©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN JENTIK NYAMUK DI DAERAH ENDEMIK DBD DI KELURAHAN SANANWETAN KECAMATAN SANANWETAN KOTA BLITAR
Agus Setyobudi
1
1. Staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Data Dinas Kesehatan Kota Blitar pada tahun 2007 terdapat terdapat 75 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 5 orang (CFR = 6,66%) sedangkan pada tahun 2008 terdapat 65 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 2 orang (CFR = 3,07%). Adanya penyakit DBD disebabkan oleh keberadaan vektor nyamuk Aedes yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan jentik nyamuk. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk pada daerah endemik di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. Jenis penelitian adalah: analitik observasional dengan pendekatan cross sectional study. Populasi adalah seluruh keluarga yang tinggal di Kelurahan Sananwetan Kota Blitar dengan sampel yang diambil dengan metode random sampling. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan uji statistik Chi-Square . Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar adalah: tingkat pengetahuan responden dengan (p = 0,0001 dan RP = 2.974), partisipasi dalam kegiatan PSN (p= 0.0001 RP= 3.103 ), promosi kesehatan (p = 0.011 RP= 1.759) dan keberadaan breding place dengan (p = 0,0001 dan RP= 48.750).
Kata kunci: endemik, dengue fever dan keberadaan jentik nyamuk. ABSTRACT The Relation Of Faktors Existence Mosquito Larva In The Dengue Fever Endemik Area In Sananwetan District Of Blitar City Dengue Fever (DF) was an infection disease become the problem for public health. The data from the Health Service of Blitar City in 2007 said that there were 75 DF cases with the death of 2 people (CFR = 6.66%), meanwhile, in 2008, there were 65 DF cases with the death of 2 people (CFR = 3.07%). DF diseases is cause by the Aedes mosquito as the vektor, which is highly influenced by existence of mosquito larva. The objektive of this research is to analyze relation of factors existence mosquito larva in the Dengue Fever endemik area in Sub District Sananwetan Distric Sananwetan of Blitar City. The type of this research is the analitical-observational research using the crosssectional study approch. Sampel in this research 100 families living in Sub District Sananwetan District Sananwetan of Blitar City, that selected sample in cluster random sampling and data colected be analyzed using Chi-Square statistical tests. The research results show that the related of faktors existance mosquito were: the level of knowledge of the respondent (p =0.0001 and RP 2.974), Mosquito Nets Control (MNC) partisipation (p = 0.0001 RP= 3.103), health promotion (p = 0.011 and RP = 1,759) and the existence of breeding place, with (p = 0.0001 and RP = 48.750). Key word: endemic, dengue fever and existance larva mosquito Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
273
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
PENGANTAR Penyakit akibat infeksi virus dengue termasuk Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit arthropod-borne viral yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama negara-negara tropik dan subtropik sebagai penyakit yang sifatnya endemis dan sering terjadi epidemik. Penyakit ini ditemukan lebih dari 100 negara, lebih dari 2.5 milyar orang berhadapan dengan risiko demam berdarah, setiap tahun di seluruh dunia terdapat kurang lebih 50 juta orang sebagai kasus baru (WHO, 2002). Di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, epidemi DBD merupakan problem yang sering menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada umur 2-15 tahun dan tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender. Meskipun semua kelompok umur termasuk neonatus dapat terserang DBD, pada saat outbreak di Thailand ditemukan bahwa penyakit tersebut menyerang terutama pada anak-anak umur 2-9 tahun. Demikian pula outbreak di Burma ditemukan umur rentan terhadap DBD adalah 4-6 tahun. Sementara itu di Singapura dilaporkan bahwa umur yang rentan terhadap DBD adalah antara 15-21 tahun (WHO, 1999). Pada tahun-tahun awal epidemi DBD di Indonesia penyakit ini menyerang terutama pada anak-anak antara umur 5-9 tahun. Selama tahun 1968-1973 tersebar lebih kurang 95% kasus DBD adalah anak di bawah umur 15 tahun. Selama tahun 1998 meskipun sebagian besar kasus DBD adalah anak-anak berumur 5-14 tahun namun nampak adanya kecenderungan peningkatan kasus berumur lebih dari 15 tahun (Setyorogo D, 1981). Outbreak atau KLB (Kejadian Luar Biasa) dengue biasanya terjadi di daerah endemis dan berkaitan dengan datangnya musim penghujan. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan aktivitas vektor dengue yang terjadi pada musim penghujan (Djunaedi Djon, 2006). Datangnya musim penghujan menyebabkan timbulnya genangan-genangan air pada kaleng-kaleng bekas, ban bekas, lubang-lubang pohon, pagar-pagar bambu atau tanaman dan sebagainya yang merupakan habitat bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes sp, sehingga KLB dengue sering terjadi bersamaan dengan datangnya musim penghujan. Pada tahun 2004 dilaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di 12 propinsi mulai bulan Januari sampai dengan April dengan jumlah kasus sebanyak 24.701 orang, 318 (1,3%) diantaranya meninggal (Suroso T, 2004). Pada tahun 2005 terjadi 3 puncak peningkatan kasus di bulan Januari-Maret, Agustus dan Desember 2005, total jumlah kasus sebanyak 95.279 kasus (IR 43,38/100.000 penduduk), dengan kematian sebanyak 1298 (CFR 1,36%), jumlah kasus lebih tinggi daripada tahun 2004, walau tidak dinyatakan kejadian luar biasa peningkatan kasus terjadi di beberapa propinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Selatan. Tahun 2006 terjadi peningkatan kasus lagi, jumlah kasus DBD sampai dengan akhir Desember 2006 Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
274
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
sebanyak 114.656 kasus (52,48/100.000 penduduk) meningkat dibandingkan tahun 2005, dan CFR menurun dari 1,36% menjadi 1,0% (1196 kasus DBD meninggal). Pada tahun 2007 terjadi peningkatan jumlah kasus, sampai dengan bulan Agustus jumlah kasus DBD sebanyak 118.908 kasus (IR 54,42/100.000 penduduk) meningkat dibandingkan tahun 2006, dengan kematian 1216 (CFR 1,02%). (Cilcilia W, 2007) Jumlah kasus DBD di Jawa Timur pada tahun 2007 terdapat 24.878 kasus DBD dengan 345 kematian. Sementara untuk bulan Januari hingga akhir Februari 2008 sudah tercatat 577 kasus dengan 14 kematian. Kota Blitar merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Timur yang turut menambah jumlah penderita DBD. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Blitar pada tahun 2005 terdapat 189 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1 orang (CFR= 0,52%), pada tahun 2006 terdapat 198 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 3 orang (CFR= 1,51%), pada tahun 2007 terdapat terdapat 75 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 5 orang (CFR= 6,66%) sedangkan pada tahun 2008 terdapat 65 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 2 orang (CFR = 3,07%). Pada tahun 2009 sampai pada bulan Agustus telah terdapat 20 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 1 orang. Kecamatan Sananwetan merupakan salah satu kecamatan di Kota Blitar yang menyumbang kasus DBD terbanyak dari tahun ke tahun. Berturut-turut sejak tahun 2005-2008 adalah sebanyak 91, 81, 126, dan 18 penderita. Pemeriksaan terhadap angka bebas jentik pada tahun 2007 adalah sebesar 85,88%, terendah diantara 2 kecamatan lainnya, 87,84% Kecamatan Sukorejo dan 86,96% Kecamatan Kepanjenkidul. Jika ditinjau dari indikator keberhasilan angka bebas jentik yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar lebih atau sama dengan 95%, maka ketiga kecamatan tersebut masih jauh dari harapan keberhasilan angka bebas jentik. Kecamatan Sananwetan terbagi atas tujuh kelurahan. Diantara tujuh kelurahan tersebut yang termasuk daerah endemis DBD berjumlah enam kelurahan dan satu kelurahan sisanya merupakan daerah non endemis DBD. Kelurahan Sananwetan termasuk daerah endemis DBD, memiliki jumlah kasus paling tinggi diantara lima kelurahan endemis lainnya. Survey jentik yang telah dilakukan terhadap 30 rumah di Kelurahan Sananwetan terdapat 11 rumah positif jentik.Ini mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian tersebut berpotensi terjadi penyebaran penyakit DBD. Kondisi lingkungan di Kecamatan Sananwetan proporsi terbesar penggunaan tanahnya adalah sebagai lahan permukiman, perumahan, kampung dan lahan persawahan dan sebagian besar penduduk mengandalkan sumber air rumah tangga berasal dari PDAM sehingga dapat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi perindukan nyamuk sebagai vektor penularan DBD. Apabila penyimpanan air dilakukan secara tradisional dengan cara menyimpan pada tempat penampungan air tanpa menggunakan penututup maka tempat penampungan air tersebut dapat dijadikan sebagai breeding place bagi vektor penular DBD. Pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD biasanya mengandalkan pada pemutusan rantai penularannya yaitu mengendalikan Aedes aegypti. Selain Aedes aegypti, Aedes albopictus juga Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
275
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
