ETIKA VISUAL, KONFLIK REPRESENTASI DARI IKONIK HINGGA SIMBOLIK Drajatno Widi Utomo. S.Sn., M.Si1 Abstract This paper reveals a visual ethic issue from the perspective of semiotics constructionist. The emergence of a visual ethic issue stems from the conflict of visual attention to the level of iconic representation. The configuration of icon generates an indexical network of meaning based on existential relationship and also generates a symbolic network of meaning based on contextual relationship in the area of mental experience of the target audience. Visual ethic issue is the problem in conflict with meaning of visual representation based on indexical- existential meaning and also based on symbolic- contextual meaning. Keywords: Visual ethics, meaning, semiotics, constructionist, iconic representation, indexical- existential representation, symbolic- contextual representation.
Persaingan pemasaran, kreativitas representasi merebut perhatian khalayak sasaran dan pemicu masalah etika visual Tingginya tingkat persaingan dalam dunia pemasaran memicu para pemasar untuk selalu mencari strategi jitu merebut hati dan pikiran calon konsumen agar memenangkan persaingan. Periklanan merupakan salah satu alat komunikasi pemasaran yang masih dipakai hingga saat ini . Iklan cenderung masih dipandang ampuh digunakan sebagai strategi untuk mempengaruhi pikiran, hati/perasaan hingga tindakan banyak orang untuk berpaling pada produk, mencintai produk bahkan fanatik pada produk tertentu. Dalam upaya mempengaruhi banyak orang ini, para kreator iklan sudah tentu tidak hanya berhadapan dengan permasalahan ketatnya persaingan tetapi juga berhadapan dengan permasalahan karakteristik media, permasalahan peraturan periklanan /kode etik periklanan. Sudah tentu bahwa keberadaan peraturan ataupun kode etik periklanan ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan perlindungan masyarakat dari dampak negatif periklanan. Sehubungan dengan hal ini maka kreator iklan dituntut untuk secara kreatif melalui karyanya mampu menciptakan keharmonisan jalinan kebutuhan semua pihak baik kebutuhan industri, khalayak sasaran iklan, pemerintah dan masyarakat. Kreator iklan dituntut untuk mampu menciptakan keunikan dalam pesan iklannya . Keunikan cenderung diyakini sebagai unsur pembeda yang memicu kemudahan pesan untuk masuk ke dalam pikiran dan perasaan khalayak sasaran agar selanjutnya mampu mempengaruhi keputusan khalayak sasaran terhadap produk yang ditawarkan. Perbedaan ini dapat terjadi pada aspek isi pesan, media, maupun perbedaan dalam organisasi pesan/cara menyampaikan pesan. Tiga hal tersebut saling terkait dalam kreativitas kreator iklan membangun perbedaan. Misalnya, karakteristik 1
Universitas Trisakti
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
media TV(televisi) --yang memberi kebebasan khalayak sasaran untuk memilih saluran yang di sukainya-- menuntut kreator iklan untuk menyampaikan pesan iklan semenarik mungkin , sepadat mungkin dan seefektif mungkin agar khalayak tidak memindahkan perhatian ke saluran lain. Dalam konteks keterbatasan waktu oleh media maka tidak menutup kemungkinan bagi kreator iklan untuk melakukan serangkaian manipulasi cara penyampaian pesan baik secara verbal (bahasa kata-kata) maupun secara visual(bahasa gambar). Manipulasi di bagian pesan ini merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap terjadinya bias persepsi tentang pesan iklan . Pesan iklan juga cenderung ditujukan kepada khalayak sasaran yang lebih spesifik/khusus karena terkait dengan segmentasi calon pengguna produk( Target Market) maupun dalam konteks segmentasi khalayak sasaran pemirsa iklan ( Target Audience). Keyakinan tentang persyaratan efektivitas komunikasi seperti- adanya overlapping of interest( kesamaan ketertarikan) atau share field of experience( adanya kesamaan wilayah pengalaman)- bagi sebagian besar kreator iklan cenderung membuat iklan menjadi lebih unik sesuai karakteristik kalayak sasarannya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa khalayak sasaran yang disegmentasikan tidaklah menyendiri dalam kehidupannya melainkan hidup berinteraksi dengan masyarakat lain yang bersifat heterogen. Hal ini menyebabkan iklan yang ditayangkan di media tertentu tidaklah hanya ditonton leh khalayak sasaran yang telah disegmentasikan. Sementara itu, tidaklah mungkin berharap agar khalayak sasaran yang disegmentasikan mengasingkan diri dari interaksinya dengan lingkungan masyarakat yang heterogen. Kondisi heterogenitas masyarakat lingkungan khalayak sasaran ini membuat kreator iklan tidak dapat menghindar dari deviasi/bias persepsi tentang pesan iklan. Bias persepsi inilah yang cenderung memicu terjadinya pro dan kontra termasuk munculnya permasalahan etika ketika bias persepsi pesan iklan bersinggungan dengan kode etik, peraturan maupun hukum. Permasalahan bias persepsi pesan iklan tidaklah terlepas dari permasalahan pemicu kemunculannya yaitu permasalahan upaya merebut perhatian khalayak sasaran. Perhatian menjadi penting dipermasalahkan ketika dikaitkan dengan fungsinya dalam iklan serta akibatnya dalam persepsi iklan secara keseluruhan. Katelaar dan Gisbergen menuliskan yang merujuk dari (Bock dan Von Rath, 1997; Franzen, 1997; Pieters,1997;Warlop&Wedel, 2002) bahwa “…Attention of consumers is an essential requisite for an ad to be effective..” Hal ini menunjukkan bahwa upaya menarik perhatian konsumen merupakan bagian yang sangat penting dipertimbangkan dalam efektivitas suatu iklan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ketiadaan perhatian dapat digunakan untuk memastikan ketiadaan efek iklan(periksa dalam Katelaar dan Gisbergen, 2006 yang merujuk dari Franzen, 1997; Pieters,1997; Warlop&Wedel, 2002; periksa juga tentang apa yang harus dilakukan oleh iklan dalam Landa, 2006). 56
