BAB I
INTRODUKSI Kehidupan berekonomi nasional yang dilaksanakan selama hampir lima dasawarsa sesungguhnya telah menghasilkan berbagai peluang atau kesempatan berusaha dalam berbagai bidang bisnis, namun fenomena tersebut tidak identik dengan kondisi bahwa kesejahteraan rakyat sebagaimana yang menjadi salah satu tujuan dan juga cita-cita negara-bangsa Indonesia telah tercapai. Beberapa faktor yang dapat dikualifikasikan sebagai penyebab ketimpangan antara peluang ekonomi dengan pemanfaatannya seperti yang telah banyak dirasakan dan diwacanakan itu antara lain distorsi pasar yang merupakan akibat kebijakan pemerintah yang berlebihan dan kurang tepat serta sektor usaha swasta yang berkembang dalam kondisi persaingan yang tidak sehat. Ketimpangan tersebut harus diselesaikan dan dalam kaitan ini bidang hukum sekali lagi dibutuhkan peranannya dalam pembangunan ekonomi. Peranan yang dimaksud berkisar pada pengelolaan(manajemen) norma-norma(hukum) dalam rangka menciptakan persamaan kesempatan berusaha, mencegahmenanggulangi praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Dengan mempertimbangkan bahwa: a. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, b. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa. Dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong
1
pertumbuhan ekonomi dan berkerjanya ekonomi pasar yang wajar c. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional, serta d. atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)¹, ........................................................... maka disusunlah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam kelanjutannya nama undang-undang(UU) tersebut bukannya mencuat kepermukaan sehubungan dengan kedudukannya sebagai UU inisiatif dan mission yang dikandungnya, tetapi sebaliknya seperti tenggelam tanpa cerita. Wacana dalam berbagai forum ternyata lebih mengedepankan istilah Hukum Persaingan Usaha atau Competition Law dari pada Antitrust Law yang sering dipadankan dengan Hukum Antimonopoli. Sebagai tambahan UU. No. 5 Tahun 1999 sendiri dapat juga dikatakan tidak konsisten. UU yang pada bagian awalnya terkesan merangkul semua aspek, ketika sampai pada bagian yang mengatur pelaksanaannya menetapkan institusi pelaksananya dengan sebutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan para komisionernya pun lebih menonjolkan istilah Hukum Persaingan Usaha dalam berbagai wacananya. Adakah istilah-istilah tersebut mengandung pengertian dan ruang lingkup yang berbeda sehingga sangat urgen dipersoalkan penggunaan atau pun penempatannnya ataukah cukup dipahami bahwa di antaranya tidak terdapat perbedaan yang prinsip sehingga dapat saling menggantikan dan secara leluasa digunakan. Untuk itu suatu penjelasan ______________ ¹ pernyataan tersebut dikutip dari Dasar Pertimbangan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2
baik yang menyatakan ada atau pun sebaliknya merupakan suatu kebutuhan yang setidak-tidaknya dapat memberi pencerahan. Ernest Gellhorn dan William Kovacic2 mengemukakan bahwa the antitrust laws seek to control the exercise of private economic power by preventing monopoly, punishing cartels and otherwise protecting competition. Examining the origins of the antitrust laws helps to understand and interpret them. Their historical lineage extends from common law actions which limited restraints of trade and, to some extent, sought to proscribe monopoly power and middleman profits. Dari pandangan tersebut dapat disimak bahwa Antitrust Law sesungguhnya merupakan suatu konsep yang menampung berbagai elemen dalam rangka mencegah praktek-praktek trust yang merugikan. Upaya prevensi inilah yang menjadi inti spirit dalam memerangi segala bentuk pemusatan kegiatan ekonomi yang tidak wajar pada negara dengan common law system terutama Amerika Serikat. Istilah trust dikembangkan dari The Theory of Stockholders Voting Trusts. Menurut teori ini, para pemilik saham pada beberapa perusahaan mengalihkan sekuritas mereka kepada trustee dan menerima sertifikat-sertifikat yang mengatasnamakan mereka atas saham yang digabungkan. Namun istilah tersebut akhirnya diterapkan sebagai konsep yang menggambarkan penggabungan bisnis yang tidak wajar.3 Pengenaan istilah itu semakin meluas tetapi menukik untuk menggambarkan divisi-divisi usaha yang didirikan oleh para konglomerat dalam dunia bisnis, yang lebih menonjol dalam menggunakan cara-cara kekerasan dan tidak wajar untuk mewujudkan tujuan bisnis, yang pada akhirnya menghasilkan monopoli itu pun diterapkan pula sebutan trust. Praktek yang terakhir ini memang banyak mewarnai perjalanan sejarah bisnis Amerika Serikat. Penggunaan istilah Antitrust law tampaknya bertumpu pada penolakan dan tekad mencegah monopoli yang dicapai melalui proses trust yang menonjolkan kekerasan dan unfair practices. Dengan demikian dapat dikemukakan bidang hukum ini sesungguhnya tidak 2
Ernest Gellhorn dan William E. Kovacic, Antitrust Law and Economics, West Publishing Co., St. Paul, Minn., 1994, hal. 1. 3 Ibid. hal. 16.
3
secara serta-merta anti monopoli sejauh kondisi atau pencapaian itu dihasilkan melalui cara-cara yang fair dan memenuhi asas yang reasonableness. Oleh karena itu pula dapat dikatakan pemadanan Antitrust Law dengan Hukum Antimonopoli merupakan penyamaan yang kurang tepat. Informasi penting lainnya yang dapat diserap dari pandangan mengenai Antitrust Law di atas adalah berkenaan dengan kepedulian bidang hukum ini terhadap persaingan yang berbanding sejajar dengan panjangnya sejarah antitrust itu sendiri. Kepedulian ini ternyata tidak manjur untuk membentuk kesan bahwa dengan istilah Antitrust Law sudah tercakup didalamnya makna Hukum Persaingan. Thomas M. Jorde dan David J Teece4 mengemukakan, , Despite its focus on competition competitiveness, antitrust did not seem to have much to say about “competitiveness.” Americans were confronted by a paradox: their country was long on competition and short on antitrust law was not connected to trade policy or to innovation policy.. Tampaknya dengan kepedulian terhadap persaingan(competition) semata-mata, belumlah mencukupi tanpa dibarengi ketentuan-ketentuan berkenaan dengan upaya-upaya peningkatan daya saing(competitiveness). Berbeda halnya dengan istilah Hukum Persaingan atau Competition Law yang dalam pandangan D.G. Goyder5 merupakan a subject of great practical importance. It involved the establishment and development of legal principles and policies for benefit of the public interest, enforced mainly(but not exclusively) through the work of public authorities; but these principles and policies are applied to a wide range of private agreements and arrangements which commercial undertakings have made for themselves, or with each other, on the basis of existing rights under contract and property law.
4 Thomas M Jorde dan David J. Teece, Antitrust, Innovation, and Competitiveness, Oxford University Press, New York, Oxford, 1992.hal. ix (Preface) 5 D.G. Goyder, EC Competition Law, Clarendon Press, Oxford, 1993, hal. 4
4
Pandangan tersebut menyiratkan pemahaman mengenai ruang lingkup hukum persaingan yang mencakup prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan untuk kemanfaatan bagi kepentingan umum, baik yang termasuk dalam kategori hukum materiil maupun formil, namun semuanya terutama diterapkan terhadap perjanjian-perjanjian privat yang didasarkan pada hukum kontrak dan hukum harta kekayaan. Di samping itu dapat pula disimak tentang substansinya yang tidak dapat dilepaskan kaitannya bahkan ketergantungannya pada upaya, langkah atau tindakan dan pemikiran yang dalam hal ini terakomodasikan dalam konsep yang disebut dengan Kebijakan Persaingan atau Competition Policy. Konsep mana dalam Antitrust Law dapat dikatakan belum memperoleh perhatian yang proporsional. Dalam sistem hukum persaingan dikemukakan bahwa Competition Policy berupaya melindungi proses persaingan, berorientasi pada pertumbuhan, peningkatan dan ragam preferensi. Oleh karena itu kebijakan tersebut tidak ditransformasikan dalam ketentuanketentuan yang melestarikan status quo, melainkan yang mendorong perubahan, pembaruan dan atau perbaikan-perbaikan. Competition policy has as its central economic goal the preservation and promotion of the competitive process, a process which encourages efficiency in the production and allocation of goods and services, and over time, through its effects on innovation and adjustment to technological change, a dynamic process of sustained economic growth. In conditions of effective competition, rivals have equal opportunities to compete for business on the basis and quality of their outputs and resource deployment follows market success in meeting consumers’ demand at the lowest possible cost.6 Kebijakan persaingan pada akhirnya menempati kedudukan yang sangat penting dalam menentukan arah produk hukum yang substansinya sedang menjadi topik bahasan ini. Sejauh produk tersebut mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang mendorong inovasi dan penyesuaian terhadap teknologi dalam rangka peningkatan daya saing, maka produk tersebut termasuk dalam
6
Ibid. hal. 13
5
kategori sistem hukum persaingan yang mencakup segala aspek yang relevan. Sebaliknya produk hukum yang kandungan competition policynya kurang dalam substansi norma-normanya lebih tepat diakomodasikan dengan konsep Antitrust Law yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan Hukum Antimonopoli. Namun pemberiartian demikian seharusnya disertai dengan penjelasan bahwa yang hendak dicegah adalah monopoli yang dicapai melalui proses trust, bukan setiap kondisi atau pencapaian yang mengakibatkan terkonsentrasinya kekuatan-kekuatan ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Dengan menggunakan uraian sebelumnya sebagai kunci pembuka, perlulah dijelaskan pertanyaan apakah Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 merupakan antitrust law atau competition law. Diungkap dari aspek titelnya, undang-undang yang disebut-sebut “terpaksa” diundangkan untuk membujuk International Monetary Fund(IMF) agar mengucurkan bantuannya itu terkesan merangkul semua aspek, dengan mengeksposnya sebagai Undangundang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Undang-undang itu sendiri di dalam ketentuan-ketentuannya membedakan antara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga dari sisi ini tampaknya memang beralasan apabila titelnya merupakan gabungan dari dua aspek tersebut. Namun apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata mulai dari keyword pada title sampai dengan formulasi norma-norma hukumnya mengacu pada pola yang terdapat dalam Antitrust Law yang menekankan penggunaan proposisi hukum berupa larangan.. Dengan kondisi seperti itu kiranya tidak efektif lagi dijelaskan lebih jauh tentang latar belakang digunakannya berbagai istilah untuk mewadahi materi-materi mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sangat tidak gampang mencari, memilih dan kemudian meletakan konsep hukum pada bidang yang ruang lingkupnya sangat luas. Sebaliknya kesulitan tersebut tidak harus menimbulkan keengganan memberi konsep, karena keberadaannya
6
merupakan karakter dari setiap sistem hukum. Kendati pun kurang menggambarkan aspek-aspek yang tercakup, setidak-tidaknya konsep itu mampu menjelaskan atau mengandung fungsi dalam membatasi ruang lingkup gerak bidang hukum yang bersangkutan. Berbagai macam konsep sebagaimana yang telah diberikan hingga kini dan sepanjang semua itu diletakan dalam kerangka untuk memudahkan deskripsi serta komunikasi kiranya dapat diterima. Namun konsep untuk substansi UU. No. 5 Tahun 1999, kendati pun secara jelas telah diberi titel sebagai UU tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih pula membutuhkan penjelasan. Sehubungan dengan hal tersebut satu persoalan besar pula perlu dicarikan jawabnya, apakah UU. No. 5 Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan secara keseluruhan memuat 53 pasal itu merupakan perwujudan dari hukum materiil ataukah sekalian juga memuat aspek formil dalam pengertian merinci tata cara mempertahankan(menegakkan) hokum materiil, sehingga karena demikian dapatlah dikemukakan bahwa UU itu memuat juga Hukum Acara Persaingan Usaha? Sesuai dengan Pola Pembinaan Hukum secara nasional di Indonesia yang dielaborasikan melalui undang-undang, dapat dikonstantasikan hampir setiap undang-undang yang telah diundangkan merupakan Hukum Materil, kecuali memang ditentukan secara tegas bahwa undang-undang tersebut merupakan undang-undang mengenai hukum formil, misalnya UU. No. 3 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Selebihnya banyak undang-undang yang diundangkan itu lebih menonjolkan aspek hukum materiil, namun demikian banyak juga diantaranya yang sekalian memuat aspek hukum formil. Untuk menyebut beberapa diantaranya, berbagai UU tentang Hak Kekayaan Intelektual, UU. Perseroan Terbatas, dan UU. No. 5 Tahun 1999 sendiri merupakan contoh dari UU. yang memuat dua aspek hukum sekalian; materiil dan formil. Aspek formil yang dimuat dalam UU. No. 5 Tahun 1999 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya pada satu sisi tidaklah secara serta merta dapat disebut sebagai Hukum Acara Persaingan
7
Usaha, namun demikian pada sisi lain dalam rangka penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran UU tersebut dapat pula diharapkan partisipasi dari hukum acara yang konvensional, dalam hal ini HIR, RBg, dan KUHAP. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Soepomo, Prof. Wirjono Prodjodikoro dan Prof. Sudikno berkenaan dengan konsep hukum acara sesungguhnya sudah cukup menarik kesimpulan bahwa hukum acara itu berbeda dengan aspek formil dari Hukum Persaingan Usaha. Aspek hukum yang disebutkan belakangan ini memang memiliki fundamental concepts tersendiri khas hukum persaingan usaha. Dari pandangan para Guru Besar tersebut tergambarlah bahwa hukum acara dan proses beracara itu selalu berhubungan dengan hakim, pengadilan, peradilan yang bebas, asas obyektivitas, hakim yang pasif dan kewajiban menangani setiap perkara yang diajukan sesuai dengan kompetensi masing-masing badan peradilan. Sementara itu hal yang sama tidak dijumpai dalam aspek formil hukum persaingan usaha. Proses penanganan perkara persaingan usaha dilakukan di Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) atau tempat lain. Pada institusi ini tidak dikenal Hakim melainkan Anggota Komisi atau komisoner dan Majelis komisi . KPPU memiliki kedudukan yang bersifat independen dan memiliki hak inisiatif melakukan monitoring, dst.. Penangan perkara di KPPU dilakukan secara imparsial(tidak memihak), dan tidak menggunakan HIR, RBg serta KUHAP sebagai dasarnya, melainkan UU. No. 5 Tahun 1999, Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, Peraturan MA No. 1 Tahun 2003. Mengingat Putusan KPPU dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dan terhadap Putusan mengenai keberatan tersebut dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, maka dalam proses penanganan upaya hukum itu digunakanlah hukum acara yang konvensional. Terhadap proses-proses di KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam tulisan ini digunakan istilah Penegakan Hukum Persaingan Usaha.
8
9
BAB II
ASPEK HUKUM MATERIIL 1. Asas Hukum Persaingan Usaha Perhatian dalam diskusi mengenai penegakan hukum persaingan usaha pada dasarnya berkisar pada 3(tiga) tonggak ; uraian-uraian mengenai apa yang ditegakan(aspek hukum materiil), siapa penegaknya (pengawas), dan bagaimana cara menegakannya (mekanisme-tata cara). Bab ini khusus menguraikan yang pertama, dan tonggak-tonggak yang lainnya secara berturut-turut akan diuraikan pada bab-bab berikutnya. Di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama didambakan adanya perangkat hukum yang bertujuan mencegah persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok. Hal ini dapat disimak dari Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara(MPRS) No. XXIII/MPRS/1966 yang diperkuat lagi dengan Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1999. Keduanya merupakan penjabaran dari Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengenai Demokrasi Ekonomi. Beberapa undang-undang organik atau undang-undang yang bertujuan melaksanakan Undang-undang Dasar seperti: UU. No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang dalam Penjelasan Pasal 2 nya dikemukakan, dalam demokrasi ekonomi pelaksanaan pembangunan industri dilakukan dengan sebesar mungkin mengikutsertakan dan meningkatkan peran serta aktif masyarakat secara merata, baik dalam bentuk usaha swasta maupun koperasi serta dengan menghindarkan sistem “free fight liberalism”, sistem “etatisme”, dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
10
UU. No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas(sekarang UU. No. 40 Tahun 2007) yang melalui Pasal 104 ayat (1) huruf b pada pokoknya menentukan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan: Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha(dalam bagian Penjelasannya dikemukakan ….Selanjutnya dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan harus dicegah kemungkinan terjadinya monopoli, atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat), dapatlah dikemukakan sebagai suatu isyarat tentang perlunya dikembangkan persaingan yang sehat dan pencegahan monopoli. Di samping itu jikalau dirunut dari awal, patutlah diyakini bahwa di Indonesia keberadaan Hukum Persaingan Usaha sebenarnya sudah diisyaratkan sejak beberapa dasawarsa yang lampau, ketika para Founding Fathers negara kita mencanangkan asas kekeluargaan. Dengan asas inilah proyek besar hukum persaingan usaha hendak dibangun. Namun demikian satu hal perlu dijelaskan mengingat perekonomian Indonesia berdasarkan Pasal 33 ayat(1) UUD 1945 ditentukan berasaskan kekeluargaan, dan persaingan usaha pada dasarnya merupakan bagian dari kegiatan dalam perekonomian khususnya yang berorientasi pada pasar. Hal tersebut menimbulkan permasalahan mengenai relevansi asas kekeluargaan dalam persaingan. Bagaimanakah penjelasannya sehingga asas itu dapat akur dengan konsep persaingan yang diimpor, maka untuk keperluan ini harus dijelaskan perihal asas kekeluargaan terlebih dahulu. Pandangan yang dikemukakan oleh Mohammad Hatta7 tampak membatasi pengertian asas kekeluargaan tersebut semata-mata pada koperasi. Di samping menganggapnya sebagai bangun usaha yang cocok dengan asas kekeluargaan, peletak dasar
7
Mohammad Hatta, Pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945 Pasal 33, dalam Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Mutiara, Jakarta 1977.h.27;
11
gerakan koperasi di Indonesia itu juga mengidentikkan asas kekeluargaan dengan koperasi.8 Dalam perekonomian berdasarkan UUD 1945 memang diakui koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Akan tetapi hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menyatakan, bahwa koperasi adalah asas kekeluargaan itu sendiri, sehingga menutup bentuk-bentuk badan usaha lainnya.Seperti telah banyak dipahami, di samping koperasi, UUD 1945 melalui pasal II Aturan Peralihannya mengakui pula bentuk-bentuk badan usaha seperti PT, CV, Firma yang didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang(KUHD), bahkan juga bentuk BUMN yang berorientasi memupuk keuntungan yang didasarkan pada undang-undang mengenai bentuk-bentuk usaha negara, yang pada akhirnya menunjuk dan memberlakukan pula KUHD. Apakah pengakuan terhadap bentukbentuk badan usaha yang terakhir ini tidak mencerminkan pengertian bahwa asas kekeluargaan relevan dengan bentuk-bentuk tersebut. Sri-Edi Swasono9 memandang pengakuan-pengakuan tersebut mencerminkan struktur sistem ekonomi Indonesia bersifat dualistik dan mengandung konflik, yang satu adalah sistem berdasarkan kekeluargaan(koperasi) dan yang lainnya(PT, CV, dan firma) berasaskan perorangan. Kedua asas ini mengandung sifat-sifat yang berbeda. Pandangan-pandangan tersebut dan demikian pula halnya yang tercermin dari pandangan Wilopo, pada dasarnya menempatkan asas kekeluargaan dalam rangka pengertian bentuk badan usaha dalam sistem ekonomi. Terhadap pandangan yang menekankan sistem ekonomi pada bentuk badan usaha, Widjojo Nitisastro mengemukakan, meskipun
8 Djisman S. Simanjuntak, Demokrasi Ekonomi dan Peranan Koperasi, dalam Politik Pembangunan, Pemikiran Ke Arah Demokrasi Ekonomi, Ed., Didik. J. Rachbini, LP3ES, Jakarta, 1990, h.152. 9 Sri-Edi Swasono, Koperasi sebagai sistem ekonomi Indonesia dalam Politik Pembangunan, Pemikiran Ke Arah Demokrasi Ekonomi, Ed., Didik. J. Rachbini, LP3ES, Jakarta, 1990, h.152;
12
merupakan faktor penting dalam sistem-sistem ekonomi, namun bentuk-bentuk badan usaha bukanlah masalah yang mendasar. Masalah pokok yang harus ditelaah dalam setiap sistem ekonomi adalah beroperasinya proses ekonomi dalam rangka sistem ekonomi tersebut.10 Oleh karena itu perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan harus dilihat dari segi proses berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi, dengan tujuan persekonomian dan asas itu sebagai tolok ukur. Berpegang pada asas kekeluargaan menurut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang bunyi ketentuannya sama dengan Pasal 38 ayat (1) UUDS 1950, dalam pandangan Widjojo Nitisastro11 istilah tersebut harus diartikan bahwa proses ekonomi akan terjadi dalam satu kesatuan(unit) atau lebih yang memiliki sifat-sifat hubungan kekeluargaan. Unsur hidup bersama, usaha bersama demi kebaikan bersama, pemerataan pembagian hasil usaha bersama merupakan unsurunsur khas kekeluargaan, dan masyarakat secara keseluruhan merupakan tempat serta tujuan berlangsungnya proses ekonomi, dengan negara berperan aktif dalam memimpin dan mengendalikan pembangunan ekonomi. Makna yang terkandung dalam pandangan tersebut, pertama, bahwa perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan menempatkan peningkatan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan sebagai tujuan utama. Kedua, asas tersebut mengakui peranan perorangan swasta dalam pertekonomian. Peningkatan kemakmuran masyarakat tidak dapat diwujudkan semata-mata dengan mengandalkan negara untuk menyelenggarakannya, tanpa dibarengi dengan peran serta masyarakat. Oleh karena itu asas kekeluargaan tidak menghapuskan keberadaan badan-badan usaha selain koperasi. Bentuk-bentuk badan usaha yang telah berkembang sejak zaman sebelum kemerdekaan, seperti Naamloze Vennootschap(NV) atau PT 10 Widjojo Nitisastro, Suatu Tafsiran Terhadap Ayat 1 Pasal 38 UUD Sementara(Tanggapan Terhadap Tulisan Wilopo), dalam Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi., Ed., Sri-Edi Swasono, UI Press, Jakarta,1987, h. 34; 11 Ibid.hal.36
13
yang pada awalnya khusus diperuntukkan bagi golongan penduduk Eropa dan Timur Asing, justru semakin banyak didirikan oleh orangorang yang berdasarkan sistem hukum kolonial digolongkan sebagai penduduk Bumiputera. Dikaitkan dengan modal PT yang terbagi atas saham-saham yang dapat diperalihkan haknya, dan keberadaan PT yang memungkinkan sebagai sarana pemerataan pendapatan melalui pemilikan saham sejalan dengan dibukanya bursa efek di beberapa kota besar di Indonesia, bentuk badan usaha tersebut kiranya tidak dapat dihapuskan begitu saja semata-mata karena adanya pandangan banwa PT bermoral ekonomi persaingan.Terlebih-lebih setelah diundangkan UU No.1 Tahun 1995 tentang PT(diganti dengan UU.No.40 Tahun 2007) yang menetapkan kekeluargaan sebagai asas. Penetapan tersebut mengandung pengertian, bentuk usaha yang berasal dari luar itu dapat menerima asas yang sesungguhnya bersumber dari masyarakat hukum adat.12 12
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 85, 86; pada pokoknya mengemukakan, kekeluargaan adalah gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat hukum adat. Dengan demikian untuk memahaminya harus dilakukan dengan menelusuri kehidupan masyarkat hukum adat. I Gusti Ketut Sutha, Jiwa Kekeluargaan Dalam Hukum Adat dan Pembangunan, 1976, h.9, di samping merinci unsur- unsur yang terkandung dalam jiwa kekeluargaan, juga mempertegas, bahwa kekeluargaan merupakan pemikiran yang bersumber dari masyarakat hukum adat. Kekeluargaan mencerminkan keadaan yang menujukkan : 1) Kesatuan dari lingkungan yang terkecil sampai yang lebih besar. Kesatuan ini mengandung suatu ikatan yang didasari rasa kasih, sayang, cinta, simpati, solidaritas, dll. 2) Kebersamaan yang mengutamakan kepentingan kesatuan, tanpa menghapus kepentingan individu. 3) Keikutsertaan semua unsur kesatuan dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan tersebut; 4) kebebasan dalam keterikatan. Kebebasan itu memberi kehidupan kepada semua unsur kesatuan, sedangkan keterikatan merupakan batasan yang menyesuaikan kebebasan dengan integritas kesatuan. 5) Keseimbangan atau keharmonisan dalam kesatuan. Pandangan tersebut mengandung makna : Tujuan pokok mempertahankan keutuhan masyarakat sebagai kesatuan merupakan tujuan bersama yang selanjutnya menjadi tolok ukur terhadap setiap pemikiran dan aktivitas. Pengakuan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan dalam kehidupan kemasyarakatan, yang mencakup kebutuhan individu dalam mengaktualisasikan diri, kebebasan yang dinamis dan peransertanya dalam mewujudkan kepentingan bersama. Hubungan kepentingan individu dan kepentingan bersama. Dalam konteks kemasyarakatan, kekeluargaan mengacu pada terwujudnya kesejahteraan. Sasaran tersebut dapat dicapai dengan meletakkannya sebagai tujuan bersama, memberi kesempatan kepada setiap unsur pendukung masyarakat untuk berperanserta, mengembangkan diri, dan memelihara kesatuan berdasarkan prinsip mengenai keserasian hubungan. Dengan demikian proses pencapaian tujuan berdasarkan kekeluargaan
sesungguhnya bertumpu pada kebersamaan, persamaan dan keharmonisan.
14
Ketiga, negara memiliki fungsi dalam mengarahkan berlangsungnya proses ekonomi agar sesuai dengan tujuannya. Pelaksanaan fungsi tersebut membutuhkan adanya pengaturan hukum yang bertujuan mencegah free fight liberalism, monopoli, dan etatisme. Secara keseluruhan pandangan Widjojo Nitisastro mengenai perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan tersebut pada pokoknya searah dengan pemikiran mengenai demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Dalam Pasal 6 dan 7 ketetapan MPRS.No. XXIII/MPRS/1966, Pasal 1 serta 3 Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1999, yang merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 mengenai demokrasi ekonomi, dijumpai adanya unsur-unsur dari : 1) asas kekeluargaan 2) asas perlindungan kepentingan ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 3) Asas mengutamakan kemakmuran rakyat. 4) Asas kebebasan memilih pekerjaan dan hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak. 5) Asas pengakuan hak milik perseorangan. 6)
Asas pengembangan potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara. 7) Asas persaingan usaha yang sehat. 8) Asas pencegahan persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok, dan 9) Asas keadilan sosial Dari pemaparan tersebut tampak demokrasi ekonomi Indonesia sesungguhnya mencerminkan asas kekeluargaan. Oleh karena itu dengan istilah asas kekeluargaan semata-mata dalam penggunaannya pada bidang perekonomian, pada dasarnya sudah terkandung pengertian demokrasi ekonomi.
15
Namun demikian berkaitan dengan asas, dalam praktek dijumpai beberapa undang-undang yang mengatur mengenai perekonomian kurang konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945. Pada satu sisi dijumpai undang-undang menekankan secara langsung asas kekeluargaan, dan pada sisi lain menonjolkan demokrasi ekonomi. Perbedaan penekanan yang dimaksud antara lain sebagai berikut : a. Bahwa pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi (Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian). Dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan, dalam demokrasi ekonomi pelaksanaan pembangunan industri dilakukan dengan sebesar mungkin mengikutsertakan dan meningkatkan peran serta aktif masyarakat secara merata, baik dalam bentuk usaha swasta maupun koperasi serta dengan menghindarikan sistem “free fight liberalism”, sistem “etatisme” dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. b. bahwa koperasi berlandaskan atas asas kekeluargaan (Pasal 2 UU No.25 Tahun 1992 tentang perkoperasian) c. bahwa pengaturan PT harus merupakan pengejahwantahan asas kekeluargaan menurut Pancasila dan UUD 1945 (bagian menimbang huruf d UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT). d. bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan : kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan dst (Pasal 2 UU. No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Dipandang dari segi luas cakupan tujuannya memang terkandung unsur-unsur yang menempatkan asas kekeluargaaan dan demokrasi ekonomi dalam suatu hubungan yang tidak terpisahkan. Asas kekeluargaan bertujuan mewujudkan kesejahteraan, sedangkan demokrasi ekonomi menekankan tujuan mewujudkan kemakmuran. Namun demikian kemakuran itu sendiri merupakan suatu kondisi yang berfungsi sebagai prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan. Oleh karena itu dari segi fungsinya asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi mengarah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian di samping karena pertimbangan konsistensi dengan Pasal 33 UUD 1945, maka
16
dengan tercakupnya tujuan demokrasi ekonomi, persaingan usaha didasarkan pada asas kekeluargaan. Apabila Pasal 33 UUD 1945 tersebut dikaitkan dengan ciri-ciri demokrasi ekonomi seperti yang tertuang dalam Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1999, yang menentukan perlunya pengawasan dari pemerintah terhadap arah perekonomian, dapat dikemukakan, bahwa perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan sesungguhnya mencerminkan sistem ekonomi pasar yang terkendali. Sistem ini menimbulkan terjadinya persaingan yang menempatkan swasta sebagai pelaku utama dengan memperhitungkan posisi konsumen. Dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat, peranan pemerintah ditekankan untuk mengawasi dan memfasilitasi berlangsungnya mekanisme persaingan dalam pasar serta mengupayakan perlindungan-perlindungan terutama yang terkait dengan posisi konsumen. Dalam kerangka persaingan usaha, asas kekeluargaan merupakan pengamalan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang meliputi tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional dikaitkan dengan pemerataan . Oleh karena itu dari asas tersebut tercermin pula pengakuan terhadap persamaan yang juga merupakan karakteristik demokrasi ekonomi. Sehubungan dengan pengaturan hukum persaingan, mengenai persamaan tersebut kiranya masih perlu dibahas lebih jauh terutama dari segi-segi : 1) pengertian dan ruang lingkup, serta 2) perlindungan hukumnya. Ad 1) Pengertian dan ruang lingkup W. Friedmann mengemukakan, In a formal and general sense equality is a postulate of justice. Aristotle’s “distibutive justice” demands the equal treatment of those equal before the law, This like any general formula of justice is, however, applicable to any form of government or society; for it leaves it to a perticular legal order to determine who are equal before the law……Equality in rights as postulated by the great democratic charters, means the extention of
17
individual rights, in principle, to all citizens as distinct from a priveleged minority.13 Secara garis besarnya pandangan tersebut dapat diuraikan bahwa pada satu sisi persamaan dalam pengertian yang formal atau umum merupakan suatu dalil mengenai keadilan; persamaan perlakuan dalam hukum, dan pada sisi lain sebagai suatu hak merupakan perluasan makna dari hak-hak indivual seluruh warga negara. Sebagai suatu unsur keadilan, persamaan sesungguhnya merupakan asas yang universal, dan keadilan tersebut pada satu sisi dapat diartikan sama dengan hukum, karena disimak dari segi asal katanya, istilah justice(Inggris) berasal dari perkataan Latin justicia yang berarti hukum.14 Namun demikian, pada sisi lain keadilan sesungguhnya juga merupakan tujuan hukum. Dalam mencapai tujuan tersebut, keadilan dipandang sebagai sikap tidak memihak (impartiality). Sikap inilah yang mengandung gagasan mengenai persamaan (equality), yaitu persamaan perlakuan dalam hukum. Di samping sebagai suatu dalil keadilan, persamaan juga merupakan suatu hak. Hal ini dapat ditelusuri dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal tersebut pada dasarnya menetapkan persamaan dan kebebasan yang meliputi kepentingan dan tujuan hak itu ditetapkan dalam suatu hubungan. Namun demikian sebagai bagian dari hak asasi manusia yang terkait dengan perkembangan dan karakteristik bangsa-bangsa, persamaan dan kebebasan itu harus dipahami dalam pengertian yang bersifat dinamis Mengenai hubungan persamaan dengan kebebasan, Friedmann pada pokoknya memandang, kebebasan merupakan suatu alat yang membuka jalan seluas-luasnya bagi pengembangan personalitas, dan
13
W. Friedmann, Legal Theory, Steven & Sons Limited, London, 1960, h.385 14 The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta, 1979, h. 15;
18
persamaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap orang dalam mengembangkan personalitasnya.15 Dalam konteks persaingan, kebebasan pelaku usaha mengaktualisasikan kepentingannya tidak boleh menghambat, mengurangi dan menghapus kesempatan pelaku usaha atau kepentingan lainnya melakukan hal yang sama. Oleh karena itu kebebasan harus pula dipandang dalam rangka memberi jalan kepada yang lain untuk berpartisipasi. Dalam kaitan inilah asas kekeluargaan yang dikemukakan memiliki dimensi-dimensi yang bersifat fundamental dan esensial, antara lain non-diskriminatif, berkeadilan sosial dan kemakmuran masyarakat menghargai harkat serta martabat manusia,16 harus mengupayakan keharmonisan pelaksanaan kebebasan dan persamaan tersebut. Dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang berasas kekeluargaan yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kebebasan tersebut merupakan kebebasan setiap warga negara untuk : - memilih dan menjalankan suatu bidang usaha - mengembangkan potensi pribadi - mengembangkan insiatif dan daya kreasi yang memberikan corak inovatif pada persaingan usaha. Dengan ruang lingkup demikian, kebebasan-kebebasan tersebut pada dasarnya memperluas makna persamaan, sehingga pengertiannya mengarah pada persamaan kesempatan berusaha, yang semuanya diletakkan dalam rangka tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam persaingan usaha, persamaan kesempatan berusaha ditandai dengan tersedianya suatu sistem akses yang menjamin, bahwa setiap pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh yang lain dalam mengelola suatu bidang usaha atau persamaan akses terhadap pasar. Di samping dapat meningkatkan perkembangan perekonomian, persamaan kesempatan berusaha mengandung pula upaya yang 15
W. Friedmann, op.cit h.387 Midian Sirait,Paham Harapan,Jakarta,1997, h. 88; 16
Kebangsaan
Indonesia,Sinar
19
bertujuan mewujudkan pemerataan. Kedua hal itu pada pokoknya merupakan pengamalan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang juga terkandung dalam asas kekeluargaan Ad 2) Perlindungan hukum Sehubungan dengan pelaksanaan hak tersebut negara-pemerintah juga memainkan peranan yang penting. Hak yang dikarakterisasikan dengan istilah berhak atas seperti yang digunakan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 itu, membebankan kewajiban kepada negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan hak tersebut.17 Di samping itu hak yang mengadung makna sebagai persamaan kesempatan berusaha tersebut, merupakan suatu kriterium bagi persaingan usaha yang sehat dan prasyarat beroperasinya mekanisme ekonomi pasar, yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan dan pemertaan dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat. Dari segi tersebut semakin nampak unsur-unsur dari asas kekeluargaan tercermin dalam persamaan kesempatan berusaha. Mengingat adanya pengakuan terhadap persamaan itu, di samping menyusun dan melaksanaan program-program dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi persaingan, konsistensi negarapemerintah dalam menjabarkan pengakuannya menimbulkan pula kewajiban untuk mengupayakan perlindungan terhadap persamaan tersebut. Dalam persaingan usaha yang dikarakterisasikan dengan kemajemukan pelaku usaha, tidak menutup kemungkinan berlangsungnya praktek-praktek yang dapat merugikan, mengurangi, menghambat, dan menghapuskan persamaan kesempatan berusaha. Dalam kaitan ini fungsi negara dalam mewujudkan persamaan tersebut masih relevan dan pengaturan hukum yang bertujuan menjaga keharmonisan dalam rangka mencapai kepentingan bersama semakin dirasakan urgensinya. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan, asas kekeluargaan pada dasarnya mengandung pula prinsip mengenai 17
Scott Davidson -terjemahan- A.Hadnyana Pudjaatmaka, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994 .h.8;
20
persamaan kesempatan berusaha, Oleh karena itu asas kekeluargaan mengandung relevansi dalam persaingan usaha. Pemikiran-Pemikiran tersebut pada dasarnya ditarik dari asas perekonomian pada umumnya, yaitu asas kekeluargaan yang mencerminkan demokrasi ekonomi yang tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945. Bertumpu pada pemikiran, bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar yang menjadi landasan bagi setiap pengaturan hukum, maka setiap asas yang terkandung dalam UUD 1945 termasuk asas kekeluargaan merupakan asas-asas hukum. Dari pandangan-pandangan bahwa asas hukum merupakan : - Pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang sistem hukum, dan norma-norma hukum merupakan penjabarannya;18 - Gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum;19 - Dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku,20 tercermin pengertian, asas hukum pada dasarnya merupakan sumber tumpuan bagi perumusan norma hukum. Asas tersebut tidak merupakan norma hukum, melainkan dasardasar yang berfungsi mengarahkan perumusan norma hukum konkret. Dalam asas hukum terkandung nilai-nilai hukum yang tidak terkait langsung dengan peristiwa atau tindakan, dan hubungan hukum tertentu. Berdasarkan asas itulah norma hukum konkret dikembangkan, sehingga dapat dikemukakan, bahwa asas hukum merupakan hukum dalam idealita, sedangkan norma hukum adalah hukum dalam realita. Sehubungan dengan pandangan Van der Vlies yang mengelompokkan asas hukum menjadi dua : asas hukum formal dan materiil. Asas hukum formal berhubungan dengan bagaimananya (het hoe) suatu peraturan, sedangkan asas materiil berkaitan dengan apanya suatu peraturan.21 Asas hukum formal pada pokoknya mengandung 18
Bruggink, Op.cit.,h.119; Bruggink, Op.cit.,h.121; 20 O. Notohamidjojo, Demi Keadilan Dan Kemanusiaan,BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975 .h. 50; 21 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Mengatur Dalam kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Distertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta,1990, h.335; 19
21
pertimbangan-pertimbangan mengenai dasar-dasar urgensi suatu peraturan perundang-undangan, antara lain mengenai tujuannya, sedangkan asas hukum materiil memuat bahan-bahan dasar yang berfungsi mengarahkan perumusan isi atau norma hukum, seperti asas kekeluargaan, sehingga dapat dikemukakan asas kekeluargaan merupakan asas hukum materiil persaingan usaha. Atas dasar asas kekeluargaan tersebut norma hukum persaingan usaha secara garis besarnya diarahkan pada pengaturan persamaan kesempatan dalam rangka meningkatkan dan pemerataan ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian apabila yang didiskusikan itu menyangkut isyarat atau suatu gejala yang melatarbelakangi, maka dapat pula dikemukakan bahwa keberadaan hukum persaingan usaha khususnya di Indonesia itu sesungguhnya sudah dimulai digagas secara formal sejak pembahasan dan diberlakukan Undang-undang Dasar 1945 oleh para Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun baru pada 1999 lah gagasan tersebut dapat diwujudkan dengan diundangkannya UU. No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Inilah aspek materiil paling mendasar, bahkan satu-satunya dari Hukum Persaingan Usaha yang akan ditegakan khususnya melalui KPPU.
2. Substansi Hukum Persaingan Usaha dan Sifat Pernyataan Normatifnya Berkenaan dengan sistem hukum Indonesia, identifikasi terhadap Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengarah pada wujud hukum dalam bentuk undang-undang, dalam kaitan ini adalah UU. No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU inilah yang merupakan Hukum Positif untuk Persaingan Usaha. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU. No. 5 Tahun 1999, hukum positif tersebut bertujuan untuk :
22
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Tujuan tersebut pada dasarnya menekankan pada 3(tiga) hal pokok yang saling berkaitan sebagai berikut ; (a) meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, (b) mewujudkan iklim usaha yang sehat yang menjamin hak atas persamaan kesempatan berusaha, (c) mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dan secara keseluruhan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ad a. meningkatkan efisiensi ekonomi nasional Efisiensi itu sendiri sesungguhnya merupakan konsep dalam ilmu ekonomi dan UU. No. 5 Tahun 1999 sama sekali tidak menuangkan pengaturan mengenai apa yang dimaksud dengan efisiensi, terlebih-lebih yang dibelakangnya diimbuhi dengan kata-kata ekonomi nasional. Namun demikian berkaitan dengan persaingan usaha, Herbert Hovenkamp22 pada pokoknya mengemukakan, efficiency, for antitrust purposes, means two different things, Productive Efficiency and Allocative Efficiency. Productive Efficiency is a ratio of a firm’s output to its inputse.g., a firm that produces outputs valued at $10.00 with inputs costing $7. 00 is more efficient in this sense than a firm that 22
Herbert Hovenkamp, Antitrust, Black Letter Series, West Publishing Co., St. Paul Minn, 1993, hal. 331.
23
produces outputs valued at $10.00 with input costing $8.00. Allocative Efficiency refers to the welfare of society as a whole. A practice or rule is efficient in this sense if the total of all gains it creates is larger than the total of all losses. Untuk mencapai efisiensi produktif haruslah dipenuhi dua syarat, pertama, untuk setiap tingkat produksi ongkos yang dikeluarkan adalah yang paling minimum. Kedua, industri secara keseluruhan harus memproduksi barang pada ongkos rata-rata paling rendah….efisiensi alokatif dicapai atau tidak, perlulah dilihat apakah alokasi sumber-sumber daya ke berbagai kegiatan ekonomi telah mencapai tingkat yang maksimum atau belum. Untuk ini dibutuhkan syarat: harga setiap barang sama dengan ongkos marginal untuk memproduksi barang tersebut, berarti untuk setiap kegiatan ekonomi, produksi harus terus dilakukan sehingga tercapai keadaan dimana harga = ongkos marginal. Dengan cara ini produksi berbagai macam barang dalam perekonomian akan memaksimumkan kesejahteraan rakyat.23 Dengan menyimak pandangan-pandangan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa antara persaingan usaha dengan efisiensi terjalin hubungan seperti konstruksi konsep prasyarat dan konsep syarat. Dengan kalimat yang lebih sederhana dapat dijelaskan, persaingan usaha bertujuan meningkatkan efisiensi dan para pesaing(competitor) atau pelaku usaha agar supaya dapat bersaing secara sempurna mutlak membutuhkan dan harus memperoleh dukungan dari apa yang dinamakan dengan efisiensi. Pandangan yang dikemukakan oleh Herbert Hovenkamp pada dasarnya menyiratkan diskusi mengenai efisiensi dalam konstelasi antimonopoli dan atau persaingan usaha pada umumnya selalu bermuara pada variant; efisiensi produktif dan efisiensi alokatif. Dalam hukum persaingan usaha keduanya memegang determinasi 23
Sadono Sukirno, Pengantar RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 255
Teori
Mikroekonomi,
PT.
24
yang sangat tinggi, pada satu sisi merupakan alat atau sarana dan pada sisi lain menjadi tujuan. Bertumpu pada pandangan dari penulis yang dikutip terakhir dalam mana juga dikemukakan efisiensi produktif dan efisiensi alokatif biasanya digunakan untuk memastikan apakah sumbersumber daya digunakan secara efisien atau tidak, dapat pula diuraikan bahwa efisiensi merupakan kata atau ungkapan yang paling manjur untuk menggambarkan sasaran-sasaran pencapaian dalam hal : - penciptaan harga yang bersaing, karena efisiensi memiliki kecenderung menyesuaikan input dan output - menghindari pemborosan, dalam kaitan ini efisiensi mengajarkan keakuratan perhitungan permintaan dan penawaran. Langkah-langkah inovatif yang ditempuh akan membentuk kebutuhan yang tepat, bahwa barang yang dipasarkan memang sesuai dengan yang dibutuhkan. - Efisiensi pada akhirnya menumbuhkan kesejahteraan. Efisiensi baik produktif maupun alokatif menekankan pada penggunaan instrumen ongkos. Semakin tinggi tingkat efisiensi ongkos yang dapat dicapai semakin besar harapan akan kesejahteraan yang dapat diraih. Ad b. mewujudkan iklim usaha yang sehat yang menjamin persamaan kesempatan berusaha Meluasnya ruang gerak swasta dalam melaksanakan kegiatankegiatan ekonomi memacu gairah, etos kerja, dan pembaruanpembaruan serta terbukanya berbagai pilihan berusaha yang merupakan kontribusi yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, liberalisasi yang pada dasarnya mengarah pada terbentuknya mekanisme pasar merupakan perekonomian yang berkarakteristik persaingan, dalam mana setiap perusahaan dapat mencapai efisiensi dalam produksi yang meningkatkan kemakmuran masyarakat. Kontribusi-kontribusi
25
tersebut merupakan dampak positif dari liberalisasi. Namun demikian besarnya peranan swasta tidak selalu merupakan kondisi yang menguntungkan perekonomian secara keseluruhan. Dominannya peranan swasta mengakibatkan semakin kokohnya modal kuat dalam menguasai pasar. Dengan penguasaan tersebut, liberalisasi yang dimaksudkan memberikan kesempatan kepada mekanisme pasar dalam persaingan yang sehat berubah menjadi pasar yang oligopolistis dan monopolistis.24 Untuk menanggulangi kondisi tersebut dibutuhkan fungsi negara. Peraturan internal yang pada dasarnya merupakan norma-norma yang tumbuh dan dikembangkan dari kebiasaan-kebiasaan dalam dunia usaha serta dipertahankan, atau berdasarkan kesepakatankesepakatan secara intern dalam rangka melindungi kepentingan mereka sendiri, atau norma-norma yang tumbuh dan dibuat oleh swaata, misalnya peraturan-peraturan dalam organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi usaha yang berlaku di antara mereka sendiri, karena jangkauan berlakunya yang terbatas pada anggota, dan pelaksanaannya yang sangat tergantung pada itikad baik, pengaturan itu tampak kurang dapat diandalkan. Implikasi yang timbul dari liberalisasi tersebut harus ditanggulangi berdasarkan hukum positif. Peraturan-peraturan internal tidak dapat difungsikan untuk maksud itu, karena peraturan-peraturan internal pada umumnya lahir dari dan berkembang dalam asosiasi-asosiasi yang lebih mengarah pada kartel dan kesepakatan-kesepakatan yang ologopolitis, sehingga tidak memungkinkan berfungsi sebaliknya. Oleh karena itu alternatif penanggulangan implikasi liberalisasi masih bertumpu pada hukum positif. Hal ini mengandung pengertian, dalam era liberalisasipun masih terdapat fungsi negara dalam perekonomian. 24
UmarJuoro, Liberalisasi Dan Pembangunan Ekonomi Rakyat, dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan, Ed., Loekman Soetrisno dan Faraz Umaya, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, h. 10;
26
Liberalisasi perekonomian di Indonesia yang sudah dipersiapkan bersamaan dengan dimulainya kebijaksanaan deregulasi sejak 1983, sesungguhnya tidak mengarah pada perekonomian tanpa pengaturan hukum atau tanpa peranan negara-pemerintah sama sekali. Melalui deregulasi, pengaturan-pengaturan hukum yang tidak kondusif bagi perekonomian dikurangi atau ditiadakan. Deregulasi disini tidak menghapus seluruh fungsi negara dalam perekonomian. Di samping melaksanakan pengawasan, fungsi negara dalam memfasilitasi, antara lain mengatur agar manfaat perekonomian sesuai dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan dalam rangka memakmurkan masyarakat, merupakan salah satu fungsi negara yang masih relevan, bahkan seharusnya memperoleh prioritas dalam liberalisasi di Indonesia. Oleh karena itu apabila yang menjadi kriteria adalah memberikan peranan yang lebih besar kepada swasta dalam rangka meningkatkan pertumbuhaan dan pemerataan, maka permasalahan pokok yang dihadapi tidak terletak pada upaya menghapus peranan negara, melainkan mengupayakan mekanisme ekonomi pasar dan bentukbentuk peranan negara yang mendukung mekanisme tersebut. Dalam kerangka Pasal 33 UUD 1945, negara membatasi penguasaannya pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan sumber-sumber dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini mengandung makna adanya keterbukaan pasar atau bidang usaha, khususnya di luar yang dimaksudkan Pasal 33 UUD 1945. Dengan keterbukaan itu seharusnya tersedia suatu sistem akses yang didasarkan persamaan kesempatan berusaha yang tertuang dan memperoleh perlindungan melalui suatu pengaturan hukum, Pasal 27 ayat (2 ) UUD 1945 pada dasarnya hanya memuat aturan pokok bahwa persamaan yang dimaksud merupakan suatu hak.
27
Sementara itu pengaturan-pengaturan seperti UU. Perindustrian kendati pun juga mengunakan pasal itu sebagai dasar, ternyata tidak mengatur lebih lanjut mengenai persamaan tersebut. Hal ini menunjukkan persamaan kesempatan berusaha belum memperoleh pengaturan yang memadai. Tanpa pengaturan hukum yang bertujuan melindungi, hal tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya konsentrasi ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Dalam mencegah kondisi demikian, persamaan kesempatan berusaha perlu diatur lebih lanjut dan dilindungi. Melindungi hak atas persamaan kesempatan berusaha mengandung pengertian, menyediakan sistem akses yang sama bagi setiap pelaku usaha terhadap suatu bidang usaha, dan membuka kesempatan yang luas tanpa adanya hambatanhambatan baik dari pemerintah maupun swasta yang mempunyai kedudukan dominan. Persamaan kesempatan yang menyebabkan keterbukaan, dapat pula memunculkan banyak produsen yang menghasilkan suatu produk yang sejenis. Berbagai produk sejenis tersebut merupakan produk-produk pengganti, sehingga konsumen tidak terpaku pada satu produk yang hanya dihasilkan oleh satu produsen saja. Di samping itu dengan banyaknya produsen produk sejenis dalam pasar, dapat dicegah kecendrungan dari satu atau beberapa produsen meningkatkan harga secara sepihak, dan sebaliknya dapat diharapkan mereka terpacu untuk meningkatkan efisiensi yang menguntungkan konsumen serta berdampak positif terhadap persaingan. Urgensi hukum persaingan yang mengatur, melindungi dan memajukan persamaan itu bertumpu pada pemikiran, persamaan kesempatan berusaha pada dasarnya merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi serta landasan pengembangan persaingan yang sehat.
28
Ad c. mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat Pasal 1 angka 2 UU. No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pasal 1 angka 6 nya menentukan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pasal 17 ayat (1) yang menentukan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dan ayat (2) nya yang menentukan, pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengkibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan menyimak ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipetik makna, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ternyata merupakan konsekuensi atau akibat yang dapat timbul
29
karena dilakukannya monopoli. Akibat-akibat itulah yang hendak dicegah melalui UU. No. 5 Tahun 1999, dan pencegahan dilakukan dengan menetapkan larangan terhadap monopoli. Pencegahan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada dasarnya mengandung makna sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Gellhorn dan William E. Kovacic : mengemukakan, bahwa persaingan usaha ditandai dengan unsurunsur : 1. agar dalam pasar terdapat banyak pembeli dan penjual 2. terdapat kesamaan produk sehingga tidak ada pembeli yang memiliki alasan untuk lebih mengutamakan memilih penjual tertentu, demikian sebaliknya. 3. tersedia kelengkapan informasi mengenai harga dan sifat produk 4.
Adanya kebebasan untuk memasuki dan meninggalkan pasar.25 Terhadap penggambaran tersebut pada satu sisi kiranya dapat diterima karena secara keseluruhan dapat menunjukkan kondisi umum suatu pasar yang kompetitif, tetapi pada sisi lain khususnya terhadap butir kedua masih perlu diberikan catatan. Sehubungan dengan meningkatnya kretivitas dan inovasi yang menghasilkan product differentiation, sangat sulit, bahkan kecil kemungkinan memperoleh suatu produk kompetitif yang bersifat homogen secara sempurna. Kriterium mengenai homogenitas produk harus disesuaikan dengan perkembangan. Dengan demikian dari pandangan tersebut sesungguhnya dapat dikembangkan suatu kreteria yang menunjukkan pelaku usaha dan produk yang bersaing serta tujuan persaingan usaha sebagai berikut : 1) Adanya kebebasan memasuki dan meninggalkan pasar; 25
Gellhorn dan Kovacic, Op.cit. hal. 53.
30
Dalam berbagai kepustakaan mengenai antitrust, kebebasan memasuki pasar seringkali digambarkan dengan istilah no barrier to entry yang sekalian juga berlaku untuk kebebasan mengundurkan diri atau dalam hal ini meninggalkan pasar; tidak lagi menjadi pelaku usaha. Suatu pasar akan menjadi monopolis dan tidak kompetitif lagi ketika hak para pesaing baru yang hendak ikut meramaikan pasar dihambat atau diterapkan hambatanhambatan(barriers), bahkan akses atau jalan masuknya ditutup. Kepustakaan mencatat terdapat banyak metode yang dapat digunakan menghambat pesaing memasuki pasar, di antaranya adalah penerapan syarat-syarat tertentu kepada pesaing baru secara sepihak oleh pelaku usaha yang sudah ada terlebih dahulu dalam pasar. Dalam rangka mencegah praktek monopoli dan pesaingan usaha tidak sehat, barrier itu harus dihapuskan. Kebebasan tersebut di samping menunjukkan adanya persamaan kesempatan berusaha dan tidak adanya hambatan menjadi pesaing, mencerminkan pula peranan yang lebih besar dari kalangan dunia usaha dalam membangun struktur pasar yang kompetitif. Struktur pasar tersebut ditandai dengan banyaknya penjual dan pembeli, yang berarti untuk suatu produk terdapat banyak pesaing; untuk suatu produk yang sejenis dihasilkan oleh banyak produsen. Mengingat banyaknya pesaing, pasar tidak terpengaruh pada tindakan satu penjual, karena proporsi setiap penjual begitu kecil apabila dibandingkan dengan pasar secara keseluruhan.26 Dengan demikian banyaknya pesaing yang ditumbuhkan dari
26
Herbet Hovenkamp, Op.cit., hal. 55 ;
31
kebebasan tersebut justru akan menguntungkan pasar, dan stabilitasnya tetap terpelihara. 2) Produk yang diperjualbelikan homogen dalam hal jenis, ukuran dan sifat; Banyaknya pesaing atau pelaku usaha yang berusaha dalam pasar tampil dengan kreativitas dan inovasi masing-masing memperkecil kemungkinan terwujudnya suatu produk yang homogen secara sempurna. Oleh karena itu homogenitas produk harus dibatasi kreterianya pada jenis(nama dan bahan yang digunakan), ukuran (besar dan kecil) produk-produk yang bersaing. Adanya suatu perbedaan pada produk sejenis sudah menunjukkan upaya mewujudkan product differentiation sebagai kekhasan produk-produk yang bersaing. 3) Kelayakan informasi mengenai harga dan kondisi produk; Penjual dan pembeli harus memperoleh dan memiliki pengetahuan yang layak mengenai harga, produk dan informasi lain tentang pasar. Ketidaklayakan informasi dan pengetahuan itu di samping merupakan hambatan juga dapat menimbulkan inefisiensi baik bagi pesaing maupun konsumen. 4) Kesesuaian antara permintaan dan penawaran dalam suatu pasar. Melalui persaingan yang sehat terjadi pengalokasian sumbersumber yang sesuai dengan kondisi pasar. Pada satu sisi para pesaing berupaya menggali dan menggunakan sumbersumber, mengolah serta mendistribusikan secara efisien, dan pada sisi lain keinginan pasar akan terpenuhi. Tujuan-tujuan pembentukan UU. No. 5 Tahun 1999 sebagaimana telah diuraikan pada dasarnya merupakan bagian dari apa yang disebut dengan Kebiksanaan Persaingan (Competition Policy). Agar dapat dioperasionalkan,
32
kebijaksanaan persaingan harus diimplementasikan ke dalam norma-norma hukum yang dalam hal ini menjadi substansi Hukum Persaingan Usaha. Dalam UU. No. 5 Tahun 1999, aspek materiil hukum tersebut secara garis besarnya dirumuskan dalam bentuk larangan-larangan. Ada pun larangan-larangan yang dimaksud meliputi perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan. Perjanjian yang dilarang mencakup ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Pasal-pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16. Kegiatan yang dilarang meliputi ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, dan 24. Posisi Dominan mencakup ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 25, 26, 27, 28 dan 29. Aspek materiil hukum persaingan dalam UU. No. 5 Tahun 1999 itu mulai dari Pasal 4 hingga Pasa 29 diformulasikan dengan Normative Statement berupa “larangan” (forbidden) seperti yang umumnya terdapat dalam Hukum Pidana Materiil. Namun demikian hal ini sama sekali tidak merupakan argumen yang mendukung pandangan bahwa pelanggaran terhadap UU tersebut merupakan suatu tindak pidana. Ketidaksesuaian antara perilaku pelaku usaha dengan ketentuan dalam sistem UU. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat memang merupakan suatu pelanggaran tetapi bukan pelanggaran hukum pidana, melainkan pelanggaran khusus terhadap UU. No. 5 Tahun 1999. Di AS sekali pun pelanggaran terhadap suatu ketentuan dalam The Sherman Act dapat dikualifikasi sebagai suatu kejahatan; as a felony yang sesungguhnya berarti termasuk dalam lingkup hukum pidana murni, ternyata penyelesaiannya tidak dilakukan melalui peradilan pidana, melainkan dilakukan oleh The Federal Trade Commission(FTC). Hal ini menunjukkan kasus persaingan merupakan perkara khusus sehingga sangat
33
beralasan apabila membutuhkan institusi yang khusus pula untuk menyelesaikannya. Ketidaksesuaian antara perilaku pelaku usaha dengan ketentuan-ketentuan dalam UU. No. 5 Tahun 1999 merupakan dugaan pelanggaran terhadap undang-undang tersebut, dan inilah yang kemudian dapat disebut dengan Perkara Persaingan Usaha yang dilaporkan dan atau dimonitor, diperiksa baik pendahuluan maupun lanjutan serta diputus melalui sidang Majelis Komisi KPPU. 3. Perangkat Hukum Di Luar UU. No. 5 Tahun 1999 Diadakannya ruang yang sangat ringkas ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memberi tempat menguraikan adanya ketentuan hukum lain di luar UU. No. 5 Tahun 1999, ketentuan mana juga diberi titel yang berkaitan dengan persaingan; persaingan curang atau oneerlijke mededinging. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 382bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP), yang menentukan “barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkiren-konkirenya atau konkiren-konkiren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Mengingat pasal tersebut diberi titel persaingan curang (unfair competition) perlulah dijelaskan sekiranya terjadi perkara, apakah perkara itu termasuk dalam ruang lingkup perkara persaingan usaha dan tunduk pada tata cara penanganan perkara seperti yang diterapkan terhadap dugaan pelanggaran UU. No. 5 Tahun 1999. Dalam kaitan ini pertama-tama harus diuraikan
34
apakah oneerlijke mededingin itu identik dengan unfair competition. Prof. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, maksud pasal tersebut ialah untuk membrantas persaingan curang antara para pedagang dalam mencari keuntungan. Tetapi hasil pembicaraan di Parlemen Belanda ialah bahwa dalam pasal tersebut tindak pidana ini hanya dinamakan “persaingan curang”, namun dirumuskan sebagai perbuatan yang bersifat menipu untuk memperdaya khalayak ramai atau seseorang tertentu. Dan unsur “persaingan” hanya berupa kemungkinan kerugian pada lawannya bersaing. Jadi tidak perlu ada benar-benar terjadi seorang lawan bersaing dirugikan.27 Dengan demikian kiranya jelas oneerlijke mededingin itu tidak identik dengan unfair competition. Tambahan pula di Indonesia pasal ini sangat jarang diterapkan, dan kalau pun diterapkan, digunakanlah Hukum Acara Pidana yang konvensional dan atau prosedur perdata menurut Pasal 1365 KUH Perdata.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1974, hal. 47. 27
35
BAB III
ASPEK HUKUM FORMIL
1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) a. Rancang Bangun Dalam pengembangan persaingan usaha terdapat 2(dua) tujuan pokok, meningkatkan kemakmuran individu dan kemakmuran masyarakat. Tujuan-tujuan tersebut mengandung pengertian, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada swasta untuk mengaktualisasi kemampuannya memanfaatkan peluang dalam perekonomian, dan dengan terbukanya kesempatan yang diraih oleh banyak pelaku usaha, maka persaingan usaha sesungguhnya mengarah pada upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat. Hukum harus melindungi dan mengembangkan kepentingankepentingan tersebut. Kebutuhan agar kepentingan-kepentingan tersebut terwujud secara harmonis dalam persaingan yang sehat menimbulkan urgensi tentang perlunya pengaturan hukum persaingan usaha yang bertujuan mencegah dan atau menangani dugaan-dugaan pelanggaran terhadap hukum persaingan. Sejalan dengan berkembangnya persaingan usaha yang menyebabkan peningkatan pelaksanaan kegiatan dalam perekonomian, kedua tujuan tersebut akan dapat dicapai apabila kepentingan-kepentingan yang terkandung didalamnya dilaksanakan secara harmonis, baik antar individu (pelaku usaha), maupun antara pelaku usaha dengan masyarakat(konsumen). Dalam hal pelaksanaan kepentingan itu 36
merugikan kepentingan pelaku usaha yang lain dan konsumen, terjadilah perselisihan kepentingan yang dapat menimbulkan sengketa. Timbulnya sengketa menyebabkan timbulnya permasalahan mengenai siapa yang bertindak merugikan, dan apa hukumnya.28 Dalam kondisi seperti itu, maka keberadaan hukum dirasakan urgensinya. Namun demikian hal tersebut tidak sematamata berarti adanya sengketa merupakan syarat berfungsinya hukum. Timbulnya sengketa tidak dengan segera dapat dikemukakan sebagai raison d’ etre dari keberadaan dan berfungsinya hukum. Pandangan bahwa hukum baru berfungsi ketika terjadi suatu sengketa, dan pada saat tindakan-tindakan dan hubunganhubungan berlangsung tanpa sengketa, hukum berada dalam keadaan pasif pada dasarnya lebih menonjolkan pemahaman berdasarkan pengertian hukum formil. Dalam pengertian tersebut fungsi hukum berada dalam kerangka perlindungan represif atau perlindungan hukum yang diberikan setelah terjadinya sengketa. Di samping yang bersifat represif dikenal pula adanya perlindungan preventif atau perlindungan hukum yang diberikan justru untuk mencegah terjadinya kerugian dan sengketa. Dalam perlindungan hukum ini diupayakan prevensi-prevensi agar kepentingan individu dan kepentingan bersama dapat berlangsung dalam hubungan yang harmonis. Oleh karena itu urgensi hukum dalam perlindungan hukum preventif harus pula dipandang sebagai raison d’ etre bagi timbulnya suatu pengaturan hukum. Dalam kerangka pengaturan hukum persaingan usaha, urgensinya tidak semata-mata mengarah pada penyelesaian sengketa atau dugaan pelanggaran terhadap hukum persaingan, 28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1986. hal. 29
37
melainkan juga yang tidak kalah pentingnya mencegah tindakantindakan yang merugikan. Dengan demikian pengaturan hukum persaingan tidak sepenuhnya berpretensi represif, tetapi juga preventif. Tujuan-tujuan tersebut mengarahkan pengaturan hukum persaingan pada upaya-upaya agar pelaksanaan kepentingan yang satu tidak melanggar kepentingan yang lain. Hal ini mengandung pengertian, kepentingan para pelaku usaha swasta memanfaatkan keterbukaan kesempatan berusaha, dan tujuan mewujudkan kemakmuran masyarakat sebagai kepentingan bersama diupayakan perlindungan serta pengembangannya. Sehubungan dengan tujuan-tujuan tersebut, pengaturan hukum persaingan harus menyediakan preskripsi-preskripsi dalam rangka mencegah tindakan-tindakan yang merugikan, dan mengusahakan penyelesaian represif sebagai upaya akhir apabila terjadi sengketa yang tak dapat dicegah. Kebutuhan untuk mencegah pelaksanaan kepentingan yang merugikan kepentingan lain dan menyelesaikan sengketa itu, semakin memperkokoh urgensi pengaturan hukum persaingan usaha. Upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa membutuhkan sarana-sarana berupa norma-norma hukum sebagai pedoman dan pelaksana upaya tersebut. Untuk persaingan usaha yang pada dasarnya merupakan urusan yang besar dan fundamental, maka pelaksana yang relevan adalah sebuah institusi. Oleh karena itu di samping berhubungan dengan fungsi norma hukum, terkait pula dengan fungsi kelembagaan. Di Indonesia pada dasarnya sudah terdapat suatu lembaga yang memiliki fungsi preventif. Lembaga yang dimaksudkan adalah Departemen Kehakiman, yang berdasarkan UU No. 1 Tahun 1995 (sekarang UU. No. 40 Tahun 2007) mengemban fungsi menilai dan memutuskan untuk memperkenankan atau melarang tindakan-tindakan tertentu perseroan terbatas(PT).
38
Namun demikian fungsi pencegahan yang dilasanakan departemen tersebut semata-mata pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan persaingan dan terbentuknya monopoli sehubungan dengan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan PT. Sementara itu perilaku monopolis dan bersaing secara tidak fair dapat mencakup konsep pelaku usaha dalam lingkup yang lebih luas. Dengan keterbatasan tersebut, fungsi Departemen Kehakiman semata-mata tidaklah memadai untuk mencegah persaingan tidak sehat dan monopoli. Disamping karena fungsi itu belum dapat dilaksanakan sehubungan dengan belum tersedianya norma-norma hukum yang mengandung kriteria mengenai tindakan-tindakan yang diperkenankan dan dilarang, tindakantindakan yang dapat merugikan tersebut jauh lebih luas ruang lingkupnya, tidak saja mencakup restrukturisasi PT, melainkan meliputi pula tindakan-tindakan sepihak, dan kesepakatankesepakatan yang tidak tercakup dalam kewenangan Departemen Kehakiman(sekarang Kementrian Hukum dan HAM) untuk menanganinya. Dari segi kepentingan yang dirugikan, permasalahan tersebut manyangkut kepentingan konsumen dan pesaing, yang dapat mengandung unsur-unsur perdata, pidana dan administratif. Oleh karena itu urgensi mencegah dan menyelesaikan sengketa disamping memanfaatkan lembaga-lembaga yang telah ada seperti lembaga-lembaga peradilan, dibarengi pula dengan pembentukan suatu lembaga yang lebih dapat secara khusus menanggani masalah-masalah persaingan secara menyeluruh dan profesional. Mengingat bahwa pencegahan monopoli dan persaingan tidak sehat juga mengandung pengertian membatasi serta mangendalikan peranan pemerintah dalam perkonomian, maka lembaga yang dimaksudkan harus diberikan kewenangan
39
melakukan kontrol tidak hanya terhadap tindakan-tindakan swasta, melainkan dan seharusnya pula terhadap kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu lembaga tersebut harus bersifat independen. Berdasarkan independensi itu fungsi lembaga akan menjadi jelas. Lembaga tersebut tidak tergantung pada lembaga lain terutama yang juga melaksanakan fungsi sebagai pemain (pelaku usaha) atau mengelola suatu unit usaha ekonomi, sehingga dengan demikian kinerjanya lebih dapat menunjukan karakteristik sebagai institusi yang berfungsi mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah persaingan menurut prinsip persamaan perlakuan dalam hukum. Untuk menjamin independensinya, lembaga yang pembentukannya dapat dituangkan dalam UU persaingan usaha tersebut antara lain harus: a. tidak merupakan bagian dari departemen pemerintahan Lembaga yang berfungsi mencegah dan menyelesaiakan masalahmasalah persaingan tersebut pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang melaksanakan dan mengimplementasikan UU Persaingan. Oleh karena itu merupakan pula suatu lembaga yang bersifat mandiri. Kemandirian tersebut diperoleh dari pembentukannya yang didasarkan pada kekuasaan legislatif. Dengan kedudukan demikian, lembaga itu tidak berada dalam hubungan subordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, bahkan sebaliknya dapat melakukan kontrol terhadap kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah. Berkaitan dengan fungsinya melindungi hak atas persamaan kesempatan berusaha, mencegah tindakan-tindakan antikompetitif dan monopoli, serta penyelesaian sengketa, maka sejalan dengan kedudukannya yang mandiri, terhadap lembaga tersebut diberikan kewenangan-kewenangan untuk;
40
- menafsirkan dan menerbitkan aturan-aturan yang merupakan pelaksanaan atau implementasi UU Persaingan secara mandiri, - melakukan tindakan-tindakan hukum dalam rangka mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari praktekpraktek usaha yang melanggar. Dalam kaitannya dengan kewenangan tersebut, lembaga dapat melarang dilanjutkannya suatu kegiatan usaha atau beredarnya suatu produk yang berdasarkan pemantauan dan pengawasan dinilai menyimpang dan dapat merugikan, melalui perintah menghentikan sementara suatu kegiatan dalam rangka mencegah meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan (cease and desist order). b. dibiayai dari APBN, Permasalahan mengenai biaya operasional suatu lembaga perlu diketengahkan, mengingat banyak lembaga yang menyatakan diri independen tetapi sumber pembiayaannya masih tergantung pada alokasi anggaran dari suatu departemen. Hal ini menunjukkan lembaga tersebut sesungguhnya tidak independent. Dalam kondisi ketergantungan, efektivitas dan efisiensi kinerja suatu lembaga akan tergantung pula pada departemen yang menaunginya. Oleh karena itu diupayakan pembiayaan lembaga yang berfungsi mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah persaingan tidak bersumber dari anggaran yang dialokasikan oleh suatu departemen, melainkan langsung dari anggaran pendapatan dan belanja negara(APBN ). c. komposisi personalia terdiri dari para profesional Lembaga sejenis di Amerika Serikat yang disebut Federal Trade Commission(FTC), yang juga dibentuk dengan UU (act), dan dibiyai oleh kongres, pada dasarnya merupakan suatu kumpulan orang-orang yang terdiri dari para pakar (the body of experts).29 29
Garry A Moore, et.al., Legal Environment of Business: A Contextual Approach, South Western, tanpa tempat dan tahun, hal. 418.
