JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
EVALUASI POTENSI UNIT PRODUKSI DALAM PEMBINAAN JIWA WIRAUSAHA SISWA DAN GURU SMK Adi Sutopo Jurusan PTE, Fakultas Teknik, Unimed
[email protected]
Abstract This study aims to reveal how the implementation of the existing production Vocational Services Unit (VSU), include: 1) implementation of the VSU to improve the students' competence; 2) implementation of the VSU as a means of learning and entrepreneurship, for students and teachers as well as provide operational support school. This study is the evaluation of the CIPP model and Logic models. The study population was a Vocational Technology in DIY and samples taken by purposive sampling, include: SMKN 2 Jetis Yogyakarta; SMKN 2 Depok Sleman; SMKN 2 Kulon Progo and SMKN 2 Wonosari Gunung Kidul. Retrieval and quantitative data collection using questionnaires, while the qualitative data using interviews, in-depth observation and documentation. Quantitative data analysis using descriptive analysis, while qualitative analysis using a model of Miles and Huberman. The results showed bahwaVSU at SMK DIY able to build entrepreneurship in the form of: (a) human resource management and sarpras in school for business activities, (b) the operational contribution that the contribution of electricity costs, maintenance tools wear out, and the addition of supporting tools and the main to practice/production services, (c) add to the welfare of the school community in the form of additional honoraria for implementers, giving holiday allowance for all teachers and employees; (d) establish cooperative relationships with industry. Keywords: unit production services, the ability of competence, vocational A. Pendahuluan
Masalah kewirausahaan menjadi perhatian pemerintah untuk dapat menyerap tenaga kerja yang terus meningkat dari tahun ke Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
87
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
tahun. Sementara itu kewirausahaan di Indonesia masih rendah dibandingkan jumlah penduduk yang ada. Idealnya suatu negara menjadi makmur minimum jumlah wirausahawan 2%, sementara Indonesia th 2007 hanya 0,18% atau ± 400.000 (Suyanto, 2008). Selanjutnya Edy Putra Irawady mengatakan pemerintah menargetkan penambahan lima juta wirausaha baru hingga 2025 dengan mengembangkan sumber daya manusia untuk kemajuan wirausaha nasional (Antaranews, 2014). Salah satu upaya pengembangan kewirausahan adalah melalui pendidikan, khususnya pendidikan SMK dan perguruan tinggi. Oleh karena itu dalam pendidikan materi kewirausahaan dan kegiatan yang mengarah pada usaha kewirausahaan menjadi penting. Pendidikan kewirausahaan yang seharusnya dilakukan adalah dengan pemberian materi kewirausahaan pada sekolah-sekolah, pengembangan Bisnis Center di SMK-SMK dan program magang pada SMK (Suyanto, 2008). Namun demikian masalah kewirausahaan di Indonesia masih banyak mengalami masalah seperti yang kemukakan Muhaimin Iskandar bahwa pengembangan wirausahaan di Indonesia tersendat yang diakibatkan oleh tiga hal yaitu: banyaknya barang impor, permodalan dan kesenjangan antara kurikulum formal dengan keahlian siswa (detikfinance, 2012). Selain itu pengembangan program magang bagi SMK menghadai masalah karena pertumbuhan jumlah siswa SMK lebih tinggi dengan pertumbuhan industri, bahkan pada tahun 2007 prosentasenya dibandingkan SMA telah mencapai 41:59 dan terus didorong hingga mencapai 70:30 di tahun 2015 (Dikmenjur, 2007). Menghadapi kondisi tersebut sangat memungkinkan bagi SMK untuk mengembangkan unit produksi yang diharapkan dapat memberikan pengalaman kerja yang nyata pada siswa sebagai pengganti praktik industri dan sekaligus untuk menumbuhkan jiwa wirausaha (Dikmenjur, 2004). Hal ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 menyatakan bahwa sekolah kejuruan dapat memiliki dan mengembangkan unit produksi yang dikelola secara profesional dan berorientasi pada keuntungan (profit). Lebih lanjut Wardiman Djojonegoro (1998: 49) menyatakan ”unit produksi dapat menumbuhkan swadana bagi sekolah sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana dari pusat dan dapat meningkatkan
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
88
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
