FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENJUAL LAHAN SociaI Factors Affecting Economic Decision Farmers Sell Land Sumaryanto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
ABSTRACT Policy formulation of farmland utilization requires comprehensive understanding of the land market, including the factors affecting farmers to sale their farmland. This study aimed to identify the factors affecting farmer's decision to sale their farmland. The study utilized the data resulted from farm household survey on Research Consortium "Socio Economic Characteristics of The Farmer in Several Agroecosystems" held on 2008 in 28 villages within 7 provinces in Indonesia. Using logit model, the study show that the more educated labor force of farm households tend to increase the probability to sale the farmland. The negative factors to sale the farmland were higher contribution of farming both on household income and employment. Key words : decision, land, logit, sale.
Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Kebijakan di bidang penatagunaan lahan pertanian melibatkan berbagai aspek dalam dimensi ekonomi, sosial budaya, hukum, bahkan politik. Namun seiring dengan makin menonjolnya dimensi ekonomi dalam kehidupan masyarakat modern, aspek-aspek ekonomi semakin menonjol peranannya. Implikasinya, kebijakan di bidang penatagunaan lahan pertanian akan lebih efektif jika dibekali pemahaman yang komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pasokan dan permintaan lahan. Motivasi dari penelitian ini adalah untuk ikut berkontribusi dalam konteks tersebut, utamanya dalam penyediaan informasi yang berkaitan dengan aspek penjualan lahan oleh rumah tangga petani. Berbeda dengan di negara berkembang, pasar lahan pertanian di negara-negara maju sudah bekerja dengan baik. Informasi tentang pasar lahan, baik mengenai harga, kecenderungan, dan prospeknya disajikan secara terbuka sehingga praktek-praktek spekulasi lahan dapat ditekan. Variabel-variabel ekonomi dapat bekerja dengan baik dalam mekanisme pasar lahan pertanian sehingga berbagai bentuk inefisiensi dapat diurai akar penyebabnya dan diminimalkan (Savills, 2009; Drozd, 2002; Janssen and Pflueger, 2009). Bagi petani, lahan adalah aset paling berharga. Peranannya sangat penting karena merupakan determinan pendapatan rumah tangga dan terutama di negara berkembang (termasuk Indonesia) seringkali berkaitan pula dengan status sosial. Oleh karena itu keputusan untuk melepaskan hak pemilikan atas lahan merupakan salah satu keputusan petani yang sifatnya strategis. Sebagian besar proses pelepasan hak pemilikan atas lahan berkenaan dengan dua hal yaitu diwariskan dan karena dijual. Pewarisan adalah peralihan hak penguasaan (pemilikan) yang berhubungan dengan suksesi dan biasanya mengacu pada sistem kelembagaan yang dianut dalam komunitas setempat. Tergantung sistem yang dianutnya, kelembagaan tersebut ada yang mengacu pada hukum adat, hukum agama, ataupun hukum negara. Di sisi lain, pelepasan hak pemilikan lahan yang terjadi akibat transaksi jual – beli pada umumnya lebih banyak berkenaan aspek ekonomi. Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa peralihan hak pemilikan lahan di pedesaan yang paling dominan adalah karena pewarisan. Hal ini dapat dilacak dari cara perolehan lahan milik. Ternyata dari seluruh persil-persil lahan milik pada komunitas petani sekitar 53 persen diantaranya berasal dari warisan. Jumlah persil lahan milik yang berasal 2
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
