57 EVALUASI REHAB MUSHOLLA KHOIRUS SUBBAN Deskripsi Umum
Musholla Khoirus Subban berada di RT 03 RW 03 Desa Banjaran. Pada mulanya musholla ini lebih terkesan sebagai musholla keluarga, karena meskipun penggunaannya tidak terbatas pada sebuah keluarga, namun pengelolaan musholla tersebut dilakukan oleh sebuah keluarga. Keluarga tersebut adalah keluarga pendiri musholla tersebut, yaitu keluarga Kyai Bizi. Jamaah Musholla Khoirus Subban berasal dari sekitar musholla berjumlah dua puluh lima rumah tangga dengan jumlah rumah tangga rata-rata memiliki empat anggota rumah tangga. Adapun pekerjaan jamaah musholla adalah 40% sebagai buruh, 32% pedagang kecil, 12% penjahit, dan 16% PNS. Jamaah tersebut memiliki seorang tokoh agama dan tiga orang tokoh masyarakat pada tingkat desa. Pada awalnya dana yang digunakan untuk mengelola musholla berasal dari hasil dari tanah sawah seluas 316 m2 yang diwakafkan oleh Kyai Bizi. Imam musholla setelah Kyai Bizi adalah Kyai Masduki Bizi, anak dari Kyai Bizi. Adapun pengurus musholla lama yang masih hidup hanya Kyai Masduki Bizi dan Masudi Bizi. Di dalam pengelolaan musholla tersebut, pengurus tidak diperbolehkan meminta sumbangan dari jamaah, hal tersebut sesuai dengan wasiat dari Kyai Bizi. Wasiat tersebut dibuat dengan alasan penarikan sumbangan dari jamaah dikhawatirkan akan memberatkan jamaah, sehingga jamaah menjadi enggan untuk beribadah di musholla tersebut. Model pengelolaan tersebut berlangsung sejak berdirinya musholla Tahun 1970 hingga sebelum rehab musholla ini. Model pengelolaan seperti tersebut di atas menyebabkan dana yang diperoleh untuk pengelolaan musholla sangat terbatas, akibatnya musholla tampak kurang terpelihara. Jamaah sudah lama mengeluhkan keadaan musholla tersebut, namun mereka tidak berani menyampaikan kepada Kyai Masduki karena model pengelolaan tersebut,
hingga
pada
bulan
puasa
(Oktober)
2005
jamaah
berani
untuk
mengungkapkannya pada Kyai Masduki dan bermaksud untuk merehab musholla. Pada awalnya Kyai Masduki menolak dengan dasar wasiat ayahnya dan tidak ingin membebani jamaah, namun setelah diberi penjelasan bahwa keinginan tersebut benarbenar dari jamaah, maka Kyai Masduki pun mengijinkannya.
58 Pada bulan yang sama dibentuklah panitia rehab sekaligus restrukturisasi pengurus musholla oleh jamaah. Sumber dana yang direncanakan panitia untuk kegiatan rehab tersebut berasal dari sumbangan jamaah dan masyarakat Desa Banjaran, klentung (kotak amal) pada pelaksanaan Sholat Hari Raya dan pengajian rutin, hasil dari tanah wakaf, dan pengajuan proposal permohonan bantuan kepada Bupati Pemalang, namun proposal permohonan bantuan kepada Bupati Pemalang hingga pelaksanaan rehab musholla tidak membuahkan hasil, sehingga dana rehab musholla murni berasal dari masyarakat. Sumbangan masyarakat tidak hanya berupa uang, namun juga berupa material seperti semen, dan sumbangan tenaga. Rehab musholla yang sudah terlaksana meliputi pengeramikan lantai, pelapisan dinding dengan keramik setinggi 60 cm, pemasangan kipas angin, penggantian pintu dan jendela, pemasangan lubang angin, serta pengecatan ulang dinding musholla. Pelaksanaan rehab berlangsung selama 20 hari secara gotong royong. Panitia hanya membayar tenaga profesional yaitu bagi tukang kayu dan tukang batu, sedangkan masyarakat yang membantu rehab hanya disediakan makanan kecil, minuman, dan rokok. Panitia berdasarkan aspirasi dari jamaah juga bermaksud untuk merehab tempat wudu, namun karena dana yang ada sudah habis, maka untuk sementara kegiatan hanya sampai pada fisik musholla tersebut. Pada rehab fisik tersebut pun masih belum benar-benar selesai, kayu pada jendela dan pintu baru pada musholla tersebut belum bisa dicat, karena kendala dana tersebut. Namun demikian berdasarkan hasil wawancara, para jamaah merasa bombong (lega), kini mereka merasa nyaman untuk beribadah di Musholla Khoirus Subban tersebut, dan kenyamanan beribadah akan mempengaruhi kekhusuan dalam beribadah.
Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Kegiatan
rehab
musholla
tersebut
tidak
berkaitan
langsung
dengan
pengembangan ekonomi masyarakat, sebab kegiatan tersebut tidak bernilai ekonomis namun bernilai sosial religi. Rehab musholla dimaksudkan agar para jamaah dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman, sehingga ibadah dapat dilaksanakan dengan khusu. Di samping itu, dengan turut serta membantu rehab musholla, masyarakat mempunyai keyakinan dan dorongan religi untuk memperoleh pahala.
59 Meskipun kegiatan tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan pengembangan
ekonomi
masyarakat,
namun
ada
keyakinan
religi
yang
menghubungkan dengan aspek ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, masyarakat meyakini bahwa dengan ibadah yang khusu maka akan mendekatkan diri mereka dengan Allah SWT, sehingga mereka yakin, dengan dekatnya mereka denga Allah SWT, maka mereka akan hidup berkecukupan. Kehidupan yang berkecukupan dalam hal ini mencakup dua aspek, yaitu cukup dalam arti secara material dicukupi oleh Allah SWT, dan cukup dalam arti apapun yang mereka dapatkan dan miliki terasa cukup. Keyakinan religi
telah mendorong masyarakat untuk
rela memberikan
sumbangan baik uang maupun tenaga, namun disayangkan pemanfaatan hal tersebut baru sebatas untuk fisik bangunan musholla, padahal sumbangan tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengembangan ekonomi sebagaimana penjelasan Qardhawi (1995). Islam, sebagai agama yang dipeluk masyarakat tersebut mempunyai ajaranajaran mulia berupa kewajiban dan anjuran untuk menyisihkan harta untuk diberikan kepada pihak yang membutuhkan, yang disebut sebagai zakat, dan shodaqoh. Penggunaan sumbangan tersebut di dalam Islam tidak hanya berfungsi untuk membangun tempat ibadah, namun juga membangun ekonomi masyarakat. Jadi kegiatan rehab tersebut memang tidak secara langsung berhubungan dengan pengembangan ekonomi masyarakat, namun keyakinan, motivasi, dan nilai religi yang ada dapat dipergunakan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat. Keyakinan akan rasa cukup pada harta akan membendung sifat tamak, sehingga penggunaan cara-cara buruk untuk mendapatkan harta dapat dihindarkan. Dengan demikian melalui kegiatan musholla, ekonomi masyarakat agar dapat lebih diperhatikan.
