1
Faktor Dominan Penyebab Stunting Usia 12-23 Bulan di Posyandu Terpilih Kelurahan Depok Tahun 2014 Fitriatul Isnaini, Yvonne M. Indrawani Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Stunting atau kependekan (PB/U <-2 SD) merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan linier yang banyak muncul di wilayah negara berkembang termasuk Indonesia. Stunting mengancam kesehatan, mengurangi kesempatan pencapaian pendidikan dan pendapatan tinggi. Potensi genetik stunting yang menurun memperpanjang risiko stunting antargenerasi. Stunting dapat jelas teramati ketika anak-anak. Intervensi dini diperlukan untuk menurunkan prevalensi stunting dan dampak. Penelitian ini melibatkan 133 pasang ibu dan bayi di enam posyandu. Penelitian menggunakan desain potong lintang untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan. Penelitian dimulai pada 10 April sampai 5 Mei 2014. Uji chi-square mendapati tinggi badan ibu, panjang lahir anak, berat lahir anak, asupan zink, dan riwayat infeksi adalah faktor-faktor yang berhubungan bermakna terhadap stunting. Hasil analisa multivariat menunjuk asupan zink sebagai faktor dominan terhadap stunting pada anak usia 12-23 bulan. Peneliti menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan suatu program suplementasi bagi ibu yang melanjutkan menyusui hingga anak berusia dua tahun.
Dominant Factor Caused Stunting Aged 12-23 Months in Selected Posyandu Depok Districts 2014 Abstract Stunting or short stature (HAZ<-2 SD) is a linear growth failure that largely occur in developing countries included Indonesia. Stunting is a main malnutrition problem that threatening health, reducing high-education level attainament and income level. Stunting has a phenotype potential that genetically given from parents that causing a long-bad short stature cycle, called intergenerational cycle. Stunting can clearly observe in children. Early intervation is needed for cutting down stunting prevalence and reducing effects. This study aim for finding factor that most contribute to stunting aged 12-23 months by using a cross sectional design. It started on April 10 th until May 5th 2014. There was 133 pairs mother-child who completely involved in this study. This study reported that 21,8% toddler are stunting. Chi-square anlysis found maternal height, child birth-length, child birth-weight, zinc intake, and infection frequent are factors related to stunting. Furthermore, multivariate anlysis result showed that zinc intake as dominant factor related to stunting aged 12-23 months. It suggest for stakeholder to consider a supplementation program for mother who countinous suckling until her toddler aged two years old. Keywords: aged 12-23 months; maternal height; stunting; zinc intake
Pendahuluan
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
2
Stunting merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan linier akibat kekurangan asupan yang bersifat kronik. Balita berstatus stunting atau pendek apabila hasil pengukuran tinggi badan terhadap umur menunjukkan angka di bawah minus dua standar deviasi menurut standar populasi (de Onis et al., 2006). Indonesia masuk dalam peringkat kelima negara berkembang dunia yang memiliki prevalensi balita stunting terbanyak (UNICEF, 2009). Riset kesehatan dasar Indonesia melaporkan bahwa selama tiga tahun terakhir (2010-2013) terjadi peningkatan prevalensi stunting balita dari 35,6% menjadi 37,2% dan 18,5% diantaranya termasuk kategori severe stunting atau sangat pendek (Kemenkes, 2013). Stunting bertanggung jawab atas kesakitan dan kematian usia dini. Bloem et al. (2013) menyatakan bahwa satu dari dua kematian dini dialami oleh balita stunting. Konsekuensi stunting tidak hanya berlaku selama masa anak-anak, tetapi dapat berlanjut selama masa dewasa. Seseorang yang memiliki riwayat stunting pada usia dini cenderung memiliki tinggi badan lebih rendah ketika dewasa (Garza, et al., 2013). Status stunting mengurangi keterlibatan seseorang untuk mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi apabila kejar tumbuh gagal dilakukan. Penelitian Daniels & Adair (2004) menemukan bahwa stunting pada umur dua tahun bertanggung jawab terhadap penundaan masuk sekolah, peningkatan pengulangan kelas, dan peningkatan berhenti sekolah. Lebih lanjut, stunting usia dini mengurangi peluang seseorang memperoleh pendapatan yang lebih tinggi (Victora et al., 2008). Selain mengancam perekonomian, Eckhardt et al. (2006) menjelaskan kekurangan zat gizi mikro pada dewasa stunting melahirkan gangguan adaptasi metabolik yang meningkatkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular. Upaya penanggulangan stunting balita telah dilakukan, namun prevalensi stunting masih tinggi. Kota Depok memiliki prevalensi balita stunting yang lebih kecil dari angka nasional. Namun, pada tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi balita stunting dari 8,14% (2011) menjadi 20,75%. Khusus pada kelompok umur 12-24 bulan, laporan hasil penimbangan balita tingkat kelurahan di Kota Depok menunjukkan bahwa Kelurahan Depok merupakan kelurahan yang memiliki prevalensi stunting tertinggi (22,3%). Besaran kasus stunting, dampak stunting, dan potensi stunting yang dapat berulang pada seseorang dan antargenerasi membuat peneliti tertarik untuk mengetahui faktor dominan penyebab stunting pada umur 12-23 bulan di wilayah kerja Kelurahan Depok Kota Depok tahun 2014.
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
3
Tinjauan Teoritis Dua tahun pertama kehidupan adalah periode kritis pertumbuhan yang berhubungan dengan kemampuan hidup seseorang ketika dewasa (Barker 2008). Kegagalan pertumbuhan pada dua tahun pertama adalah bentuk kerusakan permanen yang konsekuensi itu dapat ditemui di masa mendatang dan cenderung berulang pada generasi berikutnya (Martorell & Zongrone, 2012). Lejarraga (2002) menjelaskan dua tahun pertama kehidupan adalah periode kecepatan pertumbuhan pesat sekaligus permulaan perlambatan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan yang terjadi pada dua tahun pertama kehidupan adalah faktor yang menentukan tinggi badan akhir ketika dewasa. Hasil penelitian Garza et al. (2013) menunjukkan seseorang yang mengalami stunting pada dua tahun pertama kehidupan berisiko mengalami stunting ketika dewasa. Eckhardt et al. (2006) menjelaskan kekurangan zat gizi mikro pada dewasa stunting melahirkan gangguan adaptasi metabolik yang meningkatkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular. Stunting pada anak di bawah umur dua tahun menunjukkan riwayat kegagalan pertumbuhan linier yang bermula sejak sebelum lahir dan berlanjut setelah lahir. Mekanisme stunting melibatkan beberapa faktor, baik faktor genetik maupun lingkungan yang masing-masing memiliki alur spesifik. Mekanisme stunting anak melibatkan faktor genetik yang bermula sejak konsepsi dan faktor lingkungan yang berlanjut setelah anak lahir. Tinggi badan ibu adalah capaian pertumbuhan ibu yang juga menggambarkan riwayat status gizi dan ekonomi ibu di masa lalu. Potensi pertumbuhan ibu dapat diterima oleh anak. Stunting merupakan kondisi kegagalan pertumbuhan linier yang melibatkan fenotip ibu sebagai penanggung jawab “cetakan” kapasitas pertumbuhan anak sejak konsepsi dan selama dalam kandungan (Tanner et al, 1970 dalam Hernández-Díaz et al, 1999). Sehingga ada kecenderungan bahwa ibu pendek (<150,1 cm) akan melahirkan anak pendek (Wells, 2013). Kondisi ibu selama hamil dan pertumbuhan janin dapat diukur dan diamati dari ukuran kelahiran. Bayi cukup bulan yang terlahir pendek (panjang lahir <48 cm) atau kecil (berat lahir <3000) menunjukkan riwayat kegagalan pertumbuhan yang telah berlangsung selama dalam kandungan ibu (Cameron, 2002; ). Kegagalan pertumbuhan dapat kembali terulang apabila bayi tumbuh pada lingkungan yang tidak menguntungkan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap stunting adalah asupan gizi dan riwayat infeksi. Asupan gizi adalah total komponen atau zat-zat gizi yang sengaja dimasukkan dalam tubuh baik
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
4
berupa padatan dan cairan yang berperan menghasilkan energi untuk menjalankan dan mempertahankan fungsi normal organ tubuh dan bertumbuh (Norgan, 2002). Stunting merupakan kondisi kurang gizi akibat asupan yang tidak adekuat yang telah berlangsung lama. Defisit asupan protein dan mineral mikro seperti kalsium, zat besi, dan seng disebut-sebut bertanggung jawab atas gangguan fungsi pertumbuhan memanjang. Sebagai media transportasi, protein mengantarkan mineral ke dalam sel atau jaringan tubuh untuk menjamin fungsi bertumbuh dan berkembang tetap berjalan normal. Sumber protein hewani cenderung mengandung tinggi protein, kalsium, zat besi, dan zink (Almatsier, 2009; Gibson, 2012; Schuette & Olson, 1988). Kekurangan konsumsi produk hewani merupakan faktor kuat penyebab stunting anak (Darapheak et al. 2013; Ghosh et al., 2013). Kesakitan atau infeksi menyebabkan gangguan pertumbuhan dengan cara mengalihkan fungsi zat-zat gizi untuk bertumbuh menjadi modal penyembuhan. Ketika infeksi, tubuh mengalami peingkatan metabolisme, sehingga kebutuhan gizi meningkat. Padahal gangguan pencernaan dan anoreksia dapat muncul sebagai efek dari pelepasan sitokin yang berlebih, yaitu bahan pertahanan tubuh yang menekan nafsu makan. Sehingga kehilangan berat badan biasa dialami oleh anak yang sakit. Kehilangan berat badan dapat berlanjut pada hambatan pertumbuhan linier dan menyebabkan stunting apabila infeksi berlangsung lama (Shetty, 2010; Dewey & Mayers, 2011; Norgan, 2002).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional, bersifat deskriptif dan observasional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian berlangsung sejak 10 April sampai 5 Mei 2014, bertempat di enam posyandu terpilih Kelurahan Depok. Penelitian ini melibatkan 133 responden, yaitu ibu-ibu yang memiliki anak usia 12-23 bulan dan tinggal bersama anak dalam satu rumah. Kriteria sampel penelitian adalah anak-anak berusia genap 12-23 bulan terhitung sejak penelitian dilakukan yang terlahir cukup bulan, jenis kelahiran tunggal, dan tidak menderita kelainan konginetal atau tidak cacat. Instrumen pengumpulan data berupa length board untuk mengukur panjang badan anak, mikrotoise untuk mengukur tinggi badan aktual ibu, kuesioner dan formulir food recall 1 x 24 jam yang memuat riwayat makanan anak termasuk frekuesi anak menyusu dalam sehari semalam.
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
5
Hasil Penelitian Hasil analisis univariat menunjukkan gambaran prevalensi stunting anak usia 12-23 bulan adalah 21,8% dengan nilai rata-rata panjang badan menurut umur sebesar -1,13 ± 1,06 SD. Proporsi stunting antara laki-laki dan perempuan berturut-turut adalah 21,7% dan 21,9%. Hasil analisis bivariat mendapati ada kecenderungan prevalensi stunting bertambah seiring kelompok umur. Prevalensi stunting usia 18-23 bulan mencapai 31,7%, sementara usia 12-17 bulan adalah 12,9%. Berdasarkan analisis chi-squre variabel independen, penelitian ini mendapati ada enam variabel yang terbukti berhubungan bermakna terhadap stunting. Lima variabel independen dalam kategori berisiko, yaitu tinggi badan ibu (<150,1 cm), panjang lahir anak (<48 cm), berat lahir anak (<3000 gram), asupan zink (<4 mg), dan riwayat infeksi berulang (≥6 kali dalam 6 bulan terakhir) menunjukkan nilai risiko lebih besar terhadap stunting. Sementara hasil statistik variabel praktik MPASI dini memiliki nilai risiko lebih rendah, sehingga berlawanan dengan teori yang ada. Variabel independen lainnya seperti praktik ASI tidak eksklusif, kurang keragaman konsumsi, defisit asupan protein, kalsium, zat besi, dan pola asuh kurang baik memiliki kecenderungan sebagai penyebab stunting, walaupun dalam penelitian ini tidak mendapati hubungan secara statistik. Rekapitulasi hasil analisis bivariat disajikan dalam tabel 1.1 Tabel 1.1 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Status gizi indeks PB/U No.
Variabel Independen
Kategori
Stunting
Total
Normal
p value
n
%
n
%
n
%
Kurang (<150,1cm)
21
36,2
37
63,8
58
100
Cukup (≥150,1cm)
8
10,7
67
89,3
75
100
Kurang (< 48 cm)
12
42,9
16
57,1
29
100
Cukup (≥48 cm)
17
16,2
88
83,8
104
100
Kurang (<3000 g)
13
34,2
25
65,8
38
100
Baik (≥3000 g)
16
16,8
79
83,2
95
100
Tidak eksklusif
27
22,3
94
77,7
121
100
Eksklusif
2
16,7
10
83,3
12
100
Dini (<6 bulan)
17
16,8
84
83,2
101
100
Tepat waktu 12 *p-value ≤0,05 berarti variabel bermakna secara statistik
37,5
20
62,5
32
100
1 2 3 4 5
Tinggi Badan Ibu Panjang Lahir Berat Lahir Praktik ASI MPASI
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
0,001* 0,005* 0,050* 1,000 0,026*
6
Tabel 1.1 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Status gizi indeks PB/U No.
