FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
CINTYA ARISTY DEBY
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Cintya Aristy Deby NIM I34090093
ABSTRAK CINTYA ARISTY DEBY. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik. Dibimbing oleh RATRI VIRIANITA. Pertanian organik salah satu alternatif solusi bagi kerusakan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan-bahan input sintetis. Oleh karenanya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap petani padi sawah, menganalisis perbedaan sikap antara petani non, semi, dan organik, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani padi sawah terhadap penerapan pertanian organik. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan pada bulan April di Kabupaten Magelang, di dua kecamatan. Terdapat 105 responden terpilih dengan menggunakan pengambilan sampel sensus dan snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Magelang memiliki sikap yang cenderung positif terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat perbedaan sikap di antara petani organik, semi organik, dan non organik. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap sikap petani, adalah pendidikan non formal, pengalaman bertani, kepemilikan modal, akses sarana produksi dan nilai-nilai kelompok. Kata kunci: penerapan, pertanian organik, sikap
ABSTRACT CINTYA ARISTY DEBY. Factors Influences of Rice Field Farmers Attitudes Towards Organic Farming. Supervised by RATRI VIRIANITA. Organic farming is one of the alternative solutions for environmental damage due to the use of synthetic materials input. Therefore, the objective of the study is to describe ricefield farmers attitude, to analyze attitudinal differences between non, semi, and organik ricefield farmers, to analyze the influencing factors on ricefield farmers attitude toward the implementation of organic farming. The study was conducted by survey methods on April 2013 in Magelang Subregency. 105 respondets was selected through sensus sampling and snowball sampling technique. The results shows that the ricefield farmers in Magelang Subregency are tends to have positive attitude towards the implementation of organic farming. Also, there is attitudinal differences among farmers. Non formal education, farming ecperience, capital ownership, acces to agricultural input material, and the values of the group has effect on the ricefield farmers attitude. Keywords: attitude, implementation, organic farming
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
CINTYA ARISTY DEBY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik Nama : Cintya Aristy Deby NIM : I34090093
Disetujui oleh
Ratri Virianita, S.Sos, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi penelitian ini. Terimakasih kepada Ibu Ratri Virianita S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingannya selama proses penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan baik. Terimakasih kepada Prof. Dr.Endriatmo Soetarto, MA selaku penguji utama, serta bapak Ir. Hadiyanto, MSi selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan skripsi. Terimakasih kepada Bapak Widagdo beserta keluarga, Bapak Udih, dan Mas Nungki selaku tokoh desa. Terimakasih kepada keluarga baru di Magelang, Mba Siwi, Mas Dodo, Bopy, Andre yang telah membantu penulis dalam mencari dan mengumpulkan data. Terimakasih kepada warga Desa Mangunsari dan Desa Madugondo yang telah membantu penulis mengumpulkan data. Terimakasih juga disampaikan kepada ayah, Herry Hairudin, ibu, Euis Jamilah, kaka, Putri Haditya, Ifi Maya, adik, Dicki Chandra, dan keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dukungannya. Tak lupa terimakasih kepada Wahyuni Latifah Sari, Yeni Agustien Harahap, Indah Permata Sari, Amatul Jalieli, Rizki Budi Utami dan Rizki Amela sahabat-sahabat yang selalu memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, beserta teman-teman SKPM lainnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2014 Cintya Aristy Deby
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
7
Pertanian Organik
7
Penerapan Pertanian Organik
9
Petani Pertanian Organik
11
Sikap
12
Faktor-Faktor Pembentuk Sikap
14
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
15
Kerangka Pemikiran
19
Hipotesis Penelitian
20
Definisi Operasional
21
METODE
25
Lokasi dan Waktu
25
Teknik Pengumpulan Data
25
Teknik Sampling
26
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
26
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
29
Kabupaten Magelang
29
Kecamatan Sawangan
30
Kegiatan Pertanian di Desa Mangunsari
31
Kecamatan Kajoran
32
Kegiatan Pertanian di Desa Madugondo
33
Karakteristik Responden
34
SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
45
Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
46
Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
47
Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
49
PERBEDAAN SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN OGANIK
51
Perbedaan Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
52
Perbedaan Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
55
Perbedaan Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik
57
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
61
Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Sikap
61
Pengaruh Pendidikan Non Formal terhadap Sikap
62
Pengaruh Pengalaman Bertani terhadap Sikap
63
Pengaruh Kekosmopolitan terhadap Sikap
65
Pengaruh Kepemilikan Modal terhadap Sikap
66
Pengaruh Akses Sarana Produksi terhadap Sikap
66
Pengaruh Nilai-Nilai Kelompok terhadap Sikap
68
SIMPULAN DAN SARAN
71
Simpulan
71
Saran
71
DAFTAR PUSTAKA
73
LAMPIRAN
75
RIWAYAT HIDUP
96
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional
9
2 Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan utama menurut kecamatan 2011
30
3 Luas tanam dan luas panen tanaman pangan Kecamatan Kajoran tahun 2011
33
4 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat umur
35
5 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan jenis kelamin
35
6 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan formal
36
7 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan non formal
37
8 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pengalaman bertani
38
9 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat kekosmopolitan
39
10 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat kepemilikan modal
40
11 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat akses sarana produksi
41
12 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat nilai- nilai kelompok
42
13 Hasil uji regresi pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
61
14 Sikap petani menurut pendidikan formal
62
15 Sikap petani menurut pendidikan non formal
63
16 Sikap petani menurut pengalaman bertani
64
17 Sikap petani menurut kekosmopolitan
65
18 Sikap petani menurut tingkat kepemilikan modal
66
19 Sikap petani menurut tingkat akses sarana produksi
67
20 Sikap petani menurut tingkat nilai-nilai kelompok
68
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik 20 2 Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
45
3 Tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik
47
4 Tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik
48
5 Tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik
49
6 Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
51
7 Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik
52
8 Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik
55
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi Kabupaten Magelang
75
2 Dokumentasi Penelitian
76
3 Hasil reduksi data
78
4 Hasil pengolahan data uji Chi Square
81
5 Hasil pengolahan data uji Regresi Linear Sederhana
84
6 Kuesioner Penelitian
91
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar. Setiap negara berkewajiban untuk menciptakan ketahanan pangan bagi warga negaranya. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, maka kegiatan produksi tanaman pangan perlu ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pangan semakin mudah tercapai apabila terdapat teknologi pendukung di sektor pertanian. Oleh karenanya, kebutuhan input teknologi tinggi pada sektor pertanian berupa pupuk makin meningkat, demikian juga kebutuhan pestisida akan lebih besar daripada yang diperlukan sekarang. Dengan makin meningkatnya kebutuhan input yang tinggi, maka biaya produksi yang diperlukan akan semakin besar (Sutanto 2000). Sehubungan dengan itu, pemerintah menggalakkan teknologi Revolusi Hijau pada tahun 1984. Tujuan dari diadakannya Revolusi Hijau adalah untuk mengatasi krisis pangan yang sempat terjadi pada masa itu dengan cara meningkatkan hasil produksi pangan, terutama padi. Teknologi Revolusi Hijau ini menerapkan tiga komponen inti, yaitu penggunaan bahan-bahan kimia sintetis, seperti pupuk kimia, pestisida kimia, dan bibit rekayasa. Melalui penerapan teknologi Revolusi Hijau, Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984-1989. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya hasil produksi pangan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tiga komponen inti dari Revolusi Hijau yang mengakibatkan berbagai krisis lingkungan. Suhartini et al. (2006) berpendapat bahwa sistem pertanian intensif yang selama puluhan tahun dilakukan menimbulkan dampak negatif dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia. Dampak negatif yang ditimbulkan mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan di bidang pertanian. Sejalan dengan ini, Tata (2000) mengemukakan beberapa krisis yang dialami akibat Revolusi Hijau. Pertama, terjadinya degradasi lingkungan di lahan pertanian dan berkurangnya pendapatan serta menurunnya kualitas hidup terutama yang dialami oleh petani kecil. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan petani dalam pemakaian pupuk kimia yang berlebihan tanpa diimbangi pemberian bahan organik yang cukup ke dalam tanah menyebabkan kerusakan tanah. Kerusakan tanah yang terjadi, seperti tanah menjadi lebih keras, kandungan hara yang semakin berkurang, dan menurunnya fauna makro dan mikro, seperti belut, cacing, dan juga kepiting (Wibowo dalam Suhartini et al. 2006). Selain itu, penggunaan pestisida kimia berdampak negatif terhadap lingkungan karena zat racun yang terkandung di dalamnya. Zat racun tersebut telah mencemari lingkungan fisik seperti tanah dan air, matinya serangga berpengaruh negatif terhadap kehidupan fauna di lahan pertanian, serta berbahaya bagi kesehatan manusia baik secara langsung melalui kontak fisik saat melakukan penyemprotan maupun secara tidak langsung melalui residu zat racun tersebut di dalam hasil pertanian (Suhartini et al. 2006) Kedua, teknologi Revolusi Hijau yang menggunakan pupuk kimia, pestisida kimia dan benih rekayasa menimbulkan ketergantungan pada tiga komponen
2 tersebut. Menurut Salikin (2003), petani telah meyakini dengan menggunakan pupuk buatan dan input buatan pabrik yang lainnya cenderung meningkatkan hasil produksi secara signifikan. Oleh karenanya, proses produksi pun menjadi sangat tergantung kepada ketersediaan dan pemakaian bahan-bahan kimia tersebut. Ketiga, krisis-kirisis sebelumnya menimbulkan pengaruh lanjutan terhadap sikap, pola tanam, dan cara pandang petani terhadap lingkungannya. Pertanian non organik yang berfokus pada komoditas tunggal dengan pola tanam yang seragam atau monocultur menekankan pada maksimalisasi komoditas tertentu dan bukan pada produksi pertanian secara keseluruhan. Hal ini dapat menyebabkan tumbuhan saling bersaing dengan tanaman lain yang dibudidayakan, untuk mendapatkan air, unsur hara, dan cahaya, yang juga dianggap sebagai gulma. Selain itu, pertanian non organik menitikberatkan petani pada produktivitas jangka pendek yang menyebabkan petani menggunakan bahan-bahan kimia untuk mempercepat produksi dan pada akhirnya mengesampingkan dampak lingkungan dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1994). Dari berbagai krisis yang terjadi menuntut petani untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh teknologi Revolusi Hijau. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menuju pertanian yang berkelanjutan, yaitu melalui sistem pertanian organik. Pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Salikin 2003). Sutanto (2000) mengungkapkan dalam bukunya bahwa istilah pertanian organik menghimpun seluruh pengertian yang dimiliki petani dan masyarakat yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam”. Lebih jauh lagi Sutanto (2000) mengemukakan bahwa apabila pertanian organik dilaksanakan dengan baik maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat penggunaan bahan kimia pertanian. Hal ini terjadi apabila fauna tanah dan mikroorganisme yang bermanfaat dipulihkan kehidupannya, dan kualitas tanah ditingkatkan dengan pemberian bahan organik karena akan terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penerapan pertanian organik hanya menggunakan bahan-bahan input lokal, seperti pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal, serta menerapkan pola tanam beragam dengan rotasi tanam. Penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki kualitas lahan pertanian yang sudah terdegradasi kualitasnya akibat eksploitasi lahan pertanian selama puluhan tahun dalam penerapan pertanian non organik yang sarat dengan penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Demikian juga penggunaan pengendali hama yang menghindari bahan kimia sangat baik dalam mengatasi persoalan pencemaran lingkungan.
3 Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbaikan kualitas lahan pertanian setelah menerapkan pertanian organik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011) menunjukkan bahwa secara ekonomi, hasil produksi padi menjadi lebih meningkat dan memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan hasil produksi non organik. Secara ekologis, petani merasa dapat menjaga kesuburan tanah, dapat mencegah terjadinya polusi udara karena tidak menggunakan pestisida kimia, mengurangi pencemaran air di lingkungan sekitar, serta tidak membunuh tanaman atau hewan di sekitarnya. Dalam lingkungan sosial, setelah bertani organik, petani merasa bangga karena mampu meningkatkan prestige diri mereka dari yang sebelumnya hanya petani yang dikenal miskin dan bodoh. Sekarang, dapat menjadi petani yang dikenal sebagai sosok yang sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga keamanan pangan konsumen. Kemudian, Widiarta (2011) menambahkan bahwa meskipun usahatani organik membutuhkan biaya input produksi rata-rata per musim yang lebih besar daripada usahatani non organik, tetapi penerimaan usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani non organik, sehingga keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan usahatani non organik. Pertanian organik bisa dikatakan bahwa secara ekologis bersifat sustainable atau berkelanjutan. Namun demikian, untuk mengembangkan pertanian organik secara luas tidaklah mudah. Dalam pemupukan misalnya, sulit untuk mengubah kebiasaan petani yang sudah terbiasa selama puluhan tahun menggunakan pupuk kimia yang praktis dan bereaksi cepat terhadap pertumbuhan tanaman. Demikian juga dalam pengendalian hama, petani sudah terbiasa memusnahkan hama dengan cara menyemprot dengan pestisida kimia yang bereaksi cepat dalam membunuh hama. Suatu hal yang tidak mudah bagi petani untuk sama sekali tidak menggunakan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan beralih ke pengendalian hama secara hayati tanpa pestisida kimia (Suhartini et al. 2006). Masih sedikitnya petani yang mau beralih ke pertanian organik dapat ditunjukkan dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarta (2011) di Desa Ketapang menunjukkan bahwa meskipun pertanian organik terbukti lebih menguntungkan secara ekonomi, namun dari 372 petani hanya 14 orang petani yang menerapkan pertanian organik. Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairina (2006) di Desa Citeko. Dari 100 petani, hanya 10 orang petani yang menerapkan pertanian organik. Berbagai hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa masih sedikit petani yang mau beralih dari sistem pertanian non organik ke sistem pertanian organik. Untuk menerapkan pertanian organik dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah sikap. Sarwono S (2010) menjabarkan bahwa sikap adalah pencerminan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang bisa terhadap benda, kejadian, situasi orang atau kelompok. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Menurut Rakhmat (2005) sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rukka (2003) mencoba menjelaskan bahwa petani yang mau beralih ke pertanian organik lebih dipengaruhi oleh faktor motivasi intrinsik dibandingkan motivasi ekstrinsik.
4 Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang. Mengingat sikap merupakan proses yang terbentuk dari dalam diri individu, maka diduga bahwa sikap mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik adalah dari penelitian yang dilakukan oleh Karami et al. (2008). Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa, petani yang memiliki sikap yang tinggi cenderung menerapkan sistem pertanian yang lebih berkelanjutan. Dengan mengkaji apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik, dapat membantu menumbuhkan sikap petani yang lain agar mau menerapkan pertanian organik karena sikap dapat diperteguh atau dirubah. Akan tetapi, masih sedikit penelitianpenelitian sebelumnya yang meneliti faktor-faktor sikap yang mempengaruhi petani dalam penerapan pertanian organik. Sehubungan dengan itu maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sikap petani dalam menerapkan pertanian organik. Perumusan Masalah Munculnya pertanian organik sebenarnya bukanlah hal yang baru di kalangan petani. Pertanian organik atau pertanian tradisional sebenarnya sudah dikenal oleh petani jauh sebelum penerapan pertanian modern yang sarat dengan bahan-bahan kimia. Penggunaan bahan-bahan kimia di kalangan petani diketahui meningkatkan hasil produksi dan membunuh hama lebih cepat. Petani cenderung hanya mengejar hasil yang bersifat jangka pendek saja tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang. Hal ini mempengarui sikap petani terhadap alam sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rukka (2003) di Desa Purwasari menunjukkan bahwa terdapat 74 persen dari 50 responden yang masih menggunakan pupuk kimia murni dengan anggapan produksi akan menurun jika tidak diberi pupuk kimia. Anggapan bahwa bahan-bahan kimia sangat mempengaruhi peningkatan produksi hasil pertanian mengenyampingkan akan dampak negatif dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut. Jika petani terus mempertahankan sikap yang positif terhadap pemakaian bahan-bahan kimia, sedangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pemakaian bahan-bahan kimia semakin kritis maka dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akan semakin parah dan semakin tidak mudah untuk memperbaiki alam yang telah rusak. Sikap mempengaruhi tingkah laku seseorang. Sikap timbul dari pengalaman. Tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah (Sears et al. 1985). Apabila sikap mempengaruhi tingkah laku seseorang, menjadi sangat menarik untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap yang dimiliki oleh petani terhadap penerapan organik. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sikap petani terhadap penerapan pertanian organik? 2. Apakah ada perbedaan sikap terhadap penerapan pertanian organik antara petani organik, semi organik, dan non organik?
5 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 2. Menganalisis perbedaan sikap terhadap penerapan pertanian organik pada petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Manfaat Penelitian Penulisan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh kalangan baik bagi sivitas akademika, masyarakat umum, maupun bagi pemerintah. Adapun manfaat yang diperoleh dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut: 1. Sivitas akademik Bagi sivitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang pertanian organik. Lebih jauh, peneltian ini berupaya memaparkan pengaruh sikap terhadap penerapan pertanian organik pada perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur dan menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut mengenai sikap dan perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik. 2. Petani Bagi petani, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan petani mengenai pertanian organik. 3. Pemerintah Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan penerapan pertanian organik.
TINJAUAN PUSTAKA Pertanian Organik Sutanto (2000) mengemukakan bahwa pertanian organik ialah sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makan pada tanaman. Sutanto menjelaskan lebih jauh lagi bahwa filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plans), dan bukan memberi makan langsung pada tanaman. Menurut Departemen Pertanian dan Kehutanan (2002) yang dikutip oleh Khairina (2006) pertanian organik adalah sebagai usaha budidaya pertanian yang hanya menggunakan bahan-bahan alami, baik yang diberikan melalui tanah maupun yang langsung kepada tanaman budidaya. Praktek pertanian organik dilakukan dengan cara: (1) menghindari penggunaan benih atau bibit hasil rekayasa genetika; (2) menghindari penggunaan pestisida sintetis; (3) menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh; (4) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak. Widiarta (2011) mendefinisikan bahwa pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan holistik untuk memenuhi kebutuhan manusia khususnya pangan, dengan memanfaatkan bahan-bahan organik secara alami sebagai input dalam pertanian tanpa input luar tinggi yang bersifat kimiawi, dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjaga keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Widiarta menambahkan, filosofi pertanian organik adalah siklus kehidupan menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan memberikan hasil peroduksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi, hubungan ini bersifat timbal balik. Kemudian Khairina (2006) menyatakan bahwa konsep awal pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, dan membatasi input dari luar. Sementara itu, Indriana (2010) yang berpendapat bahwa sistem pertanian organik meliputi cara produksi yang didasarkan pada prasyarat yakni meminimalisasi penggunaan input eksternal atau zat-zat kimia sintetis, menghindari penggunaan benih atau bibit rekayasa genetik, menggunakan input yang dapat didaur ulang dan memanfaatkan pengetahuan lokal setempat. Berdasarkan hasil penelitian Fuady (2011) yang mengemukakan bahwa sistem budidaya pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang memperhatikan aspek-aspek keseimbangan ekosistem dengan melakukan praktekpraktek budidaya yang memanfaatkan sumberdaya lokal dengan input sintetis yang rendah. Kemudian Reijntjes et al. (1994) mengemukakan bahwa perubahan
8 dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transis ini. Adapun prinsip-prinsip pertanian organik menurut IFOAM dalam Indriana (2010) didasarkan pada: (1) Prinsip Kesehatan, (2) Prinsip Ekologi, (3) Prinsip Keadilan, (4) Prinsip Perlindungan. Prinsip-prinsip ini harus digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang mengilhami tindakan. Lebih lanjut lagi IFOAM mengemukakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memeliharan keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani. Pertanian organik memiliki beberapa keungguluan seperti menjamin kelangsungan ekosistem pertanian, biaya produksi lebih hemat dengan harga jual yang lebih tinggi, produknya lebih sehat, menjamin keberlanjutan, turut membangun kemandirian petani, dan berperspektif gender. Jadi, pertanian organik memberi manfaat baik dari aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi (Indriana 2010). Sementara itu, Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut: Orisinil, rasional, global, aman, netral, internal, kontinuitas. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonversikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan (Rukka 2003). Tabel 1 menyajikan perbandingan konsep penerapan pertanian organik dengan penerapan pertanian konvensional. Dari berbagai definisi yang telah diuraikan sebelumnya, penulis menarik kesimpulan bahwa pertanian organik adalah cara berocok tanam yang dilakukan secara bertahap dalam cara produksinya dengan meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis hingga tidak menggunakannya sama sekali dan beralih menggunakan bahan-bahan input, seperti pupuk, pengendali hama, dan benih yang berasal dari sumber daya lokal.
