkan meliputi data jumlah pangan yang dikonsumsi dan frekuensi konsumsi pangan. Asupan zat gizi dari ASI diketahui dari frekuensi dan lama pemberian ASI dalam sehari. FFQ dilakukan untuk memastikan kualitas data konsumsi pangan yaitu untuk menilai frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan yang menjadi penghambat penyerapan zat besi (inhibitor). Pengukuran status gizi baduta dengan pengukuran antropometri terhadap berat badan dan panjang badan. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital yang sudah dikalibrasi terlebih dahulu. Cara pengukuran berat badan dilakukan dengan cara penimbangan langsung atau penimbangan terhadap berat badan ibu dan anak yang dikurangi dengan penimbangan berat badan anak. Pengukuran panjang badan dilakukan dengan menggunakan length board. Masing-masing pengukuran tersebut dilakukan sebanyak dua kali. Hasil akhir adalah rata-rata pengukuran. Semua perlengkapan yang digunakan dalam pengumpulan data dicek secara rutin setiap hari, termasuk kalibrasi, dan alat cadangan yang disediakan. Status kesehatan anak dilihat dari riwayat infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan diare dalam dua minggu terakhir. Penyakit ISPA ditentukan berdasarkan gejala batuk, pilek dan panas. Diare ditentukan berdasarkan gejala buang air besar berbentuk encer lebih dari 3 kali/hari. Data perkembangan motorik contoh diukur dengan menggunakan instrumen DENVER II sesuai umur. Pencatatan perkembangan motorik tersebut dilakukan dengan cara mengamati aspek yang dinilai selama 5-10 menit, dan selama testing session tersebut, setiap anak dirangsang untuk dapat melakukan milestone yang tertinggi. Instruksi diberikan kepada anak dan atau pengasuh untuk memberikan dorongan agar anak melakukan fungsi motorik yang sedapat mungkin dapat dicapai anak (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Langkah-langkah pelaksanaan pengukuran perkembangan motorik anak dengan DENVER II meliputi; menyapa orangtua/pengasuh dan anak dengan ramah; jelaskan kepada orangtua dilakukan tes perkembangan; buat komunikasi yang baik dengan anak, hitung umur anak dan buat garis umur; tarik garis umur atas ke bawah dan cantumkan tanggal pemeriksaaan pada ujung atas garis umur; lakukan tugas perkembangan untuk sektor perkembangan motorik halus dan motorik kasar dimulai dari tugas yang paling mudah dan mulai dengan tugas perkembangan yang terletak di sebelah kiri garis umur, kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis umur. Pada setiap sektor dilakukan minimal dilakukan tiga tugas perkembangan yang paling dekat di sebelah kiri garis umur. Bila anak mampu melalakukan 3 tugas dari sebelah kiri garis umur, selanjutnya lakukan 3 tugas perkembangan tambahan ke sebelah kanan garis umur pada masing-masing sektor sampai anak gagal. Beri tanda penilaian dari tiap uji coba ditulis pada kotak segi empat (tanda P: Pass/lulus) jika anak melakukan uji coba dengan baik, atau ibu/pengasuh anak memberi laporan (tepat/dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukannya), (tanda F: Fall/gagal) jika anak tidak dapat melakukan uji coba dengan baik atau ibu/pengasuh anak memberikan laporan (tepat) bahwa anak tidak dapat melakukannya dengan baik. Instrumen Denver II dapat dilihat pada Lampiran 4.
20
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh diperiksa terlebih dahulu meliputi beberapa tahap yaitu coding, entry, claning, dan analisis. Coding yaitu pemberian angka atau kode sehingga memudahkan dalam memasukkan data ke komputer. Entry yaitu memasukkan data kuesioner dan data lainnya yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sebagai data dasar. Cleaning dilakukan untuk mengecek kelengkapan informasi yang diperoleh. Data yang diperoleh diolah dan kemudian dianalisis dengan pengkategorian masing-masing variabel dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6 Pengkategorian variabel dalam penelitian No 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
10.
Variabel Penelitian Jenis kelamin
Kategori pengukuran
1: laki-laki 2: Perempuan Berat lahir 1: <2500 g 2: >2500 g Usia orangtua 1: ≤ 24 tahun 2: 25-32 tahun 3: 29-32 tahun 4: ≥33 tahun Pendidikan Orangtua 1 : Tidak tamat SD/SD 2 : SMP (7-9 tahun) 3 : SMA (10-12 tahun) 4 : PT /Akademi (>12 tahun) Pekerjaan orangtua 1: Petani/buruh tani 2: Pedagang 3: PNS/pegawai 4:Jasa 5. Ibu rumahtangga Besar Keluarga 1: Kecil (≤4 orang) 2: Sedang (5-6 orang) 3: Besar (≥7 orang) Besar keluarga 1: <2 orang 2: ≥2 orang Pendapatan/kapita 1: Kuintil I (Rp 286.666) 2: Kuintil II (Rp 500.000) 3: Kuintil III (Rp 666.667) 4: Kuintil IV (Rp 1.000.000) 5: Kuintil V (Rp 3.000.000 Pengetahuan ibu tentang gizi 1: > 80 % (tinggi) dan kesehatan 2: 60-80% (sedang) 3: < 60 % (rendah) Tingkat kecukupan energi 1:Defisit tingkat berat dan protein (%) (<70% AKG) 2:Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 3:Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 4:Normal (90-119% AKG) 5: Kelebihan (≥120% AKG)
Sumber Semba et al. (2010)
BKKBN (2003) Wijaya (2012)
Khomsan (2000)
Depkes (1996)
21
Tabel 6 Pengkategorian variabel dalam penelitian (lanjutan) No 11. 12.
13.
14.
15.
16. 17.
Variabel Penelitian Kategori pengukuran Tingkat kecukupan vitamin 1:Kurang (<77% AKG) dan mineral (%) 2:Cukup (≥77% AKG) Status Gizi indeks BB/U 1:Gizi Lebih (>+2 SD) 2:Gizi Baik (≥ -2 SD sampai ≤ +2 SD) 3:Gizi Kurang (≥ -3 SD sampai < -2 SD) 4:Gizi Buruk(< -3 SD) Status Gizi indeks TB/U 1:Sangat pendek (< -3 SD) 2:pendek (≥ -3 SD sampai < -2 SD) 3:Normal (≥ -2 SD) Riwayat infeksi diare dan 1:Ya (pernah mengalami ISPA diare atau ISPA dalam 2 bulan terakhir) 2:Tidak (tidak pernah mengalami diare atau ISPA dalam 2 bulan terakhir) Praktek pola asuh makan 1: Tinggi (>80%) 2: Sedang (60-80%) 3: Rendah (<60% ) Status Anemia 1: Anemia (Hb < 11 g/dl) 2: Tidak anemia (Hb 11 g/dl) Perkembangan motorik halus 1:Suspek(keterlambatan) dan motorik kasar 2:Normal
Sumber Depkes (1996) Gibson (2005)
WHO (2005)
Khomsan (2013) WHO (2011) Susanty (2012)
Data pengetahuan gizi dan kesehatan ibu diolah dengan pemberian skor pada masing masing pertanyaan yang dijawab benar dengan skala jawaban 1 dan jawaban yang salah dengan angka 0. Skor pengetahuan gizi diperoleh berkisar antara 0-15. Skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dikategorikan menjadi tinggi (skor >80%), sedang (skor 60-80%), dan rendah (skor <60%) (Khomsan 2000). Sementara data praktik pola asuh makan diolah dengan pemberian skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 40. Skor praktik pola asuh makan dikategorikan menjadi praktik pola asuh makan tinggi (skor >80%), sedang (skor 60-80%), dan rendah (skor <60%) (Khomsan et al. 2013). Data asupan zat gizi contoh yang dikumpulkan terlebih dahulu dikonversi beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan gizi yaitu energi (kkal), protein (gram), zat besi (mg), vitamin C (mg), dan vitamin A (µg) dengan menggunakan perangkat lunak program Nutri-Survei 2007. Untuk menentukan Angka Kecukupan energi digunakan rumus model persamaan estimasi energi untuk anak usia 13-25 bulan (Hardinsyah et al. dalam Kemenkes 2014): TEE = [89 x BB (kg) -100] +20 kkal Selanjutnya Angka Kecukupan Energi (AKE) diperoleh: AKE= TEE + 0.05 TEE
22
Keterangan: TEE = Total Energy Expenditure – total pengeluaran energi (kkal) BB = berat badan. Sedangkan menentukan Angka Kecukupan Protein (AKP) digunakan rumus perhitungan kecukupan protein: AKP = Kecukupan protein/kg BB (1.3) x BB x faktor koreksi mutu protein (1.5) Kecukupan mineral dan vitamin dihitung dengan langsung dengan angka kecukupan tapa menggunakan rumus diatas. Selanjutnya tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan: TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i yang dicari Ki = Konsumsi zat gizi i AKGi = Angka kecukupan kecukupan zat gizi i yang dicari Data asupan zat gizi dari ASI yang dikonsumsi dihitung berdasarkan data frekuensi dan lama pemberian ASI menurut Worthington-Robert (1993) dalam Riyadi (2002). Volume ASI yang dikonsumsi baduta dihitung dengan cara mengalikan lama pemberian ASI dengan volume ASI yang diperoleh. Apabila lama pemberian ASI ≤ 15 menit untuk setiap kali penyusuan maka volume ASI yang diperoleh diasumsikan 60 ml, sedangkan lama pemberian ASI lebih dari 15 menit maka volume ASI yang diperoleh diasumsikan hanya 20 ml. Nilai-nilai ini kemudian dikalikan dengan frekuensi pemberian ASI per hari, sehingga diperoleh volume ASI per hari. Volume ASI yang dikonsumsi anak tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk zat gizi menggunakan data komposisi zat gizi ASI. Data pengukuran motorik halus dan kasar contoh diolah dengan cara skoring hasil interpretasi kategori lebih, normal, peringatan dan keterlambatan. Kategori lebih (advanced), bila anak lulus pada butir yang terletak dikanan garis umur, dinyatakan perkembangan anak lebih karena kebanyakan anak sebayanya belum lulus. Kategori norma (normal), bila anak gagal/menolak tes pada butir sebelah kanan garis umur, atau anak lulus dan gagal tes butir dimana garis umur terletak di antara 25 dan <75%. Kategori peringatan (caution), bila anak gagal atau menolak melakukan butir dimana garis umur pada persentil 75 dan 90%. Kategori keterlambatan (delayed), bila anak menolak atau gagal melakukan butir tes yang terletak di sebelah kiri garis umur. Hasil tersebut kemudian diinterpretasikan dan dibuat kesimpulan dengan klasifikasi normal bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu peringatan dan suspek (keterlambatan) bila ada ≥ 2 peringatan dan atau ≥ 1 keterlambatan (Frankenburg dan Dodds 2009 dalam Susanty 2012). Berdasarkan Instrumen Denver II maka dapat dibuat matriks tugas masing-masing perkembangan motorik halus dan motorik kasar sesuai dengan garis umur anak usia 12-24 bulan. Anak dikatakan perkembangan motorik halus dan motorik kasar normal jika minimal mampu melakukan tiga tugas perkembangan (tanda √) dari masing-masing umur menurut matriks di bawah.
23
Matriks tugas perkembangan motorik halus dan motorik kasar dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7 Matriks tugas perkembangan motorik halus baduta menurut umur Usia (bulan) Mengambil 2 kubus Memegang dengan ibu jari dan jari Membenturkan 2 kubus Menaruh kubus dalam cangkir Mencoret-coret Mengambil manik-manik ditunjukkan Menyusun menara dari 2 kubus Menyusun menara dari 4 kubus
12
13
14
15
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
16
17
18
19
20
21
22
23
24
√ √ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
Tabel 8 Matriks tugas perkembangan motorik kasar baduta menurut umur Usia (bulan) Bangkit untuk berdiri Bangkit terus duduk Berdiri 2 detik Berdiri sendiri Membungkuk kemudian berdiri Berjalan dengan baik Berjalan mundur Lari Berjalan naik tangga Menendang bola
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 √ √ √
√ √ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√
√ √ √
Pengolahan dan analisis data menggunakan sistem komputerisasi menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2010, Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 17.0 for windows dan SAS versi 9.1 for Wondows. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Statistik deskriptif yang dilakukan meliputi distribusi frekuensi, mean, dan standar deviasi. Statistik Inferensia yang dilakukan meliputi uji korelasi Person (untuk data yang bersifat interval dan rasio) dan Spearman (nominal ordinal), uji proporsi
24
dengan sebaran F, dan uji regresi menggunakan metode stepwise. Uji korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang ingin diteliti. Uji Regresi metode stepwise digunakan untuk melihat variabel dominan berpengaruh terhadap status anemia baduta. Model regresi linear berganda digunakan untuk analisis tujuan kedua adalah sebagai berikut: y1= β0 + β1X1 + β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5+ β6X6+ β7X7+ β8X8+ β9X9+ β10X10+ β11X11+ β12X12+ β13X13+ β14X14+ β15X15+ β16X16+ β17X17+ β18X18+ β19X19+ β21X21+ β22X22 + ϵ 1. 2.
3. 4. 5.
Keterangan: y1= Kadar Hb (g/dL) Xi=Peubah bebas: X1=umur baduta, X2=jenis kelamin, X3=berat lahir, X4=umur ayah, X5=umur ibu, X6=pendidikan ayah, X7=pendidikan ibu, X8= pendapatan perkapita, X9=besar keluarga, X10=jumlah balita, X11=pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, X12= praktik pola asuh makan, X13=tingkat kecukupan energi, X14=tingkat kecukupan protein, X15=tingkat kecukupan besi, X16= tingkat kecukupan vitamin A, X17= tingkat kecukupan vitamin C, X18= Z-skor BB/U, X19=Z-skor TB/U, X20= riwayat diare, X21=riawat ISPA dan X22=status pemberian ASI (i = nama variabel ke i dalam peubah bebas) β0= Parameter intercept β1, β2, β3 ...... βi = Parameter koefisien regresi ϵ = Galat (error).
Definisi Operasional Anak baduta adalah anak laki-laki dan perempuan pada saat penelitian berusia 12 sampai 24 bulan. Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaaan tetap yang dilakukan oleh kepala keluarga dan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dari pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun tambahan, dibagi jumlah anggota keluarga. Hasilnya dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan Praktek pola asuh makan adalah pola asuh makan yang dinilai dari ibu/pengasuh meliputi riwayat menyusui dan penyapihan, pemberian MPASI, higiene/sanitasi, pemberian makan secara responsif (responsive feeding), dan jenis dan jumlah pemberian makanan anak saat sakit yang kemudian dikategorikan berdasarkan skor. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan jumlah konsumsi zat gizi terhadap angka kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C sesuai dengan kelompok umur, dikalikan dengan 100%.
25
Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah penguasaan materi ibu yang berhubungan dengan pangan gizi dan kesehatan anak yang ada kaitannya dengan anemia yang dinilai berdasarkan persentase total jawaban benar dari serangkain pertanyaan yang diajukan. Status anemia adalah status anemia baduta yang diukur berdasarkan kadar hemoglobin darah contoh dengan menggunakan metode/alat Hemocue. Dikatakan anemia jika Hb: < 11 g/dL, tidak anemia ≥ 11 g/dL Riwayat penyakit/infeksi adalah keadaan kesehatan baduta dalam 2 bulan terakhir yang dinilai berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi kejadian penyakit ISPA dan diare. ISPA adalah gejala batuk, pilek, demam. Diare adalah gejala buang air besar lebih dari 3 kali/hari dan feses berbentuk encer. Perkembangan motorik adalah fenomena perkembangan anak yang meliputi perkembangan kasar dan halus menurut umur yang diukur dengan menggunakan serangkaian tes dengan menggunakan instrumen DENVER II. Motorik kasar melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan otot yang lebih besar. Motorik halus melibatkan sebagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot kecil.
