EVALUASI SISTEM TRACEABILITY PADA PRODUKSI CHEWY CANDY DI PT SWEET CANDY INDONESIA MENGGUNAKAN FMECA (FAILURE MODE EFFECTS AND CRITICALITY ANALYSIS)
FITRIA RIZKYKA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Fitria Rizkyka NIM F24080037
ABSTRAK FITRIA RIZKYKA. Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis). Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan ARI PARWONO. Tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah pada sistem traceability suatu industri akan mengakibatkan lemahnya manajemen penjaminan kualitas produk. Oleh karena itu, evaluasi terhadap sistem traceability penting dilakukan dengan menggunakan metode FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) dan pelaksanaan beberapa mock recall. Berdasarkan hasil analisis FMECA, kesalahan berupa tidak dilakukannya dokumentasi no.batch BTP oleh pihak flavor room dan produksi; tidak adanya perhitungan kuantitas permen pada tahapan cut and wrap, rusak atau hilangnya formulir checklist intermediate (pada bagian transwrap); dan tidak dilakukannya dokumentasi kuantitas scrap permen secara terpisah oleh pihak incinerator termasuk dalam area unacceptable dan memiliki prioritas lebih utama dalam tindakan koreksi dibanding kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch pada tahapan pulling dan cut and wrap; rusak atau hilangnya formulir nondocument pulling dan formulir checklist intermediate (pada bagian copacking) yang termasuk dalam area undesirable. Melalui pelaksanaan mock recall diketahui pula bahwa rataan total kebutuhan waktu telusur di PT Sweet Candy Indonesia ialah sebesar 310 menit dengan dominasi waktu pada bagian produksi sebesar 168,5 menit. Perolehan data tersebut menunjukan bahwa tingkat efektifitas dan efisiensi sistem traceability perusahaan masih tergolong rendah dengan terlewatinya batas standar maksimal pelaksanaan mock recall sebesar 240 menit. Sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi sistem traceability di PT Sweet Candy Indonesia, penerapan sistem kanban pada bagian produksi dapat dijadikan solusi terbaik dalam pemberian tindakan koreksi. Kata kunci: FMECA, penjaminan kualitas, sistem kanban, traceability
ABSTRACT FITRIA RIZKYKA. Evaluation of Traceability System Using FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) for Chewy Candy Production at PT Sweet Candy Indonesia. Supervised by TIEN R. MUCHTADI and ARI PARWONO. The low level of effectiveness and efficiency in traceability system implemented by an industry will conduce bad management of product quality assurance. Therefore, traceability system is necessary to be evaluated using FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) method and arrangement of several mock recalls. Base on FMECA analysis, errors like no documentation of BTP batch number by the flavor room and production; no candy calculation in cut and wrap; damage or disappearance of checklist intermediate form (in transwrap); and no documentation of scrap separately by the incinerator are categorized in unacceptable area which have prefered priority in corrective action compared with errors of candy’s variety and batch number documentation in pulling to cut and wrap; damage or disappearance of non-document pulling form and checklist intermediate form (in copacking) that are categorized in undesirable area. The result of mock recall also show that the total average time consumption at PT Sweet Candy Indonesia is 310 minutes with 168,5 minutes dominated by production. Refer to those result, the effectiveness and efficiency level of traceability system at PT Sweet Candy Indonesia is still low which the maximum limit of 240 minutes as the operational standard is surpassed. In order to elevate the effectiveness and efficiency of traceability system at PT Sweet Candy Indonesia, implementation of kanban system in production can be the best solution in corrective action. Keywords: FMECA, kanban system, traceability, quality assurance
EVALUASI SISTEM TRACEABILITY PADA PRODUKSI CHEWY CANDY DI PT SWEET CANDY INDONESIA MENGGUNAKAN FMECA (FAILURE MODE EFFECTS AND CRITICALITY ANALYSIS)
FITRIA RIZKYKA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Disetujui oleh
Ir Sutrisno Koswara, MSi Penguji Tamu
Judul Skripsi : Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) Nama : Fitria Rizkyka NIM : F24080037
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Tien R. Muchtadi, MS Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Ari Parwono, STP Pembimbing II
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan segala rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan praktik kerja magang selama empat bulan dan menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis). Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta: Papa, Mama, Adik Lazyo, Alm. Nenek Halma, dan Om Yendri atas segala dukungan serta doa yang selalu diberikan. 2. Prof Dr Ir Tien R. Muchtadi, MS selaku pembimbing akademik atas saran dan perhatian yang telah diberikan selama penulis menjalani masa perkuliahan. 3. Ari Parwono, STP selaku pembimbing lapang atas saran dan bimbingan yang telah diberikan selama penulis melaksanankan kegiatan magang. 4. Ir Sutrisno Koswara, MSi selaku penguji tamu atas saran dan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tugas akhir. 5. Gursida Arjadisastra, STP; Suprianto Edy Satrio, STP; Harry Masruri, STP; Sukapdi Rizki, STP dan rekan-rekan lainnya di PT Perfetti Van Melle Indonesia atas saran dan bimbingan kepada penulis selama kegiatan magang berlangsung. 6. Yuni, Kak Sarah, Kak Dewi, Lae, Ika, Kak Nidya, Kak Vitria, Kak Ino, Kak Tika, Kak Ratna, Sarah, Muti, Ningrum, Rivi, Kak Okky, Diska, Kak Yoan, Bellen, Lia, Tia, Ai, Fiqa, Ririn, dan teman-teman lainnya yang selalu membuat suasana ceria di Pondok Putri Rahmah. 7. Rekan-rekan terbaik Nengsih, Hesty, Efratia, Harum, Khoirunnisa, Nisa, Tata, Intan, Iin, Riah, Elva, Yani, Lathifah, Filda, Hafiz, Doddy, Dias, Mizu, Ardy, Raki, Irene, Yanda, Taufan, Ical, Adela, Caca, Desi, Putri serta teman-teman lainnya. 8. Keluarga besar HIMITEPA, Young On TOP-IPB, Century IPB, dan Emulsi. 9. Seluruh staf pengajar dan pendukung kegiatan belajar penulis. Terima kasih atas ilmu dan bantuan yang diberikan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Mei 2013
Fitria Rizkyka
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN DAN MANFAAT TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN SEJARAH PERUSAHAAN VISI DAN MISI PERUSAHAAN LOKASI PERUSAHAAN STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN STANDAR KUALITAS YANG DIIMPLEMENTASI PERUSAHAAN TINJAUAN PUSTAKA KUALITAS CHEWY CANDY TRACEABILITY METODE FMECA METODOLOGI WAKTU DAN TEMPAT METODE PELAKSANAAN HASIL DAN PEMBAHASAN PROSES PRODUKSI CHEWY CANDY ANALISIS SISTEM TRACEABILITY DENGAN METODE FMECA TINDAKAN KOREKSI PADA SISTEM TRACEABILITY SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii vii 1 1 2 2 2 3 4 4 7 8 8 10 16 18 20 20 20 24 24 31 40 44 44 44 45 47 59
DAFTAR TABEL Tabel 1 Klasifikasi tipe permen berdasarkan bentuk fisik gula Tabel 2 Tingkat kepelikan (severity classification) Tabel 3 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) Tabel 4 Kemampuan mendeteksi terjadinya kegagalan (failure detectability) Tabel 5 Perhitungan waktu mock recall produk chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia Tabel 6 Hasil analisis FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) oleh kedua pakar perusahaan Tabel 7 Tindakan koreksi pada sistem traceability PT Sweet Candy Indonesia
10 23 23 23 32 35 41
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Dragee Gambar 2 Fondant Gambar 3 Fudge Gambar 4 Nougats Gambar 5 Marshmallows Gambar 6 Praline Gambar 7 Tablets Gambar 8 Marzipan Gambar 9 Hard Candy Gambar 10 Brittle Gambar 11 Caramel Gambar 12 Toffee Gambar 13 Licorice Gambar 14 Jellies Gambar 15 Gums (Chewy candy) Gambar 16 Matriks kritikal analisis FMECA Gambar 17 Sampel worksheet analisis FMECA Gambar 18 Kisaran nilai RPN pada masing-masing titik kritis sistem traceability Gambar 19 Hasil analisis CA pada matriks kritikal
11 11 11 12 12 12 13 13 13 14 14 14 14 15 15 22 22 34 38
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Struktur organisasi PT Sweet Candy Indonesia Lampiran 2 Alur sistem traceability pada proses produksi chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia Lampiran 3 Diagram proses pembuatan chewy candy Lampiran 4 Hasil analisis FMEA Lampiran 5 Hasil analisis FMECA oleh pakar I Lampiran 6 Hasil analisis FMECA oleh pakar II Lampiran 7 Kartu kanban tahapan pulling hingga transwrap
47 48 49 50 53 55 58
1
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Kualitas merupakan suatu aspek penting yang menjadi perhatian setiap industri dalam mempertahankan eksistensi ditengah ketatnya persaingan pasar. Hal ini didasari oleh peranan kualitas sebagai salah satu faktor utama bagi konsumen dalam menentukan pilihan. Kualitas juga berfungsi sebagai ciri pembeda antara suatu produk terhadap produk lainnya. Oleh karena itu, berbagai industri semakin giat meningkatkan konsistensi kualitas produk agar sesuai dengan tuntutan konsumen. Dengan adanya konsistensi kualitas tersebut maka diharapkan tingkat penjualan produk dapat meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk. Kini industri juga semakin memperhatikan urgensi penerapan standar kualitas sebagai bentuk kepedulian yang tinggi terhadap aspek kualitas. Berbagai macam standar ISO (International Organization for Standardization) pun tersedia untuk tujuan tertentu. ISO menyediakan serangkaian standar internasional yang berhubungan dengan sistem kualitas untuk dipergunakan pada tujuan kualitas eksternal. Sebagai pertimbangan penting lain, ISO juga diharapkan dapat menyediakan informasi bagi organisasi tentang bagaimana cara mendesain sistem kualitas mereka terhadap kebutuhan target pasar masing-masing industri (Aggelogiannopoulos et al. 2007). Salah satu standar yang umum diterapkan oleh banyak industri pangan yaitu ISO 22000:2005 (tentang sistem manajemen keamanan pangan). Standar ini memiliki fokus utama pada manajemen keamanan pangan yang didalamnya mengandung gabungan unsur penerapan metode HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan ISO 9001:2008 (tentang sistem manajemen kualitas). HACCP merupakan suatu metode yang umum diterapkan oleh industri dalam upaya mengurangi resiko bahaya pada sistem sedangkan ISO 9001:2008 merupakan standar yang berisi penjelasan mengenai penerapan sistem manajemen kualitas dalam suatu organisasi. Dengan dilakukannya penerapan ISO 22000:2005, suatu industri dapat melakukan peningkatan kualitas yang berkesinambungan dan turut menjamin keamanan produknya untuk dikonsumsi masyarakat. Dalam perkembangan sistem standar internasional, industri juga mulai mengenal ISO 22005:2007 (tentang sistem penelusuran dalam rantai pangan dan pakan) yang merupakan seri terbaru dari standar terdahulu yaitu ISO 22000:2005. ISO 22005:2007 memiliki fokus utama mengenai sistem penelusuran produk pangan dan rantai pangan yang umum dikenal dengan istilah traceability. Traceability merupakan subsistem yang esensial dalam sistem manajemen kualitas (Moe 1998). Sistem ini berperan sebagai ujung tombak dalam upaya pencegahan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan bagi konsumen saat terdapat temuan potensi yang dapat mengancam kualitas produk pangan. Kegagalan fungsi dari sistem traceability pada suatu industri dapat berakibat fatal dan sangat merugikan industri maupun konsumen sebagai korban. Industri menjadi kehilangan reputasi atau kepercayaan dari konsumen yang tentunya akan mengakibatkan penurunan tingkat penjualan dan memungkinkan berakhirnya aktivitas industri yang bermasalah tersebut. Selain itu kerugian materi juga akan
2 dialami oleh konsumen yang menjadi korban. Oleh karena itu, dukungan sistem traceability yang baik menjadi sangat penting agar industri dapat mengendalikan kualitas secara optimal. Pentingnya keberadaan sistem traceability dalam sebuah industri membuat sistem ini harus dipastikan berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan mengevaluasi aspek efektivitas dan efisiensi dari sistem tersebut. Melalui evaluasi, sistem diharapkan dapat menelusuri informasi produk secara tepat sasaran dan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Secara umum metode FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) digunakan dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas sistem traceability. Metode ini memungkinkan potensi kegagalan pada sistem traceability dapat dikenali (Bertolini et al. 2006). Selanjutnya hasil dari analisis menggunakan metode FMECA pun dapat dijadikan sebagai acuan industri dalam mengambil tindakan koreksi terhadap penerapan sistem traceability.
TUJUAN DAN MANFAAT Kegiatan magang di PT Sweet Candy Indonesia ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan sistem traceability pada proses produksi chewy candy. Evaluasi tersebut dilakukan melalui penentuan titik kritis yang merupakan kelemahan sistem di sepanjang alur proses kerja sistem traceability. Titik-titik kritis yang terdeteksi melalui metode FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) ini kemudian dijadikan dasar dalam pemberian tindakan koreksi terhadap sistem. Adapun kegiatan ini dilakukan sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi sistem traceability di PT Sweet Candy Indonesia. Dengan dilakukannya kegiatan magang pada perusahaan ini diharapkan dapat dihasilkan suatu pengembangan sistem baru berupa sistem kanban yang akan bermanfaat bagi PT Sweet Candy Indonesia.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN SEJARAH PERUSAHAAN PT Sweet Candy Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri candy confectionery dan berhasil menjadi pemain terbesar dalam pasar kembang gula di Indonesia. Perusahaan ini berdiri dibawah naungan Sweet Candy Group yang berpusat di Milan, Italia dan Breskens, Belanda. Hingga saat ini Sweet Candy Group telah mengukir prestasi yang cukup besar dengan menempati posisi sebagai perusahaan candy confectionery terbesar ketiga di dunia. Perusahaan yang dibangun dengan sistem PMA (Penanaman Modal Asing) ini tergolong dalam kelompok industri FMCG (Fast Moving Consumer Goods). PT Sweet Candy Indonesia mulanya terbentuk dari dua perusahan yang terpisah yaitu PT Sweet dan PT Candy. PT Sweet merupakan perusahaan milik keluarga Sweet yang didirikan pada tahun 1946 dan berkantor pusat di pinggiran kota Milan, Italia bernama Lainate sedangkan PT Candy didirikan oleh sebuah keluarga Belanda pada tahun 1900 di kota Breda. Pada tahun 2001, PT Sweet
3 mengakuisisi PT Candy sehingga kedua perusahan tersebut bergabung menjadi PT Sweet Candy. Sedikit mengulas sejarah seputar perkembangan perusahaan ini, mulanya PT Sweet di Italia mulai melakukan ekspansi secara bertahap untuk mendominasi pangsa pasar kembang gula di Italia sedangkan PT Sweet menancapkan benderannya di kawasan Asia dengan mulai membuka pabrik di China dan India pada tahun 1994 serta Vietnam pada tahun 1997. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1997, PT Sweet juga turut mendirikan cabang perusahaan di Indonesia. Sebelum terjadi proses penggabungan perusahaan, PT Sweet memiliki pusat aktivitas produksi di Cikampek, sedangkan PT Candy berada di Cibinong, Bogor. Kemudian setelah terjadinya pengabungan, aktivitas produksi dan kantor operasional dipusatkan di Cibinong, Bogor dengan departemen sales and marketing berdomisili di Gedung Graha Pratama, Jakarta. Hingga saat ini Sweet Candy Group telah memiliki unit produksi dan unit pemasaran di 130 negara meliputi USA, Kanada, Brazil, Meksiko, India, China, Indonesia, Filipina, Vietnam, Banglades, Inggris, Ceko, Slovakia, Romania, Polandia, Jerman, Prancis, Portugal, dan beberapa negara lainnya di Eropa. Sweet Candy Group juga telah membangun unit kerja joint venture yang seluruhnya bergerak di bidang kembang gula dan kembang gula karet. Pabrik Sweet Candy di Indonesia merupakan pabrik Sweet Candy terbesar kedua di dunia setelah Belanda dan merupakan pusat produksi untuk permintaan dari berbagai negara muslim di dunia. Saat ini produk yang dihasilkan PT Sweet Candy Indonesia berjumlah sembilan jenis produk. Sebagai leader dalam industri confectionary di Indonesia, PT Sweet Candy Indonesia memiliki lima gudang distribusi di seluruh Indonesia dan bekerja sama dengan lebih dari 175 distributor.
VISI DAN MISI PERUSAHAAN Sebagai perusahaan yang terus berkembang, PT Sweet Candy Indonesia memiliki visi dan misi untuk menunjang kinerja seluruh karyawannya. Berikut merupakan visi dan misi yang dimiliki perusahaan, yaitu: I.
VISI Meningkatkan kepemimpininan di dunia dalam bidang confectionery atau permen dengan menumbuhkan nilai bagi masyarakat melalui produk-produk yang menyenangkan dan penuh daya khayal (imaginative).
II. 1.
2.
3.
MISI Mengembangkan, memproduksi, dan memasarkan produk-produk yang berkualitas tinggi serta inovatif bagi konsumen melalui pengunaan sumber daya secara efisien dan dalam suasana kemitraan dengan konsumen. Menciptakan suatu tempat kerja yang memuaskan bagi karyawan, berdasarkan kepercayaan, saling menghormati dan menghargai perbedaan atau keanekaragaman Memberikan nilai peran yang kita mainkan dalam komunitas kita, sebagai organisasi yang tangggap secara sosial dan terhadap lingkungan.
4 4.