telah diketahui dapat menularkan penyakit DBD. Kedua spesies tersebut mempunyai habitat yang hampir sama yaitu: pada tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, drum air, tempayan, ember, kaleng bekas, vas bunga, botol bekas, lubang-lubang batu yang berisi air jernih dan sebagainya. Untuk keperluan pemberantasan penularan penyakit DBD, survey terhadap keberadaan jentik nyamuk sangat bermanfaat. Survey terhadap keberadaan jentik nyamuk dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan angka bebas jentik di suatu daerah. Apabila suatu daerah memiliki angka bebas jentik sama atau lebih besar dari 95% maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut bebas jentik sehingga kemungkinan terjadinya penularan penyakit DBD berkurang, demikian juga sebaliknya. Survey terhadap keberadaan jentik nyamuk juga dapat digunakan untuk identifikasi jenis tempat penampungan air (TPA). Berapa besar TPA domestik yang terinfeksi jentik (larva), tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit DBD, promosi kesehatan, kondisi kebersihan air dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) pada daerah endemis endemis dapat diketahui melalui penelitian ini sehingga bermanfaat untuk memutus siklus hidup nyamuk Aedes sp. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancang bangun penelitian cross-sectional study. Penarikan sampel secara cluster random sampling terhadap 100 responden yang tersebar di masing-masing RT pada Kelurahan Sananwetan. Langkah-langkah pengambilan sampel adalah menetapkan 5 RW yang akan dilakukan sampling, pada setiap RW akan diambil 2 RT untuk mewakili setiap RW pada masing-masing RT akan ambil sebanyak 10 responden, jadi total sampel akan didapatkan sebanyak 100 responden. Sasaran wawancara dalam rangka pengisian kuesioner adalah ibu rumah tangga. Alasan pemilihan ibu rumah tangga sebagai calon masyarakat karena dianggap orang yang paling dominan mengurusi kebersihan rumah. Apabila ibu rumah tangga tidak dapat diwawancarai karena suatu sebab, maka digantikan oleh anggota keluarga yang lain (orang yang tinggal dalam satu rumah) yang dianggap mengetahui kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya. Data penelitian bersumber dari data-data Dinas Kesehatan, data profil di Kelurahan Sananwetan Kota Blitar untuk data sekunder, sedangkan data primer diperoleh langsung dari lokasi penelitian dari hasil wawancara dan observasi lingkungan fisik didalam dan diluar rumah responden. Data yang terkumpul akan dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Analisis Univariat Data dianalisis dengan statisitik deskriptif, yaitu untuk menyajikan sebaran frekuensi, karakteristik masyarakat yang meliputi: umur, pendidikan dan pekerjaan responden. b. Analisis Bivariat Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel antara variabel bebas dan variabel terikat tanpa pengendalian. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square (X²) pada tingkat Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
276
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
kemaknaan p<0.05. Varibel bebas yang dianalisis terhadap keberadaan jentik nyamuk adalah tingkat pengetahuan responden, promosi/informasi kesehatan, keberadaan breeding place, resting place nyamuk, kondisi tempat penampungan air dan partisipasi dalam kegiatan PSN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Gambaran distribusi subjek peneltian berdasarkan karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, pendidikan dan pekerjaan di daerah endemis DBD Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar Variabel Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Kategori Kurang dari 20 tahun 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun Lebih dari 50 tahun
Frekuensi 1 10 23 43 23
Persen (%) 1 10 23 43 23
SD SMP SMA Akademi/PT Ibu Rumah Tangga Petani Swasta Wiraswasta PNS Pensiunan
17 22 43 18 48 1 13 16 14 8
17 22 43 18 48 1 13 16 14 8
Tabel 2. Hubungan antara keberadaan jentik dengan tingkat pengetahuan, promosi/informasi kesehatan, resting place, breeding place, kondisi tempat penampungan air dan aktivitas kegiatan PSN Variabel
Tingkat pengetahuan - Rendah - Tinggi Jumlah Informasi kesehatan - Satu media - Dua atau lebih media Jumlah Resting place - Tidak ada - Ada Jumlah Breeding place - Tidak ada - Ada Jumlah Kondisi tempat penampungan air - Kotor
Keberadaan Jentik Ada Tidak ada f f
Total
p
RP
95% CI
31 15 46
10 44 54
41 59 100
0,0001
2,974
1,858-4,760
17 29 46
8 46 54
25 75 100
0.011
1,759
1,188-2,602
5 41 46
13 41 54
18 82 100
0,087
1,8
0,829-3,91
1 45 46
51 3 54
52 48 100
0,0001
48,750
6,989
17
17
34
0,565
1,138
0,738-1.754
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
277
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