dari pembelian (termasuk membeli dengan harga di bawah harga pasar karena masih ada ikatan kekerabatan) adalah sekitar 40 persen (PSEKP, 2008). Peralihan hak pemilikan lahan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perubahan distribusi pemilikan lahan. Di sebagian besar perdesaan Indonesia, perubahan distribusi pemilikan lahan mempengaruhi distribusi pendapatan. Efek negatif meningkatnya ketimpangan distribusi pemilikan lahan terhadap distribusi pendapatan dapat diperkecil dengan meningkatkan kesempatan kerja non pertanian di perdesaan (Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Fenomena makin mengecilnya rataan luas penguasaan lahan pertanian merupakan persoalan yang cukup memprihatinkan karena berdampak negatif terhadap efektivitas program pembangunan pertanian (Sudaryanto et al, 2009). Dalam hal ini karena penyebab utamanya berkenaan dengan proses pewarisan maka berbagai instrumen kebijakan yang dilakukan untuk memperlambat laju fragmentasi dan mengecilnya rataan pemilikan lahan menjadi tidak efektif. Berbeda dengan peralihan pemilikan lahan akibat pewarisan, pengaruh peralihan hak pemilikan akibat jual – beli terhadap distribusi pemilikan lahan bersifat kondisional. Pada sebagian kasus mengarah pada konsolidasi penguasaan, namun tak sedikit pula yang mendorong terjadinya fragmentasi. Namun demikian untuk cakupan agregat, jual – beli lahan pertanian ikut berkontribusi pada percepatan laju penyusutan lahan pertanian karena seringkali diikuti dengan alih fungsi ke penggunaan ke aktivitas usaha atau peruntukan non pertanian. Sampai saat ini studi mengenai jual – beli lahan pertanian masih sangat langka padahal pemahaman yang lengkap tentang persoalan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi kebijakan di bidang pertanahan, terutama dalam hubungannya dengan upaya meminimalkan laju konversi lahan pertanian maupun dalam rangka mengerem laju fragmentasi lahan pertanian. Atas dasar argumen inilah penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk: (i) memperoleh gambaran mengenai keragaan penjualan lahan di kalangan rumah tangga petani, (ii) mengidentifikasi faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahan, (iii) mengidentifikasi faktorfaktor kunci yang dapat dimanfaatkan dalam perakitan instrumen kebijakan pengendalian jual – beli lahan. Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
3
METODE PENELITIAN Data Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bagian dari hasil survey dalam Konsorsium Penelitian "Karakterisrik Sosial ekonomi Petani Pada Berbagai Agroekosistem" yang dilaksanakan pada Tahun 2008. Penelitian tersebut dilakukan di 28 desa yang tersebar di 7 provinsi yaitu Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan dengan jumlah sampel 10 rumah tangga petani per desa. Pada penelitian ini jumlah sampel yang dianalisis hanya mencakup petani pemilik penggarap, sedangkan petani penggarap murni tidak dianalisis karena tidak relevan dengan topik yang dikaji. Terkait dengan itu, jumlah sampel adalah 260 rumah tangga petani pemilik penggarap. Metode Analysis Latar belakang petani menjual lahan beragam, baik antar rumah tangga petani maupun antar wilayah. Sejumlah faktor yang diduga berpengaruh antara lain adalah sebagai berikut : 1. Umur kepala keluarga, Dihipotesakan semakin tua umur kepala rumah tangga semakin besar peluangnya untuk menjual lahan karena semakin tua umur kepala keluarga semakin besar pengeluaran yang diperlukan untuk biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu – yakni ketika kebutuhan tunai yang sangat besar sangat diperlukan – rumah tangga petani terpaksa menjual lahannya. 2. Tingkat pendidikan kepala keluarga. Pengaruh variabel ini terhadap peluang petani melepas lahan pertaniannya beragam. 3. Jumlah anggota rumah tangga. Lahan merupakan salah satu ”harta pusaka” yang dalam budaya Indonesia perlu dipertahankan sebagai warisan. Terkait dengan itu dihipotesakan bahwa pengaruh variabel ini terhadap peluang menjual lahan adalah negatif. 4. Tingkat pendidikan anggota rumah tangga usia kerja. Mengacu pada kecenderungan semakin menurunnya animo angkatan muda berpendidikan untuk bekerja di pertanian maka dihipotesakan bahwa pengaruh variabel ini adalah negatif. 5. Peranan pertanian sebagai sumber lapangan kerja anggota rumah tangga. Terkait dengan sempitnya lapangan kerja di perdesaan yang tersedia maka dihipotesakan bahwa semakin besar peranan pertanian sebagai sumber lapangan kerja maka semakin kecil peluang rumah tangga petani untuk menjual lahan.