Pengembangan Modal Sosial
Sumber-sumber
daya
yang
dimiliki
oleh
masyarakat
dalam
rangka
pemberdayaan masyarakat merupakan modal. Modal tersebut berupa modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal yang disetarakan dengan modal-modal tersebut yaitu modal sosial, karena dapat dikelola menjadi suatu aktivitas gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama, tujuan yang tegas, serta kesadaran dan kesengajaan (Daryanto, 2004). Selanjutnya Daryanto menjelaskan bahwa pengelolaan modal sosial dapat menyumbang pada pembangunan ekonomi
60 karena adanya jaringan, norma, dan kepercayaan di dalamnya yang menjadi kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. Modal sosial menurut Putnam (1993a) cenderung kepada ciri-ciri organisasi sosial, yaitu jaringan, norma-norma, dan kepercayaan. Struktur masyarakat juga merupakan bentuk modal sosial ( Dasgupta dan Ismail Serageldin, 2000). Fukuyama (2001) juga melihat gotong-royong sebagai modal sosial dengan alasan hal tersebut merupakan wujud kemampuan yang timbul dari rasa percaya masyarakat. Kerjasama dalam aktivitas gotong royong tersebut dilandasi oleh norma-norma informal dalam masyarakat. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam kegiatan rehab tersebut. Partisipasi dilakukan secara sukarela oleh masyarakat. Penggalangan partisipasi tersebut dilakukan oleh masyarakat yang diamanahkan kepada panitia rehab. Kegiatan rehab musholla yang dilakukan oleh masyarakat Desa Banjaran merupakan kegiatan gotong royong yang secara otomatis mengandung modal sosial di dalamnya. Kerjasama antar warga terlihat dengan adanya partisipasi dari masyarakat dalam memberikan sumbangan baik uang, material , maupun tenaga, sedangkan secara operasional langsung dilaksanakan oleh panitia rehab yang juga berasal dari masyarakat. Masyarakat melakukan rehab musolla karena merasa prihatin dengan keadaan musholla yang kurang terpelihara, dan adanya keinginan untuk melakukan ibadah dengan tenang dan khusu. Dengan demikian kegiatan rehab tersebut dilandasi oleh modal sosial berupa nilai-nilai solidaritas dan religi. Modal sosial tersebut telah terlembaga ke dalam organisasi sosial berupa jamaah musholla yang dilengkapi dengan pengurus musholla dan panitia rehab. Modal sosial yang ada di masyarakat tersebut menunjukkan kuatnya ikatan intra komunitas dan tingginya modal sosial masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kegiatan rehab musholla tersebut yang digerakkan oleh modal
sosial yang
dimiliki oleh masyarakat. Empat sumber dana yang direncanakan oleh panitia, namun hanya tiga sumber dana dari masyarakat dapat terealisasi, yaitu dari sumbangan jamaah dan masyarakat, klentung, dan hasil tanah wakaf, sedangkan proposal yang diajukan kepada Bupati Pemalang belum terealisasi. Modal sosial masyarakat tinggi sedangkan pemerintah kurang berfungsi, sehingga dalam kuadran dimensi modal sosial kegiatan tersebut berada pada kuadran coping. Dimensi integritas organisasional dan sinergitas antara tokoh agama dan pemerintah tidak berjalan dengan baik. Dimensi modal sosial dalam kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam kuadran berikut :
61 Gambar 5.
Kuadran Dimensi Modal Sosial Rehab Musholla Khoirus Subban
Functioning Goverment Social-Economic well being
Latent Conflict
Modal Sosial rendah
Modal Sosial tinggi
Rendah
Tinggi Coping Conflict Rehab Musholla
Disfunctioning Goverment Selain solidaritas dan nilai religi, modal sosial yang ada di Desa Banjaran tersebut juga berupa kepemimpinan tokoh agama. Meskipun dalam kegiatan rehab tersebut ada semacam ”ketidak patuhan” jamaah pada kyai, namun hal tersebut hanya karena kesalahpahaman. Pada dasarnya masyarakat cukup patuh pada kyai, sehingga untuk mengutarakan maksud merehab musholla secara partisipatif tertunda sekian lama. Gillin (dalam Soemardjan & Soemardi, 1964) menjelaskan bahwa kelembagaan dapat terdiri dari aksi, ide, kebiasaan, dan seperangkat adat. Berdasarkan pendapat Uphoff (1992), norma juga merupakan kelembagaan. Sementara itu berdasarkan Polak (1966) kelembagaan merupakan sebuah sistem peraturan-peraturan yang bertujuan mengatur pola hubungan antar manusia di dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Berdasarkan
pengertian-pengertian
tersebut,
kegiatan rahab musholla tersebut
mempunyai unsur kelembagaan. Kegiatan rehab tersebut merupakan aksi bersama yang mempunyai aturan-aturan dalam pola hubungan antar manusia. Kelembagaan dalam kegiatan rehab tersebut sudah berwujud organisasi sosial, yaitu jamaah musholla yang mempunyai pengurus, dan membentuk kepanitiaan dalam melaksanakan
rehab
musholla
tersebut.
