Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
EVALUASI EFEKTIVITAS INTERIOR BANGUNAN HIJAU KOMUNITAS SALIHARA BERDASARKAN AKTIVITAS PENGGUNANYA Melinda Nastasya
Dr. Ruly Darmawan, M.Sn.
Program Studi Sarjana Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : bangunan, hijau, interior, pengguna, Salihara
Abstrak Bangunan Komunitas Salihara merupakan salah satu bangunan hijau yang ada di Indonesia. Dibangun pada tahun 2008, bangunan yang berupa kompleks ini dirancang oleh tiga arsitek Indonesia—Adi Purnomo, Marco Kusumawijaya, dan Andra Matin—yang masing-masing merancang tiga bangunan yang berbeda: teater, galeri, dan kantor. Konsep ramah lingkungan diterapkan pada perancangan Salihara ini. Di sisi lain, Komunitas Salihara, yang termasuk pengguna tetap bangunan, memiliki berbagai program kegiatan yang diselenggarakan tiap tahunnya dengan tema berbeda. Sebagai pusat kesenian dan kebudayaan swadaya, Komunitas Salihara memiliki visi-misi untuk terus memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi di masyarakat. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai bagaimana hubungan antara bangunan yang berkonsep hijau ini dengan aktivitas pengguna di ruang interior. Melalui metode observasi sebagai metode utama, ditemukan bahwa pengguna tidak menerima konsep bangunan secara orisinal seutuhnya langsung dari arsitek. Terdapat dampak yang ditimbulkan dari penerapan konsep hijau terhadap aktivitas interior pengguna. Maka demi kepentingan kebutuhan aktivitas tersebut, pengguna melakukan tindakan melalui proses adaptasi yang secara tidak langsung mempengaruhi kualitas konsep hijau bangunan Komunitas Salihara.
Abstract The building of Komunitas Salihara is one of many green buildings in Indonesia. Built in 2008, the building complex was designed by three Indonesian architects—Adi Purnomo, Marco Kusumawijaya, and Andra Matin—who have had shown their own specialty through three main buildings: theatre, gallery, and office. The architects thought that environmentally-friendly concept best suited for Salihara building. Meanwhile, Komunitas Salihara as the user itself has various programs held in every year. As an art and culture centre, Komunitas Salihara is willing to maintain freedom of thought and expression among Indonesian society. This paper is meant to know how the relation laid between green building Salihara and the user’s interior activity. Using observation as main method, it is known that the user does not accept the concept as original as architects gave. There are effects caused by the applied green concept that bother user’s interior activity. Consequently, the user makes some actions through adaptation process for the sake of their activity needs that affect green concept quality of Komunitas Salihara building indirectly.
1. Pendahuluan Meningkatnya permasalahan lingkungan pada awal abad 21 sebagian besar disebabkan oleh kemajuan teknologi. Tuntutan pemenuhan kualitas kehidupan yang lebih baik mendorong manusia menjadi konsumtif terhadap penggunaan energi, khususnya penggunaan energi yang tidak dapat diperbarui. Sementara sumber daya energi tak terbarukan yang ada di bumi memiliki jumlah terbatas. Ketidakseimbangan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan iklim secara global (global climate change) yang mengancam kehidupan manusia, ditandai dengan meningkatnya suhu di permukaan bumi (global warming). Sektor bangunan turut menyumbang emisi karbon di permukaan bumi yang menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut terjadi karena hampir 80% waktu pada setiap harinya digunakan oleh setiap orang untuk beraktivitas di dalam bangunan. Kegiatan yang menggunakan teknologi untuk membantu manusia beraktivitas, seperti komputer, air conditioning, televisi, dan peralatan elektronik lainnya menghasilkan emisi karbon. Atas dasar fakta tersebut, maka konsep green building atau bangunan hijau lahir sebagai alternatif dari bangunan konvensional pada umumnya. Bangunan hijau adalah bangunan yang menjadikan kondisi lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam konsep dan perancangannya.
