1
EVALUASI POTENSI RUMPUT LAUT COKLAT (Phaeophyceae) dan RUMPUT LAUT HIJAU (Chlorophyceae) ASAL PERAIRAN TAKALAR SEBAGAI ANTIBAKTERI Vibrio spp.
SKRIPSI
ANDI RESKIKA L221 05 027
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
2
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Budidaya perikanan merupakan bentuk pemeliharaan dan penangkaran
berbagai macam hewan atau tumbuhan perairan, yang dimulai dari proses pemeliharaan untuk meningkatkan produksi, seperti penebaran yang teratur, pemberian pakan, perlindungan terhadap pemangsa (predator) pencegahan terhadap serangan penyakit dan pemanenan (Khurio, 2011). Usaha budidaya perikanan merupakan salah satu sektor produksi pangan yang sangat cepat perkembangannya di dunia. Meningkatnya usaha budidaya intensif di Indonesia, negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur seperti, Thailand, Vietnam dan India juga diikuti dengan meningkatnya wabah penyakit yang ditimbulkan oleh golongan parasit, bakteri, virus dan jamur (Murtiati dan Endang, 1998). Dalam budidaya intensif banyak permasalahan yang timbul seperti padatnya densitas populasi, rendahnya kualitas dan kuantitas pemberian pakan serta kualitas air (Usniarni, 2008). Jenis penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri patogen adalah vibriosis (Vibrio spp.), red spot (Pseudomonas spp.), furunkulosis (Aeromonas salmonicida), MAS (Motil Aeromonas Septicemia) oleh Aeromonas hydrophila dan penyakit mulut merah (red-mouth disease) oleh Yersinia sp. (Harikrishnan dan Balasundaram, 2008; Amlacher, 1992; Schlotfeld dan Aldermann, 1995). Ikan yang terjangkit penyakit-penyakit tersebut dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar, yang tanpa penanganan dapat menyebabkan kematian massal organisme. Untuk mengatasi permasalahan ini, selain perbaikan kondisi budidaya, maka penggunaan antibiotik guna mengobati penyakit infeksi bakteri sangat dianjurkan. Pemakaian obat-obatan kimia dalam
3
jangka pendek memang efektif, tetapi pemakaian dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, bahkan dapat menimbulkan resistensi. Penambahan antibiotik kedalam perairan tambak akan menimbulkan kekebalan.
Disamping
itu,
kandungan
antibiotik
pada
komoditas
ikan
menyebabkan jatuhnya harga ikan di pasaran internasional. Menurut Astuti dkk. (2003) resistensi mikroba terhadap antibiotik sering terjadi secara berkelanjutan dan terus-menerus akibat tingginya kasus infeksi, baik endemik maupun epidemik, serta penggunaan obat-obatan secara terus menerus merupakan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya resistensi. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu perbaikan penggunaan antibiotik dalam melawan infeksi bakteri patogen pada organisme budidaya. Salah satu cara adalah dengan menguji kemampuan rumput laut dalam menghasilkan senyawa antibakteri alami. Rumput laut atau makroalga merupakan salah satu organisme laut yang berperan dalam siklus rantai makanan sebagai produser primer. Untuk mempertahankan diri dalam habitatnya, rumput laut memproduksi berbagai senyawa yang terdiri dari senyawa primer yang merupakan senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan bersifat essensial bagi proses metabolisme sel seperti fikokoloid, vitamin, asam lemak tak jenuh (UFA) dan karbohidrat. Senyawa sekunder (metabolit sekunder) adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berbeda-beda seperti terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid, dan alkaloid, fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Menurut Deval dkk. (2001), metabolit sekunder berperan sebagai alat pertahanan inang (host) terhadap patogen, parasit, predator,
4
kompetitor dan epibiota dan produksinya sangat tergantung pada kondisi biogeografi (Hay, 1996). Sifat metabolit sekunder sebagai alat pertahanan diri organisme laut ternyata mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber bahan obat berbagai penyakit (Winston, 1988; Cragg dkk., 1997). Salah satu upaya yang di lakukan adalah pemanfaatan dan penggunaan antibakteri secara alami dan informasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah menemukan adanya khasiat dari beberapa alga merah yang berpotensi sebagai antibakteri patogen, khusunya terhadap bakteri Vibrio spp. Karagenan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari beberapa jenis alga merah memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik, antikoagulan dan aktivitas biologis lainnya. Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk menguji kemampuan rumput laut coklat (Phaeophyceae) dan rumput laut hijau (Chlorophyceae) dalam menghasilkan senyawa antibakteri. Hasil pengujian ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan jenis rumput laut yang tepat untuk digunakan sebagai model polikultur rumput laut dengan ikan. Keberadaan rumput laut penghasil antibakteri ini diharapkan dapat menurunkan jumlah bakteri patogen, sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya penyakit yang menyerang ikan.
