Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010
EVALUASI HOMOGENITAS CAMPURAN ASPAL DINGIN Sri Sunarjono1 1
Program Studi Teknik Sipil, Universitas Muhammdiyah Surakarta, Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos 1 Surakarta 57102 Email:
[email protected]
ABSTRAK Campuran aspal dingin adalah bahan perkerasan jalan yang diolah secara dingin (cold-mix asphalt). Pada paper ini campuran yang dipelajari adalah foamed asphalt. Distribusi bahan ikat foamed asphalt tidak sehomogen campuran aspal panas. Hal ini dikarenakan tidak semua permukaan agregat diselimuti oleh binder. Aspal lebih tertarik menyebar pada permukaan partikel agregat halus ketimbang partikel kasar. Hal ini pulalah yang menyebabkan campuran foamed asphalt berwarna tidak sehitam campuran aspal panas. Karakteristik ini menjadi sangat menarik untuk diselidiki agar diketahui properties campuran aspal dingin secara fundamental. Hasil evaluasi mengetahui bahwa setelah proses pencampuran, foam menyebar ke partikel-partikel agregat halus dan membentuk aglomerasi dengan ukuran terbesar mencapai 14mm. Ukuran aglomerasi dengan kandungan binder terbanyak adalah 2,36mm. Sedangkan ukuran terbesar agregat yang mampu diselimuti aspal adalah 6,3mm. Dalam studi ini mekanisme distribusi foam dalam campuran juga telah dapat dijelaskan secara lengkap. Diketahui bahwa kecepatan mixer, tipe agitator, dan workabilitas aglomerasi sangat mempengaruhi homogenitas campuran. Campuran yang semakin homogen akan mempunyai kinerja yang semakin tinggi. Kata-kata kunci: campuran aspal dingin, foamed aspal, foamed bitumen, homogenitas.
1.
PENDAHULUAN
Campuran aspal dingin adalah salah satu jenis bahan perkerasan jalan yang pengolahannya secara dingin atau sering dikenal dengan istilah cold-mix asphalt. Maksud pengolahan secara dingin adalah bahwa saat proses pencampuran antara agregat dan aspal, komponen agregat yang mempunyai komposisi sekitar 90% tidak perlu dipanaskan. Hal ini menghasilkan sistem pengolahan yang hemat energi dan mereduksi gas buangan CO2, sehingga campuran aspal dingin dikenal sebagai campuran yang ramah lingkungan. Terlebih lagi, jenis campuran ini dapat menggunakan bahan agregat limbah, misalnya bahan reclaimed asphalt pavement (RAP), sehingga campuran ini juga dikenal sebagai teknologi yang sustainable. Pada studi ini jenis campuran yang dipelajari adalah foamed asphalt, yaitu campuran partikel agregat dengan menggunakan bahan ikat foamed bitumen. Bahan ikat diproduksi dengan cara memanaskan aspal keras dan kemudian diinjeksi secara simultan dengan air dan udara bertekanan masing-masing sekitar 5 dan 6 bar. Campuran yang dihasilkan dapat langsung digelar dan dipadatkan di lapangan, atau disimpan untuk beberapa waktu (misal hingga 3 bulan) dan kemudian digunakan pada saat dibutuhkan. Salah satu keunikan campuran foamed asphalt adalah bahwa bahan ikat aspal tidak terdistribusi secara penuh pada fase agregat. Hal ini menyebabkan secara visual campuran ini tidak tampak berwarna hitam pekat sebagaimana campuran aspal panas (hot-mix asphalt), namun berwarna kecoklatan, dan terlihat jelas sebagian besar agregat kasarnya tidak terselimuti oleh aspal. Karakteristik ini menyebabkan kekuatan foamed asphalt relatif tidak sebaik kekuatan hot-mix asphalt. Hal inilah yang menjadikan daya tarik untuk melakukan investigasi terhadap homogenitas campuran foamed asphalt. Ada dua pertanyaan fundamental yang ingin dijawab adalah (a) mengapa aspal tidak mampu terdistribusi secara merata penuh, dan (b) bagaimana mekanisme distribusi aspal. Paper ini didesain untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, dan diharapkan kemudian menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja campuran foamed asphalt.