kesejahteraan guru dan karyawan yang terlibat dalam pengelolaan unit produksi”. Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa unit produksi memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha, pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja siswa melalui belajar secara langsung. B. Kajian Pustaka
1. Sekolah Menengah Kejuruan Undang-undang pendidikan No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 menyatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (UU Sistem Pendidikan Nasional, 2003). Wardiman (1998: 59) menyatakan bahwa tugas dan peranan SMK adalah: (a) Menghasilkan tamatan yang memiliki keterampilan dan penguasaan iptek dengan bidang keahlian sesuai kebutuhan; (b) Menghasilkan tamatan yang memiliki kemampuan produktif; (c) Menghasilkan tamatan yang berkualitas tinggi dan memiliki keunggulan dan mampu berperan sebagai faktor keunggulan kompetitif industri Indonesia; dan (d) Menghasilkan tamatan yang memiliki bekal kemampuan dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang kuat. Berdasarkan hal itu maka proses kegiatan belajar mengajar didasarkan pada filosofi Essentialism, Existentialism dan Pragmatism. Makna dari ke tiga filosofi tersebut seperti dinyatakan Miller (Stroan, 1996: 1-2) yaitu: (a) Essentialism: the educator or trainer is the focal point of the learning prosess; mastery of subyect matter is important; development of skills through drills, repetition, conditioning, and development of desirable habits; a desire to influence the behavior of learner; (b) Existentialism: the leaner is the focus of the learning process; truth is relative; and personal growth and development are key to the process; and (c) Pragmatism; The educator and learner are both important to the learning process; reality or real world-situation are stressed; context and experience are important, and educator is progressive, and open to new ideas
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
89
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Oleh karena sekolah kejuruan berorientasi pada kerja, maka standar kualitas lulusan sekolah kejuruan ditentukan dua hal yaitu kemampuan yang ditetapkan sekolah dan kemampuan yang dapat diterima industri. Kesuksesan pendidikan kejuruan didasarkan pada dua kriteria yaitu: in school success standard dan out of school success standard Finch dan Crunkilton (1979: 11). Kriteria pertama adalah kemampuan unjuk kerja siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar, yaitu penilaian didasarkan struktur kurikulum dalam bentuk nilai di raport atau ijazah. Kriteria kedua merupakan kemampuan unjuk kerja siswa sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, yaitu keberhasilan dan kesuksesan siswa di tempat kerja berupajabatan dan penghasilan yang diterima (long term outcome). 2. Unit Produksi
Unit produksi merupakan kegiatan usaha yang dapat berupa proses produksi maupun jasa yang dikelola dan dilaksanakan sekolah. Unit produksi merupakan sarana pembelajaran dan berwirausaha bagi siswa dan guru serta memberi dukungan biaya operasional sekolah (Direktorat Pembinaan SMK , 2007:1). Sebagai sarana pembelajaran karena tempat belajar dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja bagi guru dan dan sebagai sarana berwirausaha karena guru dan siswa berlatih mengelola dan melaksanakan kegiatan usaha sehingga keberlangsungan kegiatan unit produksi dapat terjaga. Prinsip kegiatan ekonomi di sekolah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kegiatan produksi/jasa dapat disamakan dengan teaching factory atau learning factory yang dikembangkan di negara lain. The learning factory is an industry-university partnership to produce world-class engineers by integrating design, manufacturing and business realities into the engineering curriculum. It integrates a practice-based curriculum and physical facilities for product realization (Lamancusa, Jorgensen, Castro, et. al, 2001: 12) Seperti halnya learning factory, konsep teaching factory memiliki makna yang sama seperti yang dikemukakan Alptekin, Reza, McQuaid, et al. (2001:1)yaitu: The teaching factory will have dual purpose. One is to enable to develop small-scale industrial product or consumer goods. The development will involve creating a prototype, reviewing various Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
90