Bangunan Komunitas Salihara merupakan salah satu bangunan hijau di Indonesia. Berdiri pada tahun 2008, bangunan berupa kompleks yang dirancang oleh tiga arsitek tanah air yaitu Adi Purnomo, Marco Kusumawijaya, dan Andra Matin ini pernah menyandang predikat sebagai “karya arsitektur yang menerapkan aspek ramah lingkungan” pada perhelatan Green Design Award 2009. Kompleks bangunan Komunitas Salihara terdiri dari tiga bangunan utama di dalamnya yaitu teater, galeri, dan kantor. Ketiga arsitek tersebut bekerjasama dalam merancang kompleks bangunan Komunitas Salihara dengan menerapkan konsep hijau atau ramah lingkungan. Pada teater terdapat jendela dan ventilasi yang berguna untuk pertukaran udara alami dan masuknya cahaya matahari ke ruang interiornya. Di galeri terdapat lubang udara dan jendela pada langit-langit yang memungkinkan terjadinya ventilasi gaya termal dan masuknya cahaya matahari sehingga tidak diperlukan lampu pada siang hari. Sedangkan ruang kantor dirancang terbuka, dengan adanya void dan dinding kerawang pada kulit bangunan berguna untuk menyaring panas dari sinar matahari dan membiarkan cahayanya masuk menerangi ruang kantor sehingga tidak diperlukan lampu pada siang hari.
Di sisi lain, Komunitas Salihara merupakan sebuah komunitas seni dan budaya yang dibentuk oleh sejumlah sastrawan, jurnalis, seniman, dan peminat seni yang telah berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan merupakan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia. Program aktivitas di Salihara diselenggarakan rutin setiap tahunnya dengan tema yang berbeda. Pengguna bangunan terdiri dari Komunitas Salihara itu sendiri khususnya, termasuk pengelola di dalamnya, dan masyarakat peminat seni dan budaya pada umumnya. Komunitas yang merupakan pengembangan dari Komunitas Utan Kayu ini memiliki visi-misi menciptakan, memelihara dan memperjuangkan perluasan kebebasan berpikir dan berekspresi di masyarakat. Sebagai pengguna tetap sekaligus pengelola bangunan, Komunitas Salihara senantiasa menjaga kebutuhan dan keberjalanan program aktivitas dengan fasilitas yang ada. Sebagai pusat kesenian dan kebudayaan swadaya, Komunitas Salihara berupaya untuk terus menyajikan program-program yang tak hanya sebatas hiburan tetapi juga yang mengembangkan kreativitas guna menumbuhkan kesadaran akan nilai kekayaan seni dan budaya—nasional maupun internasional—di masyarakat.
Antusiasme masyarakat semakin bertambah dari tahun ke tahun terhadap Komunitas Salihara. Banyak yang datang dari berbagai kalangan untuk menikmati program-program yang diselenggarakan atau bahkan sekadar berkunjung dan bersantai di sini. Semua program kegiatan diadakan di dalam kompleks bangunan Komunitas Salihara yang terdiri dari tiga bangunan utama yaitu teater, galeri, dan kantor.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara bangunan berkonsep hijau Komunitas Salihara dan pengguna dalam beraktivitas di dalam ruang interior. Bangunan Salihara memiliki konsep hijau (ramah lingkungan), sedangkan pengguna yakni Komunitas Salihara memiliki visimisi kebebasan berekspresi. Adapun hubungan tersebut dilihat dari adakah dampak dari penerapan konsep hijau terhadap aktivitas pengguna dan bagaimana pengguna menanggapi penerapan konsep hijau (respon pengguna) tersebut terkait aktivitasnya di ruang interior. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan konsep hijau pada bangunan Komunitas Salihara efektif terhadap aktivitas pengguna di ruang
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 2
Melinda
interior—sejauh apa bangunan berperan terhadap pengguna dalam beraktivitas dan bagaimana reaksi pengguna terhadap bangunan yang mengakomodasi aktivitasnya. Sehingga diharapkan nantinya penelitian ini dapat menghasilkan suatu pemahaman tersendiri mengenai hubungan antara bangunan hijau Komunitas Salihara dan penggunanya. Adapun skema pemikiran yang mendasari kegiatan penelitian ini sebagai berikut. Isu Lingkungan Bangunan
Manusia
dampak RELASI respon
(Aktivitas)
Gambar 1. Skema Pemikiran
Penelitian ini didasari oleh pemikiran bahwa permasalahan lingkungan yang terjadi turut diakibatkan oleh sektor bangunan dan kegiatan manusia di dalamnya. Maka dari itu, bangunan hijau hadir sebagai alternatif. Mengedepankan sifatnya yang ramah lingkungan, bangunan hijau merupakan sebuah konsep perancangan positif yang dapat membantu manusia untuk sadar lingkungan (environmental awareness) sehingga dalam beraktivitas di dalamnya tidak merusak lingkungan.