Kegiatan
tersebut
termasuk
kategori
kelembagaan participatory karena kelembagaan tersebut muncul dan dikelola oleh masyarakat secara partisipatif. Pelayanan dan peran serta dalam kegiatan rehab tersebut berjalan dengan seimbang, masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan
62 rehab, dan panitia mengkoordinir dan melaksanakan rehab tersebut guna memberikan kenyamanan bagi jamaah dalam melaksanakan ibadah, sedangkan pengelolaan (governance) dilakukan dengan baik, hal itu terlihat dari berhasilnya kegiatan rehab sejauh ini. Sebuah kelembagaan dengan keseimbangan antara peran serta dan pelayanan, serta dengan pengelolaan yang baik, maka kelembagaan tersebut akan bersifat sustain (berkelanjutan). Dengan demikian kelembagaan tersebut dapat digambarkan dalam kuadran berikut : Gambar 6.
Kuadran Tipologi Kelembagaan Rehab Musholla Khoirus Subban Good Governance Semi Sustain kendala manajemen Sustain Tinggi Rendah
Keseimbangan pelayanan dengan peran serta
Keseimbangan pelayanan dengan peran serta
Semi Sustain kendala governance
Tidak Sustain
Bad Governance
Sztompka (2004) memberikan batasan definisi gerakan sosial sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Adanya tindakan bersama (kolektif), Mempunyai tujuan bersama untuk suatu perubahan, Kolektifitas lebih rendah dari organisasi formal, Tindakan spontanitas dan tak terlembaga.
Jadi gerakan sosial merupakan tindakan kolektif masyarakat yang bermaksud mengadakan suatu perubahan sesuai dengan tujuan bersama melalui pengorganisasian yang longgar tak terlembaga. Gerakan sosial bukanlah suatu kerumunan, oleh karena itu Giddens (1979) membatasi gerakan sosial dengan adanya tujuan bersama dan tujuan tersebut bukan hanya sementara, namun mempunyai tujuan jangka panjang (Sunarto, 1993). Berdasarkan pendapat Gidden dan Sunarto tersebut, penulis kurang sependapat dengan Sztompka yang membatasi gerakan sosial pada tindakan spontanitas dan tak
63 terlembaga. Gidden menjelaskan adanya tujuan bersama, dan Sunarto menambah bahwa tujuan tersebut dapat berupa tujuan jangka panjang, sehingga untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut tidak mungkin melalui tindakan spontanitas, bahkan diperlukan pelembagaan masyarakat dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kegiatan rehab Musholla Khoirus Subban yang merupakan bagian dari kegiatan musholla tersebut secara utuh merupakan sebuah gerakan sosial. Tujuan dari rehab tersebut adalah untuk mendapatkan kenyamanan dalam beribadah. Tujuan tersebut akan terus berlangsung dalam jangka panjang, dan mempunyai tujuan jangka panjang lainnya berupa kekhusukan dalam beribadah yang akan mempengaruhi seluruh hidup jamaah, sedangkan aras perubahan yang diharapkan berada pada perubahan orang perorang. Dengan demikian kegiatan tersebut mempunyai ayunan skala perubahan dari skala sebagian ke skala menyeluruh,sehingga tipe gerakan sosial tersebut berayun dari gerakan sosial tipe alternative ke tipe redemptive. Orientasi perubahan gerakan sosial tersebut adalah orientasi nilai, yaitu mendapat kekhusukan dalam melakukan sholat yang selanjutnya dapat menghasilkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Masyarakat melakukan kegiatan rehab karena adanya solidaritas yang muncul karena adanya nilai-nilai religi yang diyakini dan menjadi faktor internal yang memotivasi individu dan masyarakat untuk memberikan sumbangan dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian locus