2.
FOAMED BITUMEN: PARAMETER KUALITAS DAN SURFACE PROPERTIES
Foamed bitumen dapat diproduksi di laboratorium, misal dengan menggunakan alat Wirtgen WLB 10, ataupun di lapangan untuk pekerjaan full scale. Skema produksi foamed bitumen dapat dilihat pada Gambar 1 [kiri]. Sunarjono (2008b) mengilustrasikan, bila 500g aspal dipanaskan hingga suhu sekitar 180oC dan kemudian diinjeksi dengan air sebanyak 10g (atau 2% dari berat aspal) di laboratorium, maka aspal akan secara spontan berubah menjadi foam dan
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 217
Sri Sunarjono
volumenya akan naik dalam hitungan detik. Secara normal peningkatan volume foam akan berkisar antara 15-20 kalinya. Perbandingan antara volume maksimum foam dengan volume aspal semula dikenal sebagai parameter Maximum Expansion Ratio (ERm). Nilai ERm sangat tergantung pada seberapa banyak air diinjeksikan, atau dikenal sebagai foaming water content (FWC). Bila nilai FWC naik maka nilai ERm juga akan semakin tinggi. Setelah volume foam mencapai puncak maka foam secara mendadak akan kolap bersamaan dengan keluarnya asap dari dalam foam. Waktu yang dibutuhkan oleh foam untuk volumenya drop hingga separuhnya dari saat puncak disebut sebagai parameter Half-Life (HL). Pada kasus ini, normalnya HL akan berkisar antara 20-30 detik. Setelah beberapa waktu, yaitu sekitar 60 detik, volume foam berkurang dengan sangat pelan dan bersifat asimptot. Selama fase ini, gelembung-gelembung foam masih tetap survive walaupun telah berubah mengeras menjadi aspal seperti semula. Gambar 1 [kanan] adalah ilustrasi cara mengukur nilai ERm dan HL di laboratorium. Maximum Expansion Ratio
Expansion Ratio (ER)
20 Half of the maximum expansion ratio
In this case: ERm = 20 HL = 17 - 5 = 12 seconds
10 Half Life
Bitumen returns to an approximately original volume
Spraying time
0
5
17
Time (seconds)
Hmax 1
Mass of bitumen is weighed and converted to an original volume
/2 Hmax
The height of foam is measured by dipstick and is converted to expansion ratio (ER). ER is the ratio of foam volume relative to the original volume
Dipstick
Gambar 1. [kiri] Sistem produksi foamed bitumen, dan [kanan] cara mengukur parameter ERm dan HL Berdasarkan penjelasan ilustrasi produksi foamed bitumen di atas, maka dapat dipahami bahwa selama proses pembentukan foam, properties aspal telah berubah dari bulk properties menjadi surface properties. Molekulmolekul surfactant (surface active agent), yang dominan terdapat dalam komponen asphaltenes, telah berpindah posisi dari bulk ke interface (antara cairan aspal dan gas udara), dan membentuk suatu adsorption layer (Barinov, 1990). Perlu dicatat bahwa molekul surfactant bersifat amphiphilic yang berarti mempunyai bagian yang bersifat hydrophobic dan hydrophilic (Breward, 1999). Pada kondisi konsentrasi bulk tinggi, molekul-molekul surfactant membentuk micelle, yang mana bagian ekor hydrophobic dikelilingi oleh bagian kepala hydrophilic. Pada dasarnya, molekul surfactant lebih menyukai daerah interface dari pada daerah bulk suatu cairan. Posisi molekul pada interface adalah bagian ekor berada di fase udara, sedangkan bagian kepala berada di fase cairan (Gambar 2). Posisi ini secara signifikan mereduksi gaya tarik permukaan (surface tension) di daerah interface. Akan tetapi bila molekulmolekul membentuk micelle, maka molekul-molekul tersebut tidak akan mempengaruhi surface tension, sehingga tidak menguntungkan properties foam.
3.
