FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOPING LANSIA TERHADAP MASA PENSIUN DI KELURAHAN YOSOMULYO METRO PUSAT TAHUN 2010 Dian Eka Sari Abstrak
Lansia dengan pensiun merupakan suatu kehilangan yang amat dirasakan oleh lansia tersebut, sehingga menjadi stressor bagi lansia. Untuk mengatasi stress pada lansia pensiun, lansia membutuhkan mekanisme pertahanan diri yang disebut koping. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti di Puskesmas Batu Ampar, peneliti menemukan lansia yang sudah mengalami gangguan mental emosional sebanyak 3 orang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan koping lansia terhadap masa pensiun di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan desain analitik. Populasi penelitian adalah seluruh lansia yang telah pensiun (usia ≥ 60 tahun) di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat sebanyak 287 orang. Sampel sejumlah 81 responden. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan analisa data yang digunakan adalah uji chi square. Hasil penelitian didapat rata-rata umur responden yaitu 66,69 tahun, berjenis kelamin laki-laki 51,9%, berpendidikan tinggi 53,1%, bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI sebelum pensiun 90,1%, sosial ekonomi rendah 9.9%, tidak mendapatkan dukungan keluarga 50,6%, memiliki koping mal adaptif 46,9%, Ada hubungan yang signifikan antara umur (P value 0,000), jenis kelamin (P value 0,001 dengan OR 5,000), pendidikan (P value 0,037 dengan OR 2,862), pekerjaan (P value 0,002 dengan OR 2,433), pendapatan (P value 0,023 dengan OR 9,484), dukungan keluarga dengan koping lansia (P value 0,019 dengan OR 3,245). Saran kepada petugas kesehatan agar meningkatkan Program Promosi Kesehatan mengenai mekanisme koping adaptif yang dapat lansia gunakan dalam menghadapi masalahnya dan menyediakan layanan konsultasi kesehatan jiwa/psikologi pada lansia yang biasa menggunakan mekanisme mal adaptif. Kata Kunci
: Faktor-faktor, koping, lansia, pensiun
1. Latar Belakang Proses menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal yang wajar yang akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang, proses ini terjadi terus menerus dan berkelanjutan secara alamiah. Menurut Ronald (2005), persentase penduduk lansia diatas 65 tahun pada tahun 1998 di Swedia 17,4%, Belgia 16,4%, Inggris 16%, Jerman 15,9%, dan Denmark 15,2%. Sedangkan di Indonesia pada tahun
1998 jumlah lansia ada 4.5%. pada tahun 2000 meningkat 9,99% dengan harapan hidup 65 sampai 70 tahun yang diperkirakan pada tahun 2020 terus meningkat menjadi 11,9% dengan harapan hidup 70 sampai 75 tahun. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000 diperoleh data bahwa jumlah lansia mencapai 15,8 juta jiwa atau 3,6% dan pada tahun 2005 diperkirakan jumlah lansia meningkat 18,2 juta jiwa dan tidak menutup kemungkinan pada tahun 2015 menjadi 24,4 juta jiwa. Berdasarkan UU No.12 Tahun 1998 tentang lansia disebutkan bahwa yang masuk dalam kategori lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas. Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah (2008), batas usia pensiun (BUP) bagi pegawai negeri sipil adalah 56 tahun Pada pegawai swasta, penentuan batas usia pensiun agak berbeda dengan pegawai negeri sipil. Menurut Rei (2009), batas usia pensiun normal pada pegawai swasta adalah 55 tahun, sedangkan usia pensiun maksimum adalah 60 tahun.
Dalam kehidupan sosial masyarakat lansia sering dihubungkan dengan menurunnya kemampuan produktivitas dan aktifitas fisik, sudah layak pensiun dari aktifitas pekerjaan, pantas untuk dimanjakan, cukup menunggu cucu, dan harus dihormati untuk dimintai nasehat, pandangan dan pemikiran yang lebih arif dan bijaksana, seseorang yang makin pikun, berlaku sewenang-wenang, sulit menyesuaikan diri dengan perusahaan, makin meningkatkan kegiatan ibadah sesuai agamanya serta terjadinya kemunduran fungsi organ tubuh (Samino, 2003).