of control yang dominan pada masyarakat ada pada faktor internal. Kegiatan Musholla Khoirus Subban sementara ini baru menekankan pada kegiatan fisik bangunan musholla, meskipun ada program pengajian rutin setiap Kamis malam, namun materi pengajian hanya bersifat spiritual dan kurang menggunakan potensi yang ada untuk pengembangan masyarakat lebih lanjut. Padahal dalam ajaran Islam, kegiatan musholla juga bisa meliputi aspek kesejahteraan lainnya disamping aspek mental spiritual. Secara kelembagaan, musholla bisa mengembangkan programprogram kesejahteraan lainnya, seperti santunan pada fakir miskin, pemberian modal, memberikan pendidikan etos kerja Islam, taktik bisnis Islam, kesehatan, dan sebagainya. Program tersebut dapat dilaksanakan dengan dana operasional dari zakat dan shodaqoh dari masyarakat, serta membuat jaringan dengan pihak-pihak terkait. Gerakan sosial masyarakat Desa Banjaran tersebut dapat diperkuat melalui pengerahan sumber daya secara lebih optimal baik berupa kepemimpinan, organisasi
64 dan keterlibatan musholla dalam aspek kehidupan masyarakat yang lain. Dengan demikian advokasi harus dilakukan. Sasaran advokasi dapat ditujukan kepada Pemerintah Desa Banjaran, Pemerintah Kabupaten Pemalang, serta Departemen Agama. Tujuan dari advokasi adalah agar musholla mendapat perhatian yang baik dari pemerintah, dan dapat dilibatkan dalam program kesejahteraan lainnya.
Kebijakan dan Perencanaan Sosial
Titmus dalam Suharto (2005b) mendefinisikan kata Kebijakan sebagai ”prinsipprinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu”. Adapun Thomas Dye dalam Tjokroamidjojo (1988) mendefinisikan kebijakan sebagai ”apa yang dipilih oleh oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Conyers (1992) menjelaskan bahwa hak dasar yang dalam kata lain hak azasi manusia seperti hak hidup, menyatakan pendapat secara bebas, juga hak sosial seperti hak dalam memperoleh
pendidikan,
pekerjaan,
perumahan,
atau
berpartisipasi
dalam
pembangunan tersebut terangkum dalam kata Sosial. Berdasarkan pengertian kebijakan dan sosial tersebut, maka kebijakan sosial dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan pemerintah sebagai pihak yang berwenang yang diarahkan kepada penanganan masalah-masalah sosial yang ada pada warga negara. Masalah-masalah sosial yang dimaksud menyangkut kebutuhan-kebutuhan dasar warga negara baik sandang, pangan, papan, terjaminnya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Di dalam prosesnya, kebijakan sosial melalui tahapan perencanaan, yang berarti serangkaian tindakan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan dari kebijakan sosial tersebut. Pengertian kebijakan sosial di atas menekankan pada tanggung jawab pemerintah, namun paradigma baru pembangunan menuntut adanya partisipasi aktif dari masyarakat, sehingga kebijakan sosial menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat termasuk swasta. Kesejahteraan yang menjadi tujuan meliputi segenap aspek baik jasmani, rohani, maupun sosial sebagaimana penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 . Kegiatan yang dilakukan oleh jamaah Musholla Khoirus Subban tersebut bukan merupakan kebijakan sosial kaena murni dari masyarakat, oleh karena itu pembahasan