- Bersih Jumlah Partisipasi PSN - Rendah - Tinggi Jumlah
29 46
37 54
66 100
33 13 46
12 42 54
45 55 100
0.0001
3,103
1,869-5.149
Pada tabel 1 terlihat bahwa pada umumnya subjek penelitian memiliki umur antara 41-50 tahun (43%), tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA (43%) dan bekerja sebagai ibu rumah tangga (48%). Analisis bivariat Untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat (keberadaan jentik) dengan variabel bebas (tingkat pengetahuan DBD, informasi kesehatan, keberadaan resting place, breeding place, kondisi tempat penampungan air dan partisipasi PSN) secara bivariat digunakan tabel analisis (2x2). Hasil analisis ditunjukkan oleh tabel 2. Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa dari enam variabel yang diteliti ternyata ada empat variabel yang mempunyai nilai p<0.05 yaitu: tingkat pengetahun tentang DBD, promosi/informasi kesehatan, keberadaan breeding place dan tingkat partisipasi PSN. PEMBAHASAN Hubungan antara tingkat pengetahuan DBD dengan keberadaan jentik nyamuk Masyarakat yang memiliki kategori tingkat pengetahuan rendah mengenai DBD sebanyak 41 orang. Berdasarkan latar belakang pendidikan dan umur masyarakat, maka dapat digolongkan masyarakat memiliki pendidikan tinggi dan umur yang dianggap cukup dewasa sehingga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pengetahuan lebih banyak terutama yang berkaitan dengan penyakit DBD. Hasil analisis bivariat didapatkan nilai RP= 2.974 (95%CI= 1,858-4,760) dengan nilai p= 0,0001. Jadi kecenderungan masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang DBD terdapat keberadaan jentik nyamuk sebesar 2,97 dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan tinggi tentang DBD. Dengan demikian tingkat pengetahuan tentang DBD memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk. Secara umum diyakini bahwa bertambahnya tingkat pendidikan maka akan menjadikan semakin baik pengetahuan seseorang terutama mengenai pengetahuan tentang penyakit DBD. Perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) seseorang disebabkan oleh proses pendewasaan (maturation) dimana semakin bertambah usia atau dewasa seseorang maka akan semakin cepat beradaptasi dengan lingkungannya sehingga dapat mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan dari suatu inovasi (Budioro, 2005).
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
278
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Hubungan antara promosi kesehatan dengan keberadaan jentik nyamuk Promosi kesehatan yang diterima oleh masyarakat juga bervariasi, namun sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa dirinya pernah memperoleh promosi kesehatan tentang DBD. Sumber media promosi yang digunakan masyarakat juga beraneka ragam. Masyarakat di Kelurahan Sananwetan sebagian besar menerima sumber informasi kesehatan yang berkaitan dengan DBD berasal dari lebih satu sumber sebanyak 75 orang. Hasil analisis bivariat di Kelurahan Sananwetan, didapatkan nilai RP= 1,759 (95%CI= 1,1882,602) dengan nilai p= 0,011. Jadi kecenderungan masyarakat yang menerima satu sumber informasi tentang DBD terdapat keberadaan jentik nyamuk sebesar 1,76 kali dibandingkan dengan masyarakat yang menerima lebih dari satu sumber informasi. Dengan demikian maka jumlah sumber media promosi yang pernah diterima masyarakat memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk. Dalam promosi kesehatan masyarakat, salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah menyampaikan pesan atau informasi mengenai kesehatan kepada sasaran sehingga informasi tersebut dapat diterima dan dipahami sesuai dengan maksud dan tujuan informasi tersebut. Suatu pendidikan kesehatan dapat diterima oleh sasaran bila pendidikan tersebut merangsang indra penerima. Rangsangan tersebut dapat diperkuat dengan pemakaian media sehingga dikatakan bahwa media merupakan sarana penting dalam proses pendidikan kesehatan. Media juga memainkan peran yang penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan KLB/wabah. Agar efektif, media harus segera diberi informasi yang akurat dan komprehensif (WHO, 1995). Hubungan antara keberadaan breeding place dengan keberadaan jentik nyamuk Keberadaan breeding place menunjukkan nilai RP= 48,750 (95%CI= 6,989-340,054) dengan nilai p= 0,0001. Jadi kecenderungan masyarakat yang terdapat breeding place maka terdapat keberadaan jentik nyamuk sebesar 48,745 kali dibandingkan dengan masyarakat yang tidak memiliki breeding place. Dengan demikian maka keberadaan breeding place memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk. Pada daerah penelitian menyatakan bahwa keberadaan breeding place paling banyak terinfeksi jentik di