9 Tabel 1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional Uraian Perlakuan Pra produksi sampai Pasca produksi Bibit
Pertanian Organik Dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan alat-alat mekanisasi yang dapat merusak kesuburan tanah Berasal dari varietas bibit-bibit lokal
Pertanian Konvensional Menggunakan alat-alat semi sampai full mekanis dalam setiap tahap pekerjaan
Berasal dari bibit unggu, hibrida, dan transgenik (transformasi gen) Pola tanam Ditanam secara tumpangsari, Monokultur (satu jenis tanaman pergiliran tanaman, dan pada satu hampar lahan) sebagainya (mix cropping) Pengairan Sederhana dan berkelanjutan Mekanis, Sehingga mempercepat pengurasan air yang tersedia pada lahan Bentuk fisik kokoh, tidak mengandung banyak Lemah, mengandung banyak tanaman air air, sehingga mudah diserang hama dan penyakit Umur tanaman Panjang Pendek Pertumbuhan Agak lambat, karena tumbuh cepat tumbuh secara alami Resistensi hama Tahan hama dan penyakit Mudah diserang hama dan penyakit penyakit Pemupukan Menggunakan bahan-bahan kimia kimia non-organis (sintetis, organis (asli dan mudah terurai sehingga sulit terurai dan secara alami) menimbulkan timbunan senyawa baru yang merusak keseimbangan biokhemis tanah Hasil/kualitas Beraneka ragam, berkualitas Sejenis, kurang berkualitas, produksi tinggi, bebas residu kimia beracun, mengandung resdu kimia mengandung gizi yang seimbang, berbahaya, kandungan gizi tidak tahan disimpan lama, dan berimbang, dan tidak tahan sebagainya untuk disimpan lama Rasa Enak (aromatik) Kurang enak (tawar) Sumber: Data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman dari petani-petani organik yang menjadi rekan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000, dalam Widiarta (2011)
Penerapan Pertanian Organik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) penerapan adalah suatu proses, cara, atau perbuatan menerapkan. Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini, yaitu penerapan pertanian organik, beberapa prinsip dalam budidaya pertanian organik dengan pola System Rice Intensification (SRI) diantaranya (Sutanto 2000): 1. Penyiapan lahan, merupakan kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pembajakan, penggaruan, dan perataan tanah. Setelah pembajakan selesai, pupuk organik ditaburkan secara merata dengan dosis rata-rata 7.000 kg/ha atau sesuai dengan kebutuhan. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk bokasi (hasil fermentasi bahan organik). Keadaan air macak-macak harus dipertahankan dengan cara menutup
10 pintu masuk dan keluarnya air agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut. Setelah perataan tanah selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di pinggir di sekeliling pematang. 2. Persiapan benih/persemaian, merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti: a) Persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari kayu. b) Benih = 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang mengandung zat aditif. c) Media = campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1. d) Umur persemaian = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS). 3. Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi di tanam di lokasi dengan rincian sebagai berikut: a) Umur benih = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS). b) Jumlah tanam/lubang = 1 batang/tunas. c) Jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat (20 cm × 20 cm, 22,5 cm × 22,5 cm, 25 cm × 25 cm). d) Dianjurkan untuk menggunakan tanam sistem legowo 2:1, 3:1, atau 4:1. 4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman, merupakan kegiatan untuk menekan kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut: a) Program rotasi tanaman yang sesuai. b) Perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang cocok (yang bertujuan agar hama tersebut tidak memakan tanaman padi petani, namun akan memakan tanaman lainnya), seperti pembuatan pagar hidup dan tempat sarang, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat. c) Pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit. d) Penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya. e) Pengendalian mekanis, seperti penggunaan perangkap, penghalang cahaya dan suara. 5. Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan mempertahankan kelembaban tanah, yaitu dengan mengatur pemberian air dengan menggunakan saluran pengairan keliling pematang dan saluran bedengan, sehingga keadaan tanah tidak tergenang. Serta, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem budidaya, pestisida nabati dan bahan alami lainnya. 6. Panen merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari produk non organik (jika di sekitar produk organik terdapat produk non organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat aditif. Widiarta (2011) menjelaskan bahwa praktik pertanian organik secara umum, tidak jauh berbeda dengan praktik pertanian konvensional. Namun, ada beberapa variabel yang menjadi perhatian utama apakah sistem pertanian tersebut dikategorigakan sebagai pertanian organik atau bukan, yaitu: 1. Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun. 2. Menggunakan pupuk organik. 3. Menggunakan bibit padi varietas lokal
11 4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida organik 5. Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional. Lebih jauh lagi Widiarta dalam hasil penelitiannya mengungkapkan beberapa variabel diatas merupakan variabel sensitif yang telah banyak disyaratkan dalam pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh petani organik di Desa Ketapang. Sementara itu, Putri (2011) mengemukakan bahwa terdapat beberapa unsur teknologi pada penerapan inovasi pertanian organik, seperti: 1. Penggunaan pupuk organik dengan dosis rata-rata 7 000 kg/ha, 2. Keadaan air yang macak-macak 3. Media tanam yang menggunakan campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 4. Benih padi yang bukan hasil rekayasa dan tidak mengandung bahan kimiawi sebanyak 10-15 kg/ha 5. Umur benih muda (8-10 Hari Setelah Semai/HSS), 6. Jumlah tanam= 1 batang/tunas, jarak tanam yang dianjurkan (20 cm X 20 cm; 22.5 cm X 22.5 cm; atau 25 cm X 25 cm), 7. Sistem tanam legowo (2:1, 3:1, atau 4:1), 8. Penggunaan pestistida nabati, 9. Memisahkan hasil produk organik dan non organik. Semakin petani menerapkan beberapa prinsip penting di atas, maka penerapan pertanian yang dilakukan akan makin mengarah pada penerapan pertanian organik. Dari berbagai definisi yang telah diuraikan, maka penerapan pertanian organik dalam penelitian ini adalah cara bercocok tanam yang dilakukan dengan cara bertahap. Tahap pertama, dalam proses pemupukkan dan pengendalian hama masih dicampur dengan bahan-bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Pada tahap kedua, proses pemupukkan dan pengendaluan hama hanya menggunakan bahan-bahan yang berasal dari bahan-bahan organik tanpa dicampur bahan-bahan kimia. Serta, dalam pembibitan hanya menggunakan bibit padi varietas lokal. Petani Pertanian Organik Menurut Shinta (2011), petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil laut. Sehingga secara umum petani adalah mereka yang bercocok tanam dan tinggal di pedesaan. Lebih lanjut lagi, Rukka (2003) mengungkapkan bahwa petani pertanian organik ialah petani yang dalam upaya bercocok tanam padi sawahnya dilakukan dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau mengurangi pupuk dan pestisida kimia pada lahannya. Fuady (2010) berpendapat bahwa petani pertanian organik ialah petani yang dalam mempraktekan usahataninya dilakukan dengan cara mempraktekan penanaman polikultur, rotasi tanaman, penggunaan bibit lokal, pemanfaatan pupuk organik, pengendalian hama dengan pestisida organik, pemanenan dan penangan pascapanen menggunakan bahan-bahan organik. Suhartini et al. (2006) beranggapan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik dapat memulainya secara bertahap karena untuk menuju kepada
12 pertanian organik yang murni diperlukan waktu yang cukup sebagai masa transisi atau masa konversi. Pada awalnya dimulai dengan cara pengurangan penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang disertai dengan penambahn bahan organik ke dalam tanah. Selanjutanya pemupukan masih tetap menggunakan pupuk kimia dengan jumlah yang semakin sedikit namun tanpa pestisida kimia sama sekali atau bisa disebut sebagai pertanian semi organik. Tahap selanjutnya adalah organik murni yaitu tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia. Sedangkan Indriana (2010) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan petani dalam budidaya organik ialah meliputi aktivitas pengadaan benih, perlakuan benih, pembuatan persemaian, pengolahan/persiapan lahan, penanaman, pengaturan air, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen. Dimana kesemua tahapan dalam prosesnya menggunakan bahan-bahan organik. Kemudian Rukka (2003) berpendapat bahwa usahatani organik yang dilakukan oleh petani dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau mengurangi pupuk dan pestisida kimia pada lahan usahataninya. Kemudian Fuady (2011) mengemukakan bahwa dalam mempraktekkan budidaya organik petani hanya memanfaatkan sumberdaya lokal dalam proses penanaman polikultur, rotasi tanaman, pembibitan, pemupukkan, penyiraman dan penyiangan, pengendalian hama penyakit, dan pemanenan. Sedangkan Khairina (2006) menyatakan bahwa yang dapat membedakan petani organik dengan petani konvensional dilihat dari faktor produksi yang digunakan, seperti pembibitan, penggunaan pupuk, obat-obatan, dan tenaga. Dimana petani organik menggunakan bahan-bahan input yang berasal dari pertanian organik itu sendiri dan membatasi input dari luar. Begitu pula dengan yang disampakan oleh Karami et al. (2007) yang berpendapat bahwa praktek yang dilakukan oleh petani ekologis mencakup penggunaan pupuk hijau, rotasi tanaman, pengendalian gulma secara non-kimia, dan pengendalian hama secara alami. Dari berbagai definisi yang telah diurakan, penulis merumuskan bahwa petani pertanian organik adalah petani yang dalam cara berocok tanamnya dilakukan secara bertahap dalam cara produksinya dengan meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis hingga tidak menggunakannya sama sekali dan beralih menggunakan bahan-bahan input, seperti pupuk, pengendali hama, dan benih yang berasal dari sumber daya lokal. Sikap Sarwono (2010) mengemukakan dalam bukunya bahwa sikap adalah pencerminan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang bisa terhadap benda, kejadian, situasi orang atau kelompok. Adapun Rahmat (2005) mengemukakan lima hal yang berkaitan dengan sikap, yaitu: 1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. 2. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra
13 terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari. 3. Sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. 4. Sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. 5. Sikap timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah. Kemudian Gerungan (2004) mengungkapkan bahwa Sikap dapat juga diterjemahkan sebagai sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek itu. Jadi, sikap bisa diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Sikap senantiasa terarahkan kepada sesuatu hal, objek. Tidak ada sikap tanpa ada objeknya Atkinson et al. (1983) menyatakan bahwa sikap meliputi rasa suka dan tidak suka, mendekati atau menghindari situasi, benda, orang, kelompok, dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya, termasuk gagasan abstrak dan kebijakan sosial. Selain itu, Sears et al. (1985) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Di dalam bukunya, Walgito memaparkan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. Sementara itu, Sarwono (2010) berpendapat bahwa sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC, yaitu Affect, Behaviour, dan Cognitif. Affect adalah perasaan yang timbul(senang, tidak senang), Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan Cognitif adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus). Menurut Azwar (2003), ketiga komponen sikap itu disebut sebagai struktur sikap. Ketiga komponen itu yaitu: 1. Komponen kognitif Aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai – nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. 2. Komponen Afektif Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 3. Komponen Konatif
14 Merupakan kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini akan membentuk sikap individual. Ketiga komponen tersebut mengorganisasikan sikap secara bersamaan. Apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tersebut tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidak–selarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap hingga konsistensi tersebut kembali tercapai. Sikap individu muncul akibat adanya proses tertentu yang bisa muncul dari dalam dan luar lingkungannya. Sikap terbentuk dari adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia. Dari berbagai definisi sikap yang telah dikemukakan, penulis menyimpulkan bahwa sikap adalah penilaian suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju pada objek tertentu, seperti orang, kelompok, kejadian, situasi, benda, dan memiliki komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Faktor-Faktor Pembentuk Sikap Baron dan Byrne (2003) mengemukakan dalam bukunya Psikologi Sosial bahwa pembentukan sikap melalui proses pembelajaran sosial. Pembelajaran tersebut melibatkan classical conditioning, instrumental conditioning, atau pembelajaran melalui observasi (observational learnging). Sikap juga terbentuk berdasar pada perbandingan sosial (social comparison) dalam rangka menyerupai pandangan orang lain dan sering kali mempengaruhi sikap yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik menunjukkan bahwa sikap juga dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun besarnya pengaruh tersebut bervariasi untuk sikap yang berbeda. Selain itu, Azwar (2003) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat membentuk dan merubah sikap, diantaranya: 1.Pengalaman Pribadi Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 2.Kebudayaan Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. 3.Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 4.Media Massa Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif berpengaruh terhadap sikap konsumennya. 5.Lembaga pendidikan dan lembaga agama
15 Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap. 6.Faktor emosional Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sementara itu, Sarwono S (2010) berpendapat bahwa pembentukan sikap terjadi melalui suatu proses tertentu, melalui kontak sosial terus-menerus antarindividu-individu lain di sekitarnya. Dalam hubungan ini, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah: 1.Faktor internal Faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti faktor pilihan. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungankecenderungan dalam diri seseorang. Karena harus memilih, seseorang harus menyusun sikap positif terhadap suatu hal dan membentuk sikap negatif terhadap hal lain. 2.Faktor eksternal Pembentukan sikap yang tentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar diri seseorang, yaitu: a) Sifat objek, sikap itu sendiri, bagus, atau jelek dan sebagainya. b) Kewibawaan c) Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut d) Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap e) Situasi pada saat sikap itu dibentuk Tidak semua faktor harus dipenuhi untuk membentuk suatu sikap. Satu atau dua faktor sudah cukup. Akan tetapi, makin banyak faktor yang ikut mempengaruhi, semakin cepat sikap dapat terbentuk (Sarwono S 2010). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal sikap terdiri dari pengalaman pribadi, pemahaman mengenai objek sikap, dan faktor emosional individu. Faktor eksternal sikap terdiri dari kebudayaan, pengaruh orang lain yang dianggap penting, media massa, situasi pada saat sikap itu dibentuk. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Petani yang menerapkan pertanian organik diduga memiliki sikap yang positif terhadap pertanian organik. Fokus penelitian ini adalah mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Berbagai faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani dalam menerapkan pertanian organik adalah sebagai berikut: Pendidikan Formal Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pada penelitian Fuady (2011) menyebutkan bahwa semakin
16 tinggi tingkat pendidikan formal petani, semakin besar pula adopsi pupuk organik. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses seseorang mampu berpikir lebih maju dan rasional. Semakin tinggi pendidikan seseorang menyebabkan seseorang mampu berpikir sustainable farming lebih jauh ke depan. Petani yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pandangan yang baik terhadap pemanfaatan bahan organik secara berkelanjutan. Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, maka itu artinya semakin lama pula waktu yang perlu untuk ditempuh. Lamanya seseorang menghabiskan waktunya untuk mengenyam pendidikan berpengaruh kepada pengetahuan yang ia peroleh. Dari uraian di atas, maka yang dimaksud pendidikan formal dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, pendidikan menengan atas, dan perguruan tinggi. Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstrukur dan berjenjang. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Soekartawi (1986) menyatakan bahwa pengalaman kursus (pendidikan non formal) yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan, karena dari kursus atau latihan pertanian yang diperoleh menambah pengetahuan, dan kecakapan dalam mengelola usahataninya. Dari uraian diatas, maka yang dimaksud pendidikan non formal dalam penelitian ini adalah frekuensi atau banyaknya kursus/pelatihan yang pernah diikutin oleh responden, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Pengalaman Mardikanto (1996) dalam Sunarti (2010) mengungkapkan bahwa pengalaman dalam melakukan kegiatan bertani tercermin dari kebiasaankebiasaan yang mereka (petani) terapkan dalam kegiatan bertani dan merupakan hasil belajar dari pengalamannya. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung seringkali memberikan pengaruh yang lebih kuat dari pada pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung lebih mudah diingat (Baron dan Byrne 2003). Dengan pengalaman langsung terhadap objek sikap, individu akan lebih tepat memaknainya. Bila ia memiliki pengalaman yang menyenangkan dengan objek sikap, maka objek itu akan dimaknai positif. Namun bila ia memiliki pengalaman yang tidak mengenakan, maka objek itu akan dimaknai negatif (Reza 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fuady (2011) menunjukkan bahwa semakin lama pengalaman petani berkorelasi nyata terhadap pemanfaatan pupuk
17 organik. Meskipun begitu, masih sedikit bukti penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pengalaman petani menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Dari uraian diatas, maka yang dimaksud pengalaman dalam penelitian ini adalah lamanya kegiatan bertani yang dialami oleh petani. Kekosmopolitan Kekosmopolitan adalah sifat keterbukaan (openess) petani yang selalu berusaha mencari informasi baru mengenai usahatani organik untuk meningkatkan motivasi mereka dalam hal menerapkan usahatani (Rukka 2003). Wiriaatmadja (1983) dalam Rukka (2003) menyatakan bahwa melalui sifat kosmopolit, dimungkinkan terjadinya peningkatan wawasan dan belajar di kalangan petani atas keberhasilan orang yang berada di luar daerahnya sehingga petani tersebut dapat terpacu, dan tanggap terhadap peluang pasar yang berpotensi dapat meningkatkan pendapatan dengan banyaknya output produksi yang dihasilkan. Petani yang saling bertukar pengalaman dan informasi, baik dengan petani lain maupun peneliti atau penyuluh, akan menambah pengetahuan mereka terhadap hal-hal baru dan mengganti pengetahuan lama dengan pengetahuan yang baru. Masih sedikitnya bukti penelitian yang menunjukan bahwa kekosmopolitan mempengaruhi sikap petani. Sehingga peneliti berasumsi bahwa diduga kekosmopolitan mempengaruhi pembentukan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Dari uraian pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan kekosmopolitan dalam penelitian ini adalah sifat keterbukaan petani dalam mencari sumber informasi baru mengenai pertanian. Sumber informasi tersebut diperoleh baik dari dalam sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain yang masih di dalam satu desa dan penyuluh) maupun dari luar sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain di luar desa dan lembaga pertanian), serta media massa (koran, majalah, radio, televisi). Kepemilikan Modal Rukka (2003) menyatakan bahwa modal usaha merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian. Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahatani hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal. Modal diartikan sebagai persediaan (stok) barang-barang dan jasa yang tidak segera digunakan untuk konsumsi, namun digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa mendatang melalui proses produksi. Pembentukan modal diartikan sebagai suatu proses beberapa bagian pendapatan yang ada disisihkan atau diinvestasikan untuk memperbesar output dikemudian hari. Menurut Hermanto (1989) seperti yang dikutip oleh Rukka (2003) menyatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lainnya menghasilkan barang baru. Penciptaan modal oleh petani biasanya dilakukan dengan menyisihkan sebagian hasil pertanian musim lalu (menabung) untuk tujuan yang produktif. Modal usaha yang digunakan petani dalam berusahatani dapat berasal dari dirinya sendiri maupun dari pinjaman pada pihak lain. Para ahli berpendapat bahwa pertanian organik menggunakan bahanbahan yang berasal dari sumber daya lokal yang ada disekitarnya. Dari asumsi ini,
18 seharusnya penerapan pertanian organik tidak memerlukan banyak biaya produksi. Namun demikian, Widiarta (2011) menjabarkan bahwa biaya input pada petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan petani non organik. Hal ini dikarenakan mahalnya harga bibit lokal dan tingginya biaya tenaga kerja tambahan. Oleh karena itu, diduga tingkat kepemilikan modal mempengaruhi faktor pembentukan sikap pada petani. Dari yang telah dijabarkan di atas, maka yang dimaksud kepemilikan modal dalam penelitian ini adalah barang (berupa uang, kerbau, dan traktor) dan jasa (berupa tenaga kerja) yang dimiliki petani yang digunakan petani untuk membantu kelancaran proses produksi selama satu musim tanam. Akses terhadap Sarana Produksi Penerapan pertanian organik menggunakan sarana produksi, seperti pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal. Tersedianya sarana produksi merupakan salah satu faktor penting dalam bercocok tanam. Tanpa sarana produksi, hasil produksi tidak dapat dicapai secara optimal dan mempengaruhi pada kualitas produk. Dari penelitian Widiarta (2011), salah satu alasan petani non organik masih ragu dalam menerapkan pertanian organik karena petani tidak yakin dapat menyediakan pupuk kandang dan pupuk cair sendiri dalam jumlah yang cukup besar untuk kebutuhan lahan pertanian mereka. Diduga semakin petani mudah mendapatkan sarana produksi, maka semakin positif sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Dari uraian di atas, maka yang dimaksud akses terhadap sarana produksi dalam penelitian ini adalah kemudahan yang dirasakan petani dalam mendapatkan dan mengolah sarana produksi berupa pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Nilai-Nilai Kelompok Prasetyo (2011) memaparkan arti dari nilai menurut para ahli adalah sebagai berikut: 1. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. 2. Gordon Allport mendefinisikan nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. 3. Kluckhohn mengemukakan nilai sebagai konsepsi dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. 4. Mulyana berpendapat bahwa nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap penting, baik dan berharga. Dalam nilai terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicita-citakan untuk kebajikan. Di dalam menilai, terdapat proses menimbang, kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudian mengambil keputusan. Merujuk pendapat Baron dan Byrne (2003), seseorang cenderung membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangannya terhadap kenyataan sosial benar atau salah. Kecenderungan untuk memiliki pandangan berupa ide, sikap, atau pendapat yang sama dengan orang
19 yang dianggap penting, sering kali dapat mengubah sikap seseorang. Sikap seseorang terbentuk dari informasi sosial yang berasal dari orang lain dan keinginan diri untuk menjadi serupa dengan orang lain. Petani pun begitu, kehidupan petani tidak lepas dari pengaruh yang ada di lingkungan sosialnya, seperti kelompok tani dimana petani bergabung di dalamnya. Penelitian yang dilakukan Rukka (2003) menunjukkan bahwa penerapan pertanian organik dapat diterima petani dikarenakan memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini menduga bahwa nilai-nilai kelompok pada kelompok tani mempengaruhi sikap petani dalam penerapan pertanian organik. Dari pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan nilai kelompok dalam penelitian ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh petani dalam menentukan pilihan penerapan pertanian mereka yang dipengaruhi oleh kelompok. Berdasarkan uraian di atas maka diduga bahwa tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman langsung, kekosmopolitan, kepemilikan modal, akses sarana produksi, dan nilai-nilai kelompok akan mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Kerangka Pemikiran Penerapan pertanian organik dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah sikap. Sikap secara umum diartikan sebagai suatu kecenderungan yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk berperilaku. Sikap mengandung penilaian positif dan negatif yang dapat dilihat melalui tiga komponen, yaitu komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Setiap individu memiliki tingkat kognisi, afeksi dan konasi yang berbeda-beda pada suatu objek. Adanya perbedaan sikap pada tiap individu juga dapat terbentuk dari interaksi dengan lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, pada penelitian ini diduga ada perbedaan sikap terhadap petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruihi perilaku manusia. Pada penelitian ini, sikap petani diduga dipengaruhi oleh pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman, kekosmopolitan, kepemilikan modal, akses terhadap sarana produksi, dan nilai-nilai kelompok petani. Pendidikan, pengalaman, kekosmopolitan¸kepemilikan modal, akses terhadap sarana produksi, dan nilai-nilai kelompok petani diduga mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. pengetahuan dan pemahaman petani mengenai penerapan pertanian organik. Pendidikan yang ditempuh seseorang, baik secara formal dan informal, akan sangat mempengaruhi perilakunya, baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap (Rukka 2003). Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang dalam mengevaluasi suatu keadaan. Oleh karenanya, diduga semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin positif sikapnya. Begitu pula dengan pengalaman, khususnya pengalaman bertani seseorang. Pengalaman yang dialami langsung oleh seseorang merupakan bahan ajar konkrit bagi diri seseorang. Seseorang yang mengalami langsung suatu situasi/keadaan/objek, dapat memberikan tanggapan terhadap situasi/keadaan/objek tersebut. Jadi, diduga semakin lama pengalaman bertani yang dimiliki petani, semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik.
