DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA 24-59 BULAN DI KELURAHAN CIMAHPAR, KECAMATAN BOGOR UTARA
DENA AULIA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016
Dena Aulia NIM I14120041
ABSTRAK DENA AULIA. Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Tujuan penelitian adalah mengetahui determinan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara. Rancangan penelitian adalah cross sectional study dengan contoh 90 anak. Metode penarikan contoh yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2016. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, berat badan lahir, besar keluarga, pendidikan ibu dan ayah, pendapatan perkapita, pengetahuan ibu, tinggi badan ibu, pola asuh makan, praktik kebersihan diri, pemanfaatan pelayanan kesehatan, sarana sanitasi, kondisi rumah, frekuensi dan lama sakit ISPA, frekuensi dan lama sakit diare. Hasil analisis regresi logistik menujukkan bahwa tinggi badan ibu <150.1 cm berisiko lebih tinggi memiliki anak stunting (OR=17.227; 95% CI 4.055-73.186); anak yang memiliki frekuensi ISPA yang rendah berisiko menjadi stunting lebih rendah (OR=0.099; 95% CI 0.025-0.386); anak yang memiliki lama ISPA yang rendah berisiko menjadi stunting lebih rendah (OR=0.202; 95% CI=0.055-0.744); semakin tinggi pendapatan perkapita risiko anak menjadi stunting semakin rendah (OR=0.056; 95% Cl=0.005-0.636); ibu yang memanfaatkan pelayanan kesehatan berisiko lebih rendah memiliki anak stunting (OR=0.956; 95% CI 0.921-0.993). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa secara bersama-sama kelima variabel tersebut berpengaruh terhadap kejadian stunting (P=0.000;R2=0.610). Kata kunci : Stunting, tinggi badan ibu, frekuensi dan lama ISPA, pendapatan perkapita, pemanfaatan pelayanan kesehatan ABSTRACT DENA AULIA. Determinant Stunting among Children of Age 24 to 59 Months at Cimahpar Village in Bogor Utara Sub-District. Supervised by DRAJAT MARTIANTO. The study aims to identify the determinants of stunting among children aged 24 to 59 months at Cimahpar Village in Bogor Utara Sub-Distric. The design of this study was a cross sectional study. Which involves 90 childrens. The sampling method was purposive sampling, data collected in April-May 2016. Variables examined in this study were age, gender, birth weigt, family size, parents education level, family income per capita, mother’s knowledge, mother’s height, child feeding practice, personal hygiene, access to health services, sanitation, housing conditions, frequency and duration of ISPA, frequency and duration of diarrhea. Logistic regression analyses indicate that children whose mother's height was < 150.1 cm had higher odds of being stunted (OR=17.227; 95% CI 4.055-73.186); children with low frequency of acute respiratory infection were less likely to be stunted (OR=0.099; 95% CI 0.025-0.386); children with low duration of acute respiratory infection were less likely to be stunted (OR=0.202; 95% CI=0.0550.744); those with maternal had high income were less likely to be stunted
(OR=0.056; 95% Cl=0.005-0.636); those with maternal had access to health service were less likely to be stunted (OR=0.956; 95% CI 0.921-0.993). Relationships between dependent variable that there is correlation (P=0.000;R2=0.610) between independent variable in logistic regression. Keywords: Stunting, mother’s height, frequency and duration acute respiratory infection, income, access to health service
DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA 24-59 BULAN DI KELURAHAN CIMAHPAR, KECAMATAN BOGOR UTARA
DENA AULIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul : Nama : NIM :
Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara Dena Aulia I14120041
Disetujui oleh
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yaitu Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara. Karya ilmiah ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar dalam memberikan bimbingan, motivasi, perhatian dan semangat kepada penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan arahan dengan sabar selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 4. Pihak Kelurahan Cimahpar, Ibu Dian ahli gizi puskesmas Bogor Utara dan kader posyandu Kelurahan Cimahpar yang senantiasa membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Kedua orang tua penulis Ayah H. Anang dan Ibu Koyah, serta kakak dan adikadik Kak Sita, Hafiz, Fauzi dan Azzam yang telah memberikan doa, semangat, nasihat, motivasi, dan pengorbanan serta kasih sayang kepada penulis. 6. Teman-teman Dita, Iken, Nur, Vivi, Malikhah, dan Ani yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman Amida, Anna, Anggia, Chintia, Elza, Fitriyani, Linda, Novia, Novie, Putri, Reisya, Harki, Imam, Kafa, Ricky, dan Yoga yang senantiasa memberikan doa, bantuan, semangat dan dukungan moril kepada penulis. 8. Keluarga besar Gizi Masyarakat 49 (AKG) atas segala do’a, bantuan, semangat dan kasih sayangnya selama ini kepada penulis. 9. Seluruh dosen dan staff Gizi Masyarakat yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan berharga sebagai bekal menempuh masa depan. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2016
Dena Aulia
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Desa Cimahpar Karakteristik Anak Karakteristik Keluarga Pola Asuh Makan Pola Asuh Kesehatan Sarana dan Sanitasi Lingkungan Status Kesehatan Konsumsi Pangan Uji beda antara karakteristik anak, karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sarana dan sanitasi lingkungan, riwayat sakit, tingkat kecukupan energi dan protein pada anak stunting dan anak normal Keterkaitan antara tinggi badan ibu, frekuensi ISPA, lama ISPA dan pendapatan perkapita SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii
vii viii ix 1 1 2 3 3 4 4 7 7 7 9 10 14 15 15 15 17 21 23 26 27 28 31
37 40 40 41 42 49 51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Sebaber 17 Sebantoh 18 19 20 21 22 23 24 25
Jenis dan teknik pengumpulan data Jenis dan kategori variabel pengolahan data Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan berat badan lahir dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan tinggi badan ibu dan status gizi Rata-rata jawaban benar pengetahuan ibu berdasarkan status gizi anak Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan ibu dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi Median praktik kebersihan diri berdasarkan status gizi anak Sebaran contoh berdasarkan praktik kebersihan diri dan status gizi SSebaran contoh berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan sarana sanitasi dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan kondisi rumah dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan rata-rata lama sakit dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan pola konsumsi pangan dan status gizi Hasil analisis multivariat regresi logistik empat variabel yang bermakna dengan kejadian stunting
9 12 16 16 16 17 17 18 19 19 20 21 22 23 24 24 25 26 27 27 28 28 29 30 40
DAFTAR GAMBAR 1 2
Kerangka pemikiran Kerangka Pengambilan Contoh
6 8
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Dokumentasi penelitian Hasil uji SPSS
49 50
ix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah gizi dapat mencakup dua hal yaitu kelebihan gizi dan kekurangan gizi. Kelebihan gizi terkait dengan overweight dan obesitas, sedangkan kekurangan gizi dikelompokkan ke dalam wasting, underweight dan stunting. Permasalahan gizi biasanya berfokus pada berat badan, namun saat ini masalah stunting menjadi prioritas utama (Schmidt 2014). Hal ini disebabkan oleh perubahan berat badan dapat berlangsung secara cepat seperti karena terjadinya sakit dan kelaparan, sedangkan stunting (pendek) merupakan permasalahan gizi jangka panjang dan merupakan pertumbuhan yang terjadi secara permanen atau sulit untuk diperbaiki kembali (WHO 2015). Kekurangan gizi yang dicerminkan oleh rendahnya tinggi badan terhadap umur atau stunting merupakan suatu kondisi terjadinya gangguan/retardasi pada pertumbuhan linier dengan nilai z-score kurang dari -2 SD menurut baku rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting adalah masalah multi-kausal akibat dari proses kumulatif retardasi pertumbuhan yang tidak hanya dipengaruhi oleh kekurangan pangan pada rentan waktu singkat namun juga terkait dengan sosial ekonomi, kesehatan dan faktor lainnya (Ortiz et al. 2013). Faktor penyebab stunting dibagi ke dalam dua kelompok yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang menyebabkan stunting adalah asupan zat gizi tubuh dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi risiko terjadinya stunting adalah ketersediaan pangan, pola asuh ibu dan sanitasi lingkungan. Selain itu, faktor genetik juga dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita. Penelitian yang dilakukan Ortiz et al. (2013) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting. Intervensi untuk menurunkan angka stunting dilakukan dengan intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi ini tercantum dalam Gerakan 1000 HPK yang dilakukan oleh pemerintah. Hal yang dapat berpengaruh secara spesifik terhadap penurunan kejadian stunting yaitu pemberian ASI eksklusif, pemberian MP ASI, asupan suplemen zat gizi mikro untuk ibu hamil dan menyusui, suplemen zat gizi mikro untuk anak, pemberian obat cacing pada anak, pemberian vitamin A, fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro, pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi dan anak-anak. Intervensi yang bersifat sensitif yaitu intervensi pola hidup bersih dan sehat, stimulus psikososial bagi bayi dan anakanak, keluarga berencana, kebun gizi di rumah/di sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan, serta bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan terkait kesehatan dan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa stunting dapat dicegah melalui intervensi yang bersifat spesifik maupun yang bersifat sensitif. Menurut data Riskesdas pada tahun 2013 persentase balita severe stunting (sangat pendek) dan moderate stunting (pendek) yang terdapat di Indonesia adalah sebesar 37.3% yaitu terdiri atas moderate stunting sebesar 19.2% dan severe stunting sebesar 18.1%. Persentasi balita stunting tidak mengalami penurunan
2
dibandingkan pada tahun 2007 dan 2010 yaitu sebesar 36.8% dan 35.6%. Jika jumlah balita di Indonesia adalah 23 708 844 maka dapat diperkirakan terdapat lebih dari 8 juta balita stunting di Indonesia. Penelitian Jahari (2008) mengindikasikan bahwa stunting pada balita merupakan masalah gizi terbanyak di Provinsi Jawa Barat diikuti balita dengan berat badan rendah dan balita kurus. Kelurahan Cimahpar merupakan kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah kelurahan Cimahpar menurut Laporan Tahunan Kecamatan Cimahpar Tahun 2015 adalah 4.4 km2. Jumlah penduduk kelurahan Cimahpar pada tahun 2015 adalah sebanyak 15 952 jiwa dengan kepadatan penduduk 3 626 per km2. Kelurahan ini merupakan kelurahan dengan angka stunting tertinggi di Kota Bogor dengan prevalensi stunting sebesar 21.95%. Penelitian terkait status gizi di wilayah perkotaan jarang dilakukan. Stunting dapat berakibat pada gangguan perkembangan kognitif, ketidakmampuan menerima pelajaran di sekolah, rendahnya produktifitas ekonomi saat dewasa, dan gangguan kehamilan (Dewey & Begum 2011). Selain hal tersebut, stunting juga meningkatkan risiko anak terkena penyakit tidak menular saat dewasa. Hal tersebut berisiko untuk menjadi penghambat kemajuan Indonesia akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia. Stunting sebagai manifestasi masalah gizi di Indonesia, membutuhkan penyelesaian yang sungguh dari berbagai pihak, baik yang bersifat preventif maupun kuratif. Stunting merupakan masalah yang multikausal, perlu adanya perbaikan yang bersifat komprehensif. Penelitian yang dilakukan oleh Aguayo et al. (2016) menunjukkan bahwa determinan stunting adalah berat badan lahir, frekuensi makan yang kurang, tinggi badan ibu yang pendek, serta sarana sanitasi yang tidak memadai. Penelitian yang dilakukan oleh Paudel et al. (2012) menunjukkan bahwa ibu yang tidak memiliki penghasilan, rawan pangan pada tingkat keluarga, anak dirawat oleh selain ibu, dapur tanpa ventilasi, tidak memberikan asi eksklusif, pelengkap makanan kurang dari empat kali sehari serta keragaman pangan di bawah standar yang sudah ditetapkan oleh WHO merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Islam & Biswas (2015) menunjukkan bahwa determinan stunting adalah pendapatan yang rendah, pendidikan ibu yang rendah dan tinggal di daerah pedesaan. Penelitian terkait determinan stunting sudah cukup banyak, namun variabel yang digunakan biasanya cukup terbatas. Selain itu, penelitian yang dilakukan terkait dengan stunting lebih sering menggunakan contoh dengan usia 0-23 bulan. Stunting merupakan masalah gizi dalam jangka panjang, namun kejadian stunting lebih banyak terlihat pada anak di atas usia 2 tahun. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis faktor determinan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
3
1. Bagaimana perbedaan karakteristik anak dan keluarga stunting dan normal? 2. Bagaimana perbedaan pola asuh ibu anak stunting dan normal? 3. Bagaimana perbedaan sanitasi dan lingkungan anak stunting dan normal? 4. Bagaimana perbedaan status kesehatan anak stunting dan normal? 5. Bagaimana perbedaan tingkat kecukupan energi dan protein anak stunting dan normal? 6. Bagaimana perilaku konsumsi (jenis dan frekuensi) pangan anak stunting dan normal? 7. Apa saja faktor risiko terjadinya stunting?
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui determinan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mempelajari karakteristik anak dan keluarga usia 24-59 bulan yang stunting dan normal. 2. Mempelajari pola asuh ibu pada anak usia 24-59 bulan yang stunting dan normal. 3. Mempelajari sanitasi dan lingkungan kesehatan fisik pada anak usia 24-59 bulan yang stunting dan normal. 4. Mempelajari status kesehatan anak usia 24-59 bulan yang stunting dan normal. 5. Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein pada anak usia 2459 bulan yang stunting dan normal. 6. Mengidentifikasi frekuensi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serealia, hewani, nabati, sayur-sayuran, buah, susu serta jajanan pada anak usia 24-59 bulan yang stunting dan normal. 7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan.
Hipotesis Penelitian H1
: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir, pendidikan ibu, pendidikan ayah, besar keluarga, pendapatan, pengetahuan ibu, tinggi badan ibu, pola asuh makan, praktik kebersihan diri, pemanfaatan pelayanan kesehatan, sarana sanitasi, kondisi rumah, frekuensi ISPA, lama ISPA, frekuensi diare, dan lama diare merupakan determinan stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara.
4
Manfaat Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya stunting pada anak usia 24-59 bulan yang diharapkan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya stunting pada balita di masa mendatang. Hal ini dapat menjadi landasan untuk kebijakan-kebijakan terkait dengan kesehatan pada balita di wilayah Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara ataupun di wilayah lainnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan peran aktif orang tua dalam meningkatkan pola asuh pada anak dan menjadi informasi untuk masyarakat umum agar dapat menghindari hal-hal yang dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting pada balita. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan keilmuan pada institusi terkait yaitu yang berhubungan dengan bidang gizi dan kesehatan.
KERANGKA PEMIKIRAN Stunting dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah asupan makanan dan penyakit infeksi. Faktor tidak langsung yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah sanitasi lingkungan, pola asuh ibu, faktor ekonomi dan sosial keluarga, serta ketersediaan pangan. Faktor lain yang juga dapat berpengaruh terhadap meningkatnya risiko stunting adalah faktor genetik yaitu yang dapat ditinjau dari tinggi badan ibu. Status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan. Kekurangan gizi pada stunting disebabkan oleh asupan zat gizi dalam jangka panjang. Asupan zat gizi yang optimal mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi mungkin (Almatsier 2006). Asupan makanan ini dipengaruhi oleh daya beli, status sosial keluarga, distribusi dalam keluarga serta juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Menurut Almatsier (2006) konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh agama, adat istiadat dan pendidikan keluarga yang bersangkutan. Faktor sosial dan ekonomi keluarga menjadi faktor yang paling mendasar dalam meningkatkan risiko terjadinya stunting. Faktor ekonomi dan sosial yang rendah menurunkan daya beli pangan pada suatu keluarga, sehingga asupan zat gizi menjadi sulit untuk terpenuhi. Asupan zat gizi makro yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi badan adalah protein. Zat gizi protein yang seimbang pada balita sangat diperlukan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Protein bermanfaat untuk pertumbuhan dan pembentukan struktur tulang. Selain itu, kekurangan zat gizi protein dapat menyebabkan antibodi yang menurun sehingga akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Protein dibagi ke dalam dua kelompok menurut jenis pangannya yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani merupakan protein yang paling lengkap asam amino essensialnya. Kecukupan zat gizi pada balita tidak hanya dipengaruhi oleh asupan dari makanan saja, melainkan juga dari riwayat pemberian ASI. ASI memiliki zat gizi yang lengkap untuk pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Pemberian ASI
5
dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi pada anak, sehingga risiko terjadinya stunting akan berkurang. Selain, pemberian ASI, kebiasaan makan anak juga menjadi faktor terjadinya masalah gizi terlebih lagi pada anak di atas usia dua tahun. Riwayat pemberian ASI dan kebiasaan makan anak termasuk ke dalam pola asuh ibu. Status gizi balita selain dipengaruhi oleh asupan makanan juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan meningkatkan risiko terjadinya stunting. Asupan zat gizi yang optimal untuk tubuh belum tentu dapat menjadikan status gizi baik jika balita menderita penyakit infeksi dan diare, dan jika status gizi tidak normal dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit, sehingga status gizi dan penyakit infeksi saling mempengaruhi satu dan lainnya. Penyakit infeksi ini dapat dipengaruhi oleh pola asuh kesehatan dan juga sanitasi lingkungan. Pola asuh kesehatan dapat ditinjau dari praktik kebersihan diri serta pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan terdiri dari penimbangan di posyandu, kunjungan ke pelayanan kesehatan, pemanfaatan antenatal care, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan konsumsi tablet tambah darah ketika ibu hamil. Sanitasi dan lingkungan kesehatan juga bisa berpengaruh terhadap penyakit infeksi yang kemudian berpengaruh terhadap status gizi pada anak. Sanitasi dan lingkungan terdiri atas sarana sanitasi dan kondisi rumah. Sarana sanitasi biasanya berhubungan dengan terjadinya diare, sedangkan kondisi rumah berkaitan dengan terjadinya ISPA. Oleh karena itu, sanitasi dan lingkungan kesehatan ini juga akan berpengaruh terhadap risiko terjadinya sakit pada anak yang dapat menyebabkan malnutrisi terutama stunting untuk jangka panjang. Stunting selain dipengaruhi oleh karateristik ekonomi dan sosial keluarga, pola konsumsi pangan, dan penyakit infeksi, stunting juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Balita yang memiliki orang tua dengan tinggi badan pendek, lebih berisiko untuk mengalami stunting. Status gizi orang tua, terutama status gizi ibu berkaitan erat dengan kejadian stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan Silva et al. (2009) di Yucatan, Mexico menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stunting. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
6
Karakteristik Keluarga -Pendidikan orang tua -Pekerjaan orang tua -Pendapatan orang tua -Besar keluarga -Pengetahuan ibu
Karakteristik Anak -Umur -Jenis kelamin -Berat badan lahir
Pola Asuh Makan (pola konsumsi pangan, riwayat pemberian ASI dan kebiasaan makan)
Pola Asuh
Pola Kesehatan
Asuh
(personal hygiene, pemanfaatan pelayanan kesehatan, antenatal care, vitamin A, imunisasi, suplementasi TTD)
Sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik -Keadaan rumah -Pembuangan tinja/kepemilikan MCK -Akses air bersih -Pembuangan limbah
Status Kesehatan
Stunting dan Normal
Keterangan
Genetik: tinggi badan ibu
: : Hubungan yang dianalisis : Variabel yang diteliti
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran analisis determinan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor
7
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Cross sectional study adalah penelitian yang mendesain pengumpulan datanya pada satu titik waktu yang sama. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara. Tempat penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kelurahan ini merupakan kelurahan dengan prevalensi stunting tertinggi di Kota Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan AprilMei 2016.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi adalah anak usia 24-59 bulan di wilayah Kelurahan Cimahpar. Responden penelitian yaitu ibu dari anak yang dijadikan contoh. Kriteria inklusi contoh yang digunakan adalah tinggal bersama ibu kandung dan ibu bersedia dijadikan responden. Penelitian diawali dengan melihat data status gizi anak yang terdapat pada puskesmas. Anak usia 24-59 bulan yang memiliki z-skor TB/U < -2 SD termasuk dalam kelompok stunting sementara anak yang memiliki z-skor TB/U ≥ -2 SD termasuk dalam kelompok normal. Jumlah contoh minimal ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan : n = jumlah minimal contoh Z = nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 sebesar 95% (1.96) P = estimasi proporsi stunting (prevalensi stunting Provinsi Jawa Barat 33.7%) d = estimasi drop out 10% (0.1) Sehingga : n = (1.96)2 (0.337) (0.663) = 85,83 ~ 86 contoh 0.12 Berdasarkan rumus tersebut didapatkan contoh minimal yang akan diteliti adalah sebanyak 86 contoh. Jumlah contoh yang digunakan ditingkatkan menjadi 90 contoh. Contoh yang digunakan dalam penelitian adalah yang memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara purposive sampling. Anak yang dijadikan contoh tersebar di 8 RW di Kecamatan Cimahpar dengan pertimbangan 8 RW ini memiliki angka stunting yang cukup tinggi yaitu di atas 20 anak. Data awal mengenai jumlah dan identitas anak stunting
8
didapatkan dari Puskesmas Bogor Utara yang kemudian diverifikasi untuk berat badan dan tinggi badan ketika wawancara di lapang, jika terdapat contoh yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi maka dicari contoh lain dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Seluruh anak yang normal dan stunting di delapan RW dipilih secara acak yang terdiri atas 45 anak normal dan 45 anak stunting. Delapan RW tersebut yaitu RW 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10 dan 15. Kerangka pengambilan contoh dapat dilihat pada gambar 2. Kelurahan Cimahpar Normal : 1516 Stunting : 369
RW 1 Normal : 92 Stunting : 27
RW 5 Normal : 144 Stunting : 30
RW 8b Normal : 100 Stunting : 23
RW 10 Normal : 87 Stunting : 21
RW 4 Normal : 97 Stunting : 23
RW 6 Normal : 117 Stunting : 28
RW 9b Normal : 97 Stunting : 24
RW 15 Normal : 90 Stunting : 25
Pemilihan Contoh Berdasarkan Kriteria Inklusi dan Simple Randomized Sampling
RW 1 Normal : 5 Stunting : 5
RW 5 Normal : 9 Stunting : 4
RW 8b Normal : 4 Stunting : 6
RW 10 Normal : 2 Stunting : 5
RW 4 Normal : 5 Stunting : 14
RW 6 Normal : 8 Stunting : 5
RW 9b Normal : 8 Stunting : 2
RW 15 Normal : 4 Stunting : 4
Gambar 2 Tahap Pemilihan Contoh
9
Jenis dan Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan pengukuran menggunakan timbangan digital untuk berat badan dan stature meter untuk mengukur tinggi badan pada data antropometri. Data primer meliputi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pola asuh, sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik, status kesehatan, serta kebiasaan konsumsi pangan dalam satu bulan terakhir dan asupan zat gizi contoh. Data sekunder yang dikumpulkan adalah gambaran wilayah tempat tinggal yang didapatkan dari dinas terkait. Karakteristik contoh terdiri dari jenis kelamin, usia, dan berat badan lahir. Karakteristik keluarga terdiri dari besar keluarga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, pendapatan perkapita, pengetahuan ibu, dan tinggi badan ibu. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh kesehatan dibagi menjadi praktik kebersihan diri dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sanitasi dan kesehatan lingkungan terdiri dari sarana sanitasi dan kondisi rumah. Status kesehatan berdasarkan pada riwayat frekuensi dan lama ISPA serta diare selama 3 bulan terakhir. Data untuk menghitung asupan energi dan protein dikumpulkan dengan wawancara Food Recall yang dilakukan oleh peneliti selama 1 x 24 jam. Kebiasaan makan contoh selama 1 bulan terakhir didapatkan melalui wawancara menggunakan metode Food Frequency Questionnaire. Tabel 1 Jenis dan teknik pengumpulan data No. Jenis Data Teknik Pengumpulan 1. Antropometri Tinggi badan contoh Pengukuran langsung Berat badan contoh Pengukuran langsung Tinggi badan ibu Pengukuran langsung 2. Karakteristik contoh Usia Kuesioner Jenis kelamin Kuesioner Berat Badan lahir Kuesioner 3. Konsumsi contoh 1 x 24 h food recall Kuesioner Food Frequency Questionnaire Kuesioner 4. Karakteristik sosial ekonomi keluarga Pendidikan ayah Kuesioner Pendidikan ibu Kuesioner Pekerjaan ayah Kuesioner Pekerjaan ibu Kuesioner Penghasilan keluarga Kuesioner Besar keluarga Kuesioner Pengetahuan gizi ibu Kuesioner 5 Pola asuh makan Kuesioner
Sumber Contoh Contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh
10
Tabel 1 Jenis dan teknik pengumpulan data (lanjutan) No. Jenis Data Teknik Pengumpulan 6 Pola asuh kesehatan Praktik Kebersihan Diri Kuesioner Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kuesioner 7 Sanitasi dan Lingkungan Sehat Sarana Sanitasi Kuesioner Kondisi Rumah Kuesioner 8 Status Kesehatan Frekuensi dan lama diare Kuesioner Frekusensi dan lama ISPA Kuesioner
Sumber Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh Ibu contoh
Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang didapatkan melalui kuesioner dianalisis secara deskriptif dan statistik. Data diolah dan dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excell 2013 dan SPSS versi 16.0 for window. Data jenis kelamin contoh dikelompokkan menjadi laki-laki dan perempuan. Usia dikelompokkan berdasarkan tahun. Berat badan lahir dikelompokkan menjadi berat badan lahir rendah (BBLR) dan normal. BBLR yaitu <2500 g, sedangkan bayi yang lahir dengan berat badan normal adalah ≥2500 g. Besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang) (BKKBN 1998). Pendidikan orang tua dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori rendah untuk tidak tamat SD dan tamat SD, kategori sedang untuk tamat SMP dan tamat SMA, sedangkan kategori tinggi untuk Akademi/Perguruan tinggi. Data pekerjaan orangtua dikelompokan menjadi tidak bekerja/ibu rumah tangga (IRT), wirausaha/pedagang, karyawan swasta, PNS, buruh, asisten rumah tangga, ojeg, muadzin, dan pelayaran. Data pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu miskin dan tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat untuk daerah perkotaan. Kategori yang termasuk miskin adalah pendapatan ≤Rp318297, sedangkan kategori tidak miskin >Rp318297 (BPS 2016). Pengetahuan gizi ibu diukur dengan beberapa pertanyaan melalui kuesioner. Pengetahuan gizi pada penelitian ini terdiri dari 22 pertanyaan, setiap pertanyaan yang dijawab benar oleh ibu diberikan skor 1 sedangkan untuk jawaban yang salah diberikan skor 0. Tingkat pengetahuan gizi dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang, sedang dan baik. Jika ibu mendapatkan total skor <60% maka termasuk kategori kurang, jika ibu mendapat total skor antara 60 sampai 80% maka termasuk kategori sedang dan jika ibu mendapatkan total skor >80% maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000). Tinggi badan ibu dikelompokkan menjadi pendek dan normal. Tinggi badan ibu yang normal adalah ≥150 cm, sedangkan ibu yang memiliki tinggi badan <150 cm termasuk ke dalam kategori pendek (Addo et al. 2013). Pola asuh yang diteliti pada penelitian ini adalah pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh dibagi ke dalam tiga kategori yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%) (Khomsan 2000). Pola asuh makan terdiri atas pemberian kolostrum, ASI eksklusif, durasi menyusui, penggunaan garam
11
beriodium, frekuensi anak makan dalam sehari, serta kebiasaan sarapan. Pola asuh makan yang sesuai pada setiap indikator diberikan nilai 1, sedangkan untuk pola asuh makan yang tidak sesuai diberi nilai 0. Pola asuh kesehatan dilihat dari praktik kebersihan diri dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Praktik kebersihan diri dilakukan melalui wawancara terkait dengan kebiasaan melakukan kebersihan. Indikator praktik kebersihan diri pada penelitian ini terdiri dari mempersiapkan dan menyimpan makanan, kebersihan diri terkait dengan cuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, frekuensi anak mandi dalam sehari dan kebiasaan menggunakan alas kaki ketika bermain diluar rumah serta kebiasaan ibu memotong kuku anak secara rutin. Jawaban dari pertanyaan terkait dengan praktik kebersihan diri adalah selalu, kadang-kadang dan jarang. Jika ibu menjawab selalu diberikan skor 3, jika jawabannya kadangkadang diberikan skor 2 dan jika jawabannya adalah jarang diberikan skor 1. Pemanfaatan pelayanan kesehatan terdiri dari penimbangan di posyandu, kunjungan ke pelayanan kesehatan, pemanfaatan antenatal care, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan konsumsi tablet tambah darah ketika ibu hamil. Pola asuh kesehatan yang sesuai pada setiap indikator diberikan nilai 1, sedangkan untuk pola asuh yang tidak sesuai diberi nilai 0. Penimbangan di posyandu dilihat dari 3 bulan terakhir, kunjungan ke pelayanan kesehatan dinilai dari ibu membawa anak ke tenaga medis ketika sakit, pemanfaatan antenatal care dinilai 1 jika ibu melakukan antenatal care ketika hamil ≥ 4 kali, status imunisasi anak yang lengkap diberi nilai 1, jika anak tidak pernah melewatkan pemberian vitamin A dari posyandu diberi nilai 1, dan jika ibu menghabiskan tablet tambah darah selama masa kehamilan sesuai dengan yang dianjurkan diberi nilai 1. Selain pola asuh kesehatan, sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik juga diamati. Sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik terdiri dari sarana sanitasi dan kondisi rumah. Sarana sanitasi yang diamati terkait dengan air, pembuangan air limbah, dan kempemilikan WC/pembuangan tinja. Kondisi rumah dilihat dari kepemilikan jendela ruang tamu, jendela kamar, ventilasi ruang tamu, ventilasi dapur, dan pencahayaan rumah. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner berdasarkan kemenkes yang sudah dimodifikasi pada penelitian ini. Jika total skor >80% termasuk kedalam kategori layak untuk sarana sanitasi dan kondisi rumah. Morbiditas penyakit infeksi diperoleh dari riwayat sakit ISPA dan diare yang diderita oleh contoh selama tiga bulan terakhir. Riwayat sakit selama 3 bulan terakhir digolongkan menjadi rendah dan tinggi berdasarkan nilai mediannya (Untoro et al. 2005). Status gizi contoh disajikan dalam bentuk indikator tinggi badan menurut umur (TB/U). Status gizi (TB/U) dikelompokkan menggunakan z-skor yaitu z-skor < -2SD untuk kelompok stunting dan z-skor ≥ -2SD untuk kelompok normal. Data konsumsi pangan didapatkan melalui food recall oleh peneliti selama 1 x 24 jam. Data konsumsi pangan yang telah didapatkan lalu dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal) dan protein (g) merujuk pada Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM). Rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994). KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
12
Keterangan: KGij = Penjumlahan energi dan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi Bj = Berat bahan makanan j (gram) Gij = Kandungan energi dan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan Setelah mengetahui kandungan gizi makanan, kemudian akan dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk menentukan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG). Tingkat kecukupan gizi yang diteliti adalah energi dan protein. Secara umum TKG dapat dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994). TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi i Ki = Konsumsi energi dan zat gizi i AKGi = Kecukupan energi dan zat gizi i yang dianjurkan Tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Kategori tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-80%), defisit tingkat ringan (80-90%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥ 120%) (Depkes 2003). Selain itu, data konsumsi kebiasaan makan selama 1 bulan didapatkan melalui metode Food Frequency Questionnaire. Tabel 2 Jenis dan kategori variabel pengolahan data Data Kategori Sumber Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Usia 1. 24-36 Ketentuan peneliti 2. 37-48 3. 49-59 Berat Badan Lahir 1. <2500 g 2. ≥2500 g Pekerjaan 1. Tidak bekerja Ketentuan peneliti 2. pedagang/wirausaha 3. karyawan swasta 4. PNS 5. Buruh/ART 6. Ojeg 7. muadzin 8. pelayaran Pendidikan 1. Rendah Ketentuan peneliti 2. Sedang 3. Tinggi
13
Tabel 2 Jenis dan kategori variabel pengolahan data (lanjutan) Data Kategori Sumber Pendapatan 1. < 318 297 BPS Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) 2. ≥ 318 297 Jawa Barat Ukuran keluarga 1. Kecil (<4 orang) BKKBN (1998) 2. Sedang (5 – 7 orang) 3. Besar (>7 orang) Pengetahuan gizi 1. Kurang (< 60%) Khomsan (2000) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (> 80%) Tinggi Badan Ibu 1. <150.1 Addo et al. (2013) 2. ≥ 150.1 Pola Asuh Makan 1. Kurang (<60%) Khomsan (2000) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (>80%) Pola Asuh Kesehatan 1. Kurang (<60%) Khomsan (2000) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (>80%) Sarana Sanitasi 1. Kurang Baik (<80%) Kemenkes 2. Baik (≥80%) Kondisi Rumah 1. Kurang Baik (<80%) Kemenkes 2. Baik (≥80%) Riwayat Sakit 1. Rendah (<Median) Untoro et al. (2005) 2. Tinggi (≥Median) Tingkat Kecukupan 1. Defisit tingkat berat (<70%) Depkes (2003) Protein dan Energi 2. Defisit tingkat sedang (70-79%) 3. Defisit tingkat ringan (80-89%) 4. Normal (90-109%) 5. Berlebih (≥110%) Analisis yang akan digunakan dalam penelitian adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel dalam penelitian yaitu karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pola asuh, sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik, status kesehatan, asupan zat gizi contoh, dan kebiasaan makan contoh selama satu bulan terakhir. Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis perbedaan antara dua variabel yang diteliti. Uji bivariat yang digunakan adalah T-Test, Mann Whitney dan Chi-Square. Logistic regression analyses dipergunakan untuk mengetahui peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan. Model regresi logistik untuk stunting (TB/U) adalah: Logit (p) = α+β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5+β6x6+β7x7+β8x8+β9x9+β10x10+β11x11+β12x12 + β13x13+β14x14+β15x15 +β16x16+β17x17+β18x18
14
Keterangan :
x16 x17 x18
= stunting = berat badan lahir = jenis kelamin = usia = pendidikan ayah = pendidikan ibu = pendapatan perkapita = jumlah anggota keluarga = pengetahuan gizi ibu = tinggi badan ibu = pola asuh makan = praktik kebersihan diri = pemanfaatan pelayanan kesehatan sarana sanitasi kondisi rumah = frekuensi ISPA = lama ISPA = frekuensi Diare = lama Diare Definisi Operasional
Stunting adalah kondisi status gizi balita yang ditandai adanya gangguan pada pertumbuhan linier, sehingga tinggi badan balita menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD z-score. Contoh adalah anak usia 24-59 bulan yang ada di Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor dan terpilih secara purposive sebagai sampel dalam penelitian ini. Kebiasaan Makan adalah jumlah jenis dan frekuensi serealia dan umbi-umbian, pangan hewani, pangan nabati, sayur-sayuran, buah, susu dan jajanan contoh pada periode satu bulan terakhir menggunakan Food Frequency Questionnaires (FFQ). Asupan gizi anak adalah jumlah energi dan protein yang diasup oleh anak per hari dinyatakan dalam kkal/hari dan g/hari menggunakan metode Recall 1x24 jam. Karakteristik Contoh adalah ciri-ciri dan kondisi dari contoh meliputi jenis kelamin, umur, dan berat badan lahir yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara oleh ibu contoh. Karakteristik Keluarga adalah kondisi ayah dan ibu contoh meliputi besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga pengetahuan ibu, dan tinggi badan ibu. Pola Asuh Makan adalah perilaku ibu dalam memberikan ASI dan kebiasaan makan anak melalui kuesioner dan wawancara oleh ibu contoh. Pola Asuh Kesehatan adalah perilaku ibu dalam praktik kebersihan diri dan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang digunakan dalam mengasuh anak untuk hidup sehat diukur melalui kuesioner dan wawancara oleh ibu contoh.
15
Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik adalah sarana sanitasi dan kondisi rumah diukur melalui kuesioner dengan metode wawancara dan observasi. Status Kesehatan adalah kondisi kesehatan contoh selama tiga bulan terakhir, terdiri dari jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit yang diperoleh dari hasil wawancara dengan ibu contoh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Cimahpar merupakan kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Jumlah penduduk di Kelurahan Cimahpar pada tahun 2015 sebanyak 15 952 jiwa yang terdiri dari 8 131 laki-Laki dan 7 821 perempuan. Kelurahan Cimahpar dengan luas 442 Ha terdiri dari 16 rukun warga dan 59 rukun tetangga. Batas wilayah kelurahan Cimahpar sebelah timur adalah Desa Sukaraja, sebelah barat adalah Kelurahan Tanahbaru, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Katulampa dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciluar. Kelurahan Cimahpar dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama dari migrasi penduduk dan pemanfaatan lahan/tanah. Kelurahan Cimahpar memiliki jarak yang dekat dengan jalan tol. Selain itu, Kelurahan Cimahpar dialiri oleh aliran sungai kecil yaitu Sungai Cilimus dan Sungai Ciluar. Kecamatan Bogor Utara merupakan kecamatan dengan angka tertinggi stunting di Kota Bogor menurut Dinas Kesehatan Kota Bogor. Kelurahan Cimahpar merupakan kelurahan dengan angka stunting tertinggi di Kecamatan Bogor Utara. Penelitian yang dilakukan di kelurahan ini disebar di 8 RW yang memiliki anak stunting paling banyak di Kelurahan Cimahpar.
Karakteristik Contoh Usia Contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah anak usia 24-59 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Ramli et al. (2009) menunjukkan bahwa prevalensi balita stunting dan sangat stunting, lebih tinggi pada balita berusia 2459 bulan dibandingkan dengan usia 0-23 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa anak dengan usia di atas 24 bulan lebih banyak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang berusia 0-23 bulan sehingga pada penelitian ini contoh yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada penelitian ini berusia 24-36 bulan.
16
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi Usia (bulan) 24-36 37-48 49-59 Total Rata-rata±SD
Stunting n % 19 42.2 13 28.9 13 28.9 45 100 38.8±10.5
Normal n 14 18 13 45
Total % 31.1 40.0 28.9 100
n % 33 36.7 31 34.4 26 28.9 90 100 39.9 ± 9.8
41.0±9.2
Jenis Kelamin Jenis kelamin dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin keseluruhan contoh pada penelitian ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar jenis kelamin pada kelompok stunting adalah perempuan, sedangkan pada kelompok normal adalah laki-laki. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Stunting n % 21 46.7 24 53.3 45 100
Normal n 24 21 45
Total % 53.3 46.7 100
n 45 45 90
% 50 50 100
Berat Badan Lahir Berat anak saat lahir merupakan akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Secara nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010 (11 persen dengan berat badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun 2007. Prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun 2007 sampai 2010 di 14 Provinsi di Indonesia (Unicef 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah balita yang memiliki berat badan lahir rendah antara kelompok stunting dan normal hampir sama. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan berat badan lahir dan status gizi Berat Badan Lahir (g) <2500 ≥2500 Total Rata-rata±SD
Stunting n % 2 4.4 43 95.6 45 100 3002.2±399.7
Normal n % 3 6.7 42 93.3 45 100 3181.1±440.1
Total n % 5 5.6 85 94.4 90 100 3091.7±429.2
17
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak. Menurut Turyashemererwa (2009) besar keluarga berkaitan dengan banyaknya anak yang diberikan makan dan yang perlu diasuh oleh ibu, oleh karena itu besar keluarga dapat mempengaruhi status gizi anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berasal dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sedang yaitu terdiri atas 5-7 orang anggota rumah tangga. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi Besar Keluarga Besar Sedang Kecil Total Rata-rata±SD
Stunting n 2 32 11 45
Normal % 4.4 71.1 24.4 100
n 0 28 17 45
4.4±1.3
Total % 0 62.2 37.8 100
n 2 60 28 90
3.9±0.9
% 2.2 66.7 31.1 100 4.1±1.1
Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua adalah suatu proses yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuannya melalui pendidikan formal yang berjenjang (Febrianto 2012). Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Pendidikan ibu yang rendah akan berdampak pada pengetahuan ibu yang terbatas mengenai pola hidup sehat dan pentingnya zat gizi bagi kesehatan dan status gizi anak (Devi 2010). Pendidikan ibu baik pada kelompok contoh stunting maupun normal sebagian besar termasuk ke dalam kategori rendah yaitu untuk kelompok stunting sebesar 57.8% dan untuk kelompok normal sebesar 60%, sedangkan pendidikan ayah termasuk ke dalam kategori sedang yaitu 51.1% untuk kelompok stunting dan 48.9% untuk kelompok normal. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi Pendidikan Orang Tua
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
Ibu Rendah Sedang Tinggi Total
26 19 0 45
57.8 42.2 0.0 100
27 17 1 45
60.0 37.8 2.2 100
53 36 1 90
58.9 40.0 1.1 100
Ayah Rendah Sedang Tinggi Total
21 23 1 45
46.7 51.1 2.2 100
22 22 1 45
48.9 48.9 2.2 100
43 45 2 90
47.8 50.0 2.2 100
18
Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua akan berdampak terhadap pendapatan keluarga. Selain itu, pekerjaan ibu dapat berpengaruh terhadap pola asuh yang dapat berakibat pada status gizi anak. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok stunting, ibu yang tidak bekerja sebesar 84.4%, sedangkan pada kelompok normal sebesar 100%. Ayah yang tidak bekerja terdapat pada kelompok stunting yaitu sebesar 2.2% sedangkan pada kelompok normal seluruh ayah memiliki pekerjaan. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi Pekerjaan Orang Tua Ibu Tidak Bekerja Wirausaha/Pedagang Karyawan Swasta PNS/ABRI ART Total Ayah Tidak Bekerja Wirausaha/Pedagang Karyawan Swasta PNS/ABRI Buruh Ojeg Muadzin Pelayaran Total