Variabel Independen
Kategori
Stunting
Total
Normal
p-value
n
%
n
%
n
%
Tidak beragam
25
23,6
81
76,4
106
100
Beragam
4
14,8
23
85,2
27
100
Kurang (<26 g)
19
27,1
51
72,9
70
100
Cukup (≥26 g)
10
15,9
53
84,1
63
100
Kurang (<650 mg)
27
25,5
79
74,5
106
100
Cukup (≥650 mg)
2
7,4
25
92,6
27
100
Kurang (<8 mg)
27
24,8
82
75,2
109
100
Cukup (≥8 mg)
2
8,3
22
91,7
24
100
Kurang (<4 mg)
28
27,2
75
72,8
103
100
Cukup (≥4 mg)
1
3,3
29
96,7
30
100
Kurang baik
6
27,3
16
72,7
22
100
Baik
23
20,7
88
79,3
111
100
Sering (≥6 kali)
20
32,8
41
67,2
61
100
Jarang (<6 kali) 9 *p-value ≤0,05 berarti variabel bermakna secara statistik
12,5
63
87,88
72
100
6 7 8 9 10 11 12
Keragaman Konsumsi
Asupan Protein Asupan Kalsium Asupan Zat Besi Asupan Zink Pola asuh Riwayat Infeksi
0,469 0,173 0,077 0,136 0,011* 0,691 0,009*
Setelah mendapati nilai kemaknaan masing-masing variabel independen terhadap stunting, analisis dilanjutkan dalam analisis multivariat uji regresi logistik ganda model prediksi. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap stunting. Sebelum analisis multivariat dilakukan, langkah pertama adalah menyeleksi variabel independen berdasarkan p-value. Variabel independen yang berhak masuk dalam pemodelan multivariat adalah variabel yang memiliki p-value hasil regresi sederhana adalah <0,25. Bila ada variabel yang dinilai berpengaruh secara substansi namun syarat p-value tidak terpenuhi, maka variabel tersebut dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam model multivariat. Hasil seleksi bivariat mendapati delapan variabel yang layak masuk pemodelan multivariat yaitu variabel tinggi badan ibu, panjang lahir anak, berat lahir anak, riwayat infeksi, asupan protein, kalsium, zat besi, dan zink. Langkah kedua adalah mempertahankan variabel yang memiliki p-value <0,05 dan mengeluarkan secara bertahap variabel dengan p-value >0,05. Pengeluaran variabel dilakukan satu persatu dimulai dari variabel dengan p-value tertinggi. Variabel yang dikeluarkan adalah asupan zat besi, asupan kalsium, asupan protein, dan berat lahir anak. Setiap satu variabel yang diduga tidak
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
7
cukup berpengaruh dikeluarkan, peneliti mengamati perubahan nilai odds ratio masing-masing variabel yang tersisa dalam model. Apabila peneliti mendapati perubahan nilai odds ratio lebih besar dari 10%, maka variabel yang semula keluar dapat kembali masuk dalam pemodelan. Sebaliknya, variabel independen resmi keluar dari model bila tidak didapati perubahan nilai odds ratio mencapai 10%. Rekapitulasi perubahan nilai odds ratio (∆OR) disajikan dalam tabel 1.2 Tabel 1.2 Perubahan Nilai OR (∆OR) Variabel Independen ∆OR1*
∆OR2*
∆OR3*
∆OR4*
Panjang lahir
1,2
3,6
10,5
14,8
Berat lahir
1,1
5,4
3,9
Tinggi badan ibu
0,7
3,4
7,2
Asupan protein
1,6
3,4
Asupan kalsium
7,2
Variabel Independen
10,4 5,7
9,2
28,9
25,2
13,2
Asupan zat besi Asupan zink
7,2
65,8
Riwayat infeksi 1,2 4,9 3,8 *∆OR1 = Perubahan nilai OR setelah variabel asupan zat besi dikeluarkan ∆OR2 = Perubahan nilai OR setelah variabel asupan zat besi dan asupan kalsium dikeluarkan ∆OR3 = Perubahan nilai OR setelah variabel asupan zat besi dan asupan protein dikeluarkan ∆OR4 = Perubahan nilai OR setelah variabel asupan zat besi dan berat lahir dikeluarkan
7,8
Berdasarkan tabel 1.2, perubahan nilai OR kurang dari 10% hanya ditemukan ketika variabel asupan zat besi dikeluarkan, sehingga variabel asupan zat besi harus keluar dari pemodelan multivariat. Sementara variabel asupan kalsium, asupan protein, dan berat lahir anak dapat kembali masuk dalam pemodelan. Tabel 1.3 menyajikan hasil pemodelan akhir multivariat. Tabel 1.3 Hasil Pemodelan Akhir Multivariat Uji Regresi Logistik Ganda p-value
OR
Panjang lahir
0,028
3,581
95% CI OR Lower Upper 1,165 11,009
Berat lahir
0,166
2,121
0,736
6,113
Tinggi badan ibu
0,004
4,807
1,687
13,693
Asupan protein
0,255
0,504
0,158
1,615
Asupan kalsium
0,337
0,267
0,022
3,298
Asupan zink
0,029
51,263
2,055
1279
Riwayat infeksi
0,010
3,907
1,405
10,862
Variabel Independen
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
8
Penentuan variabel dominan dilakukan dengan cara melihat nilai OR tertinggi dari masingmasing variabel independen, terutama variabel independen yang memiliki p-value <0,05. Berdasarkan tabel 1.3, variabel asupan zink adalah variabel dominan penyebab stunting pada anak usia 12-23 bulan (p=0,029; OR=51,263).