5
1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi rumput laut coklat
(Phaeophyceae) dan hijau (Chlorophyceae) sebagai antibakteri terhadap bakteri patogen Vibrio spp. pada ikan. Diharapkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam penanggulangan penyakit Vibrio spp. pada usaha budidaya perikanan.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bioaktivitas Rumput Laut
Rumput laut atau makroalga (Phycophyta) merupakan salah satu organisme laut yang berperan dalam siklus rantai makanan sebagai produser primer. Secara umum definisi alga atau rumput laut adalah kelompok tanaman tingkat rendah bersifat fototrof yang tidak mempunyai akar, daun dan batang sebenarnya, namun memiliki thallus yang berfungsi sebagai alat vegetatif (Thallophyta). Para ahli mengklasifikasikan rumput laut berdasarkan pigmentasinya, menjadi empat kelas, yaitu rumput laut hijau (Chlorophyceae), rumput laut coklat (Phaephyceae), rumput laut merah (Rhodophyceae) dan rumput laut keemasan (Crysophyceae). Selain mengandung klorofil, rumput laut juga mengandung zat warna lainnya sesuai dengan namanya, dan bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung dari makhluk lainnya. Pada umumnya rumput laut mengandung air antara 12,95 – 27,50 %, protein 1,60 – 10,00 %, karbohidrat 32,25 – 63,20 %, lemak 3,5 – 11,00 %, serat kasar 3,00 – 11,40 % dan abu 11,50 – 23,70 % (Winarno, 1990). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, rumput laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A, B, C, D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10-20 kali lipat dibandingkan dengan tanaman darat (Yudhi, 2009). Rumput laut selama ini dimanfaatkan sebagai makanan untuk manusia. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya kemajuan ilmu pengetahuan, pemanfaatan rumput laut sudah digunakan juga sebagai bahan baku pada
7
industri obat-obatan, tekstil, minuman, kosmetik, pasta gigi dan sebagainya (Indriani dkk., 2003). Selain kandungan primernya yang bernilai ekonomis, penelitian tentang kandungan metabolit sekunder dari rumput laut menunjukan bahwa tanaman ini berpotensi sebagai produser metabolit bioaktif yang beragam dengan aktivitas yang sangat luas sebagai antibakteri, antivirus, antijamur dan sitotastik (Zainuddin dan Malina, 2009). Menurut Tortoa (2001) pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in vitro dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: metode dilusi dan metode difusi agar. Metode dilusi biasa digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan KMM (kadar mematikan minimum) dari bahan antimikroba. Prinsip dari metode dilusi adalah menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya masingmasing tabung diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara serial, kemudian seri tabung diinkubasi pada suhu 37 °C selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi hambat minimum). Biakan dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat, diinkubasi selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrsi terendah obat pada biakan pada medium padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan bakteri adalah merupakan konsentrasi bunuh minimum bahan antimikroba terhadap bakteri uji. Metode difusi agar dilakukan dengan cara menempatkan kertas filter yang sudah mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium lempeng padat yang telah dicampur dengan bakteri yang akan diuji. Medium ini kemudian
8
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 18-24 jam, selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih disekitar kertas filter. Daerah jernih yang tampak disekeliling kertas filter menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba bakteri yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan sekitar filter, sedangkan bakteri yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas cakram.
2.2
Bakteri Vibrio spp.
Vibrio spp. adalah suatu jenis bakteri Gram-negatif yang mempunyai suatu tangkai yang bentuknya bengkok dan biasanya ditemukan di air laut, tawar dan payau. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob positif dan tidak membentuk spora, bentuk sel batang dengan ukuran panjang antara 2-3µm dan lebar 0,3– 1,3µm dan mempunyai flagella pada ujung sel (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Bakteri ini dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang pada batas-batas suhu tertentu. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri Vibrio spp. berkisar antara 30-35°C. sedangkan pada suhu 4°C dan 45°C bakteri tidak dapat tumbuh dan pada suhu 55°C akan mati (Prajitno, 2005). Berkembangbiak dengan cara aseksual (Volk dan Wheeler, 1988).
Bakteri Vibrio spp. berbahaya pada
budidaya air payau dan laut, karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer, bakteri masuk kedalam tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder, bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain (Prajitno, 2005). Vibriosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio spp. yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan pada organ tubuh. Vibriosis bersifat akut dan ganas, karena dapat memusnahkan populasi ikan dalam tempo 1-3 hari
9
sejak gejala awal tampak. Ikan yang terserang sangat sulit untuk diselamatkan sehingga seluruh ikan yang ada terpaksa dibuang atau dimusnahkan. Penularannya dapat langsung melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan yang dipelihara pada kepadatan tinggi (Prajitno, 2005). Penyebaran penyakit ini sangat luas dan ditemukan pada berbagai jenis ikan. Gejala klinis pada ikan yang terserang vibriosis antara lain tubuh berwarna lebih gelap terutama di bagian punggung, terdapat luka dan pendarahan pada mulut, alat kelamin, dubur, mata terlihat buram (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Adapun
cara
pengendalian
penyakit
tersebut
dengan
menggunakan
oxytetracycline sebanyak 0,5 ppm dicampur ke dalam pakan ikan selama 7 hari (Anggraeni, 2010).
10
III. METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Oktober 2010. Pengambilan
sampel rumput laut di perairan pantai Takalar. Pencucian, pengeringan dan penghalusan rumput laut di Laboratorium Mikrobiologi FIKP Universitas Hasanuddin. Proses ekstraksi dan pengujian antibakteri di Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Penyakit BRBAP Maros.
