ETNOBOTANI KEPUH (Sterculia foetida L.): STUDI KASUS PADA MASYARAKAT DESA TEPUS KABUPATEN GUNUNGKIDUL
BUDY SURYANTO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015 Budy Suryanto NIM E34100044
ABSTRAK BUDY SURYANTO. Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. Dibimbing oleh Ervizal A.M. Zuhud dan Agus Hikmat. Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi manusia terhadap tumbuhan. Kepuh (Sterculia foetida L.) adalah salah satu spesies tumbuhan yang mulai langka dijumpai di Jawa. Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah yang masih banyak dijumpai pohon kepuh. Keluaran dari hasil penelitian ini yaitu bahan pertimbangan pelestarian kepuh. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan teknik snowball dan analisis vegetasi. Kepuh digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, pakan ternak, pelindung mata air, penghasil bahan bakar, obat, pewarna, dan kerajinan. Sedangkan bagian yang digunakan yaitu daun, kulit batang, buah, biji, dan kayu. Hasil penelitian memperoleh 10 individu Sterculia foetida L. ( 9 individu tingkat pohon dan 1 individu tingkat tiang). Tinggi pohon kepuh di Desa Tepus bervariasi dari 6-20 meter, sedangkan diameternya dari 14 cm hingga 115 cm. Jenis tumbuhan disekitar habitat kepuh diantaranya petai cina, srikaya, mahoni, kukun, gamal, kapuk randu, dan jati. Karakteristik faktor abiotik penyusun habitat kepuh yaitu rata-rata suhu lingkungan 26.5oC dengan kelembaban rata-rata 81.9% dan ketinggian tempat tumbuh di atas 100 m dpl dan di bawah 500 m dpl. Kata kunci: desa Tepus, etnobotani, kabupaten Gunungkidul, kepuh
ABSTRACT BUDY SURYANTO. Ethnobotany Java Olive (Sterculia foretida L.): Case Study in community of Tepus Village District Gunungkidul. Supervised by Ervizal A.M. Zuhud and Agus Hikmat. Ethnobotany is the scientific study of the relationships that exist between peoples and plants. Java olive ( Sterculia fœtida L.) is one of the species of plants that started rare found in Java. Tepus village of Gunungkidul district are the regional that are still found java olive tree. Output from the research material is consideration java olive preservation. The research was done with the semistructured methods by applying a technique snowball interview and analysis vegetation. Java olive used by community as food fodder, keep water, producing fuel, medicine, and the craft. While the part used which is leaves, bark, fruit, seeds , and wood. The research results obtained 10 individual Sterculia foetida L. (9 individual levels of the tree and 1 individual level of the poles). Tree height of java olive in the Tepus varies from 6 to 20 meters , while in diameter 14 to 115 cm. Tufted herbs java olive was fell around habitats such as petai cina (jumbie bean) , suggar apples , mahogany, kukun, gliricidia, the kapok, and teak. Characteristic of a constituent of habitats kepuh abiotik factor is the average temperature environment 26.5oC with the average moisture 81.9 % and the height of the growing over 100 m asl and under 500 m asl. Keywords: ethnobotany, Gunungkidul district, java olive, Tepus village
iii
ETNOBOTANI KEPUH (Sterculia foetida L.): STUDI KASUS PADA MASYARAKAT DESA TEPUS KABUPATEN GUNUNGKIDUL
BUDY SURYANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah etnobotani, dengan judul Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud MS dan Bapak Dr Ir Agus Hikmat MScF selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Ponijan, Bapak Wajianto dan Ibu Sigit beserta warga Desa Ngoro-oro dan Desa Tepus yang membantu pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih saya ucapkan kepada temanteman Anggrek 10, Pondok Agathis, GAMAPURI dan Nepenthes rafflesiana 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka dan duka selama menuntut ilmu di IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015 Budy Suryanto
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Lokasi dan Waktu
2
Alat dan Bahan
2
Jenis Data yang Dikumpulkan
4
Metode Pengumpulan Data
4
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Karakteristik Responden
8
Etnobotani Kepuh
10
Potensi Populasi Kepuh
18
Strategi Konservasi Kepuh
23
SIMPULAN DAN SARAN
25
Simpulan
25
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
29
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Jenis dan metode pengumpulan data Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur Komposisi tingkat pendidikan Bentuk pemanfaatan kepuh Jumlah dan lokasi kepuh di Desa Tepus Indeks nilai penting tingkat tiang dan pohon Kondisi abiotik habitat kepuh
4 5 10 11 19 20 22
DAFTAR GAMBAR 1 Peta administrasi Kabupaten Gunungkidul 2 Bentuk dan ukuran plot inventarisasi populasi kepuh 3 Kelompok umur informan 4 Buah kepuh 5 Kulit batang kepuh 6 Daun kepuh 7 Mata air di bawah pohon kepuh 8 Presentase bagian yang digunakan 9 Sebaran kelas diameter kepuh 10 Keanekaragaman famili di sekitar habitat kepuh 11 Ketinggian tempat ditemukan pohon kepuh 12 Distribusi curah hujan bulanan rata-rata di Kabupaten Gunungkidul
3 5 9 13 14 15 16 17 19 21 21 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 Spesies tumbuhan di lokasi penelitian 2 Indeks nilai penting tingkat tiang 3 Indeks nilai penting tingkat pohon
28 29 29
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kepuh (Sterculia foetida L.) dari famili Malvaceae merupakan tumbuhan yang sudah mulai langka di Jawa padahal tumbuhan ini tersebar merata di seluruh Indonesia yang merupakan daerah tropis (Orwa et al. 2009). Kepuh sekarang mulai jarang ditemukan sehingga kepuh dapat dikategorikan langka (Yuniastuti 2013). Informasi mengenai tumbuhan ini masih kurang dan kepuh selama ini dikenal sebagai pohon wingit/angker. Keunikan dari tumbuhan kepuh yaitu mempunyai banyak manfaat sebagai alternatif bahan bakar karena mengandung asam lemak, semua bagiannya dapat dimanfaatkan untuk jamu. Menurut Bawa (2010) kulit batang kepuh dapat digunakan sebagai obat sakit perut, obat penggugur dan dapat digunakan untuk obat lumpuh jika dicampur air jeruk nipis. Kulit buah kepuh dapat digunakan sebagai bahan ramuan untuk membuat kue dan biji buah dapat dikonsumsi. Menurut Supraptini (2009) kepuh dapat digunakan sebagai zat pewarna makanan. Hal tersebut dimanfaatan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri. Biji kepuh sendiri mengandung minyak nabati yang terdiri atas asam lemak yang berguna untuk ramuan kosmetik, sabun, shampo, pelembut kain, dan pewarna alami. Minyak yang terkandung dalam tumbuhan kepuh telah dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa untuk minyak lampu ataupun minyak goreng pada zaman dahulu (Kandhita 2012; Bawa 2010). Kepuh secara umum dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama kepuh. Nama-nama daerah untuk kepuh yaitu kabu-kabu (Batak), di Jawa dikenal dengan kepuh, kepoh, atau jangkang, sedangkan oleh masyarakat Madura dikenal dengan kelumpang (Heyne 1987). Nama lain kepuh dibeberapa negara yaitu wild almond tree, bastard poon tree, hazel sterculia, java olive, stinky sterculia (Inggris); Virhoi, asakshara, badam janjal, sembadam, goldaru, jangli badam (India) dan kelumpang (Malaysia) (Orwa et al. 2009). Secara fisik kepuh merupakan tanaman besar dengan tajuk yang lebar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi mencapai 45 m, diameter 90-125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriatna 2010). Batang kepuh lurus, bercabang banyak dan bentuk percabangannya simpodial. Batangnya memiliki ciri khas tegak dengan kulit mengelupas dan sering dijumpai memiliki batang kembar. Warna batang luar abuabu, coklat muda sampai tua, dan secara ekologi perakaran kepuh yang kuat sehingga kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi mikro bagi sekitar tempat tumbuhnya. Selain itu kepuh bermanfaat bagi beberapa satwa seperti di Taman Nasional Komodo, pohon kepuh merupakan sarang dari burung kakak tua jambul kuning (Cacatua subphurea parvula) (Hendrati dan Hidayati 2014). Tempat tumbuh kepuh adalah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1000 m dpl. Kepuh yang berbuah banyak akan dijumpai pada ketinggian 300-600 m dpl (Yuniastuti 2013). Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu habitat tumbuhan kepuh dan salah satu tempat yang masih dapat ditemukan pohon kepuh. Hal ini diperkuat dengan adanya masyarakat sekitar Gunungkidul yang masih memperdagangkan biji dan kulit buah kepuh di berbagai pasar yaitu pasar Bringharjo Kota Yogyakarta.
2
Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi manusia terhadap tumbuhan. Etnobotani kepuh di masyarakat Jawa belum banyak didokumentasikan. Pemanfaatan kepuh selama ini lebih dikenal oleh orang-orang tua, sementara pengetahuan generasi muda tentang kepuh masih kurang. Salah satu tempat yang masih banyak ditemukan pohon kepuh adalah Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Keberadaan kepuh yang semakin langka perlu dikaji lebih lanjut dengan cara pendekatan sosial untuk menggali pengetahuan di masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat tersebut dapat dikaji melalui etnobotani kepuh pada masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. Sehingga dengan mengetahui pemanfaatan pohon kepuh diharapkan tumbuh kesadaran dari masyarakat dan berbagai pihak untuk melestarikan kepuh dari kepunahan.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi etnobotani kepuh pada masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul, khususnya pengetahuan dan aksi konservasi kepuh. 2. Mengidentifikasi kelimpahan kepuh di Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul. 3. Mengidentifikasi habitat kepuh di Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai data dan informasi yang berguna untuk bahan pertimbangan dalam pelestarian kepuh yang merupakan salah satu tumbuhan langka multimanfaat.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Tepus Kabupten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada Bulan Juli 2014 dan September 2014.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, kantong plastik, kuisioner, alat perekam suara, koran, tally sheet, alat tulis menulis, kompas, label gantung, meteran, tali rafia, komputer dan perlengkapannya, sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: dokumen atau laporan, literatur, dan buku pendukung tentang kepuh.