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
Senada dengan hal tersebut Jefkins juga memandang pentingnya perhatian sebagai syarat utama efek iklan melalui pemahaman terhadap formula AIDCA yaitu formula untuk mengetahui respon konsumen terhadap iklan. AIDCA merupakan singkatan dari Attention, Interest, Desire, Conviction dan Action.(Jefkins, 1996; periksa juga mengenai syarat utama perhatian ini dalam Duncan, 2002; Dyer,1996). Dalam struktur AIDCA ditunjukkan bahwa attention(perhatian) merupakan syarat pertama yang harus dilalui pembuat iklan untuk dapat melanjutkan ke pencapaian efek berikutnya(IDCA). Lebih lanjut ditegaskan oleh Moriarty bahwa perhatian merupakan salah satu komponen persepsi yang digunakan untuk menciptakan fungsi stopping power (Wells, Moriarty, Burnett, & Lwin, 2007). Dalam konteks ini perhatian digunakan untuk menyergap konsumen untuk berhenti mengarahkan perhatiannya hanya pada iklan tertentu bukan yang lainnya atau iklan lain pesaingnya. Pada kondisi ini kreativitas untuk menciptakan ide baru suatu iklan agar memunculkan stopping power menjadi sangat dibutuhkan bahkan Ray Wright dalam Wright (2000) mengatakan bahwa kemampuan menggambarkan perhatian dalam pesan merupakan salah satu persyaratan iklan yang kreatif. Hal yang mirip juga dikatakan oleh Mario Pricken dalam Pricken (2004) bahwa: “..Successful creatives are those that know how to attract attention and use their images to reach the hearths and minds of the group they are targeting. This is the true for advertising, …” Dengan demikian perhatian merupakan faktor penting yang menjadi syarat :baik syarat efektivitas maupun syarat kreativitas suatu iklan. Kriteria efektivitas berdiri berdampingan dengan kreativitas. Tim Broadbent, Regional Planning Director dan Regional effectiveness Director, Ogilvy and Mather, Asia Pasific dalam acara World Effie Festival(WEF) 2008 di Singapura mengatakan bahwa iklan yang memiliki kreativitas yang tinggi biasanya digemari oleh masyarakat dan digemari merupakan sebuah indikator terbaik untuk memprediksi efektivitas suatu iklan (cakram, edisi 289-03/2008: p.30). Kemudian Shelly Lazarus, CEO and Chairman Ogilvy and Mather Worldwide pada acara yang sama memberikan bukti bahwa kreativitas dapat berdampingan dengan efektivitas dengan mencontohkan adanya dua pemenang Effie yang juga menang di Cannes pada tahun yang sama yaitu kampanye produk Apple versi “1984” (1994) dan Dove versi evolution (2007)( Cakram, edisi 289-03/2008: p.27). Upaya kreatif untuk menciptakan perhatian dalam iklan dilakukan juga untuk menimbulkan suatu kejutan. Namun sering bahwa kejutan dicapai dengan menampilkan elemen - elemen yang tidak diharapkan oleh konsumen melalui tampilan sesuatu yang diluar kebiasaan konsumen(Burtenshaw, Mahon, and Barfoot.,2006). Bahkan iklan kadangkala menggunakan cara-cara yang sangat kontroversial sehingga akan membawa pemirsa ke puncak kondisi yang emosional sehingga pemirsa menjadi khawatir, menjadi ingin tahu, berpihak, marah dan 57
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
sebagainya (Bungin, 2001). Sehubungan dengan keterkaitan perhatian dan kejutan dalam iklan, Sunardi seperti dikutip Manurung dalam “Tubuh dan Identitas dalam Tatanan Simbolik Majalah Remaja” mengatakan bahwa iklan pada dasarnya adalah komunikasi untuk menarik perhatian pembaca. Bisnis iklan biasa dikatakan sebagai bisnis kejutan. Iklan harus memiliki nilai kejutan(Shock Value). Iklan berlomba untuk tampil lebih mengejutkan dari iklan saingannya(Manurung, 2007). Uraian diatas menunjukkan bahwa perhatian merupakan fokus permasalahan yang memicu kontroversi. Di satu sisi konsep kreatif perhatian penting diciptakan oleh kreator iklan untuk efektivitas komunikasi namun di sisi lain konsep kreatif perhatian yang diciptakan kreator iklan kadang tidak mampu melampaui etika peraturan, norma atau hukum yang berlaku sehingga konsep kreatif perhatian menjadi pemicu pelanggaran etika iklan secara keseluruhan. Komunikasi visual dalam efektivitas periklanan memegang peranan penting dalam upaya membangun konsep kreatif menarik perhatian. Penggunaan visual dalam pesan iklan ini sekaligus merupakan cara kreator iklan untuk mengantisipasi hambatan keterbatasan waktu oleh media. Visual lebih cepat menyampaikan pesan dari pada kata-kata bahkan visual dianggap mampu mewakili banyak kata. Hal ini disebutkan oleh Sandra Moriarty dan kawan-kawanya bahwa ada