KARAKTERISTIK CAMPURAN FOAMED ASPHALT
Karakteristik properties foamed asphalt dapat dipelajari di Sunarjono dkk. (2007). Properties diselidiki menggunakan alat Indirect Tensile Stiffness Modulus (ITSM). Diketahui bahwa campuran akan mempunyai nilai stiffness yang baik bila pengolahan campurannya menggunakan alat mixer yang baik. Hal ini disebabkan foam dapat tersebar secara lebih merata bila menggunakan alat mixer yang baik. Melalui sampel-sampel yang dicampur menggunakan mixer berkecepatan tinggi ini, perbedaan nilai stiffness beberapa campuran yang berbeda nilai FWCnya dapat diketahui. Dalam studi ini yang menggunakan aspal pen 70/100 diketahui bahwa nilai stiffness tertinggi dicapai pada kondisi FWC optimum sekitar 5%. Ada hal lain yang menarik dengan karakteristik foamed asphalt sebagaimana dijelaskan oleh Sunarjono (2008a). Hal ini diketahui ketika dua jenis sampel yang menggunakan aspal pen 70/100 dan pen 160/220 diuji ITSM pada suhu 5oC dan 20oC. Pada suhu 20oC, stiffness sampel pen 70/100 lebih tinggi, namun pada suhu 5oC, stiffness sampel pen 160/220 justru berbalik menjadi lebih tinggi. Berdasarkan analisis yang dikembangkan, diketahui bahwa ternyata sampel dengan aspal pen 160/220 mempunyai distribusi binder yang lebih baik dari pada sampel dengan aspal pen 70/100. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suhu rendah, misal 5oC, distribusi aspal lebih penting dari pada stiffness aspal dalam membangun stiffness campuran. Sebaliknya pada suhu kamar, misal 20oC, stiffness aspal lebih
I - 218
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Evaluasi Homogenitas Campuran Aspal Dingin
dominan mempengaruhi nilai stiffness campuran. Hasil ini menyampaikan pesan bahwa (a) campuran yang menggunakan aspal pen tinggi (aspal lebih lunak) penyebaran aspalnya relatif lebih baik daripada campuran menggunakan aspal pen rendah, (b) penggunaan campuran dengan aspal lunak lebih efektif untuk wilayah beriklim dingin karena pada suhu rendah stiffness campuran lebih ditentukan oleh distribusi binder, sebaliknya untuk wilayah beriklim panas akan lebih efektif menggunakan aspal rendah agar stiffness campurannya lebih tinggi karena lebih dominan dipengaruhi oleh stiffness aspal.
4.
METODE EVALUASI HOMOGENITAS CAMPURAN
Passing Cummulative (%)
Pada studi ini benda uji dibuat menggunakan jenis agregat crushed limestone dan aspal pen 70/100. Nilai Plasticity Index (PI) agregat adalah 2,7%. Berdasarkan uji modified Proctor terhadap agregat crushed limestone ini, didapatkan bahwa nilai Maximum Dry Density (MDD)nya adalah 2242 kg/m3, dan nilai Optimum Moisture Content (OMC)nya adalah 6,4%. Gradasi agregat yang digunakan adalah gradasi tertutup sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Gradasi didesain untuk memenuhi persyaratan agregat sesuai rekomendasi Akeroyd & Hicks (1988). Ukuran maksimum agregat adalah 20mm.
Gambar 2. Formasi molekul-molekul surfactant [a] membentuk micelle dalam bulk cairan, dan [b] pada permukaan cairan interface antara cairan dan udara (Breward, 1999)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.01
Grading envelope (Akeroyd & Hicks, 1988) 20mm graded crushed limestone aggregate
0.1
1 Sieve Size (mm)
10
100
Gambar 3. Gradasi agregat crused limestone
Evaluasi terhadap homogenitas campuran foamed asphalt dikembangkan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu: 1. Melakukan investigasi terhadap mekanisme penyebaran binder dalam campuran. 2. Melakukan evaluasi distribusi binder dalan campuran menggunakan pengujian saringan. Pendekatan pertama dilakukan dengan cara memproduksi campuran dengan cara yang berbeda, yaitu dengan (1) menyemprotkan binder dalam bentuk aspal panas dan foamed bitumen, dan (2) produksi campuran dengan variasi waktu pencampuran dan ukuran agregat. Observasi dilakukan secara visual sesaat setelah proses pencampuran selesai. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan penting, misalnya mengapa foam dapat mengikat permukaan agregat basah, bagaimana cara foam dapat tersebar ke fase agregat, apa pengaruh volume foam, dan ukuran agregat terbesar yang bisa diselimuti oleh foam. Pendekatan kedua adalah evaluasi distribusi aspal dengan menggunakan uji saringan. Prosedur evaluasi adalah: (1) setelah proses mixing, campuran dikeringkan diudara terbuka paling tidak 3 hari, kemudian (2) material dipisahkan menggunaka saringan kering menjadi beberapa fraksi dari ukuran terbesar 20mm ke ukuran terkecil (filler), (3) setiap fraksi kemudian dibasuh menggunakan saringan 0,075mm untuk membuang filler, dan (4) fraksi yang telah dibasuh kemudian dioven dengan suhu 60oC sebelum dilakukan uji soluble binder content untuk menentukan binder content dan gradasi agregat tiap fraksi.