Gambar 1 Peta administrasi Kabupaten Gunungkidul 3
4
Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari informan. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik informan (jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan), data etnobotani tumbuhan kepuh, kondisi umum lokasi penelitian. Jenis dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data Jenis data Kondisi 1. umum lokasi 2. penelitian 3. 4. Karakteristik informan
Etnobotani kepuh
Populasi kepuh
Habitat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2.
Data dan informasi yang dikumpulkan Letak geografis dan luas Sosial Ekonomi masyarakat Budaya dan sejarah masyarakat Fisik (Tanah, topografi, dan Iklim) Jenis kelamin Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat Status kepemilikan lahan Jarak dengan habitat kepuh Manfaat kepuh Bagian yang digunakan Cara penggunaan Bentuk pengolahan kepuh Cara pengolahan Pengguna kepuh Pemanen kepuh Cara Pemanenan Jumlah individu Ukuran diameter/tinggi Luasan tajuk Titik lokasi Nama lokasi Faktor Biotik Faktor Abiotik
Sumber data Pustaka
Metode pengumpulan data Kajian Pustaka
Lapangan
Survei lapang
Lapangan
Survei lapang, wawancara dengan masyarakat, pembuatan herbarium, dan kajian pustaka
Lapangan
Analisis vegetasi
Lapangan
Analisis vegetasi
Metode Pengumpulan Data Wawancara dan observasi lapang Data etnobotani kepuh dikumpulkan dengan melakukan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan dengan bantuan kuisioner yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan yang ada di Gunungkidul secara khusus tumbuhan kepuh. Wawancara dilakukan berdasarkan rekomendasi dari informan sebelumnya dan wawancara dihentikan ketika data dan informasi yang didapatkan sudah jenuh atau tidak ada penambahan informasi.
5
Informan dipilih dengan menggunakan metode snowball. Observasi lapang digunakan untuk meninjau keadaan atau interaksi masyarakat dengan kepuh, berdasarkan dari hasil wawancara kepada informan. Analisis vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk memperoleh data populasi kepuh, persebaran, dan kondisi vegetasi habitat kepuh di Gunungkidul. Unit contoh pengamatan terdiri atas plot lingkaran dengan luasan 0,1 ha. Peletakan plot dilakukan secara purposive sampling disetiap ditemukan pohon kepuh. Plot tersusun secara nested, yaitu terdapat plot kacil di dalam plot yang ukurannya lebih besar (Gambar 2). Data yang dicatat yaitu diameter pohon kepuh, jumlah individu kepuh, dan spesies lainnya. Kriteria tumbuhan dibedakan menjadi tiga yaitu pohon pancang dan semai (Tabel 2).
Keterangan: 1. Luasan lingkaran 0,1 ha, jari-jari 17,8 m 2. Luasan lingkaran 0,01 ha, jari-jari 5,6 m 3. Luasan lingkaran 0,001 ha, jari-jari 1,78 m
Gambar 2 Bentuk dan ukuran plot inventarisasi populasi kepuh Tabel 2 Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur Kategori Kriteria Ukuran Petak (ha) Pohon 0,1 ∅ > 10 cm Pancang 0,01 t > 1,5m, 2 < ∅ < 10 cm Semai 0,001 t< 1,5 m Sumber : Indriyanto (2010)
Hasil pengambilan data di plot membutuhkan identifikasi jenis tumbuhan sehingga dibutuhkan pembuatan dan identifikasi contoh herbarium. Herbarium merupakan cara untuk mengawetkan bagian-bagian dari suatu spesies tumbuhan. Tumbuhan yang diherbarium adalah tumbuhan yang belum dikenali sehingga memerlukan diidentifikasi lebih lanjut. Adapun tahapan pembuatan herbarium (Swarsi 1991) adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan contoh bagian tumbuhan seperti ranting, daun, bunga, biji, buah untuk dijadikan herbarium 2. Spesimen tumbuhan yang dijadikan herbarium dipotong dengan panjang sekitar 40 cm 3. Spesimen herbarium tumbuhan diberi label gantung berukuran 3x5 cm. Label gantung berisi nomor koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen, nama lokal spesimen dan lokasi pengambilan spesimen 4. Spesimen herbarium kemudian dirapikan dan dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran
6
5. Lipatan kertas koran yang berisi spesimen ditumpuk menjadi satu dan dimasukkan dalam trash bag bening 6. Tumpukan spesimen disiram dengan alkohol 70% hingga seluruh bagian tersiram merata, kemudian trash bag ditutup rapat agar alkohol tidak menguap 7. Setelah sampai di tempat koleksi herbarium, tumpukan herbarium dipres dalam sasak, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 700C selama 3 hari. Setelah kering, herbarium kemudian diidentifikasi nama ilmiahnya. Studi literatur Metode studi literatur bertujuan untuk mendukung data hasil etnobotani dan kondisi populasi serta habitat tumbuhan kepuh dari hasil penelitian orang lain, instansi, ataupun lembaga yang melakukan penelitian tentang kepuh. Literatur yang dibutuhkan antara lain mengenai bioekologi, manfaat, dan kandungan nutrisi kepuh.
Analisis Data Etnobotani Presentase bagian yang digunakan Bagian-bagian tumbuhan kepuh yang dimanfaatkan oleh masyarakat Gunungkidul dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009): Persentase yang dimanfaatkan=
∑ bagian yang dimanfaatkan ×100% ∑total bagian yang dimanfaatkan
Presentase bentuk pemanfaatan Bentuk pemanfaatan kepuh di masyarakat Gunungkidul dihitung dalam bentuk presentase dengan persamaan sebagai berikut: Persentase bentuk pemanfaatan=
∑bentuk pemanfaatan tertentu x100% ∑ seluruh bentuk pemanfaatan
Inventarisasi populasi kepuh Indeks Nilai Penting Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan dominansi suatu spesies di dalam komunitasnya. INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Adapun rumus-rumusnya sebagai berikut: Kerapatan (K) Kerapatan Relatif (KR) Frekuensi (F) Frekuensi Relatif (FR)
=
Jumlah individu suatu spesies Luas unit contoh = Kerapatan suatu spesies x 100% Kerapatan total spesies = Jumlah plot ditemukannya suatu spesies jumlah plot = Frekuensi suatu spesies x 100% Total frekuensi
7
Dominansi (D)
=
Dominansi Relatif (DR)
=
Indeks Nilai Penting (INP)
=
Luas bidang dasar suatu spesies Luas unit contoh Dominansi suatu spesies x 100% Dominansi seluruh spesies KR + FR + DR
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Letak geografis dan luas Kabupaten Gunungkidul terletak di bagian tenggara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mempunyai luas 1.485,36 km2. Secara geografis Kabupaten Gunungkidul terletak antara 1100 46’-1100 50’ Bujur Timur dan 70 46’80 09’ Lintang Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, dan bagian selatan dibatasi oleh Samudera Hindia. Desa Tepus merupakan bagian dari Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul dengan luasan wilayah 2855.48 ha. Desa Tepus berbatasan dengan Desa Sidoharjo di sebelah barat, di sebelah utara berbatasan dengan Sumberwungu dan Desa Giripanggang, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Purwodadi, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Sosial ekonomi Jumlah penduduk di Desa Tepus sebanyak 10018 jiwa dengan jumah lakilaki 4875 dan perempuan 5143 yang termasuk dalam 3100 kepala keluarga (KK). Tingkat pendidikan di Desa Tepus tinggi, rata-rata warga berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sedangkan usia remaja banyak yang sedang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi (PT). Fasilitas kesehatan cukup memadai karena terdapat klinik berobat. Mata pencaharian masyarakat Desa Tepus yaitu wiraswasta, guru, petani, dan pegawai. Matapencaharian yang paling dominan yaitu petani. Mereka menanam padi, jagung, dan singkong. Luas sawah yaitu 21.57 ha dan lahan kering 2636.01 ha, mereka menanam di lahan kering dan hanya tergantung pada air hujan. Selain itu mereka melakukan ternak kambing, waktu meraka dihabiskan di ladang untuk mengolah tanaman sekaligus mencari pakan ternak (BPS Kab. Gunungkidul 2013). Budaya masyarakat Masyarakat Desa Tepus adalah masyarakat suku jawa yang merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam keseharian adalah Bahasa Jawa. Tradisi Jawa masih kental bagi masyarakat Gunungkidul seperti penggunaan bahasa krama (halus), sedekah gumbregan, sedekah laut (larungan), kirab, jelantur, gejog lesung, dan berbagai upacara lainnya.
8
Mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Agama Islam yang ada telah terakulturasi dengan budaya Hindu. Agama dengan penganut terbanyak yang kedua yaitu Katolik. Topografi Berdasarkan situs Pemerintahan Kabupaten Gunungkidul, Topografi Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi tiga zona yaitu Zona Utara, Zona Tengah, dan Zona Selatan. Ketiga zona tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan ketinggian, jenis tanah, kedalaman air tanah, dan keadaan permukaan tanah. Zona Utara mempunyai ketinggian 200 – 700 m dpl, sering disebut wilayah Batur Agung. Jenis tanah didominasi oleh latosol dengan batuan induk vulkanik dan sedimen taufan. Keadaannya berbukit-bukit, terdapat sumber-sumber air tanah kedalaman 6m-12m dari permukaan tanah. Bagian dari zona utara yaitu Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Kecamatan Ponjong bagian utara. Zona Tengah mempunyai ketinggian 150-200 m dpl dan disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari. Jenis tanah didominasi asosiasi mediteran merah dan grumosol hitam dengan bahan induk batu kapur. Kedalaman air tanah di zona ini berkisar antara 60 m - 120 m dibawah permukaan tanah. Bagian dari zona ini yaitu Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan Kecamatan Semanu bagian utara. Zona Selatan yang mempunyai ketinggian 0-300 m dpl dan disebut dengan wilayah pengembangan Gunung Seribu (Duizon gebergton atau Zuider gebergton). Jenis tanah yang mendomisi adalah batu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (Conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Tidak terdapat air tanah pada zona ini akan tetapi terdapat sungai-sungai bawah tanah. Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Kecamatan Semanu bagian selatan termasuk dalam Zona Selatan. Kondisi klimatologi Kabupaten Gunungkidul secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: a. Curah hujan rata-rata 1720.86 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 115 hari per tahun. Bulan basah 4-6 bulan, sedangkan bulan kering berkisar 4-5 bulan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul sebelah utara merupakan wilayah yang memiliki curah hujan paling tinggi dibanding wilayah tengah dan selatan. Wilayah Gunungkidul wilayah selatan mempunyai awal hujan paling akhir. b. Suhu udara rata-rata harian 27.7° C, suhu minimum 23.2°C dan suhu maksimum 32.4°C. c. Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % - 85 %, tidak terlalu dipengaruhi oleh tinggi tempat, tetapi lebih dipengaruhi oleh musim.