20 Kekosmopolitan adalah keaktifan seseorang dalam mencari informasi. Petani yang aktif mencari informasi memungkinkan petani memperbaharui dan menambah pengetahuannya. Sehingga, diduga semakin tinggi kekosmopolitan petani, semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik. Lalu, kepemilikan modal adalah barang atau jasa yang dimiliki petani yang dapat membantu kelancaran produksi pertanian. Dengan tersedianya modal yang dibutuhkan petani, memungkinkan petani mengembangkan usahataninya. Dengan demikian, diduga semakin tinggi tingkat kepemilikan modal petani, semakin positif sikapnnya terhadap penerapan pertanian organik.Kemudian, akses terhadap sarana produksi adalah kemudahan dalam mendapatkan dan membuat sarana produksi pertanian organik. Semakin petani merasakan adanya kemudahan dalam mendapatkan dan membuat sarana produksi, diduga semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik. Selanjutnya, nilai-nilai kelompok adalah keyakinan, pandangan yang dimiliki oleh petani yang dipengaruhi oleh kelompok. Diduga, semakin tinggi nilai-nilai kelompok petani, semakin tinggi sikapnya.
1. Pendidikan Formal 2. Pendidikan Non Formal 3. Pengalaman 4. Kekosmopolitan 5. Kepemilikanmo dal 6. Akses terhadap sarana produksi 7. Nilai-Nilai Kelompok Tani Keterangan:
Sikap Petani Terhadap Penerapan Pertanian Organik 1. Kognisi 2. Afeksi 3. Konasi
Penerapan Pertanian Organik
: Mempengaruhi - - - - : Fokus Penelitian
Gambar 1 Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
Hipotesis Penelitian 1. Diduga terdapat perbedaan sikap antara petani organik, semi organik, dan non organik terhadap penerapan pertanian organik.
21 2. Diduga tingkat pendidikan formal berpengaruh nyata pada sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 3. Diduga tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 4. Diduga tingkat pengalaman berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 5. Diduga tingkat kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 6. Diduga tingkat kepemilikan modal berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. 7. Diduga tingkat akses terhadap sarana produksi berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik 8. Diduga tingkat nilai-nilai kelompok berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik Definisi Operasional Definisi untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1). Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki responden/petani. Indikator dari tingkat pendidikan formal yaitu: Tidak sekolah :1 SD :2 SMP :3 SMA :4 Perguruan Tinggi :5 2). Tingkat Pendidikan Non Formal adalah banyaknya kursus/pelatihan yang pernah diikuti oleh responden/petani sebanyak 4 kali dalam setahun, yang ditentukan menjadi: Tidak pernah mengikuti : 1 :2 1-2 kali 3-4 kali :3 > 4 kali :4 3). Pengalaman bertani adalah lamanya petani bertani padi sawah dari awal bertani sampai wawancara penelitian ini dilakukan dengan indikator sebagai berikut: < 3 tahun :1 3-5 tahun :2 6-10 tahun :3 >10 tahun :4 4). Tingkat kekosmopolitan adalah keterbukaan keterbukaan petani dalam mencari sumber informasi baru mengenani pertanian. Sumber informasi tersebut diperoleh baik dari dalam sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain yang masih di dalam satu desa dan penyuluh) maupun dari luar sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain di luar desa, lembaga pertanian), serta media massa (koran, majalah, radio, televisi). Kekosmopolitan ditinjau dari pernyataan-pernyataan tentang keterbukaan
22 petani dalam mencari sumber informasi baru mengenai pertanian dan memiliki skor, yaitu: Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2 Agak Setuju :3 Setuju :4 Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Kekosmopolitan petani terhadap penerapan pertanian organik rendah, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 6≤x≤15 diberi kode 1 2. Kekosmopolitanpetani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 16≤x≤24 diberi kode 2 5). Tingkat kepemilikan modal adalah barang dan jasa yang dimiliki responden/petani yang digunakan untuk membantu kelancaran proses produksi selama satu musim tanam. Modal dapat berasal dari milik sendiri, hasil menggadai, atau hasil pinjaman. Modal berupa barang, seperti kepemilikan uang, traktor atau kerbau. Kepemilikan jasa, seperti tenaga kerja yang digunakan. Tingkat kepemilikan modal diukur dengan pertanyaan tentang: a) Kepemilikan lahan dengan pilihan jawaban yang memiliki skor: 1. Bagi Hasil 2. Sekap 3. Sewa 4. Milik Sendiri b) Kepemilikan uang dengan pilihan jawaban yang memiliki skor berjenjang: 1. Bagi hasil 2. Pinjam 3. Gadai 4. Milik sendiri c) Kepemilikan kerbau dengan pilihan jawaban yang memiliki skor berjenjang: 1. Tidak punya 2. Bagi hasil 3. Sewa 4. Milik sendiri d) Kepemilikan Traktor dengan pilihan jawaban yang memiliki skor berjenjang: 1. Tidak punya 2. Bagi hasil 3. Sewa 4. Milik sendiri e) Kepemilikan tenaga kerja dengan pilihan jawaban yang memiliki skor yang berjenjang: 1. Tidak memiliki 2. Bagi hasil 3. Upah
23 4. Anggota Keluarga Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Kepemilikan modal petani terhadap penerapan pertanian organik rendah, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 5≤x≤12 diberi kode 1 2. Kepemilikan modal petani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 13≤x≤20 diberi kode 2 6). Akses terhadap sarana produksi adalah kemudahan dalam mendapatkan dan mengolah pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal, serta jarak tempuh dari tempat tinggal respon ke tempat sarana produksi tersedia. Akses terhadap sarana produksi diukur dengan memberikan respon atau tanggapan yang berkaitan dengan kemudahan dalam mendapatkan dan mengolah pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal, serta jarak tempuh dari tempat tinggal respon ke tempat sarana produksi tersedia. Perhitungan skor untuk setiap jawaban adalah sebagai berikut: Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2 Agak Setuju :3 Setuju :4 Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Aspek sarana produksi petani terhadap penerapan pertanian organik rendah, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval7≤x≤17 diberi kode 1 2. Aspek sarana produksi petani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 18≤x≤28 diberi kode 2 7). Nilai-nilai kelompok adalah keyakinan yang dimiliki oleh petani dalam menentukan pilihan penerapan pertanian mereka yang dipengaruhi oleh kelompok. Tingkat nilai-nilai kelompok diukur memberikan respon atau tanggapan yang berkaitan dengan nila-nilai kelompok. Kemudian responden diminta memberikan respon pada setiap butir pernyataan yang diajukan dengan jawaban setuju, agak setuju, kurang setuju, atau tidak setuju. Jawaban yang diberikan responden diberi skor sebagai berikut: Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2 Agak Setuju :3 Setuju :4 Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Nilai-nilai kelompok petani terhadap penerapan pertanian organik rendah, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 4≤x≤10 diberi kode 1 2. Nilai-nilai kelompok petani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 11≤x≤16 diberi kode 2
24 8). Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik adalah kecenderungan responden/petani untuk suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung yang dilakukan oleh petani terhadap penerapan pertanian organik dalam hal pengetahuan (kognitif), perasaan suka atau tidak suka (afektif), dan kecenderungan bertindak (konatif) terhadap penerapan pertanian organik. Tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik diukur dengan memberikan respon atau tanggapan pernyataan positif maupun negatif mengenai penerapan pertanian organik.Kemudian responden diminta memberikan respon pada setiap butir pernyataan yang diajukan dengan jawaban setuju, agak setuju, kurang setuju, atau tidak setuju. a) Kognisi adalah pengetahuan, persepsi dan keyakinan yang dimiliki petani terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai kognisi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang. b) Afeksi adalah perasaan emosional dan suasan hati yang dimiliki petani terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai Afeksi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang. c) Konasi adalah kecenderungan petani untuk melakukan suatu tindakan tertentu atau meniru dalam menerapkan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai kognisi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang. Skor untuk 3 komponen sikap (kognisi, afeksi, konasi) untuk pernyataan positif adalah: Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2 Agak Setuju :3 Setuju :4 Skor untuk pernyataan negatif adalah: Tidak Setuju :4 Kurang Setuju :3 Agak Setuju :2 Setuju :1 Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, sikap petani dikategorikan menjadi: 1. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik negatif, dengan skor total sikap berada pada interval 15≤x≤37 diberi kode 1 2. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik positif, dengan skor total sikap berada pada interval 38≤x≤60 diberi kode 2
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan April 2013 di Kabupaten Magelang yang merupakan salah satu sentra produksi beras organik di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya permintaan beras organik di Kabupaten Magelang, pemerintah Kabupaten Magelang melalui Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) mulai mengembangkan produk beras organik. Pengembangan yang dilakukan dengan perluasan lahan seluas 600 ha di lima kecamatan. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bandongan, Kecamatan Kajoran, Kecamatan Salaman, dan Kecamatan Ngluwar1. Lokasi yang dipilih sebanyak dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Kajoran. Menurut data BPS tahun 2011, Kecamatan Sawangan memiliki luas lahan pertanian padi sawah yang lebih luas dibandingkan luas lahan padi sawah Kecamatan Kajoran, yaitu 3 432 ha dan 2 697 ha. Akan tetapi, Kecamatan Kajoran memiliki rata-rata produksi yang lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Sawangan, yaitu 67.22 kw/ha dan 58.52 kw/ha. Pada setiap Kecamatan dipilih satu desa, yaitu Desa Mangunsari di Kecamatan Sawangan, dan Desa Madugondo di Kecamatan Kajoran. Desa yang dipilih adalah desa yang memiliki petani yang menerapkan pertanian organik. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Mangunsari, terdapat sekitar 412 petani yang menerapkan pertanian organik dan semi organik. Akan tetapi, hasil temuan lapang menunjukkan hanya 15 petani yang menerapkan pertanian organik. Oleh karenanya, untuk mencukupi sampel yang diambil, dipilih satu desa dari kecamatan lain, yaitu Desa Madugondo, Kecamatan Kajoran. Selain itu, kedua desa dipilih berdasarkan adanya perbedaan agroekosistem, khususnya pada perbedaan pola tanam. Desa Mangunsari memiliki topografi lahan datar dengan pola tanam monokultur. Desa Madugondo memiliki topografi lahan berlereng dengan pola tanam polikultur. Pemilihan kedua desa dipilih selain sebagai salah satu sentra produksi padi sawah di Kabupaten Magelang, juga karena adanya kesesuaian permasalahan dan tujuan penelitian, serta kecukupan sampel yang akan diambil. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh menggunakan metode survei. Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 2008). Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang berkaitan dengan variable-variabel penelitian, yaitu tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemilikan modal, tingkat akses sarana produksi, tingkat nilai-nilai kelompok, dan sikap petani dalam penerapan pertanian organik. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara memberikan panduan pertanyaan yang ada pada kuesioner kepada responden 1
http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=23491
26 penelitian. Kuesioner dibuat dalam beberapa bentuk, yaitu berupa pilihan jawaban yang menunjukkan peringkat, dan dalam bentuk skala likert. Singarimbun dan Efendi (2008) menyatakan bahwa salah satu cara yang menentukan skor adalah dengan menggunakan skala likert. Menurut Azwar (2003), total atau jumlah skor dalam Summaratedr Rating Scales yang diperoleh merupakan skala interval. Data kualitatif dikumpulkan dengan cara mencatat informasi tambahan yang diberikan oleh responden. Teknik Sampling Unit analisa penelitian ini adalah individu. Populasi penelitian adalah seluruh petani padi sawah yang ada di Desa Madugondo dan Desa Mangunsari. Terdapat 278 petani di Desa Madugondo, dan 412 petani di Desa Mangunsari. Sampel pada penelitian ini berjumlah 105 responden. Kemudian responden dibagi ke dalam tiga kelompok responden berdasarkan cara penerapan pertaniannya, yaitu 1) petani organik 35 responden, 2) petani semi organik 35 responden, 3) petani non organik 35 responden. Penarikan sampel pada petani organik dilakukan secara sensus. Menurut Usman dan Akbar (2008) penelitian dengan teknik sensus menggunakan seluruh anggota populasinya. Penggunaan ini berlaku jika anggota populasi relatif kecil. Teknik sampling ini digunakan karena data temuan di lapangan menunjukkan hanya terdapat 15 orang petani organik di Desa Mangunsari, sehingga penulis mencari petani organik lainnya di desa lain, yaitu Desa Madugondo. Kemudian, penarikan sampel pada petani semi organik dan non organik dilakukan dengan snowball sampling. Menurt Riduwan (2011), snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil kemudian anggota sampel (responden) mengajak para sahabatnya untuk dijadikan sampel dan seterusnya sehingga jumlah sampel semakin banyak jumlanya. Teknik ini digunakan karena penulis tidak mendapatkan informasi yang pasti terkait petani semi organik dan non organik. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif hasil penyebaran kuesioner terlebih dahulu dilakukan proses pengkodean, lalu diberi skor, kemudian dilakukan pemindahan dari daftar pertanyaan ke buku kode dalam bentuk tabel MicrosoftExcel 2007yang telah disiapkan. Selanjutnya, data-data tersebut diolah menggunakan program SPSS for windows versi 16.0. Uji statistik untuk menguji hipotesis satu adalah dengan menggunakan Uji Chi Square. Uji Chi Square digunakan untuk menguji ada tidaknya perbedaan antara dua variabel ordinal atau interval. Kemudian, untuk menguji hipotesis dua sampai delapan digunakan Uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh antara dua variabel interval (Riduwan 2011). Untuk pengujian secara statistik, maka perlu dilakukan transformasi agar semua data yang terkumpul menjadi skala interval. Menurut Sarwono J (2010) transformasi data dapat dilakukan dengan Metode Suksesive Interval (MSI) melalui beberapa tahapan, diantaranya: Menghitung Frekuensi Menghitung propor si Menghitung proporsi kumulatif
27
Menghitung nilai z Menghitung nilai densitas fungsi z Menghitung scale value Menghitung penskalaan Penghitungan secara manual hanya dapat dilakukan apabila data yang terkumpul dalam jumlah yang kecil. Dikarenakan jumlah data yang perlu dihitung dalam jumlah yang sangat banyak, maka dibutuhkan bantuan penghitungan secara lebih praktis mengggunakan program tambahan penghitungan dalam MicrosoftExcel yaitu stat97.
