Rhinitis non-alergika adalah suatu sindrom dan gabungan dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan gejala peradangan hidung tanpa adanya pemicu alergi yang dapat ditemukan. Pasien datang dengan keluhan berbagai tingkatan sumbatan hidung, rhinorrhea anterior atau posterior, tekanan di dalam sinus, hiposmia, gangguan kognitif, gangguan tidur, dan tampak kelelahan. Gejala-gejala bersin serta terasa gatal di mata, hidung atau palatum juga bisa menyertai tetapi tidak begitu umum daripada yang terlihat pada rhinitis alergika (1). Berbagai iritan dari lingkungan, efek samping obat, disfungsi otonom, penyakit autoimun, dan pengaruh hormonal adalah etiologi potensial dari Rhinitis non-alergika. Rhinitis sering dibagi menjadi tiga kategori utama: alergika, non-allergika, dan infeksi. Rhinitis non-alergika lebih lanjut dapat dibagi lagi menjadi rhinitis idiopatik (IR), rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia (NARES), rhinitis otonomik, rhinitis terkait pekerjaan, rhinitis akibat obat, rhinitis hormonal, rhinitis atropik (AR), serta berbagai penyebab sistemik dari rhinitis. Sebagian besar dari ini merupakan kategorisasi berdasarkan gejala yang ada dimana patofisiologi yang mendasarinya begitu beragam dan masih belum sepenuhnya dipahami. Meskipun terdiri dari berbagai kelompok, dapat dibuat kategori umum mengenai rhinitis non-alergika. Prevalensi terbanyak usia 20-an keatas (2,3). Lebih dominan pada perempuan (1,2). Pasien cenderung memiliki peningkatan kepekaan terhadap iritan (2). Gejala yang muncul bersifat menahun bukan musiman, dan tanda eosinofilia hidung 33% nampak pada pasien (2).
Epidemiologi dan dampak sosial Rinitis kronik adalah salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan di dunia medis seluruh dunia. Bisa dikatakan bahwa setiap orang pada beberapa titik dalam kehidupan mereka pasti pernah mengalami gejala rhinitis, prevalensi yang sebenarnya dari rhinitis nonalergika kronik masih belum diketahui dan sulit untuk dipelajari. Sistem klasifikasi saat ini masih dalam tahap pengembangan. Dalam kondisi saat ini, kurang tepat untuk membatasi proses perjalanan penyakit pasien menjadi suatu diagnosa tunggal. Rhinitis campuran (gabungan rhinitis alergika dan non-alergika) lebih dikenali, rhinitis ini muncul lebih banyak daripada rhinitis alergika atau non-alergika yang murni dan terjadi pada kurang lebih 44% sampai 87% dari pasien dengan rhinitis alergika (4,5). Seringkali terdapat beberapa bias dalam pelaporan. Pertama, pasien dengan hasil tes alergi positif diasumsikan hanya memiliki rhinitis alergi, tetapi seperti yang disebutkan di atas, rhinitis pada seorang individu bisa terdapat beberapa faktor yang berkontribusi. Kedua, pasien yang muncul dengan gejala rhinitis dan berespon terhadap terapi empirik yang diberikan seringkali langsung didiagnosa sebagai “rhinitis alergika" oleh dokter layanan primer mereka tanpa melalui sebuah tes konfirmasi. Percobaan empiris dari farmakoterapi ini termasuk lebih efektif biaya dan lebih efisien daripada harus melakukan tes alergi untuk setiap pasien dengan gejala rhinitis; akan tetapi masalahnya mengarah ke sulitnya mengukur prevalensi penyakit. Akhirnya, sebagian besar data prevalensi yang dikumpulkan dari laporan
para dokter serta data retrospektif klinis dari para pakar alergi dan THT sebagai sasaran rujukan spesialistik tidak dapat mewakili prevalensi yang sebenarnya dari populasi umum. Menurut ekstrapolasi dari studi populasi, perkiraan untuk pasien yang menderita baik rhinitis non-alergika murni atau rhinitis campuran adalah 45 juta orang di Amerika Serikat (2,4). Dua puluh lima hingga tiga puluh tiga persen dari pasien dengan gejala rhinitis memiliki rhinitis non-alergik (4,5). Kesulitan manusia yang diakibatkan oleh rhinitis dinilai dalam hal gejala, kebutuhan obat-obatan, gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, kesulitan bekerja, absen dari pekerjaan dan sekolah, efisiensi belajar terganggu, dan gangguan kegiatan sosial. Kondisi komorbiditas seperti asma, sleep apnea, sinusitis, dan otitis media turut berkontribusi dalam menambah beban individu dan masyarakat berkaitan dengan rhinitis alergika dan nonalergika. Sebuah studi terbaru oleh Meltzer et al. membandingkan antara tidur, produktivitas, dan kualitas hidup pada subyek dengan rhinitis alergika, rinitis non-alergika, dan kontrol. Skor yang dilaporkan pada parameter ini menunjukkan bahwa pasien dengan rhinitis alergika dan non-alergika merasakan gejalanya memiliki dampak kerugian pada kualitas tidur, kualitas hidup sehari-hari, dan produktivitas. Skor yang dilaporkan secara signifikan lebih buruk pada pasien rhinitis alergika (6).
Fisiologi Ulasan singkat yang relevan tentang fisiologi hidung dibahas di sini. Tetapi pembahasan yang lebih secara lebih rinci ada di bab lainnya. Fungsi dari hidung dan sinus paranasal termasuk diantaranya filtrasi, penyejuk, dan humidifikasi dari udara inspirasi; pengaturan resistensi dari saluran napas hidung; dan merasakan sensasi lingkungan melalui penciuman dan saraf sensoriknya. Sebuah mukosa yang kaya akan pembuluh darah dan kelenjar sekresi memungkinkan luasnya pengaruh dari hidung untuk menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan saat-demi-saat di lingkungan sekitar. Respon yang cepat ini dapat dengan mudah diberikan penghargaan ketika pembuluh darah hidung mengembang ketika terpapar dengan udara dingin dan dengan cepat menghasilkan hidung tersumbat dan pilek dengan tujuan untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. Fungsi hidung yang optimal tergantung pada kerja mukosa serta keseimbangan antara adrenergik, kolinergik, dan input sensorik. Ada sebuah marker αadrenergik yang terlibat di pembuluh darah hidung, sehingga terjadi vasokonstriksi. Norepinefrin dan neuropeptida Y adalah neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk pengaturan tonus simpatik, yang menghasilkan keadaan vasokonstriksi dekongestan. Sistem saraf simpatis kurang memiliki kendali atas produksi lendir dibandingkan sistem parasimpatis. Sistem saraf otonom parasimpatis sebagian besar bertanggung jawab untuk rhinorea dan kongesti. Asetilkolin, peptida intestinal vasoaktif, neuropeptida Y, nitrat oksida, enkephalin, dan somatostatin adalah neurotransmitter parasimpatis yang utama. Saraf sensorik dari cabang nervus trigeminus V1 dan V2 juga dapat mengatur pembuluh darah
dalam menanggapi cedera kimiawi dan mekanik. Cedera mukosa, terhirup iritan, degranulasi sel mast, substansi P, dan neurokinin A semuanya menyebabkan sekresi hidung dan dilatasi pembuluh darah. Input nosiseptif juga memprakarsai refleks sistemik, seperti bersin, dan refleks otonom lainnya. Hidung juga melakukan pekerjaan seorang penjaga. Hidung mengenali dan memberi perangkap partikel yang memasuki nares dengan menggunakan vibrisae dan lendir. Cilia mengalahkan partikel asing yang terperangkap ini pada 3 sampai 35 mm/menit hingga menuju ke ostia sinus dan faring. Lapisan mukosa hidung mengandung IgA sekretori, protein, dan enzim yang membantu melindungi dari infeksi. Terganggunya setiap proses ini mengancam terganggunya homeostasis hidung.
Klasifikasi Istilah "rhinitis non-alergika" mungkin terlalu inklusif. Seperti contoh, rhinitis oleh kehamilan dan gejala rhinitis yang berkaitan dengan Wegener granulomatosis keduanya ada di bawah payung rhinitis non-alergika tapi jelas merupakan proses penyakit yang berbeda. Oleh karena itu, baru-baru ini kami memulai upaya bersama menuju suatu klasifikasi yang lebih baik dan pemisahan penyakit ini melalui definisi konsensus, pemahaman patofisiologi penyakit yang lebih dalam, dan subkategorisasi baik oleh patofisiologi ataupun fenotip. Klasifikasi dari proses penyakit pasien menjadi semakin rumit dengan fakta bahwa kebanyakan pasien mengalami beberapa penyebab rhinitis yang muncul secara bersamaan. Prevalensi dari rhinitis campuran juga tidak begitu nampak (2). Selain itu, seperti atau mungkin belum ada biomarker penyakit yang dapat diandalkan untuk mengkonfirmasi seperti skin prick test (SPT) untuk rhinitis alergika. Untuk membedakan antara subkategori rhinitis non-alergika, setelah mengesampingkan penyebab alerginya, memerlukan anamnesis yang cermat dan bagaimana membedakannya dari diagnosa potensial yang lain. Bab ini menjelaskan subkategori utama dari rhinitis non-alergika berdasarkan skema klasifikasi kontemporer dan terminologi.
Rhinitis idiopatik Rinitis Idiopatik (IR) adalah diagnosis eksklusi tetapi terdiri dari sekitar 60% dari rhinitis non-alergika. Selama bertahun-tahun, IR telah dikenal oleh beberapa jenis, termasuk didalamnya rhinitis non-alergika noninfeksius, rhinitis non-alergika noninfeksius menahun, rhinitis non-alergika menahun, rhinitis intrinsik, dan rhinitis vasomotor. Ketika alergi, obstruksi mekanik, dan infeksi telah ditetapkan sebagai penyebab rhinitis, maka pasien didiagnosis dengan rinitis non-alergika. Ketika zat-sat berbahaya, iritan lingkungan, kontribusi hormonal, eosinofilia nasal, efek obat, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan gangguan otonom telah dikesampingkan maka diagnosis non-alergika yang tersisa adalah IR.
Fakta yang menyumbang IR lebih dari setengah dari area pemilihan rhinitis non-alergika mencerminkan pemahaman kami yang tidak begitu lengkap tentang patofisiologi rhinitis. Menurut definisi, IR tidak memiliki etiologi yang dibuktikan tunggal. Banyak teori terus diselidiki termasuk: keadaan inflamasi kronis, ketidakseimbangan antara input simpatis dan parasimpatis pada mukosa hidung, mekanisme noncholinergic nonadrenergic yang merangsang mukosa hidung melalui peptida seperti substansi P dan intestinal peptida vasoaktif yang bekerja pada serat sensorik,disregulasi sistem saraf pusat sensoris, dan induksi nitrat oksida sintase dalam sel otot polos pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi (7). Beberapa hal itu layak disebut sebagai teori yang beredar saat ini. Besar kemungkinan IR akan muncul dengan berbagai penyakit heterogen dengan patofisiologi heterogen pula. Pasien dengan IR akan datang dengan keluhan yang paling dominan hidung tersumbat dan pilek. Bersin dan pruritus kurang umum. Dengan melihat gejala pasien dan dampak penyakit memungkinkan dokter untuk menerjemahkan konstelasi gejala menjadi proses penyakit yang dapat diobati. Berbagai hasil kerja untuk IR diperlihatkan disini berlaku juga untuk semua subkategori rhinitis non-alergika lainnya. Pasien dengan gejala rhinitis harus ditanyai bukan hanya berapa lama gejala telah muncul tapi perlu lebih spesifik, “Berapa jam per hari Anda mengalami gejala-gejala ini?” Hal ini akan membantu untuk membedakan masalah apa yang dapat muncul dari reaksi hidung yang fisiologis. Sebuah grafik catatan harian standar mengenai durasi gejala dan intensitas dapat membantu untuk mengukur beban penyakit dan sering berbeda dari laporan lisan pada kunjungan pertama (7) (lihat Tabel 30.1). Dampak dari gejala pada individu dan kegiatanya sehari-hari adalah bagian penting dari informasi dan dapat dipastikan dengan pertanyaan sederhana, “gejala mana yang paling mengganggu anda?” Tanpa informasi ini,
kadang-kadang sulit untuk memfokuskan rencana pengobatan dan mengukur peningkatan.