Karakteristik Responden Karakteristik responden/informan merupakan data dasar atau informasi yang harus dicantumkan dalam penelitian sosial karena digunakan sebagai pertanggungjawaban terhadap data yang diwawancarakan. Data-data karakteristik responden/informan yaitu struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian.
9
Struktur umur Berdasarkan data yang diperoleh, informan yang diwawancarai cenderung kedalam kelompok umur tua yaitu diatas umur 50 tahun. Struktur umur informan disajikan pada Gambar 3.
20%
3 1
30%
2
50%
1
60-69 Tahun
2
70-79 Tahun
3
80-89 Tahun
Gambar 3 Kelompok umur informan Kelompok umur yang paling banyak diwawancarai adalah kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 5 orang diikuti dengan kelompok 70-79 tahun dengan jumlah 3 orang dan paling sedikit adalah kelompok umur 80-89 tahun dengan jumlah 2 orang. Jumlah reponden dengan kelompok umur termuda menunjukan tingkat penggunaan tumbuhan kepuh lebih tinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. Salah satu penyebabnya adalah kelompok umur ini masih intensif memanfaatkan kepuh sebagai bahan untuk bangunan baik untuk bangunan sendiri ataupun dijual kepada pihak lain dengan kelompok umur yang sama. Selain itu tingkat pengetahuan pada kelompok umur termuda tergolong baik terbukti dari beberapa bentuk pemanfaatan pohon kepuh sendiri. Terdapat 6 faktor fisik yang dapat menghambat proses belajar pada orang dewasa, sehingga membuat penurunan pada suatu waktu dalam kekuatan berfikir dan bekerja. Sehingga melalui pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, lingkungan dan faktor intrinsik lainnya dapat membentuk pengetahuan seseorang dalam jangka waktu yang lama dan akan tetap bertahan sampai tua. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi jenis data yang diperoleh dalam wawancara. Hal ini karena peran dalam kegiatan sehari-hari biasanya terpisah berdasarkan jenis kelamin. Kaum laki-laki lebih banyak bekerja sedangkan kaum perempuan banyak aktif dalam kegiatan sosial. Informan yang diwawancarai berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 9 orang (90%) dan perempuan 1 orang (10%). Hal ini karena kaum laki-laki mempunyai tingkat mobilitas lebih tinggi dibandingkan dengan kamu perempuan. Kaum laki-laki lebih banyak ditemukan diladang untuk
10
mencari pakan ternak, dengan mobilitas yang tinggi sehingga kaum laki-laki mengetahui lokasi-lokasi keberadaan kepuh. Selain itu kaum laki-laki lebih komunikatif dalam hal bersosialisasi di masyarakat daripada kaum perempuan. Hal ini mempengaruhi jenis informasi yang diberikan oleh informan terkait dengan pemanfaatan kepuh. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan pada informan tergolong rendah, hal ini terlihat dari tingkat pendidikan mereka. Jumlah informan yang tidak bersekolah sebanyak 3 orang, sekolah dasar 6 orang dan tamatan sekolah menengah atas sebanyak 1 orang (Tabel 3).
No
Tabel 3 Komposisi tingkat pendidikan Pendidikan Jumlah informan
Persentase (%)
1
SD
6
60
2
SMP
-
-
3
SMA
1
10
4
Tidak Bersekolah
3
30
10
100
Total
Tingkat pendidikan informan yang rendah ini dikarenakan sekolah tidak dapat dimasuki oleh informan pada saat mereka masuk usia sekolah, hanya dari golongan ningrat yang mendapat bangku sekolah. Menurut Tarigan (2006) tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dalam kehidupan sosialnya karena secara tidak langsung dapat menyebarluaskan pengetahuan mereka saat melakukan perbincangan. Selain itu Atmanti (2005) menyatakan bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan menjamin perbaikan dalam teknologi yang digunakan masyarakat dan meningkatkan produktivitas seseorang yang digunakan sebagai modal dasar. Mata pencaharian Mata pencaharain masyarakat Gunungkidul terdiri dari petani, pedagang, wiraswasta, dan pegawai negeri. Mata pencaharian paling banyak yaitu petani, masyarakat menanam singkong sebagai tanaman pokok untuk di jadikan bahan makanan. Kondisi tanah yang tidak memmungkinkan membuat masyarakat harus menanam singkong. Selain itu kegiatan setiap harinya yaitu mereka pergi ke ladang untuk memanen singkong dan merawatnya serta mencarikan pakan ternak yang ada di ladang mereka. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang dan seluruhnya bekerja sebagai petani. Etnobotani Kepuh Menurut Damayanti et al. (2009) pemanfaatan tumbuhan merupakan aset budaya yang ada di Indonesia untuk tetap dijaga kelestariannya terutama untuk obat. Pemanfaatan tumbuhan terbagi dalam berbagai bentuk yang merupakan unsur
11
dari etnobotani yaitu : 1) etnoekologi, ilmu yang mempelajari kandungan tumbuhan, interaksi tumbuhan dengan organisme lainnya, adaptasi, dan interaksi dengan lingkungan berdasarkan pengetahuan tradisoanal. 2) pertanian tradisional, memperlajari tentang sistem pengelolaan tanaman yang akan digunakan untuk memeuhi kebutuhan pangan; 3) etnobotani kognitif, yaitu studi tentang persepsi tradisional terhadap keanekaragaman sumberdaya alam tumbuhan, melalui analisis simbolik dalam ritual dan mitos serta konsekuensi ekologinya, organisasi dari sistem pengetahuan melalui studi etnoksonomi; 4) budaya materi, mempelajari pengetahuan dalam pemanfaatan tumbuhan, produk tumbuhan yang akan digunakan untuk seni dan teknologi; 5) fitokimia tradisional, studi tentang pengetahuan tradisional mengenai penggunaan berbagai spesies tumbuhan dan kandungan bahan kimianya; 6) paleobotani, studi tentang interaksi masa lalu antara populasi manusia dengan tumbuhan yang mendasarkan pada interpretasi peninggalan arkeologi. Disiplin ilmu lain yang terkait kajian etnobotani adalah ilmu taksonomi, ekologi dan geografi tumbuhan, pertanian, kehutanan, sejarah, antropologi dan ilmu yang lain (Suryadarma 2008). Misalnya, pada masyarakat Papua, tumbuhan yang banyak dijadikan sumber pangan adalah ubi dan sagu (Rauf dan Lestari 2009). Kemudian masyarakat Etnis Dani yang menempati Lembah Baliem, Jaya Wijaya, di sekitar Wamena dan Karulu. Mereka menganggap bahwa hutan tidak hanya sebagai hal yang magis religius, tetapi juga sebagai sumber yang menguntungkan dan memberi hidup bagi mereka. Mereka menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan sandang, pangan, obat tradisional dan lain-lain (Rauf dan Lestari 2009). Bentuk pemanfaatan kepuh Pemanfaatan kepuh pada masyarakat Desa Tepus terbagi kedalam berbagai bentuk pemanfaatan antara lain pemanfaatan sebagai pangan, pakan ternak, bahan bangunan, pelindung mata air, penghasil bahan bakar, obat, pewarna, dan bahan kerajinan (Tabel 4). Tabel 4 Bentuk pemanfaatan kepuh No Jenis Pemanfaatan 1 2 3 4 5 6 7 8
Pangan Pakan ternak Bangunan Jasa lingkungan Penghasil bahan bakar Pewarna Obat Kerajinan
Jumlah Informan 7 6 6 2 3 1 1 2
Persentase (%) 25 21,43 21,43 7,14 10,71 3,57 3,57 7,14
Pemanfaatan kepuh terbanyak yaitu pemanfaatan dalam bentuk pangan sebesar 25 % dari keseluruhan total pemanfaatan. Bagian yang dimanfaatkan untuk pangan yaitu bagian biji kepuh. Cara pemanfaatannya yaitu dengan cara dibakar suluruh bagain buahnya dan setelah matang buah dibuka untuk diambil bijinya.