4
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
6. Peranan pertanian dalam rumah tangga. Dihipotesakan bahwa semakin besar kontribusi usahatani rumah tangga terhadap total pendapatan rumah tangga maka semakin kecil peluang rumah tangga petani tersebut untuk menjual lahan. 7. Pendapatan per kapita. Pengaruh variabel ini terhadap peluang rumah tangga petani untuk menjual lahan beragam dan sampai sekarang belum diketahui. Secara empiris terdapat kecenderungan bahwa rumah tangga perdesaan yang mampu memupuk tabungan (pendapatan per kapitanya tinggi) cenderung mengembangkan usahanya di sektor non pertanian. Terkait dengan itu dihipotesakan bahwa pengaruh pendapatan per kapita terhadap peluang menjual lahan adalah positif. 8. Rata-rata luas lahan milik per persil. Dihipotesakan bahwa semakin besar rata-rata luas lahan milik per persil semakin rendah peluangnya untuk dijual. 9. Kepadatan agraris. Oleh karena lahan bersifat multi fungsi, maka semakin tinggi kepadatan agraris maka semakin kecil peluang rumah tangga pemilik lahan untuk menjual lahannya (agar masa depan keturunannya untuk dapat memenuhi kebutuhan lahan untuk pemukiman tidak mengalami kesulitan). 10. Peubah ”dummy” wilayah. Dihipotesakan bahwa kecenderungan untuk menjual lahan pada rumah tangga perdesaan di Luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual lahan dapat ditempuh dengan serangkaian analisis tabulasi secara berantai. Namun cara ini tidak efisien dan pengaruh simultan dari beberapa variabel sekaligus tak dapat diuji dengan baik. Keputusan menjual atau tidak lahan merupakan suatu "binary outcomes". Oleh karena itu identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menjual lahan dapat didekati dengan model logistic. Model ini sudah sangat banyak dikenal dan diterapkan pada banyak penelitian di bidang teknik maupun sosial ekonomi. Beberapa terbitan tentang model logistic ini dapat diikuti misalnya pada Hosmer and Lemeshow (2000), Kleinbaum (2002), Long and Freese (2003), ataupun Helbe (2009). Selain model logistic (logit), model lain yang juga lazim digunakan dalam analisis serupa adalah model probit. Keduanya cukup memadai untuk diterapkan tetapi dalam penelitian ini yang diterapkan adalah model logit karena lebih ”robust”.
Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
5
Misalkan
p
adalah
probabilitas
dipresentasikan sebagai
petani
menjual
lahan,
Pr ( y j ≠ 0 | x j ) ≡ Pr( y j = 1| x j )
dan maka
bentuk umum model logisticnya dapat dituliskan sebagai :
pˆ ≡ P r( y = 1 | x j ) =
1+ e
(
1
− Σβ j x j + β0
)
=
e
(Σ β j x j + β 0 )
1+ e
(Σ β j x j + β 0 ) .
Dalam bentuk yang lebih sederhana, model logit pada penelitian ini dapat dipresentasikan sebagai berikut :
⎛ pˆ ⎞ ˆ ≡ log ⎜ logit(p) ⎟ = β 0 + β1 x1 + L + β10 x10 ⎝ 1 − pˆ ⎠ dimana: x1 x2
= =
x3 x4
= =
x5
=
x6
=
x7
=
x8 x9
= =
x10
=
βj
=
( )
=
p (1-p)
6
umur kepala keluarga (tahun) "tingkat pendidikan kepala keluarga" (diproksi dari jumlah tahun menempuh pendidikan formal) jumlah anggota rumah tangga (JART) "tingkat pendidikan anggota rumah tangga usia kerja" (diproksi dari total jumlah tahun menempuh pendidikan formal seluruh JART usia kerja) "peranan pertanian sebagai sumber lapangan kerja", diproksi dari jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di pertanian dibagi JART usia kerja "peranan pertanian dalam ekonomi rumah tangga", diproksi dari pangsa pendapatan rumah tangga dari pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga pendapatan per kapita, yakni pendapatan rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga (juta Rupiah per tahun per kapita) rata-rata luas lahan milik per persil (hektar) "kepadatan agraris" di masing-masing desa contoh. Ini diproksi dengan total jumlah JART seluruh rumah tangga contoh dibagi dengan total luas lahan seluruh rumah tangga contoh yang bersangkutan. peubah "dummy": 0 = pedesaan di P. Jawa, 1 = pedesaan di luar P. Jawa koefisien parameter yang akan diestimasi Odds (ratio), yakni ration antara probababilitas menjual lahan terhadap probabilitas tidak menjual lahan. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
Prosedur estimasi yang tidak bias adalah maximum likelihood dan dengan mudah dapat dieksekusi dengan berbagai program statistik seperti SPSS, SAS, STATA, dan sebagainya. Dalam penelitian ini program yang digunakan adalah STATA Version 10.1. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi umum Dalam kurun waktu 23 tahun terakhir (1985 – 2008) dari 260 rumah tangga petani ada 31 kasus (12 persen) petani yang menjual lahan. Sebarannya menurut periode menjual lahan adalah sebagai berikut (Gambar 1). Frekuensi tertinggi terjadi pada periode 2001 – 2004 (45 persen), peringkat kedua pada periode 1997 – 2000 (29 persen), sedangkan yang terendah pada periode 2005 – 2008. Sebagaimana diketahui periode 1997–2000 adalah periode krisis ekonomi sedangkan 50 periode 2001– 45 2004 adalah 45.16 40 periode pemulihan 35 meskipun secara 30 empiris sampai 29.03 25 dengan 2004 20 belum mencapai 15 status normal. Jika 16.13 10 dikaitkan dengan 9.68 5 kondisi tersebut, 0 fenomena ini sebelum 1996 1997 ‐ 2000 2001 ‐ 2004 2005 ‐ 2008 menunjukkan bahwa frekuensi Gbr 1. Frekuensi petani ( %) menurut periode penjualan lahannya penjualan lahan pertanian cenderung meningkat pada periode krisis ekonomi. Sebaran petani menurut alasannya menjual lahan adalah sebagai berikut. Persentase petani yang terpaksa menjual lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga (terutama biaya pendidikan dan kesehatan) adalah sekitar 23 persen. Petani yang menjual lahan dalam rangka memperoleh lahan yang harganya rerlatif lebih murah adalah sekitar 16 persen; di sisi lain yang menjual karena ingin memperoleh lahan yang lebih baik (meskipun harganya lebih mahal) adalah sekitar 10 persen. Petani yang menjual sebagian lahannya untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani adalah sekitar 6 persen sedangkan yang didorong oleh motif untuk memperoleh modal usaha non pertanian sekitar 3 persen. Sebagian besar (45 persen) petani menjual lahan karena alasan lain yakni kombinasi dari dua atau lebih alasan-alasan tersebut di atas serta alasan untuk membayar hutang. Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
7