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
aspects of mass manufacturing, and verifying the suitability and feasibility of relevant design parameters using the hardware of teaching factory. The second purpose is to provide tools for planning and controlling of required manufacturing operations for building small quantities of the verified designs. For this objective, a production planning and control center will be developed to stimulate customer-order entries, design spesifications, quantity, cost, and delivery contract agreement. Berdasarkan ke dua konsep tersebut teaching factory merupakan industri kecil yang ada di lingkungan sekolah atau universitas dengan tujuan: (a) mengembangkan industri kecil sesuai kebutuhan konsumen berdasarkan fasilitas yang dimiliki sekolah; (b) sebagai sarana untuk merencana dan mengontrol proses produksi sehingga mampu meningkatkan pemasukan dan dapat dipercaya. Kegiatan learning factory merupakan bentuk pembelajaran yang komprehensif karena antara kurikulum praktik dan program produksi/jasa terintegrasi dalam menghasilkan produk atau jasa. Yahya and Muhammad (2009: 1) menyatakan “ to expose the production plant directly to the student so that they enable to learn, understand, explore and experience clearly with the full operation of industry. Hal ini sesuai dengan teori workplace learning bahwa transfer of learning takes place through interaction between activity systems. The school and workplace engage in collaborative interaction in which both activity systems learn something from each other (Engeström dan Gröhn, 2004: 1). 3. Kegiatan Belajar Berwirausaha di Unit Produksi Kegiatan produksi/jasa di unit produksi dapat diartikan sebagai kegiatan industri, sehingga siswa dapat belajar seperti pada situasi kerja sesungguhnya. Teori situated cognition menyebutkan bahwa situated cognition is a theory of instruction that suggests learning is naturally tied to authentic activity, context, and culture (Brown, et.al, (Oliver, 1999: 2). Dengan demikian siswa sebagai calon tenaga kerja di industri akan mendapat pengalaman nyata, sehingga dapat memahami permasalahan kerja, berinteraksi dengan lingkungan kerja dan mampu bekerja secara tim. Prayer (1993: 47) menyatakan “workers need to understand problems, to work with other people in process, and to challange each other’s thinking obout related problem”.
Teori situated cognition dalam konteks sekolah kejuruan adalah situated learning is a general theory of knowledge acquisition. It has Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
91
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
been applied in the context of technology-based learning activities for schools that focus on problem solving skills (Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1993: 1). Model pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berdasarkan teori ini adalah dengan mempraktikan ilmu pengetahuan dan keterampilan kedalam kondisi dan situasi yang sesungguhnya dengan metode pemecahan masalah (problem solving). Kegiatan belajar mengajar yang demikian menempatkan siswa, guru, sarana dan prasarana belajar menjadi satu kesatuan dalam bentuk kemampuan kognitif, psikomotorik (keterampilan) dan afektif. Kemampuan kognitif siswa terbentuk dari pengembangan teori yang sudah diterima sebelumnya. Kemampuan psikomotorik meningkat dan terasah, karena siswa melakukan pekerjaan secara langsung. Sedangkan kemampuan afektif meningkat karena siswa belajar menghadapi lingkungan dan organisasi kerja seperti di industri yaitu dalam interaksi sesama teman sekerja, pimpinan kerja dan lingkungan kerja. Roschelle and Clancey (1992:1) menyatakan “that cognitive processes are causally both social and neural. A person is obviously part of society, but causal affects in learning processes may be understood as bi-direction. Teori situated learning seperti yang dikemukakan Harley (Fathul Himam, 2005: 66) menyebutkan: Situated learning sebagai suatu proses belajar yang mengarah pada upaya untuk memahami the fusion point antara pengalamanpengalaman belajar peserta didik yang telah dipunyainya dengan pengetahuan-pengetahuan baru yang secara substansif disusun atas dasar collective agreement antara para praktisi yang berpengalaman, yang tergabung dalam satu komunitas keilmuan. Teori situated learning