ESTETIKA YANG TERKANDUNG DALAM KUMPULAN PUISI ARISHI HI NO UTA KARYA NAKAHARA CHUUYA (Melalui Pendekatan Ekspresif) Oleh Revyna Nurlisa Bella1 180610070096
ABSTRAK Pada penelitian kali ini penulis menganalisis mengenai estetika serta faktorfaktor yang mempengaruhi puisi karya Nakahara Chuuya dalam kumpulan Arishi Hi no Uta. Puisi disajikan dalam ragam bahasa yang abstrak sehingga puisi memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan karya sastra lainnya. Puisi modern merupakan sajak bebas dan tidak terikat. Penulis menggunakan pendekatan ekspresif. Berdasarkan pendekatan tersebut penulis menemukan bahwa terdapat luapan ekspresi penyair yang dituangkan pada alam kesadaran yang menjadi estetika dalam puisi karya Nakahara
Chuuya.
Selain
itu
estetika
memberikan
pengaruh
terhadap
pembentukan makna puisi yaitu memberikan nilai kehidupan atau pengalaman hidup manusia terhadap fenomena yang terjadi. Efek-efek estetika yang diberikan Nakahara Chuuya dalam setiap puisinya, mampu membuat penulis dapat memaknai dari puisi-puisi tersebut. Kata Kunci
: Estetika, Nakahara Chuuya, Pendekatan Ekspresif
ABTRACT In this study the author analyzes the aesthetic and the factors that influence in the poem collection “Arishi Hi no Uta” works of Nakahara Chuuya. Poems are presented with various kinds of abstract language so that the poems is unique compared to other literary works. Modern poetry is free verse and is not bound. The author uses an expressive approach. Under this approach the authors find that there is a burst of expressive of the poet as outlined in the aesthetic consciousness in the poem by Nakahara Chuuya. Beside the aesthetic gives an 1
Penulis adalah mahasiswa jurusan sastra Jepang, lulus tahun 2012
effect on the formation of the meaning of poetry is to give the value of human life or the life experience of the phenomena that occur. The aesthetic effects that given Nakahara Chuuya in every poem are able to make the writer can interpret the intent of the poems. Keyword
: Aesthetics, Nakahara Chuuya, Expressive Approach
PENDAHULUAN Banyak cara yang dapat dilakukan manusia dalam mencurahkan batin serta pikirannya. Salah satunya adalah melalui karya sastra. Karya sastra itu sendiri merupakan suatu ciptaan atau kreasi seseorang yang dapat mengungkapkan pemikiran, gagasan, pengalaman, bahkan keyakinannya, dengan menggunakan bahasa sebagai medium utamanya. Karya sastra diklasifikasikan menjadi dua, yaitu karya imajinatif dan nonimajinatif. Karya sastra imajinatif diantaranya adalah prosa, puisi, dan drama, sedangkan karya sastra nonimajinatif adalah essai, otobiografi dan lain-lain. Puisi merupakan hal yang menarik, karena kata-katanya banyak mengandung estetika yang terdiri dari berbagai elemen. Puisi juga merupakan hal yang menarik, karena kata-katanya banyak mengandung estetika yang terdiri dari berbagai elemen. Ekspresi batin yang dituangkan pengarang pada karya sastra ciptaannya akan tereflesikan sebagai pantulan kembali problem dasar kehidupan manusia yang meliputi maut, cinta, tragedi, harapan, kekuasaan, pengabdian dan tujuan hidup serta hal-hal dalam kehidupan manusia. Secara etimologi istilah puisi berasal dari kata Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi Yunani kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya. Puisi adalah bentuk ekspresi pengalaman empirik atau batin seseorang yang diwujudkan dengan bahasa-bahasa indah, perumpaman dan kiasan. Semua negara di belahan dunia tentu saja mengenal puisi. Di Jepang, puisi juga mengalami perkembangan mulai dari zaman prasejarah. Ketika masyarakat belum mengenal tulisan, puisi, dan lain-lain. Jepang merupakan negara yang memiliki berbagai jenis puisi tradisional seperti renga, waka, tanka, haikai, haiku, dan lain-lain. Nakahara Chuuya adalah seorang penyair jepang yang dikenal
sebagai salah satu penyair simbolis terbaik pada awal periode Shouwa di Jepang. Pada tahun 1934 diterbitkannya kumpulan sajak pertamanya yaitu Yagi no Uta “Nyanyian Kambing” yang terdiri dari 46 buah sajak. Kumpulan sajak keduanya, Arishi Hi no Uta “Nyanyian Hari yang Telah Lalu” yang terdiri dari 58 sajak , diterbitkan setahun setelah ia meninggal dunia pada tahun 1937. Dalam wacana postmodern karya seni tidak lagi dipandang sebagai karya artistik. Tetapi dipandang dari aspek tanda, jejak, dan makna. Dengan demikian, kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas artefak yang disepakati sebagai karya seni, tetapi pada satu artefak yang mengandung makna. Objek yang menjadi kajian estetika dibagi menjadi lima kajian diantaranya: fenomena alam, karya seni, seni design, filsafat seni, proses kreatif (pengalaman estetika). Suatu karya sastra disebut indah apabila organisasi unsur yang terkandung di dalamnya memenuhi syarat tertentu. Puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya. Efek keindahan atau estetik merupakan hal utama yang ada di dalam puisi karena puisi memadukan kekuatan bahasa, menyusunnya, merapikannya kemudian diatur sedemikian rupa dengan memperlihatkan segi irama dan bunyi sehingga menghasilkan efek estetika tertentu. Efek-efek estetika inilah yang akan membuat penikmat dapat memaknai sebagai pusi. Secara umum, Abrams mengemukakan empat pendekatan dalam melihat karya sastra antara sastrawan dan pembaca tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu : karya satra, sastrawan, semesta, dan pembaca. Untuk itu terdapat empat pendekatan dalam kajian karya sastra, yaitu : (1) Pendekatan objektif (objective criticism), yaitu kajian sastra yang menitikberatkan pada karya sastra, (2) Pendekatan ekspresif (expressive criticism), yaitu kajian sastra yang menitikberatkan pada penulis, (3) Pendekatan mimetik (mimetic criticism), yaitu kajian sastra yang menitikberatkan terhadap semesta/alam, serta (4) Pendekatan pragmatik (pragmatic criticism), yaitu kajian sastra yang menitikberatkan pada pembaca.
ISI
Meskipun ada sebagian orang yang menafsirkan keberadaan pesan di dalam sebuah karya sastra, namun hal terpenting yang akan berguna bagi pembaca sebenarnya yang paling penting adalah manfaat yang ia dapatkan setelah membaca karya sastra tersebut. Jadi tak hanya sebatas nuansa keindahan estetika sebuah karya sastra semata. Puisi terdiri atas dua bagian besar yakni struktur fisik dan struktur batin puisi. Unsur-unsur bentuk atau struktur puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Dapat dikatakan struktur fisik puisi adalah segala unsur yang secara langsung dapat kita lihat, tangkap dengan mata kita, yaitu dengan tataran permukaan puisi. Herman J. Waluyo menerangkan bahwa unsur-unsur itu adalah: diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan tipografi. Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Contoh diksi : pada puisi Kita no Umi, misalnya penyair menggunakan つ ( Tsu ) besar pada kata 雲つた ( kumotsuta ), yang pada saat ini telah diganti menjadi 曇った ( kumotta ). Pada kata 呪つて ( noroitsute ) menjadi 呪って ( norotte ). Penulisan kata ini merupakan ciri khas puisi dari Nakahara Chuuya. Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Contoh pengimajian : pada puisi Tsumetai Yoru, terdapat kata 悲 し ん で ゐ る ( kanashindeiru ) yang berarti “sedih” berhubungan dengan indera perasa. Penyair mengajak pembaca seolah-olah merasakan kesedihan hati pada diri sang „aku‟ pada malam musim dingin, hal itu merupakan citraan perasa yang dibangun oleh penyair untuk mengajak pembaca masuk ke dalam suasana yang diharapkannya. Kata konkret adalah kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau
lambang. Contoh : pada puisi puisi Mata Kon Haru, penulis menemukan kata konkret 春
( haru ). Kata tersebut mempunyai makna tersendiri, yaitu
berhubungan dengan suasana hangat, namun bisa juga memberikan arti hidup baru dan perkembangan. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura sehingga disebut bahasa figuratif. Majas adalah bahasa berkias yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Contoh majas : pada puisi Donten terdapat majas personifikasi yang terlihat pada frase 旗は た
はためく
ばかり、空の
奥処に
舞ひ入る
はたは
如く ( hata wa hata
hata hirameku bakari, sora no okuga ni mai iru gotoku ) yang mempunyai arti “bendera mengapak tetap berkibar, di sudut langit seolah-olah menari”. Kata-kata tersebut yang mengumpamakan benda mati seperti makhluk hidup. Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Contoh : Versifikasi pada puisi yang disampaikan penyair terdapat pada puisi Tsumetai Yoru, yaitu pada kata 悲しんで ゐる ( kanashindeiru ) yang berarti “sedih”, penyair mengulang kata tersebut dua kali dalam bait pertama. Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Tipografi merupakan bentuk sajian bait perbait dari sebuah puisi. Apakah ditulis lurus, zigzag, membentuk prosa dan sebagainya. Bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Nakahara Chuuya tidak menampilkan tipografi tertentu, dalam kumpulan Arishi Hi no Uta ini. Struktur batin mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya. Jadi struktur batin sebagai media untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair yang mempunyai 4 unsur pembangun, yaitu tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat. Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan penyair lewat puisinya. Tema puisi biasanya mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki,
seperti cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan dan kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema tidak dapat dilepaskan dari perasaan penyair, nada yang ditimbulkan, dan amanat yang hendak disampaikan. Tema yang disampaikan penyair, yaitu sebagai pengalaman hidup yang telah penyair jalani dengan ilusi-ilusinya karena penyair sangat merasakan dan menjiwainya. Kesedihan hati penyair yang sangat begitu mendalam. Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaran, benci, cinta, dendam dan sebagainya. Dalam puisi Nakahara Chuuya, objek yang dikajinya yaitu sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya karena dengan kata-kata yang ada dalam puisinya mengandung rasa yang begitu mendalam dengan keindahan dan dikaitkan dengan pengalaman hidupnya. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang digarapnya. Dalam puisi yang berjudul Tsumetai Yoru, penyair mengungkapkan nada suasana malam yang dingin. Sama seperti Kita no Umi yang melukiskan kehidupan di laut utara yang bisa membuat para pembacanya ikut merasakan kehidupan tersebut. Dalam puisi Donten, penyair menggambarkan nada suasana cuaca yang berawan atau mendung. Penyair merasa alamlah yang menjadi inspirasi dalam menciptakan puisi-puisinya. Sedangkan dalam puisi Mata Kon Haru, melukiskan kecemasan akan musim semi yang sebentar lagi akan datang. Puisi mengandung amanat atau pesan atau himbauan yang disampaikan penyair kepada pembaca. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat
berhubungan dengan makna karya sastra (meaning dan significance). Arti karya sastra bersifat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan makna karya sastra bersifat kias, subjektif, dan umum. Amanat yang disampaikan dalam puisi Nakahara Chuuya adalah sebuah pengalaman hidup dan perjalanan kehidupan yang harus dilalui dengan penuh ketabahan, kesadaran, dan keikhlasan. Puncak kebahagian akan dialami oleh semua orang, tetapi apabila sampai pada waktunya, semuanya itu tidak akan ada artinya. Kita harus bisa memanfaatkan sisa kehidupan kita yang masih ada dengan perbuatan-perbuatan yang akan membawa kita dalam kebahagian yang kekal dan abadi. Di dalam kumpulan puisi Arishi Hi no Uta yang berjudul Tsumetai Yoru, Kita no Umi, Donten, dan Mata Kon Haru menganalisis: 1.
Rasa estetika Ada rasa efek estetika pada karya Nakahara Chuuya. Pada puisi Tsumetai Yoru, misalnya Fuyu no Yoru yang merupakan sebuah gambaran estetika. Malam musim dingin identik dengan suasana malam yang sangat dingin. Lebih dari udara malam biasanya seperti beruang yang akan mengatakan dalam hati atau pikirannya sendiri tanpa timbal terisolasi. Pada puisi Kita no Umi, misalnya Umi yang dimana merupakan sesuatu yang luas dan dalam. Kata Ningyo merupakan suatu gambaran seorang perempuan yang cantik yang hidup di lautan bebas, kata Nami yang secara denotasi merupakan fenomena yang terjadi di laut yang biasa disebut juga dengan gelombang. Ketiga kata tersebut merupakan estetika. Pada puisi Donten, misalnya terdapat estetika pada kata Sora yang memberikan kesan tinggi dan luas, estetika berikutnya pada kata Kuroi hata yang menunjukan gerakan anarkis tetapi bisa juga diartikan sebagai simbol pantang menyerah. Bisa dilihat dari data di atas, bahwa menunjukan dirinya sebagai seseorang yang pantang menyerah dalam suatu keadaan. Pada puisi Mata Kon Haru, misalnya Haru yang terlihat jelas bahwa dari Haru adalah estetika. Haru merupakan simbol dari kehangatan, keindahan alam dan kehidupan baru.
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi puisi tersebut. Semua puisi pada kumpulan ini dibuat pada periode Shouwa. Puisi-puisi tersebut dibuat dari pengalaman hidupnya, cinta, kesedihan., dan lain-lain. Kumpulan puisi ini juga dipersembahkan untuk anaknya yang bernama Fumiya. Salah satu contoh pada puisi Mata Kon Haru, yang menceritakan ketika ia kehilangan anaknya yang meninggal dunia pada saat berusia 2 tahun. Padahal ia sangat mengharapkan anaknya bisa seperti dirinya, menyukai karya sastra, salah satunya yaitu puisi.
SIMPULAN Setelah menganalisis estetika yang terkandung dalam kumpulan puisi Arishi Hi no Uta karya Nakahara Chuuya dengan melalui pendekatan ekspresif, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Puisi Tsumetai Yoru, terlihat kata-kata puitis yang memiliki keindahan (estetika). Terdapat pada frase 心は錆びて、紫色をしてゐる ( kokoro wa sabite, murasaki iro wo shiteiru ) yang diumpamakan sebagai “perasaan yang mati rasa” dan frase 棉の実が罅裂ける ( wata no mi ga hibisakeru ) yang diumpakan sebagai “sebuah gambaran kehidupan” yang merupakan imajinasi kata-kata puitis dari penyair. Puisi Tsumetai Yoru juga menunjukan bahwa di dalamnya penyair membuang semua perhatian juga kehangatan yang simpati ke kehidupan yang nyata pada waktu itu, yang telah jatuh ke pengasingan diri. 2. Puisi Kita no Umi terdapat unsur-unsur estetika pada kata 海 ( umi ) dan kata 人魚 ( ningyo ) yang disejajarkan oleh penyair. Kemudian adanya kata 浪 ( nami ) yang dikaitkan dengan kata 歯 ( ha ). Kedua hal tersebut merupakan kata-kata yang menunjukan suasana dan keadaan pada puisi Kita no Umi dan yang menandakan estetika-estetika tersebut. Puisi Kita no Umi, penolakan yang serentak (pada saat yang sama) terhadap kesadaran baku dan romantis, saya rasa kehilangan cinta, yang tampaknya tidak terlihat pada mata kesedihan yang teredam. Puisi ini mengekspresikan kesedihannya karena ditinggalkan oleh kekasih yang dicintainya.
3. Puisi Donten, gambaran estetika terdapat pada kata 黒い旗 ( kuroi hata ) yang diumpamakan sebagai “sifat pantang menyerah” yang menjelaskan bahwa dirinya tidak akan menyerah begitu saja dengan kehidupannya. Secara umum, bendera hitam, dari pernyataan bahwa tidak ada menarik tali dan juga menurunkan tali, mungkin menunjukkan simbol nasib sesuatu nihilistik. Dari cara yang terlihat dari masa muda, bahkan citra visual juga nasib bahagianya. Apa yang tampaknya tetapi ia tidak melakukannya pada firasat bencana perang. 4. Puisi Mata Kon Haru memiliki estetika-estetika pada kata-katanya karena terdapat kata 春 ( haru ) dan あの子( ano ko ) yang dikaitkan oleh penyair yang merupakan sesuatu yang berhubungan dengan tema pada puisi ini. Orang-orang Jepang pada umumnya, sering memaknakan musim semi sebagai simbol kehidupan baru dan perkembangan. Mata Kon Haru menggambarkan tema tentang kesedihan. Syair ratapan (elegi) pernyataan mengerikan mendekati bersamaan ia kehilangan anak yang disayangi Fumiya berusia dua tahun pada bulan November tahun yang lalu. Fumiya pada usia dua tahun dari kira-kira senjakala. Puisi ini ditulis agar terlihat keadaan impresif (mengesankan), kesedihan penyair adalah ayah yang kehilangan seorang anak, tidak berubah (sama seperti) dari perasaan hati orang-orang normal, hal ini mengeluh “musim semi telah datang untuk menjadi apa”. 5. Latar belakang kebidupan Nakahara Chuuya sebagai penyair sangat berpengaruh terhadap penciptaan karya-karyanya seperti yang tertuang dalam beberapa puisi yang telah dianalisis pada bab sebelumnya.
DAFTAR SUMBER Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Asoo, Isoji. 1988. Sejarah Kesusastraan Jepang. Jakarta: UI Press. Atmazaki. 1993. Analisis Sajak, Teori, Metodologi dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi, Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Nuansa. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress. Kartika, Sony, Dharsono dan Nanang Perwira Ganda. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya. Waluyo, J. Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. .................. 1968. Nihon no Shika 23. Japan: Chueikoronsha. .................. 1985. Shinco Bungaku Album: Nakahara Chuuya. Japan. Shinchosha.