INFO SOSIAL EKONOMI Vol. 3 No.1 (2003) pp. 10-18
EVALUASI KEBIJAKAN YANG MENDISTORSI PASAR KAYU (An Evaluation of Policies Distorting Timber Market ) Oleh/By Satria Astana, Subarudi, dan M. Zahrul Muttaqin
RINGKASAN Industri kehutanan terutama industri kayu dan produk olahannya dicirikan oleh proses-pasar input-output yang bertahap-tahap dimana antara tahap awal (prosespasar tegakan hutan) hingga tahap akhir (proses-pasar produk akhir) saling berkaitan satu sama lain. Sejak tahun 1970-an, terdapat sejumlah kebijakan yang telah diberlakukan untuk mempengaruhi proses-pasar industri kehutanan tersebut. Hasil kajian menyimpulkan bahwa beberapa kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF (International Monetary Fund) untuk dihapuskan merupakan kebijakan-kebijakan signifikan yang mendistorsi pasar kayu. Beberapa kebijakan yang dimaksud, terdiri dari: (a) larangan ekspor kayu bulat dan kayu gergajian melalui prohibitive tax, (b) kuota ekspor kayu lapis melalui Badan Pemasaran Bersama, dan (c) pungutan fee dan royalty oleh APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia). Hasil kajian juga menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi oleh kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan industri kayu terintegrasi vertikal menyebabkan pemerintah kehilangan penerimaan pajak ekspor dan harga kayu bulat cenderung relatif rendah. Sebaliknya, penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang dibarengi oleh penghapusan kebijakan kuota ekspor kayu olahan tetapi industri kayu terintegrasi vertikal dipertahankan menyebabkan pemerintah memperoleh pajak ekspor dan harga kayu bulat dalam negeri cenderung relatif tinggi. Selama implikasi masing-masing pilihan paket kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan antara harga kayu bulat yang terbentuk, perbedaan harga kayu bulat yang terjadi merupakan besarnya nilai ekonomi yang hilang atau yang terdistorsi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Pandangan pro dan kontra dalam merespon penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat disebabkan oleh masing-masing pihak tidak memiliki informasi yang valid mengenai: (a) peta industri kayu yang efisien dan tidak efisien, (b) potensi hutan produksi lestari, dan (c) peta perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang lestari dan tidak lestari.
15
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
I. PENDAHULUAN Industri kehutanan terutama industri kayu dan produk olahannya dicirikan oleh proses-pasar input-output yang bertahap-tahap dimana antara tahap awal (proses-pasar tegakan hutan) hingga tahap akhir (proses-pasar produk akhir) saling berkaitan satu sama lain. Dalam rantai proses-pasar input-output, struktur pasar kayu bulat dan kayu olahan (dalam kondisi autarky) dapat berbeda satu sama lain: monopoli, oligopoli, atau pasar bersaing. Masing-masing struktur pasar tersebut dapat mempengaruhi tingkat efisiensi alokasi sumberdaya hutan yang tersedia. Lebih jauh, kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam kondisi struktur pasar yang berbeda memiliki implikasi yang juga berbeda dalam perolehan dan distribusi manfaat ekonomi bagi pemerintah, pelaku ekonomi dan masyarakat luas. Dalam kondisi autarky, struktur pasar tegakan hutan di Indonesia adalah monopoli selama kepemilikannya dikuasai oleh negara (pemerintah). Sedangkan struktur pasar kayu bulat hingga produk akhir (end products), dalam kondisi autarky, ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Struktur pasar kayu bulat dan kayu olahan cenderung oligopoli jika pemerintah membatasi jumlah perusahaan yang memproduksi kayu bulat dan kayu olahan dan sebaliknya cenderung menjadi pasar bersaing jika pemerintah membebaskan jumlah masing-masing perusahaan. Sejak tahun 1970-an pemerintah telah memberlakukan sejumlah kebijakan untuk mempengaruhi proses-pasar input dan output industri kehutanan. Secara umum sejumlah kebijakan tersebut pada intinya antara lain bertujuan untuk: (a). Menjaga kelestarian sumberdaya hutan; (b). Meningkatkan perolehan devisa; dan (e). Menyerap tenaga kerja. Dari sisi pencapaian tujuan perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja, sejumlah kebijakan yang diberlakukan pada periode 1970-an hingga 1990-an telah berhasil mencapai kedua tujuan tersebut. Dalam perolehan devisa, pada periode 1976-1984 total nilai ekspor kayu Indonesia mencapai US$ 13,0 milyar dengan ratarata pertahun mencapai US$ 870 juta, tetapi pada periode 1985-1995 meningkat dengan signifikan mencapai US$ 35,6 milyar dengan rata-rata pertahun sebesar US$ 3,2 milyar. Dalam penyerapan tenaga kerja, pada periode 1970-1984 jumlah tenaga yang diserap mencapai 2,1 juta orang dengan rata-rata pertahun mencapai 0,24 juta orang, tetapi pada periode 1985-1997 meningkat dengan signifikan mencapai 6,5 juta orang dengan rata-rata pertahun mencapai 0,5 juta orang (Astana dan Erwidodo, 2001). Namun demikian, keberhasilan dalam pencapaian tujuan perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja tersebut tidak diimbangi oleh keberhasilan dalam pencapaian tujuan menjaga kelestarian sumberdaya hutannya. Hasil kajian Astana dan Erwidodo (2001) menunjukkan bahwa nilai kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat. Pada periode 1976-1984 total nilai kerusakan sumberdaya hutan (belum termasuk kerusakan keragaman hayati dan lingkungan) mencapai US$ 263 juta dengan nilai kerusakan ratarata pertahun mencapai US$ 29 juta, dan pada periode 1985-1995 meningkat mencapai US$ 1,1 milyar dengan nilai kerusakan rata-rata pertahun mencapai US$ 67 juta. Lebih jauh, industri pengolahan kayu yang berkembang menghasilkan nilai tambah kayu yang negatif. Pada periode 1976-1984, total nilai tambah kayu Indonesia mencapai negatif US$ 657 juta dengan rata-rata pertahun mencapai negatif US$ 73 juta, dan pada periode 1985-1995 mencapai negatif US$ 278 juta dengan nilai rata-rata pertahun mencapai
16
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