Riwayat secara menyeluruh dapat membantu dokter untuk menyingkirkan penyebab lainnya dari rhinitis non-alergika. Faktor apa saja yang mengeksaserbasi dan mengurangi serta dimana di mana faktor ini terjadi (misalnya, di tempat kerja) harus bisa dipastikan. Penting untuk memperjelas rejimen terapi hidung pasien saat ini dan sebelumnya termasuk obat-obatan apa yang telah/sementara digunakan, frekuensi penggunaan (kepatuhan), apa yang bekerja, dan alasan penghentian obat. Ulasan dari seluruh daftar obat pasien juga diperlukan untuk mencari tahu kemungkinan rhinitis akibat obat. Riwayat merokok dan paparan iritasi potensial lainnya dalam 6 bulan terakhir harus dicari. Jika pasien adalah wanita, riwayat kehamilan terakhir atau saat ini perlu ditanyakan. Rhinoskopi anterior dan endoskopi hidung harus dilakukan untuk menyingkirkan kontribusi struktural dari keluhan pasien. Sebuah tomography komputerisasi (CT-scan) dari sinus dapat membantu untuk mengevaluasi bukti sinusitis kronis atau massa di hidung yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan; Namun, kecurigaan klinis juga perlu selain dari yang tampak pada pencitraan. CT Scan tidak diperlukan untuk mendiagnosis IR. Uji alergi baik dengan Skin Prick Test atau uji serum alergen-spesifik penting untuk mengkategorikan hal ini sebagai rhinitis alergika. Namun, dalam praktek, uji coba empirik dari irigasi saline baik dengan antihistamin topikal atau semprot topikal steroid nasal biasanya dimulai selama 6 sampai 8 minggu pertama. Jika gejalanya menetap, barulah dilakukan tes alergi. Tes provokasi dengan udara dingin kering (CDA) dapat menjadi tes objektif tambahan untuk membedakan antara pasien dengan IR dan kontrol, tetapi saat ini masih berupa alat penelitian tidak untuk penggunaan klinis. Tes provokasi paru dengan CDA pada pasien asma dengan hasil obstruksi bronkial, dan hal ini telah menjadi metode yang cocok untuk menilai
hiperreaktivitas bronkus (8,9). Histamin dan metakolin telah digunakan untuk menguji reaktivitas hidung pada pasien rhinitis alergika. Namun, histamin tidak bisa membedakan antara kontrol dan pasien IR (10). Metakolin juga tidak bisa membedakan antara pasien IR dengan hidung tersumbat sebagai keluhan utama dari subjek kontrol (11). Braat et al. (12) menunjukkan bahwa pasien IR memiliki peningkatan produksi lendir dan penyumbatan hidung secara dose-dependent untuk tantangan CDA standar. CDA dalam penelitian mereka terbukti kurang sensitif dibanding histamin tetapi lebih spesifik. Berbagai macam variasi baik terapi farmakologis dan bedah ada untuk pengobatan IR berdasarkan gejala. Azelastine telah disetujui FDA untuk pengobatan rhinitis non-alergika. Sebuah percobaan acak double-blind kelompok paralel terbaru menunjukkan keampuhan kedua antihistamin topikal yang tersedia (misalnya, azelastine dan olopatadine) untuk menyembuhkan hidung tersumbat, pilek, postnasal drip, dan bersin yang terkait dengan IR (13). Studi tentang dua plasebo-terkontrol dengan obat lama memberi dukungan tambahan untuk penggunaan antihistamin intranasal sebagai terapi lini pertama untuk IR (14,15). Azelastine telah terbukti memiliki dua efek baik antihistamin dan anti-inflamasi in vitro dan in vivo (16), yang dapat menjelaskan efektivitas dalam pengobatan baik rhinitis alergika musiman dan rhinitis non-alergika (17). Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah gangguan rasa. Beclomethasone cair dan fluticasone cair telah disetujui FDA untuk pengobatan rhinitis non-alergika. Adalah wajar untuk menggunakan nasal steroid topikal sendiri atau bersama dengan antihistamin intranasal untuk pengobatan IR. Kombinasi dari steroid nasal dengan antihistamin topikal belum terbukti memiliki manfaat tambahan pada IR, meskipun begitu kombinasi ini telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan pasien dengan rhinitis alergika musiman (18). Ipratropium bromide cair adalah yang paling efektif untuk rhinorrhea terkait dengan rhinitis non-alergika dan merupakan pilihan farmakologis yang baik apalagi jika ini adalah keluhan utama pasien. Ini juga telah terbukti efektif untuk meningkatkan suasana hati dan skor kualitas hidup pada pasien rhinitis non-alergika tapi tidak lebih baik daripada plasebo pada yang mengatasi kongesti, bersin. atau postnasal drip (19). Dosis awal yang dianjurkan adalah dua semprotan tiga sampai empat kali sehari apabila sekali efek terapeutik telah dicapai, dapat diturunkan menjadi sekali atau dua kali dosis harian. Saline nasal spray atau irigasi sering dianggap sebagai "placebo aktif" dalam uji klinis karena efektivitasnya yang telah dilaporkan untuk pasien rhinitis non-alergika. Irigasi saline telah ditunjukkan dalam beberapa studi dan dalam tinjauan sistematis Cochrane untuk dipertimbangkan dengan baik dan bermanfaat pada mayoritas pasien dengan rinosinusitis (20). Irigasi nasal isotonik harian dapat menjadi komponen dari rejimen hidung harian untuk semua pasien dengan IR. Antihistamin sistemik adalah pertimbangan jika bersin atau pruritus merupakan gejala utama, bagaimanapun, ini tidak sama dengan IR. Dekongestan oral mungkin tambahan untuk mengatasi penyumbatan hidung parah ketika memulai terapi topikal atau untuk menghilangkan gejala sementara pada gejala-gejala eksaserbasi episodik. Penggunaan
dekongestan oral harus dibatasi pada mereka dengan riwayat hipertensi atau penyakit jantung karena berpotensi untuk memperburuk kondisi ini. Dekongestan topikal memainkan peran yang sangat terbatas dalam pengobatan IR dan pasien harus selalu diingatkan untuk menghindari pemakaian obat-obat ini untuk lebih dari 3 hari pada suatu waktu. Capsaicin adalah suatu zat yang ditemukan dalam cabai yang menginduksi rhinorrhea dan penyumbatan hidung saat memakan makanan pedas. Capsaicin hidung menimbulkan hasil seperti rhinorrhea, penyumbatan hidung, dan bersin melalui stimulasi dari serabut sensorik C yang tak bermielin atau reseptor rasa sakit. Namun, aplikasi intranasal capsaicin pada beberapa individu, bagaimanapun, menyebabkan desensitisasi oleh stimulasi berkepanjangan dari reseptor ion yang sangat sensitif terhadap rangsangan nociceptif fisik ataupun kimiawi. Reseptor celah ion ini, disebut sebagai Reseptor Transient Vanilloid Potensial tipe 1 atau TRPV1, ditemukan pada sel-sel epitel, sel-sel endotel vaskular, kelenjar submukosa, dan saraf di mukosa hidung manusia serta mampu mengatur sekresi penyumbatan di hidung. (21). Baru-baru ini, sebuah uji coba acak-ganda terkontrol menunjukkan bahwa capsaicin efektif untuk menghilangkan gejala pada pasien dengan IR tanpa efek samping yang signifikan (22). Ini mendukung temuan beberapa percobaan acak sebelumnya (23,24). Onset terjadinya penyembuhan terjadi dalam waktu 60 detik dan bertahan hingga 9 bulan tanpa terjadi perubahan mediator di tingkat sel atau kepadatan jaringan saraf (22,24). Capsaicin belum menunjukkan manfaat yang sama untuk pasien rhinitis alergika (25,26). Capsaicin spray saat ini telah tersedia di US di bawah label Sinus Buster. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai dosis dan frekuensi penggunaan, tetapi semua studi terbaru menunjukkan bahwa pengobatan kurang dari 2 minggu memberikan hasil yang baik dan dapat diulang apabila gejala kambuh (22-24). Dalam sebuah studi, satu semprotan yang diberikan setiap 2 hingga 3 hari selama kurang lebih dari 2 minggu terbukti berkhasiat sama dengan pengobatan selama satu hari tunggal dengan semprotan yang diberikan setiap jam selama 5 jam (24). Dari beberapa penelitian awal, capsaicin tampaknya telah menjadi pilihan yang baik untuk pengobatan IR. Capsaicin memiliki onset aksi cepat, pengobatan episode relatif pendek, dan selain memiliki efek sedikit rasa panas, obat ini memiliki efek samping yang minimal. Namun, diperlukan uji klinis yang lebih sebelum obat ini benar-benar direkomendasikan secara resmi untuk keamanan dan penggunaan intranasal. Pasien yang mengalami penyakit paru bersamaan perlu perhatian khusus. Capsaicin yang terhirup dapat menjadi stimulator untuk refleks dan serangan batuk akut, pernah dilaporkan serangan asma yang fatal dengan menghirup capsaicin apabila digunakan sebagai agen melumpuhkan (seperti pepper spray) pada penderita asma (27). Pilihan bedah untuk gejala rhinitis yang sukar disembuhkan seperti metode pengangkatan konka inferior dan neurectomy Vidian. Segudang pendekatan pengangkatan konka adalah termasuk injeksi steroid, elektrokauter, cryotherapy, koblasi, pengunaan laser, turbinectomy parsial dengan microdebrider ,turbinectomy inferior komplit, dan mengeluarkan fraktur sederhana (28). Metode umum yang merusak atau mengganggu fungsi dari mukosiliar seperti turbinectomy komplit dan elektrokauter harus dihindari. Pendekatan
metode submukosa lebih penting ketimbang pendekatan extramukosa (29). Injeksi steroid ke dalam konka untuk sementara efektif tetapi lebih penting decongestan topikal selama 5 menit secara lambat sebelum injeksi karena pernah ada laporan kasus kebutaan setelah injeksi steroid. Dari review teknik terbaru, turbinoplasty dengan microdebrider parsial dan penggunaan laser holmium-YAG menunjukkan perbaikan yang paling tahan lama di hidung hingga 3 tahun (28,30-32). Neurectomy Vidian mulai diperkenalkan pada tahun 1960 sebagai suatu sarana mengurangi pilek yang parah terkait dengan "rhinitis vasomotor (otonom)" yang dianggap sebagai overstimulasi dari sistem parasimpatis. Awalnya digambarkan melalui pendekatan transantral ke kanalis pterygoideus. Laporan awal menunjukkan perbaikan yang bertahan lama (33) namun beberapa studi selanjutnya menunjukkan ada kekambuhan gejala pada 71% pasien pasca prosedur 1 tahun (34). Selama bertahun-tahun, pendekatan transantral asli untuk Vidian neurectomy telah berkembang menjadi pendekatan endoskopik yang memiliki komorbiditas bedah yang rendah. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan efektivitas jangka panjang dari Vidian neurectomy dengan endoskopi yang mengendalikan pilek dan hidung tersumbat hingga 7 tahun (35). Tujuan dari neurectomy Vidian yaitu dengan memotong jalur eferen dari refleks parasimpatis yang menyebabkan rhinorrhea akibat iritasi mukosa hidung. Mata kering adalah salah satu efek samping yang biasa terjadi pada prosedur ini dikarenakan ada serabut preganglionik parasimpatis dari saraf petrosus superfisial besar yang melewati kanalis pterygoideus sebagai bagian dari saraf Vidian yang menyuplai kelenjar lakrimalis. Namun, dalam sebuah penelitian terbaru dari dengan pendekatan endoskopi banyak pasien akhirnya pulih dari xerophthalmia dalam periode bulanan (35). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa saraf yang ditargetkan dengan kauter dua sisi atau laser itu tidak melalui prosedur menghapus segmen saraf yang telah dijelaskan sejak awal. Studi dari Jepang melaporkan modifikasi dari neurectomy Vidian yang mengatasi gejala rhinitis itu semakin mutakhir dengan risiko kecil munculnya xerophthalmia (36-38). Dalam teknik neurectomy nasal posterior, cabang sensorik dan otonom yang diligasi distal ke kanalis pterygoideus setelah keluar foramen sfenopalatina setelah itu semua melewati arteri sfenopalatina. Neurectomy Vidian dengan endoskopi dan nasal posterior neurektomi merupakan pilihan bedah utama bagi pasien dengan rhinitis yang sukar disembuhkan dibandingkan dengan pilihan terapi lainnya.
Rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia Rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofilia (NARES) adalah sindrom klinis dengan gejala seperti bersin, gatal, dan rhinore berair yang banyak, tampak seperti alergi, namun(a) tidak ditemukan adanya atopi sistemik dan (b) ditandai eosinofilia pada pulasan hidung. Pulasan hidung harus ditunjukkan lebih dari 20% eosinofil untuk bisa didiagnosa. Gejala di hidung yang tampak pada pasien NARES sering lebih parah daripada gejala yang terlihat pada rhinitis alergika (39) dan anosmia lebih sering muncul (2).
NARES muncul pada sekitar 15% sampai 33% orang dewasa dengan rhinitis nonalergika (39,40). Ada sebuah perkumpulan antara pasien NARES dengan penyakit saluran napas yang dieksaserbasi oleh Aspirin (AERD) dan sejumlah pasien ini akan terus mengalami sensitivitas aspirin dan polip di masa depan. Beberapa laporan menyebutkan NARES merupakan manifestasi awal dari AERD dan adanya eosinofilia harus ditafsirkan sebagai penanda untuk intoleransi aspirin dan polip di masa nanti (39). Patofisiologi NARES belum sepenuhnya dipahami. Eosinofil dan aktivasi sel mast tampaknya memainkan peran penting dalam hal ini. Eosinofil telah terbukti melepaskan zat beracun seperti protein dasar utama dan protein kationik eosinophilik ke dalam mukosa hidung (41). Studi fisiologis pada pasien dengan rhinitis non-alergika telah menunjukkan korelasi antara eosinofilia dan pembersihan mukosiliar berkepanjangan pada tes klirens sakarin (42). Tidak terjadinya dari pembersihan mukosiliar berkepanjangan dapat menyebabkan predileksi untuk infeksi dan akan lebih memperburuk siklus peradangan. Pelepasan sel mast dan histamin secara kronis juga tampak relevan dengan proses penyakit ini meskipun peran mereka belum dapat dijelaskan secara penuh (41). Gejala rhinitis alergika dan NARES cukup mirip kondisinya meskipun keduanya dikategorikan secara terpisah berdasarkan hasil tes alergi sistemik. Menariknya, meskipun pasien rhinitis non-alergika menunjukkan hasil negatif pada tes alergi sistemik, namun studi tentang tes provokasi hidung ditemukan positif pada 10% hingga 65% dari pasien rhinitis non-alergika (43-46). Konsep mengenai reaksi alergi lokal di mukosa hidung atau "entropi" (sebagai lawan "atopi") secara resmi diperkenalkan oleh Powe et al. pada tahun 2003 dan masih merupakan perdebatan dan studi lanjutan hingga saat ini (47,48). Powe et al. mengusulkan bahwa pada tingkat sel, reaksi inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung pada pasien rhinitis non-alergika ini mirip dengan reaksi alergi sistemik pada pasien atopik (4 7). Teori ini kemudian didukung oleh hal berikut: 1. Antigen-spesifik IgE antibodi telah terdeteksi pada mukosa hidung dari beberapa pasien rhinitis non-alergika sama juga pada pasien rhinitis alergika tetapi tidak terkontrol secara normal (45,47). 2. Sebuah pola yang sama dari Th2-driven lokal, IgE-mediated terinfiltrasi selular terlihat di mukosa hidung dan sekresi dari pasien rhinitis alergika dan rhinitis non-alergika (49,50). Khususnya sel mast, eosinofil, sel IgE-positif, dan sel T yang sama bentuknya muncul pada kedua subkelompok ini (50). Mediator yang dilepaskan dari sel-sel ini seperti protein dasar eosinofilik dan tryptase telah ditemukan pada semua bentuk peradangan hidung kronis yang telah dipelajari termasuk rhinitis alergi, rhinitis nonallergic, dan poliposis hidung (meskipun dengan derajat yang berbeda-beda) (41). 3. Studi provokasi hidung adalah positif dengan tidak adanya atopi sistemik seperti yang disebutkan sebelumnya di atas (43-46). Meskipun kita masih bergantung pada pengujian kulit dan serum untuk mendeteksi atopi, hubungan antara atopi sistemik dan gejala hidung lokal belum dapat dipahami dengan
baik. Pada pasien dengan dicurigai adariwayat alergi dan tes untuk alergi sistemik negatif, pulasan hidung dan uji provokasi hidung harus dilakukan untuk mencari bukti reaktivitas hidung lokal. kortikosteroid intranasal adalah pengobatan andalan untuk NARES dan ditemukannya eosinofilia signifikan pada pulasan hidung mengisyaratkan respon yang baik untuk obat-obat ini (51). steroid oral lebih efektif daripada steroid topikal dalam mengurangi gejala anosmia pada pasien NARES (52). Dalam sebuah studi, Antihistamin yang tersedia menambahkan manfaat bersama dengan steroid topikal (53). Nampaknya antagonis leukotrien akan efektif pada gabungan antara NARES, AERD dan polip; Namun, hingga saat ini tidak ada studi acak terkontrol yang menguatkan hal ini (54). Imunoterapi tampaknya mungkin menjadi pilihan yang efektif untuk pasien dengan uji provokasi nasal positif meskipun ini masih harus dipelajari (54). Pada pasien yang dites positif pada uji provokasi hidung, adalah wajar untuk dinasihati menghindari zat provokatif. Terapi yang lebih terarah akan muncul apabila patofisiologi NARES dapat lebih dipahami. Anti-IgE dan antibodi monoklonal untuk IL-5 adalah dua bidang penelitian yang potensial untuk solusi farmakologis (54). Rhinitis terkait dengan pekerjaan (work-related rhinitis) Rhinitis yang berhubungan dengan pekerjaan atau rhinitis kerja (OR) adalah iritasi hidung dan peradangan karena eksposur di tempat kerja. Selain gejala hidung primer, iritasi mata, pruritus okular, dan batuk adalah gejala dari OR. Selama 10 sampai 15 tahun terakhir, penelitian terbaru di bidang ini menunjukkan sulitnya mengklasifikasi dan konfirmasi diagnosis ini dari apa yang telah diperlihatkan sebelumnya dan hingga saat ini belum ada kesepakatan resmi mengenai definisi OR. Tulisan kertas tahun 2008 dari Akademi Alergi dan Imunologi Klinik Eropa (EAACI) memberi uraian singkat tentang OR dengan mengusulkan definisi ini: "OR adalah penyakit radang hidung, yang ditandai dengan gejala intermiten atau persisten (yaitu, hidung tersumbat, bersin-bersin, rhinorea, gatal), dan/atau pembatasan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi karena sebab dan kondisi lingkungan kerja tertentu dan tidak disebabkan oleh stimuli di luar tempat kerja"( 55). Prevalensi rhinitis terkait dengan pekerjaan belum ditetapkan karena angka ini sebagian besar tergantung pada kriteria yang digunakan untuk menentukan penyakit. OR bukan merupakan yang jarang dan cenderung terjadi lebih sering daripada yang terlihat seperti sekarang. OR adalah bagian dari sebuah kontinum penyakit saluran napas yang disebabkan di tempat kerja dan diketahui dua hingga empat kali lebih sering muncul daripada asma terkait-kerja (56-58). Perkembangan dari rhinitis terkait kerja mungkin merupakan tanda berita pengembangan gejala saluran napas bagian bawah dalam 2 sampai 5 tahun (5658). Penyebab rhinitis di tempat kerja dapat berupa alergi , iritasi, atau kombinasi keduanya. Agen yang menyebabkan OR dibagi menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi (HMWCs) dan senyawa dengan berat molekul rendah (LMWCs). Jenis-jenis HMWC dapat dianggap sebagai protein hewani atau nabati. Hampir semua HMWCs dengan mekanisme IgE-termediasi ini telah terbukti sebagai agen kausatif dari OR (58). Contoh jenis-jenis HMWC termasuk bulu binatang, lateks, debu gandum, tepung, tungau debu, dan enzim
biologis (lihat Tabel 30.2 untuk daftar HMWC dan LMWC). Jenis-jenis LMWC biasanya terlalu kecil untuk menjadi imunogenik sendiri. Mereka harus dibarengi dengan protein seperti hapten-protein kompleks untuk dapat membangkitkan respon hipersensitivitas IgEtermediasi. Untuk alasan ini seringkali sulit untuk mengisolasi LMWC untuk tes alergi kulit dan serum IgE-termediasi. Beberapa jenis LMWC yang telah menunjukkan OR dengan IgEtermediasi seperti garam platinum, asam anhidrida, dan pewarna reaktif. Agen aerosol seperti asap tembakau, parfum, penyegar udara, dan pelarut adalah contoh darI penyebab iritasi pada OR.
