FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI PADA PRIVATE LABEL FOODS (Studi Kasus di Kota Bogor)
DHARMAWAN SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruh Minat Beli pada Private Label Foods (Studi Kasus di Kota Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Dharmawan Santoso H251150546
RINGKASAN DHARMAWAN SANTOSO. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Beli pada Private Label Foods (Studi Kasus di Kota Bogor). Dibimbing oleh MUKHAMAD NAJIB dan JONO MINTARTO MUNANDAR. Saat ini produk private label semakin populer di Indonesia. Berdasarkan survei Nielsen (2012), pertumbuhan nilai jual Indonesia untuk private label melampaui 20% selama tahun 2011. Pertumbuhan private label bersamaan dengan perkembangan industri ritel moderen di Indonesia. Namun, persaingan produk private label yang tinggi berpotensi memberikan kerugian kepada retailer. Berdasarkan Kantar Wordpanel Total National Indonesia (2015), pertumbuhan volume fast moving consumer goods dalam kategori makanan memiliki presentase pertumbuhan yang paling rendah selama tahun 2015. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap produk private label khusus pada kategori makanan. Kota Bogor mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang meningkat selama 2011-2014. Selama tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Kota Bogor yaitu sebesar 5,86%. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan industri ritel di Kota Bogor berkembang pesat, sehingga penelitian ini dilakukan di Kota Bogor. Penelitan ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi karakteristik konsumen hypermarket, supermarket dan minimarket, 2) menganalisis perbedaan variabel laten antara responden hypermarket, supermarket dan minimarket, 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap food private label. Penelitian dilakukan di 2 hypermarket (Giant Botani Square dan Hypermart Ekalokasari), 2 supermarket (Superindo Jembatan Merah dan Griyamart Ciomas) serta 2 minimarket (Alfamart Sindangbarang dan Indomaret Suryakencana). Metode penarikan sampel yaitu quota sampling dan purposive sampling. Total responden yang diperoleh yaitu sebanyak 274 orang. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif, uji Mann Whitney dengan bantuan software SPSS 16 dan Covariance Base Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software LISREL 8.3. Hasil menunjukan bahwa terdapat perbedaan karakteristik responden dari segi demografi dan perilaku pembelian untuk segmen hypermarket, supermarket dan minimarket. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney menunjukan bahwa variabel citra toko, persepsi risiko, persepsi variasi kualitas, kesadaran nilai, familiarity, persepsi kualitas, private label attitude dan minat beli dipersepsikan berbeda antara konsumen hypermarket, supermarket dan minimarket. Hasil analisis CB-SEM menunjukkan bahwa hanya dua variabel yang berpengaruh secara langsung terhadap minat beli konsumen yaitu product signatureness dan private label attitude. Selanjutnya private label attitude juga dipengaruhi oleh keinovatifan konsumen dan kesadaran nilai. Persepsi kualitas dipengaruhi oleh variabel ruang rak, persepsi variasi kualitas dan familiarity. Selanjutnya persepsi risiko dipengaruhi oleh variabel familiarity dan citra private label. Namun, persepsi kualitas dan persepsi risiko tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap minat beli konsumen. Kata kunci: Mann Whitney, minat beli, private label, private label attitude, SEM
SUMMARY DHARMAWAN SANTOSO. Factors Influencing Purchase Intention toward Private Label Foods (Case Study in Bogor City). Supervised by MUKHAMAD NAJIB and JONO MINTARTO MUNANDAR. Nowadays private label products become popular in Indonesia. Nielsen (2012) state that growth in private label sales Indonesia to exceed 20% in 2011. Growth in private label rise with raising growth of the modern retail industry in Indonesia. High competition in the private label product has the potential loss to the retailer. Based on Kantar Wordpanel (2015), the volume growth of fast moving consumer goods in the food products had the lowest percentage during 2015. Therefore, this study examined the factors that influence consumer purchase intention toward private label products, especially in the food product category. Bogor city had raising economic growth during 2011-2014. Economic growth in Bogor city was about 5,86% during 2013. It shows that the growth of retail industry in Bogor city is increasing rapidly. Therefore this research was located in Bogor city. The objective of this research are 1) to identify the characteristics of the hypermarket, supermarket and minimarket respondent, 2) to analyze the differentiation of latent-variables among hypermarket respondent, supermarket respondent and minimarket respondent, 3) to analyze the factors that influence consumer purchase intention toward food private label. The location of this research were two hypermarkets (Giant Botani Square and Hypermart Ekalokasari), two supermarkets (Superindo Jembatan Merah and Griyamart Ciomas) and tow minimarkets (Alfamart Sindangbarang and Indomaret Suryakencana). The sampling method were quota sampling and purposive sampling. This research used 274 respondents. Descriptive analysis, Mann Whitney test by SPSS 16 and Covariance Base Structural Equation Modeling (SEM) by LISREL 8.3 software were used to perform data analysis. The results showed that there were differentiations in respondents characteristics in terms of demographics and buying behavior for the segment of hypermarkets, supermarkets and minimarket. Mann Whitney test showed that the variables of store image, perceived risk, quality variation, value consciousness, familiarity, perceived quality, private label perceived attitude and purchase intention had differentiation among respondent of hypermarket, supermarket and minimarket. The result of CB-SEM analysis showed that only two variables that directly affect consumer purchase intention, namely product signatureness and private label attitude. Furthermore, private label attitude was influenced by consumer innnovativeness and value consciousness. Perceived quality was influenced by shelf space, quality variation and familiarity. Furthermore, the perceived risk was influenced by familiarity and private label image. However, perceived quality, and perceived risk did not has a significant influence on consumer purchase intention.
Keywords: Mann Whitney, private label, private label attitude, purchase intention, SEM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI PADA PRIVATE LABEL FOODS (Studi Kasus di Kota Bogor )
DHARMAWAN SANTOSO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc
PRAKATA Puji dan syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 sampai September 2016 ini ialah minat beli, dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Beli pada Private Label Foods (Studi Kasus di Kota Bogor). Lokasi penelitian dilakukan di Giant Botani Square, Hypermart Ekalokasari, Superindo Jembatan Merah, Griyamart Ciomas, Alfamart Sindangbarang dan Indomaret Suryakencana. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Mukhamad Najib, STP, MM dan Bapak Dr Ir Jono M Munandar, MSc selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc selaku penguji luar komisi serta Bapak Dr Ir Budi Purwanto, ME dan Ibu Dr Heti Mulyati, STP, MT yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Bapak Edie Santoso), ibu (Ibu Lestari Sunarjo), Meilisa, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016 Dharmawan Santoso
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Industri Pasar Modern Merek Private Label Citra Toko Familiarity Persepsi Risiko Persepsi Kualitas Citra Private Label Ruang Rak Product Signatureness Persepsi Variasi Kualitas Kesadaran Nilai Keinovatifan Konsumen Private Label Attitude Minat Beli Penelitian Terdahulu
4 4 5 5 6 7 8 8 9 9 9 9 10 10 11 12 13
3 METODE Kerangka Pemikiran Pengembangan Hipotesis Kerangka Operasional Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Pengujian Kuesioner Analisis Data
16 16 18 21 24 25 26 27
DAFTAR ISI (lanjutan) 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Industri Ritel Kota Bogor Karakteristik Konsumen Perbedaan Variabel Laten antara Hypermarket, Supermarket dan Minimarket Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Private Label Makanan Implikasi Manajerial
36 40 50
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
51 51 51
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
62
RIWAYAT HIDUP
72
32 32 33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Perbedaan ritel kategori hypermarket, supermarket, dan minimarket Definisi konseptual dan operasional variabel laten Indikator pengukuran variabel laten Top brand index industri ritel 2015 Sampel penelitian Karakteristik konsumen hypermarket, supermarket, minimarket Frekuensi berbelanja di setiap toko Pengeluaran per bulan untuk produk private label Ringkasan hasil uji Mann Whitney Hasil uji validitas indikator Hasil uji relibilitas Hasil uji kelayakan model Hasil analisis model struktural Hasil pengaruh tidak langsung
4 21 24 25 26 33 35 36 36 40 41 43 43 49
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Model penelitian Jaafar et al. (2012) Model penelitian Bao et al. (2010) Model penelitian Dursun et al. (2011) Model penelitian Wu et al. (2010) Model penelitian Jin dan Suh (2005) Model penelitian SEM Diagram alir analisis data Path diagram nilai loading factor Path diagram nilai t-hitung
13 14 14 15 15 17 28 42 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Rangkuman Penelitian Terdahulu Kuesioner Penelitian Ringkasan Hasil Uji Validitas Korelasi Pearson Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Hasil Uji Mann Whitney
62 64 67 68 69
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Tren private label kini telah berkembang luas di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Euromonitor tahun 2011, semakin banyak konsumen Indonesia yang menerima produk-produk private label. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor yang pertama yaitu terjadinya peningkatan permintaan dari konsumen berpendapatan rendah hingga menengah terhadap produk private label yang harganya lebih terjangkau. Faktor yang kedua yaitu meningkatnya jumlah toko ritel moderen di banyak kota di Indonesia serta banyaknya promosi yang cukup agresif dari pemilik bisnis ritel untuk mendorong jalur private label. Promosi yang agresif ini mendorong pengenalan dan penerimaan yang lebih besar terhadap produk private label oleh masyarakat (Matahari Departement Store 2012). Hasil survei Nielsen (2012) juga menyebutkan bahwa presentase pertumbuhan nilai jual Indonesia untuk private label melebihi 20% selama tahun 2011. Pertumbuhan produk private label bersamaan dengan pertumbuhan industri ritel moderen di Indonesia. Hal ini disebabkan private label menjadi salah satu strategi yang digunakan oleh ritel moderen untuk saling bersaing dalam meningkatkan pasar dan menyerap keuntungan lebih besar. Sebagai contoh, Hero Supermarket mendapatkan kontribusi keuntungan sebesar 40% dari strategi peluncuran private label yang dilakukannya (MakkiMakki Strategic Branding Consultant 2013). Beberapa ritel moderen yang juga meluncurkan produk private label yaitu Giant Supermarket, Carrefour, Alfamart, Indomart, Griya Mart, Superindo, Hypermart, dan Lottemart. Industri ritel moderen di Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan 10,8% pada tahun 2015 dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di segmen minimarket sebesar 11% dan supermarket/hypermarket sebesar 10,6%. Penjualan toko moderen per kapita di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 60 dengan komposisi 56% di minimarket dan 44% di supermarket/hypermarket. Ukuran pasar industri minimarket di Indonesia mencapai sekitar 73 triliun rupiah dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 13,5% untuk periode 2012-2015. Persaingan yang ketat juga terjadi di segmen minimarket dan supermarket/hypermarket. Alfamart bersaing ketat dengan Indomaret. Sementara di segmen Hypermarket, Hero bersaing ketat dengan Hypermart (Dunia Industri 2015). Persaingan yang ketat diantara ritel moderen dalam peluncuran produk private label dapat memberikan risiko kerugian bagi pemilik bisnis ritel. Terdapat beberapa hal yang menjadi potensi kerugian bagi ritel moderen. Pertama, peluncuran produk private label hadir untuk bersaing dengan produk merek nasional yang telah ada, selanjutnya private label itu sendiri akan bersaing dengan sesama produk private label lainnya. Kedua, alokasi pasokan produk private label serta alokasi rak pemajangan produk private label yang kurang tepat akan menjadi suatu risiko bagi pemilik bisnis ritel. Ketiga, produk private label yang hadir di pasaran juga tentunya memiliki kelemahan akan kualitas yang lebih rendah dibandingkan produk-produk merek nasional (Development Bank of Singapore 2015). Selain itu, Hadi (2009) memaparkan bahwa pada umumnya konsumen sering berpindah-pindah produk private label yang dimiliki toko ritel lain. Hal ini
2 disebabkan konsumen yang membeli produk private label pada dasarnya adalah pelanggan yang sensitif terhadap harga. Konsumen ini cenderung bukanlah konsumen yang loyal terhadap satu merek tertentu. Meskipun pertumbuhan penjualan private label di Indonesia cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir, namun Nielsen (2014) menunjukkan bahwa dibandingkan beberapa negara Asia lainnya, Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan private label share-nya paling rendah yaitu sebesar 0,6%. Sedangkan private label share di Singapura sebesar 8,1%, Hong Kong sebesar 5,1%, India sebesar 4,5%, Taiwan sebesar 3,1%, Tiongkok sebesar 1,3% dan Thailand sebesar 0,8%. Berdasarkan paparan yang telah diuraikan sebelumnya, maka para pemilik usaha ritel moderen di Indonesia sangat memerlukan pengetahuan tentang faktorfaktor yang dapat mempengaruhi minat beli konsumen terhadap produk private label. Hal ini penting agar ritel moderen dapat terus mengembangkan produk private label yang dipasarkan. Produk private label yang diluncurkan ritel moderen pada umumnya berupa Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Hal ini disebabkan umumnya harga barang-barang tersebut relatif tidak mahal dan konsumen dapat mengonsumsinya dengan segera, sehingga perputaran produk cukup cepat. Produk FCMG yaitu produk barang eceran yang pada umumnya habis dikonsumsi pada periode waktu yang singkat dalam kurun waktu satu hari, satu minggu, satu bulan dan satu tahun (Moolla dan Bischoff 2012). Kantar Worldpanel Total National Indonesia mendefinisikan bahwa barang-barang yang mencangkup FCMG yaitu produk makanan, peralatan rumah tangga, dan perawatan tubuh. Pertumbuhan volume FMCG sepanjang tahun 2015 menurut Kantar Wolrdpanel Total National Indonesia (2015) yaitu kategori produk perawatan rumah mengalami pertumbuhan volume sebesar 7%, produk perawatan pribadi mengalami pertumbuhan volume 2,5%, produk makanan sebesar -4,9%, produk susu sebesar -2,3% dan produk minuman sebesar -3,1%. Berdasarkan data Kantar Wolrdpanel (2015) dapat diketahui bahwa produk makanan memiliki tingkat pertumbuhan terkecil yaitu -4,9%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 masalah penurunan minat beli oleh konsumen Indonesia terhadap produk private label terjadi. Oleh karena itu, penting bagi pemilik bisnis ritel moderen untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap produk private label. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor tahun 2016, terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor selama 2010-2014 (Website Pemerintah Kota Bogor 2016). Tercatat pada tahun 2013, Kota Bogor memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,86% (BPS Kota Bogor 2015). Pertumbuhan ekonomi yang baik mendorong perkembangan industri ritel moderen Kota Bogor. Beberapa ritel yang telah ada di Kota Bogor yang berkategori hypermarket yaitu Giant berjumlah lima gerai, Hypermart berjumlah satu gerai, dan Lottemart berjumlah satu gerai. Kemudian, ritel berkategori Supermarket di Kota Bogor yaitu Superindo Plaza Jembatan merah, Griya Mart Taman Pagelaran, serta Supermarket ADA di Jalan Raya Pajajaran. Ritel dengan kategori minimarket Alfamart dan Indomaret yang kini jumlahnya telah banyak di Kota Bogor (total 9800 gerai di Indonesia, 39% terdapat di Jabodetabek) (Sumber Alfaria Trijaya 2014). Beberapa ritel moderen tersebut menjadi top brand index untuk kategori ritel hypermarket, supermarket dan minimarket 2013-2015 (Frontier Consulting Group
3 2015). Oleh karena itu, kajian penelitian ini perlu dilakukan terhadap masyarakat Kota Bogor yang menjadi pengunjung ritel Hypermarket, Supermarket, dan Minimarket di Kota Bogor. Perumusan Masalah Meningkatnya pertumbuhan private label di Indonesia serta pertumbuhan industri ritel yang ikut meningkat menyebabkan adanya persaingan yang ketat dalam peluncuran produk private label. Persaingan yang ketat jika tidak diantisipasi oleh masing-masing ritel dengan strategi yang baik akan berpotensi ritel tersebut kalah terhadap persaingan dan mengalami kerugian. Setiap ritel yang meluncurkan produk private label diharapkan mengetahui karakteristik konsumen yang melakukan pembelian terhadap produk private label. Selain itu ritel tersebut perlu mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap produk private label. Dengan demikian, ritel tersebut dapat merumuskan strategi yang tepat untuk menghadapi persaingan bisnis. Jumlah penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli produk private label masih relatif sedikit. Selain itu, variabel yang diteliti pengaruhnya terhadap minat beli juga masih sedikit. Bao et al. (2011) menguji pengaruh variabel citra toko, product signatureness, persepsi variasi kualitas, persepsi kualitas, nama merek dan kesadaran nilai pada minat beli private label. Dursun et al. (2011) menguji pengaruh variabel familiarity, ruang rak, persepsi risiko dan persepsi kualitas terhadap minat beli private label. Wu et al. (2011) menguji pengaruh variabel citra toko, kualitas jasa, citra private label, persepsi risiko dan kesadaran harga terhadap minat beli private label. Jin dan Suh (2005) menguji pengaruh variabel kesadaran harga, kesadaran nilai, persepsi variasi kualitas, keinovatifan konsumen dan private label attitude pada minat beli private label. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu tersebut belum mengkaji produk private label yang dimiliki oleh ritel kategori hypermarket, supermarket dan minimarket secara bersama-sama. Penelitian ini mengkombinasikan semua variabel dependen yang diuji pengaruhnya terhadap minat beli private label dari penelitian-penelitian terdahulu. Selanjutnya variabel dependen yang telah dikombinasikan diuji pengaruhnya terhadap minat beli private label. Jenis ritel moderen di Indonesia terbagi dalam tiga kategori yaitu hypermarket, supermarket dan minimarket. Selain itu, informasi lainnya yang perlu diketahui adalah perbedaan persepsi konsumen terhadap hypermarket, supermarket dan minimarket. Oleh karena itu perumusan masalah penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana karakteristik konsumen hypermarket, supermarket, dan minimarket? 2. Bagaimana perbedaan variabel-variabel citra toko, persepsi risiko, citra private label, product signatureness, persepsi variasi kualitas, kesadaran nilai, keinovatifan konsumen, familiarity, persepsi kualitas, private label attitude, ruang rak dan minat beli yang dipersepsikan oleh konsumen hypemarket, supermarket, dan minimarket? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli terhadap private label kategori makanan?
4 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi karakteristik konsumen hypermarket, supermarket, dan minimarket. 2. Menganalisis perbedaan variabel-variabel citra toko, persepsi risiko, citra private label, product signatureness, persepsi variasi kualitas, kesadaran nilai, keinovatifan konsumen, familiarity, persepsi kualitas, private label attitude, ruang rak dan minat beli yang dipersepsikan oleh konsumen hypemarket, supermarket, dan minimarket. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli terhadap private label kategori makanan. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini ditujukan khususnya kepada perusahaan ritel yang memasarkan produk makanan dengan merek yang diciptakan oleh perusahaan ritel tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi bahan pertimbangan pemilik bisnis ritel moderen untuk merumuskan berbagai strategi dalam rangka mengembangkan minat beli konsumen terhadap produk private label-nya. Selanjutnya dalam bidang ilmu manajemen pemasaran, hasil penelitian ini ditujukan untuk pengembangan pengetahuan mengenai minat beli konsumen terhadap produk private label. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa batasan yaitu mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli pada private label kategori makanan. Penelitian ini dilakukan pada enam tempat yaitu dua hypermarket (Giant dan Hypermart), dua supermarket (Superindo dan Griya Mart), dan dua minimarket (Alfamart dan Indomaret).