Stunting n %
Normal
Total
n
%
n
%
38 2 2 0 3 45
84.4 4.4 4.4 0.0 6.7 100
45 0 0 0 0 45
100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 100
83 2 2 0 3 90
92.2 2.2 2.2 0.0 3.3 100
2 12 11 0 17 1 1 1
4.4 26.7 24.4 0.0 37.8 2.2 2.2 2.2
0 7 15 1 18 3 1 0
0.0 15.6 33.3 2.2 40.0 6.7 2.2 0.0
2 19 26 1 35 4 2 1
2.2 21.1 28.9 1.1 38.9 4.4 2.2 1.1
45
100
45
100
90
100
Pendapatan Orang Tua Menurut Almatsier (2006), jumlah pendapatan penduduk di Negara Indonesia masih tergolong rendah dan menengah yang akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. Status ekonomi yang rendah dapat berdampak pada asupan makanan yang rendah sehingga dapat mempengaruhi status gizi pada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh sebagian besar berasal dari keluarga tidak miskin baik pada kelompok stunting maupun kelompok normal. Proporsi contoh yang berasal dari keluarga miskin lebih banyak terdapat pada kelompok stunting (31.1%) dibandingkan dengan kelompok normal (26.7%)
19
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dan status gizi Pendapatan Miskin tidak miskin Total Rata-rata±SD
Stunting n % 14 31.1 31 68.9 45 100 465600±264981
Normal n % 12 26.7 33 73.3 45 100 665802±479386
Total n % 26 28.9 64 71.1 90 100 565701±398071
Tinggi Badan Ibu Ibu dengan tinggi badan yang pendek berisiko lebih tinggi memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan yang normal. Sebagian besar contoh pada kelompok stunting memiliki ibu dengan tinggi badan yang pendek (77.8%), sedangkan pada kelompok normal sebagian besar memiliki ibu dengan tinggi badan yang normal (68.9%). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum et al. (2014) yang menunjukkan bahwa anak stunting lebih banyak memiliki ibu dengan tinggi badan yang pendek dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan yang normal. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tinggi badan ibu dan status gizi Tinggi Badan Ibu
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
Pendek Normal
35 10
77.8 22.2
14 31
31.1 68.9
49 41
54.4 45.6
Total Rata-rata±SD
45 100 147.1±5.77
45 100 152.1±4.26
90 100 149.6±5.67
Pengetahuan Ibu Pengetahuan ibu merupakan tingkat pemahaman ibu tentang praktik pemberian makan, sumber pangan dan fungsi zat gizi, serta praktik kesehatan yang tepat. Tabel 11 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berdasarkan pertanyaan terkait dengan praktik pemberian makan yang tepat memiliki nilai rata-rata yang relatif sama antara anak stunting dan anak normal yaitu pada kelompok stunting sebesar 78.2 dan pada kelompok normal sebesar 78.7. Praktik pemberian makan ini terdiri dari praktik pemberian ASI dan penganekaragaman makanan. Menurut Swastini (2008) praktik yang baik tidak hanya dipengaruhi dari pengetahuan melainkan juga karena faktor lingkungan sekitar dan faktor budaya. Aspek pengetahuan berdasarkan sumber pangan dan fungsi zat gizi menunjukkan bahwa kelompok normal memiliki skor rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok stunting yaitu pada kelompok normal sebesar 73.8 dan kelompok stunting sebesar 66.2. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dari anak normal memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait dengan sumber pangan dan fungsi zat gizi dibandingkan dengan ibu dari anak stunting. Zat gizi yang dijadikan sebagai pertanyaan pada penelitian ini adalah protein, kalsium dan iodium. Pertanyaan terkait fungsi dari ketiga zat gizi, masing-masing lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Menurut
20
Variyam (1999) pengetahuan gizi akan lebih berefek jika dikaitkan dengan manfaatnya terhadap kesehatan. Ibu yang mengetahui fungsi zat gizi untuk kesehatan akan lebih terpengaruh dalam pemilihan makanan yang tepat untuk anak mereka. Aspek pengetahuan lainnya juga dilihat dari pengetahuan ibu terkait dengan sumber zat gizi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu terkait dengan sumber pangan kalsium dan protein lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting, namun pengetahuan terkait kandungan iodium pada garam lebih tinggi pada ibu dari kelompok stunting dibandingkan dengan ibu dari kelompok normal. Hal ini dapat disebabkan garam yang dikonsumsi oleh anak sebagian besar sudah difortifikasi oleh iodium walaupun pengetahuan ibu terkait dengan garam beriodium lebih rendah pada kelompok normal. Pengetahuan terkait dengan praktik kesehatan pada kelompok normal memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok stunting yaitu sebesar 83.6 untuk kelompok normal dan 77.8 untuk kelompok stunting. Pengetahuan terkait dengan praktik kesehatan terdiri dari kesehatan ibu ketika hamil dan pengetahuan terkait dengan kegiatan posyandu. Pengetahuan terkait dengan kesehatan ibu ketika hamil berdasarkan pada pengetahuan jumlah minimal antenatal care, sumber pangan zat besi, dan jumlah minimal tablet tambah darah. Ketiga pertanyaan tersebut lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dari kelompok normal memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait kesehatan ketika masa kehamilan dibandingkan ibu dari kelompok stunting. Pertumbuhan dan perkembangan janin pada masa kehamilan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak pada fase selanjutnya. Pengetahuan terkait dengan jumlah dan waktu pemberian suplementasi vitamin A lebih tinggi pada ibu dari kelompok stunting dibandingkan ibu dari kelompok normal walaupun rata-rata skor untuk kedua pertanyaan ini tidak terlalu jauh yaitu 73.3 untuk kelompok stunting dan 71.1 untuk kelompok normal. Rendahnya pengetahuan terkait dengan waktu pemberian vitamin A dapat disebabkan karena ibu hanya mengikuti program pemberian vitamin A dari posyandu tanpa mengingat jadwal pasti yang sudah ditetapkan. Pengetahuan ibu terkait dengan manfaat dan waktu yang tepat untuk imunisasi tidak jauh berbeda antara kelompok normal (92.2) dan kelompok stunting (94.4), namun pengetahuan terkait imunisasi BCG lebih tinggi pada kelompok normal (52.2) dibandingkan dengan kelompok stunting (34.4). Penelitian yang dilakukan oleh Awadh et al. (2014) menunjukkan bahwa pengetahuan ibu terkait dengan imunisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan status imunisasi anak. Tabel 11 Rata-rata jawaban benar pengetahuan ibu berdasarkan status gizi anak Pengetahuan Ibu Praktik Pemberian Makan Sumber Pangan dan Fungsi Zat Gizi Praktik Kesehatan
Stunting 78.2±19.9 66.2±23.7 77.8±14.4
Normal 78.7±23.5 73.8±24.8 83.6±20.8
Total 78.4±21.7 70.0±24.4 80.7±18.1
21
Proporsi pengetahuan ibu pada kategori kurang untuk seluruh pertanyaan lebih banyak terdapat pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atsaniyah (2014) yang menunjukkan bahwa ibu pada contoh normal lebih banyak menjawab benar seluruh pertanyaan dibandingkan ibu pada contoh stunting. Pengetahuan gizi yang tergolong sedang pada seluruh contoh di Kelurahan Cimahpar ini dapat dipengaruhi dari akses informasi yang masuk melalui penyuluhan-penyuluhan di posyandu, walaupun tingkat pendidikan ibu sebagian besar masih tergolong rendah. Pengetahuan gizi mengenai praktik pemberian makan, fungsi pangan dan sumber zat gizi, serta perawatan kesehatan yang tepat untuk balita ketiganya memiliki nilai rata-rata lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan ibu dan status gizi Pengetahuan Ibu Kurang Sedang Baik Total Rata-rata±SD
Stunting
Normal
Total
n % 14 31.1 22 48.9 9 20.0 45 100 68.2±12.9
n % 10 22.2 19 42.2 16 35.6 45 100 72.6±15.8
n % 24.0 26.7 41.0 45.6 25.0 27.8 90 100 70.4±14.5
Pola Asuh Makan Masalah gizi tidak hanya ditentukan dari status kemisikinan atau sanitasi lingkungan saja, melainkan dari pola asuh ibu terhadap anaknya. Pola asuh ibu terdiri dari pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh makan dalam penelitian ini berkaitan dengan pemberian kolostrum, ASI ekslusif, durasi menyusui, penggunaan garam beriodium, frekuensi anak makan dalam sehari, serta kebiasaan sarapan. Kolostrum pada ASI mengandung kekebalan humoral dan selular yang mampu melindungi bayi terutama yang berada di wilayah negara berkembang dengan risiko infeksi yang masih tinggi (Islam et al. 2006). Riwayat pemberian ASI eksklusif menunjang perbaikan gizi di masa yang akan datang. Pola asuh ibu terhadap pemberian ASI berpengaruh terhadap status gizi balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan bahwa kurang dari satu dari tiga bayi di bawah usia enam bulan diberi ASI eksklusif dan hanya 41 persen anak usia 6-23 bulan menerima makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang sesuai dengan praktik-praktik yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas. Penelitian yang dilakukan oleh Fikadu et al. (2014) menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI kurang dari dua tahun lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI selama 2 tahun atau lebih. Selain itu, anak yang tidak diberikan ASI eksklusif berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI eksklusif. Pemberian ASI berkaitan dengan pencernaan dan sistem kekebalan tubuh pada anak yang masih
22
rentan terkena penyakit, oleh sebab itu pada masa menyusui ini penting untuk anak diberikan ASI dan menghindarkan anak dari makanan-makanan yang belum bisa dicerna dengan baik oleh tubuh. Selain riwayat pemberian ASI, untuk anak diatas dua tahun juga perlu diketahui terkait dengan kebiasaan makan anak. Kebiasaan makan anak ini dapat dilihat dari kuantitas dan kualitas makanan. Anak yang mengalami defisit iodium dapat mengalami stunting. Frekuensi makan dan kebiasaan sarapan dapat mempengaruhi kontribusi asupan zat gizi serta mempengaruhi keaktifan anak dalam beraktivitas. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi Praktik Pola Asuh Makan Kolostrum Ya ASI Eksklusif Ya Lama Pemberian ASI ≥2 tahun Ya Garam Beriodium Ya Frekuensi Makan Anak dalam Sehari ≥3 Ya Kebiasaan Sarapan Ya
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
37
82.2
37
82.2
74
82.2
30
66.7
27
60.0
57
63.3
29
64.4
26
57.8
55
61.1
45
100.0
44
97.8
89
98.9
33
73.3
34
75.6
67
74.4
35
77.8
42
93.3
77
85.6
Hasil penelitian menujukkan bahwa ASI ekslusif dan lama pemberian ASI ≥2 tahun lebih banyak pada kelompok stunting dibandingkan pada kelompok normal. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan Sofyaningsih (2011) menunjukkan tidak adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting. Menurut Sawadogo et al. (2005) rendahnya pemberian ASI pada anak usia di atas 2 tahun lebih banyak terdapat pada anak normal dibandingkan dengan anak stunting, hal ini diduga disebabkan karena makanan di luar ASI lebih sedikit dikonsumsi pada anak yang masih meminum ASI lebih dari dua tahun. Penggunaan garam beriodium dan pemberian kolostrum relatif sama antar kedua kelompok. Frekuensi makan anak ≥3 dalam sehari dan kebiasaan sarapan lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Frekuensi makan anak ≥3 dalam sehari dan kebiasaan sarapan berkontribusi dalam pemenuhan zat gizi anak. Hal ini yang kemudian akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Pola asuh makan yang telah diberikan skor dari beberapa indikator yang sudah digabungkan menunjukkan bahwa setiap kelompok, baik pada kelompok normal maupun kelompok stunting termasuk ke dalam kategori baik. Hal ini disebabkan kemudahan akses dalam mendapatkan informasi. Informasi yang
23
diperoleh ibu biasanya didapatkan dari penyuluhan-penyuluhan yang dilaksanakan di posyandu sehingga walaupun sebagian besar ibu memiliki pendidikan yang rendah namun pola asuh makan ibu termasuk ke dalam kategori baik. Proporsi pola asuh makan yang termasuk kedalam kategori baik, lebih besar pada kelompok stunting yaitu sebesar 62.2% dibandingkan dengan kelompok normal yaitu sebesar 60.0%. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan dan status gizi Pola Asuh Makan Kurang Sedang Baik Total Rata-rata±SD
Stunting n % 7 15.6 10 22.2 28 62.2 45 100 77.4±18.2
Normal n % 7 15.6 11 24.4 17 60.0 45 100 77.8±19.8
Total n 25 21 44 90
% 15.6 23.3 61.1 100 77.6±18.9
Pola Asuh Kesehatan Praktik Kebersihan Diri Praktik kebersihan diri merupakan pola asuh kesehatan yang penting untuk menghindari kejadian sakit, terutama pada balita. Praktik kebersihan diri pada penelitian ini meliputi cara ibu dalam mempersiapkan dan menyimpan makanan, kebersihan diri terkait dengan cuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, frekuensi anak mandi dalam sehari dan kebiasaan menggunakan alas kaki ketika bermain diluar rumah serta kebiasaan ibu memotong kuku anak secara rutin. Nilai median untuk skor praktik kebersihan diri dalam mempersiapkan dan menyimpan makanan lebih tinggi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal yaitu pada kelompok stunting sebesar 93.3 sedangkan pada kelompok normal sebesar 86.7. Pertanyaan terkait dengan mempersiapkan dan menyimpan makanan terdiri dari 5 pertanyaan meliputi kebiasaan mengonsumsi air yang sudah dimasak, kebiasan ibu menutup makanan ketika dimasak, cara ibu membersihkan peralatan balita, cara ibu mencuci sayuran sebelum dimasak, dan kebiasaan ibu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum memasak makanan. Nilai median untuk skor praktik kebersihan diri terkait kebiasaan anak dalam mencuci tangan sama antar kedua kelompok, namun nilai minimun lebih rendah pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal yaitu pada kelompok stunting sebesar 50 sedangkan pada kelompok normal sebesar 66.7. Kebiasaan mencuci tangan berkaitan erat dengan kejadian diare. Frekuensi anak mandi dalam sehari, kebiasaan menggunakan alas kaki ketika bermain di luar serta kebiasaan ibu memotong kuku anak secara rutin memiliki masingmasing nilai minimun yang lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting.
24
Tabel 15 Median praktik kebersihan diri berdasarkan status gizi anak Praktik Kebersihan Diri Persiapan makanan oleh ibu Kebiasaan anak mencuci tangan Kebiasaan anak mandi 2 kali sehari Kebiasaan anak menggunakan alas kaki ketika diluar rumah Kebiasaan ibu memotong kuku anak secara rutin
Stunting
Normal
Total
93.3 (66.7 , 100)
86.7 (66.7 , 100)
86.7 (66.7 , 100)
83.3 (50 , 100)
83.3 (66.7 , 100)
83.3 (50 , 100)
100 (66.7 , 100)
100 (100 , 100)
100 (66.7 , 100)
100 (33.3 , 100)
100 (66.7 , 100)
100 (33.3 , 100)
100 (33.3 , 100)
100 (66.7 , 100)
100 (33.3 , 100)
Indikator-indikator praktik kebersihan diri yang diteliti pada penelitian ini kemudian digabung dan diberi skor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki praktik kebersihan diri yang baik. Hal ini dapat disebabkan oleh mudahnya informasi yang masuk terkait dengan praktik kebersihan diri yang tepat. Proporsi kebersihan diri yang termasuk ke dalam kategori baik lebih besar pada kelompok normal yaitu sebesar 91.1%, dibandingkan pada kelompok stunting sebesar 77.8%. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan praktik kebersihan diri dan status gizi Praktik Kebersihan Diri Baik Sedang Kurang Total Rata-rata±SD
Stunting n % 35 77.8 10 22.2 0 0.0 45 100 87.5±8.4
Normal n % 41 91.1 4 8.9 0 0.0 45 100 89.9±6.9
Total n 76 14 0 90
% 84.4 15.6 0.0 100 88.7±7.7
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pemanfaatan pelayanan kesehatan terdiri dari penimbangan di posyandu, kunjungan ke pelayanan kesehatan, pemanfaatan antenatal care, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan konsumsi tablet tambah darah ketika ibu hamil. Kunjungan ke posyandu merupakan pemantauan ibu mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak melalui pengukuran tinggi badan selama 6 bulan sekali dan berat badan setiap satu bulan sekali. Tabel 15 menunjukkan bahwa kunjungan ke posyandu secara rutin lebih banyak dilakukan oleh anak normal dibandingkan dengan anak yang stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar et al. (2010) menunjukkan bahwa anak stunting lebih banyak terdapat pada kelompok dengan partisipasi rendah terhadap posyandu dibandingkan dengan kelompok yang memiliki partisipasi tinggi terhadap posyandu. Selain kunjungan ke posyandu, pengobatan ke tenaga medis secara profesional ketika anak sakit lebih banyak dilakukan oleh kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Pemanfaatan antenatal care sangat penting dilakukan dalam rangka menjaga kesehatan ibu dan anak dalam kandungan. Antenatal care berfungsi untuk mencegah atau mengatasi secara dini gangguan kehamilan. Tabel 15 menunjukkan bahwa pemanfataan antenatal care lebih tinggi pada kelompok
25
normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aguayo et al. (2015) bahwa anak stunting lebih banyak berasal dari ibu yang melakukan antenal care kurang dari 4 kali dibandingkan dengan ibu yang melakukan antenatal care sebanyak 4 kali atau lebih. Gangguan selama kehamilan dapat menyebabkan anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat. Status imunisasi penting dilakukan agar anak terhindar dari sakit. Imunisasi wajib terdiri atas BCG, hepatitis B, polio, DPT dan campak. Tabel 15 menunjukkan bahwa anak stunting lebih banyak yang memiliki status imunisasi tidak lengkap dibandingkan dengan anak yang normal. Menurut Sengupta (2016) imunisasi bukan hanya tentang melawan infeksi melainkan berhubungan juga dengan malnutrisi kronis. Hal ini dapat disebabkan karena penyakit yang lebih mudah untuk menyerang anak yang tidak diimunisasi seperti pneuomonia, diare, malaria dan campak. Pemberian vitamin A bukan hanya berfungsi untuk menghindarkan anak dari kebutaan, melainkan juga untuk penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA). Suplementasi kapsul vitamin A dapat menghindarkan kesakitan dan kematian pada balita (Depkes 2009). Tabel 15 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A oleh posyandu lebih banyak terlewat pada anak stunting dibandingkan dengan anak yang normal. Penyebab dari anak tidak diberikan suplemen vitamin A karena orang tua sedang berpergian keluar daerah atau anak yang tidak mau diberikan vitamin A. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi et al. (2000) menujukkan bahwa suplementasi vitamin A pada anak di atas usia 24 bulan dapat meningkatkan tinggi badan anak sebesar 0.21 cm selama 4 bulan. Menurut Unicef (2012) salah satu tantangan dalam menghadapi masalah gizi di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan dan praktik yang tepat terutama terkait pentingnya pemenuhan gizi selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan. Menurut Unicef (2012) 81 persen perempuan hamil menerima atau membeli tablet besi dan folat pada tahun 2010, tetapi hanya 18 persen yang mengonsumsi tablet sebagaimana direkomendasikan minimal selama 90 hari selama masa kehamilan. Ketaatan ibu hamil untuk mengkonsumsi TTD menurut studi Rahmawati et al. (2008) dipengaruhi oleh beragam faktor terutama pengetahuan dan sikap ibu terhadap kesehatan serta ada tidaknya dukungan keluarga. Tabel 15 menunjukkan bahwa proporsi ibu yang menghabiskan tablet tambah darah ketika hamil sesuai dengan anjuran lebih tinggi pada anak normal dibandingkan dengan anak stunting. Tabel 17
Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi
Normal n % Penimbangan di Posyandu 3 bulan terakhir Ya 33 73.3 Pengobatan Medis di Tenaga Medis jika Anak Sakit Ya 31 68.9 Pemanfaatan Antenatal Care ≥4 kali Ya 44 97.8 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Stunting n %
n
Total %
31
68.9
64
71.1
23
51.1
54
60.0
37
82.2
81
90.0
26
Tabel 17
Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi (lanjutan)
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Normal n %
Stunting n %
Total
Status Imunisasi Lengkap Ya 39 86.7 37 82.2 Pemberian Vitamin A Ya 42 93.3 36 80.0 Penambah Tablet Tambah Darah untuk Ibu ketika Hamil sesuai Anjuran Ya 31 68.9 26 57.8
n
%
76
84.4
78
86.7
57
63.3
Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terdiri dari penimbangan di posyandu, kunjungan ke pelayanan kesehatan, pemanfaatan antenatal care, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan konsumsi tablet tambah darah ketika ibu hamil kemudian digabungkan dan diberi skor. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang telah diberikan skor dan dikategorikan menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagian besar termasuk ke dalam kategori baik untuk kedua kelompok. Proporsi pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kategori baik lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan status gizi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Kurang Sedang Baik Total Rata-rata±SD
Stunting n %
Normal n %
Total n
10 22.2 17 37.8 18 40.0 45 100 70.4±19.1
2 4.4 14 31.1 29 64.4 45 100 81.5±14.8
12 13.3 31 34.4 47 52.2 90 100 75.9±17.9
%
Sanitasi dan Lingkungan Kesehatan Sarana Sanitasi Sanitasi dan lingkungan dapat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Rumah tangga di Indonesia masih menggunakan air yang tidak aman berdasarkan kriteria MDGs (54.9%) dan sarana pembuangan kotoran yang belum menggunakan septic tank (25%) (Riskesdas 2010). Kuesioner terkait sanitasi dan lingkungan pada penelitian ini menggunakan kuesioner kemenkes yang telah dimodifikasi. Sanitasi dan lingkungan yang tercantum dalam penelitian ini mencakup sarana air bersih, kepemilikan jamban serta pembuangan air limbah. Sarana air bersih dan pembuangan limbah antara kelompok normal dan stunting relatif sama, skor sarana air bersih rata-rata untuk kelompok normal sebesar 78.9 sedangkan untuk kelompok stunting sebesar 76.7. Skor rata-rata pembuangan limbah pada kelompok normal sebesar 63.9 sedangkan pada kelompok stunting sebesar 64.4. Skor rata-rata kepemilikan jamban lebih tinggi pada kelompok
27
normal (89.4) dibandingkan dengan kelompok stunting (82.7). Jamban yang tidak sehat dapat berdampak buruk terhadap kesehatan anak. Ketiga indikator sarana sanitasi ini kemudian digabungkan dan diberi skor. Kategori untuk sarana sanitasi ini berdasarkan kepada Kemenkes yaitu jika skor >80% maka sarana sanitasi termasuk ke dalam kategori baik. Sebagian besar keluarga sudah memiliki sarana sanitasi yang baik. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa proporsi sarana sanitasi antara kelompok stunting dan normal sama. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan sarana sanitasi dan status gizi Sarana Sanitasi Kurang Baik Baik Total Rata-rata±SD
Stunting n % 13 28.9 32 71.1 45 100 74.6±19.2
Normal n % 13 28.9 32 71.1 45 100 77.4±19.3
Total n 26 64 90
% 28.9 71.1 100 76.0±19.3
Kondisi Rumah Kondisi rumah berkaitan erat dengan kejadian infeksi. Kondisi rumah yang buruk dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit yang kemudian akan berpengaruh terhadap status gizi. Kondisi rumah yang digunakan pada penelitian ini adalah terkait dengan sirkulasi udara dan cahaya rumah yang dinilai dari kepemilikan jendela ruang keluarga, jendela kamar, ventilasi ruang tamu, ventilasi dapur, dan pencahayaan rumah. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner berdasarkan kemenkes yang sudah dimodifikasi pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kondisi rumah pada keseluruhan contoh termasuk ke dalam kategori baik. Proporsi kondisi rumah dengan kategori baik lebih tinggi pada anak normal dibandingkan dengan anak stunting. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan kondisi rumah dan status gizi Kondisi Rumah Kurang Baik Baik Total Rata-rata±SD
Stunting n
Normal %
17 37.8 28 62.2 45 100 82.7±10.9
n
Total %
11 24.4 34 75.6 45 100 88.0±12.1
n 28 62 90
% 31.1 68.9 100 85.4±11.8
Status Kesehatan Masalah stunting tidak hanya dapat diatasi dengan intervensi gizi, melainkan juga dengan memperbaiki sanitasi dan kebersihan lingkungan yang akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak. Hal ini disebabkan karena anak-anak rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. Praktik sanitasi dan kebersihan yang buruk akan menyebabkan infeksi bakteri kronis yang dapat memicu saluran pencernaan. Hal ini juga yang akan menyebabkan energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan untuk
28
menghadapi infeksi (Schmidt et al. 2002). Selain itu, anak yang mengalami sakit cenderung menjadi tidak nafsu makan sehingga asupan energi dan zat gizinya menjadi rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi ISPA dan diare serta lama ISPA dan diare selama 3 bulan terakhir lebih tinggi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sakit dan status gizi Frekuensi Sakit ISPA Tinggi Rendah Total Median (min,max) Diare Tinggi Rendah Total Median (min,max)
Stunting
Normal
Total
n
%
n
%
n
%
23 22 45
51.1 48.9 100
7 38 45
15.6 84.4 100
30 60 90
33.3 66.7 100
3 (0,6) 15 30 45
1 (0,4) 33.3 66.7 100
8 37 45
0 (0,3)
2 (0,6)
17.8 82.2 100 0 (0,9)
23 67 90
25.6 74.4 100 0 (0,9)
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata lama sakit dan status gizi Lama Sakit ISPA Tinggi Rendah Total Median (min,max) Diare Tinggi Rendah Total Median (min,max)
Stunting n 25 20 45
Normal %
n
55.6 44.4 100 7 (0,14)
16 29 45
33.3 66.7 100
8 37 45
15 30 45 0 (0,7)
Total %
n
%
35.6 64.4 100 3 (0,14)
16 29 45
35.6 64.4 100
17.8 82.2 100 0 (0,4)
8 37 45
4 (0,14) 17.8 82.2 100 0 (0,7)
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dapat dinilai dari dua sisi yaitu secara kualitatif ataupun kuantitatif. Pengukuran konsumsi pangan secara kuantitatif dapat menggunakan metode recall. Recall yang digunakan pada penelitian ini adalah recall 1x24 jam. Hal ini disebabkan konsumsi pangan oleh anak-anak cenderung tidak berubahubah setiap harinya, sehingga yang digunakan hanya satu hari pengukuran. Tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar pada contoh adalah berlebih.
29
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein dan status gizi Karakteristik Tingkat Kecukupan Energi Defisit Tingkat Berat Defisit Tingkat Ringan Defisit Tingkat Sedang Normal Berlebih Total Rata-rata±SD Tingkat Kecukupan Protein Defisit Tingkat Berat Defisit Tingkat Ringan Defisit Tingkat Sedang Normal Berlebih Total Rata-rata±SD
Stunting n %
Normal n %
n
4 8.9 4 8.9 23 6.7 13 28.9 21 46.7 45 100 118±36.6
1 2.2 0 0.0 5 11.1 12 26.7 27 60.0 45 100 112±35.9
5 5.6 4 4.4 8 8.9 25 27.8 48 53.3 90 100 123±37.0
7 15.6 1 2.2 2 4.4 5 11.1 30 66.7 45 100 140±60.0
3 6.7 2 4.4 2 4.4 6 13.3 32 71.1 45 100 143±68.9
Total %
10 11.1 3 3.3 4 4.4 11 12.2 62 68.9 90 100 137±50.2
Konsumsi pangan selain diukur secara kuantatif, dapat juga diukur dengan cara kualitatif. Pengukuran konsumsi pangan secara kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode Food Frequency Quetionnaire (FFQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai median konsumsi nasi pada anak normal sama dengan anak stunting (21 kali/minggu), sedangkan pada frekuensi biskuit lebih tinggi pada anak stunting (4 kali/minggu) dibandingkan dengan anak normal (3 kali/minggu). Hal ini menunjukkan bahwa anak normal lebih sering mengonsumsi makanan pokok dari nasi dibandingkan jenis makanan pokok lainnya. Nilai median kebiasaan mengonsumsi tahu dan tempe sama antara anak normal dibandingkan dengan anak stunting. Frekuensi tahu dan tempe yang sering pada balita dapat disebabkan karena harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan pangan sumber protein hewani. Nilai median pangan nabati lebih tinggi dibandingkan pangan hewani kecuali telur pada kedua kelompok. Frekuensi pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah telur yaitu sebanyak 7 kali/minggu untuk kedua kelompok. Nilai median konsumsi sosis lebih tinggi pada anak normal dibandingkan dengan anak stunting. Konsumsi pangan sumber protein yang hampir sama pada kedua kelompok dapat disebabkan karena tingkat kecukupan protein relatif sudah baik di daerah perkotaan. Nilai median frekuensi konsumsi sayur dan buah-buahan sama antara kelompok stunting dan kelompok normal. Konsumsi sayur dan buah-buahan erat kaitannya dengan tingkat kecukupan vitamin dan mineral. Penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrahman et al. (2009) di Nusa Tenggara Barat menemukan bahwa asupan Zn dan vitamin A tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahmat et al. (2010) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara Zn dengan kejadian stunting. Zn berperan dalam struktur fungsi biomembran dan menjadi
30
komponen penting pada beberapa enzim yang mengatur sel pertumbuhan (Bahmat et al. 2010). Konsumsi susu cenderung lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Susu merupakan pangan sumber protein dan kalsium. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermina & Prihatini (2011) bahwa konsumsi susu lebih tinggi pada kelompok normal dibandingkan dengan kelompok stunting. Kalsium merupakan mineral penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Asupan kalsium yang kurang dapat menyebabkan anak menjadi stunting. Jajanan yang dikonsumsi oleh anak normal dan stunting relatif sama. Minuman kemasan lebih tinggi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal. Tabel 24 Nilai median pola konsumsi pangan berdasarkan status gizi Kelompok Pangan
Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Stunting
Serealia, Umbi-Umbian Nasi 21 (7, 21) Biskuit 4 (12,0) Kacang-kacangan, biji-bijian, dan olahannya Tahu 6 (0, 23) Tempe 5 (0, 21) Daging dan olahannya Ayam 2 (0.5, 21) Sosis 3 (0, 28) Bakso 3 (0, 14) Telur 7 (0, 21) Ikan basah 0.5 (0, 21) Ikan Teri 0 (0, 7) Sayur-sayuran Bayam 3 (0, 21) Wortel 3 (0, 21) Buah-buahan Jeruk 2 (0, 21) Pisang 2 (0, 21) Susu Susu cair 0 (0, 21) Susu kental manis 2 (0, 28) susu bubuk 0 (0, 21) Jajanan Agar-agar 2 (0, 14) Cilok 2 (0, 21) biskuit coklat 2 (0, 21) Minuman Teh gelas 5 (0, 21) Sirup 0 (0, 21)
Normal 21 (14, 21) 3 (14, 0) 6 (0, 27) 5 (0, 21) 2 (0, 21) 5 (0, 21) 2 (0, 21) 7 (0, 21) 0 (0, 7) 0 (0, 7) 3 (0, 21) 3 (0, 14) 2 (0, 14) 2 (0, 21) 0 (0, 21) 5 (0, 21) 3 (0, 21) 2 (0, 7) 0 (0, 14) 2 (0, 7) 4 (0, 21) 0 (0, 21)
31
Uji Beda Antar Variabel
Perbedaan Karakteristik Anak Stunting dan Normal Analisis T-Test menunjukkan bahwa usia antara kelompok stunting dengan kelompok normal tidak berbeda nyata (p=0.295). Menurut Checkley et al. (2008) anak ketika sudah melewati usia 20 bulan akan semakin terlihat penghambatan pertumbuhannya. Usia 20 bulan dianggap sebagai titik awal untuk mengetahui pertumbuhan yang terganggu karena faktor-faktor akumulasi sebelumnya, sedangkan pada penelitian ini keseluruhan contoh memiliki usia lebih dari 20 bulan, sehingga hal ini yang diduga yang menyebabkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok stunting dan normal pada contoh dengan usia 24-59 bulan. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa jenis kelamin dengan kejadian stunting tidak berbeda nyata (p=0.527). Penelitian yang dilakukan oleh Nojomi et al. (2004) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian stunting pada balita. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramli et al. (2009) yaitu jenis kelamin anak laki-laki berusia 0-59 bulan lebih berisiko menjadi stunting dibandingkan dengan anak perempuan berusia 0-59 bulan. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki pada kelompok stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bosch et al. (2008) yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami stunting dibandingkan dengan lakilaki pada masa anak-anak, sedangkan pada masa remaja perempuan memiliki risiko lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Ndiku et al. (2011) di Kenya bagian timur menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat badan lahir anak stunting dengan anak normal berbeda nyata (p=0.025). Penelitian yang dilakukan oleh Oktarina & Sudiarti (2013) menunjukkan bahwa berat badan lahir yang rendah meningkatkan risiko stunting sebesar 1.31 kali dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu & Sofyaningsih (2011) menunjukkan adanya hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian stunting pada anak usia 6-12 bulan.
Perbedaan Karakteristik Keluarga Anak Stunting dan Normal Hasil uji Mann Whitney menunjukkan besar keluarga antara contoh stunting dan normal tidak berbeda nyata (p=0.109). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Turyashemererwa (2009) bahwa jumlah anggota keluarga antara kelompok stunting dan kelompok normal tidak berbeda nyata. Menurut Aridiyah et al. (2015) jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap kejadian stunting dapat disebabkan oleh pendistribusian makanan yang sudah baik dalam keluarga. Uji beda yang menunjukkan besar keluarga antara kelompok stunting dan normal tidak berbeda nyata pada penelitian ini dapat disebabkan karena pada penelitian ini menggunakan seluruh jumlah anggota
32
keluarga tanpa mengidentifikasi jumlah balita dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Fikadu (2014) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga >4 orang berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga kurang ≤4 orang. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dan ayah antara anak stunting dan normal tidak berbeda nyata (p=0.997;0.843). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah et al. (2014) bahwa tingkat pendidikan pada ibu dan ayah pada kelompok anak stunting dan normal memiliki keterkaitan yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Linda & Hamal (2011) juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan status gizi balita. Pendidikan orang tua biasanya berkaitan dengan pendapatan dan akses informasi yang lebih mudah, sehingga semakin tinggi pendidikan orang tua maka risiko anak untuk mengalami masalah gizi berkurang. Uji Mann Whitney yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pendidikan orang tua antara anak stunting dan anak normal pada penelitian ini dapat disebabkan oleh informasi yang diperoleh dari penyuluhan-penyuluhan yang biasa diadakan di posyandu setempat, informasi ini didapatkan dari luar pendidikan formal sehingga hal ini yang diduga menyebabkan pendidikan tidak berbeda nyata antar dua kelompok. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti & Sulistyowati (2013) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua tidak berhubungan signifikan dengan status gizi anak. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa pendapatan dalam satuan juta antara anak stunting dan anak normal berbeda nyata (p=0.026). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yadav et al. (2014) di Nepal bahwa pendapatan orang tua memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Islam & Biswas (2015) di Bangladesh juga menujukkan bahwa pendapatan yang rendah merupakan salah satu faktor terjadinya stunting. Pendapatan yang rendah di negara-negara berkembang sering kali menjadi faktor terjadinya malnutrisi. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tinggi badan ibu antara anak stunting dan normal berbeda nyata (p=0.000). Penelitian yang dilakukan Silva et al. (2009) di Yucatan, Mexico menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stunting. Ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm beresiko 3.6 kali lebih besar memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan di atas 150 cm. Penelitian yang dilakukan oleh Aguayo et al. (2016) pada anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan <145 cm berisiko 2.04 kali memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥145 cm di Maharashtra, India. Penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo et al. (2013) menunjukkan bahwa ibu yang stunted berisiko 7 kali memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan normal pada daerah pedesaan. Penelitian yang dilakukan oleh Ozaltin et al. (2010) peningkatan tinggi badan ibu sebesar 1 cm berkaitan dengan penurunan risiko stunting sebesar 0.968. Penelitian cohort yang dilakukan oleh Addo et al. (2013) menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan <150.1 cm memiliki risiko 3.2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan lebih dari ≥150.1 cm pada anak usia 2 tahun. Tinggi badan ibu dapat mempengaruhi kondisi janin dalam kandungan. Pertumbuhan janin yang kurang memadai selama dalam kandungan akan
33
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak berikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Negash (2012) menunjukkan bahwa tinggi badan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan tinggi badan balita (p<0.05). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan pengetahuan ibu antara anak stunting dan normal tidak berbeda nyata (p=0.117). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Salehi et al. (2004) menunjukkan bahwa intervensi terkait dengan pengetahuan kesehatan dan gizi pada keluarga balita di daerah Iran mampu mengubah perilaku pengasuhan dan praktik pemberian makan menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan status gizi balita walaupun masyarakat tersebut termasuk kedalam keluarga miskin. Menurut Saka (2014) pengetahuan yang tidak berpengaruh terhadap status gizi dapat disebabkan oleh status sosial ekonomi yang terbatas yang menyebabkan pengetahuan ibu tidak dapat diterapkan secara optimal.
Perbedaan Pola Asuh Makan Anak Stunting dan Normal Pola asuh makan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas pemberian kolostrum, ASI ekslusif, durasi menyusui, penggunaan garam beriodium, frekuensi anak makan dalam sehari, dan kebiasaan sarapan. Masing-masing variabel diuji dengan uji chi-square menunjukkan hanya kebiasan sarapan yang berbeda nyata antara kelompok stunting dan normal (p=0.036), sedangkan variabel lainnya tidak menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok stunting dan normal dalam pemberian kolostrum (p=1.000), ASI eksklusif (p=0.512), durasi ASI (p=0.517), pemberian garam beriodium (p=0.315) dan frekuensi pemberian makan (p=0.809). Penelitian yang dilakukan oleh Teshome et al. (2009) menunjukkan bahwa kolostrum yang tidak diberikan kepada anak meningkatkan risiko terjadinya stunting. Hal ini dapat disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan untuk bayi baru lahir sehingga bayi akan terhindar dari kejadian sakit yang dapat menyebabkan masalah gizi. Penelitian yang dilakukan oleh Sah (2004) menunjukkan bahwa kolostrum tidak berhubungan signifikan dengan stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah et al. (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan kejadian stunting. Hal ini dapat disebabkan karena sebaran ibu yang memberikan kolostrum kepada anaknya cenderung homogen. ASI ekslusif dan durasi menyusui tidak berbeda nyata antara anak normal dan stunting. Hal ini dapat disebabkan karena faktor kebiasaan makan anak diluar ASI. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paudel et al. (2012) yang menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI eksklusif berisiko 6.9 kali mengalami stunting dibandingkan dengan yang diberi ASI ekslusif. Frekuensi makan dan pemberian garam beriodium tidak berbeda nyata antara anak stunting dengan anak yang normal. Menurut Erni et al. (2008) terbatasnya frekuensi makan akan berpengaruh terhadap kecukupan gizi masyarakat. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan frekuensi makan antara anak stunting dan normal dapat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis makanan setiap kali anak mengonsumsi makanan. Penelitian yang dilakukan oleh
34
Chairunnisa (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan garam beriodium dengan stunting. Hasil yang menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan garam beriodium dengan kejadian stunting dapat disebabkan karena distribusi penggunaan garam beriodium cenderung homogen pada penelitian ini (98.9%). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan antara kelompok stunting dan normal berbeda nyata. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendrayati (2015) bahwa kebiasaan sarapan merupakan salah satu faktor terjadinya stunting. Kebiasaan sarapan dapat mendorong anak menjadi hidup sehat, aktif dan produktif. Seluruh varibel pada pola asuh makan ini digabungkan untuk kemudian diberikan skor. Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa pola asuh antara kelompok stunting dan kelompok normal tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena masing-masing variabel dapat berpengaruh terhadap kontribusi skor akhir, sehingga menyebabkan pola asuh makan dengan seluruh variabel yang digunakan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting (p=0.860). Penelitian yang dilakukan oleh Siwi (2015) menunjukkan bahwa pola asuh ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi BB/U maupun status gizi TB/U. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masithah et al. (2005) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Nebusa (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan kejadian stunting.
Perbedaan Pola Asuh Kesehatan Anak Stunting dan Normal Perbedaan Praktik Kebersihan Diri Anak Stunting dan Normal Hasil uji Mann Whitney menunjukkan praktik kebersihan diri antara kelompok stunting dan kelompok normal tidak berbeda nyata (p=0.083). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Renyoet (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara praktik kebersihan diri dengan kejadian stunting menggunakan uji chi-Square. Hal ini menunjukkan bahwa praktik kebersihan diri dapat mencegah terjadinya stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2008) menujukkan bahwa adanya perbaikan pola asuh pada ibu yang diberikan intervensi berupa penyuluhan dan pelatihan terkait dengan praktik kebersihan diri menunjukkan terjadinya penurunan kejadian infeksi serta gizi kurang pada balita di akhir intervensi. Perbedaan Pelayanan Kesehatan Anak Stunting dan Normal Hasil uji Mann Whitney menujukkan pemanfaatan pelayanan kesehatan antara kelompok stunting dan normal berbeda nyata (p=0.007). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sujendran et al. (2015) yang menujukkan hubungan yang signifikan antara pemanfaatan antenatal care dan kunjungan ke klinik oleh ibu terhadap kejadian stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Renyoet (2013) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan antara pemanfataan pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting. Pemanfaatan pelayanan kesehatan ini penting dilakukan untuk memantau pertumbuhan dan
35
perkembangan anak dari janin hingga masa anak-anak. Selain itu, pemanfataan pelayanan kesehatan juga berfungsi untuk mencegah atau mengobati anak ketika sakit. Hal ini yang kemudian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, sehingga rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting.
Perbedaan Sanitasi dan Lingkungan Kesehatan Anak Stunting dan Normal Perbedaan Sarana Sanitasi Anak Stunting dan Normal Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sarana sanitasi dengan kejadian stunting (p=0.090). Hal ini sama dengan penelitian cohort yang dilakukan oleh Merchant et al. (2003) yang menunjukkan bahwa sanitasi dan air bukan merupakan faktor terjadinya stunting menggunakan analisis multiavariat, walaupun proporsi sanitasi yang buruk lebih banyak terdapat pada anak stunting dibandingkan dengan anak normal. Hal ini dapat disebabkan oleh lingkungan eksternal selain sanitasi dan air di dalam rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Fink et al. (2011) dengan menggunakan data Demographic and Health Surveys (DHS) di 70 negara berkembang dari tahun 1986 hingga 2007 menujukkan bahwa sarana sanitasi merupakan faktor risiko dari kejadian stunting. Sarana sanitasi dengan kualitas yang baik menurunkan risiko anak menjadi stunting sebesar 27%. Sarana sanitasi berkaitan dengan pencemaran yang dapat menyebabkan penyakit infeksi terhadap anak sehingga dapat memperlambat pertumbuhan anak. Perbedaan Kondisi Rumah Anak Stunting dan Normal Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi rumah dan kejadian stunting (p=0.172). Menurut Paudel et al. (2012) kondisi rumah terkait dengan ada atau tidaknya ventilasi belum bisa menggambarkan seberapa besar anak terkena paparan polusi udara, sehingga belum jelas hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Penelitian yang dilakukan Paudel et al. (2012) di Surkhet Nepal menunjukkan bahwa ada tidaknya ventilasi dapur merupakan faktor kejadian stunting berdasarkan uji multivariat.
Perbedaan Status Kesehatan Anak Stunting dan Normal Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa frekuensi ISPA antara kelompok stunting dan kelompok normal berbeda nyata (p=0.000). Penyakit infeksi dapat menganggu absorbsi zat gizi dalam tubuh. Hal ini ditandai dengan energi untuk pertumbuhan teralihkan untuk melawan penyakit infeksi (Schmidt et al. 2002). Oleh karena itu anak yang memiliki frekuensi ISPA lebih sering berhubungan signifikan dengan terjadinya stunting. Hasil uji chi-square pada status kesehatan lainnya seperti frekuensi diare, durasi diare, dan durasi ISPA tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok normal dan kelompok stunting (p=0.091;0.091;0.057). Hal ini di duga karena metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan data tiga bulan
36
terakhir riwayat sakit, sedangkan stunting merupakan masalah gizi kronis yang sudah berlangsung sejak lama. Selain itu, pada penelitian ini juga tidak dicantumkan seberapa parah penyakit yang anak alami dan juga juga tidak mencantumkan riwayat penyakit selain ISPA dan diare. Penelitian yang dilakukan oleh Torres et al. (2000) menunjukkan bahwa frekuensi dan lama ISPA serta diare tidak berhubungan signifikan dengan tinggi badan anak, namun berhubungan signifikan dengan berat badan anak. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) yaitu hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat diare akut merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada balita. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa balita yang sering mengalami diare akut berisiko 2-3 kali lebih besar tumbuh menjadi stunting dibandingkan dengan balita yang tidak atau jarang mengalami diare. Penelitian yang dilakukan di Peru juga menunjukkan bahwa kejadian diare akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan linier (Checkley 2003). Diare ini akan menyebabkan malabsorbsi zat gizi yang kemudian akan dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi, malnutrisi, serta gagal tumbuh.
Perbedaan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Stunting dan Normal Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi pada kelompok stunting dan kelompok normal tidak berbeda nyata (p=0.491). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum et al. (2014) yaitu tingkat kecukupan energi tidak berhubungan dengan kejadian stunting. Hanum et al. (2014) mengatakan bahwa tidak terkaitnya tingkat kecukupan zat gizi dengan stunting diduga karena penilaian yang dilakukan terkait asupan zat gizi saat ini, sedangkan stunting merupakan akumulasi asupan zat gizi dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Solihin et al. (2013) bahwa tingkat kecukupan energi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi (TB/U) melalui uji regresi berganda. Setiap peningkatan tingkat kecukupan energi sebesar 1% akan menambah z-score TB/U sebesar 0.032 satuan. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein (p=0.495) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Aridiyah et al. (2015) menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein tidak berkaitan secara signifikan dengan kejadian stunting di perkotaan, sedangkan tingkat kecukupan protein pada balita di pedesaan memiliki keterkaitan signifikan dengan kejadian stunting. Hal ini diduga karena tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan sudah cukup baik sehingga tidak berbeda diantara dua kelompok baik normal maupun stunting. Selain itu, penggunaan protein yang belum optimal untuk pertumbuhan linier dapat mengakibatkan anak menjadi stunting meskipun asupan proteinnya cukup, hal ini dapat disebabkan karena faktor lain seperti penyakit infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Regar & Sekartini (2013) menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (TB/U). Penelitian yang dilakukan oleh Anindita (2012) juga menunjukkan
37
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting. Tingkat kecukupan energi dan protein yang semakin rendah akan meningkatkan risiko terjadinya stunting. Menurut Almatsier (2006) status gizi dapat dipengaruhi karena dua hal yaitu faktor primer dan sekunder. Faktor primer merupakan faktor yang berasal dari kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi, sedangkan faktor sekunder adalah faktor-faktor yang menyebabkan zat gizi tidak dapat tercerna dalam tubuh dengan baik.
Keterkaitan Stunting dengan Tinggi Badan Ibu, Frekuensi dan Lama ISPA, Pendapatan Perkapita, serta Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Uji regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji backward LR. Penggunaan uji regresi logistik disebabkan uji ini mampu menggambarkan hubungan antara satu atau beberapa variabel independen dengan variabel dependen yang berbentuk biner (dikotom). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah stunting dan tidak stunting. Hasil analisis regresi logistik dengan metode backward LR mendapatkan model terbaik dengan lima variabel dependen yaitu tinggi badan ibu, frekuensi sakit ISPA, lama sakit ISPA pendapatan perkapita, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Nilai P yang didapatkan pada uji regresi logistik ini adalah sebesar 0.000. Nilai ini diperoleh dari signifikansi chi-square pada tabel Omnibus Tests of Model Coefficients. Nilai ini menunjukkan bahwa secara simultan variabel tinggi badan ibu, frekuensi sakit ISPA, lama sakit ISPA, pendapatan perkapita, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan secara bersama-sama terhadap variabel dependen (P<0.05). Nilai Nagelkerke R-Squared yang terdapat pada tabel Model Summary dari hasil regresi logistik menunjukkan nilai 0.610. Nilai ini menunjukkan bahwa sebesar 61.0% variabel dependen (stunting) dapat dijelaskan oleh variabel independen yang diteliti. Persamaan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Logit (p) = 5.733 + 2.847X1 - 2.315X2 - 1.601X3 - 2.878X4 – 0.045X5 Keterangan: Logit (p) X1 X2 X3 X4 X5
= Stunting = Tinggi Badan Ibu yang Pendek = Frekuensi ISPA yang rendah = Lama ISPA yang rendah = Pendapatan Perkapita = Akses Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Hasil uji regresi logistik menunjukan bahwa kelima variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Hal ini dibuktikan dengan nilai Sig. yaitu <0.05 untuk kelima variabel independen secara terpisah. Nilai ini dilihat dari signifikansi pada tabel Variable in The Equation. Nilai Sig. untuk tinggi badan ibu yang pendek adalah sebesar 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi badan ibu yang pendek secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Nilai B yang positif menunjukkan bahwa
38
semakin ibu memiliki tinggi badan yang pendek, maka risiko untuk kejadian stunting semakin meningkat. Nilai odd ratio untuk tinggi badan ibu sebesar 17.227 (95% CI 4.055-73.186). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan yang pendek berisiko 17.227 kali memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang yang memiliki tinggi badan yang normal. Penelitian yang dilakukan Silva et al. (2009) di Yucatan, Mexico menunjukkan bahwa tinggi badan ibu berpengaruh secara signifikan terhadap tinggi badan anak. Ibu dengan tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥150 cm. Penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo et al. (2013) menunjukkan bahwa ibu yang stunted berisiko 7 kali memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan normal pada daerah pedesaan. Penelitian cohort yang dilakukan oleh Addo et al. (2013) menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan <150.1 cm memiliki risiko 3.2 kali lebih tinggi memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan lebih dari ≥150.1 cm pada anak usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Aguayo et al. (2016) pada anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa ibu dengan tinggi badan <145 cm berisiko 2.04 kali memiliki anak yang stunting dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥145 cm di Maharashtra, India. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan faktor risiko stunting untuk anak usia dibawah dua tahun maupun untuk anak diatas dua tahun seperti pada penelitian ini. Tinggi badan ibu merupakan faktor risiko yang terus menyertai anak. Penelitian yang dilakukan oleh Ozaltin et al. (2010) menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan ibu sebesar 1 cm berkaitan dengan penurunan risiko stunting sebesar 0.968. Tinggi badan ibu merupakan faktor penting terhadap pertumbuhan intrauterin, selain itu tinggi badan ibu yang pendek berkaitan erat dengan berat badan lahir rendah. Menurut Ozaltin et al. (2010) penghambatan pertumbuhan intrauterin merupakan faktor risiko untuk kegagalan tumbuh pada masa berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan tinggi badan untuk perempuan penting dilakukan agar anak dapat terhindar dari kejadian stunting. Stunting merupakan masalah multikausal oleh karena itu selain tinggi badan ibu, diperlukan juga pola asuh ibu yang tepat terhadap anaknya. Nilai Sig. untuk pendapatan perkapita adalah 0.016. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian stunting (p<0.05). Semakin rendah pendapatan perkapita akan meningkatkan resiko terjadinya stunting (OR=0.056; 95% Cl=0.005-0.636). Menurut Almatsier (2006) jumlah pendapatan penduduk di Negara Indonesia masih tergolong rendah dan menengah yang akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. Status ekonomi yang rendah dapat berdampak pada asupan makanan yang rendah sehingga dapat mempengaruhi status gizi pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Aerts et al. (2004) menunjukkan bahwa anak dengan keluarga yang memiliki pendapatan perkapita kurang dari upah minimum memiliki risiko 3.95 kali mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita yang memenuhi upah minumum. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari et al. (2014) menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita yang rendah
39
memiliki risiko 8.5 kali mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Proporsi anak stunting dalam kuantil penduduk termiskin memiliki nilai dua kali lipat dari proporsi anak stunting dalam kuantil penduduk dengan kekayaan tertinggi. Prevalensi di daerah pedesaan adalah sebesar 40%, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah sebesar 33%. Walaupun stunting lebih banyak ditemukan dari keluarga miskin namun masih ada keluarga miskin yang anaknya tidak mengalami stunting. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang turut serta mempengaruhi tinggi badan anak, sehingga meskipun pendapatan berpengaruh terhadap kejadian stunting namun masih bisa diatasi jika determinan stunting lainnya dapat dicegah seperti ibu memberikan pola asuh yang tepat pada anaknya walaupun memiliki pendapatan perkapita yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salehi et al. (2004) yaitu pola asuh balita yang tepat dapat memperbaiki status gizi anak walaupun anak tersebut berasal dari keluarga yang miskin. Nilai Sig. untuk pemanfataan pelayanan kesehatan adalah 0.020. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Nilai B yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi skor untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka risiko untuk kejadian stunting semakin berkurang. Nilai odd ratio untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan sebesar 0.956 (95% CI 0.921-0.993). Pemanfataan pelayanan kesehatan pada penelitian ini terdiri dari penimbangan di posyandu, kunjungan ke pelayanan kesehatan, pemanfaatan antenatal care, status imunisasi, suplementasi vitamin A, dan konsumsi tablet tambah darah ketika ibu hamil. Pemanfaatan pelayanan kesehatan yang baik dapat mencegah anak dari sakit. Pemanfaatan ini perlu didukung dengan kesadaran orang tua karena fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, tidak semua masyarakat turut serta memanfaatkan layanan kesehatan ini. Penelitian yang dilakukan oleh Rode (2015) menunjukkan bahwa pemanfaatan antenatal care merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stunting. Pemanfaatan antenatal care ini berhubungan dengan asupan tablet tambah darah dan folat untuk ibu hamil. Menurut Rode (2015) rendahnya pemanfaatan antenatal care pada masyarakat meningkatkan risiko anak dalam kandungan untuk mengalami malnutrisi. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Torlesse et al. (2016) yang menunjukkan bahwa ibu yang tidak melakukan pemanfaatan antenatal care akan meningkatkan risiko janin dalam kandungan mengalami stunting di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan oleh Deshmukh et al. (2013) menunjukkan bahwa suplementasi vitamin A dan anemia sebagai indikator akses untuk pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Berendsen et al. (2016) terkait dengan imunisasi dengan kejadian stunting menunjukkan bahwa status imunisasi BCG tidak berhubungan signifikan dengan kejadian stunting namun waktu pemberian imunisasi ini berpengaruh terhadap kejadian stunting. Anak yang diberikan imunisasi BCG di awal kelahiran memiliki risiko lebih rendah untuk menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang diberikan imunisasi BCG di akhir waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Nazri (2016) menunjukkan bahwa alasan utama ibu mendatangi posyandu adalah untuk memantau status gizi anak. Ibu
40
yang memiliki niat untuk selalu mengunjungi posyandu lebih tinggi tingkat kehadirannya dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki niat untuk selalau hadir pada kegiatan posyandu. Masyarakat yang berpartisipasi untuk mengikuti kegiatan posyandu adalah masyarakat dari kalangan keluarga yang miskin dibandingkan dengan keluarga yang kaya. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfataan pelayanan kesehatan bukan hanya saja tentang fasilitas yang disediakan oleh pemerintah ataupun akses sosial ekonomi masyarakat namun juga karena kesadaran orang tua yang perlu ditingkatkan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan berfungsi untuk mencegah dan mengobati jika anak sakit. Rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan yang bersifat preventif dapat menurunkan imunitas anak yang kemudian akan meningkatkan risiko anak terkena sakit. Nilai Sig. untuk frekuensi ISPA yang rendah adalah 0.001. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi ISPA yang rendah berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian stunting (p<0.05). Nilai B yang negatif menunjukkan semakin jarang anak mengalami ISPA, semakin rendah risiko terjadinya stunting (OR=0.099; 95% CI 0.025-0.386). Nilai Sig. untuk lama ISPA yang rendah adalah 0.009. Hal ini menunjukkan bahwa lama ISPA yang rendah berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian stunting (p<0.05). Nilai B yang negatif menunjukkan semakin singkat lama ISPA pada anak, semakin rendah risiko terjadinya stunting (OR=0.202; 95% CI=0.055-0.744). Menurut Almatsier (2006) faktor terjadinya stunting dapat disebabkan karena gangguan metabolisme zat gizi dalam tubuh. Gangguan metabolisme ini biasa disebabkan karena penyakit infeksi. Menurut Schmidt et al. (2002) penyakit infeksi akan menyebabkan energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan untuk menghadapi infeksi, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Tabel 25 Hasil analisis multivariat regresi logistik empat variabel yang bermakna dengan kejadian stunting Variabel Independen B Tinggi Badan Ibu Rendah (X1) 2.847 Riwayat frekuensi sakit ISPA Rendah (X2) -2.315 Riwayat lama sakit ISPA Rendah (X3) -1.601 Pendapatan perkapita (X4) -2.878 Akses Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan -0.045 Sig = 0.000 R2 = 0.610
P 0.000 0.001 0.009 0.016 0.020
OR 17.227 0.099 0.202 0.056 0.956
Cl 95% 4.055-73.186 0.025-0.386 0.055-0.744 0.005-0.636 0.921-0.993
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Persentase anak stunting berjenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki, sedangkan pada kelompok normal sebaliknya. Berat badan lahir rendah antara kelompok stunting dan normal hampir sama. Sebagian besar jumlah anggota keluarga adalah sedang pada kedua kelompok. Pendidikan ibu masih tergolong rendah, sedangkan pendidikan ayah sebagian besar tergolong ke
41
dalam pendidikan menengah. Anak stunting lebih banyak berasal dari keluarga yang miskin dibandingkan dengan kelompok normal. Tinggi badan ibu sebagian besar adalah pendek untuk kelompok stunting, sedangkan untuk kelompok normal sebagian besar tinggi badan ibu adalah normal. Pengetahuan gizi ibu sebagian besar termasuk ke dalam kategori sedang untuk kedua kelompok. Pola asuh makan untuk kategori baik lebih tinggi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal, sedangkan praktik kebersihan diri dan pelayanan kesehatan memiliki proporsi lebih tinggi untuk kategori baik pada kelompok normal dibandingkan pada kelompok stunting. Sarana sanitasi dan kondisi rumah sebagian besar termasuk ke dalam kategori baik untuk setiap kelompok. Riwayat sakit ISPA dan diare lebih tinggi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal. Tingkat kecukupan energi dan protein untuk kedua kelompok termasuk ke dalam kategori berlebih. Uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada variabel berat badan lahir, pendapatan, tinggi badan ibu, pemanfataan pelayanan kesehatan dan frekuensi ISPA pada kelompok stunting dan kelompok normal. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa model terbaik yaitu terdiri atas 5 variabel. Lima variabel tersebut yaitu tinggi badan ibu, frekuensi sakit ISPA, lama sakit ISPA, pendapatan perkapita dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (R2=0.610).
Saran Berdasarkan hasil penelitian, stunting dapat dicegah dengan cara menjaga kesehatan anak agar terhindar dari penyakit khususnya ISPA. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia yaitu membawa anak ke tenaga medis jika sakit serta rutin mengunjungi kegiatan posyandu. Perbaikan gizi sejak dini khususnya pada wanita agar memiliki tinggi badan yang normal sangat penting untuk dilakukan. Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Desain penelitian cross sectional study hanya dapat menggambarkan hubungan dalam satu waktu. Oleh karena itu, diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut terkait dengan determinan stunting dalam jangka waktu penelitian yang lebih lama, seperti menggunakan desain penelitian cohort.
42
DAFTAR PUSTAKA Aerts D, Drachler ML, Giugliani ERJ. 2004. Determinants of Growth Retardation on Southern Brazil. Cad Saude Publica. 20 (5): 1182-1190. Addo OY, Slein AD, Fall CH, Gigante DP, Guntupalli AM, Horta BL, Kuzuwa CW, Lee N, Norris SA, Prabhakaran P, Richter LM, Sachdev HS, Martorell R. 2013. Maternal Height and Child Growth Patterns. The Journal of Pediatrics. 163 (2): 549-554. Adisasmito W. 2008. Case Study: Pembuatan Kebijakan Kesehatan Rancangan Undang-Undang RI tentang Pemberian Makanan Tambahan dan Pemeriksaan Kesehatan Berkala Bagi Anak Usia 1 (Satu) sampai dengan 12 (Dua Belas) Tahun [prosiding]. Jakarta (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Aguayo VM, Badgaiyan N, Paintal K. 2015. Determinanants of Child Stunting in The Royal Kingdom of Bhutan: an in-Depth Analysis of Nationally Representative Data. Maternal & Child Nutrition. 11: 333-345. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Anindita P. 2012. Hubungan Tingkat Pendiikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan Protein dan Zinc dengan Stunting (Pendek) pada Balita Usia 635 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1 (2): 617-626. Anwar F, Khomsan A, Sukandar D, Riyadi H, Mudjadjanto ES. 2010. High Participation in the Posyandu Nutrition Program Improved Children Nutritional Status. Nutrition Research and Practice. 4 (3): 208-214. Aridiyah FO, Rohmawati N, Ririanty M. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. 3 (1): 163-170. Astuti FD, Sulistyowati TF. 2013. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Anak Prasekolah dan Sekolah Dasar di Kecamatan Godean. Kesehatan Masyarakat. 7 (1): 15-20. Atsaniyah F. 2014. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Awadh AI, Hassali MA, Al-lela OQ, Bux SH, Elkalmi RM, Hadi H. 2014. Immunization Knowledge and Practice among Malaysian Parents: A Questionnaire Development and Pilot-Testing. BMC Public Health. 14 (1107): 1-7. Ayu SD. 2008. Pengaruh Program Pendampingan Gizi terhadap Pola Asuh, Kejadian Infeksi dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein [tesis]. Semarang (ID): Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
43
Bahmat DO, Bahar H, Jus’at I. 2010. Hubungan Asupan Seng, Vitamin A, Zat Besi dan Kejadian pada Balita (24-59 Bulan) dan Kejadian Stunting di Kepulauan Nusa Tenggara (Riskesdas 2010). Jakarta (ID): Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Bogor Utara dalam Angka 2015. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kota Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 20132015. [Internet]. [diakses tanggal 20 Mei 2016]. Tersedia pada: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Konsep Indeks Pembangunan Manusia. [Internet]. [diakses tanggal 17 Februari 2016]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/26. Berendsen MLT, Smits J, Netea MG, Ven AVD. 2016. Non-Specific Effects of Vaccines and Stunting: Timing May Be Essential. EbioMedicine. 8: 341348. Bosch AM, Baqui AH, Ginneken JKV. 2008. Early-life Determinants of Stunted Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. J Health Popul Nutr. 26 (2): 189-199. Chairunnisa. 2011. Pengaruh Penggunaan Garam Beryodium terhadap Status Gizi Balita Pendek di Kecamatan Amuntai Tengah Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2010 [skripsi]. Borneo (ID): Program Studi S1 Gizi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo Banjarbaru Checkley W, Buckley G, Gilman RH, Assis AM, Guerrant RL, Morris SS, Mølbak K, Branth PV, Lanata CF, Black RE, The Childhood Malnutrition and Infection Network. 2008. Multi-country analysis of The Effect of diarrhoea on Childhood Stunting. Journal of Epidemiology. 3 (7): 816830. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Gizi dalam Angka. Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. Devi M. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Balita di Pedesaan. Jurnal Teknologi dan Kejuruan. 33(2): 183192. Deshmukh PR, Sinha N, Dongre AR. 2013. Social Determinants of Stunting in Rural Area of Wardha, Central India. Medical Journal Armed Forces India. 69: 213-217. Dewey KG, Begum K. Long-term Consequences of Stunting in Early Life. 2011. Maternal Child Nutr. 7(3): 5-18.
44
Erni, Juffrie M, Rialihanto MP. 2008. Pola Makan, Asupan Zat Gizi, dan Status Gizi Anak Balita Suku Anak Dalam di Nyogan Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 5 (2): 84-90. Febrianto ID. 2012. Hubungan Tingkat Penghasilan, Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan Orang Tua tentang Makanan Bergizi dengan Status Gizi Siswa TK Islam Zahrotul Ulum Karangampel Indramayu [skripsi]. Program Studi Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. Fikadu T, Assegid S, Dube L. 2014. Factors Associated with Stunting among Chldren of Age 24 to 59 Months in Meskan District, Gurage Zone, South Ethiopia: A Case-Control Study. BMC Public Health. 14:800. Fink G, Gunther I, Hill K. 2011. The Effect of Water and Sanitation on Child Health: Evidence From The Demographic and Health Surveys 1986– 2007. International Journal of Epidemiology. 9 (18). DOI:10.1093/ije/dyr102. Hadi H, Stoltzfus RJ, Dibley MJ, Moulton LH, West KP, Kjolhede CL, Sadjimin T. 2000. Vitamin A Supplementation Selectively Improves The Linear Growth of Indonesian Preschool Children: Results from A Randomized Controlled Trial. The American Journal of Clinical Nutrition. 71: 507-513. Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. 2014 Hubungan Asupan Gizi dan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(1): 1-6. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Departemen GMSK, FAPERTA IPB. Hendrayati. 2015. Analysis of Determinant Factors in Stunting Children Aged 12 to 60 Months. Biochem Physol. 85: 1-5. Hermina, Prihatini S. 2010. Gambaran Keragaman Makanan dan Sumbangannya terhadap Konsumsi Energi Protein pada Anak Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 39 (2): 62-73. Islam A, Biswas T. 2015. Chronic Stunting among Under-5 Children in Bangladesh: A Situation Analysis. Advances in Pediatric Research. 2:18. Islam NSK, Ahmed L, Khan NI, Huque S, Begum A, Yunus ABM. 2006. Immune Components (IgA, IgM, IgG, immune cells) of Colostrum of Bangladesh Mothers. Pediatrics International. 48: 543–548. Jahari AB. 2008. Masalah Gagal Tumbuh pada Anak Balita Masih Tinggi: Adakah yang “Kurang” dalam Kebijakan Program Gizi di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 31 (2): 123-138. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lestari W, Margawati A, Rahfiludin MZ. 2014. Faktor Risiko Stunting pada Anak Umur 6-24 bulan di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia. 3 (1): 37-45.
45
Linda O, Hamal DK. 2011. Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Orangtua serta Pola Asuh dengan Status Gizi Balita di Kota dan Kabupaten Tangerang, Banten [prosiding]. Jakarta (ID): Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Masithah T, Soekirman, Martianto D. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita do Desa Mulya Harja. Media Gizi & Keluarga. 29 (2): 29-39. Merchant AT. Jones C, Kiure A, Kupka R, Fitzmaurice G, Herrera MG, Fawzi WW. 2003. Water and Sanitation Associated with Improved Child Growth. European Journal of Clinical Nutrition. 57: 1562-1568. Nadiyah, Briawan D, Martianto D. 2014. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia 0-23 Bulan di Provinsi Bali, Jawab Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pangan dan Gizi. 9 (2): 125-132. Nasikhah R. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur [skripsi]. Semarang (ID): Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro. Nazri C, Yamazaki C, Kameo S, Herawati DMD, Sekarwana N, Raksanagara A, Koyoma H. Factors Influencing Mother’s Participation in Posyandu for Improving Nutritional Status of Children Under-Five in Aceh Utara District, Aceh Province, Indonesia. BMC Public Health. 16 (69). Ndiku M, Siegl KJ, Singh P, Sabate J. 2011. Gender Inequality in Food Intake and Nutritional Status of Children Under 5 Years Old in Rural Eastern Kenya. European Journal of Clinical Nutrition. 65: 26-31. Nebusa CD. 2012. Hubungan Riwayat Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi terhadap Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur [tesis]. Yogyakarta (ID): Ilmu Kesehatan Masyarakat Univeristas Gajah Mada. Negash C, Whiting SJ, Henry CJ, Belachew T, Hallemariam TG. 2015. Association between Maternal and Child Nutritional Status in Hula, Rural Southern Ethiopia: A Cross Sectional Study. Maternal and Child Nutritional Status. 1-8. Nojomi M, Tehrani A, Najm-Abadi S. 2004. Risk Analysis of Growth Failure in Under-5-Year Children. Archives of Iranian Medicine. 7 (3): 195-200. Oktarina Z, Sudiarti T. 2013. Faktor Risiko Stunting pada Balita (24-59 Bulan) di Sumatera. Jurnal Pangan dan Gizi. 8 (3): 175-180. Ortiz J, Camp JV, Wijaya S, Donoso S, Huybregts L. 2013. Determinants od Child Malnutrition in Rural and Urban Ecuadorian Highlands. Public Health Nutrition. 17 (9): 2122-2130. Paudel R, Pradhan B, Wagle RR, Pahari DP, Onta SR. 2012. Risk Factors for Stunting Among Children: A Community Based Case Control Study in Nepal. Kathmandu University Medical Journal. 10 (3): 18-24.
46
Rahayu LS, Sofyaningsih M. 2011. Pengaruh BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Perubahan Status Stunting pada Balita di Kota dan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten [prosiding]. Jakarta (ID): Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Rahmawati D, Mursiyam, Sejati W. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Ibu Hamil dalam Mengonsumsi Tablet Besi di Desa Sokaraja Tengah, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman. 3 (3): 114-124. Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, Dibley MJ. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting among Under-Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC Pediatrics. 9: 64. Regar E, Sekartini R. 2013. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Indonesia. 1 (3): 184-189. Renyoet BS. 2013. Hubungan Pola Asuh dengan Kejadian Stunting Anak Usia 623 Bulan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rode S. 2015. Child Malnutrition and Low Access to Health Care Facilities in Mumbai Metropolitan Region. Global Journal of Science Fronitier Research. 15 (2): 49-59. Sah N. 2004. Determinants of Child Malnutrition in Nepal: A Case Analysis from Dhanusha, Central Terai of Nepal. Journal of Nepal Health Research Council. 2 (2) : 50-54. Saka M. 2014. Relationship Between Mother’s Nutritional Knowladge in Childcare Practices and the Growth of Children Living in Impoverished Rural Communities. J Health Popul Nutr. 32 (2): 237-248. Salehi M, Kimiagar SM, Shahbazi M, Mehrabi Y, Kolahi AA. 2004. Assessing The Impact of Nutrition Education on Growth Indices of Iranian Nomadic Children: An Application Modified Beliefs, Attitudes, Subjective-Norms and Enabling-Factors Model. British Journal of Nutrition. 91: 779-787. DOI: 10.1079/BJN20041099. Sawadogo PS, Prevel YV, Savy M, Kameli Y, Traissac P, Traore AS, Delpeuch F. 2006. An Infant and Child Feeding Index is Associated with The Nutritional Status of 6- to 23-Month-Old Children in Rural Burkina Faso. Journal of Nutrition. 136:656-663. Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W, Gross R, Hautvast GAJ. 2002. Nutritional Status and Linear Growth of Indonesian Infants in West
47
Java are Determined More by Prenatal Environment than by Postnatal Factors. Journal of Nutrition. 132 (8): 2202-2207. Schmidt CW. 2014. Beyond Malnutrition: The Role of Sanitation in Stunted Growth. Environ Health Perspect. 122: 298-303. Sediaoetama AD. 2012. Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Senbajo IO, Olayiwola IO, Afolabi WA, Senbanjo OC. 2013. Maternal and Child Under-Nutrition in Rural and Urban Communities of Lagos State, Nigeria: The Relationship and Risk Factor. BMC Research Notes. 6: 286. Sengupta K. 2016. Determinants Stunting of Health Status in India. New Delhi (IN): Springer. Silva MIV, Azcorra H, Dickinson F, Bogin B, Frisancho AR. 2009. Influence of Maturnal Stature, Pregnancy Age, and Infant Birth Weight on Growth during Childhood in Yucatan, Mexico: A Test of The Intergenerational Effects Hypothesis. Am J Hum Biol. 21 (5):657-63. doi: 10.1002/ajhb.20883. Siwi SA. 2015. Hubungan antara Pola Asuh dengan Status Gizi pada Balita Usia 2-5 Tahun [skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solihin RDM, Anwar F, Sukandar D. 2013. Kaitan Antara Status Gizi, Perkembangan Kognitif, dan Perkembangan Motorik pada Anak Usia Prasekolah. Penelitian Gizi dan Makanan. 36 (1): 62-72. Sujendran S, Senarath U, Joseph J. 2015. Prevalance of Stunting among Children Aged 6 to 36 Months, in The Eastern Province of Sri Lanka. J Nutr Disorders Ther. 5 (1). doi:10.4172/2161- 0509.1000154. Swastini PM. 2008. Hubungan Pengetahuan, Sikap Ibu dengan Praktik Pemberian Makan Pendamping ASI (MP-ASI) pada Balita Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara [skripsi]. Jakarta (ID): Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Taufiqurrahman, Hadi H, Julia M, Herman S. 2009. Defisiensi Vitamin A dan Zinc Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Stunting pada Balita di Nusa Tenggara Barat. Media Peneliti dan Pengembangan Kesehatan. 19 (11): 84-94. Teshome B, Makau WK, Getahun Z, Taye G. 2009. Magnitude and Determinants of Stunting in Children Under-Five Years of Age in Food Surplus Region of Ethiopia: The Case of West Gojam Zone. Ethiop J Health Dev. 23 (2): 98-106. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. 2016. Determinants of Stunting in Indonesian Children: Evidence from A Cross-Sectional Survey Indicate a Prominent Role for The Water, Sanitation and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC Public Health. 16: 669. Torres AM, Peterson KE, de Souza ACT, Orav EJ, Hughes M, Chen LC. 2000. Association of Diarrhoea and Upper Respiratory Infections with Weight
48
and Height Gains in Bangladeshi Children Aged 5 to 11 Years. Bulletin of the World Health Organization. 78 (11). Turyashemererwa FM, Kikafunda JK, Agaba E. 2009. Prevalence Of Early Childhood Malnutrition And Influencing Factors In Peri Urban Areas Of Kabarole District, Western Uganda. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development. 9 (4): 975-989. Unicef. 2012. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak Indonesia [Internet]. [diunduh tanggal 12 Februari 2016]. Tersedia pada: http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_-B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf. Untoro J, Karyadi E, Wibowo L, Erhardt MW, Gross R. 2005. Multiple Micronutrient Supplements Improve Micronutrient Status and Anemia but Not Growth and Morbidity of Indonesian Infants: A randomized, DoubleBlind, Placebo-Controlled Trial. J-Nurt. 135: 639–645. Variyam JN, Blaylock J, Lin BH, Ralston K, Smallwood D. 1999. Mother’s Nutrition Knowladge and Children’s Dietary Intakes. Amer J Agr Ecom. 81: 373:384. WHO. 2015 Oktober 14. Stunting is Nutshell. WHO [Internet]. [diunduh 12februari 2015]. Tersedia pada: http://www.who.int/nutrition/healthy growthprojstuntedvideos/en/ Yadav DK, Gupta N, Shrestha N. 2014. An Assesment of Nutritional Status of Children Less than 3 Years in Rural Areas of Mahottari District of Nepal. Int J Med Res Health Sci. 3 (3) 597-603.
49
LAMPIRAN
Gambar 1 Pengukuran antropometri selama penelitian
50
Tabel 1 Hasil SPSS uji regresi logistik
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 07 Februari 1994 dari ayah H Anang Zulkarnaen, A.MK dan ibu Koyah. Penulis adalah putri kedua dari lima bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA 1 Ciawi dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan SNMPTN. Penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama berkuliah di IPB, penulis menjadi asisten praktikum Perencanaan Pangan dan Gizi dan Ekonomi Pangan dan Gizi pada tahun ajaran 2015-2016. Penulis pernah aktif sebagai anggota Divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa BEM FEMA IPB pada tahun 2014, anggota divisi kestari Kepanitiaan Nutrition Fair 2014, dan ketua divisi kestari Kepanitiaan Nutrition Fair 2015. Selama berkuliah di IPB penulis pernah melakukan KKN-P di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Selama KKN-P penulis melaksanakan program pendampingan balita gizi kurang, konsultasi di puskesmas, revitalisasi posyandu dan penyuluhan PHBS di Sekolah Dasar. Penulis melakukan Internship Bidang Dietetik dan Manajemen Makanan di RSCM dengan kasus penyakit dalam, anak dan bedah.