Menurut data dari Finnish Register of Occupational Dissease 1986-1991, pasien yang bekerja di bidang berikut memiliki risiko lebih tinggi untuk OR: pekerja industri bulu; tukang roti; peternak; pekerja pengolahan makanan; dokter hewan; petani; perakit dari listrik, elektronik, dan produk-produk telekomunikasi; dan pembangun kapal (57). Sebuah studi berbasis populasi terpisah di Swedia menemukan bahwa pekerja yang kerjaanya terlibat paparan debu kayu, debu tekstil, asap api, lem cepat kering, pengeras cat, atau debu kertas memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya rhinitis (59). Pasien dengan OR biasanya memiliki riwayat atopi mempredisposisi mereka terpapar lagi peradangan mukosa hidung oleh alergen di tempat kerja. Fenomena ini digambarkan oleh Shusterman et al. (60) Dalam sebuah studi yang menantang pasien rhinitis alergi dan pasien
non alergi dengan menginhalasi klorin intranasal. Dia menemukan bahwa pasien dengan rhinitis alergika yang sudah ada sebelumnya lebih rentan terhadap peradangan sel mast nonmediated yang diukur dengan rhinometry akustik. Dalam sebuah studi kontrol positif yang terkait, provokasi rye-grass menyebabkan pasien alergi rhinitis musiman untuk berkembang menjadi peradangan hidung dan degranulasi sel mast. Hubungan merokok dan risiko untuk berkembang menjadi OR sejauh ini masih menarik, memang masih belum jelas; Hasil dari berbagai penelitian juga masih kontradiksi. Diagnosis OR membutuhkan dua hal berikut (a) dokumentasi mengenai rhinitis dan (b) penyebab oleh paparan di tempat kerja. Dokumentasi dari rhinitis didapatkan melalui riwayat kesehatan sebelumnya, riwayat pekerjaan, dan lewat pemeriksaan. Riwayat medis harus mencakup adanya gejala di hidung sebelumnya, onset gejala, eksaserbasi dan bagaimana gejala hilang timbul di lingkungan kerja, keparahan gejala, serta dampak gejala pada produktivitas kerja dan kesejahteraan individu. Riwayat pekerjaan yang bersangkutan meliputi: durasi kerja (latensi) sebelum timbulnya gejala, panjang dan frekuensi potensi terpicu paparan rhinitis atau iritan eksposur lainnya. Pemeriksaan hidung dapat dilakukan dengan rhinoskopi anterior dan endoskopi hidung tapi temuan yang biasanya didapati adalah iritasi atau peradangan mukosa nonspesifik. Pemeriksaan hidung dapat membantu dalam mengesampingkan penyebab tambahan dari gejala seperti deviasi septum nasal atau polip nasal. Ada dua pilihan utama untuk menetapkan penyebab paparan di tempat kerja. Yang pertama adalah uji imunologis baik dengan skin prick test atau serum alergen-spesifik IgE antibodi. Uji imunologi tersedia secara luas dan cukup untuk mengkonfirmasi reaksi alergi yang diduga karena jenis-jenis HMWC. Namun, uji imunologi memiliki keterbatasan dalam mengevaluasi OR yang disebabkan oleh jenis-jenis LMWC. Secara komersial ada, namun ekstrak standar dari jenis LMWC ini tidak tersedia. Jenis LMWC juga rentan terhadap tingkat positif palsu yang tinggi dalam pengujian kulit akibat interaksi nonspesifik dengan histamin (61). Uji provokasi nasal masih menjadi standar menetapkan diagnosis dari OR. Hal ini dapat dilakukan di kantor atau dibagian manapun di lingkungan kerja. Ini digunakan untuk mengkonfirmasi OR yang disebabkan baik oleh IgE-termediasi atau IgE-tak termediasi. Reproduksi gejala hidung telah digunakan sebagai bukti yang dapat diterima untuk mendiagnosis OR tetapi pengukuran yang lebih fisiologis seperti rhinomanometri, rhinometri akustik, dan aliran inspirasi puncak hidung sedang digunakan untuk mendokumentasi tujuan kemampuan hidung sebelum dan sesudah provokasi (62,63). Pengukuran fisiologis ini tidak memiliki ketetapan antarindividu dan data yang diperoleh dari pengukuran ini tidak dapat dibandingkan antara sesama individu atau norma-norma standar. Cairan hidung dan volume produksi lendir telah digunakan dalam beberapa penelitian sebagai ukuran peradangan tetapi sama, tidak ada aturan standar yanng digunakan untuk perbandingan (64,65). Ada tiga prinsip utama untuk pengobatan individu dengan OR (a) membatasi dampak dari penyakit pada kesejahteraan individu, (b) membatasi efek tak diinginkan pada produktivitas kerja, dan (c) mencegah tambahan gejala sisa yang merugikan kesehatan
(misalnya, asma terkait pekerjaan) dari paparan di tempat kerja terus. Menghindari paparan penyebab adalah pertahanan pertama pertama pada OR. Ketika seseorang benar-benar tidak bisa menghindari paparan di tempat kerja, barulah obat-obatan untuk mengontrol paparan secara terbatas dapat digunakan. Pengobatan dengan irigasi garam, semprotan hidung steroid, dekongestan, dan antihistamin digunakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti pada rhinitis alergika. Imunoterapi memiliki peran jika pemicu alergi spesifik telah teridentifikasi dan dengan pencegahan serta farmakoterapi tidaklah cukup. Meskipun OR memiliki banyak kesamaan dengan penyebab rhinitis lainnya, satu perbedaan utama adalah kemampuan untuk melakukan perubahan pada sistem skala besar. Ketika semua bentuk lain dari rhinitis fokus pada individu, OR memberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah dan efek organisasi potensial serta perubahan untuk seluruh sistem. Diagnosis awal pada kasus ini idealnya memerlukan analisis internal dengan cepat dan tindakan secara menyeluruh untuk membatasi komorbiditas di tempat kerja pada waktu yang akan datang.
Rhinitis karena obat-obatan Rhinitis karena obat-obatan dibagi menjadi tiga kategori (a) neurogenik, (b) inflamasi, dan (c) idiopatik. Ada sejumlah obat yang mana rhinitis menjadi salah satu profil efek sampingnya. Yang paling banyak digunakan adalah jenis obat-obat antihipertensi, obat disfungsi ereksi, dan beberapa obat psikofarmaka. Dekongestan topikal, ketika digunakan secara berlebihan, sering dikenal menyebabkan rhinitis medikamentosa dengan mekanisme yang berbeda-beda. (Daftar obat-obatan umum yang sering menyebabkan rhinitis dan mekanismenya dapat ditemukan di Tabel 30.3. Daftar agen topikal yang umumnya dapat menyebabkan rhinitis medicamentosa ditemukan dalam Tabel 30.4.)
Obat anti-hipertensi sistemik adalah contoh obat-obatan yang menyebabkan rhinitis melalui mekanisme neurogenik. Obat-obatan ini berada di ujung keseimbangan antara regulasi simpatis dan parasimpatis dari mukosa hidung ke arah dominasi parasimpatis melalui penghambatan langsung atau tidak langsung dari norepinefrin. Banyak antipsikotik dan antidepresan yang sama juga mengubah ketersediaan norepinefrin melalui interferensi pada reuptake norepinefrin dan dopamin di jalur sinaptik. Pengobatan pada kasus rhinitis
neurogenik dengan cara mengidentifikasi obat yang menyebabkan dan mengganti dengan alternatif lainnya jika memungkinkan. Beberapa efek rhinologis dari obat psikofarmaka seperti hypnosedatives (misalnya, zolpidem) kurang dipahami dengan baik. Obat ini beraksi terpusat pada gamma-aminobutyric acid (GABA, suatu reseptor belum memiliki efek langsung pada mukosa hidung perifer. Ini adalah contoh dari rhinitis yang dinduksi obat idiopatik.
Penyakit Saluran Napas Karena Aspirin Aspirin dan obat anti inflamasi non-steroid lainnya (NSAID) dapat memperburuk rhinitis inflamasi dalam lingkup populasi yang rentan dengan perubahan metabolisme asam arakidonat. Rhinitis ini merupakan bagian dari konstelasi yang lebih besar dari gejala kolektif dikenal dengan Rhinitis yang diinduksi oleh aspirin (AERD). Meskipun AERD adalah bahasa sehari-hari disebut juga sebagai triad Samter’s ini, ini sebenarnya adalah sebuah tetrad yang terdiri dari (a) sensitivitas terhadap aspirin dan isoenzim siklooksigenase 1(COX-1) lainnya yang menghambat obat anti inflamasi non-steroid, (b) asma, (c) polip nasal, dan (d) rhinosinusitis eosinofilik kronik. Sensitivitas obat yang mendasari kadang disebut juga sebagai "alergi aspirin"; Namun, ini tidak benar karena tidak ada mekanisme alergi IgEtermediasi yang bertanggung jawab. Deskripsi yang paling akurat dari AERD adalah sebuah reaksi hipersensitivitas nonallergic (66). AERD paling sering terjadi pada awal masa dewasa usia antara 20 dan 40 tahun dengan predileksi 3: 2 perempuan banding laki-laki (67). Ini mempengaruhi sekitar 1% dari populasi umum (68), tetapi prevalensi naik sampai 21% pada penderita asma (69). Pada penderita asma dengan polip hidung, sekitar 30% sampai 40% dipengaruhi (70). Gejala rhinitis sering mendahului timbulnya asma (71). Beberapa pasien akan muncul dengan riwayat serangan asma yang diinduksi oleh aspirin atau NSAID atau memburuknya gejala rhinitis setelah menggunakan obat-obatan ini. Timbulnya gejala saluran napas bagian atas atau bawah biasanya terjadi dalam waktu 90 menit setelah mengkonsumsi obat penghambat COX-1. Penting untuk dicatat bahwa konsumsi aspirin atau NSAID tidak memulai penyakit, tetapi dapat memperburuk gejala setelah proses penyakit sedang berlangsung (72). Polip hidung yang menyebar yang mengisi rongga hidung dan kekambuhan polip setelah reseksi bedah merupakan keunggulan dari AERD. CT Scan sinus sering menunjukkan pansinusitis dengan kekeruhan yang nyaris total dari sinus. Mungkin ada pembelokan lateral dari dinding lateral kavitas nasal atau penipisan tulang septum intersinus dari efek massa polip di ruang terbatas dari kavitas nasal. Polip berkontribusi untuk menyebabkan kemacetan parah di hidung, anosmia, dan gangguan tidur sering terlihat pada pasien ini (73). Patofisiologi penyakit ini sudah dipelajari tetapi baru sedikit dipahami. Anomali yang mendasari dalam metabolisme asam arakidonat menyebabkan kelebihan produksi eikosanoid, yaitu leukotrien dan prostaglandin (74-76). Eikosanoid adalah molekul sinyal lokal yang
berbasis lipid berfungsi sebanyak neurotransmitter untuk mengaktifkan protein G terikat membran dan menginduksi transduksi sinyal dan respon seluler. Namun, karena ini berdasarkan lipid, jadi tidak dapat disimpan dalam vesikel seperti neurotransmiter tetapi hanya diproduksi sesuai permintaan. Baik leukotrien dan prostaglandin keduanya adalah proinflamasi. Mereka bekerja melalui reseptor pada sel target untuk mengkontrak bronkus dan otot polos pembuluh darah; meningkatkan permeabilitas pembuluh darah; meningkatkan sekresi lendir di saluran napas dan usus; dan merekrut leukosit seperti sel mast, eosinofil, dan neutrofil ke lokasi peradangan. Leukotrien LTC4, LTD4, dan LTE4 membentuk reaksi anafilaksis substansi lambat. Dibandingkan dengan histamin, campuran leukotrien ini lebih kuat dan memiliki onset lambat tetapi durasi aksi yang panjang . Selain peningkatan produksi leukotrien, peningkatan regulasi reseptor leukotrien telah ditunjukkan dalam mukosa saluran pernapasan pasien ESRD (77). Sitokin proinflamasi IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF, dan eotaksin juga hadir dan memfasilitasi produksi, rekrutmen, dan usia eosinofil dan sel mast (78-81) . Biopsi dari mukosa saluran pernapasan atas dan bawah dari pasien AERD menunjukkan kelimpahan dari eosinofil dan aktivasi sel mast ini (82,83). Eosinofil melepaskan zat toksik seperti protein eosinophilic kationik, protein dasar utama, eosinofil berasal neurotoxin, dan eosinofil peroksidase yang melanjutkan proses peradangan dan siklus kerusakan jaringan (72). Sel mast melepaskan mediator seperti histamin dan tryptase; mensintesis prostaglandin dan leukotrien; dan berpartisipasi dalam bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan kelanjutan dari kemotaksis eosinofil (72). Yang tidak diketahui dari ini adalah apa yang memicu proses peradangan ini dan bagaimana untuk secara khusus menafsirkan data ini pada pasien dengan AERD mengingat fakta bahwa beberapa pasien yang memiliki toleransi aspirin dengan polip atau asma telah menunjukkan aktivasi leukosit proinflamasi dan mediator yang sama persis, meskipun untuk tingkat yang lebih rendah. Kelebihan leukotrien dan prostaglandin yang mendasari ini dieksaserbasi oleh konsumsi obat penghambat COX-1. Penghambatan COX-1 mendorong metabolisme asam arakidonat terhadap produksi leukotrien. Secara khusus, berkurangnya COX-1 mengarah ke penurunan produksi prostaglandin E2 (PGE2), sebuah mediator anti-inflamasi dan inhibitor produksi leukotrien. Kurangnya PGE2 juga diterjemahkan ke penurunan stabilitas sel mast dan pelepasan histamin dan tryptase. Manifestasi klinisnya adalah berbagai tingkat rhinitis, konjungtivitis, spasme laring, dan bronkospasme. Tidak semua obat penghambat siklooksigenase mengekesaserbasi penyakit pernapasan oleh mekanisme ini. Beberapa studi terpisah menunjukkan bahwa obat penghambat selektif COX-2 (misalnya, celecoxib / Celebrex) tidak memperburuk gejala saluran napas pada pasien AERD (84-86). Penelitian terpisah juga menunjukkan bahwa pasien AERD dapat mentolerir penghambatan parsial COX-2 (misalnya, meloxicam / Mobic), yang memiliki beberapa aktivitas COX-1 pada dosis tinggi dan COX-1 inhibitor rendah seperti acetaminophen dalam dosis rendah (87-92) (lihat Tabel 30.5). Namun, disarankan
hati-hati ketika meresepkan obat penghambat COX-2 untuk pasien yang dikonfirmasi AERD. Laporan kasus jarang mengenai efek samping yang parah obat selektif COX-2 dan parsial COX-2 inhibitor memang ada dan terus muncul (93). Reaksi pertama biasanya paling parah dan jika obat penghambat COX-2 secara medis diperlukan untuk seorang pasien, akan lebih bijaksana apabila pemakaian pertamanya ada di bawah pengawasan medis.
