FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA
SINGGIH WIDHOSARI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUTE PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRACT Production of palm oil downstream products in Indonesia is still low compared to primary products, namely palm oil. demand for palm oil, margarine and soap increased every year. therefore, Indonesia needs to increase the production of palm oil derivative products, not only to meet consumer demand but also related to value-added. Relevant government policies in order to encourage the development of downstream palm oil industry, through the instrument of monetary policy interest rates can affect the production of palm oil derivative products are cooking oil, margarine and soap. The research objectives are (1) Analyzing the factors that influence the production of palm oil derivative products in Indonesia, cooking oil, margarine and soap. (2) Analyzing the impact of policy rate cuts on the production of cooking oil, margarine and soap in Indonesia. In order to address these objectives, a simultaneous equations model of derived from the production of palm oil in Indonesia is estimated by Two Stage Least Squares (2SLS) method. Domestic palm oil production is influenced significantly by the domestic price of cooking oil palm, palm oil price growth rate domestk, interest rate, and cooking oil production t-1. Domestic production of margarine significantly influenced by the production of margarine t-1. Production of domestic soap significantly influenced by the level of interest rates, the growth rate of industrial labor, and the production of soap domestuk t-1. in order to develop the production of palm oil derivatives suggested that the government should export oriented derivative products (cooking oil, margarine and soap) to increase foreign exchange and provision of low interest rates in order to increase investment in downstream industries. Keywords: production of palm oil derivative products, cooking palm oil, margarine, soap, and interest rate policy
RINGKASAN SINGGIH WIDHOSARI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia. Dibimbing Oleh NOVINDRA. Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah. Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia. Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin 2007). Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO. Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia. Model produksi minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok minyak goreng sawit domestik, blok margarin domestik, dan blok sabun domestik. Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 13 persamaan atau 13 variabel endogen (G), dan 44 predetermined variable terdiri dari 32 variabel eksogen dan 12 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 57 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010. Sementara sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS for Windows 9.0. Hasil Penelitian menunjukan bahwa produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga minyak sawit domestk, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng t-1. Produksi margarin domestik dipengaruhi secara nyata oleh produksi margarin t-1. Produksi sabun domestik dipengaruhi secara nyata oleh
tingkat suku bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun domestuk t-1. Penurunan suku bunga bank indonesia menyebabkan peningkatan terhadap produksi minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik, penawaran minyak goreng sawit domestik, produksi margarin domestik, penawaran margarin domestik, produksi sabun domestik, permintaan sabun domestik, dan penawaran sabun domestik. Penurunan suku bunga bank indoonesia menyebabkan penurunan terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga sabun domestik. Harga minyak sawit domestik, permintaan margarin domestik, dan harga margarin domestik tidak mengalami perubahan. Saran yang bisa dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah : (1) pemberian tingkat suku bunga rendah agar investasi bagi infustri hilir meningkat. (2) dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (minyak goreng, margarin, dan sabun) dalam meningkatkan devisa negara melalui ekspor produk turunan minyak sawit dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri ini. Kata Kunci : Produksi produk turunan minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, sabun, kebijakan suku bunga
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Singgih Widhosari H44080007
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA
SINGGIH WIDHOSARI H44080007
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAKEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia Nama : Singgih widhosari NIM : H44080007
Disetujui, Dosen Pembimbing
Novindra,S.P., M.Si NIP. 19811102 200701 1001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1003 Tanggal Lulus :
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji bagi kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian inidengan judul “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan motivator, pendukung baik moril maupun materil dan pendengar yang baik atas keluh kesah penulis. Juga kakak tercinta yang selalu memberikan doa dan semangat (ka uun dan suaminya ka Pai). 2. Novindra. S.P., M.Si selaku dosen pembimbing, atas segala masukan dan bimbingan yang telah bapak berikan. Dengan kesibukan yang bapak miliki, tetap mau menyempatkan diri untuk membagikan ilmunya kepada penulis. 3. Prof Dr Ir. Bonar M. Sinaga M.a selaku penguji utama dan Hastuti. S.P., M.P., Msi selaku penguji wakil departemen, atas segala masukan, perbaikan serta ilmu yang dibagikan kepada penulis. 4. Teman-teman seperjuangan di Departemen ESL yang selalu memberikan doa dan dukungan ( Windi, Ionk, Ayu, Fathim, Welda, Livia, Nova, Tia, Esti, Tika, Iki, Aziz dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) dan temanteman sebimbingan yang selalu memberikan doa, masukan, serta dukungannya ( Ionk, Kiki, Novrika, Dian, Sandra, Pebri). 5. Halim hamdani yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan cinta yang tulus kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
6. Teman-teman di IPB yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis (ka fatmi, anggita, hikma, ikhlas, memey, rere, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu). 7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan skripsi ini. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri hilir minyak sawit di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin Bogor,
Januari 2013
Singgih Widhosari
viii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak sawit di Indonesia. Selama proses penelitian dimulai dari hunting data, pencarian informasi, hingga proses pengolahan data, banyak hikmah yang penulis dapatkan dari kesemua proses tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia. Semoga karya penulis ini memberikan manfaat dalam pengembangan pendidikan. Atas perhatian serta saran dan kritik yang diberikan untuk menyempurnakan tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Bogor, Januari 2013
Singgih Widhosari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR . ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... I.
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
Latar Belakang .............................................................................. Perumusan Masalah ...................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
Kelapa Sawit ................................................................................... Kelapa Sawit di Indonesia............................................................... Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia ............................. Industri Hilir Kelapa Sawit ............................................................. 2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesi ............................................................................. 2.4.2. Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia ................... 2.4.3. Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia ........................ Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit di Indonesia .............................................................. Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia ................................. Penelitian Terdahulu ....................................................................... Keterbaruan Penelitian ....................................................................
10 11 12 14 15 18 21 22 23 24 30
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun ............................................................................................... 3.2. Permintaan Minyak Goreng/Margarin/Sabun ................................. 3.3. Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................
IV.
1 4 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
III.
xv
33 34 37
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................................... 4.3. Spesifikasi Model ............................................................................ 4.3.1. Blok Minyak Goreng Sawit................................................. 4.3.1.1. Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit .......... 4.3.1.2. Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit ....... 4.3.1.3. Persamaan Penawaran Minyak Goreng Sawit ....... 4.3.1.4. Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit ............... 4.3.1.5. Persamaan Harga Minyak Sawit ............................
41 41 41 42 42 42 43 43 44
4.3.1.6. Persamaan Permintaan Minyak Sawit ................... 4.3.2. Blok Margarin Domestik ..................................................... 4.3.2.1. Persamaan Produksi Margarin Domestik ............... 4.3.2.2. Persamaan Permintaan Margarin Domestik ........... 4.3.2.3. Persamaan Penawaran Margarin Domestik ............ 4.3.2.4. Persamaan Harga Margarin Domestik .................... 4.3.3. Blok Sabun Domestik .......................................................... 4.3.3.1. Persamaan Produksi Sabun Domestik .................... 4.3.3.2. Persamaan Permintaan Sabun Domestik ................ 4.3.3.3. Persamaan Penawaran Sabun Domestik ................. 4.3.3.4. Persamaan Harga Sabun Domestik ......................... 4.4. Pengujian Model ............................................................................. 4.4.1. Identifikasi Model ................................................................ 4.4.2. Metode Pendugaan Model ................................................... 4.4.3. Uji Statistik F ...................................................................... 4.4.4. Uji Statistik t ....................................................................... 4.4.5. Uji Statistik Durbin-h .......................................................... 4.4.6. Validasi Model .................................................................... 4.4.7. Simulasi Historis ................................................................. V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia .............................................................. 5.1.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model........................... 5.1.1.1. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit Domestik .................................................. 5.1.1.2. Keragaan Blok Margarin Domestik .................... 5.1.1.3. Keragaan Blok Sabun Domestik ......................... 5.2. Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Terhadap Produksi Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia........................
VI.
45 45 45 46 47 47 48 48 49 49 50 50 50 52 53 53 54 55 56
57 57 58 67 72 76
SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan .......................................................................................... 79 6.2. Saran ............................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80 LAMPIRAN ...................................................................................................... 82 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 123
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Pangsa Produksi Minyak Nabati Dunia (1993-2012) ..............
2.
Nilai Tambah (Ribu Rp) dari Produk Turunan CPO seperti
2
Minyak Goreng, Sabun ............................................................
14
3.
Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera .
11
4.
Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi dan Market Share Masing – masing Perusahaan Minyak Goreng di Indonesia .............................................................................
16
5.
Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng (1999-2005) .............
16
6.
Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak Sawit di Indonesia (2001-2001) ..............................................
17
7.
Kuantitas Impor Margarin Indonesia (2001-2010) ..................
18
8.
Produsen Industri Margarin di Indonesia ................................
19
9.
Perkembangan Produksi Margarin indonesia ..........................
19
10.
Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia (2003-2010) .............................................................................
20
11.
Pangsa Konsumsi Minyak Sawit di Indonesia (1991-1996) ...
21
12.
Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia (2003-2010) ............................................................................
22
Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I-Triwulan 2010.II. ........
23
14.
Hasil Estimasi Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik ......
59
15.
Hasil Estimasi Permintaan Minyak Goreng Sawit Doomestik
61
16.
Hasil Estimasi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ..........
62
17.
Hasil Estimasi Harga Minyak Sawit Domestik .......................
64
18.
Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit Domestik................
65
19.
Hasil Estimasi Produksi Margarin Domestik ..........................
65
20.
Hasil Estimasi Permintaan Margarin Domestik ......................
68
21.
Hasil Estimasi Harga Margarin Domestik ...............................
71
22.
Hasil Estimasi Produksi Sabun Domestik ...............................
73
23.
Hasil Estimasi Permintaan Sabun Domestik ...........................
74
24.
Hasil Estimasi Harga Sabun Domestik ....................................
76
13.
xii
25.
xiii
Hasil Simulasi Penurunan Suku Bunga Sebesar 20 Persen .....
77
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Kerangka Pemikiran Operasional ............................................
41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5.
Halaman
Data Dasar Model Persamaan Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia .........................................................................
84
Rekapitulasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia ................................................................
86
Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia .................................................
87
Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia ................................................................
90
Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia .................................................
101
Hasil Validasi Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia........................................................................................
105
7.
Program Simulasi ..........................................................................
112
8.
Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen) ......................................................................................
116
6.
xv
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kelapa sawit adalah tanaman penting dunia yang dapat menghasilkan
berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan bakar industri berat dan ringan, biodiesel dan lain-lain. Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan proses pengolahan pada Tandan Buah Segar (TBS), menjadi minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi sebesar 20.6 juta ton yang menguasai hampir separuh dari pangsa pasar minyak sawit dunia. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294 000 ha pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7.32 juta ha. Lebih dari 80 persen produksi kelapa sawit nasional merupakan komoditas ekspor dengan berbagai negara tujuan. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33 persen, Cina sebesar 13 persen, dan Belanda 9 persen dari total ekspor kelapa sawit Indonesia (Haryana et al, 2010). Permintaan dunia terhadap CPO terus meningkat. Pada tahun 2012 CPO diperkirakan akan mempunyai peran yang penting, konsumsinya meningkat dan menggantikan peran minyak nabati lainnya,terutama minyak kedele. Pertumbuhan
1
produksi minyak kelapa sawit dunia pada periode 1998 – 2002 hingga 2008 – 2012 mengalami peningkatan dari 25 340 360 ton sampai dengan 29 949 312 ton. Sejak periode 2003 – 2007 jumlah konsumsi minyak kelapa sawit mulai mengungguli minyak kedele dan diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2020, demikian juga halnya dengan pangsa produksinya (Departemen Perindustrian, 2009). Jumlah produksi dan konsumsi minyak nabati dunia mulai tahun 1993 hingga prediksi tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Produksi Minyak Nabati Dunia Tahun 1993-2012 di Indonesia Uraian Produksi/ (ton) M. sawit M. kedele M. kanola M.bunga matahari M. lainnya Total konsumsi/(Ton) M. sawit M. kedele M. kanola M. bunga matahari M. lainnya Total
1993-1997
1998-2002
2003-2007
2008-2012
15 500 382 17 765 278 10 121 254 8 351 804 19 039 282 70 778 000
20 752 640 19 915 840 11 966 240 9 790 560 21 254 720 83 680 000
25 340 360 22 376 016 15 526 744 12 526 744 22 854 136 95 624 000
29 949 312 25 174 784 15 517 216 12 044 832 25 825 856 108 512 000
15 385 170 17 828 697 10 045 611 8 326 092 38 915 430 90 501 000
20 021 952 20 126 233 11 783 753 9 593 852 42 755 210 104 281 000
25 973 420 22 313 529 13 577 015 10 861 612 45 335 424 118 061 000
29 752 650 25 124 460 15 471 378 12 033 294 49 852 218 132 234 000
Sumber : diolah oleh Oil World 2009 dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal 2005
Indonesia menyadari bahwa ekspor minyak kelapa sawit dalam wujud primer kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan barang turunannya. Selain itu, akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara ekspor minyak kelapa sawit dan keperluan domestik. Bila hal ini terus dilakukan maka akan menyebabkan pengembangan industri hilir menjadi lambat. Hingga tahun 2010, peluang pasar Indonesia dari sisi konsumsi domestik diperkirakan tumbuh antara 4 persen sampai 6 persen per tahun, sedangkan dari sisi ekspor adalah sekitar 5 persen sampai 8 persen per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa
2
pengembangan industri hilir minyak sawit perlu terus ditingkatkan (Departemen Perindustrian, 2009). Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan “kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah”. Menurut data Kementerian Perindustrian, CPO bisa memberikan nilai tambah 180 persen jika diolah menjadi margarin, 300 persen untuk fatty acid, dan 400 persen untuk fatty alcohol. Bahkan, pengelolaan menjadi produk kosmetik mampu memberikan nilai tambah hingga 1 200 persen dari harga minyak sawit mentah. Data nilai tambah industri turunan minyak sawit mentah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah Produk Minyak sawit mentah Minyak goring RBD stearine Margarine/shortening Confectionaries Fatty acid Fatty alcohol Surfaktan Kosmetik
Nilai Tambah (%) 0 60 90 180 200 300 400 800 1 200
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 dalam Demis (2011)
Diversifikasi produk hilir minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dikelompokkan menjadi produk pangan sejumlah 90 persen dan produk-produk nonpangan sejumlah 10 persen berupa produk-produk sabun dan oleokimia. Penggunaan minyak sawit terbesar di Indonesia adalah untuk minyak goreng sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan shortening/margarin menjadi
3
sekitar 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia dan bentuk-bentuk lainnya (Affudin, 2007). Kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan bahan baku minyak goreng dan sebagai biofuel yang berperan untuk mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, sehingga industri hilir untuk minyak goreng, margarin, dan sabun kekurangan input CPO. Akibatnya produksi dalam negeri untuk ketiga komoditas tersebut masih rendah. Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi minyak sawit yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler effect) yang sangat signifikan. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan. Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 10 persen produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. 1.2.
Perumusan Masalah Penyerapan minyak kelapa sawit oleh industri domestik masih rendah. Hal
ini berhubungan dengan kapasitas produksi industri hilir berbahan baku minyak sawit. Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dalam Nuryanti (2008) mencatat serapan minyak sawit untuk industri minyak goreng domestik 4
yang merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1.9 juta ton per tahun dari rata-rata produksi minyak sawit Indonesia dari 1984-2007 yaitu 6.2 juta ton. Begitu juga, industri hilir yang lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang sehingga belum banyak menyerap minyak sawit. Hal ini disebabkan masih rendahnya investasi pada sektor hilir sebagai akibat diantaranya kurangnya dukungan pemerintah. Produksi CPO Indonesia mencapai 43 persen dari total kebutuhan CPO pasar dunia sebasar 42 904 ton. Ekspor minyak sawit indonesia yang tinggi, merupakan hal yang harus dibatasi dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit. Pemerintah hanya mengekspor CPO, sementara pengolahan tidak dilakukan. Padahal saat ini, negara-negara tujuan ekspor minyak sawit telah mengolah minyak sawit dalam berbagai bentuk produk turunan dan hasil yang jauh melebihi nilai ekspor1. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditas ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80 persen dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Negara utama tujuan ekspor minyak sawit sawit Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33 persen dimana lebih dari 90 persen minyak sawit di negara tersebut digunakan sebagai minyak goreng, dan sisanya digunakan sebagai bahan dasar makanan dan produkproduk lain seperti sabun, cokelat, es krim, kosmetik, dan juga alat pembersih. Cina sebesar 13 persen sebagian besar minyak sawit digunakan di industri katering, pengolahan makanan, produk konsumen, dan kimia. Belanda sebesar 9 1
http://bp2t.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:mendesak-industrihilir-kelapa-sawit&catid=25:the-project. Mendesak, Industri Hilir Kelapa Sawit. Diakses tanggal 27 Maret 2012.
5
persen, penggunaan minyak sawit di Belanda sebagai komplementer bagi minyak kedelei. Potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit di Indonesia mengindikasikan bahwa minyak sawit mempunyai prospek positif kedepan, khususnya terkait nilai tambah. Berkaitan dengan nilai tambah, maka disusun naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010. Di dalam naskah tersebut dituliskan mengenai pengembangan produk (Hilir dan Sampingan) dan peningkaan nilai tambah. Pembentukkan klaster industri kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan, yang didukung dengan : (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping, serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Saat ini konsumsi terhadap minyak goreng, margarin, dan sabun meningkat, karena tumbuhnya industri jasa boga yang membutuhkan minyak goreng dan margarin, serta perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung oleh peningkatan pendapatan. Kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan gaya hidup juga menyebabkan peningkatan pada konsumsi sabun di Indonesia.
6
Diharapkan produksi terhadap produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun dapat ditingkatkan. Pengembangan produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen dan meningkatkan nilai tambah. Apabila industri hilir dikembangkan maka industri hulu pun akan ikut berkembang. Dalam rangka membangun satu unit industri hilir CPO yang menghasilkan barang jadi (minyak goreng, margarin, dan sabun), dibutuhkan kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan TBS seluas 150 000-200 000 ha. Dapat diketahui bahwa pengembangan industri hilir akan memperbesar peluang pemanfaatan, mengkreasikan permintaan, dan memperkuat posisi industri sawit secara keseluruhan (Affudin, 2007). Terkait kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan industri hilir kelapa sawit, kebijakan moneter melalui instrumen tingkat suku bunga dapat mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. Diduga penurunan tingkat suku bunga, akan meningkatkan keinginan investor dalam berinvestasi pada industri hilir kelapa sawit, khususnya industri minyak goreng, margarin, dan sabun, sehingga produksi akan meningkat. Apabila terjadi peningkatan tingkat suku bunga maka akan menurunkan investasi pada industri hilir kelapa sawit yang juga menurunkan produksinya. Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun?
