FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERURISEMIA DI KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG Nurjaknah*), Faridah Aini**), Abdul Wakhid***)
[email protected] *) Mahasiswa Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran **) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ***) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
ABSTRAK Latar belakang: Hiperurisemia merupakan kenaikan asam urat didalam plasma darah, jika keadaan ini dibiarkan berkepanjangan maka akan menimbulkan berbagai komplikasi, seperti Gout Athritis, komplikasi ginjal sampai kecacatan. Genetik, jenis kelamin, usia, IMT (Indeks Massa Tubuh), konsumsi purin dan konsumsi alkohol dapat memicu terjadinya hiperurisemia. Tujuan: Penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko terhadap kejadian hiperurisemia. Metode: Studi penelitian yang dilakukan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional pada 99 responden di kecamatan Bandungan. Tehnik pengambilan sampel menggunakan Multistage Sampling. Variabel yang diteliti meliputi riwayat keluarga dengan penyakit asam urat, jenis kelamin, usia, IMT, konsumsi purin dan konsumsi alkohol. Kuesioner, wawancara dan observasi dipergunakan untuk pengumpulan data. Hasil: Hasil penelitian di kecamatan bandungan menunjukkan dari 99 responden yang mengalami hiperurisemia sebanyak 56 responden (56,6%). Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Chi Square faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian hiperurisemia adalah usia (p value 0,018), IMT (p value 0,007), dan konsumsi purin (p value 0,001). Kesimpulan: Dilihat dari nilai Odd Ratio variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian hiperurisemia adalah konsumsi purin (OR 4,306). Saran: Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan perlu adanya upaya dari kader kesehatan setempat untuk melakukan penyuluhan tentang konsumsi tinggi purin, serta mengajarkan pola hidup yang baik dan sehat agar terciptanya derajat kesehatan yang optimal, khususnya bagi lansia yang rentan terkena hiperurisemia. Kata kunci : faktor risiko hiperurisemia
ABSTRACT Background: Hyperuricemia is an increase of uric acid in blood plasma, if the situation is allowed prolonged it will lead to various complications, such as athritis gout, renal complications until the disability. Genetics, gender, age, BMI (Body Mass Index), purine consumption and alcoholconsumptioncan lead to hyperuricemia. Objectives: The purpose of this study was to determine the risk factors on the incidence of hyperuricemia. Method: The research was conducted in descriptive correlation with cross sectional approach to 99 respondents in Bandungan district. Sampling technique used multistage sampling. The variables were examined including history with gout ancestry, sex, age, BMI, purineconsumption and alcohol consumption. Questionnaires, interviews and observations were used for data collection. Result: The results of research in Bandungan showed that 99 respondents who had hyperuricemia were 56 respondents (56.6%). Chi Square test got the risk factors that most influence on the incidence of hyperuricemia were age (p value 0.018), BMI (p value 0.007), and the consumption of purine (p value 0.001). Conclusion: Judging from the value of Odd Ratio,the variable that most affected on the incidence of hyperuricemia was purine consumption (OR 4.306). Advice: Based on the results of the research the local health workers should carry out counseling about high consumption of purine, and teach a good and healthy lifestyle to create optimal health status, especially for the elderly who are prone to hyperuricemia. Keywords: the risk factors of hyperuricemia PENDAHULUAN Latar Belakang Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat (urid acid) darah diatas normal. Nilai asam urat normal wanita 2,4-6,0 mg/dL dan pria 3,07,0 mg/dL3. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal, yaitu lebih dari 7,0 mg/dL pada pria dan lebih dari 6,0 mg/dL pada perempuan. Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan pengeluaran asam urat urin (underexcretion), atau gabungan dari keduanya10. Purin adalah protein yang termasuk dalam golongan nucleoprotein. Secara ilmiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni tanaman berupa sayur, buah, kacang-kacangan atau hewan berupa daging, jeroan, ikan sarden, minuman beralkohol dan makanan kaleng.17
2
Sebelum menjadi asam urat, purin diubah menjadi adenosin, kemudian adenosin akan diubah menjadi adenin isonine yang oleh enzim adenine deaminase dan phosphorylase keduanya diubah menjadi hypoxanthine. Xanthin oksidase mengubah hipoxanthin menjadi xantin dan akhirnya xanthin diubah menjadi asam urat4. Dikutip dalam buku Patofisiologi, faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan gout adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hiperurisemia, diantaranya: diet tinggi protein, minuman beralkohol dan obatobatan tertentu (aspirin, diuretik)9. Faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko hiperurisemia asimptomatik. Menurut Seneca (2002), orang-orang dengan riwayat genetik atau keturunan yang mempunyai hiperurisemia mempunyai risiko 1-2 kali lipat di bandingkan pada penderita yang tidak memiliki riwayat genetik atau keturunan5. Faktor usia bepengaruh pada penurunan fungsi ginjal terutama pada
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
pria. Rata-rata 90% penderita yang mengalami asam urat diatas normal adalah pria usia 30-50 tahun. Kadar asam urat setelah pubertas didalam darah pada lakilaki akan meningkat dan pada wanita umumnya akan meningkat setelah menopause. Hal ini disebabkan adanya peranan hormon estrogen pada wanita yang membantu pembuangan asam urat melalui urin13. Penelitian epidemiologis di Kin-Hu, Kinmen, mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar (25,8%) pada lakilaki dan (15,0%) pada perempuan6. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hiperurisemia. Menurut WHO obesitas meningkatkan risiko kejadian hiperurisemia dan gout sebesar 23 kali dibandingkan dengan orang nonobesitas. Studi epidemiologi melaporkan efek dari moderenisasi dan gaya hidup orang barat berperan penting terhadap kejadian hiperurisemia dan peningkatan prevalensi gout di Asia. Tujuan penelitian yaitu menganalisi faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya hiperurisemia di Kecamatan Bandungan. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber informasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan hiperurisemia. Bagi perawat dan tenaga kesehatan, sebagai refrensi dan sumber informasiuntuk tenaga kesehatan dalam memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hiperurisemia serta dalam melakukan perawatan kepada masyarakat secara komprehensif. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di kecamatan bandungan kabupaten Semarang pada bulan januari 2016. Desain penelitian deskriptif koleratif dengan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di kecamatan bandungan kabupaten Semarang yang berusia ≥26 tahun – 46 tahun. Jumlah subyek penelitian adalah 99 orang
dengan metoda multistage sampling. Kriteria inklusi adalah usia responden antara ≥ 26 tahun – 46 tahun, tidak sedang menjalani diet khusus, tidak mengkonsumsi obat – obatan diuretik, tidak menderita hipertensi dan tidak menderita gangguan ginjal, tidak menderita gula darah, tidak menjalani kemoterapi. Variabel bebas meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan penyakit asam urat, obesitas, asupan makanan sumber purin dan riwayat konsumsi alkohol, sedangkan variabel terikatnya meliputi hiperurisemia. Hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar asam urat dalam darah dimana kadar asam urat >7mg/dL pada laki-laki dan >6mg/dL pada perempuan. Kadar asam urat dalam serum diukur dengan menggunakan GCU 3in1 Autocheck. Data usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan penyakit asam urat, dan riwayat konsumsi alkohol (12 bulan terakhir) subyek diperoleh dengan melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data berat badan didapatkan dengan cara menimbang subyek dengan menggunakan timbangan digital kapasitas 120 kg dengan tingkat ketelitian 0,1 kg dan data tinggi badan didapatkan dengan menggunakan micritoise kapasitas 200cm dengan tingkat ketelitian 0,1 cm. Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan menggunakan rumus berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Asupan makanan sumber purin diperoleh melalui wawancara kebiasaan mengkonsumsi makanan selama 24 terakhir dengan menggunakan Kuesioner metode food recall 24 hours. Data makanan yang diperoleh dalam ukuran rumah tangga (URT) dikonversikan dalam gram, dihitung rata-rata konsumsinya per hari. Analisis jumlah makanan sumber purin menggunakan tabel pengelompokan bahan makanan menurut kadar purin. Rata- rata konsumsi per hari makanan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
3
sumber purin dibagi seratus kemudian dikalikan dengan kandungan purin sesuai dengan jenis bahan makanan yang ada dalam tabel. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) 16.0 Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan data usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan penyakit asam urat, makanan sumber purin dan riwayat konsumsi alkohol secara deskriptif. Analisis bivariat untuk melihat hubungan dan besar risiko usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan penyakit asam urat, makanan sumber purin, dan riwayat konsumsi alkohol dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Tingkat kemaknaan dalam penelitian ini menggunakan α = 0,05. HASIL Analisis Univariat Subyek pada penelitian ini berjumlah 99 responden yang terdiri dari 49,5% laki-laki dan 50,5% perempuan. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa proporsi laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Sebagian besar subjek pada penelitian ini tidak memiliki keluarga dengan riwayat penyakit asam urat, yaitu sekitar 78,8%. Usia subyek berkisar antara 26 – 63 tahun. IMT pada subjek penelitian sebagian besar memiliki status gizi baik yaitu sekitar 62,6%. Sebagian dari responden mengkonsumsi purin tinggi yaitu >620,5mg, sekitar 47,5%. Sebagian kecil dari responden adalah peminum alkohol, yaitu sekitar 21,2%. Gambar 1 Distribusi Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan
43,4% 56,6%
Ya Tidak
Kadar asam urat pada subjek penelitian berkisar antara 3,1 mg/dL - 11,0 mg/dL, dan sebagian dari responden mengalami hiperurisemia (56,6%). Analisis Bivariat Tabel 1 Hubungan Riwayat Keluarga Asam Urat Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, Januari 2016 Kejadian Hiperurisemia Riwayat Keluarga Tidak OR P Hiperu dengan Hiperu Total value risemia Penyakit risemia Asam Urat f % f % n % Tidak 36 46,2 42 53,8 78 100,0 Iya 7 33,3 14 66,7 21 100,0 1,71 0,421 4 Total 43 43,4 56 56,6 99 100,0
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit hiperurisemia (53,8%). Berdasarkan uji chi square tidak ada hubungan antara riwayat keluarga dengan penyakit asam urat (genetik) dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). Hubungan Jenis Hiperurisemia
Tabel 2 Kelamin
dan
Kejadian Hiperurisemia Tidak Hiperuri Hiperuri Total semia semia f % f % n % Laki-laki 24 49,0 25 51,0 49 100,0 Perempuan 19 38,0 31 62,0 50 100,0 Total 43 43,4 56 56,6 99 100,0 Jenis Kelamin
Kejadian OR
P value
1,566
0,369
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada perempuan (51,0%). Berdasarkan uji chi square tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). Tabel 3 Hubungan Usia dan Kejadian Hiperurisemia Usia
Dewasa awal Dewasa akhir Lansia Total
Kejadian Hiperurisemia Tidak Hiperuri Hiperuri Total P semia semia value f % f % n % 12 57,1 9 42,9 21 100,0 18 56,2 14 43,8 32 100,0 0,018 13 28,3 33 71,7 46 100,0 43 43,4 56 56,6 99 100,0
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi lansia (71,7%). Berdasarkan uji chi square ada hubungan yang signifikan
4
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
antara usia dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). Tabel 4 Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Status Gizi Dengan Kejadian Hiperurisemia Kejadian Hiperurisemia Indeks Masa Tidak Hiperu P Tubuh Hiperu Total risemia value (IMT) risemia f % f % n % Kurus 5 41,7 7 58,3 12 100,0 Normal 29 58,0 21 43,0 50 100,0 0,007 Obesitas 9 24,3 28 75,7 37 100,0 Total 43 43,4 56 56,6 99 100,0
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang obesitas (75,7%). Berdasarkan uji chi square ada hubungan yang signifikan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). Tabel 5 Hubungan Konsumsi Purin Hiperurisemia Jumlah Konsumsi Purin
dan Kejadian
Kejadian Hiperurisemia Tidak Hiperu OR Hiperu Total risemia risemia f % f % n % 31 59,6 21 40,4 52 100,0
Normal (≤620,5mg) Tinggi 12 25,5 35 74,5 47 100,0 4,306 (>620,5mg) Total 43 43,4 56 56,6 99 100,0
P value
0,001
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang mengkonsumsi purin tinggi (>620,5mg) (74,5%). Berdasarkan uji chi square ada hubungan yang signifikan antara konsumsi purin dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). Tabel 6 Hubungan Konsumsi Alkohol Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Januari 2016 Kejadian Hiperurisemia Kebiasaan Tidak CI P Hiperuri Konsumsi Hiperuri OR Total 95% value semia Alkohol semia f % f % n % Tidak 35 46,2 42 53,8 78 100,0 1,714 0,624 0,421 Iya 7 33,3 14 66,7 21 100,0 Total
43 43,4 56 56,6 99
100,0
hubungan antara riwayat konsumsi alkohol dengan kejadian hiperurisemia (α=0,05). PEMBAHASAN Gambaran Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Data hasil penelitan menunjukan bahwa sebagian besar responden menderita hiperurisemia. Dikutip dalam buku Patofisiologi, faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan gout adalah faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya hiperurisemia, diantaranya: diet tinggi protein, minuman beralkohol dan obatobatan tertentu (aspirin, diuretik)9. Produksi urat bervariasi tergantung konsumsi makanan yang mengandung purin, kecepatan pembentukan, biosintesis dan penghancuran purin di tubuh. Normalnya 2/3-3/4 urat dibuang (ekskresi) oleh ginjal melalui urin, sisanya melalui saluran cerna. Semakin banyak makanan yang mengandung tinggi purin dikonsumsi maka semakin tinggi kadar asam urat yang diserap2. Kebutuhan purin normal antara 5001000 mg per hari sedangkan rata-rata ekskresi asam urat urin sebesar 620,5 mg per hari1. Makanan adalah kebutuhan bagi mahluk hidup dan setiap hari selalu ada asupan makanan yang masuk kedalam tubuh, sehingga jika asupan purin melebihi angka ekskresi purin maka akan terjadi akumulasi berlebih asam urat didalam darah. Asam urat yang terakumulasi dalam jumlah besar didalam darah akan memicu pembentukan kristal berbentuk jarum. Kristal-kristal biasanya terkonsentrasi pada sendi, terutama sendi perifer (jempol kaki atau tangan). Sendi-sendi tersebut biasanya menjadi bengkak, kaku, kemerahan, terasa panas, dan nyeri2.
4,710
Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang mengkonsumsi alkohol (66,57%). Berdasarkan uji chi square tidak ada
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
5
Hubungan Riwayat Keluarga Dengan Penyakit Asam Urat (Genetik) dan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit hiperurisemia. Seseorang yang memiliki keluarga dengan penyakit asam urat memiliki risiko 1,7 kali lipat terkena hiperurisemia dibandingkan yang tidak. Pewarisan hiperurisemia terjadi secara pewarisan alel resesif autosomal, artinya pada kelainan yang bersifat resesif, heterozigot dikatakan normal dalam fenotifnya karena salah satu pasangan gen yang normal. Dengan demikian suatu penyakit yang diwarisi secara resesif, hanya muncul pada individu yang homozigot atau memiliki alel homozigotresesif. Kita dapat melambangkan genotype penderita sebagai aa dan individu yang tidak memiliki kelainan dengan AA dan Aa. Namun heterozigot (Aa) yang secara fenotipe normal disebut karier secara genotype, karena orang-orang seperti ini dapat saja menurunkan salah satu gen resesifnya kepada keturunan mereka. Gout jenis ini diwariskan oleh gen resesif terkait x. Sehingga jika seseorang yang terkena gen pembawa asam urat masih bisa terbebas dari asam urat tinggi asal faktorfaktor penyebab yang lain bisa dikendalikan baik faktor dari dalam seperti ketidakseimbangan hormon maupun faktor dari luar seperti asupan makanan dan lainnya9. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan lakilaki. Perempuan memiliki risiko 1,5 kali lipat terkena hiperurisemia dibandingkan laki-laki. Kadar asam urat pada laki-laki maupun perempuan sejak lahir sampai usia remaja umunya rendah. Setelah pubertas,