5.
PEMBAHASAN
Observasi mekanisme penyebaran binder Pertama, sangat jelas teridentifikasi bahwa ketika aspal panas disemprotkan diatas fase agregat basah, keduanya tidak bisa membentuk campuran secara sempurna (Gambar 4 kiri) sebagaimana kalau yang disemprotkan adalah foamed bitumen (Gambar 4 kanan). Penjelasan fenomena ini adalah karena molekul surfactant pada aspal panas berada di bagian bulk, sehingga sulit terdistribusi ke permukaan agregat basah, dan akhirnya membentuk gumpalan agregat-aspal yang tidak merata. Sedangkan pada foam, molekul surfactant telah berada di bagian permukaan yang
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 219
Sri Sunarjono
mana bagian kepala molekul yang bersifat hydrophilic (menyukai air) akan dengan mudah terdistribusi ke permukaan agregat basah, dan dapat membentuk aglomerasi agregat-aspal yang merata.
Gambar 4. [kiri] Formulasi gumpalan campuran yang tidak merata ketika agregat dingin basah disemprot aspal panas, [kanan] formulasi campuran yang lebih merata ketika agregat dingin basah disemprot foamed bitumen
Kedua, perbedaan penyebaran aspal dalam campuran pada beberapa tahap waktu pencampuran dapat terobservasi dengan jelas (Gambar 5). Sangat jelas teramati bahwa selama proses pencampuran, foam tidak mengikat dan menyelimuti permukaan agregat secara penuh sebagaimana pada hot-mix asphalt. Pada saat awal pencampuran (2 detik), campuran membentuk gumpalan besar mastik lunak dengan ukuran antara 2-3 cm. Gumpalan-gumpalan ini kemudian terpecah-pecah menjadi bagian-bagian dengan ukuran yang lebih kecil pada pencampuran detik ke-5, dan kemudian tersebar dalam campuran (detik 10) dan membentuk campuran foamed asphalt yang lebih merata dan homogen pada akhir pencampuran (60 detik). Perlu diketahui bahwa foam dominan tersebar pada partikel-partikel agregat halus dan membentuk aglomerasi agregat halus-aspal.
Gambar 5. Formulasi aglomerasi agregat halus-aspal selama proses pencampuran mulai detik ke-2, 5,10, dan 60
Ketiga, pengaruh ukuran agregat terhadap penyebaran aspal terobservasi secara jelas sebagaimana terlihat pada Gambar 6. Hasil observasi memberi pemahaman bahwa penyebaran aspal dalam campuran sangat tergantung pada ukuran agregat yang digunakan. Semakin halus agregat semakin merata dan homogen penyebaran aspalnya. Pada observasi ini, pada saat foam disemprotkan ke filler sebanyak 10%, maka aspal tersebar sangat halus dan merata sehingga terlihat seperti serbuk hitam yang sangat halus. Bila prosentasi foam yang disemprotkan rendah maka aspal tidak terlihat dan menyelinap dalam partikel-partikel agregat. Bila foam disemprotkan pada agregat dengan ukuran yang lebih besar, misal ukuran 1-3mm, 3-5mm, dan 6mm, maka penyebaran aspal semakin tidak merata dan kurang homogen.