3.2
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian No
Alat
Kegunaan
1
Cool box
Wadah transportasi rumput laut
2
Plastik Sampel
Menyimpan rumput laut yang telah di ambil
3
Baskom
Wadah pencucian rumput laut
4
Saringan
Wadah penyaring rumput laut
5
Nampan
Wadah penyaringan rumput laut
6
Grinder
Untuk menghaluskan rumput laut
7
Timbangan elektrik
Menimbang bubuk/serbuk rumput laut
8
Labu Erlenmeyer
Wadah ekstrak rumput laut
9
Corong
Untuk menuang larutan
11
11
Stirer
Alat ekstraksi
12
Rotavapor
Untuk menguapkan pelarut
13
Pipet
Untuk mengambil larutan
14
Vial
Untuk menyimpan ekstrak kasar
15
Cawan Conway
Wadah uji antibiotic
16
Inkubator
Tempat inkubasi bakteri
17
Mikropipet
Meneteskan larutanekstrak pada filter disk
18
Eppendorf
Wadah pengenceran larutan ekstrak
19
Jarum ose
Menggores bakteri
20
Bunsen
Alat steril
21
Mistar
Alat pengukur daya hambat
22
Timbangan analitik
Menimbang ekstrak
23
Rumput laut
Bahan uji
24
Bakteri Vibrio spp.
Bakteri indikator
25
Pelarut ekstraksi rumput laut
26
Larutan: heksana,diklorometana, etil asetat TSA (trypticase soy agar)
27
Tetracycline
Kontrol antibiotik
28
Kertas filter
29
Air laut steril
Untuk menyaring dan meneteskan larutan ekstrak Larutan pencuci rumput laut
30
Aquades
Larutan pembilas rumput laut
Media tumbuh bakteri
12
3.3
Prosedur Penelitian
3.3.1 Pengumpulan Sampel Rumput Laut Rumput laut yang digunakan sebagai sampel diambil dan dikumpulkan dari pantai Punaga Takalar. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menyisir pantai dan adapun cara pengambilan sampel dengan cara bagian ujung thallus dipotong dengan gunting atau diambil dengan menggunakan tangan. Setelah dikoleksi, rumput laut kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel dan diberi label sesuai stasiun tempat pengambilan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es batu agar kesegaranya tetap terjaga selama pengangkutan.
3.3.2 Proses Pencucian Sampel Rumput Laut Setelah sampai di Labolatorium sampel terlebih dahulu disortir sambil dibersihkan dari batu kerikil dan kotoran-kotoran yang menempel. Setelah disortir dan dibersihkan kemudian dicuci dengan air laut steril yang bertujuan untuk mencegah terjadinya proses osmosis, yaitu keluarnya cairan dari tubuh rumput laut. Setelah itu sampel ditiriskan dengan menggunakan saringan, sampel kemudian dicuci dengan air tawar atau air kran, untuk membersihkan garamgaram yang menempel. Terakhir sampel dibilas dengan aquades untuk membersihkan kotoran dan garam yang masih menempel, pembilasan dengan aquades bertujuan agar sampel betul-betul terbebas dari segala endapan kotoran/material, garam-garam yang masih terikut dengan air tawar/air kran. dan dari mikroorganisme.
13
3.3.3 Proses Pengeringan Sampel Rumput Laut
Sebelum dikeringkan sampel terlebih dahulu ditimbang guna diketahui berat biomassa basah, setelah itu sampel dikeringkan dibawah sinar matahari. Selama proses pengeringan, rumput laut selalu dibolak balik agar terkena sinar matahari secara merata sehingga dapat kering secara merata. Persentase berat kering/berat basah dari masing-masing rumput laut dihitung dengan rumus berikut (Zainuddin dan Malina, 2009).
( ) ( )
3.3.4 Proses Penghalusan Sampel Rumput laut Untuk memudahkan dalam ekstraksi rumput laut, rumput laut kering terlebih dahulu dihaluskan dengan blender. Tepung yang telah dihaluskan kemudian disaring untuk mendapatkan butiran yang seragam. Setelah halus tepung rumput laut kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label, ditimbang dengan timbangan elektrik dan disimpan dalam kondisi kering, untuk proses selanjutnya yaitu proses ekstraksi.
3.3.5 Ekstraksi Rumput Laut Ekstraksi adalah proses pemisahan dari bahan padat ataupun cair senyawa organik dari campurannya dengan yang memanfaatkan perbedaan sifat kelarutan dari masing-masing komponen dengan bantuan pelarut tertentu. Proses ekstraksi rumput laut menggunakan metode maserasi dengan stirer
14
selama 24 jam (Zainuddin, 2006). Maserasi merupakan proses penyaringan dengan cara serbuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 1989). Lamanya waktu maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat atau ciri campuran serbuk dan pelarut. Lamanya harus cukup supaya dapat memasuki semua rongga dari struktur serbuk dan melarutkan semua zat yang mudah larut. Lamanya maserasi bisa memerlukan waktu beberapa jam atau beberapa hari untuk ekstraksi yang optimum. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-20°C dalam waktu selama tiga hari sampai bahan-bahan larut (Ansel, 1989). Pelarut yang digunakan adalah yang berbeda tingkat polaritasnya yang dimulai dari pelarut non-polar ke pelarut polar, ini dikarenakan index polaritas dari pelarut non-polar lebih kecil dibandingkan pelarut
polar. Index polaritas dari