6
kadar asam urat didalam darah pada lakilaki akan meningkat dan akan selalu lebih tinggi daripada perempuan sebayanya7. Hal tersebut dikarenakan laki-laki tidak mempunyai hormon estrogen yang bersifat sebagai uricosuric agent yaitu bahan kimia yang berfungsi membantu ekskresi asam urat lewat ginjal7. Kadar asam urat pada wanita umumnya tetap rendah dan akan meningkat setelah menopause. Hal ini disebabkan adanya peranan hormon estrogen pada wanita yang membantu pembuangan asam urat melalui urin7. Terdapat hipotesis bahwa estradiol (E2) yang merupakan estrogen utama yang diproduksi ovarium memegang peranan penting dalam menurunkan kadar asam urat darah melalui renal clearance, sekresi dan reabsorbsi. Estradiol menekan kadar protein URAT1 sehingga tingkat reabsorpsi post sekresi asam urat di tubulus proksimal menurun. Penelitian oleh Nicholls (2006) menunjukkan pemberian stilbestrol atau etinilestradiol menurunkan kadar asam urat serum, meningkatkan sekresi di ginjal dan fractional excretion of uric acid (FEUA). Estrogen juga memperbaiki sensitivitas insulin akibatnya FEUA meningkat sedangkan asam urat serum menurun. Sensitivitas insulin berhubungan dengan meningkatkan eksresi asam urat. Hubungan Usia Dengan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada respoden lansia. Hal ini terjadi karena enzim urikinase yang mengoksidasi asam urat menjadi alotonin yang mudah dibuang akan menurun seiring dengan bertambah tuanya umur seseorang. Jika pembentukan enzim ini terganggu maka kadar asam urat darah menjadi naik12. Rata-rata 90% penderita yang mengalami asam urat diatas normal adalah pria usia 30-50 tahun kenaikan kadar asam urat yang terjadi karena penurunan fungsi ginjal dalam proses ekskresi sisa metabolisme dalam tubuh yang ditandai
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
dengan kadar ureum dan kreatinin yang tinggi1. Namun dalam penelitian ini tidak ada yang menderita gangguan ginjal. Wanita pada usia >45 tahun akan mengalami penurunan kadar estrogen, hormon ini berfungsi sebagai uricosuric agent yaitu bahan kimia yang berfungsi membantu ekskresi asam urat lewat ginjal. Mekanisme uricosuric agent dalam ekskresi asam urat adalah menghambat URAT1 (urate transporter-1). Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia paling banyak terjadi pada responden yang memilki status gizi berlebih (obesitas). Menurut WHO (2002), obesitas memang meningkatkan risiko hiperurisemia hingga 2–3 kali lipat. Kondisi obesitas ditandai dengan meningkatnya koenzim A untuk memecah penumpukan asam lemak rantai panjang. Peningkatan kinerja koenzim A akan memicu aktifitas adenine nucleotid translocator (ANT) untuk memproduksi adenin ekstra sel. Peningkatan kadar adenin ekstra sel inilah yang diduga memicu pembentukan asam urat sebagai hasil akhir metabolisme asam nukleotida. Pada seseorang yang gemuk atau obesitas akan terjadi timbunan lemak dalam tubuh meningkat. Lemak akan dibakar menjadi kalori akan meningkatkan keton darah (ketosis) yang akan menghambat pembuangan asam urat melalui urin sehingga menyebabkan kadar asam urat dalam darah meningkat (hiperurisemia). Hubungan Konsumsi Purin Dengan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia lebih banyak pada responden yang mengkonsumsi purin tinggi. Seseorang yang mengkonsumsi purin >620,5mg memiliki risiko 4,3 kali lipat terkena hiperurisemia dibandingkan
dengan seseorang yang mengkonsumsi purin ≤620,5mg. Purin adalah senyawa amina bagian dari protein yang menyusun tubuh makhluk hidup, bahkan sistem metabolisme tubuh kita sendiri juga memproduksi purin. Ini mengandung arti semua bahan makanan mengandung purin, sehingga purin tidak pernah dapat disingkirkan sama sekali dari diet seharihari. Kebutuhan purin normal antara 5001000 mg per hari, sedangkan rata-rata ekskresi asam urat urin sebesar 620,5mg per hari1. Kadar purin maksimal yang dapat dikonsumsi oleh pasien gout adalah 100-150mg/hari11. Normalnya 2/3-3/4 urat dibuang (ekskresi) oleh ginjal melalui urin, sisanya