Banyak orang takut memasuki masa lansia, karena asumsi mereka lansia itu adalah tidak berguna, lemah, tidak punya semangat hidup, penyakitan, pelupa, pikun, tidak diperhatikan oleh keluarga dan masyarakat, menjadi beban orang lain, dan sebagainya. Pada kenyataannya, lansia mengalami berbagai perubahan secara fisik maupun mental. Akan tetapi, perubahan perubahan tersebut dapat diantisipasi sehingga tidak datang lebih dini. Proses penuaan pada setiap orang berbeda-beda, tergantung pada sikap dan kemauan seseorang dalam mengendalikan atau menerima proses penuaan ini (Wirakesuma, 2008).
Kondisi orang lansia banyak mengalami kemunduran fisik maupun psikis, artinya mereka
mengalami
perkembangan
dalam
bentuk
perubahan-perubahan yang
mengarah pada perubahan yang negatif. Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lansia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan: perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan, dan kulit, perubahan bagian dalam tubuh seperti sistem saraf: otak, isi perut : limpa, hati, perubahan
panca
indra: penglihatan,
pendengaran,
penciuman, perasa, dan
perubahan motorik antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan, sehingga pada usia tersebut lansia dianggap tidak produktif dan membutuhkan istirahat (Sonsaka, 2002).
Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan dan dapat memperkuat harga diri). Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian besar orang sudah merasa stres karena tidak tahu kehidupan macam apa yang dihadapi. Meskipun menurut Kuntjoro, (2002) yang menyatakan bahwa tujuan ideal dari pensiun adalah agar lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya yang terjadi sebaliknya, pada orang yang biasa bekerja maka pensiun akan sangat mempengaruhi perubahan status sosial, karena nilai seseorang diukur oleh produktivitasnya, identitas yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.
Lansia dengan pensiun penghasilannya akan berkurang, kehilangan peran dan identitas, kedudukan, kegiatan sehari-hari, status dan otoritas (wibawa), kehilangan hubungan dengan kelompok dan harga diri (Lueckenotte, 2001). Hal ini merupakan suatu kehilangan yang amat dirasakan oleh lansia tersebut, sehingga menjadi stressor bagi lansia.
Penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi karena seseorang takut tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Saat memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestis, kekuasaan, kontak sosial, bahkan
harga diri juga akan berubah karena hilangnya peran (Eyde dalam Eliana, 2003). Dahulu sewaktu masih bekerja, dirinya dihormati, dielu-elukan, disanjung dan dibelai-belai dengan segala kemanisan. Pada saat itu muncullah perasaan “agung”, bahagia, bangga, merasa berguna, merasa dikehendaki, dibutuhkan dan mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil yang menyenangkan. Namun saat memasuki masa pensiun, semua itu lenyap bak embun pagi yang disapu panasnya matahari. Muncullah “kekosongan”, tanpa arti, tanpa guna dan putus asa terhadap kondisi baru yang sedemikan ini (Kartono, 2003).
Penolakan terhadap masa pensiun seringkali memicu masalah-masalah tertentu. Hamidah (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dari 30 pensiunan yang diteliti, terdapat 46,6% peserta yang mengalami stres dengan kategori tinggi. Kondisi seperti ini muncul ketika seseorang tidak mampu menerima kondisi pensiun dengan baik, sehingga muncullah gangguan psikologis dan ketidaksehatan mental seperti cemas, stres, dan bahkan mungkin depresi. Suatu penelitian lain yang dilakukan oleh Jussi Vahtera di Paris, Prancis (Eliana, 2003) membuktikan bahwa tekanan stres yang dialami seseorang akibat pensiun menimbulkan efek bagi penderitanya, yaitu gangguan tidur. Penderita gangguan ini umumnya adalah orang-orang yang mengalami gejala post power syndrome, yaitu suatu gangguan psikologis yang muncul akibat penyesuaian diri yang kurang baik di masa pensiun. Penelitian tersebut membuktikan bahwa terdapat 15.000 pensiunan yang mengalami gangguan tidur setelah pensiun. Gangguan ini meningkat setelah memasuki masa 7 tahun sesudah pensiun (Republika online, 2009). Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, Wardiman Djojonegoro (dalam Septhiani 2009) menyebutkan bahwa pensiun mengakibatkan individu yang mengalaminya menjadi stres, meskipun individu yang bersangkutan sudah melakukan persiapan pensiun. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe bahkan, mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk posisi stres.