pelarut n-heksana ialah 0,0 diklorometana 3,1 dan etil asetat 4,4 (Satyajit dkk., 2006). Ekstraksi dimulai dari pelarut n-heksana (CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3) dilanjutkan dengan diklorometana (CH2Cl2). Diklorometana adalah senyawa organik cair, tidak berwarna dan mudah menguap banyak digunakan sebagai pelarut. Terakhir diekstraksi dengan etil asetat (CH3CH2OC(O)CH3), yaitu senyawa organik yang merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Etil asetat, adalah pelarut polar menengah (semi-polar) bersifat volatil. Etil asetat sering digunakan sebagai pelarut karena dapat menyaring senyawa-senyawa yang dapat memberikan aktivitas antibakteri, seperti senyawa flavonoid, pilohidroksi dan fenol (Wikipedia, 2011). Senyawa polar adalah senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu ikatan antar elektron pada unsur-unsurnya, hal ini terjadi karena unsur yang berikatan tersebut mempunyai nilai keelektronegatifitas yang berbeda atau senyawa yang dapat larut dalam air atau pelarut polar lain, seperti n-heksana
15
dan metanol. Sedangkan senyawa non-polar adalah senyawa yang tidak dapat larut dalam air seperti etil asetat. Setelah proses ekstraksi, pelarut organik diuapkan secara vakum pada rotavapor sampai diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak kasar ditimbang beratnya dan disimpan di freezer bersuhu -20°C sampai digunakan untuk pengujian. Ekstraksi dilakukan dengan cara memasukkan 25 atau 50 g bubuk halus rumput laut ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 1 L dan diberi 250 atau 500 ml pelarut n-heksana (1:10, b/v). Larutan ekstrak disaring melalui kertas saring Wattman no.1, pelarutnya diuapkan pada rotavapor bertekanan rendah sampai volume 5-10 ml. Konsentrat ekstrak disimpan pada botol kecil dan disimpan di freezer bersuhu -20°C dalam kondisi kedap udara untuk analisa lebih lanjut. Sementara itu, residu rumput laut dari ekstrak n-heksana dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam dan kembali diekstraksi berturut-turut dengan pelarut diklorometana dan etil asetat (Zainuddin, 2009).
Sampel Rumput Laut --Dibersihkan aut --Dikeringkan dengan sinar matahari --Dihancurkan dengan grinder --Disaring --Diekstraksi dengan pelarut berbeda polaritas menggunakan stirer selama 24 jam --Larutan ekstrak disaring dan pelarut dievaporasi pada rotavapor
n-heksana Diklorometana Etil asetat
Gambar 1. Skema ekstraksi rumput laut secara berturut-turut dengan pelarut yang berbeda polaritas.
t Laut
16
3.3.6
Pengujian Antibakteri Dengan Metode Difusi Agar
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar (Zainuddin, 2006) pada cawan petri berukuran 90 mm. Untuk kultur isolat bakteri digunakan media Nutrient Agar II dengan komposisi sebagai berikut : Pankreatik Pepton 10,0 g; NaCl 5,0 g ; Agar 12,0 g dan aquades 1000 ml. Pembuatan media kultur adalah sebanyak 25 g NA II dilarutkan dalam 1000 ml aquades. Agar dicampurkan dengan aquades dalam labu Erlenmeyer di atas hot-plate kemudian disterilkan pada autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit. Agar kemudian dituang sebanyak 20 ml pada cawan petri, setelah padat digoreskan dengan bakteri sebanyak jarum ose dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C dalam inkubator. Untuk pengujian antibiotik, isolat bakteri yang telah dikultur sebelumnya diambil sebanyak 1 jarum ose dan dilarutkan dalam 3 ml larutan agar NA II yang hangat dan dituang ke dalam cawan Petri Ø 90 mm sampai mengeras. Disk dari kertas filter berukuran diameter 6 mm yang telah disterilkan ditetesi dengan larutan uji sebanyak 2 mg/50 µL. Larutan uji dibuat dengan melarutkan kembali masing-masing ekstrak kasar dalam pelarut yang digunakan dalam ekstraksi. Sebagai kontrol negatif digunakan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Pelarut diuapkan pada suhu kamar dalam keadaan steril. Setelah pelarut menguap, filter disk kemudian diletakkan pada permukaan agar. Sebelum diletakkan pada inkubator terlebih dahulu cawan diletakkan dalam lemari dingin pada suhu 4°C selama 3 jam untuk proses pra-difusi dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam untuk bakteri.
17
3.3.7 Analisis Deskriptif Sebagai kontrol positif, digunakan antibiotik tetracycline dan untuk kontrol negatif digunakan pelarut yang sesuai ekstrak. Setelah masa inkubasi, diameter zona hambat atau daerah terang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Perhitungan aktivitas dilakukan secara deskriptif dengan mengukur diameter zona hambat setelah 24 jam masa inkubasi. Tingkatan daya hambat ditentukan seperti yang tercantum dalam Tabel 2 di bawah ini (Zainuddin, 2006).
Tabel 2. Data daya hambat No
Daya Hambat
Keterangan
1
≥26 mm
Sangat Bagus
2
16-25 mm
Bagus
3
11-15 mm
Cukup
4
≤10 mm
Lemah
18
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1
Biologi Rumput laut
Dari pengambilan sampel di perairan Takalar diperoleh hasil seperti yang tercantum pada Tabel 3, hasil identifikasi rumput laut menggunakan Bhavanath jha dkk. (2009) diperoleh data klasifikasi seperti pada tabel berikut.
Tabel 3. Klafikasi dan gambar rumput laut No
Spesies Rumput laut
Kelas, Ordo dan Famili
1.
Dictyopteris acrostichoides
Phaepyceae, Dictyotales, Dictyotaceae
2.
Padina boergesenii
Phaepyceae, Dictyotales, Dictyotaceae
3.
Rosenvingea orientalis
Phaepyceae, Scytosiphonales, Chnoosporaceae
4.