menekankan interaksi pengalaman dengan pengetahuan yang dimiliki dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Lebih lanjut Winn (Fathul Himam, 2005: 66) menyatakan “belajar ini harus memberi kesempatan pada peserta didik untuk mengerjakan tugas-tugas belajar yang sifatnya otentik, yang penyelesainnya dilakukan dalam situasi kerja nyata”. Teori experiential learning Kolb sangat erat hubungannya dengan kegiatan unit produksi. Kolb, (Kolb, Boyatzis, dan Mainemelis, 1999: 2) menyatakan “experiential learning theory defines learning as "the process whereby knowledge is created through the transformation of experience. Knowledge results from the combination of grasping and transforming experience. Teori ini menyatakan bahwa pengetahuan Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
92
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
dan keterampilan diperoleh melalui kombinasi antara transformasi pengalaman dan grasping. Kegiatan belajar dan bekerja di kelas atau di unit produksi memberikan pengalaman negatif atau positif, sehingga membentuk pengetahuan baru bagi siswa. Neill (2005:1) menyatakan ”we learn something from every experience, whether positive or negative and ones accumulated learned experience influences the nature of one's future experiences”. Pengalaman yang menyenangkan seperti keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas teori maupun praktik menjadi pengalaman positif, sementara kegagalan dalam melaksanakan tugas menjadi pengalaman negatif yang mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahan agar tidak terulang dan bisa berhasil.. Berdasarkan konsep situated cognition, situated learning dan experiential learning di atas maka keberadaan unit produksi di SMK dibutuhkan. Unit produksi/jasa membuat kualitas proses belajar mengajar menjadi lebih baik karena: (a) siswa mengalami kegiatan belajar secara langsung; (b) belajar bekerjasama dalam tim untuk menjalankan usaha; (c) mencari dan melayani konsumen sebagai unsur pemasaran; (d) melaksanakan kegiatan produksi; (e) mengetahui bagaimana memasarkan hasil produksi atau mencari peluang pasar; (f) melatih disiplin dan intensitas belajar siswa; dan (g) dapat mengevaluasi kualitas produk apakah diminati masyarakat atau tidak. Pengembangan kewirausahaan merupakan proses meningkatkan keterampilan dan pengetahuan kewirausahaan seseorang melalui pelatihan terstruktur dan atau melalui program sekolah. Hal ini seperti dalam definisi UNDP (1999: 1) yaitu entrepreaneurship development refers to the process of enhancing entrepreneurial skills and knowledge through structured training and institution-building programes. Kegiatan Praktik kewirausahaan dapat dilaksanakan melalui unit produksi yang di dalamnya terdapat kegiatan pencarian konsumen, perencanaan, produksi, kontrol kualitas dan pemasaran. Slamet PH, (2008: 8) menyatakan bahwa “aktivitas kegiatan menghimpun dana dalam bentuk kegiatan usaha akan mewirausahakan warga sekolah, khususnya siswa, sehingga mereka kelak menjadi warga masyarakat yang terbuka cakrawalanya untuk melakukan usaha-usaha komersial dalam kerangka mencari nafkah”. R. Hartono (2004: 293) menyatakan bahwa “kewirausahaan memiliki empat aspek yaitu kognitif, konatif, afektif dan intuisi. Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
93
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Ketiga aspek tersebut dapat diajarkan oleh guru, hanya intuisi yang tidak dapat diajarkan melainkan ditempa melalui pengalaman”. Jiwa wirausaha tidak dapat dipelajari secara teori saja melainkan harus diasah dengan pengalaman nyata, berani mengambil resiko bisnis dan membuat keputusan yang berhubungan dengan konsumen dan pelaksanaan produksi/jasa sehingga menumbuhkan intuisi bisnis. Kelancaran dan perkembangan UP dapat berjalan dengan baik apabila sirkulasi produk/jasa yang dihasilkan dapat berjalan dengan lancar. Lancarnya sirkulasi produk/jasa tergantung pada pemasaran pada konsumen. Oleh karena itu perlu mengembangkan alat-alat pemasaran yang mudah sampai pada konsumen baik secara tradisional hingga modern dengan melibatkan berbagai jenis media seperti audio visual, maupun digital elektronik lainnya. Kegiatan pemasaran produk/jasa Obyek pemasaran produk/jasa UP dapat bersifat interen sekolah maupun eksteren sekolah (masyarakat) umum.