Gambar 6. Pengaruh ukuran agregat terhadap penyebaran aspal dalam campuran foamed asphalt
I - 220
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Evaluasi Homogenitas Campuran Aspal Dingin
Evaluasi penyebaran binder dalam campuran Evaluasi ini dilakukan dengan cara menyemprotkan foam ke agregat bergradasi menerus dengan ukuran maksimum 20mm. Evaluasi ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana formasi ketersebaran aspal dalam partikel agregat. Gambar 7 adalah foto hasil evaluasi yang menunjukkan tingkat penyebaran binder pada 4 ukuran fraksi partikel dari 13 fraksi yang dihasilkan. Fraksi-fraksi ini didapatkan setelah dilakukan proses penyaringan kering, penyaringan basah, dan pemanasan oven 60oC. Tampak secara visual bahwa semakin besar ukuran fraksi maka semakin sedikit sebaran aspalnya.
10,0mm
5,0mm
2,36mm
0,600mm
Gambar 7. Formasi ketersebaran aspal dalam campuran foamed asphalt menggunakan graded aggregate 20mm
Tabel 1 menunjukkan cara analisis distribusi binder dalam campuran. Pada baris paling atas ditunjukkan ukuran fraksi-fraksi (13 fraksi) berdasarkan hasil saringan kering yang kemudian telah dibasuh, dioven, dan kemudian dilakukan tes soluble binder tes. Setelah itu agregatnya disaring dan hasilnya seperti terlihat pada Tabel 1. Contoh analisis yang dilakukan dapat dijelaskan seperti berikut ini. Misal kita ambil fraksi #10 yaitu fraksi agregat yang lolos saringan #10 atau tertahan saringan #6,3 dengan berat 100,80gr. Setelah dilakukan saringan didapatkan hasil tertahan saringan #6,3 seberat 79,3gr, sedangkan partikel lainnya tertahan pada saringan yang lebih kecil. Partikel dari fraksi #10 yang tertahan saringan #6,3 diklasifikasikan sebagai agregat yang tidak terselimuti (uncoated aggregate), sedangkan seluruh partikel agregat lolos saringan 6,3mm didefinisikan sebagai agregat yang terselimuti aspal (coated aggregate). Dengan cara demikian maka berat coated dan uncoated aggregate dapat diketahui sebagai terlihat pada Tabel 1. Dengan asumsi bentuk agregat bulat dan nilai densitas diambil 2680kg/m3, volume dan luas permukaan partikel coated dan uncoated dapat ditentukan sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa berat dan volume partikel yang terklasifikasi coated aggregate adalah sebanyak 15%, namun bila diklasifikasikan berdasarkan jumlah partikel persentasinya menjadi sebesar 60% atau bila diklasifikasikan berdasarkan luas permukaan partikel menjadi sebesar 55%. Sebagaimana terlihat pada Gambar 8, semakin kecil ukuran partikel maka semakin banyak proporsi partikel coatednya. Sehingga filler adalah bagian partikel yang paling banyak proporsi coatednya, yaitu berkisar 45% dari total permukaan agregat. Ukuran agregat terbesar dari partikel coated ditemukan pada ukuran 6,3mm. Semua partikel yang lebih besar dari 6,3mm adalah partikel uncoated. Untuk partikel berukuran 0,3mm atau kurang, proporsi partikel yang coated lebih besar daripada yang uncoated. Dapat disimpulkan bahwa setelah proses pencampuran, foam tersebar ke partikel halus dan membentuk aglomerasi dengan berbagai ukuran yang lebih besar, yang mana ukuran aglomerasi terbanyak mengandung binder dalam studi ini adalah 2,36mm. Komposisi aglomerasi ini didominasi partikel halus (terutama filler) dan ukuran partikel terbesar yang diselimuti aspal adalah 6,3mm.