7
2. Bagaimana dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis
faktor - faktor yang berpengaruh terhadap produksi produk turunan minyak sawit dan dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Secara spesifik tujuan penelitian ini: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. 2. Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia. 1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukkan
yang bermanfaat bagi semua pihak yaitu : 1. Bagi pemerintah, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukkan kebijakan terkait dengan industri produk turunan minyak sawit. 2. Bagi para pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam mengembangan produk turunan minyak sawit. 3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan produk turunan minyak sawit. 5. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah.
8
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi bagi industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit, yaitu minyak goreng, margarin (produk pangan) dan sabun (produk nonpangan). Fokus penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa minyak goreng, margarin, dan sabun merupakan kebutuhan masyarakat yang paling dominan dari produk turunan minyak sawit. Keterbatasan penelitian ini antara lain: tidak dibedakan bentuk dan kualitas, baik pada komoditas minyak sawit maupun produk turunan minyak sawit yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam penelitian ini tidak menganalisis ekspor dan impor bagi minyak goreng, margarin, dan sabun. Dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi turunan minyak sawit hanya fokus pada kebijakan moneter dengan instrumen tingkat suku bunga.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa Negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al. 2002). Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi dibanding bagian lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada umur 30 bulan setelah tanam. Buah pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang rendah. Buah kelapa sawit normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir berisi sekitar 10-18 butir tergantung kepada kesempurnaan penyerbukan. Bulir-bulir ini menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Setiap TBS berisi sekitar 2000 buah sawit. TBS inilah yang dipanen dan diolah di Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) (Buana et al. 2007). Tanaman kelapa sawit terbagi atas tipe jenis berdasarkan karakter ketebalan cangkang buahnya yaitu dura (D), tenera (T), dan pisifera (P). Kelapa
10
sawit dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera yang memiliki ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera (hampir) tidak mempunyai inti dan cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga memiliki cangkang intermediate (0,5-4 mm) dan merupakan tipe umum yang digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan persentase inti/buah (berasosiasi dengan rendaman inti) (Buana et al. 2007). Karakteristik tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera Tipe Cangkang (mm) Mesokarp/buah (%) Inti/buah (%) Dura 2-5 20-65 4-20 Tenera 1-2,5 60-90 3-15 Pisifera Tidak ada 92-97 3-8 Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007 dalam Lalang, 2007
2.2.
Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576
11
ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al. 2002). Awal pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294 560 ha dengan produksi CPO sebesar 721 172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat (Fauzi et al. 2002). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO) . 2.3.
Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai unit ekstraksi crude palm oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan
12
kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting di antaranya : 1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah 2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll. Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya. Menurut SK Menteri Pertanian No 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al. 2007).
13
2.4.
Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7 ton/ha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 ton/ha. Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al. 2007). CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan, 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya. Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product. Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan, 2006). Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD Palm Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk
14
memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan, 2006). PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO menghasilkan RBD PKO (refined, bleached and deodorized palm kernel oil). Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn, dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa butter equivalent (Siahaan, 2006). 2.4.1. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Minyak goreng sawit merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Kebutuhan minyak goreng terus meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk,
berkembangnya
pabrik
dan
industri
makanan,
dan
meningkatnya konsumsi minyak goreng untuk memasak. Sebagai salah satu komoditas strategis yang termasuk dalam 9 bahan makanan pokok, konsumsi masyarakat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 16.5 kg per kapita per tahun, dimana 12.7 kg merupakan konsumsi per kapita minyak goreng sawit. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berkisar 225 juta jiwa, maka konsumsi minyak goreng diperkirakan mencapai 3.7 juta ton per tahunnya. Permintaan minyak
15
goreng tersebut diperkirakan akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk2. Berdasarkan tabulasi data dapat diinformasikan bahwa pabrik minyak goreng di Indonesia telah berkembang di 13 provinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera, kemudian Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Lima propinsi terluas berturut-turut adalah Sumatera utara (30.46 persen), Riau (24.83 persen), DKI Jakarta (13.01 persen), Jawa timur (9.62 persen), dan Sumatera selatan (7.18 persen). Data 10 pelaku usaha terbesar beserta kapasitas produksi dan market share masing-masing perusahaan minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5 (Prasetowo et al. 2008) : Tabel 5. Data 10 Pelaku Usaha Terbesar Beserta Kapasitas Produksi dan Market Share masing-masing Perusahaan Minyak Goreng di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pelaku Usaha Wilmar Group (5 perusahaan) Musim Mas (6 perusahaan) Permata HIjau Group (3 perusahaan) PT Smart Salim Group PT Bina Karya Prima PT Tunas Baru Lampung (Sungai Budi Group) BEST Group PT Pacifik Palmindo Industri PT Asian Agro Agung Jaya RGM Group Lainnya Total
Kapasitas Produksi (Ton/tahun) 2 819 400 2 109 000 932 000
Market Share (%) 18.27 13.67 6.04
713 027 654 900 370 000 355 940
4.62 4.24 2.40 2.31
341 500 310 800 307 396
2.04 2.01 1.99
6.542.637 15.430.000
42.40 100.00
Sumber : Bank Indonesia, 2008
Dilihat dari bahan bakunya, minyak goreng yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005 meningkat hingga sekitar 1 juta ton. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6. 2
http://www.scribd.com/doc/77898667/11/Produksi‐dan‐Konsumsi‐Minyak‐Goreng‐Sawit‐ Nasional. Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Nasional. Di akses tanggal 16 juli 2012.
16
Tabel 6. Peningkatan Konsumsi Minyak Goreng Tahun 1999-2005 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Konsumsi Per Kapita (Ton) 141.50 347.00 658.20 962.03 976.62 991.22 1005.82
Sumber : BPS, 2012
Menurut data Kementerian Perindustrian (2005), produksi minyak goreng Indonesia pada tahun 2005 meningkat hingga 11.6 persen atau sekitar 6.43 juta ton, sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16.5 Kg per tahun dengan konsumsi per kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12.7 kg per tahun. Perkembangan produksi minyak goreng Indonesia hingga tahun 2005 dan peningkatan konsumsi nasional minyak goreng disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa dan Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Minyak Goreng Kelapa 0.22 0.23 0.95 0.99 1.04
Minyak Goreng Sawit 3.89 4.20 4.22 4.77 5.39
Total 4.11 4.43 5.17 5.76 6.43
Pertumbuhan (%) 7.8 16.7 11.4 11.6
Sumber : Data Consult,2006 dalam Erliza,et al. 2008)
Dengan porsi hanya sekitar 30 persen dari produksi CPO, pengadaan bahan baku untuk minyak goreng sawit dalam negeri sebenarnya tidak mengalami kendala. Namun, kecenderungan naiknya permintaan CPO di pasar dunia yang merupakan bahan baku minyak goreng dan sebagai bioeful yang berperan untuk mensubstitusikan minyak bumi membuat pengusaha ingin mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan CPO ke luar negeri, dengan kata lain daya tarik pasar ekspor menjadi prioritas pengusaha, Akibatnya pasokan minyak
17
goreng domestik terancam langka, sebab kelangkaan minyak goreng bisa terjadi karena kekurangan salah satu komponen minyak goreng yaitu CPO. 2.4.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Margarin di Indonesia Diantara subsektor industri yang perkembangannya sangat pesat adalah subsektor industri pangan. Salah satu jenis industri pangan yang dibutuhkan dan pemakaiannya terus meningkat akibat permintaan semakin banyak adalah industri margarin. Selama ini Indonesia masih mengimpor margarin dari berbagai Negara, karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Pada tahun 2001-2006 impor margarin Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2007-2010 mengalami penurunan. Kuantitas impor margarin selama tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kuantitas Impor Margarin Indonesia Tahun 2001-2010 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Volume Impor (kg) 2 202 490 2 302 700 2 863 986 3 226 603 3 500 842 5 781 229 4 315 142 4 932 611 3 968 565 4 224 185
Nilai (US $) 2 045 949 1 929 918 2 866 048 2 930 147 4 432 450 7 095 733 7 433 683 11 758 302 14 542 000 185 34 526
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2012
Industri margarin merupakan salah satu industri yang sudah cukup lama berkembang di Indonesia dan hingga saat ini tercatat sekitar 17 perusahaan yang bergerak dalam industri ini. Kendati sudah berkembang cukup lama, ternyata untuk meningkatkan kemampuan produksi dan mendongkrak pangsa pasar tetap saja perusahaan mengalami kesulitan. Kapasitas 17 perusahaan margarin di Indonesia memiliki total kapasitas produksi 357 900 ton per tahun. Industri margarin tersebar pada enam provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
18
Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Kapasitas terbanyak yaitu di provinsi DKI Jakarta sebesar 230 700 ton per tahun, dengan jumlah perusahaan industri margarin sebanyak enam perusahaan. Kapasitas produksi terkecil berada di provinsi Sumatera Barat sebesar 660 ton per tahun dengan satu perusahaan industri margarin (Anita 2011). Produsen industri margarin Indonesia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Produsen Industri Margarin Indonesia No 1 2 3 4 5 6 Total
Provinsi
Perusahaan Industri Margarin
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Barat Sumatera Utara
6 3 3 1 3 1 17
Kapasitas Produksi (Ton/thn) 230 700 31 700 85 500 900 8 440 660 357 900
Sumber : PT.CIC , 2011 dalam Fuji, 2011
Sebagai produsen terbesar ke dua untuk kelapa sawit, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan produk margarin. Kebutuhan margarin tidak hanya untuk rumah tangga tetapi juga oleh berbagai industri makanan. Perkembangan produksi margarin di Indonesia tahun 2003 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perkembangan Produksi Margarin Indonesia Tahun 2003 – 2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi Margarin (000 Kg) 405.40 214.40 23.30 61.00 53.00 45.10 275.80 283.90
Harga (Rp/Kg) 10 124 11 351 10 053 10 053 12 073 13 319 13 882 14 256
Sumber : BPS diolah (2012)
Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa produksi margarin Indonesia sangat berfluktuatif. Terjadi penurunan yang sangat drastis pada tahun 2004 ke 2005 19
yaitu dari jumlah produksi 214.40 (000 Kg) menjadi 23.30 (000 Kg), kemudian pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi lagi sebesar 275.80 (000 Kg). Penurunan produksi margarin di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010, tidak diikuti oleh penurunan harga jual margarin tersebut yang terbukti nilainya dari tahun ke tahun semakin besar, sehingga pengembangan margarin masih menjadi peluang yang besar. Penggunaan margarin di Indonesia semakin meluas. Menurut hasil penelitian INDOCOMMERCIAL, No.417-16 Mei 2010, selain industri roti, industri biskuit serta industri snack, margarin juga dikonsumsi oleh sektor industri lainnya seperti industri cokelat, perhotelan, jasa catering, restoran, rumah tangga, industri makanan jajanan seperti martabak dan lain-lain (Anita, 2011). Dari data BPS dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan konsumsi yang cukup tinggi pada tahun 2005 dan 2006 yaitu sebesar 25 252.38 (000 Kg) dan 25 580.31 (000 Kg). Perkembangan konsumsi margarin di Indonesia sejak tahun 2003 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Konsumsi Margarin di Indonesia Tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Konsumsi Margarin (000 Kg) 10 250.42 15 579.48 25 252.38 25 580.31 19 431.78 13 120.08 11 070.37 13 683.25
Sumber : BPS diolah (2012)
Konsumsi dan produksi margarin yang cukup tinggi di Indonesia membuka peluang yang sangat besar untuk pengembangan industri hilir atau produk turunan minyak sawit. Tingginya konsumsi margarin menambah peluang produksi margarin di Indonesia.
20
2.4.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Sabun di Indonesia Sabun merupakan salah satu produk turunan dari minyak sawit yang produksi dan konsumsinya cukup besar di Indonesia. Dengan gaya hidup masyarakat yang berkembangan dari waktu ke waktu, kebutuhan akan sabun mandi juga semakin meningkat, karena masyarakat saat ini sudah mulai peduli terhadap kebersihan. Data tahun 1991-1996 dapat diketahui bahwa sabun merupakan produk turunan terbesar ke empat setelah produk oleokimia. Produk hilir minyak sawit terbagi menjadi produk pangan 90 persen dan produk non pangan sebesar 10 persen berupa produk sabundan oleokimia. Penggunaan terbesar minyak sawit adalah untuk minyak goreng yaitu sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan margarin menjadi 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia, dan bentuk lainnya (Affudin, 2007). Pangsa bentuk konsumsi minyak sawit Indonesia tahun 1991 – 1996 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996 Tahun
Pangsa Bentuk Konsumsi Minyak Margarin Sabun Oleokimia Goreng 1991 72.5 4.3 6.5 16.0 1992 71.0 3.5 5.4 13.7 1993 72.2 4.0 5.8 15.5 1994 70.5 3.8 5.3 16.5 1995 70.2 3.6 5.0 16.6 1996 70.0 3.5 4.7 16.6 70.9 3.8 5.4 15.8 Rata – rata Sumber : Saragih 1998 dalam Affudin 2007
Lainnya 0.7 6.4 2.5 3.9 4.6 5.2 4.1
Industri sabun di Indonesia berpusat di pulau Jawa, mencapai 33 industri berkapasitas total sebesar 335 848 ton, terdiri dari 21 industri sabun mandi berkapasitas 278 230 ton dan 12 industri sabun cuci berkapasitas sebesar 57 618 ton. Di Sumatera Utara sebanyak 8 industri terdiri dari 2 industri sabun mandi dan
21
6 industri sabun cuci, masing-masing kapasitas produksi sebesar 11 400 dan 39 200 ton (Affudin, 2007). Sabun mandi yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia baik diperkotaan maupun di pedesaan adalah sabun mandi batang. Produksi sabun mandi batang di Indonesia juga sangat berkembang. Perkembangan produksi dan harga sabun batang di Indonesia tahun 2003-2010 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang Indonesia Tahun 2003 – 2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi Sabun Batang (000 Buah) 614.3 2469.9 3174.1 2756.9 2931.3 6148.4 4963.9 3779.4
Harga Sabun Batang (Rp/buah) 1281 1206 972 880 992 1055 1052 1039
Sumber : BPS diolah (2012)
Berdasarkan Tabel 13 bahwa perkembangan produksi sabun batang di Indonesia berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Produksi terbesar yang dapat dilihat pada Tabel 13 yaitu tahun 2008 sebesar 6148.4 buah, walaupun produksinya cukup tinggi namun harga sabun batang tersebut tetap tinggi yaitu 1055 (Rp/buah). Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi batang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia. 2.5.
Kebijakan Industri Hilir dan Peningkatan Nilai Tambah Kelapa Sawit Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi
berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui :
22
1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yangbelum ada pabrik MGS. 2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi. 3. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan Negara penghasil CPO. 4. Fasilitas pengembangan biodiesel. 5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing. 2.6.
Kebijakan Tingkat Suku Bunga di Indonesia Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung
menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi. Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah produksi menurun (Sudirman, 2011). Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen. Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat
23
keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat dilihat pada Tabel 14. Tebel 14. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I. Tahun
Triwulan
2006
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2007
2008
2009
2010 Rata-rata
Tingkat Suku Bunga Kredit (%) 16.34 16.23 16.00 15.35 14.70 14.08 13.56 13.11 12.94 12.95 13.50 15.01 15.10 14.67 14.31 13.91 13.66 694.69
Pertumbuhan (%) 3.55 -0.67 -1.42 -4.06 -4.23 -4.22 -3.69 -3.32 -1.30 0.08 4.25 11.19 0.60 -2.85 -2.45 -2.80 -1.80 -72.87
16.16
-1.69
Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI (diolah) dalam Sofia (2011)
2.7.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kelapa sawit sudah banyak dilakukan, baik mengenai
dampak kebijakan, industri hilir, ataupun industri hulunya. Novindra (2011), meneliti dengan judul dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap
24
kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016. Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous veriable, sehingga total variabel endogen dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan criteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan
25
dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Suharyono (1996), melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja, Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam runtun waktu (time series), periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares (LTSLS). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 19691993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi, dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit
26
Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Disisi lain selama kurun waktu 1984-1993, volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80 persen per tahun. Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan untuk
produk
hasil
pertanian.
Demikian
juga
untuk
perkembangan
permintaan.permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan. Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat subtitusi.
27
Peubah trend (teknologi) ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE. Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional. Bona (2008), meneliti dengan judul pengaruh ekspor CPO terhadap harga minyak goreng sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat
28
analisis Two Stages Least Square (2SLS). Adapun model yang dirumuskan terdiri dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas. Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen, harga domestic CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilai tukat (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen.secara ekonomi, terdapat satu variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 9.20 persen. Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS (PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS (CCPO), dan ekspor CPO satu tahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel produksi minyak goreng satu tahun lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilai yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang tidak signifikan yaitu harga domestic CPO dan impor CPO (MCPO). Model dapat menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-hit menunjukkan signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Prilaku konsumen MGS domestik dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilai tukar (ER) sebesar 95 persen,dan konsumsi MGS sebelumnya (CMGS1) sebesar 89 persen, hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidak signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS 87,89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
29
Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, harga CPO dunia (PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga pada tahun sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanya variabel nilai tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu, model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar 56.86 persen dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel diluar model dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Berdasarkan simulasi pada kenaikan harga CPO dunia (PWCPO) sebesar sepuluh persen, kenaikan tersebut berdampak pada peningkatanseluruh variabel. Perubahan terbesar ada pada variabel harga minyak goreng sawit, dimana kenaikan harga CPO dunia sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknya harga minyak goreng sawit sebesar 3.364 persen. Presentasi perubahan terendah ada pada variabel XCPO, dimana perubahannya sebesar 0.189 persen. Peningkatan PE sebesar satu persen ternyata mengakibatkan semua veriabel mengalami penurunan. Perubahan terbesar terjadi pada variabel PMGS, dimana peningkatan sebesar satu persen dari PEakan mengakibatkan penurunan PMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa kebijakan PE ternyata memang memilikidampak terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikan PE ini ternyata juga mengakibatkan penurunan dari sisi produksi dan konsumsi MGS. 2.7.