Pemasaran produk jasa dapat dilakukan dengan prinsip triangle marketing yaitu internal marketing, eksternal marketing dan interactive marketing (Edratna; 2007). Internal marketing yaitu perusahaan tidak mengabaikan internal sekolah yaitu seluruh warga sekolah harus tahu produk/jasa yang dihasilkan UP sekolah, sehingga dapat membantu memberikan informasi pada pelanggan jika diperlukan. External marketing yang mana konsumen berhubungan dengan UP melalui front office, sehingga front office harus bisa memberi penjelasan tentang produk/jasa UP. Keberhasilan pemasaran ditentukan sejauh mana front office bisa meyakinkan pada konsumen tentang produk/jasa UP. Interactive Marketing, yaitu karyawan harus memahami produk/jasa UP agar dapat membantu program pemasaran dan menjelaskan dengan menarik dan benar pada konsumen. Ketiga program pemasaran tersebut tidak dapat berdiri sendiri, sehingga dapat menarik dan meyakinkan pelanggan untuk membeli produk/jasa yang ditawarkan. C. Metodologi Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian evaluasi yang meliputi: effort evaluation, Process evaluation dan treatment specification approach. Metode penelitian evaluasi ini menggunakan mixed method designs dengan concurrent triangulation designs (Creswell, 2009: 213). Populasi penelitian adalah SMKN RSBI-SBI rumpun Teknologi di DIY yang memiliki unit produksi aktif. Penentuan Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
94
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
sampel penelitian berdasarkan purposive sampling yaitu di SMKN RSBI-SBI yang memiliki unit produksi aktif Variabel dalam penelitian ini meliputi: context, input (fasilitas praktek, program unit produksi, kemampuan guru, siswa, dan teknisi), process (KBM, produksi), dan product (kompetensi kerja, kualitas barang). Pengumpulan data kuantitatif melalui kuesioner, lembar penilaian dengan skala Likert 1-4 dan 1-5 dan dokumetasi. Langkah penyusunan instrumen: (1) merumuskan kisi-kisi instrumen; (2) uji coba instrumen; dan (3) uji validitas dan reliabilitas instrument. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur dan melalui observasi. Uji reliabilitas pedoman wawancara dengan cara (a) mengecek apakah pedoman wawancara dan observasi tidak mengandung keraguan serta kesalahan; (b) konsistensi antara code, dan definisi; (c) berkoordinasi dan mengkomunikasikan diantara anggota dan sharing data; dan (d) mengadakan cross chek dengan peneliti lain (Creswel, 2010). Uji validitasnya dengan cara: (a) triangulasi; (b) member checking, dan (c) use rich, thick description. Selain itu untuk menjaga keabsahan data dengan cara: a) peneliti sebagai instrumen utama; (b) subyek wawancara dari berbagai sumber; (c) menggunakan alat bantu perekam suara; (d) wawancara dilakukan pada sekelompok subyek; (e) menjaga kondisi dan situasi wawancara secara alamai dan; (f) cross chek hasil wawancara. Analisis data dilaksanakan dengan tiga cara yaitu: (1) analisis data kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif untuk melihat kecenderungan kategori setiap variabel, (2) analisis data kualitatif dengan menggunakan model Miles dan Huberman (1984) yaitu: data reduction, data display dan conclusion drawing/ verification. D. Hasil dan Pembahasan Keefektifan kegiatan UP dalam pembinaan kewirausahaan dapat di bagi menjadi dua yaitu: (a) keefektifan penyelenggaraan UP sesuai dengan kegiatan di industri yang didalamnya ada kegiatan proses belajar mengajar sesuai dengan situasi dan kondisi, (b) keefektifan kedua ditentukan seberapa banyak siswa dan guru yang dapat mengakses kegiatan UP sebagai latihan berwirausaha. Program dikatakan efektif apabila kegiatan program mencapai target yang ditetapkan (Thompson, 2008:3), dalam hal ini tujuannya sebagai sarana pembelajaran dan kewirausahaan bagi siswa dan guru .