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 221
Sri Sunarjono
Tabel 1. Evaluasi distribusi binder dalam campuran foamed asphalt menggunakan analisis saringan # 14
# 10
# 6.3
#5
# 20
20
362
14
0
214.8
10
0
0
79.3
6.3
0
0
8.9
44.7
5
0
0.3
1.4
4.9
99.3
3.35
0
0.1
0.6
0.5
7.2
68
2.36
0.2
0.6
1
0.4
1.5
8.9
117.2
1.18
0.3
0.6
1.4
0.6
2.1
2.5
10.8
77
0.6
0.3
0.4
1.6
0.9
2.6
3.5
7.9
8.6
38.8
0.3
0.1
0.1
0.7
0.3
1.3
1.6
4.1
2.2
1.3
11
0.212
0.1
0.2
0.7
0.3
1
1.5
3.6
2.3
0.6
0.7
9.2
0.15
0.2
0.2
0.9
0.5
1.7
2.6
6.6
4.1
0.7
0.1
1.5
15.1
0.075
0
0.47
0.7
3.4
5.8
14.8
39
23
4.5
0.3
0.1
1.2
39.9
washed Total Aggregate
3
2.8
3.6
5
2.4
2
0.4
0.4
0
0.3
0
1
0
366.20
220.57
100.80
61.50
124.90
105.40
189.60
117.60
45.90
12.40
10.80
17.30
39.90
# 3.35
# 2.36
# 1.18
#0.6
#0.3
#0.212
#0.15
#0.075 Coated Uncoated (g) (g)
Fraction
Total (g) 0 362
214.8
214.8
79.3
79.3
8.9
44.7
53.6
6.6
99.3
105.9
8.4
68
76.4
12.6
117.2
129.8
18.3
77
95.3
25.8
38.8
64.6
11.7
11
22.7
11
9.2
20.2
19.1
15.1
34.2
93.27
39.9
133.17
20.9
20.9
1197.20 84.74%
1412.87
215.67 15.26%
Percentage
362
Note: An example to define the uncoated and coated particle is follows. The aggregate mass from fraction #14 retained on sieve size 10mm is classified as uncoated, whereas all aggregate particles passing sieve size 10mm are classified as coated.
1.81E+06
Sample properties Using limestone aggregate Bitumen Pen. 50/70 Bitumen temperature 180oC Foaming water content (FWC) 4%
2.78E+06
2
Particle coating (mm ) 2.25E+05
Uncoated aggregates (mm2)
2.85E+05
Coated aggregates (mm2)
9.72E+04 1.16E+05 8.21E+04
Particle is assumed in a spherical shape Total particles surface area of all aggregates = 6.25E+06 mm2 Total Uncoated particles = 2.82E+06 mm2 ( 45% ) Total Coated particles = 3.43E+06 mm2 ( 55% )
1.45E+05 9.63E+04
8.73E+04
1.46E+05 3.47E+04
1.11E+05 1.20E+04
4.05E+04 4.54E+04 5.61E+03
0.075
0.15
0.212
0.3
0.6
1.18
2.36
3.35
4.45E+04 2.96E+03
5
0.00E+00 1.59E+04 1.78E+04 3.16E+03 0.00E+00 6.3
10
3.43E+04 0.00E+00
14
20
Particle size (mm)
Gambar 8. Sebaran partikel coated dan uncoated aggregate dalam satuan luas permukaaan partikel
Pengembangan konsep mekanisme distribusi binder campuran foamed asphalt Berdasarkan beberapa investigasi yang telah dijelaskan didepan maka konsep mekanisme distribusi binder untuk campuran foamed asphalt dapat dikembangkan. Material foamed asphalt dalam keadaan lepas (belum dipadatkan) akan terdiri atas dua tipe partikel, yaitu partikel agregat dan partikel aglomerasi agregat halus-aspal. Partikel agregat adalah partikel uncoated yang tidak diselimuti aspal, rata-rata partikel agregat ini berukuran lebih besar dari 10mm. Sedangkan partikel aglomerasi adalah partikel coated yang diselimuti aspal. Ukuran terbesar aglomerasi dapat mencapai 14mm. Ukuran aglomerasi dengan kandungan binder terbanyak adalah 2,36mm. Partikel agregat yang diselimuti aspal kurang lebih 15% dari berat campuran. Ukuran aglomerasi dapat digunakan sebagai indikasi kualitas campuran. Semakin kecil ukuran aglomerasi dan atau semakin banyak jumlah partikel aglomerasi akan menunjukkan semakin merata dan homogen campuran. Hal ini akan mampu memberi stimulan proses pemadatan dan berpotensi meningkatkan properties campuran. Keterkaitan ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konsep mekanisme distribusi binder.