GAMBARAN UMUM PENELITIAN Kabupaten Magelang Kabupaten Magelang memiliki luas wilayah 1 085.75 yang terbagi atas 21 kecamatan, 367 desa, dan lima kelurahan. Secara administratif kabupaten ini memiliki batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang, Sebelah barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, Sebelah timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, Sebelah selatan : Kabupaten Purworejo dan DI Yogyakarta. Secara umum morfologi wilayah Kabupaten Magelang merupakan dataran tinggi yang berbentuk basin (cekungan) dengan dikelilingi gunung-gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing) dan pegunungan Menoreh. Terdapat dua sungai besar di tengahnya, Sungai Progo dan Sungai Elo, dengan beberapa cabang anak sungai yang bermata air di lereng gunung-gunung tersebut. Topografi datar 8.5999 ha, bergelombang 44.784 ha, curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha. Ketinggian wilayah tingginya 153-3.065 m di atas permukaan laut. Ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Tahun 2011, penggunaan luas lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 0.003 persen, sedangkan pada luas lahan bukan pertanian meningkat sebesar 0.007 persen. Penggunaan luas lahan pertanian berupa lahan sawah memiliki luas 37.219 ha dengan luas terbesar adalah luas lahan sawah irigasi sederhana yaitu 23.67 persen dan terkecil adalah lahan sawah irigasi setengah teknis yaitu 14.16 persen. Untuk lahan kerung dengan luas 42 218 ha dengan 85.82 persen berupa tegal/kebun/ladang. Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Magelang adalah 1 193 569 jiwa yang terdiri dari 600 050 jiwa penduduk laki-laki dan 593 519 jiwa penduduk perempuan. Kecamatan yang memiliki penduduk terbanyak adalah Kecamatan Mertoyudan dengan jumlah penduduk sebanyak 106 406 jiwa atau 8.91 persen. Kemudian diikuti secara berturut-turut Kecamatan Grabag dengan jumlah penduduk 82.388 jiwa atau 6.9 persen, Kecamatam Secang dengan jumlah penduduk 76 195 jiwa atau 6.83 persen dan Kecamatan Muntilan dengan jumlah penduduk 75 547 jiwa atau 6.33 persen. Selanjutnya, dalam bidang ekonomi, hampir sebagian besar dari total penduduk usia kerja di Kabupaten Magelang bekerja di sektor pertanian dengan presentase sebesar 41.56 persen. Sektor lain yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa dengan presentase masing-masing sebesar 20.41 persen dan 14.36 persen. Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten dengan penghasil pangan terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Pada Tabel 2 dapat dilihat luas panen, rata-rata produksi, dan produksi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang. Kecamatan yang memiliki hasil produksi terbesar lebih dari 20 000 ton adalah Kecamatan Salaman, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Kajoran, Kecamatan Bandongan, Kecamatan Secang, dan Kecamatan Grabag. Dari data yang tersaji pada Tabel 2, produksi tanaman bahan makanan Kecamatan Sawangan mencapai 20 083 ton. Tanaman pangan pokok yang menjadi komoditas untama diantaranya adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan
30 kedelai. Luas panen padi tahun 2011 tercatat 50 695 ha dengan rata-rata produksi padi sebesar 59 792 kw/ha. Berikutnya, untuk tanaman sayuran yang menjadi komoditas utama ialah kentang dan kubis. Tanaman sayuran yang lainnya, seperti bawang daun, sawi, dan cabe merah. Untuk buah-buahan yang menjadi komoditas utama ialah buah jeruk, alpukat, dan mangga. Buah-buahan yang lainya, seperti duku, jambu biji, sawo, nanas, pisang, rambutan, salak, dan semangka. Untuk hewan ternak, yang menjadi komoditas unggulan, seperti kambing dan domba, dan yang lainya adalah kelinci. Tabel 2
Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan utama menurut kecamatan 2011
Kecamatan
Luas LahanPanen
Rata-rata produksi
Produksi
(ha)
(kw/ha)
(Ton)
Salaman 3 611 58.21 Borobudur 1 229 65.71 Ngluwar 2 479 58.06 Salam 3 091 60.55 Srumbung 1 710 64.43 Dukun 1 152 61.56 Muntilan 2 535 59.93 Mungkid 2 697 67.22 Sawangan 3 432 58.52 Candimulyo 2 053 62.25 Mertoyudan 2 706 61.38 Tempuran 1 678 58.08 Kajoran 4 438 50.24 Kaliangkrik 2 006 55.85 Bandongan 4 088 59.95 Windusari 2 618 56.51 Secang 3 527 60.73 Tegalrejo 2203 61.21 Pakis 183 48.20 Grabag 3 103 66.30 Ngablak 156 46.47 Jumlah 2011 50 695 59.72 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang
21 021 8 076 14 392 18 717 11 017 7 092 15 193 18 128 20 083 12 780 16 610 9 745 22 296 11 204 24 507 14 795 21 420 13 485 882 20 574 725 302 742
Kecamatan Sawangan Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah 70 . Adapun batas-batas kecamatan Sawangan sebagai berilut: Sebelah Utara : Kecamatan Pakis Sebelah Timur : Kecamatan Boyolali Sebelah Selatan : Kecamatan Dukun Sebelah Barat : Kecamatan Mungkid
31 Menurut topografi lokasi desa, hampir sebagian besar desa atau sebanyak 11 desa di Kecamatan Sawangan berada di tanah hamparan, dan hanya empat desa yang berada di tanah lereng gunung. Ketinggian wilayah Kecamatan Sawangan antara 300 sampai dengan lebih dari 700 mDpl. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 tercatat jumlah penduduk di Kecamatan Sawangan sebanyak 53 624 jiwa dengan rincian 27 191 jiwa penduduk laki-laki dan 26 433 jiwa penduduk perempuan. Desa Wonolelo tercatat sebagai desa dengan jumlah penduduk paling tinggi yaitu 6 401 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah adalah Desa Soronalan sebanyak 2 051 jiwa. Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi penyumbang PDRB terbesar di Kecamatan Sawangan, yaitu sebesar 44.68 persen, disusul dengan sektor jasa sebesar 16.78 persen. Hal ini mencerminkan bahwa hampir sebagian besar penduduk Kecamatan Sawangan bekerja di sektor pertanian. Dilihat dari luas lahan pertanian, sektor pertanian memiliki luas lahan terluas sebesar 54 persen atau seluas 5 723.3 ha, dan hanya 10 persen atau seluar 1 042 ha digunakan untuk lahan non pertanian. Selain itu, luas lahan sawah memiliki luas sebesar 16 persen atau seluas 1 698 ha dan luas non sawah sebesar empat persen atau seluas 4026 ha. Luas lahan sawah terbagi menjadi luas sawah irigasi sebesar 8 persen atau seluas 858 ha, dan sawah non irigasi delapan persen atau seluas 840 ha . Kegiatan Pertanian di Desa Mangunsari Desa Mangunsari merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Sawangan. Letak Desa Mangunsari berdekatan dengan objek wisata Gardu Pandang dan Candi Borobudur. Desa Mangunsari memiliki 29 Rukun Tetangga dan delapan RukunWarga, serta enam dusun, diantaranya Dusun Mranggen, Dusun Wonolobo, Dusun Wonosari, Dusun Gadingsari, Dusun Beran, danDusun Glagahombo. Jumlah penduduk Desa Mangunsari sebanyak 2 629 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1 247 jiwa, dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1 382 jiwa. Desa Mangunsari merupakan salah satu kawasan pertanian di Kecamatan Sawangan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang bermatapencaharian di sektor pertanian. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 626 jiwa, yang diantaranya 412 jiwa bekerja sebagai petani dan 214 jiwa sebagai buruh tani. Banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian didukung oleh luas lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan luas lahan non pertanian, yaitu 247.9 ha dan 19 ha. Dari luas lahan pertanian, 210 ha merupakan lahan sawah, dan 47 ha merupakan lahan non sawah. Komoditas utama tanaman pangan di Desa Mangunsari adalah padi jenis Mentik Wangi Susu, disusul dengan jenis Raja Lele dan IR 64. Jenis padi Mentik Wangi Susu merupakan salah satu jenis padi yang paling digemari oleh masyarakat, tidak hanya di Desa Mangunsari tetapi juga di Kabupaten Magelang. Jeni padi Mentik Wangi Susu terkenal dengan rasanya yang lebih manis, lebih pulen, dan lebih wangi dibandingkan jenis padi lainnya. Sementara itu, komoditas utama tanaman holtikultura di Desa Mangunsari diantaranya cabai merah, kacang panjang, dan ketimun. Penerapan kegiatan pertanian di Desa Mangunsari dari waktu ke waktu semakin mengarah kepada pertanian organik. Berdasarkan penuturan dari salah
32 satu tokoh masyarakat, sebelum program Panca Usaha Tani dipopulerkan pemerintah, petani tidak menggunakan bahan-bahan input kimia. Akan tetapi, kegiatan penerapan pertanian mulai berubah saat pemerintah meluncurkan PELITA. Program PELITA mewajibkan petani menggunakan bahan-bahan input kimia yang disediakan oleh pemerintah, seperti pupuk Urea, pestisida, dan bibit hibrida. Sampai tahun 1990-an, para tokoh penggerak pertanian mulai berusaha mengajak petani lainnya untuk mulai kembali berorganik.. Penerapan pertanian organik di Desa Mangunsari mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan pemerintah, LSM, maupun tokoh masyarakat. Dari kalangan pemerintah desa, baik Kepala Desa Mangunsari maupun BP2K, sering mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada petani. Selain mengadakan penyuluhan, diadakan juga pelatihan pertanian. Pelatihan pertanian yang pernah diadakan, seperti SLPHT, pembuatan pupuk kompos, dan pengendali hama alami. Dari kalangan LSM, seperti lembaga KRKP yang membantu petani dalam pemasaran produk beras organik ke berbagai wilayah dan mengadakan diskusi terkait pertanian organik yang biasanya dihadiri oleh ketua kelompok tani. Selanjutnya, dari kalangan tokoh masyarakat turut memberikan dukungan. Ada pun Bapak WGD, selaku ketua kelompok tani Beras Tuton yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Mangunsari selama dua periode. Beliau memiliki wawasan yang luas, semangat yang tinggi, dan tegas. Beliau mendirikan kelompok tani Beras Tuton karena keinginannya untuk mewujudkan pertanian yang tidak menggunakan bahan sintetis sama sekali. Tidak sedikt dari petani yang ragu menggunakan bahan-bahan input alami karena petani menyadari produksi tanaman tidak akan seoptimal dengan menggunakan bahan sintetis. Untuk itulah, pada saat masih menjabat sebagai kepala desa, beliau membuat lahan percontohan padi organik pada lahan bengko. Lahan bengko merupakan lahan yang diwariskan kepada pemerintah desa. Akan tetapi, lahan percontohan padi organik tidak berjalan lancar karena perubahan masa kepemimpinan. Lahan bengko kini hanya digunakan untuk kepentingan pribadi saja. Kemudian, pada tahun 2011, beliau berhasil mengembangkan beras organik dengan nama Beras Tuton. Keberhasilannya ditandai dengan produk beras miliki Pak Widagdo dapat diterima oleh pasar. Harga jual dari beras tuton pun mencapai Rp15 000/kg. Selain keberhasilan dari segi ekonomi, dengan berorganik, dapat mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Penggunaan bahan-bahan input alami dipercaya Pak WGD dapat meningkatkan kualitas padi. Hal ini dapat dibuktikan melalui beras organik yang dikembangkan oleh Pak WGD memiliki rasa yang lebih manis dan pulen, bau yang lebih wangi, dan memiliki ketahanan lebih lama dibandingkan beras lainnya dengan jenis yang sama. Penerapan pertanian organikyang dilakukan oleh Pak WGD sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan input sintetis. Hal ini dilakukan beliau untuk memberikan contoh kepada petani lainnya. Kecamatan Kajoran Kecamatan Kajoran merupakan salah satu dari kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah seluas 83.41 . Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Kajoran sebagai berikut: Sebelah Barat : Kecamatan Kepil dan Kabupaten Wonosobo,
33 Sebelah Utara : Kecamatan Kaliangkrik, Sebelah Timur : Kecamatan Tempuran, dan Sebelah Selatan : Kecamatan Salaman. Secara topografi Kecamatan Kajoran merupakan dataran tinggidengan ketinggian wilayah antara 300 sampai 700 mDpl dan memiliki curah hujan yang tinggi. Banyaknya curah hujan ditahun 2011 tercatat sebanyak 2 027 mm dengan curah hujan paling banyak terjadi di bulan September sebesar 534 mm, sedangkan paling sedikit dibulan Maret sebesar dua mm. Kemudian, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kecamatan Kajoran sebanyak 51 508 jiwa yang terdiri dari 26 021 jiwa penduduk laki-laki, dan sebanyak 25 487 jiwa penduduk perempuan. Desa Sutopati tercatat memiliki jumlah penduduk terbesar sebanyak 6 754 jiwa. Dan penduduk paling sedikit terdapat di Desa Ngargosari sebanyak 575 jiwa. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 64.83 persen, disusul dengan sektor perdagangan yang menyerap tenaga kerja sebesar 13.18 persen. Kecamatan Kajoran yang berada di dataran tinggi di kaki gunung Sumbing memiliki lahan yang subur sehingga tak heran sektor pertanian menjadi unggulan. Menurut kegunaannya, lahan pertanian memiliki luas 57.94 dan lahan non . Lahan sawah seluas 20.94 , lahan bukan pertanian memiliki luas 25.47 sawah atau tegalan sebesar 37 . Lahan sawah terbagi menjadi sawah irigasi seluas 16.63 dan sawah non irigasi seluas 4.31 .Luas panen tanaman padi Kecamatan Kajoran tahun 2011 tercatat seluas 4 438 ha, luas panen tanaman jagung sebesar 1 361 ha, dan luas panen tanaman ubi kayu sebesar 221 ha. Dari seluruh lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kajoran tahun 2011, untuk jenis tanaman pangan luas tanam bersih tanaman padi seluas 3 892 ha, luas tanam bersih tanaman jagung seluas 1 602 ha, dan tanaman ubi kayu seluas 214 ha. Tabel 3
Luas tanam dan luas panen tanaman pangan Kecamatan Kajoran tahun 2011
Jenis Tanaman Padi Jagung Ubi kayu
Luas tanam (hektar) 3 892 1 602 214
Luas panen (hektar) 4 438 1 361 221
Kegiatan Pertanian di Desa Madugondo Desa Madugondo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kajoran. Desa Madugondo memiliki delapan Rukun Tetangga, dua Rukun Warga, dan dua dusun. Jumlah penduduk Desa Madugondo tercatat sebanyak 1111 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 467 jiwa, dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 644 jiwa. Luas wilayah Desa Madugondo yaitu 83 ha, dengan luas lahan pertanian seluas 63 ha dan luas lahan non pertanian seluas 20 ha. Dari luas lahan pertanian, 60 ha adalah luas lahan sawah dan tiga ha adalah luas lahan non sawah. Kegiatan pertanian di Desa Madugondo sebagian besar didominasi oleh tanaman pangan padi. Selain tanaman pangan, tanaman holtikultura yang menjadi komoditas utama adalah cabe merah, cabe rawit, dan pisang.
34 Desa Madugondo memiliki topografi tanah berlereng dan terletak di perbukitan. Kondisi alam ini mendukung petani untuk tidak hanya menanam padi, tetapi juga sayuran. Dikarenakan kondisi tanahnya yang tidak rata, sangat sedikit dari petani yang menggunakan mesin traktor sebagai alat bantu membajak sawah. Oleh karenanya, banyak petani yang memiliki kerbau untuk membantu membajak sawah mereka, atau pun menyewakannya ke petani lainnya. Kegiatan pertanian organik di Desa Madugondo semakin berkembang. T Petani diajak untuk mengikuti berbagai pelatihan pembuatan pupuk dan pengendali hama alami. Kegiatan bersama penyuluh ini diadakan setiap bulan. Terdapat salah satu tokoh masyarakat yang masih muda dan disegani di Desa Madugondo, yaitu Pak NGK. Beliau adalah salah satu pemuda desa yang peduli dengan kehidupan petani di desanya. Pak NGK mengungkapkan bahwa hasil produksi padi di desanya selalu berlebih dan kegiatan pemasaran beras organik hanya di lingkungan desa saja. Melihat hal ini, Pak NGK pun berusaha memasarkan produk beras organik ke daerah lainnya. Sebagai penggerak di bagian pemasaran, Pak NGK mengaku tidak pernah memaksa petani untuk menjual beras kepadanya. Beliau membebaskan petani untuk menjual beras kepada siapa pun. Akan tetapi, Pak NGK secara tegas menghimbau petani yang ingin menjual beras kepadanya haruslah beras organik. Kegiatan bertani organik di Desa Madugondo tidak jauh berbeda dengan Desa Mangunsari. Penggunaan bahan-bahan alami adalah prioritas utama. Petani tidak lagi menambahkan bahan-bahan sintetis ke dalam tanamannya. Jenis padi yang digunakan di Desa Madugondo adalah Mentik Wangi Susu. Pertanian di Desa Madugondo bukan hanya sekedar aktifitas menanam padi, tetapi juga termasuk budaya. Biasanya, setiap pascapanen tiba akan diadakan kesenian Jaran Kepang untuk merayakan hasil panen. Kegiatan ini seperti makan bersama-sama warga sekitar sebagai bentuk syukur keberhasilan panen. Jalinan kekerabatan antar warga di Desa Madugondo pun terlihat kuat. Istri-istri petani selalu mengadakan pertemuan dalam bentuk kegiatan pengajian atau pun arisan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga tali kekerabatan diantara petani. Karakteristik Responden Umur Responden dalam penelitian ini terdiri atas rentang usia antara 30 sampai dengan 80 tahun dengan rataan umur 52 tahun. Penentuan penggolongan usia berdasarkan pengurangan nilai mean dan nilai standar deviasi. Responden dibagi ke dalam tiga golongan usia. Responden yang berusia 30-40 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani muda. Responden yang berusia 4152 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani menengah. Dan responden yang berusia 53-60 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani tua. Penentuan golongan umur didasarkan pada nilai standar deviasi yang didapat. Umur sebagian besar responden (50.5 persen) berada pada kelompok umur 53-80 tahun, sisanya berada pada kelompok umur 41-52 tahun (21 persen), dan kelompok umur 30-40 tahun (28.6 persen). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4, sebagian besar petani organik berada pada kelompok umur 41-52 tahun dengan jumlah presentase 37.2 persen. Sementara itu, sebagian besar petani semi organik berada pada kelompok umur 53-80 tahun dengan jumlah presentase
35 54.3 persen. Dan sebagian besar petani non organik berada pada kelompok umur 53-80 tahun dengan presentase 65.7 persen. Banyaknya petani yang berumur tua menggambarkan bahwa sangat sedikit dari golongan muda yang berminat untuk menjadi petani. Pemuda di sana cenderung mencari pekerjaan dibidang lain di luar pertanian, seperti menjadi buruh pabrik, buruh bangunan, tukang ojek, atau pedagang baik di wilayah kabupaten maupun merantau ke kota besar. Tabel 4 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat umur Umur Petani
Petani Organik n
30-40 41-52 53-80 Total
11 13 11 35
% 31.4 37.2 31.4 100.0
Petani Semi Organik n 7 9 19 35
% 20.0 25.7 54.3 100.0
Petani Non Organik
Total Responden
n
n 22 30 53 105
4 8 23 35
% 11.4 22.9 65.7 100.0
% 21.0 28.6 50.5 100.0
Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini mencakup petani dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Terdapat 93.3 persen atau 98 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan 6.7 persen atau tuju orang dengan jenis kelamin perempuan (Tabel 5). Lebih banyaknya jumlah laki-laki yang menjadi petani menunjukkan laki-laki dianggap memiliki peranan yang lebih dominan dalam mengurus langsung lahan pertanian. Meskipun begitu, perempuan pun tetap memiliki peranan meskipun tidak dominan. Kegiatan bertani dianggap sebagai kegiatan unit rumah tangga. Perempuan memiliki peranan yang lebih dominan pada saat pascapanen berlangsung. Pada saat pascapanen, petani laki-laki biasanya membutuhkan tenaga lebih untuk membantunya di ladang. Untuk menghemat biaya produksi, petani laki-laki lebih memilih anggota keluarganya dibandingkan harus membayar tenaga upahan. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 5, baik petani organik, semi organik maupun non organik, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 94.3 persen pada petani organik, 97.1 persen pada petani semi orgaik, dan 88.6 persen pada petani non organik. Dan sisanya adalah berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 5.2 persen pada petani organik, 2.9 persen pada petani semi organik, dan 11.4 persen pada petani non organik Tabel 5 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Petani Organik n 33 2 35
% 94.3 5.2 100.0
Petani Semi Organik n 34 1 35
% 97.1 2.9 100.0
Petani Non Organik
Total Responden
n
n 98 7 105
31 4 35
% 88.6 11.4 100.0
% 93.3 6.7 100.0
Pendidikan Formal Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh
36 responden. Responden dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu responden dengan tingkat pendidikan rendah, dan tinggi. Sebaran responden menunjukkan bahwa responden memiliki tingkatan pendidikan yang bervariasi mulai dari tidak sekolah, tidak tamat sampai tamat SD (Sekolah Dasar), tidak tamat sampai tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, tidak tamat sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan tamat Perguruan Tinggi. Tingkatan pendidikan formal total responden masih rendah, terlihat dari banyaknya responden yang hanya bersekolah sampai SD saja, yaitu sebanyak 40 persen atau 42 orang. Rendahnya tingkat pendidikan responden petani diakui petani karena kurangnya minat petani untuk bersekolah dan mahalnya biaya sekolah yang harus dikeluarkan. Petani lebih memilih membantu orang tuanya yang bertani di ladang. Tabel 6
Tingkat Pendidikan Formal Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan formal Petani Organik n
%
Petani Semi Organik n
%
Petani Non Organik
Total Responden
n
n
%
%
3
8.6
1
2.9
-
-
4
3.8
11 14 5 2 35
31.4 40.0 14.3 5.7 100.0
12 10 11 1 35
34.3 28.6 31.4 2.9 100.0
19 11 4 1 35
54.3 31.4 11.4 2.9 100.0
42 35 20 4 105
40.0 33.3 19.0 3.8 100.0
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa, responden pada petani organik sebagian besar memiliki tingkat pendidikan setara SMP sebanyak 40 persen atau sekitar 14 orang. Pada petani semi organik dan non organik, sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan setara SD sebanyak 34.3 persen atau 12 orang dan 54.3 persen atau 19 orang. Hal ini menunjukkan bahwa, baik petani organik, semi organik, maupun non organik, tergolong kedalam kategori rendah, dengan presentasi masing-masing 77.1 persen, 65.7 persen, dan 85.7 persen. Tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang akan memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang cara berpikir, penerimaan suatu informasi, maupun penilaian terhadap suatu masalah yang terjadi. Sehingga semakin tinggi pendidikkannya maka kemampuan berfikirnya juga semakin baik, pengetahuannya semakin luas, dan analisisnya terhadap permasalahan semakin tajam (Sunarti 2010). Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal petani adalah banyaknya kursus atau pelatihan yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan non formal dibagi ke dalam dua ketagori, yaitu kategori rendahdan kategori tinggi. Kategori rendah apa bila responden tidak pernah mengikuti pelatihan atau pernah mengikuti 1-2 kali pelatihan. Kategori tinggi apabila responden pernah mengikuti 3-4 kali pelatihan
37 atau lebih dari empat kali pelatihan. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan non formal menunjukkan bahwa petani yang berada pada kategori rendah sebesar 56.2 persen dan pada kategori tinggi sebesar 43.8 persen. Besarnya kategori tingkat pendidikan non formal rendah menunjukkan masih kurangnya kesadaran petani untuk menambah pengetahuan dan keterampilan petani. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 7 menunjukkan bahwa total responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan sebanyak 37.1 persen atau sebanyak 39 orang. Responden pada petani organik menunjukkan pernah mengikuti pelatihan lebih dari empat kali sebanyak 80 persen atau 28 orang. Dan sebagian besar responden, baik petani semi organik maupun petani non organik, menunjukkan tidak pernah mengikuti pelatihan sebesar 42.9 persen dan 65.7 persen. Sementara itu, sebagian besar responden pada petani organik masuk ke dalam kategori tinggi dengan presentasi 97.1 persen. Sebagian besar responden pada petani semi organik dan petani non organik tergolong dalam kategori rendah, yaitu sebesar 68.6 persen dan 97.1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi dibandingkan petani semi organik dan petani non organik Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan non formal Petani Organik Petani Semi Petani Non Total Tingkat Organik Organik Responden Pendidikan Non Formal n % n % n % n % Tidak pernah 1 2.9 15 42.9 23 65.7 39 37.1 mengikuti 1-2 kali 9 25.7 11 31.4 20 19.0 3-4 kali 6 17.1 4 11.4 1 2.9 11 10.5 >4 kali 28 80.0 7 20.0 35 33.4 Total 35 100.0 35 100.0 35 100.0 105 100.0 Tabel 7
Petani organik yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi mengakui pernah mengikuti pelatihan mengenai pertanian organik, seperti sekolah lapang, atau pun pelatihan yang diadakan oleh penyuluh. Dengan adanya pelatihan, petani dapat lebih memahami materi yang disampaikan karena biasanya penyuluh mempraktekkan materi yang diberikan. Oleh karenanya, petani merasakan manfaat setelah mengikuti pelatihan, yaitu berupa tambahan pengetahuan dan keterampilan yang memang diperlukan petani. Kegiatan pelatihan tidak hanya dapat menambah pengetahuandan keterampilan petani, tetapi juga dapat membantu petani untuk bertukar pikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapi secara bersama-sama, serta memperoleh bimbingan dan saran bahkan petunjuk yang berkaitan dengan pertanian organik (Kurniawan 2011). Pengalaman Pengalaman bertani adalah lamanya petani bertani padi sawah. Tingkat pengalaman petani dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kategori rendah dan
38 kategori tinggi. Kategori rendah apabila responden memiliki pengalaman bertani selama kurang dari 10 tahun. Kategori tinggi apabila responden memiliki pengalaman bertani selama lebih dari 10 tahun. Sebaran responden menurut tingkat pengalaman bertani petani menunjukkan bahwa sebagian besar responden atau sekitar 73.3 persen responden tergolong ke dalam kategori tingkat pengalaman yang tinggi. Dan kategori rendah sebesar 26.7 persen. Petani dengan tingkat pengalaman bertani yang tinggi memiliki pengalaman bertani lebih dari 10 tahun. Hal ini sejalan dengan temuan banyaknya petani yang berumur 52 tahun. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pengalaman bertani responden telah berlangsung cukup lama. Tabel 8
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pengalaman bertani
Tingkat Pengalaman >3 tahun 3-5 tahun 6-10 tahun >10 tahun Total
Petani Organik n 1 1 1 32 35
% 2.9 2.9 2.9 91.4 100.0
Petani Semi Organik n 1 4 7 23 35
% 29.0 11.4 20.0 65.7 100.0
Petani Non Organik
Total Responden
n
%
n
8.6 31.4 60.0 100.0
2 8 19 76 105
3 11 21 35
% 1.9 7.6 18.1 72.4 100.0
Tabel 8 menunjukan bahwa sebagian besar dari total responden telah memiliki pengalaman bertani lebih dari 10 tahun dengan presentase sebesar 72.4 persen atau 76 orang. Dan sebagian besar responden, baik pada petani organik , petani semi organik, maupun petani non organik, telah memiliki pengalaman bertani lebih dari 10 tahun, yaitu sekitar 91.4 persen, 65.7 persen, dan 60 persen. Pengalaman yang cukup lama pada petani organik memberikan banyak pelajaran. Diantaranya petani menyadari adanya perubahan pada lingkungan pertanian semakin memburuk semenjak bahan-bahan input sintetis mulai digunakan, seperti tanah pertanian yang semakin tidak subur, hama yang semakin sulit dibasmi, dan hasil panen yang semakin menurun. Dari pengalaman ini, petani secara bertahap mencari solusi bagi permasalahan yang ada dan mulai menerapkan pertanian organik. Hal ini sejalan dengan pendapat Rukka (2006) dalam penelitiannya yang menyampaikan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh petani dalam berusahatani akan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih banyak dalam sistem pertanian yang digarapnya. Dengan pengalaman yang dimiliki petani dapat membandingkan sistem pertanian mana yang baik untuk diterapkan. Berbeda dengan petani non organik. Meskipun petani memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bertani, tidak menjamin petani akan beralih menerapkan pertanian organik. Dari salah satu responden mengungkapkan, petani pernah mencoba untuk menggunakan pupuk organik dan pengendali hama alami. Akan tetapi, dengan menggunakan bahan alami, hasil panen menjadi semakin berkurang dan tidak sebanyak apabila menggunakan pupuk dan pestida kima. Adanya pengalaman yang kurang menyenangkan juga dapat mempengaruhi keputusan petani.