12
Sedangkan pemanfaatan tersedikit yang digunakan yaitu untuk obat dan pewarna dengan presentase sebesar 3,57 % dari total pemanfaatan. Bagian yang digunakan untuk kerajianan tangan adalah kayunya. Kayu kepuh juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena kayunya tahan lama menurut beberapa informan yang menggunakannya. Selain itu untuk pewarna digunakan bagian cangkang dari buah kepuh atau sering disebut jangkang. Bagian inilah yang digunakan untuk mewarnai bahan makanan menjadi warna hitam. 1. Pangan Buah kepuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam hal pembuatan makanan baik itu makanan pokok ataupun makanan pengganti. Bagian buah kepuh dimanfaatkan pada bagian kulit buahnya sebagai pewarna makanan. Kulit buah mengandung warna hitam yang dapat luntur. Warna hitam ini yang kemudian dimanfaatkan sebagai pewarna makanan oleh masyarakat. Pemberian warna hitam untuk makanan seperti kue wajik. Biji kepuh menurut masyarakat dimanfaatkan untuk menggantikan kacang dan kelapa. Biji kepuh mempunyai rasa yang mirip dengan kacang. Biji ditumbuk dengan lembut setelah dimasak. Di Jawa, daging biji kepuh dapat dimakan mentah ataupun setelah disangrai minyaknya digunakan sebagai minyak goreng. Penggunaan biji kepuh sebagai pengganti kacang dan pengganti kelapa. Biji kepuh mempunyai kandungan minyak yang tinggi. Minyak yang diambil dari biji kepuh merupakan pengganti minyak yang diambil dari kelapa (minyak kelapa). Masyarakat memperoleh buah kepuh dengan cara menunggu buah jatuh. Cara lain untuk mengambil buah yang sudah matang yaitu dengan galah karena pohon kepuh dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 30 m dan pohon tidak dapat dipanjat. Buah yang matang secara fisiologis ditandai dengan warna merah atau hitam. Menurut Rika (2009) pengambilan buah kepuh dipohon dapat dilakukan dengan memanjat pohon. Menurut Buharman et al. (2011) untuk mengambil buah kepuh menggunakan galah atau memungut buah yang sudah jatuh ke lantai tanah. Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut Herdiana (2005) karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya berbentuk paruh. Ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih, mempunyai pericarp yang tebal (7-8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh tergantung individu dan faktor tempat tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu 4-6 bulan. Biji berwarna hitam mengkilat, jorong dengan ukuran panjang 2-3 cm dan biji banyak mengandung minyak. Jumlah biji kering sebanyak 493-495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan berbuah setiap tahun. Musim berbuah umumnya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan September. 2. Obat Tumbuhan kepuh (Sterculia foetida L) dapat digunakan sebagai obat. Akarnya digunakan untuk obat rajasinga dan kencing nanah (Sastroamidjojo 1997 diacu dalam Bawa 2010). Daun kepuh dapat digunakan sebagai obat luka, demam, TBC, radang selaput lendir mata, dan kepala pusing (Heyne 1987). Rebusan kulit batang dan daun muda tumbuhan kepuh digunakan untuk mempermudah keluarnya keringat dan peluruh kencing. Kulit batang dari beberapa spesies yang berasal dari
13
famili yang sama juga digunakan untuk mempermudah keluar keringat, kaki bengkak, gatal berair (kaki gajah), dan obat berak darah. Masyarakat Desa Tepus belum mengetahui cara penggunaan kepuh sebagai obat. Menurut salah satu informan terdapat tukang jamu yang mengambil kulit kepuh dan akan digunakan sebagai obat. Akan tetapi jenis obat yang dibuat informan tidak mengetahuinya. Pada saat itu penjual jamu tidak memberi tahu kepada masyarakat fungsi obat dari tumbuhan kepuh. Obat-obatan yang dapat dibuat seperti obat sakit perut, obat abortivum (obat penggugur), dan obat lumpuh dengan mengambil bagian dari kulit batang kepuh. Menurut Sastromidjojo (1997) diacu dalam Bawa (2010) akar kepuh dapat digunakan sebagai obat rajasinga dan kencing nanah. Kemudian Heyne (1987) menyatakan bahwa daun kepuh dapat digunakan untuk obat luka, demam, TBC, radang selaput lendir mata, dan kepala pusing. Rebusan kulit batang dan daun muda tumbuhan kepuh digunakan untuk mempermudah keluarnya keringat dan peluruh kencing. sementera obat borok dan kudis dapat dibuat dari minyak buah kepuh (Gambar 4). Menurut Sastroamidjojo (1997) diacu dalam Bawa (2010).
Gambar 4 Buah kepuh Air rebusan biji kepuh digunakan untuk mengobati batuk, sedangkan minyaknya digunakan untuk obat borok dan obat kudis pada kepala (Heyne 1987). Biji kepuh secara umum mengandung beberapa jenis asam lemak. Dari daging bijinya dapat dibuat minyak yang mengandung sebagian besar asam sterkulat, serta sebagian kecil terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam almitat dan asam miristat serta asam lemak jenuh lainnya dalam jumlah relatif sedikit. Dari 900 gram daging biji kepuh menghasilkan 250 mL minyak dari ekstrak n-heksana dan 59,5 mL dari ekstrak etanol. Hasil uji antiradikal bebas menunjukkan minyak dari ekstrak nheksana tidak berpotensi sebagai agen antiradikal bebas, sedangkan minyak dari ekstrak etanol berpotensi sebagai agen antiradikal bebas dengan persentaseperedaman pada 5 menit sebesar 55,07 % dan 60 menit sebesar 85,05 %. Rika (2009) menyatakan bahwa kulit batang Kepuh (Sterculia foetida L.) ditemukan senyawa golongan triterpenoid yang aktif sebagai antiradikal bebas dengan persentase peredaman setelah 5 menit sebesar 76,96% dan peredaman setelah 1 jam sebesar 99,91%. Senyawa-senyawa golongan triterpenoid diketahui memiliki aktivitas fisiologis tertentu, seperti antijamur, antibakteri, antivirus, kerusakan hati, gangguan menstruasi, dan dapat mengatasi penyakit diabetes (Robinson 1995 diacu dalam Asih 2010). Keaktifan dari golongan senyawa-
14
senyawa yang berfungsi sebagai antiradikal bebas ditentukan oleh adanya gugus fungsi –OH (hidroksi) bebas dan ikatan rangkap karbon-karbon, seperti flavon, flavanon, skualen, tokoferol, karoten, dan vitamin C (Djatmiko 1998 diacu dalam Asih 2010). Daun kepuh telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antiinflamatori (anti peradangan), dimana beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker lambung diakibatkan oleh peradangan kronis sehingga menyebabkan mutasi genetik oleh zat karsinogenik. Hal ini dikarenakan radikal bebas mampu bereaksi dengan protein, lipoprotein, dan DNA yang pada akhirnya dapat menyebabkan kanker, penuaan dini, peradangan, dan jantung koroner. Untuk menghindari hal tersebut, dibutuhkan zat antioksidan yang mampu bereaksi dengan radikal bebas. Selain itu biji kepuh mengandung senyawa saponin, flavanoid, polifenol, tannin, dan triterpenoid (Soeksmanto 2007 diacu dalam Asih et al. 2010). Daun adalah salah satu bagian kepuh yang paling banyak digunakan oleh sebagian besar informan. Menurut Asih et al. (2010) buah daun kepuh mempunyai manfaat sebagai antiinflamatori (anti peradangan) yang menunjukkan bahwa peradangan kronis dapat menyebabkan kanker lambung. secara tidak langsung zat yang terkandung dalam daun kepuh dapat mencegah terjadinya kanker lambung. 3. Penghasil bahan bakar Informan yang mengetahui kepuh sebagai bahan bakar sebanyak dua orang, mereka mengetahui bahwa kepuh dapat menghasilkan minyak. Di Jawa, daging biji kepuh dapat dimakan mentah ataupun setelah disangrai minyaknya digunakan sebagai minyak goreng. Rendemen minyak dari bijinya dapat mencapai 45 - 55% (Soerawidjaja 2006 diacu dalam Sudrajat et al. 2011). Masyarakat Desa Tepus menggunakan bagian kulit batang kepuh dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada prakteknya mereka menggunakannya pada masa lalu. Kulit kepuh yang selalu mengelupas membuat masyarakat menggunakannya sebagai kayu bakar (Gambar 5). Kandungan minyak dari biji kepuh diambil oleh masyarakat untuk bahan bakar penerangan pada masa lalu sebelum ada listrik.
Gambar 5 Kulit batang kepuh Biofeul kepuh sebesar 70% dapat diperoleh dengan memurnikan biji kepuh melalui metode pemurnian eter. Lemak yang terkandung dari pemurnian tersebut yaitu asam lemak strerkulat. Senyawa kimia lain menurut Badan POM adalah
15
saponin, flavonoid, polifenol, tannin dan triterpenoid. Ekstrak n-heksana daun kepuh telah diketahui mengandung triterpenoid, sedangkan pada bijinya mengandung 34% asam lemak (olein dan laurin). Menurut Varma (1956) diacu dalam Bawa (2010) daging biji kepuh yang dibuat minyak terkandung asam sterkulat dengan presentase yang besar dibandingkan dengan asam lemak oleat, asam linoleat, asam almitat, asam miristat, dan asam lemak jenuh yang kandungannya lebih kecil pada minyak tersebut. Masyarakat Jawa menggunakan daging biji kepuh dengan cara dimakan mentah ataupun setelah disangrai untuk mendapatkan minyaknya sebagai minyak goreng. Biji kepuh secara umum mengandung beberapa jenis asam lemak. Daging biji kepuh seberat 900 gram dapat menghasilkan 250 mL minyak dari ekstrak nheksana dan 59,5 mL dari ekstrak etanol. Hasil uji antiradikal bebas menunjukkan minyak dari ekstrak n-heksana tidak berpotensi sebagai agen antiradikal bebas, sedangkan minyak dari ekstrak etanol berpotensi sebagai agen antiradikal bebas dengan persentase peredaman pada 5 menit sebesar 55,07 % dan 60 menit sebesar 85,05 %. Benih kepuh yang berasal dari daerah lebih kering (Bali dan Nusa Tenggara) dengan curah hujan lebih sedikit cenderung memiliki kadar minyak yang lebih tinggi. Potensi produksi benih kepuh berkorelasi positif dengan diameter, tinggi, dan lebar tajuk pohon 4. Pakan ternak Masyarakat memanfaatkan kepuh sebagai pakan ternak. Hal ini karena daun kepuh yang dapat ditemukan dengan mudah ketika musim kemarau panjang dan tidak ada lagi rumput. Menurut mereka daun kepuh sebagai alternatif dalam pencarian pakan ternak (Gambar 6). Ternak yang diberi pakan daun kepuh adalah sapi dan kambing. Selain itu berbagai satwa juga berasosiasi dengan jenis ini terutama burung karena buahnya enak dimakan, termasuk beberapa jenis anggrek juga hidup di cabang-cabangnya. Daun kepuh mengandung kalsium sebesar 2,66%. Ekstrak n-heksana daun kepuh telah diketahui mengandung triterpenoid, sedangkan pada bijinya mengandung 34% asam lemak (olein dan laurin).
Gambar 6 Daun kepuh Menurut Sumantri dan Supriatna (2010), daun kepuh berupa daun majemuk menjari/ menyirip dengan 7-9 anak daun. Foliolum berbentuk lanset, panjang helaian daun (lamina) antara 5-21 cm, lebar daun antara 3-9 cm dengan warna permukaan atas daun hijau sampai hijau tua dengan tekstur agak kasar sampai kasar karena tidak memiliki lapisan lilin. Tangkai daun (petiolus) relatif pendek dengan
16
ukuran 12,5-37 cm daun dapat mencapai 5-22 cm dengan ketebalan antara 0,030,06 cm (Yuniastuti et al. 2009). Bunganya berkelamin satu, berumah satu, biasa terdapat pada ketiak daun yang masih muda, warna merah tua dan mengeluarkan bau busuk (Sumantri dan Supriatna 2010). Penyerbukan bunga dibantu oleh serangga seperti lalat atau kumbang. 5. Jasa Lingkungan Pohon kepuh yang ada di lokasi penelitian salah satunya adalah pohon yang dilindungi oleh pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan di bawah pohon kepuh terdapat mata air (Gambar 7).