26
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Aceh besar terletak pada 5.2° - 5.8° Lintang Utara dan 95.0° 95.8° Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS Aceh besar 2013). Kecamatan Darul Imarah merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan ini mempunyai luas wilayah administratif 32.95 km2 yang dibagi menjadi 32 desa, 117 dusun dan 4 mukim. Jarak tempuh antara Kecamatan Darul Imarah ke Ibu Kota Kabupaten Aceh Besar adalah ± 60 km, dengan waktu tempuh ± 30 menit. Kecamatan Darul Imarah memiliki satu puskesmas yang berbatasan sebelah Utara dengan Kota Banda Aceh dan Kecamatan Pukan Bada, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Darul Kamal, sebelah Barat berbatasan dengan Puskesmas Lhoknga dan Pekan Bada, dan sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Ingin Jaya (Profil Kecamatan Darul Imarah 2013). Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Darul Imarah pada tahun 2012 mencapai 51.524 jiwa. Jumlah laki-laki sebanyak 26.503 jiwa dan perempuan 25.021 jiwa. Sementara rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 10.422 jiwa atau mencapai kondisi ideal kepadatan rumah tangga. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk usia >10 tahun di Kecamatan Darul Imarah tergolong sedang, karena sebagian besar berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan menyelesaikan pendidikan SD dan SLTP. BBLR adalah berat bayi ketika lahir <2500 g. Pada tahun 2012 di Kecamatan Darul Imarah ditemukan 17 kasus BBLR. Sementara tingkat kesejahteraan balita di Kecamatan Darul Imarah belum dapat diidentifikasi dengan baik karena cakupan penimbangan rata-rata perbulan <80%. Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat ke posyandu maka menyebabkan penjaringan kasus gizi kurang dan gizi buruk menjadi sedikit. Berdasarkan hasil survei Puskesmas tahun 2012 diketahui balita yang mengalami ISPA masuk dalam kategori sepuluh penyakit terbesar yang menduduki urutan pertama, dan kejadian diare juga masih tinggi. Hal tersebut disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tingkat rumah tangga belum teraplikasi sepenuhnya. Distribusi vitamin A dosis tinggi untuk bayi dan balita cukup merata dan 100% sudah mendapatkan kapsul vitamin A. Cakupan vitamin A untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas setiap tahun sudah mencapai target. Cakupan ASI Ekslusif hanya sebanyak 30,6%. Rendahnya cakupan tersebut disebabkan oleh kegagalan pada tahap Inisiasi Menyusi Dini (IMD) dan pemberian prelaktal terlalu dini.
27
Karakteristik Anak Contoh dalam penelitian ini adalah anak baduta berjumlah 102 orang yang tinggal di Kecamatan Darul Imarah. Karakteristik baduta yang diamati dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan berat badan lahir. Sebaran baduta menurut jenis kelamin, umur dan berat badan lahir dapat lihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran baduta menurut karakteristik Baduta Karakteristik Baduta Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (bulan) 12-18 19-24 Total ( X± SD) Berat Lahir (g) ≤2500 ≥2500 Total ( X± SD)
n
%
44 58 102
43.1 56.9 100
68 34 102
66.7 33.3 100 17.0 ± 3.6
15 87 102
14.7 85.3 100 3105.9 ± 495.9
Tabel 9 menunjukkan sebagian besar contoh adalah berjenis kelamin perempuan (56.9%), berumur pada rentang usia 12-18 bulan (66.7%), memiliki berat badan lahir ≥2500 g (85.3%). Rata-rata umur baduta adalah 17.0 bulan, dengan rata-rata berat lahir adalah 3105.9 g. Selanjutnya, terdapat sebesar 14.7% bayi memiliki berat badan lahir ≤2500. Bayi yang memiliki berat badan lahir ≤ 2500 g sering disebut BBLR atau Bayi Berat Lahir Rendah atau (Soetjiningsing dan Ranuh 2013). Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam penelitian ini meliputi umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga, besar balita dan pendapatan perkapita rumah tangga. Tabel 10 menunjukkan rata-rata umur ayah 34.2 tahun dan umur ibu baduta 29.5 tahun. Persentase tertinggi umur ayah berada pada rentang ≥ 33 tahun (55.9%), sedangkan umur ibu berada pada rentang 25-28 tahun (36.3%). Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari lama pendidikannya. Pendidikan merupakan modal dasar dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (Guhardja et al. 1992). Selain dari itu, pendidikan orangtua biasanya berkaitan dengan pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat dicermati tingkat pendidikan yang diraih ayah ataupun ibu baduta, diketahui
28
bahwa umumnya mereka sudah menempuh pendidikan 12 tahun (tamat SMU). Persentase tertinggi (69.6%) ayah berpendidikan Sekolah Menengah Atas/SMA diikuti pendidikan Sekolah Menengah Pertama/SMP dan Diploma/Perguruan Tinggi masing-masing sebesar 13.7%, sedangkan ibu berpendidikan SMA (46.1%), diikuti pendidikan Diploma/Perguruan Tinggi (33.3%). Sebaran karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Karakteristik Sosial Ekonomi RT Umur ayah (tahun) ≤ 24 25-28 29-32 ≥33 Total (x ± sd) Umur Ibu (tahun) ≤ 24 25-28 29-32 ≥33 Total (x ± sd) Pendidikan Ayah <=SD SMP SMA PT /Akademik Total (x ± sd) tahun Pendidikan Ibu <=SD SMP SMA PT /Akademik Total (x ± sd) tahun Pekerjaan ayah Petani/buruh tani Pedagang PNS/polisi Jasa
n
%
3 24 18 57 102
2.9 23.5 17.6 55.9 100.0 34.2 ± 6.0
19 37 16 30 102
18.6 36.3 15.7 29.4 100.0 29.5 ± 5.4
3 14 71 14 102
3 13.7 69.6 13.7 100.0 11.9 ± 2.3
2 19 47 34 102
2 18.6 46.1 33.3 100.0 12.4 ± 2.9
7 9 27 59
6.9 8.8 26.5 57.8
29
Tabel 10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (lanjutan) Karakteristik Sosial Ekonomi RT Pekerjaan Ibu IRT PNS Jasa Total Pendapatan Perkapita (Rp) Kuintil 1 (286666)
n
%
78 17 7 102
76.5 16.7 6.9 100.0
19
18.6
Kuintil 2 (500000)
32
31.4
Kuintil 3 (666667)
10
9.8
Kuintil 4 (1000000)
21
20.6
Kuintil 5 (3000000) Total (x ± sd) Besar Rumah Tangga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥7 orang) Total (x ± sd) Jumlah Balita (orang) <2 ≥2 Total (x ± sd)
20 102
19.6 100.0 721.873 ± 534.009
69 31 2 102
67.6 30.4 2.0 100.0 4.2 ± 1.0
73 29 102
71.6 28.4 100.0 1.3 ± 0.5
Jenis pekerjaan orangtua mencerminkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima setiap bulan. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui sebagian besar (57,8%) ayah baduta bekerja di bidang jasa diikuti bekerja sebagai PNS (26,5%). Jenis pekerjaan dibidang jasa yang umum dilakukan oleh ayah adalah tenaga honorer, supir, buruh bangunan, dan sebagainya. Sementara sebagian besar (76,5%) ibu baduta menjadi ibu rumah tangga), dikuti bekerja sebagai PNS 16.7% dan hanya sebagian kecil (6.9%) ibu bekerja di bidang jasa. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui rata-rata pendapatan perkapita rumah tangga baduta adalah Rp 721.873 atau berada pada kuintil IV. Persentase terbesar (31.7%) pendapatan perkapita perbulan keluarga tersebar pada kuintil II atau pada kategori menengah ke bawah yang berkisar antara Rp 28666-500000. Hal tersebut di duga karena ayah dan ibu baduta memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi bahwa pendidikan ayah (r:0.346; p:0.000), ibu (r:0.435; p:0.000), besar keluarga (r:0.307; p:0.002) berhubungan secara signifikan dengan
30
pendapatan perkapita. Menurut Guhardja et al. (1992), orang yang berpendidikan tinggi biasanya menggambarkan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi. Pada umumnya mereka juga mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah. Besar keluarga dalam penelitian ini adalah terdiri dari orangtua, anak, dan kerabat yang menempati rumah yang sama dari sumber perolehan pangan yang sama. Besar keluarga dapat digunakan untuk memberikan gambaran terhadap jumlah pangan yang diterima anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui rata-rata besar anggota keluarga baduta adalah 4 orang dan persentase tertinggi (67.6%) berada pada kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) (BKKBN 2003). Hanya terdapat sebagian kecil (2.0%) keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang atau kategori keluarga besar. Selanjutnya, rata-rata jumlah balita yang dimiliki keluarga baduta adalah satu orang.
Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dalam penelitian diperoleh dari kemampuan ibu dalam menjawab benar dari masing-masing pertanyaan. Ibu adalah orangtua yang lebih berperan dalam hal pengasuhan anak. Pengasuhan yang diterapkan ibu terhadap anak berbeda-beda antar keluarga. Menurut Khomsan et al. (2013), pengetahuan ibu merupakan landasan penting untuk mencukupi asupan gizi anak. Pengetahuan gizi yang dimplementasi dalam sikap dan praktik akan mendorong terbentuknya pola makan yang baik di dalam rumah tangga. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan khususnya berkaitan dengan anemia dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran baduta menurut kategori pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan Kategori Pengetahuan Ibu tentang Gizi n % dan Kesehatan 59 57.8 Rendah (<60%) Sedang (60-80%) 38 37.3 5 4.9 Tinggi (>80%) 102 100.0 Total (x ± sd) skor
55.3 ± 16.0
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui rata-rata skor pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan adalah 55.3% atau berada pada kategori rendah. Persentase tertinggi (57.8%) ibu baduta memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori rendah diikuti kategori sedang (37.3%) dan hanya sebagian kecil (4.9%) dengan kategori tinggi. Besarnya persentase ibu memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan rendah diduga disebabkan oleh pendidikan orangtua rendah dan pendapatan rendah. Hasil tersebut diperkuat dari hasil uji korelasi menujukkan bahwa pendidikan ayah (r:0.256; p:0.009), pendidikan ibu (r:0.250; p:0.011), dan pendapatan (r:2.47; p:0.012) berhubungan secara signifikan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu.
31
Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh oleh akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan wawasan ibu tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah yang berpendidikan tinggi memungkinkan memperoleh pendapatan yang tinggi, sehingga memperbanyak jumlah media yang dibaca atau didengar dan frekuensi yang lebih sering yang akhirnya akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu. Butir pertanyaan mengenai pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran baduta menurut butir pertanyaan yang dijawab benar tentang pengetahuan gizi dan kesehatan ibu Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu 1. Usia pengenalan MP-ASI 2. Usia pengenalan makanan keluarga 3. Anemia pada anak terjadi ketika kadar Hb < 11 g/dL 4. Tanda-tanda anemia 5. Anemia adalah keadaan kekurangan asupan zat besi 6. Sumber zat besi yang baik terdapat pada pangan hewani 7. Bahan makanan nabati tinggi zat besi adalah sayuran hijau 8. Buah dan sayur merupakan sumber vitamin dan mineral 9. Zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan besi 10. Bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan besi 11. Cara pencegahan anemia pada baduta 12. Dampak dari anemia terhadap gangguan tumbuh kembang 13. Usia 2 tahun pertama adalah masa perkembangan otak pesat 14. Balita gizi buruk pada KMS terletak pada garis warna merah 15. Pengertian BBLR (berat bayi lahir rendah <2500gram)
n 63 67 5 76 48 57 70 68 48 36 74 55 79 68 30
% 61.8 65.7 4.9 74.5 47.0 55.9 68.6 66.7 47.0 35.3 72.5 53.9 77.4 66.7 29.4
Butir pertanyaan tentang tanda tanda anemia seperti wajah pucat, lemas, letih dan konsentrasi menurun secara umum sudah dapat dipahami dengan baik oleh ibu baduta (74.5%) (Tabel 12). Namun, ibu/pengasuh tidak mengetahui bahwa anemia dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Pengetahuan tentang tandatanda anemia penting diketahui oleh para ibu-ibu yang memiliki anak terutama baduta, karena dengan mengetahui tanda-tanda atau gejala tersebut maka ibu dapat mengantisipasinya dengan baik penyebab dari anemia seperti meningkatkan konsumsi sumber zat besi dan pola hidup sehat. Secara umum, pengetahuan ibu tentang bahan pangan nabati tinggi zat besi adalah sayuran berwarna hijau seperti daun kelor, bayam, sawi sudah dapat dipahami dengan baik oleh ibu. Selain pangan hewani, sayuran berwarna hijau tua juga merupakan sumber zat besi yang baik. Selain itu, ibu juga memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang buah dan sayur merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik untuk kesehatan. Seperti vitamin C merupakan zat gizi yang berperan penting dalam proses penyerapan zat besi non heme yang dapat mengubah zat besi bentuk feri menjadi fero sehingga lebih mudah diserap oleh usus (Monte dan Giugliani 2004).
32
Butir pengetahuan tentang cara mencegah anemia seperti mengonsumsi makanan tinggi zat besi sudah cukup baik diketahui oleh ibu. Namun, ibu baduta belum cukup baik mengetahui tentang sumber zat besi yang baik adalah terdapat pada pangan sumber hewani seperti daging, unggas dan ikan. Chew et al. (2012) menyatakan cara pencegahan Anemia Gizi Besi (AGB) pada bayi dan anak yaitu dengan memastikan terpenuhinya asupan zat besi yang baik. Balita usia satu sampai tiga tahun perlu mendapatkan asupan zat besi sebanyak 7 mg/hari. Makanan sebaiknya diberikan mengandung daging merah, biji-bijian, sayursayuran berwarna hijau, dan buah-buahan dengan vitamin C tinggi untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Butir pertanyaan tentang masa usia dua tahun pertama kehidupan adalah masa perkembangan otak secara pesat juga cukup baik dipahami oleh ibu (77.4%). Pertumbuhan otak dimulai sejak janin dan pada usia dua tahun ukuran otak anak mencapai 80% dari ukuran otak dewasa (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Pengetahuan ini sangat penting juga diketahui sehingga pada masa usia 2 tahun pertama kehidupan anak-anak memperoleh pola asuh yang optimal. Berdasarkan 15 butir pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan yang ditanyakan pada ibu-ibu di lokasi penelitian, terdapat 7 butir pertanyaan yang belum dipahami dengan baik. Butir pertanyaan tersebut yaitu tentang batas kadar Hb terjadi anemia pada anak (butir no 3), penyebab terjadinya anemia (butir no 5), pangan hewani merupakan sumber zat besi yang lebih baik (butir no 6), zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi (butir no 9), bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi (butir no 10), dampak anemia terhadap tumbuh kembang anak (butir no 12), dan pengertian BBLR (butir no.15). Proporsi ibu menjawab benar masing-masing butir pertanyaan tersebut adalah 4.9%, 47.1%, 55.9%, 47.1, 35.3%, 53.9% dan 29.4%.
Praktik Pola Asuh Makan Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Salah satu faktor terpenting dalam pengasuhan fisik seseorang anak yaitu pola asuh makan. Kategori pola asuh makan baduta yang diterapkan ibu/pengasuh dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran baduta menurut kategori skor praktik pola asuh makan Kategori Praktik Pola Asuh Makan Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Total (x ± sd) skor
n 28 71 3 102
% 27.4 69.6 2.9 100.0 64.0 ± 11.0
33
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui rata-rata skor praktik pola asuh makan yang diterapkan ibu/pengasuh baduta adalah 64.0% atau berada pada kategori sedang. Persentase terbesar (69.6%) praktik pola asuh makan berada pada kategori sedang, diikuti ketegori rendah (27.4%), dan terkecil (2.9%) dengan kategori tinggi. Hasil tersebut menunjukkan belum cukup baik praktik pola asuh makan yang diterapkan ibu/pengasuh kepada anak. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan sehingga dapat mempengaruhi praktik pola asuh makan anak. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi menunjukkkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan berhubungan secara signifikan dengan praktik pola asuh makan (r:0.26; p:0.009). Menurut Khomsan et al. (2009), praktik yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama, oleh sebab itu, penting bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti sekolah, media cetak, maupun media elektronik. Aspek praktik pola asuh makan yang dinilai dari ibu/pengasuh sesuai dengan panduan prinsip pemberian makanan untuk anak usia 2 tahun pertama kehidupan yang direkomendasikan WHO (2001) yaitu beberapa diantaranya; (1) penerapan praktik pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan; (2) penerapan MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) pada usia 6 bulan dan meneruskan ASI dan MP-ASI sesuai umur sampai usia 24 bulan; (3) penerapan responsive feeding dengan prinsip-prinsip psiko sosial; (4) penerapan hiegine/sanitasi pemberian makan; dan (5) penerapan pemberian makan saat anak sakit. Butir praktik pola asuh makan berdasarkan riwayat ASI dalam penelitian ini meliputi riwayat pemberian kolostrum, pemberian ASI Ekslusif, dan status masih diberikan ASI. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui hampir seluruh ibu (91.2%) memberikan kolostrum kepada anaknya. Namun, lebih dari separuh baduta (52.0%) tidak diberikan ASI secara Ekslusif, hanya sebesar 48.0% baduta yang diberikan ASI Eskslusif. Definisi ASI Ekslusif dalam penelitian ini adalah bayi yang hanya diberikan ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan (WHO 2002). Menurut Saragih (2007), faktor-faktor ibu gagal dalam memberikan ASI Ekslusif antara lain: (1) kebiasaan setempat, yaitu kebiasaan suatu daerah memberikan peranan kuat; (2) faktor kekhawatiran yaitu para ibu terlalu khawatir ASInya tidak cukup; (3) pemberian makanan prelaktal, yaitu kebiasaan memberikan makanan dan minuman seperti madu pada bayi sebelum ASI keluar; (4) faktor justifikasi ibu, seperti sebagian ibu mengambil keputusan memberikan makanan dini dengan alasan ASI Ekslusif sudah cukup tidak sampai 6 bulan; (5) faktor orangtua atau tetangga; (6) dukungan suami; dan (7) gencarnya promosi susu formula. Pada saat dilakukan penelitian, sebagian besar (66.7%) baduta masih diberikan ASI, sisanya sebesar 33.3% baduta tidak diberikan ASI lagi. Pada baduta yang tidak lagi diberikan ASI, rata-rata disapih pada usia 2.5 bulan. Baduta lebih banyak disapih pada usai di bawah satu tahun dengan persentase terbesar (32.3%) baduta di sapih pada usia <4 bulan. Alasan ibu tidak lagi memberikan ASI kepada anaknya adalah karena faktor ASI tidak lagi keluar, ibu bekerja, dan anak sudah cukup mendapakan makanan tambahan sehingga ASI dianggap tidak dibutuhkan lagi oleh anak. Sebaran baduta menurut butir-butir praktik pola asuh makan dapat dilihat pada Tabel 14.