39 Kekosmopolitan Kekosmopolitan adalah sifat keterbukaan petani dalam mencari sumber informasi baru mengenai pertanian. Sumber informasi tersebut diperoleh baik dari dalam sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain yang masih di dalam satu desa dan penyuluh) maupun dari luar sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain di luar desa dan lembaga pertanian), serta media massa (koran, majalah, radio, televisi). Sebaran responden menurut tingkat kekosmopolitan petani menunjukkan bahwa sebagian besar total responden masuk ke dalam kategori rendah sekitar 93.3 persen. Dan kategori tinggi hanya sekitar 6.7 persen. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 9, baik petani organik, semi organik, maupun non organik, sebagian besar berada pada kategori rendah, yaitu 91.4 persen, 88.6 persen, dan 100 persen Tabel 9
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pengalaman kekosmopolitan
Tingkat Kekosmopolitan Kekosmopolitan Rendah Kekosmopolitan Tinggi Total
Petani Organik n
%
Petani Semi Organik n
%
Petani Non Organik
Total Responden
n
%
n
%
32
91.4
31
88.6
35
100
98
93.8
3
8.6
4
11.4
-
-
7
6.7
35
100.0
35
100.0
35
100.0
105
100.0
Tingkat kekosmopolitan yang diamati dalam penelitian ini ialah frekuensi responden dalam berhubungan dengan anggota kelompok tani lain, baik yang masih di dalam maupun di luar lingkup desa, dan penyuluh. Selain itu juga frekuensi responden mencari informasi yang berkaitan dengan pertanian dari majalah, koran, dan radio. Dalam berinteraksi dengan penyuluh, pada petani organik dan semi organik, ketua kelompok tani adalah yang paling sering berhubungan dengan penyuluh. Tiap pertemuan biasanya penyuluh mendiskusikan beberapa program yang akan dilaksanakan, seperti pembuatan pupuk alami, dan pembasmi hama alami. Anggota kelompok sebagian besar jarang berdiskusi dengan anggotan tani lain di luar kelompoknya baik yang ada di dalam desa maupun di luar desa. Para petani lebih sering berdiskusi dengan sesama anggota tani lain yang masih dalam satu kelompok. Dan untuk media massa, sangat sedikit petani yang mencari informasi dari radio atau pun koran. Menurut petani, sangat sedikit bahkan tidak ada informasi yang dapat mereka temukan pada media massa. Sementara itu, pada petani non organik, responden mengaku sangat jarang bahkan tidak pernah berhubungan dengan penyuluh. Hal ini dikarenakan para petani non organik tidak saling berkumpul membentuk kelompok. Para petani non organik dalam usaha taninya bergerak secara individual. Hal ini dapat terjadi karena petani yang menerapkan pertanian organik lebih banyak dibandingkan yang menerapakan pertanian non organik. Menurut para petani non organik, penerapan pertanian non organik lebih mudah dilaksanakan sehingga tidak perlu sampai mencari informasi atau bertanya mengenai masalah pertanian yang mereka
40 hadapi. Apabila terjadi serangan hama, para petani bisa langsung mengaplikasikan pestisida kimia sampai tanamannya bebas dari hama. Kepemilikan Modal Kepemilikan modal adalah barang dan jasa yang dimiliki dan digunakan petani untuk membantu kelancaran proses produksi selama satu musim tanam. Kepemilikan barang yang diamati dalam penelitian ini adalah lahan, uang, kerbau, dan traktor. Kepemilikan jasa yang diamati adalah tenaga kerja tambahan dalam membantu kegiatan bertani. Sebaran responden menurut tingkat kepemilikan modal petani menunjukkan bahwa sebagian besar total responden petani berada dalam kategori tingkat kepemilikan modal yang tinggi sekitar 51.4 persen atau 79 prang. Pada kategori tingkat kepemilikan modal yang rendah hanya sekitar 27.6 persen atau 29 orang. Tabel 10
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat kepemilikan modal
Tingkat Kepemilikan Modal Kepemilikan Modal Rendah Kepemilikan Modal Tinggi Total
Petani Organik n
%
Petani Semi Organik n
%
Petani Non Organik
Total Responden
n
%
n
%
10
28.6
7
20.0
9
25.7
26
24.8
25
71.4
28
80.0
26
74.3
79
75.2
35
100.0
35
100.0
35
100.0
105
100.0
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 10, pada petani organik sebesar 28.6 persen atau 10 orang berada pada kategori kepemilikan modal rendah, dan sebesar 71.4 persen atau 25 orang berada pada kategori kepemilikan modal tinggi. Pada petani semi organik, sekitar 20 persen atau tujuh orang responden berada pada kategori rendah, dan 80 persen atau 28 orang responden berada pada kategori tinggi. Sementara itu, pada petani non organik sebesar 25.7 persen atau sembilan orang responden berada pada kategori rendah, dan sebesar 74.3 persen atau 26 orang responden berada pada kategori tinggi. Meskipun ketiga kelompok tani berada pada kategori tinggi, petani semi organik memiliki presentase terbesar diantara petani organik dan non organik. Sebagian besar atau sekitar 53 persen dari total responden mengaku lahan yang digarap merupakan milik sendiri. Keperluan modal berupa uang sebanyak 94.3 persen responden mengaku uang yang digunakan merupakan milik sendiri. Kegiatan bertani yang dilakukan oleh responden cenderung masih menggunakan alat-alat sederhana. Umumnya petani masih menggunakan kerbau untuk membajak sawah mereka. Kerbau yang digunakan petani sebagian besar atau sekitar 60 persen dari responden dengan menyewa kepada petani lain dengan upah Rp25 000 per satu kerbau. Biasanya petani membutuhkan dua kerbau untuk membajak sawah. Meskipun petani jarang menggunakan traktor, sebanyak 60 persen respoden menyewa traktor apabila dibutuhkan. Ketika kegiatan pascapanen,
41 petani membutuhkan banyak tenaga tambahan. Sebagian besar responden sekitar 61 persen membayar tenaga upah tambahan kepada buruh tani lainnya dengan harga berkisar Rp15 000 sampai Rp20 000 rupiah per hari. Ada pula petani yang menggunakan anggota keluarganya sebagai ganti tenaga upah untuk menghemat biaya produksi. Akses Sarana Produksi Ases terhadap sarana produksi adalah kemudahan yang dirasakan petani dalam mendapatkan dan mengolah sarana produksi berupa pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Sebaran responden menurut tingkat akses sarana produksi petani yang tersaji dalam Tabel 11menunjukkan bahwa sebagian besar petani berada dalam kategori yang tinggi sebesar 72.4 persen atau 76 orang responden, dan yang lainnya pada kategori rendah, yaitu sebesar 27.6 persen atau 29 orang responden. Kemudahan yang dirasakan petani sejalan dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh petani. Lamanya pengalaman yang dimiliki oleh petani memberikan banyak pelajaran kepada petani dan mengasah keterampilan petani dalam mencoba berbagai hal, seperti dalam membuat pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Tabel 11 Tingkat Akses sarana produksi Akses sarana produksi Rendah Akses sarana produksi Tinggi Total
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat akses sarana produksi Petani Organik n
%
Petani Semi Organik n
%
Petani Non Organik
Total Responden
n
%
n
%
2
5.7
4
11.4
23
65.7
29
27.6
23
94.3
31
88.6
12
34.3
76
72.4
35
100.0
35
100.0
35
100.0
105
100.0
Tingkat akses terhadap sarana produksi yang diamati di dalam penelitian ini adalah kemudahan yang dirasakan petani dalam mendapatkan dan membuat pupuk alami, pengendali hama alami, dan bibit variteas lokal. Berdasarkan data pada Tabel 11, sebagian besar responden pada petani organik dan semi organik berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 94.3 persen dan 88.6 persen. Sementara itu, sebagian besar responden pada kelompok tani non organik berada pada kategori rendah, yaitu sebesar 33.3 persen. Responden pada petani organik dan semi organik hampir sebagian besar mengakui merasakan kemudahan, baik dalam mendapatkan maupun mengolah bahan-bahan pupuk alami, pengendali hama alami, dan bibit varietas lokal. Hal ini dikarenakan petani sudah terbiasa untuk bekerja lebih keras untuk membuat bahan-bahan input alami. Bahan-bahan input alami yang dibuat oleh petani
42 memiliki metode berbeda-beda baik tiap kelompok maupun individu. Hanya saja, setiap pembuatan pupuk organik, pengendali hama alami, maupun bibit lokal, diperlukan ketelitian, ketekunan dan kesabaran. Menurut penuturan petani, jika dalam pembuatannya kurang teliti maka hasil yang dikeluarkan pun kurang maksimal pada tanaman. Berbeda dengan petani non organik yang terbiasa dengan cara instan menggunakan bahan input sintetis, seperti Urea, NPK, TSP. Petani non organik merasa lebih sulit jika harus menggunkan bahan input alami karena petani harus mencari dan mengolah sendiri. Petani lebih memilih menggunakan bahan input kimia karena dirasa lebih mudah dalam mengaplikasikannya ke sawah. Nilai-Nilai Kelompok Nilai-nilai kelompok adalah keyakinan yang dimiliki oleh petani dalam menentukan pilihan penerapan pertanian mereka yang dipengaruhi oleh nilai kelompok. Tingkat nilai-nilai kelompok yang diamati dalam penelitian ini, yaitu kesamaan pandangan antara diri petani dengan kelompok tani, keyakinan pandangan kelompok yang dianggap benar, kesesuaian cara bercocok tanam dengan yang dianut kelompok, dan keinginan untuk selalu mengikuti keyakinan kelompok. Sebaran responden menurut tingkat nilai-nilai kelompok tani sebagian besar berada dalam kategori yang tinggi sekitar 53.3 persenatau 56 orang responden. Kategori rendah sekitar 46.7 persen atau 49 orang responden. Meskipun presetase ketegori tinggi lebih besar, tetapi presenrase kategori rendah pun cukup besar. Tabel 12
Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat nilai- nilai kelompok
Tingkat Nilai-Nilai Kelompok
Petani Organik
Nilai-Nilai Kelompok Rendah Nilai-Nilai Kelompok Tinggi Total
n
%
Petani Semi Organik n
%
Petani Non Organik
Total Responden
n
%
n
%
1
2.9
15
42.9
33
94.3
49
46.7
34
97.1
20
57.1
2
5.7
56
53.3
35
100.0
35
100.0
35
100.0
105
100.0
Berdasarkan Tabel 12, pada petani organik sebagian besar berada pada kategori tinggi, sebesar 97.1 persen, dan pada kategori rendah sebesar 2.9 persen. Kemudian pada petani semi organik sebagian besar berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 57.1 persen, pada kategori rendah sebesar 42.9 persen. Dansebagian besar responden pada petani non organik berada pada kategori rendah sebesar 94.3 persen, dan hanya 5.7 persen berada pada kategori tinggi. Hasil yang tersaji dalam tabel menunjukkan hasil yang menarik. Pada petani organik yang memiliki tingkat nilai kelompok yang tinggi menjukkan bahwa adanya kelompok mempengaruhi keyakinan petani dalam menerapkan pertanian organik. Petani pada kategori ini menganggap adanya kesamaan nilai antara yang dimiliki petani
43 dan yang ada pada kelompok sehingga menguatkan keputusan petani dalam penerapan pertanian organik. Petani semi organik menunjukkan hasil yang menarik, dimana presentasi kategori rendah dan tinggi tidak terlalu berbeda jauh. Petani semi organik mengaku apa yang diyakini oleh kelompok belum tentu benar, atau sesuai dengan pandangan petani. Petani hanya akan mengikuti keyakinan dan pandangan yang sama dengan dirinya saja. Apabila terdapat perbedaan, petani merasa tidak perlu untuk mengikuti keyakinan tersebut. Berbeda bagi petani non organik yang sebagian besar berada pada kategori rendah. Sebagian besar petani pada kategori ini tidak tergabung dalam suatu kelompok tani. Dalam kegiatan bertani, petani non organik bergerak secara individual. Bagi petani non organik, ada atau tidak ada kelompok sama sekali tidak membantu kegiatan bertani yang dilakukan.
44
SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK Sikap merupakan perasaan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Sikap juga merupakan kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikapnya. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik adalah kecenderungan petani untuk suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung terhadap penerapan pertanian organik. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik juga dibagi ke dalam dua tingkat, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik memiliki tiga komponen sikap, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi. Setiap komponen sikap juga dibagi ke dalam dua tingkatan menjadi sikap positif dan sikap negatif. Masing-masing tingkatan komponen sikap diketahui dengan melakukan statistika deskriptif terhadap skor jawaban responden yang terdapat dalam kuesioner. Petani di Kabupaten Magelang memiliki sikap yang cukup positif terhadap penerapan pertanian organik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden memiliki sikap yang positif sebanyak 69 responden atau sebesar 65.7 persen dari total responden. Dan sisanya memiliki sikap yang cenderung negatif sebanyak 36 responden atau sebesar 34.3 persen. Sikap petani yang cenderung positif menunjukkan bahwa petani memiliki pengetahuan, rasa suka, dan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menerapkan pertanian organik. Petani yang memiliki sikap yang positif menunjukkan petani telah memiliki keyakinan akan manfaat dari penerapan pertanian organik yang tidak hanya bagi tanaman saja, tetapi juga bagi diri petani dan orang-orang disekitar.
70% 60%
65.7%
50%
Positif 40% 30%
Negatif
34.3%
20% 10% 0%
Gambar 2 Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
46 Sikap petani yang cenderung positif terhadap penerapan pertanian organik terbentuk karena menguntungkan secara ekonomi. Petani organik dapat menjual beras hasil produksinya dengan harga Rp6 000-Rp7 000 rupiah per kilogram. Selain itu, kegiatan bercocok tanam dipandang tidak hanya sebagai sumber nafkah utama, tetapi juga merupakan salah satu alternatif untuk terus menjaga kelestarian lingkungan pertanian. Ini artinya, petani memiliki kesadaran akan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Petani organik sebagai produsen beras yang dikonsumsi oleh banyak orang, memiliki rasa tanggung jawab untuk menghasilkan beras yang sehat untuk dikonsumsi. Akan tetapi, berbeda dengan responden yang memiliki sikap yang negatif terhadap penerapan pertanian organik. Kegiatan bertani yang dilakukan berorientasi pada peningkatan materi. Harga jual beras non organik kepada pengumpul sebesar Rp4 000-Rp5 000 rupiah per kilogram. Dengan harga jual yang lebih rendah, petani menginginkan dapat menghasilkan produksi sebanyak-banyaknya. Penggunaan bahan-bahan input organik tidak dapat meningkatkan hasil produksi dalam waktu singkat. Petani non organik lebih memilih menggunakan bahan-bahan input kimia yang dapat meningkatkan hasil produksi petani. Kesehatan lingkungan pertanian bukan menjadi tanggung jawab petani. Petani hanya bertanggung jawab untuk memproduksi hasil pertanian sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan materi petani. Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Salah satu komponen pembentuk sikap ialah komponen kognisi. Komponen kognisi ialah pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap objek sikap. Komponen kognisi terhadap penerapan pertanian organik merupakan pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh responden yang berkaitan dengan manfaat dari penerapan pertanian organik. Sebaran responden berdasarkan komponen kognisi menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki komponen kognisi yang cenderung positif sebanyak 73.3 persen atau 77 responden, sedangkan sisanya memiliki komponen kognisi yang cenderung negatif sebanyak 26.7 persen atau 28 responden. Berdasarkan data pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa responden telah memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap manfaat dari penerapan pertanian organik. Dalam penelitian ini, komponen kognisi responden diukur dari pengetahuan responden mengenai manfaat dari penggunaan pupuk organik, pengendali hama alami, dan rotasi tanaman. Hampir sebagian besar responden menjawab setuju untuk pernyataan pupuk organik dapat menyebabkan lahan menjadi subur (62.9 persen) dan juga lahan semakin gembur dan mudah diolah (61.9 persen). Ini menunjukkan bahwa responden menyadari manfaat dari penggunaan popok organik bagi lahan mereka. Pengetahuan ini ternyata didapat petani dari ajaran orang tua mereka yang juga bertani. Kemudian, sebanyak 37.1 persen menjawab tidak setuju pernyataan menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi. Menurut petani, penurunan hasil produksi hanya terjadi diawal pemakaian saja karena lambat laun hasil produksi akan meningkat. Petani menyadari menggunakan pupuk organik tidak akan menghasilkan padi sebanyak menggunakan pupuk kimia. Menurut petani, walau pun hasil padi organik tidak
47 lebih banyak dari padi non organik, tetapi harga jual padi organik lebih tinggi dibandingkan padi non organik.
80% 70% 60% 50%
73.3%
Positif Negatif
40% 30% 20%
26.7%
10% 0%
Gambar 3 Tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik Selanjutnya, sebagian besar responden atau sebanyak 59 persen menjawab setuju pernyataan merotasi tanaman akan menjaga lahan tetap subur. Petani mengetahui lahan yang telah digunakan memerlukan waktu untuk mengembalikan kesuburan tanah. Beberapa petani merotasi tanaman mereka dengan tanaman sayuran. Dengan begitu, kesuburan tanah akan terjaga dan meningkat. Untuk pengendali hama, sebagian besar responden atau sebanyak 47.6 persen menjawab setuju pernyataan penggunaan pengendali hama kimia berbahaya bagi tanaman. Petani pun menyadari, pengedali hama kimia tidak hanya berbahaya bagi tanaman, tetapi juga bagi manusia dan hewan. Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Komponen afeksi ialah perasaan emosional seseorang terhadap sesuatu ( Azwar 2003). Dan menurut Sarwono (2010) komponen afeksi ialah perasaan yang timbul, seperti senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Komponen afektif petani terhadap penerapan pertanian organik ialah perasaan suka atau tidak suka, positif atau negatif petani terhadap penerapan pertanian organik. Sebaran responden berdasarkan Gambar 4, komponen afeksi menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki komponen afeksi yang cenderung positif sebanyak 62.4 persen atau 66 responden, sedangkan sisanya memiliki komponen afeksi yang cenderung negatif sebanyak 37.6 persen atau 39 responden. Besarnya presentase komponen afeksi yang positif menunjukkan bahwa responden mengakui adanya kemudahan dalam membuat pupuk organik dan pengendali hama alami, serta responden merasa mendapatkan keuntungan lebih jika merotasi tanamannya. Komponen afeksi responden yang cenderung positif ini sejalan dengan pengetahuan (kognisi) responden yang cukup tinggi terhadap manfaat positif dari penerapan pertanian organik.
48 Dalam penelitian ini, komponen afeksi diukur melalui bagaimana perasaan responden dalam penggunaaan dan pelaksanaan pupuk organik, pengendali hama alami, bibit lokal, dan rotasi tanaman. Sebagian besar responden atau sebanyak 44.8 persen tidak merasa rumit dalam menggunakan pupuk organik. Dan sebanyak 29.5 persen menjawab menggunakan pupuk organik terlalu rumit. Untuk menggunakan pupuk organik membutuhkan proses yang memakan waktu untuk membuatnya. Ketika membuat pupuk kandang, petani memerlukan waktu sekitar dua minggu untuk memfermentasikan pupuk. Selain itu, petani membutuhkan sedikitnya 500 kg pupuk kompos untuk 1000 . Menurut petani, saat ini sudah banyak yang menjual pupuk organik padat maupun cair. Biasanya, petani akan membeli pupuk organik apabila persediaan pupuk organik petani kurang. Terdapat 56.2 persen responden merasa pengendali hama alami tidak lebih mahal dari pengendali hama kimia. Pengendali hama alami dapat dibuat sendiri oleh petani yang bahan-bahannya tersedia dialam sekitar. Dengan menggunakan pengendali hama alami petani dapat lebih menghemat biaya produksi. Dan sebagian besar responden atau sekitar 49.5 persen merasa senang menggunakan pengendali hama alami karena tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Penggunaan pengendali hama kimia diakui petani dapat menyebabkan sesak nafas bahkan keracunan. Berbeda dengan menggunakan pengendali hama alami yang tidak menyebabkan sesak atau dampak buruk lainnya. Kemudian, sebagian besar responden atau sekitar 49.5 persen responden menyukai merotasi tanaman, dan 29.5 persen menjawab tidak suka. Rotasi tanaman biasanya dilakukan petani saat pasca panen selama dua minggu. Petani biasanya merotasi tanamannya dengan tanaman sayuran, seperti ceisin, kacang panjang, cabe merah, dan cabe rawit. Selain menguntungkan secara ekonomi, merotasi tanaman dapat membantu lahan semakin subur. Dan untuk penggunaan bibit, sebagian besar responden atau sekitar 60 persen responden mengaku lebih senang menggunakan bibit lokal. Bibit lokal yang menjadi unggulan petani adalah bibit jenis Mentik Wangi Susu. Kelebihan dari bibit jenis Mentik Wangi Susu ialah rasanya yang lebih manis, aroma yang lebih wangi, dan lebih pulen. Berbeda dengan bibit rekayasa jenis IR 64 yang sedikit keras, dan tidak terlalu manis.
70% 60% 50%
62.4%
Positif
40% 30%
Negatif
37.6%
20% 10% 0%
Gambar 4 Tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik
49
Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Komponen konasi merupakan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen konasi petani terhadap penerapan pertanian organik ialah kecenderungan bertindak petani terhadap penerapan pertanian organik. Dalam penelitian ini komponen konasi terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu positif, dan negatif. Tingkatan konasi responden ditentukan melalui kecenderung responden untuk merotasi tanaman, menggunakan pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal.
60% 50% 40% 30%
55.2%
Positif
44.8%
Negatif
20% 10% 0%
Gambar 5 Tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik Sebaran responden berdasarkan komponen konasi menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki komponen konasi yang cenderung positif sebanyak 55.2 persen atau 58 responden. Dan sisanya memiliki komponen konasi yang cenderung negatif sebanyak 44.8 persen atau 47 responden (Gambar 5). Besarnya presentasi pada komponen konasi yang positif menunjukkan bahwa terdapat tendensi atau keinginan responden untuk merotasi tanaman, dan menggunakan bahan input alami, seperti pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal. Tingginya keinginan yang positif ini tidak terlepas dari pengetahuan yang dimiliki petani akan manfaat yang diperoleh. Sebelumnya, terdapat 59 persen responden yang menjawab setuju rotasi tanaman dapat menjaga lahan tetap subur. Sebanyak 49.5 persen responden yang mengaku senang merotasi tanaman. Namun sayangnya, sebagian besar responden yang menjawab setuju untuk pernyataan akan merotasi tanaman karena dapat menyuburkan lahan hanya sekitar 39 persen. Meskipun petani mengetahui manfaat dari merotasi tanaman, tendensi atau keinginan untuk merotasi tanaman pada responden masih kurang. Salah satu alasan petani tidak mau merotasi tanaman karena sempitnya lahan mereka. Sebagian besar responden atau sekitar 41.9 persen menyatakan setuju akan menggunakan pengendali hama alami. Ini
50 artinya, petani telah memiliki keinginan untuk menggunakan pengendali hama alami. Untuk menghasilkan kualitas padi yang lebih baik, sebagian besar responden atau sekitar 49.5 persen memiliki tendensi atau keinginan untuk tidak menggunakan bibit rekayasa. Petani lebih memilih bibit lokal jenis Mentik Wangi Susu dibandingkan bibit rekayasa. Kemudian, sebanyak 43.8 persen responden menyatakan akan tetap menggunakan pupuk organik, walau pun panen mereka bisa gagal. Gagal panen dipandang petani sebagai hal yang wajar terjadi. Dan sebanyak 41.9 persen responden menyatakan tidak akan menggunakn pupuk sintetis meskipun secara ekonomi lebih menguntungkan. Petani merasa, menggunakan pupuk organik lebih menguntungkan dibandingkan pupuk sintetis karena petani dapat membuat sendiri.
PERBEDAAN SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN OGANIK Petani dalam penelitian ini terdiri dari tiga kategori berdasarkan sistem penerapan pertaniannya, yaitu petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Petani organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya hanya menggunakan bahan-bahan input alami saja tanpa ada bahan sintetik. Bahanbahan input alami yang digunakan seperti penggunaan pupuk alami, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Petani semi organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya menggunakan sebagian besar bahan-bahan input alami, namun masih menggunakan bahan-bahan input sintetik dalam jumlah yang lebih sedikit. Petani non organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya hanya menggunakan bahan-bahan input sintetik saja tanpa menggunakan bahanbahan input alami. Dari ketiga kategori petani akan dilihat apakah terdapat perbedaan sikap antara petani organik, petani semi organik, dan petani non organik.
100%
2.9%
5.7%
97.1%
94.3%
80% 60%
94.3%
Negatif Positif
40% 20%
5.7%
0% Organik
Semi organik
Non organik
Gambar 6 Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik Berdasarkan data pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa petani organik memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan petani semi organik, dan non organik. Pada petani organik, sebagian besar responden menunjukkan sikap yang lebih positif sebanyak 85.7 persen atau sekitar 30 responden. Sebesar 14.3 persen atau sekitar lima responden yang memiliki sikap negatif terhadap penerapan pertanian organik. Sementara itu, sebanyak 68.6 persen atau sekitar 24 responden pada petani semi organik memiliki sikap yang cenderung positif. Sebanyak 31.4 persen atau sekitar 11 responden memiliki sikap yang cenderung negatif. Berbeda dengan petani non organik. Pada petani non organik, hampir sebagian besar responden menujukkan sikap yang lebih negatif sebanyak 57.1 persen atau sekitar 20 responden. Sisanya sekitar 42.9 persen atau sekitar 20 respon memiliki sikap yang positif terhadap penerapan pertanian organik. Berdasarkan hasil uji analisis
52 Chi Square menunjukkan nilai hitung sebesar 14.457 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.001 < 0.05 (α). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap secara nyata antara petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Perbedaan Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 7 menunjukkan bahwa, baik petani organik maupun petani semi organik, memiliki tingkat kognitif yang lebih positif dengan jumlah presentase yang sama, yaitu sebesar 97.1 persen atau sekitar 34 responden. Sisanya memiliki tingkat kognisi yang negatif sebesar 2.9 persen atau sekitar satu responden. Berbeda dengan petani non organik, sebanyak 74.3 persen atau sekitar 26 responden memiliki tingkat kognisi yang negatif dan 25.7 persen atau sekitar 9 responden memiliki tingkat kognisi yang positif.
120% 100%
2.9%
2.9%
80%
74.3%
60%
97.1%
Negatif Positif
97.1%
40% 20%
25.7%
0%
Organik
Semi organik
Non organik
Gambar 7 Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik
Pada petani organik dan semi organik, hampir sebagian besar responden mengetahui manfaat dari penggunaan pupuk organik dan merotasi tanaman. Pada pernyataan menggunakan pupuk organik dapat menjadikan lahan menjadi semakin gembur dan mudah diolah, sebagian besar petani organik dan semi organik menjawab setuju dengan presentase 94.3 persen dan 85.7 persen. Untuk pernyataan menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi, sebagian besar petani organik dan semi organik menjawab tidak setuju dengan presentase 62.9 persen dan 48.6 persen. Pada petani semi organik, masih terdapat responden yang kurang percaya bahwa pupuk organik dapat meningkatkan produksi padi. Petani organik yang telah menerapkan pertanian organik, dapat melihat langsung hasil dari penggunaan pupuk organik pada tanaman padi mereka. Bagi petani organik, menggunakan pupuk organik hanya
53 menurunkan hasil produksi sementara, dan akan berangsur-angsur meningkat. Berbeda dengan petani semi organik. Penerapan pupuk organik pada lahan mereka ternyata menurunkan hasil produksi beras dan tidak sebanyak menggunakan pupuk kimia. Oleh karenanya, petani semi organik masih menggunakan pupuk sintetis jenis Urea dan KCL pada tanaman padi agar hasil produksi padi dapat meningkat. Selanjutnya, sebagian besar responden pada petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (80 persen) menjawab setuju pernyataan merotasi tanaman akan menjaga lahan tetap subur. Kemudian, pada pernyataan menggunakan pupuk organik lahan menjadi lebih subur, sebagian besar responden pada petani organik dan petani semi organik menjawab setuju dengan presentase masing-masing 94.3 persen dan 85.7 persen. Pengetahuan ini didapat petani dari temuan di lahan petani sendiri, penyuluhan, pelatihan, dan dari antar petani. Pengetahuan ini dianggap petani sebagai pengetahuan umum dari pertanian organik. Sementara itu, pada pernyataan pengendali hama sintetis dapat membahayakan tanaman, Sebagian besar responden pada petani organik menjawab setuju (91.4 persen). Sebagian besar responden pada petani semi organik menjawab agak setuju (22.9 persen). Pengetahuan ini diyakini petani semi organik tidak terlalu membahayakan tanaman mereka. Bagi petani semi organik, penggunaan pengendali hama sintetis pada tanaman padi mereka tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Hama pada tanaman padi mereka tidak dapat dihindari hanya dengan pengendali hama alami. Penggunaan pengendali hama sintetis diyakini petani semi organik masih aman digunakan jika digunakan hanya sedikit. Kegiatan bertani pada petani semi organik merupakan peralihan dari yang sebelumnya bertani secara non organik. Pada masa Revolusi Hijau, petani tergantung pada penggunaan bahan-bahan sintetis, hingga akhirnya secara perlahan-lahan kembali kecara-cara tradisional. Kebiasaan petani yang pernah menggunakan bahan-bahan sintetis, seperti pupuk kimia dan pesitisida kimia tidak mudah dihilangkan. Petani semi organik mengakui belum dapat berorganik secara murni karena hasil produksi padi tidak dapat optimal jika hanya bergantung pada bahan-bahan organik. Oleh karenanya, masih banyak petani yang menganggap bahwa penggunaan bahan-bahan sintetis tidak akan menimbulkan dampak negatif jika hanya digunakan dalam takaran yang sedikit. “…kalau ada hama, Bapak masih pakai pestisida yang kimia, tapi cuma sedikit. Kalau cuma sedikit yang dipakai, ga akan berbahaya. Pake pupuk juga gitu, tanaman bapak belum bisa tumbuh kalau ga pake kimia dulu, tapi cuma sedikit, bapak kasih waktu umur 2-3 minggu. Baru seterusnya pake pupuk kandang..”(NGH, 49 tahun) Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh yang disampaikan oleh Pak NGK, selaku ketua BP2K. Menurut beliau, untuk berorganik tanaman padi yang sebelumnya menggunakan bahan-bahan sintetis yang dominan, tidak dapat langsung hanya menggunakan bahan-bahan organik murni. Kembali berorganik, perlu dilakukan secara perlahan-lahan dimiluai dengan mengurangi menggunakan bahan-bahan sintetis sedikit demi sedikit. Berbeda dengan yang disampaikan Pak WDG, salah satu petani organik. Beliau memiliki keyakinan bahwa berorganik
54 artinya sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan sintetis sama sekali. Penggunaan bahan-bahan sintetis walau pun sedikit sama saja dengan kegiatan bertani secara non organik. Bertani secara organik murni dapat dilakukan jika petani mau bekerja keras dan tekun mengurus lahannya. Kegiatan bertani yang dilakukan beliau sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Beras yang dihasilkan pun berbeda dengan yang dihasilkan dengan cara semi organik maupun non organik. Beras jenis Mentik Wangi Susu yang dihasilkan dengan menerapkan organik murni akan terasa lebih manis dibandingkan beras Mentik Wangi Susu yang dihasilkan secara semi organik. Selain itu, beras organik tidak cepat basi dan tidak bau jika didiamkan sampai tiga hari. Hal ini berbeda dengan beras semi organik yang hanya bertahan dua hari. Selanjutnya, sedikit dari petani non organik yang memiliki tingkat kognisi yang positif. Petani non organik memiliki keyakinan bahwa menggunakan bahanbahan alami tidak akan membuat tanamannya lebih subur, atau tahan diserang hama. Sebagian besar petani menjawab agak setuju (45.7 persen) pada pernyataan pupuk organik dapat membuat lahan subur dan mudah di olah (42.9 persen). Petani mengetahui bahwa pupuk organik dapat membuat subur lahan, tetapi petani tidak meyakini sepenuhnya pernyataan tersebut. Menurut salah satu petani non organik, beliau mengetahui jika menggunakan pupuk alami dapat menyuburkan tanaman, dan menggunakan pestisida kimia berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, penggunaan bahan-bahan alami pada tanaman padi miliknya menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Beliau mengeluhkan hasil produksi padi yang menurun milikinya. “…Saya pernah, Mba, pakai pupuk organik dan pestisida tumbuhan. Sayangnya, hasil produksi padi saya malah menurun. Saya ga mau lagi pakai pupuk alami atau pun pestisida tumbuhan. Lebih baik saya pakai pupuk Urea saja, tanaman saya lebih cepat numbuh..”(BMG, 54 tahun) Selanjutnya, sebagian besar responden petani non organik menjawab setuju (65.7 persen) untuk pernyataan menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi. Umumnya, petani non organik kurang mengetahui bahwa menggunakan bahan-bahan alami memang akan menurunkan hasil produksi sekitar 2-3 kali masa panen. Setelahnya, hasil produksi padi akan kembali meningkat secara perlahan-lahan. Pupuk organik tidak seperti pupuk kimia yang menjadikan tumbuhan cepat berbuah. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pupuk organik, tanah yang sudah teresidu oleh bahan-bahan input sintetis perlu didiamkan sekitar dua tahun. Petani merasa dirugikan jika harus membiarkan lahannya kosong karena itu artinya petani akan merugi. Sebagian besar responden pada petani non oraganik menjawab kurang setuju pernyataan bahwa merotasi tanaman akan menjaga lahan menjadi subur (62.9 persen), dan pestisida alami berbahaya bagi tanaman (40 persen). Pernyataan kurang setuju mengindikasikan petani tidak sepenuhnya tidak yakin atau mengetahui tentang rotasi tanaman dan pengendelai hama alami. Kegiatan bertani pada petani non organik bersifat individualis. Tidak adanya kelompok yang menaungi petani non organik menyebabkan petani kurang mendapatkan informasi atau pengetahuan baru tentang pertanian.
55 Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 60.877 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.000 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata pada tingkat kognisi antar petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Adanya perbedaan pada tingkat kognisi petani tidak hanya adanya perbadaan tidak hanya pengetahuan dan keyakinan, tetapi juga fakta yang ditemukan oleh masing-masing petani dari penerapan pertanian yang dilakukan. Perbedaan Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 8 menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat afeksi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik. Pada petani organik, 97.1 persen atau 34 responden memiliki tingkat afeksi yang lebih positif, dan sisanya memiliki tingkat afeksi yang negatif sebesar 2.9 persen atau satu orang responden. Sementara itu, sebagian besar responden pada petani semi organik memiliki tingkat afeksi yang lebih positis sebesar 85.7 persen atau 30 responden. Sebanyak 14.3 persen atau lima orang responden memiliki tingkat afeksi yang negatif. Berbeda dengan petani non organik, sebanyak 94.3 persen atau 33 responden memiliki tingkat afeksi yang lebih negatif. Sebanyak 5.7 persen atau dua orang responden memiliki tingkat afeksi yang positif.
100%
2.9% 14.3%
80% 60%
97.1%
94.3%
Negatif Positif
85.7%
40% 20%
5.7% 0%
Organik
Semi organik
Non organik
Gambar 8 Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik
Perasaan yang positif ditunjukkan oleh petani organik dan petani semi organik. Petani organik dan petani semi organik tidak merasakan adanya kerumitan dalam menggunakan pupuk organik. Petani organik mengakui adanya kemudahan karena petani diajak secara bersama-sama saat membuat pupuk dan pengendali hama alami. Adanya pembuatan pupuk bersama-sama dapat menjadi
56 wadah partisipasi petani. Selain itu, dengan adanya pembuatan pupuk bersamasama meningkatkan kerja sama antar petani dan meningkatkan rasa saling membutuhkan diantara sesama petani. Kegiatan pelatihan yang dilakukan bersama-sama membantu petani dalam menyebarkan dan menerima informasi baru, dan membantu petani dalam neyediakan bahan-bahan input alami. Petani merasa adanya kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam mebuat bahanbahan input alami memudahkan petani dalam mengakses bahan-bahan input pertanian. Perasaan yang berbeda ditunjukkan oleh petani non organik. Petani non organik merasa menggunakan pupuk organik terlalu rumit. Petani non organik sudah terbiasa menggunakan bahan-bahan input sintetis yang bersifat instan atau setelah didapatkan dapat langsung digunakan. Dari segi harga, petani organik dan petani semi organik merasa pengendali hama alami tidak lebih mahal daripada pengendali hama sintetis. Tetapi berbeda bagi petani non organik yang merasa pengendali hama alami lebih mahal dibanding pengendali hama sintetis. Menurut petani, pengendali hama alami dapat dibuat sendiri. Pada petani organik, pengendali hama alami dibuat secara bersama-sama. Oleh karenanya, tiap anggota kelompok akan membawa pulang pengendali hama alami. Berbeda dengan petani semi organik. Petani yang mengakui adanya kemudahan dalam membuat pengendali hama alami adalah petani yang pernah mengikuti penyuluhan atau pun pelatihan yang diadakan oleh BP2KP. Tidak banyak dari petani yang mengetahui cara membuat pengendali hama alami. Hal ini dikarenakan petani kurang aktif dalam mencari informasi, baik dengan mengikuti pelatihan maupun bertanya ke sesama petani lainnya. Meskipun terdapat petani yang mengetahui cara membuat pengendali hama alami, bukan berarti petani akan menyebarkan informasi tersebut. Petani hanya akan memberikan informasi apabila terdapat petani yang bertanya. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpercayaan antar sesama anggota. “…Bapak kurang tau bikin pestisida yang bener. Cuma tau bahanbahannya, itu juga ga lengkap taunya. Ikutan kelompok juga bapak jarang dikasih tau. Kalau ada pertemuan pelatihan, yang ga ikut ya ga dikasih tau. Petaninya mau untung sendiri, ga mau bagi-bagi..” (MSN, 47 tahun) Terdapat 91.4 persen responden pada petani organik dan 51.4 persen responden pada petani semi organik yang mengaku lebih senang menggunakan pengendali hama alami karena tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Pengendali hama alami tidak membuat sesak nafas seperti pengendali hama sintetis. Bagi petani non organik, petani mengaku kurang menyukai dampak buruk dari pengendali hama alami pada kesehatan petani. Untuk itu, petani non organik menggunakan masker penutup muka sebelum menggunakan pengendali hama alami. Dengan cara ini, menurut petani, dampak buruk terhadap kesehatan petani dapat diminimalisir. Sebanyak 68.6 persen responden petani organik dan 42.9 persen responden petani semi organik yang mengaku suka merotasi tanaman. Sebanyak 71.4 persen responden petani non organik mengaku tidak suka merotasi tanaman. Petani mengaku tidak suka merotasi tanaman karena hanya akan mengurangi hasil padi selama setahun. Kemudian, sebanyak 94.3 persen responden petani organik dan
57 68.6 persen responden petani semi organik menjawab suka menggunakan bibit lokal. Sebanyak 45.7 persen responden petaani non organik menjawab agak suka. Bibit lokal jenis Mentik Wangi Susu merupakan bibit unggulan karena rasanya yang lebih enak dibandingkan bibit lainnya. Sebagian besar responden pada petani organik dan petani semi organik memiliki perasaan yang lebih positif terhadap penerapan pertanian organik. Perasaan positif terhadap penerapan pertanian organik ini karena petani sudah terbiasa dalam menerapkan pertanian organik, sehingga timbul rasa kemudahan dalam menerapkan pertanian organik. Petani organik dan petani semi organik suka menerapkan pertanian organik karena mudah untuk diterapkan, lebih murah, dan tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Petani non organik memiliki perasaan yang lebih negatif terhadap penerapan pertanian organik. Hal ini dikarenakan petani tidak terbiasa bekerja lebih keras, terutama dalam membuat pupuk dan pengendali hama alami. Petani non organik merasa penerapan pertanian organik tidak mudah untuk diterapkan, lebih mahal, dan dapat mengurangi hasil produksi padi petani. Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 74.406 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.00 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata dan signifikan pada tingkat afeksi antar petani terhadap penerapan pertanian organik. Adanya perbedaan pada tingkat afeksi petani muncul dari perbandingan pengetahuan yang dimiliki petani dengan praktek langsung yang dilakukan petani di lahan mereka. Perbedaan Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 9 menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat konasi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik. Pada petani organik, 97.1 persen atau 34 responden memiliki tingkat konasi yang lebih positif, dan sisanya memiliki komponen sikap konasi yang negatif sebesar 2.9 persen atau satu orang responden. Pada petani semi organik, sebesar 65.7 persen atau 23 responden memiliki tingkat konasi yang positif dan 34.3 persen atau 12 responden memiliki tingkat konasi yang negatif. Sebesar 97.1 persen atai 34 responden pada petani non organik memiliki tingkat konasi yang negatif. Sisanya sebesar 2.9 persen atau satu orang responden memiliki tingkat konasi yang positif. Petani organik dan petani semi organik memiliki tendensi atau keinginan untuk terus menerapkan pertanian organik. Petani organik memiliki tendensi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik dalam hal merotasi tanaman. Tidak banyak dari petani semi organik yang berkeinginan merotasi tanamannya karena membutuhkan lahan yang lebih luas. Selain itu, bagi petani non organik, merotasi tanaman membutuhkan biaya produksi tambahan, seperti membeli bibit, pupuk, dan pengendali hama. Untuk keinginan mengggunakan pengendali hama alami, 91.4 persen responden petani organik, dan 34.4 persen pada petani semi organik menyatakan setuju akan menggunakan pengendali hama alami. Sebanyak 82.9 persen pada petani non organik menjawab tidak akan menggunakan pengendali hama alami. Menurut petani non organik, menggunakan pengendali hama saja tidak akan menjaga tanaman mereka dari
58 hama. Jika tanaman mereka terkena hama, petani khawatir tanaman mereka mati yang akhirnya membawa kerugian bagi petani non organik. “...Saya pernah ko mba pake pestisida yang dari tumbuhan, tapi hama di taneman saya ga hilang, yang ada taneman saya banyak yang gagal. Kalo taneman saya gagal, pendapatan saya juga jadi berkurang. Mending pake pestisida yang biasa saya beli di pasar, cepet itu, Mba, ngilangin hama…” (SPN, 60 tahun) Untuk tendensi menggunakan bibit rekayasa, sebagian besar responden pada petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (51.4 persen) menjawab tidak akan menggnakan bibit rekayasa. Sebanyak 54.3 persen responden petani non organik menjawab akan menggunakan bibit rekayasa. Petani non organik mengaku lebih menyukai bibit lokal jenis Mentik Wangi Susu. Akan tetapi, bibit lokal membutuhkan waktu panen yang lebih lama dan membutuhkan lebih banyak air dibandingkan bibit rekayasa jenis IR 64. Oleh karenanya, biasanya ¾ dari lahan ditanami bibit rekayasa, dan ¼ ditanami bibit lokal.
120% 100%
2.9% 34.3%
80%
Negatif 60%
97.1%
97.1% 40%
Positif
65.7%
20%
2.9%
0%
Organik
Semi organik
Non organik
Gambar 9 Perbedaan tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik
Untuk tendensi menggunakan pupuk organik, sebagian besar petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (37.1 persen) mengaku akan menggunakan pupuk organik walau pun panen bisa gagal. Sebagian besar responden petani non organik (82.9 persen) mengaku tidak akan menggunakan pupuk organik. Walaupun sebagian besar responden pada petani semi organik memiliki tendensi positif, tetapi presentasenya masih lebih kecil dibandingkan pada petani organik. Petani semi organik lebih memilih menggunakan pupuk sintetis apabila terjadi gagal panen agar tidak kembali merugi. Namun bagi petani organik, gagal panen bukan menjadi alasan menggunakan pupuk sintetis. Apabila
59 petani mengalami gagal panen, petani cenderung pasrah dan menganggap sebagai takdir. Kemudian, pada petani non organik yang menggunakan pupuk sintetis, petani mengaku tanaman padi mereka lebih cepat tumbuh dan meningkatkan hasil produksi. Sehingga, sebanyak 94.3 persen pada petani non organik menyatakan akan menggunakan pupuk sintetis karena akan lebih menguntungkan. Berbeda dengan petani organik yang menjawab tidak akan menggunakan pupuk sintetis. Menurut petani, menggunakan pupuk sintetis tidak menguntungkan secara ekonomi. Meskipun hasil produksi meningkatkan, tetapi padi yang dihasilkan kurang berkualitas dibandingkan menggunakan pupuk organik. Dengan menggunakan pupuk organik, walau pun hasil produksi lebih sedikit dibanding menggunakan pupuk sintetis, namun harga jual padi dapat lebih tinggi. Oleh karenanya, bagi petani organik maupun semi organik menggunakan pupuk organik lebih menguntungkan secara ekonomi. Hampir sebagian besar organik mengaku ingin terus menerapkan pertanian organik. Petani menyadari dengan menerapkan pertanian organik, akan memperbaiki lingkungan pertanian yang sempat tercemar karena penggunaan bahan-bahan sintetik. Meskipun hasil panen bisa gagal, petani mengaku akan terus menggunakan bahan-bahan organik dan tidak tergoda untuk menggunakan pupuk kimia yang dapat menyuburkan tanaman dengan cepat. Selain itu, dengan bertani organik, petani mengaku lebih terjamin secara ekonomi. Dalam penerapan pertanian organik, petani organik tidak lagi hanya mempertimbangkan aspek ekonomi saja, tetapi juga mempertimbangkan adanya aspek jangka panjang pada kesehatan lingkungan termasuk kesehatan petani sendiri. Dilain pihak, petani non organik kurang memiliki keinginan untuk menerapkan pertanian organik. Dengan berorganik, petani non organik merasa kurang mendapatkan keuntungan karena hasil panen yang lebih sedikit dibanding dengan bernon organik. Karenanya, petani non organik lebih memilih menggunakan bahan input sintetik yang dapat mempercepat hasil panen dibanding harus bekerja lebih keras dalam berorganik. Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 65.249 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.00 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata pada tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik. Adanya perbedaan pada tingkat konasi petani dikarenakan adanya pertimbangan pada aspek ekonomi petani.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabelvariabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Variabel-variabel pembentuk sikap yang detiliti adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pengalaman, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemilikan modal, tingkat akses sarana produksi, dan tingkat nilai-nilai kelompok. Untuk mengetahui pengaruh antara variabel-variabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik dihunakan uji Regresi. Rumusan hipotesis diuji dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel menggunakan tingkat kepercayaan α = 0.05. Jika nilai t-hitung < t-tabek berarti terima atau tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Tabel 13
Hasil uji regresi pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik
Variabel Tingkat pendidikan formal Tingkat pendidikan non formal Tingkat pengalaman Tingkat kekosmopolitan Tingkat kepemilikan modal Tingkat akses sarana produksi Tingkat nilainilai kelompok
0.055
Nilai F pada α=0.05 1.534
Nilai t pada α=0.05 1.239
0.355
0.126
14.825
3.850
0.002
0.283
0.08
8.962
2.994
0.126
0.113
0.013
1.323
1.150
0.008
0.236
0.056
6.097
2.469
0.000
0.388
0.151
18.262
4.273
0.000
0.450
0.203
26.218
5.120
p
R
0.109
0.121
0.000
Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Sikap Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh responden. Berdasarkan data pada Tabel 14, hampir sebagian besar responden yang memiliki sikap yang positif pada penerapan pertanian organik
62 memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kesadaran petani untuk menerapkan pertanian organik tidak bergantung dari tingkat pendidikan yang dimiliki petani. Petani mengaku, kegiatan bertani organik merupakan warisan dari leluhur mereka terdahulu. Kegiatan bertani tidak hanya untuk menambah penghasilan petani, tetapi juga untuk merawat kesehatan keluarga petani sendiri. Tabel 14 Sikap petani menurut pendidikan formal Pendidikan Formal Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
30 50 80
n 37.5 62.5 100.0
% 6 19 25
24.0 26.0 100.0
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.121 dengan signifikansi 0.109 > 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara variabel tingkat pendidikan formal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Untuk menguji kelayakan model regresi ialah dengan menggunakan angka F hitung yang dibandingkan dengan angka F tabel. Berdasarkan Tabel 13, nilai F hitung = 1.531 < F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.218 > 0.05. Ini artinya, model regresi belum benar dan layak atau tidak ada hubungan linear antara pendidikan formal dengan sikap. Cara menguji hipotesis satu adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 1.239 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis satu yang menyebutkan: “tingkat pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak. Oleh karenanya, tingkat sikap petani bukan berasal dari pendidikan formal yang ditempuh. Petani belum menyadari akan pentingnya arti pendidikan. Fenomena ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat pendidikan formal petani. Pendidikan formal tidak mengajarkan petani mengenai penerapan pertanian organik, tetapi hanya mengajarkan pengetahuan umum. Pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan formal tidak sesuai dengan pengetahuan yang dibutuhkan petani seputar penerapan pertanian. Seperti yang diutarakan oleh Rukka (2006) dalam penelitiannya bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan sektor pertanian di pedesaan karena pendidikan yang rendah akan mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi. Pengaruh Pendidikan Non Formal terhadap Sikap Berdasarkan data pada Tabel 15, sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan non formal yang rendah memiliki sikap yang negatif. Dan sebagian besar responden yang memiliki tingkat pendidikan non formal yang sedang dan tinggi memiliki sikap yang positif. Kemudian, sebagian besar petani yang memiliki sikap yang positif memiliki tingkat pendidikan non formal yang tinggi.
63 Petani yang mengikuti pelatihan/kursus pertanian akan menambah wawasan dan pemahaman petani tentang pertanian. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.355 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat pendidikan non formal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.355 dan R square = 0.126 atau 12.6 persen. Ini artinya, tingkat pendidikan formal mempengaruhi sikap sebesar 12.6 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Tabel 15 Sikap petani menurut pendidikan non formal Pengalaman Bertani Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
29 30 59
n 49.2 50.8 100.0
% 7 39 46
15.2 84.8 100.0
Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 14.825 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara pendidikan non formal dengan sikap. Cara menguji hipotesis dua adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 3.850 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis dua yang menyebutkan: “tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2010) bahwan pendidikan non formal mempengaruhi sikap petani. Materi pendidikan non formal yang didapat petani dari pelatihan banyak memberikan pengetahuan mengenai penerapan pertanian organik, seperti cara pembuatan pupuk organik serta bagaimana cara mengatasi berbagai gangguan pada tanaman tanpa mencemari lingkungan. Dengan semakin banyak mengikuti pendidikan non formal maka sikap petani terhadap penerapan pertanian organik dapat semakin baik. Kegiatan penyuluhan mapun pelatihan sangat penting karena melalui pertemuan tersebut petani dapat bertukar pikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapi secara bersama-sama, memperoleh informasi yang berguna bagi usahataninya, bimbingan, saran bahkan petunjuk yang berkaitan dengan pertanian organik, sehingga dapat meningkatkan keterampilan dalam mengelola usahataninya. Pengaruh Pengalaman Bertani terhadap Sikap Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.283 dengan signifikansi 0.002 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat pengalaman dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.107 dan
64 R square = 008 atau 8 persen. Ini artinya, tingkat pengalaman mempengaruhi sikap sebesar 8 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 8.962 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.003 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara pengalaman dengan sikap. Cara menguji hipotesis tiga adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan ttabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 2.994 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis tiga yang menyebutkan: “tingkat pengalaman bertani berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima. Tabel 16 Sikap petani menurut pengalaman bertani Pengalaman Bertani Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
16 12 28
n 57.1 42.9 100.0
% 20 57 77
26.0 74.0 100.0
Petani dengan sikap yang positif dan petani dengan sikap yang negatif sebagian besar adalah petani yang memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi (Tabel 16). Pengalaman bertani yang tinggi memberikan petani banyak pelajaran dan pengetahuan secara langsung dan mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertaniannya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Reza (2007) dalam penelitiannya mengenai sikap terhadap PHT yang mengatakan bahwa bila petani memiliki pengalaman yang positif terhadap PHT, petani akan bersikap positif juga terhadap PHT. Sebaliknya bila petani memiliki pengalaman yang negatif terhadap PHT, petani akan cenderung bersikap negatif. Sika negatif pada petani dapat berasal dari pengalaman bertani yang negatif atau tidak menyenangkan. Berdasarkan pengalaman pada petani non organik, menggunakan bahan-bahan input alami kurang praktis dan kurang memberikan hasil produksi yang memuaskan. Petani lebih memilih menggunakan bahan-bahan input sintetis karena dinilai lebih praktis dan menghasilkan produksi yang lebih banyak. Selain pengalaman yang tidak menyenangkan, terdapat pula petani yang memiliki pengalaman yang positif atau menyenangkan terhadap penerapan pertanian organik. Pada saat menerapakan pertanian organik, petani menilai pertanian organik lebih menguntungkan karena harga jual beras organik lebih tinggi dibandingkan beras non organik. Selain itu, dengan bertani organik, petani merasa bangga karena berperan dalam menjaga lingkungan pertanian dan keamanan pangan konsumen. Petani dengan sikap yang positif sebagian besar adalah petani yang memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi. Dengan pengalaman yang tinggi, petani dapat membandingkan manfaat, keuntungan, dan kerugian dari penerapan pertanian yang dilakukan. Sarwono (2002) mengatakan bahwa pengalaman langsung dengan objek sikap merupakan variabel utama dalam pembentukan sikap terhadap objek sikap. Hal yang sama diutarakan oleh Baron dan Byrne (2004) yang mengatakan bahwa
65 sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung sering kali memberikan pengaruh yang lebih kuat pada tingkah laku daripada sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan penglaman langsung akan lebih mudah diingat. Semakin lama pengalaman bertani petani, semakin positif sikapnya. Kurniawan (2011) yang mengatakan bahwa semakin banyak pengalaman petani berusahatani secara organik, maka semakin baik sikapnya terhadap pertanian organik yang bisa mewujudkan kemandirian petani. Sehingga, pengalaman yang dimiliki semakin terus bertambah, pengalaman yang semakin bertambah menjadikan petani lebih matang dalam mengambil sikap dan keputusan terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanian organik yang bisa mewujudkan kemandirian petani. Pengaruh Kekosmopolitan terhadap Sikap Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.113 dengan signifikansi 0.126 > 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara variabel tingkat kekosmopolitan dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organic. Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 1.323 < F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.253 > 0.05. Ini artinya, model regresi belum benar dan layak atau tidak ada hubungan linear antara kekosmopolitan dengan sikap. Cara menguji hipotesis empat adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 1.323 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis empat yang menyebutkan: “tingkat kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak. Tabel 17 Sikap petani menurut kekosmopolitan Kekosmopolitan Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
35 63 98
n 35.7 64.3 100.0
% 1 6 7
14.3 85.7 100.0
Merujuk pada Tabel 17, petani dengan sikap positif dan sikap yang negatif sebagian besar adalah responden dengan tingkat kekosmopolitan yang rendah. Sebagian besar responden kurang aktif mencari informasi di luar lingkungan sosialnya. Petani merasa informasi pertanian sudah dapat tercukupi dari interaksi dengan sesama anggota tani lainnya dalam satu kelompok tani. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan Reza (2007) bahwa petani dengan sifat yang tidak kosmopolit merasa sudah cukup dengan informasi yang dimiliki petani.
66 Pengaruh Kepemilikan Modal terhadap Sikap Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.236 dengan signifikansi 0.008 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat kepemilikan modal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.236 dan R square = 0.056 atau 5.6 persen. Ini artinya, tingkat pendidikan formal hanya mempengaruhi sikap sebesar 5.6 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Tabel 18 Sikap petani menurut tingkat kepemilikan modal Kepemilikan Modal Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
14 12 26
n 53.3 46.2 100.0
% 22 57 79
27.8 72.3 100.0
Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 6.097 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.015 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara kepemilikan modal dengan sikap. Cara menguji hipotesis lima adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan ttabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 2.469 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis lima yang menyebutkan: “tingkat kepemilikan modal berpengaruh nyata dan signifikan terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima. Merujuk pada Tabel 18, petani yang memiliki sikap yang positif sebagian besar adalah petani dengan tingkat kepemilikan modal yang tinggi. Dengan tersedianya modal, membantu meningkatkan keyakinan dan rasa percaya diri petani dalam mengembangkan usahataninya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Rukka (2006) yang mengatakan bahwa modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian. Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahataninya hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal. Pengaruh Akses Sarana Produksi terhadap Sikap Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.137 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan signifikan antara variabel tingkat akses sarana produksi dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.388 dan R square = 0.151 atau 1.51 persen. Ini artinya, tingkat akses sarana produksi mempengaruhi sikap sebesar 1.51 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 18.262 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar
67 dan layak atau ada hubungan linear antara akses sarana produksi dengan sikap. Cara menguji hipotesis enam adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 4.273 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis enam yang menyebutkan: “tingkat akses sarana produksi berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak. Tabel 19 Sikap petani menurut tingkat akses sarana produksi Akses Sarana Produksi Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
25 20 45
n 55.6 44.4 100.0
% 11 49 60
18.3 81.7 100.0
Responden dengan sikap yang positif sebagian besar adalah yang memiliki tingkat akses sarana produksi yang tinggi. Sebaliknya, responden dengan sikap yang negatif sebagian besar memiliki tingkat akses sarana produksi yang rendah (Tabel 19). Semakin petani merasakan adanya kemudahan dalam mendapatkan sarana produksi, semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik. “..apa sulitnya bertani organik. Pupuk tinggal bikin ko, apa lagi dibuat bareng-bareng, kerjaan lebih ringan. Bahan-bahannya juga gampang, bisa dicari di dapur, di sawah, di hutan...” (NYD, 50 thn) Berbeda dengan Pak SRD, salah satu petani non organik yang menuturkan sebagai berikut: “ saya pupuk pake Urea udah lama. Lebih gampang, lebih murah, taneman cepet tumbuh. Pake organik saya harus cari kotoran kerbaunya, belum lagi ngolahnya nambahin tenaga. Kalau organik lebih capek mbak, enakan pake Urea, gampang, tingaal beli terus di tebar..” (SRD, 56 thn) Sarana produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan-bahan input alami, seperti pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Rasa kemudahan mempengaruhi penilaian petani terhadap penerapan pertanian organik. Apabila petani tidak merasakan kemudahan dalam menyediakan sarana produksi berupa bahan-bahan input alami, maka sikapnya akan cenderung negatif terhadap penerapan pertanian organik. Apabila petani merasa mudah dalam menyediakan sarana produksi berupa bahan-bahan input alami, maka sikapnya akan positif terhadap penerapan pertanian organik.
68 Pengaruh Nilai-Nilai Kelompok terhadap Sikap Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.450 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat nilai-nilai kelompok dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.450 dan R square = 0.203 atau 20.3 persen. Ini artinya, tingkat nilai-nilai kelompok mempengaruhi sikap sebesar 20.3 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 26.218 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara nilai-nilai kelompok dengan sikap. Cara menguji hipotesis tujuh adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 5.12 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis tujuh yang menyebutkan: “tingkat nilai-nilai kelompok berpengaruh nyata dan signifikan terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima. Tabel 20 Sikap petani menurut tingkat nilai-nilai kelompok Nilai-nilai kelompok Sikap
Rendah n
Negatif Positif Total
Tinggi %
28 21 49
n 57.1 42.9 100.0
% 8 48 56
14.3 65.7 100.0
Petani yang memiliki sikap yang positif sebagian besar adalah responden dengan tingkat nilai-nilai kelomopok yang tinggi. Sebaliknya, petani yang memiliki sikap yang negatif sebagian besar adalah responden dengan tingkat nilainilai kelompok yang rendah. Rendahnya nilai-nilai kelompok petani disebabkan kurang kuatnya rasa memiliki kelompok pada tiap anggota. Pertemuan kelompok biasanya hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Selain itu, adanya rasa saling tidak percaya atau curiga antar sesama anggota. Rasa curiga ini disebabkan oleh adanya beberapa anggota yang merasa tidak meratanya pembagian modal usaha, baik berupa lahan maupun uang. “…saya ikut aturan kelompok selama nda merugikan saya. Ikut kumpul kalau acaranya lagi buat pupuk. Ini juga kelompoknya belum dibentuk. Belum ada itu ketuanya siapa, sekertarisnya siapa, bendaharanya siapa. Pak D itu bukan ketua. Dia memang yang mengajak kumpul bikin pupuk. Tapi dia bukan ketua..”(TRY, 70thn) “..saya kurang percaya dengan Pak D. Seharusnya saya dapat lahan, anggota dapat lahan. Ini yang pake lahan dia semua. Kan seharusnya uang dari pemerintah udah dibagi buat modal. Tapi mana, belum ada yang menerima..”(MHD, 40 thn)
69 Menurut penuturan salah satu responden, Pak D, beras organik di desa dipandang sebagai bisnis oleh beberapa pihak. Tingginya permintaan beras organik merupakan salah satu alasan semakin berkembangnya penerapan pertanian organik. Tiap kelompok saling bersaing dalam memberikan citra yang positif pada produk berasnya. Semakin produk berasnya dipandang baik, harga jual dan jangkauan pemasarannya pun dapat semakin tinggi dan luas. Masing-masing petani memiliki keyakinan dan pandangan yang dianggapnya benar. Petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani akan membandingkan nilai yang dimiliki petani dengan nilai yang dimiliki kelompok. Apabila keyakinan dan pandangan yang dimiliki oleh kelompok dianggap benar oleh petani, maka keyakinan tersebut dapat mempengaruhi keyakinan dan pandangan petani. Petani dengan tingkat nilai-nilai kelompok yang tinggi memiliki keyakinan dan pandangan yang sama dengan keyakinan dan pandangan yang dimiliki kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne (2004) yang mengatakan bahwa seseorang cenderung membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangannya terhadap kenyataan sosial benar atau salah. Kecenderungan untuk memiliki pandangan berupa ide, sikap, atau pendapat yang sama dengan orang yang dianggap penting, sering kali dapat mengubah sikap seseorang. Sikap seseorang terbentuk dari informasi sosial yang berasal dari orang lain dan keinginan diri untuk menjadi serupa dengan orang lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil kajian sikap petani, kajian perbedaan sikap petani, dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik di Kabupaten Magelang, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1 Sebagian besar petani di Kabupaten Magelang telah memiliki sikap yang positif terhadap penerapan pertanian organik baik dilihat dari komponen kognisi, afeksi, maupun konasi. Dari ketiga komponen sikap, petani di Kabupaten Magelang memiliki tingkat kognisi yang lebih rendah dibandingkan tingkat kognisi dan afeksi. Hal ini menunjukkan meskipun petani memiliki pengetahuan yang cukup, serta memiliki rasa suka, keinginan petani dalam menerapkan penerapan pertanian organik masih belum cukup tinggi. 2 Terdapat perbedaan sikap yang nyata terhadap penerapan pertanian organik antara petani organik, semi organik, dan non organik. Petani organik menunjukkan sikap yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan non organik, baik dilihat dari komponen kognisi, afeksi, maupun konasi. Petani semi organik menunjukkan sikap yang cenderung positif, sedangkan petani non organik menunjukkan sikap yang cenderung negatif terhadap penerapan pertanian organik 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik adalah: pendidikan non formal, pengalaman bertani, kepemilikan modal, akses sarana produksi, dan nilai nilai kelompok. Faktor-faktor lainnya, seperti pendidikan formal dan kekosmopolitan tidak mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik Saran Saran yang dapat penulis berikan terkait sikap petani terhadap penerapan pertanian organik sebagai berikut: 1 Untuk meningkatkan keinginan petani dalam menerapkan pertanian organik, khususnya dalam merotasi tanaman, dapat diupayakan dengan memberikan bantuan bahan-bahan input alami kepada petani. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan BP2KP guna meningkatkan keinginan petani untuk merotasi tanaman. 2 Untuk mengajak petani non organik beralih menerapkan pertanian organik, dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada petani non organik mulai mencoba menerapkan pertanian organik pada lahan percontohan dengan didampingi oleh penyuluh. Lahan percontohan dapat diupayakan melalui memaksimalkan fungsi dari tanah bengko untuk kepentingan bersama. Diharapkan dengan adanya lahan percontohan ini dapat menjadi wadah pembelajaran langsung bagi petani. 3 Upaya untuk menginkatkan sikap petani dapat dilakukan dengan pengadaan pelatihan yang lebih menjangkau kepada seluruh petani dan penyebarluasan informasi hasil dari pelatihan kepada petani yang tidak dapat menghadiri pelatihan, pengadaan seminar antar petani sebagai wadah saling bertukar
72 informasi seputar pengalaman antar petani delam menerapkan pertanian organik, penyediaan bantuan traktor kepada tiap kelompok untuk memudahkan dalam penyediaan modal petani, meningkatkan partisipasi petani dengan bersama-sama membuat pupuk dan pengendali hama alami, serta meningkatkan nilai-nilai kelompok dengan mengadakan kegiatan bersama antar kelompok dan mengevaluasi kinerja masing-masing anggota, dan menyatukan petani non organik dalam satu wadah kelompok.