Dari kasus petani yang menjual lahan, jenis lahan yang dijual dan luasannya disajikan dalam Tabel 1. Frekuensi jual tertinggi ternyata lahan sawah, sedangkan yang terendah justru lahan yang sementara tak diusahakan. Dalam hal luasan, peringkatnya dari yang tertinggi ke yang terendah adalah kebun, lahan kering, lahan yang sementara tak diusahakan, dan pekarangan. Tabel 1. Rata-rata luas lahan yang dijual menurut jenisnya. Jenis lahan yang dijual
Freq (% )
Pekarangan Sawah Kebun Lahan kering Lahan yang sementara tak diusahakan Total
22.58 29.03 19.35 22.58 6.45
Luas lahan yang dijual (Hektar) RataMinimum Maksimum rata 0.094 0.010 0.196 0.196 0.012 0.343 0.526 0.109 0.750 0.481 0.080 1.000 0.260 0.020 0.500
100.00
0.305
0.010
1.000
Petani yang menjual kebun terutama ditemukan di perdesaan Luar P. Jawa yaitu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat, sedangkan pekarangan di Lampung dan Sulawesi Utara. Untuk lahan sawah, frekuensi jual yang terbanyak adalah di Jawa Tengah, sedangkan lahan kering adalah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Di luar dugaan, frekuensi penjualan lahan di pedesaan Kalimantan Selatan ternyata justru lebih rendah. Apakah hal ini disebabkan rendahnya animo pembeli lahan (karena relatif lebih banyak tersedia atau kurang subur) atau karena sebab-sebab lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Harga jual lahan sangat bervariasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berkaitan dengan lokasinya, jenisnya, tingkat kesuburannya, kondisi topografinya, dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Bukan hanya itu, seringkali harga lahan juga bersifat local specific. Dengan demikian analisis komparasi harga lahan antar jenis lahan dan antar lokasi harus didasarkan atas jumlah observasi yang sangat besar dengan cakupan keragaman wilayah yang cukup luas. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Menjual Lahan Hasil pendugaan parameter dengan model yang diterapkan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 2. Perlu digaris bawahi bahwa interpretasi koefisien parameter pada fungsi logit agak berbeda dengan fungsi regresi linear sebagaimana lazimnya. Pada model logit, besaran koefisien parameter menunjukkan perubahan yang terjadi pada Odds 8
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
(ratio) akibat adanya perubahan dalam satu variabel xi sebesar satu unit (variabel xj lainnya konstan), sedangkan pada fungsi regresi linear secara langsung menunjukkan marginal effectnya (β = dy/dxi). Pengertian dari Odds (ratio) adalah p/(1-p) = exp (Xb) atau log(p/1-p) = Xb. Namun demikian dalam hal tanda koefisien parameter, interpretasinya serupa dengan koefisien pada regresi linear yakni menunjukkan arah perubahan yang terjadi pada "y" akibat perubahan pada "x". Tabel 2. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani menjual lahan Logistic regression Number of obs = 260 LR chi2(10) = 53.39 Prob > chi2 = 0.0000 Log likelihood = -68.308706 Pseudo R2 = 0.2810 Koefisien parameter Coef. x1 x2 x3 x4 x5
0.028*** -0.257*** -0.790*** 0.067*** -3.835***
Std.Err. 0.0190 0.0974 0.2835 0.0314 0.8982
Nilai Odds (ratio) Odds Std.Err. (Ratio) 1.029*** 0.0195 0.773*** 0.0754 0.454*** 0.1286 1.069*** 0.0335 0.022*** 0.0194
x6 -1.537*** 0.7622 0.215*** 0.1640 x7 0.033*** 0.0403 1.034*** 0.0416 x8 -1.357*** 0.8180 0.258*** 0.2107 x9 -0.156*** 0.0654 0.856*** 0.0559 x10 0.518*** 0.7227 1.678*** 1.2130 konst 4.157*** 2.1146 anta Linktest: Logistic regression Number of obs = 260 LR chi2(2) = 53.93 Prob > chi2 = 0.0000 Log likelihood = -68.033926 Pseudo R2 = 0.2839 -----------------------------------------------------------------------------juallahankah | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------_hat | 1.183158 .3151228 3.75 0.000 .5655288 1.800787 _hatsq | .0576083 .0738568 0.78 0.435 -.0871483 .2023649 _cons | .0506837 .3685539 0.14 0.891 -.6716685 .773036 -----------------------------------------------------------------------------Goodness-of-fit test: number of observations = 260 number of covariate patterns = 260 Pearson chi2(249) = 224.90 Prob > chi2 = 0.8614
Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
Marginal effects dy/dx
P>|z|
X
0.001*** -0.012*** -0.038*** 0.003*** -0.183***
0.150 0.005 0.003 0.021 0.000
54.069 5.650 4.500 23.277 0.769
-0.073*** 0.002*** -0.065*** -0.007*** 0.023***
0.054 0.419 0.110 0.014 0.449
0.645 5.530 0.297 8.893 0.708
9
* = nyata pada α = 0.1,
** = nyata pada α = 0.05,
*** = nyata pada α = 0.01
Dari Tabel 2 tampak bahwa dari hasil linktest diketahui "_hat"=nyata sedangkan "_hatsq" = tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa spesifikasi model sudah cukup baik (tidak ada masalah). Pada uji goodness of-fit juga dapat disimpulkan bahwa model yang diterapkan cukup baik. Dari sepuluh variabel penjelas yang dihipotesakan mempengaruhi keputusan petani menjual lahan, ada 6 variabel yang berpengaruh nyata. Dari enam variabel tersebut yang koefisien parameternya positif ada satu yaitu x4, sedangkan lima variabel lainnya bertanda negatif (x2, x3, x5, x6, dan x9). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan faktor-faktor sifatnya meredam "willingness to sale" lahan. Menyimak hasil estimasi parameter tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 1. Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin kecil peluang untuk mudah menjual lahan. Ini menunjukkan bahwa proses pelepasan lahan melalui penjualan adalah lebih banyak terjadi di kalangan petani dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Dalam konteks ini, Odds rationya yakni peluang menjual dibanding peluang tidak menjual (p/(1-p)) adalah 0.77 dengan marginal effect sebesar −0.012. Artinya, jika tingkat pendidikan naik satu unit maka (p/(1-p)) sebesar (0.012 dikalikan rata-rata x2). 2. Peluang menjual lahan akan lebih kecil terjadi pada rumah tangga petani dengan jumah anggota rumah tangga yang lebih banyak. Nilai odds ratio-nya adalah 0.454 dengan marginal effect −0.038. 3. Semakin tinggi tingkat pendidikan anggota rumah tangga usia kerja (x4) maka semakin besar peluang terjadinya penjualan lahan. Dalam hubungannya dengan variabel x4 ini nilai odds ratio-nya adalah 1.069 dengan marginal effect 0.003. 4. Pengaruh x5 adalah negatif. Artinya jika di desa tersebut peranan pertanian dalam menyerap tenaga kerja semakin besar maka peluang petani di desa yang bersangkutan untuk menjual lahan menjadi semakin kecil. Dengan kata lain, kontribusi nyata sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja dapat berperan sebagai peredam laju penjualan lahan pertanian. Dalam hal ini nilai odds-nya adalah 0.022, sedangkan marginal effectnya 0.183. 5. Menyimak pengaruh variabel x6, dapat diinterpretasikan bahwa jika peranan pertanian dalam ekonomi rumah tangga semakin besar maka peluang petani yang bersangkutan untuk menjual lahannya menjadi semakin kecil. Pada nilai rata-rata x6 sebesar 0.645 (64.5 10
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
persen), nilai odds (ratio)-nya adalah 0.215, sedangkan marginal effectnya adalah -0.073. 6. Koefisien parameter x9 yang negatif menunjukkan bahwa meningkatnya kepadatan agraris dapat menjadi penghambat laju penjualan lahan. Mengingat bahwa meningkatnya kepadatan agraris lazimnya diikuti meningkatnya harga lahan maka fenomena ini secara implisit menunjukkan bahwa harga lahan bukan determinan utama yang mendorong atau mengerem keinginan petani menjual lahan. Umur KK, pendapatan per kapita, rata-rata luas lahan per persil, dan variabel "dummy" wilayah tidak berpengaruh nyata. Ini menunjukkan bahwa dalam hubungannya dengan variabel-variabel tersebut, peluang terjadinya penjualan lahan cenderung acak. Dengan kata lain, perbedaan kelompok usia petani tidak berimplikasi terhadap peluang terjadinya penjualan lahan. Demikianpun