ETOS KERJA KAITANNYA DENGAN NILAI BUDAYA MASYARAKAT DI DESA PANGKUSA FITRIA BUNTUAN 231409039 Jurusan Sejarah Prodi. Pendidikan Sejarah
Anggota Darwin Une * Yusni Pakaya **
Abstrak
Fitria Buntuan, 2013. Persepsi Tentang Etos Kerja Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat di Desa Pangkusa. Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing: (1) Drs. Darwin Une, M.Pd (2). Yusni Pakaya, S.Pd.,M.Pd
Tujuan penelitian ini adalah (1). Untuk mengenali sistim nilai budaya masyarakat Pangkusa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang mempunyai pengaruh pada sikap dan mentalitas pendukung suatu kebudayaannya, (2). Mengenali sistim nilai budaya masyarakat Pangkusa dan relevan dengan tujuan pembangunan yang sedang digalakan oleh pemerintah, (3). Mengetahui seberapa jauh etos kerja suatu masyarakat (masyarakat Pangkusa) dalam mendukung pembangunan. Lokasi yang dipilih oleh peneliti sebagai tempat penelitian ini adalah Desa Pangkusa Kecamatan Sangkup Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1). Etos kerja masyarakat Pangkusa tidak lepas dari konsepsi etos kerja Islam, (2). Ditinjau dari sudut konsepsional, ide masyarakat Pangkusa
1
2
memiliki etos kerja yang tinggi dan sangat menghargai terhadap kerja namun dalam kenyataan realitas sehari-hari kelihatan masyarakat Pangkusa belum melaksanakan konsep etos kerja itu secara maksimal, (3). Masyarakat Pangkusa sangat menghargai waktu. (4). Bagi masyarakat Pangkusa tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja tidak begitu optimal akan tetapi mereka hanya untuk cukup makan dan selebihnya untuk naik haji dan menyekolahkan anak. (5). Etos kerja
masyarakat
Pangkusa
juga
dimotivasi
oleh
persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Oleh karena itu disarankan: (1). Meningkatkan etos kerja masyarakat Pangkusa secara konsepsional harus di mulai dengan peningkatan pemahaman masyarakat tentang Islam, (2). Untuk meningkatkan etos kerja masyarakat Pangkusa perlu dimulai dengan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat serta peningkatan tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh pemimpin, (3). Perlu dilakukan studi perbandingan, (4). Untuk menunjang etos kerja masyarakat Pangkusa pihak yang terkait atau pemerintah perlu memberikan bantuan berupa modal maupun mempermudah urusan dalam mengurus sesuatu bentuk usaha, (5). Pemerintah perlu mengupayakan agar masyarakat Pangkusa yang sebagian besar hidup dibidang pertanian dan mereka umumnya menanam padi diarahkan agar mau menanam tumbuh-tumbuhan selain padi (palawija) agar adanya peragaman hasil pertanian, (6). Masyarakat Pangkusa perlu dirubah pola pikir dan pola tindak yang mengarah kerja hanya untuk cukup makan, (7). Kepedulian sosial yang tertanam dalam akar budaya masyarakat Pangkusa perlu dipupuk terus dan diwujudkan dalam kenyataan seperti kegemaran membayar zakat, kegemaran bersedekah dan sebagainya.