Untuk mengatasi stress pada lansia pensiun, lansia membutuhkan mekanisme pertahanan diri yang disebut koping. Menurut Hidayat (2004), koping adalah pemecahan masalah yang digunakan untuk mengelola stres atau kejadian yang dialami oleh lansia. Kemampuan koping dengan adaptasi terhadap stres merupakan faktor
penentu yang penting dalam kesejahteraan manusia. Koping yang akan digunakan sangat tergantung pada beberapa aspek seperti usia, jenis pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan motivasi, juga oleh kepribadian dan pengalaman hidup seseorang.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat peneliti menemukan jumlah lansia sebanyak 866 antara lain 436 berjenis kelamin perempuan dan 430 berjenis kelamin laki-laki yang terdiri dari perbagai macam pensiunan antara lain PNS, Pegawai Swasta, Buruh (profil Kelurahan Batu Ampar, 2008), kemudian berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti di Puskesmas Batu Ampar, peneliti menemukan lansia yang sudah mengalami gangguan mental emosoinal sebanyak 3 orang, beresiko mengalami masalah gangguan mental akibat penyakit kronis seperti hipertensi, anemia dan penyakit lain sebanyak 220 orang.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya pensiun adalah situasi yang merupakan stressor bagi lansia dan sering kali dianggap hal yang menakutkan. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan koping lansia terhadap masa pensiun di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu “Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan koping lansia terhadap masa pensiun di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010?” Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2005).
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 di Kelurahan Yosomulyo Kecamatan Metro Pusat
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan pendekatan “cross sectional” yaitu penelusuran dilakukan sesaat, artinya objek penelitian diamati hanya satu kali dan tidak ada perlakukan terhadap responden. Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen maka pengukurannya secara bersama-sama dengan menggunakan kuesioner (Notoatmodjo, 2005).
Subyek Penelitian 1.
Populasi Populasi adalah kumpulan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang telah pensiun (usia ≥ 60 tahun) di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat sebanyak 287 orang. 2.
Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek peneliti
yang dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Penentuan besarnya sampel peneliti menggunakan rumus Notoatmodjo (2005). n
=
N 1+N(d 2 )
Keterangan: n
: Besar sampel
N
: Besar populasi
d
: Tingkat penyimpangan yang diinginkan
Untuk mengurangi kesalahan tidak diisinya kuesioner maka jumlah sampel ditambah 10%. Sehingga didapatkan sampel sebanyak: n
=
287
1+ 287 (0,1 2 ) n
= 74,16 dibulatkan menjadi 74 orang + 10% = 74 + 7,4 = 81 orang.
Kriteria sampel: a.
Lansia dengan usia ≥ 60 tahun
b.
Pensiunan PNS, ABRI, POLRI atau swasta
c.
Lansia yang kapabel
d.
Bersedia menjadi responden
Cara pengambilan sampel Metode sampling yang digunakan adalah random sampling dengan teknik stratified random sampling, yaitu dengan membagi atau mengelompokkan subjek populasi ke dalam beberapa stratus, kemudian dibuat daftar subjek dari tiap stratum, lalu memilih subjek dari masing-masing sub populasi dengan tehnik random sampling (Notoatmodjo, 2005). Setelah jumlah sampel minimal didapat yaitu sebanyak 81 responden, kemudian ditentukan jumlah populasi yang ada di setiap stratum, dalam hal ini ada 14 RW di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat dengan jumlah lansia 374 orang, setelah dilakukan cluster sampling didapatkan 7 RW yang akan dijadikan tempat penelitian dengan jumlah lansia 127. 2. Hasil Penelitian 1. Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel dependen dan variabel independen. Data yang terkumpul dalam penelitian ini diolah menggunakan distribusi frekuensi kecuali variabel umur menggunakan explore.
a.
Umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur (Tahun) Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Variabel Mean SD Min-Mak 95% CI Median Umur 66,69 4,878 60-81 65,61-67,77 65,00
Hasil analisis didapatkan rata-rata umur responden adalah 66,69 tahun (95% CI: 65,61-67,77), median 65,00 dengan SD 4,878. Nilai terendah adalah 60 dan yang tertinggi adalah 81. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata umur responden adalah diantara 65,61 tahun sampai dengan 67,77 tahun.
b.
Jenis Kelamin Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah
Jumlah 39 42 81
Persentase 48.1 51.9 100,0
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 39 responden (48,1%), sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 42 responden (51,9%).
c.
Pendidikan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Pendidikan Jumlah Persentase Rendah 38 46.9 Tinggi 43 53.1 Jumlah 81 100,0 Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa responden dengan pendidikan rendah sebanyak 38 responden (46,9%), sedangkan yang berpendidikan tinggi sebanyak 43 responden (53,1%).
d.
Pekerjaan sebelum Pensiun Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan sebelum Pensiun Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Pekerjaan Swasta PNS/POLRI/TNI Jumlah
Jumlah 8 73 81
Persentase 9.9 90.1 100,0
Berdasarkan Tabel .4 diketahui bahwa responden dengan pekerjaan swasta sebanyak 8 responden (9,9%), sedangkan yang bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI sebanyak 73 responden (90,1%).
e.
Sosial Ekonomi Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Sosial Ekonomi Jumlah Persentase Rendah 8 9.9 Tinggi 73 90.1 Jumlah 81 100,0 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden dengan sosialekonomi rendah sebanyak 8 responden (9,9%), sedangkan responden dengan social ekonomi tinggi sebanyak 73 responden (90,1%).
f.
Dukungan Keluarga Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Dukungan Keluarga Tidak mendukung Mendukung Jumlah
Jumlah 41 40 81
Persentase 50.6 49.4 100,0
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa responden dengan keluarga tidak mendukung sebanyak 41 responden (50,6%), sedangkan yang mendukung sebanyak 40 responden (49,4%).
g.
Koping Lansia Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Koping Lansia Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Koping Lansia Jumlah Persentase Mal Adaptif 38 46,9 Adaptif 43 53,1 Jumlah 81 100,0 Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa responden dengan koping mal adaptif sebanyak 38 responden (46,9%), sedangkan yang adaptif sebanyak 43 responden (53,1%).
2. Analisis Bivariat Untuk mengetahui hubungan dua variabel tersebut biasanya digunakan pengujian statistik. Jenis uji statistik yang digunakan sangat tergantung jenis data/variabel yang dihubungkan. Pada penelitian ini analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi Square karena kedua variabel merupakan data kategorik, kecuali umur dengan koping lansia digunakan uji
t-
independent hal ini dikarenakan skala ukur pada variable umur menggunakan data numerik yaitu skala rasio (Sutanto, 2001).
a. Hubungan Umur dengan Koping Lansia Tabel 8 Distribusi Koping Menurut Umur Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Variabel Umur Adaptif Mal Adaptif
Mean
SD
SE
Value
N
68.12 65.08
5,556 3,372
0,847 0,547
0.000
43 38
Hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata umur responden yang memiliki koping adaptif adalah 68,12 dengan standar deviasi 5,556. Sedangkan untuk rata-rata umur responden yang memiliki koping mal adaptif adalah 65,08 dengan standar deviasi 3,372. Hasil uji statistik didapatkan nilai = 0.000, berarti pada = 5% dapat disimpulkan ada hubungan umur dengan koping lansia.