Sargassum prismaticum
Phaepyceae, Fucales, Sargassaceae
5.
Codium dwarkense
Chlorophyceae, Bryopsidales, Codiaceae
Gambar Alga
19
6.
Enteromorpha linza
Chlorophyceae, Ulvales, Ulvaceae
Berdasarkan dari Tabel 3 hasil identifikasi diatas terlihat yang dominan di perairan Takalar adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) sebanyak empat jenis (66%) yaitu Dictyopteris acrostichoides, Padina boergesenii, Rosenvingea orientalis dan Sargassum primasticum. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslam (1991) mengemukakan bahwa rumput laut coklat (Phaeophyceae) tersebar luas di Indonesia dan tumbuh pada perairan yang terlindung maupun yang berombak besar. Tetapi hasil penelitian kami berbeda dengan yang ditemukan oleh Ridwan (2009), yang menyatakan bahwa hasil koleksi rumput laut yang diambil dari perairan Takalar terbanyak adalah rumput laut merah (Rhodophyceae) Gracilaria verrucosa. Dari ordo Dictyotales terdapat dua jenis yang sama (50%), dan masing-masing satu jenis (25%) dari ordo Scytosiphonales dan Fucales. Sementara jenis rumput laut hijau (Cholorophyta) yang ditemukan hanya dua jenis (34%) yaitu Codium dwarkense dan Enteromorpha linza. Dan dari ordo Bryopsidales hanya satu jenis (50%) begitu pula dari ordo Ulvales ditemukan hanya satu jenis (50%)..
20
4.2
Biomassa Rumput laut
Hasil penimbangan berat basah dan berat kering tertera pada Tabel 4 dan Gambar 2.
Tabel 4. Hasil penimbangan biomassa basah dan kering rumput laut. No.
1. 2. 3. 4.
Spesies Rumput laut
Dictyopteris acrostichoides Padina boergesenii
Rosenvingea orientalis
Sargassum prisnaticum
Kelas
Berat Basah (BB) (g)
Berat Kering (BK) (g)
Persentase BK/BB (%)
Phaeophyceae
1008
110,9
11
Phaeophyceae
540
58,22
10,78
Phaeophyceae
265,04
52
19,62
Phaeophyceae
597,3
74
12,39
Codium dwarkense
Chlorophyceae
1129
74,14
6,57
6.
Enteromorpha linza
Chlorophyceae
433
37,47
8,65
Biomassa Rumput Laut (g)
5.
1200 1000 800 600 400 200 0
Gambar 2. Hasil penimbangan biomassa rumput laut
Berat Basah Berat Kering
21
Berdasarkan penimbangan berat basah diperoleh hasil yang tertinggi yaitu dari rumput laut hijau Codium dwarkense seberat 1129 g dan yang terendah dari rumput laut coklat Rosenvingea orientalis seberat 265,04 g (Tabel 4). Setelah melalui proses pengeringan hasil berat kering yang tertinggi yaitu pada rumput laut Dictyopteris acrostichoides seberat 110,9 g, sedangkan berat kering yang terendah terdapat pada rumput laut Enteromorpha linza seberat 37,47 g. Persentase biomassa kering per biomassa basah berkisar antara 6,57% sampai 19,62%. Persentase tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut coklat R. orientalis sebesar 19,62% sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh rumput laut hijau C. dwarkense sebesar 6,57%. Dari data rendemen berat kering terlihat bahwa rumput laut coklat (Phaeophyceae)
R.
orientalis
memiliki
rendemen
berat kering
tertinggi
sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh rumput laut hijau C. dwarkense . Tingginya rendemen berat kering R. orientalis dapat disebabkan karena jenis ini sedikit menyerap air, substansi thallus keras dan mengandung zat kapur (Suptijah, 2003). Sedangkan rumput laut C. dwarkense memiliki persentase yang terendah karena C. dwarkense memiliki kandungan air yang lebih banyak sehingga membutuhkan waktu kering lebih lama. Selain itu, rumput laut ini memiliki bentuk yang unik dimana saat kering tubuhnya mengalami penyusutan dan mengkerut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kandungan air rumput laut coklat lebih rendah dari rumput laut hijau. Rendahnya kandungan air pada rumput laut coklat kemungkinan disebabkan oleh tingginya kandungan fikokoloidnya. Begitupun sebaliknya pada rumput laut hijau, makin tinggi kandungan airnya maka makin rendah kandungan fikokoloidnya.
22
4.3
Berat Ekstrak Rumput Laut Coklat dan Hijau Persentase ekstrak kasar yang diperoleh dari ekstraksi dapat dilihat pada
Tabel 5 dan Gambar 3 dibawah ini.
Tabel 5. Persentase ekstrak kasar yang diperoleh dari ekstraksi 25 atau 50 g biomassa kering dengan 250 atau 500 mL pelarut organik.
No
1.
Spesies Rumput laut
Dictyopteris acrostichoides
Kelas
Ekstrak
Ekstrak Kasar (mg)
Ekstrak Kasar (%)
Phaeophyceae
n-heksana
519.6
1.04
2.
Dictyopteris acrostichoides
Phaeophyceae
DCM
662
1.32
3.
Dictyopteris acrostichoides
Phaeophyceae
EtOAc
328.4
0.66
4.
Padina boergesenii
Phaeophyceae
n-heksana
226.9
0.45
5.
Padina boergesenii
Phaeophyceae
DCM
144.4
0.29
6.