TINJAUAN PUSTAKA Industri Pasar Moderen Pada umumnya terdapat tiga kategori besar ritel di Indonesia yaitu hypermarket, supermarket, dan minimarket. Perbedaan hypermarket, supermarket, dan minimarket tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Perbedaan ritel kategori hypermarket, supermarket, dan minimarket No Keterangan Hypermarket Supermarket Minimarket 1 Luas lantai usaha > 5 000 4 000 – 5 000 Maksimal 400 (m2) 2 Luas lahan parkir Sangat luas Medium Kecil 3 Jumlah barang >25 000 barang 5 000 – 25 000 <5 000 barang yang dijual barang
5 Tabel 1 Perbedaan ritel kategori hypermarket, supermarket, dan minimarket (Lanjutan) No Keterangan Hypermarket Supermarket Minimarket 4 Produk yang Produk rumah Produk rumah Produk rumah dipasarkan tangga dan tangga dan tangga dan kebutuhan seharikebutuhan kebutuhan hari sehari-hari sehari-hari 5 Jenis produk Makanan, Makanan dan Makanan perawatan rumah, perawatan kemasan, barang elektronik, rumah higienis pokok pakainan dan alat olah raga 6 Metode penjualan Konsumen Konsumen Konsumen mengambil sendiri mengambil mengambil produk yang sendiri produk sendiri produk diinginkan yang yang diinginkan kemudian diinginkan kemudian melakukan kemudian melakukan transaksi di kasir melakukan transaksi di transaksi di kasir kasir 7 Modal Diatas 10 Milyar Rp. 200 juta – ± 200 juta Rupiah 10 Milyar Sumber: Peraturan Presiden No 112 tahun 2007 Merek Menurut Sumarwan et al. (2012), merek adalah ide, kata, desain, grafis, dan bunyi yang menyimbolkan produk, jasa, dan perusahaan yang memproduksi produk dan jasa tersebut. American Marketing Association dalam Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, lambang atau desain, atau kombinasinya untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari salah satu penjual atau kelompok penjual dan mendiferensiasikan mereka dari para pesaing. Menurut Alma (2012) terdapat beberapa tujuan penetapan merek yaitu 1) pengusaha menjamin konsumen bahwa barang yang dibeli sungguh berasal dari perusahaannya, 2) penjaminan mutu barang, 3) produk barang yang dihasilkan mudah diingat, 4) peningkatan ekuitas merek mendorong perolehan keuntungan yang lebih tinggi, 5) pemberian motivasi pada saluran distribusi, karena dengan merek yang terkenal akan membuat konsumen lebih tertarik untuk membeli. Private label Konsep private label sering disebut juga dengan store brand atau private brand atau own brand (Delvecchio 2001, Dick et al. 1996, Raju et al. 2001, Sethuraman dan Cole 1999). Pada penelitian ini private label merujuk pada produk private label yang dimiliki oleh ritel moderen. Private label membantu ritel moderen menarik para konsumen dan menciptakan kesetiaan pada toko dengan menawarkan lini produk ekslusif dan produk-produk premium (Corstjen dan Lal
6 2000, Dunne dan Narasimhan 1999). Private label juga dapat membantu menciptakan citra harga rendah untuk ritel moderen serta meningkatkan kemampuan bersaing dengan pemanufaktur merek-merek nasional yang ternama (Narasimhan dan Wilcox 1998). Private label disebut juga merek payung yang ikut memberikan dampak pada merek yang sama untuk kategori produk yang berbeda. Sebuah pengalaman yang negatif dengan satu kategori produk akan mempengaruhi konsumen yang sama untuk membeli kategori produk yang lainnya dan bahkan mengikis kepercayaan konsumen terhadap toko secara keseluruhan (Thompson 1999). Private label merupakan suatu strategi merek yang dikembangkan dan dikelola oleh distributor untuk mengembangkan usahanya (Chen 2009). Strategi peluncuran private label yang dilakukan oleh distributor atau pengecer yaitu dengan membeli produk dari para produsen. Kemudian, produk yang dibeli tadi diberi merek pribadi oleh pengecer dan hanya dijual di toko pengecer yang bersangkutan. Menurut Chen (2009), terdapat lima faktor yang mempengaruhi private label yaitu kualitas, harga, penyajian, promosi, dan kemasan. Citra Toko Citra toko merupakan persepsi konsumen sebagai sesuatu yang kompleks, yang dibangun dari berbagai dimensi baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Terdapat delapan dimensi terkait dengan citra toko yaitu suasana, kenyamanan, fasilitas, kelembagaan, barang dagangan, promosi, tenaga penjual dan pelayanan. Dimensi ini lebih lanjut digambarkan ke dalam subdimensi yang mendukung citra toko. Menurut Theodoris (2008) dalam Sumarwan (2013), variabel yang mempengaruhi citra toko yaitu produk, harga, suasana, personil, barang dagangan dan tokonya sendiri. Citra toko memiliki sifat yang unik yang diwakili oleh interaksi antara atribut yang berwujud dan tidak berwujud. Variabel citra toko menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi konsumen secara langsung saat berbelanja di sebuah toko. Indikator yang ada meliputi semua atribut yang dapat dilihat secara fisik maupun tidak terlihat, yakni: 1. Interior, yang meliputi desain interior ruangan toko. 2. Barang dagangan, yang meliputi kelengkapan dan kualitas produk yang ada di toko serta keragaman produk di toko. 3. Layanan konsumen, yang meliputi pelayanan kasir yang memuaskan serta pelayanan pramuniaga toko yang memuaskan. 4. Harga yang meliputi harga murah pada toko serta adanya kebijakan diskon dan promo pada waktu-waktu tertentu. Pembentukan citra toko bergantung pada persepsi yang bervariasi, yaitu produk dan target pasar. Menurut Du Preez et al. (2008), ada hal penting yang harus perhatikan terhadap citra toko, yaitu; 1. Persepsi konsumen dari satu set atribut yang menonjol dari toko. 2. Pentingnya menempatkan konsumen pada dimensi citra. 3. Manipulasi atribut-atribut dari citra toko ini melalui manajemen strategi. Kapferer (1986) dalam Sumarwan (2013) mendefinisikan citra toko sebagai pedoman dari toko tertentu dengan segala kelengkapannya yang melekat dalam benak konsumen, yang disusun oleh entitas yang terlihat, bersifat individual, budaya, hubungan, dan kepentingan pribadi yang merefleksikan gambaran dari toko
7 bagi pelanggan. Terdapat dua aspek penting dalam citra toko yaitu aspek atmosfer toko dan aspek fungsional. Aspek fungsional yaitu suatu karakter yang terlihat dari toko, tingkat harga, sistem kredit, pemajangan produk dan kualitas objektif lainnya. Properti psikologis dari atmosfer toko adalah perasaan mental yang timbul berdasarkan penilaian pada suasana lingkungan toko yang tak terlihat, meliputi perasaan anggapan dan kegembiraan. Menurut Chowdhury et al. (1998), terdapat beberapa atribut citra toko yaitu adalah keanekaragaman produk, pelayaan karyawan, atmosfer toko, harga-harga yang ditawarkan, dan kualitas produk, serta sikap keseluruhan. Sebuah citra tokotidak hanya menjadi indikator langsung dari kualitas private label, namun juga berfungsi sebagai pereduksi resiko (Mitchell dan Greatorex 1993, Mitchell dan McGoldrick 1996). Selanjutnya, Collins dan Lindley (2003) mengemukakan bahwa terdapat lima atribut citra toko, yaitu (1) keragaman produk terkait dengan evaluasi konsumen terhadap keberagaman produk yang tersedia di toko, (2) kualitas produk terkait evaluasi subjektif dari seorang konsumen mengenai kualitas produk yang dipasarkan, (3) terkait dengan penilaian konsumen terhadap murah atau tidaknya harga produk yang dipasarkan, (4) value for money terkait penilaian konsumen terkait hubungan antara value dan price dari suatu produk, (5) atmosfer toko terkait dengan perasaan konsumen mengenai atmosfer dan dekorasi interior dari sebuah toko. Beberapa penelitian telah mengulas hubungan antara citra toko dengan minat beli. Studi sebelumnya menemukan bahwa terdapat keterkaitan atribut citra toko secara spesifik seperti persepsi harga, persepsi nama toko, dan value for money dengan minat beli (Heijden dan Verhagen 2004). Familiarity Menurut Alba dan Hutchinson (1987), familiarity adalah banyaknya pengalaman yang telah dikumpulkan oleh konsumen terkait suatu produk atau merek. Pengalaman tersebut berupa pengalaman yang diperoleh dari iklan, interaksi dengan penjual, komunikasi dari mulut ke mulut, serta melalui pencobaan produk dan konsumsi. Dick et al. (1996) menemukan bahwa terdapat hubungan antara familiarity kemungkinan kecenderungan (proneness). Hubungan ini disebabkan oleh familiarity yang baik akan meningkatkan pengalaman terhadap private label dengan kualitas yang lebih baik, sehingga dapat membentuk kecenderungan psikologis konsumen. Selanjutnya, Richardson et al. (1994) menjelaskan bahwa familiarity dapat meningkatkan kecenderungan konsumen terhadap private label dan juga mengurangi persepsi resiko dalam menggunakan produk private label. Kim dan Zhou (1996) menjelaskan bahwa keakraban dengan suatu merek akan berpengaruh pada kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Suatu merek familiar ataupun tidak di benak konsumen disebabkan oleh pengetahuan mengenai suatu merek dalam ingatan konsumen. Memori ini berupa asosiasiasosiasi yang diingat berkaitan dengan merek yang familiar. Asosiasi ini terbentuk karena konsumen telah mencoba atau menggunakan suatu merek yang familiar atau keluarga dan teman konsumen yang sudah menggunakan merek tersebut dan berbagi cerita tentang merek tersebut, atau juga mereka mengetahui dengan jelas bagaimana positioning merek, pengemasan produk, dan sebagainya (Campbell dan Keller 2003)
8 Persepsi Risiko Sweeney et al. (1999) mendefinisikan persepsi risiko sebagai ekspektasi subjektif dari konsumen mengenai kerugian. Liljander (2009) menjelaskan bahwa setiap tindakan konsumen akan memberikan sebuah konsekuensi yang tidak akan dapat diantisipasi dengan perkiraan tertentu. Risiko dapat menjadi berbagai bentuk ketakutan bahwa sebuah merek mungkin tidak dapat menghantarkan atribut-atribut produk dengan baik. Suatu bentuk ketidakpastian dari kinerja produk yang ditawarkan dapat mengundang celaan secara sosial (Dick et al. 1995). Persepsi risiko dapat menjadi faktor yang penting dalam pilihan konsumen akan produk atau merek (Bettman et al. 1973). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko dapat menurunkan kecenderungan konsumen terhadap private label tertentu (Batra et al. 2000, Mieres et al. 2006, Dick et al. 1995, Richardson et al. 1996, Liljander et al. 2009). Persepsi risiko memiliki tiga dimensi utama (Stone dan Gronhaug 1993), yaitu: 1. Risiko fungsional berkaitan dengan kinerja produk. 2. Risiko keuangan berkaitan dengan potensi kerugian moneter. 3. Risiko kesehatan berkaitan dengan risiko yang membahayakan kesehatan tubuh konsumen. Persepsi Kualitas Persepsi kualitas merupakan atribut penting dalam ekuitas merek dan menjadi sebuah perasaan keseluruhan yang tidak berwujud terhadap suatu merek. Perasaan ini disebabkan oleh karakteristik yang menempel pada produk tersebut yaitu keandalan dan kinerja (Aaker 1991). Menurut Sprott et al. (2004), persepsi kualitas menjadi faktor penentu signifikan dalam kesuksesan private label. Persepsi kualitas bahkan memiliki dampak yang substansial terhadap minat beli pada private label. Persepsi kualitas yang kurang baik akan menghasilkan minat beli yang lebih rendah (Chen et al. 2009). Wellman (1997) menemukan bahwa peningkatan pengemasan, fitur-fitur, dan kualitas dari suatu produk memiliki pengaruh dalam pertumbuhan penjualan private label. Hooker dan Caswell (1996) menjelaskan bahwa terdapat lima atribut kualitas utama dari produk makanan yaitu kemananan produk makanan, kandungan gizi, kemasan, nilai, dan proses. Atribut keamanan produk terkait dengan produk bebas dari bakteri penyebab makanan tidak layak dikonsumsi, serta bebas dari bendabenda yang membahayakan tubuh jika produk makanan dikonsumsi. Atribut kandungan gizi terkait dengan vitamin, mineral, dan nutrisi-nutrisi lainnya yang terkandung dalam produk. Atribut nilai terkait dengan daya tahan simpan produk makanan, ukuran produk, rasa, dan lainnya. Atribut kemasan terkait dengan bahan kemasan yang digunakan, pemberian label, dan kelengkapan informasi yang disajikan. Sedangkan, atribut proses terkait dengan bioteknologi, pengaruh lingkungan, penggunaan pestisida, keamanan pekerja, dan lain-lain (Pascal 1997).
9 Citra Private label Menurut Aaker (1991), citra merek merupakan rangkaian asosiasi-asosiasi merek yang tersimpan dalam ingatan konsumen. Selanjutnya, Keller (1993) mendefinisikan citra merek sebagai total asosiasi merek yang berada pada ingatan konsumen yang mengarah pada persepsi mengenai suatu merek. Wu et al. (2011) mendefinisikan citra private label sebagai asosiasi-asosiasi dalam benak konsumen mengenai produk private label yang mengarah pada persepsi mengenai produk private label. Ruang Rak Ruang rak merupakan sumberdaya terbatas yang harus dibagi-bagi secara optimal untuk beragam merek atau kategori produk (Dursun et al. 2011). Brown dan Lee (1996) menyatakan bahwa ruang rak dapat dipertimbangkan sebagai bentuk periklanan, meletakan produk menjadi top of consumer minds, dan memberi kesan pada suatu produk tentang level popularitasnya. Perubahan yang dilakukan terhadap ruang rak dapat mengubah atensi konsumen. Product Signatureness Product signatureness merupakan tingkatan dimana suatu kategori produk terasosiasi dengan sebuah toko dalam benak konsumen. Sebagai contoh, toko obat diasosiasikan dengan produk pengobatan dan produk kesehatan. Tingkat product signatureness sesuai dengan hubungan antara persepsi konsumen mengenai citra toko dan produk tertentu. Citra toko dan product signatureness merupakan dua variabel yang saling mempengaruhi. Product signatureness menciptakan persepsi konsumen mengenai produk tertentu terhadap citra toko yang mendorong ketertarikan konsumen untuk membeli produk (Inman et al. 2004). Persepsi Variasi Kualitas Variasi merupakan bentuk ketidaksamaan dalam suatu industri yang menimbulkan perbedaan dalam kualitas produk barang dan jasa (Kotler dan Amstrong 2006). Persepsi variasi kualitas mencerminkan ketidakpastian kualitas produk pada industri atau tempat pemasaran. Persepsi variasi kualitas merupakan persepsi konsumen mengenai perbedaan kualitas di antara merek-merek yang berbeda pada suatu kategori produk yang spesifik (Bao et al. 2011). Variasi kualitas menciptakan variasi fitur dan karakteristik unik yang menjadikan suatu produk dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan menghadapi persaingan kualitas produk dari toko ritel pesaing. Variasi kualitas merupakan faktor yang mempengaruh perilaku pembelian pelanggan yang dapat menciptakan citra merek mereka dengan melampirkan asosiasi unik untuk kualitas produk variasi. Variasi kualitas menunjukan produk yang ditawarkan memiliki nilai jual yang berbeda dan tidak dimiliki oleh produk persaing (Puspaningrum dan Adiwijaya 2013).
10 Kesadaran Nilai Nilai merupakan salah satu konsep penting dalam pemasaran. Meskipun nilai merupakan suatu konsep yang penting, namun hingga sekarang belum ada definisi yang jelas mengenai konsep nilai (Wang et al. 2004). Beberapa hasil studi, konsep nilai dikaitkan dengan harga dan kualitas (Sigala 2006). Zeithaml (1998) memberikan sebuah tinjauan yang cukup komprehensif mengenai nilai dan menjelaskannya dalam 4 definisi yang diperoleh dari bermacan-macam istilah penggunaan dari riset pemasaran. Definisi yang pertama yaitu menyamakan nilai dengan harga. Dalam paradigma ini menjelaskan bahwa harga yang rendah menunjukan nilai yang tinggi, sehingga nilai dapat diciptakan dengan memberikan diskon kepada konsumen. Berdasarkan definisi yang kedua, nilai akan tercapai jika konsumen mendapatkan semua yang diharapkan atau diinginkan dengan melakukan pembelian terhadap suatu produk. Dalam hal ini konsumen mempertimbangkan semua kriteria pemilihan yang sesuai dari segi subjektif dan objektif, kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan sebuah persepsi keseluruhan akhir mengenai kegunaan suatu produk. Zetihaml (1998) menjelaskan pandangan ketiga mengenai nilai bahwa nilai merupakan kalkulasi secara langsung mengenai kualitas yang diterima dikurangi dengan harga yang dibayarkan. Seorang konsumen menerima manfaat dalam bentuk keunggulan kualitas pada atribut-atribut kunci dan kualitas yang dipertimbangkan terhadap harga yang ditawarkan dalam pembentukan persepsi nilai. Hal ini merupakan operasionalisasi umum yang menggambarkan nilai secara umum sebagai campurtangan antara persepsi kualitas, pengorbanan dan minat beli. Definisi yang keempat yaitu nilai adalah “berapa yang konsumen peroleh dibandingkan dengan berapa yang konsumen”, yang melibatkan beberapa faktor seperti usaha, waktu, peluang dan emosi maupun keseluruhan hal yang didapat yang melibatkan kualitas maupun emosi dan gengsi. Menurut Jin dan Suh (2005), kesadaran nilai didefinisikan sebagai satu satuan kualitas yang diperoleh untuk satu satuan harga yang dibayarkan. Ailawadi et al. (2001) mendefinisikan kesadaran nilai sebagai fokus perhatian terhadap pembayaran harga rendah. Konsumen cenderung memperhatikan harga rendah dan kualitas produk. Konsumen juga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memeriksa harga dan membandingkannya dengan harga merek lain untuk mendapatkan value for money yang terbaik. Keinovatifan Konsumen Hirschman (1980) menjelaskan bahwa keinovatifan merupakan salah satu konsep yang penting terkait dengan perilaku konsumen. Keinovatifan konsumen merupakan kecenderungan konsumen untuk mengadopsi produk, ide, barang atau jasa yang baru. Konsep tersebut memiliki peranan penting dalam teori-teori mengenai loyalitas merek, pengambilan keputusan, preferensi dan komunikasi. Terdapat dua teori yang dikembangkan terkait dengan keinovatifan. Teori pertama dikembangkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yang menyatakan bahwa keinovatifan mencerminkan tingkatan dimana seseorang akan mungkin menjadi yang pertama dalam mengadopsi inovasi dibandingkan oleh anggota lain dalam sistem sosial individu tersebut. Teori kedua menjelaskan bahwa keinovatifan
11 mencerminkan suatu tingkatan dimana seseorang mau menerima suatu ide yang baru dan memutuskan untuk mengadopsinya tanpa menghiraukan pengalaman orang lain (Midgley dan Dowling 1978). Hirschman (1981) menunjukan bahwa dorongan terhadap keinovatifan bergantung pada dua dimensi inovasi yaitu simbolik dan teknologi. Dimensi simbolik berkaitan dengan arti sosial yang belum pernah ada sebelumnya. Inovasi teknologi memiliki karakteristik yang berwujud dan belum pernah teridentifikasi sebelumnya. Jin dan Suh (2005) mendefinisikan keinovatifan konsumen sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli produk yang baru dan berbeda serta memiliki merek yang lebih baik dibandingkan dengan tetap pada pilihan konsumen yang sebelumnya. Tellis et al. (2009) mendefinisikan keinovatifan konsumen sebagai kecenderungan konsumen untuk mengadopsi atau menggunakan produk baru. Rogers dan Shoemaker (1971) mendefinisikan keinovatifan konsumen sebagai suatu tingkatan dimana seorang individu adalah orang pertama yang mengadopsi ide baru dibandingkan rata-rata anggotanya dalam sistem sosial konsumen tersebut. Private Label Attitude Sikap konsumen merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen. Konsep sikap sangat terkait dengan konsep kepercayaan dan perilaku. Mowen dan Minor (1998) menyebutkan bahwa istilah pembentukan sikap konsumen seringkali menggambarkan hubungan angara kepercayaan, sikap dan perilaku. Sikap memiliki tiga unsur yaitu (1) kognitif (pengetahuan), (2) afektif (emosi, perasaan), (3) konatif (tindakan). Sikap merupakan ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut (Sumarwan 2014). Terdapat empat fungsi sikap yaitu: 1. Fungsi utilitarian. Seserorang menatakan sikapnya terhadap suatu objek atau produk karena ingin memperoleh manfaat dari produk tersebut atau menghindari risiko dari produk. Sikap berfungsi mengarahkan perilaku untuk mendapatkan penguatan positif atau menghindari risiko. Manfaat produk bagi konsumenlah yang menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut. 2. Fungsi mempertahankan ego. Sikap berfungsi untuk melindung seseorang dari keraguan yang muncul dari dalam diri sendiri atau dari faktor luar yang mungkin menjadi ancaman. Sikap tersebut berfungsi untuk meningkatkan rasa aman dari ancaman yang datang menghilangkan keraguan yang ada dalam diri konsumen. Sikap akan menimbulkan kepercayaan diri yang lebih baik untuk meningkatkan cita diri dan mengatasi ancaman dari luar. 3. Fungsi ekspresi nilai. Sikap berfungsi untuk menyatakan nilai-nilai, gaya hidup, dan identitas sosial dari seseorang. Sikap akan menggambarkan minat, hobi, kegiatan, dan opini dari seorang konsumen. Konsumen selalu membeli pakaian di butik dan tidak suka membeli pakaian di toko. Ini adalah gambaran ekspresi kelas sosial seseorang. Butik selalu diasosiakan dengan tempat penjualan pakaian yang baik dan berkelas. 4. Fungsi pengetahuan. Keingintahuan adalah salah satu karakter konsumen yang penting. Ia selalu ingin tahu banyak hal, merupakan kebutuhan konsumen. Seringkali konsumen perlu tahu produk terlebih dahulu sebelum ia menyukai
12 kemudian membeli produk tersebut. pengetahuan yang baik mengenai suatu produk sering kali mendorong seseorang untuk menyukai produk tersebut. karena itu, sikap positif terhadap suatu produk sering kali mencerminkan pengetahuan konsumen terhadap suatu produk. Sikap menjadi komponen yang paling penting dalam model yang memprediksi minat konsumen untuk mengonsumsi private label (Guerrero 2000). Mitchell dan Olson (1981) mendefinisikan sikap terhadap merek sebagai evaluasi keseluruhan seorang individu terhadap suatu merek. Hal ini menunjukkan bahwa sikap pada suatu merek utamanya bergantung pada persepsi yang dimiliki konsumen mengenai suatu merek. Minat Beli Minat merupakan rencana untuk terlibat dalam suatu perilaku khusus untuk mencapai suatu tujuan (Peter dan Olsen 2000). Selanjutnya, minat beli adalah suatu bentuk pernyataan mental seorang konsumen yang mencerminkan adanya rencana pembelian suatu produk dengan merek-merek tertentu (Cobb-Walgren et al. 1995). Dodds et al. (1991) mendefinisikan minat beli sebagai suatu kemungkinan bahwa seseorang akan membeli produk tertentu yang dilihatnya. Menurut Durianto (2003), minat beli dibentuk dari sikap konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas produk. Jika konsumen semakin tidak yakin terhadap suatu produk, maka minat beli konsumen tersebut juga akan semakin rendah. Niat beli seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap orang lain. Terdapat dua faktor yang membuat sikap orang lain dapat mengurangi suatu alternatif yang disukai oleh seorang individu yaitu intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan movitasi konsumen untuk mengikuti keinginan orang lain. Jika sikap negatif orang lain terhadap suatu produk semakin besar serta orang tersebut dengan konsumen semakin dekat, maka semakin besar pula kemungkinan konsumen akan mengubah niat belinya (Kotler 2000). Minat beli menggambarkan suatu kemungkinan bahwa konsumen akan berencana atau rela untuk membeli produk atau jasa tertentu di masa yang akan datang. Peningkatan minat beli menunjukkan peningkatan kemungkinan pembelian. Ketika seorang konsumen memiliki minat beli yang positif, maka akan membentuk komitmen terhadap suatu merek yang akan mendorong konsumen untuk melakukan pembelian secara aktual (Wu et al. 2011). Pembelian berdasarkan impuls memiliki satu atau lebih karakteristik (Engel et al. 1995), yaitu: 1. Spontanitas: pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, seringkali sebagai respon terhadap stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan. 2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas: terdapat kemungkinan adanya motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika. 3. Kegairahan dan stimulasi: desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai menggairahkan, menggetarkan atau liar. 4. Ketidakpedulian terhadap akibat: desakan untuk membeli menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.