dengan pendapatan per kapita, perbedaan tingkat pendapatan per kapita juga tidak berpengaruh pada peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani. Pengaruh variabel "dummy" yang positif tetapi tidak nyata mengindikasikan bahwa frekuensi jual – beli lahan di perdesaan luar Pulau Jawa tidak berbeda dengan apa yang terjadi di perdesaan Pulau Jawa. Faktor-Faktor Kunci Dalam konteks ini yang dimaksud faktor-faktor kunci adalah himpunan variabel penjelas (explanatory variables) yang secara teoritis cukup potensial sebagai instrumen kebijakan dan secara empiris variabel tersebut terbukti berpengaruh nyata. Dari analisis tersebut di atas ternyata ada tiga variabel yang dapat dikategorikan sebagai faktor kunci yaitu: (i) tingkat pendidikan angkatan kerja (x4), (ii) peranan pertanian dalam penyerapan tenaga kerja (x5), dan (iii) peranan pertanian sebagai mata pencaharian rumah tangga (x6). Tingkat pendidikan angkatan kerja dapat dikategorikan sebagai faktor kunci karena: (i) pendidikan merupakan salah satu variabel secara teoritis maupun secara empiris merupakan instrumen kebijakan dalam pengembangan kualitas tenaga kerja khususnya, dan sumberdaya manusia pada umumnya, (ii) secara empiris tingkat pendidikan kaum mempengaruhi minat kaum muda untuk tetap bertahan di usahatani ataukah justru keluar dari sektor pertanian. Peranan usahatani baik dalam ekonomi rumah tangga maupun dalam penyediaan lapangan kerja sangat relevan dikategorikan sebagai faktor kunci. Dari pertimbangan teoritis maupun empiris adalah logis. Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
11
Berpijak pada hasil analisis yang menunjukkan bahwa pengaruh x4 bersifat diametral dengan pengaruh x5 dan x6; jika sasaran kebijakan adalah mengerem laju penjualan lahan maka strategi yang harus ditempuh adalah bagaimana mereduksi pengaruh x4 sementara itu pada saat yang sama memperkuat pengaruh sinergis x5 dan x6. Ini cukup rumit karena x4 (tingkat pendidikan formal angkatan kerja) merupakan salah satu variabel kunci untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam konteks yang lebih luas. Pendalaman analisis kualitatif mengenai kecenderungan meningkatnya dorongan menjual lahan pada rumah tangga petani yang anggota rumah tangga usia kerjanya lebih tinggi ternyata terkait dengan dua hal berikut. Pertama, oleh karena produktivitas kerja di pertanian lebih rendah maka minat sebagian besar kaum muda perdesaan pada pekerjaan pertanian cenderung melemah (Sumaryanto dkk, 2008). Kedua, adanya persepsi bahwa pekerjaan di pertanian kurang prospektif untuk memperbaiki pendapatan rumah tangga. Berpijak dari argumen tersebut maka strategi yang diperlukan adalah meningkatkan pendapatan usahatani yang tidak berdampak negatif pada penyerapan tenaga kerja pertanian. Jika hal itu dapat diwujudkan maka yang terbentuk bukan saja meningkatnya efek sinergis x5 dan x6 tetapi juga dapat mereduksi pengaruh x4. Pertanyaan berikutnya adalah: teknologi apa yang mempunyai karakteristik seperti itu? Sudah barang tentu jawabannya membutuhkan pengkajian lebih lanjut; namun logis jika dinyatakan bahwa diversifikasi usahatani dan teknik-teknik budidaya pertanian yang lebih mengutamakan bio teknologi sebagai basis peningkatan produktivitas perlu lebih diprioritaskan daripada yang berbasis mekanisasi pertanian. Beberapa temuan penelitian empiris (misalnya pada Saliem dan Supriyati, 2006 ataupun Sumaryanto, 2006) diperoleh kesimpulan bahwa diversifikasi usahatani memenuhi sebagian besar dari kriteria tersebut di atas. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, strategi ini juga sinergis dengan upaya memantapkan ketahanan pangan (Sumaryanto, 2009). Dengan demikian diversifikasi usahatani dapat diprioritaskan sebagai salah satu strategi untuk mengerem laju penjualan lahan di kalangan petani.
12
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Meskipun lahan merupakan aset yang sangat strategis bagi petani namun beberapa petani menjual lahan. Alasan menjual lahan beragam, namun yang terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga lebih menonjol dari pada alasan yang terkait dengan motif perbaikan taraf hidup melalui perpindahan profesi. Sebagian besar dari faktor-faktor sosial ekonomi yang diamati mempengaruhi keputusan petani menjual lahan terkait dengan tingkat pendidikan dan peranan pertanian dalam kehidupan rumah tangga petani. Terdapat kecenderungan yang nyata bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan anggota rumah tangga usia kerja maka semakin besar peluang rumah tangga petani yang bersangkutan untuk menjual lahan. Di sisi lain, peluangnya menjadi semakin kecil jika pertanian dapat diandalkan sebagai sumber lapangan kerja dan sumber pendapatan rumah tangganya. Strategi kebijakan yang dipandang efektif untuk mengerem laju penjualan lahan di kalangan petani adalah peningkatan peran usahatani sebagai andalan ekonomi perdesaan. Dalam konteks ini, sebagai saran diversifikasi usahatani layak diprioritaskan. Selain itu, mengingat adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin tinggi pula peluang rumah tangga petani untuk menjual lahan maka upaya-upaya khusus yang ditujukan untuk meningkatkan apresiasi kaum muda terhadap pentingnya peranan pertanian dalam perekonomian negara perlu dilakukan. Hal ini membutuhkan program-program aksi yang secara konkrit mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja di pertanian sehingga kaum muda tertarik untuk bekerja di pertanian.
Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
13
DAFTAR PUSTAKA Drozd, D.J. 2002. Saunders County, Nebraska Real Estate Sales Analysis of The Farmland Market, Including Farmland Conversion to Acreages Near Lincoln and Omaha, Nebraska. Thesis (unpublihed), University of Nebraska. Helbe, J. 2009. Logistic Regression Models. Chapman & Hall/CRC, 656 p. Hosmer, D. W. Jr., and S. Lemeshow. Regression. 2nd ed. New York: Wiley.
2000.
Applied Logistic
Janssen, L. and B. Pflueger. 2009. South Dakota Agricultural Land Market Trends 1991–2009. The 2009 SDSU South Dakota Farm Real Estate Survey, South Dakota State University, Agricultural Experiment Station, U.S. Department of Agriculture. Kleinbaum, D. G. and M. Klein. 2002. A Self - Learning Text. 2nd ed. New York: Springer. Long, J. S. and J. Freese. 2003. Regression Models for Categorical and Limited Dependent Variables Using Stata. rev. ed. College Station, TX: Stata Press. PSEKP. 2008. Konsorsium Penelitian "Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Agroekosistem. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Savills Research, 2009. Agricultural Land Market Survey 2009. Rural Property and Business Research Services. London. Saliem, H. P. dan Supriyati. 2006. Diversifikasi Usahatani dan Tingkat Pendapatan Petani di Lahan Sawah. Dalam: Suradisastra dkk (Penyunting). Diversifikasi Usahatani Dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Monograph Series No. 27. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Sudaryanto, T., and Sumaryanto. 2008. Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural Economist International Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008. Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. 2009. Increasing Trend of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE - IAAE Seminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 26 June, 2009.
14
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Menjual Lahan
Sumaryanto. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menerapkan Pola Tanam Diversifikasi: Kasus di Wilayah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas. Dalam: Suradisastra dkk (Penyunting). Diversifikasi Usahatani Dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Monograph Series No. 27. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah Utama, Disajikan Dalam Seminar Memperi-ngati Hari Pangan Sedunia Yang Diselenggarakan Di Jakarta Pada Tanggal 1 Oktober 2009.
Informatika Pertanian Volume 19 No. 2, 2010
15