Bangunan Komunitas Salihara merupakan salah satu bangunan berkonsep hijau di Indonesia. Sebagai pusat kesenian dan kebudayaan swadaya, penggunanya pun dalam hal ini Komunitas Salihara itu sendiri terus berupaya untuk mewujudkan visi-misinya dengan tetap memperhatikan keberjalanan program aktivitas dengan fasilitas yang telah dirancang.
Persoalan yang diangkat yaitu mengenai bagaimana hubungan (relasi) antara bangunan berkonsep hijau Salihara dengan penggunanya terkait aktivitas interior yang nantinya bisa diketahui apakah konsep perancangan hijau ini efektif terhadap pengguna.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 3
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini yaitu observasi sebagai metode utama. Adapun metode wawancara mendalam digunakan sebagai metode pendukung saja dengan tujuan untuk memperoleh kedalaman dan kelengkapan informasi dari penelitian. Obervasi merupakan pengamatan langsung terhadap objek yang terkait dengan permasalahan. Pada kasus ini, pengamatan dilakukan terhadap objek yang menjadi batasan masalah yaitu ruang interior teater, galeri, dan kantor Salihara. Sementara itu, metode wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi dari informan tentang objek yang diamati terkait aktivitas yang terjadi di dalamnya, dengan sasarannya yakni pihak pengelola Komunitas Salihara. Perlu ditekankan bahwa di sini pihak pengelola juga merupakan pengguna bangunan karena pengelola adalah bagian dari Komunitas Salihara itu sendiri. Informan yang menjadi sasaran pula telah lama bekerja di Salihara sehingga dapat dipastikan pengalamannya. Adapun informan yang menjadi sasaran yaitu, Melani Fitri (Manajer Komunikasi Komunitas Salihara) dan Choki Sapta Wanusi (Kepala Teknisi Komunitas Salihara). Keduanya telah bekerja 4-5 tahun sejak komunitas ini berdiri. Sedangkan, materi pertanyaan yang diajukan berdasarkan poin-poin kriteria Indoor Health and Comfort (IHC) GBCI yang dijadikan sebagai bahan referensi. Karena sifat kriteria yang memiliki relevansi yang cukup dekat dengan aktivitas pengguna maka kriteria tersebut digunakan sebagai ‘alat’ untuk mengetahui pengalaman responsif pengguna dalam aktivitasnya di ruang interior terhadap penerapan konsep hijau.
Semua data yang diperoleh lalu dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Peneliti berusaha mencari hubungan variabel yang satu dan variabel lainnya dalam penelitian ini dan mendeskripsikan makna atau hasilnya (Burhan Bungin, 2007). Hasil analisis dihubungkan dengan teori-teori terkait yang didapat dari tahap studi literatur untuk kemudian ditemukan kesimpulan dari penelitian.
Adapun tahap-tahap yang ditempuh dalam pengumpulan data pada pelaksanaan penelitian ini yaitu sebagai berikut.
a.
Studi Literatur Peneliti mendalami isu dan menginterpretasikannya terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
b.
Dokumentasi Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data dari hasil observasi dan wawancara mendalam yang bersumber dari koleksi pribadi maupun orang lain.
3. Hasil Studi dan Pembahasan Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, ditemukan beberapa perubahan pada bangunan Komunitas Salihara. Pada ruang teater, keberadaan jendela dan ventilasi ditutup. Jendela ditutup dengan kaca dari luar dengan jarak 90 cm di antaranya dan ditutup dengan penutup kain hitam (shade) dari dalam ruang teater. Sedangkan ventilasi ditutup dengan rockwool. Demikian sama halnya pada ruang galeri, keberadaan lubang
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 4
Melinda
udara pada lantai dan jendela pada langit-langit ditutup. Karena dengan adanya jendela dan ventilasi pada ruang teater serta lubang udara dan jendela pada ruang galeri mengakibatkan terjadinya kebocoran suara atau bising. Keberadaan elemen-elemen tersebut mengganggu keberjalanan aktivitas di dalam ruang karena suara dari luar dapat tembus masuk ke dalam sehingga pengguna memutuskan untuk menutupnya.