13 Penelitian Terdahulu Penelitian ini menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai dasar pembentukan hipotesis. Terdapat lima penelitian yang dijadikan landasan utama dalam pembentukan model penelitian ini. Rangkuman penelitian terdahulu tersaji pada Lampiran 1. Ilustrasi model penelitian terdahulu disajikan pada Gambar 1 – 5. Penelitian yang dilakukan oleh Jaafar et al. (2012) bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang dapat mempengaruhi minat beli terhadap private label makanan di Malaysia. Faktor yang diuji yaitu faktor ekstrinsik yang terdiri dari persepsi harga, pengemasan, periklanan dan citra toko; faktor intrinsik yang terdiri dari persepsi kualitas, persepsi risiko dan persepsi nilai; serta sikap konsumen yang terdiri dari kepercayaan, familiarity, dan persepsi situasi ekonomi. Penelitian ini masih belum meneliti hubungan antar variabel independen yang diuji pengaruhnya terhadap variabel dependen (minat beli). Penelitian Jaafar et al. (2012) hanya dilakukan pada ritel dengan kategori hypermarket dan dilakukan di 5 lokasi. Jumlah sampel yang digunakan yaitu 100 orang dan dibagi secara rata pada 5 lokasi penelitian sehingga masing-masing toko diambil 20 orang responden.
Intrinsik: Persepsi kualitas Persepsi risiko Persepsi nilai Ekstrinsik: Periklanan Pengemasan Citra toko Minat beli Ekstrinsik:Persepsi harga
Sikap konsumen: Kepercayaan Familiarity Persepsi situasi ekonomi
Gambar 1 Model penelitian Jaafar et al. (2012) Penelitian Bao et al. (2011) menguji pengaruh citra toko, product signatureness dan persepsi variasi kualitas terhadap persepsi kualitas dan minat beli. Terdapat dua variabel moderator dalam penelitian ini yaitu persepsi kualitas dan kesadaran nilai. Selain itu Bao et al. (2011) juga menguji pengaruh nama merek terhadap persepsi kualitas dan minat beli. Produk private label yang dikaji oleh Bao et al. (2011) fokus terhadap kategori produk farmasi dan produk elektronik. Lokasi penelitian juga dilakukan di dua toko farmasi dan dua toko elektronik. Oleh karena itu cukup sulit untuk menggeneralisasikan hasil penelitian terhadap penelitian lain yang menggukan private label dengan kategori produk yang berbeda.
14
Citra toko
Product Signatureness
Persepsi kualitas
Minat beli
Persepsi variasi kualitas
Nama merek
Kesadaran nilai
Nama merek
Gambar 2 Model penelitian Bao et al. (2011) Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa Dursun et al. (2011) menguji pengaruh variabel familiarity, persepsi risiko, ruang rak dan persepsi kualitas terhadap minat beli. Responden dalam penelitian tersebut hanya terbatas pada mahasiswa pascasarjana yang berasal dari dua universitas di dua kota yaitu Istanbul dan Kocaeli, Negara Turki. Penelitian tersebut hanya mengkaji satu kategori ritel yaitu supermarket yang berada di Turki. dan masing-masing 4 produk private label dengan kategori makanan dan perawatan rumah. Kekurangan penelitian ini yaitu, responden penelitian bukanlah pengunjung ritel yang dikaji secara langsung pada saat proses pengambilan data (pembagian kuesioner).
Familiarity
Persepsi risiko
Minat beli
Ruang rak
Persepsi kualitas
Gambar 3 Model penelitian Dursun et al. (2011) Penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. (2011) menjelaskan produk yang dikaji yaitu private label dengan kategori produk obat-obatan dan produk kosmetik (kecantikan). Penelitian ini menguji faktor citra toko dan kualitas jasa terhadap citra
15 merek dan minat beli dengan 2 variabel moderator yaitu persepsi risiko dan kesadaran harga. Dua merek toko ritel dengan kategori hypermarket yang berada di Taiwan diambil sebagai sampel ritel yang dikaji. Hasil penelitian yang dilakukan Wu et al. (2011) cukup sulit untuk digeneralisasikan terhadap private label untuk kategori produk yang lain karena penelitian tersebut hanya berfokus pada produk kosmetik dan obat-obatan. Selain itu penelitian ini juga menggukanan konsumen yang khususnya merupakan konsumen ritel toko obat-obatan dan produk kecantikan. Citra private label
Citra toko
Persepsi risiko
Kualitas jasa
Minat beli
Kesadaran harga
Gambar 4 Model penelitian Wu et al. (2011) Penelitian Jin dan Suh (2005) menguji variabel kesadaran harga, kesadaran nilai, persepsi variasi kualitas dan keinovatifan konsumen terhadap private label attitude dan minat beli. Penelitian tersebut mengkaji private label dengan kategori makanan dan peralatan rumah tangga. Penelitian hanya dilakukan pada satu toko ritel. Penelitian ini hanya memiliki 1 variabel moderator yaitu private label attitude. Kesadaran harga
Kesadaran nilai
Persepsi variasi kualitas Minat beli Private label attitude Keinovatifan konsumen
Gambar 5 Model penelitian Jin dan Suh (2005)
16 Kekurangan penelitian Jin dan Suh (2005) yaitu kurangnya jumlah responden untuk menganalisis model penelitian private label untuk kategori produk makanan. Kuesioner penelitian yang digunakan pada penelitian tersebut memiliki 20 item pertanyaan. Berdasarkan persyaratan SEM, jumlah item pertanyaan dikali 5, maka jumlah responden minimal yang harus didapatkan yaitu 100 orang. Namun pada kenyatatannya penelitian tersebut hanya menggunakan 87 responden saja. Penelitian Jin dan Suh (2005) masih belum menyebutkan produk apa saja yang dikaji dalam kategori produk makanan.
METODE Kerangka Pemikiran Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap private label kategori makanan yang dipasarkan oleh ritel moderen. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi kualitas, persepsi risiko, dan private label attitude. Gambar 6 menunjukkan model penelitian yang terbentuk dari kombinasi antara variabel-variabel yang telah diuji pada lima penelitian terdahulu untuk mengisi research gap yang ada. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian konfirmatori. Model penelitian pada Gambar 6 memiliki 3 variabel moderator yaitu persepsi kualitas, persepsi risiko, dan private label attitude. Variabel persepsi kualitas merupakan faktor dominan yang mempengaruhi minat beli. Berdasarkan penelitian Bao et al. (2011), persepsi risiko merupakan faktor dominan yang mempengaruhi minat beli. Wu et al. (2011) menjelaskan private label attitude sebagai faktor dominan dalam mempengaruhi minat beli. Beberapa penelitian terdahulu memiliki sedikit variabel yang diuji pengaruhnya terhadap minat beli. Masing-masing dari lima penelitian terdahulu memiliki perbedaan variabel yang diuji pengaruhnya terhadap minat beli, meskipun terdapat satu atau dua variabel yang sama. Keunggulan penelitian ini yaitu mengombinasikan semua variabel yang diuji dari lima penelitian terdahulu. Sehingga, dengan pengujian variabel yang lebih banyak secara simultan, maka akan diketahui variabel mana yang paling dominan dalam mempengaruhi minat beli diantara banyak variabel lainnya. Selain itu, penelitian mengenai minat beli terhadap produk private label di Indonesia masing sedikit. Penelitian yang dilakukan Jaafar et al. (2012) terfokus pada satu jenis ritel saja, sehingga sulit untuk digeneralisasikan terhadap industri ritel di Indonesia. Penelitian ini menguji variabel-variabel yang mempengaruhi minat beli secara kompleks dan simultan, sehingga hasil yang diperoleh diharapkan memberikan gambaran yang paling mendekati realita mengenai faktor yang paling berpengaruh terhadap minat beli. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan di enam lokasi penelitian yang masing-masing merupakan merek ritel yang berbeda satu dengan lainnya dan mewakili kategori ritel hypermarket, supermarket, dan minimarket. Harapan dalam pemilihan lokasi penelitian ini akan memberikan hasil penelitian yang dapat digeneralisasikan untuk industri ritel di Indonesia dan tidak terbatas pada satu perusahaan saja. Keunggulan penelitian ini dibandingkan dengan
17 penelitian Jaafar et al. (2012) yaitu metode penarikan sampel yang digunakan dengan metode quota sampling. Jika asas ini dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sampel yang diambil akan lebih representatif. Sedangkan, penelitian Jaafar et al. (2012) tidak menggunakan asas quota sampling dan justru membagi sampel secara merata terhadap lima lokasi penelitian yang dikaji. Penelitian ini menggunakan analisis deksriptif untuk menggambarkan karakteristik konsumen di setiap ritel yang dikaji. Kemudian uji Mann Whitney digunakan untuk mengetahui perbedaan variabel yang dipersepsikan oleh konsumen hypermarket, supermarket dan minimarket. Selanjutnya CB-SEM dengan bantuan LISREL 8.3 digunakan untuk menguji pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Selanjutnya disusun implikasi manajerial dan rekomendasi yang ditujukan kepada manajer pemasaran ritel hypermarket, supermarket, dan minimarket.
Gambar 6 Model penelitian SEM Keterangan: CPL PR F RR PK KN
: Citra private label : Persepsi risiko : Familiarity : Ruang rak : Persepsi kualitas : Kesadaran nilai
PLA KK PS PVK CT MB
: Private label attitude : Keinovatifan konsumen : Product signatureness : Persepsi variasi kualitas : Citra toko : Minat beli
18 Pengembangan Hipotesis Pengaruh keinovatifan konsumen pada private label attitude dan minat beli Menurut Jin dan Suh (2005), keinovatifan konsumen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli. Selain itu, keinovatifan konsumen juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap private label attitude. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disusun hipotesis ke-1 dan ke-2. H0-1 : keinovatifan konsumen tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-1 : keinovatifan konsumen berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0-2 : keinovatifan konsumen tidak berpengaruh terhadap private label attitude H1-2 : keinovatifan konsumen berpengaruh secara positif terhadap private label attitude Pengaruh private label attitude terhadap minat beli Menurut Jin dan Suh (2005), private label attitude memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli. Garretson et al. (2002) juga menambahkan bahwa private label attitude secara positif mempengaruhi tingkat pembelian aktual produk private label di jaringan ritel grosir di Amerika Serikat. Berdasarkan temuan penelitian terdahulu, maka dapat disusun hipotesis ke-3. H0-3 : private label attitude tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-3 : private label attitude berpengaruh secara positif terhadap minat beli Pengaruh product signatureness dan persepsi variasi kualitas terhadap persepsi kualitas Bao et al. (2011) menjelaskan bahwa product signatureness dan persepsi variasi kualitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi kualitas. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disusun hipotesis ke-4 dan ke-5. H0-4 : product signatureness tidak berpengaruh terhadap terhadap persepsi kualitas H1-4 : product signatureness berpengaruh secara positif terhadap terhadap persepsi kualitas H0-5 : persepsi variasi kualitas tidak berpengaruh terhadap persepsi kualitas H1-5 : persepsi variasi kualitas berpengaruh secara negatif terhadap persepsi kualitas Pengaruh persepsi kualitas, product signatureness, dan persepsi variasi kualitas terhadap minat beli Menurut Dursun et al. (2011), persepsi kualitas menjadi indikator yang penting dalam minat beli private label. Persepsi kualitas memiliki peran yang dominan terhadap minat beli. Ketika persepsi kualitas suatu produk tinggi, maka konsumen akan puas dan besar kemungkinan untuk melakukan pembelian kembali (Tsiotsou 2006). Menurut Yang dan Wang (2010), persepsi kualitas menjadi salah satu kriteria penting yang mempengaruhi minat beli konsumen terhadap produk private label. Richardson et al. (1994) dan Richardson et al. (1996) menjelaskan bahwa persepsi kualitas merupakan salah satu determinan utama yang mempengaruhi pembelian merek tertentu dan market share. Bao et al. (2011) menjelaskan bahwa product signatureness dan persepsi variasi kualitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli. Selain itu Batra dan Sinha (2000) juga menjelaskan bahwa persepsi variasi kualitas memiliki pengaruh terhadap
19
minat beli. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, maka dapat disusun hipotesis ke-6, ke-7, dan ke-8. H0-6 : persepsi kualitas tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-6 : persepsi kualitas berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0-7 : product signatureness tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-7 : product signatureness berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0-8 : persepsi variasi kualitas tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-8 : persepsi variasi kualitas berpengaruh secara negatif terhadap minat beli Pengaruh kesadaran nilai terhadap private label attitude dan minat beli Jin dan Suh (2005) menyatakan bahwa kesadaran nilai memiliki pengaruh langsung terhadap minat beli pada private label makanan. Namun, private label attitude juga dapat memediasi pengaruh kesadaran nilai terhadap minat beli. Batra dan Sinha (2000); Burton et al. (1998); Lee (2008) serta Tseng dan Hwang (2003) menyatakan bahwa harga yang murah menjadi salah hal penting yang dapat menarik minat beli konsumen. Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan Burton et al. (1998), Richardson et al. (1996) dan Garretson et al. (2002) menunjukkan bahwa kesadaran nilai memiliki hubungan yang positif dengan private label attitude. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disusun hipotesis ke-9 dan ke-10. H0-9 : kesadaran nilai tidak berpengaruh terhadap private label attitude H1-9 : kesadaran nilai berpengaruh secara positif terhadap private label attitude H0-10 : kesadaran nilai tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-10 : kesadaran nilai berpengaruh secara positif terhadap minat beli Pengaruh citra toko terhadap persepsi kualitas dan minat beli Menurut Jaafar et al. (2012), citra toko tidak berpengaruh terhadap minat beli. Namun, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Wu et al. (2011) dan Diallo et al. (2013), citra tokomemiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli. Citra toko secara langsung mempengaruhi volume penjualan produk private label yang dipasarkan toko tertentu. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Grewal et al. (1998) bahwa citra tokomemiliki pengaruh yang positif terhadap minat beli akan produk yang ditawarkan oleh toko yang bersangkutan. Bao et al. (2011) juga menegaskan bahwa citra toko memiliki pengaruh terhadap minat beli. Citra toko juga ditemukan mempengaruhi persepsi kualitas. Menurut Grewal et al. (1998), terdapat hubungan antara citra toko dengan persepsi kualitas. Berdasarkan beberapa pembahasan tersebut, maka dapat disusun hipotesis ke-11 dan ke-12. H0-11 : citra toko tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-11 : citra toko berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0-12 : citra toko tidak berpengaruh terhadap persepsi kualitas H1-12 : citra toko berpengaruh secara positif terhadap persepsi kualitas Pengaruh ruang rak dan familiarity terhadap persepsi kualitas Dursun et al. (2012) menjelaskan bahwa ruang rak tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap minat beli, namun memiliki pengaruh terhadap persepsi kualitas. Selanjutnya, Dursun et al. (2012) juga menambahkan bahwa familiarity juga memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi kualitas. Mieres et al. (2006)
20 menyatakan bahwa familiarity mendorong konsumen memberikan penilaian bahwa suatu produk private label dapat menjadi suatu alternatif yang mungkin memiliki kualitas yang tinggi jika konsumen belum pernah mengonsumsi produk tersebut secara langsung. Richardson et al. (1996) menyatakan ketika konsumen telah mendapatkan informasi yang lebih banyak mengenai suatu produk, maka produsen akan mempersepsikan kualitas produk-produk tersebut tidak jauh berbeda dengan kualitas produk merek nasional. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, dapat disusun hipotesis ke-13 dan ke-14. H0-13 : ruang rak tidak berpengaruh terhadap persepsi kualitas H1-13 : ruang rak berpengaruh secara positif terhadap persepsi kualitas H0-14 : familiarity tidak berpengaruh terhadap persepsi kualitas H1-14 : familiarity berpengaruh secara positif terhadap persepsi kualitas Pengaruh familiarity terhadap persepsi risiko dan minat beli Dursun et al. (2011) menjelaskan bahwa familiarity memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi risiko dan minat beli. Jaafar et al. (2012) juga menegaskan bahwa familiarity memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap minat beli pada private label makanan. Tingkat familiarity yang tinggi sangat diperlukan untuk meningkatkan kesuksesan private label. Konsumen yang lebih familiar terhadap suatu produk akan memiliki minat beli yang lebih tinggi daripada yang kurang familiar (Harlam et al. 1995). Vo dan Nguyen (2015) menegaskan bahwa familiarity memiliki pengaruh terhadap minat beli. Sheau et al. (2012) berpendapat bahwa familarity menjadi determinan yang paling signifikan dalam mempengaruhi minat beli secara langsung maupun tidak langsung melalui persepsi kualitas. Artinya ketika seorang konsumen lebih familiar terhadap private label, konsumen akan mempertimbangkan untuk membeli produk tersebut. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, dapat disusun hipotesis ke-15 dan ke-16. H0-15 : familiarity tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-15 : familiarity berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0-16 : familiarity tidak berpengaruh terhadap persepsi risiko H1-16 : familiarity tidak berpengaruh terhadap persepsi risiko Pengaruh persepsi risiko terhadap minat beli Jaafar et al. (2012) menjelaskan bahwa persepsi risiko tidak berpengaruh terhadap minat beli, namun Wu et al. (2011) menjelaskan bahwa persepsi risiko memiliki pengaruh yang negatif terhadap minat beli. Dursun et al. (2011) juga menegaskan bahwa persepsi risiko berpengaruh negatif terhadap minat beli secara signifikan. Selanjutnya, Batra dan Sinha (2000) menjelaskan bahwa persepsi risiko memiliki peran dalam menentukan kecenderungan konsumen untuk membeli sebuah private label. Semeijn et al. (2004) dan Arslan et al. (2013) juga telah mengkonfirmasi bahwa persepsi risiko memiliki pengaruh yang negatif terhadap evaluasi konsumen pada produk private label. Berdasarkan beberapa temuan terdahulu, maka perlu dilakukan pengujian pengaruh persepsi risiko terhadap minat beli melalui hipotesis ke-17. H0-17 : persepsi risiko tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-17 : persepsi risiko berpengaruh secara negatif terhadap minat beli
21
Pengaruh citra private label terhadap persepsi risiko Menurut Wu et al. (2011), citra private label memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi risiko. Shimp dan Bearden (1982) serta Perry dan Perry (1976) menyatakan bahwa konsumen akan menggunakan citra dari suatu merek untuk menurunkan persepsi risiko. Dowling dan Staelin (1994) menyatakan bahwa private label dapat meningkatkan citranya untuk menurunkan persepsi risiko produk. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat disusun hipotesis ke-18. H0-18 : citra private label tidak berpengaruh terhadap persepsi risiko H1-18 : citra private label berpengaruh secara negatif terhadap persepsi risiko Pengaruh ruang rak dan citra private label terhadap minat beli Menurut Dursun et al. (2011), ruang rak tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap minat beli. Wu et al. (2011) juga tidak menemukan adanya pengaruh citra private label terhadap minat beli secara langsung. Namun pada penelitian ini, ingin dilakukan pengujian pengaruh ruang rak dan private label terhadap minat beli secara langsung. Penelitian yang dilakukan Richardson et al. (1996) menunjukkan bahwa citra yang baik dari produk private label dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk membedakan produk yang bersangkutan dengan produk lain, meningkatkan loyalitas konsumen, dan meningkatkan profit. Kamins dan Marks (1991); Laroche et al. (1996) serta Romanjuk dan Sharp (2003) menemukan bahwa semakin baik citra suatu merek, maka akan semakin tinggi minat beli terhadap produk tersebut. Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat disusun hipotesis ke-19 dan ke-20. H0-19 : ruang rak tidak berpengaruh terhadap minat beli H1-19 : ruang rak berpengaruh secara positif terhadap minat beli H0 : citra private label tidak berpengaruh minat beli H20 : citra private label berpengaruh secara positif terhadap minat beli Kerangka Operasional Penelitian ini mengkaji 11 variabel yang berkaitan dengan variabel minat beli. Definisi masing-masing variabel tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Definisi konseptual dan operasional variabel laten No 1
Variabel Citra toko
2
Persepsi risiko
Definisi Kompleksitas persepsi konsumen mengenai sebuah toko dalam atribut yang berbeda. Citra toko terdiri dari lima dimensi yaitu keragaman produk, kualitas produk, harga, value for money, dan atmosfer toko. Ekspektasi subjektif dari seorang konsumen mengenai kerugian. Konsep persepsi risiko terkait dengan situasi saat seorang konsumen harus menangani ketidakpastian akan hasil yang baik atau hasil yang tidak baik dari suatu produk baru. Persepsi risiko diukur dengan 3 indikator yaitu risiko fungsional, risiko keuangan dan risiko kesehatan.