41
Komposisi tersebut menunjukkan personalia lembaga tidak berasal dari kalangan pemerintah. Di samping dimaksudkan untuk menjamin kemandirian lembaga dalam melaksanakan fungsifungsinya, bagi Indonesia yang telah mencanangkan debirokratisasi dalam perekonomian, maka pola tersebut kiranya relevan diterapkan. Prinsipnya, dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut, competition policy yang tertuang dalam Hukum Persaingan Usaha harus diimplementasikan dan implementasinya menyangkut aspek kelembagaan. UU. No. 5 Tahun 1999 mengimplementasikan mission tersebut dengan mengamanatkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau yang disingkat dengan KPPU. Disimak dari Pasal 1 angka 18 UU tersebut yang menentukan bahwa KPPU merupakan komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, tampak fungsi pencegahan(prevensi) dari institusi itu sangat menonjol. Selanjutnya jikalau disimak dari Pasal 30 ayat (1) yang pada pokoknya menentukan bahwa pembentukan KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini, maka di samping mencegah, institusi tersebut memiliki pula fungsi penanggulangan melalui langkah-langkah represif yang dilakukan berdasarkan hasil pengawasan. b. Tugas dan Wewenang Secara limitatif undang-undang merinci tugas dan wewenang KPPU sebagai berikut : Pasal 35 Tugas Komisi meliputi : a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
42
b.
c.
d. e.
f. g.
usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini; memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 36 Wewenang Komisi meliputi : a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
43
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Dengan tugas dan wewenang yang sangat luas itu pun, KPPU ternyata masih belum dapat menyentuh kebijaksanaankebijaksanaan Pemerintah sekiranya ada yang mengarah pada perilaku monopolis. Hal ini disebabkan karena KPPU sesungguhnya masih merupakan suatu administrative body biasa yang bertanggung jawab kepada Presiden. Di samping itu dapat pula dikemukakan, UU. No. 5 Tahun 1999 hanya diberlakukan terhadap pelaku usaha yaitu setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
44
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi(Pasal 1 angka 5). Disimak dari aspek organisasinya menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun 1999, KPPU atau yang selanjutnya disebut dengan Komisi itu memiliki struktur organisasi yang terdiri dari anggota komisi dan sekretariat(Pasal 8). Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7(tujuh) orang anggota(Pasal 9). Apabila diperlukan, Komisi dapat membentuk kelompok kerja sesuai dengan kebutuhan(Pasal 13). Institusi sejenis yang terdapat di Amerika Serikat(AS), The Federal Trade Commission(FTC) memiliki susunan organisasi sebagai berikut : COMMISSIONER
COMMISSIONER
CHAIRMAN
COMMISSIONER
COMMISSIONER
EXECUTIVE ASSISTANT
OFFICE OF CONGRESSSIONAL RELATIONS
OFFICE OF THE GENERAL COUNCEL
OFFICE OF ADMINISTRATIVE LAW JUDGES
OFFICE OF PUBLIC AFFAIRS
BUREAU OF CONSUMER PROTECTION
OFFICE OF THE SECRETARY
OFFICE OF PRESIDING OFFICERS
OFFICE OF THE EXECUTIVE DIRECTION
BUREAU OF COMPETITION
BUREAU OF ECONOMIC
REGIONAL OFFICES
45
Susunan organisasi FTC tampak sedikit lebih kompleks, selain karena memang sudah dikembangkan sejak sekitar 1(satu) abad yang lampau sehingga memiliki pengalaman sejarah yang panjang dan dapat dikemukakan menjadi sumber inspirasi bagi negara-negara yang bermaksud mengembangkan persaingan, institusi tersebut juga menyelenggarakan perlindungan konsumen. Di Indonesia perlindungan demikian ini tidak dilaksanakan oleh KPPU, melainkan oleh suatu institusi khusus yang dibentuk berdasarkan UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun disimak dari aspek jangkauan kewilayahan dalam pengertian ketersediaan institusi yang menangani masalah persaingan sesuai yurisdiksi(wilayah) negara, antara FTC dan KPPU terdapat suatu persamaan. FTC memiliki Regional Offices, sedangkan KPPU juga diberikan wewenang untuk membuka Kantor Perwakilan di daerah-daerah, misalnya di Surabaya. Persamaan lain dapat pula dikemukakan dalam hal ini adalah berkenaan dengan sifat kedudukannya. Baik FTC maupun KPPU keduanya sama-sama dirancang memiliki quasi legislative authority dan executive and quasi-judicial power. Kewenangan tersebut penting dipahamkan terutama dalam rangka menjelaskan persoalan-persoalan menyangkut pada satu sisi pandangan keliru tentang KPPU sebagai lembaga yang tumpang tindih dan pada sisi lain justru berkaitan dengan keraguan apakah dengan power hanya sebagai administrative body biasa, KPPU mampu melaksanakan tugasnya. Berkenaan dengan FTC, Garry A Moore30 pada pokoknya menguraikan the quasi-legislative authority of the Commission takes the form of the previously mentioned trade regulation rules which it issues. Its executive and quasi judicial powers are implemented by investigating business practices, initiating legal 30
Ibid. hal. 429
46
proceedings against defendant firms, and ordering remedies for violations of the laws for which it has responsibility. Sebagai suatu administrative body sudah tentu dan harus memiliki executive power yang merupakan wewenang asli dari suatu administrative agency. Pada KPPU wewenang keeksekutivan demikian diimplementasikan melalui tindakantindakan sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang. Tindakan-tindakan seperti perintah menghentikan integrasi vertikal dan perintah menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat dapat dikategorikan termasuk dalam ruang lingkup executive power. Quasi Legislative Authority atau “kekuasaan legislatif” semu(karena kekuasaan aslinya hanya diberikan kepada legislative body) dalam menetapkan peraturan pada KPPU diwujud dalam tugas menyusun Pedoman dan Publikasi yang berkaitan dengan UU. No. 5 Tahun 1999. adanya Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU dapat dikemukakan sebagai suatu contoh. Di AS implementasi executive power dan quasi-lagislative authority oleh FTC seringkali lebih menonjol daripada pelaksanaan kewenangan yang lainnya. Institusi yang bertanggungjawab kepada Kongres itu cenderung pula lebih berupaya mencegah daripada menanggulanginya….in many instances the Commission attempts to avoid time-consuming investigations and litigation by issuing advisory opinions amd trade regulation rules as guidance to what practices are legal and illegal.31 Dalam hal ini tampak kualitas peraturan dan pedoman sangat diandalkan untuk membentuk pemahaman mengenai perilaku yang diperbolehkan dan sebaliknya mencegah yang dilarang. 31
Ibid
47
Implementasi quasi judicial power pada KPPU meliputi seluruh wewenang yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Intinya dengan kewenangan tersebut, KPPU diperkenankan melaksanakan fungsi-fungsi seperti layaknya badan peradilan yang konvensional. Mengingat kasus–kasus monopoli dan persaingan bersifat spesifik, complicated dan berkembang, maka institusi semacam KPPU memang sangat berdasar memiliki judicial power kendati pun bersifat semu, dengan mana KPPU diberikan kesempatan menyelesaikan kasus yang dihadapi berdasarkan metode, pedoman dan “hukum acara” yang diimplementasikan dari profesionalismenya sendiri. Untuk menangani perkara persaingan usaha atau dalam hal dugaan pelanggaran terhadap UU. No. 5 Tahun 1999, KPPU tidak cukup hanya dibekali dengan executive power semata-mata. Institusi tersebut harus juga diperkuat dengan quasi legislative authority dan quasi judicial power. Semua kewenangan yang dicurahkan pada satu institusi itu tidak tumpang tindih. KPPU di samping seolah-olah diformat sebagai suatu super body juga sesungguhnya dilengkapi dengan pembatasan-pembatasan dan dengan ini dapatlah diharapkan akan menggunannya secara bertanggung jawab, efektif dan efisien. Pembatasan yang paling mendasar, bahwa KPPU itu dibentuk berdasarkan Undang-undang dan Keppres. Dengan demikian segala sesuatu yang menyangkut kewenangan dan kebijakannya sudah tentu tidak boleh menyimpang dari peraturan perundang-undangan berikut Undang-undang Dasar Negara RI 1945 sebagai landasan konstitusional serta Pancasila yang merupakan spirit dan sumber dari segala produk hukum. Berikutnya berkaitan dengan kewenangan KPPU yang hampir tak terbatas itu, The Doctrine of Judicial Self-restraint sangat relevan diadaptasi. Doktrin tersebut pada dasarnya....most often assiciated with the Supreme Court’s exercise of judicial
48
review.... By the Separation of powers, the court should distinguish itself from the legislature and executive by limiting itself to the resolution of concrete cases and controversies according to given standards of law³² 49.50 Intinya, figur atau pun institusi yang memiliki kewenangan “lebih” perlu memahami Doktrin Self-restraint agar dapat limiting itself dan tidak sewenang-wenang dengan kewenangannya. Banyak kiranya produk hukum yang telah diciptakan dalam rangka mengawal institusi semacam KPPU agar tetap berjalan pada jalurnya. Namun demikian sampai sejauh ini peranan moral yang jujur, konsisten, bertanggungjawab, dll bagi institusi dengan stigma super body tersebut sangatlah penting dan seharusnya menjadi teladan. 2. Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum a. Umum Dalam kepustakaan hukum terdapat berbagai pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan penegakan hukum, antara lain....the detection and punsihment of violations of the law...., police officers and other members of the executive branch of government charged with carrying out and enforcing the criminal law,51 ....ensuring obedience to the laws.33 Dari pengertian-pengertian tersebut tercermin makna bahwa penegakan hukum merupakan proses mengupayakan kepatuhan terhadap berbagai bidang hukum yang tidak terbatas dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pengacara, melainkan juga meliputi pejabat pemerintahan(eksekutif) serta badan atau komisi negara yang kompeten. Berdasarkan makna tersebut maka upaya dan ³² Henry Campbell Black, Loc.cit. hal. 891
33
http://www.thefreedictionary.com. 16/08/2010 9:17
49
proses yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) dalam penanganan perkara persaingan usaha termasuk pula dalam ruang lingkup pengertian umum penegakan hukum dan secara khusus menegakan hukum persaingan usaha. Sebagai perbandingan seperti diuraikan Herbert Hovenkamp34, di Amerika Serikat(AS), penegakan antitrust laws dilaksanakan oleh dua entitas federal, Departemen Kehakiman(The Department of Justice) dan The Federal Trade Commission, demikian juga oleh pihak-pihak pribadi yang menderita kerugian karena pelanggaran antitrust. Departemen Kehakiman AS dapat melaksanakan dua bentuk penegakan hukum, yaitu Criminal Enforcement dan Civil Enforcement. Dalam bentuk Criminal Enforcement, Departemen Kehakiman bersama-sama dengan Kejaksaan AS memiliki wewenang untuk menegakan ketentuan-ketentuan hukum pidana dari antitrust laws yang termuat dalam Pasal 1 dan 2 the Sherman Act, Pasal 3 dari the Robinson-Patman Act, dan Pasal 14 dari the Clayton Act. Berdasarkan Criminal Enforcement, badan hukum dan orang-perseorangan dapat dihukum secara pidana. Suatu badan hukum yang dipersalahkan melanggar salah satu pasal dari the Sheman Act dapat didenda hingga $1,000,000. Sementara itu orang-perseorangan dapat dikenai denda sampai $100,000. dan dipenjara hingga 3 tahun. Dalam bentuk Civil Enforcement, Departemen Kehakiman memiliki wewenang yang luas untuk melakukan investigasi bisnis atas pelanggaran-pelanggaran terhadap antitrust law. FTC memiliki wewenang yang eksklusif untuk melaksanakan Pasal 5 FTC Act yaitu melarang praktek persaingan yang tidak jujur(unfairs methods of competition), dan secara efektif melaksanakan seluruh ketentuan antitrust laws. Dewasa ini dilaksanakannya proses penegakan hukum persaingan 34
Herbert Hovenkamp, Loc.cit. hal. 285-286
50
di AS didominasi oleh gugatan-gugatan(plaintiffs) orangperseorangan yang sebagian terbesar awalnya dialamatkan pada the federal district courts. Praktek penegakan hukum persaingan di AS memperlihatkan keragaman baik dari aspek penegak hukumnya yang terdiri dari Departemen Kehakiman, Kejaksaan, dan FTC, maupun dari aspek institusi yang berwenang menanganinya. Selain FTC, perkara-perkara persaingan atau antitrust case ditangani pula oleh badan peradilan umum. Di Indonesia perkaraperkara yang mengenai dugaan pelanggaraan terhadap UU. No. 5 Tahun 1999 ditangani oleh KPPU, kecuali untuk keberatan terhadap putusan KPPU yang ditangani pengadilan negeri. Namun demikian dalam proses penegakan hukum persaingan baik di Indonesia maupun di negara lain terdapat prinsip yang bersifat universal. 1). Melakukan Pemeriksaan Berdasarkan Laporan dan Inisiatif Sendiri Diskusi mengenai prinsip atau asas sebagai suatu aturan yang bersifat umum seharusnya lebih banyak menampakan keseragaman. Akan tetapi berkenaan proses penanganan perkara persaingan usaha di KPPU apabila dibandingkan dengan proses yang ditempuh dalam hukum acara yang konvensional, baik hukum acara perdata maupun yang lainnya, justru memperlihatkan simpul-simpul yang masih perlu dijelaskan. Simpul-simpul tersebut berkisar pada sumber input agar institusi penegak hukumnya bekerja. Azas hukum acara pada umumnya ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada
51
pihak yang berkepentingan.35 Apakah azaz ini berlaku dalam proses penanganan perkara persaingan. Pemahaman secara umum mengemukakan bahwa proses penanganan perkara persaingan dapat dilangsungkan apabila ada laporan mengenai dugaan pelanggaran terhadap UU. No. 5 Tahun 1999. Persoalan yang perlu dijelaskan dalam hubungan ini adalah siapakah yang dapat menyampaikan laporan itu kepada KPPU. Terhadap Pasal 1 angka 12 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 yang menentukan bahwa pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada Komisi mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak, timbul persoalan, apakah setiap orang itu merupakan pihak yang berkepentingan. Analog dengan pandangan bahwa setiap orang adalah konsumen dan terlibat dalam transaksi konsumsi(we are all consumers and we all engage in consumer transactions) yang secara langsung atau tidak langsung menjadi subyek dalam kegiatan persaingan, maka dapat dikemukakan, setiap orang dalam kerangka hukum persaingan merupakan pihak yang berkepentingan. Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran merupakan faktor yang dapat mempersamakan antara proses penanganan di KPPU dengan hukum acara yang konvensional. Namun di samping persamaan ini dapat pula diidentifikasi adanya perbedaan, bahkan ini sifatnya sangat mendasar, yaitu KPPU dapat melakukan pemeriksaan berdasarkan atas inisiatif sendiri tanpa menunggu adanya laporan. Secara tradisional, badan peradilan umum bersifat menunggu perkara. Sementara itu KPPU yang diwenangkan melaksanakan fungsi peradilan kendati pun secara semu (quasi 35
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 9.
52
judicial power) tampak diformat menjadi agresif “seperti menjemput bola”. Namun inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan ini bukanlah inisiatif biasa, melainkan yang didasarkan dan diperintahkan oleh UU. No.5 Tahun 1999 khususnya ketentuan Pasal 40 ayat (1). 2). Komisi Memfasilitasi Seluruh Kegiatan Penanganan Perkara Dalam rangka menegakan UU. No.5 Tahun 1999 yang salah satu tujuannya adalah mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, KPPU atau yang disingkat dengan Komisi mempunyai tugas memfasilitasi seluruh kegiatan penanganan perkara dengan berpegang pada prinsip-prinsip transparansi, efektivitas dan due process of law. a) Transparansi Berkenaan dengan penanganan perkara di KPPU, transparansi tidaklah sekadar berarti bahwa institusi tersebut telah melaksanakan keterbukaan misalnya melalui penyelenggaraan sidang-sidang yang bersifat terbuka untuk umum, sebagaimana juga telah dilaksanakan dalam berbagai persidangan berdasarkan hukum acara konvensional. Transparansi di KPPU memiliki jangkauan pengertian yang lebih dari itu. Di samping menyangkut tindakan-tindakan yang secara tradisional telah dilakukan, tercakup pula perlakuan-perlakuan dan khususnya penyampaian informasi serta segenap ekspektasinya pada tahap pra hingga tahap pasca sidang. Salah satu kebijaksanaan KPPU yang patut diberikan apreasiasi adalah penyediaan suatu website yang menginformasikan mengenai Petikan Putusan berikut Salinan Putusan. Di samping dapat diakses oleh khalayak, sarana informasi tersebut sangat penting bahkan menentukan bagi Terlapor, karena Pasal 64 ayat (3) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 menentukan, Terlapor
53
dianggap telah menerima pemberitahuan Petikan Putusan berikut salinan Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak tanggal tersedianya Salinan Putusan dimaksud di website Komisi. b) Efektivitas Dalam penegakan hukum persaingan usaha yang berhasil secara efektif dapatlah dikemukakan, bahwa KPPU telah membuka diri dengan diberikannya kesempatan membentuk Kelompok Kerja yang direkrut dari kalangan independen. Di samping welcome terhadap keahlian, Komisi, terutama berdasarkan perintah undang-undang juga berupaya untuk selektif dan korektif. Langkah selektif diwujudkan dengan menerima setiap laporan mengenai dugaan adanya pelanggaran terhadap UU. No. 5 Tahun 1999, akan tetapi tidak semuanya dengan serta merta ditetapkan untuk diteruskan pada proses hukum selanjutnya, melainkan hanya laporan-laporan yang memenuhi persyaratanlah yang boleh diteruskan. Selain harus memenuhi standar substansial laporan yang sah, Komisi wajib melaksanakan penelitian dan klarifikasi yang pada dasarnya juga dimaksudkan sebagai langkah verifikasi(pencocokan) dan memenuhi kelengkapan data serta informasi yang dibutuhkan. Sebelum suatu laporan dan atau hasil monitoring sampai pada tahap pemberkasan, Komisi menetapkan dilakukannya semacam penelitian kembali atas kelayakannya. Pada tahap inilah terselip fungsi korektif dari Komisi sebelum laporan dan hasil tersebut sampai pada tahap Gelar Laporan. Semuanya dilakukan dengan tujuan agar kinerja Komisi berhasil dan tentunya tepat sasaran.
54
c) Due Process of Law Dalam sebuah sumber bahan hukum36 dijelaskan bahwa Due Process of Law pada dasarnya mencakup upaya-upaya yang diwujudkan antara lain dengan memberikan perhatian dan kesempatan yang luas agar setiap orang memperoleh perlindungan dalam suatu proses hukum yang dihadapi. Diuraikan pula Due process of law meliputi procedural due process dan substantive due process. Procedural due process sesungguhnya merupakan suatu terma(istilah) yang digunakan untuk menggambarkan pengertian dari upaya-upaya dalam rangka memberikan kesempatan untuk didengar (keterangannya) dalam suatu proses hukum. Sementara itu substantive due process dikemukakan sebagai suatu bentuk jaminan secara konstitusional bahwa setiap orang tidak boleh diperlakukan secara sewenangwenang baik berkenaan dengan aspek yang paling mendasar yaitu kehidupannya maupun menyangkut kebebasan dan harta bendanya ditiadakan. Samuel Mermin pada pokoknya menegaskan…,the right to a hearing includes right the witnesses against him, to offer
36 Henry Campbell Black, Loc.cit. hal. 449. pada pokoknya diuraikan The essential elements of due process of law are notice and opportunity to be heard and to detent in orderly proceeding adapted to nature of case, and the guarantee of due process requires that every man have protection of day in court and benefit of general law.…. central meaning of procedural due process is that parties whose rights are to be affected are entitled to heard and, in order that they may enjoy that right, they must be notified….Reasonable notice and opportunity to be heard and present any claims or defense are embodied in the term “procedural due process.(hal. 1083)…mengenai substantive due process dijelaskan… such may be broadly defined as the constitutional guarantee that no person shall be arbitrarily deprived of his life, liberty or property; the essence of substantive due process is protection from arbitrary and unreasonable action. (hal. 1281)
55
testimony and to be represented by counsel, as well as a right to an impartial judge,37 Bertumpu pada pengertian-pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa Due Process of Law pada dasarnya merupakan suatu prinsip dalam rangka melindungi dan mewujudkan hak-hak baik prosedural maupun substantif setiap orang dalam suatu proses judicial. Berkenaan dengan hukum persaingan usaha di Indonesia upaya-upaya seperti : - merahasiakan identitas pelapor, - meminta keterangan dari pihak-pihak - memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pendapat dan atau pembelaan, dll merupakan bentuk-bentuk perwujudan dari apa yang disebut dengan due process of law. b. Khusus 1) Per Se Illegal Berkenaan dengan penegakan hukum persaingan usaha terdapat metode-metode analisis yang khas dalam pengertian bahwa metode-metode tersebut pada awalnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam penegakan hukum persaingan. Ada pun metode yang dimaksud terkandung dalam doktrin-doktrin mengenai Per Se Illegal dan Rule Of Reason. Herbert Hovenkamp38 mengemukakan bahwa Per Se Illegal atau Per Se Doctrine atau Per Se Rule merupakan…a rule under which the court will not consider elaborate arguments that a particular practice is actually procompetitive, but will condemn the practice without taking these arguments into account. The rule is applied to a practice only after long judicial experience
37
Samuel Mermin, Law And The Legal System, An Introduction, Little, Brown and Company, Boston and Toronto, 1982, hal. 435. 38 Herbert Hovenkamp, Op.cit. hal. 334
56
has convinced the supreme court that a certain practice is virtually always anticompetitive. Dari apa yang dikemukakan itu dapatlah diketahui, Per Se Rule pada dasarnya merupakan suatu metode spesifik yang digunakan dalam analisis antitrust. Aplikasi Per Se Rule yang dikenal juga dengan sebutan Per Se Violation bersifat sederhana. Secara Etimologis, Per Se Rule berasal dari Bahasa Latin yang berarti “dengan sendirinya” atau “memang sudah demikian”(by itself, simply as such). Oleh karena itu untuk menentukan praktek tertentu merupakan suatu pelanggaran, tidaklah dibutuhkan halhal lain (unconnected with other matters) termasuk argumenargumen yang rumit untuk menjelaskannya. Formulasi norma hukumnya sudah sangat jelas dan tegas merumuskannya dan ditambah lagi dengan fakta bahwa praktek tertentu itu bersifat antikompetitif, maka dengan sendirinya sudah merupakan pelanggaran. Secara mendasar doktrin tentang Per Se Rule tersebut sesungguhnya berpijak pada suatu cara berpikir, bahwa praktek tertentu yang bersifat prokompetitif tidaklah perlu dibuktikan dengan argumen-argumen yang berat, terlebih-lebih dilarang, namun yang patut dilarang adalah praktek yang antikompetitif. Penegak hukum dalam upaya pembuktian ini tidak dapat melepaskan diri dari bantuan argumentasi. Ada pun mengenai maksud dikembangkannya Doktrin Per Se Rule Herbert Hovenkamp39 mengemukakan…. the purpose of the rule is to avoid expensive litigation in areas in which it is applied to horizontal price fixing, horizontal territorial or customer division, vertical price fixing(resale price maintenance), and some concerted refusal to deal and tying agreements. Intinya pengembangan Doktrin Per Se Rule dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran dalam rangka 39
Ibid
57
memberikan penyelesaian terhadap perkara persaingan usaha secara sederhana, tepat dan cepat. Prosedur-prosedur yang membutuhkan waktu relatif lama misalnya pembuktian mengenai adanya efek atau akibat yang timbul dari suatu tindakan yang dilarang, dalam hal ini pembuktian adanya hubungan antara tindakan dan akibat yang merugikan tidak ditempuh. Hukum positif dalam hal ini UU. No.5 Tahun 1999 misalnya sama sekali tidak menentukan secara eksplisit laranganlarangan mana saja yang bersifat Per Se. Kekurangjelasan ini perlu ditelusuri sehubungan dengan kebutuhan penegakan hukum perkara persaingan usaha yang dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini mulai berkembang, bahkan sampai ke daerah-daerah. Kendati pun mengakui belum sempurna mengingat TheProblem of Characterization berkenaan dengan Per Se Rule dan Rule Of Reason masih berlangsung, namun sekadar sebagai pegangan, Herbert Hovenkamp40 memberikan beberapa petunjuk dalam memutuskan pilihan terhadap salah satu di antara dua doktrin tersebut. Petunjuk-petunjuknya disampaikan dalam formulasi sebagai berikut: (a) Does the agreement involve competitors? If yes, it is a candidate for per se treatment…. (b) Does the arrangement explicitly “affect” price or output? If so, and if the agreement involves competitors, the court will most generally apply the per se rule, although there are some exceptions. The word “explicitly” is important. Competitors exchanges of price information may effect price or output… (c) If the agreement affects price or output, is it “naked,” or is it ancillary to some other activity that arguably enchances the efficiency of the participant? If the agreement is naked, application of the per se rule is virtually automatic…. 40
Herbert Hovenkamp, Op.cit. hal. 93.