Gambar 7 Mata air di bawah pohon kepuh Menurut warga sekitar mata air tidak pernah kering. Hal ini menunjukkan bahwa pohon kepuh memberikan manfaat berupa jasa lingkungan (pelindung mata air). Pada tahun 1980-an mata air ini merupakan satu-satunya sumber air yang dapat digunakan pada saat musim kemarau tiba. Menurut Sudrajat et al. (2011) pohon kepuh dapat menyimpan air sebagai tanaman sendang (penjaga mata air). 6. Bahan bangunan Kayu kepuh digunakan oleh masyarkat Tepus untuk bahan bangunan. Kayu kepuh digunakan untuk bagian saka/tiang rumah dan blandar (balok konstruksi). Masyarakat memilih sebagai bahan bangunan karena kekuatan fisik kayu yang kuat, berdimensi besar, dan tekstur yang halus. Menurut Wati (2011) kayu kepuh baik digunakan untuk substitusi kayu ramin. Kayu kepuh mempunyai berat jenis 0,64 g/cm3 termasuk kedalam kelas kayu antara II – III dan kelas awetnya III. Sedangkan menurut Asih et al. (2010) kayu kepuh digunakan untuk bangunan sementara, kotak pengemas, jendela, papan langit-langit. Kayu kepuh merupakan bagian yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat. Karena kebutuhan kayu yang kuat masih dibutuhkan oleh masyarakat di desa tersebut. Kayu kepuh dikenal baik oleh masyarakat karena pada lima tahun terakhir banyak masyarakat yang mempunyai pohon kepuh di pekarangannya dan sekarang kayu tersebut sudah berubah bentuk menjadi struktur bangunan mereka. Masyarakat percaya bahwa dengan umur kayu kepuh yang tua membuat kekuatannya semakin tinggi. Semakin lama umur kayu mempengaruhi kekuatan kayu tersebut menurut beberapa informan.
17
Manfaat kayu kepuh yaitu sebagai bahan batang korek api, abu kulit buah, buah kepuh dan kembang pulu memberikan warna merah. Buah kepuh, jeruk, kunyit dan kembang pulu menghasilkan warna jingga. Di Jawa biji kepuh dipakai sebagai bahan jamu. Kayunya berwarna putih keruh, ringan, kasar, tidak kuat, tidak awet, dan tidak tahan terhadap serangan serangga. Kayu ini, meskipun mudah didapatkan dalam ukuran besar, kurang baik untuk bangunan karena mudah rusak. Biasanya digunakan untuk membuat biduk, peti pengemas, dan batang korek api. Namun begitu, pohon kepuh yang tua dapat menghasilkan kayu teras bergaris-garis kuning yang cukup baik untuk membuat perahu dan peti mati. 7. Kerajinan Masyarakat menggunakan kepuh sebagai kerajinan tangan. Kerajinan tangannya yaitu panggalan (gangsing) yang biasanya dimainkan oleh anak-anak. Pemilihan kayu kepuh sebagai kerajinan berdasarkan kayu kepuh yang mudah dibentuk. Pembuatan panggalan dibantu oleh orang tua mereka karena menggunakan benda-benda tajam untuk membuatnya seperti pisau, golok dan amplas. Kerajinan tersebut mampu bertahan hingga bertahun-tahun karena kayu kepuh yang awet. Menurut Asih et al. (2010) di Bali banyak digunakan sebagai bahan kerajinan. Pembuatan topeng (tapel) ini biasanya umat Hindu (masyarakat) menggunakan beberapa jenis kayu pilihan misalnya saja kayu kepuh atau randu serta kayu pulai dan di Jawa barat untuk wayang golek. Bagian kepuh yang digunakan oleh masyarakat Desa Tepus yang terbanyak yaitu daun sebesar 26 % dari total keseluruhan bagian yang digunakan. Daun dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Menurut masyarakat daun kepuh dipilih sebagai pakan karena selalu hijau dan saat musim kemarau masih sangat rimbun. Sedangkan penggunaan terkecil yaitu bagian kulit batang sebesar 8 % dari total penggunaan (Gambar 8). Kulit batang sendiri menurut informan digunakan sebagai kayu bakar karena kulit batangnya mudah terkelupas. Bentuk pemanfaatan tumbuhan disetiap daerah di Indonesia sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, potensi tumbuhan dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Kulit batang
Kulit batang
Biji
Biji
Buah
Buah Daun
Daun
Kayu
Kayu 0
2
4
6
8
Gambar 8 Presentase bagian yang digunakan
18
Jarak rata-rata tempat tinggal dengan tempat tumbuh kepuh di Desa Tepus kurang lebih 100 meter. Hal ini berhubungan dengan intensitas perjumpaan informan terhadap kepuh. Informan yang intensitas perjumpaan dengan kepuh lebih tinggi dapat menjelaskan mengenai manfaat kepuh dibandingkan dengan informan yang jaraknya lebih jauh dari lokasi tempat tumbuh kepuh. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas perjumpaan terhadap tumbuhan kepuh lebih banyak akan menghasilkan pengetahuan yang lebih banyak daripada yang intensitasnya lebih sedikit. Stimulus alamiah yaitu suatu rangsangan yang berasal dari nilai-nilai kebenaran dari alam mengenai keberlanjutan sumberdaya alam hayati yang sesuai dengan karakter bioekologinya (Zuhud et al. 2007). Sikap dan perilaku prokonservasi alam dipengaruhi oleh 3 stimulus AMAR yaitu stimulus alamiah, stimulus manfaat, dan stimulus rela. Sebagian kecil masyarakat Desa Tepus terlihat menjaga keberadaan pohon kepuh di lahan mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengetahui manfaat dari pohon kepuh. Keberadaan pohon kepuh dinilai tidak mengganggu terhadap aktivitas pemiliknya. Bahkan ada beberapa informan yang membiarkan kepuh di pekarangnnya karena mengetahui bahwa pohon tersebut sudah mulai jarang ditemukan di lingkungannya. Nilai kerelaan ini merupakan salah satu aspek yang termasuk dalam 3 stimulus AMAR yaitu rela. Nilai alamiah juga ditemukan dengan ditunjukkan bahwa informan tidak merasa keberatan karena pohon kepuh dinilai mampu menjaga keberadaan ekologi disekitar mereka sehingga terlihat lebih serasi karena adanya pohon kepuh dan terlihat variasi. Sedangkan nilai manfaat terlihat dari ada informan yang mengaku menjaga pohon kepuh dengan alasan belum mengetahui manfaat dari pohon tersebut. Karena menurut pandangannya setiap tumbuhan mempunyai manfaat. Sehingga Beliau membiarkan keberadaannya dan ingin mengetahui manfaat dari pohon kepuh tersebut. Status kepemilikan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan tata kelola lingkungan hidup yang baik dan adil (Linch dan Harwell 2002), termasuk kepemilikan tanah. Kepemilikan yang bersifat pribadi akan mendapatkan porsi terbesar dalam menjaga sumberdaya yang ada di dalamnya dibandingkan dengan kepemilikan bersama ataupun kepemilikan negara.
Kondisi Populasi Kepuh Kelimpahan individu Hasil penelitian diperoleh 10 individu kepuh (9 individu tingkat pohon dan 1 individu tingkat tiang). Bedasarkan hasil pengambilan data di lapangan dapat diketahui lokasi penyebaran kepuh berada di lahan-lahan milik masyarakat yang berupa pekarangan dan ladang serta sebagian kecil lahan milik desa. Lokasi paling banyak ditemukan kepuh adalah ladang yang berjauhan dari pemukiman warga. Keberadaan kepuh di Desa Tepus tersebar di beberapa dusun antara lain Dusun Entowati ditemukan tiga individu, Dusun Gotong ditemukan dua individu, Dusun Nglampeyan ditemukan tiga individu, dan dusun Tepus II dua individu. Rata-rata jumlah individu yang dijumpai di setiap dusun berkisar 2-3 individu per dusun dengan luasan rata-rata dusun 500 ha (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan kepuh sangat kecil.