Sumber Bloemer dan Ruyter (1998); Collins dan Lindley (2003). Wu et al. (2011); Vo dan Nguyen (2015); Stone dan Gronhaug (1993)
22 Tabel 2 Definisi konseptual dan operasional variabel laten (Lanjutan) No 3
4
5
6
7
Variabel Definisi Citra private Serangkaian asosiasi dalam benak konsumen label yang mengarah pada produk private label. Penilaian konsumen terhadap citra merek terkait dapat diukur dengan komponen kualitas dan affective. Kualitas merupakan kesadaran konsumen terhadap kualitas produk. Selanjutnya Affective berkaitan dengan preferensi atau kepuasan konsumen terhadap produk private label. Product Tingkatan dimana suatu kategori produk signatureness terasosiasi dengan sebuah toko dalam benak konsumen. Sebagai contoh, toko obat diasosiasikan dengan produk-produk pengobatan dan produk kesehatan. Product signatureness diukur berdasarkan penilaian konsumen mengenai kategori produk apa yang paling berasosiasi dengan toko ritel yang dijadikan sebagai tempat belanja. Persepsi Persepsi konsumen yang menunjukkan bahwa variasi kualitas kualitas dari merek produk yang berbeda dalam suatu kategori produk akan bervariasi atau tidak sama. Persepsi konsumen terhadap persepsi variasi kualitas antara produk private label dengan produk merek nasional diukur dari aspek rasa, kesegaran, nilai gizi dan pengemasan produk. Kesadaran Fokus konsumen untuk mendapatkan harga yang nilai rendah dan kualitas yang baik, oleh karena itu terdapat kemungkinan konsumen akan memeriksa harga dan membandingkannya dengan harga merek lain untuk mendapatkan value for money yang terbaik. Konsumer yang memiliki sifat sadar terhadap nilai cenderung mencari produk dengan kombinasi yang lebih unggul antara harga dan kualitas. Kesadaran nilai diukur dengan seberapa besar konsumen berusaha untuk mendapatkan value for money terbesar. Keinovatifan Kecenderungan konsumen untuk mencari konsumen informasi mengenai produk baru, membeli produk baru atau merek yang lebih baik dibandingkan dari pilihan konsumen yang sebelumnya, serta menjadi konsumen yang pertama kali mengadopsi produk baru diantara kawan sebayanya.
Sumber Wu et (2011)
al.
Inman et al. (2004)
Bao et al. (2011); Richardson et al. (1996)
Ailawadi et al. (2001) dan Garretson et al. (2002)
Jin dan Suh (2005); Tellis et al. 2009); Lee et al. (2007).
23
Tabel 2 Definisi konspetual dan operasional variabel laten (Lanjutan) No 8
9
10
11
12
Variabel Familiarity
Definisi Banyaknya pengalaman yang telah dikumpulkan oleh konsumen terkait dengan suatu produk atau merek. Pengalaman tersebut dapat berupa pengalaman langsung dan tidak langsung seperti pengalaman yang diperoleh dari iklan, interaksi dengan penjual, komunikasi dari mulut ke mulut, serta melalui pencobaan produk dan konsumsi. Persepsi Penilaian konsumen mengenai keunggulan suatu kualitas produk. Persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk/ jasa terkait dengan yang diharapkan konsumen. Persepsi kualitas diukur dengan aspek rasa, penampilan produk dan pengemasan produk. Private label Evaluasi keseluruhan seorang individu terhadap attitude suatu merek. Sikap terhadap merek merupakan sikap evaluasi, perasaan emosional, kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan serta bertahan lama terhadap suatu objek atau gagasan. Ruang rak Sumberdaya terbatas yang harus dibagi-bagi secara optimal untuk beragam merek atau kategori produk. Ruang rak dapat dipertimbangkan sebagai bentuk periklanan, meletakan produk menjadi top of consumer minds, dan memberi kesan pada suatu produk tentang level popularitasnya. Ruang rak pada penelitian ini diukur dengan banyaknya jumlah rak pemajangan yang disediakan toko untuk produk private label dan jarak penglihatan produk private label sebagai refleksi dari jumlah ruang rak yang tersedia untuk produk private label. Minat beli Suatu kemungkinan bahwa konsumen akan berencana atau rela untuk membeli produk atau jasa tertentu di masa yang akan datang. Minat beli diukur dengan kesediaan konsumen untuk mempertimbangkan membeli produk, minat membeli di masa yang akan datang dan keputusan untuk membeli produk kembali.
Sumber Alba dan Hutchinson (1987); Dick et al. (1996)
(Zeithaml 1998); Aaker (1997); Richardson et al. (1996). Mitchell dan Olson (1981); Kotler (2000). Dursun et al. (2011); Brown dan Lee (1996)
(Wu et al. 2011); Rahman et al. (2012)
Selanjutnya, setiap variabel laten memerlukan indikator untuk mengukur nilai variabel laten yang ada. Indikator yang digunakan berasal dari berbagai penelitian terdahulu. Indikator kemudian dituang ke dalam bentuk pertanyaan dengan skala pengukuran interval yang menggunakan skala likert 1-5 (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = ragu-ragu, 4 = setuju, 5 = sangat setuju). Indikator pengukuran variabel laten tersaji pada Tabel 3.
24 Tabel 3 Indikator pengukuran variabel laten No
Variabel laten
1.
Citra toko
2.
Persepsi risiko
3.
Citra private label
4.
Product signatureness Persepsi variasi kualitas
5.
6. 7.
Kesadaran nilai Keinovatifan konsumen
8.
Familiarity
9.
Persepsi kualitas
10.
Private label attitude
11.
Ruang rak
12.
Minat beli
Indikator Keberagaman produk Kualitas-kualitas produk Atmosfer dekorasi Penilaian keseluruhan Risiko fungsional Risiko keuangan Risiko kesehatan Kualitas private label Private label affective Asosiasi toko dengan kategori produk tertentu Kualitas rasa Kualitas nutrisi Kualitas pengemasan Fokus harga dan kualitas Kualitas maksimal Pencarian informasi Keinginan untuk mencoba produk baru Orang pertama yang mengadopsi produk Familiar Pengenalan Pernah mendapatkan informasi Kualitas rasa Kualitas penampilan Kualitas pengemasan Perasaan konsumen terhadap private label Pencarian terhadap produk private label Penilaian konsumen Jarak penglihatan konsumen Kesediaan untuk membeli produk di masa yang akan datang
Jumlah pertanyaan di kuesioner 4 butir pertanyaan
Sumber Collins dan Lindley (2003)
2 butir pertanyaan
Stone dan Gronhaug (1993) Vahie dan Paswan (2006) Bao et al. (2011)
3 butir pertanyaan
Richardson et al. (1996)
3 butir pertanyaan
Bao et al. (2011)
3 butir pertanyaan
Jin dan Suh (2005) dan Lee et al. (2007)
3 butir pertanyaan
Vo dan Nguyen (2015)
3 butir pertanyaan
Richardson et al. (1996)
3 butir pertanyaan
Manzur et al. 2011
2 butir pertanyaan 1 butir pertanyaan
Dursun et al. (2011) Knight dan Kim (2007) dan Bao et al. (2011),
3 butir pertanyaan 2 butir pertanyaan
Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian dilakukan di Giant Botani Square, Hypermart Ekalokasari, Superindo Jembatan Merah, Griyamart Ciomas, Alfamart Sindang Barang, dan Indomaret Surya Kencana. Proses pengambilan data berlangsung dari bulan Mei hingga Juni 2016.
25
Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan pembagian kuesioner ke responden. Kuesioner penelitian disajikan pada Lampiran 2. Data sekunder diperoleh melalui buku, majalah, internet, dan jurnal yang relevan dengan penelitian ini. Populasi penelitian yaitu semua konsumen yang mengonsumsi produk private label. Elemen penelitian ini adalah konsumen yang mengonsumen produk private label. Unit Sampling dalam penelitian ini yaitu konsumen yang mengonsumsi produk private label akan ditemui di unit ritel hypermarket, supermarket dan minimarket. Kerangka sampel yang digunakan yaitu berdasarkan data top brand award 2015 untuk kategori ritel di Indonesia. Ritel yang dijadikan lokasi penelitian yaitu Giant dan Hypermart untuk kategori Hypermarket, Superindo dan Griya Mart untuk kategori Supermarket, serta Alfamart dan Indomaret untuk kategori Minimarket. Pemilihan lokasi ritel berdasarkan hasil survei Frontier Consulting Group yang menunjukkan bahwa keenam ritel tersebut merupakan merek ritel yang menjadi top brand di tahun 2015. Berdasarkan ulasan tersebut, maka populasi penelitian ini yaitu pengunjung Giant Botani Square, Hypermart Ekalokasari, Superindo Jembatan Merah, Griyamart Ciomas, Alfamart Sindangbarang dan Indomaret Suryakencana. Data top brand award 2015 industri ritel disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Top brand index industri ritel 2015 Kategori ritel Merek ritel Top brand index (%) Hypermarket Carrefour 44,7 Giant 23,2 Hypermart 16,1 Lottemart 7,2 Supermarket Superindo 22,6 Hero 22,5 ADA 6,9 Griya 6,7 Tip-top 6,5 Minimarket Alfamart 52,9 Indomaret 40,6 Sumber: Frontier Consulting Group Survei (2015) Total sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan aturan Bentler dan Chou yaitu jumlah parameter dikali lima (Latan 2013). Jumlah parameter yang digunakan yaitu 34 dikali lima, sehingga diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan 170 dan dibulatkan menjadi 180 untuk memudahkan perhitungan. Metode penarikan sampel yang digunakan yaitu quota sampling dan purposive sampling. Penentuan jumlah responden minimal untuk masing-masing ritel dengan menggunakan quota sampling. Quota sampling yaitu teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang memiliki ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiyono 2011). Kuota memastikan bahwa komposisi dari contoh dan populasi adalah sama dalam hal karakteristik pengendaliannya (Sumarwan et al. 2013). Pada penelitian ini, jumlah sampel minimal yang ditentukan yaitu 180 orang.
26 Kemudian masing-masing kategori ritel mendapatkan kuota yaitu 60 orang. Selanjutnya untuk masing-masing merek toko diberikan kuota sampel minimal berdasarkan proporsi rata-rata jumlah pengunjung per bulan. Rincian sampel penelitian yang diperoleh disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sampel penelitian Lokasi Giant Hypermart Superindo Griyamart Alfamart Indomaret
Kuota per kategori toko ritel Hypermarket (60) Supermarket (60) Minimarket (60)
Rata-rata pengunjung (per bulan) 250 000 35 000 42 000 15 000 6 000 8 000
Total
Sampel Sampel minimal diperoleh 53 70 7 32 44 59 16 33 26 34 34 46 180 274
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa total jumlah responden yang terkumpul yaitu 274 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa pengambilan data telah memenuhi jumlah syarat minimal, sehingga proses pengambilan data dianggap telah selesai. Dalam proses pengambilan sampel di lapangan, digunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan metode yang memilih responden berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono 2011). Sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu agar dapat mewakili populasinya. Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan responden di lapangan yaitu memilih responden yang sedang melakukan pembelian terhadap produk private label makanan. Sedangkan, terdapat beberapa responden yang dipilih tidak sedang membeli produk private label makanan, namun pernah mengonsumsi produk private label makanan dalam kurun waktu tiga bulan. Lalu, konsumen diberi informasi mengenai daftar produk private label makanan yang tersedia di toko yang sedang diteliti seperti beras, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur, makanan kecil, makanan mentah, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menyegarkan ingatan konsumen, sehingga dalam melakukan pengisian kuesioner akan memberikan penilaian yang lebih optimal. Kuesioner diberikan kepada konsumen untuk dilakukan pengisian dengan diiringi penjelasan secara langsung dari peneliti. Kemudian, peneliti menunggu responden selesai dalam pengisian kuesioner. Responden yang diperoleh dalam penelitian ini mayoritas berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan konsumen yang berada di tempat perberlanjaan yang menjadi lokasi penelitian mayoritas perempuan. Hal ini dapat dipahami bahwa konsumen yang melakukan aktifitas belanja cenderung merupakan konsumen perempuan. Pengujian Kuesioner Pengujian kuesioner yang dilakukan berupa uji validitas dan uji reliabilitas pada 30 responden pertama. Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi pearson product moement. Jika nilai rhitung yang diperoleh > rtabel (0,361), maka dapat disimpulkan bahwa seluruh butir pertanyaan telah valid. Hasil uji validitas kuesioner penelitian ini tersaji pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa semua indikator pertanyaan telah memiliki nilai r-hitung > 0,361.
27
Oleh karena itu, semua indikator pertanyaan dapat dikatakan valid. Rincian hasil uji validitas ditampilkan pada Lampiran 3. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten. Jika dalam pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan alat pengukur yang sama hasilnya tetap konsisten, maka dapat disimpulkan reliabel (Siregar 2013). Metode Alpha Cronbach digunakan untuk uji reliabilitas. Jika nilai Alpha > 0,6, maka dapat disimpulkan bahwa butir pertanyaan telah reliable (Ghozali 2009). Berdasarkan hasil uji reliabilitas, semua variabel telah memiliki nilai alpha > 0,6, kecuali variabel persepsi variasi kualitas. Nilai alpha persepsi variasi kualitas sebesar 0,596, namun karena selisihnya sangat kecil, maka dapat dinyatakan reliabel. Nilai alpha untuk keseluruhan variabel yaitu 0,895. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa kuesioner telah reliabel. Rincian hasil uji reliabilitas kuesioner penelitian ini tersaji pada Lampiran 4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deksriptif, uji Mann Whitney dan analisis CB-SEM. Diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 7.
28 Mulai Pengumpulan data
Data primer a. Kuesioner b. Wawancara
Data sekunder a. Data top brand index industri ritel Indonesia 2015 b. Data jumlah pengunjung per bulan di lokasi penelitian
Pengujian kuesioner
Uji validitas
Valid?
Y Ya
SEM
Uji reliabilitas
Model pengukuran
Tidak
Reliabel?
Perbaikan/ pembuangan pertanyaan
Uji validitas
Analisis data Valid? Analisis deskriptif
Uji reliabilitas
Ya
Uji Mann Whitney
Tidak
Reliabel? ?
Eliminasi indikator
Ya
Ya
Uji kelayakan model Karakteristik responden
Uji hipotesis Tidak
Model baik? Terima H0
Tolak H0
Ya
Perbaikan model
Uji hipotesis
Terima H0
Implikasi manajerial
Selesai
Gambar 7 Diagram alir analisis data
Tolak H0
29
Analisis Deskriptif Analisis deksriptif merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan secara terperinci mengenai objek penelitian yang diamati. Analisis ini dilakukan melalui data dan sampel yang telah terkumpul. Analisis dekriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik konsumen. Uji Mann Whitney Uji Mann Whitney merupakan metode untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif dua sampel independen pada data yang berbentuk ordinal (Sugiyono 2003). Uji ini merupakan bagian dari statistik non parametrik. Pengambilan keputusan dengan melihat nilai signifikansi. Jika nilainya < 0,05, maka H0 ditolak dan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan. Uji Mann Whitney dilakukan untuk melihat signifikansi perbedaan antar masing-masing kelompok ritel yang diuji. Structural Equation Modelling (SEM) Structural Equation Modelling merupakan suatu teknik analisis multivariat generasi kedua yang menggabungkan antara analisis faktor dan analisis jalur. SEM memungkinkan peneliti untuk menguji dan mengestimasi secara simultan hubungan antara variabel eksogen berganda dan variabel endogen dengan banyak indikator (Latan 2013). Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan software Lisrel. Beberapa tahapan yang dilalui dalam analisis SEM menurut Latan (2013), yaitu sebagai berikut: a. Spesifikasi model Tahap mendefinisikan secara konseptual konstruk yang diteliti dan menentukan dimensionalitasnya. Kemudian, arah kasualitas antar konstruk yang menunjukkan hubungan yang dihipotesiskan harus ditentukan dengan jelas dan mempunyai landasan teori yang kuat. Teori yang tidak mendukung model persamaan struktural yang dibangun akan memberikan hasil yang tidak bermakna atau bias. Tujuan dari covariance based SEM adalah mengonfirmasi teori atau menguji teori, bukan untuk memprediksi atau mengembangkan teori. b. Identifikasi model Tahap ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan data empiris memiliki nilai yang unik atau tidak, sehingga model dapat diestimasi. Jika model tidak memiliki nilai yang unik, maka model tidak dapat diidentifikasi. Penyebabnya adalah informasi yang terdapat pada data empiris tidak cukup untuk menghasilkan solusi yang unik dalam menghitung parameter estimasi model. Program Lisrel memberikan beberapa solusi untuk masalah ini. c. Estimasi model Model penelitian yang sudah memenuhi spesifikasi dan identifikasi model selanjutnya dilakukan estimasi model. Sebelumnya estimasi model, perlu menentukan metode estimasi yang akan digunakan dan mempertimbangkan berapa besar jumlah sampel yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan karena nantinya akan berpengaruh terhadap interpretasi hasil analisis. Terdapat tiga pilihan metode estimasi, yaitu: 1) Maximum Likelihood (ML) Metode estimasi yang paling populer dan banyak digunakan oleh peneliti di bidang SEM. ML akan menghasilkan estimasi parameter terbaik jika data yang digunakan memenuhi asumsi normalitas multivariat dan akan bias jika
30 dilanggarnya asumsi normalitas multivariat. Ukuran sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi ML adalah sebesar 100-200. 2) Generalized Least Square (GLS) GLS jarang digunakan oleh peneliti di bidang SEM. Hal ini disebabkan hasil GLS hampir sama dengan hasil estimasi ML jika asumsi normalitas data multivariat terpenuhi. 3) Asymptotically Distribution Free (ADF) Metode ADF ini tidak terlalu diminati oleh peneliti di bidang SEM karena dalam metode ini jumlah variabel yang dapat diestimasi dalam model sangat terbatas, umumnya hanya bisa menangani 10-15 variabel saja. Selain itu, ADF juga mensyaratkan jumlah sampel yang besar yaitu 2 000-2 500. d. Evaluasi model Evaluasi model bertujuan untuk mengevaluasi model secara keseluruhan, apakah model baik atau tidak. Evaluasi model dalam CB-SEM dapat dilakukan dengan menilai hasil pengukuran model yaitu melalui analisis faktor konfirmatori dengan menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten. Kemudian, dilanjutkan dengan evaluasi model struktural secara keseluruhan dengan menilai kelayakan model melalui kriteria kelayakan model. 1) Pengukuran model Pengukuran model menunjukkan bagaimana variabel manifes merepresentasi konstruk laten untuk diukur yaitu dengan menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten tersebut melalui analisis faktor konfirmatori. Validitas ada dua yaitu validitas eksternal dan internal. Validitas eksternal menunjukkan bahwa hasil dari suatu penelitian adalah valid sehingga dapat digeneralisir ke semua objek, situasi dan waktu yang berbeda. Sedangkan, validitas internal menunjukkan kemampuan dari instrumen penelitian untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dari suatu konsep. Sehingga, dapat disimpulkan uji validitas yang dilakukan SEM adalah uji validitas internal. Pengukuran model melalui analisis konfirmatori yang sering digunakan yaitu MTMM (Multi trait-Multi method) dengan menguji validitas konvergen dan diskriminan. Selanjutnya, uji reliabilitas juga dilakukan dalam penngukuran model dengan menggunakan Cronbach’s Alpha (SPSS) dan Composite Reliability dengan menghitung loading factor tiap indikator konstruk dengan menggunakan rumus yang sudah ditentukan. 2) Menilai kelayakan model (goodness of fit) Kelayakan model merupakan indikasi dari perbandingan antara model yang dispesifikasi dengan matriks kovarian antar indikator atau observed variabel. Jika hasil uji kelayakan model itu baik, maka model tersebut dapat diterima. dan sebaliknya jika hasil uji kelayakan model itu buruk, maka model tersebut harus ditolak. Secara keseluruhan terdapat tiga jenis ukuran kelayakan model yaitu: a) Absolute Fit Indices Absolute fit indices yaitu merupakan jenis good of fit yang membandingkan antara fit model secara teoritis dengan data yang dikumpulkan. Absolute fit indices terdiri atas: - Chi-square (x2) Model dikatakan fit jika nilai chi-square = 0 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara input matriks kovarian yang diobservasi
31
dengan model yang diprediksi. Tingkat signifikansi yang direkomendasikan adalah nilai probabilitas (p) > 0,05. - Goodness of fit indices (GFI) GFI merupakan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang diprediksi dibandingkan dengan data observasi yang sebenarnya. Nilai GFI yang dianjurkan sebagai ukuran fit model adalah > 0,90 - Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Nilai RMSEA yang menunjukkan < 0,05 mengindikasikan goodness of fit model sangat baik, nilai RMSEA ≤ 0,08 mengindikasikan goodness of fit cukup baik dan nilai RMSEA di atas 1,00 mengindikasikan bahwa model perlu diperbaiki. b) Incremental Fit Indices IFI merupakan jenis goodness of fit yang digunakan untuk membandingkan fit model secara teoritis, relatif dengan alternatif baseline model (null model). IFI terdiri atas: - Adjusted Goodness of Fit (AGFI), dengan nilai AGFI yang direkomendasikan untuk indikasi model fit ≥ 0,90. - Normed Fit Index (NFI), dengan nilai NFI yang direkomendasikan untuk indikasi model fit > 0,90. - Comparative Fit Index (CFI), dengan nilai CFI yang direkomendasikan untuk indikasi model fit > 0,90 (Kusnendi 2008). - Incremental Fit Index (IFI), dengan nilai IFI yang direkomendasikan untuk indikasi model fit > 0,90. - Relative Fit Indices (RFI), nilai RFI yang direkomendasikan untuk indikasi model fit > 0,90. c) Parsimonious Fit Indices Parsimonious Fit Indices merupakan ukuran untuk menghubungkan goodness of fit dengan sejumlah koefisien estimasi yang diperlukan untuk mencapai model fit. Tujuan dasarnya adalah untuk mendiagnosa apakah model fit telah tercapai dengan over fitting data yang memiliki banyak koefisien. Namun demikian penggunaannya hanya terbatas untuk membandingkan model. Persimonious Fit Indices terdiri atas: - Akaike’s Information Creation (AIC) dan Consistent Akaike Information Index (CAIC) AIC dan CAIC digunakan dalam perbandingan model dimana nilai AIC dan CAIC default model harus dibandingkan dengan nilai AIC dan CAIC saturated dan independence model. Jika nilai AIC dan CAIC default model < nilai AIC dan CAIC saturated dan independence model dapat disimpulkan bahwa model fit. - Expected Cross Validation Index (ECVI) Jika nilai ECVI default model < nilai ECVI saturated dan independence model dapat disimpulkan bahwa model fit. - Parsimonious Goodness of Fit Index (PGFI) PGFI merupakan modifikasi dari GFI dan AGFI untuk mengukur parsimony model. Semakin tinggi nilai PGFI suatu model, semakin parsimony model tersebut. Nilai PGFI yang direkomendasikan untuk indikasi model parsimony > 0,60.
