EXECUTIVE SUMMARY
UJI MODEL KERJASAMA PEMERINTAH, SWASTA, DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TPA REGIONAL
TAHUN ANGGARAN 2011
1
1. LATAR BELAKANG Pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi di perkotaan mempunyai korelasi positif terhadap peningkatan jumlah dan jenis sampah. Beragam aktifitas sosial ekonomi di perkotaan, memunculkan sejumlah sampah non konvensional yang pada gilirannya akan bermuara pada ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem. Dalam Statistik Persampahan 2008 yang di laporkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa total timbunan sampah di Indonesia sebesar 38,5 juta ton / tahun dengan komposisi 58 % sampah dapur, 14 % plastik, 9 % kertas dan 19 % sampah lainnya. Dari total sampah tersebut, sekitar 14,1 juta ton atau 36 % merupakan sampah di kota besar dan metropolitan. Dengan besarnya beban pengelolaan sampah khususnya di kota besar dan metropolitan, maka berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan adanya kerjasama dan kemitraan antar pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah. Pasal 26 ayat 1 menyebutkan “Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah”. Sementara pada pasal 27 ayat (1) menyebutkan: “Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah”. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya menindaklanjuti amanat Undang-undang tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pengelolaan TPA diperkotaan dilaksanakan dengan menggunakan TPA Regional. Selain itu Pemerintah juga mendorong kerjasama antar pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Upaya fasilitasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam menggalang kerjasama antar pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dilapangan mengalami beberapa kendala. Kendala yang cukup menonjol antara lain sulitnya membangun kesepakatan dalam kerjasama pengelolaan TPA regional dan belum terbentuknya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Padahal kedua hal tersebut menjadi prasyarat untuk menjalin kerjasama yang lebih luas khusunya dengan swasta dan masyarakat. Dalam konteks permasalahan tersebut, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi,dan Lingkungan Bidang Permukiman telah melakukan serangkaian 2
penelitian dan pengembangan sejak tahun 2008 – 2010. Dari rangkaian kegiatan tersebut telah menghasilkan sebuah model kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional dengan sebutan model joint service agreement (JSA). Dengan model kerjasama ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan sampah dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan perkotaan. Untuk melihat kinerja model kerjasama diperlukan suatu uji model kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional. Dengan uji model ini diharapkan dapat diketahui kinerja model kerjasama secara terukur. Hasil uji model diharapkan dapat menjadi bahan yang telah teruji dalam penyusunan konsep
pedoman
kerjasama
pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
dalam
pengelolaan TPA regional. 2. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Deskripsi Lokasi Penelitian Malang Raya Wilayah Malang Raya merupakan suatu kawasan yang meliputi sebagian wilayah eks – Karesidenan Malang yang terdiri dari kabupaten Malang, kota Malang dan kota Batu. Wilayah ini secara kultural terikat pada suatu komunitas buday yang di sebut dengan “Arek Malang” atau Arema yang mencakup juga sebagian kecil wilayah kabupaten Pasuruan seperti Sukorejo, Purwosari, Purwodadi, dan Pandaan. Penyebutan Malang Raya mulai populer ketika kecamatan Batu ditetapkan sebagai kota administratif hingga kemudian menjadi kota otonom yang terpisah secara administratif dengan kabupaten Malang. Dalam perkembangannya, tiga kepala daerah di wilayah Malang Raya sering berkoordinasi dalam setiap kegiatan yang berpotensi melibatkan ketiga wilayah administratif tersebut. Hal ini menjadikan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diambil tidak berbenturan antar-wilayah. Kabupaten Malang berdasarkan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 2.442.422 menghasilkan sampah rata-rata per hari sebesar 3.920 m³. Komposisi sampah masih di dominasi oleh sampah organik sebesar 66,07 % sedangkan sampah an-organik sebesar 33,93 %. Untuk tingkat pelayanan pengelolaan sampah masih sangat terbatas. Tingkat pelayanan baru menjangkau sekitar 36 % dari total produksi sampah yang dihasilkan. Hal ini tentunya masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi kabupaten Malang.
3
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang kabupaten Malang membagi 7 wilayah pelayanan dimana setiap wilayah dilayani oleh satu unit pelaksana teknis dinas (UPTD). Untuk sarana dan prasarana yang tersedia guna melaksanakan tugas kebersihan dan pengelolaan sampah, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang kabupaten Malang memiliki beberapa sarana dan prasarana. Adapun sarana dan prasarana yang tersedia antara lain ; 11 Dump Trucks, 13 Arm Rolls, 99 Containers, 103 Barrows, 6 Wagon Motors. Untuk tenaga kebersihan sebesar 171 pasukan kuning. Sedangkan untuk alat berat sejumlah 3 bulldozers, 1 ekskavator, and 1 wheel loader. Sampah-sampah
yang
diangkut
untuk
selanjutnya
diproses
di
tempat
pemrosesan akhir (TPA) sampah. Kabupaten Malang memiliki 6 buah TPA sampah terdiri dari : 1. TPA Sampah Randuagung Singosari dengan luas 2,0 Ha dan area yang sudah dimanfaatkan sebesar 80%. 2. TPA Sampah Paras Poncokusumo dengan luas 1,2 Ha dan area yang sudah dimanfaatkan sebesar 50%. 3. TPA Sampah Bululawang dengan luas 0,8 Ha dan area yang sudah dimanfaatkan sebesar 100%. 4. TPA Sampah Rejosari Bantur dengan luas 2,0 Ha dan area yang sudah dimanfaatkan sebesar 80%. 5. TPA Sampah Talangagung Kepanjen dengan luas 2,0 Ha dan area yang sudah dimanfaatkan sebesar 60%. 6. TPA Sampah Madiredo Pujon dengan luas 0,8 Ha dalam kondisi baru. Kota Malang secara geografis berada pada 112°34’9”-112°41’34” Bujur Timur dan 7°54’2”-8°3’5” Lintang Selatan di ketinggian antara 400-650 meter diatas permukaan laut (dpl). Berdasarkan letak tersebut, Kota Malang memiliki udara sejuk dengan suhu rata-rata 22,2°C sampai dengan 24,13°C dan kelembaban udara 74%82% serta curah hujan rata-rata 1.883 milimeter per tahun. Kota Malang mempunyai luas wilayah 110,0566 Km2. Menurut hasil proyeksi pada tahun 2007, penduduk Kota Malang sebanyak 805.860 jiwa (pada malam hari dan ± 1 (satu) juta jiwa pada siang hari) yang memiliki komposisi penduduk laki-laki sebanyak 400.873 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 404.987 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk Kota Malang rata-rata mencapai 7.120 jiwa per km². 4
Dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 0,80% per tahun, kota Malang menjadi daerah hunian yang semakin padat ditambah oleh pembangunan perumahan dan permukiman baru di wilayah pinggiran kota dan pertumbuhan kawasan perdagangan formal maupun informal yang semakin marak disamping munculnya slum area di beberapa lokasi permukiman yang telah ada sebelumnya. Dengan bertambahnya penduduk, maka
volume sampah setiap tahun
mengalami kenaikan. Berdasarkan data volume sampah tahun 2006 sampah yang dihasilkan sebesar 259.832 m³/hari. Selang 3 (tiga) tahun kemudian padatahun 2009 volume sampah yang dihasilkan sebesar 343.266 m³/hari. Sampah – sampah tersebut diangkut dari 43 TPS yang tersebar di berbagai wilayah di kota Malang. Untuk TPA yang ada di kota Malang terdapat TPA Supit Urang yang terletak di kelurahan Mulyorejo seluas 15 Ha. Setiap hari ada sekitar 400 ton sampah yang masuk ke TPA sampah. Dari luasan tersebut, sudah sebesar 75 % sudah penuh dengan sampah. Menurut kepala dinas kebersihan dan pertamanan kota Malang, secara de facto TPA Supit Urang sudah menjadi TPA bersama karena setiap harinya juga melayani sampah dari kabupaten Malang seperti dari daerah Wagir dan Pakis yang berada di pereumahan Sawojajar II. Berdasarkan database Dinas Kebersihan kota Batu, volume sampah yang diproduksi sebesar 475 m³ / hari. Dari sampah yang dihasilkan hanya 245 m³ / hari yang terangkut ke TPA sampah. Tingkat pelayanan kebersihan yang dilakukan di kota Batu baru sebesar 66 % dimana 16 desa/kelurahan sudah terlayani sedangkan 8 desa/kelurahan belum terlayani. Utuk melayani pengengkutan sampah di kota Batu, Dinas Kebersihan kota Batu memiliki 5 unit dump truck, 6 unit amroll truck, 1 unit open truck dan 1 unit shovel. Selain itu dari sumber sampah ke TPS dilayani oleh 116 unit gerobak sampah yang tersebar di berbagai titik di kota Batu. Untuk menampung sampah-sampah dari warga, telah dibangun berbagai tempat penampungan semantara (TPS) diberbagai titik sejak tahun 2006. Pada tahun 2006 talah dibangun TPS sebesar 7 unit, tahun 2007 ada penambahan sebesar 5 unit, tahun 2008 4 sebesar unit, tahun 2009 sebesar 7 unit serta tahun 2010 sebesar 4 unit. Sampah –sampah dari TPS untuk selanjutnya diproses di TPA Tlekung yang berada di wilayah kelurahan Tlekung dengan luas sebear 6,08 Ha. Wilayah Malang Raya merupakan salah satu dari 8 (delapan) wilayah yang direncanakan akan diimplementasikan pengelolaan sampah terpadu secara regional. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan 5
diperkuat dengan Peraturan Daerah No. Tahun 2010. Berdasarkan Perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan upaya-upaya fasilitasi kerjasama antar daerah di wilayah Malang Raya. Adapun upaya-upaya tersebut meliputi identifikasi kelayakan teknis, kerjasama pengelolaan sampah terpadu di wilayah Malang Raya, peningkatan kapasitas SDM melalui studi banding pengelolaan sampah terpadu di Perancis, dan berbagai koordinasi baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten/kota di Malang Raya. Upaya fasilititasi kerjasama ini telah membuahkan hasil dengan telah ditandatanganinya
kesepakatan
bersama
antara
pemerintah
kota
Malang,
pemerintah kabupaten Malang dan pemerintah kota Batu dalam kerjasama pembangunan daerah pada tanggal 8 Maret 2011. Kesepakatan kerjasama ini sifatnya masih umum, meliputi berbagai bidang pembangunan daerah. Dalam kesepakatan tersebut terdapat 18 bidang yang disepakati untuk dikerjasamakan. Untuk urusan pengelolaan sampah terwakili pada bidang sanitasi dan lingkungan hidup. Setelah kesepakatan bersama ditandatangani, tahap selanjutnya yang akan dilakukan adalah menyusun perjanjian kerjasama yang delegasikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai tugas pokok dan fungsinya. Dalam perjanjian kerjasama ini. Dalam perjanjian kerjasama ini, untuk masing-masing bidang khususnya bidang pengelolaan sampah akan diatur secara lebih detail. Dengan demikian, perjanjian kerjasama ini nantinya yang digunakan sebagai pedoman/petunjuk pelaksanaan kerjasama pengelolaan sampah regional di wilayah Malang Raya. SKPD yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan pengelolaan sampah di masing-masing kabupaten/kota berbeda-beda. Pada kabupaten Malang SKPD yang terkait adalah Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang. Untuk kota Malang SKPD terkait adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sedangkan untuk kota Batu adalah Dinas Kebersihan Kota Batu. Dalam perjalanan kerjasama pengelolaan sampah regional, masing masing SKPD ini memiliki peran sebagai ujung tombak pelaksanaan kerjasama dilapangan. Mereka juga memiliki peran strategis dalam memberikan
masukan-masukan
kebijakan
kepada
Bupati/Walikota
terkait
pelaksanaan kerjasama yang akan dilaksanakan. Berdasarkan
survey instansional,
upaya mengembangakan
kesepakatan
kerjasama di bidang pengelolaan sampah cukup dinamis. Isu-isu pokok yang dapat 6
diidentifikasi terkait perkembangan regionalisasi pengelolaan sampah di Malang Raya antara lain; isu pelayanan sampah lintas wilayah administrasi, penetapan lokasi TPA regional, dan pembiayaan pengelolaan sampah regional. Pada isu pertama, warga kabupaten Malang yang berada di perbatasan dengan kota Malang selama ini dianggap telah membuang sampahnya ke TPA Supit Urang yang secara administratif berada di wilayah kota Malang. Kondisi ini menjadi dasar bagi pemerintah kota Malang dalam memaknai regionalisasi pengelolaan sampah dimana TPA Supit Urang sudah melayani pengelolaan sampah secara regional sehingga perlu legalisasi yang kuat. Pada sisi yang lain, pemerintah kabupaten Malang menganggap pemaknaan regionalisasi pengelolaan sampah yang seperti itu sangat berlebihan karena terkesan menyalahkan masyarakat kabupaten Malang. Bagi kabupaten Malang urusan pengelolaan sampah di perkotaan Malang Raya merupakan urusan bersama yang lintas wilayah administrasi sehingga jangan sampai disekat-sekat hanya berdasarkan wilayah. Pada isu kedua, terkait penetapan lokasi TPA regional hasil studi dari pemerintah pusat (Cipta Karya) merekomendasikan TPA Supit Urang menjadi lokasi TPA regional. Dalam perspektif kabupaten Malang, kalau TPA Supit Urang dijadikan sebagai lokasi TPA regional dikhawatirkan tidak bisa bertahan lama karena lahan yang dimiliki sudah sempit. Kekhawatiran ini didasarkan pada pengalaman tahun 2000 dimana TPA Supit Urang pernah berhenti beroperasi akibat over load. Pemerintah kota Malang memang berencana membebaskan lahan disekitar TPA Supit Urang, namun menurut pemkab Malang lahan tersebut berada di wilayah kabupaten Malang. Untuk membebaskan lahan-lahan tersebut, semestinya ada koordinasi dan ijin dari Bupati Malang. Hal inilah yang menurut pemerintah kabupaten Malang belum dilakukan oleh pemerintah kota Malang. Namun demikian, secara prinsip apabila pemerintah provinsi Jawa Timur berdasarkan studi kelayakan dan teknologi yang sedang dilakukan saat ini merekomendasikan TPA regional di Supit Urang, pemkab Malang siap melaksanakan keputusan tersebut. Untuk isu ketiga terkait pembiayaan tidak bisa dilapaskan dari isu pertama dimana proses legalisasi pembuangan sampah oleh warga kabupaten Malang ke TPA Supit Urang untuk menjustifikasi adanya tipping fee dari kabupaten Malang kepada kota Malang. Aspek pembiayaan ini harus dicermati dan didesain secara hati-hati karena berpotensi besar merusak kerjasama yang sedang dibangun.
7
Deskripsi Lokasi Penelitian Bandung Raya (Metro Bandung) Konsep perencanaan pengelolaan sampah di Kota Bandung telah bergulir sejak tahun 2004. Dimulai dengan kajian karakteristik cekungan Bandung yang memberikan kecenderungan pencemaran lingkungan yang cukup tinggi dilihat dari morfologi kota. Pencemaran dari TPA yang melayani 6 kab/kota dengan sistem open-dumping, saat itu cukup mendapat sorotan. Kajian ini dilanjutkan dengan Western Java Environmental Management Project (WJEMP) dan Greater Bandung Waste Management Project (GBWMP). Hasil kajian memperlihatkan bahwa harus ada sebuah sistem pengelolaan sampah terpadu yang ramah lingkungan. Tahun 2004 sudah dibuat MoU atau kesepakatan tentang pengelolaan sampah terpadu di Bandung dan sekitarnya yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi Jabar. Namun, kelembagaan sulit terbentuk dan selama 1 tahun tidak berfungsi. Pada tahun 2005, terjadi tragedi longsor TPA Leuwigajah yang kemudian menuntut penyelesaian yang cepat dan terpadu serta berkelanjutan. Oleh karena didasarkan pada Keputusan Gubernur tahun 2006, Dinas Tarkim membentuk unit pengelola operasional namun terhenti karena kendala anggaran. Tahun 2007 berdasarkan Pergub 31/2007 dibentuk Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat (P3JB) namun tidak berjalan lancar karena terkendala pertanggungjawaban anggaran. Saat itu, P3JB belum memiliki jalur struktural yang jelas. Peraturan Gubernur ini diperbarui melalui Pergub 12/2009 yang menyebutkan perubahan dari P3JB menjadi Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat sebagai unit pelaksana teknis. Sampai saat ini badan ini bertanggungjawab langsung terhadap Gubernur Jawa Barat tentang perencanaan TPA regional dan pelaksanaan pengelolaan sampah di TPA sementara. Permasalahan
penanganan
sampah
pasca
musibah
longsor
Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah, khususnya di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung barat), yaitu tidak tersedianya lokasi baru pengganti TPA Sampah Leuwigajah, sehingga menimbulkan kondisi bertumpuknya sampah di wilayah perkotaan yang sangat potensial menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat serta masalah estetika, yang berdampak pada gangguan pembangunan bidang lainnya. Penanggulangan permasalahan penanganan sampah tersebut telah menjadi perhatian dari Pemerintah Kabupaten/Kota beserta Muspida di wilayah Metropolitan 8
Bandung. Oleh karena itu dibangun TPAS yang baru di Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat untuk menjamin berlangsungnya pelayanan penanganan sampah di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Hal ini didasarkan pada Kesepakatan Bersama dengan Perum Perhutani No. 658.1/14/Desen/2006 tanggal 4 Agustus 2006 tentang pengelolaan sampah menjadi kompos dalam areal kawasan hutan dan Perjanjian Kerjasama dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten tentang kerjasama pengelolaan sampah menjadi kompos di tempat pengolahan kompos (TPK) Sarimukti. Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani tanggal 29 Januari 2009 disebutkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana serta pengadaan peralatan pengolahan kompos dan penimbunan sampah dan pengalokasian biaya operasional didukung pemerintah pusat. Selain itu dibentuk lembaga pengelolaan sampah regional (saat ini bernama BPSR) untuk mengelola TPA Sarimukti di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perjanjian kerjasama ini belum bersifat hukum mengikat, oleh karena itu akan dibuat keputusan bersama yang lebih spesifik menerangkan operasional beserta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Keputusan ini akan bernilai hokum dan mengacu pada Perda no. 12 tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat. Di dalam dokumen Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional disebutkan bahwa wilayah Metropolitan Bandung adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Kesepakatan Bersama ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan akan dievaluasi setiap tahun. TPPAS regional yang direncanakan adalah sebagai berikut : 1. Untuk wilayah Metropolitan Bandung Zona Barat dengan cakupan pelayanan Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, berlokasi di Leuwigajah terletak di Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat dan Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. 2. Untuk Wilayah Metropolitan Bandung Zona Timur dengan cakupan pelayanan Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut, berlokasi di Legok Nangka Desa Nagreg dan Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung 9
Sedangkan skema pembiayaan yang akan diberlakukan didasarkan pada Perda no. 12/2010 pasal 32 yaitu sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah regional. 2. Penyelenggaraan pengelolaan sampah regional berupa pelayanan jasa TPPAS Regional, dibiayai bersama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan ketentuan : a. Pemerintah Daerah bersama dengan Pemerintah membiayai investasi pembangunan dan pengadaan peralatan TPPAS Regional; dan b. Pemerintah Kabupaten/Kota pengguna jasa, membiayai pengelolaan operasional dan pemeliharaan TPPAS Regional sebagai kompensasi jasa pelayanan kepada Pemerintah Daerah. 3. Pembiayaan investasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan badan usaha, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Penetapan besaran dan mekanisme kompensasi jasa pelayanan diatur dan disepakati dalam kesepakatan bersama dan/atau perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
TPA Sarimukti merupakan TPA sementara sebelum Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) regional yang direncanakan selesai dibangun. Metropolitan Bandung akan memiliki 2 (dua) TPPAS untuk melayani zona barat dan timur. Direncanakan pembangunan TPPAS Legok Nangka selesai dan dapat langsung beroperasi tahun 2014. Terkait dengan pemanfaatan TPPAS ini telah dilakukan perjanjian kerjasama antara beberapa Kab/Kota di wilayah metropolitan Bandung. Luas TPA Sarimukti adalah 25,2 Ha dimana 21,2 Ha merupakan perjanjian kerjasama antara Provinsi Jabar dengan Perum Perhutani yang didanai APBD Provinsi dan 4 Ha merupakan lahan masyarakat yang dibebaskan oleh Kota Bandung dan Cimahi. Pemeliharaan jalan masuk TPPAS di ruas jalan simpang Rajamandala – Blok Cigedig Desa Sarimukti dilakukan oleh Pemkab Bandung Barat dengan bantuan pembiayaan dari Pemprov Jabar. Sejak beroperasi hingga saat ini, biaya operasional dan pemeliharaan TPA Sarimukti dianggarkan dari APBD Provinsi Jabar sebesar 15,1 milyar per tahun. Komponen biaya operasional adalah kompensasi jasa pelayanan sebesar Rp 28.900 10
/ton dan kompensasi dampak negatif sebesar Rp 3.500 – 4.900/ton. Kompensasi dampak negatif diberikan kepada pemerintah Kab/Kota dan masyarakat desa tempat TPA Sarimukti berada. Mulai tahun 2011 akan diberlakukan tipping fee kepada Kab/Kota pengguna dengan pembayaran berdasarkan kuantitas (berat dalam ton) sampah yang masuk ke TPA. Kompensasi dampak negatif yang diberikan kepada pemerintah KBB merupakan kompensasi kegiatan fasilitasi pengendalian dan pemantauan dampak, identifikasi kebutuhan, perencanaan, sosialisasi serta pendampingan. Sedangkan kompensasi orang yang terkena dampak kepada masyarakat 3 desa berupa pembangunan sarana penyehatan lingkungan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, perekonomian, dan sebagainya. Selain TPPAS Legok Nangka, terdapat TPPAS Nambo yang saat ini sedang dalam proses pembangunan. Nambo akan melayani wilayah Kota Bogor, Kota Depok dan Kab. Bogor. Berdasarkan konsep pengembangan TPA Regional Provinsi Jabar terdapat 6 wilayah pelayanan regional yaitu Metropolitan Bandung (TPPAS Legok
Nangka),
Bobodep
(TPPAS
Nambo),
Ciayumajakuning,
Cibantasik,
Purwasuka, dan Bumianjur. 3. METODOLOGI Pendekatan Penelitian dalam uji model ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk membandingkan antara model yang sudah disusun dengan praktek kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan TPA di lokasi penelitian. Selain itu, dilakukan perbandingan antara hasil uji model di lapangan dengan konsep pedoman pembentukan kelembagan TPA Regional yang dibuat oleh Dirjen Cipta Karya PU.
Metode Pengumpulan Data Dalam kegiatan uji model ini ada dua jenis data yang hendak dikumpulkan untuk selanjutnya menjadi bahan analisis. Pertama adalah data primer yang merupakan data utama dalam uji model ini. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber data baik sebagai responden maupun informan. Kedua adalah data sekunder berupa data-data dan informasi tidak langsung yang diperoleh dari dokumen laporan-laporan, naskah peraturan/kebijakan, leaflet/brosur, dan situs-situs yang relevan. 11
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan informasi adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dan focused group discussion (FGD). Wawancara
mendalam
dilakukan
untuk
menggali
alasan-alasan
yang
melatarbelakangi jawaban responden terhadap kuisioner yang telah dijawabnya dalam kuisioner. Selain itu, wawancara mendalam juga digunakan untuk menggali informasi awal terkait kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat yang sudah dan sedang berjalan. FGD dilaksanakan dalam rangka mensosialisasikan model kerjasama yang telah dirumuskan sehingga stakeholder mendapatkan gambaran yang utuh tentang model yang hendak di ujicobakan. Selain itu, dalam FGD juga digali dan dikembangkan berbagai masukan-masukan untuk perbaikan model agar layak untuk dirumuskan menjadi konsep pedoman. Dalam uji model ini, teknik FGD dilaksanakan pada saat sosialisasi konsep model, sosialisasi hasil survey kinerja model dan pada perumusan konsep pedoman. Wawancara mendalam dan FGD dilakukan kepada penyedia layanan (service provider) baik sebagai front liner (lembaga kerjasama/UPT TPA Regional) maupun pemerintah daerah.
Metode Analisis Data Metode anilisis data yang digunakan dalam kegiatan uji model ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan teknik skoring pada setiap variabel dan indikator (atribut). Sementara metode kualitatif dilakukan dengan analisis deskriptif untuk setiap hasil skoring. Teknik skoring dilakukan dengan membandingkan antara parameter pada setiap atribut dengan praktek di lapangan berdasarkan data sekunder, hasil observasi lapangan, FGD dan wawancara mendalam. Perbandingan antara parameter dengan praktek dilapangan dilakukan untuk melihat apakah model yang telah dirumuskan dapat menjawab dinamika kerjasama pengelolaan TPA regional di lapangan atau tidak. Kemampuan model menjawab dinamika permasalahan dilapangan dinyatakan dalam bobot yang menunjukkan tingkat kepentingan suatu atribut dalam model. Semakin tinggi kemampuan suatu atribut dalam menjawab permasalahan lapangan maka semakin penting nilai atribut tersebut. Dengan demikian semakin tinggi nilai atribut maka semakin efektif atribut tersebut sehingga layak dimasukkan dalam 12
konsep pedoman. Adapun bobot kepentingan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Skor 0 : tidak penting
Skor 1 : cukup penting
Skor 2 : sangat penting
Hasil pembobotan ini selanjutnya di masukkan ke dalam tabel pembobotan uji model untuk setiap variabel sehingga dapat di ketahui rata-rata setiap atribut. Apabila hasil rata-rata berupa angka desimal, maka untuk skor yang mengandung desimal 0,5 atau lebih dilakukan pembulatan keatas. Sementara untuk rata-rata desimal yang kurang dari 0,5 dibulatkan kebawah. Adapun contoh tabel skoring uji model adalah sebagai berikut : Tabel Contoh Tabel Pembobotan VARIABEL
INDIKATOR (ATRIBUT)
KRITERIA
BOBOT NILAI METRO MALANG BANDUNG RAYA
RATARATA
0. 1. 2. 0. 1. 2.
Berdasarkan hasil pembobotan uji model tersebut sebenarnya sudah dapat diketahui variabel dan atribut mana yang memiliki tingkat kepentingan yang tertinggi. Setiap variabel dan atribut yang mendapatkan hasil pembobotan dengan nilai 1 dan 2 layak untuk dimasukkan kedalam konsep pedoman kerjasama karena terbukti efektif dijalankan di lapangan. Sebagaimana diulas di kajian pustaka, pada saat pelaksanaan uji model ini Ditjen Cipta Karya telah mengeluarkan konsep pedoman pembentukkan kelembagaan TPA regional. Untuk melihat apakah hasil uji model (khususnya untuk variabel dan atribut yang masuk pada kategori penting dan sangat penting) telah diakomodasi dalam konsep pedoman tersebut, maka dibutuhkan teknik analisis yang berbeda. Teknik analisis yang dipilih adalah teknik pembobotan (skoring). Pada pembobotan ini, pola pembobotannya hanya melihat apakah hasil uji model sudah diakomodasi atau belum dalam konsep pedoman yang disusun Ditjen Cipta Karya. Apabila hasil uji model tersebut sudah diakomodasi dalam konsep pedoman 13
dengan ketentuan yang sesuai dengan parameter pada model maka pada variabel dan atribut ini tidak memerlukan rekomendasi. Untuk setiap atribut yang masuk pada kategori ini maka diberikan skor 0 (nol). Sementara jika hasil uji model tersebut belum/tidak diakomodasi dalam konsep pedoman dengan ketentuan yang sesuai dengan parameter pada model maka pada variabel dan atribut ini sangat memerlukan rekomendasi. Untuk setiap atribut yang masuk pada kategori ini maka diberikan skor 1 (satu). Rekomendasi yang diberikan bisa berupa masukanmasukkan perbaikan konsep pedoman ataupun konsep pedoman baru / berbeda yang benar-benar tidak ada/ tidak diatur dalam konsep pedoman yang disusun Ditjen Cipta Karya. Jika didapatkan hasil skoring berupa angka desimal maka dilakukan pembulatan ke atas dengan penjelasan bahwa semakin dekat antara hasil uji model dengan muatan konsep pedoman menunjukkan kesesuaian yang semakin tinggi
sehingga
penyempurnaan
tidak
membutuhkan
konsep
pedoman
rekomendasi
tersebut.
untuk
Adapun
perbaikan
contoh
tabel
dan yang
menggambarkan proses uji komparasi adalah seperti berikut:
Tabel Metode Komparasi Skoring Uji Model 0 1 2 0 1 2
Skoring Komparasi 0 0 0 1 1 1
Rekomendasi Tidak butuh Tidak butuh Tidak butuh Butuh rekomendasi Butuh rekomendasi Butuh rekomendasi
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua mengenai rasio biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional maka digunakan analisis biaya dan manfaat. Cost-Benefit Ratio merupakan analisa untuk mengetahui perbandingan manfaat dan biaya TPA Regional. Formula yang digunakan untuk mendapatkan nilai Cost-Benefit Ratio (Gray, 1997; Suparmoko, 2002) adalah :
14
B(1 iC ) NetB / CRatio B C n
t
t
t
t 1 n
t
t 1
Dimana,
t
(1 i ) t
Bt
: Manfaat sosial kotor proyek pada tahun ke-t.
Ct
: Biaya sosial kotor proyek pada tahun ke-t.
n
: Umur ekonomis proyek.
i
: Oportunitas sosial atas modal yang dinyatakan sebagai tingkat diskonto sosial.
Kriteria analisis kedua adalah Pay Back Period. Pay Back Period yaitu waktu yang dibutuhkan agar manfaat proyek telah menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan sebelumnya (Tarigan, 2005). Untuk mendapatkan nilai waktu yang sebenarnya, maka biaya dan manfaat yang digunakan juga nilai sebenarnya (dengan diskonto). Kriteria ini konsepnya sama dengan Break Event Point, yaitu waktu ketika nilai input sama dengan nilai output, atau pada posisi keuntungan bernilai 0 (nol). Teknik penentuan dilakukan dengan grafik biaya dan manfaat tiap tahun selama umur peroyek. Titik potong keduanya merupakan nilai pay back period. Kelayakan dengan kriteria ini didapat jika nilai Pay Back Period lebih kecil dari umur proyek yang diprediksikan. Seluruh analisis ekonomi di atas dilakukan pada umur proyek yang diprediksikan sama untuk semua model, yaitu sekitar 25 tahun. Ada beberapa pedoman untuk menentukan panjangnya umur proyek, sebagaimana dikemukakan Kadariah (1999), antara lain: a. Sebagai ukuran umum dapat diambil suatu periode (jangka waktu) yang kirakira sama dengan umur ekonomis dari proyek. Yang dimaksudkan dengan umur ekonomi suatu aset ialah jumlah tahun selama pemakaian aset tersebut dapat meminimumkan biaya tahunannya. b. Untuk proyek-proyek yang mempunyai investasi modal yang besar sekali, lebih mudah untuk menggunakan umur teknis daripada umur-umur pokok investasi. Dalam hal ini perlu diingat bahwa untuk proyek-proyek tertentu, umur teknis dari unsur-unsur pokok investasi adalah lama, tetapi umur ekonomis dapat jauh lebih pendek karena absolescence (ketinggalan zaman
15
karena penemuan teknologi baru yang lebih efisien). Keadaan ini banyak terdapat dalam proyek-proyek pertanian. c. Untuk proyek-proyek yang umurnya lebih lama daripada 25 tahun dapat diambil 25 tahun, karena nilai sesudah itu, jika di-discount dengan discount rate sebesar 10 persen ke atas maka present value-nya sudah kecil sekali (misalnya pada rate 10 persen present value of an annuity factor untuk seluruh jangka waktu mulai ke-26 sampai tahun ke-100 hanya sebesar 0,923 - yakni kurang dari nilai nominal annuity tersebut dalam satu tahun saja).
Pada metode kualitatif ada beberapa mekanisme yang dilakukan yakni proses identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi data. Berikut penjelasan metode analisis pada penelitian kualitatif : Metode identifikasi digunakan ketika data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi baik berdasarkan lokasi dan pokok permasalahannya. Metode kategorisasi diterapkan pada saat data yang sudah teridentifikasi kemudian dikelompok-kelompokkan antara satu dengan yang lain sehingga dapat diketahui data yang satu masuk ke dalam kategori data yang lain dan sebaliknya data yang lain masuk ke dalam kategori yang lainnya lagi. Metode interpretasi dilakukan tatkala data yang sudah dikategorisasikan masuk ke dalam masing-masing kelompok, kemudian dilakukan pengaitan hubungan antara satu dengan yang lain sehingga terlihat suatu jalinan atau suatu koherensi antara satu hal dengan hal yang lain. Dari sana kemudian dilakukan sejumlah interpretasi/penafsiran atas keterkaitan berbagai
fenomena
tersebut.
Untuk
memperkuat
interpretasi
peneliti
juga
menggunakan beberapa teori yang relevan untuk menjelaskan gejala atau fenomena sosial yang ada. Di samping itu, sesuai kaidah penelitian kualitatif, melalui metode analisis yang dipilih, Tim peneliti dapat membuat interpretasi dan dapat mempunyai kekuatan argumentasi yang berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan (Miles, dalam Moleong 2004).
Tata Cara Uji Model Berdasarkan metode pengumpulan data dan analisis data yang telah ditetapkan sebelumnya, maka berikut dijelaskan tata cara uji model yang akan dilakukan dalam kegiatan ini. Secara ringkas tata cara ini dapat dilihat pada bagan alir seperti ditunjukkan gambar berikut 16
Mulai
Konsep Model
Sosialisasi Konsep Model
Notulensi Feed Back
Pengamatan lapangan/Wawancara/D okumentasi
Analisis Data Pembobotan Uji Model Komparasi Draft Pedoman CK
Konsep Pedoman
Hasil Skoring Uji Model
Rekomendasi Draft Pedoman / Pedoman Baru
Penyusunan Konsep Pedoman
FGD Penajaman Konsep Pedoman
Final Konsep Pedoman
17
4. PEMBAHASAN I.
Skoring Model dan Komparasi
A. Variabel Kelembagaan Secara kelembagaan pengeloaan kerjasama antara Pemerintah Daerah membutuhkan suatu prasyarat agar kerjasama yang akan dibangun dapat dijalankan dengan baik. dengan melihat proses kerjasama diwilayah Metro Bandung dan Malang Raya maka prasarat ini dapat di identifikasi di setap wilayah. untuk Metro Bandung prasyarat persamaan tujuan dalam pengelolaan sampah dinilai sudah padu. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa longsornya TPA Leuwi Gajah sehingga setiap daerah berkeinginan agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Kemudian dengan adanya kewajiban menggunakan pola sanitary landfill mendorong daerah kabupaten kota untuk bekerjasama. untuk itu pada atribut ini wilayah Metro Bandung diberi nilai 2. Demikian halnya untuk prasyarat kesamaan kepentingan mendapatkan nilai 2 dengan alasan yang sama. sementara untuk wilayah Malang Raya tujuan pengelolaan sampah dimasing – masing Kabupaten Kota dianggap belum sama. Hal ini terlihat dari masih sempitnya pandangan sebagian Kabupaten / Kota yang melihat pengelolaan sampah dibatasi wilayah administrasi. Namun pandangan tersebut belum sampai menyebapkan pertentangan kepentingan dalam fasilitasi kerjasama Pengelolaan TPA Regional. Mereka prinsipnya menyetujui rencana Pengelolaan TPA Regional di Malang Raya. untuk itu pada atribut kesamaan tujuan dan kepentingan masing – masing memperoleh skor 1. Untuk atribut ini dikedua lokasi kalau dirata-rata mendapatkan skor 1,5 yang dibulatkan ke atas menjadi 2. Untuk atribut komitmen Bupati / Walikota / Gubernur ditandai dengan ada atau tidaknya dokumen legal yang mengikat mereka. untuk wilayah Metro Bandung Komitmen Pimpinan Daerah tersebut dtunjukkan dengan adanya keputusan bersama antara Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Walikota Cimahi, Bupati Bandung, Bupati Bandung Barat, Bupati Sumedang dan Bupati Garut tentang penunjukan tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah regional diwilayah Matropolitan Bandung. selain itu ada dokumen kesepakatan bersama antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut tentang kerjasama
pengolahan
dan
pemrosesan
akhir
sampah
regional
diwilayah
Matropolitan Bandung. dengan demikian wilayah Metro Bandung mendapatkan skor 2. sementara untuk wilayah Malang Raya ditandai dengan adanya kesepakatan 18
bersama antara Pemerintah Kota malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu mengenai kerjasama pembangunan daerah diwilayah Malang Raya. dalam dokumen ini kerjasama pengelolaan TPA Regional masuk dalam lingkup bidang Pekrjaan Umum. oleh karena dokumen ini baru sebatas MoU maka wilayah Malang Raya mendapatkan skor 1. Untuk atribut ini dikedua lokasi kalau dirata-rata mendapatkan skor 1,5 yang dibulatkan ke atas menjadi 2. Selanjutnya untuk atribut independensi lembaga pengelola TPA Regional dimasing – masing wilayah adalah sebagai berikut. pada wilayah Metro Bandung telah terbentuk Balai Pengelolaan Sampah Regional Jawa Barat yang Sebelumnya bernama Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat. Secara struktural Balai ini berada dibawah Dinas Permukiman dan Perumahan Propinsi Jawa Barat. namun demikian sebagai penyedia jasa ( Provider ) Pengelolaan TPA Regional keberadaan mereka independen terhadap Kabupaten Kota sebagai Pengguna Jasa ( User ). Untuk itu atribut independensi lembaga Pengelola TPA Regional diwilayah Metro Bandung memperoleh skor 2. Sementara untuk wilayah Malang Raya belum ada lembaga yang dibentuk untuk menangani kerjasama Pengelolaan TPA Regional. saat ini proses fasilitasi sepenuhnya berada dipihak Pemerintah Propinsi Jawa Timur. untuk itu pada atribut ini tidak diberikan bobot nilai (not available). Keberadaan unsur profesional didalam lembaga kerjasama baik pada Top Manager
maupun
Middle
Manager
bisa meningkatkan
profesionalitas dan
independensi lembaga kerjasama. Pada wilayah Metro Bandung terlihat bahwa sebagian unsur Pimpinan dan Middle Manager berasal dari unsur profesional yang kompeten dibidang pengelolaan sampah. Oleh sebab itu wilayah Metro Bandung mendapat skor 2. sementara wilayah Malang Raya tidak diberikan bobot nilai (not available) karena belum ada lembaga yang dibentuk. Selanjutnya pada atribut kemudahan pelayanan terhadap dunia usaha yang ingin menginvestasikan dananya dalam pembangunan dan pengelolaan TPA Regional. untuk wilayah Metro Bandung dalam dokumen kesepakatan bersama digariskan adanya peluang kerjasama dengan badan usaha. Namun demikian saat ini mereka lebih memilih untuk menginvetasikan dana Pengelolaan TPA Regional yang bersumber dari APBD Kabupaten / Kota / Propinsi dan jika diperlukan mengajukan dana APBN dari Pusat. untuk itu pada atribut ini wilayah Metro Bandung mendapatkan skor 1.lain halnya dengan wilayah Malang Raya yang belum
19
ada lembaga kerjasama yang dibentuk sehingga belum siap bekerjasama dengan dunia usaha. untuk itu Malang Raya tidak diberikan bobot nilai (not available). Pada variabel mekanisme dan prosedur kerjasama terdiri dari mekanisme Mekanisme
keanggotaan/perwakilan
untuk
menentukan
keanggotaan
dan
perwakilan, Mekanisme pengambilan keputusan bersama, mekanisme operasional pengelolaan TPA regional, mekanisme penilaian bersama terhadap proposal investor, mekanisme pengendalian dan pengawasan kerjasama pengelolaan TPA regional. Pada wilayah Metro Bandung untuk mekanisme keanggotaan/ perwakilan mendapatkan skor 0 karena tidak ada perwakilan Kabupaten / Kota yang duduk di BPSR. Untuk mekanisme pengambilan keputusan efektifitasnya belum dapat dirasakan sepenuhnya. Hal ini ditandai dengan masih adanya keberatan Pemkot Cimahi untuk memindahkan pengangkutan sampahnya ke TPA Legok Nangka dengan meninggalkan kondisi TPA Leuwi Gajah sama sekali. Belakangan diketahui adanya kompromi untuk mengoprasikan sebagian lahan di TPA Leuwi Gajah dengan demikian pada atribut ini mendapatkan skor 1. Untuk mekanisme penilaian bersama terhadap proposal investor di wilayah Metro Bandung juga belum ada mekanisme yang terstandart. oleh karenanya pada atribut ini mendapatkan skor 0. Selanjutnya untuk mekanisme operasional Pengelolaan TPA Regional dengan adanya BPSR menunjukkan institusi Pengeloal TPA Regional sudah sangat jelas. Dengan demikian pada atribut ini mendapatkan skor 2. Untuk mekanisme pengendalian dan pengawasan operasional TPA Regional sudah dilakukan secara rutin. Fungsi ini melekat pada seksi perencanaan dan evaluasi BPSR. Untuk itu pada atribut ini mendapatkan nilai 2. Untuk wilayah Malang Raya oleh karena belum ada lembaga yang terbentuk maka segala mekanisme dan prosedur kerjasama belum dapat diaplikasikan. oleh karena itu pada variabel ini untuk setiap atribut diwilayah Malang Raya tidak diberikan bobot nilai (not available). Selanjutnya untuk variabel struktur organisasi pada posisi penanggung jawab kerjasama dinilai sudah tepat karena Gubernur Jawa Barat atas nama Pemerintah Propinsi Jawa Barat memang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk urusan Pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten /Kota. Demikian halnya untuk lingkup kewenangan tugas dan fungsi, sudah sesuai dengan tanggung jawab yang di embannya. Adapun tugas dan tanggung jawabnya antara lain melakukan perencanaan, pembangunan, pelayanan, pengolahan dan pemrosesan akhir 20
sampah TPA Regional. Dengan demikian untuk masing – masing atribut mendapat skor 2. untuk posisi Tim Pengarah juga dinilai sudah tepat karena dalam perjanjian kerjasama diatur pendelegasian wewenang kepda Sekretaris Daerah menyangkut perubahan hal – hal teknis. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa pada variabel prasyarat kerjasama sebagian besar atribut bernilai sangat penting. Hanya pada atribut kemudahan pelayanan terhadap dunia usaha yang benilai cukup penting. Pada variabel mekanisme dan prosedur kerjasama sebagian besar atributnya bernilai sangat penting kecuali pada atribut mekanisme keanggotaan yang bernilai 0 (tidak penting). Pada variabel struktur organisasi seluruh atributnya bernilai sangat penting. Dengan demikian maka setiap atribut pada variabel-variabel ini layak dimasukkan ke dalam konsep pedoman kerjasama pengelolaan TPA regional. Komparasi Model – Pedoman CK: Variabel Kelembagaan a. Prasyarat kerjasama Untuk membentuk kerjasama diperlukan beberapa prasyarat agar proses yang terjadi dan bentuk kerjasama berjalan sesuai tujuan. Kesamaan tujuan dalam kerjasama merupakan hal pertama dan utama. Dalam pedoman yang dibuat Cipta Karya (CK) PU, hal ini disebutkan dalam latar belakang. Pengelolaan TPA dengan sanitary landfill seperti yang diamanatkan UU 18/2008 merupakan tujuan akhir yang membuat kerjasama ini harus dilakukan. Oleh karena itu, untuk indikator ini diberi nilai 0. Begitu pula dengan indikator adanya kepentingan yang sama dalam pengelolaan sampah. Indikator selanjutnya yaitu adanya komitmen bupati / walikota / gubernur terkait kerjasama pengelolaan TPA regional telah terlihat pada bagian penandatanganan kerjasama. Diperlukan komitmen dari kepala pemerintah daerah, kab/kota. Independensi lembaga kerjasama/unit pengelola TPA regional yang dibentuk dalam melakukan koordinasi lintas daerah bersifat hubungan antara provider – user agar profesionalisme dapat dijaga. Profesionalisme ini kemudian diperkuat dengan kepemimpinan lembaga kerjasama oleh unsure professional. Hal ini ditunjukkan oleh uraian tugas masing-masing unit kerja.
21
Indikator terakhir adalah kemudahan pelayanan terhadap dunia usaha yang berminat menginvestasikan dananya. Hal ini telah diuraikan dalam bagian kemitraan dengan masyarakat. Meski belum dijelaskan lebih detail mengenai mekanismenya. Oleh karena semua indikator telah disebutkan pada pedoman CK maka diberi skor 0. b. Mekanisme dan prosedur dalam kerjasama Indikator
mekanisme
keanggotaan/perwakilan
untuk
menentukan
keanggotaan dan perwakilan telah disebutkan dalam pedoman CK. Disebutkan bahwa pemantauan dan evaluasi kondisi TPA dilakukan oleh pihak pemrakarsa pembangunan, yaitu Dinas Pekerjaan Umum provinsi dan kab/kota. Indikator mekanisme pengambilan keputusan bersama terlihat dalam proses pembentukan Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD). Struktur TKKSD termasuk di dalamnya adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah, artinya satuan kerja terkait dalam TPA Regional dapat menjadi anggota pada struktur organisasi kerjasama. Dengan begitu pengambilan keputusan bersama dapat tercermin. Mekanisme operasional pengelolaan TPA regional telah diuraikan secara detail, terutama tugas dari masing-masing unit kerja. Dalam rangka memfasilitasi kemitraan, maka mekanisme penilaian bersama terhadap proposal investor juga telah diatur. Begitu pula dengan mekanisme pengendalian dan pengawasan kerjasama pengelolaan TPA regional. SKPD kab/kota merupakan wakil dalam operasionalisasi di lapangan dan disebutkan bahwa kab/kota akan memperoleh laporan dari pengelola/UPTD secara berkala. Oleh karena semua indikator telah terdapat dalam pedoman maka skor yang diberikan adalah 0. c. Struktur Organisasi Pada komponen struktur organisasi, indikator posisi penanggungjawab kerjasama telah jelas disebutkan. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi menjadi penanggungjawab dan Sekda menjadi ketua teknis. Lingkup kewenangan, tugas dan fungsi penanggungjawab telah dijabarkan sesuai dengan Permendagri 22/2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, juga pada contoh perjanjian kerja sama yang dilampirkan pada pedoman CK (pasal 13 Hak dan Kewajiban Para Pihak).
22
Posisi dan lingkup kewenangan, tugas serta fungsi tim pengarah telah disebutkan dalam lampiran pedoman CK yaitu Pasal 22 Mekanisme Pengawasan Pengelola/UPTD dengan pembentukan Tim pengawas Kinerja TPA Regional. Unsur keanggotaan ditunjuk oleh masing-masing Pemerintah Daerah, kab/kota dan pakar persampahan yang akan ditetapkan oleh Gubernur. Posisi dan lingkup kewenangan, tugas serta fungsi tim teknis kerjasama telah disebutkan dalam lampiran pedoman CK yaitu Pasal 7 tentang Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD). Sedangkan posisi dan lingkup kewenangan, tugas serta fungsi tim pelaksana kerjasama telah disebutkan dalam lampiran pedoman CK yaitu Pasal 14 Hak dan Kewajiban Pengelola/UPTD.
B. Variabel Biaya Komponen pembiayaan secara garis besar terdiri dari dua variabel utama yakni struktur biaya dan struktur manfaat. Untuk struktur biaya menyangkut sharing biaya dan prosedur pembagian biaya. Sementara untuk struktur manfaat terdiri dari komponen manfaat, akses manfaat, sharing manfaat dan prosedur pembagian manfaat. Pada wilayah Metro Bandung berdasarkan perjanjian kerjasama antara Pemprov Jawa Barat, Pemkot Bandung, Pemkot Cimahi, dan Pemkab Bandung Barat tentang pengolahan dan pemrosesan sampah regional sementara di desa Sarimukti, kabupaten Bandung Barat telah menyepakati besaran komponen kompensasi jasa pelayanan (KJP) dan pola sharingnya (pasal 16). Dengan adanya ketentuan tersebut maka pada atribut ini diberikan bobot nilai 2. Untuk atribut prosedur pembayaran biaya diwilayah Metro Bandung berdasarkan perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati mekanisme penghitungan dan pembayaran kompensasi secara mendetail (pasal 16). Dengan demikian untuk atribut ini diberikan bobot nilai 2. Pada atribut komponen manfaat berdasarkan perjanjian kerjasama tersebut terdapat ketentuan apabila dalam pengelolaan TPA Regional memperoleh pendapatan dari hasil pengolahan sampah, maka pendapatan tersebut di setor ke kas pemerintah propinsi Jawa Barat (pasal 20). Namun tidak ada keterangan apapun mengenai komponen manfaat apa saja yang dikandung dalam struktur manfaat. Dalam praktekknya dari pengamatan lapangan dan hasil FGD ditemukan 23
bahwa hasil pengolahan sampah di TPA Sarimukti berupa kompos tidak dijual, tetapi dibagikan kepada peduduk sekitar. Dengan demikian pada atribut ini mendapatkan skror 1. Demikian halnya dengan atribut akses terhadap manfaat, berdasarkan kondisi tersebut diatas maka pada atribut ini di berikan bobot nilai 1. Pada atribut sharing manfaat sesuai dengan ketentuan perjanjian kerjasama pasal 20 maka tidak ada manfaat langsung yang dibagi. Manfaat yang dibagi sifatnya berupa insentif bagi daerah-daerah yang mampu mereduksi sampah yang masuk ke TPA Regional dalam bentuk pengurangan KJP sesuai dengan sampah yang dhasilkannya. Untuk itu pada atribut ini diberikan bobot nilai 1. Demikian halnya dengan prosedur pembagian manfaat, sesuai dengan penjelasan tersebut diatas maka diberikan dengan nilai 1. Sementara untuk wilayah Malang Raya dalam kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu mengenai kerjasama pembangunan daerah diwilayah Malang Raya ketentuan tentang pembiayaan hanya terbatas pada sumber pembiayaan dan pengambilan keputusan dalam urusan pembiayaan yang membebani masyarakat. Selain itu, pada saat penelitian ini dilakukan sedang dilakukan kajian kelayakan pengelolaan TPA Regional sehingga belum dapat diidentifikasi komponen dan aspek-aspek pembiayaan lainnya. Dengan demikian pada komponen pembiayaan tidak ada informasi yang representatif untuk diberikan bobot nilai (not available). Berdasarkan hasil pembobotan tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar atribut pada variabel struktur biaya bernilai sangat penting. Sementara untuk variabel struktur manfaat bernilai cukup penting. Dengan demikian kedua variabel tersebut layak untuk dimasukkan ke dalam konsep pedoman kerjasama pengelolaan TPA regional. Komparasi Model – Pedoman CK: Variabel Biaya Hasil uji model untuk selanjutnya di komparasikan dengan konsep pedoman pembentukkan kelembagaan TPA Regional. Bedasarkan konsep pedoman tersebut terlihat bahwa pengaturan pembiayaan yang diatur lebih bersifat prinsipprinsip umum dan aspek administratif. Dalam prinsip kerjasama yang harus dibangun dalam pengelolaan TPA Regional antara lain prinsip efesiensi, saling menguntungkan dan transparansi. Sementara dalam aspek administratif terdapat dalam contoh kesepakatan kerjasama tentang jumlah nilai investasi, tarif dan 24
mekanisme
penyesuaian,
pembayaran
retribusi,
sanksi
keterlambatan
pembayaran retribusi dan laporan keuangan. Dalam ketentuan mengenai tarif tidak ditemukan indikasi sedikitpun mengenai komponen biaya pembentuk tarif. Satu-satunya atribut yang diatur dan sesuai dengan konsep model adalah atribut prosedur pembayaran biaya (pembayaran retribusi). Dengan demikian hanya pada atribut prosedur pembayaran biaya yang mendapatkan bobot nilai 0 (tidak membutuhkan rekomendasi). Sedangkan untuk atribut lainnya mendapatkan nilai 1 yang artinya membutuhkan rekomendasi untuk penyempurnaan konsep pedoman atau menjadi konsep pedoman terpisah.
C. Variabel SDM Kompetensi bidang perencanaan / penyusunan program yang dimiliki SDM pengelola Metro Bandung dan Malang Raya belum sepenuhnya menghasilkan dokumen perencanaan SMART. Hal ini dikarenakan pengelolaan TPA Regional merupakan hal baru. Penyiapan SDM dengan pelatihan dan pembekalan pengetahuan teknis baru dilakukan. Baik Malang Raya dan Metro Bandung diberikan skor 1. Sedangkan untuk kompetensi bidang legal / hukum, Metro Bandung mampu menyusun dan menganalisa kontrak/perjanjian. Hal ini ditunjukkan dengan dokumen perjanjian kerjasama untuk TPA Sarimukti yang baik. Sedangkan
Malang Raya
belum memiliki kemampuan ini karena kerjasama belum terlaksana. Untuk masingmasing diberikan skor 2 dan 1. Untuk kompetensi bidang komunikasi / networking, mampu
mengembangkan
komunikasi
dan
networking
Metro Bandung telah karena
pelaksanaan
kerjasama mendapat bantuan dan advis teknis dari pemerintah pusat. Oleh karena itu diberi skor 2. Sedangkan Malang Raya belum mampu karena sampai saat ini masih melakukan konsolidasi di area tersebut, belum lingkup provinsi sehingga diberi skor 1. Sedangkan untuk kompetensi bidang administrasi dan pengelolaan keuangan, kedua tempat belum sepenuhnya mampu mengelola administrasi dan keuangan dengan akuntabel karena laporan keuangan masih berinduk pada pola keuangan provinsi/kab/kota. Sehingga keduanya diberi skor 1. Laporan ini belum dapat secara mandiri menyediakan laporan yang akuntabel untuk dapat diakses publik. Hal ini
25
wajar karena bentuk lembaga yang ada di Bandung Raya belum independen, berada di bawah Dinas CK Prov Jabar. Selain kompetensi non-teknis, dibutuhkan pula kompetensi teknis. Dalam kompetensi bidang manajemen konflik, Bandung dan Malang belum sepenuhnya mampu memetakan dan mengelola konflik menjadi kerjasama. Hal ini jelas terlihat pada Malang Raya dimana masing-masing kab/kota belum dapat duduk bersama. Oleh karena itu dibutuhkan peran penengah, dalam hal ini provinsi dan atau pemerintah pusat. Sedangkan Bandung hanya mengalami konflik pada perbedaan pendapat mengenai penentuan besar retribusi namun dapat ditengahi oleh Sekda. Keduanya diberi skor 1. Kompetensi bidang operasional TPA sampah terkait dengan keilmuan SDM pengelola. Penerapan sistem sanitary landfill selain membutuhkan SDM yang berkualitas, juga membutuhkan teknologi yang belum sepenuhnya mampu dikelola saat ini. Oleh karena itu, penting kemitraan dengan swasta yang professional dalam bidang ini. Oleh karena itu keduanya diberi skor 1. Sedangkan untuk kompetensi bidang community based development (CBD) untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, Bandung belum sepenuhnya mampu mengembangkan CBD sesuai kebutuhan masyarakat dan Malang sudah mampu. Hal ini dikarenakan pola gerak kelembagaan Bandung adalah top-down, sedangkan Malang bottom-up. Untuk itu masing-masing diberi skor 1 dan 2. Berdasarkan hasil penilaian tersebut variabel kompetensi SDM dianggap penting untuk dimasukkan pada konsep pedoman kerjasama pengelolaan TPA regional. Secara umum variabel ini akan melekat pada komponen kelembagaan karena disana terdapat uraian tugas dan fungsi lembaga yang dibentuk dalam pengelolaan TPA regional. Komparasi Model – Pedoman CK: Variabel SDM Seluruh kompetensi seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, telah diuraikan pada konsep pedoman CK. Kompetensi non-teknis telah diuraikan per unit satuan kerja, sedangkan kompetensi teknis diuraikan secara implisit pada penjelasan tahap pembangunan sampai pasca operasional. Penjelasan ini menuntut pemahaman yang mendalam dari pemerintah daerah, kab/kota yang kelak akan melakukan kerjasama. Karena jika tidak, prosedur kelembagaan dan pelaksanaan TPA Regional cacat secara teknis dan non26
teknis. Oleh karena itu untuk skoring komparasi diberi nilai 0, artinya tidak dibutuhkan rekomendasi pedoman tambahan.
D. Variabel CBD a. Mekanisme pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan pada masyarakat sekitar TPA regional Mekanisme pemetaan ini diperlukan untuk menggambarkan potensi dan permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan sebagai akibat dari beroperasinya TPA Regional. Untuk wilayah Metro Bandung pelaksanaan pemetaan ini dinilai sudah berjalan dengan baik dengan adanya penyusunan community action plan (CAP) pada masyarakat sekitar TPA Sarimukti. Pada tahap awal terdapat fase pelaksanaan survey kampung sendiri (SKS) untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan akibat beroperasinya TPA Sarimukti. Mekanisme SKS ini terbukti mampu mengidentifikasi potensi dan permasalahan tersebut. Dengan demikian pada atribut ini, wilayah Metro Bandung mendapatkan skor 2. Sementara untuk mekanisme integrasi usulan program masyarakat hasil pemetaan dengan program pengelolaan TPA regional di TPA Sarimukti dinilai belum sepenuhnya mampu di integrasikan (skor 1). Hal ini disebabkan oleh usulan program masyarakat yang masih bersifat daftar keinginan dan bukan daftar kebutuhan yang terkait langsung dengan operasi pengelolaan TPA sampah. Beberapa contoh daftar keinginan tersebut misalnya rehabilitasi kantor desa dan PAUD, pembangunan GOR dan gedung PKK, serta pipanisasi saluran irigasi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa usulan yang diajukan tidak terkait langsung dengan operasi pengelolaan TPA sampah khususnya dalam hal dampak sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat. Meskipun pada mekanisme integrasi mendapatkan skor 1, namun peran pengawasan masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan dari beroperasinya TPA Sarimukti bisa berjalan dengan baik. Kondisi tersebut ditunjang oleh adanya kegiatan SKS yang mampu mengidentifikasi permasalahan yang diakibatkan dari beroperasinya TPA Sarimukti. Dengan kata lain, masyarakat sekitar TPA mampu mengidentifikasi dampak yang diterimanya baik yang bersifat positif maupun negatif. Beberapa dampak yang di nilai positif oleh masyarakat antara lain:
27
1. Sebagai sumber mata pencaharian penduduk yang berkerja sebagai pemulung 2. Selain pemulung, keberadaan TPPAS Regional Sementara ini juga memunculkan banyaknya bandar rongsokan yang tersebar disetiap RW Desa Sarimukti 3. Adanya kompensasi arus balik truk sampah yang melewati Desa Sarimukti sedikit banyak membantu tingkat perekonomian desa.
Sedangkan untuk dampak negatif yang berhasil diidentifikasi warga adalah sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan Desa Sarimukti menjadi kumuh dan menyebabkan polusi udara 2. Menurunnya tingkat kesehatan masyarakat Desa Sarimukti akibat polusi yang ditimbulkan. 3. Rusaknya prasarana jalan Desa Sarimukti yang diakibatkan banyaknya truk sampah yang melewati jalan lingkungan desa dengan beban yang berlebihan. Selain itu juga truk sampah yang melewati menyebabkan lingkungan menjadi kotor dengan sampah yang berceceran dan debu yang ditimbulkan 4. Keberadaan bandar rongsok menyebabkan banyaknya sampah yang menumpuk dan tersebar disekitar lokasi dan juga kegiatan pencucian plastik yang dilakukan oleh bandar rongsok menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. 5. Masuknya penduduk dari luar Desa Sarimukti yang berprofesi sebagai pemulung menimbulkan suatu permasalahan sosial. Tingginya angka kriminalitas Desa Sarimukti menjadi salah satu permasalahan yang terjadi akibat terjadinya arus urbanisasi. 6. Banyaknya rumah-rumah penduduk yang berdiri disepanjang jalan menuju lokasi TPPAS Regional Sarimukti menyebabkan tidak tertatanya kawasan ini. Untuk wilayah Malang Raya berdasarkan wawancara mendalam dan FGD memang tidak ditemukan adanya aktifitas pemetaan pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan pada masyarakat sekitar TPA Supit Urang. Dengan demikian tidak ada program pembangunan hasil pemetaan masyarakat yang di integrasikan dengan 28
program pengelolaan TPA regional. Kemudian tanpa mekanisme pengawasan formal yang dilakukan masyarakat terhadap operasional TPA Supit Urang. Dengan demikian untuk ketiga atribut pada mekanisme pengembangan CBD untuk masyarakat sekitar TPA regional di wilayah Malang Raya tidak diberi bobot nilai (not available).
b. Jaringan pengelola sampah komunitas lintas kabupaten/kota Jaringan pengelola sampah komunitas lintas kabupaten/kota dalam konteks pengelolaan TPA regional dibangun dalam rangka meningkatkan komunikasi dan kerjasama sehingga terbangun kapasitas kolektif dalam mereduksi sampah yang masuk ke TPA regional. Untuk wilayah Metro Bandung, berdasarkan survey dilapangan dan wawancara dengan nara sumber terpilih menunjukkan upaya pengelolaan sampah komunitas memang berjalan di masing-masing kabupaten/kota yang bekerjasama. Meskipun demikian upaya-upaya tersebut masih berjalan sendirisendiri dalam lingkup wilayah yang terbatas. Belum ada integrasi antar komunitas di kabupaten/kota yang bekerjasama dalam bentuk jaringan atau kelembagaan yang lain. Dengan kondisi tersebut, maka untuk ketiga atribut pada variabel jaringan pengelola sampah komunitas di wilayah Metro Bandung diberi bobot nilai 0. Sebaliknya fenomena menarik terjadi di wilayah Malang Raya. Meskipun pemda kabupaten/kota sedang dalam proses melembagakan kerjasama mereka dalam pengelolaan TPA regional, namun pada level komunitas sudah ada upaya rintisan membangun jaringan komunitas pengelelola sampah. Upaya rintisan tersebut diwujudkan dengan fasilitasi studi banding, pelatihan, dan pertukaran antar kaderkader lingkungan oleh instansi terkait diketiga kabupaten/kota. Sebagai contoh dalam
hal
memanfaatkan
gas
methan
menjadi
energi
untuk
memasak,
kader/komunitas di kota Malang belajar kepada kabupaten Malang. Hanya saja upaya ini masih sporadis tergantung dengan agenda dan dana dari pemkab/pemkot di Malang Raya. Dengan demikian dalam melihat kapasitas yang butuh ditingkatkan dalam pengembangan jaringan ini sifatnya belum sistematis. Untuk itu pada atribut pemetaan kapasitas pengelolaan sampah komunitas diberikan bobot nilai 1. Upaya rintisan yang sudah dilakukan telah membuka jaringan komunitas pengelola sampah di wilayah Malang Raya. Dengan terbukanya jaringan ini kemungkinan untuk meningkatkan status jaringan pada pembentukkan lembaga, penyusunan program, dan agenda bersama menjadi suatu keniscayaan. Meskipun 29
demikian hingga saat ini jaringan yang sudah terbangun belum sampai pada level pembentukkan lembaga, penyusunan program, dan agenda bersama. Dengan demikian bobot nilai yang diberikan untuk atribut pengembangan jaringan komunitas pengelola sampah lintas lintas kabupaten/kota adalah 1. Sebagai konsekuensi dari belum adanya pembentukkan lembaga, penyusunan program, dan agenda bersama komunitas pengelola sampah maka tidak ada integrasi program jaringan komunitas dengan program pengelolaan TPA regional. Untuk itu pada atribut integrasi program jaringan komunitas pengelola sampah lintas lintas kabupaten/kota dengan program kerjasama pengelolaan TPA regional yang sedang/akan berjalan tidak diberikan bobot (not available). Berdasarkan hasil penilaian tersebut dapat digarisbawahi bahwa untuk variabel mekanisme pengembangan CBD pada masyarakat sekitar TPA regional bernilai sangat penting. Hasil ini memang tidak mengherankan mengingat selama ini resistensi masyarakat terhadap keberadaan TPA sampah menjadi hambatan dan tantangan yang cukup berat dalam pengelolaan sampah perkotaan. Sementara untuk variabel jaringan pengelola sampah komunitas lintas kabupaten/kota tampaknya belum menjadi prioritas saat ini. Dengan demikian pada variabel mekanisme pengembangan CBD pada masyarakat sekitar TPA regional layak untuk dimasukkan pada konsep pedoman kerjasama pengelolaan TPA regional. Komparasi Model – Pedoman CK: variabel CBD Dalam pedoman tentang pembentukkan kelembagaan TPA regional, ketentuan mengenai kemitraan dengan masyarakat lebih dimaknai sebagai kemitraan dalam mengelola sampah di TPA regional (termasuk dalam pembiayaannya). Adapun kemitraan dalam konteks penanganan dampak negatif pengolahan sampah terhadap masyaraktat sekitar TPA regional belum ada pengaturan yang cukup detil. Padahal berbagai pengalaman menunjukkan tanpa adanya upaya pengembangan komunitas masyarakat sekitar TPA sebagai wujud kemitraan dalam penanganan dampak TPA regional akan berakibat pada penolakan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut maka untuk komponen pengembangan CBD pada masyarakat sekitar TPA Regional diberikan bobot nilai 1. Dengan demikian komponen ini sangat direkomendasikan sebagai masukkan untuk melengkapi pedoman yang disusun Cipta Karya.
30
II. Hubungan Hasil Pembobotan Uji Model dengan Pembobotan Komparasi Seluruh hasil pembobotan uji model yang bernilai 1 dan 2 (cukup penting dan sangat penting) menunjukkan kemampuan variabel dan atribut tersebut dalam menjawab permasalahan dan tantangan kerjasama pengelolaan TPA regional. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, variabel dan atribut tersebut layak untuk dikembangkan dalam konsep pedoman kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional. Adapun variabel yang masuk pada kategori cukup penting dan sangat penting pada komponen kelembagaan adalah variabel prasyarat kerjasama, mekanisme dan komponen kerjasama, struktur organisasi. Pada komponen pembiayaan dan manfaat variabel yang masuk pada kategori cukup penting dan sangat penting adalah variabel struktur biaya dan struktur manfaat. Pada komponen kompetensi SDM seluruh atributnya masuk pada kategori cukup penting. Terakhir pada komponen pengembangan CBD hanya pada variabel komponen pengembangan CBD masyarakat sekitar TPA regional yang dinilai penting. Variabel – variabel tersebut selanjutnya dikembangkan dalam sebuah konsep pedoman kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional. Dalam pengembangan konsep pedoman tersebut, tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana
merumuskan
ruang
lingkup
yang
tepat
dengan
mempertimbangkan hasil uji model di lapangan. Kalau seluruh aspek yang dinilai penting dalam uji model diakomodasi, maka ruang lingkup pedoman menjadi terlampau luas. Dalam perkembangan diskusi/penyusunan konsep pedoman, maka diputuskan untuk membatasi ruang lingkup pada tahap perencanaan kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional. Pedoman tersebut mengatur prosedur fasilitasi perencanaan kerjasama pengelolaan TPA regional mulai dari persiapan hingga penandatanganan kerjasama. Sasaran pedoman ini adalah pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai yang memiliki kewenangan pengelolaan sampah lintas daerah dan kabupaten/kota. Untuk produk konsep pedoman perencanaan
kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam pengelolaan TPA regional dapat dilihat pada bagian lampiran dari laporan akhir ini. Sebagaimana
berulangkali
telah
disampaikan
sebelumnya,
pada
saat
penyusunan konsep pedoman ini Ditjen Cipta Karya melakukan diseminasi konsep pedoman pembentukkan kelembagaan TPA regional. Dengan melihat tahapan 31
dalam konsep pedoman tersebut terdapat kemiripan sekaligus kesamaan lingkup dengan konsep pedoman yang tengah dikembangkan. Dengan kondisi tersebut, tim peneliti memutuskan untuk melakukan pembobotan antara hasil uji model dengan substansi dan ketentuan yang diatur pada pedoman yang dibuat Ditjen Cipta Karya. Berdasarkan hasil pembobotan komparasi ditemukan bahwa pada komponen pembiayaan/manfaat dan komponen pengembangan CBD terdapat ruang kosong yang menjadi peluang dari kajian ini untuk melengkapi konsep pedoman yang telah disusun Cipta Karya. Dari kedua komponen tersebut, dengan melihat kemampuan dan prioritas yang paling logis maka dipilihlah komponen pembiayaan dan manfaat sebagai produk konsep pedoman yang paling strategis untuk di masukkan. Alasan utama dari dipilihnya komponen pembiayaan dan manfaat karena banyak sekali proses fasilitasi kerjasama yang gagal karena tidak bisa mencapai kesepakatan terkait pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional. Ketika kesepakatan antar pemerintah daerah tersebut tidak dapat dicapai, maka logikanya tidak mungkin akan mengembangkan kemitraan dengan swasta dan masyarakat. Dengan demikian pilihan untuk mengembangkan konsep pedoman perumusan pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional menjadi pilihan yang rasional pada saat ini dan kedepan.
III. Analisis Biaya dan Manfaat: Valuasi Ekonomi TPA Regional Sari Mukti Valuasi
ekonomi
dimaksudkan
untuk
mengetahui
tingkat
kelayakan
implementasi TPA Regional. Pada penelitian ini valuasi ekonomi berada pada proses perencanaan. Analisis dilakukan pada dua level, yaitu secara umum meliputi ketiga wilayah serta analisis per wilayah. Analisis valuasi ekonomi dilakukan untuk jangka 10 tahun, yang diperkiraan sebagai umur rerata TPA Regional dengan tingkat diskonto 15%. Biaya TPA Regional terdiri dari biaya studi perencanaan, biaya pembebasan lahan, biaya konstruksi, biaya pengangkutan serta biaya operasional dan pemeliharaan sarana TPA Regional. Biaya tersebut secara umum dikeluarkan dengan sistem sharing antara Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat dan Pemda Bandung-Cimahi-Bandung Barat. Biaya ini akan semakin meningkat seiring dengan waktu, misalnya adalah lahan yang semakin mahal. Dalam hal ini juga kenyataan sulitnya mencari lokasi lahan yang layak,strategis, representatif, dan diterima
32
masyarakat sekitar. Biaya awal TPA Regional diprediksikan sebagaimana disajikan pada Tabel berikut. Tabel Biaya Awal Pembangunan TPA Regional Komponen Biaya Perencanaan (Studi, Desain, AMDAL) Biaya Pembebasan Lahan Sewa Lahan Perhutani (21,2 Ha) Penggantian investasi jati Pembayaran lost Oppurtunity cost pengusahaan jati Pembebasan lahan milik (4 ha) @Rp.100.000/m2 Biaya Konstruksi Total
Biaya (Rupiah) Penanggung Jawab 752.576.000 Pemerintah Pusat dan Prov Jawa Barat PemProv Jawa Barat 540.000.000 4.439.960.600 4.000.000.000 Pemkot Bandung dan Cimahi 27.799.851.000 Pemerintah Pusat dan Prov Jawa Barat 37.532.287.600
Sumber : Diolah dari Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat
Biaya di atas merupakan investasi awal yang dikeluarkan pada tahun pertama dan kedua. Tahap selanjutnya adalah pengelolaan TPA yang membutuhkan biaya pengumpulan dan pengangkutan ke TPA, biaya retribusi masuk, serta biaya operasional dan pemeliharaan (OP) sarana TPA Regional. Pengumpulan dan pengangkutan dikelola masing-masing kabupaten/kota, sehingga biayanya juga menjadi beban sendiri-sendiri. Pengangkutan dilakukan dengan dump truck kapasitas 10 m3 atau setara sekitar 2,56 ton. Biaya pengangkutan tergantung jarak dari masing-masing daerah. Selanjutnya biaya retribusi masuk tergantung volume sampah,
dimana
sesuai
kesepakatan
dan
perencanaan
tarifnya
adalah
Rp.29.000/ton sampah. Pelaksanaan OP menjadi tanggung jawab BPSR Jawa Barat. Dimana, biaya OP menjadi beban bersama yang akan dikumpulkan dengan sistem sharing berdasarkan volume sampah yang diangkut setiap kabupaten/kota ke TPA Regional. Kekurangan dibiayai APBD Provinsi melalui BPSR Jawa Barat. Biaya ini rutin dikeluarkan setiap bulan. Biaya pengelolaan TPA Regional setiap tahunnya tersaji pada Tabel berikut.
33
Tabel Biaya Pengelolaan TPA REGIONAL Per Tahun Biaya (Rupiah)
Penanggung Jawab Pemda BandungCimahi-Bandung 7. 373.000.000 Barat (masingmasing) 657.000.000
Komponen Biaya Pengumpulan dan Pengangkutan Bandung (202 rit x 365 hari x Rp.100.000) Cimahi (24 rit x 365 hari x Rp.75.000) Bandung Barat (7 rit x 365 hari x Rp.50.000) Biaya Operasional dan pemeliharaan TPA
127.750.000
Biaya Kompensasi Dampak Negatif Bandung (299701 ton x Rp.4.400/ton) Cimahi (24607 ton x Rp. 4.400/ton) Bandung Barat (7465 ton x Rp. 4.400/ton) Total
13.224.562.200 Pemprov dan Pemda BandungCimahi-Bandung Barat Pemda Bandung1.318.684.400 Cimahi-Bandung Barat 108.270.800 32.846.000 22.842.113.400
Sumber : Diolah dari Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat
Penilaian
berikutnya
adalah
untuk
manfaat.
Manfaat
langsung
dari
pengembangan TPA Regional antara lain retribusi sampah, profit pengolahan sampah, dan efisiensi pengelolaan sampah. Retribusi sampah dihitung berdasarkan volume sampah yang masuk ke TPA. Potensi dan kemampuan tampung TPA ratarata adalah 331.733 ton per tahun. Biaya retribusi berdasarkan kesepakatan antar pemkab/kota adalah Rp. 29.000,00/ton serta biaya kompensasi dampak negatif sebesar 4.400,00/ton yang diserahkan ke Kabupaten Bandung Barat untuk masyarakat sekitar TPA. Sampah dimanfaatkan sebagai kompos. Rata-rata setiap bulan dapat dihasilkan 29,46 ton kompos. Pengelolaan sampah dengan TPA terpadu dapat memberikan efisiensi bagi masing-masing kabupaten/kota jika dibanding mengelola sendiri, ditambah dengan kondisi prediksi over kapasitas TPA eksisting serta semakin menyempitnya ketersediaan lahan untuk TPA baru. Efisiensi Kota Bandung dan Cimahi didapat dari efisiensi pengadaan lahan. Lahan di kedua daerah tersebut semakin terbatas dan lebih tinggi harganya. Di Kota Bandung ratarata harga tanah termurah adalah Rp. 300.000/m2, sedangkan di Cimahi juga mencapai Rp. 250.000/ m2. Kebutuhan lahan diasumsikan sama dengan standar 34
perencanaan TPA Regional, yaitu 277 m2/ton sampah per hari. Penyediaan lahan dilakukan secara sewa untuk kompensasi pengusahaan tanaman jati kepada PERHUTANI melalui APBD Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pembebasan lahan yang dimiliki warga seluas 4 Ha dilakukan secara sharing antara Bandung dan Cimahi secara proporsional berasarkan potensi volume sampah. Bagi Kabupaten Bandung Barat, manfaat juga berupa meningkatnya ekonomi masyarakat, baik untuk karyawan TPA maupaun masyarakat yang memanfaatkan sampah untuk diolah. Nilai ekonomi manfaat tersebut tersaji pada Tabel berikut.
Tabel Manfaat Langsung Pengelolaan TPA Regional Komponen Retribusi Bandung (299701 ton x Rp.29.000/ton) Cimahi (24607 ton x Rp. 29.000/ton) Bandung Barat (7465 ton x Rp. 29.000/ton) Hasil pengolahan sampah Kompos (29,46ton/bulan x 12 bulan x Rp.1.000.000) Efisiensi lahan Bandung (299701 ton/365hari x 277 m2/ton x Rp.300.000/m2 ) -(Rp. 3.680.000.000) Cimahi (24607 ton/365hari x 277 m2/ton x Rp.250.000/m2) -(Rp.320.000.000) Peningkatan ekonomi masyarakat Bandung Barat (100 orang x Rp. 50.000 x 365 hari)
Nilai Ekonomi Manfaat (Rupiah)
Pengelola Manfaat BPSR
8.691.329.000 713.603.000 216.485.000 BPSR 353.520.000
Masing-masing 64.553.296.164 kabupaten/kota
3.414.870.685
1.825.000.000 Masing-masing kabupaten/kota
Sumber : Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat dan Analisis (2011)
Manfaat selanjutnya adalah manfaat tidak langsung. Pembangunan TPA Regional akan memberikan manfaat tidak langsung antara lain peningkatan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Kebersihan dan kesehatan yang terutama akan dinikmati oleh Bandung dan Cimahi, karena dengan TPA Regional akan menyebabkan kondisi kota lebih bersih dibanding tanpa TPA Regional atau dengan TPA lokal yang kapasitasnya terbatas. 35
Sedangkan bagi Bandung Barat dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk membuka peluang ekonomi dengan pengolahan sampah, misal daur ulang sampah an organik atau penjualan/pemanfaatan komposting. Nilai manfaat ini sulit diekonomiskan karena sangat kompleks dan efeknya berantai. Berdasarkan biaya dan manfaat di atas dapat dianalisis kelayakan ekonomi TPA Regional menggunakan asumsi umur program 10 tahun dan tingkat bunga diskonto 15 %. Tabel 4 menunjukkan nilai manfaat tunai (net benefit) didapat melebihi net cost-nya. Selisih keduanya adalah nilai manfaat bersih berdasarkan nilai sekarang (NPV). NPV di semua kabupaten/kota adalah negatif, artinya cost-benefit ratio akan di bawah 1. Berdasarkan nilai ini menyimpulkan bahwa secara ekonomi, TPA Regional tidak layak untuk dibangun dengan kerjasama selama 10 tahun.
Tabel Hasil Analisis cost-benefit ratio TPA Regional Parameter Net Cost (15%) Net Benefit (15%) Net Present Value Cost-Benefit Ratio
Nilai Rp.142.783.919.434 Rp.116.183.139.275 Rp.-26.600.780.160 0,81
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Analisis selanjutnya adalah menentukan pay back period, yaitu pada tahun ke berapa biaya yang dikeluarkan telah tertutupi oleh manfaat yang didapat secara kumulatif. Secara grafis nilai ini dapat ditentukan pada Gambar 1, dimana pay back priod terletak pada titik potong net cost dan net benefit (titik break event point). Grafik tersebut menunjukkan bahwa pay back period sebelum ke-10 yaitu sekitar tahun
ke-2.
Dengan
demikian
mulai
tahun-tahun
tersebut,
pemerintah
kabupaten/kota akan dapat menikmati manfaat dari pengembangan TPA Regional. Tetapi biaya kembali melebihi manfaat mulai tahun ke-4. Pay back period 1 terjadi sebelum umur program diprediksikan berakhir, artinya TPA Regional
layak
diimplementasikan hingga tahun ke-4 saja. Kelayakan ini masih berpotensi ditingkatkan dengan memperbesar nilai manfaat. Potensi pemanfaatan sampah TPA yang bisa diupayakan adalah produksi listrik dan penjualan hasil penangkapan
36
Methana. Peluang paling besar adalah dengan menjalin kerjasama swasta dan internasional.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, maka terdapat beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan. Adapun kesimpulan pada kegiatan uji model kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan TPA Regional antara lain : Hasil uji kinerja model : 1. Komponen kelembagaan menunjukkan skor rata-rata 2. Artinya seluruh variabel dalam komponen model ini sangat sesuai dengan kondisi di lapangan dan memiliki nilai sangat penting sehingga sangat layak dikembangkan dalam konsep pedoman. 2. Komponen pembiayaan menunjukkan skor rata-rata 1. Artinya sebagian besar variabel dalam komponen model ini sesuai dengan kondisi di lapangan dan memiliki nilai penting sehingga cukup layak dikembangkan dalam konsep pedoman. 3. Komponen SDM menunjukkan skor rata-rata 1. Artinya sebagian besar variabel dalam komponen model ini sesuai dengan kondisi di lapangan dan memiliki nilai penting sehingga cukup layak dikembangkan dalam konsep pedoman. 4. Komponen CBD menunjukkan skor rata-rata 1. Artinya sebagian besar variabel dalam komponen model ini sesuai dengan kondisi di lapangan dan memiliki nilai penting sehingga cukup layak dikembangkan dalam konsep pedoman.
Parameter kinerja model : Berdasarkan hasil pembobotan uji model dapat dikeluarkan beberapa parameter kinerja model seperti efektifitas dan efesiensi. Model kerjasama ini dianggap semakin efesien manakala : 1. Mampu mendorong para pihak yang bekerjasama untuk menyatupadukan tujuan dan kepentingannya dalam pengelolaan sampah skala regional dengan 37
input (biaya fasilitasi, FGD, kampanye publik, dan sebagainya) sehemat mungkin. 2. Mampu mendorong para pihak yang bekerjasama segera melakukan penandatanganan nota kesepahaman dan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama yang legal dan mengikat menggunakan sumber daya yang sehemat mungkin. 3. Mampu membentuk lembaga kerjasama pengelola TPA regional yang independen dan SDM didalamnya di isi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi yang memadai dengan penggunaan sumber daya yang sehemat mungkin. 4. Mampu memudahkan para pihak yang bekerjasama dalam melakukan perhitungan dan perumusan pembiayaan dan manfaat sehingga dapat menghasilkan keputusan pembiayaan yang disepakati bersama. 5. Mampu memfasilitasi pengembangan kemitraan dengan masyarakat sekitar TPA sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat dalam pengelolaan TPA regional.
Model kerjasama ini dianggap semakin efektif manakala : 1. Mampu meminimalkan konflik kepentingan setelah ada penandatanganan perjanjian kerjasama. 2. Lembaga kerjasama yang dibangun mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara optimal khususnya untuk fungsi koordinatif dalam pengambilan keputusan bersama. 3. Keputusan pembagian biaya dan manfaat dijalankan dengan konsisten dan menunjang keberlanjutan pengelolaan sampah di TPA regional. 4. Masyarakat di sekitar TPA regional mendapatkan manfaat yang optimal dan berperan dalam pengelolaan TPA sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hasil uji komparasi : 1. Komponen kelembagaan menunjukkan skor rata-rata 0. Artinya seluruh variabel dalam komponen model ini sudah diakomodasi dalam Konsep Pedoman Pembentukkan Kelembagaan TPA Regional.
38
2. Komponen pembiayaan menunjukkan skor rata-rata 1. Artinya sebagian besar variabel dalam komponen model ini belum diakomodasi dalam Konsep Pedoman Pembentukkan Kelembagaan TPA Regional. 3. Komponen SDM menunjukkan skor rata-rata 0. Artinya seluruh variabel dalam komponen
model
ini
sudah
diakomodasi
dalam
Konsep
Pedoman
Pembentukkan Kelembagaan TPA Regional. 4. Komponen CBD menunjukkan skor rata-rata 1. Artinya seluruh variabel dalam komponen
model
ini
belum
diakomodasi
dalam
Konsep
Pedoman
Pembentukkan Kelembagaan TPA Regional. Hasil Perhitungan Biaya dan Manfaat 1. Nilai Cost Benefit Ratio untuk Bandung 0,649; Cimahi 0,403; dan Bandung Barat 3,784. Nilai menunjukkan Bandung Barat memperoleh manfaat paling besar. 2. Pay back period jauh sebelum ke-10 hanya Bandung Barat yaitu sejak tahun ke-1. Bandung dan Cimahi sebelum tahun ke-2 sebenarnya sudah pay back period, tetapi terlampaui lagi biayanya pada tahun ke-5 untuk Bandung dan ke-3 untuk Cimahi, sehingga hasil analisis menjadi tidak layak
B. Rekomendasi B.1. Rekomendasi Umum 1. Komponen pembiayaan dan pengembangan CBD direkomendasikan menjadi konsep
pedoman
yang
melengkapi
Konsep
Pedoman
Pembentukkan
Kelembagaan TPA Regional. 2. Komponen pembiayaan menjadi prioritas dalam penyusunan konsep pedoman berdasarkan pertimbangan pengalaman kegagalan proses fasilitasi kerjasama akibat tidak tercapainya kesepakatan terkait pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional. Adapun konsep pedoman mengenai pembiayaan yang direkomendasikan adalah Konsep Pedoman Tatacara Perumusan Pembagian Biaya dan Manfaat Pengelolaan TPA Regional (Lampiran). 3. Untuk menyempurnakan konsep pedoman Tatacara Perumusan Pembagian Biaya dan Manfaat Pengelolaan TPA Regional perlu kajian lebih mendalam terkait manfaat lingkungan keberadaan TPA regional dan kemampuan fiskal daerah kabupaten/kota. 39
B.2. Rekomendasi Khusus 1. Sebelum melakukan perumusan pembagian biaya dan manfaat dalam pengelolaan TPA regional harus dipastikan adanya kesamaan kepentingan dan tujuan dalam pengelolaan sampah regional. 2. Untuk memperkuat kesamaan kepentingan dan tujuan para pihak yang bekerjasama harus diingatkan dengan kewajiban dalam UU Pengelolaan Sampah terkait keharusan melakukan pengelolaan TPA dengan sistem sanitary landfill. Untuk memenuhi kewajiban ini tidak ada jalan lain kecuali dengan bekerjasama mengelola TPA regional. 3. Seluruh dokumen perencanaan TPA regional yang telah dihasilkan seperti meliputi
dokumen
Master
Plan,
Feasibility
Study
(FS),
dan
AMDAL
pembangunan TPA regional sebaiknya sudah terkumpul sebagai dasar dalam melakukan perumusan pembagian biaya dan manfaat. 4. Perumusan pembagian biaya dan manfaat harus memperhitungkan kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota yang bekerjasama. Peran pemerintah provinsi sebagai buffer ketika kapasitas fiskal kabupaten/kota sangat penting dan strategis. 5. Pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional sedapat mungkin dapat mendorong daerah yang bekerjasama untuk mengurangi produksi sampah dari daerahnya. Pada sisi yang lain proses ini juga sedapat mungkin meningkatkan kapasitas daerah dalam kerjasama. 6. Pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional sebaiknya didesain untuk memberikan insentif kepada daerah kabupaten/kota yang mampu mereduksi sampahnya yang masuk TPA regional secara signifikan dan disinsentif bagi kabupaten/kota yang justru terus meningkat volume sampahnya. 7. Komponen biaya pembangunan dan pengelolaan TPA regional mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2008. 8. Prinsip-prinsip dalam proses pembagian biaya dan manfaat pengelolaan TPA regional sebaiknya mengacu pada Permendagri 69/2007 tentang Kerjasama Pembangunan Perkotaan. 9. Komponen kompensasi dampak negatif kepada masyarakat sekitar TPA menjadi salah satu variabel penting yang bisa digunakan sebagai indeks pembagi biaya dan manfaat khususnya bagi daerah lokasi TPA regional berada. 40
10. Dalam menentukan biaya kompensasi dampak negatif harus dibedakan dengan biaya penataan lingkungan disekitar TPA regional. Kompensasi dampak sifatnya hanya
respon/adaptasi
pada
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
akibat
operasional TPA regional seperti; pembangunan puskesmas dan biaya pengobatan akibat pencemaran sampah di TPA, pembangunan/bantuan air bersih sebagai respon dampak pencemaran air lindi, dana rehabilitasi jalan akibat kerusakan yang ditimbulkan kendaraan pengangkut sampah yang lewat.
41
DAFTAR PUSTAKA Arvidsson, G, 1986, Performance Evaluation, dalam Kaufmann (Eds), Guidance, Control and Evaluation in Public Sector, Walter de Guyter: Berlin Baso, H.Moerat, 2003,
Pembinaan SDM Berbasis Kompetensi, Majalah
Usahawan No. 6 Tahun 2003 Jakarta Bastary, Indra P, 2009, Public Private Partnership : Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Indonesia, Bahan materi Short Course On Integrated Urban Planning for Sustainable Management di Jakarta Boyle, R, 1989, Managing Public Sector Performance, a Comparative Study of Performance Monitoring System in the Public and Private Sector, Institute of Public Administration : Dublin Carter dkk, 1992, How Organization Measures Success : The Use of Performance Indicators in Government, Rourledge : London Downs, E.W. Larkey PD, 1986, The Search for Government Efficiency : from hubris to helplessness, Random House : New York Gray, C., 1997, Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Kedua, PT.Gramedia : Jakarta Kadariah, 1999, Evaluasi Proyek Analisa Ekonomi Edisi Satu, LPFE-UI: Jakarta Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008
Michael
Amstrong, Angela Baron, Performance Management, CAID House :
London Mitrani, Alain, 1995, Manajemen SDM Berbasis Kompensasi (terjemahan), PT. Intermasa : Jakarta Moleong, Lexy J. 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Mulreany, M, 1991, Economy, Efficiency and Effectiveness in Public Sector : Key Issues, Institute of Public Administration : Dublin Oktaviani dan Suryana, 2006, Analisis Kepuasan Pengunjung dan Pengembangan Fasilitas Wisata Agro, Jurnal Agro Ekonomi Volume 24 No.1 Mei 2006 hal 41 - 58 Prasetyo B dan Jannah, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi, Rajawali Press : Jakarta
42
Prayitno, Widodo dan Suprapto, 2002, Standarisasi Kompensasi PNS Menuju Era Globalisasi Global. Seri Kertas Kerja Volume II No. 05, Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN : Jakarta Suparmoko, 2002, Penilaian Ekonomi : Sumberdaya Alam dan Lingkungan,BPFE : Yogyakarta Santoso, Singgih, 2005, SPSS dan Excel Untuk Mengukur Sikap dan Kepuasan Konsumen, Elex Media Komputindo : Jakarta
Zwell, Michael, 2000, Creating a Culture of Competence, Wiley : New York
43