Padina boergesenii
Phaeophyceae
EtOAc
282.6
0.57
7.
Rosenvingea orientalis
Phaeophyceae
n-heksana
218.1
0.44
8.
Rosenvingea orientalis
Phaeophyceae
DCM
213
0.43
9.
Sargassum prismaticum
Phaeophyceae
n-heksana
215.7
0.43
10.
Sargassum prismaticum
Phaeophyceae
DCM
238.6
0.47
11.
Sargassum prisnaticum
Phaeophyceae
EtOAc
171.4
0.34
12.
Codium dwarkense
Chlorophyceae
n-heksana
147.5
0.3
13.
Codium dwarkense
Chlorophyceae
DCM
222.4
0.45
14.
Enteromorpha linza
Chlorophyceae
n-heksana
59.4
0.24
15.
Enteromorpha linza
Chlorophyceae
DCM
66.6
0.27
23
700
Biomassa Ekstrak (mg)
600 500
Dictyopteris acrostichoides
400
Padina boergesenii Sargassum prismaticum
300 Rosenvingea orientalis 200
Codium dwarkense
100
Enteromorpha linza
0 n-heksana
DCM
EtOAc
Gambar 3. Biomassa ekstrak rumput laut
Dari gambar grafik ekstrak diatas diperoleh sebanyak 15 ekstrak organik dari enam spesies rumput laut yang diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan tiga pelarut yang berbeda. Adapun hasil berat ekstrak dari larutan n-heksana berkisar antara dari 59,4 mg sampai 519,6 mg, berat ekstrak tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut Dictyopteris acrostichoides seberat 519,6 mg dan terendah ditunjukkan oleh rumput laut hijau Enteromorpha linza seberat 59,4 mg. Berat ekstrak dari larutan diklorometana berkisar antara 66,6 mg sampai 662 mg, berat ekstrak tertinggi untuk larutan diklorometana ditunjukkan oleh rumput laut coklat D. acrostichoides seberat 662 mg dan yang terendah ditunjukkan pada rumput laut hijau E. linza seberat 66,6 mg. Berat ekstrak rumput laut dari larutan etil asetat berkisar antara 171,4 mg sampai 328,4 mg, berat ekstrak tertinggi untuk larutan etil asetat ditunjukkan oleh rumput laut coklat D. acrostichoides seberat 328,4 mg dan yang terendah ditunjukkan oleh rumput laut Sargassum prismaticum 171,4 mg. Walaupun berbeda pelarut Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Maduriana dan Sudira
24
(2009) yang menggunakan pelarut metanol dimana dari hasil berat ekstrak yang tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut coklat (Phaeophyceae) Padina crassa seberat 900 mg dan terendah dari rumput laut hijau (Chloropyceae) Ulva pertusa seberat 450 mg.
4.4 Pengujian Aktivitas Antibiotik dari Rumput Laut Terhadap Vibrio alginoliticus
Dari data hasil aktivitas penghambat bakteri daya hambat ekstrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio alginoliticus dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini. 30
Daya Hambat (mm)
25 20 Dictyopteris acrostichoides Rosenvingea orientalis
15
Sargassum prismaticum Enteromorpha linza
10 5 0 n-heksana
DCM
EtOAc
Gambar 4. Daya hambat ekstrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio alginoliticus
Dari gambar di atas menyatakan dari empat ekstrak n-heksana yang diujikan,
sebanyak
dua
ekstrak
(50%)
yang
memperlihatkan
aktivitas
penghambat rendah. Aktivitas penghambatan ekstrak ditunjukkan oleh rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides dengan diameter zona hambat 12 mm (cukup), disusul oleh ekstrak rumput laut hijau Enteromorpha linza dengan
25
diameter zona hambat 8 mm (lemah). Dan dari empat ekstrak diklorometana yang diujikan, sebanyak tiga ekstrak (75%) yang memperlihatkan aktivitas penghambat. Aktivitas penghambat tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut hijau Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 27 mm (sangat bagus) disusul oleh ekstrak rumput laut coklat Rosenvingea orientalis dengan diameter zona hambat 22 mm (bagus) dan aktivitas penghambat terendah ditunjukkan oleh ekstrak rumput laut
coklat Dictyopteris acrostichoides dengan diameter
zona hambat 10 mm (lemah). Demikian pula dengan etil asetat, dari empat ekstrak yang diujikan hanya satu ekstrak (25%) yang memperlihatkan aktivitas penghambat yaitu rumput laut coklat Sargassum prismaticum dengan diameter zona hambat 21 mm (bagus). Kontrol positif yang digunakan yaitu tetracyclin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif dengan diameter zona hambat 11,05 mm. Dari jumlah rumput laut yang diujikan, aktivitas antibakteri terhadap patogen Vibrio alginoliticus terbanyak ditunjukkan oleh rumput laut coklat sebanyak empat ekstrak (23,5%) dibandingkan rumput laut hijau hanya dua ekstrak (13,3%) yang menunjukkan aktivitas antibakteri. Ini dapat disimpulkan bahwa rumput laut coklat (Phaeophyceae) lebih memiliki senyawa antibakteri patogen V. alginoliticus dibandingkan dengan rumput laut hijau (Chlorophyceae).
26
4.5 Pengujian Aktivitas Antibiotik dari Rumput Laut Terhadap Vibrio harveyii
Dari data hasil aktivitas penghambat bakteri daya hambat ektrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio harveyii dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.
30 Daya Hambat (mm)
Dictyopteris acrostichoides 25 Enteromorpha linza
20 15
Padina boergesenii
10
Rosenvingea orientalis
5
Sargassum prismaticum
0 n-heksana
DCM
Codium dwarkense
EtOAc
Gambar 5. Daya hambat ekstrak rumput laut terhadap bakteri Vibrio harveyii Dari grafik pada Gambar 5 di atas, terlihat dari enam ekstrak n-heksana yang diujikan, sebanyak dua ekstrak (33,3%) yang memperlihatkan aktivitas penghambatan yang rendah. Aktivitas penghambat diperlihatkan oleh ekstrak rumput
laut
coklat
Dictyopteris
acrostichoides
dan
rumput
laut
hijau
Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 9 mm (lemah). Dari enam ekstrak
diklorometana
memperlihatkan
yang
aktivitas
diuji,
hanya
penghambatan
satu yaitu
ekstrak rumput
(16,6%)
yang
laut
coklat
(Phaeophyceae) D. acrostichoides dengan diameter zona hambat 8 mm (lemah). Sedangkan ekstrak etil asetat tidak memperlihatkan aktivitas penghambat. Kontrol positif yang digunakan yaitu tetracyclin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif dengan diameter zona hambat 10,00 mm.
27
Dari jumlah rumput laut yang diujikan aktivitas antibakteri terhadap patogen Vibrio harveyii terbanyak ditunjukkan oleh rumput laut coklat sebanyak dua ekstrak (13,3%) dan dibandingkan dengan rumput laut hijau hanya satu ekstrak. (6,6%). Maka dapat disimpulkan bahwa rumput laut coklat lebih memiliki senyawa antibakteri patogen V. harveyii dibandingkan rumput laut hijau. Dari hasil data-data di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumput laut coklat lebih memiliki aktivitas dibandingkan rumput laut hijau. Dari jumlah yang diujikan sebanyak 15 ekstrak terhadap bakteri patogen Vibrio spp., empat ekstrak rumput laut coklat yang menunjukkan aktivitas, sedangkan rumput laut hijau hanya dua ekstrak yang menunjukkan adanya aktivitas. Ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Munifatul (2007), dimana dari hasil skrining menunjukkan bahwa rumput laut coklat Sargassum dan Padina adalah jenis rumput laut yang mempunyai aktivitas antibakteri relatif lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Rumput laut dari divisi Phaeophyceae yang berpotensi sebagai obat diantaranya marga Padina, Dictyota dan Sargassum. Padina dan Dictyota diketahui mempunyai aktivitas antibakteri, sedangkan aktivitas antitumor dimiliki oleh Dictyopteris. Marga dari Sargassum diketahui mempunyai aktivitas antibakteri, antitumor (Atmadja, 1990). Dari jenis pelarutnya dapat disimpulkan bahwa ekstrak n-heksana lebih bersifat aktif (13,3 %) dan ekstrak diklorometana (13,3 %) dibandingkan ekstrak etil asetat (6,6 %). Ini dapat disimpulkan bahwa jenis senyawa antibakteri Vibrio spp. adalah senyawa bioaktif. Aktivitas tertinggi terdapat pada ekstrak n-heksana dan diklorometana dibandingkan dengan larutan etil asetat, karena pelarut ini merupakan pelarut yang bersifat bioaktif. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Dubber dan Harder (2008), dimana dari hasil ekstrak n-heksana dapat memperlihatkan aktivitas antibakteri yang kuat dan menghambat hampir
28
semua bakteri uji. Hal ini bersamaan dengan penelitian Tuney dkk. (2006) yang memperlihatkan hasil bahwa ekstrak n-heksana dari Gracilaria sp. mempunyai efektifitas yang lebih tinggi terhadap bakteri. Dari hasil penelitian ini ditemukan jenis rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides mempunyai spektrum aktivitas yang luas walaupun daya hambatnya rendah terhadap kedua bakteri uji. Sedangkan ekstrak dari rumput laut kelompok Chlorophyceae memperlihatkan aktivitas tertinggi dibandingkan dengan kelompok Phaeophyceae. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Munifatul (2007), bahwa ekstrak rumput laut kelompok Chlorophyceae seperti Caulerpa sp. memperlihatkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri Vibrio harveyii, V. anguila, dan V. parahaemolyticus. Namun demikian untuk ekstrak rumput laut Chlorophyceae lainnya seperti Halimeda sp. tidak menunjukkan aktivitas antibakteri baik terhadap Vibrio spp. maupun Pseudomonas spp.
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri patogen Vibrio alginoliticus diperlihatkan
oleh
ekstrak
diklorometana
dari
rumput
laut
hijau
Enteromorpha linza dengan diameter zona hambat 27 mm.
Sementara terhadap bakteri patogen V. harveyii diperlihatkan oleh ekstrak diklorometana dari rumput laut coklat Dictyopteris acrostichoides dan rumput laut hijau E. linza dengan diameter zona hambat masingmasing 9 mm.
Rumput laut hijau E. linza berpotensi sebagai sumber senyawa antibakteri Vibrio spp.
5.2
SARAN
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kandungan senyawa aktif dari ekstrak rumput laut hijau E. linza yang memperlihatkan potensi yang tinggi terhadap patogen Vibrio spp. dengan area pengambilan sampel lebih luas, pelarut lain, dan bakteri uji lebih banyak agar diketahui apakah ekstrak rumput laut ini mempunyai spektrum daya hambat secara luas atau secara khusus saja terhadap Vibrio spp.