Pembahasan Tinggi Badan Ibu Tinggi badan ibu menyimpan potensi pertumbuhan yang akan diterima oleh anak (Tanner et al, 1970 dalam Hernández-Díaz et al, 1999). Potensi genetik ibu yang terukur dari tinggi badan ibu akan diturunkan kepada anak sejak anak berada dalam kandungan. Kramer et al. (1987) menjelaskan bahwa ibu pendek memiliki risiko lebih besar untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah sebagai bentuk dari riwayat genetik dan pertumbuhan fisik yang tidak optimal selama kehamilan. WHO reference 2007 menetapkan tinggi badan minimum perempuan dewasa usia ≥19 tahun adalah 150,1 cm. Ibu dikatakan pendek apabila tinggi badan ibu terukur <150,1 cm. Hasil penelitian ini mencatat bahwa 43,6% ibu adalah pendek, sementara ada 56,4% ibu yang cukup tinggi. Hasil analisis bivariat mendapati ada hubungan antara tinggi badan ibu terhadap stunting anak. Anak dari ibu pendek berisiko mengalami stunting sebesar 4,8 kali lebih besar dibanding anak dari ibu normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penenlitian Addo et al. (2013) dengan desain kohort di lima negara termasuk Filipina dan Asia Selatan yang menunjukkan bahwa ibu pendek (<150.1 cm) berisiko 3,2 kali memiliki anak stunting pada umur dua tahun. Panjang Lahir Panjang lahir adalah hasil kumulasi dari interaksi berbagai faktor dengan faktor genetik sebagai faktor dominan, sementara tinggi badan pada usia berikutnya adalah hasil kumulasi yang didominasi oleh faktor lingkungan (Cameron, 2002). Panjang lahir merupakan kumulasi interaksi dari faktor gizi orang tua, terutama ibu, yang dimulai sejak konsepsi dan ditentukan selama dalam kandungan. Bier (2008) menjelaskan peningkatan pertumbuhan panjang badan ketika dua tahun pertama meningkat 75% dan menyumbang 50% tinggi badan akhir ketika dewasa. Bayi yang terlahir stunting (panjang lahir < 48 cm) akan kesulitan mengejar ketinggalan ketika memasuki usia pubertas (Lejarraga, 2002).
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
9
Hasil penelitian mencatat 21,1% anak memiliki panjang lahir kurang (<48 cm), sementara 78,9% anak terlahir dengan panjang normal. Hasil analisis bivariat mendapati hubungan antara panjang lahir anak dengan capaian panjang badan anak usia 12-23 bulan. Bayi yang terlahir pendek (panjang lahir <48 cm), memiliki risiko menjadi stunting pada usia 12-23 bulan sebesar 3,8 kali daripada bayi dengan panjang lahir normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan Ambarwati (2012) dan Anugraheni (2012). Berat Lahir Berat lahir adalah berat pertama bayi yang diperoleh setelah lahir. Pada kelahiran hidup, anjuran penimbangan berat lahir dilakukan tidak lebih dari satu jam pertama setelah bayi lahir (UNICEF, 2004). Berat lahir merupakan hasil kontribusi total penambahan berat badan ibu selama hamil sesuai usia gestasi sekaligus merupakan hasil pertumbuhan janin selama berada dalam kandungan (Cameron, 2008). Barker (1998) menjelaskan janin yang mengalami kekurangan gizi selama periode trimester awal lebih berisiko terlahir dengan berat rendah. Riwayat kegagalan tumbuh yang diterima oleh janin tercermin dalam ukuran berat badan lahir di bawah normal (<10 persentil). Bayi yang terlahir cukup bulan (usia gestasi >37 minggu) dikatakan berisiko apabila memiliki berat badan lahir rendah (<2500 gram) dan berat badan lahir kurang (2500-2999 gram) (ACC/SCN, 2000). Seseorang dengan riwayat berat lahir rendah berisiko memiliki tubuh lebih pendek atau stunting dari sebayanya (Stein et al., 2010). Penelitian ini mendapati ada 3,8% anak terlahir dengan berat lahir rendah (<2500), 24,8% anak berat lahir kurang (2500-2999 gram), dan 71,4% anak berat lahir baik (≥3000 gram). Hasil bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara berat lahir kurang (<3000 gram) dengan stunting. Anak yang memiliki riwayat berat lahir kurang berisiko 2,6 kali mengalami stunting daripada anak dengan berat lahir baik (≥3000 gram). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setyorini (2013) dan Fitri (2012) yang menemukan hubungan bermakna antara berat lahir (<3000 gram) dengan stunting di Depok dan Sumatera. Praktik ASI Praktik ASI merupakan praktik pemberian minuman bergizi pertama yang penting dalam membantu bayi bertahan hidup dan berkembang (Gupta, 2010). ASI menyediakan zat-zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral kalsium, dan zat besi dalam jumlah cukup. ASI juga mengandung komponen non-gizi seperti imunoglobulin, lisozim, laktoferin, dan enzim lipase
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
10
yang berguna sebagai protektor infeksi (Karmer 2004; Adriani & Wirjatmadi, 2012). WHO (2008) meyakini bahwa pemberian ASI saja atau eksklusif mampu memenuhi kebutuhan bayi sejak lahir sampai usia enam bulan. Keberadaan antibodi dalam ASI berperan melindungi bayi terhadap serangan infeksi dan mencegah bayi mengalami malnutrisi. Setelah genap enam bulan, bayi mulai berkenalan dengan makanan lunak yang berlanjut pada makanan padat setelah genap satu tahun. Hasil penelitian mendapati bahwa hanya 9% anak menerima ASI secara eksklusif, 86,5% anak masih menyusu sampai usia 6 bulan, 67,7% anak yang masih melanjutkan menyusu meskipun usia telah mencapai 1 tahun, sementara 3,8% anak tidak pernah diberikan ASI. Penelitian ini tidak mendapati ada hubungan antara kelompok anak ASI eksklusif dan anak tidak ASI eksklusif terhadap stunting. Namun, terlihat bahwa prevalensi stunting pada anak tidak ASI eksklusif (22,1%) lebih besar daripada anak ASI (18,2%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ambarwati (2012), Nurdin (2012), Anugraheni (2012), dan Wiyogowati (2012). Namun, tidak sejalan dengan Marriott et al. (2013) yang mendapati bahwa menyusui eksklusif selama enam bulan pertama berhubungan signifikan dengan penurunan kondisi kurang berat badan menurut umur (underweight), dan pada kelompok ibu berpendidikan cukup hubungan signifikan juga berlaku pada penurunan stunting. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa praktik ASI eksklusif tidak menjamin kualitas dan kuantitas yang diterima oleh setiap bayi adalah sama, sebab diketahui adanya variasi baik pada kuantitas maupun kualitas ASI. Kuantitas ASI dipengaruhi oleh isapan bayi sebagai stimulus prolaktin untuk memproduksi ASI. Selanjutnya, menyoal kualitas, ASI adalah hasil konversi zat gizi pada ibu sebesar 80-90% yang berasal dari makanan ibu sehari-hari atau berasal dari cadangan tubuh ibu. Dengan kata lain, komponen ASI bergantung pada kualitas asupan ibu. Selain itu, status gizi ibu selama menyusui juga berpengaruh pada kualitas dan kuantitas ASI. Hasil penelitian Soliman et al. (2014) mendapati komposisi energi total dan volume ASI dari ibu yang kurang gizi adalah lebih rendah daripada ibu yang bergizi baik. Pemberian MPASI Depkes (2006) mendefinisikan bahwa MPASI adalah pemberian makanan atau minuman yang mengandung zat gizi untuk membatu memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. WHO (2008) menganjurkan bahwa bayi mulai menerima MPASI ketika berusia 6 bulan. Pada usia 6-8 bulan,