19
Tabel 5 Jumlah dan lokasi kepuh di Desa Tepus Lokasi Entowati, Tepus Gotong, Tepus Nglampeyan, Tepus Tepus II, Tepus
Status kepemilikan lahan Pribadi (kebun) Pribadi (kebun) Pribadi (kebun) Pribadi (pekarangan), pribadi (kuburan)
Tingkat Pertumbuhan Pohon Tiang 2 1 2 0 3 0 2 0
Total
9
1
Jumlah 3 2 3 2 10
jumlah
Tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan tanaman merupakan salah satu karakteristik populasi yang mempengaruhi angka kematian dan angka kelahiran (Indriyanto 2010). Tingkat pertumbuhan pohon (tua) lebih banyak daripada tingkat pertumbuhan tiang (muda). Tingkat pertumbuhan tersebut tergolong dalam kelas umur pasca reproduktif menurut Indiyanto (2010) yang berarti bahwa populasi cenderung menurun. Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan jenis pohon yang mempunyai ukuran besar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi pohon dapat mencapai 45 meter, dengan diameter 90-125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriyatna 2010). Tinggi pohon kepuh di Tepus bervariasi dari 6-20 meter, sedangkan diameternya dari 14 cm hingga 115 cm. Sebaran kelas diameter kepuh disajikan pada Gambar 9. 4 3 2 1 0 10- 19.9 20- 29.9 30- 39.9 40- 49.9 50- 59.9 60- 69.970- 79.9 80- 89.9 90- 99.9 100109.9 Kelas diameter
> 110
Gambar 9 Sebaran kelas diameter kepuh
Kondisi Habitat Kepuh Karakteristik faktor biotik habitat kepuh. Kelangsungan hidup kepuh dan tumbuhan lain yang berada dalam satu komunitas saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Asosiasi dalam komunitas melibatkan kepuh dengan tumbuhan lain yang mempunyai INP yang tinggi. Bentuk asosiasi suatu spesies dalam komunitasnya merupakan salah satu bentuk interaksi interspesifik dalam suatu komunitas yang memiliki beragam spesies yang dinyatakan dalam jumlah spesies yang ada (kekayaan spesies) dan kelimpahan relatif spesies (kesamaan). Habitat di sekitar kepuh disusun oleh beberapa spesies tumbuhan. Jumlah individu yang tercapat dalam sepuluh plot analisis vegetasi yaitu 47 individu tiang, 82 individu pohon, dan 30 individu semai. Spesies yang paling banyak ditemukan
20
di lokasi penelitian adalah kukun (Actinophora burmannii) baik itu ditingkat tiang ataupun ditingkat pohon. Sedangkan untuk tingkat semai jenis paling banyak ditemukan adalah jenis talas (Colocasia esculenta) (Tabel 6).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 6 Indeks nilai penting tingkat tiang dan pohon KR FR DR INP Nama jenis (%) (%) (%) (%) Leucaena glauca 8.51 19.05 11.63 39.18 Annona squamosa 14.89 4.76 19.45 39.10 Swietenia macrophylla 6.38 9.52 12.19 28,10 Actinophora burmannii 25.53 4.76 14.35 44.65 Glyricidia sepium 14.89 9.52 16.97 41.39 Actinophora burmannii 24.39 10.64 19.02 54.04 Glyricidia sepium 7.32 6.38 4.64 18.34 Ceiba pentandra 2.44 2.13 18.96 23.52 Tectona grandis 8.54 4.26 5.05 17.85 Swietenia macrophylla 7.32 8.51 5.25 21.08
Keterangan = a : alami
Keterangan Tiang (a) Tiang (b) Tiang (b) Tiang (a) Tiang (a) Pohon (a) Pohon (a) Pohon (b) Pohon (b) Pohon (b)
b: Budidaya
Indeks nilai penting atau INP dapat menunjukkan nilai kepentingan suatu spesies berada dilokasi tersebut. Berdasarkan pengamatan dilapang INP tertinggi pada tingkat pohon adalah kukun dengan nilai sebesar 44,65%. Pada tingkat tiang nilai INP tertinggi yaitu kukun sebesar 54,05 %. Frekuensi menunjukkan jumlah suatu individu yang dapat ditemukan berulang pada plot pengamatan. Jumlah plot pengamatan yaitu sepuluh plot pengamatan. Jenis yang paling sering muncul pada plot pengamatan adalah petai cina (Leucaena glauca) dengan nilai frekuensi sebesar 19,05 %. Sedangkan pada tingkat tiang kukun (Actinophora burmannii) merupakan spesies dengan frekuensi tertinggi sebesar 10,64 %. Kerapatan menggambarkan jumlah individu yang dapat ditemukan dalam satu plot yang dapat dinyatakan dalam individu per hektar. Kerapatan tertinggi untuk tingkat pohon pada lokasi pengamatan yaitu kukun dengan kerapatan 12 individu per hektar. Sedangkan kerapatan tererndah yaitu jambu biji (Psidium guajava), weru (Albizzia procera), balungan (Borreria ocimoides), sisir (Hesperethusa crenulata), serut (Streblus asper), dan pulai (Alstonia scholaris) yang masing-masing mempunyai kerapatan satu individu per hektar. Kerapatan pada tingkat tiang tercatat yang paling tinggi yaitu kukun dengan nilai sebesar 20 individu per hektar dan beberapa jenis yang mempunyai kerapatan terendah sebesar 1 individu per hektar diantaranya akasia (Acacia mangium), sirsak (Annona muricata), karsen (Muntingia calabura), mengkudu (Morinda citrifolia), wijen (Sesamun indicum), dulopusuh, kalas, delisen, kaliandra (Calliandra haematocephala), nangka (Artocarpus heterophyllus), trembesi (Samanea saman), weru (Albizzia procera), sono keling (Dalbergia latifolia), jambu air (Eugenia aquea), melinjo (Gnetum gnemon), jaranan (Crataeva nurvala ), dan sengon laut (Falcataria moluccana). Kerapatan tinggi dan merupakan spesies yang mendominasi dan menyebabkan suatu spesies mampu bersaing dengan spesies lainnya. Selain itu keanekaragaman famili dari spesies tersebut (Gambar 10).
21
10 9 8
Jumlah
7
6 5 4 3
2 1 0
Gambar 10 Keanekaragaman famili di sekitar habitat kepuh
Ketinggian tempat ( meter)
Karakteristik faktor abotik habitat kepuh. Menurut Prihatin (2000) penyebaran kepuh terbatas pada daerah tropis dan sub-tropis (30o LU – 35o LS). Desa Tepus termasuk ke dalam iklim tropis. Di lokasi penelitian ketinggian tempat tumbuh kebuh berada diantara 110 – 415 meter dpl (Gambar 11). Kepuh merupakan spesies yang dapat tumbuh di daerah karst (kering). (Hendrati dan Hidayati 2014). Menurut Heyne (1987) kepuh yang berada di Pulau Jawa dapat ditemui pada daerah yang mempunyai ketinggian di bawah 500 m dpl. Sementara di Malaysia, hampir semua spesies yang ada penyebarannya terbatas pada hutan hujan di tanah kering dan rawa-rawa, yaitu pada ketinggian sekitar 0 – 1.400 m dpl. Pada umumnya kepuh tumbuh mulai dari 0 – 1000 m dpl. Berdasarkan pengambilan data di lapang ketinggian tempat tumbuh kepuh sesuai dengan literatur yang ada yaitu berada di ketinggian 154 - 415 m dpl.
154
182
173 110
1
2
3
4
117 5
133
6
159
172
7
8
415
408
9
10
Nomor Plot
Gambar 11 Ketinggian tempat ditemukan pohon kepuh
22
Temperatur dan kelembaban Kondisi iklim yang diamati langsung pada habitat kepuh adalah suhu dan kelembaban. Suhu udara yang terukur pada lokasi penelitian tersaji pada Tabel 7.
No Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata
Tabel 7 Kondisi abiotik habitat kepuh Suhu Basah ( oC ) Suhu kering ( oC ) Kelembaban (%) 25 27 84 23 26 77 24 26 84 23 26 77 23.5 25 84 24 26 84 24 27 77 24.5 26 84 24.5 27 84 24.5 26 84 24 26.5 81.9
Menurut Orwa et al. (2009) kepuh (Sterculia foetida) dapat tumbuh diberbagai jenis tanah, akan tetapi lebih membutuhkan lingkungan yang lembab. Kepuh ini dapat tumbuh pada ketinggian mulai dari 0-1000 m dpl (Herdiana 2005). Menurut Yuniastuti et al. (2009), untuk mendapatkan tanaman kepuh yang banyak buahnya, maka penanaman tanaman kepuh memerlukan ketinggian antara 300 - 600 m dpl. Pada dataran tinggi (di atas 750 m dpl) kepuh dapat tumbuh dengan baik tetapi buah yang dihasilkan sangat jarang. Selain faktor suhu dan kelembaban, curah hujan juga mempengaruhi pertumbuhan kepuh secara umum dalam memenuhi kebutuhan air. Distribusi curah hujan bulanan rata-rata di Kabupaten Gunungkidul menurut BPS Kabupaten Gunungkidul disajikan pada Gambar 12.
Curah Hujan
500 400 300 200 100 0
Bulan
Gambar 12 Distribusi curah hujan bulanan rata-rata di Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul diperoleh jumlah bulan basah 6 bulan, bulan lembab 2 bulan dan bulan kering 4 bulan. Klasifikasi menurut Schimidt dan Ferguson
23
pembagian bulan kering dan bulan basah yang menghasilkan nilai 66% termasuk kedalam tipe iklim D (60% -100%) yaitu daerah sedang. Menurut Heyne (1987) kepuh (Sterculia foetida) di Malaysia tumbuh di daerah pesisir dengan keadaan musiman dan dapat bertahan hidup pada musim kering. Spesies ini terbatas pada hutan hujan di tanah kering maupun rawa dan terpengaruh dengan hutan hujan tropika pada kondisi basah dengan kelembaban tinggi.