Padahal, para arsitek menerapkan aspek ramah lingkungan ada maksudnya. Jendela dan ventilasi pada teater dimaksudkan untuk adanya pertukaran udara alami dan masuknya cahaya alami ke dalam ruang interior. Tetapi ternyata terjadi kebocoran suara ketika pertunjukan. Selain itu, konsep blackbox yang menjadi konsep dasar dari teater itu sendiri di mana tidak boleh adanya intervensi dari luar (baik audio maupun visual) bertentangan dengan fungsi sesungguhnya dari keberadaan jendela dan ventilasi. Pada galeri, lubang udara di lantai dan jendela di langit-langit dimaksudkan untuk terjadinya aliran udara alami dan masuknya cahaya alami sehingga tidak perlu lampu di siang hari. Hanya saja dalam keberjalanannya, program aktivitas di galeri bertambah. Tak hanya sekadar sebagai ruang pamer karya saja, galeri juga berfungsi sebagai ruang pertunjukan. Hal itu membuat pengguna harus melakukan sesuatu agar program aktivitas yang bertambah dapat berjalan dengan semestinya karena sebagai ruang pertunjukan pula maka galeri membutuhkan kekedapan maksimal, sama halnya dengan teater. Selain ditutupnya lubang udara dan jendela, pintu galeri pun dibuat rangkap untuk memperkuat kekedapan suara dalam galeri. Lain halnya pada ruang kantor. Konsep ramah lingkungan dengan pendekatan keterbukaan menambah masalah di kala hujan. Area koridor kantor yang terbuka pada sisi utara di lantai tiga dan empat serta letak tangga pada area void sering tampias berakibat terganggunya sirkulasi pengguna di ruang kantor. Kemudian, dinding kerawang yang berguna untuk menyaring panas sinar matahari justru membiarkan masuknya air hujan melalui sisi-sisinya yang berlubang. Air hujan merembes masuk hingga ke dalam area kerja pengguna melalui celah bawah jendela pivot yang berbatasan langsung dengan dinding kerawang. Hal itu membuat pengguna berantisipasi dengan cara menyelipkan lap kain pada celah jendela agar lantai tidak basah.
Gambar 2. Teater Salihara. Searah jarum jam: tampak dari luar jendela yang ditutup kaca dan terdapat jarak 90 cm di antaranya; jendela ketika penutup dibuka di ruang interior
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 5
Gambar 3. Ruang Galeri. Searah jarum jam: lubang udara pada lantai yang ditutup semen; jendela pada langit-langit yang telah ditutup rockwool sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk; suasana ruang galeri yang menggunakan pencahayaan buatan tidak langsung; pintu galeri yang dibuat rangkap
Gambar 4. Ruang Kantor. Searah jarum jam: void yang menegaskan konsep keterbukaan pada bangunan kantor; area koridor kantor yang terbuka membuat tampias di kala hujan; dinding kaca membiarkan cahaya alami masuk sehingga ruang kantor tidak menggunakan lampu di siang hari; tangga menuju lantai tiga yang juga termasuk area tampias di kala hujan
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 6
Melinda
Gambar 5. Sudut area kerja. Tampak lap yang diselipkan di celah bawah jendela pivot untuk mencegah air hujan masuk membasahi lantai
Dapat dilihat bahwa hubungan yang terjadi antara penerapan konsep hijau dan pengguna memiliki celah (gap). Beberapa aspek ramah lingkungan yang dirancang oleh arsitek tidak secara mentah-mentah diterima begitu saja oleh pengguna. Terganggunya kepentingan aktivitas interior dalam keberjalanannya, membuat mereka bereaksi terhadap apa yang telah dirancang arsitek. Yang paling terlihat adalah aspek ramah lingkungan pada ruang galeri, fungsi utama lubang udara dan jendela langit-langit ditiadakan demi kepentingan aktivitas pertunjukan.