melalui saluran cerna. Semakin banyak makanan yang mengandung tinggi purin dikonsumsi maka semakin tinggi kadar asam urat yang diserap2. Jika asupan purin melebihi angka ekskresi purin maka akan terjadi akumulasi berlebih asam urat didalam darah. Hubungan Konsumsi Alkohol Dengan Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang Kejadian hiperurisemia lebih banyak terjadi pada responden yang mengkonsumsi alkohol. Seseorang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 1,5 kali lipat terkena hiperurisemia dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini dikarenakan alkohol merangsang produksi asam urat di hati, pada proses pembuangan hasil metabolisme alkohol menghambat pembuangan asam urat di ginjal7. Minum alkohol dapat menimbulkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum9.Selain itu alkohol mengandung sejumlah besar guanosin (yang
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
7
mengandung purin) yang akan diubah menjadi asam urat, sehingga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Selain itu, alkohol dapat menghambat pengeluaran asam urat dari tubuh. KESIMPULAN Variabel yang terbukti berhubungan dengan kejadian hiperurisemia adalah Usia (p value 0,018), Indeks Massa Tubuh (p value 0,007) dan Konsumsi purin (p value 0,001). Sedangkan variabel yang tidak terbukti berhubungan kejadian hiperurisemia adalah riwayat keluarga dengan penyakit asam urat (p value 0,421), jenis kelamin (p value 0,369) dan kebiasaan konsumsi alkohol (p value 0,421). Variabel yang sangat berpengaruh terhadap kejadian hiperurisemia yaitu : konsumsi purin (OR Adjusted : 3,4, 95% Confidence Interval 1,6-11,2). SARAN Petugas kesehatan hendaknya lebih meningkatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kejadian hiperurisemia seperti memberikan motivasi dan penyuluhan kepada masyarakat agar tetap menjaga pola hidup sehat, seperti menghindari beberapa makanan tinggi purin dan selalu melakukan aktivitas fisik sederhana. DAFTAR PUSTAKA [1] Choi HK, Gary Curhan. (2008). Soft Drink, Fructose Consumption and Risk of Gout in Men: Prospective Cohort Study. British Medical Journal. Available at: http://www.bmj.com. By on Oktober 28 2015. [2] Damayanti,D. (2012). Panduan Lengkap Mencegah dan Mengobati Asam Urat. Yogyakarta: Araska. [3] Hermanto, N. ( 2005). Menggempur Asam Urat dan Rematik Dengan Mahkota Dewa. Jakarta: Agromedia Pustaka.
8
[4] Johnson R.J., Kang D.H., Feig D.I., Kivlighn S.,dkk. (2003). Is There a Pathogenic Rule of Uric Acid in Hypertension, Cadiovascular and Renal Disease? Hypertension Journal.Diakses 28 oktober 2015. [5] Kumar, V., Robbins SL et al., Cotran RS. (2007). Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC. [6] Lin KC, Lin H, Chou P. (2000). Community Based Epidemiological Study on Hyperuricemia and Gout in Kin-Hu, Kimen. J Rheumatology. Diakses 28 oktober 2015. [7] Misnadiarly. (2007). Asam Urat– Hiperurisemia–Arthritis Gout, Jakarta, Pustaka Obor Populer. p:9-92. [8] Monangin, Prilly., Billy Kepel. (2013). Prevalensi Hiperurisemia Pada Remaja Obes di SMK Negeri 1 Bitung.Volume 1.Nomer 3.Jurnal eBiomedik (eBM). [9] Price, Sylvia A. (2015). Patofisiologi:Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Vol. 2.Ed. 6. Jakarta: EGC. [10] Putra, Tjokorda Raka. (2009). Hiperurisemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit. Jilid II Edisi ke 5 Jilid ke 3. Jakarta: FKUI. [11] Soeroeso, Joewono.,& Algristian, H. (2012). Asam Urat. Cetakan ke 3. Jakarta: Penebar Swadaya. [12] Sustrani L, Syamsir A, & Iwan H. (2004). Asam Urat, Informasi Lengkap Untuk Penderita dan Keluarganya, edisi 6. Jakarta: Gramedia. [13] WHO.(2002). International Obesity Taskforce. The Asia Pacific perspective redefining obesity and its treatment. Australia: Health Communication Australia Pt Limited. [14] Winter, G. (2004). Buku Pintar Kesehatan: 796 Gejala 520 Penyakit 160 Pengobatan. Alihbahasa Peter Anugrah dan Surya Satya Negara dari judul asli Conplete Guide to Symptoms, Illness & Surgery. Jakarta: Penerbit Arcan.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperurisemia Di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
9