b. Hubungan Jenis Kelamin dengan Koping Lansia Tabel 9 Hubungan Jenis Kelamin dengan Koping Lansia Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total
Koping Lansia Mal Adaptif Adaptif n % n % 26 66.7 13 33.3 12 28.6 30 71.4 38 46.9 43 53.1
Total 39 42 81
P Value
OR (CI 95%)
0,001
5,000 (1,94512,853)
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 39 responden dengan jenis kelamin perempuan, sebanyak 26 responden (66,7%) memiliki koping mal adaptif. Sedangkan dari 42 responden dengan dengan jenis kelamin laki-laki, sebanyak 12 responden (28,6%) memiliki koping mal adaptif. Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,001, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,001 < 0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan koping lansia. Sedangkan hasil uji OR diperoleh nilai 5,000 (CI 95% 1,945-12,853), artinya responden yang berjenis kelamin perempuan berpeluang untuk memiliki koping mal adaptif sebesar 5 kali dibandingkan dengan responden berjenis kelamin lakilaki.
c. Hubungan Pendidikan dengan Koping Lansia Tabel 10 Hubungan Pendidikan dengan Koping Lansia Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010
Pendidikan Rendah Tinggi Total
Koping Lansia Mal Adaptif Adaptif n % N % 23 60.5 15 39.5 15 34.9 28 65.1 38 46.9 43 53.1
Total 38 43 81
P Value
OR (CI 95%)
0,037
2,862 (1,1607,065)
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 38 responden dengan pendidikan rendah, sebanyak 23 responden (60,5%) memiliki koping mal adaptif. Sedangkan dari 43 responden dengan dengan pendidikan tinggi, sebanyak 15 responden (34,9%) memiliki koping mal adaptif. Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,037, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,037 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan koping lansia. Sedangkan hasil uji OR diperoleh nilai 2,862 (CI 95% 1,160-7,065), artinya responden dengan pendidikan rendah berpeluang untuk memiliki koping mal adaptif sebesar 2,862 kali dibandingkan dengan responden pendidikan tinggi.
d. Hubungan Pekerjaan Sebelum Pensiun dengan Koping Lansia Tabel 11 Hubungan Pekerjaan dengan Koping Lansia Di Kelurahan Batu Ampar Kecamatan Kramat Jati Tahun 2008
Pekerjaan Swasta PNS/TNI Total
Koping Lansia Mal Adaptif Adaptif n % n % 8 100.0 0 0 30 41.1 43 58.9 38 46.9 43 53.1
Total 8 73 81
P Value
OR (CI 95%)
0,002
2,433 (1,8493,202)
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 8 responden dengan pekerjaan sebelum pensiun sebagai pegawai swasta, seluruhnya (100%) memiliki koping mal adaptif. Sedangkan dari 73 responden dengan pekerjaan sebelum pensiun PNS/POLRI/TNI, sebanyak 30 responden (41.1%) memiliki koping mal adaptif.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,002, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,002 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan sebelum pensiun dengan koping lansia. Sedangkan hasil uji OR diperoleh nilai 2,433 (CI 95% 1,849-3,202), artinya responden dengan pekerjaan sebelum pensiun sebagai pegawai swasta berpeluang untuk memiliki koping mal adaptif sebesar 2,433 kali dibandingkan dengan responden pekerjaan sebelum pensiun sebagai PNS/POLRI/TNI.