32 e. Respesifikasi Model Jika setelah melakukan penilaian goodness of fit dan didapatkan model yang diuji ternyata tidak fit, maka perlu dilakukan respesifikasi model. Respesifikasi model harus didukunng teori karena tujuan dari CB-SEM untuk mengonfirmasi teori.
HASIL DAN PEMBAHASAN Industri Ritel Kota Bogor Indonesia berada di peringkat 12 dunia dalam Indeks Pembangunan Ritel Global 2015. Tahun 2014 menunjukkan bahwa total penjualan ritel tumbuh 14,5%. AT Karney mencatat bahwa pasar ritel di Indonesia saat ini mencapat USD 326 miliar atau setara dengan Rp. 4 306 trilitun (Sindonews 2015). Kota Bogor terletak di provinsi Jawa Barat dan memiliki posisi geografis antara 106 derajat 48’ BT dan 6 derajat 26’ LS. Posisi Kota Bogor berada dekat dengan Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadikan Kota Bogor memiliki posisi strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Berdasarkan data dari Disperindag Kota Bogor (2013), diketahui bahwa terdapat 24 unit pusat perbelanjaan moderen di Kota Bogor. Beberapa diantaranya yaitu Pangrango Plaza, Ekalokasari Plaza, Bogor Trade Mall, Botani Square, Pusat Grosir Bogor, Ada Swalayan, Plaza Jembatan Merah, Yogya Departemen Store, Giant, Lottemart, dan lainnya. Jumlah ritel moderen di Kota Bogor mengalami peningkatan yang pesat dalam 8 tahun terakhir. Pada tahun 2005 jumlah supermarket, departemen store, toserba, dan pusat perbelanjaan moderen hanya berjumlah 12 unit, sedangakn pada tahun 2013 berlipat ganda menjadi 24 unit. Data ini menunjukkan bahwa Kota Bogor menjadi salah satu kota yang banyak diminati oleh perusahaan ritel dan penanam modal untuk mengembangkan bisnis ritel. Karakteristik Konsumen Total responden yang diperoleh dalam penelitan ini berjumlah 274 orang. Mayoritas konsumen yaitu perempuan sebanyak 88%. Penyebabnya adalah perempuan lebih sering melakukan kegiatan belanja serta lebih mengingat produkproduk bahan pangan yang biasa dibeli. Konsumen terbagi dalam tiga kelompok yaitu pengunjung hypermarket, supermarket, dan minimarket. Masing-masing kelompok market memiliki 102, 92 dan 80 responden. Karakteristik konsumen diperoleh berdasarkan analisis deksriptif terhadap responden yang diperoleh dalam penelitian ini dan kemudian disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Karakteristik konsumen hypermarket, supermarket dan minimarket ditampilkan pada Tabel 6.
33
Tabel 6 Karakteristik konsumen hypermarket, supermarket, dan minimarket Karakteristik Jenis kelamin Status perkawinan Usia
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Pendapatan per bulan (Rp)
Pengeluaran per bulan (Rp)
Pengeluaran per bulan untuk bahan pangan (Rp)
Konsumen (%) Hyper market Super market Laki-laki 1,0 3,3 Perempuan 99,0 96,7 Menikah 38,2 72,8 Belum menikah 61,8 27,2 15 - 20 tahun 25,5 13,0 21 – 25 tahun 38,2 18,5 26 – 30 tahun 12,7 13,0 31 – 35 tahun 7,8 20,7 36 – 40 tahun 5,9 10,9 41 – 45 tahun 2,0 10,9 46 – 50 tahun 5,9 6,5 51 – 55 tahun 2,0 2,2 56 – 60 tahun 0,0 4,3 >60 tahun 0,0 0,0 SD 0,0 1,1 SMP 2,9 5,4 SMA 53,9 32,6 Diploma 13,7 22,8 Sarjana (S1) 26,5 30,4 S2 atau S3 2,9 7,6 Pelajar 35,3 13,0 Pegawai negeri 8,8 22,8 Pegawai swasta 33,3 37,0 Wirausaha 5,9 4,3 Ibu rumah tangga 13,7 19,6 BUMN 0,0 0,0 Lainnya 2,9 3,3 < 1.000.000 9,8 8,7 1.000.000 – 2.000.000 29,4 14,1 2.000.001 – 3.000.000 19,6 21,7 3.000.001 – 5.000.000 23,5 27,2 5.000.001 – 7.000.000 8,8 16,3 7.000.001 – 9.000.000 2,9 4,3 > 9.000.000 5,9 7,6 < 1.000.000 25,5 15,2 1.000.000 – 2.000.000 32,4 23,9 2.000.001 – 3.000.000 23,5 28,3 3.000.001 – 5.000.000 12,7 21,7 5.000.001 – 7.000.000 0,0 5,4 7.000.001 – 9.000.000 2,9 3,3 > 9.000.000 2,9 2,2 < 1.000.000 61,8 40,2 1.000.000 – 2.000.000 26,5 37,0 2.000.001 – 3.000.000 4,9 16,3 3.000.001 – 5.000.000 3,9 5,5 5.000.001 – 7.000.000 1,9 0,0 7.000.001 – 9.000.000 0,0 1,0 > 9.000.000 1,0 0,0 Keterangan
Mini market 36,3 63,8 46,3 53,8 20,0 28,8 15,0 8,8 12,5 6,3 6,3 1,3 0,0 1,3 0,0 7,5 47,5 13,8 28,8 2,5 21,3 3,8 32,5 21,3 20,0 1,3 0,0 17,5 26,3 15,0 23,8 11,3 3,8 2,5 23,8 36,3 21,3 17,5 0,0 1,3 0,0 53,8 41,2 3,8 1,2 0 0 0
34 Tabel 6 Karakteristik konsumen hypermarket, supermarket, dan minimarket (Lanjutan) Karakteristik Frekuensi berbelanja
Hobi
Keterangan 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali >5 kali Berbelanja Membaca Olahraga Bepergian Seni Kuliner Menjahit Hiburan Lainnya
Hyper market 15,7 16,7 21,6 21,6 5,9 18,6 4,9 13,7 9,8 22,5 12,7 14,7 0,0 11,8 9,8
Konsumen (%) Super market 18,5 14,1 16,3 26,1 2,2 22,8 5,4 23,9 12,0 5,4 9,8 27,2 2,2 8,7 5,4
Mini market 16,3 13,8 22,5 11,3 8,8 27,5 6,3 7,5 35,0 1,3 10,0 13,8 0,0 13,8 12,5
Berdasarkan hasil analisis deskriptif Tabel 6, karakteristik konsumen dapat dilihat dari dua segi yaitu segi demografi dan segi perilaku pembelian konsumen. Dilihat dari segi demografi segmen hypemarket dan supermarket mayoritas terdiri dari 99% dan 96,7% perempuan, sedangkan minimarket terdiri dari 63,8% konsumen perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen yang memiliki kebiasaan berbelanja yaitu perempuan. Sebanyak 61,8% konsumen hypermarket belum menikah, 72,8% konsumen supermarket telah menikah dan sebanyak 53,8% konsumen minimarket belum menikah. Sebagian besar persebaran usia konsumen hypermarket di rentang 15-35 tahun, supermarket sebagian besar menyebar rata di rentang usia 15-45 tahun, sedangkan minimarket sebagian besar menyebar rata di rentang 15-40 tahun. Ketiga segmen ritel memiliki mayoritas konsumen berpendidikan terakhir SMA. Mayoritas konsumen hypermarket berstatus mahasiswa sebanyak 35,3% dan sebanyak 33,3% berprofesi sebagai pegawai swasta. Sedangkan mayoritas konsumen supermarket dan minimarket berprofesi sebagai pegawai swasta masing-masing dengan presentase sebesar 37% dan 32,5%. Berdasarkan pendapatan per bulan, mayoritas konsumen hypermarket dan minimarket berpendapatan 1-2 juta rupiah per bulan, sedangkan mayoritas konsumen supermarket berpendapatan 3-5 juta rupiah per bulan. Terakhir, mayoritas hobi yang dimiliki konsumen hypermarket, supermarket dan minimarket masing-masing yaitu bepergian, kuliner dan olahraga. Karakteristik konsumen dari segi perilaku pembelian yaitu mayoritas konsumen hypermarket dan minimarket memiliki pengeluaran total per bulan 1-2 juta rupiah per bulan sedangkan mayoritas konsumen minimarket memiliki pengeluaran total 2-3 juta rupiah per bulan. Selanjutnya ketiga segmen ritel memiliki mayoritas konsumen yang pengeluaran bahan pangan per bulannya sebesar < 1 juta rupiah. Mayoritas konsumen hypermarket memiliki frekuensi berbelanja di ritel tersebut 3 dan 4 kali per bulan, konsumen supermarket memiliki frekuensi berbelanja di ritel tersebut 4 kali per bulan dan konsumen minimarket memiliki frekuensi berbelanja di ritel tersebut > 5 kali per bulan.
35
Karakteristik konsumen pada penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan karakteristik konsumen pada lima penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Konsumen pada penelitian ini memiliki proporsi berjenis kelamin perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki, temuan ini sama dengan karakteristik konsumen pada penelitian Jaafar et al. (2012) (60% perempuan), Bao et al. (2010) (79,8% perempuan), dan Wu et al. (2011) (79,7% perempuan), sedangkan penelitian Dursun et al. (2011) serta Jin dan Suh (2005) tidak menampilkan karakteristik gender konsumen. Selanjutnya pada penelitian ini proporsi rentang usia konsumen hypermarket dan minimarket terbesar yaitu pada rentang 21-25 tahun serta pada supermarket yaitu 31-35 tahun. Perbandingan karakteristik usia dengan penelitian Jaafar et al. (2012) yaitu rentang usia 18-25 tahun memiliki proporsi terbanyak yaitu 56%, penelitian Bao et al. (2011) memiliki karakteristik usia dengan rata-rata usia konsumen 41 tahun, penelitian Wu et al. (2011) memiliki karakteristik usia pada rentang 21-30 tahun dengan proporsi terbesar, selanjutnya 60% konsumen dalam penelitian Jin dan Suh (2005) berada pada rentang usia 20-39 tahun. Kemudian mayoritas pendidikaan terakhir konsumen pada penelitian ini yaitu SMA/ sederajat, hasil ini sesuai dengan penelitian Jaafar et al. (2012). Mayoritas konsumen pada penelitian ini berstatus belum menikah, temuan ini sesuai dengan temuan Jaafar et al. (2012) yang memiliki proporsi konsumen belum menikah sebesar 60%. Selanjutnya, frekuensi belanja dan pengeluaran per bulan untuk produk private label dari konsumen juga dikaji. Frekuensi belanja dan pengeluaran produk private label konsumen disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Toko Indomaret Alfamart Superindo Griyamart Hypermart Giant
Tabel 7 Frekuensi berbelanja di setiap toko Frekuensi berbelanja (%) 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali 19,6 10,9 19,6 10,9 8,7 11,8 17,6 26,5 11,8 8,8 27,1 11,9 11,9 25,4 1,7 3,0 18,2 24,2 27,3 3,0 25,0 15,6 21,9 25,0 6,3 11,4 17,1 21,4 20,0 5,7
>5 kali 30,4 23,5 22,0 24,2 6,3 24,3
Berdasarkan Tabel 7, konsumen Indomaret, Alfamart, dan Giant yang menjadi sampel penelitian mayoritas adalah pengunjung dengan frekuensi belanja di masing-masing ritel tersebut sebanyak > 5 kali per bulan. Selanjutnya, konsumen Superindo yang menjadi sampel penelitian mayoritas memiliki frekuensi belanja sebanyak sekali tiap bulan. Konsumen Griyamart yang dijadikan sampel penelitian mayoritas memiliki frekuensi belanja sebanyak 4 kali per bulan. Sebagian besar konsumen Hypermart yang menjadi sampel penelitian memiliki frekuensi belanja sebanyak sekali dan 4 kali tiap bulan.
36 Tabel 8 Pengeluaran per bulan untuk produk private label Persentasi pengeluaran per toko (%) Besar pengeluaran Indo Alfa Super Griya Hyper private label (Rp) Giant maret mart indo mart mart < 50 000 52,2 29,4 16,9 42,4 28,1 28,6 50 001 – 100 000 17,4 20,6 16,9 24,2 28,1 25,7 100 001 – 200 000 15,2 32,3 10,2 18,2 18,8 18,6 200 001 – 300 000 4,3 2,9 5,1 6,0 3,1 14,3 300 001 - 400 000 2,2 8,8 5,1 0,0 6,2 2,8 400 001 - 500 000 4,3 0,0 28,8 9,1 12,5 4,3 >500 000 4,3 5,9 16,9 0,0 3,1 5,7 Berdasarkan hasil dalam Tabel 8 dapat dilihat bahwa mayoritas konsumen Indomaret, Alfamart, Griyamart, dan Giant yang dijadikan sampel penelitian adalah pengunjung yang memiliki besar pengeluaran untuk produk private label masingmasing ritel tersebut < Rp50 000 per bulannya. Selanjutnya, mayoritas konsumen Superindo yang dijadikan sampel penelitian adalah pengunjung yang memiliki besar pengeluaran untuk produk private label ritel tersebut Rp450 000 – Rp500 000 per bulannya. Terakhir, mayoritas konsumen Hypermart yang dijadikan sampel penelitian adalah pengunjung yang memiliki besar pengeluaran produk private label toko ritel tersebut < Rp50 000 dan Rp50 001 – Rp100 000 per bulannya. Perbedaan Variabel Laten antara Hypermarket, Supermarket dan Minimarket Uji Mann Whitney dilakukan untuk menganalisis ada atau tidaknya perbedaan masing-masing variabel laten antara ritel berjenis hypermarket, supermarket, dan minimarket. Uji Mann Whitney dilakukan dengan tingkat α = 5%. Jika nilai signifikansi hitung < 0,05, maka H0 dapat ditolak. Hasil uji Mann Whitney tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Ringkasan hasil uji Mann Whitney Variabel Perbedaan kelompok Tingkat signifikansi Citra toko Hypermarket-supermarket 0,024* Hypermarket-minimarket 0,001* Supermarket-minimarket 0,131** Persepsi risiko Hypermarket-supermarket 0,008* Hypermarket-minimarket 0,226** Supermarket-minimarket 0,000* Citra private label Hypermarket-supermarket 0,266** Hypermarket-minimarket 0,719** Supermarket-minimarket 0,486** Product signatureness Hypermarket-supermarket 0,131** Hypermarket-minimarket 0,823** Supermarket-minimarket 0,129**
37
Tabel 9 Ringkasan hasil uji Mann Whitney (Lanjutan) Variabel Perbedaan kelompok Tingkat signifikansi Persepsi variasi kualitas Hypermarket-supermarket 0,000* Hypermarket-minimarket 0,935** Supermarket-minimarket 0,000* Kesadaran nilai Hypermarket-supermarket 0,026* Hypermarket-minimarket 0,532** Supermarket-minimarket 0,231** Keinovatifan Hypermarket-supermarket 0,076** konsumen Hypermarket-minimarket 0,625** Supermarket-minimarket 0,249** Familiarity Hypermarket-supermarket 0,090** Hypermarket-minimarket 0,000* Supermarket-minimarket 0,018* Persepsi kualitas Hypermarket-supermarket 0,184** Hypermarket-minimarket 0,052** Supermarket-minimarket 0,001* Private label attitude Hypermarket-supermarket 0,255** Hypermarket-minimarket 0,009* Supermarket-minimarket 0,000* Ruang rak Hypermarket-supermarket 0,438** Hypermarket-minimarket 0,481** Supermarket-minimarket 0,945** Minat beli Hypermarket-supermarket 0,002* Hypermarket-minimarket 0,053* Supermarket-minimarket 0,234** * Keterangan : signifikan ** tidak signifikan Berdasarkan hasil uji Mann Whitney pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa variabel yang nilainya berbeda dalam kategori ritel hypermarket, supermarket, dan minimarket. Beberapa variabel tersebut yaitu citra toko, persepsi risiko, persepsi variasi kualitas, familiarity, persepsi kualitas, private label attitude, kesadaran nilai, dan minat beli. Hasil uji Mann Whitney menggunakan SPSS 16 disajikan pada Lampiran 5. Perbedaan citra toko antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa citra toko antara hypermarket dengan supermarket memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan ukuran area belanja antara hypermarket yaitu seluas > 5 000 m2 dengan supermarket yaitu seluas 4 000 – 5 000 m2 (Peraturan Presiden 2007). Selain itu, terdapat perbedaan dari segi kelengkapan jenis produk yang dijual. Jenis produk yang dijual di hypermarket yaitu makanan, perawatan rumah, elektronik, pakaian dan alat olah raga. Sedangkan jenis produk yang dijual di supermarket umumnya hanya produk makanan dan perawatan rumah. Dua alasan tersebut berlaku sama untuk menjelaskan perbedaan citra toko antara hypermarket dengan minimarket
38 yang cukup signifikan dari segi ukuran toko dan kelengkapan produk barang. Supermarket dengan minimarket relatif tidak berbeda dalam hal citra toko. Perbedaan persepsi risiko antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa persepsi risiko antara hypermarket dengan supermarket dan supermarket dengan minimarket memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan citra toko antara hypermarket dengan supermarket dan perbedaan familiarity antara supermarket dengan minimarket. Familiarity menunjukan sejauh mana konsumen merasa akrab dan mengenal suatu produk private label yang dijual toko ritel. Perasaan akrab dan mengenal produk private label dapat muncul disebabkan adanya informasi yang tersimpan dalam benak konsumen melalui iklan, katalog, percakapan dengan teman dan keluarga, dan sebagainya. Perbedaan persepsi variasi kualitas antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa persepsi variasi kualitas antara hypermarket dengan supermarket memiliki perbedaan yang signifikan. Persepsi variasi kualitas merupakan penilaian konsumen mengenai seberapa besar beda kualitas produk private label dengan produk merek nasional. Artinya bagi konsumen, dalam hal menyaingi kualitas produk merek nasional, antara private label milik hypermarket dengan private label milik supermarket tidak sama. Persepsi variasi kualitas antara supermarket dengan minimarket juga memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan masing-masing merek private label yang dimiliki masing-masing ritel dipersepsikan berbeda dari segi kualitas oleh konsumen. Sehingga bagi konsumen terdapat merek tertentu yang memang sudah mampu menyaingi kualitas produk merek nasional ada juga yang belum bisa menyaingi produk merek nasional. Perbedaan kesadaran nilai antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kesadaran nilai antara hypermarket dengan supermarket memiliki perbedaan yang signifikan. Temuan ini disebabkan oleh perbedaan usia pada karakteristik responden hypermarket dan supermarket. Persebaran usia responden hypermarket mayoritas pada usia 15-35 tahun, sedangkan supermarket 15-45 tahun. Perbedaan usia dapat menghasilkan perbedaan tingkat sensitifitas terhadap harga. Perbedaan familiarity antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa familiarity antara hypermarket dengan minimarket memiliki perbedaan yang signifikan. Familiarity antara supermarket dengan minimarket juga memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini terjadi akibat pengaruh banyaknya jenis produk private label yang dimiliki serta perbedaan ukuran toko. Pada kategori hypermarket dengan supermarket cenderung memiliki jenis produk private label yang lebih banyak dibanding dengan minimarket. Ukuran toko hypermarket dengan supermarket relatif lebih besar, sehingga memungkinkan untuk lebih banyak meletakan produk private label di berbagai tempat.
39
Perbedaan persepsi kualitas antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa persepsi kualitas antara supermarket dengan minimarket memiliki perbedaan yang signifikan. Temuan ini dapat disebabkan adanya perbedaan segmen konsumen. Perbedaan sensitifitas konsumen terhadap harga juga menjadi faktor yang utama. Hal ini dapat diketahui dari karakteristik responden yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan total pengeluaran per bulan antara responden supermarket dengan minimarket masingmasing 2-3 juta rupiah dan 1-2 juta rupiah. Perbedaan total pengeluaran per bulan dapat menunjukkan sensitifitas harga konsumen yang dapat mempengaruhi perbedaan pandangan mengenai kualitas produk Perbedaan private label attitude antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa private label attitude antara hypermarket dengan minimarket memiliki perbedaan yang signifikan. private label attitude antara supermarket dengan minimarket juga memiliki perbedaan yang signifikan. Seringkali konsumen merasa senang terhadap produk private label karena mampu memenuhi kebutuhan dan menawarkan harga yang lebih murah serta diskon yang lebih sering. Alasan ini dapat menjadi faktor adanya perbedaan sikap konsumen terhadap private label antara hypermarket dengan minimarket serta supermarket dengan minimarket. Minimarket cenderung jarang untuk memberikan diskon dan umumnya harga murah yang ditawarkan belum signifikan. Minimarket juga cenderung masih sering memberikan diskon untuk produk-produk bukan private label dan justru produk merek nasional. Perbedaan minat beli antar kelompok ritel Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa minat beli antara hypermarket dengan supermarket dan hypermarket dengan minimarket memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan masih sedikitnya jenis produk makanan private label yang ditawarkan oleh supermarket dan minimarket. Sedangkan jenis produk private label makanan yang ditawarkan oleh hypermarket relatif lebih banyak dan luas. Hypermarket memiliki private label makanan seperti beras, gula, minyak goreng, makanan beku, telur, kurma, makanan ringan, makanan mentah, bawang goreng, abon, bumbu, bahan es, makanan kaleng, roti dan kue. Sedangkan private label makanan yang dimiliki supermarket umunya yaitu makanan beku, bumbu dapur, makanan mentah, abon, gula, makanan ringan dan roti. Private label makanan yang dimiliki oleh minimarket umumnya yaitu beras, minyak goreng, gula, makanan ringan, roti dan kue, bumbu, makanan mentah, mie instan, abon, roti dan kue. Selain itu jumlah barang yang dijual juga berbeda antara hypermarket, supermarket dan minimarket yaitu masing-masing sebanyak 25 000 barang, 5 000 – 25 000 barang dan < 5 000 barang.