negatif US$ 25 juta. Ironisnya, total nilai tambah kayu yang negatif tersebut disebabkan oleh porsi nilai tambah dari industri kayu lapis. Perlu ditambahkan bahwa industri kayu lapis merupakan industri kayu yang justru menjadi sasaran kebijakan pengembangan industri kayu yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah kayu (Astana dan Erwidodo, 2001). Dengan demikian, sejumlah kebijakan yang diberlakukan secara umum tidak mampu mencapai tujuan kelestarian sumberdaya hutan. Hal ini menurut sebagian pihak disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang diberlakukan selama periode tersebut telah menciptakan tidak seimbangnya kekuatan-kekuatan pelaku pasar kayu sehingga menciptakan struktur pasar kayu yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pasar kayu yang terbentuk kemudian dianggap sebagai faktor penyebab timbulnya kerusakan sumberdaya hutan. Tetapi sebagian pihak lain berpandangan bahwa sejumlah kebijakan yang diberlakukan selama periode tersebut merefleksikan kuatnya peranan pemerintah dalam “pengaturan teknis” pengelolaan sumberdaya hutan serta industri dan perdagangan hasil hutan, sehingga peranan pemerintah dalam “mengawasi” pemanfaatan sumberdaya hutan dan mendorong alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan ke arah yang lebih efisien lemah. Lemahnya peranan pemerintah tersebut kemudian dianggap sebagai faktor penyebab timbulnya kerusakan sumberdaya hutan. Kajian ini mengeksplorasi dan mengevaluasi kedua pandangan tersebut. Sejumlah kebijakan yang diberlakukan selama periode 1970-an hingga 1990-an secara umum telah mencapai tujuan peningkatan perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Namun sejumlah kebijakan tersebut tidak berhasil mencapai tujuan kelestarian sumberdaya hutan. Pandangan yang muncul menyatakan bahwa kerusakan sumberdaya hutan yang terjadi disebabkan oleh struktur pasar kayu yang tidak sempurna, dan kuatnya peranan pemerintah yang bersifat “teknis” dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta industri dan perdagangan kayu. Pertanyaannya adalah: (1) Apakah struktur pasar kayu yang terbentuk selama ini bersifat monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni? (2) Apakah keterkaitan antara industri kayu dan HPH merupakan syarat kecukupan dan syarat keharusan pemanfaatan sumberdaya hutan yang efisien ataukah keterkaitan tersebut sebagai syarat kecukupan dan keharusan untuk mencapai skala ekonomi yang diharapkan? (3) Apakah seharusnya pelaku pasar kayu memiliki skala usaha yang besar, atau dimungkinkan memiliki skala usaha yang sedang atau mungkin yang kecil sekalipun, atau apakah industri kayu harus terkait atau tidak dengan HPH? (4) Apakah struktur pasar kayu yang ada perlu diubah atau tidak? (5) Jika perlu, apakah perubahan itu mungkin atau tidak mungkin diwujudkan dalam jangka pendek, dan jika tidak perlu, apa alternatif kebijakan yang seharusnya diberlakukan? (6) Kebijakan-kebijakan yang seperti apa dan bagaimana seharusnya diberlakukan sehingga kinerja sektor kehutanan yang dicapai selama ini dapat ditingkatkan? (7) Kebijakan-kebijakan mana yang telah mendistorsi pasar kayu dan di tingkat pasar kayu yang mana? (8) Apa kriteria dan indikator bahwa suatu kebijakan mendistorsi pasar? (9) Mengapa kebijakan-kebijakan yang mendistorsi pasar (selama ini) terpaksa diberlakukan dan bagaimana akibatnya jika tidak diiberlakukan serta apakah perlu atau sebenarnya tidak perlu diberlakukan? (10) jika memang perlu diberlakukan, apakah pelaksanaannya yang telah mengalami penyimpangan dan jika tidak perlu diberlakukan, apa alternatif kebijakan yang seharusnya diberlakukan? (11) Seberapa besar inefisiensi akibat distorsi kebijakan yang terjadi? (12) Akibat kebijakan yang mana yang paling besar menimbulkan inefisiensi dan di tingkat pasar yang mana?
17
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
(13) Apakah bisa dan jika bisa, bagaimana inefisiensi dapat dikurangi dan seberapa berapa besar penurunan inefisiensi dapat dicapai? (14) Apa dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan dari penurunan inefisiensi, dan apakah dampak positif dari penurunan inefisiensi selalu akan lebih besar daripada dampak negatifnya? Kajian ini tidak diarahkan untuk mengevaluasi dan mengkaji seluruh permasalahan tersebut, tetapi hanya beberapa permasalahan yang dianggap signifikan mendistorsi pasar kayu, yaitu pasar tegakan, pasar kayu bulat, dan pasar kayu olahan.
II. EVALUASI KEBIJAKAN DAN INEFISIENSI SUMBERDAYA HUTAN Pandangan yang standar memformulasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan yang efisien dicapai hanya jika struktur pasarnya bersaing sempurna. Kebijakankebijakan yang menghalangi terbentuknya pasar bersaing merupakan kebijakankebijakan yang mendistorsi pasar. Dalam membahas kondisi pasar kayu tidak terlepas dari peranan para pelaku pasar dan aturan main yang berlaku dan yang disepakati bersama seperti peraturan dan kebijakan pemerintah serta tatanan perdagangan internasional. Sebuah kebijakan kehutanan yang diterapkan pada satu tahap proses-pasar kayu memiliki kaitan ke belakang dan kaitan ke depan dalam industri kehutanan sendiri maupun industri lain. Khususnya dalam industri kehutanan sendiri, kaitan ke belakang dan ke depan tersebut terjadi karena industri kehutanan berciri proses-pasar input dan output yang bertahap-tahap, yang dimulai dari proses-pasar tegakan hutan hingga proses-pasar produk kayu akhir. A. Pasar Tegakan Sebelum krisis moneter bulan Juli 1997, kebijakan kehutanan yang berkaitan dengan pasar tegakan hutan dicirikan oleh pengaturan yang memungkinkan penguasaan areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sangat luas bagi satu perusahaan atau grup perusahaan. Sebaliknya, setelah krisis moneter atau selama krisis ekonomi, perubahan terjadi dengan ciri yaitu membatasi penguasaan areal HPH bagi satu perusahaan atau grup perusahaan (Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999; pasal 8 ayat 1). Sebelum krisis moneter, ciri kebijakan lain adalah pemberian HPH tidak dilakukan dengan cara lelang tetapi selama krisis berubah dengan cara lelang (Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999; pasal 6 ayat 1). Di samping diperkenalkan sistem lelang, pemegang HPH juga diwajibkan menyediakan Dana Jaminan Kinerja (DJK) (Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999; pasal 18 ayat 1). Sebelum krisis moneter, pungutan sebagai pengganti nilai intrinsik hasil hutan dinamai Iuran Hasil Hutan (IHH), selama krisis ekonomi diubah menjadi Provisi Sumberdaya Alam (PSDH), sedangkan pembayaran Iuran HPH (IHPH) dan DR (Dana Reboisasi) masih berlaku sebagaimana sebelum krisis moneter (Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999; pasal 17 ayat 1b, 1a dan 1c). Kebijakan PSDH diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 858/Kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Per Satuan Hasil Hutan.
18
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
Sedangkan kebijakan DR tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 1990 tentang Dana Reboisasi yang telah mengalami perubahan hingga pada Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 1997. Dalam peraturan perundangan yang terakhir, DR masih dikelola tersendiri dan tidak masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur oleh UU Nomor 20 tahun 1997. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999, DR masuk ke dalam PNBP sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 20 tahun 1997. Dari sisi substansi, perubahan kebijakan yang terjadi tidak banyak berpengaruh terhadap perbaikan bekerjanya pasar tegakan. Dalam batas tertentu bahkan justru cenderung menimbulkan distorsi pasar. Sebagai contoh, lelang HPH (yang lebih mengarah pada lelang tegakan) dirasakan masih mengandung kelemahan antara lain: prosedur yang belum transparan dan tanpa penentuan harga dasar (yang bersaing) (Prahasto et al., 2001). Sedangkan dalam penerimaan pungutan, tidak seluruh rente ekonomi diterima oleh pemerintah, sehingga pemerintah tidak berkemampuan untuk merehabilitasi hutan dengan cara yang rasional. Sebagai contoh, harga kayu bulat sebesar US$ 80 per m3, rente ekonomi yang seharusnya diterima pemerintah sebesar US$ 58 per m3. Tetapi selama ini dan hingga kini, pemerintah hanya menerima US$ 35 per m3 (Brown, 1999), atau masih terdapat rente ekonomi sebesar US$ 23 per m3 yang hilang atau terdistorsi. B. Pasar Kayu Bulat Sebelum krisis moneter bulan Juli 1997, dari sejumlah kebijakan yang dapat mempengaruhi pasar kayu bulat, terdapat satu kebijakan yang signifikan berpengaruh yaitu kebijakan pemberlakukan larangan eskpor kayu bulat. Kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian No. 317/Kpts/Um/5/1980, Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 196/Kpb/V/80 dan Menteri Perindustrian No. 182/m/SK/5/1980 Tanggal 8 Mei 1980 Tentang Kewajiban Penyediaan Kayu untuk Kebutuhan dalam negeri dikaitkan dengan ekspor kayu bulat. Sebagai akibat kebijakan tersebut, pola perdagangan kayu bulat berubah, yaitu dari orientasi ekspor ke orientasi pasar dalam negeri. Sesuai dengan kebijakan tersebut, ekspor kayu bulat dilarang yang berlaku efektif mulai tahun 1985. Kemudian untuk menghindari tuduhan internasional sebagai non-tariff barrier, kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut diganti dengan kebijakan pajak ekspor tinggi (prohibitive tax) yang mulai berlaku efektif sejak bulan Juni 1992 (Manurung, 1995). Krisis moneter bulan Juli 1997 telah mendorong upaya keluar dari krisis dengan meminta bantuan IMF (International Monetery Fund). Dari hasil kesepakatan antara IMF dengan pemerintah tanggal 15 Januari 1998, terdapat satu butir LoI (Letter of Intens) yang signifikan bagi pasar kayu bulat yaitu pemerintah akan menurunkan pajak ekspor kayu bulat maksimum mencapai 10% pada tahun 2000. Secara rinci, rencana penurunan pajak ekspor kayu bulat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: maksimum 30% sebelum 15 April 1998; maksimum 20% sebelum akhir Desember 1998; maksimum 15% sebelum akhir Desember 1999; maksimum 10% sebelum akhir Desember 2000; 0% pada tahun 2003 (Timotius, 2000). Setelah kesepakatan dengan IMF diimplementasikan, timbul keluhan dari pelaku ekonomi industri pengolahan kayu. Pertama, mengeluhkan kesulitan memperoleh kayu bulat. Kedua, mengeluhkan
19
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
maraknya ekspor kayu bulat ilegal. Ketiga, masyarakat mengeluhkan kerusakan hutan semakin parah (Astana dan Erwidodo, 2001). Dalam merespon keluhan-keluhan tersebut, Menteri Kehutanan, yang ketika itu dijabat oleh Dr. Nurmahmudi Ismail, menyatakan bahwa sebaiknya kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali. Alasan Dr. Nurmahmudi Ismail, pertama: masalah terbesar adalah illegal logging, dan penyelundupan kayu merupakan bagian dari illegal logging; kedua, adanya ketidakseimbangan penawaran dan permintaan kayu bulat di dalam negeri (World Bank, 2000). Dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat, Dr. Nurmahmudi Ismail berharap penyelundupan kayu bulat dapat dikendalikan. Dalam jangka panjang, dia berharap kebijakan larangan ekspor kayu bulat dapat meningkatkan kesempatan kerja, karena yang diekspor bukan kayu bulat tetapi produk kayu olahan. Belakangan ini hasil Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, dan dengan Ketua Mayarakat Perhutanan Indonesia (MPI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) tanggal 13 Maret 2001, juga menyimpulkan hal yang sama, sebagaimana diusulkan oleh Dr. Nurmahmudi Ismail. Kesimpulan Dengar Pendapat tersebut menyebutkan: “Komisi III DPR RI mencermati terhadap adanya kesenjangan antara supply dan demand kayu dan juga di dalam kerangka pengembangan industri hilir dari bahan baku kayu yang akan dapat membangun kesempatan kerja dan berusaha bagi tenaga kerja di Indonesia, serta mencegah pencurian kayu secara besar-besaran. Untuk itu Komisi III DPR RI meminta kepada pihak Pemerintah untuk menghentikan ekspor kayu log dari Indonesia” (Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2001). Walaupun demikian, wacana Menteri Kehutanan tersebut masih menimbulkan pandangan pro dan kontra. Sebagai contoh, Erwidodo (2001) menyatakan bahwa kebijakan untuk memberlakukan larangan ekspor kayu bulat bukanlah suatu kebijakan yang tepat dalam upaya memerangi maraknya kegiatan penebangan liar dan pemenuhan kebutuhan kayu bulat dalam negeri karena beberapa alasan: 1. Selama ketimpangan akan kebutuhan kayu bulat untuk IPKH tidak dicarikan jalan keluarnya yang tepat dan benar, maka usaha pelarangan ekspor kayu bulat menjadi sia-sia dan hanya mengundang kecaman dari dunia internasional. 2. Ketimpangan antara harga kayu bulat di pasar luar negeri (FOB) dengan pasar dalam negeri akan terus mengundang pihak-pihak tertentu (eksportir) untuk melakukan ekspor kayu bulat secara ilegal (penyelundupan) walaupun sudah diberlakukan larangan ekspor kayu bulat. 3. Alasan pelarangan ekspor kayu bulat untuk memenuhi kebutuhan industri kayu khususnya industri kayu lapis sebagai konsumen kayu bulat terbesar (66,89%) perlu diluruskan karena berdasarkan hasil riset menunjukkan bahwa industri kayu lapis merupakan industri yang sudah redup dan tidak efisien. Apalagi saat ini harga kayu lapis dunia mengalami penurunan yang signifikan (dari 450 US$/m3 menjadi 250 US$/m3) dengan tingkat rendemen 50% dan harga kayu bulat sebesar 110 US$/ m3, maka nilai tambah industri kayu lapis relatif rendah. 4. Dengan tetap membuka kran ekspor kayu bulat, pemerintah akan tetap mendapatkan pemasukan dari pajak ekspornya dan pemerintah membantu menciptakan pasar kayu yang bebas dan tidak diskriminitif. Disamping itu juga kebijakan ekpor kayu
20
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
bulat akan mendorong IPKH untuk lebih memperhatikan tingkat efisiensi produksinya. Dengan demikian, pandangan yang pro kebijakan larangan ekspor kayu bulat berkesimpulan bahwa kebijakan ekspor kayu bulat mendorong penebangan kayu ilegal dan berpotensi mematikan industri pengolahan kayu di dalam negeri. Sebaliknya, pandangan yang kontra berkesimpulan bahwa kebijakan larangan ekspor kayu bulat (melalui prohibitive tax) justru mendorong penebangan kayu ilegal yang dipicu oleh perbedaan harga ekspor dan harga dalam negeri, dan pemerintah kehilangan penerimaan pajak ekspor. Jika demikian, maka masalah pokok yang perlu dipecahkan di satu pihak adalah penebangan kayu ilegal, dan di lain pihak adalah penerimaan pemerintah. Lebih jauh, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama di atas, kebijakan larangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan kayu di dalam negeri. Berbarengan dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut, terdapat upaya percepatan penumbuhan industri dengan cara menerapkan kebijakan pengembangan industri terintegrasi vertikal berintikan industri kayu lapis. Kebijakan ini dilaksanakan dengan cara “memaksa” perusahaan industri pengolahan kayu yang tidak memiliki HPH atau perusahaan HPH yang tidak memiliki industri pengolahan kayu untuk bergabung. Dengan demikian, selain dipengaruhi oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat, kondisi pasar kayu bulat juga dipengaruhi oleh kebijakan industri pengolahan kayu integrasi vertikal. Sebagian besar kalangan berpendaapat bahwa kebijakan industri integrasi vertikal telah menyebabkan struktur pasar kayu bulat bersifat monopsoni/oligopsoni. Sesuai kesepakatan pemerintah dan IMF, kebijakan industri integrasi vertikal dicabut. Walaupun demikian hingga kini industri yang bersangkutan masih mendominasi pasar kayu bulat. Pada tahun 1999, kebutuhan kayu bulat industri integrasi vertikal atau industri terkait HPH mencapai 70,5% dari total kebutuhan industri pengolahan kayu nasional (Tabel 1). Tabel 1. Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu bulat tahun 1999 No 1.
2. 3.
Kebutuhan dan Produksi Kebutuhan kayu bulat (1999) a. Industri terkait HPH b. Industri tidak terkait HPH Total kebutuhan per tahun Produksi kayu bulat rata-rata per tahun (1995 –1999) Kesenjangan produksi dan kebutuhan
Volume (juta m3)
%
41,09 17,15 58,24 25,36 32,88
70,5 29,5 100 43,5 56,5
Sumber: Badan Planologi HutBun (2000)
Permasalahannya adalah apakah harga kayu bulat dalam negeri masih terdistorsi setelah kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut dihapuskan? Dengan asumsi seluruh industri pengolahan kayu tidak terkait HPH atau seluruh industri pengolahan kayu tumbuh tanpa kebijakan larangan ekspor kayu bulat, maka tidak adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara langsung akan menyamakan harga kayu bulat dalam negeri dengan harga ekspor. Sebaliknya, bila seluruh industri pengolahan kayu terkait dengan HPH, maka dihapuskannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat belum tentu menyamakan harga kayu bulat dalam negeri dengan harga ekspor. Hal ini bergantung
21
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
pada biaya pembalakan dan normal profits and risk yang disukai oleh investor HPH dan industri pengolahan kayu. Dengan asumsi perusahaan HPH telah puas dengan keuntungan normal dan risiko sebesar 25%, total biaya produksi kayu bulat (biaya pembalakan kayu bulat ditambah margin keuntungan normal dan risiko) akan mencapai $US 22 per m3 (Brown, 1999). Dengan harga kayu bulat ekspor sebesar US$ 80 per m3, dan biaya transportasi ke negara tujuan ekspor sebesar US$ 38 per m3, maka rente ekonomi yang ditangkap pemerintah sebesar US$ 30 per m3. Dengan asmsi pemerintah akan fleksibel dengan rente ekonomi yang harus diperoleh, maka berdasarkan perhitungan keuntungan dan risiko tersebut, investor industri terintegrasi vertikal akan mempertimbangkan apakah menutup industri pengolahan kayunya dan hanya mengekspor kayu bulat, atau tidak mengekspor kayu bulat dan akan mempertahankan industri pengolahan kayu terintegrasi vertikalnya. Dalam kondisi demikian, maka distorsi pasar kayu bulat tidak terjadi bila investor yang bersangkutan memutuskan untuk menutup industri pengolahan kayunya dan hanya akan mengekspor kayu bulat. Hal ini karena penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan menyamakan harga kayu bulat dalam negeri dengan harga ekspor. Sebaliknya, bila investor yang bersangkutan memutuskan tidak menutup industri pengolahan kayunya dan tidak akan mengekspor kayu bulat, maka penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat tidak akan menyamakan harga kayu bulat dalam negeri dengan harga ekspor. Sebagai akibatnya, harga kayu bulat dalam negeri akan tetap terdepresi atau terdistorsi sebesar perbedaan harga dalam negeri dengan harga ekspor. Dengan asumsi lingkungan kebijakan makroekonomi dan kehutanan serta politik kondusif untuk pengembangan usaha, keputusan akhir bagi investor bergantung pada tingkat efisiensi industri pengolahan kayunya, ketersediaan produksi kayu bulat dari perusahaan HPHnya, dan keajegan perkembangan wilayah pasar kayu olahannya. Bila ketiga variabel yang belakang juga mendukung keputusan tidak mengekspor kayu bulatnya untuk mempertahankan industri pengolahan kayunya, maka kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Dalam kondisi demikian, penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan menyamakan harga dalam negeri dengan harga ekspor, karena industri pengolahan kayu yang efisien akan cenderung menggunakan harga kayu bulat internasional sebagai indikator mampu bersaing di pasar dunia. Sebaliknya, dalam kondisi industri yang tidak efisien, investor dengan menggunakan hukum pemaksimalan laba, akan cenderung untuk mengekspor kayu bulat dan menutup industri pengolahan kayunya. Dengan demikian, apakah kebijakan industri terintegrasi vertikal akan menyebabkan distorsi pasar bergantung pada tingkat efisiensi industri yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia dimana industri integrasi vertikal mendominasi pasar kayu bulat (monopsoni), maka kecenderungan apakah kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan menyamakan harga kayu bulat dalam negeri dengan harga ekspor bergantung pada tingkat efisiensi yang dicapai oleh industri vertikal yang bersangkutan. Namun dapat diperkirakan bahwa bila industri kayu vertikal di dalam negeri tidak efisien, maka perusahaan HPH yang tidak terkait dengan industri pengolahan kayu akan cenderung mengekspor produksi kayu bulatnya. Demikian halnya dengan industri vertikal itu sendiri, juga akan cenderung menutup industrinya selama dirasakan mengekspor kayu bulat lebih menguntungkan. Oleh sebab itu, penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat
22
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
cenderung menurunkan distorsi pasar kendati industri pengolahan kayunya didominasi oleh industri terintegrasi vertikal. Sebaliknya, pemberlakuan kembali kebijakan larangan ekspor kayu bulat cenderung mendistorsi pasar kendati kebijakan industri terintegrasi vertikal dihapuskan. Menyadari bahwa keputusan akhir investor bergantung pada lingkungan kebijakan makroekonomi, kehutanan, dan politik, serta tingkat efisiensi industri kayu, ketersediaan kayu bulat dari perusahaan HPH dan keajegan perkembangan wilayah pasar kayu olahannya, maka perdebatan mengenai kebijakan larangan ekspor kayu bulat tentunya tidak akan pernah berkesudahan selama masing-masing pandangan kurang didukung oleh informasi yang lengkap mengenai beberapa variabel ekonomi tersebut. Sebagai contoh, pemecahan masalah kayu ilegal dan penerimaan pemerintah memerlukan informasi yang akurat mengenai: (a) tingkat efisiensi industri pengolahan kayu di dalam negeri; (b) potensi hutan (alam dan tanaman) yang lestari; dan (c) tingkat penerapan pengelolaan hutan lestari terutama di hutan alam (KPHP). Pada kondisi dimana ketiga informasi tersebut masih belum tersedia secara memadai, maka kebijakan apapun yang akan diberlakukan termasuk kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan selalu menimbulkan kontroversi. Informasi tingkat efisiensi industri pengolahan kayu akan memberikan jawaban yang pasti apakah industri pengolahan kayu di dalam negeri telah atau belum mampu bersaing dengan industri sejenis di luar negeri pada tingkat harga kayu bulat di pasar internasional. Dengan informasi ini, pemerintah dapat memetakan yang mana, dimana dan berapa jumlah industri yang tidak efisien dan yang efisien. Dengan informasi ini, pemerintah sekaligus juga dapat membuat kebijakan apakah yang tidak efisien masih perlu dibantu atau tidak perlu lagi dibantu dalam penyediaan bahan baku kayu yang dibutuhkannya. Dengan demikian, argumen bahwa kebijakan ekspor kayu bulat akan mematikan industri pengolahan kayu di dalam negeri menjadi tidak relevan lagi. Sedangkan informasi potensi hutan lestari yang pasti akan memberikan kepastian penawaran kayu bulat: jenis apa, dimana dan berapa? Kepastian penawaran kayu bulat akan memberikan kepastian dalam membuat kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu di dalam negeri. Jika penawaran kayu bulat yang lestari tidak memungkinkan untuk pengembangan industri baru, maka kebijakan pengembangan industri yang baru dapat dilakukan misalnya industri yang bersangkutan diikat untuk membangun hutan tanaman terlebih dahulu, atau pemerintah membangun hutan tanaman terlebih dahulu, baru kemudian pengembangan industri baru diijinkan. Lebih jauh, kepastian penawaran kayu bulat akan memberikan kepastian bagi industri pengolahan kayu khususnya yang tidak terkait langsung dengan perusahaan HPH dalam merencanakan penutupan atau merestrukturisasi industrinya. Namun demikian, informasi kepastian penawaran kayu bulat menjadi tidak berarti apabila antara kayu legal dan kayu ilegal belum bisa dibedakan di lapangan. Terakhir, tingkat penerapan pengelolaan hutan lestari. Informasi tingkat penerapan pengelolaan hutan lestari akan memberikan jawaban yang rasional dalam membedakan produksi kayu yang mana yang legal dan ilegal. Dengan demikian, berapa sebenarnya produksi kayu legal dan ilegal yang diperdagangkan dapat dideteksi secara benar. Lebih jauh, kemampuan untuk mengenali antara produksi kayu legal dan ilegal akan memudahkan upaya penegakan hukum, karena bukti-bukti untuk membedakannya tersedia secara akurat. Dengan demikian, argumen bahwa penebangan kayu ilegal
23
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum menjadi tidak relevan lagi; jika bukti-bukti perbedaan antara kayu legal dan kayu ilegal tersedia secara akurat, haruskah keputusan hukum tidak mampu merespon bukti-bukti tersebut secara benar? C. Pasar Kayu Olahan Pada permulaan eksploitasi hutan alam luar Jawa berlangsung, kinerja perdagangan kayu olahan relatif rendah dibandingkan dengan kayu bulat. Pada periode 1970-1984 dimana kebijakan larangan ekspor kayu bulat belum diberlakukan, total nilai ekspor kayu olahan (kayu lapis dan kayu gergajian) hanya mencapai US$ 3,5 milyar dengan nilai rata-rata pertahun sebesar US$ 0,2 milyar, sedangkan total nilai ekspor kayu bulat mencapai US$ 9,5 milyar dengan nilai rata-rata pertahun mencapai US$ 0,6 milyar (Astana dan Erwidodo, 2001). Namun sejalan dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada awal 1980-an, terdapat peningkatan kinerja industri kayu olahan. Pada periode 1985-1995 dimana kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan, total nilai ekspor kayu olahan meningkat mencapai US$ 35,1 milyar dengan nilai rata-rata pertahun sebesar US$ 3,2 milyar, sedangkan kayu bulat sebaliknya menurun mencapai US$ 117 juta dengan nilai rata-rata pertahun mencapai US$ 11 juta (Astana dan Erwidodo, 2001). Selain kebijakan larangan ekspor kayu bulat, terdapat beberapa kebijakan lain yang mempengaruhi kinerja pasar kayu olahan, terutama pelaku industri pengolahan kayu. Pertama, dinaikkannya status Direktorat Jenderal Kehutanan menjadi Departemen Kehutanan. Kedua, diserahkannya urusan pembinaan teknis industri kayu dari Departemen Pertanian ke Departemen Perindustrian. Ketiga, dibentuknya Badan Pemasaran Bersama oleh APKINDO dan secara formal disahkan oleh Departemen Perdagangan. Keempat, penyederhanaan tata usaha kayu. Selanjutnya pada Pelita V kebijakan untuk mendorong pengembangan industri kayu ditandai oleh kenaikan pajak ekspor kayu yang tinggi (prohibitive tax). Terakhir, pada Pelita VI instrumen kebijakan untuk memperlancar ekspor kayu lapis dan olahan lain terus diluncurkan. Pada periode ini ditetapkan adanya kebijakan mengenai Produsen Eksportir Tertentu (PET) dan pola keterkaitan antara HPH-IPKH (Astana dan Dwiprabowo, 1997). Dengan demikian, peningkatan kinerja industri kayu olahan lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah terutama kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Persoalannya adalah apakah kebijakan-kebijakan tersebut tidak mendorong terjadinya distorsi pasar? Fakta menunjukan bahwa dengan semakin meningkatnya ekspor kayu olahan, besarnya gap antara pasokan dan permintaan kayu bulat terus meningkat. Pandangan yang muncul menyatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu yang tidak terkoordinasi dengan kemampuan produksi bahan baku kayu bulat (sektor hulu). Besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat mencapai 32,88 juta m3 per tahun (Tabel 1). Dari sisi teknis kehutanan, kesenjangan tersebut dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, produktivitas hutan alam bergantung pada regenerasi alam, sehingga kemungkinan salah dalam menetapkan potensi produksi maksimum lestari bukan mustahil terjadi. Kedua, apabila teknik-teknik penebangannya tidak menggunakan teknik-teknik penebangan yang menjamin tegakan tinggalnya mampu meregenerasi sesuai dengan perkiraan. Ketiga, adanya penebangan kayu ilegal, sehingga hasil regenerasi hutannya menjauhi perkiraan sebelumnya (Astana dan Erwidodo, 2001).
