Ilmu Ushuluddin, Januari 2016, hlm. 13-24 ISSN 1412-5188
Vol. 15, No. 1
FAHM AL-QUR’AN AL-HAKIM; TAFSIR KRONOLOGIS ALA MUHAMMAD ABID AL-JABIRI Wardatun Nadhiroh Prodi Ahwal al-Syakhsiyah STAI Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Diterima tanggal 5 Agustus 2015 / Disetujui tanggal 4 Nopember 2015 Abstract In general, most of Qur’anic interpretations (Kitab-kitab Tafsir, red-) have a systematic of Qur’anic order in Mushaf, started from Surah al-Fâtihah and ended at Surah al-Nâs. Unlike those, Muhammad Abid al-Jabiri, is commonly known as al-Jabiri, contemporary Islamic thinker from Marroco, wrote a Qur’anic interpretation based on chronological order of Surahs, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim. It is started from Surah al-Alaq: 1-5 and ended at Surah al-Nashr. Al-Jabiri offered new methodology to understand Qur’anic text which he called as al-fashl to answer problems of objectivity and al-washl to answer problems of rasionality. He based his interpretation on Qirâ’ah Muâshirah (contemporary reading) so Qur’anic text will be contemporary for itself and contemporary for its readers in contemporary context. This article describes briefly about al-Jabiri’s works, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim, his thoughts in Qur’anic issues and his offered interpretation methodology. Kata kunci: Tafsir, kronologis, al-fashl, al-washl Pendahuluan Muhammad Abid al-Jabiri, sebuah nama yang sangat tidak asing di kalangan pemikir Islam kontemporer. Dia digadang-gadang sebagai tokoh yang merekonstruksi epistemologi Islam melalui pemikirannya tentang kritik nalar Arab. Tidak hanya itu, al-Jabiri juga menawarkan metodologi berpikir kritis dalam menghadapi turats dan modernitas. Sebagai seorang penulis yang prolific dan ensiklopedis, al-Jabiri telah menghasilkan banyak karya dengan beragam tema sepanjang hidupnya. Madkhal ila al-Qur`ân dan Fahm al-Qur’ân al-Hâkim merupakan dua karyanya yang khusus membahas tentang diskursus al-Qur’an, ditulis al-Jabiri di sisa akhir hidupnya. Artikel ini memotret sebagian pemikiran al-Jabiri tentang al-Qur’an maupun ilmunya dalam kedua buku tersebut. Walaupun sebenarnya makalah ini disusun untuk membidik penafsirannya dalam Fahm al-Qur’ân alHâkim, tetapi untuk memasuki dunia penafsiran al-Jabiri maka mau tidak mau kita harus mengulas mengenai Madkhal ila al-Qur`ân, kitab Ulum al-Qur’annya al-Jabiri sehingga diketahui seberapa jauh konsistensi al-Jabiri dalam menerapkan Ulum al-Qur’annya dalam tafsirnya. Setting Kehidupan Muhammad Abid Al-Jabiri Muhammad Abid al-Jabiri (yang kemudian disebut al-Jabiri) dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada 27 Desember 1936. Al-Jabiri tumbuh dalam lingkungan keluarga pendukung kemerdekaan Maroko dari kolonialisme Perancis dan Spanyol.1 Jenjang pendidikannya dimulai dari pendidikan ibtidaiyah di Madrasah Hurrah Wathaniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan gerakan 1 Walid Harmaneh, “Kata Pengantar” dalam Muhammad Abid al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), xiv.
14 Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
kemerdekaan ketika itu pada 1949. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.2 Setelah selesai studi di Casablanca, al-Jabiri khsususnya dan Maroko umumnya mengalami masa transisi antara tahun 1953-1955. Jarak antara tahun tersebut, Maroko sedang gencar-gencarnya berjuang mewujudkan kemerdekaan. Kondisi ini memaksa al-Jabiri untuk terlibat dalam gerakan politik untuk melawan penjajahan Perancis yang ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya di Maroko. Bagi al-Jabiri juga, jarak waktu ini tersebut adalah fase transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Hal yang merupakan kebetulan jika fase transisi secara sosial dan politik di Maroko juga ikut membentuk dan mewarnai masa transisi dalam kehidupan pribadi al-Jabiri. Sejak dari awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dimulai pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Al-Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru saja didirikan di negara asalnya. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah at-Târikh ‘inda Ibn Khaldûn (Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), di bawah bimbingan M. Aziz Lahbabi (w. 1992), seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sartr. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktoralnya juga berkisar seputar pemikiran Ibn Khaldun, "Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoretik Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam" (al-‘Ashabiyyah wa ad-Dawlah: Ma’âlim Nazhariyyah Khaldûniyyah fî Târikh al-Islâmî). Disertasi tersebut dibukukan tahun 1971. Al-Jabiri dikenal sebagai penulis prolifik dan ensiklopedis, sebelum meninggal dunia pada hari Senin, 3 Mei 2010 pada usianya yang ke-75, ia sudah menerbitkan banyak karyanya, diantaranya; 1) al-‘Ashabiyyah wa ad-Dawlah: Ma’âlim Nazhariyyah Khaldûniyyah fî Târikh al-Islâmî (1971); 2) Adhwâ` ala Musykil at-Ta'lîm bi al-Maghrib (1973); 3) Madkhal ila Falsafah al-'Ulûm (1976); 4) Min Ajli Ru`yah Taqaddumiyyah li Ba'dh Muskilâtinâ al-Fikriyyah wa at-Tarbawiyyah (1977); 5) Nahnu wa Turâts: Qirâ`ah Mu'âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî (1980); 6) al-Khithâb al-'Arab al-Mu'âshir: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah (1982); 7) Takwîn al-'Aql al-'Arabî (1984); 8) Bunyah al-'Aql al-'Arabî (1986); 9) as-Siyâsât at-Ta'lîmiyyah fî al-Maghrib al-'Arabî (1988); 10) Iskaliyyât al-Fikr al-'Arab al-Mu'âshir (1988); 11) al-Maghrib alMu'âshir: al-Khushûshiyyah wa al-Huwiyyah, al-Hadâtsah wa at-Tanmiyyah; 12) al-'Aql as-Siyâsi al-'Arabî (1990); 13) Hiwar al-Maghrib wa al-Masyriq: Hiwar ma'a Hasan Hanafi (1990); 14) al-Turâts wa alHadâtsah: Dirâsât wa Munâqasât (1991); 15) Muqaddimah li Naqd al-'Aql al-Arabî (1991/92); 16) alMas`alah at-Tsaqâfiyyah (1994); 17) al-Mutsaqqafûn fî al-Hadhârah al-'Arabiyyah al-Islâmiyyah, Mihnah Ibn Hanbal wa Nukbah Ibn Rusyd (1995); 18) Mas`alah al-Huwiyyah: al-'Arûbah wa al-Islâm wa al-Gharb (1995); 19) ad-Dîn wa ad-Dawlah wa Tathbîq al-Syarî'ah (1996); 20) al-Masyrû' an-Nadhawi al-'Arabî (1996); 21) ad-Dimokrathiyyah wa Huqûq al-Insân (1997); 22) Qadhâyâ fî al-Fikr al-Mu'âshir: al-'Aulamah, Sharâ' al-Hadhârah, al-'Awdah ila al-Akhlâq, at-Tasâmuh, ad-Dimokrathiyyah, Nizhâm al-Qiyâm, al-Falsafah al-Madaniyyah (1997); 23) at-Tanmiyyah al-Basyariyyah wa al-Khushûshiyyah as-Sosio-Tsaqâfiyyah: al-'Alâm al'Arabî Namûdzajan (1997); 24) Wijhat an-Nazhr: Nahwa I'âdah al-Binâ` Qadhâyâ al-Fikr al-'Arab alMu'âshir (1997); 25) Hafriyyât fi al-Dzâkirah min Ba'îd: Sîrah Dzâtiyyah min as-Shabâ ila Sin al-'Isyrîn (1997); 26) Komentar atas karya-karya Ibn Rusyd yang terdiri dari Fashl al-Maqâl, al-Kasyf 'an Manâhij al-Adilah fi Aqâid al-Milah, Tahâfut al-Falâsifah, Kitâb al-Kuliyyât fi at-Thib, ad-Dharûrî fi as-Siyâsah (19971998); 27) Ibn Rusyd: Sîrah wa al-Fikr (1998); 28) al-'Aql al-Akhlâq al-'Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhm al-Qiyâm fi Tsaqâfah al-'Arabiyyah (2001); 29) Madkhal ila al-Qur`ân al-Karîm: Fî
Muhammad Yahya, “Fahm al-Qur`ân al-Hakîm: al-Tafsîr al-Wâdhih Hasba Tartîb al-Nuzûl Karya al-Jabiri”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 1, Januari 2010, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2
WARDATUN NADHIROH
Fahm Al-Qur’an Al-Hakim 15
Ta'rîf bi al-Qur`ân (2006); dan 30) Fahm al-Qur`ân al-Hakîm: at-Tafsîr al-Wâdhih Hasba Tartîb an-Nuzûl (2008). Diantara karya-karyanya tersebut, yang khusus membahas mengenai diskursus al-Qur’an adalah Madkhal ila al-Qur`ân. Dan sebagai tindak lanjut dari bukunya tersebut, al-Jabiri kemudian menulis kitab tafsir berjudul Fahm al-Qur`ân al-Hakîm: at-Tafsîr al-Wâdhih Hasba Tartîb an-Nuzûl, yang didasarkan pada kronologi pewahyuan. Beberapa Pemikiran M. Abid Al-Jabiri tentang Al-Qur’an 1.
Redefinisi al-Qur’an; Implikasi Pembacaan Teks secara Kebahasaan
Untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an, al-Jabiri sangat menekankan akan pemahaman teks melalui aspek bahasanya, yaitu bahasa Arab. Menurutnya, hal ini telah ditegaskan sendiri oleh alQur’an dalam sembilan tempat bahwa alat komunikasi yang dipakainya adalah bahasa Arab. 3 Oleh sebab itu, ketika banyak orang memberikan definisi yang berbeda-beda tentang al-Qur’an secara etimologis dan terminologis, maka al-Jabiri memberikan definisinya sendiri yang didasarkan akan prinsip pemahaman kebahasaan di atas. Secara etimologis, menurut al-Jabiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab bahasa, alQur’an berasal dari قرأ – يقرأ – قراءة – قرءانا. Hal ini menurut al-Jabiri yang dianggap sesuai dengan ayat yang pertama kali turun إقرأ باسم ربكdengan Nabi Muhammad sebagai mukhatabnya dan kemudian dijawab dengan ماذا أقرأ ؟. Pendapat ini juga disandarkan pada QS. Al-Qiyamah (75): 16-19.
)19( ُ) ثُمَّ إِن عَلَينَا بَيَانَه18( ُ) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِع قُرآَنَه17( ُ) إِن عَلَينَا جَمعَهُ وَقُرآَنَه16( لَا تُحَرِّك بِه لسَانَكَ لتَعجَلَ بِه I’tibar yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah bahwa kata “al-Qur’ân” merupakan padanan dari kata “al-Qirâ’ah” dan “al-Tilâwah”.4 Adapun secara terminologis, menurut al-Jabiri, al-Qur’an telah mendefinisikan dirinya sendiri sebagaimana tertuang dalam QS. As-Syu’arâ (26): 192-196.
)195( ) بِلسَان عَرَبِي مُبِين194( َ) عَلَى قَلْبِكَ لتَكُونَ منَ الْمُنذرِين193( ُ) نَزَلَ بِه الرُّوحُ الْأَمي192( َوَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمي )196( َوَإِنَّهُ لَفي زُبُرِ الْأَوَّلي Jadi yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah wahyu dari Allah, yang dibawa Jibril, kepada Muhammad, dengan menggunakan bahasa Arab, termasuk jenis wahyu yang termaktub dalam kitab para rasul terdahulu. Dari definisi ini, setidaknya ada tiga hal yang dapat dipahami. Pertama, bahwa esensi al-Qur’an bukanlah hal yang sama sekali baru melainkan kontinuitas seruan Tuhan kepada manusia. Kedua, penyampaian wahyu tersebut merupakan peristiwa ruhani (َ)عَلَى قَلْبِك. Ketiga, alQur’an menjadikan pembawanya orang yang menjelaskan kepada manusia atas apa yang haq dan yang bathil (َ)منَ الْمُنذرِين.5
QS. Ar-Ra’d (13): 37, QS. As-Syu’arâ (26): 195, QS. Yûsuf (12): 2, QS. An-Nahl (16): 103, QS. AzZumar (39): 38, QS. As-Sajdah (41): 3, QS. As-Syûra (42): 7, QS. Az-Zukhruf (43): 3, dan QS. Al-Ahqâf (46): 12. 4 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah alArabiyah, 2006), 150. Lihat juga: Dwi Haryono, Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabiri, dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 92. 5 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 24. Lihat juga: Dwi Haryono, Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabiri, 94. 3
16 Ilmu Ushuluddin
2.
Vol. 15, No. 1
Kisah-kisah al-Qur’an
Dari tiga bab isi buku Madkhal ila al-Qur`ân, al-Jabiri memberikan satu bab khusus yang membahas tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an. Ini membuktikan al-Jabiri memiliki ketertarikan mendalam terhadap kisah-kisah Qur’ani. Menurut al-Jabiri, kisah-kisah al-Qur’an merupakan jendela yang terbuka lebar, yang sangat urgen bagi kita untuk mengetahui perjuangan dakwah Nabi Muhammad, yang mana semua itu terkait dengan perjalanan para Nabi sebelumnya dengan kaumkaum mereka. Al-Jabiri menegaskan bahwa kisah-kisah Qur’ani tersebut merupakan cerminan atau gambaran mengenai dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, yang dimisalkan dengan perjuangan para Nabi dan Rasul sebelumnya, perjuangan pada masanya, dan masa setelahnya.6 Bagi al-Jabiri, kisah merupakan suatu jenis dari perumpamaan atau penyerupaan sehingga yang dibutuhkan adalah memahami penjelasan dan mengambil ibrahnya dengan merunut pada keadaan mustami’ (audiens) ketika kisah tersebut diturunkan, bukan untuk membuktikan kebenaran kisah itu sendiri dengan fakta sejarah.7 Ini sesuai dengan prinsipnya bahwa al-Qur’an bukanlah kitab kisah apalagi kitab sejarah tetapi kitab dakwah keagamaan yang menjadikan kisah sebagai sarana mencapai tujuan dakwah.8 Lebih jauh al-Jabiri juga mencoba menyusun kisah-kisah tersebut sesuai tartîb al-nuzûlî, yang dibaginya dalam dua periode, Makkiyah dan Madaniyah. Dari dua periode ini, al-Jabiri kemudian mengklasifikasikan kisah-kisah dalam al-Qur’an tersebut dalam tiga kategori. a. Kisah-kisah yang mengungkapkan tentang keadaan kaum-kaum yang mendustakan para rasulnya yang ditimpa bencana dan kemalangan. Sasaran kisah ini adalah para musuh dakwah Nabi Muhammad dari golongan kafir Quraisy. Dimaksudkan bahwa kisah-kisah jenis ini, yang kebanyakan menampilkan keadaan “Ashhâb al-Qurâ” (umat para Nabi dari bangsa Israel yang mendapat azab dan bencana kehancuran), mampu menakut-nakuti dan memperingatkan mereka untuk tidak mengalami hal yang serupa. b. Kisah-kisah yang secara khusus memberikan pujian dan sanjungan pada para nabi serta menjelaskan keistimewaan masing-masing dalam ayat-ayatnya. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan kebenaran nubuat dan risâlah mereka. Kebanyakan ayat ini juga berbicara mengenai para nabi bangsa Israel. c. Jenis kisah yang terakhir khusus menyorot pada keadaan di masa Madinah. Biasanya menceritakan tentang perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang menyerupakan Allah, memperlihatkan kedurhakaan mereka terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya, dan menjelaskan penyimpangan mereka dari agama Ibrahim yang sebenarnya berkesesuaian dengan agama yang dibawa Nabi Muhammad.9 Sebagai bentuk konsistensinya terhadap tafsir kronologis yang dia buat, al-Jabiri juga memetakan ayat-ayat yang termasuk ke dalam masing-masing kategori di atas sesuai tartîb an-nuzûl. Dua jenis pertama termasuk periode Mekah dan yang terakhir Madinah. a. Periode Mekah pertama, mencakup surah al-Fajr yang turun sebagai surah yang ketujuh hingga surah ketiga puluh tujuh yaitu surah al-Qamar. Berdasarkan tartîb an-nuzûl, surahsurah ini mencakup dasar-dasar keagamaan. b. Periode Mekah kedua, mencakup surah ketiga puluh delapan yaitu surah Shad sampai surah al-Ankabut, surah kedelapan puluh delapan dan merupakan surah terakhir yang memuat tentang kisah dan diturunkan di Mekah. 6
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 257. Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 257-258. 8 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 259. 9 Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 261. 7
WARDATUN NADHIROH
Fahm Al-Qur’an Al-Hakim 17
Periode Madinah, dimulai dari tahun pertama hijrah hingga wafatnya Nabi.10 Dari pemetaan di atas, ada satu hal yang ingin ditegaskan al-Jabiri yaitu mengenai keterkaitan yang mendalam antara al-Qur’an dan perjalanan dakwah Nabi Muhammad. Itulah alasan mengapa kemudian al-Jabiri bersusah payah merekonstruksi kisah-kisah al-Qur’an yang disesuaikan urutan turunnya, bukan untuk menunjukkan urutan sejarah terjadinya kisah tersebut melainkan menyesuaikannya dengan dakwah kenabian Muhammad.
c.
Kitab Tafsir Fahm Al-Qur’an Al-Hakim; Deskripsi Singkat 1. Latar Belakang Penulisan Berawal dari kegelisahan al-Jabiri yang meyakini bahwa penafsiran al-Qur’an selama ini cenderung ideologis, memuat kepentingan-kepentingan tertentu hasil pertarungan ideologi teologis dalam sejarah Islam Arab.11 Penafsiran ini dirasa al-Jabiri menghilangkan sisi objektivitas al-Qur’an. Hal ini mendorong al-Jabiri menyusun penafsiran ulang yang berdasarkan kronologi pewahyuan. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Jabiri membedakan antara al-Qur’ân al-Matluw dan al-Qur’ân al-Maktûb. Baginya, makna al-Qur’ân al-Matluw berasal dari penghayatan hati sebagaimana yang dijelaskan al-Syathibi mengenai pemahaman para Sufi dan ahli kebatinan terhadap al-Qur’an. Adapun makna al-Qur’an al-Maktûb hanya bisa didapat dengan memahaminya sesuai urutan turunnya.12 Di samping itu, al-Jabiri sangat terinspirasi oleh al-Syathibi yang mengatakan bahwa surah-surah Madaniyah seharusnya diturunkan untuk memahami surah-surah Makkiyah; surah Makkiyah menjelaskan satu sama lainnya berdasarkan urutan turunnya wahyu dan demikian juga surah Madaniyah. Jika tidak demikian maka pemahamannya tidak akan tepat.13 Dengan pembacaan al-Qur’an secara kronologis, tidak hanya dapat mengikuti karir Rasulullah dalam sejumlah periode, tetapi juga mengamati tahapan-tahapan pewahyuan secara lebih tepat dan jelas sehingga memungkinkan pembaca mengungkap kearifan wahyu dan menangkap ideide pokok al-Qur’an. Penyusunan tafsirnya secara kronologis merupakan upaya al-Jabiri untuk merekonstruksi keselarasan antara ayat-ayat al-Qur’an dengan sirah nabawiyah dengan asumsi bahwa al-Qur’an dan kehidupan Nabi memiliki relasi tak terpisahkan. 2. Metode dan Corak Penafsiran Corak penafsiran dalam tafsir ini bersifat kontemporer, qirâ’ah mu’âshirah dengan tujuan menjadikan teks al-Qur’an kontemporer untuk dirinya dan kontemporer untuk kita sebagai pembacanya dalam konteks kekinian. Upaya al-Jabiri untuk melakukan pembacaan yang objektif dan rasional terhadap teks sebagai langkah menjadikannya bacaan yang kontemporer untuk dirinya ( معاصرا لنفسهdalam rentang masa turunnya) dan kontemporer untuk kita ( معاصرا لناdalam kondisi kekinian pembaca) dikemas dalam dua konsep penafsiran, yaitu al-fashl untuk menjawab persoalan objektivitas dan al-washl sebagai upaya menjawab persoalan rasionalitas.
10
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, 262. Kita mengenal banyak jenis dan corak tafsir yang ada selama ini, dari kitab tafsir yang sangat panjang, panjang, dan pendek; beraliran sunni atau syi’i; bi al-ma’tsûr atau bi al-ra’yi; bercorak fiqh, sufi, teologi, sebagainya. Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1 (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-Arabiyyah, 2008), 11. 12 Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 13. 13 Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 12-13. 11
18 Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
a.
Al-Fashl Pengkaji harus menjaga jarak (distanciation) antara dirinya (selaku subjek) dan materi yang menjadi objek kajian. Tahap ini merupakan langkah menuju objektivitas, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara subjek pengkaji dan objek yang dikaji. Metode ini mengandaikan dua prinsip fenomenologis: 1) epoche, bahasa Yunani yang berarti “saya menahan diri”; 2) eidetic vision, yakni membiarkan fakta berbicara sendiri. Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat “penilaian” (value-judgement) apapun terhadap objek kajian. Dalam kerangka pembacaan ini peneliti setidaknya harus membidik konteks historis objek kajian, yakni dengan menelanjangi aspek sosio-kultural, politik dan fungsi ideologisnya. Dengan demikian, maka pembacaan menjadi objektif (maudhû’i).14 Al-Fashl sebagai langkah mengatasi problem objektivitas dalam pembacaan teks alQur’an, dilakukan dengan menanggalkan segala atribut yang menyertainya, baik itu hasil penafsiran sebelumnya yang ideologis ataupun segala bentuk pemahaman sejarah tentang alQur’an yang ideologis. Hal ini dimaksudkan bukan untuk menghempaskan al-Qur’an dalam ruang hampa, tetapi mengembalikannya dengan kondisi dan situasi dimana ia diwahyukan. 15 Diharapkan dengan langkah ini, didapatkan makna otentik al-Qur’an (Ashâlah an-Nash).16 Berdasarkan prinsip ini juga kemudian al-Jabiri memfokuskan tafsirnya sesuai urutan tartîb al-nuzûl (kronologi pewahyuan). Demi mendapatkan pemahaman yang objektif itu, alQur’an haruslah dipahami sesuai realita yang terjadi pada masa diturunkannya ayat-ayat tersebut dan mempertimbangkan bagaimana pemahaman masyarakat yang berkembang ketika itu.
b.
Al-Washl Adapun al-washl sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an pada masa kekinian. Metode ini digunakan untuk mereaktualisasi nilai-nilai kandungan al-Qur’an dalam konteks dan kondisi kekinian kita.
14
Bersamaan dengan itu, al-Jabiri menawarkan tiga langkah analitik guna mencapai objektivitas: (1) Analisa struktural. Ciri analisa struktural adalah lebih concern pada aspek-aspek umum ketimbang aspek parsial. Kerja analisa struktural dimulai dari pemahaman terhadap teks-teks turâts yang dinilai sebagai sebuah unsur-unsur dalam jaringan relasi-relasi, bukan sebagai teks-teks independen yang terpisah satu sama lain. Peneliti diharuskan memposisikan varian perspektif—yang terdapat dalam teks-teks turâts—diantara dua poros. Misalnya, poros pertama mengakomodir teks-teks turats yang menunjukkan nilai-nilai universal baku, progresif, rasional dan berpotensi difungsikan sebagai stimulus kemajuan serta perangsang modernisasi kebudayaan Arab-Islam, sementara poros kedua mengakomodir teks-teks turats berisi nilai-nilai partikular, regresif, konservatif, irasional dan berpotensi menyebabkan kemunduran dan redupnya kebudayaan Arab-Islam. (2) Analisa historis. Secara operasional, tugas peneliti difokuskan menghubungkan objek pemikiran dalam turâts dengan konteks sosio-historisnya. Langkah ini penting ditempuh guna memotret historisitas dan genealogi pemikiran yang tengah dikaji. Analisa ini juga bermanfaat sebagai instrumen klarifikasi historis tentang kemungkinan dan ketidakmungkinan sebuah pemikiran diucapkan/ditulis oleh sang empunya. (3) Analisa ideologis. Peneliti dituntut menyibak fungsi ideologis dan sosiopolitis yang diusung oleh pemikiran yang dikaji, sebab setiap pemikiran sejatinya memiliki kandungan ideologis (almadhmûn al-idyuluji, the ideological content). Analisa ini diyakini menjadi perangkat untuk menjadikan sebuah pemikiran dalam turâts relevan dan aktual untuk konteksnya sendiri. Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu wa alTurâts: Qirâ’ah Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî cet. VI (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-Arabî, 1993), 21-24. 15 Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 10 16 Ashâlah an-nash yang dimaksud di sini bukanlah keberadaan nash al-Qur’an sebagaimana ketika diturunkan, tetapi kemandiriannya dari segala bentuk pemahaman atasnya, yang terkodifikasikan dalam beragam kitab tafsir yang disusun dengan beragam metode dan corak. Hal ini merupakan prinsip dasar untuk melepaskan alQur’an dari muatan-muatan ideologis yang tersebar dalam beragam pemahaman itu. (Lihat: Muhammad Abid alJabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 10).
WARDATUN NADHIROH
3.
Fahm Al-Qur’an Al-Hakim 19
Sistematika Penulisan Kitab
Dalam penyusunan tafsirnya ini, al-Jabiri menggunakan tartîb al-nuzûl berbasis surah. Sistematika yang demikian merupakan hasil ijtihad al-Jabiri yang mendasarkannya pada logika sejarah dan logika struktur teks.17 Dia berangkat dari asumsi bahwa diksi al-Qur’an memiliki kesesuaian dengan fase sejarah kenabian. Secara sistematis al-Jabiri menempuh enam langkah dalam menulis tafsirnya. Pertama, memberi pengantar (istihlâl) terutama pada masing-masing tahapan yang mencakup beberapa surat yang menurutnya memiliki kesatuan periodik dalam pertimbangan sejarah turunnya al-Qur’an dan sejarah dakwah. Dalam hal ini al-Jabiri lebih banyak menguraikan fakta-fakta historis yang dihadapi oleh nabi dan para sahabat dalam perjalanan dakwah. Kedua, pendahuluan (taqdîm) yang umumnya diisi dengan sejumlah pandangan para ulama terdahulu mengenai surat yang akan dibahas, baik berupa riwayat sabab al-nuzûl, perdebatan soal makkî-madanî, atau tentang urutan suatu surat serta munâsabah dengan surat-surat sebelum dan setelahnya. Tidak jarang al-Jabiri memberi komentar dan menolak pendapat-pendapat mengenai semua problem itu dengan mengacu pada sejarah dakwah dan aspek literal al-Qur’an.18 Ketiga, teks al-Qur’an (Nash al-ayat). Bagian ini dibedakan berdasarkan satuan tema-tema umum yang ada dalam surat tersebut. Pembedaan ini mempermudah pembaca untuk menangkap pokok ajaran yang dijelaskan di dalam ayat serta menghubungkannya dengan sejarah dakwah. Selain itu, penulisan ayat ini disertai dengan nomor-nomor ayat seperti dalam mushaf disertai penjelasan makna kata secara bahasa atau dalam kesatuan pemahaman siyâq. Keempat, catatan kaki (hawâmisy) yang berisi penjelasan tentang makna kata yang masih diperdebatkan dengan memuat riwayat-riwayat yang mendukung makna-makna tertentu, juga kerap berupa kutipan Taurat atau Injil berkenaan dengan ayat-ayat qashshash. Hal itu dimaksudkan oleh alJabiri untuk menolak kecenderungan tafsir yang menggunakan kisah-kisah israiliyat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, selain itu al-Jabiri menekankan bahwa al-Qur’an memiliki kesamaan misi dengan kitab-kitab terdahulu.19 Kelima, komentar (ta’lîq). Pada bagian ini terkadang al-Jabiri melanjutkan perdebatan pada bagian pendahuluan, misalnya membuktikan bahwa pengurutan surat yang dia pilih benar secara historis dan sesuai dengan pemahaman literal teks al-Qur’an. Adakalanya pula dia mengulas satu tema yang dianggapnya penting, misalnya makna al-qalam pada QS. al-Qalam, akankah itu bermakna fisik seperti pena pada umumnya ataukah bermakna simbolik. Dan pada jilid ketiga (buku keempat) ta’lîq lebih sering berupa kesimpulan atau ringkasan dari bab-bab dalam surat yang dibahas.
17
Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 13. Adapun sumber rujukannya adalah kitab-kitab tafsir terdahulu, kitab-kitab ulum al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah dan lain sebagainya. Namun, bagi al-Jabiri, adagium bahwa al-Qur’an saling menafsirkan (al-Qur’ân yufassiru ba’dhahu ba’dhan) merupakan cara yang tepat untuk sampai pada sikap yang objektif dalam memahami al-Qur’an. 18 Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1, 116. 19 Perlu digarisbawahi dalam pengutipan riwayat dari Taurat dan Injil, al-Jabiri hendak menunjukkan bahwa beberapa tafsiran yang ada lebih banyak mengacu pada kisah-kisah isra`iliyat (dalam Taurat dan Injil), dan bukan menunjukkan bahwa kisah yang sebenarnya adalah seperti tercantum dalam dua kitab terdahulu tersebut. Sebab, dia menyadari bahwa kisah-kisah dalam Taurat dan Injil sudah mengalami pemalsuan, namun sebagian ulama masih menggunakannya. Menurut Shâbir Tha’îm kutipan-kutipan itu didasari oleh keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan lanjutan dari kitab terdahulu, sehingga dalam menerangkan tradisi agama samawi, seseorang perlu mengacu pada kitab-kitab itu atau paling kurang membandingkannya. Menurutnya, hal itu adalah sebuah kekeliruan, sebab umat Yahudi dan Nasrani sudah tidak memiliki pengetahuan tentang tuhan yang benar. Dalam bahasa Husain al-Dzahabî, seharusnya al-Qur’an yang dijadikan acuan untuk memahami ajaran Taurat dan Injil, bukan sebaliknya. Baca Muhammad Abid al-Jâbirî, Madkhal ilâ l-Qur`ân, 21.
20 Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
Keenam, lampiran (istithrâd). Langkah ini digunakan hanya pada akhir tiap fase historis dengan menekankan pokok ajaran Al-Qur’an sesuai dengan pengalaman dakwah nabi menghadapi kafir Quraisy di Mekkah dan Yahudi-Nasrani di Madinah. Berikut penulis mencoba menyajikan sistematika tartîb al-nuzûl surah dalam tafsir Abid alJabiri dalam tabel di bawah ini. Nomor dan Nama Periodesasi Komponen Surah Istihlâl 1. al-Alaq 1-5 2. al-Muddatsir 1-10 3. al-Masad 4. at-Takwîr 5. al-A'lâ 6. al-Lail 7. al-Fajr 8. ad-Dhuhâ 9. as-Syarh 10. al-Ashr 11. al-Âdiyat 12. al-Kautsar 13. at-Takâtsur Periode Pertama; 14. al-Mâ'un Nubuat, Rububiyah, dan Uluhiyah 15. al-Kâfirun 16. al-Fîl 17. al-Falaq 18. an-Nâs 19. al-Ikhlâsh 20. al-Fâtihah 21. ar-Rahmân 22. an-Najm 23. Abasa 24. as-Syams 25. al-Buruj 26. at-Tîn 27. Quraisy Istithrâd Istihlâl 28. al-Qâri'ah 29. az-Zalzalah 30. al-Qiyâmah Periode Kedua; Kebangkitan, Pembalasan, dan 31. al-Humazah Kejadian-kejadian Hari Kiamat 32. al-Mursalât 33. Qâf 34. al-Balad 34. al-Alaq 6-19
WARDATUN NADHIROH
Periode Ketiga; Pelarangan Syirik dan Menganggap Bodoh Penyembahan Berhala
Periode Keempat Dakwah secara Terang-terangan dan Berhubungan dengan Para Kabilah Arab
Periode Kelima: Blokade atas Nabi dan Keluarganya serta Hijrah Ke Habasyah
Periode Keenam; Mempererat Hubungan dengan Para Kabilah setelah Blokade dan Persiapan Hijrah ke Madinah
Fahm Al-Qur’an Al-Hakim 21
34. al-Muddatsir 11-56 35. al-Qalam 36. al-Thâriq 37. al-Qamar Istithrâd Istihlâl 38. Shâd 39. al-A'râf 40. al-Jinn 41. Yâsin 42. al-Furqân 43. Fâthir 44. Maryam 45. Thâhâ 46. al-Waqi'ah 47. as-Syu'arâ 48. an-Naml 49. al-Qashshash 50. Yunus 51. Hûd 52. Yûsuf 53. al-Hijr 54. al-An'âm 55. as-Shaffat 56. Luqmân 57. Saba' Istithrâd Istihlâl 58. az-Zumar 59. Ghâfir 60. Fushshilat 61. as-Syûrâ' 62. az-Zukhruf 63. ad-Dukhân 64. al-Jâtsiyah 65. al-Ahqâf Istithrâd Istihlâl 66. Nûh 67. al-Dzâriyat 68. al-Ghâsyiyah 69. al-Insân 70. al-Kahfi 71. an-Nahl 72. Ibrâhîm
22 Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
Periode Terakhir; Rasul di Madinah
73. al-Anbiyâ' 74. al-Mu'minûn 75. as-Sajdah 76. at-Thûr 77. al-Mulk 78. al-Haqqah 79. al-Ma'ârij 80. an-Nabâ' 81. an-Nâzi'at 82. al-Infithâr 83. al-Insyiqâq 84. al-Muzammil 85. ar-Ra'd 86. al-Isrâ' 87. ar-Rûm 88. al-Ankâbut 89. al-Muthaffifîn 90. al-Hajj Istithrâd Istihlâl 91. al-Baqarah 92. al-Qadr 93. al-Anfâl 94. Âli Imrân 95. al-Ahzâb 96. al-Mumtahanah 97. an-Nisâ' 98. al-Hadîd 99. Muhammad 100. at-Thalâq 101. al-Bayyinah 102. al-Hasyr 103. an-Nûr 104. al-Munâfiqûn 105. al-Mujâdalah 106. al-Hujurat 107. at-Tahrîm 108. at-Taghâbun 109. as-Shaff 110. al-Jumu'ah 111. al-Fath 112. al-Mâidah 113. at-Taubah 114. an-Nashr Istithrâd
WARDATUN NADHIROH
Fahm Al-Qur’an Al-Hakim 23
Contoh Penafsiran Al-Jabiri Pada penafsiran surat ad-Dhuhâ misalnya, dalam mengawali penafsirannnya, al-Jabiri terlebih dahulu mencantumkan riwayat-riwayat yang menyingkap historisitas ayat. Hal ini dilakukan untuk menelusuri hubungan antara teks yang diwahyukan dengan kondisi Muhammad dan realitas masyarakat Arab. Dalam penelusurannya, meski riwayat yang menunjukkan kesedihan Muhammad disebabkan al-fatrah -berkualitas shahih- dianggap mayoritas penafsir sebagai konteks turunnya ayat, al-Jabiri menilai bahwa riwayat tersebut tidak sesuai dengan struktur, konteks dan logika ayat, khususnya hubungan ayat ke-4 (wa la al-akhiratu khair laka min al-ula) dengan ayat sebelumnya.20 Dalam tahapan ini, al-Jabiri tampak konsisten dalam mencari objektivitas ayat al-Qur’an dengan prinsip al-fashl. Selanjutnya, dalam rangka menjadikan ayat-ayat pada ad-Dhuha aktual dan sesuai perinsip alwashl, melalui ta’lîq al-Jabiri menjelaskan secara filosofis hubungan waktu malam dan dhuha, di samping memaknai ulang ayat ke-4 dengan makna petunjuk diwaktu kecil dan remaja (al-ûla), serta kenabian di masa kedewasaan dan kematangan (al-akhirah). Pada tahapan selanjutnya, al-Jabiri memaknai surat ini sebagai pandangan dan sikap Allah dalam melihat realitas Arab yang penuh dengan ketimpangan sosial, penindasan ada dimana-mana, terlebih penindasan terhadap anak yatim.21 Gaya penafsiran al-Jabiri di atas, bagi penulis, merupakan suatu terobosan dan keberanian tersendiri. Penolakan al-Jabiri terhadap riwayat historitas (sabab al-nuzûl) surat ad-Dhuha dengan lebih memilih logika struktur ayat merupakan cermin “ke-burhani-an” pemikir asal Maroko ini. Rasionalitas teks harus lebih diperhatikan daripada keshahihan riwayat yang tidak mengindikasikan adanya hubungan teks dan konteks. Penutup Tafsir kronologis ala Muhammad Abid al-Jabiri ini harus diapresiasi, karena ia hadir sebagai suatu terobosan baru dalam dunia penafsiran. Al-Jabiri berusaha mengembalikan fungsi al-Qur’an agar selalu sesuai dengan konteks kekinian tanpa meninggalkan sisi objektivitas yang dibawa alQur’an di masanya. Dengan konsep al-fashl dan al-washl sebagai tawaran metodologisnya, al-Jabiri melakukan Qirâ’ah Mu’âshirah terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pemaparan singkat tentang metodologi penafsiran al-Jabiri dan perkenalan atas kitab tafsirnya yang disusun berdasarkan tartîb alnuzûl [ ] DAFTAR PUSTAKA Haryono, Dwi. “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabiri”, dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. al-Jabiri, Muhammad Abid. Fahm al-Qur’ân al-Hâkim Jilid 1. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah alArabiyah. 2008. ------------ Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch. Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika. 2003. 20 21
Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim Jilid 1, hlm. 55. Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim Jilid 1, hlm. 56-57.
24 Ilmu Ushuluddin
Vol. 15, No. 1
------------ Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah. 2006. ------------ Nahnu wa al-Turâts: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina al-Falsafî cet. VI. Beirut: al-Markaz alTsaqafi al-Arabi, 1993 Yahya, Muhammad . “Fahm al-Qur’ân al-Hâkim: al-Tafsîr al-Wâdhih Hasba Tartîb al-Nuzûl Karya al-Jabiri”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 1, Januari 2010. Jurusan Tafsir Hadis. Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.