I - 222
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Evaluasi Homogenitas Campuran Aspal Dingin
Sesungguhnya foam telah terbentuk begitu air dan udara bertekanan diinjeksikan ke aspal panas di dalam expansion chamber. Jumlah gelembung-gelembung foam dengan cepat bertambah dalam kondisi tekanan tinggi. Ketika foam disemprotkan keluar ke dalam sebuah kontainer, pengembangan ukuran gelembung secara cepat dapat diamati secara jelas dikarenakan tekanan dalam gelembung lebih tinggi daripada tekanan disekitarnya. Sehingga dapat dipahami bahwa ketika binder disemprotkan ke agregat basah, properties aspal telah berubah menjadi foam, dari bulk menjadi surface properties. Perubahan ini menyebabkan foam dapat didistribusikan ke permukaan agregat basah (adanya interface antara cairan dan udara). Ketika foam disemprotkan dan bersentuhan dengan agregat basah, foam tidak punya kesempatan untuk berkembang (sebagaimana saat disemprotkan ke dalam kontainer) karena temperaturnya langsung drop dibawah 100oC. Gas uap udara dalam gelembung berubah kembali menjadi air, namun demikian masih sangat banyak void berukuran sangat kecil yang terjebak dalam aspal (Sunarjono, 2008b). Jumlah void ini semakin banyak untuk foam yang diproduksi dengan FWC semakin tinggi. Kehadiran void-void ini menyebabkan foam yang telah kolap tetap lunak dan workable. Oleh karenanya properties binder saat proses pencampuran adalah proporsional dengan properties foam saat diinvestigasi di dalam kontainer terkait dengan nilai ERm, HL, dan atau sifat flownya. Sebagaimana telah dibahas dalam Sunarjono dkk. (2007), kecepatan pencampuran dan tipe agitator alat pencampur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai stiffness campuran karena alat pencampur membantu foam untuk menyebar diantara partikel agregat. Kecepatan mixer harus lebih baik dari kecepatan penyemprotan foam. Sebagai suatu contoh sederhana, kerja mixer dapat diumpamakan sebagai sebuah conveyor. Bila partikel-partikel agregat diletakkan diatas conveyor dan kemudian disemprotkan foam, maka semakin cepat laju conveyor dan semakin besar volume foam akan menghasilkan lebih luas bagian permukaan agregat yang terselimuti foam. Dikarenakan foam akan langsung kolap sesaat setelah menyentuh permukaan agregat basah maka baik kecepatan mixer maupun volume foam menjadi faktor sangat penting selama proses pencampuran. Selama proses ini, agitator berfungsi untuk mengagitasi agregat agar proses penyemprotan seefektif mungkin. Seperti diketahui bahwa karena adanya molekul surfactant pada lapis gelembung, foam lebih menyukai untuk menyebar ditempat permukaan basah. Sehingga saat proses penyemprotan, foam lebih menyukai terdistribusi diatas air, yang dalam hal ini lebih banyak terdapat pada partikel halus dikarenakan efek suction. Pada saat foam menyentuh partikel agregat halus basah maka akan langsung kolap dan kemudian membentuk aglomerasi antara agregat halus dan aspal. Aglomerasi ini agak lunak dan suhunya masih cukup hangat, yaitu sekitar 61-90oC (Sunarjono, 2008b). Kondisi ini memungkinkan agitator mixer untuk memotong-motong aglomerasi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mendistribusikannya diantara partikel-partikel agregat sehingga membentuk campuran yang semakin homogen. Sehingga secara keseluruhan, proses pemotongan dan pendistribusian aglomerasi sangat tergantung pada 3 faktor, yaitu kecepatan pencampuran, tipe agitator, dan workabilitas aglomerasi. Sifat workabilitas ini sangat dipengaruhi oleh parameter viskositas aspal, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh nilai penetrasi aspal dan kecepatan laju penurunan suhu aspal. Penurunan suhu akan semakin cepat untuk aplikasi FWC yang lebih tinggi. Foam dengan volumen tinggi menyebabkan area permukaan foam lebih luas dan sehingga film aspalnya semakin tipin. Hal ini berimplifikasi foam akan semakin cepat dingin karena kontak dengan agregat basah. Proses pemotongan aglomerasi menjadi bagian yang lebih kecil menghasilkan campuran lebih homogen. Bila waktu pencampuran diperpanjang maka ukuran aglomerasi semakin kecil, sehingga otomatis campuran akan semakin lebih homogen. Namun perpanjangan waktu pencampuran tidak akan berarti bila suhu aglomerasi sudah rendah karena tidak efektif lagi dipotong-potong oleh agitator. Dapat disimpulkan bahwa selama waktu pencampuran properties aglomerasi sangat penting. Properties ini mempresentasikan kemampuan binder untuk dapat dipotong-potong oleh mixer dan didistribusikan ke partikel agregat. Gambar 9 mempresentasikan foto sampel padat dari campuran dengan tingkat penyebaran binder tidak merata (homogenitas buruk, gambar kiri) dan tingkat penyebaran binder merata baik (homogenitas baik, gambar kanan).