58
Perwujudan larangan yang bersifat Per Se Rule dalam UU. No. 5 Tahun 1999 dapat dilihat pertama, dengan menyimak secara seksama formulasi normative statement dari norma-norma hukum dalam UU tersebut. Norma hukum larangan Per Se pada umumnya diformulasikan lebih sederhana. Dalam pernyataan normatifnya tidak disertai dengan rumusan-rumusan mengenai akibat dari perbuatan yang dilarang itu. Sebagian besar pasal dalam UU. No. 5 Tahun 1999 selalu mencantumkan akibatakibat, misalnya merugikan pelaku usaha lain, membatasi pelaku usaha lain dalam menjual, merugikan persaingan. Pasal yang tidak mencantumkannya dapat dikategorikan menganut Doktrin Per Se. Kedua, dengan menggunakan kriteria sebagaimana yang diterapkan oleh KPPU sendiri dan Departemen Pemerintah yang terkait dengan fenomena persaingan usaha; Kementerian Perindustrian, yang dalam berbagai kesempatan sosialisasi di daerah-daerah selalu mengemukakan bahwa ciri Pasal-pasal UU. No. 5 Tahun 1999 yang bersifat Per Se, dimana pasal tersebut tidak mencantumkan anak kalimat patut diduga atau dianggap dalam rumusannya. Ketiga, pidana pokok yang diancamkan relatif lebih rendah daripada ancaman pidana pada pasal-pasal yang lainnya. Dengan menggunakan kriteria baik yang dikemukakan oleh Herbert Hovenkamp maupun berdasarkan uraian yang dipaparkan berikutnya itu, dapatlah dirinci pasal-pasal UU. No. 5 Tahun 1999 yang larangannya bersifat Per Se Rule antara lain sebagai berikut :
59
No 1
PASAL 5 ayat (1)
SPESIFIKASI Penetapan Harga
NORMATIVE STATEMENT Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2
6
Diskriminasi Harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
3
15
Perjanjian Tertutup
Aya (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
4
24
Konspirasi
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Mengikuti pandangan yang dikemukakan Ernest Gellhorn dan William E Kovacic41, bahwa maksud doktrin tersebut, pertama, to give firms certainty about the legality of various acts and thereby enable them to plan and execute business practice without fear of subsequent legal attack, including priate treble damage actions. Clear prohibitions also deter conduct known to pose severe competitive harms. …. Kedua, …rationale for simple tests is that they obviate the need for courts, businesses, and enforcement agencies to expend substantial resources in case-by-case evaluation of conduct whose effects are assumed to be, with negligible exceptions, pernicious, Doktrin Per Se Rule dapat meningkatkan ekspektasi dari kalangan pelaku usaha.Peningkatan ini terjadi karena norma-norma hukum dengan
41
Gellhorn dan Kovacic, Op.cit. hal. 165-166
60
larangan yang bersifat Per Se formulasinya tegas dan ketegasan tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum mengenai kedudukan(diperbolehkan atau dilarang)berbagai tindakan bisnis. Namun kepastian hukum tampaknya tidak akan dapat dicapai hanya dengan mengandalkan ketegasan saja. Sejalan dengan kedua penulis tersebut, semestinya ketegasan dibarengi dengan kejelasan, dalam hal ini norma larangan yang jelas(clear prohibitions) dan tuntas. Maksudnya, norma hukum tersebut tidak menyisakan suatu persoalan. Tanpa kejelasan, norma hukum yang bersangkutan tidak dapat menciptakan keadilan. 2) Rule Of Reason Sebagaimana telah diuraikan, Per Se Illegal tampak sederhana dan praktis. Terlepas dari persamaannya yang paling mendasar, yaitu adanya argumentasi yang melatarbelakangi penerapannya, Rule Of Reason tidak demikian. Doktrin ini menurut Herbert Hovenkamp42 merupakan a method of antitrust analysis in which the court is permitted to make a detailed inquiry concerning the effect on price and output of a certain practice. Menimpali pendapat tersebut dapatlah dikemukakan, keberadaan Doktrin Rule of Reason sesungguhnya merupakan antitesis dari Doktrin Per Se Illegal yang mengajarkan tentang tidak perlu dilakukannya(bukan larangan) penelusuran mengenai akibat atau pengaruh dari tindakan tertentu yang dilarang dalam penanganan perkara persaingan usaha. Sehubungan dengan kebutuhan menilai maksud dan akibat dari tin dakan yang dilarang, Rule of Reason menggunakan sesuatu yang oleh Gellhorn dan Kovacic 39 disebut dengan multifactored reasonableness tests. Perangkat tes ini pada akhirnya merupakan legal device yang berfungsi sebagai 42
Herbert Hovenkamp, Loc.cit. hal. 336
61
pegangan dalam sistem penegakan hukum persaingan usaha. Dengan perangkat itulah putusan-putusan atas perkara tersebut dipertanggungjawabkan bahkan pula secara ilmiah. Masih berdasarkan pada pandangan Gellhorn dan kawannya itu,43 tampak pula Rule of Reason sesungguhnya menyimpan sisi-sisi yang dapat melemahkan. Adapun yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut: 1. pelaksanaan Rule of Reason dapat menimbulkan implikasi yang justru memperlebar rentang isu yang harus dikaji dan karena itu pada giliranya akan membutuhkan alokasi lebih banyak lagi sumber-sumber baik dari pihak pengadilan maupun dari para pencari keadilan, dalam hal ini terlapor dan pelapor, 2. tes yang reasonable itu juga dapat mengurangi kepastian mengenai perilaku tertentu yang secara sosial dapat ditentukan sebagai perilaku yang bermanfaat dan meningkatkan frekuensi penyelesaian sengketa pada institusi penegak hukum persaingan. Memperjelas pandangan ini dapatlah dikemukakan contoh, memberikan harga rendah bahkan juga jual rugi, secara sosial dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan pelaku usaha yang menguntungkan konsumen tetapi dilarang oleh norma hukum persaingan, dan ini harus dibuktikan dengan tes tadi. Dari aspek demikian pandangan sosial menempatkan rule of reason sebagai suatu metode atau proses penyelesaian yang dapat menimbulkan inefisiensi. 3. Di samping mengandung kecendrungan ke arah yang tidak efisien, tes demikian dapat menghasilkan inkonsistensi dan tidak dapat diprediksinya penyelesaian sengketa, terutama hasilnya. Hal ini harus ditambahkan lagi dengan kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam proses penegakan hukum. Dengan menggunakan Rule of Reason terbuka kesempatan melakukan 43
Gellhorn and Kovacic, Loc.cit. hal 165
62
“koreksi” atas putusan-putusan yang sudah mapan, sehingga dengan demikian dapat dikemukakan bahwa doktrin ini tidak sepenuhnya lagi mengikuti asas stare decisis. Di balik itu semua patut pula dikemukakan bahwa adanya aspek pertanggungjawaban atas putusan yang memuat argumenargumen yang layak dan argumen mana diperoleh melalui penelusuran terutama berkenaan dengan maksud atau niat(intent) dan akibat, maka dapatlah dipahami, Rule of Reason telah memperlihatkan sisi keunggulannya. Berdasarkan Rule of Reason proses penentuan apakah pelaku usaha melanggar hukum persaingan usaha atau sebaliknya, tidak semata-mata dilakukan secara subsumptie sederhana (memasukan atau mengenakan pasal-pasal terhadap suatu peristiwa), melainkan juga dengan mengetengahkan proses reasoning dan yang paling mendasar dalam proses demikian ini adalah identifikasi hubungan sebab dan akibat. Berkenaan dengan beberapa perilaku yang menurut aturan hukum persaingan usaha dikualifikasikan terutama sebagai suatu kejahatan (as a felony), maka keberadaan Rule of Reason kiranya dapat memberikan manfaat tersendiri. Berdasarkan doktrin ini pelaku usaha tidaklah dengan serta merta dapat dinyatakan bersalah selain setelah melalui proses penelusuran dan nalar yang pada dasarnya memenuhi kualifikasi ilmiah yuridis. Doktrin tersebut secara tidak langsung mendesak para pembuat putusan pada institusi yang kompeten dalam penegakan hukum persaingan menyusun argumen-argumen yang memadai sebelum memberi putusan. Samuel Mermin dalam bukunya yang berjudul “ Law and The Legal System, An Introduction44 menuliskan pandangannya, 44
Samuel Mermin, 1982, Law and The Legal System, An Introduction, Little, Brown and Company, Boston and Toronto, hal. 28 – 29 The final attitude or ideal I wish to point to is something that underlies many of the points I have already made (and even some of those I shall make later).
63
berkaitan dengan rule of reason, orang pada umumnya mengharapkan adanya standar-standar. Berbagai keputusan yang menyimpang terlalu jauh dari pengharapan umum tersebut dapat menciptakan masalah-masalah penegakan hukum dan kerugian karena ketidakpatuhan terhadap hukum. Oleh karena itu para pembuat keputusan hukum terkait seyogyanya menghindari bertindak melampaui batas-batas rule of reason. Pandangan tersebut pada dasarnya mengemukakan, rule of reason mengandung standar-standar dan atau metode-metode untuk diterapkan dalam suatu proses penegakan hukum. Dengan demikian rule of reason sebagai doktrin sesungguhnya berlaku untuk setiap proses penegakan hukum pada umumnya. Akan tetapi dengan mempertimbangkan bahwa setiap bidang hukum memiliki kekhasan tersendiri, maka implementasi doktrin rule of reason pada bidang hukum tertentu memperlihatkan penekanan yang tertentu pula. Berkenaan dengan bidang hukum antimonopli(antitrust law), Gordon W. Brown dan Paul A. Sukys45 pada pokoknya mengemukakan rule of reason merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa institusi yang diberikan kompetensi Looking back, for instance, at my examples of people resisting law that strikes them as overly severe, or unduly encroaching on people’s “private” contract, or unreasonably hampering the exercise of strong and pleasurable human drives: These bespeak a “rule of reason.” That is, people generally expect legal standards to be reasonable, laws amd decisions that depart too far from this common expectation create enforcement problems and danger of a spreading disrespect for law. Even in the most complex bodies of doctrine in any legal field, the law maker is constantly trying to avoid overstepping the boundaries of the rule of reason; remember that and you will have a good guide through many interpretation perplexities. “The main underlying purpose” of the law of contracts, said one of its respected students, Arthur Corbin, is to attempt “the realization of reasonable expectations that have been induced by the making of a promise.” “The common thread woven into all torts,” said the prominent torts scholar, William Prosser,” is the idea of 45 Gordon W. Brown and Paul A. Sukys, 2001, Business Law, With UCC Applications, Glencoe McGraw-Hill, New York, hal. 851
64
menerima laporan, melakukan penyelidikan-penyidikan dan memberikan putusan, dapat menghentikan praktek-praktek tertentu kecuali apabila praktek tersebut didasarkan pada pembatasan-pembatasan yang wajar terhadap persaingan. Dapat dikemukakan doktrin rule of reason secara garis besarnya menekankan suatu metode yang diterapkan dalam proses penegakan hukum persaingan yang bertujuan mencari, menemukan dan membuktikan ada atau tidaknya unsur melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak wajar terhadap persaingan. Unsur inilah yang merupakan salah satu determinan untuk menentukan adanya suatu tindakan monopolistik dan atau antikompetitif. Kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan niat atau maksud menekan persaingan yang tampak merugikan kesempatan publik meraih keuntungan yang dijamin dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sekali pun, dapat dipandang sebagai kesepakatan yang sah dan dapat dilaksanakan(Agreements of this type may be legal and enforceable) sepanjang tidak melanggar rule of reason. Artinya selama tidak dapat dibuktikan adanya unsur pembatasanpembatasan yang tidak wajar terhadap persaingan, doktrin rule of rerason dapat menyatakan kesepakatan tersebut legal and enforceable. Mencermati uraian pada halaman sebelumnya maka sampai sejauh ini tampak baik Per se Illegal atau Per Se Rule maupun Rule Of Reason memiliki bobot yang sama pentingnya dalam proses penanganan perkara persaingan usaha. Masingmasing dari pendekatan tersebut memiliki karakteristik tujuan yang sama dalam mewujudkan penegakan hukum persaingan usaha yang efektif dan efisien. Persamaan bobot itu seringkali menimbulkan persoalan, bagaimana memilih satu diantara dua pendekatan yang disediakan. Norma hukum persaingan tidak menentukan apakah harus menerapkan Per se Illegal atau Rule Of
65
Reason, dan terhadap suatu norma hukum persaingan serta untuk kasus yang sama tidaklah dimungkinkan menerapkan kedua pendekatan tersebut dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu keputusan untuk memilih menggunakan salah satu pendekatan tersebut harus ada. Kriteria penentuan untuk menggunakan pendekatan Rule of Reason dapat diabsorsi dari pandangan Herbert Hovenkamp46 sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya. Pandangan tersebut pada dasarnya menekankan tiga faktor sebagai tolok ukur yaitu keterlibatan para pesaing, peranan jaringan kerja industri, dan pengaruh terhadap harga atau output. Dalam contoh aplikasi, apabila suatu kesepakatan yang melanggar antitrust law itu menempatkan para pesaing sebagai para pihak, maka proses penanganannya dilakukan dengan prosedur per se, apabila sebaliknya maka dilaksanakan rule of reason. Kendatipun penulis yang bersangkutan telah mengingatkan tentang belum sempurnanya pedoman yang diberikan itu, akan tetapi tidaklah dapat dipungkiri bahwa uraiannya merupakan suatu kontribusi yang sangat penting untuk menunjang kelancaran proses penegakan hukum persaingan usaha. Sehubungan dengan maksud mencari kriteria penggunaan rule of reason perlu pula disimak pandangan..... rule of reason standard, if an alleged antitrust practice is not considered a per se violations, then the courts will judge the legality of that practice with the rule of reason approach. The rule of reason standard will stop certain practice only if they are unreasonable restriction of competition. As a result, some practices that, in fact, limit competition may be legal. To determine if an anticompetitive practice is legal, the court consider such facts as the history of
46
Herbert Hovenkamp, Loc.cit. hal. 92-93
66
the restraint, the harm that results, the reason for the practice, and the purpose to be attained.47 Pandangan tersebut secara tidak langsung mencerminkan kriteria rule of reason, pertama bahwa pendekatan ini bersifat mandiri dalam pengertian apabila terhadap suatu kasus pelanggaran sudah diterapkan per se rule maka rule of reason tidak diterapkan dalam waktu bersamaan. Kedua, rule of reason diterapkan apabila terdapat kebutuhan untuk membuktikan adanya pembatasan-pembatasan yang tidak wajar terhadap persaingan. Perilaku pelaku usaha yang tampak membatasi persaingan dan antikompetitif sekali pun dapat dipandang sah sepanjang pembatasan-pembatasan yang dilakukan itu masih termasuk dalam kategori kewajaran. Oleh karena itu penerapan kriterium yang kedua ini harus dikaitkan dengan upaya menemukan latar belakang dan motivasi dilakukannya pembatasan, dampak negatif yang ditimbulkan, dan maksudmaksud pelaku usaha yang telah diwujudkan secara nyata. Dari aspek demikian tampak rule of reason itu complicated, akan tetapi apabila sudah harus diterapkan maka tidak tersedia pilihan lain; rule of reason harus diberlakukan dan dipatuhi. 3. Penanganan Perkara a. Laporan dan Kajian Inisiatif Hukum dalam pengertian aturan atau norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis pada umumnya bersifat diam dengan segala keanggunanya apabila tidak terdapat atau terjadi sesuatu yang menggerakannya. Hukum itu baru berlaku dan dapat diterapkan karena adanya faktor penggerak yang berupa peristiwa hukum dan atau hubungan hukum yang merupakan masalah hukum. Namun demikian hal ini tidak mengandung pengertian bahwa
47
Gordon W. Brown and Paul A. Sukys, 2001, Loc.cit. hal. 668.
67
hukum diciptakan untuk dilanggar, karena hukum juga memiliki motivasi mencegah pelanggaran. Agar supaya ketententuan-ketentuan mengenai penanganan perkara di KPPU dapat diterapkan, dibutuhkan adanya suatu legal problem atau masalah hukum yang dalam hal ini merupakan dugaan pelanggaran terhadap UU. No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya laporan tertulis dalam bahasa Indonesia yang memuat secara lengkap identitas pelapor, terlapor, dan saksi, keterangan yang jelas, lengkap, cermat mengenai telah terjadinya atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, serta alat bukti dugaan pelanggaran(Pasal 11 ayat 2 dan 3 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) No. 1 Tahun 2010). Laporan yang dimaksud ada dua, yaitu: Laporan Pelapor dan Laporan Pelapor Dengan Permohonan Ganti Rugi. Laporan Pelapor didasarkan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, sedangkan Laporan Pelapor Dengan Permohonan Ganti Rugi didasarkan pada Pasal 11 ayat (4) peraturan tersebut dengan kewajiban sebagai suatu syarat khusus menyertakan nilai dan bukti kerugian yang diderita. Dibandingkan dengan keberadaan laporan dalam kasuskasus umum menurut Hukum Acara yang konvensional, terdapat suatu perbedaan yang sangat penting. Laporan sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (3) Peraturan KPPU tersebut tidak dapat dicabut oleh pelapor(Pasal 11 ayat 7). Baik UU. No. 5 Tahun 1999 maupun Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 tidak menjelaskan pertimbangan laporan itu tidak dapat dicabut. Hukum Persaingan yang pada dasarnya bertujuan pokok mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat termasuk pula segala bentuk persekongkolan atau konspirasi, tampaknya dapat menjelaskan pertimbangan laporan
68
dugaan pelanggaran ke KPPU tidak dapat dicabut. Pencabutan laporan dapat menimbulkan persekongkolan antara pelapor dengan terlapor. Dalam hal ini persekongkolan tersebut tidak termasuk dalam larangan, akan tetapi Hukum Persaingan telah berupaya untuk mencegahnya. Di samping menerima input dari pelapor yaitu setiap orang yang menyampaikan laporan kepada Komisi mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak, dalam rangka penegakan hukum persaingan, KPPU juga diberikan wewenang untuk melakukan penanganan perkara berdasarkan data atau informasi, tanpa adanya laporan, tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang(Pasal 15 ayat 1 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010). Inilah yang pada dasarnya disebut dengan Perkara Inisiatif. Data dan informasi yang dimaksud dapat bersumber dari hasil kajian, berita di media, hasil pengawasan, laporan yang tidak lengkap, hasil dengar pendapat yang dilakukan komisi, temuan dalam pemeriksaan, atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Kewenangan aktif ini merupakan suatu bentuk kekhususan KPPU dibandingkan dengan badan peradilan lainnya yang lebih pasif. Kendati pun belum dapat dilakukan pemerikasan lanjutan, laporan yang tidak lengkap tersebut tetap merupakan dokumen KPPU yang penting. Dokumen seperti itu nantinya dapat dipergunakan sebagai sumber data dan informasi untuk melakukan penanganan perkara (Pasal 15 ayat 2). KPPU sendirilah yang akan melakukan pendalaman dan mengupayakan laporan menjadi lengkap sehingga layak untuk diteruskan pada proses penanganan selanjutnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa peristiwa dan atau hubungan hukum yang menimbulkan
69
dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menempati kedudukan yang menentukan. Perisitwa dan atau hubungan hukum yang dimaksud merupakan suatu entry point untuk dapat diterapkannya hukum persaingan dan bekerjanya KPPU yang merupakan perangkat pokok dalam sistem penegakan hukum persaingan di Indonesia. Pada akhirnya dapat dikemukakan pula perisitiwa dan atau hubungan hukum yang menimbulkan dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 bersumber dari laporan pelapor, laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi,dan inisiatif KPPU. Dari aspek ini performance KPPU menampakkan tingkat aktivitas yang tinggi bahkan cenderung agresif. Akan tetapi mengingat persamaan kesempatan berusaha dan persaingan usaha yang sehat merupakan prioritas dan oleh karena itu dugaan pelanggaran yang layak harus dengan segera ditanggulangi, maka peranan KPPU yang aktif itu kiranya dapat diterima. Laporan Pelapor
Laporan Pelapor Dgn Permohonan Ganti Rugi
Proses Di KPPU: Penanganan Laporan, Persidangan
Putusan
Kajian Inisiatif
Proses penanganan laporan pelapor, laporan pelapor dengan permohoan ganti rugi pada pokoknya berbeda-beda. Masingmasing sumber entry point tersebut ditetapkan memiliki tatacara tersendiri. b. Pengelolaan Dugaan Pelanggaran 1) Laporan Pelapor Istilah “laporan pelapor” pada dasarnya merupakan penggabungan konsep laporan dan konsep pelapor yang tertuang dalam Pasal 1 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 70
Laporan merupakan uraian tertulis dalam bahasa Indonesia yang memuat secara lengkap identitas pelapor, terlapor, dan saksi, keterangan yang jelas, lengkap, cermat mengenai telah terjadinya atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, serta alat bukti dugaan pelanggaran menurut Pasal 11 ayat 2 dan 3 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) No. 1 Tahun 2010), yang disampaikan oleh Pelapor (setiap orang yang menyampaikan laporan kepada Komisi mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak). Sistem Hukum Persaingan Usaha di Indonesia tidak mempergunakan istilah penggugat untuk subyek hukum yang memberikan atau memasukkan perkara kepada KPPU. Hal ini kiranya dapat diterima mengingat bahwa dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bukanlah sengketa perdata atau pun tata usaha negara. Pada dua sengketa yang disebutkan belakangan ini memang dipergunakan istilah penggugat untuk pihak-pihak yang aktif berperkara. Namun demikian, dengan dipergunakanya istilah laporan dan pelapor tidak juga berarti bahwa dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 itu termasuk dalam kualifikasi perkara pidana. Sebaliknya justru konsep laporan dalam hukum persaingan pada dasarnya semakin menegaskan bahwa perkara persaingan usaha tidak merupakan perkara pidana. Konsep laporan menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-undang Acara Pidana yang menentukan bahwa laporan merupakan pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
71
akan terjadinya peristiwa pidana, memang mengandung persamaan yang dominan dengan konsep laporan dalam sistem hukum persaingan usaha. Hanya saja konsep laporan dalam hukum pidana harus disesuaikan lagi dengan pandangan Jonkers seperti dikutip Utrecht52; untuk tindak pidana yang termasuk dalam kualifikasi Delik Aduan (klachtdelict) misalnya, suatu laporan menimbulkan kewajiban melakukan pengusutan(opsporing), bukan penuntutan(vervolging). Ruang lingkup laporan dalam hukum pidana mencakup bidang yang sangat luas, dalam pengertian dapat meliputi baik tindak pidana biasa maupun aduan. Akan tetapi ketika laporan itu berkenaan dengan tindak pidana aduan, maka diterapkanlah syarat bahwa laporan yang dapat menimbulkan penuntutan harus dilakukan oleh korban. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, laporan yang bersangkutan tidak dapat ditindaklanjuti hingga tahap penuntutan. Berbeda halnya dengan laporan dalam sistem hukum persaingan yang bersifat spesifik karena hanya meliputi dugaan pelanggaran terhadap UU. No. 5 Tahun 1999 yang harus dipahami secara bersamaan dengan makna dari konsep pelapor yang meliputi setiap orang....dst. Setiap laporan yang memenuhi syarat demikian menimbulkan kewajiban KPPU untuk menanganinya hingga memperoleh putusan. a) Klarifikasi Laporan(uraian tertulis dalam bahasa Idonesia yang memuat secara lengkap identitas pelapor, terlapor, dan saksi, keterangan yang jelas, lengkap, cermat mengenai telah terjadinya atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, serta alat bukti dugaan pelanggaran menurut Pasal 11 ayat 2 dan 3 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) No. 1 Tahun 2010), yang disampaikan oleh Pelapor (setiap orang yang 52
E. Utrecht, 1965, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, PT. Penerbit Universitas, Bandung, hal. 247
72
a. b. c. d. e.
f.
menyampaikan laporan kepada Komisi mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak), sebelum sampai pada tahap pemeriksaan haruslah terlebih dahulu dilakukan Klarifikasi yaitu kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara laporan. Menurut Pasal 12 ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, proses klarifikasi dilakukan untuk : memeriksa kelengkapan administrasi laporan; memeriksa kebenaran lokasi alamat Pelapor; memeriksa kebenaran identitas Terlapor; memeriksa kebenaran alamat Saksi; memeriksa kesesuaian dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar dengan alat bukti yang diserahkan oleh Pelapor; dan menilai kompetensi absolut terhadap laporan. Dari klarifikasi yang dilakukan diperoleh Hasil Klarifikasi yang setidak-tidaknya memuat penegasan-penegasan yang menyatakan laporan merupakan kompetensi absolut KPPU, laporan lengkap secara administrasi, dan secara jelas dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar atau menyatakan menghentikan proses penanganan laporan atau merekomendasikan kepada atasan langsung untuk dilakukan Penyelidikan(Pasal 12 ayat 3). Keputusan untuk menghentikan proses penanganan laporan tersebut baru dapat dilakukan oleh Unit Kerja KPPU yang menangani laporan apabila administrasi laporan tidak lengkap atau lokasi alamat Pelapor tidak benar atau identitas Terlapor tidak benar, alamat saksi tidak benar atau pasal pelanggaran Undang-undang tidak sesuai dengan alat bukti yang diserahkan oleh Terlapor atau KPPU tidak memiliki kompetensi absolut terhadap laporan tersebut.
73
Dalam penanganan laporan, Unit Kerja KPPU yang menanganinya diberikan kewenangan yang fleksibel, karena sebelum memberikan keputusan menghentikan proses penanganan laporan, Unit Kerja dalam waku 10 hari sejak penerimaan memberitahukan dan mengembalikan laporan yang tidak lengkap dan seterusnya itu kepada Pelapor untuk dilengkapi dalam waktu 10 hari sejak dikembalikan. Pemberitahuan oleh Pimpinan Sekretariat Komisi kepada Pelapor mengenai hasil Klarifikasi merupakan kewajiban (Pasal 12 ayat 6). Apabila Pelapor dalam waktu yang telah ditentukan tidak mampu melengkapinya, maka laporan dinyatakan tidak lengkap dan penanganannya dihentikan. Namun demikian Pelapor masih diberikan kesempatan untuk mengajukan Laporan Baru apabila menemukan bukti baru yang lengkap(Pasal 14). b). Makna dan Manfaat Makna dan manfaat dari kegiatan klarifikasi yang dilaksanakan oleh pihak KPPU dapat ditelusuri dari pengertian istilah itu sendiri. Klarifikasi atau clarification berasal dari perbendaharaan bahasa Inggris yaitu “clarify” yang berarti; 1. To make clear or easier to understand; elucidate, 2. To clear of confusion or uncertainty, 3. To make clear by removing impurities or solid matter, as by heating gently or filtering.53 Setiap laporan yang disampaikan oleh pelapor harus diklarifikasi atau memperoleh klarifikasi dalam pengertian dilakukan upaya-upaya untuk membuatnya lebih jelas dan tidak meragukan sehingga dapat dipahami secara lebih mudah. Dapat ditambahkan, kejelasan dan kepastian merupakan dua faktor yang sangat menentukan kelanjutan serta kualitas suatu proses penegakan hukum. Demikian juga halnya dalam penegakan perkara persaingan usaha. 53
Clarification, www.thefreedictionary.com. 08/09/2011 12.30
74
Dalam sistem antitrust law(Amerika Serikat) yang antara lain tertuang dalam Section 1 The Sherman Antitrust Act(1890) yang pada pokoknya menentukan; every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony....dapatlah disaksikan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 1 The Sherman Antitrust Act merupakan suatu kejahatan (deemed guilty of a felony). Putusan tersebut dapat merugikan karier seseorang yang ingin menjaga dan meningkatkan kelangsungan bisnisnya, dan karena itu mereka berupaya semaksimalnya menghindari predikat “dipersalahkan karena telah melakukan suatu kejahatan”, dan adanya klarifikasi merupakan langkah untuk memastikan apakah terdapat bukti seseorang telah melakukan suatu kejahatan. Kendati pun pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pasal 4, ,Pasal 9 – 14, Pasal 16 -19, Pasal 25, Pasal 25 dan Pasal 28, Pasal 5 – 8, Pasal 15, Pasal 20 – 24, Pasal 26, dan Pasal 41 tidak dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat mengurangi bahkan menghancurkan reputasi pelakunya, maka ancaman denda dan pidana pengganti kurungan seharusnya sudah cukup dapat mengantarkan pelaku usaha yang melakukannya pada posisi dan status sosial yang tercela. Akan tetapi sebelum ini terjadi, terlebih dahulu harus dilakukan klarifikasi. Tahap ini pada dasarnya mengandung makna bahwa pada satu sisi KPPU melaksanakan prinsip efisiensi hukum yang mengedepankan kecermatan dan pada sisi lain menerapkan due process fo law yang secara tidak langsung memberikan perlindungan hukum dengan memperhatikan hak-hak pelaku usaha.
75
Ketentuan-ketentuan mengenai klarifikasi di samping berlaku terhadap Laporan Pelapor diterapkan pula pada Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) b Peraturan KPPU yang pada pokoknya mengandung makna bahwa terhadap setiap laporan wajib ditindaklanjuti dengan kegiatan memperoleh bukti awal, terlebih-lebih untuk Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi. 2). Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi sesungguhnya merupakan perkembangan baru dalam penegakan hukum persaingan di Indonesia. Jenis laporan tersebut baru diterapkan berbarengan dengan diberlakukannya Peraturan Komisi Pengawasa Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Dalam peraturan ini perihal Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi dicantumkan antara lain dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 2 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), dan Pasal 30. Sementara itu khususnya di Amerika Serikat, Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi sudah merupakan suatu fenomena umum yang sudah dikenal sejak lama, dan mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan. Perkembangan tersebut sangat ditunjang dengan diterapkannya suatu “kebijaksanaan” yang disebut dengan treble damages. Dalam ensiklopedi Wikipedia dikemukakan, Treble damages, in law, is a term that indicates that a statute permits a court to triple the amount of the actual/compensatory damages to be awarded to a prevailing plaintiff, generally in order to punish the losing party for willful conduct. Treble damages are a multiple of, and not an addition to, actual damages. Thus, where a person received an award of $100 for an injury, a court applying treble damages would raise the award to $30054 54
Treble Damages, en.wikipedia.org. 02/11/2010 11:20
76
Sumber lainnya mengemukakan, The statute authorizing trble damages directs the judge to multiply by three the amount of monetary damages awarded by the juty in thise cases and to give judgment to the plaintiff in that tripled amount. The Clayton Act(15USCA $ 12 et seq), for example, directs that the treble damages be awarded for violations of antitrust laws.55 Intinya, treble damages merupakan suatu penetapan mengenai besaran jumlah ganti rugi yang dapat diterima oleh pihak yang dirugikan. Besaran tersebut ditetapkan berdasarkan undang-undang dengan metode jumlah kerugian nyata(actual damages) dikalikan tiga. Treble Damages lazim disebut juga dengan Triple Damages. Pemanfaatan treble damages tersebut sesungguhnya bersifat terbatas dalam pengertian, penerapan metode perhitungan ganti rugi itu tidak diperkenan untuk setiap kasus, melainkan pada kasus-kasus tertentu saja, misalnya untuk kerugian-kerugian akibat tindakan dengan sengaja melakukan pelanggaran paten(willful patent infringement), pemalsuan merek dagang( trademark counterfeiting), dan pelanggaan hukum anti monopoli(willful violation of the antitrust laws). Penerapan treble damages dalam penegakan hukum persaingan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kebijaksanaan pembuat undang-undang yang pada satu sisi membantu pemulihan kerugian dan bermaksud menanamkan pemahaman bahwa hak-hak pihak lain tidak boleh dilanggar. Dalam hal ini pihak yang mengalami kerugian karena akibat dilakukannya willful violation of the antitrust laws oleh pihak lain diberikan kedudukan finansial yang memungkinkan, pertama-tama, memulihkan kerugian aktual yang dialami dan selanjutnya
55
Treble Damages, legal-dictionary, 02/11/2010 11:25
77
memetik manfaat dari different yang dianugerahkan(awarding) oleh institusi yang berkompeten menangani perkara persaingan. Diterapkanya treble damages tidaklah terlepas dari peranan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung pengertian, treble damages merupakan suatu produk hukum yang berpijak pada peraturan perundang-undangan sebagai dasar. Pemahaman demikian dapat disimak dari pandangan Garry A Moore, et.al yang mengemukakan, The act also permits private civil suits where private persons or businesses injured by Sherman violations may sue the defendant for damages and injunctive relief. Such victims are given the right to sue for three times the damages they actually sustain(treble damages), plus court costs and reasonable attorney’s fees.56 Dalam penegakan hukum persaingan, keberadaan trebel damages pada akhirnya menimbulkan pengaruh yang sangat signifikan. Pengaruh yang luar biasa ini dapat disimak dari perkembangan perkara-perkara persaingan di Amerika Serikat terutama yang ditangani oleh pengadilan federal. Dalam tahuntahun terakhir, diperkirakan sebesar 95% dari seluruh perkara persaingan merupakan gugatan trebel damages dari pelapor perseorangan dan atau badan swasta(in recent years approximately 95% of all federal antitrust cases have been private treble damage suits).57 Di samping sebagai suatu ukuran dalam penghukuman terhadap pelanggaran dan juga memulihkan kerugian penggugat(as a punitive measure to punish defendants for violations, as well as to compensate plaintiffs for actual injury), dari gambaran umum mengenai perkembangan penanganan perkara tersebut tampak ketentuan mengenai treble damages itu merupakan stimulus yang penting, ....this provision encourage 56
Garry A Moore, et.al., n.d Op.cit. hal 495 57 Ibid.
78
private party enforcement of the antitrust laws. In this regard it is perhaps the most important remedy today, because it permits competitor firms as well as members of the general public to seek enforcement of the law even if the government fails to do so.58 Ringkasnya, penerapan treble damages dalam sistem penegakan hukum persaingan pada gilirannya memicu peningkatan intensitas suatu aspek budaya hukum, yaitu meningkatnya kegairahan untuk menyampaikan laporan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah laporan yang disertai dengan permohonan ganti rugi dan harapan diterapkannya treble damages. Betapun demikian, gairah menyampaikan laporan merupakan salah bentuk partisipasi dalam proses penegakan hukum. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka proses penegakan hukum menjadi semakin efektif. Sistem penegakan hukum persaingan di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada bentuk partisipasi, bahkan dengan membedakannya menjadi dua, yaitu laporan dan laporan dengan permohonan ganti rugi. Dengan demikian dapat dikemukakan, sistem penegakan hukum tersebut sesungguhnya juga mengakui serta menerima diterapkannya metode remedies berupa pemulihan dalam bentuk ganti rugi. Akan tetapi dapat ditegaskan Indonesia tidak atau belum menerapkan treble damages. Hal ini sematamata karena belum ada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Penelusuran memperlihatkan bahwa konsep Laporan dan konsep Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi memang berbeda. Oleh karena itu manajemen penanganannya pun sedikit berbeda. Perbedaan pertama ditentukan oleh Pasal 11 ayat (4) Peraturan KPPU mengenai Tatacara Penanganan Perkara. Berdasarkan ketentuan tersebut, selain harus memenuhi persyaratan laporan pada umumnya, maka khusus untuk Pelapor 58
Ibid.hal
79
yang meminta ganti rugi, laporannya wajib disertai dengan nilai dan bukti kerugian yang dideritanya. Perbedaan lainnya adalah menyangkut perlakukan terhadap hasil klarifikasinya. Berbeda dengan Hasil Klarifikasi Laporan Pelapor, terhadap Hasil Klarifikasi Laporan Pelapor Dengan Permohonan Ganti Rugi tidak dilakukan Penyelidikan lagi, melainkan dilaporkan oleh unit kerja yang menangani laporan kepada Komisi dalam Rapat Komisi untuk mendapat persetujuan menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Pemeriksaan Pendahuluan(Pasal 13). Intinya, terhadap Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi tetap dilakukan klarifikasi. Target klarifikasi terhadap Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi pada dasarnya sama dengan Laporan Pelapor yaitu meliputi pemeriksaan-pemeriksaan berkenaan dengan kelengkapan administrasi laporan, kebenaran lokasi alamat Pelapor, kebenaran identitas Terlapor, kebenaran alamat Saksi, kesesuaian dugaan pelanggaran Undang-Undang dengan pasal yang dilanggar dengan alat bukti yang diserahkan oleh Pelapor, kompetensi absolut terhadap laporan. Penyelidikan sebagaimana yang dilakukan terhadap Laporan Pelapor tidak berlaku untuk Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi. Mengenai perbedaan perlakuan ini terdapat dua analisis yang dapat dikembangkan. Pertama, dengan tidak dilakukannya penyelidikan terhadap Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi, maka proses laporan ini menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran(LDP) dan menuju Pemeriksaan Pendahuluan menjadi lebih singkat, dan ini menimbulkan kesan bahwa Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi seperti lebih diprioritaskan. Kedua, kendati pun laporan tersebut tidak dilakukan penyelidikan(Pasal 30 ayat 1), hal ini tidak mengandung pengertian, Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi dapat melenggang begitu saja menjadi LDP dan menjalani
80
Pemeriksaan Pendahuluan. Pasal 30 ayat (1) haruslah dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (2) yang menentukan, Laporan dengan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) setelah disetujui oleh Rapat Komisi dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. Kiranya dalam hal ini Rapat Komisis akan tetap memperhatikan kelayakan setiap laporan menjadi LDP. 3). Perkara Inisiatif Selain menerima entry point dari eksternal(pelapor) baik berupa laporan maupun laporan dengan permohonan ganti rugi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan keahlian dan segenap kompetensi yang diberikan oleh undang-undang, juga menjemput sendiri persoalan-persoalan praktek hukum persaingan. Apabila persoalan tersebut kemudian menjadi perkara yang ditangani di KPPU, maka itulah yang disebut dengan perkara inisiatif. Dalam hubungan ini, KPPU bertindak aktif dan dengan segala kemampuan yang dimiliki mengupayakan suatu persoalan hukum persaingan menjadi laporan dugaan pelanggaran, masuk dalam persidangan-persidangan dan akhirnya diputus sendiri oleh KPPU. Apabila diukur dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum acara yang konvensional, maka aktivitas seperti menjemput bola itu akan menampakkan performance KPPU sebagai suatu lembaga super body. Prinsip hukum acara konvensional tidak mengenal praktek tersebut, karena asasnya bersifat pasif dalam pengertian menunggu dengan penuh kesadaran, tanggung jawab dan integritas. Akan tetapi begitu ada perkara yang diajukan, maka pengadilan tidak boleh menolaknya terlebih-lebih dengan alasan tidak terdapat aturan hukumnya. Dengan mengingat KPPU memiliki aspek formil tersendiri dalam penanganan perkara yang tidak sepenuhnya dapat dipersamakan dengan hukum acara konvensional, maka sepak
81
terjang KPPU melakukan kajian inisiatif yang nantinya menjadi perkara inisiatif pada dasarnya dapat dijelaskan dengan pertimbangan ini. Di samping itu, keberadaan institusi seperti KPPU di Indonesia sesungguhnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pengaruh institusi sejenis yang ada pada beberapa negara maju. Pada negara-negara seperti Amerika Serikat(AS) yang memiliki sejarah panjang dalam menerapkan hukum persaingan, peranan kajian inisiatif justru sangat dominan dan dapat memberikan kontribusi yang positif. Melalui kajian inisiatif, institusi sejenis KPPU, yaitu The Federal Trade Commission(FTC) dapat mengembangkan prinsip-prinsip dan metode-metode penegakan hukum persaingan. Entry point yang diperoleh dari kajian inisiatif secara tidak langsung memacu profesionalisme para komisioner. Di samping itu patut pula dikemukakan, sistem penyelesaian masalah-masalah hukum(the solution of legal problem system) secara umum yang lebih mengandalkan kemandirian yudisial, pada dasarnya telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi berkembangannya kajian inisiatif. Dengan kemandirian yudisial yang tinggi, institusi-institusi yang diberikan kewenangan menyelesaian suatu legal problem, dapat bergerak secara lebih dinamis dalam melaksanakan fungsifungsinya, dan tidak dipengaruhi oleh institusi lain. Diantara faktor-faktor yang mendukung tersebut, maka yang tidak kalah pentingnya adalah kapasitas dan kreativitas para komisioner. Sistem rekrutmen personalia yang mendasarkan pada profesionalisme dan integritas dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh personal yang kompeten sehingga menghasilkan SDM yang berkapasitas tinggi. Sementara itu kreativitas dapat tumbuh karena iklim kemandirian dan kebebasan yang kondusif.
82
Di Indonesia, kajian inisiatif oleh KPPU yang mengarah dan dapat menjadi perkara inisiatif dijamin pelaksanaannya berdasarkan pertama Pasal 36 huruf c UU. No. 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa KPPU berwenang melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya, dan kedua Pasal 15 ayat (1) Peraturan Komisi, yang pada pokoknya menentukan Komisi dapat melakukan penanganan perkara berdasarkan data atau informasi, tanpa adanya laporan, tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang. Penetapan KPPU untuk dapat melakukan kajian inisiatifmengajukan perkara inisiatif pada akhirnya menempatkan institusi tersebut bertindak seperti layaknya para pihak yang berperkara dalam proses hukum acara baik perdata maupun pidana yang konvensional. Pengertian para pihak atau parties sendiri sebagaimana dikemukakan dalam The Dictionary of Law59 misalnya memang menempatkan yang berpredikat pihak itu sebagai subyek yang terlibat aktif dalam proses hukum acara. Dalam kaitannya dengan aspek yang lebih spesifik, keberadaan KPPU sebagai pihak ditegaskan kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Keberatan Terhadap Putusan KPPU yang menentukan bahwa dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakan pihak. Bertindak seperti layaknya pihak terlebih lagi setelah ditegaskan seperti itu dalam suatu proses penanganan perkara 59 Dalam Elizabeth A. Martin, 1997, Oxford Dictionary of Law, Oxford University Press, Oxford, New York, hal. 331 dikemukakan pengertian parties yang meliputi: 1.persons who are involved together in some transaction, e.g. the parties to a deed or a contract. 2. Persons who are involved together in litigation, either civil or criminal.
83
pada dasarnya dapat menimbulkan persoalan yang mengandung konsekuensi yuridis. Sebagai pihak, maka KPPU menurut hukum semestinya dapat diperiksa dan dihukum.60 Kendatipun dan sesungguhnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut sudah pula menegaskan bahwa kedudukan KPPU sebagai pihak adalah berkaitan kewajiban KPPU menyerahkan putusan, berkas pemeriksaan dan melakukan pemeriksaan tambahan dalam hal adanya pengajuan keberadaan ke Pengadilan Negeri atas putusan KPPU. Dengan demikian KPPU sendiri tidak dapat diperiksa apalagi dihukum. Persoalan kedudukan KPPU sebagai pihak sehubungan dengan pengajuan keberatan pada dasarnya sudah dapat dijelaskan, dan berikutnya dipandang perlu untuk memberikan uraian secara garis besarnya perihal kewenangan KPPU mengajukan perkara inisiatif seperti layaknya subyek yang aktif berperkara. Apakah kewenangan tersebut mengandung pengertian yang menempatkan KPPU sebagai pihak yang sama seperti penggugat dan penuntut. Dalam upaya menguraikan persoalan tersebut, akan sangat bermanfaat sekali apabila terlebih dahulu menyimak kembali tujuan penegakan hukum persaingan usaha yang pada pokoknya tercermin dalam ketentuan mengenai tujuan pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut: a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; 60
Amir Syamsuddin, 2005, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Bukan Peradilan? Kompas, 30 April 2005, hal. 53
84
c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Atas dasar ketentuan tersebut maka secara ringkas dapatlah ditegaskan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat sesungguhnya adalah untuk memajukan dan melindungi persaingan usaha itu sendiri dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Tujuan memajukan persaingan usaha diaktualisasikan dengan mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Upaya tersebut diawali dengan pembukaan akses terhadap setiap bidang usaha, mendorong inisiatif para pelaku usaha dan menciptakan persamaan kesempatan berusaha. Perilaku usaha yang tidak fair, tidak mengindahkan persaingan yang sehat, menimbulkan dominasi dan konsentrasi kekuatan ekonomi yang tidak wajar semuanya merupakan perilaku yang dapat menghambat, mengurangi bahkan meniadakan persaingan yang sesungguhnya merupakan bagian dari hak ekonomi rakyat(hak derivatif). Oleh karena itu dalam rangka keteraturan perilaku pelaku usaha, mencegah dan menanggulangi akibat-akibat persaingan usaha yang tidak sehat, maka dibentuklah undang-undang tersebut. Sehubungan dengan pencegahan dan penanggulangannya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menempatkan KPPU sebagai institusi penegak hukum persaingan pada garda paling depan dengan kewenangan yang melebihi penegak hukum lain. Dengan demikian dapat dikemukakan, KPPU merupakan institusi yang paling berkompeten yang seharusnya paling mengetahui
85
apakah suatu tindakan dan atau perjanjian merupakan monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Ditambahkan lagi dengan kondisi laporan masyarakat yang tidak selalu lengkap dan dapat segera ditindaklanjuti dengan tahapan-tahapan penanganan perkara, maka demi terlindunginya serta kemajuan persaingan itu sendiri, kiranya dapatlah diterima apabila KPPU diberikan fungsi seperti layaknya para pihak. Oleh karena itu sesungguhnya pula terkandung unsur kepentingan di dalamnya. Namun demikian kepentingan dalam hal ini haruslah dibedakan dengan yang terdapat pada para pihak dalam beracara perdata misalnya yang mendasarkan kedudukan sebagai para pihak karena adanya kepentingan pribadi. Undang-undang pada satu sisi memang memberikan kewenangan lebih kepada KPPU, akan tetapi pada sisi lain sesungguhnya terhadap kewenangan tersebut(mengajukan perkara inisiatif) ditentukan pula batas-batas seberapa jauh KPPU boleh berinisiatif. Pembatasan ini tampak pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan KPPU No. 10 Tahun 2010, bahwa Komisi melakukan Kajian sektor industri yang memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. industri yang menguasai hajat hidup orang banyak; b. industri strategis, yang penting bagi negara; c. industri dengan tingkat konsentrasi tinggi; dan/atau d. industri unggulan nasional ataupun daerah. Disimak dari aspek konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, maka kriteria industri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1 tersebut dapat mengacu pada industri-industri yang dikuasai oleh negara, yang selanjutnya secara operasional managerial dilaksanakan oleh unit-unit usaha yang dibentuk, dikelola dan dimiliki oleh negara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 sebagai undang-undang organik yang melaksanakan
86
konstitusi, unit-unit usaha seperti itu disebut dengan Badan Usaha Milik Negara(BUMN) yang terdiri dari Perusahaan Umum(Perum) dan Perusahaan Perseroan(Persero). Adanya kewenangan KPPU untuk mengajukan perkara inisiatif terutama yang bersumber dari data atau informasi hasil kajian sektor industri sebagaimana sudah diuraikan, pada dasarnya dapat menimbulkan keragu-raguan sehubungan dengan persoalan, apakah UU. No. 5 Tahun 1999 berlaku terhadap Badan Usaha Milik Negara(BUMN). Persoalan tersebut perlu dijelaskan sehubungan dengan ketentuan Pasal 50 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang pada pokoknya menentukan bahwa, yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah : a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan Pasal 51 menentukan, monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Meringkas kembali apa yang telah diuraikan dimana BUMN memiliki dasar hukum berupa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 dan banyak Peraturan Pemerintah(PP) yang khusus dibuat untuk maksud tersebut dapatlah dikemukakan, mendirikan, mengelola dan memiliki BUMN sesungguhnya merupakan perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu secara gramatikal dapat dipahamkan, BUMN dikecualikan dari ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Apakah dengan demikian berarti BUMN tidak termasuk dalam kategori pelaku
87
usaha atau subyek hukum persaingan usaha Indonesia yang tunduk pada undang-undang tersebut. Dalam wacana teknis yuridis, Pengecualian atau Exception atau Exceptio dapat diuraikan pada dasarnya merupakan something that is excluded from a rule’s operation61 dan salah satu bentuknya adalah statutory exception dalam mana a provision in a statute exempting certain persons or conduct from the statute’s operation62. Pengercualian itu sesungguhnya tidak bersifat menghapuskan sehingga sesuatu yang merupakan sasaran hukum menjadi tidak ada, melainkan hanya mengeluarkan untuk sementara waktu karena alasan-alasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum. Pengecualian tersebut hanya bertujuan tidak mengikutsertakan suatu subyek hukum dalam kaitannya dengan suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu saja. Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengantur tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dapat terjadi suatu subyek hukum tidak diikutsertakan atau tidak dikenakan larangan praktek monopoli pada satu sisi, tetapi pada sisi lain tetap diwajibkan mematuhi larangan melakukan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan contoh yang relevan untuk persoalan tersebut. Pasal 51 itu sesungguhnya menentukan perkenan atau mengandung normative statement yang memperkenankan (membolehkan) dilakukannya monopoli berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara.
Bryan A. Garner (ed), 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul, Minn, hal. 584 62 Ibid. 61
88
Sesuai dengan dasar yang sudah dipancangkan dalam konstitusi, penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dilakukan oleh Negara. Penguasaan yang juga mengandung pengertian melaksanakan, dalam prakteknya dilakukan oleh BUMN yang merupakan bangun usaha milik negara. Konstruksi BUMN melakukan penguasaan berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara, akhirnya mengaitkan kajian ini dengan apa yang dikenal dalam literatur-literatur hukum persaingan yang disebut dengan legal monopoly dan state monopoly. Mengacu pada Black’s law dictionary63, istilah Legal monopoly mengandung pengertian sebagai the exclusive right granted by government to business to provide utility services that are, in turn, regulated by the government. Maknanya, selain monopoli yang merupakan tindakan yang dilarang, terdapat pula monopoli yang justru diperkenankan oleh pemerintah. The term State monopoly usually means a government monopoly run by the national government, although it may also refer to monopolies run by regional entities called “states”.64 Dengan demikian dapat dikemukakan, state monopoly pada dasarnya juga merupakan perwujudan dari Legal Monopoly. Monopoli yang dilakukan oleh negara(state monopoly) terdapat pada berbagai sistem ekonomi yang dianut oleh negara-negara, baik sosialis(sistem ekonomi dengan perencanaan terpusat) maupun kapitalis(sistem ekonomi pasar). Untuk yang terakhir ini
63 64
Ibid. Hal 1023 Government Monopoly, en-wikipedia.0rg. 21/06/2010 9:40
89
terdapat analisis yang mengidentifikasi adanya State-Monopoly Capitalism. Kendati pun itu bersumber dari, dilakukan oleh, dan untuk negara, aktulaisasinya tetap didasarkan pada hukum. Inilah yang sesungguhnya merupakan esensi dari prinsip negara hukum. Pada negara seperti Rumania misalnya, ketentuan mengenai state monopoly dituangkan dalam suatu bentuk produk hukum khusus yaitu State Monopoly Law65. Di Indonesia memang belum tersedia produk hukum khusus, misalnya undang-undang khusus mengenai monopoli negara, akan tetapi dengan adanya Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, kiranya sudah cukup dimiliki dasar untuk mengemukakan, bahwa Indonesia pada dasarnya memperkenankan state monopoly. Hal ini mengandung pengertian, hak monopoli negara dilaksanakan oleh BUMN yang dikecualikan dari Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sementara itu dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 Pasal 18 ayat (2) pada pokoknya ditentukan bahwa dari kajian yang dilakukan oleh Komisi outputnya adalah Laporan Hasil Kajian berisi paling sedikit terdiri atas: a. struktur industri; b. kinerja industri; c. kebijakan industri; d. potensi atau dugaan pelanggaran Undang-Undang; e. rekomendasi. Dengan demikian melalui Laporan Hasil Kajian(LPK), Komisi antara lain dapat menyampaikan rekomendasi. Sehubungan dengan Rekomendasi, Pasal 18 ayat (3) Peraturan KPPU tersebut menentukan, Rekomendasi
65
Romeo Nicolescu, 2001, Tobacco Licencing, Implication of the treinstated Law on State Monopoly on Tobacco Products and Cigarettes Paper’s Licensing Regime, http://www.fifoots.0rg.
90
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e memuat paling sedikit sebagai berikut: a. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah untuk menerbitkan atau mengubah kebijakan; dan/atau b. melanjutkan ke tahap Penyelidikan Apabila Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dihubungkan dengan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 18 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 timbulah keragu-raguan. Pasal 16 ayat (1) Peraturan KPPU menentukan pada dasarnya dalam rangka penegakan hukum persaingan, KPPU melakukan kajian terhadap sektor-sektor industri yang dapat dikuasai oleh negara sesuai Pasal 33 UUDNRI 1945 dalam hal ini BUMN. Ketentuan ini diperkuat lagi oleh Pasal 18 Peraturan KPPU yang memberikan wewenang kepada KPPU untuk menyampaikan rekomendasi antara lain agar pemerintah mengubah kebijakannya. Selain rekomendasi, KPPU bahkan diperkenankan melanjutkan ke tahap penyelidikan. Sebelumnya Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999(UU LPMPUTS) yang merupakan sumber hukum Peraturan KPPU itu mengecualikan BUMN dari berlakunya Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persoalannya, apa urgensi langkah KPPU menyampaikan rekomendasi dan melakukan penyelidikan berdasarkan Laporan Hasil Kajian terhadap BUMN, yang semuanya tidak dapat dilanjutkan ke tingkat persidangan karena adanya Pasal 51 UU LPMPUTS. Uraian yang ringkas ini pada dasarnya berusaha memaparkan karakter yang spesifik dari perkara inisiatif sebagai suatu kekhasan. Di samping kekhasan sebagaimana telah diuraikan secara garis besarnya, dalam penanganan perkara inisiatif terdapat pula kekhasan lain sehubungan dengan dilakuannya penelitian dan pengawasan.
91
a) Penelitian Penelitian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring pelaku usaha untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara inisiatif (Pasal 1 angka 3 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU) No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara). Kegiatan penelitian hanya terdapat sehubungan dengan perkara inisiatif dan dalam hal ini dapat diuraikan bahwa kegiatan tersebut merupakan perimbangan terhadap kompetensi KPPU “memperkarakan” sendiri dugaan-dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Dalam kaitan ini KPPU tidak dengan serta merta dapat memperkarakan dugaan yang dijumpai selain wajib menelitinya terlebih dahulu untuk mendapatkan bukti awal. Pasal 21 Peraturan KPPU pada pokoknya menentukan, untuk mendapatkan bukti awal dugaan pelanggaran, unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha melakukan serangkaian kegiatan seperti; a. Melakukan pengumpulan datadata dari Pelaku Usaha, pemerintah dan atau pihak lain, b. Melakukan survey pasar, c. Melakukan survey setempat, dan/atau d. Melakukan penerimaan surat-surat tembusan dan atau informasi-informasi yang berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran Undang-undang. Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam suatu bentuk laporan yaitu Laporan Hasil Penelitian(LHP) yang paling sedikit memuat; a. Identitas Pelaku Usaha, b. Struktur pasar66, c. Potensi
66
Sadono Sukirno, 1997, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 227. Struktur pasar pada dasarnya mengacu pada bentuk-bentuk pasar yang dalam perekonomian dibedakan menjadi 4(empat) bentuk; persaingan sempurna, monopoli, persaingan monopolistik dan oligopoli. Pembagian ini didasarkan pada (i)ciri-ciri jenis barang yang dihasilkan, (ii)banyaknya perusahaan dalam kegiatan menghasilkan barang tersebut, (iii)mudah tidaknya
92
atau dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun, d. Rekomendasi dilanjutkan atau tidak ke tahap Pengawasan atau Penyelidikan. Laporan ini disiapkan dan disampaikan dalam Rapat Komisi/Rapat Koordinasi(Pasal 22 ayat 1 dan 2 Peraturan KPPU). LHP yang lengkap sekali pun sesungguhnya tidak merupakan dokumen yang dapat mengantarkan dugaan pelanggaran secara langsung pada persidangan-persidangan di KPPU. Sebelum sampai pada tahap tersebut, haruslah terlebih dahulu melalui tahap pengawasan dan penyelidikan. Untuk dapat sampai pada tahap Pengawasan pelaku usaha patut diperhatikan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang menentukan mengenai tindak lanjut pengawasan terhadap pelaku usaha berdasarkan LHP apabila memenuhi kriteria paling sedikit: a. 1(satu) Pelaku Usaha atau satu kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 50%, b. 2 atau 3 Pelaku usaha atau kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 75% dan/atau, c. Berpotensi melakukan pelanggaran undang-undang. Mengenai tindak lanjut ke tahap penyelidikan ketentuan tertuang dalam ayat (4) dari pasal tersebut yang menentukan Komisi menetapkan tindak lanjut Penyelidikan berdasarkan Laporan Hasil Penelitian apabila memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. dugaan perilaku yang melanggar undang-undang, dan/atau b. dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun. Dalam kriteria yang menentukan itu baik untuk dapat dilakukannya pengawasan terhadap pelaku usaha maupun tahap penyelidikan terkandung unsur-unsur turut berperannya disiplin di luar ilmu hukum yang pada akhirnya membuat perkara persaingan perusahaan baru menjalankan kegiatan untuk memproduksi barang tersebut, dan (iv)besarnya kekuasaan sesuatu perusahaan di dalam pasar.
93
usaha menjadi semakin sulit penanganannya tanpa adanya pendekatan yang bersifat interdisipliner. b) Pengawasan Pengawasan pelaku usaha merupakan kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk memperoleh data, informasi dan alat-alat bukti tentang ada tidaknya dugaan persaingan usaha tidak sehat atau praktek monopoli dari Pelaku Usaha atau sebagai upaya mencegah terjadinya pelanggaran(Pasal 1 angka 5 Peraturan KPPU). Seperti halnya penelitian, Pengawasan terhadap Pelaku Usaha juga hanya dilaksanakan dalam kaitannya dengan Perkara Inisiatif Komisi. Dalam perkara menurut Laporan Pelapor, pengawasan tidak diperlukan, melainkan klarifikasi dan pada perkara berdasarkan Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi, setelah klarifikasi, laporan dapat disalurkan pada tahap Sidang Majelis Komisi. Dilakukannya pengawasan terhadap pelaku usaha pada dasarnya ditentukan oleh Laporan Hasil Penelitian. Laporan yang antara lain memuat kriteria mengenai dugaan perilaku yang melanggar undang-undang, dan/atau dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun inilah yang merupakan latar belakang dilaksanakannya kegiatan tersebut. Pengawasan dilaksanakan terhadap setiap pelaku usaha yang masuk dalam buku Daftar Pelaku Usaha Dalam Pengawasan (Pasal 26 ayat 1) dalam bentuk; a. monitoring harga dan pasokan, b. Wawancara, c. pertemuan dengan Pelaku Usaha yang bersangkutan, d. laporan berkala dari Pelaku Usaha setiap 6 (enam) bulan, e. meminta informasi dari Pelaku Usaha pesaing, dan/atau f. meminta keterangan dari Pemerintah (Pasal 26 ayat 2). Seperti halnya perolehan dari kegiatan penelitian yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian(LHP), maka output
94
dari pengawasan pun juga dituangkan dalam Laporan Pelaksanaan Pengawasan(LPP) sebagaimana ditentukan Pasal 27 ayat (1). Sehubungan dengan Pasal 27 ayat (2) huruf e yang pada pokoknya menentukan Laporan Pelaksanaan Pengawasan memuat paling sedikit sebagai berikut: rekomendasi untuk penghentian Pengawasan, atau tetap dalam pengawasan dan/atau pemberian penghargaan, atau dilakukan Penyelidikan, timbul persoalan menyangkut kriteria yang dipergunakan untuk menentukan apakah pengawasan dihentikan, status quo(dinyatakan masih dalam pengawasan) atau dilanjutkan ke tahap penyelidikan. Sejauh yang dapat diamati, ihwal kriteria sebagaimana dikemukakan tadi tidak dijumpai pengaturannya secara eksplisit. Apabila dipandang bahwa kriteria tersebut merujuk pada Pasal 27 ayat (2) huruf b(perkembangan struktur pasar), huruf c(perkembangan potensi atau dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat), dan d(langkah-langkah antisipasi Pelaku Usaha terhadap potensi terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat), maka persoalan kriteria itu akan berada dalam kungkungan the vague statement atau suatu pernyataan normatif yang bersifat kabur dan perlu dijelaskan. Satu hal yang relatif tegas berkenaan dengan kriteria adalah ketentuan bahwa Komisi dapat memberikan penghargaan terhadap Pelaku Usaha apabila dalam kurun waktu paling singkat 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak melanggar Undang-Undang, yang ditetapkan dengan Keputusan Komisi (Pasal 28 ayat 2). Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi (Pasal 28 ayat 3). Sementara itu Peraturan Komisi yang dimaksudkan belum ada. Betapa pun keberadaan pengawasan dalam proses penegakan hukum persaingan semakin memperkuat pandangan bahwa KPPU merupakan suatu administrative agency yang
95
memiliki excutive power sesuai porsinya. Berdasarkan kewenangan tersebut, KPPU melaksanakan “pembinaan” melalui pengawasan terhadap para pelaku usaha yang berpotensi melanggar UU. No. 5 Tahun 1999. c. Pemeriksaan dan Sidang Komisi 1) Penyelidikan Uraian terdahulu pada dasarnya berkisar pada administrasi pengelolaan laporan dan kajian sebagai entry point untuk berprosesnya perkara di KPPU, sementara itu uraian dalam sub bab ini sudah berkenaan dengan proses penegakan hukum persaingan yang memasuki tahap-tahap pemeriksaan. Berdasarkan Peraturan KPPU yang merupakan pedoman, pemeriksaan dalam proses penanganan perkara persaingan usaha diawali dengan dilakukannya penyelidikan kecuali untuk Laporan dengan Permohonan Ganti Rugi dan pemberkasan. Berikut ini terlebih dahulu diuraikan secara garis besarnya perihal pada dua kegiatan awal tersebut. Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan Laporan Klarifikasi, Laporan Hasil Kajian, hasil Penelitian, dan hasil Pengawasan(Pasal 1 angka 6 dan Pasal 29 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010). Mengingat pada tahap pertama tersebut baru diperoleh suatu bukti awal yang masih perlu diupayakan kelengkapannya, maka KPPU sebenarnya sudah mulai berperan aktif. Dalam hal ini melalui Unit Kerjanya yang membidangi perihal investigasi menugaskan investigator untuk melakukan penyelidikan terhadap hasil klarifikasi. Menurut Pasal 1 angka 22 Peraturan KPPU, Investigator adalah pegawai Sekretariat Komisi yang ditugaskan oleh Komisi untuk melakukan kegiatan Penyelidikan atau membacakan
96
Laporan Dugaan Pelanggaran pada Pemeriksaan Pendahuluan, mengajukan alat bukti, dan menyampaikan kesimpulan pada Pemeriksaan Lanjutan. Dengan demikian dapatlah dipahami, investigator merupakan personalia yang menjadi bagian struktur intenal KPPU sendiri. Dari keluasan ruang lingkup tugasnya, tampak performance Investigator itu seperti reserse dalam jajaran penegak hukum pada institusi kepolisian. Peranan Investigator sangat strategis dan merupakan instrumen penemu dalam hal laporan tidak disertai dengan bukti yang cukup, dan dugaan pelanggaran kurang jelas serta kurang lengkap. namun demikian dalam proses penegakan hukum persaingan, Investigator tetap merupakan bagian integral dari institusi KPPU. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Investigator harus berkoordinasi dengan Unit kerja yang membidangi investigasi(Pasal 31 ayat 4). Dalam melakukan penyelidikan, Investigator memiliki wewenang yang relatif luas; dapat memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha dan Pihak Lain yang terkait, memanggil dan meminta keterangan saksi, meminta pendapat ahli, mendapatkan surat dan atau dokumen, melakukan Pemeriksaan setempat; dan/atau melakukan analisa terhadap keterangan-keterangan, surat, dan/atau dokumen serta hasil Pemeriksaan setempat, membuat dan menandatangi Berita Acara Penyelidikan(Pasal 31 ayat 2 dan 3). Keluasan wewenang tersebut pada giliranya menimbulkan persoalan khususnya menyangkut pemanggilan dan permintaan keterangan pihak lain. Siapakah pihak lain yang dimaksudkan. Peraturan KPPU tidak mengaturnya, padahal kehadiran dan menyerahkan surat serta menandatangani Berita Acara Penyelidikan merupakan kewajiban hukum yang disertai ancaman sanksi apabila tidak melakukannya(Pasal 35 Peraturan KPPU dan Pasal 48 ayat 3 UU. No.5 Tahun 1999).
97
Apabila dirunut kembali ternyata dokumen yang mencantumkan terlebih dahulu perkataan “pihak lain” adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini dapat disaksikan pada pokoknya dalam ; Pasal 22 : pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender.... Pasal 23 : pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.... Pasal 24 : pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya.... Dengan memperhatikan struktur kalimat dikaitkan dengan fungsi, wewenang dan kapasitas berbagai subyek hukum, dapatlah kiranya diidentifikasi bahwa yang dimaksud dengan “pihak lain”, pertama-tama adalah pemerintah. Akan tetapi begitu menyentuh Pasal 23 dan 24 tampaklah semakin banyak saja pihak yang berpotensi bersekongkol sehingga tidak dapat ditentukan sejak awal dan karena itu sebutan “pihak lain” masih relevan dipertahankan. Keluasan jangkauan hingga merambah pihak lain itu harus berakhir pada pembatasan bahwa Penyelidikan tidak diterapkan terhadap Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi yang telah disetujui Rapat Komisi. Pengecualian ini dilandasi pertimbangan bahwa laporan tersebut sudah terlebih dahulu mengalami proses pendalaman pada organ yang merupakan pengambil keputusan tertinggi yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah Anggota Komisi. 2). Pemberkasan Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani Pemberkasan dan penanganan perkara
98
untuk meneliti kembali Laporan Hasil Penyelidikan guna menyusun Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk dilakukan Gelar Laporan(Pasal 1 angka 7 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010). Sampai sejauh ini dapat diketahui, dalam tubuh KPPU sendiri terdapat berbagai macam unit kerja lengkap dengan tugas dan wewenang masing-masing, misalnya Unit Kerja yang menangani Laporan, Unit Keja yang menangani Investigasi, Unit Kerja yang menangani Pemberkasan. Akan tetapi di antara unitunit kerja yang ada tetap terjalin suatu koordinasi. Dengan memanfaatkan koordinasi ini pula, suatu dugaan pelanggaran ditangani secara lintas unit. Tugas pertama Unit Kerja yang menangani Pemberkasan adalah melakukan penilaian mengenai layak atau tidaknya Laporan Hasil Penyelidikan(LHP). Penilaian tersebut merupakan suatu prasyarat yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan Gelar Lapran(GL), artinya apabila LHP layak maka GL untuk Laporan Dugaan Pelanggaran yang bersangkutan dapat dilaksanakan(Pasal 39 ayat 1). Apabila LHP dinilai tidak layak untuk dilakukan Gelar Laporan, maka LHP dikembalikan kepada unit kerja yang menangani investigasi untuk diperbaiki. Perbaikan ini disertai dengan alasan-alasan dan juga saran-saran perbaikan(Pasal 39 ayat 3). Sebaliknya jikalau dinilai layak dan sebelum sampai pada tahap GL, maka LHP harus disusun terlebih dahulu dalam bentuk Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran(RLDP)(Pasal 39 ayat 2). RLDP berdasarkan Pasal 39 ayat (4) ditentukan sekurangkurangnya memuat identitas Terlapor yang diduga melakukan pelanggaran, identitas Saksi dan atau Ahli dan Pihak Lain, ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar, sekurang-
99
kurangnya 2 (dua) alat bukti, dan rekomendasi perlu dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. RLDP yang sudah rampung disampaikan dalam Rapat Komisi(RK) oleh Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara untuk dilakukannya Gelar Laporan(Pasal 40 ayat 1). Dalam proses ini Rapat Komisi tidak diberikan wewenang untuk menolak RLDP, sehingga apabila terdapat kekurangan-kekurangan, maka Rapat Komisilah yang berkewajiban menyempurnakannya, menyetujui dan menetapkannya menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran(LDP). Seluruh proses yang terjadi dalam Rapat Komisi(RK) itulah yang pada dasarnya disebut dengan Gelar Laporan(GL). Berdasarkan LDP, Ketua Komisi menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan. Berkenaan dengan pemberkasan, terdapat ketentuanketentuan mengenai jangka waktu yang harus diperhatikan(Pasal 41 ayat 1,2, dan3). Dalam hal Laporan Hasil Penyelidikan dianggap belum lengkap dan jelas, paling lama 14 (empat belas) hari, sejak diterima oleh Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara, harus dikembalikan untuk dilakukan perbaikan. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak dikembalikan, Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. Gelar Laporan dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. 3) Pemeriksaan Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator dan/atau Majelis Komisi yang dibantu oleh Panitera untuk memeriksa dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli dan Instansi Pemerintah(Pasal 1 angka 2 Peraturan KPPU).
100
Pemeriksaan dilakukan oleh Komisi dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang, maka tahapan proses selanjutnya terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran adalah sidang-sidang komisi dengan acara pemeriksaan dalam rangka menghasilkan putusan. Dikaji dari aspek hukum acara yang konvensional, pada tahap pemeriksaan inilah dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999 atau perkara persaingan usaha itu mulai memasuki proses penegakan hukum. Pada proses-proses sebelumnya, perkara lebih banyak mengalami pengelolaan secara administratif. Laporan Dugaan Pelanggaran yang memasuki proses penegakan hukum atau dalam hal ini proses pemeriksaan mengandung pengertian bahwa laporan tersebut segera akan ditangani secara profesional oleh subyek hukum yang memang memiliki kompetensi untuk melaksanakan tindakan-tindakan pemeriksaan dalam sidang-sidang komisi. Berdasarkan Pasal 44 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, Sidang Majelis Komisi dengan agenda pemeriksaan, dapat dilakukan di Kantor Pusat Komisi atau Kantor Perwakilan Daerah Komisi dan tempat lain yang ditentukan oleh Majelis Komisi (ayat 1). Di samping itu Komisi juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan setempat (ayat 3). Pemeriksaan di tempat lain ditentukan oleh Majelis Komisi atas persetujuan Ketua Komisi (ayat 2), sedangkan pemeriksaan setempat dilakukan di lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dengan dugaan pelanggaran dapat
101
ditemukan (ayat 4). Pemeriksaan yang disebutkan terakhir ini dapat disetarakan dengan on the spot examination atau practical examination atau pemeriksaan pada lokasi kejadian yang menjadi sumber perkara. Pemeriksaan terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran pada dasarnya disusun sedemikian rupa sehingga menjadi Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan yang tidak merupakan jilid kedua dari pemeriksaan pendahuluan. Dengan kedua istilah ini tidak berarti terlapor yang sudah diperiksa pada pemeriksaan pendahuluan diperiksa lagi dalam pemeriksaan lanjutan. Masing-masing pemeriksaan tersebut menempatkan subyek-subyek tersendiri sebagai sasarannya. Pemeriksaan Pendahuluan yang terdiri dari Pemeriksaan Biasa dan Pemeriksaan Laporan dengan Kerugian, serta Pemeriksaan Lanjutan yang terdiri dari Pemeriksaan Saksi, Pemeriksaan Ahli Bahasa dan Pemeriksaan Ahli. a) Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan (Pasal 1 angka 8 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010). Perihal Pemeriksaan Pendahuluan dalam Peraturan KPPU diatur mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 dan dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa istilah Pemeriksaan Pendahuluan pada dasarnya merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menyebut beberapa kegiatan pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan lanjutan. Seperti sudah disinggung, kegiatan dalam rangka Pemeriksaan Pendahuluan terdiri dari Pemeriksaan Biasa (Pasal 45) dan Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian (Pasal 46). Disimak dari sisi aktivitas Komisi, sesungguhnya pemeriksaan-
102
pemeriksaan tersebut mengandung persamaan. Jadwal pemeriksaan baik dalam Pemeriksaan Biasa maupun dalam Pemeriksaan Dengan Kerugian ditentukan oleh Majelis Komisi. Pemanggilan Terlapor juga dilakukan oleh Majelis Komisi. Demikian juga jikalau diamati dari sisi hak Terlapor, baik dalam Pemeriksaan Biasa maupun Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian, terlapor masing-masing ditentukan dapat mengajukan: a. Tanggapan terhadap Dugaan Pelanggaran; b. Nama saksi dam nama ahli; dan c. Surat dan/atau dokumen lainnya. Dari sisi-sisi tersebut tampaklah bahwa kedua pemeriksaan itu memiliki persamaan dan apabila demikian halnya, apa yang melatarbelakanginya sehingga perlu diketengahkan konsep pemeriksaan biasa dan pemeriksaan laporan dengan kerugian yang dalam Peraturan KPPU dipisahkan secara tegas pengaturannya. Pengaturan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut yang dituangkan secara berturut-turut dalam pasal-pasal yang berbeda ternyata juga menunjukkan bahwa di antara Pemeriksaan Biasa dan Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian rupanya terdapat perbedaan bahkan sifatnya pun sangat prinsip. Dalam Pemeriksaan Biasa, kewenangan yang berperan adalah Investigator. Hal ini dapat disimak dari Pasal 45 ayat 3 Peraturan KPPU yang menentukan bahwa Investigator membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran yang dituduhkan kepada Terlapor dalam Pemeriksaan Pendahuluan. Sementara itu dalam Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian, yang berperan adalah Majelis Komisi yang memberikan kesempatan kepada Pelapor untuk membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran (Pasal 46 ayat 2). Selanjutnya dapat pula diuraikan, Pemeriksaan Biasa pada dasarnya menempatkan Laporan Pelapor sebagai obyek,
103
sedangkan Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian, sesuai konsepnya berobyek pada laporan-laporan dari pelapor yang disertai dengan tuntutan ganti kerugian. Sebagaimana telah diuraikan, terhadap laporan ini tidak dilakukan penyelidikan lagi, melainkan langsung memasuki sidang pemeriksaan. Selain yang memenuhi kualifikasi demikian, maka laporan tersebut merupakan obyek Pemeriksaan Biasa. b) Pemeriksaan Lanjutan Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pengertian ini dituangkan dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, dan nampak berbeda dengan Pemeriksaan Pendahuluan. Setelah menentukan jadwal Pasal 50 ayat 1), Majelis Komisi memulai tahapan Pemeriksaan Lanjutan untuk memeriksa alat bukti yang diajukan oleh Investigator, Pelapor, dan Terlapor (Pasal 50 ayat 2), dan juga Pemeriksaan Saksi, Pemeriksaan Ahli Bahasa, serta Pemeriksaan Ahli yang masing-masing akan diuraikan secara garis besarnya. (1) Pemeriksaan Saksi Dalam perkara persaingan usaha, perihal saksi itu sudah ditentukan secara tegas dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 bahwa saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan Pemeriksaan. Saksi memiliki tiga kewajiban hukum yaitu hadir dalam pengertian tidak diwakilkan dan didengar keterangannya. Peraturan KPPU menyediakan beberapa langkah hukum dalam saksi tidak hadir (Pasal 51 ayat 1, 3,4, dan 6). Agar keterangan saksi dapat menjadi alat bukti yang sah, maka keterangan yang
104
diberikan dalam Sidang Majelis Komisi adalah berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh Saksi (Pasal 51 ayat 2). Selain itu saksi juga wajib mengucapkan sumpah/janji (Pasal 52 ayat 4) dan saat memberikan keterangan dihadiri oleh Terlapor dan/atau Pelapor (Pasal 52 ayat 5). Dalam persidangan Pemeriksaan Lanjutan Majelis Komisi mengajukan pertanyaan kepada saksi (Pasal 54 ayat 1). Investigator, Pelapor dan/atau Terlapor juga dapat mengajukan pertanyaan setelah Majelis Komisi selesai dengan pertanyaanpertanyaannya (Pasal 54 ayat 2). Sampai sejauh ini sesungguhnya ketentuan mengenai pemeriksaan saksi masih berada dalam lingkup yang wajar. Ketentuan yang agak luar biasa dijumpai pada Pasal 53 yang pada pokoknya menentukan bahwa Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan, kewajiban merahasiakan dimaksud ditiadakan. Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 53 tersebut dapat dipandang sebagai suatu penerobosan terhadap rahasia jabatan dan demi penegakan hukum persaingan yang efektif dan efisien, maka penerobosan seperti itu mutlak harus ada. Namun demikian persoalannya, apakah penerobosan cukup dilakukan dengan dasar berupa Peraturan Komisi. (2) Pemeriksaan Ahli Bahasa Perihal pemerikasaan ahli bahasa di atur dalam satu ketentuan saja yaitu Pasal 55 Peraturan KPPU. Apabila merujuk ayat (1) pasal ini tampaknya keberadaan ahli bahasa merupakan realisasi hak yang diberikan kepada Pelapor, Terlapor atau Saksi terutama yang tidak paham Bahasa Indonesia.
105
Tugas pokok ahli bahasa sudah ditentukan dalam ayat (2) yaitu mengalihbahasakan dari Bahasa Indonesia ke bahasa yang dipahami Pelapor, Terlapor, atau Saksi dan sebaliknya. Seperti halnya saksi, ahli bahasa pun juga mempunyai kewajiban memberikan sumpah atau janji. Penempatan-pengaturan ahli bahasa dengan tugas pokoknya mengalihbahasakan itu dalam Bagian mengenai Pemeriksaan sesungguhnya mengandung persoalan. Dalam pemeriksaan (serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator dan/atau Majelis Komisi yang dibantu oleh Panitera untuk memeriksa dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli dan Instansi Pemerintah), KPPU (Investigator dan/atau Majelis Komisi) berinteraksi langsung dengan pihak-pihak yang berperkara atau pun pihak lain yang terkait, sedangkan ahli bahasa tidak “diperiksa” langsung. Pertanyaan-pertanyaan dari Investigator dan/atau Majelis Komisi tidak diajukan kepada Ahli Bahasa, kecuali yang menyangkut identitas. Ahli bahasa hanya merupakan penerjemah. Namun demikian kedudukan ahli bahasa sangatlah strategis. Tanpa ahli bahasa yang profesional dan jujur sulit dihasilkan putusan yang tepat. Kendati pun kedudukannya tidak sebagai para pihak yang berperkara, maka kebutuhan akan ahli yang handal, tidak memihak, jujur dan terutama yang paham bahasa hukum semakin relevan dalam rangka penanganan perkara-perkara persaingan usaha yang efektif dan efisien. (3) Pemeriksaan Ahli Dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 ditentukan bahwa Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran dan memberikan pendapat guna kepentingan Pemeriksaan. Kehadirannya dalam
106
persidangan perkara persaingan usaha menurut Pasal 56 ayat (1) direkrut atas permintaan Investigator, Pelapor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan/atau Terlapor, atau karena jabatannya. Seorang Ahli dalam persidangan harus memberi pendapat, baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya(Pasal 56 ayat (2). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 56 sesungguhnya sudah cukup tegas, akan tetapi sampai sejauh ini kiranya belumlah cukup untuk menjelaskan siapakah gerangan yang disebutkan sebagai Ahli itu. Kejelasan mengenai figur ini penting artinya berkaitan dengan pemikiran bahwa pada satu sisi keperluan menghadirkan ahli dalam persidangan perkara persaingan usaha merupakan hak investigator, pelapor dan/atau terlapor, namun pada sisi lain tidak berarti keberadaan ahli adalah semata-mata untuk “mendukung” dalil-dalil pihak yang merekrutnya. Seperti sudah dikemukakan, Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran. Persoalannya ahli di bidang apakah yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? Dengan menyimak perjalanan panjang pengalaman Amerika Serikat seperti dikemukakan John E. Lopatka dan William H. Page67 pada pokoknya...., in antitrust litigation, the factual complexity and economic nature of the issues involved require the presentation of economic expert testimony in all but a few cases....at the same time, however, courts have limited the 67
John E. Lopatka dan William H. Page, 2005, Economic Authority and the Limits of Expertise in Antitrust Cases, http://scholarship.law.ufl.edu/facultypub. 14-07-2013 17.00
107
scope of allowable expert testimony, maka pada satu sisi dan mengingat adanya kandungan sifat ekonomi pada isu-isu persaingan usaha, kebutuhan akan kehadiran kesaksian ahli ekonomi tidak dapat dihindari, akan tetapi pada sisi lain kesaksian ahli juga mengandung pembatasan-pembatasan. Ada pun pembatasan yang dimaksud antara lain justeru dikaitkan dengan kesaksian ahli yang menurut Lopatkan dan Page.... rest on economic authority.... that much of this economic authority is taken either directly or indirectly from the Chicago School of antitrust economics.68 Aliran atau Mazhab Chicago pada intinya mengajarkan (1) markets allocate resources more efficiently than any government, (2) monopolies are created by government's attempt to regulate an economy (3) governments should avoid trying to manage aggregate demand and, instead, (4) should focus on maintaining a steady and low rate of growth of money supply.69 Sampai sejauh ini kiranya ajaran Aliran Chicago masih berada pada tataran “netral”; menonjolkan efisiensi. Tampaknya momen kelahirannya yang begitu eratnya berkaitan dengan Milton Friedman lengkap dengan segala kiprah dan pandangannya bahwa .... The Chicago school traces its roots back to Nobel laureate Milton Friedman, whose theories were drastically different from Keynesian economics, the prevailing school at the time. The Chicago school focuses on reducing regulations on business and believes in a laissez-faire approach to competition,70 yang juga ikut membatasi kesaksian ahli khusus ekonomi. Mazhab ini sangat mengagungkan efisiensi dan pendekatan
68
Ibid. What is Chicago School, Defintion and Meaning, www.businessdictionary.com. 17-07-2013. 10.15 70 Chicago School Definition, www.investovedia.com. 17-07-2013., 12.10 69
108
kebebasan dalam persaingan tetapi sangat kurang perhatiannya terhadap aturan hukum. Betapa pun dalam setiap perkara persaingan usaha dapat dipastikan adanya kandungan aspek ekonomi, akan tetapi patut pula diyakini bahwa perkara persaingan usaha bukan semata-mata memiliki keterkaitan dengan ekonomi. Berbagai aspek dapat tercakup dalam perkara tersebut sehingga kesaksian ahli yang dibutuhkan dapat pula berasal dari berbagai konstelasi keilmuan. Inilah hakikat perkara persaingan usaha yang kompleks. Pemeriksaan Ahli merupakan rangkaian akhir dari Pemeriksaan Lanjutan dan menurut Pasal 50 ayat (4) Peraturan KPPU, sebelum berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan, Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada Investigator, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), dan Terlapor untuk menyampaikan kesimpulan tertulis dan/atau paparan hasil persidangan kepada Majelis Komisi. Tentunya termasuk paparan yang “membantah sambil meragukan keahlian” saksi ahli. 4)Putusan Komisi Perihal Putusan Komisi atau yang menurut Pasal 1 angka 10 merupakan penilaian Majelis komisi yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau tidak terjadinyanya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang, selengkapnya diatur dalam Bab IV Peraturan Komisi. Dari bab yang mencakup empat bagian yang diawali dengan Musyawarah Majelis Komisi dan diakhiri dengan Pembacaan Putusan Komisi itu terdapat sub dan bagian yang patut diberikan pertanyaan atau uraian-uraian singkat yang syukur-syukur sifatnya dapat lebih memperjelas.
109
Terhadap Pasal 58 ayat (4) yang menentukan “Dalam Putusan Komisi Majelis Komisi dapat memberikan Saran dan Pertimbangan kepada Pemerintah terkait dengan perkara yang ditangani”. Pertanyaannya, apa gerangan maksud dan tujuan dari ketentuan tersebut ? Tidakkah ketentuan ini semakin memperjelas bahwa Pemerintah “kebal” hukum persaingan?. Ketentuan ini juga membingungkan karena sebelumnya sudah dinyatakan bahwa Putusan Komisi adalah penilaian .... tentang telah terjadi atau tidak terjadinyanya pelanggaran serta penjatuhan sanksi....Apabila demikian kenapa dalam Putusan Komisi diperkenankan adanya saran dan pertimbangan (baca : nasehat) dari sebuah komisi kepada pemerintah? Keberadaan Pasal 58 ayat (4) tersebut sesungguhnya semakin menunjukkan UU No. 5 Tahun 1999 hanya berlaku terhadap pelaku usaha saja. Apabila pemerintah melakukan monopoli sekali pun, maka perilaku ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran terdapat UU. No. 5 Tahun 1999. Monopoli oleh pemerintah atau state monopoly merupakan perbuatan hukum (recht handeling) yang disahkan. Daripada menjatuhkan sanksi kepada institusi yang telah mengalokasikan anggaran operasional, kiranya tidak ada tindakan yang lebih bijaksana selain memberikan saran dan pertimbangan. Kecuali berkenaan dengan saran dan pertimbangan yang mengundang pertanyaan, dalam Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2010 terdapat pula satu langkah yang cukup progresif sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal Pasal 60 yang menyatakan ; (1) Dalam hal terdapat Anggota Majelis Komisi yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan mayoritas Anggota Majelis Komisi pada saat Musyawarah Majelis Komisi, maka pendapat Anggota Majelis Komisi tersebut harus dibuat tertulis dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Putusan Komisi.
110
(2) Pendapat yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan-alasan dan disampaikan kepada Anggota Majelis Komisi lainnya dalam Musyawarah Majelis Komisi sebelum dibacakannya Putusan Komisi. (3) Pendapat yang berbeda tersebut harus diserahkan secara tertulis paling lama 2 (dua) hari setelah Musyawarah Majelis Komisi tidak tercapai mufakat. Seperti sudah ditegaskan pada titelnya, pasal tersebut mengakui dan mengatur mengenai apa yang disebut dengan dissenting opinion. Dari ayat 1 Pasal 60 dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah pendapat Anggota Majelis Komisi yang berbeda dengan mayoritas Anggota Majelis Komisi. Dissenting Opinion sudah jamak diterapkan dalam administration of justice pada sistem peradilan common law khususnya Amerika (anglo- american). Dalam sistem ini dissenting opinion pada pokoknya merupakan an opinion written by a justice who disagrees with the majority opinion.71 Konotasinya dalam sistem ini terletak pada posisi bahwa ada anggota majelis tidak setuju (disagree) dengan mayoritas. Sementara itu Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2010 mempergunakan acuan secara gramatikal bahwa dissenting berakar kata dari dissent yang dalam Bahasa Indonesia berarti perbedaan pendapat. Peraturan Komisi tampaknya mengapresiasi dissenting opinion sebagai ekspresi tidak sependapat dan juga tidak setuju, tetapi tidak memberikan penegasan apakah ketidaksependapatan dan juga ketidaksetujuan itu mencakup keseluruhan aspek putusan mayoritas ataukah hanya bagian tertentunya saja. Penegasan demikian perlu disampaikan agar tidak dikacaukan 71
Martin Kelly, 2013, Dissenting Opinion, About.com. 30 – 08 – 2013,
21. 20
111
dengan concurring opinion yang merupakan are written when a justice agrees with the majority for the verdict but disagrees with parts of the majority opinion.72 Tanpa penegasan cakupannya boleh jadi dissenting opinion itu hanya ungkapan asal beda atau bukan dissenting opinion melainkan concurring opinion. 4. Pelaksanaan Putusan a. Upaya Hukum Seperti sudah dikemukakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak merupakan bagian dari lembaga atau badan peradilan yang konvensional. KPPU adalah sebuah institusi yang oleh undang-undang diberikan wewenang khusus yang disebut dengan quasi judicial power. Dengan kewenangan inilah KPPU dapat menerima laporan dugaan pelanggaran, menyidik dan sekalian memberikan putusan. KPPU merupakan institusi tunggal dalam pengertian tidak dirancang secara bertingkat-tingkat seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu Peraturan Tentang Tata Cara Penanganan Perkaranya (Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010) tidak menyediakan ketentuanketentuan mengenai banding, melainkan Upaya Hukum Keberatan yang harus diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat kedudukan terlapor73 dan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Tata cara pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU selengkapnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 yang mengatur secara khusus perihal Martin Kelly, 2013, Concurring Opinion, About.com 30 – 08 – 2013, 21.50 73 Sebagai perbandingan Upaya Hukum Keberatan dapat dipersamakan dengan Legal Remedy of Appeal dalam Antitrust Law System di USA. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_v._Microsoft_Corp. Amerika Serikat v Microsoft Corporation 253 F.3d 34 ( 2001 ). Dalam kasus antara United States v. Microsoft Corp., penggugat juga mengajukan keberatan bahkan langsung ke Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung menolak upaya hukum tersebut dan mengirimkan kasusnya kepada pengadilan banding federal. Dari perspektif ini keberatan dapat dipandang setara banding pada acara pengadilan konvensional. 72
112
upaya tersebut. Sebelumnya keberadaan Upaya Hukum Keberatan sudah diamanatkan oleh Pasal 44 ayat (2) UU. Nomor 5 Tahun 1999 dan ditindaklanjuti oleh Pasal 65 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010. Sebagaimana tersirat dari undang-undang, melakukan Upaya Hukum Keberatan merupakan hak bagi pelaku usaha yang tidak menerima (dalam arti menolak) putusan KPPU. Oleh karena itu Pihak Terlapor harus memberikan apresiasi yang tinggi atas diperkenankannya upaya hukum tersebut. Melalui upaya hukum inilah harapan Terlapor yang tak terpuaskan sebelumnya dapat dipenuhi dan apabila harapan ini yang terwujud, maka KPPU akan menanggapinya dengan kasasi. Kendati pun kewenangan dalam penanganan keberatan berada pada pengadilan negeri, KPPU juga berkewajiban melakukan Pemeriksaan Tambahan atas perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri. Mengingat penanganan keberatan merupakan kompetensi pengadilan negeri maka keseluruhan prosesnya dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata. b. Monitoring dan Permohonan Eksekusi Apabila Terlapor setelah lewat 14 hari sejak diterimanya Petikan Putusan Komisi tidak mengajukan keberatan terhadap putusan tersebut, maka Terlapor wajib melaksanakan Putusan Komisi dan menyampaikan laporan pelaksanaannya. Untuk keperluan pemantauan, dapat dibentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Putusan Komisi. Demikian ketentuan yang disarikan dari Pasal 66 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010. Tidak diajukannya keberatan menimbulkan suatu konsekuensi yang sangat prinsip dimana Putusan Komisi memperoleh status “berkekuatan hukum tetap”. Pada momen inilah wacana mengenai Putusan Terakhir atau Final Decision menjadi relevan. Final Decision pada pokoknya merupakan suatu judgment or decree which terminates action incourt which renders it74atau The resolution of a controversy by a court or series of courts from which no appeal may be taken and that precludes further action. The last act by a lower court that is required for the completion of 74
Henry Campbell Black, Loc.cit. 567
113
a lawsuit, such as the handing down of a final judgment upon which an appeal to a higher court may be brought.75 Intinya Putusan Final itu bersifat sebagai pamungkas (ultimum) yang bertujuan mengakhiri. Dengan adanya Final Decision berarti urutan langkah-langkah atau upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu putusan sudah dihentikan khususnya banding dan kasasi. Tatacara Penanganan Perkara Persaingan Usaha Di KPPU tidak menyediakan ketentuan mengenai kedua upaya hukum tersebut. Peraturan yang dimaksud hanya menyediakan ketentuan mengenai pengajuan keberatan dan kasasinya. Selain itu, tidak mengajukan keberatan dapat juga menjadi isyarat bahwa Terlapor menerima Putusan Komisi, namun demikian isyarat tersebut tidak dengan serta merta merupakan jaminan Terlapor akan melaksanakan putusan. Jaminan pelaksanaan justru diberikan dengan adanya ancaman sanksi pidana seperti yang ditentukan dalam Pasal 67 Peraturan KPPU. Sehubungan dengan pelaksanaan putusan, KPPU pada dasarnya memiliki wewenang yang relatif luas. Di samping menyerahkan perkaranya kepada Kepolisian Negara sesuai Pasal 67 itu, KPPU juga wajib menyerahkan putusan baik Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung untuk dimohonkan Penetapan Eksekusi, bahkan langkah-langkah lain sesuai peraturan perundangundangan. Demikianlah proses penegakan hukum persaingan usaha yang hampir secara keseluruhan berlangsung pada institusi yang memiliki kewenangan semu (quasi power). Akan tetapi ketika bersentuhan dengan aspek seperti eksekusi misalnya, peranan dan fungsi penegak hukum konvensional tetap dibutuhkan.
75
Final Decision, http://legaldictionary.thefreedictionary.com/Final+Decision
114
DAFTAR PUSTAKA Amir Syamsudin, 2005, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Bukan Pengadilan? Kompas, 30 April 2005. Black, Henry Campbell 1976, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minn. Brown Gordon W., and Paul A. Sukys, 2001, Business Law, With UCC Applications, Glencoe McGraw Hill, New York. Bruggink- terjemahan – Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bryan A. Gardner (ed), 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul Minn. Davidson, Scott -terjemahan- A.Hadnyana Pudjaatmaka, 1994, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta Djisman S. Simanjuntak, 1990, Demokrasi Ekonomi dan Peranan Koperasi, dalam Politik Pembangunan, Pemikiran Ke Arah Demokrasi Ekonomi, Ed., Didik. J. Rachbini, LP3ES, Jakarta, Friedmann, W. 1960, Legal Theory, Steven & Sons Limited, London Goyder, D.G., 1993, EC Competition Law, Clarendon Press, Oxford, Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Mengatur Dalam kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Distertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta Hovenkamp, Herbert 1993, Antitrust, Black Letter Series, West Publishing Co., St. Paul Minn. I Gusti Ketut Sutha, 1976, Jiwa Kekeluargaan Dalam Hukum Adat dan Pembangunan, Jorde. Thomas M,. dan David J. Teece, 1992., Antitrust, Innovation, and Competitiveness, Oxford University Press, New York, Oxford, Martin, Elizabeth A., 1977, Oxford Dictionary of Law, Oxford University Press, Oxford, New York. Mermin, Samuel 1982, Law and The Legal System, An Introduction, Little, Brown and Company, Boston and Toronto. Midian Sirait, 1997, Paham Kebangsaan Indonesia,Sinar Harapan,Jakarta Mohammad Hatta, 1977, Pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945 Pasal 33, dalam Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Mutiara, Jakarta Moore, Garry A., et.al., tanpa tempat dan tahun, Legal Environment of Business: A Contextual Approach, South Western O. Notohamidjojo, 1975, Demi Keadilan Dan Kemanusiaan,BPK Gunung Mulia, Jakarta Gellhorn, Ernest dan William E. Kovacic, 1994., Antitrust Law and Economics, West Publishing Co., St. Paul, Minn.,
115
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya Sadono Sukirno, 1997, Pengantar Teori Mikroekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Sri-Edi Swasono, 1990, Koperasi sebagai sistem ekonomi Indonesia dalam Politik Pembangunan, Pemikiran Ke Arah Demokrasi Ekonomi, Ed., Didik. J. Rachbini, LP3ES, Jakarta, Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberety, Yogyakarta. The Liang Gie, 1979, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta Umar Juoro, 1995, Liberalisasi Dan Pembangunan Ekonomi Rakyat, dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan, Ed., Loekman Soetrisno dan Faraz Umaya, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta Uttrech, E., 1965, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, PT. Penerbit Universitas, Bandung. Widjojo Nitisastro, 1987, Suatu Tafsiran Terhadap Ayat 1 Pasal 38 UUD Sementara(Tanggapan Terhadap Tulisan Wilopo), dalam Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi., Ed., Sri-Edi Swasono, UI Press, Jakarta, Wirjono Prodjodikoro, 1974, Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta Brubaker, Stanley C., 2005, Judicial Self-restraint, Oxford University Press, http:/www.answer.com/topik/judicial-self-restraint Lopatka John E., and William H. Page, 2005. Economic Authority and The Limits of Expertise in Antitrust Cases, http://scholarship.law.ufl.edu/facultypub. Nicolescu, Romeo, 2001, Tobacco Licencing, Implication of the Treinstated Law on State Monopoly on Tobacco Products and Cigarettes Paper’s Licensing Regime, http://www.fifoots.org.
116
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., SU.
Penegakan hukum Persaingan usaha
ProPPTiM Denpasar 2015
117
Penegakan Hukum Persaingan Usaha Penulis : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., SU. Penata Sampul : Seowai Penata Letak : Seowai
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Cetakan I, 2015
ProPPTiM Jln. Gatot Subroto I/XXII No. 6 Denpasar Mobile : 081353080150 E-mail :
[email protected]
118
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BAB
v
I INTRODUKSI
1
BAB II ASPEK HUKUM MATERIIL 8 1. Asas Hukum Persaingan Usaha_8 2. Substansi Hukum Persaingan Usaha dan Sifat Pernyataan Normatifnya_22 3. Perangkat Hukum Di Luar UU. No. 5 Tahun 1999_34 BAB III ASPEK HUKUM FORMIL 36 1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)_36 a. Rancang Bangun_36 b. Tugas dan Wewenang_42 2. Prinisp-Prinsip Penegakan Hukum_49 a. Umum_49 1) Melakukan Pemeriksaan Berdasarkan Laporan dan Inisiatif Sendiri_51 2) Komisi Memfasilitasi Seluruh Kegiatan Penanganan Perkara_53 b. Khusus_56 1) Per se Illegal_56 2) Rule of Reason_61 3. Penanganan Perkara_67 a. Laporan dan Perkara Inisiatif_67 b. Pengelolaan Dugaan Pelanggaran_70 1) Laporan Pelapor _70 a). Klarifikasi_72 b). Makna dan Manfaat_74 2) Laporan Dengan Permohonan Ganti Rugi_76 3) Perkara Inisiatif_81 a) Penelitian_92 b) Pengawasan_94 c. Pemeriksaan dan Sidang Komisi_96
119
1) Penyelidikan_96 2) Pemberkasan_98 3) Pemeriksaan_100 a) Pemeriksaan Pendahuluan_102 b) Pemeriksaan Lanjutan_104 (1) Pemeriksaan Saksi_104 (2) Pemeriksaan Ahli Bahasa_105 (3) Pemeriksaan Ahli_106 4) Putusan Komisi_109 4. Pelaksanaan Putusan_112 a. Upaya Hukum_112 b. Monitoring dan Permohonan Eksekusi_113 DAFTAR PUSTAKA
120
KATA PENGANTAR
Naskah rancangan buku yang sangat sederhana ini sesungguhnya sudah siap sejak 2010 yang lalu, akan tetapi karena kendala biaya dan perlunya penyesuaian terhadap beberapa perubahan mendasar pada peraturan perundangan yang terkait, maka proses publikasinya mengalami penundaan. Bersamaan dengan dirampungkannya penyesuaian yang dimaksud dan kewajiban memenuhi ketentuan Beban Kerja Dosen yang antara lain mempersyaratkan adanya karya tulis, tidak ada alasan lagi untuk menunda tugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa di bidang Penegakan Hukum Persaingan Usaha. Buku dengan topik yang terhitung langka ini dipublikasikan dalam dua bentuk hard dan soft copy. Format hard copy dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas (10-sepuluh eksemplar) untuk keperluan administrasi. Bentuk soft copy yang diformat seperti e-book sederhana dapat diunduh secara cuma-cuma melalui www.ciblac.com. Selain penampilan dan isinya yang kurang memadai, kiranya tidak ada cacat lain dari buku ini. Atas segala pencapaian tersebut, selain terimakasih, tidak ada kata lain yang dapat disampaikan kepada pihak ProPPTiM yang berkenan mempublikasikan buku ini. Kebajikan yang dilakukan akan menghasilkan kebajikan pula.
Denpasar, 5 Januari 2015
putu sudarma Sumadi
121