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
95
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Keefektifan pertama secara keseluruhan UP mampu menjadi sarana belajar yang efektif bagi siswa dan guru, karena secara langsung siswa dan guru belajar menghadapi permasalahan kerja yang sesungguhnya. Hal ini menambah pengetahuan dan keterampilan guru dan siswa. Selain itu proses belajar yang sekaligus sebagai proses produksi yang dimulai dari persiapan hingga finishing. Hal ini telah mendidik siswa dan guru belajar mengelola dan melaksanakan kegiatan produksi/jasa sehingga selain meningkatkan pengetahuan ketrampilan juga memupuk jiwa wirausaha. Kriteria keefektifan kedua yaitu jumlah siswa dan guru yang terlibat dalam kegiatan unit produksi belum tercapai. Hal ini disebabkan karena 84,6% UP (11 UP) hanya memilih siswa yang memiliki kemampuan paling baik (5 – 10 siswa), sedangkan yang melibatkan semua siswa hanya 15,4% (2 UP) untuk terjun di UP. Demikian halnya jumlah guru yang terlibat dalam UP untuk semua program keahlian rata-rata 2 – 3 guru. Efektivitas pendidikan kewirausahaan di UP disebut efektif apabila kegiatan seperti pembiasaan untuk merencana, melakukan proses produksi, dan memasarkan hasil produk jasa dilaksanakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua proses kegiatan tersebut dapat dilaksanakan oleh siswa, seperti dalam perencanaan dan pemasaran produk lebih banyak dilakukan oleh pengelola UP langsung. Siswa lebih banyak melakukan proses produksi jasa, kecuali pada UP TKR SMKN 2 Pengasih dan TKJ SMKN 2 Depok yang telah memberi kesempatan lebih luas pada siswa untuk melaksanakan kegiatan dari perencanaan hingga pemasaran. Sementara itu proses pendidikan kewirausahaan yang baik harus melalui tahap pembiasaan tersebut (UNDP, 1999: 1). Dengan demikian UP secara kualitas belum mampu menjadi sarana belajar yang efektif untuk pendidikan kewirausahaan bagi siswa (hanya 15,4%). Proses kegiatan UPJ dapat berjalan dengan baik apabila berjalan secara terus menerus, sehingga selalu ada pekerjaan. Oleh karena itu harus ada upaya menjaga kontinyuitas pekerjaan UPJ ini melaksanakan manajemen pemasaran yang sungguh-sungguh. Upaya yang dapat dilakukan seperti menjalin kerjasama dengan instansi-instansi yang punya potensi menjadi pasar (Kodim, Polres, Dinas Pendidikan, Pemda) dan melakukan promosi secara langsung pada masyarakat (menyebar brosur, pamflet). Beberapa SMK telah menjalin kerjasama dengan perusahaan, seperti halnya (Teaching Factory Teknik Kendaraan Ringan SMKN II Pengasih dengan sebuah toko suku cadang mobil, UPJ Teknik Komputer Jaringan SMKN II Depok dengan perusahaan komputer dan LCD (Zyrex, Rellion, Mugen.) Program UPJ selain bertumpu pada kebutuhan konsumen yang membutuhkan secara langsung juga dapat dikombinasikan dengan program kurikulum yaitu praktek siswa yang menghasilkan produk. Program keahlian tersebut dapat memanfaatkan secara maksimal karena dalam melaksanakan Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
96
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
pelajaran praktek mengarahkan siswa untuk menghasilkan produk jasa yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh TITL SMKN II Jetis; TB, Komputer Jaringan, Teknik Mesin SMKN II Wonosari; TITL, Teknik Survei Pemetaan SMKN II Yogyakarta; UPJ Teknik Mesin, Teknik Gambar Bangunan, Teknik Komputer Jaringan SMKN II Depok; UPJ Teknik walaupun hanya pada semester tertentu dan volume pekerjaan masih relatif kecil. Permasalahan yang muncul dengan program ini adalah pada (a) pemasaran produk, sehingga belum mampu mendatangkan banyak konsumen (pesanan pekerjaan) seperti promosi dengan media brosur, pamflet dsb, (b) keterbatasan tempat dan alat, (c) belum direncanakan secara matang oleh pengelola dengan mencari terobosan baru dalam pelaksanaan UPJ.