Strategi Konservasi Kepuh Kepuh mempunyai potensi manfaat untuk pangan, pakan ternak, bahan bangunan, jasa lingkungan, penghasil bahan bakar, pewarna, obat, dan kerajinan. Buah dan biji kepuh mempunyai rasa yang enak seperti kacang. Sehingga pengembangan pangan dari buah dan biji kepuh sangat diharapkan.Kepuh dapat dimanfaatkan untuk penghasil bahan bakar karena kandungan minyak dari biji dan buah kepuh (dapat mencapai 34%). Kondisi masyarakat yang mempunyai ternak dan membutuhkan pakan ternak dari daun kepuh, manfaat obat yang terkandung dalam daun dan kulit batang kepuh, dan pohon kepuh yang mampu menjaga mata air menjadikan tumbuhan ini perlu dijaga keberadaannya. Upaya konservasi kepuh di Desa Tepus perlu dilakukan untuk menunjang kelestariannya. Bentuk konservasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal yaitu interaksi masyarakat terhadap kepuh (etnobotani) dan kondisi habitat tempat tumbuh kepuh. Lokasi konservasi kepuh Tempat tumbuh kepuh dijumpai pada lahan milik negara dan lahan pribadi dengan ketinggian antara 100 m dpl hingga 500 m dpl. Lahan milik pribadi lebih banyak dijumpai tumbuhan kepuh daripada lahan negara. Hal ini menunjukkan bahwa kepuh masih dikenal baik oleh masyarakat. Akan tetapi kelestarian kepuh lebih terjamin apabila pelaku konservasi adalah pemerintah. Karena di Desa Tepus pernah terjadi penebangan pohon kepuh oleh masyarakat. Mengingat kepuh merupakan tumbuhan yang tumbuh cepat pada awal pertumbuhan dan tumbuh lambat pada fase menengah sampai tua (Orwa et al. 2009), serta diameter batang dan tajuk yang besar maka dibutuhkan lahan luas sebagai tempat tumbuhnya. Oleh karena itu lokasi konservasi kepuh yang potensial yaitu: 1) lahan negara dengan harapan bahwa pohon kepuh akan lestari tanpa adanya penebangan, 2) lahan yang luas dengan ketinggian 100 - 500 m dpl sesuai dengan habitat kepuh, 3) Daerah kurang air untuk menjaga mata air di daerah tersebut. Karena kepuh dapat bertahan hingga 30 hari tanpa membutuhkan air (Hendrati dan Hidayati 2014). Pelaku konservasi Interaksi masyarakat terhadap kepuh ditinjau dari hasil etnobotani menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat belum tinggi. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menunjukkan sikap peduli. Masyarakat tidak merasakan manfaat ekologi dan manfaat ekonomi dari kepuh. Masyarakat belum mengenal kepuh sebagai tumbuhan yang perlu dilestarikan karena tidak menimbulkan manfaat bagi
24
mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ada sebagian dari masyarakat yang rela melakukan aksi konservasi kepuh di lahan pribadi mereka. Oleh karena itu dibutuhkan dorongan dari pemerintah terhadap mereka yang masih melakukan aksi konservasi kepuh dan dibutuhkan dorongan dari pemerintah untuk menggerakkan masyarakat agar melakukan konservasi kepuh. Manfaat ekologis yang paling nyata dilihat dari hasil pengambilan data di lapang adalah manfaat sebagai pelindung mata air. Kondisi iklim daerah Gunungkidul termasuk ke dalam iklim kering dan jenis tanahnya adalah tanah karst, serta kepuh adalah salah satu jenis yang mampu bertahan di daerah karst (Hendrati dan Hidayati 2014). Keberadaan air di tempat kering seperti Gunugkidul merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat. Lebih lanjut keberadaan kepuh sebagai pelindung mata air di Desa Tepus sangat dibutuhkan. Pelaku konservasi kepuh yang tepat adalah pemerintah untuk menjamin keberadaan air di Desa Tepus dan sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat melalui penyediaan air bawah tanah di daerah kering. Pemerintah sepatutnya sebagai pelaku dan motor penggerak dalam pelestarian kepuh. Pelaksanaan aksi konservasi Keberadaan kepuh di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jumlah populasi kepuh tergolong sedikit. Data penelitian menunjukkan bahwa kerapatan individu kepuh berkisar 2-3 individu per 500 ha. Lebih lanjut kelestarian kepuh terancam karena belum ada regenerasi dari pohon kepuh itu sendiri. Hasil pengambilan data tidak ditemukan anakan kepuh di sekitar tempat tumbuh kepuh. Hal ini menunjukkan bahwa populasi kepuh di Kabupaten Gunungkidul mempunyai potensi kepunahan. Mengingat tidak ditemukan anakan kepuh di lokasi penelitian perlu dilakukan perbanyakan anakan dengan bantuan manusia. Akan tetapi pembudidayaan kepuh belum dilakukan oleh masyarakat Desa Tepus. Masyarakat tidak mengenal pengembangbiakan kepuh, karena mereka tidak pernah menanam kepuh selama ini. Sehingga dibutuhkan pemerintah untuk mengawal kegiatan ini. Oleh karena itu perlu dilakukan aksi konservasi secepatnya agar kepuh terjaga kelestariannya. Hal tersebut adalah salah satu cara untuk melaksanakan aksi konservasi. Budidaya kepuh Menurut Lemmens et al. (1995) diacu dalam Sudrajat et al. (2011) budidaya kepuh masih terbatas dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan hanya ditanam sebagai tanaman pengisi pekarangan atau pagar kebun. Hal ini juga dijumpai pada saat pengamatan dilapang. Pohon kepuh ada yang ditanam pada pekarangan oleh beberapa informan di Desa Tepus. Cara perkecambahan kepuh yaitu dengan mengeringkan biji kepuh hingga kadar air 9-10% dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dan dikeringanginkan selama 20 hari di ruangan. Biji kepuh yang disimpan mampu bertahan hingga 4 bulan dengan daya kecambah rata-rata 76%. Perkecambahan dibantu dengan merendam biji kepuh kedalam larutan H2SO4 selama 10 menit pada media pasir-cocopeat (Sudrajat et al. 2011). Benih kepuh mempunyai watak semi ortodok dengan kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga viabilitasnya akan cepat menurun jika disimpan pada suhu kamar, dan relatif lebih aman jika disimpan pada suhu rendah . Kadar air benih yang
25
aman untuk penyimpanan berkisar antara 6 - 10 %, kondisi tersebut dapat diperoleh dengan cara diangin-anginkan selama 2-3 hari pada ruang kamar (t: 25 C, RH : 7090 %) kemudian benih dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam ruangan dingin (DCS atau Refrigerator). Benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit, sehingga untuk mengecambahkannya memerlukan perlakuan pendahuluan. Perlakukan pendahuluan yang dapat diterapkan untuk pematahan dormansinya adalah dengan stratifikasi (pemberian panas selama 60 detik kemudian direndam dalam air dingin selama 12-24 jam), tetapi teknik pematahan dormansi yang tepat untuk jenis ini belum ada yang menelitinya. Benih yang sudah mendapat perlakuan pendahuluan dapat langsung dikecambahkan pada media tabur berupa campuran tanah : pasir (1:1) dengan cara menanam bagian benih dalam media tabur tersebut. Salah satu teknik pembiakan vegetatif kepuh adalah dengan cara stek, baik stek pucuk maupun stek batang. Bahan stek terbaik adalah bahan stek pucuk, karena mempunyai kemampuan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan batang, media perakaran terbaik untuk pertumbuhan stek adalah media serabut kelapa, sedangkan penggunaan zat pengatur tumbuh (Rootone- F) sebanyak sebanyak 150 mg/stek adalah yang paling efektif untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek. Penyapihan dilakukan pada saat kecambah sudah mempunyai 2 daun atau tinggi kecambah mencapai 5 cm. Jenis media tanam yang dapat digunakan berupa campuran pasir : tanah : kompos (2:7:1), sedangkan wadah yang digunakan disesuaikan dengan pertumbuhan semainya, untuk kepuh dapat menggunakan kantong plastik (polybag) berukuran 10 X 15 cm. Pemberian pupuk NPK (5 g/1 liter air) dilakukan setelah bibit berumur 3 minggu, setiap 2 minggu sebanyak 2 kali (sampai bibit berumur 7 minggu). Bibit kepuh siap ditanam di lapangan pada umur 3 bulan atau tinggi bibit sudah mencapai 25 - 30 cm.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebagian kecil masyarakat Desa Tepus memanfaatkan tumbuhan kepuh untuk bahan bangunan, pakan ternak, obat, pangan, pelindung sumber air, bahan kerajinan, pewarna makanan, dan kayu bahan bakar. Sedangkan bagian kepuh yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu daun, kayu, buah, biji, kulit batang, dan kulit buah. 2. Kelimpahan kepuh sangat kecil. Jumlah kepuh yang berhasil ditemukan sebanyak 10 individu dengan tingkat pertumbuhan terbanyak adalah pohon. Rata-rata ditemukan 2-3 individu setiap dusun di Desa Tepus. 3. Habitat tempat tumbuh kepuh adalah di dataran rendah dan dekat dengan pantai. Kepuh yang dijumpai di Desa Tepus yaitu pada ketinggian di atas 100 mdpl dibawah 500 mdpl, suhu rata-rata 26.5oC dengan kelembaban udara 81.9 %. Sedangkan jenis tumbuhan penyusun habitat kepuh yaitu petai cina, srikaya, Mahoni, kukun, gamal, kapuk randu, dan jati.
26
Saran Perlu dilakukan tindak lanjut dari pemerintah setempat karena pohon kepuh masih digunakan oleh masyarakat sementara keberadaannya tidak banyak. Mengingat keberadaan kepuh yang sudah mulai langka perlu adanya aksi konservasi terhadap kepuh di Kabupaten Gunungkidul. Aksi konservasi kepuh dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Desa Tepus, dan pemberian apresiasi terhadap warga yang tetap memelihara kepuh. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai kepuh sebagai bentuk pelindung mata air di Kabupaten Gunungkidul.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2013. Kecamatan Tepus dalam Angka, Patuk District in figures. Gunungkidul (ID): BPS. Atmanti HD. 2005. Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan. Jurnal Dinamika Pembangunan. 2 (1) : 30-39. Asih IARA, Gunawan IGW, Ariani NMD. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa golongan Triterpenoid dari Ekstrak n- Eksana Daun Kepuh (Sterculia foetida L.) Serta Uji Aktivitas Antiradikal Bebas. Jurnal Kimia 4(2) :135-140. Bawa IGA. 2010. Analisis Senyawa Antiradikal Bebas Pada Minyak Daging Biji Kepuh (Sterculia feotida L.). Jurnal Kimia 4(1): 35-42. Buharman, Djam'an DF, Widyani N, S Sudradjat (2011). Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Hutan Tanaman. Damayanti EK, Zuhud EAM, Sangat HM. 2009. Pemantaaran Dokumentasi Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat untuk Mewujudkan Masyarakat Mandiri Kesehatan. Seminar Nasional Etnobotani IV. Bogor (ID): Cibinong Science Center-LIPI. Fakhrozi I. 2009. Etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisional di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh: Studi kasus di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, Provinsi Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hendrati RL, Hidayati N. 2014. Budidaya Kepuh (Sterculia foetida Linn.) untuk Antisipasi Kondisi Kering. Bogor (ID): IPB Press Herdiana N. 2005. Potensi Budidaya Kepuh (Sterculia foetida Linn.). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 5 Desember 2005. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumiaksara Kandhita. 2012. Pembuatan Arang Aktif dari Kulit Biji Kepuh (Sterculia foetida) sebagai Adsorben Sulfur dalam Solar. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
27
Linch OJ, Harwell E. 2002. Sumberdaya Milik Siapa? Siapa Penguasa Barang Publik?Menuju sebuah Paradigma Baru Bagi Keadilan Lingkungan Hidup dan Kepentingan Nasional di Indonesia. Bogor (ID): Studio Kendil. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestree Database: A Tree Reference and Selection Guide Version 4.0. Kenya (KE): World Agroforestry Centre Prihatin DSH. 2000. Pertumbuhan Stek Pucuk dan Stek Batang Kepuh (Sterculia foetida Linn.) pada Berbagai Media dan Dosis Zat Pengatur Tumbuh Rootone- F [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rauf AW, Lestari MS. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 28(2): 54-62 Rika KD. 2009. Isolasi Dan Identifikasi Golongan Senyawa Aktif Antiradikal Bebas Dari Kulit Batang Kepuh (Sterculia foetida L.) [skripsi]. Denpasar (ID): Universitas Udayana. Sudrajat, DJ, Nurhasybi, Syamsuwida, D. 2011.Teknologi Untuk Memperbaiki Perkecambahan Benih Kepuh (Sterculia Foetida Linn.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 8 (5) : 301-314. Sumantri O, Supriatna N. 2010. Informasi Singkat Benih Sterculia foetida Linn. Sumedang (ID): BPTH Jawa dan Madura. Supraptini. 2009. Tinjauan Keanekaragaman Tanaman Pokok yang Berguna di Lahan Rehabilitasi untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat Lokal di Taman Nasional Meru Betiri (studi kasus di Resort Wonoasri). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suryadarma IGP. 2008. Etnobotani.[Diktat Kuliah]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta Swarsi. 1991. Pola-Pola Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaaan Daerah Bali. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tarigan R. 2006. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Tingkat Pendapatan Perbandingan Antara Empat Hasil Penelitian. Jurnal Wawasan. 11(3): 21-27. Wati SI. 2011. Pertumbuhan Tunas Stek Kepuh (Sterculia foetida L.) pada Berbagai Media dan Panjang Bahan Stek. [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Negeri Sebelas Maret. Yuniastuti E. 2013. Buah Pohon “Genderuwo” Belum Dimanfaatkan (5 April 2013). [Internet]. [diunduh 2014 Mei 20]. Tersedia pada: https://www.pikiran-rakyat.com/node/229764. Yuniastuti E, Handayani T, Djoar DW. 2009. Identifikasi dan Seleksi Keragaman Tanaman Pranajaya (Sterculia Foutida Linn.) serta Teknologi Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro Untuk Penyediaan Bahan Baku Biofuel. Surakarta (ID): LPPM UNS Zuhud EAM, Sofyan K, Prasetyo LB, Kartodiharjo H. 2007. Masyarakat dan konservasi: Suatu analisis kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi 7(2): 22-32.