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
11
frekuensi pemberian MPASI adalah 2-3 kali, kemudian meningkat menjadi 3-4 kali ketika telah memasuki usia 9 bulan. Makanan selingan dapat diberikan 1-2 kali pada usia berikutnya (Dewey, 2003). Hasil penelitian ini mencatat bahwa 75,9% anak telah menerima MPASI sebelum usia enam bulan atau MPASI dini. Susu formula (58,6%) dan pisang (45,1%) adalah jenis MPASI yang paling banyak diterima oleh anak sebelum usia enam bulan. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara pemberian MPASI dengan stunting anak (OR=0,139-0,818). Hasil ini tidak sejalan dengan Anugraheni (2012). Pemberian MPASI dini dapat berkontribusi dalam pertambahan total asupan harian anak yang berakibat pada penambahan berat badan anak. Pertambahan berat badan akan beriringan dengan penambahan tinggi badan, sehingga memungkinkan anak dengan MPASI dini tumbuh lebih besar pada tahun pertama kehidupan (Kramer, et al., 2011; Agarwal, et al., 2013). Namun, pemberian MPASI dini bertanggung jawab atas peningkatan risiko obesitas dan kesakitan lebih besar ketika dewasa (Agostoni & Turck, 2011). Risiko ini berlaku apabila anak semula memiliki riwayat lahir kecil, tetapi kemudian tumbuh besar terlalu cepat sebab penerimaan total asupan lebih besar dari kapasitas metabolik anak (Wells, 2013) Keragaman Konsumsi Keragaman konsumsi makanan dapat dinyatakan dengan mengonsumsi minimal satu jenis makanan pokok, satu jenis lauk hewani, dan satu jenis sayur atau buah dalam sehari (WHO, 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan 79,7% anak mengonsumsi makanan yang tidak beragam. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara keragaman konsumsi terhadap stunting. Walaupun demikian, penelitian ini mendapati bahwa stunting sedikit lebih banyak dialami oleh anak dengan konsumsi tidak beragam. Hasil penelitian ini menunjukkan anak yang tidak mengonsumsi lauk hewani dan sayur atau buah rutin berisiko 1,7 kali mengalami stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Darapheak et al. (2013) yang membuktikan bahwa konsumsi pangan hewani mampu mengurangi risiko stunting anak di Cambodia. Konsumsi susu dan olahannya merupakan faktor pengganggu pada penelitian ini, sebab hasil analisa lanjut mendapati bahwa anak tidak mengonsumsi susu atau produk olahannya minimal sekali dalam seminggu berisiko mengalami stunting sebesar 2,3 kali lebih besar.
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
12
Asupan Protein Protein adalah media transportasi zat-zat gizi yang memenuhi bagian semua sel hidup setelah air. Protein berperan utama untuk membangun dan memelihara sel-sel jaringan (Almatsier, 2009). Kebutuhan asupan protein meningkat ketika periode tumbuh. Pada kelompok anak-anak, kebutuhan asupan protein meningkat mencapai 1,66 – 2 g/kg berat badan (Uauy, 2013). Anjuran ini lebih besar bila dibandingkan dengan kebutuhan asupan protein ketika dewasa yaitu sekitar 0,8 – 1 g/kg berat badan. Berdasarkan angka kecukupan gizi Indonesia (2013), anak umur 12-23 bulan memerlukan asupan protein sebesar 26 gram perhari. Hasil penelitian mencatat rata-rata asupan protein responden adalah 26,97 ± 9,96 g. Hasil analisis kategorik mendapati bahwa 47,4 % responden masuk dalam kategori asupan protein cukup, sementara 52,6 % lainnya adalah kurang. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara asupan protein dengan stunting. Walaupun demikian, ada kecenderungan anak yang kurang asupan protein mengalami stunting (27,1 %) daripada anak yang cukup asupan protein (15,9 %). Thompson et al. (2011) menyebutkan bahwa selain jumlah asupan protein yang cukup, kombinasi asam amino esensial dan nonesensial merupakan persyaratan yang juga harus terpenuhi untuk menjamin fungsi pertumbuhan dan pemeliharaan berjalan normal. Lebih lanjut, Uauy (2013) menjelaskan bahwa kebutuhan asam amino esensial per gram protein meningkat untuk kelompok anak-anak. Asam amino esensial berfungsi sebagai katalisator, penguat imunitas dan pertumbuhan. Keberadaan jenis dan proporsi asam amino menentukan kualitas protein. Asam amino esensial dapat ditemukan pada kelompok protein hewani dalam jumlah cukup. Kurpad (2013) menyarankan bahwa kualitas protein dapat menjadi pertimbangan utama sebelum menyatakan asupan protein telah adekuat. Asupan Kalsium Kalsium adalah jenis mineral makro pengatur hormon-hormon, faktor pertumbuhan, dan sebagai mineral utama dalam pembentukan tulang. Bersama fosfor, kalsium bertanggung jawab atas pertumbuhan tulang memanjang atau linier (Schuette & Olson, 1988). AKG (2013) menganjurkan asupan kalsium sehari untuk anak usia 12-23 bulan adalah 650 mg. Hasil penelitian mencatat asupan rata-rata responden adalah 455,77 ± 318,78 mg. Ada 79,7% responden tidak memenuhi anjuran asupan kalsium. Hasil analisis bivariat tidak mendapati
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
13
hubungan antara asupan kalsium terhadap stunting (p>0,05). Walaupun demikian, terlihat ada kecenderungan bahwa anak yang memiliki asupan kalsium rendah (25,5%) lebih banyak mengalami stunting. Stunting adalah hasil kegagalan pertumbuhan panjang badan akibat penurunan perkembangan dan pematangan kondrosit tulang, bagian tulang yang bertugas merespon hormon pertumbuhan dan mengawal proses pembentukan tulang. Keberadaan kondrosit tulang terbatas pada kesediaan kalsium dalam bentuk pool (cadangan). Defisit kalsium yang berlangsung lama menyebabkan gangguan respon kondrosit tulang. Kondisi ini berlanjut pada perlambatan pertumbuhan tulang panjang dan berakhir pada stunting (Branca and Ferari, 2002). Asupan Zat Besi Zat besi adalah jenis mineral mikro yang bertugas mengangkut elektron dan oksigen, serta membantu aktivasi enzim. Efisiensi absorpsi zat besi yang berasal dari makanan adalah 12-15%, kecuali zat besi dalam ASI yang mampu diabsorbsi sebanyak 50% (Hallberg, 1988). Ada dua bentuk zat besi dalam makanan, yaitu bentuk besi-hem dari makanan hewani dan besi-nonhem dari nabati. Absorpsi besi-hem dapat mencapai 25% sementara besi-nonhem hanya 5% (Almatsier, 2009). AKG 2013 menganjurkan asupan minimum zat besi usia 12-23 bulan adalah 8 mg. Hasil penelitian ini mendapati rata-rata asupan zat besi anak usia 12-23 bulan adalah 4,81 ± 4,13 mg. Hasil analisis kategori univariat mencatat 81,9% anak termasuk dalam kategori asupan zat besi kurang. Hasil analisis bivariat tidak mendapati adanya hubungan antara asupan zat besi dengan stunting, walaupun demikian persentase anak dengan asupan kurang yang mengalami stunting lebih besar (24,8%) daripada anak berasupan zat besi cukup (8,3%). Hasil ini memunculkan ada kecenderungan anak dengan asupan kurang zat besi untuk mengalami stunting. Hubungan asupan zat besi terhadap stunting adalah tidak langsung. Anemia dan infeksi adalah kondisi kesakitan yang memperantarai kurang asupan zat besi dengan stunting. Anemia, kondisi kekurangan oksigen dalam darah, terjadi apabila zat besi tubuh tidak cukup untuk mengangkut oksigen. Pada kondisi infeksi, ketersediaan zat besi yang memadai menjamin respon pertahanan sel berlangsung baik (Hallberg, 1988). Sehingga, anak yang memiliki riwayat anemia dan infeksi cenderung stunting (Ejaz & Latif, 2010). Asupan Zink
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
14
Zink adalah zat gizi mikro esensial yang mendukung fungsi protein. Zink berlaku sebagai katalis kerja lebih dari tiga ratus enzim dalam sistem metabolik (Nair & Choudhury, 2013). Bila dalam tubuh bayi tidak tersedia zink yang cukup, maka aktivasi gen pertumbuhan akan terganggu yang berlanjut pada stunting (Thompson, et al. 2011). AKG (2013) menganjurkan asupan zink sehari untuk anak usia 12-23 bulan adalah 4 mg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77,4% sampel belum mengasup cukup zink. Rata-rata asupan zink sampel adalah 3,25 ±1,5 mg. Hasil analisis bivariat menunjukkan asupan zink memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap stunting. Risiko stunting akan diterima oleh anak yang kurang asupan zink sebesar 10,8 kali lebih besar dibanding anak yang cukup zink. Pada analisis lanjut, hasil penelitian ini menunjuk asupan zink sebagai faktor dominan yang bertanggung jawab atas kejadian stunting anak usia 12-23 bulan. Gibson (2012) menjelaskan bahwa asupan zink tidak adekuat adalah penyebab utama kekurangan zink dalam sebuah populasi. Pada kelompok anak-anak, kekurangan zink menyebabkan gangguan pertumbuhan panjang badan. Ketika asupan zink tidak adekuat, cadangan zink tubuh akan berkurang, dan kecepatan pertumbuhan berkurang sebagai upaya penghematan untuk mempertahankan keseimbangan zink tubuh. Kekurangan asupan zink umumnya disebabkan oleh sedikit mengonsumsi daging, unggas, dan ikan. Selain diketahui sebagai sumber protein hewani, kelompok makanan tersebut menyediakan zink dalam jumlah banyak dan siap cerna. Pola Asuh Pola asuh adalah praktik pencegahan kesakitan, pemeliharaan kesehatan dan gizi. Pola asuh penelitian ini meliputi kunjungan posyandu tiga bulan terakhir, imunisasi, pertolongan ketika anak diare, praktik memasak, menyiapkan makan, mengasuh, mencuci tangan, kebiasaan sarapan, frekuensi makan utama dan camilan. Pola asuh diduga berhubungan dengan status gizi anak (Zeitlin, 2000). Hasil pengukuran pola asuh ibu terhadap anak adalah cukup baik dengan nilai rata-rata pola asuh yang tepat mencapai 81,5%. Sedikitnya ada 58,6% ibu telah berhasil menerapkan pola pengasuhan sesuai anjuran. Hasil analisis bivariat penelitian ini tidak mendapati ada hubungan antara pola asuh terhadap stunting, walaupun persentase anak stunting pada kelompok pola asuh kurang baik adalah sedikit lebih besar (25,5%). Hasil penelitian ini sejalan dengan Rahmah (2007) bahwa pola asuh tidak berhubugan dengan status gizi indeks PB/U, tetapi pola asuh
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
15
berhubungan dengan status gizi indeks BB/U. Anak yang kurus memiliki riwayat asuh yang kurang baik. Hal ini tidak berlaku pada anak stunting. Masithah, dkk (2005) mendapati bahwa pola asuh sebatas berhubungan dengan kesakitan dan kecukupan asupan, bukan terhadap status gizi. Riwayat Infeksi Infeksi adalah kondisi subklinik yang mengganggu fungsi normal tubuh. Pada anak, infeksi ditandai dengan gangguan sistem pencernaan yang bila berangsur lama dapat menyerang fungsi metabolik dan mengganggu pertumbuhan (Dewey & Mayers, 2011). Ketika infeksi menyerang, respon imun atau sistem pertahanan tubuh akan aktif dan menproduksi sitokin-sitokin dalam jumlah banyak. Peningkatan sitokin memberi efek samping berupa menekan nafsu makan (Shetty, 2010). Anoreksia atau hilang nafsu makan mendukung penurunan asupan drastis selama infeksi (Norgan, 2002). Stunting merupakan suatu bentuk klinik dari gangguan pertumbuhan akibat mekanisme adaptasi yang terjadi selama infeksi. Anak dikatakan memiliki riwayat infeksi yang berisiko stunting apabila infeksi terjadi berulang minimal satu bulan sekali dan berlangsung minimal tiga hari per periode sakit (Besral, 2011). Hasil penelitian ini mencatat ada 49,6% responden sering mengalami infeksi (infeksi ≥6 kali), 45,9% responden jarang sakit (1-5 kali), dan 4,5% responden mengaku tidak pernah mengalami infeksi dalam enam bulan terakhir. Pada analisis bivariat, riwayat infeksi dibagi dalam dua kategori yaitu kategori berisiko stunting (infeksi ≥6 kali) dan tidak berisiko (infeksi <6 kali). Hasil bivariat mendapati ada hubungan antara riwayat infeksi enam bulan terakhir terhadap stunting anak usia 12-23 bulan (P<0,05). Anak yang lebih sering mengalami infeksi (≥6 kali), berisiko stunting sebesar 3,4 kali daripada anak yang jarang sakit. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Besral (2011) dan Rosmanindar (2013). Hasil analisa Checkley et al. (2008) mengungkapkan bahwa 25% anak stunting memiliki riwayat lima kali atau lebih terhadap infeksi (diare) pada dua tahun pertama kehidupan mereka.
Kesimpulan Penelitian ini mendapati bahwa asupan zink, tinggi badan ibu, panjang lahir ank, berat lahir anak, dan riwayat infeksi yang berulang berhubungan dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan. Asupan zink merupakan faktor dominan penyebab stunting setelah dikontrol enam faktor lainnya
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
16
yaitu asupan kalsium, asupan protein, tinggi badan ibu, panjang lahir ank, berat lahir anak, dan riwayat infeksi. Selain itu, penelitian ini mendapati bahwa kecukupan asupan protein tidak menjamin kecukupan mineral. Risiko stunting lebih besar ditemui pada anak yang defisit asupan mineral daripada protein.
Saran Mengingat bahwa peran zat gizi mikro cukup dominan, peneliti menyarankan suatu pertimbangan untuk program penyediaan gizi mikro yang tidak terbatas pada ibu hamil dan nifas tetapi juga pada ibu menyusui, sebab status gizi ibu yang baik selama menyusui dapat mendukung pemberian ASI eksklusif yang berkualitas. Selain itu, edukasi gizi juga diberikan kepada remaja dan wanita usia subur agar lebih memperhatikan asupan dan status gizi sebelum memasuki pernikahan dan kehamilan. Pada lingkup yang lebih kecil, peneliti mengharapkan ada edukasi tentang makanan lokal pendamping ASI yang mengandung cukup mineral bagi anak yang memasuki usia enam bulan dan edukasi tentang praktik pencegahan penularan penyakit infeksi anak. Bagi akademisi, peneliti berharap ada penelitian lanjutan yang fokus pada jenis asam amino esensial dan mineral mikro lain yang berpengaruh terhadap stunting dengan desain studi yang lebih baik. Daftar Referensi ACC/SCN. (2000). 4th Report on The World Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN in collaboration with IFPRI. Addo, O.Y. et al. (2013). Maternal Height and Child Growth Patterns. Journal of Pediatric. Vol. 163, No. 2. pp 549554.e1 Adriani, M. & Wirjatmadi, B. (2012). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana Agarwal, K.N., Agarwal, Dev K., Gupta, A. & Bansal, A.Kr. (2013). Relationship of Exclusive Breast Feeding for 6 mo to Linear Growth up to 18 mo of Age. Indian J Pediatr (January 2013) 80(1):11–15 Agostoni, C. & Truck, D. (2011). Is Cow’s Milk Harmful to a Child’s Health? JPGN 53(6), pp 594–600 Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ambarwati, R.R. (2012). Hubungan Panjang Badan Lahir, Konsumsi Makanan & Faktor Lainnya dengan Kejadian Stunting pada anak usia 7-35 bulan di Tiga Posyandu Kelurahan Depok. Skripsi S1, FKM UI, Depok. Anugraheni, H.N. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Skripsi S1, FK Undip, Semarang. Barker D.J.P, (2008). Human Growth and Cardiovascular Disease. Barker D.J.P., et al. (ed.), The Window of Opportunity: Pre-Pregnancy to 24 Months of Age. Nestlé Nutr Workshop Ser Pediatr Program, vol 61, pp 21–38 ______. (1998). In utero programming of chronic disease. Clinical Science, 115–128 Besral. (2011). Efek Program Keluarga Harapan terhadap Status Gizi Anak Usia di bawah Tiga Tahun pada Rumah Tangga Miskin di Jawa Barat. Disertasi S3, FKM UI, Depok.
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
17
Bier, D.M. (2008). Growth in the First Two Years of Life. Barker D.J.P., et al. (ed.), The Window of Opportunity: Pre-Pregnancy to 24 Months of Age. Nestlé Nutr Workshop Ser Pediatr Program, vol 61, pp 135–144 Bloem, M. W., et al. (2013). Key strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: Lessons from the ASEAN countries workshop. Food and Nutrition Bulletin, vol. 34, no. 2. The United Nations University. Branca, F. & Ferrari, M. (2002). Impact of Micronutrient Deficiencies on Growth: The Stunting Syndrome. Ann Nutr Metab 46(suppl 1), pp 8–17 Brown, J.E. (2011). Nutrition Through The Life Cycle. 4th ed. USA: Wadsworth Cadwell, K. & Turner-Maffei, C. (2008). Pocket Guide for Lactation Management. [Terjemahan]. Tiar, Estu. (penerj). Jakarta: Penenrbit buku kedokteran EGC. Cameron, N. (2002). Human Growth and Development.USA: Academic Press An Elsevier Science Company ______. (2008). The Biologi of Growth. Barker D.J.P., et al. (ed.), The Window of Opportunity: Pre-Pregnancy to 24 Months of Age. Nestlé Nutr Workshop Ser Pediatr Program, vol 61, pp 1–19 Checkley, W. et al. (2008). Multi-country analysis of the effects of diarrhoea on childhood stunting. International Journal of Epidemiology 37, pp 816–830 Daniels & Adair (2004). Growth in Young Filipino Children Predicts Schooling Trajectories through High School. J. Nutr. June 1, 2004 vol. 134 no. 6 , pp 1439-1446 de Onis, M. et al. (2006). WHO child growth standards: length/height-for-age, weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and development. the WHO Multicentre Growth Reference Study Group. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2006). Pedoman umum pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI) lokal. Jakarta: Anthor. Dewey, K.G. (2003). Guiding principles for complementary feeding of the breastfeed child. Washington, DC: PAHO/WHO Dewey, K.G. & Mayers, D.R. (2011). Early child growth: how do nutrition and infection interact? Maternal and Child Nutrition 7 (Suppl. 3), pp. 129–142 Eckhardt, C. L. (2006). Micronutrient malnutrition, obesity, and chronic disease in countries undergoing the nutrition transition: Potential links and program/policy implications. International food policy research institute, food consumption and nutrition division discussion paper 213. http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/fcndp213.pdf diakses pada 16/2/2014 Ejiz, M.S. & Latif, N. (2010). Stunting and micronutrient deficiencies in malnourished children. J Pak Med Assoc, pp 543-547 Fitri. (2012). Berat Lahir sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stnting pada Balita (12-59 bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis S2, FKM U, Depok. Garza, et al. (2013). Parental height and child growth from birth to 2 years in the WHO Multicentre Growth Reference Study. the WHO Multicentre Growth Reference Study Group. Maternal and Child Nutrition 9 (Suppl. 2), pp. 58–68. JohnWiley & Sons Ltd Ghosh, S. (2013). Assessment of protein adequacy in developing countries: quality matters. Suri, D. et al. (ed.), Protein Quality Workshop Importance of Protein Quality in Prevention and Treatment of Child Malnutrition. Food and Nutrition Bulletin, vol. 34, no. 2, pp 244-246 Gibson, R.S. (2012). Zinc deficiency and human health: etiology, health consequences, and future solutions. Plant Soil 361:291–299 Gupta, A., Dachich, J.P. & Faridi, M.M.A. (2010). Breastfeeding and Complementary Feeding as a Public Health Intervention for Child Survival in India. Indian Journal of Pediatrics, Volume 77, pp 413-418 Hastono, Sutanto Priyo. (2006). Analisis Data. Depok: FKM UI. Hastono, Sutanto Priyo. (2006). Analisis Multivariat. Depok: FKM UI. Hernández-Díaz, et al. (1999). Association of maternal short stature with stunting in Mexican children: common genes vs common environment European Journal of Clinical Nutrition 53, pp 938–945 Hoffman D.J. & Lemos, Thaisa. (2013). Undernutrition Early in Life and Adult Health: Influence of Metabolism and Body Composition. Lumey L.H. & Veiserman, Alexander (ed.), Early Life Nutrition and Adult Health Development Lesson from changing patterns, famines, and experimental studies. pp 7-27. Nova Science Publishers, Inc. Kramer, M.S. (1987). Determinants of low birth weight: Methodological assessment and meta-analysis. Bulletin of WHO, 65 (5), pp 663-737 Kramer, M.S. et al. (2011). Breastfeeding and Infant Size: Evidence of Reverse Causality. American Journal Epidemiology 173(9), pp 978–983
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
18
Kurpad, A. (2013). Overview of changing protein and amino acid requirements and application to pregnancy requirements. Suri, D. et al. (ed.), Protein Quality Workshop Importance of Protein Quality in Prevention and Treatment of Child Malnutrition. Food and Nutrition Bulletin, vol. 34, no. 2, pp 234-236 Lejarraga, H. (2002). Growth in Infancy and Childhood: A Pediatric Approach. Cameron, N. (ed.), Human Growth and Development. Chapter 2, pp 21-44. Masithah, T., Soekirman, & Martianto, D. (2005). Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak batita di Desa Mulyaharja. Media Gizi & Keluarga, 29 (2), hal 29-39 Marriott, et al. (2012). World Health Organization (WHO) infant and young child feeding indicators: associations with growth measures in 14 low-income countries. Maternal and Child Nutrition 8, pp. 354–370. Blackwell Publishing Ltd Martorell, R. & Zongrone, A. (2012). Intergenerational influences on child growth and undernutrition. Paediatr Perinat Epidemiol 26(Suppl1), pp 302-14. Nair, K.M. & Choudhury, D.R. (2013). Zinc nutrition in health and diseases. Journal of SAT Agricultural Research 11. pp 1-6. Norgan, N.G. (2002). Nutrition and Growth. Cameron, N. (ed.), Human Growth and Development. pp 139-164. USA: Academic Press An Elsevier Science Company. Nurdin, Hasmini. (2012). Hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi umur 6-12 bulan di puskesmas perawatan MKB Lompoe Kota Parepare tahun 2012. Skripsi S1, FKM UI, Depok. Rahmah, F. (2007). Hubungan pola asuh dan penyakit infeksi dengan status gizi balita setelah mengikuti pos gizi di kelurahan Mulyaharja Kota Depok Tahun 2007. Skripsi S1, FKM UI, Depok. Rosmanindar, E. (2013). Asupan protein sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada anak 7 – 36 bulan di wilayah Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok tahun 2013. Tesis S2, FKM UI, Depok. Schroeder, D. G., Martorell, R., & Flores, R. (1999). Infant and child growth and fatness and fat distribution in Guatemalan adults. American Journal of Epidemiology, 149, pp 177–185. Schuette, S.A. & Linkswiler, H.M. (1998). Calcium. Robert E. Olson et al (ed). Present Knowledge in Nutrition 5th Edition. [Terjemahan] Nasution, A.H., dkk (penerj). 1 Jakarta: Gramedia Setyorini, E. (2013). Kunjungan antenatal pertama (K1) ibu hamil sebagai faktor dominan terhadap kejadian stunting anak batita (0-36 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok tahun 2013. Tesis S2, FKM UI, Depok. Shetty, P. (2010). Nutrition, Immunity and Infection. UK: Cambridge University Press. Soliman, S.M., Soliman, A.M. & Bakr, M.S. (2014). Relationships between maternal nutritional status, quantity and composition of breast milk in Egypt. African Journal of Agricultural Science and Technology (AJAST) Vol. 2, Issue 2, pp 59-64 Stein, A.D., et al. (2010). Growth patterns in early childhood and final attained stature: data from five birth Cohorts from low- and middle-income countries. Am J Hum Biol 22, pp 353-9. diakses pada 26 Februari 2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19856426 Thompson, J.L., Manore, M.M. & Vaughan, L.A. (2011). The Science of Nutrition 2nd ed. San Fransisco: Pearson Education, Inc. Uauy, R. (2013). Keynote: Rethinking protein. Suri, D. et al. (ed.), Protein Quality Workshop Importance of Protein Quality in Prevention and Treatment of Child Malnutrition. Food and Nutrition Bulletin, vol. 34, no. 2, pp 228-233 UNICEF. (2009). Tracking Progress on Child and Maternal Nutritiona Survival and Development Priority. New York: Author. UNICEF & WHO. (2004). Low Birthweight: Country, regional and global estimates. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. New York: Author. Victora, C.G., et al. (2008) the Maternal and Child Undernutrition Study Group: Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. Lancet 371, pp 340–357. Wells, J.C. (2013). Famine and the Thrifty Phenotype. Lumey L.H. & Veiserman, Alexander (ed.), Early Life Nutrition and Adult Health Development Lesson from changing patterns, famines, and experimental studies. pp 29-55. Nova Science Publishers, Inc. Whitney, E & Rotfes, S.R. (2011). Understanding of Nutrition. Wadsworth: Cengage Learning WHO MGRS Group. (2006). WHO Child Growth Standards based on length/height, weight and age. Acta Pædiatrica, Suppl 450, pp 76-85
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014
19
WHO. (2008). Indicators for assessing infant and young child feeding practices: conclusions of a consensus meeting held 6–8 November 2007 in Washington D.C., USA. ______. (2008). WHO child growth standards : training course on child growth assessment. http://www.who.int/childgrowth/training/module_b_measuring_growth.pdf ______. (2000). Complementary feeding: Family foods for breastfeed children. Geneva, Switzerland: Author. Zeitlin, Marian. (2000). Peran Pola Asuh Anak: Pemanfaatan hasil studi penyimpangan positif untuk program gizi. Laporan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (VII). Jakarta: LIPI
Faktor dominan..., Fitriatul Isnaini, FKM UI, 2014