enam alasan kunci desainer menggunakan visual dalam iklannya yaitu: “…Grab attention, Stick in memory, cement believe, tell interesting stories, communicate quickly,anchor association…” (Wells, Moriarty, Burnett, & Lwin, 2007). Permasalahan yang terkait dengan etika muncul ketika tampilan visual dipandang sebagai peluru komunikasi yang mampu menembus dinding tebal jaringan peta konsep perseptual serta mengaktifkan jaringan peta konsep tersebut menjadi rangkaian tak terhingga kata-kata dan kalimat yang bertentangan dengan konsep etika. Walaupun demikian tampilan visual tetaplah dalam bentuk visual, kata-kata atau kalimat yang muncul tetaplah merupakan penafsiran yang hanya ada sebagai realitas mental khalayak sasaran pemirsa visual. Tampilan visual tidak secara eksplisit menyampaikan kata-kata. Dengan demikian apakah alasan katakata implisit yang muncul dalam pikiran khalayak sasaran akibat terpaan visual dapat digunakan untuk mengklaim etis dan tidak etisnya tampilan visual tersebut? Bagaimanakah mencari penjelasan jawaban atas pertanyaan tersebut? Apakah perspektif ilmu tanda (semiotik) dapat digunakan untuk membantu penjelasan? Persoalan visual dalam iklan dapat dipandang sebagai persoalan representasi tanda dalam perspektif semiotika. Sementara itu, banyak aliran semiotik yang memungkinkan digunakan sebagai pendekatan analisis namun dalam tulisan ini dipilih pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce . Permasalahan etika visual dalam konteks ini tidak dipandang dalam perspektif reader(pembaca tanda) ataupun author(pembuat tanda) tetapi dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Terkait dengan hal ini maka penulis memilih pendekatan 58
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
konstruksionis seperti yang dikutip Burton dari Hall(1997) bahwa konstruksionis menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa termasuk kode-kode visual (Burton,G., 2008). Selanjutnya, bagaimanakah semiotika peirce dalam pendekatan konstruksionis membongkar permasalahan representasi etika visual? Pembahasan Sebelum dibahas lebih jauh permasalahan di atas maka perlulah ditentukan contoh kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu iklan parfum merek AXE versi rok mini. Konfigurasi visual dalam iklan ini selanjutnya akan dipandang sebagai konfigurasi tanda ketika dibahas dalam konteks semiotika. Selain itu juga perlulah diketahui terlebih dahulu perihal batasan konsep-konsep kunci dalam tulisan ini seperti: konsep etika visual, konsep representasi, konsep konstruksionis dan konsep semiotika peirce. Etika Visual Etika merupakan cabang filosofi yang membahas tentang komponen moral manusia dan merujuk pada filosofi moral. Banyaknya pendekatan teoritik tentang etika tidaklah penulis ungkapkan namun pada tulisan ini penulis langsung merujuk pada definisi etika visual dari Julianne H. Newton, yang mengatakan bahwa : “ Visual ethics is the study of how images and imaging affect the ways we think, feel, behave, create, use and interpret meaning, for good or for bad.” (Newton, 2005) Etika visual dalam pandangan Newton cenderung menekankan pada pengaruh gambar dan proses penggambaran yang mempengaruhi cara berpikir, cara merasakan, cara menjadi, cara menciptakan ,cara menggunakan dan cara menafsirkan makna : makna baik maupun makna buruk. Dengan kalimat lain dapatlah dikatakan bahwa etika visual mempelajari tentang kemampuan gambar di dalam mempengaruhi keputusan baik-buruk pemaknaan hasil interpretasi. Dalam konteks ini gambar merupakan stimuli tanda yang dipandang mampu mengaktifkan proses cipta, rasa dan karsa manusia baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial . sehingga manusia tersebut mampu menafsirkan stimuli gambar tersebut hingga memiliki makna baik atau buruk. Dalam konteks pembahasan maka konsep etika visual ini digunakan untuk mengetahui kemampuan gambar (pada contoh kasus iklan) dalam mengaktivasi proses pemaknaan. Namun upaya untuk membongkar etika visual dalam kasus iklan yang dicontohkan perlulah dilengkapi dengan pemahaman terhadap konsep representasi. Representasi Van Leeuwen mengungkapkan adanya dua pertanyaan fundamental tentang representasi yaitu: 1“..what do image represent and how? dan 2. pertanyaan tentang makna tersembunyi suatu image:” ..what ideas and 59
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