Produk jasa yang dihasilkan UPJ di SMKN secara umum sudah memenuhi standar kualitas seperti produk barang dan jasa perusahaan pada umumnya. Bahkan konstruksinya dibuat standar, seperti mebel dengan sambungan standar, dan pengelasan logam. Selain itu bahan baku dipilih dari bahan yang berkualitas, seperti yang dilakukan Teknik Mesin, Teknik Bangunan, Teknik Konstruksi Kayu, Teknik Gambar Bangunan, dan Teknik Komputer Jaringan), sehingga mengakibatkan harganya kadang-kadang lebih tinggi dibandingkan dengan harga dari perusahaan lain. Walaupun demikian konsumen tetap memilih produk jasa UPJ, karena memiliki kualitas konstruksi dan bahan lebih baik. Demikian halnya produk jasa UPJ telah banyak dipercaya konsumen karena hasilnya memuaskan dan tarifnya lebih murah dibandingkan dengan perusahaan lain. Seperti halnya Teaching Factory Teknik Kendaraan Ringan SMKN II Pengasih menjadi kepercayaan masyarakat Kulon Progo dikenal sebagai bengkel kendaraan ringan terlengkap dan kualitasnya baik. Demikian halnya dengan UPJ Teknik Komputer Jaringan SMKN II Wonosari sudah mendapat kepercayaan dari dinas sebagai pusatnya IT Wonosari, sehingga mendapat kepercayaan memberi pelatihan soft ware komputer. Pengelolaan keuntungan yang diperoleh dari hasil pelaksanaan UPJ telah diatur oleh sekolah dan semua SMK telah menggunakan sistem bagi hasil yang sama yaitu 60 % untuk UPJ program keahlian (Bengkel) dan 40 % untuk UPJ pusat (sekolah). Dari 60 % yang diterima UPJ Bengkel diperinci sebagai berikut: 10 % tambah modal, 22 % Perawatan, 24% Kas Bengkel, dan 4% administrasi, sedangkan
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
97
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
40 % UPJ sekolah dperinci untuk: 15% Kesejahteraan umum, 10 % biaya listrik, 10 % Kas, 2,5 % administrasi dan 2,5 % Penyusutan. Salah satu tolok ukur keberhasilan sebagai wirausaha adalah mendapatkan keuntungan yang tidak hanya dapat menggaji karyawan saja namun juga memberi sumbangan pada sekolah sebagai pemilik UPJ. UPJ TKK SMKN II Pengasih, UPJ TM, UPJ TGB SMKN II Depok, TKJ dan TM SMKN II Wonosari yang mampu memberikan sumbangan operasional relatif besar pada sekolah karena kontinyuitas pekerjaan dapat berlangsung. Kontribusi nyata yang telah diberikan UPJ pada sekolah berdasarkan pembagian di atas adalah mendukung biaya operasional sekolah (pengganti biaya listrik, penambahan alat-alat baru, penggantian alat-alat yang rusak). Keuntungan ini dapat mengurangi biaya operasional sekolah dan bahkan mampu menyediakan bangunan gedung untuk kegiatan belajar mengajar (UPJ SMKN II Wonosari), menambah alat yang berharga cukup mahal (generator set, LCD).
E. Penutup Adapun kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: 1) Sebagian besar unit produksi mampu menyelaraskan antara program kurikulum dan program unit produksi, dengan memanfaatan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (siswa, teknisi dan guru) walaupun belum optimal, 2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui belajar dengan konsep teori situated cognition, situated learning, teori belajar constructivism dan experiential learning Kolb tercapai, walaupun masih terbatas. 3) Keefektifan penyelenggaraan unit produksi sebagai sarana pembelajaran kewirausahaan tercapai Daftar Pustaka Alptekin,S.E, Reza, P., McQuaid, et al. (2001). Teaching factory. Proceeding of the 2001 Amirican Society for Engenering Education Annual Conference & Expostion. Diambil pada tanggal 28-6-2010 dari http//www. digitalcommons.calpoly. edu/cgi/viewcontent.cgi-article-1016&context-ime_fac Brown, J.S, Collins, A., & Duguid, P. (1989). Situated cognition and the culture of learning. Dalam Oliver (1999), Situated cognition & cognitive apprenticeships. Diambil pada tanggal 28 – 6 – 2010 dari http//www. Edtech.vt.edu/edtech/id/models/ powerpoint/cog.pdf
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
98
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
Clancey, W.J. (1994). Situated cognition: how representations are created and given meaning. Proceedings of the IFIP TC3/WG3.3 Working Conference on Lessons from Learning. Archamps, France, 6-8 September, 1993. Diambil pada tanggal 23 Agustus 2011 dari http//www.cogprints.org/661/1/133.htm Cognition & Technology Group at Vanderbilt, (1993). Anchored instruction and its relationship to situated cognition. Diambil pada tanggal 20 maret 2009 dari http//www.inkido.indiana. edu/syllab/p500/Anchored/20Instruction.pdf Creswell, J.W. (2009). Research design, qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Los Angeles: Sage. Direktorat Pembinaan SMK. (2007). Panduan pelaksanaan th 2007, imbal swadaya smk model. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan SMK. (2006). Penyelenggaraan sekolah menengah kejuruan bertaraf internasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat SMK. (2005). Garis-garis besar program pendidikan menengah kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal. (2010). Konsep dasar kewirausahaan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Edy Putra Irawady . 2014. http://www.antaranews.com/ berita/ 395531/pemerintah-targetkan-lima-juta-wirausaha-hingga2025. Tanggal 6 juni 2014 Engeström, R. & Tuomi-Gröhn, T. (2004). Workplace learning and developmental transfer. Diambil pada tanggal 28 Juni 2010 dari www.edu.helsinki.fi/behav/english/index.html Fatkhul Himam. (2005). Strategi pengembangan sistem penilaian untuk mendeteksi potensi peserta didik: situated approach.
Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
99
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.11 No.1, April 2014
rekayasa sistem penilaian dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Yogyakarta: HEPI Program Pascasarjana UNY Finch, C. R, Cruinkilton, J. R. (1979). Curriculum development in vocational and technical education. Massachusetts : Allyn and Bacon, Inc. Kolb, D.A, Boyatziz, R.E., Mainemelis, C. (1999). Experintial learning theory: previous research and new direction. Diambil pada tanggal 8 Agustus 2009 dari http://www.d.umn.edu/... Lamancusa J. S., Jorgensen, J. E., Castro, J.L.Z., et al. (2001) The learning factory-integrating design, manufacturing and business realities into engineering curricula - a sixthyear report card. International Conference on Engineering Education. August 6 – 10, 2001 Oslo, Norway. Tanggal 10 November 2009 dari http://www.mne.psu.edu/lamancusa/papers/icee2001.pdf Miles, M.B., & Huberman, A.M. (1984). Qualitative data analysis, (2nd ed). London: Sage Publications Miller, M.D. (1985). Principles and a philosophy for educational education. Dalam Strom, B.T. , The role of philosophy in education-for-work (pp 1-2). Journal of Industrial Teacher Education, Vol 33, Number 2 diambil pada tanggal 24 Juni 2010 dari Http// Scholar.lib.vt.edu/index.html Muhaimin Iskandar . 2012. Cak Imin: Ada 3 Masalah Dalam Mengembangkan Wirausaha. http://finance.detik.com/read/..... /cak-imin-ada-3-masalah-dalam-mengembangkan-wirausaha. Tanggal 6 Juni 2014 Neill, J. (2005). John Dewey, the modern father of experiential education. Diambil pada tanggal 05 Desember 2007 dari Http//www.John/20Dewey, 20the/20Modern/20Father/20of/ 20Experiential/ 20Education.html R. Hartono. (2004). Menumbuhkan jiwa enterpreunership pada mahasiswa. Procedings Konvensi Nasional Asosiasi Pendidikan Tekonologi Kejuruan Indonesia II & Temu Karya XIII FT/ FPTK/ JPTK. Univ/ IKIP Se Indonesia. Jakarta: 12 – 14 Februari 2004 Suyanto, 2008. Peran Pendidikan Dan Pelatihan Pada Pengembangan Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Evaluasi Potensi … (Adi Sutopo, 87:100)
100