Aktivitas berkesenian di Salihara yang mengedepankan ekspresi membuat pengelola mempertimbangkan sasaran fungsi setiap ruang yang ada. Galeri menjadi kedap suara, jendela dan ventilasi pada teater ditutup agar suara tidak bocor. Hal tersebut dilakukan demi tercapainya kenyamanan pengguna dalam menikmati aktivitas dalam ruang. Walaupun di sisi lain keberadaannya memiliki arti tersendiri untuk ruang galeri dan teater, yaitu agar ‘alam’ dapat masuk, dapat ikut ‘berkesenian’ di dalam ruang meski akhirnya ‘ditolak’. Sedangkan pada ruang kantor, fleksibilitas pengguna terhambat di kala hujan akibat aspek keterbukaan yang mengundang tampias sehingga pengguna menyiasatinya dengan cara berjalan pelan-pelan pada area koridor dan tangga agar tidak terpeleset dan menyediakan bahan penyerap air pada area kerja agar air hujan yang masuk tidak luber membasahi lantai. Dari upaya-upaya pengguna tersebut, dapat diketahui bahwa pengguna merespon dampak yang ditimbulkan oleh penerapan konsep hijau melalui proses adaptasi guna keberjalanan aktivitasnya di ruang interior.
Sehubungan dengan itu, Constance Perin (1970) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia dapat dilihat dari bagaimana lingkungan tersebut mampu memenuhi stimulus permintaan kebutuhan manusia sehingga banyaknya adaptasi yang dilakukan manusia dapat menjadi tolok ukur dari kelayakan respon fisik. Semakin banyak orang yang harus melakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhannya maka semakin berkurang keberhasilan lingkungan dalam mengakomodasi manusia. Pada kasus Salihara, keputusan pengguna untuk menghilangkan aspek utama dari konsep ramah lingkungan termasuk proses adaptasi yang
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 7
dimaksud oleh Perin. Proses adaptasi yang diwujudkan dalam tindakan pengguna terhadap fisik bangunan secara tidak langsung menurunkan kualitas hijau dari bangunan yang telah dirancang.
Berkaitan dengan adaptasi, Yuswadi Saliya (2006) mengungkapkan bahwa adaptasi merupakan keseimbangan antara hasil proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah segenap upaya dan kemampuan untuk mengolah lingkungan sedangkan akomodasi adalah upaya dan kemampuan untuk menempatkan diri di dalam lingkungan. Seorang perancang harus mempertimbangkan penuh akan pengolahan lingkungan binaan yang dibuatnya agar penggunanya mudah melakukan akomodasi sehingga akan tercapai adaptasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Makin singkat makin baik. Pada Salihara, pengguna melakukan sesuatu, mengolah lingkungan binaan untuk dapat memenuhi kebutuhannya (asimilasi) untuk mencapai taraf akomodasi yang dikehendaki agar bisa beradaptasi dengan wajar. Di sini dapat diketahui bahwa pengguna melalui proses tawar menawar antara keharusan mengolah lingkungan lagi dengan penempatan dirinya di suatu lingkungan yang sudah dibentuk menuju kondisi optimal sesuai dengan kondisi pengguna, dalam hal ini kebutuhan aktivitasnya di ruang interior. Upaya-upaya yang dilakukan seperti menutup jendela dan ventilasi pada ruang teater, jendela dan lubang udara pada galeri, dan menyelipkan lap kain pada celah jendela pivot area kerja merupakan serangkaian proses asimilasi yang harus dilakukannya agar tujuan berkegiatannya dapat tercapai. Maka dapat dikatakan bahwa pengguna tidak dengan mudah, serta merta begitu saja melakukan akomodasi. Ada usaha yang dilakukannya terlebih dahulu yang berakibat adaptasi dicapai dalam waktu yang tidak singkat.
Terkait dengan teori persepsi lingkungan Haryadi-B.Setiawan (2010), maka proses adaptasi pengguna di Salihara melalui proses kognisi, afeksi, dan kognasi. Pengguna telah mengenal dan menerima hasil rancangan dari arsitek. Kemudian dalam keberjalanannya pengguna merasa kebutuhan aktivitasnya bertambah dan diperlukan suatu upaya demi keberjalanan aktivitasnya secara optimal. Di sini pengguna melalui proses afeksi. Sehingga pada akhirnya dicapailah proses kognasi, yaitu pengguna melakukan tindakan, perlakuan terhadap lingkungan binaan (Salihara) sebagai respon dari proses kognisi dan afeksi. Keseluruhan proses tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan Salihara termasuk lingkungan yang terpersepsikan di mata pengguna.