34
Tabel 14 Sebaran baduta menurut butir praktik pola asuh makan Pola Asuh Makan
n 93
% 91.2
49 68
48.0 66.7
<4 bulan
11
32.3
4-6 bulan
6
17.6
7-12 bulan
7
20.6
13-18 bulan
6
17.6
>18 bulan
4
11.8
Sesuai
89
87.2
Kadang-kadang
5
4.9
Tidak sesuai
8
7.8
Sesuai (3-4 kali)
76
74.5
Kadang-kadang
18
17.6
Tidak sesuai
8
7.8
Sesuai (1-2 kali)
21
20.6
Kadang-kadang
78
76.5
Tidak sesuai
3
2.9
Selalu (2-3 kali)
58
56.9
Kadang-kadang (<2 kali)
41
40.2
Tidak pernah
3
2.9
Selalu (2-3 kali)
11
10.8
Kadang-kadang (<2 kali)
85
83.3
Tidak pernah
6
5.9
Selalu (2-3 kali)
21
20.6
Kadang-kadang (<2 kali)
60
58.8
21
20.6
Selalu
14
13.7
Kadang-kadang Tidak pernah
82
80.4
6
5.9
Pemberian kolostrum Pemberian ASI Ekslusif Anak masih diberikan ASI Kategori usia mulai disapih
Kesesuaian bentuk makanan utama (makanan keluarga)
Kesesuaian frekuensi pemberian makanan utama
Kesesuaian frekuensi pemberian makanan selingan
Pemberian lauk hewani setiap hari
Pemberian lauk nabati setiap hari
Pemberian sayuran setiap hari
Tidak pernah Pemberian buah-buahan setiap hari
35
Tabel 14 Sebaran baduta menurut butir praktik pola asuh makan (lanjutan) Pola Asuh Makan
n
%
Selalu
59
57.8
Kadang-kadang
34
33.3
Tidak pernah/jarang
9
8.8
Selalu
54
52.9
Kadang-kadang
46
45.1
Tidak pernah
2
2.0
Selalu
33
32.3
Kadang-kadang
52
51.0
Tidak pernah
17
16.7
Selalu
9
8.8
Kadang-kadang
87
85.3
Tidak pernah
6
5.9
Selalu
39
38.2
Kadang-kadang
58
56.9
Tidak pernah
5
4.9
Selalu
43
42.1
Kadang-kadang
55
53.9
Tidak pernah
4
3.9
Memuji ketika anak menghabiskan makan Selalu Kadang-kadang Tidak pernah
20 78 4
19.6 76.5 3.9
Membiasakan cuci tangan pakai sabun ketika menyuapi anak Selalu Kadang-kadang Tidak pernah
38 54 10
37.2 52.9 9.8
Jenis makanan anak saat sakit Hanya ASI Makanan biasa Makanan lunak
13 78 11
12.7 76.5 10.8
Ibu berperan penuh dalam pemberian makan anak
Mengarahkan pengasuh ketika tidak di rumah
Menetapkan teratur jadwal makan anak
Menvariasikan menu makan anak
Adanya kontak mata ketika menyuapi makan anak
Membujuk dan merayu ketika anak sulit makan
Menurut WHO (2002), anak yang sudah berusia 12 bulan secara umum sudah mampu mengonsumsi makanan yang sama seperti yang dikonsumsi oleh keluarga. Hal tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan makanan padat gizi dalam masa pertumbuhan pesat. Pada bayi sehat dianjurkan pemberian MP-ASI sebanyak 3-4 kali/hari, dan pemberian makanan selingan/camilan sebanyak 1-2 kali/hari. WHO mendefinisikan makanan selingan
36
adalah makanan yang dimakan antara waktu makan utama, biasanya makanan yang dapat dimakan, nyaman dan mudah disiapkan. Akan tetapi, jika asupan energi rendah pada setiap kali makan dan anak tidak lagi menyusu, maka konsumsi makanan camilan mungkin diperlukan lebih sering. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui sebagian besar bentuk pemberian makanan utama baduta sudah sesuai dengan bentuk makanan keluarga dan frekuensi dalam sehari sebanyak 3-4 kali. Namun, pemberian makanan camilan 12 kali sehari masih jarang diterapkan oleh ibu kepada baduta. Jenis makanan camilan yang sering diberikan adalah biskuit. Selanjutnya, lebih dari separuh (56.9%) baduta selalu diberikan lauk hewani setiap hari. Menurut penelitian Ahmad et al. (2012), lauk hewani pada baduta dalam MP-ASI sebagian besar selalu diberikan dengan porsi yang tidak sesuai. Pemberian jenis lauk nabati seperti tempe, tahu, atau kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan jarang diberikan kepada baduta. Bentuk praktik pola asuh pemberian makan anak lainnya adalah responsive feeding yang diterapkan ibu/pengasuh kepada anak meliputi peran orangtua dalam pemberian makan, pengawasan ketika anak makan, pengawasan makan anak ketika ibu sedang tidak bersama anak, penetapan jadwal makan anak, upaya dalam memvariasikan menu makan, dan upaya ketika anak tidak mau makan, serta respon ketika pemberian makan dan ketika anak menghabiskan makan (WHO 2002). Agar anak menjadi terdorong untuk makan maka ibu perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: (1) karakteristik anak, seperti apa yang lebih disukai anak, cara memberikan makan menggunakan tangan atau sendok, serta kemampuan mengunyah anak; (2) situasi yang disenangi anak, termasuk mengetahui kapan waktu makan anak, apakah anak memerlukan kudapan/cemilan, dan bagaimana nafsu makan anak; (3) situasi yang nyaman ketika waktu makan, mendampingi ketika sedang makan, memonitor ketika sedang diberikan oleh pengasuh lain, serta menghilangkan hal-hal yang menggangu ketika sedang makan (Engle et al. 1997). Tabel 14 dapat diketahui lebih dari separuh ibu (57.84%) selalu berperan penuh dalam pemberian makan anak. Besarnya persentase ibu tidak bekerja dalam penelitian ini, sehingga ibu dapat berperan penuh dalam hal pemberian makanan anak. Ketika ibu sedang tidak di rumah, ibu lebih mempercayai anaknya diasuh oleh saudara terdekat seperti nenek terutama dalam hal pemberian makanan anak. Kebiasaan dalam menetapkan jadwal makan, memvariasikan menu makanan, terjalinnya kontak mata dengan anak ketika pemberian makan, membujuk ketika sulit makan, memuji ketika menghabiskan makan masih jarang diterapkan oleh ibu kepada anak. Membiasakan cuci tangan pakai sabun ketika mengolah atau menyuapi makan anak merupakan salah satu contoh praktik hiegine/sanitasi pemberian makan anak dalam penelitian ini. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui lebih dari separuh (52.9%) ibu jarang menerapkan kebiasaan cuci tangan menggunakan sabun ketika akan mengolah atau memberikan makan baduta. Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran ibu-ibu dalam praktik hiegine/sanitasi pemberian makan anak. Rekomendasi WHO (2002), menyebutkan ketika anak sakit, pemberian ASI perlu ditingkatkan dan anak diberikan makanan lunak, bervariasi, dan yang dapat meningkatkan nafsu makan. Selanjutnya, WHO juga menyebutkan bahwa
37
perlu ditingkatkan konsumsi cairan ketika anak sakit, karena selama sakit kebutuhan cairan cenderung lebih tinggi dibandingkan pada saat sehat. Namun, dari penelitian menujukkan sebagian besar (76.5%) ibu hanya memberikan jenis makanan yang biasa dimakan sehari-hari ketika anak sakit.
Konsumsi Pangan Anak Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Konsumsi pangan sehari-hari menentukan tercukupinya kebutuhan gizi seorang anak. Menurut Depkes (2011), kecukupan gizi merupakan gambaran banyaknya zat gizi yang diperlukan oleh individu. Kecukupan zat gizi adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk hampir semua orang sehat. Kecukupan zat gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan dan tinggi badan, serta keadaan hamil dan menyusui. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada umumnya. Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupannya (LIPI 2004). Dalam penelitian digunakan metode recall 1x24 jam untuk mengukur konsumsi atau tingkat kecukupan gizi baduta usia 12-24 bulan. Rata-rata dan standar deviasi konsumsi energi, protein, zat besi (Fe), vitamin A dan vitamin C baduta dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta Konsumsi Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Fe/zat besi (mg) Vitamin A (µg) Vitamin C (mg)
Rataan ± SD 594.4 ± 161.5 17.7 ± 6.3 3.4 ± 2.2 351.1 ± 155.6 15.2 ± 11.0
Tabel 15 menunjukkan rata-rata konsumsi energi baduta dalam sehari yaitu 594.4 kkal, protein 17.7 g, zat besi/Fe 3.4 mg, vitamin A 351.1 µg, dan vitamin C 15.2 mg. Menurut Permenkes (2013), Angka Kecukupan Gizi (AKG) bagi anak usia 1-3 tahun yaitu 1125 Kkal (energi), 26 g (protein), 7 mg (besi), 400 µg (Vitamin A), dan 40 mg (Vitamin C). Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta dalam penelitian ini masih dibawah AKG yang dianjurkan. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui rata-rata baduta memiliki tingkat kecukupan energi 78.2% AKG (defisit tingkat ringan), Fe 48.3% AKG (kurang) dan Vitamin C 38.0% AKG (kurang). Sementara rata-rata tingkat kecukupan protein dan vitamin A adalah cukup masing-masing 99.5% AKG, dan 92.4% AKG. Persentase terbesar (37.2%) tingkat kecukupan energi baduta berada pada kategori defisit tingkat berat, (39.22%) tingkat kecukupan protein berada pada kategori normal, (78.4%) tingkat kecukupan Fe berada pada kategori kurang, (61.8%) tingkat kecukupan vitamin A berada pada kategori cukup, dan (92.2%)
38
tingkat kecukupan vitamin C berada pada kategori kurang. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya baduta dapat di lihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya Konsumsi Zat Gizi Tingkat Kecukupan Energi Defisit tingkat berat (<70%AKG) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) Defisit tingkat ringan (80-89 % AKG) Normal (90-119% AKG) Lebih (≥120% AKG) Total (x ± sd) kkal Tingkat Kecukupan Protein Defisit tingkat berat (<70%AKG) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) Defisit tingkat ringan (80-89 % AKG) Normal (90-119% AKG) Lebih (≥120% AKG) Total (x ± sd) g Tingkat Kecukupan Fe Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Total (x ± sd) mg Tingkat Kecukupan Vit A Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Total (x ± sd) µg Tingkat Kecukupan Vit C Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Total (x ± sd) mg
n
%
38 19 19 25 1 102
37.2 18.6 18.6 24.5 0.9 100.0 78.2 ± 22.0
18 12 7 40 25 102
17.6 11.8 6.9 39.2 24.5 100.0 99.5 ± 33.5
80 22 102
78.4 21.6 100 48.3 ± 31.4
39 63 102
38.2 61.8 100.0 92.4 ± 40.9
94 7 101
92.2 6.9 100.0 30.1 ± 27.6
Rendahnya tingkat kecukupan energi, Fe dan vitamin C dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh pendapatan yang rendah, dan riwayat penyakit/infeksi yang dialami baduta. Sumber pangan zat besi seperti daging, unggas dan ikan umumnya relatif mahal, maka menyebabkan daya beli pangan tersebut rendah sehingga mengakibatkan kecukupan zat besi rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil uji korelasi menunjukkan pendapatan (r:0.296; p:0.003) dan riwayat diare (r:0.195; p:0.049) berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecukupan Fe. Penerapan praktik pola asuh makan yang kurang baik juga diduga berpengaruh
39
terhadap tingkat kecukupan energi, zat besi dan Vitamin C baduta. Menurut Khomsan (2012), asupan zat gizi yang kurang menunjukkan adanya persoalan konsumsi pangan. Anak balita terkadang memasuki periode sulit makan yang dapat menyebabkan asupan gizi rendah. Frekuensi konsumsi pangan dapat mencerminkan kebiasaan konsumsi makan seseorang. Tabel 17 menunjukkan konsumsi pangan hewani yang sering dikonsumsi baduta adalah susu, ikan dan telur. Hal ini diketahui dari rata-rata frekuensi konsumsi susu dalam seminggu sebanyak 14 kali, konsumsi ikan sebanyak 13 kali, dan konsumsi telur sebanyak 6 kali. Sementara jenis pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi adalah daging sapi dan daging ayam/unggas. Masih rendahnya frekuensi konsumsi daging sapi dan ayam diduga karena harga yang relatif mahal serta adaya keengganan ibu untuk memperkenalkan daging sapi, dan ayam kepada anaknya karena sebagian besar ibu beralasan jenis pangan tersebut belum mampu dikunyah oleh anak. Hal tersebut menunjukkan masih kurangnya pengetahuan ibu akan pentingnya makanan bergizi seperti daging sapi dan daging ayam yang merupakan sumber zat besi yang baik. Berdasarkan data hasil recall dapat diperkirakan rata-rata besar jumlah yang dikonsumsi dari masing-masing jenis pangan hewani seperti daging ayam 1.7 g/hari, ikan 20.7 g/hari, susu 23.5 g/hari, dan telur 12.1 g/hari. Akan tetapi, angka yang dihasilkan ini tidak menunjukkan angka konsumsi yang sebenarnya dalam setiap hari karena data dikumpulkan hanya dengan menggunakan metode recall 1x24 jam. Rata-rata dan standar deviasi frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor baduta dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor baduta (kali/minggu) Frekuensi Konsumsi Pangan Pangan Hewani (kali/minggu) Daging sapi Unggas Ikan Telur Susu Pangan Inhibitor (kali/minggu) Teh
Rataan ± SD 0.1 ± 0.3 0.4 ± 0.9 12.8 ± 7.9 6.1 ± 4.8 14.2 ± 16.0 1.6 ± 2.6
Salah satu pangan inhibitor yang dinilai dalam penelitian ini adalah konsumsi teh. Teh merupakan salah satu pangan yang diduga dapat mempengaruhi penyerapan zat besi di dalam tubuh. Berdasarkan Tabel 17 juga dapat diketahui konsumsi teh pada baduta termasuk jarang dilakukan, diketahui dari nilai rata-rata konsumsi sebanyak 2 kali/minggu.
40
Status Kesehatan Anak Status gizi dan riwayat penyakit/infeksi merupakan cerminan terhadap kesehatan anak. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Pengukuran status gizi antropomentri baduta yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan indeks panjang badan menurut umur (PB/U). Status gizi dengan indeks BB/U salah satu gambaran status gizi seseorang saat ini, dan sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena infeksi dan menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi, sedangkan status gizi dengan indeks PB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi (Supariasa et al. 2002). Status gizi baduta menurut BB/U dan PB/U dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran baduta menurut status gizi indeks BB/U dan PB/U Status Gizi
n
%
Indeks BB/U Gizi buruk Gizi kurang
7 17
6.9 16.7
Gizi baik
76
74.5
Gizi lebih Total
2 102
2.0 100
(x ± sd) z-skor Indeks PB/U Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Total (x ± sd) z-skor
-1.1 ± 1.3 20 19
19.6 18.6
56 7 102
54.9 6.9 100 -1.4 ± 1.8
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui sebagian besar (76.5%) baduta memiliki status gizi dengan indeks BB/U berada pada kategori baik/lebih, dan (61.8%) memiliki status gizi dengan indeks PB/U pada kategori normal. Baduta yang memiliki status gizi kurang/buruk 23.5% dan status gizi pendek/sangat pendek 38.2%. Menurut Balitbangkes (2010), persentase baduta dengan status gizi kurang/buruk dalam penelitian ini merupakan masalah kesehatan masyarakat pada kategori tingkat sedang karena berada pada rentang 20-29%, dan kategori tingkat tinggi pada status gizi pendek/sangat pendek karena berada pada rentang 30-39%. Menurut Khomsan et al. (2009), terjadinya masalah gizi tidak hanya disebabkan oleh asupan gizi yang kurang, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup tetapi sering mengalami diare atau ISPA dan demam, akhirnya dapat mengalami kurang gizi. Pada anak dengan konsumsi tidak cukup, menyebabkan daya tahan tubuhnya melemah,
41
sehingga dalam keadaan demikian anak mudah diserang penyakit yang dapat mengurangi nafsu makannya dan akhirnya anak menderita kurang gizi. Riwayat sakit baduta dalam penelitian ini dilihat dari riwayat pernah mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan diare dalam 2 minggu terakhir. Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui lebih dari separuh baduta (51.0%) pernah mengalami ISPA dalam 2 minggu terakhir dari hari penelitian, dengan lamanya masa sakit 3 hari. Gejala dari ISPA yang umum dialami baduta adalah flu, pilek, batuk, dan demam. Selanjutnya, hampir separuh baduta (45.1%) juga pernah mengalami diare dalam 2 minggu terakhir dengan lamanya masa sakit 2.7 hari. Tinggi angka penyakit ISPA dan diare diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak bersih dan tidak sehat karena kondisi pasca banjir dan musim hujan dalam satu minggu sebelum pengambilan data di beberapa wilayah penelitian. Tabel 19 Sebaran baduta menurut riwayat ISPA dan diare Riwayat Sakit
Ya
ISPA dalam 1 minggu terakhir
n 52
Lama mengalami ISPA Diare dalam 1 minggu terakhir
3.0 ± 1.7 46 45.1
Lama mengalami diare
% 51
Tidak n % 50 49 56
54.9
2.7 ± 1.5
Status Anemia Anemia merupakan masalah gizi umum yang disebabkan oleh kekurangan zat besi (WHO 2008). Anemia terjadi ketika produksi hemoglobin (Hb) sangat rendah sehingga kadarnya dalam darah menurun (Word Bank 2006). WHO telah membuat cutoff untuk anemia pada anak usia 6-59 bulan adalah ketika kadar Hb < 11 g/dL. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui persentase anemia pada anak baduta sangat tinggi, yaitu 68.6% dengan kadar Hb berkisar 7.0 g/dL hingga 12.4 g/dL atau rata-rata 10.1 g/dL. Hasil ini jika dibandingkan dengan batasan prevalensi dianggap menjadi masalah kesehatan masyarakat yaitu >5% maka anemia pada baduta di Kecamatan Darul Imarah khususnya di Desa Geugajah, Lambeu dan Jeumpet merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menurut klasifikasi prevalensi anemia di atas 40% maka persentase anemia dari hasil penelitian termasuk kategori berat (WHO 2008). Status anemia dan tingkat keparahan anemia baduta di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 20. Besarnya prevalensi anemia pada baduta usia 12-24 bulan dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan temuan Ahmad et al. (2010), yaitu sebesar 78.3% baduta mengalami anemia di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Hasil yang hampir serupan dengan temuan Doloksaribu (2005), prevalensi anemia pada anak usia 12-23 bulan di Pedesaan tujuh Provinsi di Indonesia yaitu sebesar 63.33%. Prevalensi anemia yang cukup tinggi juga ditemukan pada anak usia dibawah dua tahun di Kota Baharu,
42
Kelantan, Malaysia sebesar 65.1% dengan rata-rata kadar Hb 10 g/L (Siti et al. 2006). Tabel 20 Sebaran baduta menurut status anemia Status anemia (Hb) Anemia (<11 g/dL) Tidak Anemia (≥11 g/dL) Total (x ± sd) (g/dL) Tingkat keparahan anemia (Hb) Ringan (10-10.9 g/dL) Sedang (7-9.9 g/dL) Berat (<7 g/dL) Total
n
%
70 32 102 10.1
68.6 31.4 100 1.3
26 44 0 70
37.1 62.9 0.00 100.0
Berdasarkan Tabel 20 juga dapat diketahui dari seluruh baduta yang anemia, lebih dari separuh (62.86%) mengalami anemia dalam kategori sedang (kadar Hb 7-9.9 g/dL), sisanya (37.14%) mengalami anemia ringan (kadar Hb 1010.9 g/dL) dan tidak ada yang termasuk dalam kategori berat (kadar Hb <7 g/dL). Berbanding terbalik dengan temuan Wijaya (2012), proporsi anemia pada anak usia 6-23 bulan kategori ringan lebih besar (58.5%) dibandingkan anemia sedang (41.5%) dan tidak ditemukan pada kategori berat. Perbedaan ini bisa karena cakupan wilayah, dan kelompok umur, serta penggunakan metode atau alat dalam penilaian kadar Hb. Pengukuran kadar Hb dalam penelitian ini menggunakan metode/alat hemocue, sementara penelitian lainnya menggunakan metode ELISA. Hasil ini lebih menguatkan masalah anemia yang terjadi pada anak baduta di wilayah penelitian merupakan masalah yang serius yang memerlukan tindakan lebih lanjut baik dari pihak pemerintah atau keluarga dalam mengatasi masalah tersebut sehingga tidak akan berdampak buruk di kemudian hari.
Hubungan Faktor-Faktor Pengaruh dengan Status Anemia Baduta Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia baduta dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman dan Pearson. Hasil uji korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia baduta dapat dilihat dalam Lampiran 1. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia baduta dapat dilihat pada hasil dan pembahasan dibawah ini. Karakteristik Baduta dengan Status Anemia Tabel 21 menunjukkan rata-rata umur baduta anemia dan tidak anemia adalah sama yaitu 17 bulan, namun baduta tidak anemia memiliki berat lahir lebih tinggi yaitu 3124 g dibandingkan baduta tidak anemia sebesar 3066 g. Berdasarkan proporsi terlihat terdapat kecenderungan anemia lebih tinggi pada baduta laki-laki (75.0%) dibandingkan pada baduta perempuan (63.8%). Terdapat kecenderungan anemia lebih tinggi juga pada baduta dengan rentang umur 19-24 bulan (70.6%) dibandingkan pada baduta dengan rentang umur 12-18 bulan
43
(67.6%). Selanjutnya, terdapat kecenderungan anemia lebih tinggi juga pada baduta dengan berat lahir ≥2500 g (69.7.0%) dibandingkan baduta dengan berat badan lahir <2500 g (62.5%). Proporsi baduta menurut karakteristik individu dan status anemia baduta dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Proporsi baduta menurut karakteristik individu dan status anemia Anemia Tidak anemia (n=72) (n=32) Karakteristik contoh n % n % Jenis kelamin 33 75.0 11 25.0 Laki-laki Perempuan 37 63.8 21 36.2 Umur (bulan) 46 67.6 22 32.4 12-18 24 70.6 10 29.4 19-24 (x ± sd) 17.0 ± 3.8 17.0 ± 3.4 Berat Lahir (g) 10 62.5 6 37.5 <2500 60 69.7 26 30.3 ≥2500 3124.3 ± 533.6 3065.6 ± 406.1 (x ± sd) Hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan secara signifikan antara jenis kelamin, umur dan berat lahir dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hasil ini tidak sejalan dengan temuan Osorio et al. (2006), berat badan <2500 g berhubungan secara signifikan dengan konsentrasi Hb pada anak usia 6-29 bulan di Brazil. Hal tersebut diduga disebabkan karena rentang umur yang digunakan dalam penelitian ini hanya tersebar pada umur 12-24 bulan. Bayi yang lahir normal dan cukup bulan mampu memenuhi kebutuhan zat besi selama 4-6 bulan pertama kehidupan (Dawey KG et al. 2004). Pada bayi yang sehat dan lahir cukup bulan yang diberi ASI eksklusif selama 6 bulan menunjukkan kecukupan kandungan hemoglobin dan zat besi yang normal selama usia 6-9 bulan (Wahyuni 2004). Hal tersebut karena usia anak yang lebih muda memiliki simpanan zat besi yang lebih baik dari pada usia anak lebih tua (Gunnarson 2004). Menurut Gibson (2005), umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar hemoglobin. Pada enam bulan pertama kehidupan, kadar Hb laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan. Hal tersebut dijelaskan Soh et al. (2001), anak laki-laki memiliki kerentanan tinggi terhadap minipisnya simpanan besi di dalam tubuh karena laju pertumbuhan anak laki-laki lebih cepat dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki lebih sering sakit dan lebih aktif sehingga memungkinan kebutuhan gizi, khususnya zat besi anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan (Soetjiningsih & Ranuh 2013). Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Status Anemia Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui rata-rata umur ayah baduta anemia lebih tua setahun (34.5 tahun) dibandingkan baduta tidak anemia (33.5 tahun), sementara rata-rata umur ibu adalah sama yaitu 29 tahun. Lama pendidikan ayah baduta tidak anemia lebih rendah (11.6 tahun) dibandingkan ayah baduta tidak
44
anemia (12.5 tahun). Rata-rata pendapatan perkapita rumah tangga juga terlihat pada baduta anemia lebih rendah (Rp 697 372) dibandingkan baduta tidak anemia (Rp 775 468). Selanjutnya, rata-rata jumlah anggota keluarga yaitu 4 orang dan satu orang balita dalam keluarga baduta anemia dan tidak anemia. Berdasarkan proporsi tertinggi baduta anemia terdapat pada kelompok umur ibu 25-28 tahun (78.4%), kelompok umur ayah ≤ 24 tahun (100.0%), pendidikan ayah SD (100.0%), pendidikan ibu SD (100.0%), pekerjaan ayah dibidang jasa/buruh tidak tani (74.58%), pekerjaan ibu dbidang jasa/buruh tidak tani (71.43%), pendapatan perkapita per bulan Rp 666.667 (90%), dan keluarga besar (71%) serta jumlah balita ≥2 orang (72.4%) (Tabel 22). Hasil uji korelasi menunjukkan hanya pendidikan ayah yang berhubungan secara signifikan dengan status anemia baduta (p<0.05) (lampiran 1), sementara pada variabel umur orangtua, pendidikan ibu, pekerjaan orangtua, besar keluarga, dan jumlah balita dalam keluarga tidak berhubungan secara signifikan (p>0.05) dengan status anemia baduta. Pada proporsi pendidikan ayah terlihat ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan ayah semakin rendah status anemia baduta. Sebaliknya terlihat pada pendidikan ayah rendah (SD/tidak tamat SD) seluruhnya dimiliki baduta anemia. Penelitian ini sejalan dengan Cahyaningdiah (2001), tingkat pendidikan ayah berhubungan secara signifikan dengan anemia pada bayi usia 5-7 bulan di Indramayu. Hal tersebut diduga pendidikan yang dimiliki ayah mempengaruhi pengetahuan mereka dalam hal pengasuhan anak terutama untuk meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak. Berbeda dengan penelitian Onimawo et al. (2011), pendidikan ibu yang rendah berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak balita di Nigeria. Menurut Setyoningsih (2011), pendidikan berkaitan dengan dengan pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Salah satu prinsip yang dimiliki seseorang dengan pendidikan rendah biasanya dalam memilih makanan adalah yang penting mengenyangkan, sehingga bahan makanan sumber karbohidrat lebih diutamakan dibandingkan kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya, pada kelompok orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan makanan sumber protein dan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lainnya. Kemungkinan pemilihan bahan makanan yang dimaksud bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk anggota keluarga termasuk anak. Beberapa faktor sosial ekonomi rumah tangga yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak usia 12-23 bulan tetapi tidak berhubungan dalam penelitian ini adalah besar keluarga, pendapatan keluarga, dan besar balita dalam rumah tangga (Doloksaribu 2005). Besar keluarga lebih dari 4 orang berhubungan signifikan dengan peluang terjadinya anemia pada anak usia 6-59 bulan (Semba et al. 2010). Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka jatah masing-masing individu anggota rumah tangga tersebut dalam mengonsumsi pangan hewani lebih sedikit karena jumlah bahan makanan yang sama harus dibagi dengan lebih banyak orang (Kemalawaty 1999). Berikut disajikan proporsi baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan status anemia pada Tabel 22.
45
Tabel 22 Proporsi baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan status anemia Karakteristik Sosial Ekonomi RT
Anemia (n=72) n
Umur Ibu (tahun) ≤ 24 25-28 29-32 ≥33 (x ± sd) Umur Ayah (tahun) ≤ 24 25-28 29-32 ≥33 (x ± sd) Pendidikan Ayah * SD SMP SMA PT (x ± sd) tahun Pendidikan Ibu SD SMP SMA PT /Akademik (x ± sd) tahun Pekerjaan ayah Petani/buruh tani Pedagang PNS/polisi Jasa/buruh tidak tani Pekerjaan ibu IRT PNS Jasa/buruh tidak tani
%
Tidak anemia (n=32) n %
10 29 12 19
52.6 78.4 75.0 63.3 29.6 ± 5.1
9 8 4 11
47.4 21.6 25.0 36.7 29.1 ± 6.1
3 12 14 41
100.0 50.0 77.8 71.9 34.5 ± 5.8
0 12 4 16
0.0 50.0 12.5 28.1 33.5 ± 6.4
3 10 50 7
100.0 71.4 70.4 50.0 11.6 ± 2.3
0 4 21 7
0.0 28.6 29.6 50.0 12.5 ± 2.2
2 13 30 25
100.0 68.4 63.8 73.5 12.4 ± 3.1
0 6 17 9
0.00 31.6 36.2 26.5 12.4 ± 2.3
2 6 18 44
28.57 66.67 66.67 74.58
5 3 9 15
71.43 33.33 33.33 25.42
55 10 5
70.51 58.82 71.43
23 7 2
29.49 41.18 28.57
46
Tabel 22 Proporsi baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan status anemia (lanjutan) Karakteristik Sosial Ekonomi RT
Anemia (n=72)
n % Pendapatan Perkapita (Rp/bln/kap) Kuintil 1 (286 666) 11 57.9 Kuintil II (500 000) 24 75.0 Kuintil II (666 667) 9 90.0 Kuintil IV (1 000 000) 15 71.4 Kuintil V (3 000 000) 11 55.0 (x ± sd) 697 372 ± 505 538 Besar keluarga (orang) Kecil 49 71.0 Sedang 19 61.3 Besar 2 100 (x ± sd) 4.1 ± 1.0 Jumlah balita (orang) <2 49 67.1 ≥2 21 72.4 (x ± sd) 1.3 ± 0.5
Tidak anemia (n=32) n % 8 42.1 8 25.0 1 10.0 6 28.6 9 45.0 775 468 ± 596 591 20 12 0
29.0 38.7 0 4.2 ± 1.0
24 8
32.9 27.6 1.25 ± 0.4
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu dengan Status Anemia Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan landasan penting untuk menentukan konsumsi pangan keluarga. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui rata-rata skor pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan baduta anemia 54.0% lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia 57.0%, namun keduanya berada pada kategori kurang. Proporsi baduta anemia lebih tinggi (79.0%) ditemukan pada ibu yang memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori sedang, sementara ibu yang memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori tinggi seluruhnya dimiliki baduta tidak anemia 100.0%. Proporsi pengetahuan gizi dan kesehatan ibu menurut status anemia baduta dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Proporsi baduta menurut pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan status anemia Anemia Tidak anemia Kategori Pengetahuan Gizi dan (n=72) (n=32) Kesehatan ibu n % n % Rendah (<60%) 40 67.8 19 32.2 Sedang (60%-80%) 30 78.9 8 21.1 Tinggi (>80%) 0 0.0 5 100.0 ( X± SD) skor
54.0 ± 14
57.0 ± 20
47
Praktik Pola Asuh Makan dengan Status Anemia Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui rata-rata skor praktik pola asuh makan yang diterapkan ibu/pengasuh baduta anemia (64.5%) sedikit lebih rendah dibandingkan pada baduta tidak anemia (63.5%), namun keduanya berada pada kategori sedang. Secara proporsi terlihat praktik pola asuh makan dengan kategori sedang lebih tinggi ditemukan pada baduta anemia, dibandingkan praktik pola asuh makan dengan kategori tinggi lebih banyak ditemukan pada baduta tidak anemia (66.7%). Hal tersebut menujukkan adanya kecenderungan pada praktik pola asuh makan dengan kategori tinggi dapat menurun status anemia baduta. Berdasarkan hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan antara praktik pola asuh makan dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hal tersebut diduga praktik pola asuh makan yang dinilai dalam penelitian ini terlalu umum untuk melihat adanya hubungan antara praktik pola asuh makan dengan status anemia baduta. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Wijaya (2012), tidak terdapat hubungan signifikan antara praktik pola asuh makan dengan status anemia anak usia 6-23 bulan. Akan tetapi, menurut Kikafunda et al. (2009), anakanak yang diberikan makanan yang disiapkan khusus untuk mereka memiliki prevalensi anemia lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang biasanya makan makanan keluarga tanpa disiapkan khusus untuk mereka. Proporsi baduta menurut karakteristik praktik pola asuh makan dan status anemia dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Proporsi baduta menurut kategori praktik pola asuh makan dan status anemia Anemia Tidak anemia Kategori Praktik (n=72) (n=32) Pola Asuh Makan n % n % Rendah (>80% ) 18 64.3 10 35.7 Sedang (60-80%) 51 71.8 20 28.2 Baik (<60%) 1 64.3 10 35.7 (x ± sd) skor 64.5 ± 11.0 63.5 ± 11.0 Tabel 25 menunjukkan proporsi terbesar baduta anemia lebih tinggi pada kelompok yang memiliki riwayat tidak diberikan kolostrum, mendapatkan ASI ekslusif, dan masih mendapatkan ASI dibandingkan kelompok yang memiliki riwayat mendapatkan kolostrum, tidak mendapatkan ASI ekslusif, dan tidak mendapatkan ASI. Namun, hasil uji korelasi menujukkan pemberian ASI berhubungan negatif dengan status anemia baduta (r:-0.243; p:0.014), sedangkan riwayat pemberian kolostrum dan ASI ekslusif tidak berhubungan secara signifikan (p>0.05) (Lampiran 1). Hubungan negatif tersebut diduga karena kandungan zat besi dari ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan zat besi baduta dalam masa pertumbuhan sehingga membutuhkan zat besi yang lebih banyak dari MP-ASI. Butir-butir praktik pola asuh riwayat ASI menurut status anemia baduta dapat dilihat pada Tabel 25.
48
Tabel 25 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh riwayat ASI dan status anemia Praktik Pola Asuh Riwayat ASI Pemberian kolostrum Ya Tidak Pemberian ASI Ekslusif Ya Tidak Anak masih diberikan ASI Ya Tidak
Anemia (n=72) n %
Tidak anemia (n=32) n %
63 7
67.7 77.8
30 2
32.3 22.2
38 32
77.5 62.7
11 21
22.5 41.2
51 19
75.0 55.9
17 15
25.0 44.1
Menyusui selama lebih dari 4-6 bulan tanpa menerima tambahan makanan yang diperkaya zat besi berisiko mengalami anemia gizi besi pada anak (Siti et al. 2006). Penelitian ini tidak sejalan dengan temuan Wijaya (2012), anak yang tidak mendapakan ASI berisiko mengalami anemia 1.97 kali dibandingkan anak yang masih mendapatkan ASI pada usia 6-24 bulan. Pada bayi yang sehat dan lahir cukup bulan yang diberikan ASI Ekslusif selama 6 bulan menunjukkan kecukupan kandungan hemoglobin dan zat besi yang normal selama usia 6-9 bulan (Wahyuni 2004). Sedangkan bayi yang mendapatkan ASI Ekslusif > 6 bulan justru berisiko mengalami anemia lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI Esklsuif ≤ 6 bulan (Meinzen-Derr et al. 2006; Siti et al. 2006). Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui proporsi tertinggi baduta anemia ditemukan pada kelompok dengan kesesuaian bentuk pemberian makanan utama, kadang-kadang sesuai frekuensi pemberian makanan utama, tidak sesuai pemberian makanan selingan/camilan, sesuai pemberian lauk hewani dan sayursayuran, kadang-kadang sesuai pemberian lauk nabati, dan tidak pernah diberikan buah-buahan. Akan tetapi, hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan secara signifikan pada keseluruhan butir praktik pola asuh MP-ASI dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hal tersebut diduga meskipun frekuensi pemberian MP-ASI secara umum sudah cukup baik diberikan khususnya pada butir kesesuaian bentuk dan frekuensi pemberian makanan utama, pemberian lauk hewani, dan sayur-sayuran, namun diduga porsi/jumlah yang diberikan masih belum sesuai dengan kebutuhan baduta sehingga tidak menunjukkan hubungan secara signifikan dengan status anemia baduta. Berikut disajikan proporsi ibu menurut praktik pola asuh MP-ASI dan status anemia pada Tabel 26.
49
Tabel 26 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh MP-ASI dan status anemia Pemberian MP-ASI
Anemia (n=70) n
Kesesuaian bentuk makanan utama (makanan keluarga) 5 Tidak sesuai
Tidak anemia (n=32)
%
n
%
62.5
3
37.5
Kadang-kadang
3
60.0
2
40.0
Sesuai
62
69.7
27
30.3
Kesesuaian frekuensi pemberian makanan utama 4 Tidak sesuai
50.0
4
50.0
Kadang-kadang
14
77.8
4
22.2
Sesuai (3-4 kali)
52
68.4
24
31.6
Kesesuaian frekuensi pemberian makanan selingan 3 Tidak sesuai
100.0
0
0.0
Kadang-kadang
55
70.5
23
29.5
Sesuai (1-2 kali)
12
57.1
9
42.9
Tidak pernah
2
66.7
1
33.3
Kadang-kadang (<2 kali)
28
68.3
13
31.7
Selalu (2-3 kali)
40
69.0
18
31.0
Tidak pernah
3
50.0
3
50.0
Kadang-kadang (<2 kali)
61
71.8
24
28.2
Selalu (2-3 kali)
6
54.5
5
45.5
Tidak pernah
13
61.9
8
38.1
Kadang-kadang (<2 kali)
42
70.0
18
30.0
Selalu (2-3 kali)
15
71.4
6
28.6
Tidak pernah
5
83.3
1
16.7
Kadang-kadang
58
70.7
24
29.3
Selalu (≥1 kali)
7
50.0
7
50.0
Pemberian lauk hewani setiap hari
Pemberian lauk nabati setiap hari
Pemberian sayuran setiap hari
Pemberian buah-buahan setiap hari
Berdasarkan Tabel 27 dapat diketahui proporsi tertinggi baduta anemia ditemukan pada kelompok ibu selalu berperan penuh dalam pemberian makan anak, selalu mengarahkan pengasuh ketika ibu tidak sedang dirumah, tidak pernah menetapkan jadwal makan anak, kadang-kadang memvariasikan menu makan anak, kadang-kadang/jarang terjalin kontak mata ketika menyuapi makan anak, tidak pernah membujuk dan merayu ketika anak sulit makan, dan tidak pernah memuji ketika anak menghabiskan makan. Namun, hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan antara semua butir praktik pola asuh responsive feeding dengan status anemia baduta (p>0.05), kecuali pada butir penetapan jadwal makan anak secara teratur setiap hari menunjukkan hubungan secara signifikan dengan status anemia baduta (p<0.05) (Lampiran 1).
50
Menurut Kikafunda et al. (2009), ibu yang selalu menyiapkan makanan khusus untuk anak mereka memiliki anak dengan status anemia lebih rendah dibandingkan anak-anak yang biasanya makan makanan keluarga tanpa disiapkan khusus untuk mereka. Selanjutnya menurut Sivan et al. (2010), interaksi ibu dan bayi yang kurang optimal dalam hal pemberian makan berhubungan secara signifikan dengan status anemia anak. Berikut disajikan proporsi ibu menurut praktik pola asuh responsive feeding dan status anemia pada Tabel 27. Tabel 27 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh "responsive feeding" dan status anemia Anemia (n=70)
Responsive Feeding n
%
Ibu berperan penuh dalam pemberian makan anak Tidak pernah 6 66.7 23 67.6 Kadang-kadang Selalu 41 69.5 Mengarahkan pengasuh ketika tidak dirumah Tidak pernah 0 0.0 Kadang-kadang 32 69.6 38 70.4 Selalu Menetapkan teratur jadwal makan anak* Tidak pernah 14 82.3 38 73.0 Kadang-kadang Selalu 18 54.5 Menvariasikan menu makan anak Tidak pernah 3 50.0 Kadang-kadang 61 70.1 6 66.7 Selalu Adanya kontak mata ketika menyuapi makan anak 2 40.0 Tidak pernah Kadang-kadang 42 72.4 26 66.7 Selalu Membujuk dan merayu ketika anak sulit makan 3 75.0 Tidak pernah Kadang-kadang 37 67.3 30 69.8 Selalu Memuji ketika anak menghabiskan makan 3 75.0 Tidak pernah Kadang-kadang 53 67.9 Selalu 14 70.0
Tidak anemia (n=32) n % 3 11 18
33.3 32.4 30.5
2 14 16
100.0 30.4 29.6
3 14 15
17.7 27.0 45.5
3 26 3
50.0 29.9 33.3
3 16 13
60.0 27.6 33.3
1 18 13
25.0 32.7 30.2
1 25 6
25.0 32.1 30.0
*berhubungan siginifikan p<0.05
Berdasarkan Tabel 28 dapat diketahui proporsi terbesar (79.6%) baduta anemia lebih tinggi ditemukan pada kelompok ibu/pengasuh dengan kategori kadang-kadang/jarang membiasakan mencuci tangan menggunakan sabun sebelum mengolah atau memberi makan anak. Hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan secara signifikan antara kebiasaan mencuci tangan
51
dengan status anemia (p>0.05) (Lampiran I). Menurut Irawati et al. (2000), mencuci tangan sebelum makan merupakan kebiasaan yang baik yang dengan harapan kuman-kuman tidak ikut masuk kedalam mulut, yang akan menyebabkan kecacingan sebab cacingan merupakan faktor pemicu terjadinya anemia. Berdasarkan Tabel 28 juga dapat diketahui proporsi baduta anemia tertinggi ditemukan pada kelompok baduta dengan pemberian ASI saja ketika sedang sakit. Hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan secara signifikan antara jenis pemberian makanan ketika anak sakit dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). WHO (2001) menyebutkan ketika anak sakit, pemberian ASI perlu ditingkatkan dan memberikan bentuk makanan lunak, bervariasi, dan yang dapat meningkatkan nafsu makan. Berikut disajikan proporsi pola asuh "higiene/sanitasi pemberian makan dan pemberian makan anak ketika sakit” pada Tabel 28. Tabel 28 Proporsi baduta menurut praktik pola asuh "higiene/sanitasi pemberian makan dan pemberian makan anak ketika sakit" Praktik Pola Asuh Makan Membiasakan cuci tangan Tidak pernah Kadang-kadang Selalu Jenis makanan anak saat sakit Hanya ASI Makanan biasa Makanan lunak
Anemia (n=70)
Tidak anemia (n=32)
n
%
n
%
5 43 22
50.0 79.6 57.9
5 11 16
50.0 20.4 42.1
9 54 7
81.8 69.2 63.6
2 24 6
18.2 30.8 54.5
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Lainnya dengan Status Anemia Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain baduta anemia (583 kkal energi, 16.8 g protein, 2.9 mg zat besi, 339 µg vitamin A, dan 13.8 mg vitamin C) lebih rendah dibanding baduta tidak anemia (617 kkal energi, 19.8 g protein, 4.4 mg zat besi, 376 µg vitamin A, dan 18.4 mg vitamin C). Namun, rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baik pada baduta anemia dan tidak anemia masih dibawah AKG 2013. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya menurut status anemia dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta menurut status anemia Anemia Tidak Anemia Konsumsi Zat Gizi (Rataan ± SD) (Rataan ± SD) 584 ± 159 617 ± 166 Energi (kkal) Protein (g) 16.8 ± 6.1 19.8 ± 6.3 Fe (mg) 2.9 ± 2.1 4.4 ± 2.1 339 ± 156 376 ± 154 Vitamin A (µg) 13.8 ± 11.2 18.4 ± 10.1 Vitamin C (mg)
52
Berdasarkan Tabel 30 dapat diketahui rata-rata tingkat kecukupan energi baduta anemia dan tidak anemia adalah sama-sama berada pada kategori defisit tingkat sedang. Sedangkan rata-rata tingkat kecukupan protein dan vitamin A baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori normal/cukup. Selanjutnya, rata-rata tingkat kecukupan Fe, dan vitamin C baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori defisit/kurang. Berikut disajikan proporsi baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya dan status anemia pada Tabel 30. Tabel 30 Proporsi baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya dan status anemia Anemia Tidak anemia Tingkat Kecukupan Zat Gizi (n=70) (n=32) (% AKG) n % n % Tingkat Kecukupan Energi Defisit tingkat berat (<70%AKG) 28 73.6 10 26.3 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 12 63.2 7 36.8 Defisit tingkat ringan (80-89 % AKG) 11 57.9 8 42.1 Normal (90-119% AKG) 18 72.0 7 28.0 Lebih (≥120% AKG) 1 100.0 0 0.0 (x ± sd) kkal 78.4 ± 23.2 77.8 ± 19.4 Tingkat Kecukupan Protein Defisit tingkat berat (<70%AKG) 14 77.8 4 22.2 Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 10 83.3 2 16.7 Defisit tingkat ringan (80-89 % AKG) 3 42.9 4 57.1 Normal (90-119% AKG) 30 75.0 10 25.0 Lebih (≥120% AKG) 13 52.0 12 48.0 (x ± sd) g 95.8 ± 33.7 107.6 ± 32.0 Tingkat Kecukupan Fe* Kurang (<77% AKG) 61 76.2 19 23.8 Cukup (≥77% AKG) 9 40.9 13 59.1 (x ± sd) mg 41.6 ± 29.7 62.9 ± 30.5 Tingkat Kecukupan Vit A Kurang (<77% AKG) 31 79.5 8 20.5 Cukup (≥77% AKG) 39 61.9 24 38.1 (x ± sd) µg 89.4 ± 41.0 99.0 ± 40.6 Tingkat Kecukupan Vit C Kurang (<77% AKG) 65 68.4 30 31.6 Cukup (≥77% AKG) 5 71.4 2 28.6 (x ± sd) mg 34.5 ± 28.0 45.9 ± 25.2 *berhubungan siginifikan p<0.05
Proporsi tertinggi baduta anemia ditemukan pada kelompok baduta dengan tingkat kecukupan energi kategori defisit berat, tingkat kecukupan protein kategori defisit sedang, tingkat kecukupan Fe dan vitamin A kategori kurang dan
53
tingkat kecukupan vitamin C kategori cukup (Tabel 30). Hasil uji korelasi menunjukkan tingkat kecukupan Fe berhubungan secara signifikan dengan status anemia baduta (p<0.05), sementara tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A dan vitamin C tidak berhubungan signifikan dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Menurut Wegmuller et al. (2006), konsumsi besi akan mempengaruhi kadar besi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan kadar Hb dalam darah. Asupan zat besi memiliki hubungan kuat dengan kadar Hb dibandingkan dengan asupan kalori dan protein (Saragih 2007). Keberadaan bentuk zat besi besi dalam makanan dapat mempengaruhi penyerapan zat besi, seperti absorpsi besi heme dan non heme. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat dari pada besi non heme (Briawan et al. 2011). Sumber zat besi yang baik adalah pangan hewani (besi heme) seperti pada daging, ayam, ikan, susu, dan telur yang memiliki kualitas besi bioavalabilitasnya tinggi (Almatsier 2006; Monte 2004 dan Giugliani 2004). Khususnya daging (daging merah) dan beberapa organ (hati) memiliki kandungan zat besi yang bioavalabilitasnya lebih tinggi dibandingkan susu dan produk susu (Monte 2004 dan Giugliani 2004). Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui rata-rata frekuensi konsumsi pangan hewani per minggu seperti daging sapi, ayam/unggas, susu dan telur baduta anemia lebih rendah dibandingkan dengan baduta tidak anemia, kecuali konsumsi ikan adalah sama. Konsumsi pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi baik baduta anemia maupun tidak anemia adalah daging sapi dan daging ayam. Diantara ke lima jenis pangan hewani tersebut konsumsi susu dalam seminggu terdapat selisih yang cukup besar yaitu hampir 2 kali lebih banyak pada baduta tidak anemia dibandingkan baduta anemia. Berikut disajikan rata-rata dan standar deviasi frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor dan status anemia baduta. Tabel 31 Rata-rata dan standar deviasi frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor (teh) dan status anemia baduta Frekuensi Konsumsi Pangan Anemia Tidak Anemia Anemia (kali/minggu) ( ± sd) ( ± sd) Pangan Hewani 0.4 ± 0.8 0.5 ± 0.9 Unggas Daging sapi/kambing 0.1 ± 0.2 0.1 ± 0.4 Ikan 13.0 ± 7.6 12.3 ± 8.6 Telur 5.7 ± 4.5 12.3 ± 8.6 Susu* 11.4 ± 15.7 20.3 ± 15.1 Pangan Inhibitor 1.7 ± 2.6 1.3 ± 2.6 Teh *berhubungan siginifikan p<0.05
Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan frekuensi konsumsi susu dalam seminggu berhubungan secara signifikan dengan status anemia baduta (p<0.05), namun frekuensi konsumsi daging ayam, daging sapi, ikan dan telur tidak berhubungan dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hasil tersebut berati ada kecenderungan semakin jarang frekuensi konsumsi susu maka semakin meningkatkan status anemia baduta. Hal tersebut diduga susu yang dkonsumsi baduta merupakan susu yang difortikasi zat besi sehingga dapat
54
mempengaruhi kadar besi dalam tubuh yang dapat meningkatkan status anemia baduta. Menurut Siti at al. (2006), kegagalan memperkenalkan susu formula merupakan salah satu penyebab tingginya defisiensi besi dan prevalensi anemia pada anak usia di atas 2 (dua) tahun di Kelantan. Anak yang tidak pernah diberikan susu formula berpeluang menjadi anemia 2.2 kali lebih tinggi dibandingkan yang pernah diberikan susu formula. Pemberian susu formula dan suplementasi besi dianjurkan untuk anak usia 12 bulan ke atas yang masih disusui agar tidak mengalami anemia gizi besi (Kazal 2002). Akan tetapi, konsumsi susu sapi >500 g/hari seharusnya dikurangi pada usia 2 tahun untuk status zat besi yang lebih baik karena defisiensi zat besi lebih besar ditemukan pada anak dengan konsumsi susu sapi >500 g/hari dibandingkan <500 g/hari (Gunnarsson et al. 2004). Beberapa pangan seperti daging, ayam dan ikan dapat membantu penyerapan zat besi, sementara teh merupakan salah satu jenis pangan yang mengandung tanin yang dapat menghambat penyerapan zat besi (Almatsier 2006; Swain 2000). Berdasarkan Tabel 31 juga dapat diketahui rata-rata konsumsi teh per minggu pada baduta anemia sedikit lebih tinggi (2 kali) dibandingkan baduta tidak anemia (1 kali). Namun, hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan antara frekuensi konsumsi teh dalam seminggu dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hal tesebut diduga karena rata-rata frekuensi konsumsi teh dalam seminggu pada baduta secara umum sangat jarang dilakukan sehingga tidak berhubungan dengan status anemia. Tanin merupakan polifenol yang terdapat dalam teh, kopi, coklat dan beberapa jenis sayuran dan buah yang mampu menghambat penyerapan besi karena pangan tersebut membentuk endapan yang tidak larut dengan besi atau mengikat besi, sehingga mempersulit penyerapan besi (Almatsier 2006; Monte dan Giugliani 2004). Status Kesehatan dengan Status Anemia Berdasarkan Tabel 32 dapat diketahui rata-rata z skor status gizi dengan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) dan panjang badan menurut umur (PB/U) yang dimiliki baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori gizi baik dan normal. Proporsi anemia lebih tinggi ditemukan pada kelompok baduta dengan status gizi kurang (88.2%), buruk (71.4%), dan sangat pendek (95.0%). Sebaran baduta menurut status gizi dan status anemia dapat dilihat pada Tabel 32. Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui status gizi dengan indeks PB/U berhubungan secara signifikan dengan status anemia baduta (p<0.05), namun tidak berhubungan signifikan pada indeks BB/U (p>0.05) (Lampiran I). Hasil tersebut berarti semakin tinggi nilai z skor dengan indeks PB/U maka kecenderungan semakin meningkatkan status anemia baduta. Hal tersebut diduga disebabkan oleh asupan zat besi yang lebih tinggi dimiliki baduta dengan status gizi baik dibandingkan baduta dengan status gizi kurang atau buruk sehingga mempengaruhi status anemia baduta. Hasil ini sejalan dengan penelitian Doloksaribu (2005), dimana status gizi dengan indeks PB/U berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak umur 12-23. Anak yang kekurangan