40 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Private Label Makanan Analisis dalam model SEM dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu model pengukuran dan analisis struktural model. Tujuan melakukan model pengukuran yaitu untuk mengetahui seberapa kuat variabel manifes menggambarkan setiap variabel laten eksogen dan endogen. Tujuan melakukan analisis dalam model struktural yaitu mengetahui hubungan variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen. Model Pengukuran Pengukuran model dilakukan dengan menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten melalui analisis faktor konfirmatori. Uji ini dilakukan dalam SEM yaitu uji validitas convergent yang mengharuskan nilai loading faktor lebih dari 0,5 agar tiap indikator dinyatakan valid. Hasil uji validitas model tersaji pada Tabel 10. Selanjutnya hasil diagram jalur untuk nilai loading factor disajikan pada Gambar 8. Tabel 10 Hasil uji validitas indikator Variabel laten Product signatureness Citra private label Persepsi risiko
Citra toko
Persepsi kualitas
Persepsi variasi kualitas
Indikator PS1 PS2 PBI1 PBI2 PR1 PR2 PR3 SI1 SI2 SI3 SI4 PQ1 PQ2 PQ3 QV1 QV2 QV3
Loading factor 0,67 0,94 0,78 0,87 0,74 0,82 0,79 0,69 0,60 0,66 0,54 0,89 0,82 0,76 0,83 0,77 0,79
Variabel laten Consumer Inovativeness Kesadaran nilai
Familiarity
Private label Attitude Ruang rak
CI1 CI2 CI3 VC1 VC2 VC3 F1 F2 F3 PBA1 PBA2 PBA3 SS1 SS2
Loading factor 0,68 0,70 0,92 0,29 0,92 0,20 0,58 0,65 0,51 0,89 0,74 0,78 0,82 1,00
PI1
0,89
Indikator
Minat beli
Tabel 10 menjelaskan bahwa pada measurement model bagian pertama hanya indikator VC1 dan VC3 yang masih memiliki nilai loading factor dibawah 0,5. Oleh karena itu, analisis dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya. Selanjutnya, uji reliabilitas juga dilakukan dalam measurement model. Uji ini dilakukan untuk membuktikan akurasi, konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Uji reliabilitas pada program LISREL dapat dilakukan dengan metode composite reliability yang mengharuskan nilainya lebih dari 0,6. Hasil uji reliabilitas tersaji pada Tabel 11.
41
Tabel 11 Hasil uji reliabilitas Variabel laten Nilai Alpha Private label image 0,848 Persepsi risiko 0,770 Familiarity 0,715 Ruang rak 0,803 Persepsi kualitas 0,783 Kesadaran nilai 0,707 Private label attitude 0,760 Keinovatifan konsumen 0,764 Product signatureness 0,605 Persepsi variasi kualitas 0,790 Citra toko 0,553 Minat beli 0,848
Reliabilitas Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Cukup reliable Reliable
Berdasarkan hasil uji reliabilitas menggunakan metode Alpha Cronbach, semua variabel laten telah memenuhi syarat nilai alpha > 0,6, sehingga dapat dikatakan reliabel. Hanya terdapat satu variabel citra tokoyang masih memiliki nilai 0,553 dan dinyatakan cukup reliabel. Oleh karena itu, analisis data masih dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya.
42
Store I PL Image
P risk P Signature
P quality
Q variation
Value Consc
PL attitude
Con Inovat
Intention
Familiarity
Shelf S
Gambar 8 Diagram jalur nilai loading factor
43
Uji Kelayakan Model Kelayakan model merupakan indikasi dari perbadingan antara model yang dispesifikasi dengan matriks kovarian antar indikator atau observed variabel. Jika hasil uji kelayakan pada suatu model baik, maka model tersebut dapat diterima. Menurut Latan (2013), penggunaan 4-5 kriteria uji kelayakan model dianggap sudah mencukupi untuk menilai kelayakan suatu model, asalkan masing-masing kriteria dari absolute fit indices, incremental fit indices dan parsimony fit indices terwakili. Uji kelayakan model yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan 6 asumsi yaitu RMR; GFI yang mewakili absolute fit indices; AGFI, IFI dan CFI yang mewakili incremental fit indices; serta PGFI yang mewakili parsimony fit indices. Hasil uji kelayakan model tersaji pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil uji kelayakan model Goodness-of-Fit RMR (Root Mean Square Residual) GFI (Goodness of Fit Indices) AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) IFI (Incremental Fit Index) CFI (Comparative Fit Index) PGFI (Parsimonious Goodness of Fit Index)
Cutt-off-Value ≤ 0,1 > 0,90 ≥ 0,90 > 0,90 ≥ 0,90 > 0.06
Hasil 0,08 0,93 0,91 0,94 0,94 0,74
Keterangan Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit
Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa dari keenam asumsi telah memenuhi cutt-off-value. Oleh karena itu model dapat dinyatakan baik. Analisa Model Stuktural Analisa model struktural dilakukan untuk menganalisis dan membahas pengaruh variabel-variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogennya. Hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini berjumlah 20 buah. Sedangkan, model SEM yang terbetuk hanya model recursive. Hasil analisa model struktural dengan menggunakan nilai t-hitung ditampilkan pada Tabel 13 dan Gambar 9. Hasil pada Tabel 13 dan Gambar 9 menjelaskan bahwa terdapat 8 hipotesis yang diterima dan 12 hipotesis ditolak. Hipotesis diterima jika nilai t hitung > nilai t tabel. Nilai t tabel yang ditentukan yaitu 1,96 berdasarkan nilai α= 5%. Hasil uji hipotesis yang telah dilakukan dijelaskan pada bahasan selanjutnya. Tabel 13 Hasil analisa model struktural Hipotesis H1-1 H1-2 H1-3 H1-4 H1-5 H1-6
Path Pengaruh keinovatifan konsumen pada minat beli Pengaruh keinovatifan konsumen pada private label attitude Pengaruh private label attitude pada minat beli Pengaruh product signatureness pada persepsi kualitas Pengaruh persepsi variasi kualitas pada persepsi kualitas Pengaruh persepsi kualitas pada minat beli
Nilai t -0,53 -2,19 2,56 -0,13 -6,47 -0,22
Pengaruh Tidak signifikan Signifikan negative Signifikan positif Tidak signifikan Signifikan negative Tidak signifikan
Keputusan hipotesis Ditolak Diterima Diterima Ditolak Diterima Ditolak
44 Tabel 13 Hasil analisa model struktural (Lanjutan) Hipotesis H1-7 H1-8 H1-9 H1-10 H1-11 H1-12 H1-13 H1-14 H1-15 H1-16 H1-17 H1-18 H1-19 H1-20
Sumber Keterangan
Path
Nilai t
Pengaruh product signatureness pada minat beli Pengaruh persepsi variasi kualitas pada minat beli Pengaruh kesadaran nilai pada private label attitude Pengaruh kesadaran nilai pada minat beli Pengaruh citra toko pada Minat beli
-0,85
Pengaruh citra toko pada Persepsi kualitas Pengaruh ruang rak pada persepsi kualitas Pengaruh familiarity pada persepsi kualitas Pengaruh familiarity pada minat beli
1,28
Pengaruh familiarity pada persepsi risiko Pengaruh persepsi risiko pada minat beli Pengaruh citra private label pada persepsi risiko Pengaruh ruang rak pada minat beli Pengaruh citra private label pada minat beli
0,77 7,56 0,73 -0,80
-2,01 11,53 -0,57 7,57 -0,39 -9,62 0,81 -0,002
Pengaruh Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan positif Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan Signifikan negatif Signifikan positif Tidak signifikan Signifikan positif Tidak signifikan Signifikan negatif Tidak signifikan Tidak signifikan
: Hasil olah data LISREL 8.3 : Nilai signifikan berhubungan nyata pada alpha 0,05
Keputusan hipotesis Ditolak Ditolak Diterima Ditolak Ditolak Ditolak Diterima Diterima Ditolak Diterima Ditolak Diterima Ditolak Ditolak
45
Store I PL Image
P risk P Signature
P quality
Q variation
Value Consc
PL attitude
Con Inovat
Intention
Familiarity Shelf S
Gambar 9 Path diagram nilai t-hitung
46 Pengaruh private label attitude terhadap minat beli Hasil olah data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa private label attitude berpengaruh secara positif terhadap minat beli, dengan nilai t yaitu 2,56 > 1,96. Sikap merupakan perasaan suka atau tidak suka dari konsumen mengenai suatu objek. Sikap juga menggambarkan kepercayaan terhadap atribut dan manfaat dari objek tersebut (Sumarwan 2014). Jika sikap konsumen positif terhadap suatu produk private label makanan, maka minat beli konsumen juga akan tinggi. Sebaliknya, jika sikap konsumen negatif maka kecil kemungkinan minat beli dalam benak konsumen akan muncul. Temuan tersebut sesuai dengan temuan Jin dan Suh (2005), Chaniotakis et al. (2009), Huang (2010), serta Jaafar et al. (2012). Chaniotakis et al. (2010) menegaskan bahwa sikap konsumen ke arah private label adalah faktor penting yang mampu mempengaruhi minat beli. Menurut Minnens et al. (2013), sikap terhadap produk makanan private label memiliki korelasi yang tinggi dengan kepercayaan terhadap produk private label. Sikap merupakan kepercayaan seorang individu mengenai keinginan perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh motivasi individu dan altruistik (Ajzen 1991). Pengaruh ruang rak terhadap persepsi kualitas Ruang rak merupakan sumberdaya terbatas toko ritel yang harus dioptimalkan penggunaannya untuk memajang bermacam-macam merek atau produk kategori dalam rak pemajangan toko (Gomez dan Okazaki 2009). Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa ruang rak memiliki pengaruh yang signifikan secara negatif terhadap persepsi kualitas, dengan nilai t yaitu -2,01. Artinya jika ruang rak untuk private label banyak dan alokasi ruang rak untuk produk merek nasional sedikit, maka penilaian konsumen terhadap private label akan rendah. Konsumen justru akan menilai produk merek nasional lebih eksklusif karena jumlahnya terbatas. Temuan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Dursun et al. (2011). Perbedaan ini dapat disebabkan pada penelitian Dursun et al. (2011) produk yang diteliti yaitu produk makanan dan produk perawatan rumah. Sedangkan pada penelitian ini hanya makanan. Perbedaan yang terjadi juga dapat ditimbulkan karena perbedaan negara. Hasil ini menunjukkan bahwa ritel harus berhati-hati dalam mengalokasikan ruang rak untuk private label yang dijual. Manajemen ritel juga harus memajang produk private label secara rapi dan baik. Pengaruh persepsi variasi kualitas terhadap persepsi kualitas Hasil olah data menunjukan bahwa persepsi variasi kualitas berpengaruh secara negatif pada persepsi kualitas, dengan nilai t sebesar 0,77. Temuan tersebut sesuai dengan temuan Bao et al. (2011). Jika konsumen menilai private label memiliki jarak kualitas yang jauh dari produk merek nasional, maka semakin rendah persepsi konsumen terhadap produk private label. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 274 responden sebanyak 18 orang menyatakan sangat setuju, 113 orang menyatakan setuju, 89 orang menyatakan ragu-ragu, dan 54 orang menyatakan tidak setuju ketika dihadapkan pada pernyataan bahwa produk makanan merek nasional umumnya memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan produk private label. Berikutnya, sebanyak 14 orang menyatakan sangat setuju, 90 orang menyatakan setuju, 113 orang menyatakan ragu-ragu, 56 orang menyatakan tidak setuju, dan 1 orang menyatakan sangat tidak setuju ketika dihadapkan pada pernyataan bahwa produk makanan merek nasional umumnya memiliki nilai nutrisi
47
yang lebih tinggi dibandingkan produk private label. Sebanyak 21 orang menyatakan sangat setuju, 112 orang setuju, 80 orang ragu-ragu, dan 61 orang tidak setuju ketika dihadapkan pada pernyataan bahwa produk makanan merek nasional umumnya memiliki kualitas kemasan yang lebih baik dibandingkan produk private label. Berdasarkan hasil wawancara di atas, perusahaan ritel perlu meningkatkan kualitas produk private label dari segi rasa, informasi nilai gizi, dan pengemasan. Pengaruh familiarity terhadap persepsi kualitas Berdasarkan hasil pada Tabel 14 diketahui bahwa familiarity berpengaruh signifikan positif terhadap persepsi kualitas, dengan nilai t yaitu 11,53 > 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa jika konsumen sudah pernah mengetahui dan pernah mendengar informasi mengenai suatu produk, maka akan menyebabkan persepsi kualitas terhadap produk meningkat. Temuan ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya berbagai jenis iklan untuk memperkenalkan suatu produk terhadap konsumen. Familiary dalam benak konsumen dapat berupa hasil informasi dari iklan, interaksi dengan penjual, komunikasi dari mulut ke mulut dan hasil mengkonsumsi secara langsung (Tam 2008). Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan temuan Dursun et al. (2011) dan Sheau et al. (2012). Seorang konsumen yang pernah mendapatkan informasi tentang produk private label, maka akan membuat konsumen lebih akrab dengan suatu produk private label. Jika konsumen pernah mendengar dan merasa bahwa suatu produk cukup familiar dan telah cukup lama berada di pasaran, maka ada daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk lebih berani membeli produk. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh toko ritel yaitu lebih banyak memasang informasi mengenai produk-produk private label di area perbelanjaan toko. Selain itu, perlu selalu diberitakan mengenai keberadaan dan informasi diskon produk private label dengan menggunakan audio system di area belanja. Terakhir, karyawan perlu menguasai secara sempurna informasi mengenai produk private label agar dapat memberi penjelasan kepada pengunjung yang bertanya serta pegawai kasir yang selalu menawarkan produk private label kepada pengunjung seraya sambil melakukan transaksi pembayaran konsumen. Pengaruh familiarity terhadap persepsi risiko Berdasarkan hasil pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa familiarity berpengaruh signifikan positif terhadap persepsi risiko. Nilai t yang dihasilkan yaitu 7,57, karena memiliki nilai > 1,96, sehingga keputusan hipotesis diterima. Hal ini dapat disebabkan jika konsumen pernah mengetahui dan mendengar tentang produk private label, namun informasinya memiliki penilaian kurang baik, maka akan timbul pemikiran mengenai risiko terhadap produk private label. Pemikiran risiko yang muncul bisa berupa risiko kerugian finansial, kerugian karena produk tidak sesuai dengan harapan serta kerugian karena produk dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pengaruh citra private label terhadap persepsi risiko Hasil olah data menunjukkan bahwa citra private label diketahui memiliki pengaruh yang signifikan secara negatif terhadap persepsi risiko, dengan nilai t yaitu -9,62. Temuan ini sesuai dengan temuan Wu et al. (2011). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik citra produk private label, maka akan semakin
48 menurunkan persepsi risiko konsumen terhadap produk private label. Citra private label yang positif akan mengurangi keraguan pada benak konsumen untuk lebih memilih produk private label. Citra produk dapat dijaga dengan terus menjaga kualitas produk. Pemilik bisnis ritel perlu mempelajari merek nasional yang menjadi pesaing dan melakukan pendekatan dalam menyamakan kualitas dengan merek tersebut. Pengaruh keinovatifan konsumen terhadap private label attitude Keinovatifan konsumen merupakan sikap konsumen yang selalu mencari-cari informasi mengenai produk baru dan ingin mencoba ketika ada produk yang baru muncul di pasaran. Berdasarkan hasil pengolahan data, keinovatifan konsumen memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap private label attitude, dengan nilai t yaitu -2,19. Hal ini disebabkan konsumen yang “inovatif” dalam membeli produk merupakan konsumen yang suka mencoba produk-produk baru atau produk yang diinovasi oleh perusahaan. Jika private label jarang mendapatkan sentuhan inovasi dan hanya tampil monoton, maka sikap konsumen akan berubah terhadap produk tersebut. Kondisi ini dapat menurunkan minat beli konsumen secara tidak langsung dan berpindah pada produk lain yang baru muncul atau unik bagi dari segi kemasan, rasa, dan lainnya. Temuan ini sesuai dengan penelitian Garretson et al. (2002) yang menyebutkan bahwa salah satu determinan yang mempengaruhi sikap terhadap private label yaitu kesadaran nilai. Kesadaran nilai menunjukkan bahwa konsumen fokus terhadap pembayaran harga yang murah untuk produk yang memiliki beberapa keterbatasan kualitas. Pengaruh kesadaran nilai terhadap private label attitude Tabel 14 menjelakan bahwa kesadaran nilai berpengaruh positif terhadap private label attitude, dengan nilai t sebesar 7,56. Hasil tersebut sesuai dengan temuan Dodds et al. (1991), Jin dan Suh (2005), serta Garretson et al. (2002). Hal ini disebabkan harga yang ditawarkan private label umumnya lebih murah dibanding produk lain dan memiliki porsi yang lebih besar. Kondisi ini menyebabkan konsumen akan memiliki sikap yang positif dan lebih berminat untuk membeli produk private label. Kesadaran nilai dapat dikatakan sebagai rasio persepsi kualitas dibagi dengan harga yang harus dibayarkan untuk produk tersebut (Zeithaml 1988). Pada umumnya produk private label memiliki harga yang relatif lebih murah dan kuantitas yang lebih banyak dibandingkan produk merek nasional. Sehingga jika seorang konsumen memiliki tingkat kesadaran nilai yang tinggi, maka akan memunculkan sikap yang positif terhadap private label. Gerrartson et al. (2002) juga menjelaskan bahwa konsumen yang value conscious cenderung lebih suka memilih produk private label dan kurang loyal terhadap produk merek nasional. Pengaruh persepsi kualitas dan persepsi risiko terhadap minat beli Persepsi kualitas dan persepsi risiko diketahui tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat beli konsumen. Hasil temuan ini berbeda dengan temuan Arslan et al. (2013) serta Liljander et al. (2009). Hal ini disebabkan pada kasus produk private label, umumnya konsumen Indonesia lebih mengutamakan harga murah yang ditawarkan. Private label cenderung memiliki harga yang lebih murah dibandingkan produk-produk merek nasional, sehingga private label tetap
49
kompetitif. Temuan ini sesuai dengan temuan Santoso dan Najib (2015) yang menyatakan bahwa persepsi kualitas tidak berpengaruh signifikan terhadap minat beli. Temuan ini dapat menjadi bahan evaluasi oleh toko ritel. Jika selisih harga antara produk private label dan produk merek nasional tidak terlalu jauh, terdapat kemungkinan konsumen lebih memilih produk merek nasional. Hal ini terjadi karena produk nasional lebih memiliki kesan lebih eksklusif dan lebih berkualitas. Ailawadi et al. (2008) menyatakan bahwa konsumen akan cenderung memilih produk private label, jika hubungan antara harga dan kualitas semakin lemah. Maksud dari hubungan ini yaitu harga tidak menjadi indikator dalam pengukuran kualitas. Konsumen tidak memiliki pola pikir bahwa harga yang murah akan mengindikasikan kualitas yang rendah dan harga yang mahal akan mengindikasikan kualitas yang mahal. Dalam pertimbangan memilih produk private label, konsumen hanya memikirkan mengenai value for money yang terbaik, artinya mana produk yang bisa memberikan nilai (kualitas dan kuantitas) yang tertinggi dengan harga serendah mungkin. Persepsi risiko terdiri dari risiko finansial, risiko fungsional dan risiko sosial (Zielke dan Dobbelstein 2007). Persepsi risiko dan persepsi kualitas tidak berpengaruh signifikan terhadap minat beli private label makanan, namun terdapat kemungkinan persepsi risiko dan persepsi kualitas berpengaruh pada minat beli private label untuk kategori produk yang lain (Glynn dan Chen 2009). Oleh karena itu, ritel tetap harus mampu meningkatkan persepsi kualitas dan menurunkan persepsi risiko dalam benak konsumen terhadap produk-produk private labelnya. Evaluasi Pengaruh Tidak Langsung Evaluasi pengaruh tidak langsung dilakukan untuk mengetahui pengaruh adanya variabel moderasi diantara variabel eksogen dan endogen. Hasil evaluasi pengaruh tidak langsung tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil pengaruh tidak langsung Pengaruh tidak langsung Variabel moderator Nilai t pengaruh tidak langsung Pengaruh kesadaran nilai pada Private label attitude 2,29 minat beli Pengaruh keinovatifan konsumen Private label attitude -1,71 pada minat beli Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa meskipun kesadaran nilai tidak memiliki pengaruh langsung terhadap minat beli. Namun, variabel kesadaran nilai memiliki pengaruh tidak langsung terhadap minat beli melalui private label attitude sebagai variabel moderator. Nilai t pada pengaruh tidak langsung kesadaran nilai dan keinovatifan konsumen melalui private label attitude masing-masing yaitu 2,29 dan -1,71. Nilai t pengaruh tidak langsung untuk variabel kesadaran nilai > 1,96, sehingga dinyatakan signifikan.