65 kebijakan sosial dilakukan dalam perspektif masyarakat, artinya masyarakat seolah-olah bertindak sebagai pemerintah yang melakukan pengaturan, yaitu pengaturan untuk diri sendiri. Jadi kebijakan sosial tersebut berada pada aras masyarakat sendiri yang dioperasionalkan oleh pengurus musholla untuk memberikan pelayanan pada jamaah, dengan peranserta aktif dari jamaah dan masyarakat. Proses penyusunan kebijakan dalam kegiatan musholla ini memang tidak sepenuhnya sistematis dan tertulis. Panitia tidak menuliskan perencanaannya secara terpisah melainkan dalam penyusunan proposal. Berdasarkan proposal
permohonan
bantuan bagi rehab musholla, visi dari kegiatan ini adalah terciptanya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, sedangkan misinya adalah mendapatkan kenyamanan dalam beribadah. Selanjutnya sasaran kegiatan, dana yang direncanakan, macammacam kegiatan, dan susunan kepanitiaan juga tertulis dalam proposal tersebut. Namun semua hal tersebut tidak ditulis secara rinci. Deskripsi dan pembagian tugas, rincian kegiatan, dilakukan secara lisan dalam rapat-rapat panitia. Bahkan penggantian jendela dan pintu musholla tidak terencana dalam rapat panitia, namun hanya hasil obrolan santai setelah pengeramikan lantai. Proses tersebut menunjukkan perencanaan yang kurang sistematis, akibatnya anggaran yang dibutuhkan membengkak. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal, perencanaan dibuat secara lebih sistematis dan matang. Di dalam kegiatan rehab tersebut, faktor dana masih menjadi kendala, sehingga kegiatan rehab harus disesuaikan pula dengan anggaran yang direncanakan dengan baik. Berdasarkan visi dan misi kegiatan rehab tersebut, maka kesejahteraan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan dalam aspek rohani. Aspek lainnya hanya merupakan tujuan lanjut dari aspek rohani tersebut. Kegiatan yang memperkuat pencapaian aspek rohani tersebut adalah pengajian rutin setiap Kamis malam. Guna memperkuat kapasitas jamaah, kegiatan pengajian dapat divariasi dengan materi etika Islam, etos kerja Islam, taktik dagang Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Programprogram untuk kebutuhan fisik juga perlu direncanakan, karena musholla mempunyai potensi untuk melaksanakan program-program tersebut.
66 Evaluasi Umum
Kegiatan rehab Musholla Khoirus Subban berjalan dengan partisipasif. Modal sosial telah berkembang dalam bentuk kelembagaan, serta menjadi unsur gerakan sosial. Ketiga aspek tersebut, baik modal sosial, kelembagaan, dan gerakan sosial musholla perlu untuk lebih diperkuat kembali. Penguatan terhadap kelembagaan berarti penguatan terhadap modal sosial, sedangkan untuk memperkuat gerakan sosial, maka kapasitas kelembagaan harus diperkuat terlebih dahulu. Selama ini musholla hanya terkesan sebagai tempat ritual ibadah, baik sholat maupun pengajian. Padahal fungsi musholla yang sebenarnya tidak hanya sebatas ritual ibadah
saja.
Sosialisasi
tentang
fungsi
musholla
yang
selengkapnya
harus
dilaksanakan, sehingga masyarakat dengan modal sosial yang ada dapat terkoordinir lebih baik. Bermodalkan keyakinan dan kepatuhan kepada agama yang tinggi, maka kepercayaan antar warga dapat terbangun lebih tinggi, karena Islam telah mengajarkan pentingnya kejujuran, keadilan, dan etika baik dalam berhubungan antar manusia sehari-hari maupun dalam hubungan yang bersifat ekonomis. Kegiatan rehab musholla tersebut tidak diprogramkan secara rutin, kegiatan tersebut dilakukan berdasarkan keperluan saja, sehingga pelaksanaan kegiatan kurang optimal. Melalui pemrograman yang terukur kendala yang mungkin muncul akan dapat diantisipasi, kebutuhan-kebutuhan dapat diprioritaskan secara tepat.