values do the people, places and things represented in image stand for?..” (Van Leeuwen dan Jewitt, 2007). Pertanyaan yang pertama cenderung melihat representasi dari sudut pandang konstruksi tata bahasa /gramatika /sintaktik yaitu: pertanyaan yang terkait dengan apa yang direpresentasikan oleh image dan bagaimanakah image merepresentasikannya. Sementara itu, pertanyaan kedua cenderung melihat representasi dari sudut pandang pemaknaan /semantik yaitu sudut pandang ide dan nilai dibalik image orang, tempat atau benda/sesuatu yang direpresentasikan. Ide dan nilai inilah yang merupakan makna tersembunyi. Mengacu pada pemahaman representasi Van Leeuwen ini maka makna baik maupun makna buruk dapat ditelusuri melalui sudut pandang gramatika image/gramatika citra yang direpresentasikan dan melalui sudut pandang semantik yaitu dengan melihat makna tersembunyi dibalik sesuatu yang direpresentasikan yaitu berupa ide dan nilai tertentu. Senada dengan Leeuwen dan Jewitt, Barry mengatakan tentang keterkaitan makna dan representasi bahwa : “…The range of meanings for the verb ‘to image’ runs likewise from external representations to internal ones, from the production or reflection of a likeness to mental visualization…”(Barry, 1997) . Dengan kalimat lain dapatlah dikatakan bahwa representasi terkait dengan proses pemaknaan terhadap gambar yang hasilnya merupakan makna yang terbentuk dari representasi eksternal hingga representasi internal. Representasi eksternal adalah representasi yang terjadi karena kemiripan objek/gambar/stimulan dengan sesuatu objek yang lain. Representasi internal adalah representasi yang terjadi secara aktif melibatkan memori/pengalaman mental dalam pemaknaan terhadap gambar/stimuli. O’Sullivan, Hartley, Saunders, Montgomery dan Fiske (2001) menyebutkan konsep representasi sebagai berikut: “…Representation is the social process of representing; representations are the product of the social process of representing…Representation is the process of putting into concrete form(that is different signifiers) an abstract ideological concept: so you can out for representation of women…individualism….,Representation is the social process of making sense within all available signifying systems: speech, writing, print, video, filmtape and so on…Hence, the concept of representations allows full force to the notion of representation; re-working and bringing into view of signifiers for the same signified…”
Artinya kurang lebih adalah bahwa representasi merupakan produk proses sosial representasi. Representasi merupakan proses mewujudkan konsep ideologi yang abstrak ke dalam bentuk yang konkrit sehingga ideologi perempuan, individualisme dan lain-lain dapat direpresentasikan secara nyata. Representasi adalah proses menjadikan semua yang ada pada sistem penandaan (pidato, tulisan, cetakan, video, film dll) dapat diterima indra(menjadi kasat mata). Konsep representasi diakui memiliki kekuatan untuk merepresentasikan kembali dan membawa pandangan tentang
60
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
penanda-penanda(merujuk pada objek) kepada petanda(merujuk pada konsep mental) yang sama. Sementara itu, Schroeder dan Borgerson(2005) dalam “ An ethics of representation for international Marketing Communication, mengatakan bahwa “…representation refers to meaning production through language system, how language-including visual representation-is used is central to creating meaning…”
Representasi terkait dengan produksi makna melalui bahasa, bahasa termasuk representasi visual dan merupakan aspek sentral dalam menciptakan makna. Terkait dengan penekanan bahasa :Hall(1997) yang dikutip oleh Burton mengatakan tentang adanya pendekatan konstruksionis dalam representasi . Pendekatan konstruksionis ini lebih menekankan pada representasi yang dibuat melalui bahasa termasuk kode-kode visual(Burton,G., 2008). Pada tulisan ini dipilih pendekatan konstruksionis dalam pembahasan contoh kasus.Dalam konteks hubungannya dengan etika visual maka persoalan etis dan tidak etis merupakan persoalan konseptual yang diharapkan dapat dijelaskan secara konkrit tampak mata. Upaya mengkonkritkan konsep etika visual dalam bentuk nyata(tanda-tanda visual) merupakan upaya representasi. Dengan demikian permasalahan etika visual juga merupakan permasalahan representasi yang terkait dengan persoalan konstruksi tanda baik konstruksi eksternal maupun konstruksi internal dalam mental khalayak sasaran . Perbedaan makna baik-buruk merupakan perbedaan makna yang muncul dari perbedaan konstruksi tanda eksternal hingga konstruksi tanda internal dalam mental khalayak sasaran. Dalam konteks realitas maka perbedaan makna baikburuk dapat terjadi karena perbedaan realitas yaitu antara realitas eksternal dan realitas internal. Realitas dalam konteks bentangan makna baik-buruk merupakan realitas yang terkonstruksi. Pemahaman terhadap konsep realitas yang terkonstruksi ini merupakan salah satu ciri pandangan konstruksionis. Oleh karena itu perlulah diketahui perihal konstruksionis dan asumsi dasarnya. Konstruksionis dan asumsi dasarnya Sotirios Sarantakos menyebutkan bahwa asumsi dasar konstruksionis antara lain: realitas objektif itu tidak ada, tidak ada kebenaran yang bersifat absolut/mutlak, pengetahuan tidak datang hanya dari seseorang, konstruksi makna merupakan fokus penelitian, makna tidaklah muncul tanpa peran pikiran orang yang melakukannya, makna tidak bersifat tetap/stabil tetapi makna terbentuk dari interaksi antar orang dan interaksi orang tersebut dengan dunia disekitarnya (Sarantakos, 2005). Sementara itu, Seperti yang dikutip Sanna Talja, Kimmo Tuominen dan Reijo Savolainen dari Foucault bahwa : “…the basic assumtion of constructionism is that knowledge is constructed in “system of dispersion…” (Talja, Tuominen, & Savolainen, 2005). Pengetahuan terkonstruksi secara
61