55
berat badan dan memiliki LILA <12 cm memiliki kecenderungan menjadi anemia (Gebreegziabiher et al. 2014). Tabel 32 Proporsi baduta menurut status kesehatan dan status anemia Status Kesehatan Riwat ISPA Ya Tidak Riwayat Diare Ya Tidak Indeks BB/U Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih (x ± sd) z-skor Indeks PB/U* Sangat pendek Pendek Normal Tinggi (x ± sd) z-skor
Anemia (n=70) n %
Tidak anemia (n=32) n %
34 36
65.4 72.0
18 14
34.6 28.0
31 39
67.4 69.6
15 17
32.6 30.4
5 71.4 15 88.2 49 64.5 1 50.0 -1.34 ± 1.27
2 2 27 1 -0.59 ±
19 95.0 12 63.2 36 64.3 3 42.9 -1.82 ± 1.76
1 7 20 4
28.6 11.8 35.5 50.0 1.39
5.0 36.8 35.7 57.1 0.44 ± 1.70
*berhubungan siginifikan p<0.05
Tabel 32 juga menunjukkan proporsi baduta anemia lebih tinggi pada kelompok baduta yang memiliki riwayat tidak ISPA, dan diare dibandingkan baduta tidak anemia. Akan tetapi, hasil uji korelasi tidak menunjukkan hubungan secara signifikan antara riwayat ISPA dan diare dalam 2 minggu terakhir dengan status anemia baduta (p>0.05) (Lampiran 1). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan temuan Doloksaribu (2005), riwayat ISPA berhubungan dengan kejadian anemia pada anak usia 12-23 bulan. Riwayat diare dalam dua minggu terakhir berhubungan signifikan dengan status anemia anak (Osorio et al. 2004). Hal tersebut diduga karena kelemahan pengambilan data riwayat penyakit dengan cara kualitatif (wawancara) yang validitasnya rendah sehingga tidak menunjukkan hubungan antara riwayat ISPA dan diare dengan status anemia . Menurut Thurnham (2007), penyakit infeksi atau diare dapat mempengaruhi terjadinya anemia dengan tiga mekanisme yaitu perdarahan, penurunan nafsu makan dan peradangan. Perdarahan (karena cacingan dan malaria) secara langsung akan terjadinya kehilangan darah dan kehilangan kadar hemoglobin didalam darah. Penurunan nafsu makan dengan sendirinya akan menurunkan asupan zat besi dan zat gizi lainnya. Sementara reaksi peradangan, akibatnya lebih lanjut dari mekanisme ini adalah daya cerna usus untuk meyerap zat besi berkurang atau dapat mencegah penyerapan zat besi dan apabila hal ini terjadi secara berulang terus maka tubuh akan mengalami defisiensi zat besi yang akan menyebabkan terjadinya anemia.
56
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Baduta Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada baduta digunakan analisis uji statistik regresi linear berganda denga metode stepwise. Metode tersebut bertujuan untuk melihat variabel dominan yang mempengaruhi status anemia baduta. Pada saat analisis semua faktor yang diduga berpengaruh terhadap status anemia dimasukkan sebagai variabel independent, sedangkan kadar Hb untuk menentukan status anemia sebagai variabel dependent. Variabel yang dimasukkan dalam variabel independent yaitu umur baduta, jenis kelamin, berat lahir, umur orangtua, pendidikan orangtua, pendapatan perkapita, besar keluarga, jumlah balita, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, praktik pola asuh makan, status gizi menurut indeks BB/U dan TB/U, dan riwayat ISPA dan diare, serta status pemberian ASI. Variabel dominan yang mempengaruhi status anemia dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Variabel dominan yang mempengaruhi status anemia baduta Variabel Intercept Tingkat Kecukupan Besi /TKFe (%AKG) Tingkat Kecukupan Energi/TKE (%AKG) Lama pendidikan ayah (tahun) Pendapatan (Rp/kap/bulan) Umur ayah (tahun) R-square model
Parameter estimate 8.341 0.017 -0.013 0.126 -0.657 -0.020
Partial Rsquare 0.117 0.029 0.033 0.040 0.022 0.243
P value 0.000** 0.069* 0.049** 0.027** 0.093*
Regresi linear, *p<0.1; **p<0.05
Berdasarakan hasil uji regresi linear berganda menunjukkan Tingkat Kecukupan Zat Besi (TKFe), Tingkat Kecukupan Energi (TKE), lama pendidikan ayah, pendapatan perkapita dan umur ayah berpengaruh secara signifikan terhadap status anemia atau kadar Hb baduta secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.243. Artinya, sebesar 24.3% keragaman dari status anemia/kadar Hb baduta dapat dijelaskan oleh variabel TKFe, TKE, lama pendidikan ayah, pendapatan perkapita dan umur ayah, sedangkan sisanya 75.7% diduga dijelaskan oleh faktor lain seperti faktor penyerapan zat besi. Namun faktor tersebut tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, TKFe berkontribusi sebesar 11.7%, TKE berkontribusi sebesar 2.9%, lama pendidikan ayah berkontribusi 3.3%, pendapatan berkontribusi sebesar 4%, dan umur ayah berkontribusi sebesar 2.2% terhadap status anemia baduta. TKFe atau tingkat kecukupan zat besi berpengaruh secara signifikan terhadap status anemia baduta. Hal ini berarti terdapat kecenderung semakin rendah tingkat kecukupan besi maka semakin meningkat status anemia baduta. Konsumsi zat besi akan mempengaruhi kadar besi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan kadar Hb darah (Wegmuller et al. 2006). Besi dibutuhkan dalam dalam sirkulasi pembentukan Hb yang terlibat dalam proses penghantaran oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida (CO2) dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan oleh tubuh (Almatsier
57
2006). Peningkatan kadar Hb terjadi pada asupan Fe yang dalam bentuk mudah dicerna pada anak usia 6-23 bulan di Brazil (Osorio et al. 2004). Asupan zat besi memiliki hubungan yang kuat dengan kadar Hb dibandingkan dengan asupan kalori dan protein (Saragih 2007). Hasil penelitiannya menunjukkan asupan zat besi secara signifikan mempengaruhi status anemia pada bayi. Bayi yang memiliki asupan besi <70% AKG mengalami kejadian anemia 3.5 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang asupan besi di atas 70% AKG. Hasil penelitian Wijaya (2012), kejadian anemia pada kelompok baduta yang defisiensi zat besi lebih tinggi (2.29 kali) dibandingkan dengan baduta yang tidak defisiensi besi. Risiko defisiensi besi pada baduta dengan asupan zat besi yang kurang juga lebih tinggi (2.93 kali) di bandingkan pada baduta dengan asupan zat besi yang cukup. Pertumbuhan yang pesat pada anak usia 6-23 bulan menyebabkan meningkatnya kebutuhan fisologis sehingga memerlukan ketersedian zat besi lebih banyak dari pola makannya (Osorio et al. 2004). Asupan zat besi baduta dalam penelitian ini berasal dari ASI dan MP-ASI, terutama susu yang diduga berkontribusi besar dalam menyumbangkan zat besi pada baduta. Berdasarkan data yang ada diketahui konsumsi susu dalam seminggu pada baduta anemia lebih rendah (11 kali) dibandingkan baduta tidak anemia (20 kali). Konsumsi susu diduga yang menyebabkan asupan zat besi meningkat sehingga mempengaruhi status anemia baduta. Baduta yang mengonsumsi susu formula yang diperkaya besi memiliki kecenderung lebih kecil menjadi anemia dibandingkan yang tidak mengonsumsi, namun tidak pada anak usia di bawah 6 bulan (Semba et al. 2010). Tingkat kecukupan energi berpengaruh negatif terhadap status anemia baduta. Pada kondisi umumnya menunjukkan bahwa semakin tinggi asupan energi maka semakin tinggi kontribusi terhadap asupan zat besi sehingga diduga dapat mempengaruhi status anemia baduta. Hasil uji korelasi juga menunjukkan asupan energi berhubungan secara signifikan dengan asupan zat besi (r:0.627; p:0.00). Namun, pengaruh negatif terhadap status anemia dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh faktor lain seperti perilaku orangtua yang memberikan jenis makanan baduta tidak cukup homogen, yang sebagian besar konsumsi energi baduta berasal dari jenis pangan sumber karbohidrat atau minyak/lemak sehingga mengurangi konsumsi sumber zat besi hewani. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Kemalawaty (1999), perilaku konsumsi pangan hewani berupa daging dan unggas belum menjadi bagian menu sehari-hari masyarakat Aceh. Pemanfaatan zat besi oleh tubuh dapat dipengaruhi oleh rendahnya penyerapan zat besi di dalam usus. Kehadiran vitamin C dalam makanan yang dikonsumsi maka akan memberikan suasana asam sehingga memudahkan reduksi zat besi ferri (no heme) menjadi ferro (heme) yang lebih mudah diserap usus halus (Almatsier 2006). Berdasarkan hasil penelitian ini tidak terdapat pengaruh antara tingkat kecukupan vitamin C dengan status anemia baduta. Hal tersebut diduga karena sebagian besar baduta memiliki rata-rata tingkat kecukupan vitamin C pada kategori kurang/defisit (30.1% AKG) dan di duga karena kelemahan penggunaan metode recall 1x24 jam untuk menilai asupan vitamin C sehingga tidak menunjukkan pengaruh terhadap status anemia baduta. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan temuan Onyemaobi dan Onimawo (2011), defisiensi vitamin C berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak dibawah usia
58
5 (lima) tahun di Nigeria. Pengukuran asupan vitamin C dalam penelitian tersebut dilakukan dengan cara biokimia (Level Ascorbic Acid). Protein merupakan sumber utama zat besi dalam makanan. Jenis protein yang berbeda akan menyediakan bentuk zat gizi yang berbeda juga. Umumnya, protein hewani menyediakan zat besi dalam bentuk heme yang lebih mudah diserap tubuh. Sedangkan protein nabati menyediakan zat besi dalam bentuk non heme yang lebih sulit diserap. Berdasarkan hasil penelitian tidak menunjukkan pengaruh antara tingkat kecukupan protein terhadap status anemia baduta. Hal tersebut diduga karena sebagian besar asupan protein baduta dalam penelitian ini berasal dari sumber protein yang menghasilkan besi non heme. Namun, dalam penelitian ini tidak dibedakan antara asupan protein yang menyediakan zat besi heme dan yang non heme dari asupan makanan baduta. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui konsumsi daging dan unggas yang menjadi bagian dari zat besi heme sangat jarang dikonsumsi oleh baduta. Menurut Cook et al. (1981) dalam Strocksdiecks et al. (2007), tidak semua sumber protein hewani dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Seperti kasein pada susu dan albumin pada putih telur dapat menurunkan penyerapan zat besi. Selanjutnya disebutkan oleh Monte dan Giugliani (2004), protein yang terkandung dalam kedelai, putih telur, susu dan kacang-kacangan merupakan penghambat penyerapan zat besi hon heme. Perbedaan penyerapan terbesar sumber protein lebih besar pada protein dari daging (daging, unggas dan ikan) dibandingkan protein dari non daging (susu dan telur) (Kim et al. 1993). Selanjutnya, kemampuan makanan hewani sumber protein dalam menjadikan zat besi berada dalam bentuk mudah larut (soluble) bervariasi dan berbeda signifikan (p<0.05) dengan urutan sebagai berikut: daging babi < daging sapi < daging ayam < ikan < telur (Kim et al. 1991 dalam Kim et al. 1993). Hasil penelitian ini tidak menujukkan pengaruh antara asupan vitamin A dengan status anemia baduta. Hasil ini tidak sejalan dengan temuan Gamble et al. (2004), baik defisiensi zat besi maupun vitamin A berat merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian anemia pada anak usia 1-2 tahun di Kepulauan Marshall. Hal ini diduga karena dalam penelitian ini pengukuran defisiensi vitamin A dilakukan dengan metode recall, sedangkan pada penelitian tersebut berdasarkan dengan metode biokomia yaitu serum retinol <0.35µgMol/L. Menurut Thurham (2007), mekanisme hubungan vitamin A dan zat besi dengan kejadian anemia yaitu: defisiensi vitamin A akan menurunkan ketahanan tubuh sehingga lebih rentan terkena infeksi. Infeksi akan meningkatkan kadar ferritin dalam darah sehingga penyerapan zat besi dalam usus menurun. Berkurangnya cadangan zat besi dalam tubuh selanjutnya akan menurunkan produksi eritrosit dan lamban laun akan bermanifestasi menjadi anemia. Lama pendidikan ayah berpengaruh signifikan secara positif dengan status anemia baduta. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semakin rendah pendidikan ayah maka semakin meningkat status anemia baduta. Hal ini diduga tingginya pendidikan ayah berkontribusi terhadap pengetahuan ayah dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan baduta. Secara umum di Provinsi Aceh, selain ibu, ayah juga memiliki peranan besar dalam membelanjakan pangan sehari-hari keluarga sehingga pengetahuan ayah diduga berhubungan dalam menentukan jenis pangan yang dikonsumsi keluarga yang dapat meningkatkan asupan gizi atau zat besi baduta. Penelitian Cahyaningdiah et al. (2001), pendidikan ayah
59
berhubungan secara signifikan dengan status anemia bayi usia 5-7 bulan, namun dengan uji regresi logistik tidak menunjukkan pengaruh secara signifikan. Sementara temuan Onyemaobi and Onimawo et al. (2011); Gebreegziabiher et al. (2014), pendidikan ibu yang rendah berhubungan signifikan dengan status anemia balita di Nigeria dan Ethiopia. Pendapatan perkapita perbulan berpengaruh negatif terhadap status anemia baduta. Hal tersebut diduga karena peningkatan pendapatan lebih diutamakan untuk pengeluaran non pangan sehingga terjadinya pengurangan belanja terhadap pangan, khususnya pangan hewani yang merupakan sumber zat besi yang baik. Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Kemalawaty (1999), nilai pengeluaran nominal perkapita perbulan untuk pangan hewani di provinsi Aceh sebesar Rp 12 663. Selanjutnya proporsi pengeluaran pangan hewani terhadap pengeluaran total hanya sebesar 13.96%. Proporsi tersebut dianggap cukup kecil yang dikeluarkan untuk pangan hewani. Umur ayah berpengaruh signifikan secara negatif terhadap status anemia baduta. Hal tersebut menujukkan semakin tua umur ayah maka kecenderung semakin meningkat status anemia baduta. Hal tersebut diduga semakin tinggi umur ayah maka semakin berkurang alokasi waktu ayah dalam mengasuh anak. Kaitan tersebut juga diduga disebabkan oleh besarnya peluang umur ayah yang semakin tua memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih besar. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi menujukkan umur ayah berhubungan secara signifikan dengan besar anggota keluarga (r:0.265, p:0.007). Menurut Kustiyah (2005), jumlah anggota keluarga yang melebihi jumlah yang dianjurkan akan berdampak terhadap kurangnya curahan waktu, perhatian orangtua, dan distribusi makanan untuk setiap anggota keluarga terutama anak.
Dampak Anemia terhadap Perkembangan Motorik Baduta Perkembangan motorik halus dan motorik kasar dalam penelitian ini dinterpretasikan dalam dua kategori yaitu normal dan sukspek/keterlambatan. Keterlambatan motorik merupakan gejala umum yang dijumpai pada gangguan perkembangan. Keterlambatan pada tugas perkembangan motorik merupakan gejala umum pada retardasi mental dan sering pula menjadi gejala awal gangguan belajar (Lumbantobing 1997). Berdasarkan Tabel 34 dapat diketahui pada baduta dilokasi penelitian terdapat keterlambatan terhadap perkembangan motorik halus (19.6%) dan motorik kasar (14.7%). Terlihat lebih tinggi persentase pada keterlambatan perkembangan motorik halus dibandingkan motorik kasar. Hasil yang serupa dengan penelitian Susanty (2012), ditemukan sebesar 16.3% dicurigai ada keterlambatan perkembangan motorik halus, dan 14.0% pada perkembangan motorik kasar pada anak usia 24-36 bulan. Menurut Soetjiningsih (1995), perkembangan motorik halus merupakan indikator lebih baik dari pada motorik kasar dalam mendiagnosis gangguan perkembangan motorik pada anak. Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan kasar baduta dapat dilihat dalam Tabel 34.
60
Tabel 34 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik kasar baduta Perkembangan Motorik Motorik Halus Normal Suspek Motorik Kasar Normal Suspek
n
%
82 20
80.4 19.6
87 15
85.3 14.7
Masalah yang paling mengkhawatirkan tentang kekurangan zat besi pada bayi terutama karena kekurangan gizi besi umumnya terjadi pada periode usai 624 bulan. Periode ini penting karena bertepatan dengan periode pertumbuhan otak yang paling maksimal dan pemekaran berbagai proses perkembangan saraf (Hulthen 2003). Defisiensi besi di otak dapat menyebabkan efek penghambatan pada proses pembelajaran di otak. Berdasarkan Tabel 35 dapat diketahui bahwa persentase baduta anemia lebih tinggi ditemukan memiliki perkembangan motorik halus dan motorik kasar pada kategori suspek yaitu masing-masing (27.1% dan 17.1%) dibandingkan pada baduta tidak anemia (3.2% dan 9.4%). Sedangkan pada baduta tidak anemia lebih tinggi ditemukan memiliki perkembangan motorik halus dan motorik kasar pada kategori normal yaitu masing-masing (96.9% dan 90.6%) dibandingkan baduta tidak anemia (72.8% dan 82.8%). Hasil tersebut menunjukkan terdapat kecenderung pada baduta anemia memiliki keterlambatan pada perkembangan motorik kasar dan motorik halus lebih besar dibandingkan pada baduta tidak anemia. Sebaran perkembangan motorik kasar dan motorik halus menurut status anemia baduta dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik kasar dan status anemia Anemia Tidak anemia Perkembangan (n=70) (n=32) r p Motorik n % n % Motorik Halus Normal 51 72.8 31 96.9 0.291 0.003 Suspek 19 27.1 1 3.1 Motorik Kasar Normal 58 82.8 29 90.6 0.092 0.357 Suspek 12 17.1 3 9.4 Berdasarkan hasil uji proporsi dengan sebaran F menunjukkan hanya terdapat perbedaan sangat nyata antara perkembangan motorik halus baduta yang anemia dengan tidak anemia (p-value: 0.000), sedangkan pada perkembangan motorik kasar tidak menujukkan perbedaan secara nyata (p-value:0.256). Artinya kategori keterlambatan/suspek pada perkembangan motorik halus baduta anemia lebih tinggi dibandingkan baduta tidak anemia. Hasil uji korelasi juga
61
menunjukkan status anemia berhubungan secara signifikan dengan perkembangan motorik halus (r:0.291; p:0.003), sedangkan perkembangan motorik kasar tidak berhubungan signifikan (r:0.092; p:0.357). Artinya terdapat kecenderungan lebih besar pada baduta anemia mengalami suspek pada perkembangan motorik halus. Anemia gizi besi berpengaruh terhadap mekanisme spesifik sistem saraf pusat yang dapat mengubah perkembangan bayi baik kognitif, perilaku dan psikomotorik (Walter 2003; Lozoff et al. 2007). Defisiensi besi ringan tanpa anemia saja dapat merugikan perkembangan dan kecerdasan otok dan perkembangan psikomotorik anak (Stoltzfus 2001). Bayi dengan anemia gizi besi memiliki skor mental dan skor motorik rendah, termasuk pada koordinasi motorik halus dan kasar (Lozoff et al. 1987). Terdapat perbedaan secara nyata pada tugas perkembangan motorik halus seperti mendorong mobil, membolak-balikan halaman buku baduta anemia dengan baduta tidak anemia. Sementara tugas perkembangan pada motorik kasar seperti duduk dari posisi berdiri, berdiri dan jalan sendiri juga berbeda secara signifikan antara baduta anemia dan tidak anemia (Walter 2003). Perkembangan otak mencapai puncaknya beberapa bulan menjelang kelahiran, akan tetapi pada saat lahir perkembangan otak hanya mencapai 27% dari ukuran otak dewasa dan akan terus berkembang hingga usia 2 tahun mencapai 80% (Dobbing dan Sands 1979; Soetjingsih dan Ranuh 2013). Sejak lahir, kecukupan zat besi sangat dibutuhkan bagi perkembangan otak. Hal tersebut karena besi merupakan zat gizi esensial yang salah satunya berperan dalam fungsi motorik. Besi berperan dalam sintesis monoamine, metabolisme energi di neuro dan sel glia, mielinisasi, serta nurotransmitter, dan metabolisme dopamine, reaksi redoks yang penting (Hulthen 2003; Georgieff 2007). Kekurangan zat besi pada makanan pada dua tahun pertama kehidupan memiliki dampak yang serius pada perkembangan (Hulthen 2003). Keterkaitan tersebut terdapat pada proses mielinisasi berkembang pesat sejak usia pertengahan kehamilan sampai 2 tahun pertama kehidupan (Soetjiningsih dan Ranuh 2013), dan mielinisasi yang meningkat di sistem saraf pusat tercermin dalam meningkatnya keterampilan motorik halus (Santrock 2007). Perkembangan motorik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor anemia atau kadar Hb. Menurut Soetjingsih dan Ranuh (2013), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor biologis (asupan gizi), faktor lingkungan fisik (sanitasi), karakteristik anak, faktor keluarga, dan faktor psikososial. Stimulasi dari lingkungan juga merupakan hal yang paling penting untuk perkembangan anak. Stimulasi merupakan salah satu faktor psikologi yang merupakan kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar berkembang secara optimal (Depkes 2006). Anak yang medapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan stimulasi (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Menurut Hastuti (2009), semakin tinggi skor pengasuhan maka semakin tinggi skor perkembangan motorik yang dicapai anak. anak.
62
6
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Karakteristik baduta meliputi umur dan berat badan baduta anemia dan baduta tidak anemia adalah sama yaitu dengan rata-rata berumur 17 bulan dan berat badan lahir normal. Pada baduta anemia proporsi umur ayah lebih tinggi dibandingkan baduta tidak anemia, sedangkan pendidikan ayah dan pendapatan perkapita keluarga lebih rendah pada baduta anemia dibandingkan baduta tidak anemia. Sementara tingkat pendidikan ibu, besar keluarga dan jumlah balita keluarga baduta anemia dan baduta tidak anemia adalah sama. Selanjutnya, pekerjaan ayah baduta anemia lebih besar bekerja di bidang jasa atau buruh non tani, sedangkan ayah baduta tidak anemia sebagai buruh tani. Pekerjaan ibu baduta anemia lebih banyak menjadi Ibu Rumah Rangga (IRT), sedangkan ibu baduta tidak anemia sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Skor pengetahuan tentang gizi dan kesehatan lebih rendah dimiliki ibu baduta anemia dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori rendah/kurang. Sedangkan skor praktik pola asuh makan anak yang diterapkan ibu baduta anemia lebih tinggi dimiliki pada baduta anemia dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori sedang. Tingkat kecukupan protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C, status gizi dengan indeks Z-skor BB/U dan PB/U pada baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia. Sementara riwayat ISPA dan diare dalam dua bulan terakhir yang dialami kedua kelompok adalah sama. Masalah anemia pada baduta merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kategori berat di Kecamatan Darul Imarah, khususnya di Desa Geugajah, Lambheu, dan Jeumpet yang ditunjukkan dengan persentase anemia baduta sebesar 68.6%. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada baduta usia 12-24 bulan adalah tingkat kecukupan zat besi, tingkat kecukupan energi, pendidikan ayah, pendapatan perkapita dan umur ayah. Terdapat kecenderungan keterlambatan/suspek pada perkembangan motorik halus dan motorik kasar lebih tinggi pada baduta anemia dibandingkan baduta tidak anemia. Namun secara uji korelasi hanya berhubungan dengan perkembangan motorik halus, sementara pada perkembangan motorik kasar tidak berhubungan.
Saran Tingginya masalah anemia pada baduta usia 12-24 bulan di Kabupaten Aceh Besar khususnya di Kecamatan Darul Imarah dan anemia berdampak terhadap keterlambatan perkembangan motorik baduta, maka bagi pemerintah setempat disarankan untuk ikut serta dalam membuat dan menjalankan program penanggulangan dan pencegahan masalah anemia pada baduta (seperti suplementasi besi bagi baduta yang menjadi sasaran anemia). Terdapat permasalahan yaitu rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan ibu khususnya tentang anemia, maka diperlukan intervensi peningkatan pengetahuan ibu, bahkan pengetahuan kepada para remaja, ibu hamil dan ibu menyusui dalam upaya
63
pencegahan anemia lebih dini pada baduta. Namun, untuk meningkatkan praktik pola asuh makan anak oleh ibu, maka perlu perbaikan praktik pola asuh makan sesuai standar Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA) dalam upaya peningkatan asupan gizi atau zat besi melalui kegiatan konseling di puskesmas dan masyarakat oleh petugas kesehatan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat status infeksi, defiensi vitamin A, cacingan dengan pendekatan biokimia mengingat riwayat penyakit cukup tinggi terjadi pada baduta. Serta perlunya pemantauan secara berkala kejadian anemia pada baduta untuk antisipasi tingginya prevalensi anemia ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA Adish AA, Esrey SA, Gyorkos TW, Johns T. 1998. Risk factors for iron deficiency anaemia in pres school children in Northtern Ethiopia. Public Health Nutrition. 2 (3):243-252. Ahmad A, Suryana, Yulia F. 2010. Asi Ekslusif, Anemia dan Stunting pada Anak Baduta (6-24 Bulan ) di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Riset Pembinaan Tenaga Kesehatan (Risbinakes) Kemenkes RI. _________, Silaban S, Novemi. 2012. Hubungan Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dengan Anemia dan Stunting pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar. Riset Pembinaan Tenaga Kesehatan (Risbinakes) Kemenkes RI. Alfiasari. 2007. Analisis ketahanan pangan rumah tangga miskin dan peranan modal sosial. Studi pada rumah tangga miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur. Kota Bogor [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Arisman MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): EGC. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ____________. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Beinner MA, Melendez GV, Pessoa MC, Greiner T. 2009. Iron-Fortified rice is as efficacious as supplemental iron drops in Infants and Young children. The Journal of Nutrition:140 (1):49-53. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2003. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasioanal. [BPPN] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta (ID). BPPN.
64
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Aceh Besar dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Aceh Besar Briawan D, Arumsari E, Pusporini. 2011. Faktor risiko anemia pada siswa peserta program suplementasi. Jurnal Gizi dan Pangan. 6 (1): 74-84 Chew ECS, Lam JCM. 2012. Diagnosis and management of iron deficiency anemia in children-a clinical update. Proceeding of Singapore Healthcare. 21(4):278-285. Cahyaningdiah D, Utomo B, Hidayat A. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada bayi usia 5-7 bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti. 20:1 Dawey KG, Cohen RJ, Brown KH. 2004. Exclusive breast-feeding for 6 months, with iron suplementation, maintains edequate micronutrient status among term, low-birth weight, breast-fed infant in Honduras. Journal of Nutrition. 134: 1091-8 [Depkes RI] Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Stimulasi. Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): Depkes. _____________________________________________________. 2011. Strategi Nasional Penerapan Pola Konsumsi Makanan dan Aktivitas Fisik untuk Mencegah Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Kemenkes RI ISBN 978602-235-037-8. Doloksaribu TH. 2005. Model prediksi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada anak umur 12-23 bulan di wilayah Pedesaan Pada 7 Provinsi di Indonesia [tesis]. Depok (ID).Universitas Indonesia. Domellof M; Hernell O. 2002. Iron deficiency anemia during the first two years of life. Scandinavian Journal of Nutrition. 46 (1): 20-30. Engle PL, Metidak P, Haddad L. 1997. Care and nutrition; concepts and measurement. Washington (US): International Food Police Research Institute. Gamble MV, Palafox NA, Dancheck B, Briand and Semba RD. 2004. Relation of vitamin A deficiency iron, and inflamation to anemia among preschool children in the public of the Marshall Islands. European Journal of Clinical Nutrition. 58 (pp): 1396-1401. Gebreegziabiher G, Etana B, Niggusie D. 2014. Determinants of anemia among children age (6-59) months living Kilte Awulaele Wereda, Northern Ethiopia. Article ID 2458709. doi:org/10.1155/2014/245878. Georgieff MK. 2007. Nutrition and developing brain: Nutrition priorities and measurement. The American Journal of Clinical Nutrition. 85:614S20S Gibson RS. 2005. Principles Of Nutritional Assessment (US). Ed ke-2. New York: Oxford University Press. Gibney MJ. Margetts BM, Kearney JM, Arab L. 2009. Gizi kesehatan masyarakat. Terjemahan dari: Public Health Nutrition. Jakarta (ID): EGC Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Martianto DH. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
65
Gunnarsson BS, Thorsdottir, Palsson G. 2004. Iron Status in 2-year-old Icelandic children and association with dietary intake and growth. European Journal of Clinical Nutrition. 58:901-906 Hastuti D. 2009. Stimulasi Psikososial Pada Anak Kelompok Bermain dan Pengaruhnya pada Perkembangan Motorik, Kognitif, Sosial, Emosi, dan moral/Karakter Anak. Jurnal Ilmu Keluarga. P: 41-56. Hay G, Sandstad B, Whitelaw A, Borch-Iohnsen B. 2004. Iron status in a group of Norwegian children aged 6-24 month. Acta Paediatric. 93: 598. Herawati T, Hardinsyah, Sunarti E, Briawan D. 2007. Pengaruh Biskuit Multigizi Ibu hamil dan Pemberian ASI Ekslusif terhadap Perkembangan Motorik Bayi pada usia 6 Bulan. Media Gizi dan Keluarga. 32 (1):56-64 Horton S. 1999. Option for investment in nutrition in low-income Aia. Asian Dev. Rev17:246-273. Hulthen L. 2003. Iron deficiency and cognition. Scandinavian Journal of Nutrition. 47(3): 152-156. doi: 10.1080/11026480310005720. Thurnham DL. 2007. Infection And The Etiologi of Anemia. Institut Pertanian Bogor. Kraemer K, Zimmermann. Nutritional Anemia. Switzerland: Singht and Life Press. MB Karyadi L.1985. Pengaruh pola asuh makan terhadap kualitas makanan anak di bawah tiga tahun (Batita) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kemalawaty M. 1999. Analisis Konsumsi Pangan Sumber protein Hewani di Provinsi Daerah Istimewa Aceh [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [KEMENKES RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kerangka Kebijakan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). 2012. http://www.bappenas.go.id Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor __________. Anwar F. Hernawati N. Suhanda NS. Wardito O. 2013. Tumbuh Kembang dan Pola Asuh. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. __________, _________, Riyadi H, Sukandar D, Mudjajanto S. 2009. Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kikanfunda JK, Lukwago FB, Turyashemererwa F. 2009. Anemia and associated factors among under-fives and their mothers in Bushenyi District, Western Uganda. Public Health Nutrition. 12 (12):2302-08. Kim Y, Carpenter CE, Wahoney AW. 1993. Gastric acid production, iron stutus and dietary phytate enhancement by meat of iron absorption in rats. The Journal of Nutrition. 123:940-946. Kusharto CM, Sa’adiyah YM. 2006. Penilaian Konsumsi Pangan [diktat]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kustiyah L. 2005. Kajian pengaruh intervensi makanan kudapan terhadap peningkatan kadar glukosa darah dan daya ingat anak Sekolah dasar [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Sambutan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Prosiding Widyakarya nasional
66
Pangan dan Gizi VII Jakarta 17-19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Lozoff B. 2007. Preschool-aged children with iron deficiency anemia show altered affect and behavior. The Journal of Nutrition. 137 PP.683-89. ________, Brittenham Gm, Wolf AW, McClish, Kuhnert PM, Jimenez E, Jimenez R, Gomez I, Kraukoph. Of iron defociency anemia and iron therapy effect on infant development mental test. 1987. Journal Pediatrics. 79:981-95 Lumbantobing SM. 1997. Anak dengan Mental Terbelakang. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Meizen-Derr JK, Guerrero ML, Altaye M, Ortega-Gallegos H, Ruiz-Palacios GM, Morrow Al. 2006. Risk of infant anemia is associated with ekclusive breast-feeding and maternal anemia in a Mexico cohort. Journal Nutrition. 136: 458. McDermid JM and Lonnerdal B. 2012. Nutrition information. Advances In Nutrition.3:532-533 McGregor SG dan Ani C. 2001. Iron deficiency anemia reexaming the nature and magnitude of the public health problem. The Journal of Nutrition. 131:649S-668S. Monte CMG and Giugliani ERJ. 2004. Recommendation for the complementary feeding of the breasfed child. Journal Pediatr. 80:S131-S141 Onyemaobi GA, Onimawo IA. 2011. Anemia prevalence among under-five children in Imo State, Nigeria. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 5(2): 122-126. Osorio MM, Lira PIC, Ashworth A. 2004. Factor associated with Hb concentration in children age 6-59 month in the state of pernambuco Brazil. British Journal of Nutrition. 91:307-14. [Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI Riyadi H. 2002. Pengaruh suplementasi seng (Zn) dan besi (Fe) terhadap status anemia, status seng dan pertumbuhan anak usia 6-24 bulan) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rusli U. 2001. Bayi Sehat Berkat Asi Ekslusif. Jakarta (ID): Elex Media. Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas. Jilid 1. Jakarta (ID): Airlangga. Saragih B. 2007. Pengaruh pemberian pangan yang difortifikasi zat multigizi mikro pada ibu hamil dan pengasuhan terhadap pertumbuhan linear, perkembangan motorik dan status anemia bayi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sastroasmoro S. Ismael S. 2007. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3.