28
Lampiran 1 Spesies tumbuhan di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama lokal Petai cina Sirkaya Jambu biji Jati Legaran Weru Mahoni Kukun Gamal Akasia Johar Sirsak Kapuk Randu Mangga Balungan Sisir Serut Sulastri Pulai Karsen Ki lalayu Lunda Kesambi Mengkudu Wijen Dulopusuh Kalas Delisen Kaliandra Nangka Trembesi Sonokeling Jambu air Melinjo Jaranan Sengon laut
Nama ilmiah Leucaena leucocephala Annona squamosa Psidium guajava Tectona grandis Alstonia spectabillis Albizzia procera Swietenia macrophylla Actinophora burmannii Glyricidia sepium Acacia sieberiana Cassia siamea Annona muricata Ceiba pentandra Mangifera indica Borreria ocimoides Hesperethusa crenulata Streblus asper Calophyllum Soulatri Alstonia scholaris Muntingia calabura Erioglossum rubiginosum Cissus adnanta Schleichera oleosa Morinda citrifolia Sesamun indicum Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi Calliandra haematocephala Artocarpus heterophyllus Samanea saman Dalbergia latifolia Eugenia aquea Gnetum gnemon Crataeva nurvala Paraserianthes falcataria
Famili Fabaceae Annonaceae Myrtaceae Verbenaceae Apocynaceae Fabaceae Meliaceae Malvaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Annonaceae Bombaceae Anacardiaceae Rubiaceae Rutaceae Moraceae Clusiaceae Apocynaceae Tiliaceae Sapindaceae Vitaceae Sapindaceae Rubiaceae Pedaliceae Fabaceae Moraceae Fabaceae Fabaceae Myrtaceae Gnetaceae Capparidaceae Fabaceae
29
Lampiran 2 Indeks nilai penting tingkat tiang K KR No Nama Jml F (ind/ha) (%) 1 Petai cina 4 4 8.51 0.40 2 Srikaya 7 7 14.89 0.10 3 Jambu biji 1 1 2.13 0.10 4 Jati 2 2 4.26 0.20 5 Legaran 3 3 6.38 0.10 6 Weru 1 1 2.13 0.10 7 Mahoni 3 3 6.38 0.20 8 Balungan 1 1 2.13 0.10 9 Kukun 12 12 25.53 0.10 10 Sisir 1 1 2.13 0.10 11 Serut 1 1 2.13 0.10 12 Gamal 7 7 14.89 0.20 13 Sulastri 1 1 2.13 0.10 14 Pulai 1 1 2.13 0.10 15 Sirsak 2 2 4.26 0.10 Total 47 47 100 2.10
FR (%) 19.05 4.76 4.76 9.52 4.76 4.76 9.52 4.76 4.76 4.76 4.76 9.52 4.76 4.76 4.76 100
Keterangan : Jml : jumlah K : kerapatan (individu/hektar) F : frekuensi FR : frekuensi relatif (%) DR : dominansi relatif (%)
KR : kerapatan relatif (%) D : Dominansi m2/ha INP : indeks nilai penting
Lampiran 3 Indeks nilai penting tingkat pohon K KR No Nama Jml F (ind/ha) (%) 1 Kukun 20 20.00 24.39 0.50 2 Petai cina 6 6.00 7.32 0.20 3 Gamal 6 6.00 7.32 0.30 4 Akasia 1 1.00 1.22 0.10 5 Johar 3 3.00 3.66 0.20 6 Sirsak 1 1.00 1.22 0.10 7 Kapuk 2 2.00 2.44 0.10 randu 8 Mangga 2 2.00 2.44 0.20 9 Karsen 1 1.00 1.22 0.10 10 Ki lalayu 3 3.00 3.66 0.20 11 Lunda 2 2.00 2.44 0.20 12 Kesambi 3 3.00 3.66 0.10 13 Jati 7 7.00 8.54 0.20 14 Mengkudu 1 1.00 1.22 0.10 15 Pulai 3 3.00 3.66 0.20 16 Wijen 1 1.00 1.22 0.10
D (m2/ha) 0.022 0.036 0.004 0.004 0.005 0.001 0.023 0.003 0.027 0.007 0.003 0.031 0.002 0.003 0.014 0.185
DR (%) 11.63 19.45 1.89 2.32 2.90 0.62 12.19 1.55 14.35 3.87 1.72 16.97 1.10 1.72 7.72 100
INP (%) 39.18 39.10 8.78 16.10 14.04 7.51 28.10 8.44 44.65 10.76 8.61 41.39 7.99 8.61 16.74 300
FR D 2 (%) (m /ha) 10.64 0.33 4.26 0.07 6.38 0.08 2.13 0.01 4.26 0.08 2.13 0.01
DR (%) 19.02 3.96 4.64 0.70 4.70 0.56
INP (%) 54.04 15.53 18.34 4.04 12.61 3.91
2.13
0.33
18.96 23.52
4.26 2.13 4.26 4.26 2.13 4.26 2.13 4.26 2.13
0.04 0.01 0.05 0.04 0.05 0.09 0.01 0.12 0.01
2.47 0.53 3.07 2.43 3.00 5.05 0.59 7.01 0.70
9.16 3.88 10.98 9.13 8.79 17.85 3.94 14.92 4.04
30
Lampiran 3 Indeks nilai penting tingkat pohon (lanjutan) K KR FR No Nama Jml F (ind/ha) (%) (%) 17 Dulopusuh 1 1.00 1.22 0.10 2.13 18 Kalas 1 1.00 1.22 0.10 2.13 19 Delisen 1 1.00 1.22 0.10 2.13 20 Kaliandra 1 1.00 1.22 0.10 2.13 21 Nangka 1 1.00 1.22 0.10 2.13 22 Trembesi 1 1.00 1.22 0.10 2.13 23 Weru 1 1.00 1.22 0.10 2.13 24 Srikaya 1 1.00 1.22 0.10 2.13 25 Mahoni 6 6.00 7.32 0.40 8.51 26 Sonokeling 2 2.00 2.44 0.20 4.26 27 Jambu air 1 1.00 1.22 0.10 2.13 28 Melinjo 1 1.00 1.22 0.10 2.13 29 Jaranan 1 1.00 1.22 0.10 2.13 30 Sengon 1 1.00 1.22 0.10 2.13 Total 82 82 100 4.70 100 Keterangan : Jml : jumlah K : kerapatan (individu/hektar) F : frekuensi FR : frekuensi relatif (%) DR : dominansi relatif (%)
D (m2/ha) 0.01 0.01 0.01 0.01 0.03 0.04 0.04 0.01 0.09 0.03 0.01 0.02 0.02 0.05 1,73
DR (%) 0.73 0.77 0.73 0.50 1.76 2.06 2.06 0.73 5.25 1.89 0.73 1.15 1.34 2.93 100
KR : kerapatan relatif (%) D : Dominansi (m2/ha) INP : indeks nilai penting
INP (%) 4.08 4.12 4.08 3.85 5.11 5.40 5.40 4.08 21.08 8.58 4.08 4.49 4.68 6.28 300
31
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 10 Juli 1992 sebagai anak bungsu dari 2 bersaudara pasangan Tugimin dan Ngatinem. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Jombang tahun 1998-2004, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 8 Purworejo tahun 2004-2007, dan melanjutkan ke jenjang menengah atas di SMA Negeri 1 Purworejo tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis megikuti organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa Purworejo di IPB (GAMAPURI) sebagai anggota, anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada tahun 2011/2013. Bersama Himakova, penulis mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Cianjur (2013). Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Manusela, Maluku (2013). Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Ciamis dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran pada tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Way Kambas pada tahun 2014. Untuk memperoleh gelar Sarjana kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul Etnobotani Kepuh (Sterculia foetida L.): Studi Kasus pada Masyarakat Desa Tepus Kabupaten Gunungkidul di bawah bimbingan Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud MS dan Dr Ir Agus Hikmat MScF.