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
menyebar dalam beberapa sudut pandang . Perbedaan sudut pandang dimungkinkan terjadi karena perbedaan referensi/pengalaman. Dalam konteks hubungannya dengan permasalahan etika visual maka pemahaman konstruksionis ini digunakan untuk menganalisis bentangan makna etis dan tidak etis terhadap visual yang direpresentasikan. Sementara itu, untuk menjelaskan kemampuan visual dalam mempengaruhi cara berpikir, cara merasakan, cara menjadi, cara menciptakan ,cara menggunakan dan cara menafsirkan makna--makna baik maupun makna buruk--maka diperlukan pemahaman ikon, indeks dan simbol dari pandangan semiotika Peirce. Oleh karena itu, perlulah dibahas lebih dulu perihal ikon , indeks dan simbol tersebut. Ikon, Indeks dan Simbol Peirce membuat kategori tanda berdasarkan objek(realitas eksternal) menjadi tiga bagian yaitu: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan atau kesamaan, prosesnya dapat dilihat. Contohnya adalah lukisan Soekarno adalah ikon Soekarno. Indeks adalah hubungan antara tanda dan objek secara langsung berdasarkan sebab akibat, prosesnya dapat digambarkan. Contohnya adalah asap merupakan indeks adanya api karena asap adalah akibat yang muncul karena adanya api. Simbol adalah hubungan antara tanda dan objek berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan, prosesnya harus dipelajari. Contohnya sapi : bagi orang yang gemar makan daging maka orang tersebut membayangkan enaknya steak daging sapi tetapi bagi orang india yang memiliki kepercayaan tertentu terhadap sapi maka sapi adalah simbol yang terkait dengan kesakralan(Berger,A.A., 2000; Sobur, 2006; Fiske, 2005) Paul Martin Lester menjelaskan bahwa indeks dalam konteks representasi tanda cenderung dipahami sebagai representasi tanda dalam kaitannya dengan kemampuan logika atau akal sehat--dalam menghubungkan dengan sesuatu benda atau ide--daripada representasi tanda dalam kaitannya dengan aspek kemiripannya dengan sesuatu benda/objek. Sedangkan simbol merupakan tanda yang lebih abstrak yang tidak memiliki hubungan logis atau hubungan kemiripan dengan sesuatu yang direpresentasikan (Lester, 2006). Barry (1997) menekankan bahwa indeks adalah tanda yang maknanya tergantung dari hubungan eksistensial(keberadaan sesuatu) contohnya temuan tanda sidik jari pada alat kejahatan memberikan makna adanya pelaku tindak kejahatan tetapi sidik jari tidak merepresentasikan pelaku kejahatan atas hubungan kemiripan tetapi karena hubungan eksistensial. Ryan Hembree(Hembree, 2006) mengatakan bahwa ikon adalah representasi realistis atas objek atau benda dalam bentuk ilustrasi sederhana atau fotografi yang mengkomunikasikannya secara cepat. Indek adalah sesuatu yang memberi keterangan/petunjuk tentang bahan/material penentu suatu subjek atau objek. Dicontohkannya dengan rambu-rambu yang didalamnya terdapat ikon pesawat yang mana ikon tersebut memberi petunjuk/indeks adanya 62
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
airport. Sedangkan simbol adalah tanda yang bersifat arbitrary tanpa menunjukkan kemiripan secara nyata dengan objek atau benda yang direpresentasikan dan untuk menerjemahkan perlu syarat kesamaan bahasa atau kesamaan pengalaman budaya. Dalam konteks kegunaan sebagai alat analisis etika visual maka secara operasional penulis simpulkan bahwa: ikon merupakan alat untuk analisis representasi realistis atas aspek visual yang mampu mengkomunikasikan secara cepat karena mengacu pada hubungan kemiripan dengan visual lain dalam internal maupun eksternal referensi khalayak sasaran. Indeks merupakan alat untuk analisis representasi eksistensial yang digunakan untuk mengetahui aspek logika atau akal sehat yang membangun konstruksi makna atas aspek visual yang ditampilkan. Simbol merupakan alat untuk analisis representasi kontekstual yang digunakan untuk mengetahui sudut pandang pemaknaan atas visual yang ditampilkan. Sudut pandang pemaknaan terkonstruksi oleh kesepakatan-kesepakatan tertentu dalam mental atau pengalaman khalayak sasaran. Analisis representasi etika visual contoh kasus iklan media cetak produk parfum merek AXE versi rok mini di majalah free. Seperti terlihat pada gambar dibawah: iklan axe menampilkan headline “ Karena Cowok Suka Yang Minim Sekarang Axe Harganya Minim”. Headline ini dikombinasikan dengan tampilan visual perempuan tersenyum menggunakan gaun ketat warna hitam diatas lutut kaki. Sementara itu, tampak elemen visual yang menyerupai gunting dimana sudut buka ujung antar gunting berada di antara pinggang dan batas bawah rok yang berdekatan dengan lutut kaki. Ujung gunting dibagian bawah dapat digerakkan ke atas masuk ke dalam kertas sehingga memberi kesan bahwa rok dapat disingkapkan atau dapat digunting. Pada saat gerakan gunting menyingkap rok tampak bahwa terjadi gerakan pangkal gunting ke arah lingkaran yang berisi keterangan harga dulu hingga kini. Posisi lingkaran harga kini berada setelah/dibawah harga dulu hal ini dimungkinkan adanya keterkaitan dengan lintasan gerak gunting : semakin gunting mengangkat rok maka di ujung gunting yang lain semakin mendekati lingkaran harga kini.
63
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Analisis etika visual kasus iklan tersebut akan dimulai dari analisis representasi konsep perhatian dengan membongkar konfigurasi visual dan verbal ke dalam struktur ikon. Kemudian analisis bentangan makna baik(etis) hingga makna buruk(tidak etis) dilakukan dengan mengidentifikasi representasi kontekstual melalui penerapan konsep simbol sebagai penciri sudut pandang pemaknaan. Masing-masing sudut pandang dikonstruksi oleh jaringan makna indeksikal. Jaringan makna indeksikal diketahui dengan melakukan analisis representasi berbasis hubungan eksistensial. Perhatian dipengaruhi oleh faktor eksternal (ada pada objek iklan) dan faktor internal (ada pada subjek iklan/khalayak sasaran). Faktor eksternal penarik perhatian meliputi gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty) dan perulangan (Rakhmat, 2005). Faktor internal penarik perhatian meliputi: motif biologis (kebutuhan akan makanan-minuman, kebutuhan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan memelihara kelangsungan hidup dengan menghindari sakit dan bahaya) dan motif sosiopsikologis (motif ingin tahu, motif kompetensi, motif cinta, motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas, kebutuhan akan ‘nilai, kedambaan dan makna kehidupan’, dan kebutuhan akan pemenuhan diri. (Rakhmat,2005; Mulyana, 2000). Manusia cenderung tertarik pada sesuatu yang bergerak, kekontrasan akibat perbedaan intensitas stimuli, sesuatu yang baru, dan sesuatu yang berulang secara variatif. Manusia cenderung tertarik perhatiannya pada hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Berdasarkan pada pemahaman konsep perhatian di atas maka visual iklan axe tersebut sudah memenuhi syarat menarik perhatian jika diamati kesesuaiannya dengan persyaratan faktor eksternal seperti: 1. Adanya ikon gunting yang dapat digerakkan naik turun bersamaan dengan turun naiknya rok. 2. Adanya kekontrasan dari adanya intensitas stimuli pada gunting yang berukuran hampir sama dengan manusia 64
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
3. Adanya kekontrasan yang muncul dari kebaruan gerakan gunting yang bersamaan dengan mengangkat rok. 4. Adanya perulangan yang bervariasi konsep memotong rok dengan memotong harga, minimnya rok dengan minimnya harga. Namun ketika diamati dari faktor internal maka perhatian yang ditampilkan melalui konfigurasi ikon mulai masuk ke wilayah mental khalayak sasaran pemirsa iklan. Konfigurasi ikon dipandang mampu menarik perhatian jika mampu membangkitkan kebutuhan dan keinginan indeksikal yang ada dalam wilayah mental khalayak sasaran. Dikatakan sebagai kebutuhan dan keinginan indeksikal karena keberadaan kebutuhan dan keinginan muncul karena adanya hubungan eksistensial antara ikon ekternal pada iklan dengan ikon lain(internal) sebagai representasi kebutuhan dan keinginan dalam mental/pengalaman khalayak sasarannya. Ketika ikon masuk mempengaruhi jaringan pengalaman mental khalayak sasaran maka ikon yang dimaksud mulai mempengaruhi aktifnya proses pemaknaan. Proses pemaknaan dalam konteks ini merupakan proses pembentukan pengetahuan dan bersifat menyebar sehingga makna yang terbentuk pun juga menyebar dalam diri individu khalayak sasaran. Makna yang terbentuk tidaklah mutlak tetapi menjadi relatif dalam diri individu khalayak sasaran. Sebagai contoh : bagi khalayak sasaran laki-laki, ikon gunting mengingatkan pada adanya alat potong. Ikon gunting , rok dan perempuan mengingatkan pada kebutuhan voyeuristik (mengintip untuk hal-hal yang sensual). Kebutuhan voyeuristik ini diaktivasi oleh motif cinta dan mencintai lawan jenis. Motif cinta kemudian mengaktivasi kebutuhan tampil percaya diri memikat perempuan lawan jenis. Kebutuhan percaya diri mengaktivasi ingatan akan kebutuhan penampilan. Kebutuhan penampilan mengaktivasi kebutuhan berpakaian menarik dan kebutuhan tampil wangi agar lebih memiliki daya pikat. Deretan ingatan kebutuhan ini hanya ada di dalam wilayah mental dan dapat terus berkembang . Ketika khalayak sasaran sebagai diri individu berinteraksi dengan individu lain dalam kategori khalayak sasaran yang sama--kesamaan karakter, pengalaman, kesukaan dan ketertarikan, usia, pekerjaan dll-maka sangat dimungkinkan munculnya kesamaan makna. Contoh: bagi perempuan yang melihat tampilan visual itu maka perempuan sebagai khalayak sasaran iklan lantas mengidentifikasikan dirinya dengan ikon perempuan tersebut. Ikon perempuan tersebut membangkitkan kebutuhan untuk tampil cantik dan menarik sehingga banyak dipuja laki-laki. Ikon gunting bagi perempuan dapat membangkitkan ingatan akan kebutuhan ekshibisionis(kecenderungan untuk menceritakan bagian-bagian yang menarik pada tubuhnya). Kecenderungan Ekshibisionis pada perempuan dan voyeuris pada laki-laki diungkap oleh Safrita Aryana Harfah (Aryana Harfah, 1992). Dua kebutuhan yang saling melengkapi(berkomplementasi) ini tidak menimbulkan masalah etika visual karena adanya kesamaan saling membutuhkan dimana laki-laki cenderung ingin melihat dan mengintip hal-hal sensual sedangkan perempuan ingin memamerkan 65
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