e. Hubungan Sosial ekonomi dengan Koping Lansia Tabel 12 Hubungan Sosial ekonomi dengan Koping Lansia Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Sosial Ekonomi Rendah Tinggi Total
Koping Lansia Mal Adaptif Adaptif n % N % 7 87.5 1 12.5 31 42.5 42 57.5 38 46.9 43 53.1
Total 8 73 81
P Value
OR (CI 95%)
0,023
9,484 (1,10981,098)
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 8 responden dengan social ekonomi rendah, sebanyak 7 responden (87,5%) memiliki koping mal adaptif. Sedangkan dari 73 responden dengan social ekonomi tinggi, sebanyak 31 responden (42,5%) memiliki koping mal adaptif. Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,023, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,023 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan yang signifikan antara social ekonomi dengan koping lansia. Sedangkan hasil uji OR diperoleh nilai 9,484 (CI 95% 1,109-81,098), artinya responden dengan social ekonomi rendah berpeluang untuk memiliki koping mal adaptif sebesar 9,484 kali dibandingkan dengan responden dengan social ekonomi tinggi.
f. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Koping Lansia Tabel 13 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Koping Lansia Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat tahun 2010 Dukungan Keluarga Tidak mendukung Mendukung Total
Koping Lansia Mal Adaptif Adaptif N % N % 25 61.0 16 39.0 13 38
32.5 46.9
27 43
67.5 53.1
Total 41 40 81
P Value 0,019
OR (CI 95%) 3,245 (1,3048,077)
Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 41 responden dengan dukungan keluarga tidak mendukung, sebanyak 25 responden (61,0%) memiliki koping mal adaptif. Sedangkan dari 40 responden dengan keluarga mendukung, sebanyak 13 responden (32,5%) memiliki koping mal adaptif.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,019, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,019 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, diyakini ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan koping lansia. Sedangkan hasil uji OR diperoleh nilai 3,245 (CI 95% 1,304-8,077), artinya responden dengan keluarga tidak mendukung berpeluang untuk memiliki koping mal adaptif sebesar 3,245 kali dibandingkan dengan responden dengan keluarga mendukung.
C.
Pembahasan
1.
Hubungan Umur dengan Koping Lansia
disimpulkan ada hubungan umur dengan koping lansia. Responden dengan rata-rata umur lebih muda lebih banyak yang menggunakan koping mal adaptif dibandingkan dengan responden yang memiliki rata-rata umur lebih tua. Menurut Elisabeth, B.H, (1995) dalam Nursalam, (2001) yaitu umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Pendapat lain mengemukakan bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih percaya diri dari orang yang belum cukup kedewasaannya (Huclock, 1998). Menurut Long (1996), dalam Nursalam, (2001) yaitu semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Semakin muda umur seseorang dalam menghadapi masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang. Kematangan individu dapat dilihat langsung secara objektif dengan periode umur, sehingga berbagai proses pengalaman, pengetahuan, keterampilan, kemandirian terkait sejalan dengan bertambahnya umur individu (Muchsin, 1996). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suprapto (2002) tentang koping pada kecemasan, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa umur usia muda lebih mudah mengalami peningkatan stres dibandingkan dengan umur usia dewasa, struktur psikologis individu yang komplek dan sumber koping yang berubah sesuai dengan tingkat usianya akan menghasilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang menekan.
2.
Hubungan Jenis Kelamin dengan Koping Lansia Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,001, artinya ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan koping lansia. Pria dan wanita mempunyai koping yang berbeda dalam menghadapi masalah. Perilaku koping wanita biasanya lebih ditekankan pada usaha untuk mencari dukungan sosial dan lebih menekankan pada relegius, sedangkan pria lebih menekankan pada tindakan langsung untuk menyelesaikan pokok permasalahan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nursasi (2002) yang menunjukkan responden wanita berupaya untuk melawan kondisi penurunan fungsi gerak: 47,83% responden wanita menggunakan koping konfrontasi yaitu upaya yang digunakan untuk mengubah situasi tertentu dan 36,96% menggunakan koping dukungan sosial yaitu dengan mencari rasa aman secara emosional dan informasi pada orang lain. Berbeda dengan responden pria hanya 21,7% responden yang menggunakan konfrontasi dan 17,39% yang menggunakan dukungan sosial. Menurut peneliti hal ini disebabkan karena umumnya pria akan berusaha untuk menutupi rasa sakit yang dideritanya agar tetap tampak kuat. Hal ini ditambah pula dengan data bahwa hanya lebih sedikit responden wanita yang melakukan bentuk koping adaptif dalam mengatasi masalahnya dibandingkan dengan responden pria. Responden wanita cenderung menyendiri dan menghindari untuk bertemu dengan orang lain jika sedang ada masalah namun tidak berusaha untuk menyelesaikannya.