Prevalensi riwayat AERD kadang dilebihkan dan juga diremehkan oleh pasien (94). Saat ini tidak ada uji hipersensitivitas in vitro untuk aspirin/NSAID dan uji aspirin yang dapat diandalkan sebagai standar emas untuk mendiagnosis AERD. Ada empat jalur yang tersedia untuk uji provokasi: mulut, penghirupan bronkial, inhalasi hidung, dan intravena. Di Amerika Serikat, uji aspirin oral dilakukan. Menurut sebuah penelitian, 45 atau 60 mg aspirin adalah dosis yang dapat memprovokasi reaksi naso-okular dan bronkial pada pasien yang menjalani uji aspirin oral (95) Pengobatan untuk AERD dibagi ke dalam dua kategori, manajemen-darurat untuk eksaserbasi akut dan kontrol jangka panjang. Reaksi pernafasan akut yang disebabkan oleh aspirin yang tidak disengaja atau mengkonsumsi NSAID diterapi dengan menghirup βagonis, antihistamin sistemik, dan kortikosteroid sistemik. Manajemen mengikuti prinsipdan protokol untuk tatalaksana jalan napas akut, yang dapat ditemukan di bab-bab lain. Jika muncul hipotensi, urtikaria, atau tanda-tanda lain dari pelepasan histamin sistemik, maka epinefrin intramuskular harus diberikan. Untuk mata atau reaksi hidung saja, lisan antihistamin mungkin cukup Pasien harus diamati selama beberapa jam karena reaksi induksi aspirin dapat berlangsung selama beberapa jam. Terapi multimodalitas diperlukan untuk penangangan AERD jangka panjang. Penghambat leukotrien harian, steroid intranasal, dan garam bersamaan dengan menghindari
aspirin dan NSAID lainnya adalah dasar dari penanganan medis untuk AERD. Pasien dengan rhinitis alergika simultan harus diidentifikasi dan diperlakukan sesuai. Pengobatan penyakit saluran napas bagian bawah harus ditangani bersama dengan ahli paru. Pembedahan endoskopi sinus adalah tambahan yang diperlukan dengan mengikuti prinsip-prinsip operasi sinus ditemukan di bab khusus lainnya. Pasien harus diberi konseling mengenai sifat berulang dan resistensi penyakit mereka dan diingatkan kapan saat yang perlu untuk dilakukan operasi. Desensitisasi aspirin dapat dipertimbangkan pada siapa pun dengan gejala pernapasan menyerupai AERD. Mereka yang akan mendapat manfaat dari hal ini mencakup (a) pasien dengan gejala saluran napas berat patuh mengkonsumsi steroid intranasal dan inhibitor leukotriene setiap hari, (b) mereka yang membutuhkan aspirin atau NSAID lainnya untuk aktivitas antiplatelet jangka panjang (misalnya, pasien stent jantung), {c) mereka dengan polip yang parah yang memerlukan operasi sinus sering, atau (d) orang-orang yang memerlukan dosis steroid sistemik yang sangat tinggi untuk mengontrol gejala. Desensitisasi aspirin sangat efektif untuk gejala saluran napas yang berhubungan dengan AERD tetapi tidak dapat diandalkan untuk manifestasi kulit dari sensitivitas aspirin. Protokol desensitisasi aspirin yang paling umum digunakan ditemukan oleh dokter di Klinik Scripps dan Institut Penelitian. Ini terdiri dari konsumsi oral aspirin dimulai pada pagi hari pada 30 mg dan dilanjutkan dengan interval 3 jam dengan dosis 45, 60, 100, 150, dan 325 mg hingga dosis akhir 650 mg selama periode 2 atau 3 hari. Dosis diulang jika terjadi reaksi naso-okular atau bronkus (95,96). Gejala dan fungsi paru tetap diikuti di tiap kenaikan dosis. Setelah desensitisasi, pasien dipertahankan pada dosis 325-650 mg dua kali sehari tanpa batas. Ada beberapa perubahan pada protokol ini berkaitan dengan waktu perubahan dosis (97). Data menunjukkan bahwa protokol ini adalah aman apabila dilakukan di klinik berpengalaman dengan peningkatan jangka panjang pada gejala dan pengurangan penggunaan obat selama lebih dari 5 tahun (98).
Rhinitis Medikamentosa Rhinitis medicamentosa adalah kategori khusus dari rhinitis yang diinduksi obat yang terjadi dengan mekanisme berbeda dari rhinitis akibat obat yang dijelaskan di atas. Terlalu sering menggunakan vasokonstriktor hidung topikal menginduksi toleransi yang cepat, atau tachyphylaxis, dengan rhinitis rebound yang parah. Gejala Rebound ini menimbulkan ketergantungan pada agen penyebab. Dekongestan nasal topikal yang mengandung oxymetazoline hidroklorida dan Phenilefrin hidroklorida sejauh ini merupakan penyebab paling sering. Rhinitis Rebound serupa juga bisa disebabkan oleh penggunaan kokain topikal di hidung. Keluhan utama adalah hidung tersumbat yang parah. Biasanya kurang ada tanda rhinorrhea meskipun sebenarnya ada sensasi rhinorrhea dan sering mengendus dalam waktu yang lama. Pruritus dan bersin yang paling sering terlihat. Pada pemeriksaan, mukosa hidung biasanya digambarkan sebagai edematous, "bengkak merah," dan kering. Temuan ini tidak berarti patognomonik atau spesifik untuk rhinitis medikamentosa tetapi penting, ada juga
beberapa temuan nonspesifik pada kasus rhinitis terinduksi obat lainnya. Ditemukan respon yang buruk terhadap penerapan dekongestan topikal di klinik. Oxymetazoline dan fenilefrin masing-masing dikategorikan sebagai turunan imidazol dan simpatomimetik amina. Mekanisme kerjanya adalah stimulasi α- dan β-adrenergik pada sistem saraf simpatik. Dalam mukosa hidung, reseptor adrenergik dominan adalah reseptor α1. Ini terletak di otot polos dan stimulasi ini menyebabkan pelepasan norepinefrin dan vasokonstriksi. α2 reseptor terletak pada neuron presinaptik dan menginduksi umpan balik negatif pada pelepasan norepinefrin (lihat Gambar 30.1) .Ada juga beberapa ketidakjelasan, tapi mungkin efek β-adrenergik dari simpatomimetik amina lebih tahan lama, dimana mengarah untuk relaksasi otot polos di mukosa saluran napas.
Tachyphylaxis diusulkan terjadi oleh banyak mekanisme termasuk (99): 1. Kelelahan persediaan presinaptik norepinefrin karena stimulasi yang terus-menerus. 2. Ketiadaan sensitivitas dan jumlah reseptor α1 di sisi postsynaptic karena efek penghambatan reseptor α2 pada neuron presinaptik. 3. Vasodilatasi β-adrenergik berkepanjangan yang muncul lebih lamadari efek αadrenergik. 4. Hipoksia jaringan dari vasokonstriksi yang berkepanjangan hingga akhirnya menyebabkan vasodilatasi Rebound baik dari kelelahan vaskular atau kebutuhan untuk memasok nutrisi ke jaringan-jaringan hipoksia. 5. Peningkatan tonus parasimpatis peningkatan edema.
menyebabkan permeabilitas vaskuler dan
Tak satu pun dari teori-teori ini telah terbukti secara definitif. Secara histologis, perubahan terlihat pada rhinitis medikamentosa termasuk kehilangan naso-silier, metaplasia sel skuamosa, penggundulan sel epitel, peningkatan pelebaran interselular, peningkatan
vaskularisasi, fibrosis, edema dari lapisan sel epitel, hiperplasia sel goblet, peningkatan ekspresi dari reseptor growth-factor epidermal, dan infiltrasi sel inflamasi (100). Dekongestan nasal topikal dapat ditemukan dengan nama dagang umum seperti Afrin, Neosynephrine, dan Sinex tetapi ada juga segudang merek lain di apotek. Cara terbaik untuk langsung tau adalah dengan bertanya langsung. "Apa jenis semprotan hidung yang anda gunakan dan seberapa sering?” Seringkali, pasien tidak tahu daftar obat-obatan tanpa resep ini, dan lupa namanya kecuali memeang disebutkan. Pasien yang telah lama mengkonsumsi obat-obat ini secara sering memiliki efek psikologis serta ketergantungan fisiologis pada obat-obat ini dan perlu untuk diberi edukasi tentang bahaya penggunaan dekongestan topikal yang berkepanjangan. Pengobatan rhinitis medicamentosa diarahkan pada penghentian agen penyebabnya, penggantian dengan pilihan obat dengan efek farmakologis lebih baik, dan mengidentifikasi kemungkinan mendasari penyebab rhinitis. Pasien harus menghentikan penggunaan obatobatan ini dalam hitungan hari dan diganti dengan semprotan saline nasal dan steroid hidung topikal. Pertimbangan harus diberikan dengan fakta proses penyakit dan penggunaan kronis obat-obat ini. Penting untuk menyelidiki penyebab medis lainnya dari rhinitis seperti rhinitis alergika, polip hidung, atau deviasi septum nasal dan mengobatinya sesuai dengan gejala. Pasien harus dinasihati untuk menggunakan dekongestan topikal selama minimal 1 sampai 2 bulan sebelumnya setiap akan menjalani operasi endonasal. Ada contoh ketika penggunaan jangka pendek dekongestan topikal dibenarkan. Misalnya, jika ada kemacetan konka yang parah untuk mencegah penerapan obat topikal lain, maka penggunaan singkat dekongestan topikal dapat diperlukan. Pasien yang disarankan untuk menggunakan obat-obatan akut harus selalu dinasihati terhadap penggunaan jangka panjang lebih dari 3 hari pada sekali waktu. Pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau riwayat penyakit jantung harus diberikan dekongestan topikal dan oral dengan hati-hati karena berpotensi untuk memperburuk kondisi ini.