67
Semba RD, Bloem MW. 2012. The anemia of vitamin A deficiency: Epidemiology and pathogenesis. European Journal of Clinical Nutrition.200(56):271-281.doi:10.1038/Sj/ejcn/1601320 _________, Moench-Pfanner R, Sun K, DePee S, Akhter N, Rah HJ, Campbell AA, Badham J, Bloem MW, Kramer K. 2010. Iron-fortified mik and noodle consumption is associated with lower risk of anemia among children aged 6–59 mo in Indonesia . The American Journal of Clinical Nutrition.(92):170-6. Sivan RT, Kaplan EM, Jaconson SW.Lozoff B. 2010. Iron- deficiency anemia (IDA) in infancy and mother-infant interaction dering feeding. Journal Development Behavior Pediatr. 31(4): 326–33. Siti-Noor AS, Wan-Maziah WM, Narazah MY, Quah BS. 2006. Prevalence and risk factors iron deficiency in Kelantanese pre-school children. Singapore Medical Journal. 47 (11):935-939. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC __________, Ranuh G. 2013. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Soh P, Ferguson EL, McKenzie JE, Homs MYV, Gibson RS. 2004. Iron deficiency and risk factors for lower iron store in 6-24-month-old New Zealanders. European Journal of Clinical Nutrition. 58: 71-79. Solihin RD. 2007. Kaitan antara pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Storcksdieck S, Bonsmann G, Hurrell RF. 2007. Iron binding properties amino acid composition and structure of muscle tissue peptides from in vitro digestion of different meat sources. Journal of Food Science. doi:101111/2.1750-3841.2006.00229.x Stoltztus RJ. 2001. Iron-defiency anemia:Reexaming the nature and magnitude of the public health problem. Summary:Implication for research and programs. The Journal of Nutrition. 131:697S-701S. Sulistyoningsih H. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Supriasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC Susanty NM. Hubungan stunting, asupan gizi , dan sosial ekonomi rumah tangga dengan perkembangan motorik anak usia 24-36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bugangan Semarang. Semarang (ID). Universitas Diponegoro. Vendt N, Grὒnberg H, Leedo S, Tillmann V, Talvik T. 2007. Prevalence And Causes Of Iron Deficiency Anemias in Infants Aged 9 to 12 Months in Estonia. Medicina (kaunas). 43:12. Wahyuni AS. 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. Universitas Sumatra Utara. Walter T. 2003. Effect of iron-deficiency anemia on cognitive skills and neuromaturation in infancy and childhood. Food and Nutrition Bulletin. 24(2). Wegmuller R, Camara F, Zimmermann MB, Adou P, Hurrel RF. 2006. Salt dualfortified with iodine and micronized ground ferric pyrophosphate
68
affects iron status but not hemoglobin in children in Cote d’ Ivoire. The Journal of Nutrition. 136:1814-1820. [WHO] World Health Organization, [UNICEF] United Nations Children’s Fund, [UNU] United Nations Universit. 2001. Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control, a guide for programme managers.Geneva:WHO.http://www.who.int/nutrition/publications/micr onutrients/anaemia_iron_deficiency/WHO_NHD_01.3/en/index.html [WHO] World Health Organization. 2002. Complementary Feeding: Report Of The Global Consultation.And Summary Of Guiding Principlesfor Complementary Feeding Of The Breastfed Child. http://www.who.int/nutrition/publication/guiding_principles_compfeedi ng_breastfed.pdf. ______________________________. 2008. Worldwide Prevalence Of Anaemia 1993–2005: WHO Global Database on Anemia. Genewa:WHO. ______________________________. 2011. Haemoglobin Concentrations for the Diagnosis of Anaemia and Assessment of Severity. http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf. Wibowo L, Santika O, Harmiko MP. 2012. Survei dasar gizi dan kesehatan di Wilayah kerja World Vision Indonesia dan Wahana Visi Indonesia di Kabupaten Meurauke. Jurnal Gizi dan Pangan. 7 (1):11-18 Wijaya C. 2012. Hubungan asupan zat gizi dengan kejadian anemia pada anak usia 6-23 bulan di Kabupaten Aceh Besar tahun 2011 [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. [WVI] World Vision Indonesia dan SEAMEO. 2010. Strategi Kesehatan dan Workshop Anemia Nasional dan Panel Diskusi Banda Aceh 12 Sepetember 2010. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development, A strategy for Large-Scale Action. Washington: World Bank. Yuliana. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan tingkat perkembangan bayi usia 8-11 bulan di Kota Bogor [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
69
Lampiran 1
Hasil korelasi antara variabel karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, pola asuh makan, tingkat kecukupan zat gizi, konsumsi pangan hewani dan status kesehatan dengan status anemia baduta Variabel
Umur baduta Berat Lahir Umur Ibu Umur Ayah Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Besar keluarga Jumlah balita Pendapatan Perkapita (Rp/bln/kap) Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu Pola asuh makan Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein Tingkat Kecukupan Fe Tingkat Kecukupan Vit A Tingkat Kecukupan Vit C FFQ daging ayam FFQ aging sapi/kambing FFQ ikan FFQ telur FFQ susu Riwat ISPA Riwayat Diare Status Gizi BB/U Status Gizi PB/U Pemberian kolostrum Pemberian ASI Ekslusif Anak masih diberikan ASI Usia anak mulai disapih (bulan) Kesesuaian bentuk pemberian makanan utama Kesesuaian frekuensi pemberian makanan utama Kesesuaian frekuensi pemberian makanan selingan Pemberian lauk hewani setiap hari Pemberian lauk nabati setiap hari Pemberian sayuran setiap kali makan Pemberian buah-buahan setiap hari Ibu berperan penuh dalam pemberian makan anak Mengarahkan pengasuh ketika tidak dirumah Menetapkan teratur jadwal makan anak Menvariasikan menu makan anak Adanya kontak mata ketika menyuapi makan anak Membujuk dan merayu ketika anak sulit makan Memuji ketika anak menghabiskan makan Membiasakan cuci tangan Jenis makanan anak saat sakit Korelasi Pearson dan Spearman,*p<0.05 ,**p<0.01
R square 0.065 -0.022 -0.012 -0.101 0.253 -0.046 -0.106 -0.175 -0.07 -0.068 0.116 0.156 0.036 0.031 0.171 0.313 0.184 -0.013 0.105 0.162 -0.091 0.120 0.270 0.152 -0.127 0.247 0.274 0.115 -0.132 -0.243 0.127 -0.072 -0.079 0.107 0.089 -0.039 -0.008 0.093 -0.110 -0.158 0.209 -0.056 -0.098 -0.077 0.054 0.169 -0.003
P value 0.517 0.826 0.902 0.311 0.010* 0.649 0.288 0.078 0.862 0.500 0.245 0.118 0.722 0.754 0.083 0.001** 0.064 0.901 0.292 0.103 0.364 0.229 0.006** 0.278 0.405 0.012 0.005** 0.249 0.187 0.014* 0.473 0.472 0.910 0.285 0.372 0.698 0.940 0.354 0.270 0.114 0.035* 0.573 0.326 0.443 0.587 0.089 0.974
70
Lampiran 2 Hasil Regresi Linear Berganda The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: HB Stepwise Selection: Step 1 Variable TKFe Entered: R-Square = 0.1174 and C(p) = 15.0322 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
1
16.96414
16.96414
Error
99
127.57645
1.28865
100
144.54059
Corrected Total
F Value
Pr > F
13.16
0.0005
Variable
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
Intercept
9.44979
0.19217
3116.12939
2418.13
<.0001
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
0.01237
0.00341
16.96414
13.16
0.0005
Stepwise Selection: Step 2 Variable TKE Entered: R-Square = 0.1466 and C(p) = 13.3192 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
2
21.19226
10.59613
Error
98
123.34833
1.25866
100
144.54059
Corrected Total
F Value
Pr > F
8.42
0.0004
71
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
Intercept
10.11522
0.40974
767.09761
609.46
<.0001
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
-0.00994
0.00542
4.22812
3.36
0.0699
0.01472
0.00361
20.98262
16.67
<.0001
Variable
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
Stepwise Selection: Step 3 Variable Lama pendidikan ayah Entered: R-Square = 0.1801 and C(p) = 11.0723 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
26.02845
8.67615
7.10
0.0002
Error
97
118.51215
1.22177
Corrected Total
100
144.54059
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
Intercept
9.19284
0.61473
273.22307
223.63
<.0001
Lama pendidikan ayah
0.09738
0.04895
4.83618
3.96
0.0495
-0.01144
0.00540
5.48779
4.49
0.0366
0.01358
0.00360
17.41368
14.25
0.0003
Variable
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
Stepwise Selection: Step 4 Variable Pendapatan Entered: R-Square = 0.2206 and C(p) = 7.9278 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
6.79
<.0001
Model
4
31.88670
7.97167
Error
96
112.65390
1.17348
100
144.54059
Corrected Total
72
Variable
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
Intercept
9.17656
0.60250
272.21648
231.97
<.0001
Lama pendidikan ayah
0.11785
0.04884
6.83349
5.82
0.0177
-5.50872E-7
2.465496E-7
5.85825
4.99
0.0278
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
-0.01129
0.00529
5.34241
4.55
0.0354
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
0.01672
0.00380
22.77494
19.41
<.0001
Pendapatan
Stepwise Selection: Step5 Variable Umur ayah Entered: R-Square = 0.2435 and C(p) = 7.0194 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
6.12
<.0001
Model
5
35.19860
7.03972
Error
95
109.34200
1.15097
100
144.54059
Corrected Total
Variable
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
9.91729
0.73941
207.05122
179.89
<.0001
-0.02007
0.01183
3.31190
2.88
0.0931
0.12676
0.04865
7.81325
6.79
0.0107
-6.57681E-7
2.521613E-7
7.82956
6.80
0.0106
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
-0.01351
0.00540
7.20514
6.26
0.0141
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
0.01742
0.00378
24.43803
21.23
<.0001
Intercept Umur ayah Lama pendidikan ayah Pendapatan
73
Stepwise Selection: Step 6 Variable Umur Ibu Entered: R-Square = 0.2610 and C(p) = 6.7948 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
5.53
<.0001
Model
6
37.73195
6.28866
Error
94
106.80864
1.13626
100
144.54059
Corrected Total
Parameter Estimate
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
9.75472
0.74270
196.01395
172.51
<.0001
-0.02472
0.01216
4.69628
4.13
0.0449
Umur ibu
0.00935
0.00626
2.53335
2.23
0.1387
Lama pendidikan ayah
0.13218
0.04847
8.44863
7.44
0.0076
-6.31244E-7
2.5117E-7
7.17691
6.32
0.0137
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
-0.01366
0.00537
7.36755
6.48
0.0125
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
0.01755
0.00376
24.79101
21.82
<.0001
Variable Intercept Umur ayah
Pendapatan
Stepwise Selection: Step 7 Variable UMURBU Removed: R-Square = 0.2435 and C(p) = 7.0194 Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
6.12
<.0001
Model
5
35.19860
7.03972
Error
95
109.34200
1.15097
100
144.54059
Corrected Total
74
Parameter Estimate
Variable
Standard Error
Type II SS
F Value
Pr > F
Intercept
9.91729
0.73941
207.05122
179.89
<.0001
Umur Ibu
-0.02007
0.01183
3.31190
2.88
0.0931
0.12676
0.04865
7.81325
6.79
0.0107
-6.57681E-7
2.521613E-7
7.82956
6.80
0.0106
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
-0.01351
0.00540
7.20514
6.26
0.0141
Tingkat Kecukupan zat besi (TKFe)
0.01742
0.00378
24.43803
21.23
<.0001
Lama pendidikan ayah Pendapatan
All variables left in the model are significant at the 0.1000 level. The stepwise method terminated because the next variable to be entered was just removed. Summary of Stepwise Selection Step
Variable Entered
Variable Removed
Number Vars In
Partial RSquare
Model RSquare
C(p)
F Value
Pr > F
1
Tingkat Kecukupan zat Besi (TKFe)
1
0.1174
0.1174
15.0322
13.16
0.0005
2
Tingkat Kecukupan Energi (TKE)
2
0.0293
0.1466
13.3192
3.36
0.0699
3
Lama pendidikan ayah
3
0.0335
0.1801
11.0723
3.96
0.0495
4
Pendapatan
4
0.0405
0.2206
7.9278
4.99
0.0278
5
Umur ayah
5
0.0229
0.2435
7.0194
2.88
0.0931
6
Umur ibu
6
0.0175
0.2610
6.7948
2.23
0.1387
5
0.0175
0.2435
7.0194
2.23
0.1387
7
Umur ibu
75
Lampiran 3 Instrumen DENVER II
76
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Aceh, pada tanggal 18 Agustus 1985. Penulis adalah putri kelima dari lima bersaudara dari pasangan H. Abdullah dan Hj. Nurkisyah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2015. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Gizi Poltekkes Kementerian Kesehatan Aceh. Sebuah artiket telah diterbitkan dengan judul Asi Ekslusif, Anemia, dan Stunting pada Anak Baduta (usia 6-24 bulan) di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar pada Jurnal Ilmiah Kesehatan Nasuwakes tahun 2011. Satu artikel dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Baduta (usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar telah diterima untuk diterbitkan (accepted) di Pakistan Journal of Nutrition pada tahun 2015.