50 Implikasi Manajerial Hasil olah data SEM LISREL menunjukkan bahwa hanya dua variabel laten yang mempengaruhi secara langsung minat beli yaitu private label attitude dan kesadaran nilai. Keinovatifan konsumen dan kesadaran nilai juga mempengaruhi minat beli secara tidak langsung melalui private label attitude. Oleh karena itu, dapat dibuat beberapa implikasi manajerial untuk meningkatkan minat beli konsumen terhadap produk makanan private label. Private label attitude merupakan faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen. Pemilik bisnis ritel perlu mengupayakan suatu strategi agar konsumen memiliki sikap yang baik dan perasaan yang baik terhadap produk-produk private label. Misalnya, terkait isu yang sedang beredar mengenai kepedulian lingkungan, produk-produk private label dapat memanfaatkannya sebagai strategi pemasaran. Ritel dapat memperkenalkan produk private labelnya sebagai produk yang ramah lingkungan. Bahan-bahan pengemasan produk bisa berupa bahan yang tidak terlalu mencemari lingkungan dan mudah terurai. Ritel juga bisa menambahkan program misalnya dengan melakukan pembelian terhadap satu produk private labelnya maka konsumen telah ikut berpartisipasi sebesar Rp500 untuk mendukung programprogram penghijauan dan program aksi kepedulian lingkungan. Kemudian toko ritel dapat mendesain kemasan produknya dengan positioning produk yang mendukung program go green. Ritel perlu untuk selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen bahwa produk private label telah memiliki kualitas yang bersaing dengan produk nasional baik dari segi rasa, pengemasan dan juga harga. Keinovatifan konsumen juga mempengaruhi minat beli konsumen secara tidak langsung melalui private label attitude. Variabel tersebut sangat penting karena mempengaruhi secara negatif private label attitude. Hal ini menunjukkan bahwa ritel harus aktif untuk terus berinovasi pada produk-produk private labelnya. Inovasi yang dilakukan dapat dari segi penambahan produk yang baru dengan kualitas dan harga yang baik sehingga setelah konsumen mencoba kemungkinan untuk terus melakukan pembelian ulang terjadi. Inovasi lainnya dapat dilakukan dalam segi kemasan, perlu untuk melakukan desain label yang baru dan tidak terlalu monoton. Pemasar juga dapat menambahkan informasi dan tulisan yang menarik untuk dapat dibaca pada kemasan produk, kebanyakan kemasan private label lebih monton dan lebih simpel dibandingkan produk-produk merek nasional. agresif dalam memperkenalkan produk-produk private labelnya dalam katalog belanja dan menawarkan positioning yang unik yaitu program go green. Bagi konsumen yang senang mencari informasi dan mencoba produk-produk baru, hal ini akan berpotensi memunculkan minat beli konsumen. Terkait dengan kesadaran nilai yang memiliki pengaruh tidak langsung terhadap minat beli, pemasar dapat menetapkan harga yang menarik dan murah untuk konsumen. Meskipun harga yang ditetapkan murah, pemasar juga perlu menarik minat konsumen dari segi kuantitas yang ditawarkan lebih banyak. Selain itu promosi yang ditawarkan juga dapat lebih gencar, misalnya dengan pembelian beberapa produk konsumen mendapatkan gratis satu produk. Selanjutnya, terdapat beberapa saran manajerial kepada pemilik bisnis ritel diantaranya yaitu (1) memperindah dekorasi area perbelanjaan dan menjaganya tetap rapi, (2) menjaga kelengkapan produk, karena konsumen akan lebih menyukai tempat yang menjual produk dengan lebih lengkap, (3) menjaga kualitas dan
51
keutuhan produk-produk yang dijual, terkadang masih terdapat konsumen yang mencoba makanan seperti buah yang dijual meskipun tidak diperkenankan. Kasus lainnya saat konsumen menjatuhkan produk tertentu yang kemudian barang di dalamnya agak rusak atau retak. Oleh karena itu, pihak manajemen toko perlu melakukan pengawasan di setiap sudut toko dan tanggap dalam mengganti produk barang yang rusak, sehingga tidak menimbulkan kesan tidak baik dari konsumen. Toko ritel juga perlu untuk membuat konsumen merasa akrab dan memiliki informasi mengenai produk-produk private label yang dijual. Ritel dapat memajang produk-produk private label-nya di berbagai tempat dengan menambahkan informasi menarik mengenai produk, sehingga meskipun konsumen belum pernah membeli, konsumen akan tertarik membaca dan mencari tahu mengenai produk tersebut. Karyawan ritel juga dapat dikerahkan untuk selalu menawarkan produk private label, jika ada konsumen yang mencari produk tertentu. Kasir toko juga dapat menginformasikan adanya diskon pada produk private label. Hal-hal tersebut dapat menarik keingintahuan dan berpotensi memunculkan minat membeli.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik konsumen memiliki beberapa perbedaan dari segi demografi dan perilaku pembelian untuk segmen hypermarket, supermarket, dan minimarket. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa variabel citra toko, persepsi risiko, persepsi variasi kualitas, kesadaran nilai, familiarity, persepsi kualitas, private label attitude, dan minat beli dipersepsikan berbeda antara konsumen hypermarket, supermarket, dan minimarket. Hasil analisis CB-SEM menunjukkan bahwa hanya dua variabel yang berpengaruh secara langsung terhadap minat beli konsumen yaitu product signatureness dan private label attitude. Selanjutnya, private label attitude juga dipengaruhi oleh consumer innnovativeness dan kesadaran nilai. Persepsi kualitas dipengaruhi oleh ruang rak, persepsi variasi kualitas, dan familiarity. Persepsi risiko dipengaruhi oleh variabel familiarity dan citra private label. Namun, persepsi kualitas dan persepsi risiko tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap minat beli konsumen. Saran Rekomendasi yang diberikan untuk penelitian selanjutnya, yaitu: 1) memperluas ruang lingkup lokasi penelitian. Hal ini disebabkan terdapat beberapa kota seperti tangerang, depok dan bekasi yang lokasinya cukup berdekatan dengan DKI Jakarta sehingga terdapat potensi adanya perkembangan private label yang cukup pesat di kota tersebut. Oleh karena itu penting untuk melakukan pengembangan penelitian dengan lokasi berbeda sehingga dapat dilakukan perbandingan hasil penelitian. 2) memperbanyak variabel yang diuji pengaruhnya terhadap minat beli agar manfaat penelitian yang diperoleh lebih besar. Berdasarkan temuan Besra et al. (2015) trust ditemuka memiliki pengaruh signifikan terhadap minat beli. Oleh
52
3)
1) 2) 3) 4)
5) 6) 7) 8) 9)
karena itu penting untuk dilakukan pengembangan model penelitian dengan menambahkan variabel trust pada penelitian berikutnya menguji produk private label kategori lain seperti produk perawatan pribadi, produk perawatan rumah dan sebagainya, karena hasil penelitian ini fokus terhadap kategori produk makanan. Rekomendasi untuk pemasar produk private label, yaitu: melakukan survei kepada konsumen mengenai kategori produk private label yang ingin disediakan, memperhatikan kelengkapan jenis produk yang dijual, memajang produk private label di berbagai tempat dengan menambahkan informasi menarik mengenai produk, mengerahkan karyawan untuk aktif menawarkan produk private label jika ada konsumen yang mencari produk tertentu dan menginformasikan adanya diskon produk private label, melakukan positioning sebagai produk yang go green, menjaga kualitas produk dengan menyeleksi mitra produksi dan melakukan quality control, menjaga dan memperindah dekorasi toko, melakukan inovasi dari segi kemasan dan lainnya untuk produk private label, menawarkan promosi yang menarik untuk konsumen.
53
DAFTAR PUSTAKA Aaker DA. 1991. Managing brand equity: Capitalizing on the value of a brand name. Jakarta (ID): The Free Press. Aaker D. 1997. Manajemen Ekuitas Merek. Jakarta (ID): Mitra Utama. Ailawadi KL, Neslin SA, Gedenk K. 2001. Pursuing the value-conscious consumer: Store brands versus national brand promotions. Journal of Marketing. 65(1): 71–89. Ajzen I. 1991. The theory of planned behavior. Journal of Organizational Behavior and Human Decision Processes. 50(1): 179–211. Alba JW, Hutchinson JW. 1987. Dimensions of consumer expertise. Journal of Consumer Research. 13(4): 411–454. Alma B. 2011. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung (ID): Alfabeta. Arslan Y, Gecti F, Zengin H. 2013. Examining persepsi risiko and its influence on attitudes: a study on private label consumers in Turkey. Journal of Asian Social Science. 9(4): 158-166. Bao YC, Bao YQ, Sheng SB. 2011. Motivating purchase of private brands: effect of store image, product signatureness, and quality variation. Journal of Business Research. 64(1): 220-226. Batra R, Sinha R. 2000. Consumer level factors moderating the success of private label brands. Journal of Riteling. 76(2): 175-191. Bettman JR. 1973. Persepsi risiko and its components: A model and empirical test. Journal of Marketing Research. 10(2): 184-190. Bloemer J, Ruyter KD. 1998. On the relationship between store image, store satisfaction and store loyalty. European Journal of Marketing. 32(6): 499513. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2015. Kota Bogor dalam Angka 2015. BPS [Internet]. [diunduh2016Sept20]. Tersedia pada: http://www.westjavainc.org/wp-content/uploads/2016/04/Kota-BogorDalam-Angka-2015.pdf?bf98dc Brown MG, Lee J. 1996. Allocation of shelf space: a case study of refrigerated juice product in grocery stores. Journal of Agribusiness. 12(2): 113-121. Burton S, Lichtenstein DR, Netemeyer RG, Garretson JA. 1998. A scale for measuring attitude toward private label products and examination of its psychological and behavioral correlates. Journal of The Academy of Marketing Science. 26(4): 293-306. Campbell MC, Keller KL. 2003. Brand familiarity and advertising repetition effects. Journal of Consumer Research. 30(1): 292-304. Chaniotakis IE, Lymperopoulos C, Soureli M. 2009. A research model for consumer’s 3.intention of buying private label frozen vegetables. Journal of Food Procuts Marketing 15:152-163. Chaniotakis IE, Lymperopoulos C, Soureli M. 2010. Consumers’ intentions of buying own-label premium food products. Journal of product and Brand Management. 19(5): 327-334. Chen LJ, Gupta A, Rom W. 1994. A study of price and quality in service operations. International Journal of Service Industry Management. 5(1): 23-34.
54 Chen YL, Marshall D, Dawson J. 2009. Consumer attitudes towards a European peritel’s private brand food product: an integrated model of Taiwanese Consumer. Journal of Marketing Management. 25(10): 875-891. Chowdhury J, Reardon J, Srivastava R. 1998. Alternative modes of measuring St Jhinuk ore image: an empirical assessment of structured versus unstructured measures. Journal of Marketing Theory and Practice. 6(2): 72–86. Collins DC, Lindley T. 2003. Store brand and ritel differentiation: the influence of store image and store brand attitude on store own brand perceptions. Journal of Riteling and Consumer Services. 10(1): 345-352. [DBS] DBS Group research. 2015. Industri Focus ASEAN Grocery Ritel 22 juli 2015. DBS [Internet]. [diunduh2016Apr4]. Tersedia pada: https://www. google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=21&cad=rja&ua ct=8&ved=0ahUKEwjYlPKifXLAhXiL6YKHc74BxQ4FBAWCBowAA& url=https%3A%2F%2Fwww.dbs.com.sg%2Ftreasures%2Faics%2FpdfCont roller.page%3Fpdfpath%3D%2Fcontent%2Farticle%2Fpdf%2FAIO%2F15 0722_insights_whetting_asean_appetite.pdf&usg=AFQjCNG0zacBselqPFy sR9hUFCk0jcc2Tg&sig2=rzghRXDW0umzzdAG8c0BBg&bvm=bv.11844 3451,d.dGY. DelVecchio DS. 2001. Consumer perceptions of private label quality: The role of product category characteristics and consumer use of heuristics. Journal of Riteling and Consumer Services. 8(1): 239-249. Diallo MF, Chandon JL, Cliquet G, Philippe J. 2013. Factors influencing consumer behavior toward private labels: evidence from the French market. International Journal of Ritel and Distribution Management. 41(6): 422-441. Dick A, Jain A, Richardson P. 1995. Correlates of Store Brand Proneness: Some Empirical Observations. Journal of Product & Brand Management. 4(4): 1522. Dick A, Jain A, Richardson P. 1996. How consumers evaluate store brands. The Journal of Product and Brand Management. 5(2): 19-28. [DI] Dunia Industri. 2015. Data Industri Minimarket, Supermarket, Hypermarket di Indonesia. DI [Internet]. [diunduh2016Apr4]. Tersedia pada: http://duniai ndustri.com/downloads/data-industri-minimarket-supermarkethypermarket di-indonesia/. [DPPK] Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor. 2013. Daftar Pasar Tradisional Wilayah Kota Bogor. Bogor (ID): Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor. Dowling GR, Staelin R. 1994. A model of persepsi risiko and intented riskhandling activity. Journal of Consumer Research. 21(1): 119-134. Dunne D, Narasimhan C. 1999. The new appeal of private labels. Journal of Harvard Business Review. 77(1): 41–52. Dursun I, Kabadayi ET, Alan AK, Sezen B. 2011. Store brand purchase intention: Effect of risk, quality, familiarity and store brand shelf space. Journal of International Strategic Management Conference. 24(11): 1190-1200. Dodds W, Monroe KB, Grewal D. 1991. Effect of price, brand and private label information on buyer’s product evaluation. Journal of Marketing Research. 28(3): 307-319. Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1995. Consumer Behavior, Eight edition. Orlando: The Dryden Press.
55
[FCG] Frontier Consulting Group. 2016. Top Brand Award Kategori Ritel Hypermarket, Supermarket dan Minimarket. FCG [Internet]. [diunduh2016Apr4]. Tersedia pada: http://www.topbrand award.com/. Garretson JA, Fisher D, Burton S. 2002. Antecendents of private label attitude and national brand promotion attitude: similarities and differences. Journal of Riteling. 78(1): 91-99. Glynn MS, Chen S. 2009. Consumer-factors moderating private label brand success:further empirical results. International Journal of Ritel & Distribution Management 37 (11): 896-914. Gómez M, Okazaki S. 2009. Estimating store brand shelf space: A new framework using neural networks and partial least squares. International Journal of Market Research, 51(2): 243-266. Grewal D, Krishnan R, Baker J, Borin N. 1998. The effect of store nama, brand name and price discunts on consumers’ evaluations and purchase intentions. Journal of Riteling. 74(3): 331-352. Guerrero L, Colomer Y, Guardia MD, Xicola J, Clotet R. 2000. Consumer attitude towards store brands. Journal of Food Quality and Preference. 11(1): 287395. Hadi AK. 2009. Pengaruh persepsi nilai konsumen terhadap perilaku pembelian private label (Studi kasus Giant Hypermarket Poins Square Lebak Bulus) [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Harlam BA, Krishna A, Lehmann DR, Mela C. 1995. Impact of bundle type, price framing and familiarity on puchase intention for the bundle. Journal of Business Research. 33(1): 57-66. Heijden HVD, Verhagen T. 2004. Online store image: Conceptual foundations and empirical measurement. Journal of Information and Management. 41(1): 609-617. Hirschman EC. 1980. Innnovativeness, Novelty Seeking and Consumer Creativity. Journal of Consumer Research. 7(1): 288-298. Hooker NH, Caswell JA. 1996. Trends in food quality regulation: Implications for processed food trade and foreign direct investment. Journal of Agribusiness. 12(5): 411-419. Huang SC. 2010. The Study of Relational Analysis of Brand Image, Brand Personality, Brand Attitude, Brand Preference and Sports Product Purchase Intention. Journal of Sport Communication 3:130-148. Inman JJ, Shankar V, Ferraro R. 2004. The roles of channel–category associations and geodemographics in channel patronage. Journal of Marketing. 68(1): 5171. Jaafar SN, Pan EL, Naba MM. 2012. Consumer’s perceptions, attitudes and purchase intention towards private label food product in Malaysia. Asian Journal of Business and Management Sciences. 2(8): 73-90. Jin B, Suh YG. 2005. Integrating effect of consumer perception factors in predicting private brand purchase in a Korean discount store context. Journal of Consumer Marketing. 22(3): 62-71. Kamins MA, Marks LJ. 1991. The perception of kosher as a third party certification claim in advertising for familiar and unfamiliar brands. Journal of Academy of Marketing Science. 19(3): 177-185.
56 Keller KL. 1993. Conceptualizing, measuring, and managing customer-based brand equity. Journal of Marketing. 57(1): 1-22. Kim HW, Xu YJ, Gupta S. 2012. Which is more important in internet shopping, perceived price or trust. Journal of Electronic Commerce Research and Application. 11(1): 241-252. Knight DK, Kim EY. 2007. Japanese consumers’ need for uniqueness: effects on brand perceptions and purchase intention. Journal of Fashion Marketing and Management 11: 270-280. Kotler P, Armstrong G. 2006. Prinsip-Prinsip Pemasaran Edisi 12. Jakarta (ID): Salemba Empat. Kotler P, Keller KL. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi 13 Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Kotler P, Keller KL. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi 13 Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung (ID): CV Alfabeta. Laroche M, Kim C, Zhou L. 1996. Brand familiarity and confidence as determinants of purchase intention: an empirical test in a multiple brand context. Journal of Business Research. 37(2): 115-120. Latan H. 2013. Structural Equation Modeling Kosenp dan Aplikasi Menggunakan Program Lisrel 8.80. Bandung (ID): CV Alfabeta. Lee CH. 2008. The effect of price consciousness, brand consciousness and familiarity on store brand purchase intention. Journal of Management Review 27(3): 21-40. Lee HY, Qu H, Kim YS. 2007. A study of the impact of personal innovativeness on online travel shopping behavior – a case study of Korean travelers. Journal of Tourism Management. 28(1): 886-897. Liljander V, Polsa P, Riel, A. 2009. Modeling consumer responses to an apparel store brand: store image as a risk reducer. Journal of Riteling and Consumer Services. 16(1): 281–290. Manzur E, Olavarrieta S, Hidalgo P, Farias P, Uribe R. 2011. Store brand and national brand promotion attitudes antecendent. Journal of Business Research 64(1): 286-291. [MDS] Matahari Departemen Store. 2012. Annual Report 2012 Matahari Departemen Store. MDS [Internet]. [diunduh2016Mar2]. Tersedia pada: http://www.google.com/. Midgley DF, Dowling GR. 1998. Innovativeness: The Concept and Its Measurement. European Journal of Marketing. 32(2): 340-353. Mieres CG, Martin AMD, Gutierrez JAT. 2006. Antecedents of the difference in persepsi risiko between store brand sand national brands. Europe Journal of Marketing. 40(2): 61-82. Minnens F, Verbeke W, Loo EV. 2013. Consumers attitude on private label organic food products: a study of Flemish consumers [tesis]. Belgium: Faculeit Bioingenieurswetenschappen. Mitchell AA, Olson JC. 1981. Are product attribute beliefs the only mediator of advertising effects on brand attitude. Journal of Marketing Research. 18(3): 318-332.
57
Mitchell VW, Greatorex M. 1993. Risk perception and reduction in the purchase of consumer services. The Service Industries Journal. 13(1): 179– 200. Mitchell VW, McGoldrick PJ. 1996. Consumers’ risk-reduction strategies: a review and synthesis. Journal of The International Review of Ritel Distribution and Consumer Research. 6(1): 1–33. Moolla AI, Bisschoff CA. 2012. Empirical Evaluation of a Model That Measures the Brand Loyalty for Fast Moving Consumer Goods. Journal of Social Science. 32(3): 341 – 355. [MSBC] MakkiMakki Strategic Branding Consultant. 2013. How brand and branding further support business success in the Indonesian ritel market: a major private label re-branding program for the leading supermarket in The country. SBC [Internet]. [diunduh2016Apr4]. Tersedia pada: http://makki makki.com/branding/case_studies/41. Narasimhan C, Wilcox RT. 1998. Private labels and the channel relationship: a cross-category analysis. Journal of Business. 71(4): 573–600. Nielsen. 2012. Report 2012 Asia Pacific Ritel and Shopper Trends. [Internet]. [diunduh2016Feb13]. Tersedia pada: http://www.nielsen.com/ us/en/insights/news/2012/report-2012-asia-pacific-ritel-and-shopper-.html. Nielsen. 2014. The State of Private Label Around The World. [Internet]. [diunduh2016Feb13]. Tersedia pada: https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=ahUKEwjW_ MLr4rjMAhWh2aYKHXdvDxoQFggeMAA&url=http%3%2F%2Fwww.ni elsen.com%2Fcontent%2Fdam%2Fnielsenglobal%2Fk %2Fdocs%2Fglobal report%2F2014%2FNielsen%2520Global%2520Privte%2520Label%2520R eport%2520November%25202014.pdf&usg=AFCNFJmdVBQXk5f3FJMiA ig2=I58Z4ZOW3Lk3oEJlcR4xg&bvm=bv.121070826,d.dGY. Pascal A. 1997. Uses of Food Labelling Regulations. Directorat for Food, Agriculture and Fisheries-Organization For Economic Co-operation and Development, Paris. [Internet]. [diunduh2015Mei23]. Tersedia pada: http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=O CDE/GD(97)150&docLanguage=En. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Perry M, Perry A. 1976. Service contract compared to warranty as a means to reduce consumer’s risk. Journal of Riteling. 52(2): 33-40. [PKB] Pemerintah Kota Bogor. 2016. Berita Kota Bogor 4 Maret 2016. PKB [Internet]. [diunduh2016Apr5]. Tersedia pada: http://kotabogor.go.id/ind ex.php/show_post/detail/3014/Hasil-Sensus-Ekonomi-Nyatakan Pertumbuh an-Ekonomi-Kota-Bogor-Terus-Naik#.VwNzGnq4Ezs. Puspaningrum E, Adiwijaya K. 2013. Pengaruh citra toko, product signatureness dan variasi kualitas terhadap intensi pembelian kembali (Studi kasus di minimarket X Jakarta). Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rahman BA, Norhanisah BI, Akmal FBAB, Musnadzirah BMS, Siti KBS. 2012. The relationship between store brand and customer loyalty in retaliling in Malaysia. Asian Social Science. 8(2): 171-184. Raju JS, Sethuraman R, Dhar SK. 2001. The introduction and performance of store brands. Journal of Management Science. 41(6): 957–978.