Menghasilkan nilai ekonomi melalui pertumbuhan serta keuntungan yang tinggi. LOKASI PERUSAHAAN
PT Sweet Candy Indonesia memiliki dua pabrik dan satu kantor khusus untuk bidang Pemasaran, yaitu: 1.
Pabrik Cibinong (Pusat) Lokasi: Jalan Raya Jakarta Bogor, Km 47,4 Cibinong, Bogor 16912, Indonesia Produk: Mentas, Goria, Tella, Aclair, Alpene, Comint, dan Marals
2.
Pabrik Cikampek Lokasi: Kawasan Industri Kota Bukit Indah, Blok A II 20-21, Cikampek, Purwakarta 41181, Indonesia Produk: Bigbol, Smiledent
3.
Kantor Sales and Marketing Lokasi: Gedung Graha Pratama, Lt. 20 Jalan MT Haryono Kav. 15, Jakarta 12810, Indonesia
STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN PT Sweet Candy Indonesia memiliki beberapa departemen untuk mendukung aktivitas perusahaan. Adapun struktur organisasi perusahaan ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut merupakan departemen yang terdapat di PT Sweet Candy Indonesia, yaitu: 1.
Human Resource Departemen human resource memiliki keterikatan erat dengan aspek tenaga kerja di perusahaan. Departemen ini bertanggung jawab dalam menetapkan strategi pengembangan sumber daya yang sesuai dengan budaya perusahaan. Adapun tugas departemen ini meliputi pelaksanaan proses rekruitmen, penempatan karyawan, pelatihan karyawan, pemberian upah kerja, hingga penghentian hubungan kerja terhadap karyawan.
2.
FA (Finance Assistant) and ICT (Information and Communication Technology) Departemen operational memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan aspek operasional perusahaan. Departemen ini pun terbagi dalam empat divisi pendukung yaitu: • IT (Information Technology) Divisi IT memiliki tanggung jawab dalam mengelola seluruh sistem teknologi informasi yang ada di perusahaan. Selain itu, divisi ini juga
5 bertugas dalam melakukan maintenance dan pengembangan sistem jaringan komunikasi perusahaan. • Accounting Divisi ini bertanggung jawab untuk mengelola keuangan perusahaan secara keseluruhan. Secara khusus, departemen ini bertugas dalam pembuatan laporan data keuangan perusahan secara berkala. Selain itu, divisi accounting juga turut menangani masalah pengurusan pajak perusahaan terhadap pemerintah. 3.
Supply Chain Departmen ini memiliki peran penting dalam mengatur rantai distribusi bahan baku maupun barang jadi. Divisi ini juga memiliki hubungan koordinasi yang kuat dengan departemen manufacturing sebab didukung oleh cakupan kerja yang turut bersinergi dengan aktivitas produksi di pabrik. Divisi supply chain memiliki tiga bagian pendukung yaitu: • Purchasing Divisi ini bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan bahan baku maupun kebutuhan terkait aktivitas memproduksi produk secara keseluruhan. Divisi ini bekerja dengan melakukan transaksi jual beli dengan supplier tertentu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. • PPIC (Product Planning and Inventory Control) Divisi ini bertanggung jawab dalam mengatur rencana produksi berdasarkan permintaan departemen marketing dan memastikan produk siap didistribusikan kepada konsumen sesuai waktu target. Subivisi ini juga bertugas melakukan pengontrolan maupun pemantauan terhadap bahan persediaan. Bahan persediaan tersebut meliputi bahan baku, bahan setengah jadi, dan barang jadi yang secara keseluruhan merupakan aset dari perusahaan. • RMWH (Raw Material Warehouse) Divisi RMWH memiliki tanggung jawab dalam mengelola penyimpanan bahan baku di gudang. Selain itu, subdivisi ini juga bertugas melakukan transaksi serah terima bahan baku dengan supplier. • FGWH (Finish Good Warehouse) Divisi ini memiliki tanggung jawab dalam mengelola penyimpanan barang jadi di gudang. Hampir serupa dengan subivisi RMWH, subdivisi ini pun bertugas melakukan transaksi serah terima barang jadi dengan distributor yang menjadi partner perusahaan.
4.
Sales and Marketing Departemen sales and marketing memiliki tanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas penjualan maupun pemasaran produk PT Sweet Candy Indonesia. Departemen ini pun terbagi menjadi dua divisi pendukung yaitu:
6 • Sales Divisi ini bertanggung jawab dalam mengatur proses penjualan produk baik di dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, divisi ini terbagi dalam dua bagian pendukung yaitu subdivisi ekspor dan impor. Divisi ini pun memiliki koordinasi yang sangat kuat dengan divisi marketing khususnya dalam upaya peningkatan penjualan produk terhadap konsumen. • Marketing Divisi ini memiliki tanggung jawab untuk memasarkan produk dalam upaya meningkatkan penjualan. Selain melakukan riset pasar secara berkala, divisi ini juga selalu menciptakan berbagai inovasi kreatif dalam menampilkan produk yang dapat menarik minat konsumen. 5.
Manufacturing Departemen ini memiliki tanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas produksi berbagai produk PT Sweet Candy Indonesia. Dalam melaksanakan aktivitasnya, departement ini selalu berkoordinasi dengan departemen sales and marketing, technology, maupun operational melalui rapat mingguan. Departemen manufacturing memiliki tiga divisi pendukung yaitu: • Produksi Divisi produksi merupakan bagian pendukung yang paling aktif pada departemen ini dimana aktivitas kerja dapat terjadi selama 24 jam pada waktu tertentu. Divisi ini bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses pengolahan bahan baku sampai menjadi barang jadi yang siap didistribusikan kepada konsumen. Divisi produksi ini pun terbagi menjadi beberapa subdivisi berdasarkan jenis permen yang diproduksi yaitu permen karet, permen karamel, chewy candy, dan dragee. Khusus untuk subdivisi permen karet, kegiatan produksi dipusatkan di pabrik Cikampek sedangkan subdivisi permen lainnya diproduksi di pabrik Cibinong. • Technical Divisi technical bertanggung jawab terhadap pemeliharan berbagai peralatan maupun mesin di pabrik secara keseluruhan. Tugas divisi ini meliputi perbaikan pada mesin-mesin yang rusak, improvement kinerja mesin, maupun melakukan maintenance mesin secara berkala. • SHE (Safety, Health, and Environmental) Divisi SHE memiliki tanggung jawab dalam mengelola limbah pabrik, dan mengontrol kesehatan maupun keselamatan para pekerja pabrik. Divisi ini memiliki koordinasi yang kuat dengan departemen human resource maupun subdivisi quality assurance dan produksi.
6.
Technology Departemen technology memiliki tanggung jawab terhadap keseluruhan aktivitas yang melibatkan berbagai proses eksperimen maupun penerapan
7 teknologi di PT Sweet Candy Indonesia. Departemen ini pun terbagi dalam tiga divisi pendukung, yaitu: • NPD (New Product Development) Divisi ini bertanggung jawab dalam melakukan eksperimen dan penelitian lanjut dalam upaya menciptakan inovasi produk secara kesaluruhan. Para pekerja dalam divisi ini selalu dituntut untuk mengasah kreativitas maupun kemampuan khusus yang dapat mendukung terciptanya inovasi yang kreatif dan menarik. Divisi ini juga terbagi menjadi dua subdivisi berdasarkan objek yang dikembangkan yaitu packaging dan produk. • QA (Quality Assurance) Divisi quality assurance memiliki tanggung jawab dalam aktivitas penjaminan kualitas produk maupun pabrik secara keseluruhan. Secara khusus divisi ini memiliki hubungan koordinasi yang sangat kuat dengan divisi produksi, quality control, maupun new product development. Hal ini terkait dengan kegiatan pendaftaran standar kualitas produk dan bahan baku pada institusi pemerintah, pelaksanaan sistem audit internal dan eksternal, hingga pemantauan kinerja sistem penjaminan kualitas pada aktivitas produksi dari hulu ke hilir. Divisi ini juga bertugas dalam menangani masalah pengaduan dari konsumen. • QC (Quality Control) Divisi quality control merupakan bagian pendukung yang sangat penting dalam kegiatan pengontrolan kualitas produk maupun bahan baku secara langsung. Divisi ini bertanggung jawab terhadap keamanan produk dan kesesuaian kualitas produk terhadap kebijakan yang dimiliki perusahaan maupun standar kualitas yang ditentukan oleh instansi pemerintah. Divisi quality control juga memiliki satu subdivisi pendukung yaitu bagian flavor room. Subdivisi ini memiliki tanggung jawab khusus terhadap pengelolaan gudang penyimpanan BTP (Bahan Tambahan Pangan) maupun pengontrolan terhadap penggunaan dan keamanan BTP tersebut pada produk.
STANDAR KUALITAS YANG DIIMPLEMENTASI PERUSAHAAN PT Sweet Candy Indonesia telah menerapkan beberapa sistem standar kualitas baik dalam skala nasional maupun internasional. Berikut merupakan standar kualitas yang telah diimplementasi, yaitu: 1.
ISO 9001:2008 Standar ISO 9001:2008 memiliki fokus terhadap sistem manajemen kualitas suatu perusahaan. Standar internasional ini dapat digunakan oleh pihak internal dan eksternal termasuk lembaga sertifikasi untuk menilai kemampuan organisasi dalam memenuhi persyaratan pelanggan, regulasi dan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk produk dan persyaratan organisasi sendiri. Standar
8 ini akan diperbarui setiap tiga tahun untuk memastikan sistem tetap berjalan sesuai dengan standar yang telah diterapkan. 2.
ISO 22000:2005 Standar ISO 22000:2005 berisi tentang standar sistem manajemen keamanan pangan yang disertai dengan persyaratan untuk organisasi dalam rantai pangan. Standar ini menerapkan persyaratan sistem manajemen keamanan pangan yang mengkombinasikan unsur-unsur kunci umum seperti komunikasi interaktif, manajemen sistem, PPD (Program Persyaratan Dasar), dan Prinsip HACCP untuk memastikan keamanan pangan sepanjang rantai pangan hingga konsumsi akhir. Seperti halnya standar ISO 9001:2008, standar ini juga akan diperbarui setiap tiga tahun melalui proses audit bertahap oleh pihak eksternal. 3.
Standar BPOM RI Penerapan standar BPOM RI terkait dengan aspek hygiene dan sanitary dilakukan perusahaan untuk memenuhi standar kualitas sistem. Melalui standar ini perusahaan memperoleh pedoman untuk mengimplementasi sistem GMP yang baik. Standar ini menjelaskan ketentuan tatacara praktik kerja pabrik yang aman baik bagi pekerja secara langsung maupun konsumen melalui produk yang nantinya akan dihasilkan. Adapun sistem audit oleh pihak BPOM RI akan dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian audit sebelumnya. Jika perusahaan mendapat nilai mutu A maka audit akan dilaksanakan satu kali dalam setahun sedangkan bila mendapat nilai mutu B maka audit akan dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. 4.
Standar LPPOM MUI Standar LPPOM MUI diterapkan oleh perusahaan guna memperoleh sertifikasi SJH (Sistem Jaminan Halal). Standar ini pun terbagi menjadi dua tipe penerapan yaitu standar untuk sistem dan standar untuk produk. Namun secara keseluruhan standar ini menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi perusahaan baik meliputi mekanisme praktik kerja hingga komposisi dari bahan baku dan produk akhir. Masa berlaku sertifikasi ini pun berbeda untuk masingmasing tipe. Sertifikasi standar pada sistem akan berlaku selama empat tahun sedangkan untuk sertifikasi standar pada produk akan berlaku selama dua tahun.
TINJAUAN PUSTAKA KUALITAS Kata kualitas memiliki beragam definisi mulai yang bersifat konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti performasi (performance), keandalan (reliability), kemudahan penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Sedangkan untuk definisi strategis, kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (Gaspersz 2001). Secara umum, kualitas sedikitnya memiliki empat
9 karakteristik, yaitu: 1) memenuhi spesifikasi konsumen, 2) memenuhi persyaratan legalitas, 3) sesuai atau melebihi keinginan konsumen, dan 4) improvement yang melampaui kompetitor (Han dan Leong 2000). Pentingnya kualitas dapat dijelaskan dari dua sisi, yaitu dari sisi manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari sisi manajemen operasional, kualitas produk merupakan salah satu kebijakan penting dalam meningkatkan daya saing produk yang harus memberi kepuasan kepada konsumen melebihi atau paling tidak sama dengan kualitas produk dari pesaing. Dilihat dari sisi manajemen pemasaran, kualitas produk merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran (marketing mix) yaitu produk, harga, promosi, dan saluran distribusi yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan (Nasution 2004). Menurut Parker (2003), standar kualitas berperan membantu penjaminan kualitas dari suatu produk makanan. Setiap industri dapat menentukan sejauh mana penerapan standar kualitas pada produk yang mereka produksi tetapi tuntutan konsumen dan regulasi formal dari pemerintah tetap akan berfungsi sebagai penentu akhir dalam keputusan industri tersebut. Terdapat berbagai dasar yang dijadikan dalam penentuan kualitas suatu produk oleh industri, salah satunya adalah target pasar yang dipilih oleh industri tersebut sebagai konsumen produknya. Namun dari berbagai macam dasar dalam penentuan standar kualitas yang ditentukan oleh industri, aspek keselamatan konsumen akan selalu menjadi yang utama. Standar kualitas memiliki tiga tipe yaitu standar penelitian, standar perdagangan, dan standar pemerintah. Standar penelitian dibuat oleh sebuah perusahaan untuk membantu penjaminan kualitas produk mereka dalam menghadapi sebuah pasar persaingan. Standar perdagangan dibentuk oleh kumpulan anggota dari suatu jenis industri. Standar perdagangan ini bersifat sukarela dan sedikitnya berfungsi dalam menjamin minimum penerimaan kualitas. Sedangkan untuk standar pemerintah sebagian bersifat wajib dan sisanya bersifat fakultatif. Berbagai tingkatan standar ditentukan oleh pemerintah untuk menyediakan common language bagi produser, dealer, dan konsumen dalam aktivitas jual beli (Parker 2003). Kualitas juga turut digunakan sebagai standar kelayakan suatu produk untuk siap diedarkan kepada konsumen. Kualitas tersebut akan berfungsi sebagai gerbang akhir yang akan menjaga keselamatan konsumen terhadap produk maupun reputasi industri. Oleh karena itu, menjadi sangat penting agar setiap area organisasi senantiasa menjaga kualitas. Tingkatan kualitas dari setiap individual proses berkombinasi dalam menentukan tingkatan kualitas keseluruhan dari suatu organisasi sebab kualitas yang buruk pada satu area akan berkontribusi dalam memberikan efek negatif terhadap area lainnya (Han dan Leong 2000).
10 CHEWY CANDY Menurut Buckle et al. (1985), permen merupakan produk yang dibuat dengan mendidihkan campuran gula dan air bersama-sama dengan bahan pewarna dan pemberi rasa sampai tercapai kadar air sekitar 3%. Secara umum permen terbagi kedalam dua kelompok besar yaitu permen terkristalisasi dan permen tidak terkristalisasi. Ketika komponen gula dalam permen terkristalisasi maka akan terbentuk struktur kristal yang dapat berukuran besar maupun kecil sedangkan pada komponen gula yang tidak terkristalisasi strukturnya dapat berupa amorphous. Baik pada permen terkristalisasi maupun tidak terkristalisasi, tekstur produk dapat bersifat keras atau lunak tergantung dari kadar air produk, jumlah udara yang terperangkap dalam massa produk, dan pengaruh dari komponen lain yang ditambahkan pada produk (Potter dan Hotchkiss 1995). Berikut merupakan tabel penggolongan permen berdasarkan bentuk fisik gula. Tabel 1Klasifikasi tipe permen berdasarkan bentuk fisik gulaa Permen terkristalisasi Permen tidak terkristalisasi Fondant Hard candy Fudge Brittle Nougats Caramel Marshmallows Toffee Pralines Licorice Tablets Jellies and gums Marzipan Dragee a
Sumber: Nakai dan Modler (1999).
Dengan pemilihan bahan baku yang berkualitas dan metode proses yang sesuai, beragam permen dapat diproduksi. Berikut merupakan jenis-jenis permen yang umum ditemui (Nakai dan Modler 1999): 1.
Dragee Dragee merupakan permen yang terdiri dari dua konsistensi berbeda berupa adonan permen lunak yang diselimuti oleh balutan gula padat yang tipis pada permukaannnya. Proses pembuatan permen ini pun terdiri dari dua tipe yaitu soft panning dan hard panning. Soft panning terdiri dari tambahan alternatif sirup gula berupa campuran corn syrup dan sukrosa untuk membuat material menjadi lengket dan sukrosa kering untuk mengeringkan bagian permukaan. Selama proses, adonan permen akan dibiarkan berputar dalam alat yang menyerupai wadah terbuka untuk mengaduk semen hingga mencapai ketebalan yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan penambahan cairan pewarna dan perisa untuk membentuk permukaan yang halus. Pada hard panning proses relatif sama tetapi terdapat perbedaan dimana ditambahkannya sukrosa kering untuk mengeringkan bagian tengah permen yang lunak dan lengket.
11
Gambar 1 Dragee (http://www.gdefon.com 2011) 2.
Fondant Fondant memiliki karakteristik yang lebih keras dibanding cream dan biasa digunakan dalam pembuatan peppermint patties. Permen ini juga dikenal sebagai butter cream candies. Fondant dibuat dari campuran gula yaitu sukrosa dan gula lainnya seperti gula invert atau corn syrup dengan kadar penambahan 0-40% tergantung tujuan penggunaan dari produk akhir dan dipanaskan dalam 116-1190C sesuai konsistensi yang diinginkan.
Gambar 2 Fondant (http://www.etsy.com 2013) 3.
Fudge Fudge merupakan jenis permen campuran antara caramel dan cream. Permen ini terbuat dari campuran sukrosa, corn syrup, susu, dan lemak sebagai bahan baku utama yang dapat pula ditambahkan putih telur, garam, kacang-kacangan, dsb. Umumnya kualitas fudge meningkat dengan penambahan brown sugar yang dapat mencapai 20%.
Gambar 3 Fudge (http://www.kaliscandy.com 2013) 4.
Nougats Mulanya hanya terbuat dari campuran madu, kocokan putih telur, dan kacang-kacangan tetapi kini sudah semakin beragam dan terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu chewy dan short Keduanya dibedakan berdasarkan rasio sukrosa dan corn syrup yang mana short nougat memiliki kadar sukrosa yang hampir dua kali lipat dari corn syrup. Short nougat memiliki kadar air sekitar 9-11% sedangkan chewy nougat sekitar 5-7%.
12
Gambar 4 Nougats (http://www.etsy.com 2013) 5.
Marshmallows Jenis permen ini menyerupai nougats tetapi memiliki kadar air yang lebih tinggi sekitar 15-20% dan tidak mengandung campuran lemak. Gelatin merupakan gelling agent yang biasa ditambahkan pada proses pembuatan selain kocokan putih telur, gum arabic, agar, atau pektin. Marshmallows yang dijumpai saat ini umumnya diproduksi dengan proses continous extruction melalui tekanan yang ditembakan pada adonan sirup gula masak.
Gambar 5 Marshmallows (http://www.twu.edu 2013) 6.
Pralines Permen ini sulit didefinisikan karena memiliki perbedaan arti di beragam daerah. Pralines secara tradisional terbuat dari kacang pecan, sukrosa, brown sugar, corn syrup, dan mentega.
Gambar 6 Praline (http://www.nelldavis.com 2013) 7.
Tablets Prinsip pembuatan permen ini dimulai melalui dry mix antara 95-98% pemanis (sukrosa, dekstrosa, atau sorbitol), pewarna, perisa, asam sitrat atau malat 0,5-3,0% kemudian dilanjutkan dengan proses bertekanan tinggi terhadap adonan yang siap ditekan pada dies untuk membentuk suatu cetakan tertentu. Penambahan 1% magnesium atau kalsium stearat juga umum dilakukan untuk mencegah lengketnya permen pada dies.
13
Gambar 7 Tablets (http://www.smarties.com 2009) 8.
Marzipan Permen yang menyerupai pasta ini terbuat dari campuran sukrosa, corn syrup, dan binder agent seperti gelatin atau edible gum.
Gambar 8 Marzipan (http://www.hikenow.net 2013) 9.
Hard candy Hard candy termasuk kelompok permen tidak terkristalisasi dimana adonan permen dibiarkan mengeras dalam cetakan dengan karakteristik tekstur yang halus dan bening seperti kaca tanpa adanya pembentukan kristal kecil yang kasar. Permen ini terbuat dari campuran 50-70% sukrosa, 30-50% corn syrup DE 42, pewarna, dan perisa. Gula invert juga biasa ditambahkan pada adonan untuk menghambat kristalisasi tetapi kejanya tidak seefektif corn syrup.
Gambar 9 Hard Candy (http://www.keychoc.com 2013) 10.
Brittle Brittle merupakan permen yang menyerupai hard candy yang diberi tambahan komposisi lain saat tercapainya titik kritis untuk merubah eating characteristic yang dimiliki sebelumnya. Proses pembuatan permen ini pun sama seperti hard candy tetapi pada brittle diberi tambahan kacangkacangan dan senyawa bikarbonat untuk meningkatkan tekstur.
14
Gambar 10 Brittle (http://www.killwins.com 2012) 11.
Caramel Permen ini dibuat melalui proses continous cooking dengan kadar air sekitar 10-12% dan tekstur plastis pada temperatur normal. Bahan baku yang dibutuhkan dalam proses pembuatannya meliputi sukrosa, corn syrup DE 42, lemak, dan susu. Warna dan rasa karamel yang khas pada permen ini berasal dari reaksi mailard antara protein susu yang dipanaskan bersama gula pereduksi.
Gambar 11 Caramel (http://www.ohnuts.com 2012) 12.
Toffee Permen ini dikenal sebagai high-cooked caramel dengan bahan baku pembuatan yang serupa seperti caramel tetapi diproses dalam suhu yang lebih tinggi. Permen ini juga sering disalahartikan dengan taffy. Keduanya berbeda dimana taffy memiliki kadar padatan susu dan lemak yang lebih rendah dibanding toffee.
Gambar 12 Toffee (http://www.thenibble.com 2013) 13.
Licorice Permen ini terbuat dari 33% tepung, 50% campuran gula (sukrosa, molases, corn syrup, gula invert), 3-6% licorice (air dari akar tanaman Glycyrrhiza glabra), dan 17-18% air. Sedikit gelatin juga umum ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik tekstur.
Gambar 13 Licorice (http://www.dvcandy.com 2011)
15 14.
Jellies and gums Permen dalam kelompok ini memiliki definisi yang sangat luas tetapi secara general dikenal sebagai permen bertekstur chewy dengan tingkat kekerasan tekstur permen yang beragam. Adapun hal penting yang membedakan satu jenis permen dengan yang lainnya pada kelompok ini ialah tambahan bahan baku pada adonan permen yang berfungsi untuk menghasilkan tekstur chewy seperti pati, gelatin, gum arab, pektin, bahkan gum yang biasa digunakan dalam permen karet sekitar 6-9%. Penambahan bahan tersebut pada adonan permen biasa dilakukan setelah proses pemasakan berakhir agar kemampuan pembentukan gel dari bahan tersebut tetap terjaga baik. Secara umum permen dalam kelompok ini terbuat dari campuran sukrosa dan corn syrup dimana semakin tinggi rasio penambahan corn syrup maka tekstur permen akan semakin lunak.
Gambar 14 Jellies (http://www.ebay.co.uk 2013)
Gambar 15 Gums (chewy candy) (http://www.mybrands.com 2013)
Secara khusus chewy candy termasuk kedalam kelompok kembang gula lunak. Chewy candy adalah permen yang dikonsumsi dengan cara mengunyah dan ditelan berbeda dengan permen karet yang juga dikunyah tetapi tidak untuk ditelan (Suprianto 2012). Pada SNI 3547-2-2008 definisi kembang gula lunak adalah jenis makanan selingan berbentuk padat, dibuat dari gula atau campuran gula dengan pemanis lain, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan BTP (bahan tambahan pangan) yang diijinkan, bertekstur relatif lunak atau menjadi lunak jika dikunyah. Kembang gula lunak sendiri terbagi dalam dua kelompok yaitu kembang gula lunak jelly dan kembang gula lunak bukan jelly dimana chewy candy secara lebih spesifik tergolong dalam kelompok ini. Menurut SNI 3547-2-2008, kembang gula lunak bukan jelly ialah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses sedemikian rupa dan biasanya dicampur dengan lemak, gelatin, emulsifier dan lain-lain sehingga dihasilkan produk yang cukup keras untuk dibentuk namun cukup lunak untuk dikunyah dalam mulut sehingga setelah adonan masak dapat segera dibentuk dan dikemas dengan atau tanpa perlakuan aging. Komponen gula yang umum digunakan pada produk chewy candy ialah campuran sukrosa dan sirup glukosa dengan nilai DE 42. Pada tahun 1935 hanya sirup gula dengan nilai DE 42 yang tersedia dan hal ini yang menjadi dasar prinsip penggunaan sirup gula pada produk confectionery saat ini (Nakai dan Modler 1999). Nilai DE (Dextrose Equivalent) adalah persentase jumlah gula yang tereduksi pada pengukuran kemampuan hidrolisis pati dalam basis bobot kering (Junliang et al. 2010). Semakin tinggi DE dari sirup glukosa maka akan semakin tinggi tingkat kemanisannya, namun semakin bersifat higroskopis dan encer. Lain halnya pada DE yang rendah, rasa manis akan berkurang namun dapat digunakan
16 untuk menambah viskositas, chewiness dan toughness pada adonan chewy candy (Suprianto 2012). Sirup glukosa pun berperan dalam menghambat kristalisasi sukrosa, meningkatkan viskositas permen, mencegah kerapuhan stuktur akibat temperature shock, memperlambat laju kelarutan permen di mulut, dan berkontribusi dalam pembentukan tekstur kenyal pada permen (Potter dan Hotchkiss 1995). Tekstur merupakan salah satu parameter mutu yang sangat berperan dalam menampilkan karakteristik chewy candy (Suprianto 2012). Lemak berfungsi mengontrol kristalisasi gula secara efektif sehingga memberi tekstur yang halus dan plastis pada tekstur chewy candy. Lemak yang digunakan pun harus memiliki karakteristik lumer sempurna pada suhu tubuh 370C dan karakteristik ini ditampilkan dengan baik oleh palm kernel oil yang juga sudah umum dikenal sebagai classic creaming fat (Hancock et al. 1999). Produk confectionery umumnya menginginkan lemak dengan karakteristik lembut, tidak berbau, dan tidak berasa (Becker dan Drew 1970). Selain dipengaruhi oleh keberadaan lemak, tekstur lunak dari chewy candy juga dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), permen tidak terkristalisasi seperti tipe chewy candy memiliki kadar air sekitar 8-15%. Produk chewy candy juga diberi tambahan gelatin yang berfungsi sebagai whipping agent dengan membentuk busa stabil sebelum gel terbentuk (Edward 1999). Selain itu, gelatin juga turut berperan sebagai foaming agent yang menurunkan tegangan permukaan dari fase cair serta sebagai binder yang dapat mengikat air sehingga memperpanjang masa simpan produk. Selanjutnya gelatin akan memberikan mechanical resistance pada sistem aerasi untuk mencegah kerusakan pada struktur produk akhir. Tak kalah penting gelatin pun turut meningkatkan efek chewability dan sistem pendispersian lemak serta mengontrol kristalisasi sukrosa (Poppe 1992). Penambahan pengemulsi umum dilakukan pada proses produksi chewy candy untuk menjaga lemak agar tetap terdispersi secara merata. Pengemulsi nantinya juga dapat berfungsi sebagai pendispersi senyawa lipofilik pada komponen adonan permen seperti pewarna, perisa, atau komponen larut lemak lainnya. Pengemulsi pun berperan sebagai pelumas melalui tahapan pendispersian fase lemak sehingga dapat mengurangi jumlah pemakaian maupun pengkonsumsian lemak pada produk. Selain itu, pengemulsi juga berperan dalam memperlancar proses cut and wrap. Proses cut and wrap merupakan kegiatan otomatis yang dilakukan oleh mesin dimana produk akan dipotong dalam ukuran kecil dan dikemas secara individu. Pada proses ini adonan permen akan ditarik dan ditekan sehingga memungkinkan lemak terbebas keluar. Pemisahan lemak dari adonan permen ini sesungguhnya tidak diinginkan terjadi karena dapat menyebabkan masalah berupa proses oksidasi lemak. Hal ini akan terjadi saat lemak tersebut kontak dengan pre-sizer roll pada mesin yang berbahan dasar kuningan maupun perunggu (Stansell 1999). TRACEABILITY Mulanya keberadaan sistem traceability hanya diadaptasi secara tradisional dan suka rela oleh industri. Namun sejak berkembangnya berbagai isu keamanan pangan maka sistem ini menjadi suatu keharusan yang kemudian diatur secara
17 khusus oleh pemerintah (Bennet 2010). Menurut ISO 22005: 2007, sistem traceability merupakan alat yang berfungsi membantu suatu organisasi beroperasi dalam suatu rantai pasok pangan atau pakan untuk mencapai sasaran hasil yang didefinisikan dalam sistem manajemen. Sistem traceability diharapkan mampu menelusuri sejarah pergerakan produk dengan tepat mulai dari tahap persiapan hingga produk didistribusikan. Dalam penerapannya pada produk, traceability memiliki hubungan dengan identitas material beserta bagiannya, sejarah pemerosesan produk, pendistribusian, serta lokasi tujuan distribusi produk tersebut. Traceability sendiri bukan merupakan informasi dari produk dan prosesnya, melainkan sebuah alat yang dapat digunakan untuk kembali mengakses informasi tersebut di waktu yang akan datang (Karlsen dan Oslen 2011). Menurut Moe (1998), sistem traceability juga memiliki keterkaitan khusus dengan empat aspek yang merupakan bagian dari sistem itu sendiri, seperti: 1.
Produk Hal ini meliputi informasi mengenai bahan baku produk, asal diperolehnya bahan baku tersebut, sejarah pemerosesan produk, sistem distribusi yang digunakan, hingga lokasi dimana produk didistribusikan.
2.
Data Hal ini berhubungan dengan perhitungan dan pengumpulan data dari keseluruhan sistem yang dianalisis.
3.
Kalibrasi Hal ini berhubungan dengan pemeriksaan dan pengukuran kesesuaian alat terhadap standar nasional maupun internasional, standar dasar, konstanta fisik dasar, hingga referensi terkait material tersebut.
4.
IT dan pemrograman Hal ini berhubungan dengan desain dan serangkaian implementasi yang didasarkan pada kebutuhan sistem.
Perkembangan dari sistem traceability turut didukung oleh peningkatan efisiensi dari proses pengumpulan data, pengontrolan pabrik, dan sistem penjaminan mutu (Moe 1998). Sistem traceability yang berasosiasi dengan kemampuan untuk menghubungkan produk akhir dengan bahan baku dan proses yang terlibat juga merupakan kunci utama dalam program GMP (Good Manufacturing Practices) dan pengendalian mutu. Tanpa adanya sistem traceability maka kegiatan seperti pemenuhan tuntutan konsumen, pembuatan klaim pemasaran pada kemasan, maupun pengurangan jumlah produk yang terlibat saat proses recall akan menjadi sangat sulit (Morrison 2003). Secara garis besar sistem traceability terbagi menjadi dua macam yaitu internal traceability dan chain traceability. Menurut Moe (1998), internal traceability merupakan penelusuran dengan melacak internal batch produk pada satu tahapan dalam rantainya, misalnya pada proses produksi sedangkan chain traceability merupakan penelusuran dengan melacak produk melalui keseluruhan rantai produksi mulai dari panen sampai transportasi, penyimpanan, proses, distribusi, dan sales. Tahapan kerja dari sistem traceability dalam melakukan
18 penelusuran informasi produk juga mencakup dua aspek penting yaitu trackable dan tracable. Trackable atau downstream traceability system merupakan kemampuan sistem untuk dapat mengikuti jejak produk dalam rantai produksi pangan mulai dari pemasok sampai konsumen atau ke bagian hilir rantai sedangkan traceable atau upstream traceability system merupakan kemampuan suatu sistem dalam mengidentifikasi asal dan karakteristik suatu bahan baku atau ke bagian hulu (GENCOD EAN France 2001). Sistem traceability mengenal istilah coding untuk memfasilitasi perpindahan produk secara bebas dan memastikan ketepatan identifikasi produk yang terlibat dalam proses recall untuk kepentingan kesehatan dan keamanan (Morrison 2003). Dengan adanya batch number atau coding tersebut pada sistem traceability maka produk bermasalah yang telah sampai di tangan konsumen sekalipun dapat dianalisis dan diidentifikasi permasalahannya. Adapun sistem perekaman yang baik pada penerapan sistem traceability juga dibutuhkan dalam mendukung kinerja proses. Hal ini pun telah ditekankan pada prinsip keenam dari konsep HACCP (Hazard Analysis Critical and Control Point). Bentuk rekaman tersebut dapat berupa pemantauan CCP secara berkala, rekaman yang berkaitan dengan proses evaluasi, maupun identitas karakteristik bahan baku dan produk. Hasil rekaman produk tersebut pun harus dipelihara pada periode tertentu untuk asesmen sistem sehingga memudahkan penanganan produk yang potensial tidak aman dan jika terjadi kasus recall produk (Thaheer 2005).
METODE FMECA Metode FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) merupakan metode yang mudah dioperasikan serta alat yang efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk. Mulanya metode FMECA pertama kali dikembangkan sebagai metode desain formal pada tahun 1960 oleh industri penerbangan sebagai syarat keandalan dan keamanan mereka. Selanjutnya metode ini pun mulai dikembangkan secara luas oleh industri lain guna memastikan keandalan dan keselamatan produk (Bowles dan Pelaez 1995). Analisis metode FMECA memiliki dua macam pendekatan yaitu hardware approach dan functional approach (US Military Standard 1980). Hardware approach umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin dapat diidentifikasikan secara unik dengan mengunakan bagan, gambaran umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach yang juga disebut button-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan. Nantinya hasil klasifikasi ini akan digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi. Selanjutnya ketika komponen-komponen mesin tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem membutuhkan analisis awal dan dilakukan mengarah ke bawah (top-down approach) maka digunakan functional approach. Functional approach umum digunakan untuk menganalisis akibatakibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US Military Standard 1980).
19 Hasil analisis dari identifikasi titik kritis melalui metode FMECA ini nantinya dapat digunakan sebagai acuan perusahaan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan sistem traceability secara internal serta membuat pelaksanaannya semakin efektif dan efisien. Menurut Bertolini et al. (2006), analisis titik kritis menyediakan informasi penting mengenai: 1.
Subsistem dan produk akhir sistem dalam susunan hierarki (analisis fungsional dari skema produksi).
2.
Berbagai kegagalan atau malfunctioning yang umum terjadi. Hal ini juga meliputi daftar dan deskripsi dari seluruh titik kritis yang berhasil dianalisis memiliki potensi untuk terjadi selama proses.
3.
Peluang kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity) dan sampai sejauh mana masing-masing titik kritis tersebut dapat dideteksi.
4.
Analisis kritikal (criticality analysis) yang mengklasifikasikan keseluruhan titik kritis tersebut berdasarkan skala prioritasnya dalam penanganan lebih lanjut.
Proses pelaksanaan analisis metode FMECA pun dibedakan dalam dua tahapan, yaitu: 1.
Analisis FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) yaitu proses pengidentifikasian penyebab-penyebab terjadinya kegagalan berikut dengan efek yang ditimbulkan akibat adanya kegagalan tersebut.
2.
Analisis CA (Criticality Analysis) yaitu proses penilaian dan pengklasifikasian resiko kegagalan sistem, peluang terjadinya kegagalan, dan tingkat kepelikan setiap kegagalan dalam bentuk nilai nyata pada masing-masing titik kritis yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya (US Military Standard 1980).
Menurut Bowles dan Pelaez (1995), proses evaluasi terhadap titik kritis dapat dilakukan dengan mengunakan dua pendekatan yang berbeda yaitu CN (Criticality Number) atau mengembangkan RPN (Risk Priority Number). Pendekatan CN banyak digunakan oleh industri nuklir dan penerbangan sedangkan pendekatan RPN banyak digunakan oleh industri otomotif. Pendekatan RPN cenderung menggunakan metode kualitatif dalam mengurutkan rangking tingkat kepelikan (S), peluang terjadinya kegagalan (O), dan kemampuan mendeteksi kegagalan (D) dengan bantuan skala numerik 1 sampai 10. Setiap rangking yang diperoleh dari ketiga faktor penilaian nantinya dikalikan untuk mendapat nilai RPN. Nilai RPN tersebut memperlihatkan tingkat kritis dari setiap titik kritis yang terdeteksi pada sistem. Semakin tinggi nilai RPN akan memberikan asumsi bahwa titik kritis tersebut semakin penting untuk diprioritaskan dalam pemberian tindakan koreksi. Prioritas pemberian tindakan koreksi pun nantinya tidak hanya dilakukan berdasarkan perolehan nilai RPN tetapi juga turut ditentukan berdasarkan posisi titik kritis pada matriks kritikal.
20 Berbeda dengan pendekatan RPN, pendekatan CN cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan mengembangkan criticality ranking yang meliputi probabilitas efek kegagalan (β), rasio kegagalan (α), tingkat kegagalan bagian (λ), dan waktu operasi (τ). Perkalian dari semua item tersebut nantinya akan menghasilkan nilai CN dan semakin besar nilainya maka semakin besar pula prioritasnya untuk diberikan tindakan koreksi. Dengan menggunakan pendekatan ini, resiko kesalahan negatif terhadap perolehan nilai CN cukup sulit dihindari bila dibandingkan dengan pendekatan RPN yang turut didukung oleh adanya matrik kritikal (Bowles dan Pelaez 1995).
METODOLOGI WAKTU DAN TEMPAT Kegiatan magang dilaksanakan di PT Sweet Candy Indonesia yang berlokasi di Jl. Raya Jakarta Bogor Km 47,4 Desa Nanggewer Mekar, Bogor, Jawa Barat pada divisi quality assurance yang berada dibawah naungan departemen technology. Kegiatan magang ini berlangsung selama 4 bulan dan dimulai pada tanggal 20 Februari 2012 sampai dengan 15 Juni 2012. METODE PELAKSANAAN Kegiatan magang dilakukan dalam upaya peningkatan kinerja dalam pengendalian sistem keamanan produk di PT Sweet Candy Indonesia melalui evaluasi sistem traceability yang telah diterapkan pada proses produksi chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia. Adapun proses kerja dari kegiatan ini meliputi: 1.
Observasi lapang Observasi lapang dilakukan dengan mengamati penerapan sistem traceability mulai dari aktivitas di gudang bahan baku, persiapan bahan, sanitasi, produksi, pengemasan, hingga di pengudangan produk akhir. Pengamatan ini meliputi pengecekan terhadap kelengkapan dokumen, pemantauan kode batch dan aktivitas pengidentifikasian bahan baku, serta menanyakan permasalahan yang sering muncul dalam penerapan sistem tersebut pada pelaku proses seperti manajer produksi, supervisor, maupun petugas. Pada tahapan observasi ini juga dilakukan pemahaman secara lebih mendalam terkait setiap alur pergerakan produk mulai dari bahan baku hingga produk akhir.
2.
Mock recall Mock recall dilakukan sebagai upaya awal dalam mengevaluasi efektifitas dan efisiensi sistem traceability. Melalui mock recall akan diadakan kegiatan simulasi berupa penarikan produk untuk mengevaluasi kemampuan sistem traceability dalam menyediakan dokumentasi data produk. Dalam pelaksanaannya akan dilakukan penelusuran data terhadap beberapa item produk yang sejenis dan memiliki alur proses yang melewati target sistem
21 uji secara sempurna dengan waktu produksi yang berbeda. Hal ini dilakukan agar konsistensi data untuk pengujian sistem dapat terjaga dengan baik. Pada akhir tahap ini akan diketahui kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem dan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menelusuri data produk yang diisukan. 3.
Pengumpulan data hasil pantauan Pengumpulan data dilakukan dengan pemantauan langsung ke lokasi target dan wawancara secara terstruktur pada orang yang dianggap ahli dalam sistem traceability perusahaan. Data yang dihimpun meliputi info penting di setiap tahapan proses seperti keadaan aktual di lapangan, kesalahan praktik kerja dalam sistem traceability, permasalahan yang dialami saat melaksanakan sistem traceability, dan metode pelabelan yang digunakan. Data-data tersebut kemudian akan digunakan untuk menentukan penyebab terjadinya kegagalan menggunakan metode analisis FMECA.
4.
Analisis data Data yang berhasil dihimpun kemudian akan diolah menggunakan metode FMECA berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh ahli. Analisis akan melibatkan ahli yang memiliki pemahaman khusus secara mendalam terkait sistem traceability. Para ahli tersebut dapat meliputi praktisi akademik maupun perwakilan dari perusahaan. Para ahli nantinya akan menjadi sumber informasi penting dalam pelaksanaan analisis menggunakan metode FMECA. Pelaksanaan evaluasi sistem traceability menggunakan metode FMECA terdiri dari 2 tahap yaitu: • Analisis FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) Analisis FMEA terdiri dari dua tahapan yaitu: Analisis titik- titik kritis Tahapan ini meliputi penentuan titik-titik kritis traceability dan penyebab terjadinya kegagalan tersebut serta pemberian kode pengenal berupa function ID (Identification) pada setiap tahapan proses. Analisis efek Analisis efek terdiri dari dua macam yaitu analisis efek lokal dan analisis efek global. Efek lokal merupakan kesalahan yang bersifat khusus dalam ruang lingkup permasalahan kecil yang mungkin ditimbulkan dari kegagalan sistem pada titik kritis sedangkan efek global merupakan kesalahan bersifat umum dalam ruang lingkup permasalahan yang lebih luas. • Analisis CA (Criticality Analysis) Analisis CA terdiri dari enam tahapan yaitu: Menentukan tingkat nilai kepelikan (Severity classification/S) berdasarkan pedoman pada Tabel 2.
22 Menentukan nilai peluang terjadinya kegagalan (Probability of occurence/O) berdasarkan pedoman pada Tabel 3. Menentukan nilai resiko kegagalan system (Failure detectability/D) berdasarkan pedoman pada Tabel 4. Menentukan nilai masing- masing titik kritis dengan rumus RPN = S x O x D. Menentukan posisi setiap titik kritis pada matriks kritikal (Gambar 16) berdasarkan nilai O untuk kolom dan nilai S untuk baris. Menentukan tingkat kritis setiap titik kritis (unacceptable, undesirable, acceptable with revision, acceptable without revision). Hasil dari proses analisis data akan dijadikan pedoman perlu tidaknya dilakukan tindakan koreksi pada sistem traceability yang telah diterapkan. Bila terdapat hasil analisis FMECA yang menyatakan bahwa suatu titik kritis berada pada tingkat kritis unacceptable dan undesirable maka sebaiknya segera dilakukan tindakan koreksi. Tindakan koreksi yang akan diberikan dapat berupa pengadopsian sistem baru untuk manajemen operasi maupun perbaikan terhadap tahapan tertentu sehingga menghasilkan modifikasi pada sistem yang sudah ada sebelumnya. Adapun sampel worksheet analisis FMECA dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 16 Matriks kritikal analisis FMECA
Gambar 17 Sampel worksheet analisis FMECA
23 Tabel 2 Tingkat kepelikan (severity classification)a Efek Rangking Level Makna Kepelikan Sangat Tingkat kepelikan dimana menyebabkan 9,10 Catastrophic tinggi kehilangan banyak informasi Tingkat kepelikan dimana menyebabkan 7,8 Tinggi Critical ketidakefisienan berat saat rekonstruksi informasi Tingkat kepelikan dimana menyebabkan 4,5,6 Sedang Marginal ketidakefisienan ringan saat rekonstruksi informasi Tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan 1,2,3 Rendah Minor tindakan penangulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan) a
Sumber: MIL-STD-1629A (US Military Standard 1980).
Tabel 3 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence)a Rangking Peluang Kegagalan Level Peluang 10 Frequent: peluang terjadinya tinggi A ≥ 1 in 2 9 1 in 8 8 Reasonably common: peluang B 1 in 20 terjadinya moderat 7 1 in 40 6 Occasional: peluang terjadinya jarang C 1 in 80 5 1 in 400 4 1 in 1.000 3 Rare: sangat tidak mungkin terjadi D 1 in 4.000 2 1 in 20.000 1 Extremely rare: peluang terjadinya E <1in 1.000.000 adalah nol a
Sumber: Bowles dan Pelaez (1995).
Tabel 4 Kemampuan mendeteksi terjadinya kegagalan (failure detectability)a Rangking Detection Tidak 10 terdeteksi
a
Criteria: Likelyhood of Detection by Design Control Design Control Traceability tidak akan dan atau tidak dapat mendeteksi kegagalan atau tidak ada design control
9
Sangat sedikit
Peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis sangat sedikit
7,8
Sedikit
Peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis sedikit
5,6
Moderat
Peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis moderat
3,4
Tinggi
Peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis tinggi
1,2
Sangat tinggi
Peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis sangat tinggi
Sumber: Bowles dan Pelaez (1995).
24 5.
Perancangan sistem kanban Setelah sistem traceability dianalisis menggunakan metode FMECA, bagian yang memiliki dominasi function ID dengan critical level unacceptable dan undesirable terbesar akan diajukan untuk segera menerapkan sistem kanban dalam proses dokumentasi. Kanban adalah mekanisme sistem pengontrolan yang menghubungkan aktivitas produksi dengan transmisi kebutuhan informasi terhadap produk akhir dan tahapan proses kerja sebelumnya dengan menggunakan kartu kanban (Tahat dan Mukattash 2006). Kartu kanban tersebut nantinya akan dirancang dalam bentuk lembaran kertas ukuran folio yang memuat kolom isian data beberapa tahapan proses kerja secara berurutan. Sistem ini diharapkan dapat memberikan kemudahan pengaksesan data informasi produk dengan keberadaan kartu kanban yang bergerak mengikuti perpindahan produk.
HASIL DAN PEMBAHASAN ALUR SISTEM TRACEABILITY PRODUK CHEWY CANDY PT Sweet Candy Indonesia memproduksi varian produk chewy candy di pabrik Cibinong. Alur sistem traceability dalam memproduksi chewy candy dari hulu ke hilir (Lampiran 2) pun turut melibatqkan serangkaian tahapan proses pada beberapa bagian di pabrik, yaitu: 1.
RMWH (Raw Material Warehouse) Bagian ini bertugas menerima dan mengelola bahan baku yang dibeli oleh perusahaan dari berbagai supplier yang telah memenuhi standar kualifikasi yang ditentukan oleh perusahaan. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Penerimaan bahan baku dari supplier Petugas RMWH akan menerima bahan baku dari supplier tertentu yang sebelumnya telah melakukan transkasi pembelian dengan pihak purchasing. Saat bahan baku datang ke gudang RMWH, supplier akan menyerahkan surat jalan dan COA (Certificate of Analysis). Kedua dokumen tersebut berisi keterangan mengenai identitas supplier, no. material dan deskripsi bahan baku, no. batch internal dari supplier, jumlah bahan baku yang dikirim, tanggal produksi dan kadaluarsa produk serta tanda tangan pihak RMWH dan pihak supplier sebagai bukti transaksi serah terima. Pada saat itu pula, pihak QC (Quality Control) yang bertugas di RMWH akan melakukan pemeriksaan terhadap barang dan COA. Setelah terdapat pengesahan kualitas barang oleh pihak QC, bahan baku segera dipindahkan ke lokasi penyimpanan sementara. • Penyimpanan bahan baku Pihak RMWH akan menerbitkan formulir transfer slip yang terdiri dari tiga rangkap dengan warna berbeda yaitu putih, merah, dan kuning
25 sebelum bahan baku disimpan pada high rack. Formulir putih akan direkatkan bersama surat jalan dari supplier sebagai arsip RMWH sedangkan formulir merah akan ditempelkan langsung pada barang yang akan disimpan di gudang dan formulir kuning akan diserahkan kepada admin gudang RMWH untuk di-input pada sistem pendataan SAP (System Applications and Products in data processing). Formulir tersebut berisi keterangan tanggal penerimaan bahan baku, no. material internal pabrik dan deskripsi bahan baku, no. batch internal pabrik (ddd/y/s/l/p), tanggal kadaluarsa bahan baku, jumlah barang yang disimpan, lokasi penyimpanan barang, dan identitas petugas RMWH yang berwenang. Kemudian penyimpanan bahan baku dan pendokumentasian lokasi penyimpanan akan dilakukan oleh petugas forklift. Selain direkatkan formulir transfer slip berwarna merah, bahan baku yang akan disimpan juga direkatkan stiker kuning kecil yang berisi no. batch internal pabrik (ddd/y/s/l/p) dan no. material bahan baku yang digunakan secara internal oleh perusahaan. Ket. Kode no. batch internal pabrik ddd : urutan hari dalam satu tahun y : tahun (satu digit terakhir) s : nomer shift dari pihak RMWH saat melakukan pembongkaran barang dari supplier l : urutan lot yang dikirimkan oleh satu supplier untuk satu jenis barang yang sama p : inisial supplier • Penyerahan bahan baku kepada pemesan Pihak RMWH akan menerima pemesanan bahan baku melalui sistem SAP. Setiap ada pesanan yang diterima, koordinator RMWH akan menerbitkan formulir order slip yang berisi tanggal pemesanan, no. slip order, no. material dan deskripsi bahan baku, no. purchasing order, jumlah bahan baku yang dipesan, jumlah bahan baku yang nantinya diterima pemesan, dan tanda tangan kedua belah pihak yang bertransaksi. Selanjutnya koordinator tersebut akan meminta petugas forklift untuk mengambil pesanan bahan baku pada high rack dan menyerahkannya pada perwakilan pihak pemesan yang datang untuk menjemput pesanan bahan baku. 2.
AWM (Automatic Weighing Machine) Bagian ini bertugas menyediakan campuran gula halus dan tepung beras untuk keperluan first coating step produksi dragee dan larutan gula untuk semua lini produksi di pabrik Cibinong. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Pemesanan bahan baku Bahan baku akan diperoleh setelah petugas AWM melakukan pemesanan ke pihak RMWH melalui sistem SAP. Berbeda dengan perlakuan yang diberikan pada divisi produksi, bahan baku yang dipesan pihak AWM
26 akan diantarkan langsung ke lokasi oleh pihak RMWH. Pada transaksi tersebut, pihak RMWH akan membawa formulir order slip untuk ditandatangani oleh petugas AWM yang berwenang. Selanjutnya petugas RMWH tersebut akan melakukan pelabelan terhadap barang yang dipesan berupa stiker kuning yang berisi data no. batch BTP (ddd/y/s/l/p) dan no. material BTP yang digunakan secara internal oleh perusahaan. • Pengolahan gula Pihak AWM akan bertugas mengolah gula yang akan digunakan sebagai bahan baku utama di setiap divisi area produksi. Pada bagian ini pun terdapat laporan pencatatan kegiatan pengolahan gula yang berisi informasi mengenai tanggal dokumentasi proses, waktu kerja alat pershift, no. batch bahan baku, serta keterangan mengenai larutan gula yang meliputi suhu proses dan nilai brix. 3.
Flavor Room Bagian ini bertugas mengelola penyimpanan serta melakukan preparasi terhadap bahan tambahan pangan yang digunakan untuk keperluan aktivitas produksi. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Pemesanan BTP kepada pihak RMWH Petugas di bagian flavor room akan melakukan pemesanan kepada pihak RMWH melalui sistem SAP perusahaan secara berkala untuk memenuhi stok penyimpanan yang habis. Aktivitas ini dilakukan dengan meng-input data no. material BTP yang digunakan secara internal oleh perusahaan dan jumlah BTP yang dipesan pada sistem SAP. • Penerimaan BTP dari pihak RMWH Transaksi serah terima BTP akan dilakukan pihak RMWH dan flavor room di gudang penyimpanan flavor room yang berdekatan dengan lokasi RMWH. Pada aktivitas ini, pihak RMWH menyerahkan formulir order slip untuk ditandatangani pihak flavor room. Kemudian petugas RMWH tersebut juga melakukan pelabelan terhadap barang yang dipesan berupa stiker kuning yang berisi data no. batch BTP (ddd/y/s/l/p) dan no. material BTP yang digunakan secara internal oleh perusahaan. • Preparasi BTP Untuk memenuhi pesanan BTP secara cepat, petugas di bagian flavor room akan terlebih dahulu menyiapkan berbagai BTP pesanan dalam ukuran dan keadaan siap pakai secara berkala. Hal ini meliputi pembagian gum arab, dextrin, perisa alami, dan vanilin powder dalam ukuran tertentu sesuai resep dari pihak produksi maupun preparasi perisa dan pewarna untuk menghasilkan BTP siap pakai dalam ukuran 3-4 liter tabung. Kegiatan preparasi tersebut meliputi pelarutan pewarna sintetik yang berbentuk bubuk maupun pencampuran antara perisa dan pewarna menjadi larutan siap pakai. Kemudian pelabelan tambahan pun dilakukan pada setiap tabung hasil preparasi yang meliputi data nama material dan
27 jenis permen yang akan menggunakan larutan ini. Khusus tabung preparasi yang berisi campuran perisa dan pewarna, label yang ditempel akan berisi data no. batch (k/ddd/hh.hh/dd.mm.yyyy), no. material, deskripsi nama material, tanggal kadaluarsa, dan tanggal dilakukan pencampuran. Ket. Kode no. batch label tabung preparasi campuran perisa dan pewarna k : kode produksi varian permen ddd : urutan hari dalam satu tahun (waktu preparasi) hh.hh : waktu dengan keterangan jam dan menit (waktu preparasi) dd : hari kadaluarsa mm : bulan kadaluarsa yyyy : tahun kadaluarsa • Pemesanan BTP oleh pihak produksi Pada tahap ini pihak produksi akan melakukan pemesanan dengan menginput no.material BTP berikut jumlah yang akan dipesan melalui sistem SAP pada setiap waktu permulaan shift kerja. Kemudian pihak flavor room pun menyiapkan BTP pesanan dan menempatkannya pada loket penyerahan BTP. Nantinya pihak produksi akan datang menjemput dan melakukan tanda tangan pada buku laporan serah terima BTP. 4.
Produksi Bagian ini bertugas mengolah beragam bahan baku untuk menghasilkan produk chewy candy. Secara umum diagram proses pembuatan chewy candy dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Cooker Pada proses ini cairan gula yang telah diproses ditimbang secara otomatis untuk mengalir ke dalam tangki dan dicampur dengan larutan FSA (Food Stability Agent) yang terdiri dari dextrin, gum arab, dan gelatin. Petugas produksi akan menyesuaikan pengaturan tangki pencampuran tersebut berdasarkan informasi karakteristik gula yang dialirkan oleh pihak AWM. Pada tahap ini petugas akan mengisi data pada buku laporan pemakaian bahan baku yang terdiri dari lemak, gelatin, GMS, gula pasir, tepung beras, garam, lechitin, dan gum powder. Laporan ini berisi data informasi mengenai no. batch dan no. material bahan baku yang digunakan, stok awal bahan baku, jumlah stok bahan baku yang diterima, jumlah stok bahan baku yang digunakan, dan stok akhir bahan baku. Selain itu, petugas juga akan mendokumentasikan data pemakaian bahan baku pembuatan larutan FSA dan proses cooker dalam buku laporan terpisah. • Kristalisasi di mesin buss Pada tahapan ini cairan gula panas yang telah melalui proses pemasakan di cooker akan diubah menjadi adonan yang cukup padat dan mudah dibentuk. Hal tersebut terjadi akibat adanya proses kristalisasi pada cairan gula yang berlangsung pada tahapan ini. Mesin Buss yang
28 digunakan berbentuk tabung tertutup sepanjang 5 M. Desain tertutup tersebut berfungsi untuk mengurangi potensi udara terperengkap dalam adonan permen. Nantinya adonan permen hasil kristalisasi akan ditimbang sebanyak 60 Kg dan dimasukan ke dalam dough carier. Pada proses ini, petugas akan mencatat lamanya waktu mesin Buss berkerja dan jumlah output per-shift pada buku laporan. • Pulling Pada tahapan ini adonan permen hasil kristalisasi yang berada di dalam dough carrier akan dicampur dengan pewarna, perisa, dan asam sitrat sesuai resep masing-masing varian permen. Pada tahap ini petugas akan mendokumentasikan pemakaian bahan baku untuk pembuatan larutan asam sitrat dan proses pulling pada buku laporan terpisah. Buku laporan pembuatan asam sitrat akan berisi data mengenai no. batch asam sitrat yang digunakan sedangkan buku laporan pulling berisi data varian permen yang di-pulling; jumlah perisa, pewarna, dan asam sitrat yang digunakan per-batch; identitas petugas per-shift; no. mesin pulling yang digunakan dan no. mesin cut and wrap yang menjadi destinasi proses selanjutnya bagi adonan permen tersebut; serta no. batch proses pulling (dd/mm/yy/xx) dan tanggal dilakukannya pulling. Selain itu, petugas juga berkewajiban menyampaikan formulir non-document pulling yang berupa kertas kecil berukuran 6x4 cm kepada petugas di proses selanjutnya. Formulir ini berisi no. batch proses pulling, varian flavor permen, no. mesin pulling yang digunakan, shift yang bertugas, dan tanggal proses dilakukannya pulling. Ket. Kode no. batch proses pulling dd : tanggal dilakukannya proses pulling mm : bulan dilakukannya proses pulling yy : tahun dilakukannya proses pulling (dua digit terakhir) xx : nomer urut dilakukannya proses pulling • Flattener Pada tahapan ini adonan permen yang telah tercampur sempurna kemudian dipipihkan dan dibagi menjadi ukuran yang lebih kecil dengan bobot sekitar 6 Kg perlembar agar mempermudah proses input manual pada mesin cut and wrap. Petugas flattener memiliki kewajiban menjaga keberadaan formulir non-document pulling yang diterima dari petugas pulling untuk kemudian disampaikan kepada petugas mesin cut and wrap. • Cut and Wrap Adonan permen yang sudah dipipihkan melalui mesin flattener kemudian dimasukan pada mesin cut and wrap secara bertahap. Mesin ini akan membentuk permen menjadi kotak berukuran kecil dengan bobot sekitar 2,5 gram dan membungkusnya secara individu menjadi satuan permen yang disebut mono. Pada tahap ini petugas akan menerima formulir pulling yang kemudian datanya digunakan dalam mengisi buku laporan cut and wrap yang berisi waktu kerja mesin, nama petugas per-shift, jenis
29 permen yang sedang diproses, no. mesin pulling, no. batch material packaging (ddd/y/s/l/p) yang digunakan, jumlah output produk, dan jumlah reject per-shift. Petugas juga akan mengisi formulir checklist intermediate untuk setiap lorry yang berisi 24 tray permen. Formulir tersebut berisi data no. slip checklist intermediate, varian flavor permen, kode checklist intermediate (dd/mm/yy/hh/mc), no. mesin cut and wrap, identitas petugas per-shift, dan jumlah tray. Ket. Kode checklist intermediate dd : tanggal dilakukannya proses cut and wrap mm : bulan dilakukannya proses cut and wrap yy : tahun dilakukannya proses cut and wrap (dua digit terakhir) hh : jam dilakukannya proses cut and wrap mc : nomer mesin cut and wrap • Transwrap Pada tahapan ini mono yang telah melewati proses cut and wrap akan dikemas dalam kemasan pouch dengan jumlah isian 42 butir. Pouch tersebut diberi cap yang berisi data informasi mengenai kode produksi dan tanggal kadaluarsa secara otomatis oleh mesin transwrap. Kode produksi mengandung informasi tanggal saat permen melalui tahap proses transwrap dan nomer mesin cut and wrap yang terdata di formulir checklist intermediate. Pada tahap ini terdapat dokumen pencatatan mesin transwrap. Dokumen tersebut berisi informasi mengenai data tanggal proses transwrap, identitas petugas per-shift, data kombinasi permen yang dikemas dalam satu pouch, kode checklist intermediate (dd/mm/yy/hh/mc), tanggal kadaluarsa dalam 18 bulan, no. batch produksi (L/xx/ddd/y/hh), kode karton, dan no. artikel barang jadi. Ket. Kode no. batch produksi L: kode negara produsen (Indonesia) xx: nomor mesin cut and wrap ddd : urutan hari dalam satu tahun y : tahun (satu digit terakhir) hh: jam dilakukannya proses transwrap • Cartoning Pada tahap ini 20 pouch permen dimasukan ke dalam karton dan disusun secara berdiri dengan bantuan partisi. Setiap karton memiliki stiker berisi keterangan no. material barang jadi, nama produk, jumlah pouch dan jumlah butir permen dalam satu pouch, serta no. karton yang spesifik untuk setiap jenis varian produk permen. Kemudian karton-karton tersebut segera dipindahkan ke konveyor tunnel yang akan berjalan otomatis menuju gudang FGWH. 5.
Incinerator Bagian ini bertugas mengumpulkan dan mengolah limbah dari proses produksi. Limbah yang ditangani berupa adonan permen yang rusak dan
30 plastik kemasan dari permen yang di-rework atau rusak saat diproduksi. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Penerimaan limbah dari bagian produksi Pada tahapan ini petugas insenerator akan mengumpulkan limbah dari tempat pembuangan khusus yang terletak di balik dinding bagian luar setiap area produksi. Limbah tersebut nantinya akan ditempatkan di lokasi khusus pada bagian belakang pabrik. Kemudian limbah tersebut akan dipisahkan menjadi limbah adonan permen dan limbah plastik kemasan permen sebelum diolah pada tahapan proses penanganan limbah selanjutnya. 6.
Co-packing Bagian co-packing bertugas mengirimkan produk setengah jadi berupa mono kepada pihak ketiga untuk dilakukan pengemasan lanjutan terhadap produk tersebut. Hal ini dilakukan karena keterbatasan peralatan yang dimiliki pabrik. Nantinya mono tersebut akan dikemas dalam bentuk sachet. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Penerimaan produk setengah jadi dari bagian produksi Pada tahapan ini pihak co-packing akan menerima kiriman mono dalam tray beserta formulir checklist intermediate dari pihak produksi. Selanjutnya mono tersebut akan ditempatkan pada lokasi penyimpanan sementara di area co-packing sebelum pihak ketiga datang menjemput. • Penyerahan produk setengah jadi ke pihak ketiga Pada tahapan ini pihak co-packing akan menerbitkan formulir rangkap mengenai pengiriman produk setengah jadi yang berisi data informasi mengenai tanggal pengiriman produk setengah jadi, no. slip checklist intermediate, no. material, deskripsi material, jumlah material yang akan dikirim, dan keterangan petugas co-packing yang bertransaksi. Kemudian pihak co-packing pun menyerahkan salinan formulir rangkap tersebut kepada pihak ketiga saat mereka datang menjemput material.
7.
FGWH (Finish Good Warehouse) Bagian ini bertugas menyimpan semua produk akhir sebelum nantinya akan dikirim ke berbagai distributor di dalam maupun luar negeri. Berikut merupakan aktivitas terkait sistem traceability yang terjadi di bagian ini: • Penerimaan produk dari pihak produksi Pada tahapan ini produk yang dihasilkan oleh bagian produksi akan disimpan sementara di area FGWH sebelum dikirim ke distributor tertentu. Produk tersebut akan dikirim ke gudang FGWH melalui sistem konveyor tunnel otomatis. Sesampainya produk tersebut melalui sistem konveyor, pihak FGWH segera menyiapkan formulir serah terima finish good yang akan ditandatangani oleh kedua pihak. Formulir tersebut berisi
31 keterangan tanggal pengiriman produk, identitas produk (no. artikel barang jadi dan deskripsi produk), jumlah produk yang diterima pihak FGWH, dan identitas petugas FGWH yang berwenang. • Penerimaan produk dari pihak ketiga Pada tahapan ini pihak FGWH akan menerima produk dari pihak ketiga beserta surat jalan yang turut dilampirkan. Surat jalan tersebut memuat sejumlah informasi mengenai tanggal penyerahan produk, deskripsi produk, jumlah produk yang dikirim, dan identitas petugas yang berwenang dari pihak ketiga. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap produk yang diterima, produk tersebut kemudian diletakan pada lokasi penyimpanan sementara sebelum ditempatkan pada high rack dan informasi terkait penerimaan produk pun langsung di-input pada sistem SAP. • Penyimpanan produk di gudang Semua produk yang diterima oleh pihak FGWH akan disimpan dalam high rack. Namun sebelum dilakukan penyimpanan produk, petugas FGWH akan membuat formulir transer slip yang terdiri dari tiga rangkap dengan warna berbeda yaitu putih, merah, dan kuning. Formulir ini berisi keterangan tanggal penerimaan produk, no. no. artikel barang jadi dan deskripsi produk, no. batch packaging (dd/mm/yy/hh), jumlah produk yang disimpan, lokasi penyimpanan produk, dan identitas petugas FGWH yang berwenang. Formulir pertama yang berwarna putih akan direkatkan bersama surat jalan, formulir berikutnya yang berwarna merah akan direkatkan pada produk yang disimpan di high rack, dan formulir berwarna kuning akan diserahkan kepada petugas FGWH untuk menginput data informasi produk pada sistem SAP. • Pengiriman produk ke distributor Produk yang akan dikirimkan ke distributor terlebih dahulu diturunkan dari high rack dan ditempatkan pada lokasi perpindahan sementara di dekat pintu bongkar muat produk ke dalam truk. Kemudian petugas pun menyiapkan surat jalan yang berisi keterangan no. pengiriman, no. artikel barang jadi dan deskripsi produk, jumlah produk yang akan dikirim, dan lokasi tujuan pengiriman.
ANALISIS SISTEM TRACEABILITY DENGAN METODE FMECA Saat ini PT Sweet Candy Indonesia menerapkan sistem traceability yang berupa gabungan proses dokumentasi secara komputerisasi dan manual dengan menggunakan metode pencatatan pada buku laporan, formulir, serta label tag. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem traceability pada perusahaan maka dilakukan evaluasi terhadap sistem yang telah diterapkan. Langkah pertama yang dilakukan untuk mengevaluasi sistem ini ialah pelaksanaan mock recall dengan gabungan teknik traceable dan trackable. Menurut WSDA (2010), mock recall merupakan kegiatan latihan internal yang dilakukan untuk menguji
32 kemampuan melacak dan menarik kembali produk atau bahan baku menggunakan data dokumentasi yang dimiliki perusahaan. Pelaksanaan mock recall ini dilakukan berdasarkan basis perhitungan waktu per-shift dengan asumsi kasus berupa adanya temuan dough carrier yang terkelupas pada tahapan pulling. Dalam Tabel 5 pun dapat dilihat hasil perhitungan waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan mock recall pada aktivitas produksi chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia. Tabel 5 Perhitungan waktu mock recall produk chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia Kegiatan No. 1. 2. 3. 4.
5.
6.
Waktu (Menit) Jan- Feb- Mar- AprRataan 12 12 12 12 15 18 28 22 20,75 15 13 18 17 15,75 17 22 15 13 16,75
Menelusuri data bahan baku di bagian RMWH Menelusuri data food additive di bagian flavor room Menelusuri data bahan baku di bagian AWM Menelusuri data produk di bagian produksi -Mengumpulkan buku laporan dokumentasi produksi 37 -Form Pemakaian Raw Material (FM/PRO/201) 4 -Checklist Pembuatan FSA (FM/PRO/203) 2 -Laporan Buss dan Cleaning Mesin (FM/PRO/205) 4 -Checklist Pembuatan Citrid Acid (FM/PRO/210) 3 -Checklist dan Laporan PM-60 (FM/PRO/206) 21 -Laporan Mesin Cut&Wrap dan Checklist Cleaning 29 (FM/PRO/211) -Checklist Intermediate (FM/PRO/217) 68 -Laporan Mesin Transwrap dan Checklist Cleaning 12 (FM/PRO/214) Total waktu Menelusuri data produk di bagian co-packing -Transaksi co-packing melalui SAP 7 -Checklist Intermediate (FM/PRO/217) + surat jalan 20 Total waktu Menelusuri data produk di bagian FGWH -Transaksi gudang dan produksi melalui SAP 25 -Transfer production (in BOX) (FM/PRO/130) 33 Total waktu Total waktu keseluruhan 312
39 3 2 6 2 23
42 4 2 5 3 17
26 3 2 4 2 16
36 3,5 2 4,75 2,5 19,25
22
13
17
20,25
76
57
73
68,5
18
9
9
12 168.75
8 31
16 21
24 39
13,75 27,75 41,5
17 31
22 19
15 24
331
291
306
19,75 26,75 46,5 310
Berdasarkan hasil perhitungan waktu mock recall dapat diamati bahwa kegiatan penelusuran produk pada bagian produksi membutuhkan lebih banyak waktu dibanding bagian lain seperti RMWH, flavor Room, AWM, co-packing, dan FGWH yaitu dengan total rataan waktu sebesar 168.75 menit. Sebagian besar proses dokumentasi data pada bagian produksi dilakukan secara manual dalam buku laporan maupun formulir yang tersebar pada setiap titik pencatatan.
33 Sebenarnya perusahaan telah menerapkan sistem informasi menggunakan jaringan intranet yang dikenal dengan istilah SAP (System Applications and Products in data processing) tetapi penerapannya belum mencakup semua data secara rinci sehingga dokumentasi data masih dibantu oleh pengisian buku laporan dan formulir secara manual. Kegiatan mock recall di bagian produksi memiliki dominasi kebutuhan waktu pada tahap penelusuran produk melalui checklist intermediate (FM/PRO/217) dengan rataan waktu sebesar 68,5 menit. Hal ini disebabkan oleh sulitnya pencarian formulir checklist intermediate yang berupa lembaran untuk setiap lorry permen. Formulir ini seringkali hilang karena sistem pengarsipan yang kurang baik. Selanjutnya dominasi kebutuhan waktu untuk melakukan penelusuran data produk terlihat pada tahap pengumpulan buku laporan dengan rataan waktu sebesar 36 menit. Banyaknya jumlah varian buku laporan setiap bulan cukup menyulitkan proses penelusuran produk sebab tidak semua buku laporan terkait dengan informasi yang dibutuhkan. Selain itu keberadaan bukubuku laporan terkadang sulit terlacak akibat sistem pengarsipan yang kurang baik. Tingkat kelengkapan data dokumentasi yang kurang baik juga teramati melalui penelusuran produk pada buku laporan mesin cut & wrap dan checklist cleaning (FM/PRO/211). Oleh karena itu, dilakukanlah perbandingan data dokumentasi yang cukup memakan waktu antara buku tersebut dengan buku laporan PM-60 (FM/PRO/206) yang memiliki kedekatan tahapan proses. Selain dipengaruhi oleh rendahnya kedisiplinan petugas dalam melengkapi data pada buku laporan, hilangnya formulir non-document pulling yang berisi no. batch dan varian permen yang diproses pada tahap pulling juga menginisiasi permasalahan tidak lengkapnya data pada buku laporan FM/PRO/211. Secara umum permasalahan yang ditemukan saat pelaksanaan mock recall pada bagian produksi ialah tingkat kedisiplinan petugas yang perlu diperhatikan kembali dalam melengkapi data buku laporan dan pengarsipan dokumen yang kurang baik. Pada penelusuran produk di bagian RMWH dibutuhkan rataan waktu sebesar 20,75 menit. Hal ini didukung oleh kelengkapan data bahan baku yang dapat diakses melalui sistem SAP. Dokumentasi bahan baku secara umum telah terintergrasi dengan baik pada sistem ini sehingga memudahkan kegiatan penelusuran data. Serupa dengan bagian RMWH, bagian flavor room, dan FGWH juga telah mengintegrasi sistem dokumentasi melalui SAP dengan rataan kebutuhan waktu masing-masing sebesar 15,75 menit dan 46,5 menit. Jumlah waktu yang dibutuhkan pada bagian FGWH tersebut turut meliputi perhitungan waktu verifikasi transaksi pengiriman barang jadi oleh pihak produksi kepada FGWH dengan melakukan penelusuran pada form transfer production (in BOX) (FM/PRO/130). Selanjutnya pada penelusuran data bahan baku di bagian AWM dibutuhkan rataan waktu sebesar 16,75 menit sedangkan di bagian co-packing sebesar 41,5 menit. Jumlah waktu terbesar pada penelusuran data produk di bagian co-packing didominasi oleh kegiatan pencarian checklist intermediate (FM/PRO/217) dan surat jalan dengan rataan waktu sebesar 27,75 menit akibat sistem pengarsipan yang kurang baik. Setelah dilakukan penjumlahan total waktu, akhirnya dapat diketahui bahwa rataan waktu yang dibutuhkan dalam melakukan mock recall di PT Sweet Candy Indonesia ialah sebesar 310 menit. Hasil yang diperoleh ini menunjukan bahwa tingkat efektifitas dan efisiensi sistem traceability perusahaan masih tergolong
34 rendah dengan terlewatinya batas standar maksimal pelaksanaan mock recall sebesar 240 menit. Fokus utama pun diberikan kepada divisi produksi karena tingginya kebutuhan waktu pelaksanaan mock recall dibanding bagian lain di perusahaan. Kemudian evaluasi pada sistem traceability segera dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode FMECA. Penggunaan metode ini didahului dengan analisis FMEA yang terdiri dari analisis titik-titik kritis dan analisis efek. Analisis pertama dilakukan dengan pendeteksian titik kritis di sepanjang alur sistem traceability beserta penyebab terjadinya kegagalan. Titik kritis ini ditentukan melalui diskusi dengan pakar dari pihak perusahaan dan pengamatan yang dilakukan peneliti. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap akibat dari kegagalan tiap titik kritis baik secara khusus (efek lokal) maupun umum (efek global). Hasil dari analisis FMEA terhadap sistem traceability perusahaan ini dapat diamati pada Lampiran 4. Setelah analisis FMEA selesai dilakukan, tahapan kerja dilanjutkan dengan melakukan analisis kritikal melalui penentuan nilai RPN dari tiap titik kritis seperti yang dapat dilihat pada Gambar 18 dengan didahului pengerjaan analisis titik kritis pada worksheet metode FMECA (Tabel 6). Analisis pun ini turut melibatkan dua orang pakar dari perusahaan dengan masing-masing hasil analisis yang dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. 700 600
Nilai RPN
500 400 300 200
0
1.10 1.20 2.10 2.20 2.30 3.10 3.20 3.30 4.10 4.20 5.10 6.10 6.20 7.10 8.10 8.20 9.10 10.10 10.20 10.30 10.40 11.10 12.10 12.20 13.10 13.20 14.10 14.20 15.10 16.10 17.10 18.10 18.20 19.10 20.10 20.20 20.30 21.10 21.20
100
Function ID
Gambar 18 Kisaran nilai RPN pada masing-masing titik kritis sistem traceability
35
Tabel 6 Hasil analisis FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) oleh kedua pakar perusahaan No. 1
2
Tahapan Proses Penerimaan bahan baku dari supplier
Penyimpanan bahan baku di RMWH
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Surat jalan rusak atau hilang setelah diterima oleh petugas sehingga terjadi kesulitan dalam meng-input data pada sistem SAP Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diterima pada sistem SAP Transfer slip tidak direkatkan pada bahan baku Transfer slip pada bahan baku rusak atau hilang Mislocation penyimpanan bahan baku di gudang RMWH
3
4
5 6
7
Penyerahan bahan baku kepada pemesan
Preparasi gula di AWM Penerimaan BTP oleh pihak flavor room dari RMWH Preparasi BTP
Pemesanan BTP oleh pihak produksi
Kesalahan dalam penerapan sistem FEFO (First Expired First Out) saat mengambil bahan baku pada high rack Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diserahkan pada sistem SAP Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam menuliskan no. batch pada label BTP campuran Kesalahan dalam meng-input no. batch dan tanggal kadaluarsa BTP pada sistem SAP Tidak dilakukannya pelabelan identitas no. batch pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi
Failure ID
S
O
D
RPN
Critical level
1.10
2,5
2,5
1,5
9,4
Acceptable without revision
1.20
5,5
2,5
1,5
20,6
Acceptable with revision
2.10 2.20
3,5 3,5
2 2
3,5 3,5
24,5 24,5
2.30
1
2,5
4,5
11,3
3.10
1
3
5
15
Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable without revision Acceptable without revision
3.20
5
3
4,5
45
Acceptable with revision
3.30
5,5
3
4,5
74,3
Acceptable with revision
4.10
5
2
4,5
45
Acceptable with revision
4.20
5
2,5
4
50
Acceptable with revision
5.10
5
2
4,5
45
Acceptable with revision
6.10
5
2,5
4
50
Acceptable with revision
6.20
6,5
2,5
5
81,3
Acceptable with revision
7.10
6,5
10
5,5
357,5
Unacceptable
35
36 36
(Lanjutan) No. 8
Tahapan Proses Preparasi bahan baku di cooker
9
Kristalisasi di Buss
10
Pulling
11
Flattener
12
Cut and wrap
13 14
15
Transwrap Cartoning
Pencatatan data scrap ke incinerator
Failure ID
S
O
D
RPN
Critical level
8.10
5,5
2,5
4
55
Acceptable with revision
8.20
5
2,5
4
50
Acceptable with revision
9.10
6
3,5
5,5
115,5
Acceptable with revision
10.10
8
4,5
7
252
Undesirable
Tidak dilakukannya dokumentasi no. batch BTP
10.20
7,5
10
7
525
Unacceptable
Kesalahan dalam melakukan dokumentasi no. batch asam sitrat
10.30
7,5
2,5
4
75
Acceptable with revision
Kesalahan dalam menyiapkan formulir pulling untuk diserahkan kepada petugas di proses selanjutnya
10.40
5,5
5
5
137,5
Acceptable with revision
Formulir non-document pulling rusak atau hilang
11.10
5,5
7
5
192,5
Undesirable
12.10
7,5
5
5
187,5
Undesirable
12.20
7,5
10
7,5
562,5
Unacceptable
13.10
7,5
3
5
112,5
Acceptable with revision
13.20 14.10
7,5 7,5
7 1,5
6,5 3,5
341,3 39,4
Unacceptable Acceptable with revision
14.20
7
1,5
3,5
36,8
Acceptable with revision
15.10
8
10
7,5
600
Unacceptable
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Kesalahan mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam mencatat kuantitas output adonan permen yang dihasilkan Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch proses pulling
Kesalahan dalam dokumentasi no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses per waktu Tidak ada dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan pershift Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan kode checklist intermediate Formulir checklist intermediate rusak atau hilang Kesalahan dokumentasi no. karton pada stiker karton Kesalahan dalam merekatkan stiker identitas produk pada kemasan karton Tidak ada dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah
37
(Lanjutan) No. 16
17
18
19 20
21
Tahapan Proses Penerimaan mono dari pihak produksi oleh co-packing Penyerahan mono ke pihak ketiga oleh co-packing Penerimaan produk dari pihak produksi oleh FGWH
Penerimaan produk dari pihak ketiga oleh FGWH Penyimpanan produk di gudang FGWH Pengiriman produk ke distributor
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Failure ID
S
O
D
RPN
Critical level
Formulir checklist intermediate yang disertakan saat penerimaan mono hilang atau rusak
16.10
7,5
5
6,5
243,8
Undesirable
Kesalahan dalam meng-input data mono yang diserahkan ke pihak ketiga
17.10
5,5
1,5
5
41,3
Acceptable with revision
Kesalahan dalam menghitung produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel
18.10
1
1,5
3,5
5,3
Acceptable without revision
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel pada sistem SAP
18.20
5,5
2,5
3,5
48,1
Acceptable with revision
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak ketiga pada sistem SAP
19.10
5,5
2
3,5
38,5
Acceptable with revision
Mislocation penyimpanan produk
20.10
1
2
4,5
9
Transfer slip tidak direkatkan pada barang jadi Transfer slip pada barang jadi rusak atau hilang Kesalahan dalam menghitung kuantitas produk yang akan dikirim pada surat jalan Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan ke distributor pada sistem SAP
20.20 20.30
3,5 3,5
2 2
3,5 3,5
24,5 24,5
21.10
1
2
3,5
7
21.20
5,5
2
3,5
38,5
Acceptable without revision Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable without revision Acceptable with revision
37
38 Nilai RPN yang diperoleh melalui analisis FMECA ini memperlihatkan tingkat kritis yang dimiliki oleh setiap titik kritis. Semakin tinggi nilai RPN maka semakin tinggi pula resiko titik kritis tersebut dalam menyebabkan kegagalan pada sistem sehingga titik tersebut pun memiliki tingkat prioritas yang tinggi untuk segera diberi tindakan koreksi. Untuk mempermudah pemberian tindakan koreksi, titik-titik kritis yang berhasil dideteksi pada sistem traceability ini pun ditempatkan pada matriks kritikal (Gambar 19). Berdasarkan hasil analisis, nilai RPN tertinggi diperoleh function ID 15.10 sebesar 600 dan menempati area unaccepatable pada matriks kritikal sedangkan untuk nilai terendah diperoleh function ID 18.10 sebesar 5,3 dan menempati area acceptable without revision pada matriks kritikal. Function ID 15.10 menunjukan kesalahan berupa tidak adanya pencatatan scrap atau limbah produk gagal secara terpisah berdasarkan varian permen dalam satu divisi produksi oleh pihak incinerator. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam perhitungan kesetimbangan massa proses produksi. Nantinya kesulitan dalam aktivitas perhitungan kesetimbangan massa proses produksi dapat menurunkan efisiensi kinerja sistem traceability. Luasan data informasi yang dikumpulkan akan menjadi lebih besar dan menyebabkan terjadi peningkatan kebutuhan waktu maupun tenaga selama aktivitas penelusuran. Selanjutnya function ID 18.10 menunjukan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perhitungan jumlah produk yang dikirimkan pihak produksi kepada FGWH melalui sistem konveyor tunnel. Nilai RPN yang rendah pada tahap ini didukung oleh keandalan penerapan sistem kerja yang baik dengan adanya pencatatan data pengiriman produk yang dilakukan oleh kedua pihak dan dokumentasi yang juga dilakukan pada sistem SAP.
Tingkat kemungkinan terjadinya kegagalan traceability
Tingkat kepelikan
I II
A
B
C
7.10 10.20 12.20 15.10
13.20
10.10 12.10 16.10
11.10
9.10 10.40
6.20 10.30 13.10 14.10 14.20 1.20 2.10 2.20 3.20 3.30 4.10 4.20 5.10 6.10 8.10 8.20 17.10 18.20 19.10 20.20 20.30 21.20 1.10 2.30 3.10 18.10 20.10 21.10
Unacceptable
Undesirable
Acceptable with revision
III
IV
Critical level
D
E
Acceptable without revision
Gambar 19 Hasil analisis CA pada matriks kritikal
39 Secara umum nilai RPN yang cukup tinggi didominasi oleh aktivitas yang terjadi di bagian produksi. Hal ini ditunjukan oleh function ID 10.20; 12.20; 13.20 yang menempati area unacceptable dan function ID 10.10; 11.10; 12.10 yang menempati area undesirable pada matriks kritikal. Function ID 10.20 berada pada tahapan proses pulling dengan indikasi kegagalan sistem berupa tidak adanya kegiatan dokumentasi terhadap BTP yang diterima dari pihak flavor room. Selain mengancam terjadinya kegagalan pada sistem traceability, tidak dilakukannya dokumentasi BTP akan menyulitkan kerja petugas secara langsung khususnya saat terjadi penundaan proses. BTP yang sudah diterima pihak produksi akan tertumpuk dan sulit dibedakan antar satu dengan yang lainnya. Akhirnya data informasi mengenai penggunaan BTP menjadi sulit untuk dideteksi secara akurat. Hal ini pun turut disebabkan oleh kesalahan yang terjadi pada tahapan kerja pihak flavor room seperti yang disebutkan pada function ID 7.10 yaitu tidak dilakukannya pelabelan identitas no. batch oleh petugas flavor room pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi. Selanjutnya function ID 13.20 berada pada tahapan transwrap dengan indikasi kegagalan sistem berupa rusak atau hilangnya formulir checklist intermediate. Hal ini dapat terjadi karena pelaksanaan pengarsipan yang kurang baik. Formulir ini berperan penting untuk mengetahui informasi masing-masing permen yang tercampur dalam satu kemasan produk. Bila formulir hilang maka akan terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi permen tersebut. Tak hanya itu bila formulir ini rusak atau hilang sebagaimana yang dijelaskan pada function ID 16.10 maka pihak copacking pun akan mengalami masalah yang serupa dalam pengidentifikasian permen yang akan dikemas oleh pihak ketiga. Selanjutnya hal ini pun akan mengacaukan sistem dokumentasi dan menyulitkan proses penelusuran informasi produk. Pada tahapan cut and wrap dapat diamati pula kesalahan berupa tidak dilaksanakannya dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan sedangkan scrap banyak dihasilkan pada tahapan dengan function ID 12.20 ini. Hal tersebut pun akhirnya turut menurunkan efisiensi kinerja sistem terkait dengan adanya kesulitan dalam perhitungan kesetimbangan massa. Selanjutnya function ID 10.10 mengindikasikan adanya kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch pada proses pulling. Apabila kesalahan ini terjadi maka dampak kegagalan sistem dapat langsung teramati pada sulitnya penelusuran lanjutan terhadap tahapan proses cut and wrap. Pada function ID 12.10 indikasi kegagalan sistem terdapat pada tahapan cut and wrap akibat didasari oleh kelalaian petugas dalam mendokumentasikan no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses. Bila kesalahan dari function ID ini terjadi bersamaan dengan dua function ID sebelumnya maka kegagalan sistem berupa terputusnya alur penelusuran data informasi produk pun akhirnya tidak dapat dihindari. Seperti yang dapat diamati sebelumnya pada matriks kritikal, sebagian besar titik kritis pada sistem traceability perusahaan masuk kedalam area acceptable with revision. Adapun indikasi penyebab kegagalan sistem pada function ID yang masuk dalam area tersebut umumnya didasari oleh kelalaian petugas dalam bekerja. Namun hal tersebut masih dapat ditanggulangi melalui penerapan manajemen pengawasan kerja yang lebih baik dan modifikasi pelaksanaan aktivitas dokumentasi untuk mempermudah sistem kerja yang akan dibahas secara mendalam pada subbab selanjutnya.
40 TINDAKAN KOREKSI PADA SISTEM TRACEABILITY Prioritas pemberian tindakan koreksi dimulai dari function ID di critical level unacceptable, undesirable, hingga acceptable with revision. Secara lengkap tindakan koreksi terhadap sistem traceability PT Sweet Candy Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya terlihat bahwa bagian produksi membutuhkan perhatian lebih dalam pemberian tindakan koreksi. Pada bagian ini titik kritis yang potensial menjadi penyebab kegagalan sistem traceability terpusat pada tahapan pulling hingga transwrap. Untuk mencegah potensi tersebut sebaiknya dilakukan upaya modifikasi sistem dokumentasi berupa penerapan sistem kanban di sepanjang tahapan pulling hingga transwrap yang juga meliputi tahapan co-packing. Kartu kanban yang diajukan akan berbentuk lembaran kertas berukuran polio dan mencakup data informasi produk mulai dari tahapan pulling hingga transwrap seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Kartu kanban tersebut akan menggantikan fungsi formulir non-document pulling dan formulir checklist intermediate. Nantinya pengisian kartu kanban akan dimulai oleh petugas pulling kemudian dilanjutkan hingga diterima oleh petugas transwrap maupun co-packing. Kartu kanban tersebut juga ditransmisikan selama proses produksi dengan mengikuti perpindahan produk ke tahapan proses selanjutnya. Hal ini pun harus turut didukung oleh sistem pengarsipan yang baik untuk menjamin kinerja sistem traceability yang maksimal. Melalui penerapan sistem kanban, kedisiplinan petugas dalam aktivitas dokumentasi juga menjadi lebih terpantau dengan baik karena kesalahan yang mungkin terjadi selama dokumentasi dapat terdeteksi secara langsung oleh petugas pada tahapan berikutnya. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja sistem traceability sebaiknya pihak produksi turut melakukan perhitungan jumlah output permen dalam satuan berat pada tahapan cut and wrap karena pada tahapan ini banyak dihasilkan scrap. Pihak incinerator juga sebaiknya mendokumentasikan jumlah scrap produk berdasarkan varian permen dalam satu divisi produksi. Jika keduanya tidak dilaksanakan maka akan menyulitkan perhitungan kesetimbangan massa proses produksi yang dibutuhkan untuk menentukan luasan dokumen yang digunakan dalam penelusuran produk maupun keakuratan aktivitas recall terhadap produk yang bermasalah. Selain bagian produksi, flavor room juga patut diberi tindakan koreksi. Terkait tidak adanya pelabelan identitas no. batch pada BTP yang diserahkan kepada pihak produksi maka sebaiknya pada transaksi serah terima BTP dilakukan dokumentasi no.order berdasarkan urutan pemesanan BTP untuk setiap divisi produksi yang melakukan pemesanan. Penetapan no. order sebagai target dokumentasi dianggap lebih mudah dan efisien dibandingkan no. batch yang terdiri dari deretan kombinasi huruf dan angka yang cukup panjang. Terlebih lagi dalam satu batch proses pulling juga dibutuhkan beragam campuran BTP. Oleh karena itu, dengan penggunaan no. order sebagai target dokumentasi maka keterbatasan ruang kolom pada dokumen pencatatan pun tidak menjadi masalah. Modifikasi sistem dokumentasi ini juga dinilai tidak rumit dengan hanya menambahkan kolom BTP pada buku laporan dan kartu kanban yang nantinya akan diterapkan.
41
Tabel 7 Tindakan koreksi pada sistem taceability PT Sweet Candy Indonesia Failure ID 7.10 10.20 12.20 15.10 13.20
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Tidak dilakukannya pelabelan identitas no. batch pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi Tidak dilakukannya dokumentasi no. batch BTP Tidak ada dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan per-shift Tidak ada dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah Formulir checklist intermediate rusak atau hilang
Posisi matriks
Critical Level
II-A
Unacceptable
II-A
Unacceptable
II-A
Unacceptable
II-A
Unacceptable
II-B
Unacceptable
Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch proses pulling Kesalahan dalam dokumentasi no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses per waktu Formulir checklist intermediate yang disertakan saat penerimaan mono hilang atau rusak
II-C
Undesirable
II-C
Undesirable
II-C
Undesirable
11.10
Formulir non-document pulling rusak atau hilang
III-B
Undesirable
6.20
Kesalahan dalam meng-input no. batch dan tanggal kadaluarsa BTP pada sistem SAP
II-D
Acceptable with revision
10.10 12.10 16.10
10.30 13.10
Kesalahan dalam melakukan dokumentasi no. batch asam sitrat Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan kode checklist intermediate
II-D II-D
Acceptable with revision Acceptable with revision
Tindakan Koreksi Membuat label khusus untuk setiap BTP atau sistem pencatatan manual untuk transaksi serah terima BTP dengan pihak produksi Memodifikasi buku laporan untuk dokumentasi tambahan berupa no. batch BTP Melakukan kegiatan dokumentasi kuantitas output permen secara terukur Melakukan kegiatan dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah Meletakan formulir pada posisi tray yang aman dan menerapkan sistem pengarsipan yang tertib Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan bekerja secara tertib sesuai SOP Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data Meletakan formulir pada posisi tray yang aman dan menerapkan sistem pengarsipan yang tertib Memodifikasi formulir atau kegiatan transaksi serah terima formulir Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan bekerja secara tertib sesuai SOP
41
42 42
(Lanjutan) Failure ID
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Posisi matriks
Critical Level
Tindakan Koreksi
14.10
Kesalahan dokumentasi no. karton pada stiker karton
II-D
Acceptable with revision
Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data
14.20
Kesalahan dalam merekatkan stiker identitas produk pada kemasan karton
II-D
Acceptable with revision
Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan bekerja tertib sesuai SOP
9.10
Kesalahan dalam mencatat kuantitas output adonan permen yang dihasilkan
III-C
Acceptable with revision
Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data
10.40
Kesalahan dalam menyiapkan formulir pulling untuk diserahkan kepada petugas di proses selanjutnya
III-C
Acceptable with revision
1.20
Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diterima pada sistem SAP
III-D
Acceptable with revision
Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP
2.10
Transfer slip tidak direkatkan pada bahan baku
III-D
Acceptable with revision
2.20
Transfer slip pada bahan baku rusak atau hilang
III-D
3.20
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
III-D
3.30
Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diserahkan pada sistem SAP
III-D
4.10 4.20
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan
III-D III-D
Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision
Selalu memastikan transfer slip turut direkatkan pada bahan baku sebelum disimpan di high rack Merekatkan transfer slip pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Merekatkan stiker pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP Merekatkan stiker pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data
43
(Lanjutan) Failure ID
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Posisi matriks
Critical Level
Tindakan Koreksi
5.10
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
III-D
Acceptable with revision
6.10
Kesalahan dalam menuliskan no. batch pada label larutan BTP campuran
III-D
Acceptable with revision
Merekatkan stiker pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan pedoman data pada sistem SAP dan data pada kondisi aktual Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dan segera memperbaiki data Merekatkan stiker pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP Selalu memastikan transfer slip turut direkatkan pada bahan baku sebelum disimpan di high rack Merekatkan transfer slip pada posisi yang aman dan memastikan kondisi terekat dengan sempurna Melakukan pemeriksaan hasil kerja secara teratur dengan membandingkan data pada kondisi aktual dan data yang ter-input di sistem SAP
8.10 8.20
Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
17.10
Kesalahan dalam meng-input diserahkan ke pihak ketiga
18.20
data
mono
yang
III-D III-D
Acceptable with revision Acceptable with revision
III-D
Acceptable with revision
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel pada sistem SAP
III-D
Acceptable with revision
19.10
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak ketiga pada sistem SAP
III-D
Acceptable with revision
20.20
Transfer slip tidak direkatkan pada barang jadi
III-D
20.30
Transfer slip pada barang jadi rusak atau hilang
III-D
21.20
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan ke distributor pada sistem SAP
III-D
Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision
43
44
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Saat ini penerapan sistem traceability di PT Sweet Candy Indonesia masih membutuhkan beberapa tindakan koreksi. Hasil pelaksanaan mock recall produk chewy candy dari bulan Januari 2012 hingga April 2012 menunjukan total rataan kebutuhan waktu untuk melakukan penelusuran data produk ialah sebesar 310 menit. Dengan terlewatinya batas standar maksimum sebesar 240 menit maka tingkat efektifitas dan efisiensi sistem traceability yang diharapkan masih belum dapat tercapai. Kebutuhan waktu ini didominasi pada kegiatan penelusuran data produk di bagian produksi yaitu sebesar 168,75 menit. Kesulitan dalam aktivitas pencarian dokumen menjadi faktor utama dalam besarnya kebutuhan waktu tersebut. Dalam pemberian tindakan koreksi, prioritas pun diterapkan berdasarkan urgensi tertinggi yang dimulai dari function ID di critical level unacceptable, undesirable, hingga acceptable with revision. Berdasarkan hasil analisis FMECA, kesalahan berupa tidak dilakukannya dokumentasi no.batch BTP oleh pihak flavor room dan produksi; tidak adanya perhitungan kuantitas permen pada tahapan cut and wrap, rusak atau hilangnya formulir checklist intermediate (pada bagian transwrap); dan tidak dilakukannya dokumentasi kuantitas scrap permen secara terpisah oleh pihak incinerator termasuk dalam area unacceptable dan memiliki prioritas lebih utama dalam tindakan koreksi dibanding kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch pada tahapan pulling dan cut and wrap; rusak atau hilangnya formulir non-document pulling dan formulir checklist intermediate (pada bagian copacking) yang termasuk dalam area undesirable. Oleh karena bagian produksi memiliki potensi kegagalan sistem terbesar dibanding bagian lain khususnya pada tahapan pulling hingga transwrap maka sistem kanban akan diajukan untuk diterapkan pada bagian tersebut. Selain itu tindakan koreksi juga patut diberikan pada bagian flavor room dan incinerator terkait upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi sistem traceability di perusahaan. SARAN Pencegahan terhadap potensi kegagalan sistem traceability di bagian produksi sebaiknya dilakukan dengan melakukan penerapan sistem kanban di seputar tahapan pulling hingga transwrap yang nantinya juga akan meliputi tahapan co-packing. Nantinya data produk akan menjadi lebih mudah terakses dalam satu kesatuan dan potensi kesalahan aktivitas dokumentasi dapat lebih terpantau. Namun penerapan sistem ini harus didukung oleh pelaksanaan sistem pengarsipan yang baik demi tercapainya tujuan. Selanjutnya perubahan format pada buku laporan terkait serah terima BTP antara pihak flavor room dan produksi perlu dilakukan dengan penambahan kolom khusus untuk pencatatan no. order BTP agar mempermudah penelusuran data BTP. Sebagai upaya dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja sistem traceability sebaiknya pihak produksi turut melakukan perhitungan jumlah output permen dalam satuan berat pada tahapan cut and wrap. Selain itu pihak incinerator diminta untuk mendokumentasikan data scrap produk secara terpisah berdasarkan varian permen dalam satu divisi produksi. Secara keseluruhan perusahaan juga disarankan untuk
45 melakukan peningkatan manajemen pengawasan kerja agar kedisiplinan petugas khususnya dalam aktivitas dokumentasi untuk keperluan sistem traceability dapat tetap terjaga dengan baik.
ACKNOWLEDGMENTS Penulis ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Ari Parwono, STP; Gursida Arjadisastra, STP; Suprianto Edy Satrio, STP; Harry Masruri, STP; Sukapdi Rizki, STP dan rekan-rekan lainnya atas saran dan bimbingan kepada penulis selama kegiatan magang di PT Perfetti Van Melle Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Aggelogiannopoulos D, Drosinos EH, Athanasopoulos P. 2007. Implementation of a quality management system (QMS) according the ISO 9000 family in a greek small-sized winery: A case study. Food Contr 18: 1077-1085. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 3547-2-2008: Kembang GulaBagian 2: Lunak. BSN, Jakarta. Becker GF, Drew EF. 1970. Fats, Oils, Hard Butters. Di dalam: Pratt CD, Vadetzsky ED, Langwill KE, McCloskey KE, Schuemann HW (Eds). Twenty Years of Confectionery and Chocolate Progress. The AVI Publishing Company, USA. Bennet GS. 2010. Food Identity Preservation and Traceability: Safer Grain. CRC Pr, NewYork. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo H, penerjemah; UI Pr, Jakarta. Terjemahan dari: Food Science. Bertolini M, Maurizio B, dan Roberto M. 2006. FMECA approach to product traceability in the food industry. Food Contr 17:137-145. Bowles JB dan Pelaez CE. 1995. Fuzzy logic priorization of failures in a system failure mode, effects, and criticality analysis. Reliability Eng and Sys Safety 50:203-213. Edward WP. 1999. Gum and Gelling Agents. Di dalam: Jackson EB (Ed). Sugar Confectionery Manufacture. Aspen Publichers, Maryland. Gaspersz V. 2001. Total Quality Management. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hancock JNS, Early R, dan Whitehead PD. 1999. Oils and Fats: Milk and Milk Products. Di dalam: Jackson EB (Ed). Sugar Confectionery Manufacture. Aspen Publichers, Maryland. Han F, Leong D. 2000. Productivity and Service Quality: An Essential Reading for Services Providers. Pearson Education Asia Pte, Singapore. [ISO]. International Organization for Standardization. 2007. Traceability in the Feed and Food Chain-General Principles and Basic Requirments for System Design and Implementation (22005:2007). ISO, Geneva. Junliang S, Ruixiang Z, Jie Zeng, Guanglei L, Xinhua L. 2010. Characterization of destrins with different dextrose equivalents. Molecul 15: 5162-5173.
46 Karlsen KM, Olsen P. 2011. Validity of method for analysing critical traceability points. Food Contr 22:1209-1215. Moe T. 1998. Perspective on food manufacture. Trends in food sci and tech 9:211-214. Morrison C. 2003. Traceability in Food Processing: an Introduction. Di Dalam: Lees M (Ed). Food Authenticity and Traceability. CRC Pr, New York. Nakai S, Modler HW. 1999. Food Proteins: Processing Applications. Wiley-VCH Inc., New York. Nasution MN. 2004. Manajemen Mutu Terpadu. Ghalia Indonesia, Bogor. Parker R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar, USA. Potter NN, Hotchkiss JH. 1995. Food Science 5th Edition. Chapman and Hall, New York. Poppe J. 1992. Gelatin. Di dalam: Imesson A (Ed). Thickening and Gelling Agent for Food. Blackie Academic and Professional, London. Stansell D. 1999. Caramel, Toffee, and Fudge. Di dalam: Jackson EB (Ed). Sugar Confectionery Manufacture. Aspen Publichers, Maryland. Suprianto. 2012. Parameter mutu permen kunyah. http://www.foodreview.biz/ preview.php?view2&id=55719#.UKnUbWdc63E [19 November 2012] Tahat MD, Mukattash AM. 2006. Design and analysis of production control scheme for Kanban-based JIT environment. J of Franklin Inst 343: 521-531. Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analaysis Critical Control Points). Bumi Aksara, Jakarta. US Military Standard. 1980. Procedures for performing a failure mode, effect, and criticality analysis (MIL-STD-1629A). Departement of Defense, USA. [WSDA] Washington State Department of Agriculture. 2010. Traceability and recall. WSDA, Washington DC.
47
Lampiran 1 Struktur organisasi PT Sweet Candy Indonesia
President Director
Human Resources
Purchasing
PPIC
Supply Chain
FGWH
FA & ICT
RMWH
IT
Finance
Sales and Marketing
Sales
Marketing
Technology
Manufacturing
Technical
SHE
Production
QC
QA
NPD
47
48 Lampiran 2 Alur sistem traceability pada proses produksi chewy candy di PT Sweet Candy Indonesia AWM Buku Laporan (FM/PRO/003) - No. batch (ddd/y/s/l/p)
Label Tag - No. material - No. batch (ddd/y/s/l/p)
RMWH 1. Transfer Slip 2. Order Slip
Label Tag - No. material - No. batch (ddd/y/s/l/p)
Flavor Room Label Tag - No. material - Deskripsi material campuran - Tanggal preparasi - Tanggal kadaluarsa - No. batch (k/ddd/hh.hh/dd.mm.yyy)
Produksi Cooker Buku Laporan (FM/PRO/201) - No. batch bahan baku cooker (ddd/y/s/l/p) Buku Laporan (FM/PRO/203) - No. batch bahan bakuFSA (ddd/y/s/l/p)
Kristalisasi Buss Buku Laporan (FM/PRO/205) - Kuantitas batch hasil kristalisasi gula - Waktu proses
Pulling Buku Laporan (FM/PRO/210) - No. batch asam sitrat (ddd/y/s/l/p) Buku Laporan (FM/PRO/206) - No. batch proses pulling (dd/mm/yy/xx) - Waktu proses - No. destinasi mesin cut and wrap Formulir non-document pulling - Varian permen - No. batch proses pulling - No. mesin pulling Flattener Formulir non-document pulling
Incinerator Buku Laporan (FM/PRO/215) - Kuantitas limbah keseluruhan dalam satu divisi produksi
Cut and Wrap Buku Laporan (FM/PRO/211) - No. batch proses pulling (dd/mm/yy/xx) - Varian permen - No. batch primary packaging (ddd/y/s/l/p) Checklist intermediate Tella - No.slip - kode checklist intermediate Tella (dd/mm/yy/hh/mc)
Co-packing Checklist intermediate Tella - No.slip - kode checklist intermediate Tella (dd/mm/yy/hh/mc)
Transwrap Buku Laporan (FM/PRO/214) - kode checklist intermediate Tella (dd/mm/yy/hh/mc) - No. batch produksi (L/xx/ddd/y/hh) - Tanggal kadaluarsa (dd/mm/yy) - No. artikel barang jadi
FGWH 1. Transfer Slip 2. Surat Jalan
49 Lampiran 3 Diagram proses pembuatan chewy candy Sukrosa Sirup Glukosa Air
Preparasi larutan gula
Penimbangan 1
Filtrasi
Gelatin Gum Arab Dextrin Lemak Tepung beras GMS
Pemasakan Preparasi larutan FSA Pencampuran 1
Evaporasi
Pendinginan
Penimbangan 2
Pencampuran 2
Pewarna Perisa Larutan asam
Pemipihan adonan
Penyimpanan di kabinet pemanas
Deteksi metal berbahaya
Lolos
ya Pencetakan
Pengemasan primer
Pengemasan Sekunder
Pengemasan Tersier
Penyimpanan di gudang
Scrap
50 50
Lampiran 4 Hasil analisis FMEA No.
Failure ID
1
1.10
Tahapan Proses
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Efek Lokal
Penerimaan bahan baku dari supplier
Surat jalan rusak atau hilang setelah diterima oleh petugas
Terjadi kesulitan dalam meng-input data pada sistem SAP
Tidak ada informasi mengenai bahan baku
Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diterima pada sistem SAP
Kesulitan dalam melacak bahan baku pada SAP
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Penyimpanan bahan baku di RMWH
Transfer slip tidak direkatkan pada bahan baku
Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Mengacaukan sistem pendataan pada SAP
Penyerahan bahan baku kepada pemesan
Transfer slip pada bahan baku rusak atau hilang Mislocation penyimpanan bahan baku di gudang RMWH Kesalahan dalam penerapan sistem FEFO (First Expired First Out) saat mengambil bahan baku pada high rack Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diserahkan pada sistem SAP
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Mengacaukan sistem pendataan pada SAP
Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku Kesulitan dalam melacak bahan baku pada SAP
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Petugas lalai untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan
Kesulitan dalam melacak bahan baku
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
Kesulitan dalam mengindentifikasi BTP
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
1.20 2
2.10 2.20 2.30
3
3.10 3.20 3.30
4
4.10
Preparasi gula di AWM
4.20 5
5.10
Penerimaan BTP oleh pihak flavor room dari RMWH
Efek Global
51
(Lanjutan) No.
Failure ID
6
6.10
Tahapan Proses Preparasi BTP
6.20 7
7.10
Pemesanan BTP oleh pihak produksi
8
8.10
Preparasi bahan baku di cooker
8.20 9
9.10
Kristalisasi di Buss
10
10.10
Pulling
10.20 10.30 10.40 11
11.10
Flattener
12
12.10
Cut and wrap
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Kesalahan dalam menuliskan no. batch pada label larutan BTP campuran Kesalahan dalam meng-input no. batch dan tanggal kadaluarsa BTP pada sistem SAP Tidak dilakukannya pelabelan no. batch pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
Efek Lokal Kesulitan dalam mengindentifikasi BTP Kesulitan dalam melacak BTP
Efek Global Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Kesulitan dalam mengindentifikasi BTP
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Kesulitan dalam melacak bahan baku Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku
Kesalahan dalam mencatat kuantitas output adonan permen yang dihasilkan
Kesulitan dalam menilai kerja dari proses produksi
Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch proses pulling Tidak dilakukannya dokumentasi no. batch BTP Kesalahan dalam melakukan dokumentasi no. batch asam sitrat Kesalahan dalam menyiapkan formulir pulling untuk diserahkan kepada petugas di proses selanjutnya Formulir non-document pulling rusak atau hilang Kesalahan dalam dokumentasi no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses per waktu
Kesulitan dalam mengindentifikasi proses kerja pulling Kesulitan dalam mengindentifikasi BTP Kesulitan dalam melacak bahan baku
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Tidak ada informasi untuk menghitung kesetimbangan massa proses produksi Tidak ada informasi valid dalam proses pulling Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Mengacaukan sistem pendataan pada tahapan proses selanjutnya
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Mengacaukan sistem pendataan pada tahapan proses selanjutnya
Kesulitan dalam melacak produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
51
52 52
(Lanjutan) Failure No. ID
Tahapan Proses
12
12.20
Cut and wrap
13
13.10
Transwrap
13.20 14
14.10
Cartoning
14.20 15
15.10
16
16.10
17
17.10
18
18.10
18.20
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Tidak ada dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan per-shift Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan kode checklist intermediate Formulir checklist intermediate rusak atau hilang Kesalahan dokumentasi no. karton pada stiker karton Kesalahan dalam merekatkan stiker identitas produk pada kemasan karton
Efek Lokal Kesulitan dalam menilai kerja dari proses produksi Kesulitan dalam melacak produk Kesulitan dalam mengindentifikasi produk Kesulitan dalam melacak produk Kesulitan dalam mengindentifikasi produk
Efek Global Tidak ada informasi untuk menghitung kesetimbangan massa proses produksi Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Tidak ada informasi untuk menghitung kesetimbangan massa proses produksi
Pencatatan data scrap ke incinerator
Tidak ada dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah
Kesulitan dalam menilai kerja dari proses produksi
Penerimaan mono dari pihak produksi oleh co-packing Penyerahan mono ke pihak ketiga oleh co-packing Penerimaan produk dari pihak produksi oleh FGWH
Formulir checklist intermediate yang disertakan saat penerimaan mono hilang atau rusak
Kesulitan dalam mengindentifikasi produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Kesalahan dalam meng-input data mono yang diserahkan ke pihak ketiga
Kesulitan dalam melacak produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Mengacaukan sistem pendataan pada SAP
Kesulitan dalam melacak produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
Kesalahan dalam menghitung produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel pada sistem SAP
53
(Lanjutan) No.
Failure ID
19
19.10
20
20.10
Penerimaan produk dari pihak ketiga oleh FGWH
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak ketiga pada sistem SAP
Efek Lokal
Efek Global
Keslitan dalam melacak produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Mengacaukan sistem pendataan pada SAP Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
20.30
Transfer slip pada barang jadi rusak atau hilang
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku Kesulitan dalam mengindentifikasi bahan baku
21.10
Kesalahan dalam menghitung kuantitas produk yang akan dikirim pada surat jalan
Menurunkan efisiensi waktu dalam bekerja
Mengacaukan sistem pendataan pada SAP
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan ke distributor pada sistem SAP
Kesulitan dalam melacak produk
Menurunkan keefisienan waktu dalam proses traceability
20.20
21
Tahapan Proses
Mislocation penyimpanan produk Penyimpanan produk di gudang FGWH
Pengiriman produk ke distributor 21.20
Transfer slip tidak direkatkan pada barang jadi
Lampiran 5 Hasil analisis FMECA oleh pakar I No.
Tahapan Proses
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Failure ID
S
O
D
RPN
1
Penerimaan bahan baku dari supplier
Surat jalan rusak atau hilang setelah diterima oleh petugas sehingga terjadi kesulitan dalam meng-input data pada sistem SAP Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diterima pada sistem SAP
1.10
3
2
2
12
2
Penyimpanan bahan baku di RMWH
1.20
5
2
2
20
Transfer slip tidak direkatkan pada bahan baku
2.10
4
2
3
24
Transfer slip pada bahan baku rusak atau hilang
2.20
4
2
3
24
Mislocation penyimpanan bahan baku di gudang RMWH
2.30
1
3
4
12
53
54 54
(Lanjutan) No. Tahapan Proses Penyerahan bahan 3 kepada pemesan
4 5 6 7 8 9 10
11 12
13 14
baku
Preparasi gula di AWM Penerimaan BTP oleh pihak flavor room dari RMWH Preparasi BTP Pemesanan BTP oleh pihak produksi Preparasi bahan baku di cooker Kristalisasi di Buss Pulling
Flattener Cut and wrap
Transwrap Cartoning
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Kesalahan dalam penerapan sistem FEFO (First Expired First Out) saat mengambil bahan baku pada high rack Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diserahkan pada sistem SAP Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan
Failure ID
S
O
D
RPN
3.10
1
3
5
15
3.20 3.30 4.10 4.20
5 5 5 5
2 3 2 3
4 4 4 3
40 60 40 45
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
5.10
5
2
4
40
Kesalahan dalam menuliskan no. batch pada label larutan BTP campuran Kesalahan dalam meng-input no. batch dan tanggal kadaluarsa BTP pada SAP Tidak dilakukannya pelabelan identitas no. batch pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam mencatat kuantitas output adonan permen yang dihasilkan Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch proses pulling Tidak dilakukannya dokumentasi no. batch BTP Kesalahan dalam melakukan dokumentasi no. batch asam sitrat Kesalahan dalam menyiapkan formulir pulling untuk diserahkan kepada petugas di proses selanjutnya Formulir non-document pulling rusak atau hilang Kesalahan dalam dokumentasi no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses per waktu Tidak ada dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan per-shift
6.10 6.20
5 7
3 3
3 5
45 105
7.10
7
10
6
420
8.10 8.20 9.10 10.10 10.20 10.30
5 5 6 8 7 7
2 2 4 4 10 2
4 4 6 7 7 4
40 40 144 224 490 56
10.40
5
5
5
125
11.10
5
7
5
175
12.10
7
5
5
175
12.20
7
10
7
490
Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan kode checklist intermediate
13.10
7
3
5
105
Formulir checklist intermediate rusak atau hilang
13.20
7
7
6
294
Kesalahan dokumentasi no. karton pada stiker karton
14.10
7
2
3
42
55
(Lanjutan) No. 14 15 16 17 18
19 20
21
Tahapan Proses
Cartoning Pencatatan data scrap ke incinerator Penerimaan mono dari pihak produksi oleh co-packing Penyerahan mono ke pihak ketiga oleh co-packing Penerimaan produk dari pihak produksi oleh FGWH
Penerimaan produk dari pihak ketiga oleh FGWH Penyimpanan produk di gudang FGWH
Pengiriman produk ke distributor
Failure ID
S
O
D
RPN
Kesalahan dalam merekatkan stiker identitas produk pada kemasan karton
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
14.20
7
2
3
42
Tidak ada dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah
15.10
8
10
7
560
Formulir checklist intermediate yang disertakan saat penerimaan mono hilang atau rusak
16.10
7
5
6
210
Kesalahan dalam meng-input data mono yang diserahkan ke pihak ketiga
17.10
5
2
5
50
18.10
1
2
3
6
18.20
5
2
3
30
19.10
5
2
3
30
Mislocation penyimpanan produk Transfer slip tidak direkatkan pada barang jadi
20.10 20.20
1 4
2 2
4 3
8 24
Transfer slip pada barang jadi rusak atau hilang
20.30
4
2
3
24
Kesalahan dalam menghitung kuantitas produk yang akan dikirim pada surat jalan
21.10
1
2
3
6
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirim ke distributor pada SAP
21.20
5
3
3
30
Failure ID
S
O
D
RPN
1.10
2
3
1
6
1.20 2.10 2.20
6 3 3
3 2 2
1 4 4
18 24 24
Kesalahan dalam menghitung produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel pada sistem SAP Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak ketiga pada sistem SAP
Lampiran 6 Hasil analisis FMECA oleh pakar II No. 1 2
Tahapan Proses Penerimaan bahan baku dari supplier Penyimpanan bahan baku di RMWH
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Surat jalan rusak atau hilang setelah diterima oleh petugas sehingga terjadi kesulitan dalam meng-input data pada sistem SAP Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diterima pada sistem SAP Transfer slip tidak direkatkan pada bahan baku Transfer slip pada bahan baku rusak atau hilang
55
56 56
(Lanjutan) No. Tahapan Proses Penyimpanan bahan baku di 2 RMWH Penyerahan bahan baku 3 kepada pemesan
4 5 6
Preparasi gula di AWM Penerimaan BTP oleh pihak flavor room dari RMWH Preparasi BTP
9 10
Pemesanan BTP oleh pihak produksi Preparasi bahan baku di cooker Kristalisasi di Buss Pulling
10
Pulling
11
Flattener
12
Cut and wrap
7 8
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability Mislocation penyimpanan bahan baku di gudang RMWH
Failure ID
S
O
D
RPN
2.30
1
2
5
10
Kesalahan dalam penerapan sistem FEFO (First Expired First Out) saat mengambil bahan baku pada high rack Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam meng-input data bahan baku yang diserahkan pada sistem SAP Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Petugas lalai untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan
3.10
1
3
5
15
3.20 3.30 4.10 4.20
5 6 5 5
2 3 2 2
5 5 5 5
50 90 50 50
Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang
5.10
5
2
5
50
Kesalahan dalam menuliskan no. batch pada label larutan BTP campuran Kesalahan dalam meng-input no. batch dan tanggal kadaluarsa BTP pada sistem SAP Tidak dilakukannya pelabelan identitas no. batch pada BTP yang akan diserahkan kepada pihak produksi Kesalahan untuk mencatat no. batch bahan baku pada buku laporan Label identitas berupa stiker kuning pada bahan baku rusak atau hilang Kesalahan dalam mencatat kuantitas output adonan permen yang dihasilkan Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan no. batch proses pulling Tidak dilakukannya dokumentasi no. batch BTP Kesalahan dalam melakukan dokumentasi no. batch asam sitrat Kesalahan dalam menyiapkan formulir pulling untuk diserahkan kepada petugas di proses selanjutnya Formulir non-document pulling rusak atau hilang Kesalahan dalam dokumentasi no.batch proses pulling dan varian flavor permen yang diproses per waktu
6.10
5
2
5
50
6.20
6
2
5
60
7.10
6
10
5
300
8.10 8.20 9.10 10.10 10.20 10.30
6 5 6 8 8 8
3 3 3 5 10 3
4 4 5 7 7 4
72 60 90 280 560 96
10.40
6
5
5
150
11.10
6
7
5
210
12.10
8
5
5
200
57
(Lanjutan) No.
Tahapan Proses
Kemungkinan Penyebab Kegagalan Sistem Traceability
Failure ID
S
O
D
RPN
Tidak ada dokumentasi kuantitas permen yang dihasilkan per waktu
12.20
8
10
8
640
Transwrap
Kesalahan dalam dokumentasi varian permen dan kode checklist intermediate
13.10
8
3
5
120
Formulir checklist intermediate rusak atau hilang
13.20
8
7
7
392
Kesalahan dokumentasi no. karton pada stiker karton
14.10
8
1
4
32
Kesalahan dalam merekatkan stiker identitas produk pada kemasan karton
14.20
7
1
4
28
Tidak ada dokumentasi kuantitas scrap berdasarkan varian permen secara terpisah
15.10
8
10
8
640
Formulir checklist intermediate yang disertakan saat penerimaan mono hilang atau rusak
16.10
8
5
7
280
Kesalahan dalam meng-input data mono yang diserahkan ke pihak ketiga
17.10
6
1
5
30
18.10
1
1
4
4
18.20
6
3
4
72
19.10
6
2
4
48
Mislocation penyimpanan produk
20.10
1
2
5
10
Transfer slip tidak direkatkan pada barang jadi
20.20
3
2
4
24
Transfer slip pada barang jadi rusak atau hilang
20.30
3
2
4
24
Kesalahan dalam menghitung kuantitas produk yang akan dikirim pada surat jalan
21.10
1
2
4
8
Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan ke distributor pada sistem SAP
21.20
6
2
4
48
14
15 16 17 18
19 20
21
Cartoning Pencatatan data scrap ke incinerator Penerimaan mono dari pihak produksi oleh co-packing Penyerahan mono ke pihak ketiga oleh co-packing Penerimaan produk dari pihak produksi oleh FGWH
Penerimaan produk dari pihak ketiga oleh FGWH Penyimpanan produk di gudang FGWH
Pengiriman distributor
produk
ke
Kesalahan dalam menghitung produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak produksi melalui sistem konveyor tunnel pada sistem SAP Kesalahan dalam meng-input data produk yang dikirimkan oleh pihak ketiga pada sistem SAP
57
Cut and wrap
13
52
12
57
58 Lampiran 7 Kartu kanban tahapan pulling hingga transwrap
59
RIWAYAT HIDUP Fitria Rizkyka lahir di Jakarta, 20 Juni 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Zulkifli Zaini dan Yorne. Penulis memiliki riwayat tempat studi di SD Muhammadiyah 12 Pamulang pada tahun 2002, SMP Negeri 19 Jakarta pada tahun 2005, dan SMA Negeri 70 Jakarta pada tahun 2008. Pada 2008 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor program studi Ilmu dan Teknologi Pangan serta memilih minor Manajemen Fungsional. Selama mengikuti program perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai program kepanitiaan mahasiswa diantaranya adalah menjadi anggota divisi Hubungan Masyarakat TPB Cup 2009, ISEE 2009, Tetranology 2009, Suksesi Himitepa 2009, SIMBIS IPB 2010, serta menjadi Master of Ceremony dalam acara Kapangan 2010 dan Public Discussion with Century Friends 2010. Selain itu penulis juga terdaftar sebagai pengurus dalam beberapa organisasi mahasiswa seperti Century (Center of Entrepreneurship Development for Youth) sebagai staf divisi Promotion and Marketing pada tahun 2008 sampai 2010, Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai staf divisi eksternal pada tahun 2009 sampai 2010, Majalah Emulsi sebagai staf divisi pemasaran dan sirkulasi pada tahun 2009 sampai 2011, dan Young On Top-IPB sebagai mentee pada tahun 2012 sampai 2013. Selama bergabung dalam organisasi tersebut, penulis mendapat beberapa tanggung jawab seperti memegang jabatan ketua divisi acara dalam PLASMA 2009, ketua divisi treasurer Access 2010, penanggung jawab kelompok dalam Baur 2010, dan ketua divisi acara SeminarYOT-IPB 2013. Selama menjalani aktivitas sebagai mahasiswa, penulis juga mengikuti beberapa kegiatan seminar, pelatihan, dan penyuluhan seperti Ifoodex 2012, pelatihan bahasa jerman di UPT IPB, dan penyuluhan keamanan pangan ke sekolah dasar sekitar kota Bogor. Pada tahun 2011, penulis juga berkesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Malaysia dalam program MIT di samping mendapat beasiswa dari program PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) DIKTI dan Bank Indonesia. Dalam penyelesaian tugas akhir, penulis melakukan kegiatan praktik kerja magang selama empat bulan di PT Sweet Candy Indonesia pada divisi Quality Assurance untuk melaksanakan penelitiannya yang berjudul Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis) dibawah bimbingan Prof Dr Ir Tien R. Muchtadi, MS dan Ari Parwono, STP.