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
I - 223
Sri Sunarjono
Gambar 9. Sampel campuran dengan homogenitas buruk (kiri) dan homogenitas baik (kanan)
6.
KESIMPULAN
Kesimpulan terhadap studi mengenai homogenitas campuran aspal dingin ini dapat diringkas sebagai berikut: a. Properties permukaan foam yang menghadirkan molekul surfactant diarea interfacenya memungkinkan foam mampu mengikat agregat basah pada suhu kamar. Molekul-molekul ini menyukai air sehingga pada saat proses pencampuran, foam lebih mudah terdistribusi diatas partikel-partikel yang halus yang lebih basah karena efek suction. Oleh karenanya agregat kasar relatif sulit diselimuti aspal dan akhirnya distribusi binder tidak merata secara penuh. Akhirnya campuran foamed asphalt terdiri atas partikel-partikel yang terlapisi dan tidak terlapisi oleh binder aspal. b. Aglomerasi terbentuk akibat tersebarnya aspal diatas permukaan partikel-partikel halus. Pada studi ini ukuran aglomerasi terbesar mencapai 14mm dan aglomerasi yang mengandung aspal terbanyak berukuran 2,36mm. Sedangkan ukuran agregat terbesar yang terlapisi aspal adalah 6,3mm. c. Faktor-faktor penting dalam proses pencampuran yang mempengaruhi tingkat homogenitas binder adalah kecepatan mixer, tipe agitator, dan workabilitas aglomerasi agregat halus-aspal.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Dr. NH Thom yang telah membantu paper ini dapat dipresentasikan.
DAFTAR PUSTAKA Akeroyd, F.M.L. & Hicks, B. J. (1988). “Foamed Bitumen Road Recycling”. Highways, Volume 56, Number1933, pp 42, 43, 45. Barinov, E.N. (1990). “Formation and Properties of Foams”. Leningrad Institute of Construction Engineering. Translated from Khimiya i Technologiya Topiv i Masel, No. 10, pp. 24-26, October 1990. Breward, C.J.W. (1999). “The Mathematics of Foam”. PhD Thesis, St. Anne’s College, University of Oxford, 1999. British Standard, (1985). “Testing Agregates – Part 103: Methods for Determination of Particle Size Distribution Section 103.1 Sieve Test”. BS 812-103.1: 1985. Sunarjono S., Zoorob S.E. and Thom N.H. (2007). “Influence of foaming water on the foaming process and resultant asphalt mix stiffness”. SIIV International Congress Palermo Italy, 12-14 September 2007, Italy. Sunarjono, S. (2008a). “Karakteristik Foamed Asphalt Sebagai Bahan Perkerasan Jalan”. Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2008, Perkembangan Teknologi Teknik Sipil Terkini, Sabtu 23 Agustus 2008, Gedung Pasca Sarjana UMS, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta, pp. 14-20. Sunarjono, S. (2008b). “The Influence of Foamed Bitumen Characteristics on Cold-Mix Asphalt Properties”. PhD Thesis School of Civil Engineering, The University of Nottingham
I - 224
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta