ETIKA PERSEMBAHYANGAN PURNAMA DAN TILEM DI PURA AGUNG MUNCAK SARI DUSUN II PULUK-PULUK SARI DESA BERABAN KECAMATAN BALINGGI KABUPATEN PARIGI MOUTONG N L. Ayu Eka Damayanti Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email:
[email protected]
ABSTRAK Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan Agama Hindu tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga dalam setiap melaksanakan aktivitas Agama Hindu terutama dalam hal yadnya atau persembahyangan suci tentu tidak pernah lepas dari konsep tri kerangka dasar Agama Hindu. Namun pada kenyataan etika masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari dalam melaksanakan upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai dengan konsep tri kerangka dasar Agama Hindu. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong?, (2) Nilai-nilai Etika apakah yang terdapat dalam perembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong? Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan sumber data primer sebagai sumber langsung, dan sumber data sekunder adalah sumber tidak langsung. Dalam penelitian ini pemilihan informan dilakukan dengan cara Purposive Sampling. Dengan metode pengumpulan data Observasi, Wawancara, Studi Kepustakaan, dan Dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini mencakup tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1) Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai ajaran etika dalam melaksanakan persembahyangan seperti sikap duduk yang benar, nunas tirtha yang baik, dalam berbusana dan etika berbicara. 2) Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari nilai etika tata krama dan nilai etika kesopanan. Kata kunci: Etika, Nilai, persembahyangan, Purnama dan Tilem. ketentraman dan kebahagian hidup yang sejati
1. Pendahuluan Agama hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya bersumber pada kitab suci veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
dharma. Agama hindu dikatakan agama yang lues
seorang
dan fleksibel. Ini di karnakan agama hindu
secara mantap mengikuti semua ajaran agama
menyesuaikan dengan sistem desa, kala dan
yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang
patra. Pada zaman ini sangat sulit untuk
Maha
menemukan orang yang berbudi pekerti luhur,
Esa
itu,
maka
Bila
yang disebut moksartam jagaditha ya ca iti
akan
diperoleh
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
67
oleh karna itu harus selalu menanamkan ajaran
upakara dupa, bunga, kwangen, canang dan
agama Hindu pada anak ataupun umat Hindu.
lain sebagainya sudah diketahui oleh sebagian
Seperti
besar masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari.
dalam
keagamaan
tidak
melaksanakan lepas
dari
upacara
konsep
tri
Sesuai hasil observasi yang dilakukan
kerangka dasar agama Hindu, yaitu tatwa,
oleh peneliti di Dusun II Puluk-Puluk Sari
susila, dan upacara.
etika masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari
Persembahyangan Purnama dan Tilem
dalam
melaksanakan
upacara
merupakan bagian dari upacara Dewa Yadnya
persembahyangan belum sesuai dengan tata
dan tidak lepas dari konsep Tri Kerangka
cara berprilaku yang baik sesuai dengan ajaran
Dasar agama Hindu yang menjadi landasan
susila dalam tri kerangka dasar agama hindu.
terpenting dalam bidang tattwa atau filosofis
Seperti bagaimana sikap duduk yang benar
keTuhanan, bidang susila atau etika dalam
dalam sembahyang, bagaimana etika dalam
berprilaku, dan dalam bidang ritual atau
nunas tirta yang baik dan etika dalam
upacaranya. Secara realita yang ada disekitar
menggunakan busana ke pura. Hal inilah yang
khususnya di Dusun II Puluk-Puluk Sari,
belum dipahami dan dilaksanakan dengan baik
pelaksanaan persembahyangan Purnama dan
oleh masyarakat Dusun II Puluk-Puluk Sari
Tilem kalau dilihat sepintas tidak diragukan
dalam
lagi mengenai hal ritual atau upacaranya.
persembahyangan
Tetapi dalam hal etika atau susila kurang
Contohnya dalam muspa kramaning sembah,
dipahami
dan terkadang dikesampingkan.
sikap duduk wanita ada yang menggunakan
Sebagian besar masyarakat Dusun II Puluk-
sikap silasana ada yang menggunakan sikap
Puluk Sari di dalam melaksanakan upacara
bajrasana, hal inilah yang perlu dibenahi
persembahyangan Purnama dan Tilem kurang
supaya kebiasaan yang kurang baik tersebut
memahami secara benar bagaimanakah cara
tidak berlanjut pada generasi muda Hindu
beretika dengan baik dan benar. Hal inilah
kedepan khususnya masyarakat Dususn II
yang menjadi kebiasaan kurang baik oleh
Puluk-Puluk Sari.
masyarakat
Dusun
II
Puluk-Puluk
melaksanakan Purnama
upacara dan
Tilem.
Sari
Dalam penelitian ini peneliti memilih
khususnya dalam melaksanakan suatu aktivitas
meneliti persembahyangan Purnama dan Tilem
keagamaan.
karena persembahyangan Purnama dan Tilem
Tattwa merupakan inti dari ajaran
datang setiap 15 hari sekali sehingga sangat
agama hindu yang sudah dipahami secara
memungkinkan dan memudahkan peneliti
benar oleh masyarakat Dusun II Puluk-Puluk
untuk melaksanakan penelitian, dan disamping
Sari
pelaksanaan
itu pada persembahyangan Purnama dan Tilem
persembahyangan purnama dan tilem tersebut.
masih banyak umat yang melanggar tata cara
Seperti tattwa atau filosofis dalam sarana
beretika atau bersusila dalam melaksanakan
terutama
pada
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
77
persembahyangan di Pura Agung Muncak
umumnya dan menambah bahan pustaka
Sari, Dusun II Puluk-Puluk Sari.
mengenai etika persembahyangan Purnama
Berdasarkan
fenomena-fenomena
dan Tilem yang sesuai dengan ajaran susila.
tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti etika
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
persembahyangan Purnama dan Tilem dengan
sumbangan positif bagi pengembangan dan
judul „„Etika Persembahyangan Purnama dan
kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya tata
Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II
cara
Puluk-Puluk
Purnama dan Tilem. Manfaat Praktis.
Sari
Kecamatan
Balinggi
Kabupaten Parigi Moutong” Mengacu pada
beretika
dalam
Penelitian
Persembahyangan
ini
diharapkan
dapat
latar belakang yang dikemukakan di atas,
memberikan manfaat praktis sebagai berikut:
maka
1. Mendafatkan
dapat
dirumuskan
permasalahan
sebagai
Bagaimanakah
Etika
beberapa
berikut:
1.
Persembahyangan
Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban kecamatan
Balinggi
Kabupaten
Parigi
Moutong? 2. Nilai-Nilai Etika apakah yang
pengetahuan
yang
lebih
tentang etika, dalam ajaran Agama Hindu khususnya
bagi masyarakat Dusun II
Puluk-Puluk Sari. 2. Hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan
sumbangan pengetahuan bagi yang ingin lebih mendalami ajaran etika.
terdapat dalam Persembahyangan Purnama
3. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai
dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun
bahan acuan dan pertimbangan dalam
II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan
melaksanakan persembahyangan purnama
Balinggi Kabupaten Parigi Moutong? Adapun
dan tilem dengan etika yang baik dan benar.
tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong.2. Untuk mengetahui Nilai-Nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa
Beraban
Kecamatan
Balinggi
Kabupaten Parigi Moutong. Manfaat Teoritis penelitian diharapkan dapat memberi manfaat
Ruang
Lingkup
Penelitian,
peneliti
batasi pada etika persembahyangan Purnama dan Tilem dan nilai-nilai etika apakah yang terdapat dalam persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk
Sari
Kecamatan
Balinggi
Kabupaten Parigi Moutong. Nilai-nilai etika yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah nilai etika Umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu etika sikap duduk, etika nunas tirta, dan etika dalam berbusana.
bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada 78
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
Penelitian ini menggunakan pendekatan
manusia, manusia
dengan alam semesta,
kualitatif, penelitian kualitatif artinya prosedur
dan ciptaan-Nya. Ajaran etika dalam weda
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mencakup bidang yang sangat luas meliputi
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
antara lain: kebenaran, kasih, tanpa kekerasan,
orang atau perilaku yang dapat diamati .
kebajikan,
Sumber data dalam penelitian ini adalah data
keluhuran budhi pekerti,
primer dan data sekunder. Data primer adalah
buruk,
data yang diperoleh atau dikumpulkan secara
kebajikan, percaya diri, membina hubungan
langsung dari para informan di lapangan,
yang
sedangkan data sekunder diperoleh
atau
kewaspadaan, kesucian hati, kemasyuran,
dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber
kemajuan, pergaulan dengan orang-orang
kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang
mulia, mengembangkan sifat-sifat ramahdan
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
manis, persahabatan, dan lain-lain.
observasi, teknik wawancara, dokumentasi,
ketekunan,
pantang
serasi,
Hasil
kemurahan membenci
berjudi,
sifat
menjalankan
mementingkan
wawancara
hati,
persatuan,
dengan
I
Ketut
study kepustakaan. Instrumen utama dalam
Rawitana selaku Pemangku di Pura Agung
penelitian ini adalah manusia dalam hubungan
Mucak Sari menyatakan bahwa:
ini adalah peneliti itu sendiri sebagai human
“…Etika adalah tngkah laku seseorang yang dilakukan di dalam kehidupannya sehari-hari, cara bergaul atau cara berbicara, sopan santun, saling menghormati dan saling menghargai…”
instrumen,
maka
penelitian
ini
akan
menggunakan instrumen berupa : pedoman observasi, pedoman wawancara,tape recorder, kamera. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah display
(penyajian
reduksi
data),
dan
data, verifikasi
(penyimpulan). 2.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman etika sudah diketahui oleh Pinandita Pura Agung Mucak Sari yang nantinya bisa menjadi panutan oleh masyarakat
Hasil dan Pembahasan
Puluk sari.
a. Etika Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung
dusun II Puluk-
Mucak
Sari
Sejalan dengan wawancara dengan Ni Wayan Wati mengungkapkan pendapatnya
dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban
bahwa:
Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi
“…Ibu Wayan tidak tau apa itu Etika, karena ibu tidak pernah mendengarnya, dan ibu juga tidak tamat SD. Umat Hindu dusun II PulukPuluk Sari sangat kurang mendapat pembinaan mengenai ajaran-ajaran Agama Hindu…”
Muotong. Titib (1996:308) ajaran etika atau tata susila yakni tigkah laku besar
untuk
yang baik dan
kebahagiaan
keharmonisan hubungan
hidup
antara
serta
manusia
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat
disimpulkan
bahwa
pemahaman
dan Tuhan Yang Maha Esa, antar sesama WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
79
masyarakat yang awam mengenai ajaran-
ajaran tentang perbuatan yang baik dan
ajaran agama hindu tidak mengetahui ajaran
perbuatan yang buruk. Perbuatan baik itulah
etika. Hal ini di sebabkan karena kurangnya
supaya dilaksanakan dan perbuatan yang
pembinaan pada masyarakat sehingga ajaran
buruk itu di hindari.
etika tidak dapat di terapkan dengan baik dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem. Menurut I Ketut Rawitana sebagai
Tiap-tiap perbuatan itu berdasarkan atas kehendak atau budhi. Jadi apa yang di perbuat orang itu bermula dari kehendak, oleh karena
pemangku menjelaskan:
manusia di hadapkan dengan dua pilihan yaitu
“…etika dalam persembahyangan merupakan suatu prilaku atau tingkah laku dalam beragama, dalam hal ini etika di dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di dusun II Puluk-Puluk Sari perlu di tingkatkan, karena etika masyarakat di dalam melaksanakan persembahyangan masih kurang dengan apa yang di harapkan…”
pilihan pada yang baik dn buruk maka ia harus
Berdasarkan wawancara di atas, dapat di simpulkan
bahwa
pemahaman
etika
mempunyai kehendak bebas untuk memilih. Tanpa kebebasan itu orang tidak dapat memilih yang baik. Dalam hal ini manusia mempunyi kebebasan yang terbatas juga, yan membatasi itu adalah norma-norma yang berlaku. Ngurah (1998:135). Hal
ini
di
sebutkan
dalam
kitab
masyarakat dusun II Puluk-Puluk Sari dalam
Sarassamuccaya sloka 160 sebagai berikut:
Persembahyangan Purnama dan Tilem belum
Cila ktikang pradhana ring ddi wwang, Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta, Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kapr Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti.
sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Hal ini dapat di lihat dalam sikap persembahyangan masyarakat Puluk-Puluk Sari, baik itu sikap duduk
yang benar,
sikap
badan
dalam
sembahyang, sikap dalam nunas tirta yang baik, dan sikap dalam berbusana. Dari sikap tersebut masih terlihat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai ajaran etika dalam melaksanakan persembahyangan. Hal inilah yang perlu di pahami supaya etika dalam sembahyang dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Etika kesusilaan.
adalah
pengetahuan
Kesusilaan
berbentuk
Artinya: Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan (praktek susila). Dari kutipan tersebut di atas bahwa
tentang
susila atau etika merupakan hal yang paling
kaidah-
penting untuk diperhatikan dan diterapkan
kaidah yang berisi larangan-larangan atau
dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya
suruhan-suruhan
sesuatu.
dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem,
Dengan demikian dalam etika kita akan dapat
karena orang yang tidak melaksanakan susila
80
untuk
berbuat
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak berguna. Etika
Muspa
dalam
Persembahyangan
Purnama dan Tilem Etika di dalam muspa sangat penting diperhatikan
dalam
melakukan
secara jasmani, karena kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan persembahyangan terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa…” (Wawancara, Ni Ketut Warni). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat
di
simpulkan
bahwa
persiapan
persembahyangan yaitu: (1) etika sikap duduk,
persembahyangan harus dengan ketenangan,
(2) etika nunas tirta, (3) etika berpakaian.
sikap duduk yang baik, kesucian pikiran dan
Adapun uraiannya sebagai berikut:
kebersihan
1. Etika sikap duduk Menurut
Ni
mempengaruhi Nyoman
Karina
menjelaskan bahwa:
dan
“…sikap duduk dalam sembahyang duduk yang baik dan sopan menghadap padmasana…” (Wawancara, I Putu Sukanata,)” Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, mengenai
sikap dan
tempat duduk yang sudah dijelaskan di atas harus dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa di dalam melakukan terutama
pada
saat
Persembahyangan Purnama dan Tilem. Hasil wawancara dengan Ni Ketut Sukanadi menyatakan bahwa: “…Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang persembahyangan seperti pakaian yang bersih dan rapi.
kesejukan
ketenangan
hati
lahir dalam
melakukan persembahyangan. Hasil wawancara
“…Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau bersila untuk sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki…”
persembahyangan
badan
dengan I Wayan
Sudiarta menyatakan bahwa: “…Sikap tangan dalam melakukan Persembahyangan adalah sikap amustikarana yaitu bersikap tegap rata dengan ulu hati dan tiga jari dicakupkan menjadi satu diantaranya jari telunjuk dan dua ibu jari yang kanan di atas dan yang kiri di bawah. 2. Etika Nunas Tirtha Tirtha dan bija merupakan hal yang penting
dalam
melaksanakan
persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum dapat nunas
tirtha dan
bija. Biasanya tirtha dan bija ini dibagikan setelah muspa kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu ritual khusus. Hasil wawancara yang di laksanakan dengan I Ketut Rawitana sebagai pemangku menyatakan bahwa: “…Pembagian tirtha dan bija ini oleh pinandita atau pemangku dan di bantu oleh jero sedahan atau istri pemangku. Pembagian tirtha dan bija ini di lakukan secara teratur, muulai dari tempat duduk yang paling depan hingga ke belakang…”
“…Membersihkan badan dengan mandi dan keramas supaya badan kita benar-benar bersih WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
81
“…Etika dalam nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang benar dan tidak boleh sendiri. Namun pada kenyataanya masyarakat Puluk-Puluk Sari masih belum memahami cara nunas tirtha yang baik…” (wawancara, I Wayan Sukamada). Berdasarkan hasil wawancara di atas
Hasil wawancara Ni Nengah Eriya Wati menyatakan bahwa: “…Dalam penggunaan busana sembahyang di Pura Agung Muncak Sari khususnya dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem masyarakat dusun II Puluk-Puluk Sari menggunakan Busana Adat Bali…”
dapat disimpulkan bahwa di dalam pembagian tirtha harus di bagikan oleh pinandita atau pemangku, dan di dalam nunas tirtha harus mengambil sikap duduk yang benar. Namun pada
kenyataanya
masyarakat
masyarakat
Puluk-Puluk
khususnya
Sari
belum
memahami cara nunas tirtha yang baik. Hasil wawancara yang dilaksanakan
Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan kehidupan
masyarakat
lain, namun dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem ke Pura umat Hindu dusun II PulukPuluk
Sari
tetap
menggunakan
pakaian
sembahyang. Etika berbusana ke Pura agak terganggu
dan transparan sehingga warna kulit dan lekuk tubuh si pemakai kelihatan dengan jelas. Tentunya pemandangan seperti ini tidak patut untuk
Berdasarkan hasil wawancara di atas disimpulkan
bahwa
kurangnya
kesempurnaan dalam memercikan tirtha yang seharusnya dipercikan tiga kali, tetapi hanya dipercikan sekali, dan kurangnya pemahaman masyarakat
dalam
melakukan
penunasan
tirtha. 3. Etika dalam berbusana/berpakaian Penggunaan busana tidaklah terlepas dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena busana menjadi salah satu identitas suatu daerah yang dapat membedakan daerah satu dengan daerah yang lainnya. Busana adat suatu daerah akan menjadi ciri khas kebudayaan daerah tersebut. 82
sehari-hari
dalam
dengan munculnya model kebaya yang tipis
“…pembagian tirtha masih belum sempurna, karena dalam memercikan tirtha seharusnya tiga kali. Dan masih ada juga masyarakat belum paham dlam melakukan penunasan tirtha.
dapat
walaupun
menggunakan busana sama seperti masyarakat
dengan Ni Wayan Sukarini menyatakan bahwa:
bahwa,
ditampilkan
di
Pura,
saat
mana
diperlukan kesucian pikiran dalam melakukan persembayangan. Jadi etika dalam hal ini sangat penting dalam menjaga kesopanan dalam berpakaian atau berbusana. Hasil wawancara
dengan I Wayan
Sukamada menyatakan bahwa: “… model tentu saja mempengaruhi etika dalam busana sembahyang kepura, apalagi jaman sekarang banyak model-model pakaian adat terbaru yang seperti kurang pantas dikenakan saat akan bersembahyang. Contohnya untuk pakaian adat wanita, sekarang anyak model kebaya yang dibuat dengan gaya leher yang rendah atau lebar dan membuat bagian dada sedikit terekspos, kemudian untuk kamennya sekarang ini banyak yang memakainya lebih pendek dari semestinya. Bahkan ada yang sampai dilutut, sehingga seringkali terasa kurang etis. Tujuan WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
kita ke Pura untuk sembahyang bukan untuk pasang fashion show…”
destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga
Sejalan dengan wawancara di atas, Ni
hindari demi kesucian dan kelestarian budaya
Wayan Sukarini menyatakan bahwa:
Pakaian merupakan hal utama yang penapilan
bersaing. Hal itu yang harus kita
hindu kedepan supaya tidak punah.
“…Model semestinya jangan diterapkan pada busana sembahyang ke Pura, karena selalu mengikuti model atau trend, dengan menggunakan kebaya yang trasparan, kamen diatas lutut, dan warna yang mencolok bisa mengganggu konsentrasi orang lain…”
mempengaruhi
yang
seseorang
berpakaian yang sopan dan rapi adalah
Hasil dengan
wawancara yang dilaksanakan Ni
Nengah
Eriya
Wati
menyatakan bahwa: “…Etika berbusana dalam persembahyangan Purnama dan Tilem sangatlah penting, karena kita akan menghadap atau menyembah Hyang Widhi bukan untuk jalan-jalan, seharusnya pakai baju yang tidak mengganggu konsentrasi karena tujuan kita ke Pura bukan untuk bergaya tapi untuk sembahyang…”
cerminan mayarakat yang baik terutama dalam hal sembahyang ke Pura. Sembahyang sangat identik dengan kesucian, jadi pakaian yang digunakan
dalam
sembahyang
syaratnya
adalah bersih, suci dan dipakai secara rapi dan
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa etika berbusana ke Pura sangatlah penting, dimana kita harus memakai busana yang tidak mengganggu konsentrasi
sopan. Menurut
Ni
Nyoman
Yuli
Arini
“…Keindahan dalam berpakaian sembahyang bukanlah syarat yang utama, baik itu yang bersifat model, tren,gaul dan sebagainya tidak menjadi jaminan dalam melaksanakan persembahyangan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan kerapian pakaian saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan tidak mengganggu gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat mengganggu pernafasan dan tidak kaku dalm melakukan gerakan yang nantinya dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam melakukan muspa…” Etika berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh masyarakat supaya tidak dipakai sebagai ajang model berpakaian yang
lainnya
dalam
persembahyangan, jangan hanya memikirkan kesenangan
menjelaskan bahwa:
umat
diri
sendiri,
tetapi
pertimbangkan pikiran orang lain.
juga Seperti
yang di unggkapkan dalam sarasamuccaya, sloka 82 dan 86: Saivam pacyati caksusman manoyuktem caksusa Manasi vyakule jate pasyannapi na pasyati (sarasamuccaya,82) Artinya: Bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai barang, tiada lain hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang,, jika pikiran bingung atau kacau, tidk turut menyertai mata sungguh pun memandang kepada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikiran itulah sebenarnya yang mengetahui, sebab itu maka sesungguhnya pikiranlah yang memegang peranan utama. (Kajeng, 2010:71)
baru. Pakaian dengan model- model yang baru biasanya sering dipamerkan ke Pura saat sembahyang seperti
kain
kebaya,
sapari,
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
Dari sloka di atas bahwa pikiranlah yang menguasai
tingkah
laku
kita.
Maka 83
kendalikanlah pikiran menuju hal-hal yang
kurangnya kesadaran umat hindu dalam
positif denga berbagai latihan. Dan bahwa
melaksanakan persembahyangan Purnama dan
pentingnya berpakaian atau berbusana yang
Tilem. Sehingga masyarakat tidak mengetahui
sopan
tata cara
dan
rapi
dalam
melakukan
persembahyangan ke Pura akan membuat pikiran kita hal
ini
menjadi jernih, karena dalam
sangat
kesopanan
penting
dalam
menjaga
yang baik
dan benar dalam
bersembahyang. Berdasarkan pembahasan di atas, sesuai dengan teori tindakan menyatakan
bahwa
dalam berpakaian atau
semakin mengerti mengenai perilaku dan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
norma yang telah dilakukan orang beserta
bahwa etika
persembahyangan Purnama dan
alasannya, semakin baik pemikiran kita dalam
Tilem di Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa
mengarahkan seseorang untuk berperilaku baik
Beraban kurang memahami tata cara beretika
lagi. Dan didalam melakukan tindakan dalam
dalam bersembahyang. Hal ini dapat dilihat
pemakaian adat Bali memiliki nilai baik dalam
dari sikap sembahyang masyarakat Puluk-
hubungan antar manusia.
Puluk Sari, baik itu
b. Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam
dalam sikap duduk yang
benar, dan sikap dalam berbusana. Dari sikap
persembahyangnan
tersebut terlihat masih kurangnya pemahaman
Tilem
melaksanakan persembahyangan. Hal ini yang
dusun II Puluk-Puluk Sari Kecamatan
perlu
Balinggi Kabupaten Parigi Muotong
dipahami
supaya
etika
dalam
sembahyang dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
dan
di Pura Agung Mucak Sari
Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Mucak
Hasil wawancara yang dilaksanakan
Purnama
Sari Dusun II Puluk-
Puluk Sari yang dilakanakan oleh masyarakat
dengan I Wayan Jurka menyatakan bahwa:
merupakan
“…Kendala-kendala yang dihadapi dalam persembahyangan Purnama dan Tilem kurangnya kesadaran Umat Hindu khususnya Dusun II Puluk-Puluk Sari sebagian besar masyarakatnya lebih mementingkan pekerjaan daripada melaksanakan persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura. Khususnya para pria atau bapak-bapak kalau tidak diabsen mereka tidak mau datang ke Pura, dan banyak masyarakat yang tidak hadir di Pura kalau tidak diabsen…”
bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Berdasarkan hasil wawancara di atas
Hasil wawancara yang dilaksanakan
dapat disimpulkan bahwa yang
dihadapi
persembahyangan 84
kendala-kendala
dalam Purnama
melaksanakan dan
suatu
Persembahyangan
bentuk
Purnama
persembahan
dan
Tilem
mengandung nilai-nilai etika yang luhur yang mencakup beberapa aspek dari nilai-nilai etika sikap duduk, nilai-nilai etika nunas tirtha, dan nilai-nilai etika berpakaian. Berikut akan dijelaskan nilai-nilai etika yang terdapat dalam persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu:
dengan I Wayan Sukamada
menyatakan
bahwa:
Tilem, WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
“…Nilai etika pada persembahyangan Purnama dan Tilem yang saya ketahui, nilai etika dalam berpakaian dan sikap dalam persembahyangan…” 1. Nilai-Nilai
Etika
dalam
Persembahyangan Purnama dan Tilem Nilai-nilai
dalam
persembahyangan
Purnama dan Tilem perlu diperhatikan yaitu:
“…Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakan mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih dari Ida Sang Hyang Widhi usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk, kita tidak mengganggu atau menyinggung perasaan orang yang ada disamping kita. Dan janganlah lalu lalang didepan orang yang sedang muspa…”
(1) Nilai etika sikap duduk, (2) Nilai etika nunas tirtha, (3) Nilai etika
berpakaian,
Nilai etika berbicara. Adapun uraian sebagai
disimpulkan bahwa mengenai tempat duduk dalam persembahyangan harus menghadap
berikut:
kedepan atau menghadap pelinggih dan tidak
1. Nilai etika sikap duduk Hasil wawancara yang dilaksanakan dengan Ni Ketut
Berdasarkan wawancara di atas dapat
(4)
Sukanadi
menyatakan
boleh
mengganggu
orang
yang
berada
disamping. 2. Nilai etika nunas tirtha
bahwa: “…Etika sikap duduk usahakanlah ikap duduk itu dengan mengambil sikap badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak boleh bungkuk atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat. Usahakanlah duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus…” “…sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau besila untuk laki-laki, dan untuk sikap duduk untuk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki. Pada waktu mencari tempat duduk, tidak mengganggu tau menyinggung perasaan orang yang ada , disamping…”(Wawancara, I Wayan Sudiarta,)
Hasil wawancara
dengan I Putu
Sukanata mengatakan : “…tirtha ini ditunasi/dibagikan kemudian dipercikan di kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran, noda dan dosa. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas tersebut dipakai di jidat, dileher dan ditelan sebanyak tiga butir, (pemasangan bija) dilakukan setelah metirtha…” Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa tirtha yang dibagikan, dipercikan dikepala, diminum tiga kali dan
Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa karena dengan sikap duduk yang benar dan tempat duduk yang nyaman akan menghantarkan kita
menjadi
lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hasil wawancara dengan I
dipakai mencuci muka, agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci bebas daei sgala kotoran, noda, dan dosa. 3. Nilai etika berpakaian/berbusana Hasil wawancara dengan Ni
Wayan
Sukarini menyatakan bahwa: Ketut
Rawitana menyatakan bahwa:
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
85
“…Kalau menurut ibu nilai yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk wanita yaitu selendang atau biasa disebut anteng atau amed, baju kebaya yang dipakai tidak transparan, tidak mencolok biar tidak menjadi pusat perhatian, kamen yang sopan dan stagen atau longtorso…” Berdasarkan wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa semua itu yang harus dipakai oleh masyarakat khususnya para wanita
atau
generasi
muda
utnutk
Sri bhagavan uvaca Mayy avasya mano ye mam Nitya-yukta upasate sraddhaya parayopetas te me yuktatama matah (Bhagawadgita, XII-2) Artinya: Sri Bhagavan bersabda: Mereka yang memusatkan pikiranya pada-Ku, Dengan senantiasa mengendalikanya Dan dengan penuh kepercayaan Merekalah yang saya anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga. (Pudja,309:2010) Jadi,
pikiran
itulah
yang
akan
sembahyang, namun pada kenyataannya di
mengantarkan sembah bhakti kita kepada Idha
Pura Agung Mucak Sari sudah cukup bagus,
Sang Hyang Widhi, artinya jika sembahyang
walaupun
pikiran kita terfokuskan pada Ida
kurang
memahami
nilai
yang
terdapat dalam Busana Adat Bali yang dipakai. Hasil wawancara dengan I Wayan Jurka menyatakan bahwa: “…Nilai yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk pria adalah baju sapari, udeng atau destar, kamen, dan sesaput…” “…Kalau menurut bapak yang terpenting dalam pakaian adat bali untuk pria adalah Udeng dan Destar yang di kenakan di kepala dan di ikat ke depan dengan posisi ikatan menghadap ke atas agar pada saat sembahyang kita tidak berfikiran kesana kemari dengan tujuan bahwa kita siap untuk berkonsentrasi untuk mengikuti persembahyangan menujukan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa…” (I Nyoman Kariasa,) Seperti yang terdapat pada bhagawadgita
Sang
Hyang Widhi, maka puja bhakti kita akan sampai pada-Nya. Hasil wawancara dengan Ni
Nyoman
Karina menyatakan bahwa: “…Berpakaian yang ketat berwarna yang mencolok dapat menggngu pikiran orang yang melihatnya, ussahakan pakaian yang di gunakan sesuai dengan ukuran tubuh. Jangan sampai memperlihatkan bentuk atau lekukan dengan pakaian yang ketat atau transparan, selain itu masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang lain, sehingga dapat mengganggu pelaksanaan persembahyangan…” Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa berpakaian yang bersih, rapi, dan sopan akan membuat suasana
yaitu:
persembahyangan akan
Tesam aham samuddharta Mrtyu samsara sagarat Bhawami nachiorat partha Mayy avesita chetasam (Bhagawadgita, XII.7)
dan nyaman.
Artinya:
dalam persembahyangan Purnama dan Tilem.
Bagi mereka yang pikiran bertuju terus menerus kepada-Ku Wahai partha, aku segera menjadi penyelamat mereka Deari lautan penderitaan mahluk fana. (Pudja,312:2010)
Jadi nilai-nilai etika yang
86
menjadi
aman
Nilai etika yang di bahas dalam penelitian ini adalah etika Umat
persembahyangan
Umat
Hindu
terdapat
dalam
Hindu
dalam
persembahyangan Purnama dan Tilem yaitu WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
nilai etika kesopanan, contohnya etika dalam berbusana ke pura, seperti etika yang terdapat
kembali kerumah masing-masing…” (Wawancara, Ni Wayam Sukarini, ).
dalam Busana Adat Bali Wanita, nilai etika
Berdasarkan hasil wawancara di atas
yang terdapat dalam Busana Adat Bali untuk
dapat disimpulkan bahwa etika berbicara
Pria, model etika Busana sembah yang kepura
sangat
dan masih banyak lagi nilai-nilai etika yang
Persembahyangan dimana ketika memasuki
terdapat dalam persembahyangan Purnama dan
Pura
Tilem. Apabila Umat Hindu dalambersembah
Swastyastu
yang telah mengamalkan nilai-nilai etika
Sedharma, dan Umat harus bisa mengontrol
dalam kegiatan Persembahyangan niscaya
pembicaraannya
persembahyangan akan menjadi lebih.
dimulai.
Busana
Adat
Bali
sesungguhnya
memiliki nilai-nilai atau makna.
Dengan
demikian
di
Busana
Adat
Bali
buat
berdasarkan nilai yang ingin disampaikan. Setiap bagian Busana Adat Bali di harapkan memiliki nilai yang baik
ketika
3.
penting
wajib
didalam
mengucapkan saat
bertemu
proses
salam dengan
ketika
Om Umat
persembahyangan
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis
data
mengenai
Etika
Persembahyangan
purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-Puluk Sari Desa Beraban Kecamatan
Balinggi
Kabupaten
Parigi
seseorang menggunakanya. Hal tersebut sesuai
Moutong adalah dapat disimpulkan sebagai
dengan teori nilai yang menegaskan bahwa
berikut:
setiap obyek memiliki nilai termasuk pakaian
1. Etika
Adat Bali.
Purnama
dan
Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II
4. Nilai Etika Berbicara Hasil wawancara dengan I
persembahyangan
Puluk-Puluk Sari belum sesuai dengan Ketut
ajaran
Agama
Hindu.
Kurangnya
Rawitana menyatakan bahwa:
pemahaman masyarakat mengenai ajaran
“…Etika berbicara sangat penting dalam proses persembahyangan, karena itu sangat penting untuk dipahami misalnya ketika memasuki Pura wajib mengucapkan salam Om Swastyastu saat bertemu dengan umat sedharma, kemudian pada saat di Pura tidak boleh berbicara yang kotor-kotor atau berbicara kasar dan membicarakan orang lain…”
etika
dalam
melaksanakan
persembahyangan seperti etika sikap duduk yang benar, etika nunas tirtha dan bija yang baik, etika dalam berbusana, dan etika berbicara. Hal inilah yang perlu dipahami supaya etika dalam sembahyangn dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran
“…Hendaknya setiap umat harus mengontrol pembicaraannya ketika persembahyangan akan dimulai, dan ketika selesai sembahyang Umat Hindu tetap berbicara sopan sampai nunas tirtha dan bija selesai, sehingga diperbolehkan
Agama Hindu. 2. Nilai-nilai Etika yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama dan Tilem di Pura Agung Muncak Sari Dusun II Puluk-
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
87
Puluk Sari nilai etika tata krama dan nilai
Katjasungkana, Nursyahbani. 1998. Reformasi
etika kesopanan. Yang termasuk ke dalam
Pendidikan
nilai etika tata karma diantaranya, sikap
Remaja Anyar Pelajar. Pendidikan
duduk yang benar dalam sembahyang,
Nasional
nunas tirtha dan bija yang baik, sedangkan
Landas. Jakarta: Yayasan Penerus
yang
Nilai-nilai Perjuangan 45.
termasuk
kedalam
nilai
etika
kesopanan yaitu, berbicara yang penuh dengan sopan santun ketika masuk pura seperti
mengucapkan
salam
“Om
Swastyastu” pada semua Umat.
Mencegah
Kenakalan
Menjelang
Koentjaraningrat.
Era
1997.
Lepas
Pengantar
Antropologi Pokok-pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta. Marsuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta: PT. Prasetya Widya Pratama. Mikklesen, Britha. 1999. Metode Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Dharmayasa. 1995. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja
Diarsana, I Made. 2013. Motivasi Orang Tua Dalam Meningkatkan Pengetahuan Ajaran Agama Hindu Pada Anak Di Desa Riomukti Kecamatan Riovakava Donggala
Sulawesi
Tengah, Skripsi (tidak diterbitkan). Palu : Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Sentana Sulawesi
Pemberdayaan.
Upaya-upaya
Jakarta:
Yayasan
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nasution. 1996. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta:
Gajah
Mada
Universitas Press. Oka Punyatmadja, I.B.2002. Pancha Cradha.
Tengah. Jalaluddin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta:
Kaplan, David dan A.A. Maners. 1999. Teori Landung
Penerjemah. Yogya :
Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi. Purwanto,
PT. Raja Grafindo Persada.
Budaya.
dan
Obor Indonesia.
Grafindo Persada
Kabupaten
Partisipatoris
Ngalim.
2003.
Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Simatupang Pusta ka
Belajar. Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Bandar Maju.
88
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016