Kata kunci : Etos Kerja, Nilai Budaya Masyarakat Pangkusa
3
PENDAHULUAN Pembangunan Indonesia adalah Pembangunan yang berwawasan budaya. Oleh karena itu setiap tindak pembangunan harus berakar dari pada budaya bangsa. Kadang-kadang orang melupakan nilai-nilai manusiawi dalam masyarakat sebagai akibat peralihan petani, pra industri menuju masyarakat Industri. Pada masa sekarang, hampir setiap hari surat-surat kabar dan orang-orang membicarakan tentang perlunya perkembangan nilai-nilai budaya yang sejalan dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi, tetapi usahausaha yang konkrit ke arah itu masih tersendat-sendat. Oleh karena itu upaya menggali dan mengungkapkan serta mengukuhkan nilai-nilai budaya lama dan asli yang mempunyai potensi integratif dan masih selaras dengan tuntutan zaman perlu dikembangkan. Dalam sistem nilai budaya setiap suku bangsa termasuk suku Bolaang Mongondow Utara mempunyai beberapa nilai tradisional yang masih cocok dengan jiwa pembangunan. Nilai-nilai ini dapat memudahkan taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan dengan cara memberi contohcontoh yang positif. Diantara sifat mentalitas yang juga mempunyai aspek positif guna pembangunan adalah adanya nilai budaya yang memuji sifat " tahan penderitaan ". Kecuali itu juga sifat lain dari nilai tradisional ini yang dimiliki oleh beberapa suku bangsa di Indonesia termasuk suku Mongondow yaitu, suatu konsepsi yang mewajibkan untuk tetap berusaha walaupun hidup itu pada hakekatnya harus dialami sebagai suatu masa ujian yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, dalam hidup wajib ada usaha, seperti juga termaktup dalam ajaran-ajaran agama (Islam) yaitu ikhtiar (usaha) itu wajib dilakukan. Selain itu sifat positif lainnya yang berasal dari nilai tradisional yaitu nilai gotong royong. Disini mengandung suatu tema berfikir, bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya. Cara berpikir seperti itu tentu membawa suatu rasa keamanan nurani yang amat dalam dan mantap kepada kita, karenan latar belakang dan pikiran kita tetap ada bayangan bahwa dalam keadaan apapun, pasti ada yang membantu.
4
Pandangan seperti tersebut diatas itulah yang pada gilirannya mewarnai etos kerja masyarakat, seperti halnya masyarakat Pangkusa. Dengan perkataan lain tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat, sangat tergantung pada bagaimana cara suatu masyarakat (seperti masyarakat Pangkusa) memandang masalah dasar dalam kehidupan manusia, sehingga dapat dinilai seberapa jauh tingkat tinggi atau rendahnya etos kerja masyarakat yang bersangkutan. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep teori, yakni teori tentang etos kerja, pengembangan etos kerja, konsep nilai budaya, system nilai, orientasi nilai budaya, . Adapun deskripsi teori yang telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut. Pertama teori tentang etos kerja. Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Menurut Thohir Luth (1997:39) bahwa: Etos kerja secara islami yaitu: (1) Niat ikhlas karena Allah semata : niat teramat penting dalam setiap aktivitas. Nilai pekerjaan kita bias menjadi ibadah atau tidak sangat bergantung pada niat untuk apa kita melaksanakan sesuatu. Dalam pengertian sederhana, manusia akan diperhitungkan perbuatan sesuai dengan niatnya; (2) Kerja Keras (al-jiddu fi al-‘amal) Toto Tasmara (2002:6) dalam bukunya mengemukakan bahwa: Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat (shalih) yang merupakan bagian dari amanah Allah. Itulah sebabnya, cara pandang kita di dalam melaksanakan suatu pekerjaan harus didasarkan pada tiga dimensi kesadaran, yaitu : aku tau (makrifat, alamat, epistemology), aku berharap(hakikat, ilmu, religiositas) dan aku berbuat (syariat, amal, etis). Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak. Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai
5
etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian etos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan; respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Menurut Jansen H Sinamo dalam (http:/pembelajar.com/proaktiforganizer/ ?page_id=170) delapan etos kerja yaitu : (1) Kerja adalah Rahmat bekerja tulus penuh syukur; (2) Kerja adalah Amanah bekerja benar penuh tanggung jawab; (3) Kerja adalah Panggilan bekerja tuntas penuh integritas; (4) Kerja adalah Aktualisasi bekerja keras penuh semangat; (5) Kerja adalah Ibadah bekerja serius penuh kecintaan; (6) Kerja adalah Seni bekerja cerdas penuh kreativitas; (7) Kerja adalah Kehormatan bekerja tekun penuh keunggulan; (8) Kerja adalah Pelayanan bekerja paripurna penuh kerendahan hati. Dari beberepa teori di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika. Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika, ini merupakan nilai-nilai universal. Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat. Kedua teori tentang pengembangan etos kerja. Berbicara mengenai sebuah lembaga pendidikan maka di dalamnya harus terdapat kurikulum yang paradigmatik, guru yang amanah dan memiliki kompetensi di bidangnya, proses belajar mengajar, lingkungan dan budaya kampus. Selain itu, terdapat ruang interaksi dan sinergi dengan keluarga dan masyarakat. Adanya interaksi dan sinergi ini diharapkan dapat menciptakan manusia Indonesia yang dirindukan pada abad mendatang, yaitu manusia yang memiliki kualitas SDM-nya serta mentalitasnya. Jika dimensi ini benar-benar tercipta sudah barang tentu ia sudah
6