24
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
Tetapi terlepas dari tidak adanya koordinasi yang tentunya tidak akan pernah terjadi dan faktor-faktor teknis kehutanan, maka dengan mengacu pada pendekatan non-harga, kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat yang besar tersebut merefleksikan sejumlah kebijakan yang disebutkan di atas telah mendistorsi pasar kayu olahan. Sebagaimana diuangkapkan oleh Brown (1999), dari total rente ekonomi sebesar US$ 58 per m3, hanya sebesar US$ 35 per m3 yang diterima oleh pemerintah. Rente ekonomi sebesar US$ 23 per m3 tidak dapat digunakan untuk pembinaan sumberdaya hutannya. Rendahnya harga tegakan yang ditunjukkan oleh rendahnya rente ekonomi yang diterima oleh pemilik hutan (pemerintah) merefleksikan sejumlah kebijakan yang diberlakukan telah mendistorsi pasar. Sebagai akibatnya, pemerintah sebagai pemilik hutan tidak memiliki anggaran yang memadai untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan sumberdaya hutan secara rasional. Pada tahun 1998, jumlah industri kayu olahan telah mencapai 2804 unit (Tabel 2). Namun dalam Laporan BAPPENAS (2001) mengenai Perkembangan Ekonomi Makro Bulan Desember 2000, ekspor kayu olahan termasuk kayu lapis menurun. Dilaporkan bahwa penurunan ekspor kayu olahan tersebut salah satunya disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat antar sesama eksportir. Persaingan antar eksportir ini dapat dimaklumi sebagai salah satu implikasi dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (BPB). Badan Pemasaran Bersama ketika dibentuk memang ditujukan untuk mengendalikan penawaran ekspor produk-produk kayu olahan Indonesia ke luar negeri. Tujuannya jelas yaitu menjaga stabilitas harga kayu olahan tropis dunia. Dengan dibubarkannya BPB, maka tentu terdapat persaingan antar sesama eksportir dalam negeri dan akibatnya harga kayu lapis dunia cenderung menurun, mengingat Indonesia merupakan salah satu pengekspor kayu tropis terbesar. Dengan dibubarkannya BPB juga dapat mendorong penebangan kayu ilegal karena tanpa adanya kuota dalam pemasaran, maka masing-masing produsen berusaha mengenjot produksi untuk ekspor, dan dalam kondisi kebijakan pengendalian RKT yang tidak berjalan dengan baik, maka produksi kayu ilegal akan terus meningkat. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat antar sesama eksportir dapat saja dilakukan dengan cara mengembalikan BPB bekerja kembali dengan tujuan stabilisasi harga dunia dan sekaligus membantu pengendalian RKT atau menekan penebangan kayu ilegal terutama yang masuk ke industri dalam negeri. Namun yang dikeluhkan banyak pihak adalah BPB kurang fleksibel dalam mengatur kuota atau melakukan diskriminasi terhadap anggota serta menghalangi terwujudnya perdagangan bebas. Jika khususnya dua masalah yang pertama dapat diatasi atau akan diatasi maka dapat diharapkan ekspor produk-produk kayu olahan Indonesia dapat membaik kembali. Namun demikian, kebijakan BPB dapat berjalan jika disertai kebijakan larangan ekspor kayu bulat melalui pajak ekspor yang tinggi (prohibitive tax). Padahal, kebijakan larangan ekspor kayu bulat, selain menyalahi aturan main dalam WTO, juga akan mendorong gap harga kayu bulat dalam negeri dan harga ekspor semakin tinggi, yang pada giliranya juga akan mendorong penebangan kayu ilegal dan penyelundupan kayu. Tabel 2. Penyebaran Skala Usaha Industri Perkayuan Nasional Tahun 1997 No. 1. 2. 3.
Jenis Industri Perkayuan Sawmill Plywood Laminated board
Skala Besar 97 80 51
Jumlah Industri (Unit) Skala Menengah 537 10 14
Total 634 90 65
25
I N F O
volume 1 no. 1 (2000) 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Block dan Particleboard Wood Container Moulding & Build. Comp Furniture Pulp Paper Jumlah (unit) Prosentase (%)
66 4 177 268 5 152 900 32
10 48 250 847 188 1904 68
76 52 427 1115 5 340 2804 100
Sumber: Biro Pusat Statistik (1998)
Sebaliknya, jika ekspor kayu bulat dimungkinkan, maka sebagaimana telah dijelaskan, gap harga kayu bulat dalam negeri dan harga ekspor semakin berkurang, dan ekspor kayu bulat ilegal akan berkurang, selama pelaku ekonomi perkayuan berpikir rasional untuk mengutamakan ekspor barang legal daripada barang ilegal. Dengan demikian, sebagaimana telah diutarakan bahwa kekuatiran adanya ekspor kayu bulat akan mendorong ekspor kayu bulat ilegal adalah kurang beralasan. Besar kemungkinan, alasan yang dikuatirkan sebagaimana telah dijelaskan, adalah industri yang telah tumbuh dikuatirkan akan kekurangan bahan baku kayu yang selama ini sebenarnya telah dialami. Kekuatiran ini sebenarnya tidak perlu berlebihan selama industri pengolahan kayu Indonesia saat ini telah efisien dan seharusnya sudah efisien karena sudah berpengalaman sekitar 15 tahun (1985-2000) beroperasi. Dengan demikian, ada dua persoalan yang perlu dipecahkan. Pertama, persaingan sesama eksportir yang tidak sehat; dan kedua, ekspor kayu ilegal. Persoalan pertama sebenarnya dapat dipecahkan dengan cara memfungsikan kembali BPB sesuai kesepakatan diantara eksportir secara sukarela, yang pada intinya bagaimana mencegah persaingan yang tidak sehat tanpa campur tangan pemerintah. Persoalan kedua merupakan persoalan pemerintah bagaimana mengendalikan produksi kayu bulat hutan alam dan mencegah timbulnya penebangan dan penyelundupan kayu ilegal ke luar negeri. Dalam hal ini, praktek pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui pengendalian RKT (identik dengan kuota produksi kayu bulat dalam negeri) tergolong tidak efektif (masih mengalami kebocoran), yang terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar dalam negeri maupun ekspor. Sebagai instrumen pengendali produksi kayu bulat selayaknya pengendalian RKT (pengelolaan hutan lestari) menjadi fokus perhatian pemerintah, sehingga kuota ekspor tidak perlu dilakukan jika tujuannya untuk pengendalian lingkungan. Sebagaimana telah dikemukakan, industri kehutanan dicirikan oleh proses-pasar input-output dimana satu sama lain saling berkaitan. Suatu perusahaan dalam upaya menjamin pasokan bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan (jenis, kualitas dan jumlah) tidak jarang melakukan integrasi vertikal. Dalam kasus Indonesia, pemahaman industri integrasi vertikal terutama yang berbasis hutan alam perlu hati-hati. Sebab sebagaimana telah dikemukakan, industri integrasi vertikal hutan alam bukan didorong oleh kepentingan murni bisnis pemiliknya tetapi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri integrasi vertikal (berintikan kayu lapis) didasarkan pada fakta sulitnya perusahaan HPH untuk mendirikan industri pengolahan kayu pada akhir tahun 1970-an. Oleh karena itu pertumbuhan industri
26
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
integrasi vertikal bukan didorong oleh efisiensi teknis dan ekonomis industrinya, melainkan lebih didorong oleh kebijakan pemerintah, terutama kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Sebagaimana telah dijelaskan, kebijakan industri vertikal sebenarnya tidak perlu menimbulkan distorsi pasar yang bila kebijakan larangan ekspor kayu bulat tidak diberlakukan. Sebaliknya, pandangan yang muncul menyimpulkan bahwa kebijakan integrasi industri kayu vertikal dipandang dapat mendorong distorsi pasar. Argumen yang dikemukakan adalah pihak industri melalui industri vertikalnya memungkinkan menekan harga kayu bulat untuk menaikkan margin keuntungan kayu olahan, sehingga maximizing profit di pengelolaan hutan tidak dapat berjalan. Alasan lain yang dikemukakan adalah integrasi bahan baku kayu bulat dengan industri kayu olahan tidak memberikan ruang pasar bagi kayu bulat, sehingga produsen kayu bulat (input) tidak dapat bergerak bebas untuk menemukan harga terbaik karena telah terikat oleh industri pengolahan kayu. Dengan kata lain, pasar kayu bulat terdistorsi karena industri pengolahan kayu berperilaku “monopsony “ dan harga kayu olahan terdistorsi karena ada “subsidi” dari harga kayu bulat. Telah dijelaskan dimuka, fenomena ini tidak perlu terjadi jika ekspor kayu bulat tidak dilarang. Kebijakan ekspor kayu bulat mencegah industri integrasi vertikal berperilaku “monopsony”, yang menyebabkan rendahnya harga kayu bulat di dalam negeri. Berkenaan dengan persoalan industri integrasi vertikal perlu dibedakan antara kasus kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman. Dalam kasus hutan alam dimana hutan telah tersedia tanpa usaha penanaman, maka sebagaimana penjelasan di atas, kebijakan industri integrasi vertikal dapat diharapkan mengakibatkan pemanfaatan hutan alam menjadi kurang efisien. Hal ini karena, upaya untuk menginternalisasikan dampak negatif pemanenan kayu bulat akan selamanya sulit diwujudkan karena industri vertikal bertindak “monopsony”, yang didorong oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Sebaliknya, dalam kasus hutan tanaman, dimana sebelum membangun industri vertikal, perusahaan telah membangun hutan terlebih dahulu, maka integrasi vertikal akan memudahkan dalam memperoleh kayu bulat sesuai kebutuhan industri (jenis, ukuran dan kualitas). Dengan demikian perilaku “monopsony” kayu bulat dari industri vertikal berbasis hutan tanaman dapat diharapkan mendorong efisiensi teknis pemanfaatan hutannya. Sedangkan tingkat efisiensi ekonomisnya bergantung pada trend harga pasar bebas kayu bulat. Jika trend harga pasar bebas kayu bulat cenderung lebih tinggi dari harga produksi sendiri, maka tingkat efisiensi ekonomisnya dapat diharapkan lebih tinggi. Sebaliknya jika trend harga pasar bebas kayu bulat cenderung lebih rendah, maka tingkat efisiensi ekonomisnya lebih rendah. Tumbuhnya industri integrasi vertikal bubur kertas berbasis hutan tanaman di Indonesia mengindikasikan bahwa trend harga pasar bebas kayu bulat untuk bubur kertas cenderung lebih tinggi dari harga “monopsony”. Kesimpulannya, integrasi vertikal industri kayu tidak selalu mendistorsi pasar, sebagaimana kasus hutan tanaman tersebut.
27
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan
1. Pasar kayu merupakan proses-pasar input-output yang dimulai dari pasar tegakan, pasar kayu bulat dan pasar kayu olahan. Pelaku pasar kayu saling berinteraksi dalam setiap proses-pasar yang terjadi. Peran sebagai konsumen dalam proses-pasar yang satu sekaligus menjadi produsen dalam proses-pasar yang lain. Skala usaha produsen di pasar tegakan dan kayu bulat merupakan skala usaha besar, walaupun skala usaha produsen di pasar kayu olahan relatif lebih beragam, terdiri dari: skala besar, skala menengah, dan skala kecil. Struktur pasar kayu dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan yang diberlakukan pada satu tahap proses-pasar input-output tertentu memiliki kaitan ke belakang maupun ke depan dalam industri kehutanan sendiri dan industri lain.
2. Sebelum krisis moneter bulan Juli 1997, sejumlah kebijakan yang diberlakukan khususnya kebijakan larangan ekspor kayu bulat dan industri integrasi vertikal serta kuota ekspor kayu olahan telah menyebabkan struktur pasar tegakan cenderung mengarah ke pasar monopoli, sedangkan struktur pasar kayu bulat cenderung mengarah ke pasar monopsoni, dan struktur pasar kayu olahan antara ke monopolioligopoli. Selama krisis ekonomi, sejumlah kebijakan yang mendistorsi pasar telah dihapuskan, tetapi struktur pasar tegakan tetap cenderung mengarah ke pasar monopoli yang mengindikasikan struktur pasar tegakan merupakan monopoli alamiah, walaupun struktur pasar kayu bulat dan kayu olahan cenderung mengarah ke pasar bersaing.
3. Dalam LoI, IMF telah merekomendasikan penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat (melalui prohibitive tax), kuota ekspor kayu olahan melalui Badan Pemasaran Bersama, pengenaaan fee dan royalty oleh APKINDO dan kewajiban membangun industri kayu vertikal.
4. Bila penerapan kebijakan larangan ekspor atau melalui prohibitive tax dibarengi oleh kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan industri integrasi vertikal, maka pasar tegakan, pasar kayu bulat dan pasar kayu olahan Indonesia akan terdistorsi relatif tinggi dibandingkan bila kebijakan larangan ekspor kayu bulat (melalui prohibitive tax) dan quota ekspor kayu olahan kedua-duanya dihapuskan tetapi kebijakan industri terintegrasi vertikal tetap dipertahankan. Tingkat distorsi pasar yang terjadi untuk masing-masing pilihan paket kebijakan bergantung pada perbedaan antara harga kayu bulat dalam negeri akibat penerapan masing-masing paket kebijakan yang bersangkutan dengan harga kayu bulat internasional.
5. Tingkat inefisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan selama ini relatif lebih tinggi yang ditunjukkan oleh hilangnya rente ekonomi untuk pembinaan sumberdaya hutan sebesar US$ 23 per meter kubik kayu bulat dan oleh adanya gap pasokan dan permintaan kayu bulat yang mencapai 32,88 juta meter kubik per tahun.
28
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
6. Pandangan pro-kontra tentang kebijakan larangan ekspor dapat dipertemukan apabila tersedia informasi yang credible mengenai:
(a) Peta industri pengolahan kayu yang efisien dan tidak efisien (berapa dan dimana serta keterkaitan dengan perusahaan HPH);
(b) Potensi yang pasti hutan produksi lestari (hutan alam dan hutan tanaman). (c) Peta perusahaan HPH yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dan yang tidak menerapkan pengelolaan hutan lestari (berapa dan dimana). B. Rekomendasi Kebijakan 1.
2.
Untuk mengatasi masalah distorsi pasar kayu, terdapat tiga alternatif kebijakan yang sebaiknya diberlakukan oleh pemerintah, yaitu: a.
Bila penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat melalui prohibitive tax dibarengi oleh penerapan kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan kebijakan industri integrasi vertikal, maka pemerintah akan kehilangan penerimaan pajak ekspor, harga kayu bulat rendah, harga ekspor kayu olahan dapat dikendalikan, dan penebangan serta penyelundupan kayu ilegal tetap berlangsung.
b.
Bila penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat melalui prohibitive tax dibarengi oleh penghapusan kebijakan kuota ekspor kayu olahan dan kebijakan industri integrasi vertikal dipertahankan, maka pemerintah kehilangan penerimaan pajak ekspor, harga kayu bulat dan kayu olahan rendah, dan penebangan serta penyelundupan kayu ilegal tetap berlangsung.
c.
Bila penghapusan kebijakan larangan ekspor kayu bulat melalui prohibitive tax (dengan cara digantikan oleh pajak ekspor ad valorem) dibarengi oleh penghapusan kebijakan kuota ekspor kayu olahan tetapi kebijakan industri integrasi vertikal dipertahankan, maka pemerintah memperoleh penerimaan pajak ekspor, harga kayu bulat tinggi, harga ekspor kayu olahan rendah, dan penebangan serta penyelundupan kayu ilegal tetap berlangsung.
Sebelum memberlakukan salah satu dari ketiga pilihan kebijakan di atas, pemerintah mengumpulkan dan menganalisis informasi mengenai: (a) peta industri pengolahan kayu yang efisien dan tidak efisien (berapa dan dimana serta keterkaitan dengan perusahaan HPH); (b) potensi yang pasti hutan produksi lestari (hutan alam dan hutan tanaman); dan (c) peta perusahaan HPH yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dan yang tidak menerapkan pengelolaan hutan lestari (berapa dan dimana). Berdasarkan ketiga informasi tersebut, pemerintah dapat memodifikasi atau membuat salah satu keputusan dari ketiga pilihan kebijakan.
29
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
DAFTAR PUSTAKA
Astana, S., dan H. Dwiprabowo. 1997. Kebijaksanaan Perdagangan Kayu Olahan untuk Mendukung Usaha Perkayuan yang Berkelanjutan, Makalah Pembahas disampaikan pada Diskusi Nasional Kesiapan Indusri Perkayuan Menyongsong Era Ekolabel dan Perdagangan Bebas. Astana, S. dan Erwidodo. 2001. Pemberlakuan Kembali Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat. Laporan Analisis Kebijakan Kehutanan. Policy Analysis No. 5. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor. Badan Planologi Kehutanan dan Pekebunan. 2000. Rencana Statejik (Renstra) Tahun 20001- 2005. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. BAPPENAS. 2001. Laporan Perkembangan Ekonomi Makro Bulan Desember 2000. BAPPENAS, Jakarta. Brown, D. W. 1999. Addicted to Rent. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme. Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2001. Kesimpulan Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Dirjen Bina Produksi Kehutanan dan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dengan Ketua Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), 13 Maret 2001. Erwidodo. 2001. Memilih Instrumen Kebijakan yang Tepat: Mencermati Gagasan Larangan Ekspor Kayu Bulat. Makalah dipersiapkan untuk Diskusi Intern. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 1996. Kajian Ekonomi Kayu Lapis dan Kayu Gergajian dalam Peningkatan Nilai Ekspor. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ferguson, C. E. and J. P. Gould. 1975. Microeconomics Theory. 4th ed. The Erwin Series in Economics. Yale University. Frank, R. H. and Amy J. Glass. 2000. Microeconomics and Behavior. 4th ed. Irwin McGraw-Hill. London. Institut Pertanian Bogor. 1996. Kajian Ekonomi Kayu Lapis dan Kayu Gergajian Dalam Peningkatan Nilai Ekspor in Nasendi, B.D., dan A. Fauzi Mas’ud (Eds.) “ Kajian Permasalahan Lokal dan Nasional Hutan dan Kehutanan Indonesia: Tinjauan Prospek dan Strategi Menuju Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Hutan Yang Berkelanjutan, halaman 189-196. Badan Penelitian dan
30
Evaluasi dan Kebijakan Yang ……..(Satria Astana, Subarudi, M. ZahrullM..)
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta. International Monetery Fund. 1998. Indonesian Memorandum of Economic and Financial Policies. International Monetery Fund, 15 January 1998. Manurung, E. G. T. 1995. Economics Impacts of the Log Export Ban Policy on the Development of Forest Products Industries of Indonesia. Unpublihed PhD Dissertation. University of Wisconsin, Madison. Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 858 Tahun 1999 Tentang Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Per Satuan Hasil Hutan Menteri Pertanian RI, Menteri Perdagangan dan Koperasi RI, dan Menteri Perindustrian RI. 1980. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian No. 317/Kpts/Um/5/1980, Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 196/Kpb/V/80, dan Menteri Perindustrian No. 182/m/SK/5/1980 Tanggal 8 Mei 1980 Tentang Kewajiban Penyediaan Kayu untuk Kebutuhan dalam Negeri Dikaitkan dengan Ekspor Kayu Bulat. Jakarta. Pappas, J.L. dan M. Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial., Alih bahasa oleh D. Wirajaya. Binarupa Aksara. Jakarta. Prastowo, H. 2000. Pengembangan Industri Kehutanan Indonesia. Rimba Indonesia, Edisi Khusus, 2000. Presiden Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990 Tentang Dana Reboisasi. ______________________. 1997. Undang-undang No 20 Tahun 1990 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. ______________________. 1997. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Dana Reboisasi. ______________________. 1999. Undang Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. ______________________. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1999 Tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. ______________________. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Scotland, N., A. Fraser and N. Jewell. 1999. Roundwood Supply and Demand in the Forest Sector in Indonesia. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme. Jakarta.
31
I N F O
volume 1 no. 1 (2000)
Silva, R.C. 1999. The World Furniture Market. Small And Medium Enterprise (SME) Management. ITTO and Ftp. International Ltd., Finland. Sumitro, A. 2000. Tinjauan Ekonomi Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Rimba Indonesia, Edisi Khusus, 2000. Timotius. 2000. Analisis Ekonometrika Perkembangan Industri Kayu Lapis Indonesia 1975 – 2010: Suatu Simulasi Kebijakan. Disertasi Tidak Diterbitkan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wang, S. and G. C. van Kooten. 1999. Silvicultural Contracting in British Columbia: A Transaction Cost Economic Analysis. Forest Science 45 (2) 1999. World Bank. 2000. Rountable on Log Export Ban. Meeting Summary, 27 September 2000. World Bank Office Jakarta.
32