3.
Hubungan Pendidikan dengan Koping Lansia Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,037, artinya ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan dengan koping lansia.
Pendidikan merupakan proses hasil belajar yang berlangsung di suatu lembaga pendidikan atau instusi dengan berbagai jenjang. Individu yang mempunyai pendidikan tinggi akan tinggi pula perkembangan kognitifnya yaitu dengan adanya pengalaman – pengalaman bersama dan pengembangan cara – cara pemikiran baru mengenai masalah umur atau kelompok diri sendiri yang dilakukan dengan penelitian yang lebih realistis dan efektif. Hal ini dapat meningkatkan keterampilan koping individu sehingga mampu menggunakan koping adaptif. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Jadi dapat diasumsikan bahwa faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap kesehatannya (Kuncoro, 2002).
4.
Hubungan Pekerjaan Sebelum Pensiun dengan Koping Lansia Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,002, artinya ada hubungan yang
signifikan antara pekerjaan sebelum pensiun dengan koping lansia. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Indikator status pekerjaan pada dasarnya melihat empat kategori yang berbeda tentang kelompok penduduk yang bekerja yaitu tenaga kerja dibayar (buruh), pekerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Tuckman dan Lorge (2004) menemukan bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang-orang tua tadi masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus. Dinyatakan bahwa diantara pekerja-pekerja usia 55 tahun keatas yang mempunyai penghasilan yang adekuat, keinginan untuk segera pensiun adalah berbanding terbalik dengan variasi, otonomi,
dan tanggung jawab yang terkait dalam pekerjaannya. Pada pekerja kasar (umpamanya pada industri mobil) keinginan untuk pensiun sebelum usia 65 tahun di Amerika semakin bertambah. Sebaiknya dengan orang yang mempunyai penghasilan/gaji yang besar adalah paling sedikit ingin dipensiunkan. Responden dengan pekerjaan sebelum pensiun sebagai pegawai swasta cederung memiliki koping mal adaptif, hal ini dikarenakan masalah keuangan yang mereka hadapi setelah pensiun lebih berat. Pensiunan swasta umumnya tidak mendapatkan tunjangan setiap bulan, lain halnya dengan pensiunan PNS/TNI/POLRI. 5.
Hubungan Sosial ekonomi dengan Koping Lansia Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,023, artinya ada hubungan yang
signifikan antara sosial ekonomi dengan koping lansia. Menurut Stuart (2006) individu dapat mengatasi stres dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut berupa modal ekonomi, kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial dan kenyakinan budaya dapat membantu individu mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. Individu yang mempunyai status sosial ekonomi rendah lebih sering mendapat akibat negatif dari stress sehingga mereka akrab dengan kriminalitas, sakit mental, dan minum yang mengandung alkohol. Hal ini terjadi karena kontrol atas hidupnya tidak begitu kuat, mereka biasanya kurang pendidikan sehingga mereka kurang mampu untuk menyelesaikan masalah–masalah terkait terutama dengan kesehatan. 6.
Hubungan Dukungan Keluarga dengan Koping Lansia Hasil uji chi square didapatkan nilai p value 0,019, artinya ada hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan koping lansia.