Keterbaruan Penelitian Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan
penelitian Suharyono (1996), Bone (2008), dan Novindra (2011). Penelitian
30
Novindra (2011), yaitu dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Perbedaan penelitian Novindra (2011) dengan penelitian ini adalah pada tujuan dari penelitian ini. Penelitian Novindra (2011) memiliki tujuan untuk melihat dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia, sedangkan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia dan hanya melihat dampak kebijakan suku bunga terhadap produksi produk turunan kelapa sawit. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharyono (1996) adalah pada perumusan model berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit untuk komoditas minyak goreng sawit, margarin, dan sabun. Perbedaannya dengan penelitian Suharyono (2008) adalah pada model ekonometrika yang digunakan, pada penelitian Suharyono (2008), menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Square (LTSLS). Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Selain itu ruang lingkup dan komoditas yang diteliti dalam penelitian ini juga berbeda, pada penelitian Suharyono (1996), ikut melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap kelapa sawit dan produk turunannya, kemudian komoditas yang diteliti adalah minyak sawit,
31
minyak goreng sawit, margarin, dan sabun sedangkan pada penelitian ini lebih kepada industri hilir kelapa sawit yaitu minyak goreng sawit, margarin, dan sabun untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit tersebut. Dampak kebijakan yang dilihat hanya terhadap suku bunga uang. Penelitian
Bone
(2008),
yaitu
menentukan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia, menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit dan mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model ekonometrika. Perbedaan penelitian Bone (2008) dengan penelitian ini adalah Komoditas yang digunakan berbeda, Bone hanya fokus pada minyak goreng sawit dan CPO sedangkan penelitian ini terhadap minyak goreng sawit, margarin, dan sabun.
32
III. 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Fungsi Produksi dan Penawaran Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam
transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984 dalam Novindra, 2011). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditas pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Y = f(X1,X2,X3,X4) …………………………………………………....(3.1) Keterangan : Y
= Output: minyak goreng (kg); margarin (kg); sabun (batang)
X1
= Jumlah minyak sawit (Kg)
X2
= Jumlah modal (Unit)
X3
= Jam tenaga kerja (HOK)
X4
= Faktor produksi lainnya
Digambarkan secara sederhana fungsi produksi minyak goreng, margarin, dan sabun adalah: Y1
= f(MS1, M1, TK1) .....................................................................(3.2)
Y2
= f(MS2, M2, TK2) .....................................................................(3.3)
Y3
= f(MS3, M3, TK3) .....................................................................(3.4)
Keterangan: Y1
= Produksi minyak goreng (Kg)
Y2
= Produksi margarin (Kg)
Y3
= Produksi sabun (Batang)
33
MS1
= Jumlah minyak sawit untuk produksi minyak goreng (Kg)
MS2
= Jumlah minyak sawit untuk produksi margarin (Kg)
MS3
= Jumlah minyak sawit untuk produksi sabun (Kg)
M1
= Jumlah modal untuk produksi minyak goreng (Unit)
M2
= Jumlah modal untuk produksi margarin (Unit)
M3
= Jumlah modal untuk produksi sabun(Unit)
TK1
= Jam tenaga kerja untuk produksi minyak goreng (HOK)
TK2
= Jam tenaga kerja untuk produksi margarin (HOK)
TK3
= Jam tenaga kerja untuk produksi sabun (HOK)
Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Dalam melengkapi analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, selanjutnya perlu juga diteliti peranan faktor-faktor lainnya dalam mempengaruhi jumlah barang yang ditawarkan. Dolan (1974) dalam Novindra (2011), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain (sebagai kompetisi/komplementernya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam. 3.2.
Permintaan Minyak Goreng Sawit/Margarin/Sabun Secara umum, fungsi permintaan konsumen terhadap suatu barang
diturunkan dari fungsi utillitas konsumen. Diasumsikan fungsi utilitas konsumen adalah (Novindra, 2011) :
34
U = u (CA, CB) ……………………………………………………… (3.5) Dimana U adalah total uttilitas konsumen dari konsumsi minyak goreng sawit/margarin/sabun (CA) dan Produk lain (CB). Konsumen yang rasional akan berupaya memaksimumkan utilitas pada tingkat harga yang berlaku dan sesuai dengan kendala pendapatan (I). PA*CA + PB*CB = I ………………………………………………… (3.6) Atau PA*CA + PB*CB – I = 0 Dimana PA adalah harga minyak goreng sawit/margarin/sabun dan PB adalah harga produk lain. Dengan pendekatan Lagrangian Multipliers, persoalan maksimisasi berkendala di atas dapat dinyatakan sebagai berikut. Maksimum : U = u (CA, CB) Dengan kendala : PA*CA + PB*CB = I Fungsi komposit berupa gabungan dari kedua fungsi di atas atau disebut sebagai fungsi Lagrangian dapat ditulis sebagai berikut. Ø = U=u(CA,CB)-λ(PA*CA+PB*CB-I) ………………………………. (3.7) Untuk mendapatkan utilitas maksimum, maka syarat pertama adalah turunan parsial dari fungsi Lagrangian harus sama dengan nol. =
– λ(PA) = 0 ………………………………………………...(3.8)
=
– λ(PB) = 0 ………………………………………………... (3.9)
= (PA*CA + PB * CB – I)= 0 …………………………………….... (3.10) Dari persamaan (3.8), (3.9), dan (3.10) di atas diperoleh : =
λ(PA) atau λ =
/
…………………………………………
(3.11)
35
= λ(PB) atau λ =
/
………………………………………….(3.12)
PA*CA+PB*CB = I ………………………………………………….. (3.13) Diketahui ∂U/∂CA = MUA dan ∂U/∂CB = MUB maka : λ = MUA / PA = MUB / PB …………………………………………....(3.14) dan MUA / MUB = PA / PB = MRSA,B ………………………………………...(3.15) yang menyatakan bahwa kepuasan konsumen akan maksimum pada kondisi dimana rasio marjinal utilitas terhadap harga sama untuk semua komoditas, yaitu sebesar koefisien pengganda lagrangian (λ). Penyelesaian PA dan PB pada persamaan (3.15) dan kemudian subtitusikan ke dalam persamaan (3.13), maka dapat diperoleh fungsi permintaan terhadap minyak goreng sawit/margarin/sabun, yaitu : CA =f(PA, PB, I) …………………………………………………........(3.16) Yang menyatakan bahwa konsumsi atau permintaan konsumen terhadap minyak goreng
sawit/margarin/sabun
ditentukan
oleh
harga
minyak
goreng
sawit/margarin/sabun itu sendiri, harga produk lain, dan pendapatan konsumen. Dengan asumsi bahwa permintaan tersebut bersifat dinamis maka elastisitas permintaan minyak goreng sawit/margarin/sabun terhadap harga minyak goreng sawit/margarin/sabun, harga produk lain, dan terhadap pendapatan dapat dihitung, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Novindra, 2011). Mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktorfaktor yang mempengaruhinya, dapat digunakan konsep elastisitas. Untuk model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun persamaan untuk mendapat nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah (Novindra, 2011):
36
Elastisitas Jangka Pendek (ESR) ESR =
*
=b
…………………………………………………... (3.17)
Elastisitas Jangka Panjang (ELR) ELR=
ESR
………………………………………………………..... (3.18)
Keterangan :
3.3.
b
= Parameter dugaan dari variabel eksogen
blag
= Parameter dugaan dari lag endogen
X
= Rata-rata variabel eksogen
Y
= Rata-rata variabel endogen
Kerangka Operasional Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting
bagi perekonomian Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan dua minyak yaitu minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit. Indonesia merupakan pengekspor CPO terbesar di dunia, dan diprediksi permintaan CPO dunia akan terus meningkat. Indonesia harus terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit, agar dapat memenuhi permintaan dunia terhadap CPO. Salah satunya dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu saja menjadi ancaman yang berarti bagi Indonesia. Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengekspor bahan mentah dari kelapa sawit berupa CPO saja. Perlu adanya pengembangan industri hilir kelapa sawit, dimana seperti yang kita tahu produk turunan kelapa sawit seperti minyak goreng, margarin, dan sabun memberikan nilai tambah yang lebih dibanding dengan minyak mentah kelapa sawit.
37
Bukan hanya itu, kebutuhan domestik terhadap ke tiga jenis produk turunan minyak sawit seperti minyak goreng, margarin, dan sabun
semakin
meningkat. Pengembangan industri hilir minyak sawit di Indonesia masih rendah, oleh karena itu industri hilir kelapa sawit perlu di dorong agar lebih maju dan berkembang. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri sawit memanfaatkan CPO sebagai bahan bakunya meliputi (Departemen Perindustrian, 2009): 1. Penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya 2. Pertumbuhan subsektor ekonomi lainnya 3. Pengembangan wilayah industri 4. Proses alih teknologi 5. Perluasan lapangan kerja 6. Penghematan devisa 7. Penerimaan peningkatan pajak bagi pemerintah Pengembangan produksi hilir dari kelapa sawit juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan moneter berupa tingkat suku bunga juga memberikan dampak terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Hal ini terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa dengan penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi. Meningkatnya invetasi diharapkan dapat meningkatkan modal bagi perusahaan hilir minyak sawit sehingga dapat meningkatkan produksi.
38
Permintaan CPO Dunia meningkat
Ekspor CPO Indonesia Tinggi
Produktivitas Minyak Sawit sehingga mendorong penambahan areal tanam kelapa sawit
Pengembangan Industri Hilir Rendah
Perlu Pengembangan Industri Hilir Rendah (Industri Hilir Dominan di Indonesia : minyak goreng margarin dan sabun)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan minyak Sawit di Indonesia yaitu minyak goreng, margarin, dan sabun (Model Persamaan Simultan)
Mengkaji dampak kebijakan penurunan suku bunga sebesar 20 persen terhadap produksi minyak goreng, margarin, dan sabun di Indonesia
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 1. Diagram Alur Pemikiran Operasional
39
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi produk turunana kelapa sawit. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Dari model yang dibuat dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit, untuk minyak goreng, margarin, dan sabun. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, hasil analisis diharapkan dapat menjadi literatur untuk penelitian berikutnya. Secara garis besar, kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar 1.
40
IV. 4.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam
bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 20 tahun, yaitu tahun 1990-2010. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah atau lembagalembaga terkait lainnya yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet. 4.2.
Metode Analisis dan Pengelolaan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu model persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam model persamaan simultan diduga dengan metode 2SLS menggunakan software SAS. 4.3.
Spesifikasi Model Model yang dirumuskan dalam penelitian terdiri dari 10 persamaan
struktural dan 3 persamaan identitas, yaitu persamaan: produksi minyak goreng sawit; produksi margarin; produksi sabun; Persamaan permintaan dan penawaran minyak goreng; permintaan dan penawaran margarin; permintaan dan penawaran sabun; harga minyak sawit; harga minyak goreng, margarin, dan sabun. Adapun model ekonometrika pada penelitian ini dibagi menjadi 3 blok yaitu blok minyak goreng sawit, blok margarin, dan blok sabun.
41
4.3.1. Blok Minyak Goreng Sawit Blok minyak goreng sawit terdiri dari persamaan: produksi, penawaran, permintaan, dan harga domestik. Mengingat pangsa ekspor minyak goreng sawit lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya di analisis pada tingkat domestik. 4.3.1.1.Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik Produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak goreng domestik, laju pertumbuuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga uang, dan produksi minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai : PMGSDt = a0 + a1 HRMGSDt + a2 THRMSDt + a3 TBt + a4 PMGSDt-1 + U1...(4.1) Diharapkan : a1 > 0 ; a2,a3<0 ; 0 < a4 < 1 Keterangan : PMGSDt
= Produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)
HRMGSDt
= Harga minyak goreng sawit domestik (000 Rp/ton)
THRMSDt
= Laju pertumbuhan harga minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
TBt
= Tingkat suku bunga Kredit (persen)
PMGSDt-1
= Lag produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)
U1
= Peubah pengganggu
4.3.1.2.Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik Permintaan minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit domestik, pendapatan riil perkapita Indonesia, permintaan minyak
42
goreng sawit pada sebelumnya. Model persamaan struktural bagi permintaan minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : DMGSDt = bo + b1HRMGSDt + b2PDKt + b3DMGSDt-1 + U2 .........................(4.2) Diharapkan : b2 > 0 ; b1 < 0 ; 0 < b3 < 1 Keterangan : DMGSDt
= Permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)
HRMGSDt
= Harga riil minyak goreng sawit (000 Rp/ton)
PDKt
= Pendapatan riil perkapita Indonesia (000 Rp/ jiwa)
DMGSDt-1
= Lag permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton)
U2
= Peubah pengganggu
4.3.1.3.Persamaan Penawaran Minyak Goreng Domestik Persamaan penawaran minyak goreng domestik dipandang sebagai residual yang dibentuk dari sisa produksi minyak goreng sawit domestik setelah dikurangi dengan ekspor minyak goreng sawit domestik. Model persamaan identitas bagi penawaran minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : SMGSDt
= PMGSDt – EXMGSDt …………….......................... (4.3)
Keterangan : SMGSDt
= Penawaran minyak goreng sawit domestik (000 ton)
EXMGSDt
= Ekspor minyak goreng sawiit domestik (000 ton)
4.3.1.4.Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Domestik Harga minyak goreng sawit domestik dipengaruhi oleh excess permintaan minyak goreng sawit domestik, tren, dan harga minyak goreng sawit domestik
43
tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi harga minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : HRMGSDt = c0 + c1 EXDMGSDt + c2 Tt + c3 HRMGSDt-1 + U3………..........(4.4) Diharapkan : c1,c2 > 0 ; 0 < c3 < 1 Keterangan : EXDMGSDt = Excess permintaan minyak goreng sawit domestik (000 ton) T
= Tren Harga
HRMGSDt-1 = Lag harga minyak goreng sawit domestik (Rp/Kg) U3
= Peubah pengganggu
4.3.1.5.Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik Harga minyak sawit domestik dipengaruhi oleh penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya, permintaan minyak sawit domestik, dan harga minyak sawit dunia. Model persamaan struktural bagi harga minyak sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : HMSDt = do + d1 LSMSDt + d2 DMSDt + d3 HMSWt + U4 .............................(4.5) Diharapkan : d2,d3,>0 ; d1<0 ; Keterangan : HMSDt
= Harga minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
LSMSDt
= Penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)
DMSDt
= Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
HMSWt
= Harga minyak sawit dunia (US $/ton)
U4
= Peubah pengganggu
44
4.3.1.6.Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik Permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit domestik, harga margarin domestik, dan harga sabun domestik. Model persamaan struktural bagi permintaan minyak sawit dapat dirumuskan sebagai berikut: DMSDt = e0 + e1 LHRMSD + e2 LHRMGSDt + e3 HRMRDt + e4 THRSBD + U5....................................................................................................(4.6) Diharapkan : e2,e3,e4 > 0 ; e1<0 ; Keterangan: DMSD
= Permintaan minyak sawit domestik (000 ton)
LHRMSD
= Lag Harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
LHRMGSD
= Lag Harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/kg)
HRMRD
= Harga riil margarin domestik (Rp/kg)
THRSBD
= Laju pertumbuhan harga riil sabun (Rp/batang)
U5
= Peubah Pengganggu
4.3.2. Blok Margarin Domestik Blok margarin terdiri dari persamaan-persamaan produksi, penawaran, permintaan, dan harga domestik. Pangsa ekspor minyak goreng sawit lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya di analisis pada tingkat domestik. 4.3.2.1.Persamaan Produksi Margarin Produksi margarin domestik dipengaruhi oleh harga margarin domestik tahun sebelumnya, selisih harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga uang tahun sebelumnya, upah tenaga kerja industri dan produksi margarin tahun
45
sebelumnya. Model persamaan struktural bagi produksi margarin domestik dapat dirumuskan sebagai : PMRDt = f0 + f1 HRMRDt + f2 SHRMSDt + f3 TBt + f4 LUPRIN + f5 PMRDt-1 + U6.......................................................................................................................................................... (4.7) Diharapkan : f1 > 0 ; f2, f3, f4 < 0 ; 0 < f5 < 1 Keterangan : PMRDt
= Produksi margarin domestik (000 kg)
HRMRDt
= Harga riil margarin domestik (Rp/Kg)
SHRMSDt
= Selisih harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
TB
= Tingkat suku bunga kredit (persen)
LUPRINt
= Lag upah tenaga kerja industri (Rp/hari)
PMRDt-1
= Lag produksi margarin domestik (000 Kg)
U6
= Peubah pengganggu
4.3.2.2.Persamaan Permintaan Margarin Permintaan minyak margarin domestik dipengaruhi oleh harga margarin domestik tahun sebelumnya, jumlah penduduk Indonesia. Model persamaan struktural bagi permintaan margarin domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : DMRDt =go + g1HRMRDt +g2SGDPRt + g3PI+ U7 …....................................(4.8) Diharapkan : g2,g3> 0 ; g1 < 0 Keterangan : DMRDt
= Permintaan margarin domestik (000 kg)
HRMRDt
= Harga riil margarin domestik (Rp/Kg)
SGDPRt
= Selisih pendapatn nasional bruto Indonesia (milyar Rp)
PI
= Penduduk Indonesia (juta jiwa)
46
U7
= Peubah pengganggu
4.3.2.3.Persamaan Penawaran Margarin Domestik Penawaran margarin domestik dipandang terbentuk dari penjumlahan produksi margarin domestik dengan impor margarin domestik. Model persamaan identitas bagi penawaran margarin domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : SMRDt
= PMRDt + IMMRDt ………………........................................ (4.9)
Keterangan : SMRDt
= Penawaran margarin domestik (000 kg)
IMMRDt
= Impor margarin domestik (000 Kg)
4.3.2.4.Persamaan Harga Margarin Domestik Harga margarin domestik dipengaruhi oleh laju pertumbuhan permintaan margarin domestik, penawaran margarin domestik, tren, dan harga margarin domestik tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi harga margarin domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : HRMRDt = h0 + h1 SMRDt + h2 TDMRDt + h3 Tt + h4 HRMRDt-1 + U8…... (4.10) Diharapkan : h1 < 0;h2,h3>0; 0 < h4 < 1 Keterangan : SMRDt
= Penawaran margarin domestik (000 Kg)
TDMRD
= Laju pertumbuhan permintaan margarin domestik (000 Kg)
T
= Tren harga
HRMRDt-1
= Lag harga margarin domestik (Rp/Kg)
U8
= Peubah pengganggu
47
4.3.3. Blok Sabun Domestik Blok sabun terdiri dari persamaan-persamaan produksi, penawaran, permintaan, dan harga domestik. Pangsa ekspor minyak goreng sawit lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas ini hanya dianalisis pada tingkat domestik. 4.3.3.1.Persamaan Produksi Sabun Domestik Produksi sabun domestik dipengaruhi oleh harga sabun domestik, laju pertumbuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga uang, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri dan produksi sabun tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi produksi sabun domestik dapat dirumuskan sebagai : PSBDt = i0 + i1 HRSBDt + i2 HRMSDt + i3 TBt + i4 TUPRIN + i5 PSBDt-1 + U9 …………………..........................................................................(4.11) Diharapkan : i1 > 0 ; i2,i3,i4 < 0; 0 < i5 < 1 Keterangan : PSBDt
= Produksi sabun domestik (000 ton)
HRSBDt
= Harga sabun domestik (Rp/batang)
HRMSDt
= Harga riil minyak sawit domestik (000 Rp/ton)
TBt
= Tingkat suku bunga kredit (persen)
TUPRINt
= Laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri (Rp/hari)
PSBDt-1
= Lag produksi sabun domestik (000 ton)
U9
= Peubah pengganggu
48
4.3.3.2.Persamaan Permintaan Sabun Domestik Permintaan sabun domestik dipengaruhi oleh laju pertumbuhan harga sabun domestik, pendapatan nasional bruto Indonesia, laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, permintaan sabun pada sebelumnya. Model persamaan struktural bagi permintaan minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : DSBDt = jo + j1THRSBDt + j2GDPRt + j3 TPIt + j4 DSBDt-1 + U10 …(4.12) Diharapkan : j2, j3 > 0 ; j1 < 0 ; 0 < j4 < 1 Keterangan : DSBDt
= Permintaan sabun domestik (juta batang)
THRSBDt
= Laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/batang)
GDPRt
= Pendapatan nasional bruto Indonesia (milyar Rp)
TPIt
= Laju pertumbuhan penduduk Indonesia (juta jiwa)
DSBDt-1
= Lag permintaan sabun domestik (juta batang)
U10
= Peubah pengganggu
4.3.3.3.Persamaan Penawaran Sabun Domestik Penawaran sabun domestik dipandang terbentuk dari penjumlahan produksi sabun domestik dengan impor sabun domestik. Model persamaan identitas bagi penawaran sabun domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : SSBDt
= PSBDt + IMSBt ………………........................................... (4.13)
Keterangan : SSBDt
= Penawaran sabun domestik (000 ton)
IMSBt
= Impor sabun (ton)
49
4.3.3.4.Persamaan Harga Sabun Domestik Harga sabun domestik dipengaruhi oleh selisih penawaran sabun domestik, dan harga sabun domestik tahun sebelumnya. Model persamaan struktural bagi harga sabun domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : HSBDt =k0 +k1 SSSBDt + k2 HSBDt-1 + U11…………................................... (4.14) Diharapkan : k1 < 0 ; 0 < k2 < 1 Keterangan : SSSBDt
= Selisih penawaran sabun domestik (000 ton)
HSBDt-1
= Lag harga sabun doomestik (Rp/batang)
U11
= Peubah pengganggu
4.4.
Pengujian Model Pengujian model dalam penelitian ini meliputi identifikasi model, validasi
model, uji statistik-F, uji statistik t, uji statistik durbin-h, validasi model, dan simulasi historis. Berikut adalah uraian lengkap mengenai prosedur analisis dalam penelitian ini. 4.4.1. Identifikasi Model Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1997) dalam Novindra (2011), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh : (K-M) > (G-1) ……………………………......................................... (4.15) Keterangan : K = total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan predetermined
50
variable (current exogenous variable, lagged exogenous variable, dan lagged endogenous variable). M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K-M) > (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi berlebih (overidentified) (K-M) = (G-1) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K-M) < (G-1) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural variabel yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank
51
ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011). Pada penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 11 persamaan atau 11 variabel endogen (G), dan 40 predetermined variable terdiri dari 32 variabel eksogen dan 8 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 51 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 5 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. 4.4.2. Metode Pendugaan Model Berdasarkan hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal ini untuk menduga model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Square), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood) (Novindra, 2012).Pada penelitian ini menggunakan metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana, dan lebih muda (Gujarati 1999 dalam Novindra 2011). Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruuh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.
52
4.4.3. Uji Statistik-F Uji statistik-F adalah persamaan yang digunakan untuk mengetahui dan menguji apakah variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen (koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011). Hipotesis: H0 : β1 = β2 ….. = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 Keterangan : i = banyaknya variabel bebas dalam suatu persamaan Apabila nilai peluang (p-value) uji statistik-F < taraf α = 5% maka tolak H0. Tolak H0 berarti variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. 4.4.4. Uji Statistik-t Uji statistik-t adalah persamaan yang digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel eksogen berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen (Koutsoyiannis 1977 dalam Novindra 2011). Hipotesis: H0 : βi = 0 H1 : Uji satu arah a) βi > 0;
b) βi < 0
Uji dua arah c) βi ≠ 0 kriteria uji : Jika
H1: a) βi > 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0
53
H1: b) βi < 0, bila p-value uji t < α maka disimpulkan tolak H0 H1: b) βi ≠ 0, bila p-value uji t < α/2 maka disimpulkan tolak H0 Pada penelitian ini menggunakan uji satu arah dan taraf α = 15% sehingga jika nilai peluang (p-value) uji statistik-t < taraf α = 15% maka tolak H0. Tolak H0 berarti suatuvariabel eksogen berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. 4.4.5. Uji Statistik Durbin-h Apabila dalam persamaan terdapat variabel bedakala (lag endogenous variable) maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (DurbinWaston Statistic) tidak valid untuk digunakan (Pindyc dan Rubinfeld 1991 dalam Novindra 2011). Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistik dh (Durbin-h statis) hhitung = 1
…………………………................ (4.16)
Keterangan: d = dw statistik n = Jumlah observasi, dan var (β) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable. Jika ditetapkan taraf α = 0.05, diketahui -1.96 ≤ hhitung ≤ 1.96, maka disimpulkan persamaan tidak mengalami serial korelasi.selanjutnya jika diketahui nilai hhitung < -1.96, maka terdapat autokorelasi negatif, sebaliknya jika diketahui nilai hhitung > 1.96, maka terdapat autokorelasi positif (Pindyc dan Rubinfeld 1991 dalam Novindra 2011). 4.4.6. Validasi Model
54
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Pada penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah : root Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U Theil) (Pindyck and Rubinfield 1991 dalam Novindra 2011). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut :
RMSPE =
∑
……………………….................... (4.17)
∑
U Theil =
…………………….............. (4.18) ∑
∑
Keterangan : = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi = Nilai aktual variabel observasi n = Jumlah tahun observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U Theil bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai statistik U Theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif.
55
Adapun untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U Theil dan makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik. 4.4.7. Simulasi Historis Simulasi historis dilakukan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengevaluasi dampak kebijakan Bank Indonesia (penurunan Suku Bunga Bank Indonesia/SBI). Penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia domestik sebesar 20 persen. Dari sisi permodalan, dengan tingkat suku bunga pinjaman sekarang ini (16-17 persen per tahun) dirasa masih kurang kondusif untuk usaha perkebunan, termasuk kelapa sawit. Suku bunga yang ideal untuk usaha perkebunan adalah sekitar 12 persen per tahun. Melalui simulasi ini akan dianalisis dampak dari penurunan suku bunga BI terhadap industri kelapa sawit domestik (Novindra 2011).
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Produk Turunan Minyak Sawit di Indonesia Model ekonometrika produk turunan minyak sawit dalam penelitian ini
merupakan model simultan dinamis yang dibangun dari 14 model yang terdiri dari 11 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas. Model tersebut sudah melalui beberapa tahapan respesifikasi model. Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dengan periode pengamatan tahun 1990 sampai dengan 2010. 5.1.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan Lampiran 4, dapat dijelaskan bahwa secara umum semua variabel penjelas sudah sesuai dengan tanda yang diharapkan. Kriteria-kriteria statistik yang umum digunakan dalam mengevaluasi hasil estimasi model cukup meyakinkan. Sebagian besar (75 persen) persamaan perilaku memiliki koefisien determinasi (R2) di atas 0.5 dan hanya 25 persen persamaan yang memiliki nilai R2 di bawah 0.4. Dilihat dari p-value uji F, hanya 3 persamaan yang memiliki nilai peluang uji statistik-F lebih tinggi dari taraf α 0.05. Berdasarkan hasil uji durbin-w (dw) didapatkan nilai dengan kisaran 0.7840 – 0.9674 dan hasil uji statistik durbin-h (dh) didapatkan kisaran nilai 0.0013 – 0.12335. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa 8 persamaan tidak memiliki masalah serial korelasi dan 3 persamaan memiliki masalah serial korelasi. Terlepas dari ada tidaknya masalah korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) dalam Novindra (2011), membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi estimasi parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, maka
57
hasil estimasi model cukup respresentatif menangkap fenomena ekonomi dan industri produk turunan minyak sawit untuk minyak goreng sawit, margarin, dan sabun di pasar domestik. 5.1.1.1.Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk olahan dari industri minyak sawit, yang merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan banyak dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Permintaan ekspor minyak sawit yang terus meningkat, menyebabkan sebagian besar produksi minyak sawit digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor minyak sawit (CPO). Hal ini berdampak pada produksi minyak goreng sawit domestik dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal apabila produk turunan kelapa sawit lebih ditingkatkan, minyak goreng sawit memiliki nilai guna yang lebih tinggi dibanding minyak sawit. Keberadaan blok minyak goreng sawit untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit di Indonesia. Blok ini terdiri dari 4 persamaan, yaitu produksi minyak goreng sawit domestik, permintaan minyak goreng sawit domestik, penawaran minyak goreng sawit domestik, dan harga minyak goreng sawit domestik. 1.
Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik Produksi minyak goreng sawit domestik dari model yang telah diduga,
ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng sawit domestik t-1 pada taraf α 15%. Adapun produksi minyak goreng sawit domestik t1 berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit domestik. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari
58
produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Peningkatan harga minyak goreng sawit domestik sebesar Rp 1 per kg dapat mendorong kenaikan produksi sebesar 0.69182 ton minyak goreng. Secara ekonomi respon produksi minyak goreng sawit domestik terhadap perubahan harga minyak goreng sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng sawit domestik lebih rendah dari 1 persen. Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik Variabel Intercept
Parameter Estimasi 4774.628
Elastisitas SR
Prob > |T| LR 0.0452
HRMGSD
0.691
0.30932
0.47521
THRMSD
-18.990
-0.00759
-0.01166
-309.518
-0.64395
-0.98929
0.349 0.6544
Prob>|F|
0.0020
TB LPMGSD R-squared
Variabel Label
0.0893** Harga riil minyak goreng sawit domestik 0.1006*** Laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik 0.0408* Tingkat suku bunga 0.0975** PMGSD t-1 Durbin-h stat 0,01113
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% ***Nyata pada taraf α 15% Sumber : Data diolah (2012)
Secara ekonomi, laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik berhubungan negatif dengan produksi minyak goreng sawit domestik. Kenaikan laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik sebesar 1 persen akan menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik sebesar 18.990 ton. Elastisitas produksi minyak sawit terhadap laju pertumbuhan harga riil minyak
59
sawit domestik adalah inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kenaikan laju pertumbuhan harga riil minyak sawit domestik sebesar 1 persen akan
menurunkan produksi minyak goreng sawit
domestik kurang dari 1 persen. Variabel tingkat suku bunga, secara ekonomi berhubungan negatif dengan produksi minyak goreng domestik. Apabila tingkat suku bunga menurun, maka investasi akan meningkat. Meningkatnya investasi menyebabkan modal perusahaan bertambah sehingga produksi akan ikut meningkat. Dari hasil estimasi, dapat dilihat bahwa tingkat suku bunga berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng domestik. Hal ini menunjukkan apabila terjadi penurunan tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi minyak goreng sawit domestik sebesar 309.518 ton. 2.
Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik Permintaan minyak goreng sawit domestik dari model yang telah diduga,
ditentukan oleh harga minyak goreng sawit domestik, pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia, dan permintaan minyak goreng sawit domestik t-1. Dapat diketahui bahwa permintaan minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara positif oleh pendapatan riil perkapita indonesia dan permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya. Adapun harga minyak goreng sawit domestik mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit domestik secara negatif. Berdasarkan kriteria statistik, diketahui bahwa permintaan minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara signifikan oleh harga minyak goreng sawit domestik, pendapatan riil perkapita Indonesia, dan permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya. Elastisitas permintaan minyak goreng sawit
60
domestik terhadap harga minyak goreng sawit domestik yaitu inelastis dalam jangka pendek (0.16037) namun elastis dalam jangka panjang (1.55712). Perubahan elastisitas tersebut mengindikasikan bahwa fluktuasi harga minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek tidak banyak mempengaruhi stabilitas permintaan komoditas itu. Hal ini dikarenakan minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dan belum ada subtitusinya. Pada jangka panjang faktor lain lebih fleksibel atau lebih mudah berubah seperti adanya barang subtitusi untuk minyak goreng sawit. Tabel 15. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik Variabel
Parameter Estimasi 1242.059 -0.35868
-0.16037
-1.55752
PDK
31.23010
0.02232
0.21682
LDMGSD R-squared
0.89703 0.8401
Prob>|F|
Intercept HRMGSD
Elastisitas SR
Prob >|T| LR
<.000.1
Variabel Label
<.0001 <.0001* Harga minyak goreng sawit domestik 0.0651** Pendapatan riil perkapita Indonesia <.0001* DMGSD t-1 Durbin-h stat 0,00131
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% Sumber : Data diolah (2012)
Pendapatan riil per kapita Indonesia berpengaruh positif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik dan secara statistik pendapatan riil perkapita penduduk Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa minyak goreng sawit merupakan
kebutuhan
pokok
masyarakat
Indonesia
sehingga
dengan
meningkatnya pendapatan maka permintaan terhadap minyak goreng sawit domestik juga meningkat.
61
3.
Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik Pada penelitian ini penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan
selisih produksi minyak goreng sawit domestik dengan ekspor minyak goreng sawit Indonesia. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan berikut. SMGSDt = PMGSDt – EXMGSDt 4.
Harga Minyak Goreng Sawit Domestik Persamaan harga minyak goreng sawit domestik dari model yang telah
diduga ditentukan oleh excess permintaan minyak goreng sawit domestik, trend dan harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya. Dari hasil estimasi persamaan tersebut dapat dilihat bahwa semua tanda telah sesuai dengan hipotesis. Tabel 16. Hasil Estimasi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik Variabel Intercept EXDMGSD
Parameter Estimasi 1922.985 0.10031
SR
Elastisitas LR -0.01079
39.11683 0.38982 R-squared 0.2546 Prob>|F| Keterangan: *Nyata pada taraf α 5%
Prob > |T| -0.01768
T LHRMGSD
0.1838
Variabel Label
0.0137 0.3047
Excess Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik 0.2092 Tren 0.0503* HRMGSD t-1 Durbin-h stat 0.003517
Sumber: Data Diolah (2012)
Pada Tabel 16 dapat dilihat kelebihan permintaan minyak goreng domestik tidak berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng sawit domestik, hal ini dapat mengindikasikan bahwa harga minyak goreng sawit domestik tidak hanya ditentukan
oleh
mekanisme
pasar.
Campur
tangan
pemerintah
dalam
mengendalikan harga minyak goreng domestik terutama dilakukan melalui operasi pasar Badan Logistik (Bulog) dengan mengatur pasokan minyak goreng di
62
dalam negeri. Pemerintah juga menentukan harga dasar tertinggi dalam rangka menjamin pemerataan distribusi minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. Dengan tidak adanya kebebasan penuh bagi produsen minyak goreng sawit domestik dalam mengatur harga, maka perubahan permintaan dan penawaran minyak goreng sawit di pasar domestik tidak berpengaruh signifikan terhadap harga minyak goreng sawit domestik. Keadaan di atas semakin memperkuat pendapat Hasibuan (1993) dalam Suharyono (1996) bahwa harga domestik merupakan harga yang tidak merefleksikan keadaan pasar, melainkan ditetapkan oleh pemerintah. Harga administratif adalah harga–harga yang ditetapkan secara administrasi, bukan melalui mekanisme pasar. Tingkat harga ini relatif tetap atau naik dalam periode tertentu. Hasil estimasi pada Tabel 18 juga menunjukkan bahwa tren tidak berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng sawit domestik. Campur tangan pemerintah dalam penentuan harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan terbatasnya fluktuasi harga atau kekakuan harga. Akibatnya laju pertumbuhan harga minyak goreng sawit domestik hanya sebesar 4.14 persen (selama kurun waktu 1990-2012). Kekakuan dari harga minyak goreng sawit domestik juga dapat dilihat dari pengaruh harga minyak goreng domestik tahun lalu yang berpengaruh nyata yang mana setiap kenaikan harga minyak goreng sawit domestik tahun lalu sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan harga domestik tahun ini hanya sebesar 0.38982 rupiah per ton dalam periode 19902010.
63
5.
Harga Minyak Sawit Domestik Harga minyak sawit domestik dari model yang telah diduga, ditentukan
oleh penawaran minyak sawit domestik t-1, permintaan minyak sawit domestik, dan harga minyak sawit dunia. Secara statistik penawaran minyak sawit domestik t-1 tidak signifikan sedangkan pengaruh permintaan minyak sawit domestik terhadap harga minyak sawit domestik signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan harga minyak sawit domestik akibat peningkatan penawaran minyak sawit domestik t-1 lebih kecil dibandingkan peningkatan harga minyak sawit domestik sebagai akibat peningkatan permintaan minyak sawit domestik. Tabel 17. Hasil Estimasi Harga Minyak Sawit Domestik Variabel Intercept LSMSD
Parameter Estimasi 685.6042 -0.18485
DMSD
0.62041
HRMSW
0.68512
R-squared
0.24560
Elastisitas SR
Prob >|T|
Variabel Label
0.25605 0.24345 penawaran minyak sawit domestik t-1 0.23537 0.03605* Permintaan minyak sawit domestik 0.05333 0.07095** Harga minyak sawit dunia
-0.07618
Prob>|F|
0.19980 Durbin-w stat
0.907561
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% Sumber : Data diolah (2012)
Harga minyak sawit dunia berpengaruh positif terhadap harga minyak sawit domestik. Kenaikan yang terjadi pada harga minyak sawit dunia akan menaikkan harga minyak sawit domestik. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa secara statistik harga minyak sawit dunia berpengaruh nyata terhadap harga minyak sawit domestik. Hal ini dikarenakan adanya integrasi harga sehingga perubahan pada harga minyak sawit dunia akan diikuti oleh peningkatan harga minyak sawit domestik. Hal ini juga sebagai indikasi mengapa produsen minyak
64
sawit di domestik lebih suka mengekspor minyak sawit dari pada menjual di domestik. 6.
Permintaan Minyak Sawit Domestik Permintaan minyak sawit domestik dari model yang telah diduga,
ditentukan oleh harga minyak sawit t-1, harga minyak goreng sawit domestik t-1, harga margarin domestik, dan laju pertumbuhan harga sabun domestik. Berdasarkan kriteria statistik, diketahui bahwa permintaan minyak sawit domestik dipengaruhi secara signifikan oleh harga margarin domestik dan laju pertumbuhan harga sabun domestik. Tabel 18. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit Domestik Variabel Intercept LHRMSD LHRMGSD
Parameter Estimasi 1646.372 -0.40131 0.277441
Elastisitas SR -0.1237 0.1256
HRMRD THRSBD
0.166149 08.810846
0.1841 0.0010
R-squared
0.73545
Prob>|F|
Prob >|T|
Variabel Label
0.0016 0.1553 0.1889
Harga Minyak Sawit Domestik t-1 Harga Minyak Goreng Sawit Domestik t-1 0.0023* Harga Margarin Domestik 0.0265* Laju Pertumbuhan Harga Sabun Domestik 0.0003 Durbin-w stat 0.784067
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% Sumber : Data diolah (2013)
Pada Tabel 18 dapat dilihat harga minyak sawit domestik t-1 tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa minyak sawit sebagai bahan baku produk turunan seperti minyak goreng sawit, margarin dan sabun merupakan kebutuhan yang cukup krusial, sehingga harga minyak sawit tidak berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit. Harga minyak goreng sawit domestik t-1 tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa harga minyak goreng sawit domestik tidak hanya ditentukan oleh mekanisme pasar.
65
Campur tangan pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng domestik terutama dilakukan melalui operasi pasar Badan Logistik (Bulog) dengan mengatur pasokan minyak goreng di dalam negeri. Pemerintah juga menentukan harga dasar tertinggi dalam rangka menjamin pemerataan distribusi minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. Hal ini menyebabkan harga minyak goreng sawit domestik tidak berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit domestik. Secara statistik harga margarin domestik berpengaruh secara nyata terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada harga margarin domestik mempengaruhi keputusan produsen margarin atas produksinya sehingga permintaannya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku juga berubah. Dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon permintaan minyak sawit terhadap harga margarin domestik adalah inelastis dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek perubahan harga margarin domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan permintaan minyak sawit berubah lebih rendah dari 1 persen. Laju pertumbuhan sabun domestik berpengaruh secara nyata terhadap permintaan minyak sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada laju pertumbuhan harga domestik mempengaruhi keputusan produsen sabun atas produksinya sehingga permintaannya terhadap minyak sawit sebagai bahan baku juga berubah. Dilihat berdasarkan nilai elastisitasnya, respon permintaan minyak sawit terhadap laju pertumbuhan harga sabun domestik adalah inelastis dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan dalam jangka pendek perubahan laju pertumbuhan harga sabun domestik sebesar 1 persen akan menyebabkan permintaan minyak sawit berubah lebih rendah dari 1 persen.
66
5.1.1.2.Keragaan Blok Margarin Domestik Margarin merupakan salah satu produk turun kelapa sawit. Sebagian besar industri pangan membutuhkan margarin, namun penggunaan pada sektor rumah tangga masih terbilang sedikit. Kendati industri margarin sudah berkembang cukup lama di Indonesia dan permintaannya yang cukup tinggi, namun untuk meningkatkan produksi dan pangsa pasar tetap saja mengalami kesulitan. Keberadaan blok margarin untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia. Blok ini terdiri dari produksi margarin domestik, permintaan margarin domestik, penawaran margarin domestik, dan harga margarin domestik. 1.
Produksi Margarin Domestik Produksi margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh
harga margarin domestik, selisih harga riil minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, upah tenaga kerja industri t-1, dan produksi margarin domestik t-1. Adapun produksi margarin domestik t-1 berbeda nyata dengan nol terhadap produksi margarin domestik. Dari hasil estimasi tersebut, dapat diketahui bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari produksi margarin domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Berdasarkan hasil estimasi Tabel 21, dapat dilihat bahwa harga margarin tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap produksi margarin. Hal ini mengindikasikan bahwa margarin merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia, sehingga harga margarin tahun sebelumnya, tidak mampu mendorong perubahan pada produksi margarin.
67
Tabel 19. Hasil Estimasi Produksi Margarin Domestik Variabel
Parameter Estimasi 94.96119 0.0004
0.000444
0.002
0.2935 0.4854
SHRMSD
-0.0023
-0.000000
-0.000
0.4755
TB
-0.1346
-0.000285
-0.001
0.4947
LUPRIN
-0.0084
-0.014352
-0.064
0.3017
LPMRD R-squared
0.7778 0.64810
Intercept HRMRD
Elastisitas SR LR
Prob>|F|
Prob > |T|
Variabel Label HRMRD t-1 Selisih harga minyak sawit domestik TB t-1
Upah tenaga kerja industri 0.0001* PMRD t-1 0.0068 Durbin-h stat -0.123356
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% Sumber : Data diolah (2012)
Selisih harga riil minyak sawit domestik juga tidak berpengaruh nyata terhadap produksi margarin domestik. Hal ini memberikan indikasi bahwa harga riil minyak sawit domestik untuk kebutuhan produksi margarin Indonesia masih bisa ditanggulangi oleh perusahaan margarin Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa supply minyak sawit domestik sebagai bahan baku margarin cukup memadai bahkan berlimpah. Supply minyak sawit yang berlimpah di Indonesia menyebabkan selisih harga minyak sawit domestik tidak terlalu tinggi sehingga tidak berpengaruh terhadap produksi margarin Indonesia. Tingkat suku bunga uang yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi margarin domestik, hal ini dapat mengindikasikan bahwa dimungkinkan para produsen margarin di Indonesia tidak menggantungkan pemenuhan kebutuhan dana pada pinjaman komersial, tetapi melalui lembaga keuangan lainnya, misalnya pasar modal (bursa efek) maupun akumulasi penyusutan dan penggunaan laba ditahan (return earning). Tidak nyatanya upah tenaga kerja t-1, terhadap produksi margarin domestik dapat mengindikasikan bahwa supply tenaga kerja di Indonesia masih sangat memadai.
68
2.
Permintaan Margarin Domestik
Permintaan margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh harga riil margarin domestik, selisih pendapatan nasional bruto Indonesia, dan penduduk Indonesia. Dari persamaan tersebut, diketahui bahwa semua tanda koefisien peubah eksogen sesuai dengan hipotesis. Harga riil margarin domestik secara ekonomi berpengaruh negatif terhadap permintaan margarin domestik. Namun dari hasil estimasi pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa harga margarin berpengaruh nyata terhadap permintaan margarin domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap margarin baik jumlah maupun frekuensinya cukup besar sehingga harga margarin domestik t-1 tidak mempengaruhi permintaan konsumen Indonesia. Tabel 20. Hasil Estimasi Permintaan Margarin Domestik Variabel
Parameter Estimasi
Elastisitas
Prob > |T|
Variabel Label
SR Intercept HRMRD SGDPR PI R-squared
-38884.1 -1.0107
-1.12003
4.3814
0.04174
300.0566 0.2707
7.76982 Prob>|F|
0.0740 0.1269*** Harga riil margarin domestik 0.2179 0.0353* 0.1576
Pendapatan nasional bruto Indonesia Penduduk Indonesia Durbin-w stat 1.0720
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% ***Nyata pada taraf α 15% Sumber : Data Diolah (2012)
Selisih pendapatan nasional bruto Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan margarin Indonesia. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa margarin sebagai kebutuhan yang frekuensi penggunaannya tidak sebanyak pada penggunaan minyak goreng, sehingga selisih pendapatan nasional bruto tidah bepengaruh signifikan terhadap permintaan margarin domestik.
69
Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan margarin Indonesia. Elastisitas permintaan margarin domestik terhadap jumlah penduduk Indonesia bersifat elastis dalam jangka pendek yaitu 7.7982. 3.
Penawaran Margarin Domestik Pada penelitian ini penawaran margarin domestik merupakan penjumlahan
margarin domestik dengan impor margarin Indonesia. Secara matematis konsep tersebut dapat disajikan pada persamaan berikut: SMRD = PMRDt + IMMRDt 4.
Harga Margarin Domestik Harga margarin domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh
penawaran margarin domestik, laju pertumbuhan permintaan margarin domestik, tren, dan harga margarin domestik t-1. Dari hasil estimasi pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa secara statistik yang berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik yaitu tren dan harga margarin domestik t-1. Harga margarin domestik t1 berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik, mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari harga margarin domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Hasil estimasi pada Tabel 23 menunjukkan bahwa penawaran margarin domestik tidak berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa harga margarin dalam negeri tidak hanya ditentukan
oleh
mekanisme
pasar.
Campur
tangan
pemerintah
dalam
mengendalikan harga margarin terutama dilakukan melalui Operasi Badan Pasar Logistik (BULOG), dengan mengatur pasokan margarin dalam negeri. BULOG
70
kini tidak hanya menangani masalah beras tapi juga menangani stabilisasi sembilan bahan pokok. Sembilan bahan pokok yang tertuang dalam peraturan menteri perundustrian dan perdagangan 1998 adalah beras dan singkong, gula pasir, minyak goreng dan margarin, daging sapi dan ayam-telur ayam, susu, jagung dan sagu, minyak tanah atau gas elpiji, serta garam beriodium (Lumanauw 2010). Tidak adanya kebebasan penuh bagi produsen dalam mengatur harga maka perubahan penawaran margarin tidak memberi dampak yang besar terhadap perubahan harga margarin domestik. Tabel 21. Hasil Estimasi Harga Margarin Domestik Variabel
SR
LR
Intercept SMRD
Parameter Estimasi 2270.501 -0.0037
0.06914
0.13063
TDMRD
5.8433
0.00399
0.00754
T LHRMRD R-squared
165.8938 0.4707 0.8841
Elastisitas
Prob>|F|
Prob > |T|
<.0001
Variabel Label
0.03158 0.19515 Penawaran margarin domestik 0.29270 Laju pertumbuhan permintaan margarin domestik 0.09570** Tren 0.02160* HRMRD t-1 Durbin-h stat 0.012185
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% Sumber : Data Diolah (2012)
Secara statistik laju pertumbuhan permintaan margarin berpengaruh negatif terhadap harga margarin domestik. Hasil estimasi pada Tabel 21 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan permintaan tidak berpengaruh nyata terhadap harga margarin domestik. Keadaan ini juga memberi indikasi tidak adanya
kebebasan
bagi
produsen
margarin
dalam
menentukan
harga
komoditasnya dengan menggunakan mekanisme pasar. Campur tangan BULOG dan penetapan harga dasar merupakan faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan oleh produsen margarin dalam negeri. 71
Secara statistik tren berpengaruh positif terhadap harga margarin domestik. Dari hasil estimasi yang diperoleh tren memiliki pengaruh yang nyata terhadap harga margarin domestik. Pada lampiran 1 dapat kita lihat bahwa terjadi fluktuasi harga margarin tiap tahunnya yang cenderung meningkat. 5.1.1.3.Keragaan Blok Sabun Domestik Sabun merupakan salah satu produk turunan minyak sawit yang produksinya cukup besar di Indonesia. Produksi kelapa sawit menjadi produk turunan memiliki nilai guna yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan mentahnya yaitu minyak sawit. Sabun merupakan kebutuhan masyarakat yang semakin lama semakin berkembang. Oleh karena itu kita ingin melihat faktorfaktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit yaitu sabun. Blok ini terdiri dari 4 persamaan, yaitu produksi sabun domestik, permintaan sabun domestik, penawaran sabun domestik, dan harga sabun domestik. 1.
Produksi Sabun Domestik Produksi sabun domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh
harga sabun domestik, harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun domestik t-1. Dari hasil estimasi pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa harga sabun domestik tidak berpengaruh nyata terhadap produksi sabun domestik. Keadaan ini memberi indikasi bahwa para produsen sabun dalam menentukan jumlah produksi tidak berpatokan pada harga komoditas itu. Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa harga minyak sawit domestik berpengaruh tidak nyata terhadap produksi sabun domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa porsi penggunaan minyak sawit dalam industri ini tidak
72
terlalu besar sehingga harga minyak sawit bukanlah merupakan bagian yang besar dalam struktur biaya produksi. Tabel 22. Hasil Estimasi Produksi Sabun Domestik Variabel Intercept HRSBD
Parameter Estimasi 3292.075 0.9971
Elastisitas SR LR 0.14858
HRMSD
-0.3677
-0.11074
-0.42898
TB
-176.377
-0.36695
-1.42149
TUPRIN
-36.9419
-0.01055
-0.04086
LPSBD R-squared
0.7418 0.8075
Prob>|F|
0.0001
Prob > |T|
Variabel Label
0.0515 0.57559 0.1758
Harga sabun domestik 0.2255 Harga minyak sawit domestik 0.1028*** Tingkat suku bunga 0.0173* Laju pertumbuhan upah tenaga kerja 0.00015* PSBD t-1 Durbin-h stat 0.089218
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% ***Nyata pada taraf α 15% Sumber : Data diolah (2012)
Tingkat suku bunga berpengaruh nyata terhadap produksi sabun domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi sabun domestik sebesar 176.377 buah. Elastisitas produksi sabun domestik terhadap tingkat suku bunga inelastis dalam jangka pendek (0.36695) namun elastis dalam jangka panjang (1.42149). Laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri berpengaruh nyata terhadap produksi sabun domestik. Sementara itu, elastisitas produksi sabun domestik terhadap laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, baik jangka pendek maupun jangka panjang bersifat inelastis masing-masing sebesar 0.01055 dan 0.04086. Tidak responsifnya laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri terhadap produksi sabun domestik dapat menjadi indikasi bahwa supply tenaga kerja masih memadai atau cukup melimpah.
73
2.
Permintaan Sabun Domestik Permintaan sabun domestik dari model yang diduga, ditentukan oleh laju
pertumbuhan harga sabun domestik, pendapatan nasional Indonesia, laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan permintaan sabun domestik t-1. Dari hasil estimasi pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan harga sabun domestik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan sabun domestik. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa dengan meningkatnya perkembangan kehidupan dan semakin sadarnya masyarakat akan kebersihan diri, sabun sudah menjadi barang kebutuhan yang krusial, sehingga pertumbuhan harga sabun tidak akan mempengaruhi permintaan sabun domestik. Tabel 23. Hasil Estimasi Permintaan Sabun Domestik Variabel
Parameter Estimasi -17558.5 -4603.34
-0.54635
GDPR
25.88094
3.93917
TPI
1066.629
0.18547
LDSBD R-squared
0.308724 0.8379
Intercept THRSBD
Elastisitas SR
Prob>|F|
Prob > |T| LR
Variabel Label
0.13675 0.32735 Laju pertumbuhan harga sabun domestik 5.69840 0.00705* Pendapatan nasional Indonesia 0.26831 0.44015 Laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia 0.13635*** DSBD t-1 <.0001 Durbin-h stat 0.013378 -0.79035
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% **Nyata pada taraf α 10% ***Nyata pada taraf α 15% Sumber : Data diolah (2012)
Secara statistik, pendapatan nasional Indonesia berpengaruh nyata terhadap permintaan sabun domestik. Elastisitas permintaan sabun domestik terhadap pendapatan nasional Indonesia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek adalah elastis yaitu masing-masing sebesar 3.93917 dan 5.69840.
74
Jika peubah lain berada dalam kondisi ceteris paribus maka peningkatan pendapatan sebesar 1 persen akan mampu meningkatkan permintaan sabun domestik sebesar 3.93 persen dan 5.69 persen. Laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan sabun domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa sabun bukan merupakan kebutuhan individual, sehingga laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh terhadap permintaan sabun. 3.
Penawaran Sabun Domestik Pada penelitian ini penawaran sabun domestik merupakan penjumlahan
produksi sabun domestik dengan impor sabun Indonesia. Secara matematis konsep tersebut disajikan pada persamaan berikut: SSBD = PSBDt + IMSBt 4.
Harga Sabun Domestik Harga sabun domestik dari model yang telah diduga, ditentukan oleh
selisih penawaran sabun domestik, dan harga sabun domestik t-1. Dari hasil estimasi pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa selisih penawaran sabun domestik tidak berpengaruh nyata terhadap harga sabun domestik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa harga sabun domestik tidak ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga riil sabun domestik t-1 berpengaruh nyata terhadap harga sabun domestik, hal ini mengindikasikan bahwa ada tenggang waktu yang relatif lambat dari produksi minyak goreng sawit domestik untuk menyesuaikan diri dalam merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
75
Tabel 24. Hasil Estimasi Harga Sabun Domestik Variabel Intercept SSSBD LHRSBD R-squared
Parameter Elastisitas Prob > |T| Variabel Estimasi Label SR LR 397.8293 0.05115 -0.00270 0.0024114 0.0069191 0.2534 Selisih penawaran sabun domestik 0.651484 0.0018* HRSBD t-1 0.5140 Prob>|F| 0.0022 Durbin-h stat -0.088391
Keterangan: *Nyata pada taraf α 5% Sumber : Data Diolah (2012)
5.2.
Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga Terhadap Produksi Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia Guna melihat dampak penurunan suku bunga terhadap perubahan
produksi, permintaan, penawaran, dan harga bagi produk minyak goreng, margarin, dan sabun, serta harga minyak sawit dilakukan simulasi model (simulasi historis): penurunan suku bunga BI sebesar 20 persen. 1.
Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Sebesar 20 persen Tabel 27 menunjukkan bahwa penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI)
riil sebesar 20 persen memberikan peningkatan terhadap produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia untuk minyak goreng, margarin, dan sabun. Peningkatan produksi terbesar terdapat pada produksi sabun domestik yaitu sebesar 37.2035051 persen, kemudian diikuti oleh produksi margarin domestik sebesar 33.7512054 persen. Peningkatan produksi terkecil terdapat pada produksi minyak goreng sawit domestik yaitu sebesar 16.8467962 persen. Peningkatan produksi minyak goreng sawit domestik menyebabkan penawaran minyak goreng sawit meningkat sebesar 30.4665437 persen. Kenaikan penawaran minyak goreng sawit domestik menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut sebesar 2.6637371 persen. Kemudian, rendahnya harga minyak goreng sawit domestik menyebabkan peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 4.28334256 persen. 76
Kemudian, Peningkatan produksi margarin domestik menyebabkan penawaran margarin domestik meningkat sebesar 0.7728840 persen. Kenaikan penawaran margarin domestik menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut sebesar 0.0019516 persen. Kemudian, penurunan harga margarin domestik menyebabkan peningkatan permintaan margarin domestik sebesar 0.0009970 persen. Tabel 27. Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia sebesar 20 Persen terhadap Produksi Minyak Goreng, Margarin, dan Sabun di Indonesia Tahun 2007-2010 No. Variabel Endogen Nilai Perubahan Dasar (%) 16.8467962 1. Produksi Minyak Goreng Sawit 4802.1 Domestik 4.28334256 2. Permintaan Minyak Goreng 903.5 Domestik 30.4665437 3. Penawaran Minyak Goreng 2655.7 Domestik -2.6637371 4. Harga Minyak Goreng Domestik 4050.7 -0.5206943 5. Harga Minyak Sawit Domestik 2321.8 -0.5339241 6. Permintaan Minyak Sawit 3641.7 Domestik 33.7512054 7. Produksi Margarin Domestik 103.6 0.0009970 8. Permintaan Margarin Domestik 20058.9 0.7728840 9. Penawaran Margarin Domestik 4463.7 -0.0019516 10. Harga Margarin Domestik 10248.1 37.2035051 11. Produksi Sabun Doomestik 2602.6 0.0030381 12. Permintaan Sabun Domestik 49371.4 16.4432275 13. Penawaran Sabun Domestik 5944.6 -0.2147007 14. Harga Sabun Domestik 791.9 Sumber : Data Diolah (2012)
Peningkatan produksi sabun domestik menyebabkan penawaran sabun domestik meningkat sebesar 16.4432275 persen. Kenaikan penawaran sabun domestik menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut sebesar 0.2147007 persen. Kemudian, penurunan harga sabun domestik menyebabkan peningkatan permintaan sabun domestik sebesar 0.0030381 persen.