siap menghadapi bahkan siap sebagai pelaku di era teknologi itu karena salah satu agenda penting bagi bangsa kita di abad 21 adalah mengusahakan agar kualitas tenaga kerja kita menjadi tenaga kerja bersaing dengan kemapanannya. Sumber daya manusia bangsa ini perlu dikembangkan hingga mencapai kualitas yang setara dengan bangsa-bangsa yang telah maju terlebih dahulu dibandingkan Indonesia. Hal ini semakin penting, karena selain masalah ekonomi yang menjadi penyakit akut di Indonesia, sesungguhnya kualitas SDM menjadi titik kritis sentral dalam proses tata kemajuan peradaban suatu bangsa secara luas baik dilihat secara politik, teknologi, kultural, maupun manajerial. Mochtar Lubis (2001:vii) menyatakankan bahwa: “Adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; Artistik; dan lemah wataknya.” Dari beberapa penjelasan di atas dapat dibuat satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia (atau komunitas) dengan keberhasilannya bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya, melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul. Ketiga teori tentang konsep nilai budaya. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sudah dirumuskan oleh beberapa ahli seperti : Menurut Koentjaraningrat (1985:1): Banyak orang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran,karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat: kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti konsep itu memang terlampau sempit. Sebaliknya, banyak orang terutama
7
para ahli ilmu social, mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bias dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep itu adalah amat luas karena meliputi hamper seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya.
Ihromi (2006:7) mengartikan: Kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang telah merupakan cirri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Sehubungan dengan itu maka kebudayaan terdiri dari hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, music, kebiasaan pekerjaan, larangan-larangan dan sebagainya.
Menurut Manan (dalam Sofyan Sauri dan Achmad Hufad : Tim Pengembang ilmu Pendidikan FIP – UPI (2007:62) mendefinisikan nilai budaya sebagai: Konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain – lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
8
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Keempat teori tentang system nilai. Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan. Menurut Robbins (dalam Sofyan Sauri dan Achmad Hufad : Tim Pengembang ilmu Pendidikan FIP – UPI (2007:62) mendefinisikan sistem nilai sebagai: ” a ranking of individual values according to their relative infortance”. Secara fungsional system nilai ini mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu akan berhasil. Sistem nilai ini menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seorang atau sekumpulan orang, bahkan merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan sehingga mengubah sistem nilai manusia tidaklah mudah dan dibutuhkan waktu yang lama. Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat. Dari beberapa uraian definisi di atas dapat dideskripsikan bahwa, nilai sebagai sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah Konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia
9
dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Kelima teori tentang orintasi nilai budaya. Orintasi nilai budaya umumnya dimasyarakat memiliki beberapa prinsip berpola sebagai hasil dari pengaruh yang bersifat timbal balik dari segala bentuk proses yang bentuk tata susunan dan arahannya memiliki alur tindakan dan pemikiran manusia yang terus mengalir dalam memecahkan berbagai macam masalah-masalah berupa nilai budaya dalam masyarakat. Menurut Kluckhohn
(dalam Sofyan Sauri dan Achmad Hufad : Tim
Pengembang ilmu Pendidikan FIP – UPI (2007:62) mengemukakan bahwa: Nilai budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya. Secara
fungsional
sistem
nilai
ini
mendorong
individu
untuk
berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil. Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa sistem
nilai
budaya
suatu
masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu. Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn (dalam Sofyan Sauri dan Achmad Hufad : Tim Pengembang ilmu Pendidikan FIP – UPI (2007:64) kelima masalah pokok tersebut adalah: 1) Masalah hakekat hidup, 2) Hakekat kerja atau karya manusia,
10
3) Hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4) Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, 5) Hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya. Dalam bukunya (Koentjaraningrat, 1985:2) bahwa: Karena demikian luasnya, maka guna keperluan analisa konsep kebudayaan itu perlu dipecah lagi kedalam unsu-unsurnya. Unsur-unsur terbesar yang terjadi karena pecahan tahap pertama disebut “unsure-unsur kebudayaab yang universal”, dan merupakan unsur-unsur yang pasti bias ditemukan disemua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yan kecil terpencil maupun dalam masyarakat kekotaan yang besar dan komplex. Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini dengan berbagai variasi yang berbeda – beda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan
nirwana,
dan
mengenyampingkan
segala
tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali. Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status. Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya. Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang
11
Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya. Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat
paternalistic
(kebapaan).
Tentu
saja
pandangan
ini
sangat
mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya. Inti permasalahan disini adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing individu. METODE PENULISAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Adapun penelitian kualitatif menurut Creswell (dalam, J.R.Raco (2003:7) adalah suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memberikan informasi yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual,
akurat mengenai
12
Persepsi Tentang Etos Kerja Kaitanya Dengan Nilai Budaya Masyarakat di desa Pangkusa. HASIL DAN PEMBAHASAN Budaya Pangkusa sangat menghargai orang yang rajin bekerja dan membenci orang yang malas. Orang yang rajin mendapat tempat yang tinggi dalam nuansa budaya. Manusia Pangkusa dalam berusaha dimotivasi pula oleh nilai-nilai keislaman. Islam mengajarkan dan tercermin dalam praktek sehari-hari masyarkat setiap memulai sesuatu usaha atau kerja selalu memanjat kepada Allah agar diberikan hasil yang memadai. Disamping itu dalam berusaha masyarakat juga dimotivasi oleh kewajiban membayar zakat. Zakat bagi orang Pangkusa terutama masyarakat petani bukanlah sesuatu yang dihindari, akan tetapi merupakan kewajiban yang didambakan agar mampu dibayarkannya. Untuk itu masyarakat selalu berusaha agar pekerjaan yang dilaksanakan memperoleh hasil yang melimpah sampai mencapai nisabnya. Etos kerja masyarakat dalam berusaha juga dimotivasi oleh keinginan untuk menunaikan zakat. Disamping membayar zakat terdapat pula sedekahsedekah sunat dan perayaan-perayaan ritual. Perayaan tersebut seperti perayaan Maulid. Kenduri Apam. kanduri beureuat dan sebagainya. Masyarakat Pangkusa kenduri maulid merupakan kewajiban bagi penduduk negeri. Budaya masyarakat Pangkusa menekankan agar seseorang harus bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkan hasil yang memadai Budaya Pangkusa menganjurkan paling tidak untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup sehari-hari, karena Islam tidak menyukai orang yang peminta-minta (pemalas). Ditinjau dari segi adat kemapanan ekonomi bukan saja sanggup mencari nafkah akan tetapi sewaktu hendak melangsungkan pernikahan harus dibarengi dengan pelunasan mahar berupa emas sesuai dengan perjanjian. Ketentuan adat ini tentu seseorang membutuhkan kesungguhan agar dapat memperoleh mahar tersebut. Aspek positif dari pemberian mahar kepada mempelai wanita oleh mempelai pria merupakan dorongan untuk menggugah seseorang dalam bekerja dan sebagai ukuran atau simbul kesiapan dan kemapanan dari segi ekonomi
13
seorang pemuda yang ingin melangsungkan perkawinan (berumah tangga). Bagi si wanita merupakan pegangan bukti kecintaan seorang pemuda kepadanya. Waktu memegang peranan penting dalam melaksanakan aktivitas hidup seharihari. Waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga. Islam memberikan perumpamaan waktu itu seperti laksana pedang. Pedang merupakan benda yang tajam dan bertujuan untuk menghanus musuh atau benda-benda lainnya. Berarti waktu jika tidak dimanfaatkan dengan baik maka ia akan dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Akan tetapi seandainya mampu kita manfaatkan secara efektif dan efisien maka sangat menguntungkan bagi manusia. Masyarakat Pangkusa sejak dahulu sampai sekarang dikenal dengan masyarakat yang homogen, walaupun dari segi keturunan ada yang mengatakan dari berbagai suku bangsa di dunia. Masyarakat yang homogen dan ditopang oleh pengamalan terhadap ajaran agama Islam yang dianut masyarakat semakin mempertebal solidaritas sosial dan kepedulian sosial. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Etos kerja masyarakat Pangkusa tidak lepas dari konsepsi etos kerja Islam. Etos kerja Islam mengajarkan bahwa umatnya harus rajin bekerja dan mengamalkan bahwa pekerjaan itu adalah ibadah. Islam memiliki etos kerja yang tinggi dan selalu menggantungkan harapan pada Allah SWT, Islam menganjurkan agar umatnya melakukan berbagai usaha. Kegagalan atau belum berhasilnya sesuatu usaha tidak boleh berputus asa. 2. Ditinjau dari sudut konsepsional, ide masyarakat Pangkusa memiliki etos kerja yang tinggi dan sangat menghargai terhadap kerja namun dalam kenyataan realitas sehari-hari kelihatan masyarakat Pangkusa belum melaksanakan konsep etos kerja itu secara maksimal. 3. Masyarakat Pangkusa sangat menghargai waktu. Penghargaan terhadap waktu merupakan pengamalan terhadap nilai-nilai agama Islam dan pengamalan terhadap adat.