Rhinitis diinduksi hormon hidung tersumbat diduga terjadi karena efek sekunder dari peningkatan estrogen dan progesteron. Ini adalah fenomena yang terjadi dalam kehamilan; Namun, kurang diketahui apakah ini terjadi pada keadaan kelebihan hormon endogen atau eksogen. Ada beberapa bukti yang menunjukkan terjadinya peningkatan hidung tersumbat selama puncak preovulasi estrogen selama menstruasi (101-104). Namun, penelitian telah gagal untuk menunjukkan korelasi yang konsisten antara sumber hormon eksogen perempuan (misalnya, kontrasepsi oral modem dosis rendah, terapi penggantian hormon, atau perawatan kesuburan) dan rhinitis (105 -107). Ini mungkin karena dosis dari estrogen pada kontrasepsi oral dan terapi penggantian hormon yang cukup rendah (50-300 unit pmol/L) dibandingkan saat kehamilan (70 sampai 150.000 unit pmol /L).
Sekitar sepertiga dari wanita hamil memiliki gejala hidung tersumbat gejala kehamilan yang didefinisikan oleh Ellegaard dan Karlsson sebagai "hidung tersumbat muncul pada 6 minggu terakhir usia kehamilan atau lebih, tanpa tanda-tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dan tanpa penyebab alergi yang diketahui, menghilang sepenuhnya dalam 2 minggu setelah melahirkan " (108,109). Sekitar 65% dari wanita, melaporkan ada hidung tersumbat pada beberapa waktu selama kehamilan mereka (110). Hal ini biasanya menjadi lebih jelas pada trimester kedua kehamilan dan mereda segera setelah melahirkan. Ini lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan dengan wanita nulipara dan tidak dipengaruhi oleh usia, kebiasaan merokok, atau indeks massa tubuh (110). Meskipun hubungan antara kehamilan dan rhinitis tampaknya ada, namun mekanisme rhinitis diinduksi hormon masih dalam perdebatan. Jelas rhinitis diinduksi hormon bukan hanya fenomena dosis-respons. Tampaknya, baik siklus pengeluaran hormon atau peningkatan kadar plasma yang perlahan diperlukan untuk memperoleh efek mukosa hidung (111). Diketahui penurunan kadar estrogen dan progesteron setelah melahirkan berkorelasi dengan resolusi dari gejala rhinitis setelah melahirkan. Namun, penelitian sampai saat ini telah gagal untuk menunjukkan perbedaan konsisten dalam kadar estrogen dan progesteron antara wanita hamil dengan gejala dan wanita hamil tanpa gejala atau bahkan perempuan yang tidak hamil (111). Hasil yang samar-samar juga terlihat dari studi histologis dan fisiologis yang membandingkan kelompok perempuan ini. Pengobatan difokuskan pada keseimbangan antara menghilangkan gejala untuk ibu dan pertimbangannya juga untuk perkembangan janin. Pengobatan dinilai aman untuk digunakan dalam kehamilan berdasarkan percobaan pada hewan dan manusia. Hanya Kategori D dan Kategori X yang didasarkan penelitian pada manusia yang telah menunjukkan membahayakan janin. Kategori B dan C didasarkan pada ekstrapolasi dari studi reproduksi pada hewan saja tanpa bukti yang jelas dari studi pada manusia. FDA membutuhkan banyak data obat-obatan berkualitas tinggi untuk bisa didefinisikan sebagai Kehamilan Kategori A. Irigasi saline sangat efektif untuk rhinitis pada kehamilan dan harus menjadi lini pertama sebelum mencoba obat-obatan. Kromolin Natrium hidung adalah obat Kategori B yang efektif untuk gejala rhinorrhea, bersin, dan gatal di hidung. Antihistamin oral generasi pertama dan kedua terdaftar sebagai Kategori B kecuali untuk fenofexadine dan desloratadine, yang ditunjuk sebagai Kategori C. Ipratropium bromida adalah Kategori B tapi biasanya lebih efektif untuk rhinorrhea dan kurang begitu efektif pad ahidung tersumbat. Steroid hidung semuanya termasuk Kategori C kecuali budesonide aqua, yang baru-baru ini diupgrade ke Kategori B. Antihistamin intranasal, dekongestan oral, dan dekongestan intranasal semua dianggap Kategori C dan harus digunakan dengan hemat sebagai terapi lini kedua jika gejalanya parah dan tidak responsif terhadap agen lainnya. Inhibitor leukotriene adalah Kategori B dan telah terbukti ditoleransi pada kehamilan tanpa malformasi yang nyata untuk perkembangan janin (112). Namun, efektivitas inhibitor leukotriene dalam rhinitis kehamilan belum diteliti secara khusus dan akan sangat tergantung pada patofisiologi yang mendasari rhinitis kehamilan (lihat Tabel 30.6 untuk daftar klasifikasi obat kehamilan yang aman sering digunakan dalam pengobatan rhinitis). Pada pasien hamil dimana ada gejala
keterlibatan dari komponen rhinitis alergika selama kehamilan, perawatan imunoterapi subkutan dapat diteruskan jika memberikan manfaat tanpa menyebabkan reaksi sistemik, tetapi suntikan tidak boleh dimulai atau ditingkatkan (113). Hypothyroidism adalah penyebab yang jarang dari gejala rhinitis. Jika sebelumnya tidak didiagnosis, tinjauan menyeluruh harus menilai gejala seperti kelelahan, intoleransi dingin, berat badan yang tidak diinginkan, rambut rapuh, dan perubahan kulit, yang akan mendorong pengujian laboratorium awal dengan tingkat TSH dan T4. Penggantian dengan hormon tiroid eksogen mengurangi gejala rinitis disebabkan oleh hipotiroidisme (114).
Rhinitis otonom (rinitis vasomotor) Disfungsi sistem saraf otonom telah lama dipikirkan turut memainkan peran dalam peradangan hidung kronis dan rhinitis. Ini pertama kali ditunjukkan secara kuantitatif oleh uji meja miring abnormal pada pasien dengan rhinitis otonom (115). Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bahwa ini adalah kemungkinan hipoaktif dari sistem saraf simpatik daripada sebuah hiperaktif dari sistem parasimpatis yang mendorong terjadinya gejala rhinitis otonom (116, 117). Gejala rhinitis otonom dapat muncul dalam merespon rangsangan fisik, emosional, atau pengecapan. Beberapa rangsangan provokatif umumnya termasuk udara dingin,
perubahan kelembaban, olahraga, gairah seksual, alkohol, stres emosional, makanan pedas, dan paparan langsung pada mukosa hidung. Pasien biasanya mengeluh rhinorrhea berair yang ditimbulkan oleh salah satu dari faktor-faktor ini. Hidung tersumbat juga dapat hadir tetapi sering pada tingkat yang lebih rendah. Pruritus jarang tetapi refleks bersin dapat juga ada sebagai mekanisme pertahanan host otonom. Rhinitis otonom termasuk unik di antara penyebab rhinitis lainnya dikarenakan ini merespon dengan baik untuk semprotan hidung ipratropium bromida dua sampai empat kali sehari (117). Kortikosteroid topikal intranasal dan antihistamin intranasal juga ditemukan efektif untuk rhinitis otonom (118, 119).
Rhinitis Atropi Rhinitis Atropi (AR) adalah penyakit hidung tersumbat yang paradoks dan stasis mukosiliar. Pasien muncul dengan gejala utama sumbatan hidung parah yang kronis dan pada pemeriksaan rongga hidung sering sangat paten atau bahkan melebar. Ada bentuk primer dan sekunder dari AR yang membedakan dalam epidemiologi dan etiologinya. Temuan karakteristik pada keduanya dalam bentuk pengerasan kulit hidung, pembesaran rongga hidung, atrofi mukosa, dan penymbatan hidung paradoks. Mungkin AR primer dan sekunder memiliki manifestasi klinis yang sama dari faktor pemicu yang berbeda. Beberapa pengertian lain yang telah digunakan bergantian dengan AR termasuk rhinitis sicca, sindrom hidung kosong, dan ozena. Ini mungkin penyakit-penyakit dalam sebuah spektrum atau penyakit yang berbeda sama sekali (120,121). Penggunaan nomenklatur yang meluas mengakibatkan kebingungan dalam mengkategorisasi dan mempelajari penyakit ini. Bentuk utama dari AR terlihat paling sering pada negara-negara terbelakang. Anak-anak dan orang dewasa muda tampak dominan terkena meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan rata-rata usia 50 pada populasi penelitian mereka (121). Ada kecenderungan perempuan sedikit. Pasien-pasien ini sering muncul dengan gejala sumbatan hidung yang kronis disertai dengan krusta hidung yang terlihat dan kakosmia konsisten dengan triad yang awalnya digambarkan oleh Fraenkel yaitu fetor, pengerasan kulit, dan atrofi struktur hidung. Pasien sendiri mungkin mengeluhkan anosmia tapi fetor sering lebih parah sehingga itu dirasakan oleh orang lain. Tidak jarang pasien mengalami depresi klinis karena stigma sosial dari bau hidung yang kronis (121). Sebelum timbulnya gejala, riwayat dari penyakit sinonasal tidak ada dalam bentuk primer. Bentuk sekunder dari AR terlihat sama dengan sumbatan hidung paradoks yang kronis; Namun, kehadiran bau busuk sudah kurang umum atau kurang tajam. Pengerasan kulit hidung juga cenderung lebih terbatas daripada dalam bentuk primer dan resorpsi konka dan tulang juga terlihat lebih jarang (121,122). AR sekunder lebih sering terjadi pada usia dewasa dan dominan terlihat di Amerika Serikat dan negara-negara maju. Operasi sinus dengan reseksi berlebihan dari konka mengakibatkan sebagian besar kasus AR sekunder. Penyebab lainnya meliputi: penyakit granulomatosa kronis seperti Wegener granulomatosis,
trauma hidung parah, riwayat radiasi pada kepala dan infeksi seperti kusta, TBC, sifilis, atau rhinoscleroma. Rasa sumbatan paradoks di hidung pada kedua AR primer dan sekunder tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa teori yang ada (122-124): 1. Konka secara normal meneruskan dan memusarkan udara inspirasi. Atrofi daerah ini menyebabkan terganggunya aliran udara normal, yang dianggap sebagai obstruksi. 2. Beberapa tingkat resistensi kemungkinan merupakan faktor penting dalam sensasi bernafas yang memuaskan. Hidung berkontribusi 50% dari resistensi saluran napas dan tidak ada resistensi pada hidung normal. 3. Meskipun rongga hidung adalah paten abnormal, hidung yang atrofi memiliki luas permukaan mukosa kurang untuk menghidrasi dan menyejukkan udara inspirasi. 4. Ada kehilangan input dan penciuman sensorik termasuk persepsi dari udara inspirasi. Aliran udara hidung kering yang tak berhenti menyebabkan perubahan kronis epitel pernapasan. Secara histologi, ini tercermin dalam transformasi mukosa hidung dari normalnya epitel saluran pernapasan berlapis skuamosa menjadi keratinisasi epitel skuamosa. Hilangnya silia, sel goblet, kelenjar serosa dan mukosa, dan endarteritis obliterans difus (121). Banyak faktor yang telah diusulkan sebagai patofisiologi yang mendasari AR termasuk infeksi, kekurangan gizi, ketidakseimbangan hormon, kebersihan yang buruk, vaskulitis, proses autoimun, dan faktor keturunan. Yang paling sering dilaporkan faktor-faktor ini yang mungkin adalah infeksi Klebsiella ozaenae. K. ozaenae adalah organisme yang paling sering dibiakkan dari krusta pasien AR (121,125). Hal ini terjadi lebih sering pada AR primer daripada yang sekunder. Dalam serangkaian kasus terbesar sampai saat ini, dari 242 pasien dengan AR. 45 orang dari 45 pasien AR primer memiliki biakan positif untuk K. ozaenae sedangkan hanya 1,5% dari pasien AR sekunder yang positif (121). Apakah kehadiran K. ozaenae hanyalah sebagai penyebab AR atau hanya superinfeksi oportunistik tidak diketahui pasti, tapi organisme ini kelihatannya memberikan kontribusi dalam beberapa bagian untuk proses penyakit yang sedang berlangsung pada AR primer. Studi tentang cilia telah menunjukkan bahwa K. ozaenae memiliki sifat ciliostatic, yang dapat membantu dalam pembentukan kolonisasi kronis dan infeksi (126). Implikasi lebih lanjut mengenai etiologi infeksi AR primer berasal dari hubungan yang ada pada babi yang disebut sebagai AR progresif. Pada babi, bakteri Pasteurella multocida hanya sendiri atau berkombinasi dengan Bordetella bronchiseptica, telah ditetapkan sebagai organisme penyebab dari AR progresif. Vaksin terhadap P. multocida adalah pelindung melawan gejala dan tanda-tanda AR progresif pada babi (127).
AR adalah diagnosis klinis. Pada pemeriksaan, tampak mukosa hidung pucat, mengkilap, dan kering. Ini mungkin tampak menipis atau berbatu. Setelah krusta kuning kehijauan intensif dikeluarkan. Ada rongga hidung yang luas tampak terlihat seiring dengan hilangnya landmark intranasal yang normal. Untuk membedakan antara bentuk primer dan sekunder dalam dalam penelitian sampai saat ini telah didasarkan pada konsensus. Pasien dengan gejala sinonasal de novo dengan tidak adanya riwayat trauma hidung, terapi bedah, penyakit granulomatosa, atau radiasi yang ditunjuk ciri khas AR sedangkan yang lainnya dianggap sekunder. Negara asal dan status imigrasi terakhir dari seorang pasien, keparahan kakosmia, dan kemunculan regresi radiografi konka juga mungkin yang membedakan karakteristik antara bentuk primer dan sekunder meskipun hal ini belum dipelajari secara case-control. Dalam sebuah studi oleh Ly dan DeShazo, diagnosis AR sekunder dibuat dengan spesifisitas 0,95 dan spesifisitas 0.77 jika ada terlihat dua atau lebih dari temuan klinis berikut: epistaksis, anosmia, nanah hidung, krusta hidung, penyakit inflamasi kronis pada saluran napas bagian atas selama 6 bulan, atau dua atau lebih operasi sinus (128). Luasnya kerusakan tulang terlihat lebih baik di CT Scan yang menunjukkan kavitas rongga hidung dengan hilangnya struktur hidung normal (Gambar 30.2). PaceBalzan et al. dan Moore secara terpisah mencatat temuan berikut yang konsisten dengan AR: (a) penebalan mukosa sinus paranasal, (b) kehilangan definisi ostiomeatal kompleks sekunder karena penghancuran ethmoid bulla dan proses unsinasi, (c) hipoplasia sinus maksilari, (d) pembesaran rongga hidung dengan perusakan dinding lateral hidung, dan (e) kerusakan tulang pada konka tengah dan inferior (121,129).
Studi laboratorium termasuk hitung darah lengkap, profil metabolik dasar, reagen plasma cepat, HIV, enzim level konversi angiotensin, kadar kalsium, antibodi sitoplasma antineutrophil (c-ANCA, p-ANCA, myeloperoxidase, dan proteinase 3) direkomendasikan sebagai bagian dari evaluasi awal pasien dengan dugaan AR sekunder. Foto x-ray dada merupakan metode yang efektif dan murah untuk mengevaluasi penyakit paru yang berdampingan.
Kebiasaan nasal positif dapat membantu mendukung diagnosis dan terapi antibiotik langsung, tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Biopsi hidung harus dilakukan setiap kali adak kecurigaan penyebab granulomatosa pada AR sekunder. Jika ada yang berhubungan dengan penurunan berat badan, dyspnea kronis, atau gejala lain yang bersamaan dengan penyakit paru, maka biopsi hidung dibenarkan. Demikian pula, jika perforasi septum muncul tanpa riwayat intervensi iatrogenik atau penyalahgunaan obat intranasal, maka kecurigaan klinis harus ditingkatkan untuk vaskulitis yang mendasari dan biopsi harus dilakukan. Sebuah etiologi utama untuk AR harus selalu dicari pertama dan diterapi sesuai. Pengobatan andalan untuk AR adalah melembabkan dan debridement. Debridement awalnya harus dilakukan di klinik pada interval 4 sampai 6 minggu diikuti dengan irigasi isotonik saline minimal 200 mL selama 2 sampai 4 kali sehari. Sebuah salep dengan bahan dasar tak berminyak harus digunakan dua kali sehari di antara irigasi untuk meningkatkan kelembaban hidung. Ketika pasien sudah tidaak terlihat seperti ada krusta atau gejala pilek, maka pengawasan hidung dan debridement di klinik dapat dikurangi frekuensinya tetapi pasien harus diberi konseling mengenai kekebalan penyakit ini dan akan kepatuhan terapi sehari-hari. Kadang solusi antibiotik topikal selain garam selama 2 sampai 4 minggu dapat membantu dalam mengeradikasi infeksi kronis dan krusta yang berbau busuk. Beberapa persediaan antibiotik topikal yang umum digunakan termasuk gentamisin 200 mL (80-160 mg / 1.000 mL) dua kali sehari atau mupirocin (22 mg dari 2% di 1000 mL) dua kali sehari. Kuinolon sistemik atau tetrasiklin dapat dipertimbangkan jika pasien tetap sulit disembuhkan meskipun patuh terhada terapi harian. Dekongestan dan antihistamin harus dihindari karena ini akan memperburuk mukosa yang kering. Pilihan bedah ditujukan untuk meningkatkan kelembaban hidung dan/atau resistensi hidung. Sebuah prosedur yang dimodifikasi Young mengembangkan flaps untuk menutup nares pada satu kali dan memungkinkan untuk rehumidifikasi dari mukosa hidung. Endoskopi hidung periodik difasilitasi dengan meninggalkan lubang kecil 3 mm. Tetap diperlukan prosedur rekanalisasi berikutnya. Studi yang terbatas telah menunjukkan penurunan krusta hidung pada 6 bulan dan peningkatan pemanjangan silia tapi tidak jumlahnya (130). Tersedia sejumlah stent hidung berbeda yang dapat dilepas untuk mempersempit diameter nares untuk meningkatkan ketahanan hidung. Ada berbagai metode untuk bedah vestibuloplasty dalam literatur. Ini melibatkan pengembangan flaps mukosa atau injeksi berbagai autograft atau allograft implan pada katup hidung internal. Hasil dari semua pilihan bedah terbaik tentunya bervariasi dan harus dikejar dengan hati-hati setelah semua pilihan konservatif yang melelahkan selama jangka waktu lama.
Penyebab sistemik dari Rhinitis non-alergika Penyakit sistemik dapat muncul bersamaan dengan gejala klinis rinitis kronis dan harus dipertimbangkan dalam diferensial rhinitis non-alergika kronis yang sukar disembuhkan. Penyakit autoimun dan penyakit granulomatosa seperti Wegener granulomatosis dan sarkoidosis adalah pertimbangan yang paling umum. Temuan uji dapat
nonspesifik tetapi tinjauan sistem dapat mengungkapkan gejala konstitusional, gejala paru, atau gejala muskuloskeletal yang harus meningkatkan kecurigaan klinis seseorang untuk proses sistemik yang mendasari. Agen infeksi seperti tuberkulosis, rhinoscleroma, dan infeksi jamur kronis juga dapat memicu reaksi granulomatosa di hidung dan rhinitis kronis. "Snuffles" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan persistensi dan rhinore bercak merah-kebiruan yang merupakan manifestasi dari sifilis kongenital. Studi serum dan biopsi intranasal ditunjukkan untuk menyingkirkan penyebab infeksi dan autoimun dari rhinitis yang sulit disembuhkan. Sebuah x-ray dada termasuk efisien, dan modalitas murah yang juga harus digunakan untuk menyelidiki potensi adanya penyakit paru yang bersamaan. Refluks extraesophageal (EER) diakui sebagai penyebab umum dari rhinitis yang sukar disembuhkan pada anak-anak (131) dan semakin diakui juga sebagai kontributor untuk rinosinusitis kronis pada orang dewasa (132). EER juga telah dikaitkan dengan rhinitis otonom pada orang dewasa dan dapat merupakan manifestasi dari disfungsi otonom umum (116). Dahak kronis, pembersihan tenggorokan yang berlebihan, globus, batuk, dan iritasi tenggorokan adalah gejala yang bisa sama-sama disebabkan isi perut direfluks dari bawah atau mediator inflamasi yang keluar dari atas hidung. Riwayat nyeri ulu hati, regurgitasi, atau dispepsia adalah penting untuk dicaritahu pada pasien dengan gejala rinitis kronis; Namun, tidak adanya gejala-gejala ini tidak mengecualikan diagnosis EER. Kaufman (133) menunjukkan bahwa bahkan jumlah jejak refluks, tiga kali seminggu, cukup untuk menyebabkan trauma mukosa ke laring. Sebuah pH probe ganda khusus dengan lengan esofagus dan nasofaring terpisah dapat mendeteksi kejadian refluks ke nasofaring tapi saat ini belum ada data standar untuk menggambarkan apa yang normal atau apa yang signifikan. Sebuah percobaan empiris obat antireflux dapat dibenarkan untuk pasien dengan gejala rhinitis refraktori. Baik keganasan organ padat ataupun hematogen mungkin meniru gejala rinitis non alergi. Neoplasma hidung harus selalu diselidiki dengan endoskopi hidung dan CT Scan sinus. NK/ T-sel limfoma yang sebelumnya disebut granuloma midline mematikan, dapat menyebabkan erosi agresif struktur intranasal bersamaan dengan AR. Leukemia limfositik kronis juga telah dilaporkan menyamar seperti rhinitis kronis (134). Pasien dengan penyakit Parkinson menunjukkan peningkatan kejadian rhinorrhea lima kali lipat terhadap kontrol usia yang sama dalam sebuah studi yang dilaporkan (135). Ini muncul terutama otonom dalam mendeskripsikan dan merespon ipratropium bromida. Hal ini mungkin disebabkan oleh disregulasi simpatik terlihat pada penyakit Parkinson. (Lihat Tabel 30.7 untuk daftar penyebab sistemik potensial dan struktural dari rhinitis kronis) Proses penyakit ini dibahas secara lebih rinci dalam bab terpisah.