daerah endemis dan non endemis DBD adalah bak mandi. Bak mandi dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat. Bak mandi merupakan salah satu kontainer tempat penampungan air. Tempat-tempat penampungan air yang dapat dijadikan breeding place nyamuk Aedes, adalah tempattempat penampungan air yang tidak tertutup yang sangat berperan dalam kepadatan jentik Aedes, karena semakin banyak breeding place akan semakin besar kemungkinan vektor nyamuk Aedes untuk berkembang biak sehingga akan mengakibatkan kepadatan vektor nyamuk Aedes. Penelitian yang dilaksanakan oleh (Yudhastuti, 2005) juga menemukan ada hubungan yang bermakna antara jumlah kontainer sebagai breeding place dengan keberadaan jentik Aedes (p=0,004). Demikian juga
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
279
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
penelitian yang dilakukan oleh (Widyanto, 2007) mengatakan bahwa kejadian DBD disebabkan oleh karena keberadaan breeding place positif jentik. Hubungan antara partisipasi PSN dengan keberadaan jentik nyamuk Partisipasi PSN memiliki hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik nyamuk. Data hasil analisis bivariat menunjukkan nilai RP= 3,103 (95%CI= 1,869-5,149) dengan nilai p= 0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah terhadap PSN terdapat keberadaan jentik nyamuk sebesar 3,103 kali dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki partisipasi tinggi terhadap PSN. Dengan demikian maka tingkat partisipasi PSN memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk. Hal ini dapat dijelaskan karena kegiatan partisipasi aktif dalam PSN dapat menurunkan keberadaan jentik nyamuk. Kegiatan PSN yang meliputi kegiatan menutup, mengubur dan menguras tempat penampungan air serta menaburkan bubuk abate untuk dapat menurunkan keberadaan jentik. Kegiatan partisipasi PSN juga harus didukung oleh seluruh anggota keluarga, demikian juga dalam pelaksanaannya dilakukan diluar maupun didalam rumah secara seimbang agar keberadaan jentik nyamuk dapat dihindari. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Laskmono, 2008) menyatakan ada hubungan bermakna pemberantasan sarang nyamuk 3M plus di bak mandi, ember dan gentong plastik dengan jumlah jentik di tempat penampungan air. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Sebagian besar masyarakat di daerah endemis DBD pada Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar berumur memiliki umur antara 41-50 tahun (43%), tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA (43%) dan bekerja sebagai ibu rumah tangga (48%). b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk di daerah endemis DBD adalah: tingkat pengetahun tentang penyakit DBD, promosi/informasi kesehatan, keberadaan breeding place dan tingkat partisipasi PSN. KEPUSTAKAAN Budioro, B. Pengantar pendidikan (penyuluhan) Kesehatan Masyarakat. BP. Undip, Semarang, 2005. Cilcilia, W. Komunikasi Perubahan Perilaku Pengendalian DBD di Kodya Jakarta Timur. Propinsi DKI Jakarta. Warta Demam Berdarah. Oktober-November 2007; XI (16): 21-26. Djunaedi Djon. Demam Berdarah. Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Penatalaksanaannya. Unmuh, Malang, 2006.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
Diagnosis dan
280
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Laksmono W, Besar T.H, Bhinuri. Kepadatan Jentik Aedes aegypty sebagai Indikator Keberhasilan PSN 3 plus di Kelurahan Srondol Wetan Kabupaten Semarang. Makara Kesehatan. Juni 2008; 12 (1): 1-19. Setyorogo D. The Review And Control of DHF In Indonesia. Dengue Newsletter. 1981. 41-42. Suroso Thomas. Situasi Epidemiologi dan Program Pemberantasan DBD di Indonesia. Dalam Seminar Kedokteran Tropis: Kajian Demam Berdarah Dari Biologi Molekuler Sampai Pemberantasannya. Yogyakarta, 12 Juni 2004 Widyanto T. Kajian Menejemen Lingkungan terhadap Kejadian DBD di Kota Purwokerto Jawa Tengah (Tesis). 2007. World Health Organisation. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. ECG, Jakarta, 1999. World Health Organisation. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Fact Sheet No. 117. WHO, Geneva. 2002. Available at:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f117/en/print.html. World Health Organisation. Preventing Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Division Control of Tropical Diseases and Division Communicable Disease. Geneva, 1995. www.who.int/mediacentre/factsheets/f117/en/print.html. Yudhastuti, R. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Aedes di Daerah Endemis DBD di Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Januari 2005; 1 (2): 18-24.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
281