77
Penurunan harga minyak goreng sawit domestik, harga margarin domestik, dan harga sabun domestik menyebabkan terjadinya penurunan permintaan minyak sawit domestik sebesar 0.5339241 yang akhirnya menurunkan harga minyak sawit domestik sebesar 0.5206943.
78
VI. 6.1.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat dirumuskan beberapa simpulan
penelitian. Hal-hal yang menjadi simpulan penelitian adalah: 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit (Minyak goreng, Margarin, dan Sabun) : a. Produksi minyak goreng sawit domestik dipengaruhi secara nyata oleh Harga minyak goreng sawit domestik, laju pertumbuhan harga minyak sawit domestik, tingkat suku bunga, dan produksi minyak goreng t-1. b. Produksi margarin domestik dipengaruhi secara nyata oleh produksi margarin t-1. c. Produksi sabun domestik dipengaruhi secara nyata oleh tingkat suku bunga, laju pertumbuhan upah tenaga kerja industri, dan produksi sabun domestik t-1. 2.
Penurunan suku bunga bank Indonesia sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan produksi terbesar pada komoditas sabun domestik.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil, pembahasan, dan simpulan yang telah dijelaskan, saran
yang dapat diajukan sebagai masukan dalam peningkatan dan pengembangan produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia adalah: 1.
Dalam rangka mendorong meningkatnya kapasitas produksi industri hilir minyak sawit (minyak goreng sawit, margarin, dan sabun), pemerintah sebaiknya menetapkan penurunan suku bunga bagi investor.
79
2.
Dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (minyak goreng, margarin, dan sabun) dalam meningkatkan devisa negara dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri hilir.
80
DAFTAR PUSTAKA Anita FD. 2011. Pengaruh Persepsi Kualitas Produk dan Harga terhadap Loyalitas Pelanggan Margarin (Survei pada Ibu-ibu RT Pengguna Margarin di Desa Banjaran Kabupaten Bandung). [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Affudin S. 2007. Analisis Determinan yang Mempengaruhi Produksi Industri Margarin Provinsi Sumatera Utara. Jakarta (ID): Universitas Airlangga. __________________. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Industri Sabun Provinsi Sumatera Utara. Universitas Airlangga. MEPA. Jakarta (ID): Universitas Airlangga. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1990-2010. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta (ID): BPS. ________________. 1990-2010. Statistik Harga Konsumen Beberapa Barang dan Jasa di Seluruh Ibukota Provinsi Indonesia. Jakarta (ID): BPS. Buana L, Siahaan D, Adiputra S. 2007. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit dan Produk Turunannya. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Departemen Perindustrian. 2009. ROADMAP Industri pengolahan CPO. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. Lumanauw N, Mustaidah A, Suprianti E. 2012. Peran Bulog Diperluas ke Komoditi Lain. [Internet]. Jakarta (ID). [Diunduh 20 Juli 2012]. Tersedia pada: http://www.beritasatu.com/ekonomi/61127-peran-bulog-diperluaske-komoditi-lain.html. Fauzi Y, Widyastuti EY, Satyawibawa I, Hartono R. 2002 Kelapa sawit, Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Depok (ID): Penebar Swadaya. Haryana A, Indarto J, Avianto N. 2010. Kebijakan dan Strategi Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara Berkelanjutan dan Berkeadilan. Jakarta (ID): Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS. Koutsoyiannis A. 1977. Theory of Econometrics; An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. London (ID): The Macmillan Press Ltd. Zahira N. 2006. Feasibility Studi Industri Sabun Berbahan Baku Minyak Sawit. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Nuryanti S. Nilai Strategi Industri Sawit. Jurnal Agro Ekonomi. 6 (4) : 378-392.
81
Novindra. 2011. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prasetowo NJ, Yanuarti T, Depari Y. 2008. Pengaruh Distribusi dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Jakarta (ID): Working Paper Bank Indonesia. Risza S. 1994. Seri Budidaya Kelapa Sawit, Upaya Peningkatan Produktivitas. Jakarta (ID): Kanisius. Gosta DR. 2011. Sektor Sawit Hilir akan Tumbuh Pesat. Jurnal Kelapa Sawit, 5(1): 71. Sitohang BHR. 2008. Pengaruuh Ekspor CPO (Crude Pallm Oil) Terhadap Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudirman W. 2011. Kebijakan Fiskal dan Moneter Teori dan Empirikal. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media group. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Minyak Sawit di Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sukirno S. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. Jakarta (ID): PT Rajagrafindo Persada. Sofia AR. 2011. Pengaruh Inflasi, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga Kredit SBI dan Suku Bunga Internasional Sibon terhadap Tingkat Suku Bunga Kredit Bank Umum di Indonesia. [Skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Pindyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric models and economic forecasts. Third Edition. New York (ID): McGrow-Hill Inc.
82
LAMPIRAN
83
84
A,B,C,E,F,G,H,I,N,O,P,R,S D,Q J,K,L,M,W
= Badan Pusat Statistik = Kementerian Pertanian = Kementerian Industri dan Badan Pusat Statistik
Lampiran 1. Data Dasar Model Persamaan Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia GDPR HRMGSDR HSBDR HMRDR PMGSD Tahun Tren PI (A) (B) TB (C) (D) (E) (F) (G) 1990 1 179.38 339.75 20 2461.08 1206.7 6543.9 969 1991 2 182.94 335.06 20.9 2614.75 1092.2 6483.6 981 1992 3 186.04 330.17 19.2 2842.70 1082.8 6383.1 1162 1993 4 189.14 762.86 16.6 2661.55 1001.6 6857.4 1250 1994 5 192.22 807.3 15 3104.82 961.2 5075.1 1506 1995 6 194.75 895.33 15.7 3319.72 1027.3 6465.7 1731 1996 7 198.32 981.8 16.4 3830.49 1053.5 6367.4 2336 1997 8 201.35 1112.76 17.6 3944.77 1041.6 5940.7 2453 1998 9 202.99 1070.75 22.7 6808.00 1970 8579.9 1389 1999 10 204.63 986.53 22.6 4296.98 2081.6 8950 2575 2000 11 206.26 1166.01 16.6 3418.54 1626.5 9107.9 2139 2001 12 207.93 1485.93 17.1 3164.04 1482.8 8796.7 1712 2002 13 210.74 1446.67 18 3477.90 1366.1 7302.1 1793.5 2003 14 213.55 1465.81 17 3479.32 1281.7 8193.3 4215.9 2004 15 216.38 1456.89 14.7 3473.02 1206 10124.6 4166 2005 16 219.2 1570.6 14.2 3680.44 972.9 11351 7643.5 2006 17 222.05 1660.33 14.3 3728.22 880 10053.3 4178 2007 18 224.9 1846.48 14.5 3949.19 992.9 12073.2 4419.7 2008 19 227.78 2144.47 15 3982.43 1055.4 13319.7 4991 2009 20 230.63 2293.2 14.2 4206.70 1052.9 13882 5243.7 2010 21 237.56 1863.47 13.4 3998.94 1039.8 14256.9 5496.5 Keterangan :
84
PSBD (H) 555.6 449.3 497.8 562.9 888.9 701.2 513.6 52.4 509.1 537.3 571.8 59 593.5 614.3 2469.9 3174.1 2756.9 2931.3 6148.4 4963.9 3779.4
PMRD (I) 14 12.3 20.8 21.9 113.8 205.7 297.6 308.6 273.4 328 338.1 356.5 384.3 405.4 214.4 23.3 61 53 45.1 275.8 283.9 EXSB (J) 12972.26 18620.86 21373.38 27447.53 28084.72 43819.89 42832.24 34248.66 37549.22 82290.83 90097.09 108624.6 125039.7 114037.6 149039.3 154922.5 160809.3 126339.6 153626.1 165723.8 162584.01
EXMGSD (K) 169 106 76 166 351 282 690 1587 1075 1434 1792 1054 1401 1494.4 1587.8 1681.2 1774.6 1868 2124.2 2239.1 2354
85
Lampiran 1. Lanjutan IMMRD IMSB DMGSD (L) (M) (N) 89.291 1321.84 719.6 334 1522.51 1074.8 458.315 2058.14 1066 522.06 4061.65 1054.4 468.028 5295.46 1355.2 632.953 1509.85 1349 2295.31 1030.49 1645.7 1876.60 1252.76 1649.5 1418.04 541.079 313.6 1264.82 1903.42 141.5 1559.07 2225.51 347 2202.49 1574.37 658.2 2302.7 2771.96 962 2863.99 3470.82 976.6 3226.60 5583.98 991.2 3500.84 5210.56 1005.8 5781.23 6753.74 1020.4 4315.14 3724.85 1035 4932.61 4141.04 846.5 3968.57 3216.26 834 4224.19 2286.12 821.6
85 DMSD (O) 1625.7 1708.9 2292.7 2080.9 2445.6 3072.1 2953.6 3259.7 3772.6 2681.5 2962 2877 3027 3169 3347 3546 3711 4105 3965.7 4075.4 4185 HMSDR (P) 1825.23 2080.74 2153.16 1870.92 2454.05 2893.58 2414.09 2809.07 4925.66 3089.60 2412.1 1837.91 2277.16 2481.91 2599.67 2401.80 2253.84 2240.49 2141.22 2159.98 2155.61
HMSWR (Q) 972.48 1058.58 859.69 1096.33 1302.9 1472.54 1118.42 1075.01 847.23 454.61 310.44 247.27 311.78 336.67 341.34 302.3 269.62 255.57 233.58 225.93 216.7 DMRD (R) 7719.47 8.781.125 10716.06 10.894.211 11994.31 13.087.523 14279.04 14.497.423 14.615.299 15.715.387 15.841.121 16.966.884 17.196.082 10.250.424 15.579.475 25.252.381 25580.31 19.431.783 13.120.076 11070.37 13.683.247
DSBD (S) 2419.46 2809.96 2691.52 4030.86 5034.57 6051.3 7130 9324.74 11503.21 13715.6 15962.6 18245.69 20675.76 29408.47 30359.2 40835.21 38258.55 35603.35 40584.77 84323.01 55622.4 IHK (T) 28.78 31.46 33.82 37.11 40.26 44.07 47.55 50.7 80.04 96.43 100 111.48 124.73 132.95 141.26 156.03 176.47 187.78 207.22 216.06 227.16
SMSD (U) 1623.2 1527.77 2544.74 1941.34 2500.54 3264.49 3334.3 2504.59 4178.49 2691.85 2283.38 3493.4 3298.14 4058.44 3453.36 3904.17 4036.38 4168.58 4300.79 4433 4565.20
UPRIN EXMRD (V) (W) 11927.53 304.1 12082.95 2432.53 12466.46 858.28 12486.3 3098.56 12545.08 2792.75 12966.23 179 13534.56 12497.31 14222.02 145205.71 9265.48 139256.1 11484.56 267975 12753 237611.1 15570.98 266449.6 14765.39 249164.1 14580.29 178091.2 14771.46 273924.4 13709.96 277324.6 14471.89 270379.6 19906.94 365578.4 14635.17 510092.8 14783.3 348667.1 14931.43 356151.7
Lampiran 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia Blok Persamaan Notasi Struktural/ Identitas Minyak Goreng 1. Produksi Minyak PMGSD Struktural Sawit Domestik Goreng Sawit Domestik 2. Permintaan Minyak DMGSD Struktural Goreng Sawit Domestik 3. Harga Minyak Goreng HRMGSD Struktural Sawit Domestik 4. Harga Minyak Sawit HRMSD Struktural Domestik 5. Penawaran Minyak SMGSD Identitas Goreng Sawit Domestik Margarin 1. Produksi Margarin PMRD Struktural Domestik 2. Permintaan Margarin DMRD Struktural Domestik 3. Harga Margarin Domestik HMRD Struktural 4. Penawaran Margarin Domestik SMRD Identitas Sabun 1. Produksi Sabun Domestik PSBD Struktural 2. Permintaan Sabun DSBD Struktural Domestik 3. Harga Sabun Domestik HSBD Struktural 4. Penawarab Sabun SSBD Identitas Domesttik
86
Lampiran 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia data Olah; input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN ; /*create data*/ SMGSD = PMGSD-EXMGSD; SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD; SSBD = PSBD+IMSB-EXSB; EXSSBD = SSBD-DSBD; EXDSBD = DSBD-SSBD; EXDMGSD = DMGSD-SMGSD; EXSMGSD = SMGSD-DMGSD; EXDMSD = DMSD-SMSD; EXSMSD = SMSD-DMSD; PDK = GDPR/PI; /*membuat variabel lag*/ LPMGSD = LAG(PMGSD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LHRMSD = LAG(HRMSD); LHRMGSD = LAG(HRMGSD); LPMRD = LAG(PMRD); LDMRD = LAG(DMRD); LHRMRD = LAG(HRMRD); LPSBD = LAG(PSBD); LDSBD = LAG(DSBD); LHRSBD = LAG(HRSBD); LSMRD = LAG(SMRD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LTB = LAG(TB); LPI = LAG(PI); LSSBD = LAG (SSBD); LDMSD = LAG(DMSD); LT = LAG (T); LUPRIN = LAG(UPRIN); LSMGSD = LAG (SMGSD); LPDK = LAG (PDK); /*membuat selisih*/ SHRMSD=HRMSD-LHRMSD; SHRSBD=HRSBD-LHRSBD; RHRMSD=HRMSD/LHRMSD; SGDPR = GDPR-LGDPR; STB = TB-LTB; SDSBD = DSBD-LDSBD; SSSBD = SSBD-LSSBD; SUPRIN = UPRIN-LUPRIN; ST = T-LT; SDMGSD = DMGSD-LDMGSD;
87
Lampiran 3. Lanjutan SDMSD = DMSD-LDMSD; SSMGSD = SMGSD-LSMGSD; SHRMRD = HRMRD-LHRMRD; SHRMGSD= HRMGSD-LHRMGSD; SPI = PI-LPI; /*membuat pertumbuhan atau laju*/ THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD*100; THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD*100; TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD*100; THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD*100; TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR*100; TPI = (PI-LPI)/LPI*100; TTB = (TB-LTB)/LTB*100; RGDPPI=GDPR/PI*100; TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD*100; TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD*100; TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD*100; TT = (T-LT)/LT*100; THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD*100; TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD*100; TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD*100; TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN*100; TPDK = (PDK-LPDK)/LPDK*100; /*membuat rasio*/ RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD; RGDPR = GDPR/LGDPR; RTB = TB/LTB; RHRMRD=HRMRD/LHRMRD; RHRSBD= HRSBD/LHRSBD; RHRMGSD = HRMGSD/LHRMGSD; RSSBD = SSBD/LSSBD; RDSBD = DSBD/LDSBD; RDMGSD = DMGSD/LDMGSD; RUPRIN = UPRIN/LUPRIN; RPI = PI/LPI; /*mendeskripsikan variabel*/ label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)' DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)' SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)' DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)' SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)' PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)' DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)' SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren waktu' GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)'
88
Lampiran 3. Lanjutan PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)' EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)' IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)' EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)' IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)' EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)' LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (ton)' LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)' LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)' LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)' LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)' LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)' LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)' LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)' LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)' HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)' HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)' HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)' THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/ton)' THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)' THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)' ; proc print data=olah; run; PROC SYSLIN 2sls DATA=olah; endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD; instruments TB T LPMGSD PDK LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW LHRMSD LHRMGSD LPMRD LDMRD IMMRD EXMRD LHRMRD LPSBD IMSB EXSB LHRSBD; /*persamaan struktural*/ prod_MGS: model PMGSD = HRMGSD THRMSD TB LPMGSD/DW; prmntn_MGS: model DMGSD = HRMGSD PDK LDMGSD/DW; harg_MGSD: model HRMGSD = EXDMGSD T LHRMGSD/DW; harg_MSD: model HRMSD = LSMSD DMSD HRMSW /DW; prmntn_MSD : model DMSD = LHRMSD LHRMGSD HRMRD THRSBD/DW; prod_MRD: model PMRD = HRMRD SHRMSD TB LUPRIN LPMRD/DW; prmntn_MRD: model DMRD = HRMRD SGDPR PI/DW; harg_MRD: model HRMRD = SMRD TDMRD T LHRMRD/DW; prod_SBD: model PSBD = HRSBD HRMSD TB TUPRIN LPSBD/DW; prmntn_SBD: model DSBD = THRSBD GDPR TPI LDSBD/DW; harg_SBD: model HRSBD = SSSBD LHRSBD/DW; /*persamaan identitas*/ identity SMGSD = PMGSD-EXMGSD; identity SMRD = PMRD+IMMRD; identity SSBD = PSBD+IMSB; run;
89
Lampiran 4.
Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia
Lampiran 4a. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Minyak Goreng Sawit Domestik The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PROD_MGS Dependent Variable PMGSD Label
produksi minyak goreng sawit domestik (000
ton)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
4
42322942
10580735
7.10
15 19
22347126 64670068
1489808
Pr
> F Model 0.0020 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1220.57708 3069.09000 39.77000
R-Square Adj R-Sq
0.65444 0.56230
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept HRMGSD THRMSD TB tingkat suku bunga
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
4774.628
2639.066
1.81
0.0905
1 1 1
0.691829 -18.9808 -309.518
0.490282 14.20172 165.8268
1.41 -1.34 -1.87
0.1786 0.2013 0.0816
Label
uang (%) LPMGSD produksi minyak
1
0.349079
0.257423
1.36
0.1951 goreng
sawit domestik tahun sebelumnya (ton)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.121158 20 -0.07629
90
Lampiran 4a. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PRMNTN_M Dependent Variable DMGSD Label
permintaan minyak goreng sawit domestik
(ton)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
3
2437669
812556.3
28.03
16 19
463785.2 2901454
28986.58
Pr
> F Model <.0001 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
170.25445 957.40000 17.78300
R-Square Adj R-Sq
0.84015 0.81018
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept HRMGSD PDK LDMGSD permintaan minyak
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
1242.059
186.8044
6.65
<.0001
1 1 1
-0.35868 31.23010 0.897034
0.051924 19.57602 0.110224
-6.91 1.60 8.14
<.0001 0.1302 <.0001
Label
goreng sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
91
2.005548 20 -0.00821
Lampiran 4a. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HARG_MGS HRMGSD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
3
3714239
1238080
1.82
16 19
10873868 14588107
679616.8
Pr
> F Model 0.1838 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
824.38873 3699.12600 22.28604
R-Square Adj R-Sq
0.25461 0.11485
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept EXDMGSD T waktu LHRMGSD
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
1922.985
792.0596
2.43
0.0274
1 1
0.100318 39.11683
0.192480 47.08917
0.52 0.83
0.6094 0.4184
1
0.389829
0.223690
1.74
0.1006
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Label
tren
2.034284 20 -0.02437
92
Lampiran 4a. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HARG_MSD HRMSD harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
3
2010297
670099.0
1.74
16 19
6173395 8183692
385837.2
Pr
> F Model 0.1998 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
621.15794 2482.62800 25.02018
R-Square Adj R-Sq
0.24565 0.10421
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept LSMSD DMSD HRMSW riil minyak
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
685.6042
1022.517
0.67
0.5121
1 1 1
-0.18485 0.620419 0.685127
0.259754 0.322136 0.443404
-0.71 1.93 1.55
0.4869 0.0721 0.1419
Label
harga sawit
dunia (US$/ton)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
93
0.907561 20 0.528756
Lampiran 4a. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PRMNTN_M DMSD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
4
6804776
1701194
10.42
15 19
2447775 9252551
163185.0
Pr
> F Model 0.0003 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
403.96164 3161.88500 12.77597
R-Square Adj R-Sq
0.73545 0.66490
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept LHRMSD LHRMGSD HRMRD THRSBD
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
1646.372
470.7829
3.50
0.0032
1 1 1 1
-0.40131 0.277441 0.166149 8.810846
0.382504 0.305361 0.049960 4.194723
-1.05 0.91 3.33 2.10
0.3107 0.3779 0.0046 0.0530
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Label
0.784067 20 0.44635
94
Lampiran 4b. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Margarin Domestik The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PROD_MRD PMRD produksi margarin domestik (000 kg)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
5
248929.5
49785.90
5.38
14 19
129520.7 378450.1
9251.476
Pr
> F Model 0.0057 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
96.18459 201.14500 47.81854
R-Square Adj R-Sq
0.65776 0.53553
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept HRMRD SHRMSD TB tingkat suku bunga
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
168.8151
303.7500
0.56
0.5871
1 1 1
0.000401 -0.00234 -0.13464
0.010802 0.037423 10.04158
0.04 -0.06 -0.01
0.9709 0.9510 0.9895
Label
uang (%) LUPRIN LPMRD produksi margarin
1 1
-0.00842 0.777856
0.015850 0.155441
-0.53 5.00
0.6035 0.0002
domestik tahun sebelumnya (000 kg)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
95
1.263849 20 0.349466
Lanjutan. Lampiran 4b The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PRMNTN_M DMRD permintaan margarin domestik (kg)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
3
1.0223E8
34077531
1.98
16 19
2.7537E8 3.776E8
17210541
Pr
> F Model 0.1576 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
4148.55892 14927.6266 27.79115
R-Square Adj R-Sq
0.27074 0.13401
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept HRMRD SGDPR PI penduduk
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
-38884.1
25581.26
-1.52
0.1480
1 1 1
-1.01070 4.381449 300.0566
0.853736 5.482385 154.9501
-1.18 0.80 1.94
0.2538 0.4359 0.0707
Label
jumlah
indonesia (jiwa)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.072088 20 0.452531
96
Lanjutan. Lampiran 4b The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HARG_MRD HRMRD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
4
1.3008E8
32518921
28.62
15 19
17043622 1.4712E8
1136241
Pr
> F Model <.0001 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1065.94627 8978.18000 11.87263
R-Square Adj R-Sq
0.88415 0.85326
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept SMRD penawaran margarin domestik (kg) TDMRD T waktu LHRMRD
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
2270.501
1134.212
2.00
0.0637
1
-0.00375
0.004238
-0.88
0.3903
1 1
5.843311 165.8938
10.48075 121.2625
0.56 1.37
0.5854 0.1914
1
0.470708
0.213096
2.21
0.0432
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
97
2.098371 20 -0.07178
Label
tren
Lampiran 4c. Hasil Estimasi Persamaan pada Blok Sabun Domestik The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PROD_SBD PSBD produksi sabun domestik (000 buah)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
5
47893264
9578653
11.75
14 19
11414833 59308097
815345.2
Pr
> F Model 0.0001 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
902.96468 1638.75000 55.10082
R-Square Adj R-Sq
0.80753 0.73880
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept HRSBD HRMSD riil minyak
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
3292.075
1887.771
1.74
0.1031
1 1
0.997185 -0.36779
1.035164 0.474309
0.96 -0.78
0.3517 0.4510
Label
harga sawit
domestik (Rp/ton) TB tingkat suku bunga
1
-176.377
132.8778
-1.33
0.2056 uang
(%) TUPRIN LPSBD produksi sabun
1 1
-36.9419 0.741855
15.78133 0.155419
-2.34 4.77
0.0346 0.0003
domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.542999 20 0.180176
98
Lanjutan. Lampiran 4c The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PRMNTN_S DSBD permintaan sabun domestik (buah)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
4
7.0862E9
1.7715E9
19.40
15 19
1.37E9 8.4562E9
91336022
Pr
> F Model <.0001 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
9556.98813 23608.5385 40.48107
R-Square Adj R-Sq
0.83798 0.79478
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept THRSBD GDPR domestic
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
-17558.5
15448.62
-1.14
0.2735
1 1
-46.0334 25.88094
100.8951 9.320444
-0.46 2.78
0.6547 0.0141
Label
gross
product riil (constant 2000) (000 Rp) TPI LDSBD permintaan sabuun
1 1
1066.629 0.308724
6963.572 0.271109
0.15 1.14
0.8803 0.2727
domestik tahun sebelumnya (buah)
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
99
2.164661 20 -0.11494
Lanjutan. Lampiran 4c The SAS The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
HARG_SBD HRSBD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
2
1092698
546349.2
8.99
17 19
1033185 2125883
60775.58
Pr
> F Model 0.0022 Error Corrected Total
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
246.52703 1213.44000 20.31638
R-Square Adj R-Sq
0.51400 0.45682
Parameter Estimates
Variable Variable Intercept Intercept SSSBD LHRSBD
Parameter
Standard
DF
Estimate
Error
t Value
Pr > |t|
1
397.8293
230.3474
1.73
0.1023
1 1
-0.00270 0.651484
0.003982 0.192995
-0.68 3.38
0.5068 0.0036
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Label
1.48443 20 0.251446
100
Lampiran 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia data Olah; input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN ; /*create data*/ SMGSD = PMGSD-EXMGSD; SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD; SSBD = PSBD+IMSB-EXSB; EXSSBD = SSBD-DSBD; EXDSBD = DSBD-SSBD; EXDMGSD = DMGSD-SMGSD; EXSMGSD = SMGSD-DMGSD; EXDMSD = DMSD-SMSD; EXSMSD = SMSD-DMSD; PDK = GDPR/PI; /*membuat variabel lag*/ LPMGSD = LAG(PMGSD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LHRMSD = LAG(HRMSD); LHRMGSD = LAG(HRMGSD); LPMRD = LAG(PMRD); LDMRD = LAG(DMRD); LHRMRD = LAG(HRMRD); LPSBD = LAG(PSBD); LDSBD = LAG(DSBD); LHRSBD = LAG(HRSBD); LSMRD = LAG(SMRD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LTB = LAG(TB); LPI = LAG(PI); LSSBD = LAG (SSBD); LDMSD = LAG(DMSD); LT = LAG (T); LUPRIN = LAG(UPRIN); LSMGSD = LAG (SMGSD); /*membuat selisih*/ SHRMSD=HRMSD-LHRMSD; RHRMSD=HRMSD/LHRMSD; SGDPR = GDPR-LGDPR; STB = TB-LTB; SDSBD = DSBD-LDSBD; SSSBD = SSBD-LSSBD; SUPRIN = UPRIN-LUPRIN; ST = T-LT; SDMGSD = DMGSD-LDMGSD; SDMSD = DMSD-LDMSD; SSMGSD = SMGSD-LSMGSD; SHRMRD = HRMRD-LHRMRD;
101
Lampiran 5. Lanjutan /*membuat pertumbuhan atau laju*/ THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD*100; THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD*100; TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD*100; THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD*100; TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR*100; TPI = (PI-LPI)/LPI*100; TTB = (TB-LTB)/LTB*100; RGDPPI=GDPR/PI*100; TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD*100; TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD*100; TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD*100; TT = (T-LT)/LT*100; THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD*100; TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD*100; TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD*100; TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN*100; /*membuat rasio*/ RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD; RGDPR = GDPR/LGDPR; RTB = TB/LTB; RHRMRD=HRMRD/LHRMRD; RSSBD = SSBD/LSSBD; RDSBD = DSBD/LDSBD; RDMGSD = DMGSD/LDMGSD; RUPRIN = UPRIN/LUPRIN; /*mendeskripsikan variabel*/ label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)' DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)' SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)' DMSD = 'permintaan minyak sawit domestik (000 ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)' DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)' SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)' PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)' DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)' SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren waktu' GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)' PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)' EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)' IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)' EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)' IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)' EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)' LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (ton)' LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'
102
Lampiran 5. Lanjutan LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)' LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)' LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)' LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)' LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)' LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)' LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)' HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)' HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)' HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)' THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/ton)' THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)' THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)' ; proc print data=olah; run; PROC SIMNLIN DATA=Olah SIMULATE STAT THEIL; endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD; exogenous Th TB T LPMGSD GDPR PI LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW IMMRD EXMRD IMSB EXSB; LPMGSD = LAG(PMGSD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LHRMSD = LAG(HRMSD); LHRMGSD = LAG(HRMGSD); LPMRD = LAG(PMRD); LDMRD = LAG(DMRD); LHRMRD = LAG(HRMRD); LPSBD = LAG(PSBD); LDSBD = LAG(DSBD); LHRSBD = LAG(HRSBD); LSMRD = LAG(SMRD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LTB = LAG(TB); LPI = LAG(PI); LSSBD = LAG (SSBD); LDMSD = LAG(DMSD); LT = LAG (T); LUPRIN = LAG(UPRIN); LSMGSD = LAG (SMGSD); PARM a0 4774.628 a1 0.691829 a2 -18.9808 a3 -309.518 a4 0.349079 b0 1242.059 b1 -0.35868 b2 31.23010 b3 0.897034 c0 1922.985 c1 0.100318 c2 39.11683 c3 0.389829 d0 685.6042 d1 -0.18485 d2 0.620419 d3 0.685127 e0 1646.372 e1 -0.40131 e2 0.277441 e3 0.166149 e4 8.810846 f0 168.8151 f1 0.000401 f2 -0.00234 f3 -0.13464 f4 -0.00842 f5 0.777856 g0 -38884.1 g1 -1.01070 g2 4.381449 g3 300.0566 h0 2270.501 h1 -0.00375 h2 5.843311 h3 165.8938 h4 0.470708
103
Lampiran 5. Lanjutan i0 3292.075 i1 0.997185 i2 -0.36779 i3 -176.337 i4 -36.9419 i5 0.741855 j0 -17558.5 j1 -4603.34 j2 25.88094 j3 1066.629 j4 0.308724 kO 397.8293 k1 -0.00270 k2 0.651484; PMGSD = a0 + a1*HRMGSD + a2*((HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD) + a3*TB + a4*LPMGSD; DMGSD = b0 + b1*HRMGSD + b2*PDK + b3*LDMGSD; HRMGSD = c0 + c1*(DMGSD-SMGSD) + c2*T + c3*LHRMGSD; HRMSD = d0 + d1*LSMSD + d2*DMSD + d3*HRMSW; DMSD = e0 + e1*LHRMSD + e2*LHRMGSD + e3*LHRMRD + e4*((HRSBDLHRSBD)/LHRSBD); PMRD = f0 + f1*HRMRD + f2*(HRMSD-LHRMSD) + f3*TB + f4*LUPRIN + f5*LPMRD; DMRD = g0 + g1*HRMRD + g2*(GDPR-LGDPR) + g3*PI; HRMRD = h0 + h1*SMRD + h2*((DMRD-LDMRD)/LDMRD) + h3*T + h4*LHRMRD; PSBD = i0 + i1*HRSBD + i2*LHRMSD + i3*TB + i4*((UPRINLUPRIN)/LUPRIN) + i5*LPSBD; DSBD = j0 + j1*((HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD) + j2*GDPR + j3*((PI-LPI)/LPI) + j4*LDSBD; HRSBD = kO + k1*(SSBD-LSSBD) + k2*LHRSBD; SMGSD = PMGSD-EXMGSD; SMRD = PMRD+IMMRD; SSBD = PSBD+IMSB; RANGE Th= 2007 TO 2010; run;
104
105
Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
Model Summary
The SAS System The SIMNLIN Procedure
28 14 14 51 Th 16 35 1
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Produksi Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia
105
Variables Solved For
Lampiran 6. Lanjutan
106
106
OLAH
14 1 Th 2007 2010 NEWTON 1E-8 1.19E-14 1 4 1
5 1 4 18 21
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
Read Lagged Solved First Last
Observations Processed
Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
Solution Summary
DATA=
Data Set Options
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
4
4
4 4
4
4
4
4
4 4
4
4
4
DMGSD
SMGSD
HRMGSD HRMSD
DMSD
PMRD
DMRD
SMRD
HRMRD PSBD
DSBD
SSBD
HRSBD
107
4
N Obs
PMGSD
Variable
Lampiran 6. Lanjutan
107 4
4
4
4 4
4
4
4
4
4 4
4
4
4
N
1035.3
-144271
54033.4
13383.0 4455.8
-390598
14326.4
164.5
4082.8
4034.3 2174.3
2891.4
884.3
5037.7
29.0504
17621.8
21912.8
954.3 1402.9
76653.8
3584.0
133.3
90.7466
116.8 44.8322
252.9
101.0
460.8
Actual Mean Std Dev
791.8
5989.7
49371.7
10248.1 2647.6
4463.8
20058.9
103.7
3521.1
4050.7 2247.0
2655.8
903.5
188.6
525.7
5242.4
275.9 279.2
392.9
596.1
22.2637
67.8147
89.8063 4.3532
249.0
125.4
408.8
Predicted Mean Std Dev 4802.1
Descriptive Statistics
Solution Range Th = 2007 To 2010
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
produksi sabun domestik (000 buah) permintaan sabun domestik (buah) penawaran sabun domestik (buah)
harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton) permintaan minyak sawit domestik (000 ton) produksi margarin domestik (000 kg) permintaan margarin domestik (kg) penawaran margarin domestik (kg)
produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton) permintaan minyak goreng sawit domestik (ton) penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)
Label
N
4
4
Variable
PMGSD
DMGSD
108
19.1830
-235.6
Mean Error
Lampiran 6. Lanjutan
108
2.3610
-4.5401
65.5493
254.8
7.6554
4.9757
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
88.4203
306.6
RMS Error
Statistics of fit
10.4462
6.0329
0.4096 produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton) -.0220 permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)
RMS % Error R-Square Label
4 4
4
4 -60.7550
4
4
4 4
4
4
4
HRMGSD HRMSD
DMSD
PMRD
DMRD
SMRD
HRMRD PSBD
DSBD
SSBD
HRSBD
109
4
SMGSD
0.4416 3.3719
-7.9188
-101.2
46.6104
10.3158
-104.2
-0.5006
-243.4 -23.7599
150260
-4661.7
243.4
150260
13337.5
3134.8 1808.2
395062
5780.1
99.0801
561.7
83.7089 72.6603
254.8
23.7599
104.2
23.2909
23.2210 35.5437
101.2
46.8549
67.4799
13.7386
2.0643 3.3719
8.6733
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
283.6
151008
15804.5
3195.1 2236.8
400654
6752.8
116.4
566.0
91.2781 81.1757
306.6
RMS Error
Statistics of fit
27.9480
104.2
24.2302
23.4692 40.2237
101.2
55.9578
68.3717
13.8268
2.2467 3.7725
24
-.9601 penawaran minyak goreng sawit domestik (ton) 0.1853 -3.371 harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton) -50.88 permintaan minyak sawit domestik (000 ton) -.0161 produksi margarin domestik (000 kg) -3.733 permintaan margarin domestik (kg) -35.43 penawaran margarin domestik (kg) -13.95 -2.389 produksi sabun domestik (000 buah) 0.3064 permintaan sabun domestik (buah) -96.91 penawaran sabun domestik (buah) -126.1
RMS % Error R-Square Label
16:19 Friday, March 5, 2013
10.5120
Solution Range Th = 2007 To 2010
-3134.8 -23.2210 -1808.2 -35.5437
395062
5732.6
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
-561.7 -13.7386
16.3447 72.6603
-235.6
N
Variable
Mean Error
Lampiran 6. Lanjutan
109
N
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Variable
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD
110
MSE
94021.0 7818.1 94021.0 8331.7 6589.5 320405 13547.7 45599736 1.605E11 10208538 5003275 2.4978E8
Lampiran 6. Lanjutan
110
0.87 0.63 0.59 0.52 0.72 0.51 0.86 -0.89 -0.95 0.91 -0.34 0.89
Corr (R) 0.59 0.05 0.59 0.03 0.80 0.98 0.27 0.72 0.97 0.96 0.65 0.09
0.00 0.36 0.08 0.07 0.09 0.00 0.48 0.23 0.03 0.03 0.09 0.60
0.41 0.59 0.33 0.89 0.11 0.01 0.25 0.05 0.00 0.01 0.26 0.31
0.02 0.06 0.00 0.07 0.19 0.00 0.68 0.15 0.03 0.03 0.19 0.83
0.39 0.90 0.41 0.90 0.01 0.01 0.04 0.13 0.00 0.00 0.16 0.08
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
Theil Forecast Error Statistics
0.0607 0.0995 0.1057 0.0226 0.0373 0.1386 0.5792 0.4607 1.0112 0.2383 0.4843 0.2760
0.0311 0.0492 0.0551 0.0113 0.0184 0.0744 0.3799 0.1945 0.9999 0.1350 0.3074 0.1479
Inequality Coef U1 U
N
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Variable
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
111
4 4
SSBD HRSBD
0.56 0.74
Corr (R) 0.99 0.74
0.00 0.26
0.01 0.00
0.01 0.24
0.00446 0.00784 0.0134 0.000504 0.00138 0.0208 3.7337 0.2431 1.3623 0.0639 0.4520 0.1493 1.1540 0.0946
MSE -0.06 -0.08 -0.43 0.93 0.72 0.98 0.76 0.80 -0.92 0.99 0.57 0.71 -0.57 -0.98
Corr (R) 0.55 0.03 0.55 0.03 0.80 0.97 0.14 0.70 0.94 0.99 0.53 0.04 0.98 0.69
0.20 0.21 0.39 0.43 0.06 0.02 0.28 0.23 0.05 0.01 0.04 0.01 0.01 0.30
0.25 0.76 0.06 0.55 0.14 0.00 0.58 0.07 0.01 0.00 0.43 0.95 0.01 0.00
0.01 0.24 0.05 0.64 0.01 0.02 0.66 0.15 0.06 0.01 0.28 0.26 0.02 0.04
0.44 0.73 0.39 0.34 0.19 0.00 0.20 0.14 0.00 0.00 0.19 0.70 0.00 0.27
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
0.00 0.03
0.9995 0.1538
0.8457 0.9631 1.5122 0.4682 1.6305 2.4473 0.7549 1.9989 3.7193 2.1854 1.1782 0.6773 7.0608 4.2871
0.5859 0.6300 0.8444 0.2725 0.6750 0.8334 0.5682 0.6594 0.8798 0.8477 0.7234 0.4153 0.8991 0.9834
Inequality Coef U1 U
1.0409 0.2739
Inequality Coef U1 U
16:19 Friday, March 5, 2013
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
Theil Forecast Error Statistics
Solution Range Th = 2007 To 2010
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
The SAS System
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
2.28E10 80456.2
MSE
Relative Change
N
Variable
Lampiran 6. Lanjutan
111 25
Lampiran 7. Program Simulasi data Olah; input Th T PI GDPR TB HRMGSD HRSBD HRMRD PMGSD PSBD PMRD EXSB EXMGSD EXMRD IMMRD IMSB DMGSD DMSD HRMSD HRMSW DMRD DSBD IHK SMSD UPRIN ; /*create data*/ SMGSD = PMGSD-EXMGSD; SMRD = PMRD+IMMRD-EXMRD; SSBD = PSBD+IMSB-EXSB; EXSSBD = SSBD-DSBD; EXDSBD = DSBD-SSBD; EXDMGSD = DMGSD-SMGSD; EXSMGSD = SMGSD-DMGSD; EXDMSD = DMSD-SMSD; EXSMSD = SMSD-DMSD; PDK = GDPR/PI; /*membuat variabel lag*/ LPMGSD = LAG(PMGSD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LHRMSD = LAG(HRMSD); LHRMGSD = LAG(HRMGSD); LPMRD = LAG(PMRD); LDMRD = LAG(DMRD); LHRMRD = LAG(HRMRD); LPSBD = LAG(PSBD); LDSBD = LAG(DSBD); LHRSBD = LAG(HRSBD); LSMRD = LAG(SMRD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LTB = LAG(TB); LPI = LAG(PI); LSSBD = LAG (SSBD); LDMSD = LAG(DMSD); LT = LAG (T); LUPRIN = LAG(UPRIN); LSMGSD = LAG (SMGSD); /*membuat selisih*/ SHRMSD=HRMSD-LHRMSD; RHRMSD=HRMSD/LHRMSD; SGDPR = GDPR-LGDPR; STB = TB-LTB; SDSBD = DSBD-LDSBD; SSSBD = SSBD-LSSBD; SUPRIN = UPRIN-LUPRIN; ST = T-LT; SDMGSD = DMGSD-LDMGSD; SDMSD = DMSD-LDMSD; SSMGSD = SMGSD-LSMGSD; SHRMRD = HRMRD-LHRMRD;
112
Lampiran 7. Lanjutan /*membuat pertumbuhan atau laju*/ THRMRD =(HRMRD-LHRMRD)/LHRMRD; THRSBD = (HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD; TSMRD = (SMRD-LSMRD)/LSMRD; THRMSD = (HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD; TGDPR = (GDPR-LGDPR)/LGDPR; TPI = (PI-LPI)/LPI; TTB = (TB-LTB)/LTB; RGDPPI=GDPR/PI; TDMRD = (DMRD-LDMRD)/LDMRD; TDSBD = (DSBD-LDSBD)/LDSBD; TSSBD = (SSBD-LSSBD)/LSSBD; TT = (T-LT)/LT; THRMGSD = (HRMGSD-LHRMGSD)/LHRMGSD; TDMGSD = (DMGSD-LDMGSD)/LDMGSD; TDMSD = (DMSD-LDMSD)/LDMSD; TUPRIN = (UPRIN-LUPRIN)/LUPRIN; /*membuat rasio*/ RHRMSMGS = HRMSD/HRMGSD; RGDPR = GDPR/LGDPR; RTB = TB/LTB; RHRMRD=HRMRD/LHRMRD; RSSBD = SSBD/LSSBD; RDSBD = DSBD/LDSBD; RDMGSD = DMGSD/LDMGSD; RUPRIN = UPRIN/LUPRIN; /*mendeskripsikan variabel*/ label PMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton)' DMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik (ton)' SMGSD = 'penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSD = 'harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)' SMSD = 'penawaran minyak sawit domestik (000 ton)' PMRD = 'produksi margarin domestik (000 kg)' DMRD = 'permintaan margarin domestik (kg)' SMRD = 'penawaran margarin domestik (kg)' PSBD = 'produksi sabun domestik (000 buah)' DSBD ='permintaan sabun domestik (buah)' SSBD = 'penawaran sabun domestik (buah)' TB = 'tingkat suku bunga uang (%)' T = 'tren waktu' GDPR = 'gross domestic product riil (constant 2000) (000 Rp)' PI = 'jumlah penduduk indonesia (jiwa)' EXMGSD = 'ekspor minyak goreng sawit domestik (ton)' HRMSW = 'harga riil minyak sawit dunia (US$/ton)' IMMRD = 'impor margarin domestik (000 kg)' EXMRD = 'ekspor margarin domestik (000 kg)' IMSB = 'impor sabun domestik (000 kg)' EXSB = 'ekspor sabun domestik (000 kg)' LPMGSD = 'produksi minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (ton)' LDMGSD = 'permintaan minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)' LHMSD = 'harga minyak sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)' LHMGSDR = 'harga minyak goreng sawit domestik tahun sebelumnya (Rp/ton)'
113
Lampiran 7. Lanjutan LPMRD = 'produksi margarin domestik tahun sebelumnya (000 kg)' LDMRD = 'permintaan margarin domestik tahunsebelumnya (kg)' LHMRDR = 'harga margarin domestik tahunsebelumnya (Rp/kg)' LPSBD = 'produksi sabun domestik tahun sebelumnya (000 Rp/buah)' LDSBD = 'permintaan sabuun domestik tahun sebelumnya (buah)' LHSBDR = 'harga sabun domestik tahun sebelumnya (Rp)' HMGSDR = 'harga riil minyak goreng domestik (Rp/ton)' HSBDR = 'harga riil sabun domestik (Rp/buah)' HMRDR = 'harga riil margarin doomestik (Rp/kg)' THMGSDR = 'laju pertumbuhan harga riil minyak goreng sawit domestik (Rp/ton)' THMRDR = 'laju pertumbuhan harga riil margarin domestik (Rp/kg)' THSBDR = 'laju pertumbuhan harga riil sabun domestik (Rp/buah)' ; proc print data=olah; run; PROC SIMNLIN DATA=Olah SIMULATE STAT THEIL; endogenous PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD; exogenous Th TB T LPMGSD GDPR PI LDMGSD EXMGSD SMSD HRMSW IMMRD EXMRD IMSB EXSB; LPMGSD = LAG(PMGSD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LHRMSD = LAG(HRMSD); LHRMGSD = LAG(HRMGSD); LPMRD = LAG(PMRD); LDMRD = LAG(DMRD); LHRMRD = LAG(HRMRD); LPSBD = LAG(PSBD); LDSBD = LAG(DSBD); LHRSBD = LAG(HRSBD); LSMRD = LAG(SMRD); LDMGSD = LAG(DMGSD); LSMSD = LAG(SMSD); LGDPR = LAG(GDPR); LTB = LAG(TB); LPI = LAG(PI); LSSBD = LAG (SSBD); LDMSD = LAG(DMSD); LT = LAG (T); LUPRIN = LAG(UPRIN); LSMGSD = LAG (SMGSD); PARM a0 4774.628 a1 0.691829 a2 -18.9808 a3 -309.518 a4 0.349079 b0 1242.059 b1 -0.35868 b2 31.23010 b3 0.897034 c0 1922.985 c1 0.100318 c2 39.11683 c3 0.389829 d0 685.6042 d1 -0.18485 d2 0.620419 d3 0.685127 e0 1646.372 e1 -0.40131 e2 0.277441 e3 0.166149 e4 8.810846 f0 94.96119 f1 0.002531 f2 -0.01186 f3 -0.42119 f4 -0.00394 f5 0.779103 g0 -38884.1 g1 -1.01070 g2 4.381449 g3 300.0566 h0 2270.501 h1 -0.00375 h2 5.843311 h3 165.8938 h4 0.470708
114
Lampiran 7. Lanjutan i0 3292.075 i1 0.997185 i2 -0.36779 i3 -176.337 i4 -36.9419 i5 0.741855 j0 -17558.5 j1 -4603.34 j2 25.88094 j3 1066.629 j4 0.308724 kO 397.8293 k1 -0.00270 k2 0.651484; PMGSD = a0 + a1*HRMGSD + a2*((HRMSD-LHRMSD)/LHRMSD) + a3*(0.8*TB) + a4*LPMGSD; DMGSD = b0 + b1*HRMGSD + b2*PDK + b3*LDMGSD; HRMGSD = c0 + c1*(DMGSD-SMGSD) + c2*T + c3*LHRMGSD; HRMSD = d0 + d1*LSMSD + d2*DMSD + d3*HRMSW; DMSD = e0 + e1*LHRMSD + e2*LHRMGSD + e3*LHRMRD + e4*((HRSBDLHRSBD)/LHRSBD); PMRD = f0 + f1*HRMRD + f2*(HRMSD-LHRMSD) + f3*(0.8*TB) + f4*LUPRIN + f5*LPMRD; DMRD = g0 + g1*HRMRD + g2*(GDPR-LGDPR) + g3*PI; HRMRD = h0 + h1*SMRD + h2*((DMRD-LDMRD)/LDMRD) + h3*T + h4*LHRMRD; PSBD = i0 + i1*HRSBD + i2*LHRMSD + i3*(0.8*TB) + i4*((UPRINLUPRIN)/LUPRIN) + i5*LPSBD; DSBD = j0 + j1*((HRSBD-LHRSBD)/LHRSBD) + j2*GDPR + j3*((PI-LPI)/LPI) + j4*LDSBD; HRSBD = kO + k1*(SSBD-LSSBD) + k2*LHRSBD; SMGSD = PMGSD-EXMGSD; SMRD = PMRD+IMMRD; SSBD = PSBD+IMSB; RANGE Th= 2007 TO 2010; run;
115
115
Model Variables Endogenous Exogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
Model Summary
The SIMNLIN Procedure
The SAS System
28 14 14 51 Th 16 35 1
Lampiran 8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga Sebesar 20 Persen)
115 116
116
Variables Solved For
Lampiran 8. Lanjutan
117 OLAH
14 1 Th 2007 2010 NEWTON 1E-8 5.79E-15 1 4 1
5 1 4 18 21
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
Read Lagged Solved First Last
Observations Processed
Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
Solution Summary
DATA=
Data Set Options
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
The SAS System
4
4
4
4 4
4 4
4
4
4 4
4
4
4
DMGSD
SMGSD
HRMGSD HRMSD
DMSD PMRD
DMRD
SMRD
HRMRD PSBD
DSBD
SSBD
HRSBD
N Obs
PMGSD
Variable
Lampiran 8. Lanjutan
117
117 118
4
4
4
4 4
4
4
4 4
4 4
4
4
4
N
1035.3
-144271
54033.4
13383.0 4455.8
-390598
14326.4
4082.8 164.5
4034.3 2174.3
2891.4
884.3
5037.7
29.0504
17621.8
21912.8
954.3 1402.9
76653.8
3584.0
90.7466 133.3
116.8 44.8322
252.9
101.0
460.8
Actual Mean Std Dev
790.1
6974.6
49373.2
10247.9 3632.6
4498.9
20059.1
3502.3 138.7
3942.8 2235.3
3464.9
942.2
188.4
366.1
5239.8
275.8 609.4
393.7
596.2
57.4936 32.1924
72.4024 10.6708
204.8
121.3
362.3
Predicted Mean Std Dev 5611.2
Descriptive Statistics
Solution Range Th = 2007 To 2010
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
The SAS System
produksi sabun domestik (000 buah) permintaan sabun domestik (buah) penawaran sabun domestik (buah)
produksi margarin domestik (000 kg) permintaan margarin domestik (kg) penawaran margarin domestik (kg)
harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton)
produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton) permintaan minyak goreng sawit domestik (ton) penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)
Label
N
4
4
4
Variable
PMGSD
DMGSD
SMGSD
118
118
573.5
57.8821
573.5
Mean Error
Lampiran 8. Lanjutan
119 20.3181
6.8322
11.6782
573.5
69.2717
573.5
20.3181
8.2185
11.6782
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
605.5
105.0
605.5
RMS Error
Statistics of fit
22.0164
12.4141
12.6718
-1.302 produksi minyak goreng sawit domestik (000 ton) -.4400 permintaan minyak goreng sawit domestik (ton) -6.644 penawaran minyak goreng sawit domestik (ton)
RMS % Error R-Square Label
-4660.1
151245
4
4
4
SSBD
HRSBD
DSBD
-3135.0 -23.2223 -823.2 -12.6694
4 4
HRMRD PSBD
119
-245.2 -23.9315
-104.9
-0.4953
-101.2
395097
4
SMRD
46.6119
5732.7
245.2
151245
13340.9
3135.0 1158.8
395097
5780.2
580.5 89.4838
4 -580.5 -14.1994 4 -25.7158 45.7200
4
DMRD
DMSD PMRD
94.3365 60.9990
4 -91.5483 4 60.9990
HRMGSD HRMSD
23.9315
104.9
23.2991
23.2223 21.7821
101.2
46.8563
14.1994 86.9384
2.2985 2.8302
Mean % Mean Abs Mean Abs Error Error % Error
285.1
152019
15806.6
3195.3 1552.9
400689
6753.0
583.8 93.6276
127.1 67.8228
RMS Error
Statistics of fit
28.0872
104.9
24.2377
23.4707 26.9328
101.2
55.9594
14.2628 101.0
-.5805 -2.051 harga riil minyak sawit domestik (Rp/ton) -54.19 0.3425 produksi margarin domestik (000 kg) -3.734 permintaan margarin domestik (kg) -35.43 penawaran margarin domestik (kg) -13.95 -.6336 produksi sabun domestik (000 buah) 0.3062 permintaan sabun domestik (buah) -98.23 penawaran sabun domestik (buah) -127.4
RMS % Error R-Square Label 3.0629 3.1523
Solution Range Th = 2007 To 2010
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
The SAS System
-2.2288 2.8302
N
Variable
Mean Error
Lampiran 8. Lanjutan
120 119
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
120
N
Variable
MSE
366671 11016.0 366671 16163.0 4599.9 340855 8766.1 45602432 1.606E11 10209810 2411463 2.4985E8 2.311E10 81282.5
Lampiran 8. Lanjutan
121 0.88 0.60 0.54 0.50 0.99 0.60 0.93 -0.89 -0.96 0.91 0.02 0.89 -0.16 0.74
Corr (R) 0.90 0.30 0.90 0.52 0.81 0.99 0.08 0.72 0.97 0.96 0.28 0.09 0.99 0.74
0.00 0.25 0.01 0.01 0.19 0.00 0.73 0.23 0.03 0.03 0.11 0.60 0.00 0.26
0.10 0.44 0.09 0.47 0.00 0.01 0.20 0.05 0.00 0.01 0.61 0.31 0.01 0.00
0.02 0.03 0.00 0.09 0.19 0.00 0.88 0.15 0.03 0.03 0.20 0.83 0.01 0.23
0.08 0.67 0.10 0.39 0.00 0.01 0.05 0.13 0.00 0.00 0.52 0.08 0.00 0.03
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
Theil Forecast Error Statistics
0.1198 0.1181 0.2088 0.0315 0.0312 0.1430 0.4659 0.4607 1.0113 0.2383 0.3362 0.2760 1.0479 0.2753
0.0567 0.0571 0.0951 0.0159 0.0154 0.0770 0.2734 0.1945 0.9999 0.1351 0.1873 0.1479 0.9997 0.1548
Inequality Coef U1 U
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
PMGSD DMGSD SMGSD HRMGSD HRMSD DMSD PMRD DMRD SMRD HRMRD PSBD DSBD SSBD HRSBD
121
N
Variable
Solution Range Th = 2007 To 2010
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
The SAS System
0.0181 0.0106 0.0546 0.00105 0.000963 0.0221 2.6083 0.2431 1.3625 0.0639 0.2443 0.1493 1.1693 0.0955
MSE 0.23 -0.07 -0.01 0.91 0.78 0.99 0.79 0.80 -0.92 0.99 0.70 0.71 -0.77 -0.98
Corr (R) 0.86 0.31 0.86 0.53 0.81 0.98 0.02 0.70 0.94 0.99 0.26 0.04 0.98 0.70
0.09 0.13 0.13 0.14 0.03 0.02 0.24 0.23 0.05 0.01 0.12 0.01 0.01 0.30
0.06 0.56 0.02 0.33 0.16 0.00 0.74 0.07 0.01 0.00 0.62 0.95 0.01 0.00
0.01 0.20 0.05 0.25 0.00 0.02 0.62 0.15 0.06 0.01 0.47 0.26 0.02 0.03
0.13 0.49 0.10 0.22 0.19 0.00 0.36 0.14 0.00 0.00 0.27 0.70 0.00 0.27
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change
Lampiran 8. Lanjutan
122 121
1.7020 1.1220 3.0516 0.6745 1.3610 2.5197 0.6310 1.9990 3.7196 2.1855 0.8661 0.6774 7.1073 4.3074
0.4793 0.8293 0.6244 0.4239 0.6214 0.8340 0.4077 0.6594 0.8798 0.8477 0.6305 0.4153 0.8998 0.9832
Inequality Coef U1 U
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Singgih widhosari lahir pada tanggal 9 September 1990 di kota Nabire. Penulis merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan Tukijan dan Alm. Lestari ningsih. Penulis mulai menjalani pendidikan formal di Yapis Kaimana, kemudian melanjutkan pendidikan di SD Inpres 109 Sorong dan lulus tahun 2002. Setelah itu melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Biak dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 3 Sorong dan lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen. Penulis mengambil program minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan.