INTERPRETASI MAKNA METAFORA BAHASA JEPANG: KAJIAN TERHADAP STILISTIKA DAN ESTETIKA (Bahan pemikiran bangsa Indonesia dalam perkembangan bahasa dan pembangunan karakter bangsa) Esther Hesline Palandi
[email protected] Terbentuknya bahasa –dan budaya– Jepang tidak dapat lepas dari perilaku bangsanya termasuk masa lalu atau sejarah lahirnya bangsa tersebut. Latar belakang apakah yang mendorong bangsa Jepang dapat mencapai kejayaan? Menurut Badib (1997:3-7), yang paling menonjol adalah latar belakang yang mendasari kehidupan bangsa Jepang membentuk jatidiri dan sikap berbahasa mereka. Beliau juga mengatakan bahwa dalam proses pembentukan jatidiri itu, bangsa Jepang mengalami berbagai macam penempaan yang disebabkan oleh alam (natural changes, adaptation, and destruction) dengan perubahan sosial dan kultural. Badib (2004:1) juga menegaskan, untuk memahami jatidiri bangsa Jepang dan bahasa Jepang secara komprehensif, tepat dan lengkap, perlu penilaian dari berbagai perspektif, antara lain synchronically (berdasarkan kondisi sekarang) dan diachronically (berdasarkan kondisi sejarah). Setiap Bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, baik mengenai sistem bunyi, struktur kalimat, maupun tulisan atau hurufnya. Demikian pula bahasa Jepang yang merupakan bahasa resmi negara Jepang, memiliki ciri-ciri khusus, dalam hal: (1) sistem bunyi, (2) struktur kalimat, maupun (3) tulisan atau hurufnya. Menurut Badib (1999:23): (1) sistem bunyi bahasa Jepang berbentuk sukukata terbuka, artinya setiap pengucapan sukukata diikuti vokal (huruf hidup) dan tidak mengenal konsonan mati (konsonan pada akhir sukukata), kecuali huruf n, akan berbunyi m, n, atau ng, tergantung bunyi konsonan yang mengikutinya; (2) struktur kalimat bahasa Jepang bersusunan SO-P (Subjek Objek Predikat), berbeda dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang berciri S-PO; dan (3) tulisan atau huruf Jepang, selain Kanji yang berasal dari China (Tiong Kok kuno), bangsa Jepang juga menciptakan sendiri huruf-huruf Kana (Hiragana dan Katakana) yang merupakan penyederhanaan dari Kanji. Dalam hal berkomunikasi lisan maupun tulis, bangsa Jepang sangat menyukai estetika atau keindahan dan daya tarik. Estetika atau keindahan dan daya tarik dapat ditemukan dalam warna, bentuk maupun bunyi. Hal tersebut dikarenakan sifat dan manifestasi kehidupan jiwa (batiniah) dapat dituangkan dalam wujud lahiriah. Artinya, kehidupan dapat diekspresikan dalam berbagai eksistensi warna, bentuk, dan bunyi; sehingga wujud lahiriah mencitrakan sifat/watak kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan pada karya-karya seni dan sastra yang memiliki style khusus, antara lain gaya metafora yang banyak digemari dan digunakan oleh para seniman dan sastrawan. Para sastrawan menyampaikan ide atau gagasan cerita dalam karyanya yang berisi teks & konteks, baik berupa narasi pengarang maupun dialog para tokoh dalam cerita. Mereka menyampaikan ungkapanungkapannya sedemikian rupa untuk menuangkan sifat dan manifestasi kehidupan jiwa atau batiniah dalam bentuk lahiriah melalui karya-karyanya. Fenomena inilah yang mendasari penulis untuk mentransliterasikan ungkapan-ungkapan dalam bentuk metafora, terutama yang terdapat dalam bahasa Jepang. Para pengarang Jepang menggunakan bentuk “stilistika” dengan konsep “cita-rasa khas Jepang”, seperti yang disampaikan oleh Matsubara (1987:1) antara lain: miyabi (keanggunan), mono no aware (kepiluan alam), wabi (keharmonisan) dan sabi (kesederhanaan). Secara umum, “cita-rasa khas Jepang” tersebut merupakan arus dan bentuk pemikiran yang dapat dikatakan dominan dan kuat, tercermin dalam retorika berbahasa dan menerapkan keseimbangan hidup dengan budi pekerti yang halus. Sehingga para pengarang Jepang menciptakan “estetika sastra” berdasarkan arus dan bentuk pemikiran bangsanya terhadap “cita-rasa khas Jepang” tersebut sebagai faktor primer sekaligus indikator apakah suatu wacana dapat dikatakan sebagai teks sastra atau bukan.
1
2
Pemikiran bangsa Jepang dipengaruhi oleh filsafat Cina, yaitu konsep “Tao & Konfucianisme”. Ajaran Tao yaitu kehidupan manusia yang ‘lemah-lembut’ dalam bersikap dan berperilaku. Konfucianisme juga menekankan ajarannya agar manusia sebagai mahluk alam, lebih mementingkan hubungan dengan sesamanya. Akulturasi antara konsep “cita-rasa khas Jepang” dengan konsep “Tao & Konfucianisme” telah mengkristal menjadi sebuah konsep budaya Jepang, yang mereka sebut “amae”. Konsep ini menekankan tingkat kesopanan tinggi, dan menjadi aturan konvensional yang disepakati bangsa Jepang turun-temurun hingga sekarang. Hosokawa (2002:33) menambahkan tiga buah konsep budaya Jepang yang menopang/menjadi dasar ungkapan bahasa Jepang, yaitu: kankakusei (intuisi), kansetsusei (ketidak-langsungan), dan kyoukansei (rasa simpati). Ketiga “konsep budaya” ini menjadi landasan bahasa Jepang yang selalu diekspresikan secara tidak langsung dan menjadi akar atau cikal-bakal munculnya gaya bahasa “metafora”. Ini adalah bukti bahwa bahasa Jepang merupakan bahasa yang memiliki tingkatan emosional yang dilandasi konsep “damai”「和」[wa] sehingga berbeda dengan bahasa-bahasa lain. Salah satu usaha bangsa Jepang untuk mempertahankan konsep “damai” tersebut nampak dalam cara bertindak-tutur. Contoh:「言 わぬが花」[iwanu ga hana] “tidak berbicara adalah bunga” mencitrakan “diam lebih baik daripada bicara” (sumber: SHARP Japanese Electronic Dictionary). Maksud dari “tidak berbicara” adalah pada kondisi tertentu seseorang tidak perlu memberi respon pada stimuli yang dapat menimbulkan kemarahan lawan bicara. Fenomena konsep budaya tersebut, merupakan alasan penulis untuk menginterpretasikan maksud penutur/pengarang Jepang menyampaikan ide-idenya, dalam bentuk ungkapan-ungkapan metaforis. Hal lain yang diperlukan dalam interpretasi metafora adalah adanya perspektif pragmatik, yaitu tataran linguistik yang membahas makna dalam interaksi, yakni makna penutur dan yang dinegosiasikan dengan makna petutur (Thomas 1995, dalam Gunarwan, 2005:1). Jadi, negosiasi makna tersebut menjadi sangat penting dan bermanfaat dalam proses interaksi, dalam hal ini pembacaan, penilaian, dan pemahaman sebuah karya. Negosiasi makna diperlukan dalam interpretasi metafora, karena metafora memiliki dua makna, yaitu makna eksplisit (surface meaning) dan makna implisit (underlying meaning). Kedua makna tersebut identik dengan filosofi mentalisme dan materialisme. Mentalisme mengacu pada eksistensi jiwa manusia, sedangkan Materialisme mengacu pada badan manusia; sebagaimana disampaikan oleh Tampubolon (1987: 2-3). Kedua makna tersebut disebut juga ‘makna konseptual’ dan ‘makna asosiatif/kontekstual’. ‘Makna konseptual’ adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata, terlepas dari konteks apapun; sedangkan ‘makna asosiatif/kontekstual’ adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata, berkenaan dengan sesuatu di luar bahasa atau terikat oleh konteks. Newmark (1988:104) mengakui bahwa metafora merupakan salah satu masalah yang sering ditemui dalam penerjemahan atau penginterpretasian oleh petutur (pembaca atau pendengar). Dalam komunikasi langsung, Illocutionary force , yaitu akibat dari tuturan, yang terjadi pada petutur (pendengar/pembaca); pada ujaran yang pertama kali oleh penutur, makna sesungguhnya belum dapat diprediksi oleh petutur. Masalah tersebut muncul, karena adakalanya metafora muncul dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Hal itu merupakan dinamika, perkembangan suatu pembicaraan yang –pada akhirnya– memberikan ‘clue’ (petunjuk) menjadi ‘paham’. Perkembangan demikian juga bukan sesuatu yang dapat diprediksi, namun bergantung pada masing-masing individu pada setiap situasi. Fenomena ini sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam sastra, seperti diketahui, terkandung unsur-unsur seperti keutuhan bahasa, keragaman ungkapan, keseimbangan kalimat serta keselarasan kata, yang dipilih pengarang, dan diolah dengan gaya penuturan yang khas. Di antara gaya penuturan yang ada, metafora merupakan salah satu gaya penuturan untuk mengekspresikan makna tertentu dan memberi daya tarik bagi pembaca/pendengar. Melalui pengolahan gaya bahasa, seorang sastrawan dapat mengungkapkan pikiran maupun perasaannya dengan daya estetika pilihannya. Bahasan tentang estetika secara garis besar ditinjau dari “kajian filsafat”. Estetika sebagai salah satu kajian filsafat, dibahas dalam berbagai
3
cabang, yaitu: (1) filsafat keindahan (philosophy of beauty), (2) filsafat cita-rasa (philosophy of taste), (3) filsafat seni (philosophy of art), dan (4) filsafat kritik (philosophy of criticism). Filsafat tersebut pada awalnya muncul sejak jaman Yunani Kuno (Gie, 1983:14). Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa estetika merupakan suatu kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan suatu penciptaan karya seni/sastra, termasuk pengalaman, penilaian, serta perenungan terhadap penciptaan tersebut. Sedangkan Stilistika menurut Turner (1973:1) adalah bagian dari ilmu bahasa yang berkonsentrasi pada variasi penggunaan bahasa, dengan perhatian utama pada penggunaan bahasa dalam sastra secara sadar dan kompleks. Jadi, Stilistika bukanlah kata bergaya, tetapi penggunaan bahasa yang mempunyai koneksi dengan penggunaan ungkapan yang lain. Metafora sebagai produk bahasa penutur, pada dasarnya terkait dengan syarat-syarat keindahan (unsur pembentuk estetika). Syarat-syarat keindahan menurut Sumardjo (1991:4) antara lain keutuhan, keselarasan, keseimbangan, serta fokus pada pusat penekanan makna. Selanjutnya Parker (dalam Gie, 1983:46-48) menyimpulkan enam prinsip estetika terutama yang terkandung dalam karya seni termasuk sastra, yakni: (1) prinsip kesatuan atau keutuhan (the principle of organic unity), (2) prinsip tema (the principle of theme), (3) prinsip variasi tema (the principle of thematic variation), (4) prinsip keseimbangan (the principle of balance), (5) prinsip perkembangan (the principle of evolution) dan (6) prinsip tata-jenjang (the principle of hierarchi). Pembagian prinsip-prinsip tersebut dinamakan Logika Bentuk Estetika (the logic of aesthetic form). Metafora sebagai fenomena bahasa, diungkapkan berdasarkan 原理 [genri] yaitu principle (prinsip) atau theory (teori) dalam bentuk “alasan & manfaat” yakni ‘prinsip kerja-sama’ dan ‘prinsip kesopanan’ melalui ungkapan (maksim) yang diadopsi dari “klasifikasi retorika” oleh Leech (1983:16) dan Cruse (2000:363-366). Menurut Mizutani (1986:148), agar komunikasi berjalan lancar, makna penutur dapat dipahami petutur, maka seseorang seharusnya dapat membuat kalimat yang baik dan benar secara gramatikal dan sesuai dengan situasi sosial dan budaya yang berlaku. Itulah yang disebut dengan prinsip kerjasama. Sedangkan yang disebut dengan prinsip kesopanan menurut Brown & Levinson (1987, dalam Aridah, 2001:2), adalah kalimat yang baik dan benar secara gramatikal, sesuai dengan aturan-aturan ideologi, sosial dan kultural yang berlaku pada masyarakat tertentu, sebagai wujud eksistensi hukum dasar interaksi manusia. Demikianlah metafora, bagian dari kehidupan manusia dalam berbahasa, secara umum didefinisikan Renkema (1997:111) demikian, いん メタファーは
ゆ ,隠
あん ,喩 、
ゆ ,暗
い ,喩 と も
げん ,言 い 、
ご ,言
,語
ひょう
げん しゅう じ ぎ ほう ひ ゆ ,表 ,現における ,修 ,辞 ,技 ,法のひとつ。 ,比 ,喩 たと めい じ のうち ,喩えであることを ,明 ,示する「…のよう…」のような けい
しき もち さ てん けい てき ,形 ,式を ,用いないものを ,指す。 ,典 ,型 ,的には じん せい けい しき もの ごと 「 ,人 ,生はドラマだ」のような ,形 ,式をとる ,物 ,事 そく めん よ ぐ たい てき かん のある ,側 ,面を ,縒り、 ,具 ,体 ,的なイメージを ,喚
き
こと ば お か かん けつ ひょう げん ,起する ,言 ,葉で ,置き ,換え、 ,簡 ,潔に ,表 ,現 き のう も にち じょう てき す る ,機 ,能 を ,持 つ 。 メ タ フ ァ ー は ,日 ,常 ,的 に もち し さく そう ぞう ,用いられるものから、 ,詩 ,作などにおいて ,創 ,造される しん
き ,新
さま ざま れべる ,レベルにわたる。 ,奇なものまで、 ,様 ,々な
4
Metafora disebut juga in’yu atau an’yu (kiasan), yakni sebuah retorika yang berhubungan dengan ungkapan kebahasaan. Menunjukkan sesuatu dengan tidak menggunakan pola ‘no you da’ yang menjelaskan sesuatu dengan umpama. Secara realita, metafora menggunakan formalitas langsung, contoh: “kehidupan adalah drama”, segala sudut digantikan dengan kata-kata yang menggugah gambaran secara umum dan memiliki fungsi mengungkapkan dengan ringkas dan tepat. Metafora, mulai dari yang seringkali digunakan sehari-hari, sampai dengan yang baru diciptakan dalam penulisan sajak dan lain-lain, meliputi beragam tingkat. Mooij (1976:1) dan Hasan (2005:1), mengemukakan alasan-alasan bahwa metafora banyak digunakan dalam berbagai teks atau komunikasi kebahasaan seperti dalam percakapan sehari-hari, iklan, artikel-artikel dalam surat kabar, serta dalam novel dan puisi. Alasan-alasan penggunaannya antara lain: (1) metafora dianggap sebagai alat yang efektif menggambarkan/ menginterpretasikan sesuatu/perihal dalam bentuk harfiah/tekstual. (2) metafora menunjukkan ciri efisien, karena dapat menjelaskan situasi, konsep, ide/gagasan dengan lebih ringkas, komprehensif dan kontekstual; sekalipun diungkapkan secara harfiah/tekstual. Contoh, 「 持 ち 駒 」 [mochi-goma] (mochimasu = membawa, koma = kuda catur) “kuda pembawa barang dalam perjalanan” mencitrakan: “orang yang diajak serta untuk membawa barang bawaan” (sumber: Subandi (2000:202). Nampak dalam contoh, metafora digunakan dengan alasan kedua-duanya, yakni: (1) alat yang efektif, menggambarkan/ menginterpretasikan “orang” sebagai “kuda”. (2) menunjukkan ciri efisien, karena dapat menjelaskan hubungan interpersonal, positif: bermakna belas-kasihan; sebaliknya negatif: bermakna ironi/ejekan. Mengungkapkan dan memahami sebuah teks, terutama yang mengandung metafora, perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai ‘muka’ antar pembicara dan pendengar. Menurut Goffman (dalam Wardaugh, 1986:284), pada percakapan yang kooperatif, pembicara dan pendengarnya saling menunjukkan ‘muka’ baik disadari maupun tidak. ‘Muka’ tersebut merupakan ‘citra-diri’ dari pembicara dan lawan bicara. ‘Muka’ yang ditunjukkan tersebut berbeda-beda tergantung pada situasi. Allan (1986:10) menyampaikan bahwa suatu saat ‘muka’ akan mencitrakan ‘hubungan teman dekat’, namun di saat lain ‘muka’ tersebut dapat mencitrakan ‘hubungan guru dan murid’. Jadi petutur harus dapat menafsirkan/memahami apa yang disampaikan penutur. Long (1995:21) menyimpulkan bahwa ‘muka’ yang ditunjukkan oleh penutur dan petutur, memiliki dua kemungkinan yaitu ‘muka positif’ (正の顔/sei no kao) dan ‘muka negatif’ (負の顔/fu no kao). ‘Muka positif’ terwujud apabila penutur memberi ‘stimuli positif’ ataupun petutur merasa aman terhadap apa yang diterima/didengar sehingga memberi ‘respon positif’; sedangkan ‘muka negatif’ terwujud bila penutur memberi ‘stimuli negatif’ ataupun petutur merasa terganggu terhadap apa yang diterima/didengar sehingga memberi ‘respon negatif’. Brown & Levinson (1987, dalam Aridah, 2001:3) mengutarakan bahwa penutur perlu menggunakan strategi linguistik yang sesuai dengan kelompok petutur. Artinya, pemilihan strategi oleh penutur tersebut perlu dikaitkan dengan perspektif pragmatik (prinsip/teori/filosofi) yang dimiliki petutur/kelompok penerima (pembaca/pendengar)nya. Perspektif Pragmatik bahasa Jepang, nampak dalam cara penyandian pesan yang berkaitan dengan konteks budayanya. Bangsa Jepang memiliki intuisi terhadap stimuli. Okabe (1983, dalam Nurkamto, 2001:213) menyatakan bahwa bangsa Jepang lebih bergantung pada komunikasi non-verbal sebagai perwujudan dari budaya konteks tinggi (high context culture). Clancy (1990:27) mengutarakan bahwa the typical style of communication in Japanese is intuitive and indirect. Menurut Smith (1985, dalam Nurkamto, 2001:213) bangsa Jepang sering menyampaikan pokok pembicaraannya dengan cara berputar-putar, menghilangkan bagian tertentu, mengaburkan hal yang dimaksud, sehingga pendengar diharapkan dapat memahami maksud penutur yang sebenarnya. Oleh karena itu untuk memahami maksud pembicara/penutur, pendengar/petutur harus memiliki ‘metakognisi’ atau pengetahuan yang cukup tentang wacana (teks & konteks) bahasa Jepang, terutama meliputi latar belakang sosial dan budaya Jepang.
5
Fenomena budaya Jepang seperti tersebut di atas, merupakan alasan penulis untuk membuktikan bahwa dalam memahami makna metafora diperlukan intertekstualitas. Intertekstualitas adalah keterkaitan antar teks maupun konteks dalam cerita. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas makna dalam interpretasi. Bentuk konkrit dari intertekstualitas, yaitu berupa kata-kata, frase maupun kalimat. Petutur (pendengar/pembaca) dan peneliti, yang menggunakan pendekatan intertekstualitas, kemungkinan besar dapat menemukan kelebihan-kelebihan melalui transformasi teks dalam berbagai dimensi sosio-kultural secara kontekstual. Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan mengapa Metafora unik untuk dikaji, sesuai dengan hasil pengamatan sementara oleh peneliti. Di samping itu, sebagian besar penulis yang menggunakan metafora; ingin menyampaikan “pesan-pesan tertentu”. Sesuai pendapat Palmer (2003:23), pesan-pesan adalah interpretasi dari sesuatu/perihal/peristiwa. Apa yang dibawa oleh pesan dalam suatu “formulasi makna”, merupakan penjelasan dari teks yang disembunyikan. Teks yang dimunculkan, mengatakan sesuatu/perihal/peristiwa yang lain, bukan yang sebenarnya. Metafora dalam “formulasi makna” (yang dimunculkan dan yang disembunyikan) banyak tercermin dalam penggunaan kata, frase, dan kalimat. Contoh: 「その小さな光は僕の指の本の少し先にあっ た。」[Sono chiisa-na hikari wa boku no yubi no moto no sukoshi saki ni atta.] (Sumber: novel Norwei no Mori, karya Haruki Murakami). Metafora tersebut memberikan pesan-pesan atau interpretasi yang merupakan hasil “formulasi makna” dari “Sinar kecil itu berada sedikit di depan ujung jariku.” (dimunculkan) dan “Sedikit harapan itu berada sedikit di hadapanku.” (disembunyikan). Alasan bersifat intrinsik tersebut mendorong peneliti berusaha menganalisis dan mendeskripsikan stilistika metafora. Demikianlah fenomena-fenomena yang terjadi dalam penulisan dan pemaknaan metafora bahasa Jepang. Fenomena-fenomena tersebut merupakan bahan pemikiran bangsa Indonesia dalam perkembangan bahasa dan pembangunan karakter bangsa. Mari kita kembangkan dan bangun karakter bangsa yang bermartabat. DAFTAR PUSTAKA Allan, Keith (1986). Linguistic Meaning. London: Roudledge and Keagan. Aridah (2001) “Politeness Phenomenon as a Source of Pragmatic Failure in English as a Second Language” dalam Jurnal TEFLIN Vol.12 No.2, Agustus 2001. Penerbit: Badan Kerjasama Antar Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Indonesia & SEAMEO Regional Language Centre, Singapore. Badib, Abbas (1997) “Asal-usul Bangsa dan Bahasa Jepang dan Hubungannya dengan Bangsa dan Bahasa Indonesia: Suatu Tinjauan Hipotesis” Makalah Seminar Sehari Bahasa dan Budaya Jepang, 22 Maret 1997 di Program Studi Bahasa Jepang, IKIP Negeri Surabaya. Unpublished. Badib, Abbas (2004) “The Language Affiliation between Japanese and ASEAN Languages and Beyond” Makalah Seminar Internasional Bahasa, Budaya dan Sastra Jepang, 6-8 Desember 2004 di hotel Majapahit Surabaya. Penyelenggara: Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Surabaya. Unpublished. Badib, Abbas (1999) “The Ancient and the Modern Japanese People: Their Origin, Their Language, and Their Possible Link with the Indonesian People” Makalah Hasil Penelitian di ASEAN Study Program, Nagoya University, Japan. Unpublished. Clancy, P. (1990) “The Acquisition of Japanese” in D. I. Slobin (ed.), The Cross-Linguistic Study of Language Acquisition, Vol. 1. Hillsdale & New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
6
Cruse, D. Alan (2000) Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford Univ. Press. Gie, The Liang (1983) Garis Besar Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Supersukses. Gunarwan, Asim (2005) “Pengajaran Bahasa di Dalam Konteks Multikultural: Perspektif Pragmatik” Makalah Seminar Nasional Bahasa, Budaya dan Sastra Indonesia dalam Perspektif Multikulturalisme. di Bangsal Pancasila, Surabaya. 20 Januari 2005. Penyelenggara: Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya. Unpublished. Hasan, Diana Chitra (2005) “Penerjemahan Metafora: Sebuah Cerminan Budaya” Makalah International Conference on Translation. di hotel Novotel, Solo. 14-15 September 2005. Penyelenggara: Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Satya Wacana, Solo. Unpublished. Hosokawa, Hideo (2002) “Consideration of ‘Culture of Individual’ Theory: The Meaning and The Problem of the Linguistic and Cultural Education in the field of Japanese Language Education” diunduh dari: http://www.gsjal.jp/hosokawa/dat/konobunka_en.pdf Leech, Geoffrey N. (1983) Principles of Pragmatics. London: Longman. Long, Eric (1995) 「源氏物語における談話分析の試み」[Genji Monogatari ni Okeru Danwa Bunseki no Kokoromi] dalam Jurnal Nihongogaku Vol. 14, p.20-27. Tokyo: Meiji Shoin. Matsubara, Saburo (1987) Sejarah Kebudayaan Jepang –Sebuah Perspektif–. Penanggung-jawab terjemahan: Siti Dahsiar Anwar, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Kementrian Luar Negeri Jepang. Mizutani, Osamu & Nobuko Mizutani (1986) Nihon-go Notes 2: Expressing Oneself in Japanese. Japan: The Japan Times, Ltd. Mooij, J. J. A. (1976) A Study of Metaphor. Amsterdam: North Holland Publishing Company. Nurkamto, Joko (2001) “Berbahasa dalam Budaya Konteks Rendah dan Budaya Konteks Tinggi” dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia, Thn.IX No.2, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Palmer, Richard E. (2003) Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah: Musnur Hery & Damanhuri M., Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Renkema, Jan (レンケマ・ヤン) (1997) Discourse Studies: An Introductory Textbook. Penerjemah: Noriyuki Nakamura (中村 則之) (1998) 「伝わることば: 談話 コミュニケ-ションの基 礎 知識 - 言語 頭語弁」 [Tsutawaru kotoba: Danwa Komyunikeeshon no Kiso Chishiki – Gen’go Tougoben] Kansai: Kansai Univ. Press (関西大学出版部). Subandi (2000) “Terjadinya Makna Idiomatikal Kata Majemuk Bahasa Jepang, Ditinjau dari Konsep Metafora” dalam Jurnal Verba, Vol.1 No.3 Juni 2000, p.196-205. Surabaya: Unesa Unipress. Sumardjo, J. & K. M. Saini (1991) Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tampubolon, D. P. (1987) “Semantik Sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik” Jurnal Pellba I (Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya, Pertama), Hak Cipta: Lembaga Unika Atma Jaya. Jakarta: Penerbit Arcan. Turner, G. W. (1973) Stylistic. Australia, Victoria & England, Middlesex: Penguin. Wardaugh, Ronald (1986) An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
7
---oooOooo---