14
4. Bagi masyarakat Pangkusa tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja tidak begitu optimal akan tetapi mereka hanya untuk cukup makan dan selebihnya untuk naik haji dan menyekolahkan anak. 5. Etos kerja masyarakat Pangkusa juga dimotivasi oleh persoalan-persoalan kemasyarakatan. Masyarakat Pangkusa memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga mereka selalu bekerja keras untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan tujuan akan memberikan kepada orang fakir miskin serta anak yatim dari bahagian hasil jerih payahnya. Saran Berdasarkan uraian diatas maka peneliti menyarankan sebagai berikut: 1. Meningkatkan etos kerja masyarakat Pangkusa secara konsepsional harus di mulai dengan peningkatan pemahaman masyarakat tentang Islam. 2. Untuk meningkatkan etos kerja masyarakat Pangkusa perlu dimulai dengan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat serta peningkatan tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh pemimpin baik pemimpin formal (pemerintah) maupun pemimpin non formal (ulama, pemimpin adat). 3. Disamping itu perlu dilakukan studi perbandingan, maksudnya masyarakat Pangkusa perlu dibawa studi perbandingan melihat keberhasilan daerah lain agar terbuka pikiran mereka serta tidak larut dengan kehebatan masalalunya. Dengan mereka melihat perkembangan daerah lain maka akan memotivasikan diri mereka untuk bekerja lebih giat. 4. Untuk menunjang etos kerja masyarakat Pangkusa pihak yang terkait atau pemerintah perlu memberikan bantuan berupa modal maupun mempermudah urusan dalam mengurus sesuatu bentuk usaha. Modal merupakan suatu kendala yang sering kita jumpai dalam masyarakat sehingga semangat mereka melemah. 5. Kemajuan dunia yang semakin pesat, pemerintah perlu mengupayakan agar masyarakat Pangkusa yang sebagian besar hidup dibidang pertanian dan mereka umumnya menanam padi diarahkan agar mau menanam tumbuhtumbuhan selain padi (palawija) agar adanya peragaman hasil pertanian.
15
6. Masyarakat Pangkusa perlu dirubah pola pikir dan pola tindak yang mengarah kerja hanya untuk cukup makan. Kemajuan teknologi kebutuhan manusia semakin meningkat. Oleh karena itu masyarakat Pangkusa juga harus dimotifasi untuk dapat hidup layak setara dengan bangsa-bangsa lain didunia. 7. Kepedulian sosial yang tertanam dalam akar budaya masyarakat Pangkusa perlu dipupuk terus dan diwujudkan dalam kenyataan seperti kegemaran membayar zakat, kegemaran bersedekah dan sebagainya. Namun yang sangat penting diperhatikan adalah perlu usaha mencari pola pengolahan infak tersebut dengan manajemen yang tinggi dan penyalurannya tidak lagi terkesan melepaskan masyarakat miskin hanya sesaat. Akan tetapi bagaimana sekarang pemerintah mengupayakan agar dapat dijadikan modal usaha bagi masyarakat ekonomi agar ia juga dapat memotifasi dirinya untuk hidup lebih layak. DAFTAR PUSTAKA Alpian D. Lamusu, 2011, Nilai Upacara Adat Pomasoro. Bernard T. Adeney, 2000, Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius. Ihromi T.O, 2006, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta. Mochtar Lubis, 2001, Manusia Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Raco. J.R, 2003, Metode Penelitian Kualitatif, Grasindo, Jakarta. Septiawan Santana K, 2007, Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Thohir Luth, 1997, Antara Perut & Etos Kerja, Gema Insani, Jakarta. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, 2007, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, PT. Imperial Bhakti Utama, Jakarta. Toto Tasmara, 2002, Membudayakan Etos Kerja Islami, Gema Insani, Jakarta. http:/pembelajar.com/proaktiforganizer/?page_id=170 http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html