bagian menarik yang disukai laki-laki. Dalam konteks ini: saling membutuhkan menjadi makna yang disepakati kedua pihak baik pihak lakilaki maupun pihak perempuan. Jika kesamaan makna ini terus terjadi pada kelompok khalayak sasaran tertentu maka dapat dikatakan bahwa makna yang terbentuk dari proses pembangkitan ikon eksternal ke dalam indeks pengalaman mental antar individu merupakan simbol. Munculnya kesamaan makna merupakan indikator adanya sudut pandang pemaknaan yang sama. Dalam konteks ini ikon telah mampu merubah dirinya sebagai representasi simbolik kontekstual, representasi kebutuhan dan keinginan simbolik. Ikon telah mampu mengaktivasi jaringan indeksikal pengalaman mental individu untuk saling merekatkan diri dengan jaringan indeksikal pengalaman mental individu lain membangun konstruksi sudut pandang pemaknaan. Permasalahan etika visual muncul ketika kesenjangan makna terjadi akibat perbedaan sudut pandang pemaknaan. Perbedaan sudut pandang pemaknaan dapat ditelusuri dengan mengeksplorasi makna representasi simbolik kontekstual dan makna representasi indeksikal eksistensialnya pada kedua pihak khalayak sasaran yang berseberangan pemaknaannya. Selain itu, permasalahan etika visual juga muncul karena perbedaan representasi kepentingan, representasi kebutuhan dan keinginan akibat dibangkitkan oleh terpaan konfigurasi ikon pesan pada iklan yang sama. Perbedaan representasi muncul karena perbedaan sudut pandang pemaknaan. Perbedaan sudut pandang pemaknaan muncul karena perbedaan referensi diri individu dan kelompok. Dalam konteks kelompok atau komunitas maka perbedaan makna muncul karena perbedaan karakteristik kelompok. Konflik etika visual terpicu ketika ikon pesan iklan dikonsumsi oleh khalayak yang bukan menjadi sasaran iklan. Keterbatasan media dalam menyembunyikan diri dari khalayak bukan sasaran inilah yang memicu konflik etika visual. Contoh: Ketika iklan tersebut dilihat oleh khalayak yang bukan sasaran--misalnya khalayak yang memiliki keyakinan bahwa perempuan bukan mahluk subordinat laki-laki atau khalayak yang memiliki keyakinan bahwa perempuan bukan mahluk yang menjadi objek kenikmatan laki-laki--maka ikon gunting dapat membangkitkan ingatan akan alat kekuasaan. Ingatan akan alat kekuasaan ini selanjutnya dapat membangkitkan ingatan lain bahwa perempuan adalah mahluk yang dikuasai. Ikon gunting mungkin juga dapat membangkitkan ingatan akan kekerasan dan pemaksaan. Alat kekuasaan, kekerasan dan pemaksaan serta berbagai ingatan lain tersebut merupakan indeks makna dalam wilayah pengalaman mental yang muncul karena dibangkitkan oleh ikon gunting. Indeks makna tersebut dapat terus berkembang membentuk jaringan makna yang disebut dengan jaringan makna indeksikal. Jaringan makna indeksikal ini ada karena adanya hubungan eksistensial dengan ikon sehingga disebut jaringan makna indeksikal eksistensial. Ketika khalayak perempuan yang berkeyakinan sama saling berinteraksi dalam suatu komunitas maka jaringan makna indeksikal eksistensial ini saling dipertukarkan. 66
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
Komunikasi pertukaran jaringan makna indeksikal eksistensial ini memungkinkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan akan makna tertentu hasil penafsiran terhadap konfigurasi ikon yang sama. Maknamakna hasil kesepakatan ini merupakan representasi mental hasil konstruksi sosial sehingga disebut dengan representasi simbolik. Perbedaan karakter antar komunitas sosial memungkinkan munculnya perbedaan makna kesepakatan antar komunitas sosial tersebut. Perbedaan karakter komunitas sosial merupakan konteks yang mempengaruhi perbedaan atas kesepakatan makna sehingga makna kesepakatan oleh komunitas sosial tertentu ini disebut dengan representasi simbolik kontekstual. Dengan demikian keberadaan ikon perempuan dalam iklan ini dapat dipandang oleh komunitas perempuan tersebut di atas sebagai representasi visual yang tidak relevan dengan khalayak sasaran yang menjadi pengguna parfum karena parfum tersebut dikonsumsi oleh laki-laki. Rangkaian indeksikal ingatan tersebut dapat terus berkembang hingga memungkinkan terbentuknya kesepakatan makna makna simbolikkontekstual atas konfigurasi ikon pesan misalnya munculnya makna pelecehan terhadap perempuan. Makna ini dimungkinkan terbentuk menjadi simbol keberadaan visual perempuan dalam setiap iklan “produkproduk yang digunakan laki-laki” pada khalayak pemirsa iklan tertentu. Sehubungan dengan makna tersebut maka konfigurasi ikon perempuan dalam setiap iklan “produk-produk yang digunakan laki-laki” dapat membangkitkan terbentuknya representasi pelecehan terhadap perempuan. Representasi pelecehan terhadap perempuan ini merupakan representasi simbolik kontekstual di wilayah mental beberapa khalayak perempuan dalam konteks kepemilikan karakter tertentu. Sementara itu, representasi aktualitas ekspresi perempuan di sisi lainnya dapat terbangkitkan oleh kelompok komunitas perempuan lain yang berbeda konteks karakternya. Perbedaan representasi antar komunitas yang berbeda konteks karakternya menimbulkan konflik makna antara makna baik dan makna buruk. Konflik makna yang muncul ini merupakan masalah etika visual akibat perbedaan representasi simbolik kontekstual yang dipertukarkan di wilayah mental antar komunitas khalayak. Kontradiksi konfigurasi ikon di wilayah eksternal pada tampilan iklan-- sebagai syarat representasi perhatian-- merupakan pemicu konflik ditingkat representasi ikonik. Konflik di tingkat representasi ikonik ini berlanjut di wilayah mental komunitas khalayak . Kontradiksi makna di wilayah mental yang dibangkitkan oleh konfigurasi ikon merupakan kesenjangan makna dan merupakan konflik di tingkat representasi indeksikal-eksistensial antar khalayak. Konflik di tingkat representasi indeksikal-eksistensial ini juga dapat berlanjut ke konflik di tingkat representasi simbolik-kontekstual di wilayah mental antar komunitas khalayak.
67
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Penutup Permasalahan etika visual merupakan permasalahan representasi yang terkait dengan proses pemaknaan terhadap konfigurasi visual dan verbal pesan iklan. Makna baik (makna etis) dan makna buruk(makna tidak etis) yang muncul dalam proses pemaknaan konfigurasi visual-verbal pesan iklan bersifat relatif atau tidak stabil. Perbedaan makna ini dipicu oleh adanya kontradiksi di tataran ikonik(berupa kontradiksi atas kombinasi/konfigurasi visual dan verbal di wilayah luar mental( eksternal)) . Sementara itu kontradiksi di tataran ikonik merupakan syarat representasi perhatian. Perbedaan makna terhadap konfigurasi visual verbal muncul karena perbedaan sudut pandang pemaknaan akibat perbedaan karakteristik dan referensi khalayak pemirsa iklan di wilayah dalam mental(internal). Dalam konteks semiotika maka permasalahan etika visual tidak semata-mata muncul di tataran ikonik tetapi permasalahan etika visual muncul karena kemampuan ikon memyentuh atau membangkitkan jaringan indeksikal-eksistensial dan jaringan simbolik-kontekstual dalam pengalaman mental khalayak dan antar komunitas khalayak. Permasalahan etika visual ada jika terjadi ketidaksesuaian makna akibat interaksi hasil proses pemaknaan khalayak sasaran dengan hasil proses pemaknaan khalayak bukan sasaran pesan. Ketidakmampuan media untuk menyembunyikan diri dari keterlibatan pengaruh khalayak di luar sasaran dapat memicu munculnya permasalahan etika visual. Namun bahasa visual justru diharapkan mampu menjadi solusi permasalahan ini. Indikator bahasa visual yang cerdas dan kreatif ditandai dengan kemampuan konfigurasi visual menjadi ikon yang dapat mengaktivasi proses seleksi khalayak, proses seleksi pemaknaan ditingkat jaringan makna indeksikaleksistensial hingga di tingkatan jaringan makna simbolik-kontekstual. ___________ Daftar Pustaka Aryana Harfah, S. (1992, january 18). Garis Mode dan Sensualitas. Editor , p. 46. Barry, A. M. (1997). Visual Intelligence: Perception, Image, and Manipulation in Visual Communication. Albany : State University of New York Press. Berger, A. A.(2000). Sign in Contemporary Culture. (Sunarto, I. Rosyidi, Eds., M.D. Marianto, &Sunarto, Trans.) Yogyakarta: Tiara Wacana. Bungin, B.(2001). Imajinasi Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik(1 st ed.). (A. Ma'aruf, & A. S. Alimi, Eds.) Yogyakarta: Jendela Burtenshaw, K., Mahon, N., Barfoot, C.(2006). The Fundamental of Creative Advertising. Laussane, Switzerland:AVA Publishing.
68
Drajatno Widi Utomo Etika Visual, Konflik Representasi dari Ikonik hingga Simbollik
Burton, G.(2008). Pengantar Untuk Memahami: Media dan Budaya Populer. (A. Adlin, Ed.) Yogyakarta: Jalasutra. Dyer, G.(1996). Advertising as Communication. New York: Routledge. Jefkin, F., (1996). Advertising.(A.Singgih, & Y. Sumiharti, Eds.) Jakarta: Erlangga Fiske, J. (2005). Introductions to Communication Studies (2nd.ed). (Y. Iriantara, & I. S.Ibrahim, Trans.) Yogyakarta: Jalasutra. Hembree, R. (2006). The Complete Graphic Designer. Massachusetts, USA: Rockport Publishers. Katelaar, P., & Gisbergen, M.V.(2006).Opennes in Advertising. Occurrence and Effect of Open Advertisements in Magazines. Nijmiegen Kress, G., & Van Leeuwen, T.(1996). Reading Images The Grammar of Visual Design. London: Routledge Lester, P. M. (2006) Visual Communication: Images With Messages. (4th ed). Belmont: Thomson Wadsworth. Littlejohn, S.W., & Foss, K.A. (2005) Theories of Human Communication. (8th, Trans.) Belmont: Thomson Wadsworth. Landa, R.(2006).Grafict Design Solution(3rd ed.). New York: Thomson Delmar Learning. Manurung, P.H.(Ed.)(2007). Komunikasi dan Kekuasaan. Yogyakarta: PISS Printing. Mulyana, D.(2000). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar.Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Newton, J. H. (2005). Visual Ethics Theory. In K. Smith, S. Moriarty, G. Barbatsis, & K. Kenney (Eds.), Handbook of Visual Communication, Theory, Methods, And Media (p. 433). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc. Noeth, W. (1995). Handbook of Semiotics (1st Paperback ed). (T.A. Sebeok, Ed) Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. O’Sulivan, T., Hartley, J., Saunders, D., Montgomery, M., & Fiske, J.(2001). Key Concepts in Communication and Cultural Studies. London: Routledge. Pricken, M.(2004). Visual Creativity: Inspirational Ideas for Advertising, Animation and Digital Design (1st ed.). (D.H. Wilson, Trans.) London, UK: Thames & Hudson. Rakhmat, J.(2005). Psikologi Komunikasi. Bandung:Remaja Rosdakarya. Sarantakos, S. (2005). Social Research (3rd ed.). New York: Palgrave Macmillan.
69
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Schroeder, J.E., & Borgerson, J.L. (2005). An Ethics of Representation for International Marketing Communication. International Marketing Review, Vol.22. Iss. 5, 578-102. Sobur, A.(2006). Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Talja, S., Tuominen, K., & Savolainen, R. (2005). "Isms" in information science: constructivism, collectivism and constructionism. Journal of Documentation , 79. (1997). The Work of Representation. In S. Hall, & S. Hall(Ed), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (pp.15-64). London : SAGE Publication Van Leeuwen, T., & Jewitt, C.(Eds.). (2007). Handbook of Visual Analysis. London: Sage Publication. Iklan Yang Kreatif, Pasti Juga Efektif.(2008,03). Majalah Cakram, p.30 Wright, R.(2000). Advertising (1st ed.)Essex: Pearson Education Limited Wells, W., Moriarty, S., Burnett, J., & Lwin, M. (2007). Advertising: Principles and Effective IMC Practice. Singapore: Pearson Education South Asia Pte Ltd.
70