30
Daftar Pustaka
Afrianto, E dan Evi, L. (1993). Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Amlacher, E. 1992. Taschenbuch der Fischkrankheiten- Grundlagen der Fisch pathologie. Jena Stuttgart, Gustav Fischer Verlag. Anggraeni, D. 2010. http//penyakit ikan laut bakteri vibriosis.htm.( 7 Januari 2010). Ansel, H. C., 1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press. Jakarta. 94-147. Aslan, L. M., 1991, Budidaya rumput laut. PT. Kanisius. Yogyakarta. Astuti, P., Alam, G., Pratiwi, SUT., Hertiani, T., dan Wahyuono, S. 2003. Skrining senyawa anti infeksi dari spons yang dikoleksi dari Bunaken, Manado. Biota Vol. VIII 127: 47-52. Atmadja, W.S. 1990. Rumput Laut Sebagai Obat. Jurnal Oseana, 17: 1-8. Bhavanath Jha C. R. K. Reddy Mukund C. Thakur M. Umamaheswara Rao, 2009. Seaweeds of India, The Diversity and Distribution of Seaweeds of the Gujarat Coast. Cragg, G.M., D.J. Newman, R.B. Weiss. 1997. Coral reefs, forests, and thermal vents: the worldwide exploration of nature for novel antitumor agents. Semin. Oncol., 24: 156-163. Deval, A.G., G. Platas, A. Basilio, A. Cabello, J. Gorrochategui, I. Suay, F. Vicente, E. Portilllo, M.J. del Rio, G.G. Reina, F. Peláez. 2001. Screening of antimicrobial activities in red, green and brown macroalgae from Gran Canaria (Canary Islands, Spain). Int. Microbiologi. 4: 35-40. Dubber, D. dan T. Harder. 2008. Extracts of Ceramium rubrum, Mastocarpus stellatus and Laminaria digitata inhibit growth of marine and fish pathogenic bacteria at ecologically realistic concentrations. Aquaculture, 274: 196–200. Harikrishnan, R. dan C. Balasundaram. 2008. In vitro and in vivo studies of the use of some medicinal herbals against the pathogen Aeromonas hydrophila in goldfish. J. Aquat. Anim. Health, 20: 165-176. Hay, M.E. 1996. Marine chemical ecology: what’s known and what’s next. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 200: 103-134. Indriani, Heti., dan Emi Sumiarsih. 2003. Rumput Laut Budi Daya Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta. Penebar Swadaya. Hal. 4-8, 11-12. Itaibnu.
2010. Sulsel miliki peluang investasi http://beritadaerah.com/news.php. (Desember 2010).
rumput
laut.
31
Khurio, S. 2011. Pusat Riset Perikanan Budidaya. http//budidaya perikanan.htm. (26 Juli 2011). Maduriani, I. M., I. W. Sudira. 2009. Skrining dan Uji Aktivitas Antibakteri Beberapa Rumput Laut dari Pantai Batu Bolong Canggu dan Serangan. Munifatul, I. 2007. Skrining Potensi Antibakteri pada Beberapa Spesies Rumput Laut terhadap Bakteri Patogen pada Udang Windu. Laboratorium Struktur dan fungsi tumbuhan. Vol. 9, No. 2, Hal. 62 – 67. Murtiati dan Endang. A. S. 1998. Evaluasi Dampak Lingkungan dan Daya Toleransi Udang Penaus Manodon. Universitas Diponegoro. Putra,
SE. 2006. Biota Laut sebagai Biotarget Industri www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel211586897. (26 Agustus 2010)
Prajitno,
A. 2005. Diktat Parasit dan Penyakit Perikanan.Universitas Brawijaya, 105 hal.
Ridwan, N. 2009. Rumput laut Takalar menjanjikan. (20 Januari 2011).
Ikan
.Fakultas
http://www.kompas.com
Schlotfeld, H-J. and D.J. Aldermann. 1995. What should I do? A practicle guide for the fresh water fish farmer. 154. Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Rumput laut Laut Sebagai Penunjang Perkembangan. Tuney, I., B.H. Cadirci, D. Unal and A. Sukatar. 2006. Antimicrobial activities of the extracts of marine algae from the coast of Urla (zmir, Turkey). Turk. J. Biol. 30: 1-5. Usniarni. 2008. Opini Tribun Timur. Februari 2010).
http://www.tribun-timurcom./view. (28
Volk, W, A. and Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Markham.Penerbit Erlangga Jakarta. Wikipedia. 2010. http://wikipedia.org.wiki. Diklorometana. (4 April 2010). Wikipedia. 2011. http://wikipedia.org.wiki. Etil asetat. (2 Agustus 2011). Winston, J.E. 1988. The systematist’ perspective. In: D.G. Fautin (ed.). Biomedical Importance of Marine Organisms. pp. 1-6. California Academy of Sciences, San Francisco. Yudhi. 2009. Khasiat dan manfaat rumput laut. http://www.kir-31.blogspot.com/. (7 November 2010). Zainuddin, E, N. 2006. Chemical and biological investigations of selected cyanobacteria (Blue-Green Algae). PhD Thesis, University Greifswald.
32
Zainuddin, E. N dan Malina, A, C. 2009. Skrining rumput laut asal Sulawesi Selatan sebagai antibiotik melawan bakteri patogen pada ikan. Laporan Penelitian Research Grant, Biaya IMHERE-DIKTI.