DAFTAR PUSTAKA Atkinson RL, Atkinson RC, Hilgard ER. 1983. Pengantar Psikologi. Nurdjannah T, Barhana R, penerjemah; Dharma A, Adryanto M, editor. Ed ke-8. Jakarta (ID): Erlangga. Azwar S. 2003. Sikap manusia : Teori dan Pengukurannya. Jakarta (ID) : Pustaka Pelajar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. 2013. Kabupaten Magelang dalam angka. [internet]. [Diunduh 2013 Agustus 10]. Tersedia pada: http://magelangkab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=1 Baron RA, Byrne D. 2003. Psikologi Sosial. Edisi ke-10.Jilid 1. Jakarta (ID): Kanisius. [DINHUBKOMINFO] Dinas Hubungan Komunikasi dan Informasi. 2011. Permintaan beras organik meningkat, Kabupaten Magelang memiliki 600 hektar. Jatengprov [internet[. [Diunduh 2013bJan 17]; 130.243.181. Tersedia pada: http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=23491 Fuady I. 2011. Perilaku komunikasi dengan praktek budidaya pertanian organik: kasus petani bawang merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Gerungan WA. 2004. Psikologi Sosial. Bandung (ID): Refika Aditama Indriana H. 2010. Kelembagaan berkelanjutan dalam pertanian organik. [tesis] Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Karami E, Mansoorbadi A. 2008. Sustainable agricultural attitudes and behaviors: a gender analysis of Iranian farmers. Env Dev Sust. 10: 883-898. doi: 10.1007/s10668-007-9090-7. Khairina Y. 2006. Analisis pendapatan usahatani dan pemasaran wortel dengan budidaya organik. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Prasetyo A. 2011. Pendidikan Nilai: Definisi Nilai Menurut Beberapa Tokoh. [internet]. [Diunduh 2011 Maret 28 Maret]. Tersedia pada: http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/28/pendidikan-nilai-definisi-nilaimenurut-beberapa-tokoh-399000.html Putri NI. 2011. Penerapan teknologi pertanian padi organik di Kampung Ciburuy Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID). Intitut Pertanian Bogor. Rahmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Reijntjes C, Haverkort B, Waters-Bayer A. 1994. Pertanian Masa Depan. Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Input Luar Rendah. Sukoco Y, penerjemah.Yogyakarta (ID): Kanisius. Terjemahan dari: Farming For The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Republik Indonesia. 2003. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. [internet]. [Diunduh pada 2013 Januari 10]. Terdapat pada: http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf Reza F. 2007. Sikap petani terhadap pengendalian hama terpadu. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Ridwan. 2011. Dasar-Dasar Statistika. Bandung (ID): Alfabeta Rukka H. 2003. Motivasi petani dalam menerapkan usahatani organik pada padi sawah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
74 Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Santoso, AB. 2008. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani wortel memilih sistem pertanian organik di desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sarwono J. 2010. Mengubah data ordinal ke data interval dengan Metode Suksesif Interval (MSI). [internet]. [Diunduh 2013 Oktober 22] Tersedia pada: www.jonathansarwono.info teori spss msi.pdf Sarwono SW. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada Sears DO, Freedman JL., Peplau LA. 1985. Psikologi Sosial. Edisi kelima. Jilid satu. Jakarta (ID): Erlangga. [STIE] Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala.2012. Chi Square. [internet]. [Diunduh 2013 September 24]/ Jember (ID): Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala. Tersdia pada: http://www.stiemandala.ac.id/elearning/courses/EKP1053/document/chisquare.pdf?cidReq=EKP1053 Shinta A. 2011. Ilmu Usahatani. [internet]. [Diunduh 2013 Oktober 3]. Malang (ID): Universitas Brawijaya Press. Tersedia pada: lecture.ub.ac.id/files/2012/11/Ilmu-Usaha-Tani.pdf Singarimbun M, Sofian E. 1989. (editor). Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Edisi ketiga. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press Suhartini, Widodo S, Irham, Hartono S. 2006. Sikap dan perilaku berkelanjutan pada petani organik dan non organik di kabupaten Sragen dan implikasinya terhadap kualitas lahan, biodiversitas, dan produktivitas tanaman padi. Agros. 8 (1): 90-102. doi: 1411-0172. Sunarti. 2010. Sikap terhadap budidaya organik. [skripsi]. [internet]. [Diunduh 3 Oktober 2013]. Surakarta (ID) : Universitas Sebelas Maret. Tersedia pada: eprints.uns.ac.id/10851/1/190691611201112301.unlocked.pd.http://digilib.uns. ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=19069 Sutanto R. 2000. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan & Pengembangannya. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suwantoro, Andreas A. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang. [tesis]. [internet]. [Diunduh 2013 Januari 10]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro. Tersedia pada: eprints.undip.ac.id/16429/1/Andreas_Avelinus_Suwantoro.pdf. 171 Tata I. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama. Jakarta (ID): Tirta Karangsari Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka Usman H, Akbar PS. 2008. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Bumi Aksara Walgito B. 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta (ID): Andi. Widiarta A. 2011. Analisis keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi Kabupaten Magelang
Gambar 10 Peta Kabupaten Magelang
76 Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
Petani sedang membersihkan sawah
Pertemuan kelompok tani
77
Wawancara responden
Petani sedang membajak sawah
78 Lampiran3 Hasil reduksi data Tingkat pendidikan formal 1.0 2.7 1.0 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0
Tingkat pendidikan non formal 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 1.0 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
Tingkat Tingkat pengalaman kekosmopolitan bertani 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 1.00 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 1.00 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96 2.96 1.00
1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 2.7 1.0 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0
79 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 2.7 2.7 1.0
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.6 1.0 1.0 1.0 1.0 2.6 2.6 1.0 2.6 1.0 2.6 1.0 2.6 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
2.96 1.00 2.96 2.96 1.00 2.96 1.00 1.00 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96 2.96 1.00 2.96 1.00 1.00 1.00 2.96 1.00 1.00 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96 1.00 1.00 1.00 2.96 2.96 1.00 2.96 1.00 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96
2.7 1.0 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7
80 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 2.7 1.0 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.7 1.0 1.0 1.0
1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.6 1.0 1.0 2.6 1.0 2.6 2.6 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.6 2.6
2.96 1.00 2.96 1.00 1.00 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96 2.96 1.00 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 2.96 1.00 2.96 2.96
1.0 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7
81 Lampiran 4 Hasil pengolahan data uji Chi Square a. Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik petani * Sikap Crosstabulation Count Sikap negatif petani
non
positif
Total
33
2
35
organik
1
34
35
semi
1
34
35
35
70
105
Total
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio
df
sided)
a
2
.001
14.926
2
.001
14.457
N of Valid Cases
105
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,00.
b. Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik
petani * Kognitif Crosstabulation Kognitif negatif petani
non
organik
Total
Count
26
9
35
Expected Count
9.3
25.7
35.0
1
34
35
9.3
25.7
35.0
1
34
35
9.3
25.7
35.0
Count Expected Count
semi
positif
Count Expected Count
82 Total
Count Expected Count
28
77
105
28.0
77.0
105.0
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio
df
sided)
a
2
.000
63.715
2
.000
60.877
N of Valid Cases
105
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,33.
c. Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik
petani * Afektif Crosstabulation Afektif negatif petani
non
Count Expected Count
organik
semi
Total
2
35
13.0
22.0
35.0
1
34
35
13.0
22.0
35.0
5
30
35
13.0
22.0
35.0
39
66
105
39.0
66.0
105.0
Count Expected Count Count Expected Count
Total
33
Count Expected Count
positif
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df
sided)
a
2
.000
85.417
2
.000
74.406
105
83 Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square
sided)
a
2
.000
85.417
2
.000
74.406
Likelihood Ratio
df
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,00.
d. Perbedaan tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik petani * Konatif Crosstabulation
Konatif negatif petani
non
Count Expected Count
organik
semi
Total
1
35
15.7
19.3
35.0
1
34
35
15.7
19.3
35.0
12
23
35
15.7
19.3
35.0
47
58
105
47.0
58.0
105.0
Count Expected Count Count Expected Count
Total
34
Count Expected Count
positif
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df
sided)
a
2
.000
81.239
2
.000
65.249
105
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,67.
84 Lampiran 5 Hasil pengolahan data uji Regresi Linear Sederhana
a. Pengaruh tingkat pendidikan formal terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model 1
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.121
a
.015
.005
.476
a. Predictors: (Constant), Pendidikan Formal b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
.347
1
.347
Residual
23.310
103
.226
Total
23.657
104
F
Sig.
1.534
.218
a. Predictors: (Constant), Pendidikan Formal b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Pendidikan Formal
a. Dependent Variable: Sikap
Std. Error 1.546
.101
.079
.064
Coefficients Beta
t
.121
Sig.
15.253
.000
1.239
.218
a
85 b. Pengaruh tingkat pendidikan non formal terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model
R
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.355
a
.126
.117
.448
a. Predictors: (Constant), Pendidikan Non Formal b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
2.977
1
2.977
Residual
20.681
103
.201
Total
23.657
104
F 14.825
Sig. .000
a. Predictors: (Constant), Pendidikan Non Formal b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1(Constant)
B
Std. Error 1.296
.103
.212
.055
Pendidikan Non Formal a. Dependent Variable: Sikap
Coefficients Beta
t
.355
Sig.
12.538
.000
3.850
.000
a
86 c. Pengaruh tingkat pengalaman bertani terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model
R
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.290
a
.084
.075
.459
a. Predictors: (Constant), Pengalaman Bertani b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
1.995
1
1.995
Residual
21.662
103
.210
Total
23.657
104
F 9.485
Sig. .003
a
a. Predictors: (Constant), Pengalaman Bertani b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant) Pengalaman Bertani
a. Dependent Variable: Sikap
Std. Error 1.270
.134
.159
.052
Coefficients Beta
t
.290
Sig.
9.504
.000
3.080
.003
87 d. Pengaruh tingkat kekosmopolitan terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model
R
1
.113
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square a
.013
.003
.476
a. Predictors: (Constant), Kekosmopolitan b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
.300
1
.300
Residual
23.357
103
.227
Total
23.657
104
F 1.323
Sig. .253
a
a. Predictors: (Constant), Kekosmopolitan b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1(Constant) Kekosmopolitan
B
Std. Error 1.429
.204
.214
.186
a. Dependent Variable: Sikap
Coefficients Beta
t
.113
Sig. 7.000
.000
1.150
.253
88 e. Pengaruh tingkat kepemilikan modal terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik Lampiran 3
b
Model Summary
Model 1
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.236
a
.056
.047
.466
a. Predictors: (Constant), Kepemilikan Modal b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
1.322
1
1.322
Residual
22.335
103
.217
Total
23.657
104
F
Sig.
6.097
.015
a
a. Predictors: (Constant), Kepemilikan Modal b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Kepemilikan Modal
a. Dependent Variable: Sikap
Std. Error 1.309
.148
.153
.062
Coefficients Beta
t
.236
Sig.
8.825
.000
2.469
.015
89 f. Pengaruh tingkat akses sarana produksi terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model 1
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.388
a
.151
.142
.442
a. Predictors: (Constant), Akses Sarana Produksi b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
3.563
1
3.563
Residual
20.094
103
.195
Total
23.657
104
F
Sig.
18.262
.000
a
a. Predictors: (Constant), Akses Sarana Produksi b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Akses Sarana Produksi
a. Dependent Variable: Sikap
Std. Error 1.222
.111
.223
.052
Coefficients Beta
t
.388
Sig.
11.038
.000
4.273
.000
90 g. Pengaruh tingkat nilai-nilai kelompok terhadap sikap petani pada penerapan pertanian organik
b
Model Summary
Model 1
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
.137
a
.019
.009
.475
a. Predictors: (Constant), Akses Sarana Produksi b. Dependent Variable: Sikap
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
.445
1
.445
Residual
23.212
103
.225
Total
23.657
104
F 1.976
Sig. .163
a. Predictors: (Constant), Akses Sarana Produksi b. Dependent Variable: Sikap
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Akses Sarana Produksi
a. Dependent Variable: Sikap
Std. Error 1.465
.145
.087
.062
Coefficients Beta
t
.137
Sig.
10.124
.000
1.406
.163
a
91 Lampiran 6 Kuesioner Penelitian
Nomor Responden Tanggal Wawancara FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK Peneliti bernama Cintya Aristy Deby, adalah seorang mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan di kuesioner ini dengan jujur dan sesuai keadaan Anda yang sebenarnya. Hasil dan kerahasiaan jawaban anda semata-mata hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian dan penulisan skripsi saja. Atas bantuan dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I mengisi kuesioner ini, peneliti menyampaikan terima kasih. KUESIONER 1. Nama 2. Jenis Kelamin* 3. Umur 4. Asal (Kota) 5. Alamat 6. No. HP/Telp.
: : 1. Laki-laki 2. Perempuan : tahun : : :
Keterangan : *) Lingkari jawaban yang sesuai
A. Faktor Internal Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban Anda.
1. Apa pendidikan terakhir Bapak/Ibu ? a. Tidak Sekolah b. SD (Tamat / c. SMP (Tamat / (Tamat / d. SMA e. Diploma/Perguruan Tinggi (Tamat
Tidak Tamat, s/d kelas.........) Tidak Tamat, s/d kelas..........) Tidak Tamat, s/d kelas..........) / Tidak Tamat, s/d semester...)
92 2. Berapakali Bapak/Ibu pernah mengikuti pelatihan/kursus tentang pertanian organik? a. Tidak pernah b. 1-2 kali c. 3-4 kali d. >4 kali
3. Berapa lama Bapak/Ibu bercocok tanam organik? a. <3 tahun b. 3-5tahun c. 5-10 tahun d. >10 tahun Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban Anda. Keterangan: TS : Tidak Setuju KS : Kurang Setuju AS : Agak Setuju S : Sangat Setuju Kosmopolit No Pernyataan TS 1 Saya mendapatkan informasi baru yang berkaitan tentang pertanian dari kelompok tani lain yang masih di dalam satu desa selama seminggu terakhir 2 Saya mendapatkan informasi baru yang berkaitan dengan pertanian dari kelompok tani lain yang berada di luar desa selama seminggu terakhir 3 Saya mendapatkan informasi baru yang berkaitan dengan pertanian dari penyuluh selama seminggu terakhir 4 Saya mendapatkan informasi baru yang berkaitan dengan pertanian dari membaca koran selama seminggu terakhir 5 Saya mendapatkan informasi baru yang berkaitan dengan pertanian dari majalah pertanian selama seminggu terakhir 6 Saya mendapatkan informasi baru tentang pertanian dari mendengarkan radio selama seminggu terakhir
B. Faktor Eksternal
KS
AS
SS
93 Kepemilikan Modal Berilah tanda silang (X) pada huruf yang sesuai dengan jawaban Bapak/Ibu. 1. Darimana lahan yang Bapak/Ibu gunakan dalam usahatani selama satu musim tanam? a. Bagi Hasil b. Sakap c. Sewa d. Milik Sendiri 2. Darimana uang yang Bapak/Ibu gunakan dalam usahatani selama satu musim tanam? a. Bagi Hasil b. Pinjam b. Gadai c. Milik Sendiri 3. Darimana kerbau yang Bapak/Ibu gunakan dalam usahatani selama satu musim tanam? a. Tidak punya b. Bagi Hasil c. Sewa d. Milik Sendiri 4. Darimana traktor yang Bapak/Ibu gunakan dalam usahatani selama satu musim tanam? a. Tidak punya b. Bagi Hasil c. Sewa d. Milik Sendiri 5. Darimana tenaga kerja yang Bapak/Ibu gunakan dalam usahatani selama satu musim tanam? a. Tidak Memiliki b. Bagi Hasil c. Sewa d. Anggota Keluarga Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban Anda. Keterangan: TS : Tidak Setuju KS : Kurang Setuju AS : Agak Setuju S : Sangat Setuju Akses Terhadap Sarana Produksi No Pernyataan TS KS 1 Bahan-bahan pupuk organik sangat mudah untuk didapatkan 2 Saya mendapatkan pupuk organik
AS
SS
94
3
4 5 6 7
dengan membuat sendiri Jarak dari tempat tinggal saya ke tempat saya mendapatkan pupuk organik sangat dekat Bahan-bahan pengendali hama alami sangat mudah untuk didapatkan Bibit varietas lokal sangat mudah untuk saya dapatkan Saya tidak mengalami kesulitan dalam membuat pengendali hama organik Saya mendapatkan bibit varietas lokal dengan membuat sendiri Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban Anda. TS : Tidak Setuju KS : Kurang Setuju AS : Agak Setuju S : Sangat Setuju
Nilai Kelompok No Pernyataan TS 1 Saya mempunyai pandangan yang sama dengan kelompok 2 Saya melakukan kegiatan bercocok tanam dengan cara yang sesuai dengan keyakinan kelompok 3 Saya menganggap pandangan yang dianut kelompok adalah yang benar 4 Saya selalu berusaha untuk mengikuti keyakinan kelompok
KS
AS
S
C. Sikap Petani Berilah tanda silang (x) pada kolom yang mewakili jawaban Anda! Keterangan: TS : Tidak Setuju KS : Kurang Setuju AS : Agak Setuju S : Sangat Setuju No 1
2 3
Pernyataan TS Menggunakan pupuk organik dapat menyebabkan lahan menjadi semakin gembur dan mudah diolah Menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi Merotasi tanaman akan menjaga lahan tetap subur
KS
AS
S
95 4 5 6 7
8
9
10 11
12
13
14 15
Dengan menggunakan pupuk organik lahan menjadi lebih subur Menggunakan pengendali hama kimia berbahaya bagi tanaman Saya merasa menggunakan pupuk organik terlalu rumit Saya merasa pengendali hama organik lebih mahal daripada pestisida kimia Saya lebih senang menggunakan pengendali hama organik karena tidak berdampak buruk bagi kesehatan Saya tidak suka merotasi tanaman karena hanya akan mengurangi hasil padi selama setahun Saya lebih senang menggunakan bibit lokal Karena dapat mempertahankan kesuburan lahan, maka saya akan merotasi tanaman secara teratur Karena dapat melindungi tanaman padi dari serangan hama, maka saya akan menggunakan pengendalian hama organik Karena menghasilkan kualitas padi yang lebih baik, maka saya akan menggunakn bibit rekayasa Walaupun panen bisa gagal, saya akan menggunakan pupuk organik Karena secara ekonomi lebih menguntungkan, maka saya akan menggunakan pupuk kimia
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Cintya Aristy Deby dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 April 1991. Penulis merupakan anak ke-3 dari pasangan Hery Hairudin dan Euis Jamilah. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Ciluar 2 (19972003), Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Bogor (2003-2006), Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor (2006-2009). Kemudian, pada tahun 2009, penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur UTMI (Ujian Talenta Mandiri IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga tergabung sebagai anggota voluntir Gerakan Cinta Anak Tani (2012-2013) dan juga aktif dalam kepanitiaan, yaitu sebagai ketua divisi publikasi, dokumentasi, dan dekorasi Pekan Ekologi Manusia (PEM) 2011, anggota divisi hubungan masyarakat pada acara Pestival Cinta Anak Tani (PASTA) 2012 dan pada acara Himasiera Olah Talenta (HOT) 2012.
97