Dukungan sosial dapat diartikan sebagai kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Gibson dalam Andarika, 2004). Whatson dan Tragetan (dalam Anggoro, 2006) menambahkan dukungan sosial adalah suatu tindakan menolong atau membantu yang melibatkan aspek perhatian emosional, informasi, bantuan instrumental, dan penilaian yang positif. Sarason (1998) menambahkan bahwa dukungan sosial akan sangat membantu individu untuk melakukan penyesuaian atau perilaku koping yang positif serta pengembangan kepribadian dan dapat berfungsi sebagai penahan untuk mencegah dampak psikologis yang bersifat gangguan. Bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan sosial dapat berupa kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan, bantuan nasehat, atau bahkan tempat untuk mengeluh. Selain itu lingkungan dapat memberikan dukungan sosialnya berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi, pemberian penghargaan atau bentuk penilaian kepada individu yang berupa penghargaan dari lingkungan sosialnya (Hause, 2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mahardika (2005) yang menunjukkan sebagian besar motivasi keluarga dengan mekansime koping lansia adalah baik (80%) sedangkan 20% cukup dan kebanyakan lansia menggunakan kedua jenis koping adaptif ataupun maladaptif. Dalam penelitan ini terdapat korelasi antara motivasi keluarga dengan mekanisme koping lansia. Dukungan sosial akan sangat diperlukan oleh lansia terutama setelah pensiun. Dukungan sosial akan mengurangi ketegangan psikologis dan menstabilkan kembali emosi lansia. Berdasarkan hasil penelitian dari Andarika (2004) mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh seseorang, maka semakin rendah ketegangan psikologis pada orang tersebut, sehingga dapat menciptakan penyesuaian diri yang
positif kedalam masyarakat (Sarafino, 1998). Dukungan sosial akan membuat individu dihargai dan diterima, sehingga dapat menimbulkan penyesuaian diri yang baik dalam perkembangan kepribadian individu tersebut kedepan (Koentjoro, 2003) dan begitu juga sebaliknya rendahnya dukungan sosial yang diberikan kepada lansia maka akan semakin tinggi ketegangan psikologis lansia, sehingga strategi koping yang dimunculkan oleh penderita dapat berupa menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat ataupun perasaannya akan lebih sensitif sehingga lebih mudah tersinggung dan penderita akan semakin ditinggalkan dan tidak dihargai oleh lingkungan. Namun pada kenyataannya masih ditemukan pada lansia meskipun dukungan sosial terpenuhi, akan tetapi strategi koping masih jauh dari yang diharapkan.
Simpulan Rata-rata umur responden yaitu 66,69 tahun dengan standar deviasi 4,878. Distribusi frekuensi responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 42 responden (51,9%). Distribusi frekuensi responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 43 responden (53,1%). Distribusi frekuensi responden yang bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI sebelum pensiun sebanyak 73 responden (90,1%). Distribusi frekuensi responden dengan sosial ekonomi rendah sebanyak 8 responden (9.9%) Distribusi frekuensi responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga sebanyak 41 responden (50,6%). Distribusi frekuensi responden yang memiliki koping mal adaptif sebanyak 38 responden (46,9%). Ada hubungan yang signifikan antara umur dengan koping lansia (P value 0,000).
Ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan koping lansia (P value 0,001 dengan OR 5,000). Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan koping lansia (P value 0,037 dengan OR 2,862) Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan koping lansia (P value 0,002 dengan OR 2,433). Ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan koping lansia (P value 0,023 dengan OR 9,484). Ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan koping lansia (P value 0,019 dengan OR 3,245). Saran Agar meningkatkan Program Promosi Kesehatan mengenai mekanisme koping adaptif yang dapat lansia gunakan dalam menghadapi masalahnya, seperti menyediakan layanan konsultasi kesehatan jiwa/psikologi atau pembentukan kelompok psiko edukasi bagi lansia yang biasa menggunakan mekanisme mal adaptif, kemudian dibentuk suportif grup lansia yang difasilitasi oleh tenaga puskesmas (dalam bentuk penyuluhan, rehabilitasi, dan lain-lain). Setelah mandiri akan dibentuk SHG (Self Health Group) yaitu suatu kelompok kegiatan yang dikelola oleh lansia dan untuk lansia Agar dilakukan penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor lain yang belum diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan koping lansia dengan menggunakan analisis multivariat sehingga diketahui faktor yang paling berhubungan.