Gambar 6. Bagan teori Haryadi, Saliya, dan Perin. Adaptasi yang merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi berperan sebagai tolok ukur dalam penentuan efektivitas suatu lingkungan.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 8
Melinda
4. Kesimpulan dan Saran Dari rangkaian penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan konsep hijau pada bangunan Komunitas Salihara tidak sesuai dengan kebutuhan aktivitas pengguna di ruang interior sehingga bangunan yang berkonsep hijau tersebut menjadi tidak efektif. Pengguna menanggapi ruang interior bangunan dengan melakukan beberapa tindakan (reaksi asimilasi) terhadap fisik bangunan dikarenakan dampak yang dihasilkan dari adanya konsep hijau mengganggu pengguna dalam beraktivitas di ruang interior. Pengguna tidak menerima begitu saja konsep hijau yang ditawarkan oleh arsitek. Dengan ditemukannya tindakan-tindakan tertentu, bisa diartikan bahwa pengguna melalui tahap asimilasi yang cukup ‘berat’ untuk mencapai tahap akomodasinya. Ada ketidaksesuaian antara konsep perancangan dan kebutuhan aktivitas interior pengguna sehingga salah satunya antara aspek ramah lingkungan yang menjadi aspek utama dalam perancangan bangunan atau kebutuhan pengguna dikorbankan demi keberjalanan aktivitas dengan semestinya. Telah terjadi kompromi di sini. Sehingga sifat ‘hijau’ bangunan pun belum kena ke pengguna secara menyeluruh, terutama ketika pengguna berkegiatan di ruang interior. Hubungan tarik-ulur kepentingan antara konsep hijau bangunan dan kebutuhan aktivitas interior pengguna terlihat kental di sini. Konsep hijau menghendaki keterbukaan sedangkan kebutuhan aktivitas pengguna di ruang interior menghendaki kekedapan.
Konsep hijau memiliki karakter khusus sehingga diperlukan pertimbangan tersendiri antara penerapan aspek yang digagas dan kebutuhan pengguna dalam beraktivitas di ruang interior demi tercapainya pemenuhan kualitas ruang yang optimal. Diperlukan upaya lebih lanjut agar tercipta hubungan holistik antara penerapan konsep hijau pada bangunan dan kebutuhan aktivitas interior pengguna tanpa harus mengorbankan salah satu di antaranya bagi perancangan arsitektur dan interior ke depannya.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses penelitian dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Desain Interior FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh Bapak Dr. Ruly Darmawan, M.Sn.
Daftar Pustaka Bonda, Penny dan Katie Sosnowchik. 2007. Sustainable Commercial Interiors. New Jersey: John Wiley & Sons. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Karyono, Tri Harso. 2010. Green Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Malnar, Joy Monice dan Frank Vodvarka. 1992. The Interior Dimension: A Theoretical Approach to Enclosed Space. New York: Van Nostrand Reinhold.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 9
Saliya, Yuswadi. 2006. Pendekatan interdisiplin dalam desain: Suatu penjelajahan awal. Jurnal Ilmu Desain FSRD-ITB 1(2): 82-84. Setiawan, B. dan Haryadi. 2010. Arsitektur, Lingkungan, dan Perilaku: Pengantar ke Teori Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Daniel. 2011. Komunitas Salihara: Rumah seni ramah lingkungan dan hemat energi. Majalah Building Indonesia (versi online). http://buildingindonesia.biz/2011/01/03/komunitas-salihara-rumah-seni-ramahlingkungan-dan-hemat-energi/ [3 Jan 2011]. http://climatehotmap.org/about/global-warming-causes.html www.flickr.com/photos/salihara www.gbci.org www.salihara.org http://v1.salihara.org/main.php?type=detail&module=article&menu=child&item_id=391 http://www.worldbank.org/in/news/press-release/2012/11/18/new-report-examines-risks-of-degree-hotterworld-by-end-of-century
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 10