58 Richardson P, Jain AK, Dick AS. 1994. Extrinsic and intrinsic cue effects on perceptions of store brand quality. Journal of Marketing. 58(1): 28–36. Richardson P, Jain AK, Dick AS. 1996. Household store brand proneness: A framework. Journal of Riteling. 72(2): 159–185. Richardson P, Jain AK, Dick AS. 1996. The influence of store aesthetics on the evaluation of private label brands. Journal of Product and Brand Management. 5(1): 19–28. Rogers EM, Shoemaker FF. 1971. Communication of Innovations. New York: Free Press. Romanjuk J, Sharp B. 2003. Measuring brand perception: testing quantity and quality. Journal of Targeting Measurement and Analysis for Marketing. 11(3): 218-229. Santoso D, Najib M. 2015. Brand equity susu cair UHT dan pengaruhnya pada purchase intention. Jurnal Manajemen dan Agribisnis 12(1): 46-56. [SAT] Sumber Alfaria Trijaya. 2014. Annual Report 2014 PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. SAT [Internet]. [diunduh2016Mar3]. Tersedia pada: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1& cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi18_HM6bjMAhUEppQKHa5kBKIQFFw ww.indonesiainvestments.com%2Fupload%2Fbedrijfsprofiel%2F5764%2F Sumber-Alfaria-Trijaya-Annual-Report-2014-Company -Profile-IndonesiaInvestments.pdf&usg=AFQjCNNE13gDkmhGbAVobETSpDZ_rNhvQ&sig 2 =mW9q2FuhJCPDVLKyRbqPqg. Semeijn J, Riel ACR, Ambrosini AB. 2004. Consumer evaluations of private label: effect of store image and product attributes. Journal of Riteling and Consumer Services. 11(4): 247-258. Sethuraman R, Cole C. 1999. Factors influencing the price premiums that consumers pay for national brands over store brands. Journal of Product and Brand Management. 8(4): 340–351. Sheau FY, Sun ML, Yu GW. 2012. Private label proneness: Effect of persepsi risikos, quality and familiarity. Australasian Marketing Journal. 20(1): 4858. Shimp TA, Bearden W. 1982. Warranty and other extrinsic cue effects on consumer risk perceptions. Journal of Consumer Research. 9(1): 38-46. Sigala M. 2006. Mass customization implementation models and customer value in mobile phones services. Service Quality Management Journal. 16(4): 395420. Sindonews. 2015. Pertumbuhan ritel di Indonesia peringkat 12 dunia. Sindonews [Internet]. [diunduh2016Mei5]. Tersedia pada: http://ekbis.sindonews.com/ read/1007773/34/pertumbuhan-ritel-indonesiaperingkat-12-dunia43316379. Sinha I, Batra R. 1999. The effect of consumer price consciousness on private label purchase. International Journal of Research in Marketing. 16(3): 237-251. Siregar S. 2013. Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Sprott DE, Shimp TA. 2004. Using product sampling to augment the persepsi kualitas of store brands. Journal of Riteling. 80(4): 305–315. Stone RN, Gronhaug K. 1993. Persepsi risiko: future considerations for the marketing discipline. European Journal of Marketing. 27(3): 39-50. Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung (ID): CV Alphabeta.
59
Sumarwan U, Jauzi A, Mulyana A, Karno BN, Mawardi PK, Nugroho W. 2013. Riset pemasaran dan Konsumen, Panduan Riset dan Kajian: Kepuasan, Perilaku Pembelian, Gaya Hidup, Loyalitas dan Persepsi Risiko. Bogor: IPB Press. Sumarwan U, Prihartono AG, Sumarlin AW, Mamahit DA, Purnomohadi E, Hasan J, Ahmady M, Wulandari R. Haryono T. 2012. Riset Pemasaran dan Konsumen Seri 2. Bogor (ID): IPB Press. Sumarwan U, Puspitawati H, Hariadi A, Ali MM, Gazali M, Hartono S, Farina T. 2013. Riset Pemasaran dan Konsumen Seri 3. Bogor: IPB Press. Sweeney JC, Soutar GN, Johnson LW. 1999. The role of persepsi risiko in the quality-value relationship: A study in a ritel environment. Journal of Riteling. 75(1): 77-105. Tellis GJ, Yin E, Bell S. 2009. Global consumer innovativeness: cross-country differences and demographic commonalities. Journal of International Marketing. 17(2): 1-22. Thompson S. 1999. The new private enterprise. Journal of Brand Week. 40(18): 36–40. Tseng YM, Hwang FS. 2003. The mediate effect of price consciousness on purchasing private brand: the application of path analysis model. Journal of Chiao Da Management Review. 23(1): 151-182. Tsiotsou R. 2006. The role of perceived product quality and overall satisfaction on purchase intentions. International Journal of Consumer Studies. 30(2): 207 217. [TBI] Top Brand Index. 2016. Top Brand Award Kategori Ritel Hypermarket. TBI [Internet]. [diunduh2016Mar23]. Tersedia pada: http://www.topbrand award.com/. Vo TTN, Nguyen CTK. 2015. Factor influencing customer persepsi kualitas and purchase intention toward private labels in the Vietnam Market: The moderating effects of store image. International Journal of Marketing Studies. 7(4): 51-63. Wang Y, Hing P, Penyong C, Yongheng Y. 2004. An integrated framework for customer value and customer-relationship management performance: A customer-based perspective from China. Service Quality Management Journal. 14(3): 169-182. Wellman D. 1997. Souping up private label. Journal of Supermarket Business. 52(1): 13-20. Wu PCS, Yeh GYY, H CR. 2011. The effect of store image and servive quality on brand image and purchase intention for private label brands. Australasian Marketing Journal. 19(1): 30-39. Zeithaml VA. 1988. Consumer perceptions of price, quality and value: A means end model and synthesis of evidence. Journal of Marketing. 52(3): 2-22. Zielke S, Dobbelstein T. 2007. Customers willingness to purchase new store brands. Journal of Product and Brand Management 16(2): 112-121.
60
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1 Rangkuman Penelitian Terdahulu No 1
2
3
4
Judul Consumers Perception, Attitudes and Purchase Intention towards Private Label Food Products in Malaysia Motivating Purchase of Private Brands: Effects of Store Image, Product Signaturenes , and Quality Variation Store Brand Purchase Intention: Effects of Risk, Quality, Familiarity, and Store Brand Shelft Space
Peneliti Jaafar SN, Lalp PE, Naba MM (2012)
Tujuan Menganalisis faktor-faktor persepsi konsumen dan sikap yang mempengaruhi minat beli produk private label di Malaysia
Hasil Faktor-faktor persepsi kualitas, persepsi risiko, persepsi nilai, periklanan, pengemasan dan citra toko tidak mempengaruhi minat beli. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap minat beli persepsi harga, kepercayaan, familiarity, dan persepsi situasi ekonomi.
Bao Y, Bao Y, Sheng S (2010)
Menguji pengaruh faktor-faktor ekstrinsik tidak berwujud pada persepsi kualitas konsumen dan minat beli terhadap private label.
Dursun I, Kabada yi ET, Alan AK, Sezen B (2011)
Meneliti faktorfaktor yang mempengaruhi minat beli private label untuk memperluas bukti teoritis dan empiris pada strategi private label.
The Effect of Store Image and Service Quality on Brand Image and Purchase Intention for Private Label Brands
Wu PC, Yeh GY, Hsiao CR (2010)
Meneliti pengaruh langsung citra toko dan kualitas jasa pada pada citra merek dan minat beli terhadap produk private label.
Citra toko, product signatureness, dan persepsi variasi kualitas memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap minat beli. Kualitas juga berpengaruh terhadap minat beli dengan dimediasi oleh kesadaran nilai. Citra toko, product signatureness dan persepsi variasi kualitas memiliki pengaruh terhadap persepsi kualitas. Familiarity, persepsi risiko dan persepsi kualitas berpengaruh langsung dan signifikan terhadap minat beli. Ruang rak tidak berpengaruh langsung terhadap minat beli tetapi memiliki pengaruh terhadap persepsi risiko dan persepsi kualitas, Familiarity juga memiliki pengaruh terhadap persepsi risiko dan persepsi kualitas. Citra toko dan persepsi risiko berpengaruh langsung terhadap minat beli. Namun, citra private label, kualitas jasa dan kesadaran harga tidak berpengaruh langsung terhadap minat beli. Kualitas jasa memiliki pengaruh terhadap citra private label. Citra private label berpengaruh langsung terhadap persepsi risiko dan persepsi risiko berpengaruh terhadap kesadaran harga.
63
Lampiran 1 Rangkuman Penelitian Terdahulu (Lanjutan) No 5
Judul Integrating Effect of Consumer Perception Factors in Predicting Private Brand Purchase in a Korean Discount Store Context
Peneliti Jin B, Suh YG (2005)
Tujuan Mengusulkan model gabungan empat variabel karakteristik konsumen yaitu kesadaran harga, kesadaran nilai, persepsi variasi kualitas, dan keinovatifan konsumen pada minat beli private label kategori makanan dan peralatan rumah tangga.
Hasil Pada kategori produk makanan variabel kesadaran harga, sikap dan keinovatifan konsumen berpengaruh pada minat beli. Sikap juga dipengaruhi variabel kesadaran nilai dan keinovatifan konsumen. Sedangkan, pada kategori produk peralatan rumah tangga hanya kesadaran nilai, persepsi variasi kualitas dan sikap berpengaruh pada minat beli. Sikap dipengaruhi oleh varibael kesadaran nilai dan keinovatifan konsumen.
64
Lampiran 2 Kuesioner penelitian
No. Responden : …........
Tanggal : Bapak / Ibu / Saudara / i yang saya hormati,
Saya adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen - Institut pertanian Bogor. Saya sedang melakukan penelitian tentang FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI PADA PRIVATE LABEL FOODS (Studi Kasus di Kota Bogor). Kesediaan Bapak / ibu / Saudara / i dalam mengisi kuesioner ini sangat saya harapkan. Pernyataan dan data responden hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian dan sangat dijaga kerahasiaanya. Saya mohon agar tidak ragu-ragu dalam menjawab dan mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan benar. Terima Kasih Atas Kesediaannya Untuk Mengisi Kuesioner Ini Hormat Saya, Dharmawan Santoso (H251150546) IDENTITAS RESPONDEN Nama : Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan Alamat : Status Perkawinan : Menikah / Belum menikah No. Handphone : ............................................ digunakan ada yang ingin diklarifikasi)
(nomor handphone hanya akan peneliti apabila
1. Saat mengingat TOKO INI, saya membayangkan toko ini menjual produk apa? ................. Karakteristik Responden 1. HOBI anda? ........................................ 2. Berapakah usia Anda saat ini? (dalam tahun) 15 – 20 tahun 21 – 25 tahun 26 – 30 tahun 31 – 35 tahun 36 – 40 tahun 41 – 45 tahun 46 – 50 tahun 51 – 55 tahun 56 – 60 tahun > 60 tahun 3. Bagaimana pendidikan terakhir Anda? a. SD b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat
d. e. f.
Diploma Sarjana (S1) S2/S3
65
Lampiran 2 Kuesioner penelitian (Lanjutan) 4. Apa pekerjaan Anda saat ini? a. Pelajar/ Mahasiswa b. Pegawai Negeri c. Pegawai Swasta
d. e. f. g.
Wirausaha Ibu Rumah Tangga BUMN Lainnya: ...............
5. Berapa pendapatan Anda per bulan? a. < Rp. 1.000.000 b. Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000 c. Rp. 2.000.001 – Rp. 3.000.000 6. 7. 8. 9.
d. Rp. 3.000.001 – Rp. 5.000.000 e. Rp. 5.000.001 – Rp. 7.000.000 f. Rp. 7.000.0001 - Rp. 9.000.000 g. > Rp. 9.000.000 Berapa rata-rata pengeluaran Anda per bulan? ....................... Berapa pengeluaran anda per bulan untuk pembelian produk-produk makanan?......................... Berapa pengeluaran anda per bulan untuk pembelian produk-produk makanan PRIVATE LABEL?............................. Berapa kali frekuensi anda berbelanja di TOKO INI dalam satu bulan? a. 1 kali a. 4 kali b. 2 kali b. 5 kali c. 3 kali c. Lebih dari 5 kali
Petunjuk Pengisian : berilah tanda (√) pada kolom yang menjadi pilihan anda. Keterangan: SS: Sangat setuju; S: Setuju; RR: Ragu-ragu; TS: Tidak setuju; STS: Sangat tidak setuju Variabel Citra toko
Persepsi risiko
Citra label
private
Product Signatureness
Persepsi variasi kualitas
Pertanyaan TOKO INI menyajikan produk-produk yang lengkap. Semua produk yang dijual TOKO INI berkualitas baik Saya merasakan atmosfer yang menyenangkan dari dekorasi TOKO INI Pelayanan yang diberikan TOKO INI baik secara keseluruhan Saya pikir, membelanjakan uang saya untuk produk makanan merek PRIVATE LABEL bukan keputusan yang bijak Saya tidak yakin produk makanan merek PRIVATE LABEL mampu memberikan manfaat yang saya harapkan Sepertinya produk makanan merek PRIVATE LABEL kurang aman untuk kesehatan saya Secara keseluruhan, Produk makanan merek PRIVATE LABEL telah memiliki kualitas baik Saya puas dengan produk makanan merek PRIVATE LABEL Dalam benak saya TOKO INI merupakan toko yang utamanya menjual produk-produk makanan/ bahan pangan olahan Keahlian TOKO INI yaitu produk-produk makanannya (kualitasnya baik) Produk makanan merek terkenal/ umum rasa nya lebih enak daripada merek PRIVATE LABEL Persepsi saya, produk makanan merek terkenal/ umum punya nilai nutrisi lebih baik daripada merek PRIVATE LABEL
SS
S
RR
TS
STS
66
Lampiran 2 Kuesioner penelitian (Lanjutan) Variabel Persepsi variasi kualitas Kesadaran nilai
Keinovatifan konsumen
Familiarity
Persepsi kualitas
Private label attitude
Ruang rak
Minat beli
Pertanyaan Produk makanan merek terkenal/ umum kualitas kemasan nya lebih baik daripada merek PRIVATE LABEL Saya fokus pada harga murah, tapi secara seimbang juga fokus pada kualitas produk makanan Saya ingin selalu mendapat kualitas yang maksimal dari uang yang telah saya bayar untuk membeli produk makanan Saya tertarik pada merek produk makanan harga murah, namun saya akan memeriksa kualitas nya dulu sebelum membelinya. Saya sering mencari informasi tentang produkproduk dan merek-merek baru Saat tahu ada produk dan merek baru yang muncul saya ingin mencoba membelinya Diantara kawan saya, saya adalah orang pertama yang biasanya coba-coba merek atau produk baru Saya familiar dengan produk makanan merek PRIVATE LABEL walau belum pernah beli Saya bisa ingat produk makanan merek PRIVATE LABEL Saya pernah dengar produk makanan merek PRIVATE LABEL sebelumnya Produk-produk makanan merek PRIVATE LABEL memiliki kualitas rasa yang enak. Produk-produk makanan merek PRIVATE LABEL memiliki kualitas penampilan yang menarik. Produk-produk makanan merek PRIVATE LABEL memiliki kualitas pengemasan yang baik. Saya senang dengan membeli produk makanan merek PRIVATE LABEL Saya senang jika tersedia merek PRIVATE LABEL untuk produk makanan yang ingin saya beli Saya mencari produk makanan PRIVATE LABEL ketika berbelanja di TOKO INI TOKO INI memiliki tempat pemajangan (rak) yang banyak untuk produk-produk makanan merek PRIVATE LABEL Di TOKO INI ini, tempat pemajangan untuk produk makanan merek PRIVATE LABEL banyak, sehingga Saya mudah menemukan dimana produk tersebut diletakan / di pajang Saya akan membeli produk-produk makanan dengan merek PRIVATE LABEL Saya bermaksud untuk sering membeli produk makanan merek PRIVATE LABEL di TOKO INI Saya akan mencoba membeli produk makanan merek PRIVATE LABEL
SS
S
RR
TS
STS
67
Lampiran 3 Ringkasan Hasil Uji Validitas Korelasi Pearson Variabel laten Product signatureness Citra private label Persepsi risiko
Citra toko
Persepsi kualitas
Persepsi variasi kualitas
Keinovatifan konsumen
Kesadaran nilai
Familiarity
Private label Attitude
Ruang rak Minat beli
Indikator PS1 PS2 PBI1 PBI2 PR1 PR2 PR3 SI1 SI2 SI3 SI4 PQ1 PQ2 PQ3 QV1 QV2 QV3 CI1 CI2 CI3 VC1 VC2 VC3 F1 F2 F3 PBA1 PBA2 PBA3 SS1 SS2 PI1 PI2 PI3
r-hitung 0.906 0.813 0.929 0.954 0.900 0.861 0.858 0.695 0.640 0.755 0.697 0.787 0.769 0.737 0.725 0.755 0.751 0.854 0.921 0.844 0.701 0.833 0.862 0.755 0.876 0.905 0.934 0.836 0.848 0.936 0.943 0.954 0.832 0.802
68
Lampiran 4 Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Variabel laten Semua variabel Citra private brand Persepsi risiko Familiarity Ruang rak Persepsi kualitas Kesadaran nilai Private label attitude Keinovatifan konsumen Product signatureness Persepsi variasi kualitas Citra toko Minat beli
Nilai Alpha 0.895 0.874 0.844 0.801 0.868 0.645 0.717 0.844 0.844 0.658 0.596 0.648 0.828
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
69
Lampiran 5 Hasil Uji Mann Whitney Citra toko Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket SI
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
Supermarket dan Minimarket SI
3.842E3 8.120E3 -2.259 .024
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.932E3 6.172E3 -3.363 .001
SI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.202E3 6.442E3 -1.511 .131
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Persepsi risiko Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
PR Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
PR
3.691E3 7.969E3 -2.649 .008
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.658E3 8.912E3 -1.211 .226
PR Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.483E3 6.761E3 -3.769 .000
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Citra private Label Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
PBI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.309E3 9.562E3 -1.112 .266
PBI
PBI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.966E3 9.220E3 -.360 .719
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.483E3 6.723E3 -.697 .486
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Product Signatureness Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
PS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.156E3 9.409E3 -1.511 .131
a. Grouping Variable: Ritel
PS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.006E3 7.246E3 -.223 .823
a. Grouping Variable: Ritel
PS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.227E3 6.467E3 -1.516 .129
a. Grouping Variable: Ritel
70
Lampiran 5 Hasil Uji Mann Whitney (Lanjutan) Persepsi variasi kualitas Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
QV Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.990E3 7.268E3 -4.404 .000
Supermarket dan Minimarket QV
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.052E3 7.292E3 -.082 .935
QV Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.491E3 6.769E3 -3.686 .000
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Kesadaran nilai Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
VC Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.878E3 8.156E3 -2.220 .026
VC Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.870E3 7.110E3 -.625 .532
VC Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.315E3 7.593E3 -1.198 .231
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Keinovatifan konsumen Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
CI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.008E3 8.286E3 -1.773 .076
CI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.910E3 7.150E3 -.489 .625
CI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.308E3 7.586E3 -1.153 .249
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Familiarity Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
F Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.073E3 8.351E3 -1.696 .090
a. Grouping Variable: Ritel
F Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.734E3 5.974E3 -4.019 .000
a. Grouping Variable: Ritel
F Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.951E3 6.191E3 -2.358 .018
a. Grouping Variable: Ritel
71
Lampiran 5 Hasil Uji Mann Whitney (Lanjutan) Persepsi kualitas Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket PQ
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.195E3 9.448E3 -1.328 .184
Supermarket dan Minimarket PQ
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.410E3 6.650E3 -1.941 .052
PQ Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.680E3 5.920E3 -3.180 .001
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Private Label Attitude Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket PBA
PBA Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.260E3 9.512E3 -1.137 .255
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.166E3 6.406E3 -2.631 .009
PBA Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.546E3 5.786E3 -3.564 .000
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Ruang rak Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
SS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.404E3 8.682E3 -.776 .438
SS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.846E3 7.086E3 -.705 .481
SS Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.659E3 7.937E3 -.068 .945
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
a. Grouping Variable: Ritel
Minat beli Hypermarket dan Supermarket
Hypermarket dan Minimarket
Supermarket dan Minimarket
PI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
4.640E3 9.893E3 -.136 .892
a. Grouping Variable: Ritel
PI
PI Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
3.084E3 6.324E3 -2.872 .004
a. Grouping Variable: Ritel
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed)
2.884E3 6.124E3 -2.496 .013
a. Grouping Variable: Ritel
72
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Dharmawan Santoso, dilahirkan di Tegal pada tanggal 25 Desember 1993. Penulis adalah putra tunggal dari pasangan Bapak Edie Santoso dan Ibu Lestari Sunarjo yang bertempat tinggal di Kelurahan Sampangan Gang 3A/ 7 Pekalongan Timur. Tahun 2011, penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 3 (SMAN 3) Pekalongan dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. Penulis resmi menjadi mahasiswa Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB di tahun 2011. Penulis lulus program sarjana IPB pada tahun 2015. Pada tahun 2014, penulis mengikuti program akselerasi Program Studi Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana (PSIM SPs) IPB, kemudian resmi diterima di PSIM SPs IPB pada tahun 2015. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif mengikuti kepengurusan Keluarga Mahasiswa Buddhis IPB (KMB IPB) dan mengikuti berbagai kepanitiaan dan kegiatan yang diadakan oleh organisasi tersebut seperti Bakti Sosial, Waisak KMB IPB, Dies Natalis KMB IPB dan Kunjungan ke Candi Borobudur.