Rhinitis dan Penuaan Rhinitis pada anak-anak pada umumnya karena penularan dan alergi. Setelah usia 20,barulah rhinitis non-alergika lebih umum. Setelah dekade keenam dan ketujuh, perubahan di mukosa hidung, melemahnya struktur tulang rawan hidung, dan banyaknya konsumsi obatobatan mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua untuk kondisi yang dijuluki "rhinitis geriatri" atau "rhinitis pikun" (136). Seiring penuaan, mukosa hidung menjadi lebih atrofi dengan hilangnya kelenjar serosa submukosa dan sel goblet dan penurunan aliran mikrovaskular. Kelemahan dalam mendukung tulang rawan hidung yang berkaitan dengan usia kolagen juga dapat menonjolkan gejala obstruksi aliran udara hidung. Populasi orang berusia juga mungkin dikarenakan pengobatan kronis seperti diuretik, beta-blocker, anxiolytik, dan obat-obatan antivertigo dengan efek sampingnya mengeringkan dan memampetkan hidung. Pasien mungkin muncul dengan keluhan sekresi hidung menebal dan krusta, postnasal drip berlebihan dan dahak, pembersihan tenggorokan berlebih, hidung tersumbat, dan kadang-kadang penurunan dalam indra penciuman dan rasa. Atau pasien usia lanjut dapat melaporkan rhinore berair dan eksaserbasinya dengan makanan, perubahan suhu, atau latihan yang lebih mirip dengan rhinitis otonom. Diferensial diagnosis untuk rhinitis geriatri onset baru termasuk rhinitis alergika, rinitis vasomotor, rhinitis atrofi, sinusitis kronis, penyakit EER, tumor hidung jinak dan ganas, dan kebocoran CSF. Hal ini penting untuk menyelidiki dan menghilangkan kondisi yang lebih morbid sebelum memulai terapi dugaan. Tujuan dalam pengobatan rhinitis geriatri fokus pada meningkatkan kelembaban hidung dan pembersihan mukosiliar. Untuk tujuan ini, semprotan saline hidung dan irigasi adalah andalan pengobatan. Selain dari mukolitik seperti guaifenesin juga dapat membantu untuk menipiskan sekresi hidung. Ada beberapa perdebatan tentang peran steroid topikal hidung pada rhinitis geriatri. Beberapa telah memperingatkan untuk menggunakan ini secara
hemat karena dapat memperburuk kekeringan hidung tetapi pada banyak pasien kombinasi garam dan hidung steroid topikal terbukti efektif. Sebuah percobaan steroid hidung wajar dengan syarat pemantauan dosis akan efek samping lokal. Steroid hidung harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan glaukoma sudut sempit karena steroid dapat meningkatkan tekanan intraokular. Jika pengobatan dengan steroid diperlukan pada pasien dengan riwayat glaukoma sudut sempit, maka pasien harus memiliki sering mengecek tekanan intraokular di dokter mata mereka. Semprotan ipaptropium hidung sangat efektif untuk rhinitis otonom tetapi kepatuhan mungkin terbatas karena frekuensinya yang dibutuhkan. Obat yang harus dihindari pada kelompok ini termasuk antihistamin dan dekongestan. Antihistamin, terutama antihistamin generasi pertama, dapat memperburuk kekeringan mukosa dan menyebabkan sedasi dibandingkan obat lainnya. Antihistamin harus dibatasi untuk antihistamin generasi kedua apabila diindikasikan. Topikal dan sistemik dekongestan nasal tidak memberikan solusi jangka panjang untuk rhinitis geriatri, dapat mengeksaserbasi kekeringan hidung dan iritasi, dan juga dapat memperburuk kondisi komorbiditas yang mendasari seperti hipertensi dan penyakit jantung.
Hal-hal yang penting
Rhinitis non-alergika adalah masalah umum yang masih belum begitu diketahui Belum ada tes definitif untuk rhinitis non-alergika (dan sub kategorinya). Diagnosis ditegakkan melalui riwayat menyeluruh, hal-hal yang berkaitan dengan gejala pasien, dan mengecualikan diagnosa lain yang mungkin Meskipun terminologinya masih suram dan masih banyak tantangan untuk mengkategorikan, pendekatan dalam penanganan praktek dari pasien rhinitis nonalergika kronis masih sama Rhinitis kronis dapat diringankan dengan terapi non-farmakologi dan non-bedah termasuk edukasi pasien, kontrol lingkungan, dan irigasi saline hidung Antihistamin topikal menunjukkan efek antihistamin dan anti-inflamasi serta efektif sebagai terapi lini pertama pada pasien rhinitis idiopatik Kortikosteroid hidung topikal efektif terutama pada pasien rhinitis non-alergika dengan sindrom eosinofil hidung
DAFTAR PUSTAKA
1. DiLorenzo G, Paoor ML. Amodio E, et al. Differences and similarities between allergic and nonallergic rhinitis in a large sample of adult Patients with rhinitis symptoms. Int Arch Allergy Immunol 2011; 155: 263-2 70. 2. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 86 (5): 494-507. 3. Togias A. Age relationships and clinical features of nonallergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1990; 85: 182 4. Settipane RA. Rhinitis: a dose of epidemiological reality. Allergy Asthma Proc 2003; 24: 147-154. 5. Settipane RA. Demographics and epidemiology of allergic and nonallergic rhinitis. Allergy Asthma Proc 2001; 22 (4): 185-189. 6. Meltzer EO, Nathan R, Derebery J. et al. Sleep, quality of life, and productivity impact of nasal symptoms in the United States: findings from the Burden of Rhinitis in America survey. Allergy Asthma Proc 2009; 30 (3): 244-254. 7. van Rijswijk JB. HM Blom, WJ Fokkens. Idiopathic rhinitis, the ongoing quest. Allergy 2005; 60 (12): 1471-1481. 8. GJ Wesseling, Vanderhoven-Augustin IM, Woulters EF. Forced oscillation technique and spirometry in cold water provocation tests. Thorax 1993; 48 (3): 254-259. 9. Aquilina tit. Comparison of airway reactivity induced by histamine, methacholine, and isocapnic hyperventilation in normal and asthmatic subjects. Thorax 1983; 38 (10): 766-770. 10. A. Togias Lykens Kagey-Sobotka K. A. et al. Studies on the relationships between sensitivity to cold. aix cleaning; hyperosmolal solutions, and histamine in the adult nose. Am Rev Respir Dis 1990; 141: 1428-1433. 11. Gerth van Wijk R, Dieges PH. Nasal reactivity to histamine and methacholine: two different forms of upper airway responsiveness. Rhinology 1994; 32 (3): 119-122. 12. JP Braat. Mulder PG, WJ Fokkens. et al. Intranasal cold water cleaning is superior to histamine challenge in Determining the presence and degree of nasal hyperreactivity in nonallergic noninfectious perennial rhinitis. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157 (6 Pt 1): 1748-1755. 13. Lieberman P. Meltzer EO, LaForce CF, et al. Two-week comparison study of olopatadine hydrochloride nasal spray azelastine hydrochloride 0.6% versus 0.1% nasal spray in Patients with vasomotor rhinitis. Allergy Asthma Proc 2011; 32 (2): 151-158. 14. Banov CH, Ueberman P. Efficacy of azelastine nasal spray in the treatment of vasomotor (perennial nonallergic) rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 12001; 86: 28-35.
15. Gehanno P, Deschamps E, Garay E, et al. Vasomotor rhinitis: clinical efficacy of azelastine nasal spray in comparison with placebo. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec 2001; 63: 76-81. 16. Bernstein JA Azel.astine hydrochloride: a review of the pharmacology, pharmacokinetics, clinical efficacy and tolerability. Curr Med Res Opin 2007; 23 (10): 2441-2452. 17. Ueberman P, Kaliner MA. WJ Wheeler. Open-label evaluation of azelastine nasal spray in Patients with seasonal allergic rhinitis and vasomotor rhinitis nonallergic. Curr Med Res Opin 2005; 21 (4): 611-618. 18. Ratner PH, Hampel F, Van Bavel J. et al. Combination therapy with azelastine hydrochloride nasal spray and fl.uticasone propionate nasal spray in the treatment of Patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2008; 100 (1): 74-81. 19. Georgitis Jw. Banov C, Boggs PB, et al. Ipratropium bromide nasal spray in non-allergic rhinitis: efficacy. nasal cytological evaluation on patient response and quality of life. Clin Exp Allergy 1994; 24 (11): 1049-1055. 20. Harvey R, Hannan SA. Badia r .. et al. Nasal saline irrigations for the symptoms of chronic rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev 2007; (3). 21. seld N, SHIRASAKI H, Kikuchi M. et al. Expression and localization of TRPV1 in human nasal mucosa. Rhinology 2006; 44: 128-134. 22. Bernstein JA. Davis BP, Picard JK. et al. A randomized. doubleblind. Comparing parallel trial of capsaicin nasal spray with placebo in subjects with a significant component of nonallergic rhinitis. Ann AIIergy Asthma Immunol 2011; 107 (2): 171-178. 23. HM Blom, Severijnen lA. Van Rijswijk JB, et al. The long-term effects of capsaicin aqueous spray on the nasal mucosa. Clin Exp Allergy 1998; 28: 1351-1358. 24. van Rijswijk JB, Boeke EL. Keizer JM. et al. Reduces intranasal capsaicin nasal hyperreactivity in idiopathic rhinitis: a double-blind randomized study application regimen. Allergy 2003; 58: 754-761. 25. Cheng J, Yang XN, Liu X. et al. Capsaicin for allergic rhinitis in adults. Cochrane Database Syst Rev 2006; (2). 26. Gerth van Wijk R, Terreehorst IT, Mulder PG, et al. Intranasal capsaicin is lacking therapeutic effect in perennial allergic rhinitis to house dust mite: a placebo-controlled study. Clin Exp Allergy 2000; 30: 1792-1798. 27. Busker RW. van Heiden HP. Toxicologic evaluation of pepper spray as a possible weapon for the Dutch police force: risk assessment and efficacy. Am J Forensic Med Pathol 1998; 19 (4): 309-316.
28. Bhandarkar ND, Smith 1L. Outcomes of surgery for inferior turbinate hypertrophy. Curr Opin Otolarytngol Head Neck Surg 2010; 18 (1): 49-53. 29. Passali D, Passali MF. Passali GC, et al. Treatment of inferior turbinate hypertrophy: a randomized clinical trial. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003; 112: 683-688. 30. YL Chen, Tan Cf, Huang HM. Long-term efficacy of microdebrider-assisted inferior turbinoplasty with lateralization for hypertrophic inferior turbinates in Patients with perennial allergic rhinitis. Laryngoscope 2008; 118: 1270-1274. 31. Liu CM, Tan CD, Lee FP, et al. Microdebrider-assisted versus radiofrequency-assisted inferior turbinoplasty. Laryngoscope 2009; 119: 414-418. 32. Sroka R, widow of P. Killian T, et al. Comparison of long term results after Ho: YAG and diode laser treatment of hyperplastic inferior nasal turbinates. Lasers Surg Med 2007; 39: 324-331. 33. Golding-Wood PH. Vidian neurectomy-its result and complications. Laryngoscope 1973; 83: 1673-1683. 34. JN Krant, Wildervanck de Blecourt P, Dieges PH, et al. Longterm results ofvidian neurectomy. Rhinology 1979; 17 (4): 231-235. 35. Jang TY, Kim YH. Shin SH. Long-term effectiveness and safety of endoscopic vidian neurectomy for the treatment of intractable rhinitis. Otorhinolaryngol Clin Exp 2010; 3 (4): 212-216. 36. Kawamura S, Asako M, Momotani A. et al. Turbinectomy submucosal with the posteriorsuperior nasal neurectomy for Patients with allergic rhinitis. Pract Otorhinolaryngol 2000; 93: 36 7-372. 37. Ogawa T, Takeno S, Ishino T, et al. Submucous turbinectomy rombined with posterior nasal neurectomy in the management of severe allergic rhinitis: clinical outromes and local cytokine changes. Auris nasus Larynx 2007; 34: 319-326. 38. Konno A Historical. pathophysiological. and therapeutic aspects of vidian neurectomy. Curr Allergy Asthma Rep 2010; 10 (2): 105-112. 39. Moneret-Vautrin DA, Hsieh V. Wayoff M, et al. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome, a precursor of the triad: nasal polyposis, intrinsic asthma, and intolerance to aspirin. Ann Allergy 1990; 64: 513-518. 40. Settipane GA. Klein DE. Non-allergic rhinitis: demography of eosinophils in the nasal smear, blood eosinophil counts and total IgE levels. N Eng Reg Allergy Proc 1985; 6: 363366. 41. Kramer ME Burow G, Pfrogner E. Rasp G. In vitro diagnosis of chronic nasal inflammation. Clin Exp Allergy 2004, 34: 1086-1092.
42. Davidson AE. Millare SD, Settipane JR. et al. Delayed nasal mucociliary clearance in Patients with non-allergic rhinitis and nasal eosinophilia. Allergy Proc 1992; 13: 81-84. 43. JN Romero, Scadding GK Eosinophilia in nasal secretions Compared to skin prick test and nasal challenge test in the diagnosis of nasal allergy. Rhinology 1992; 30: 169-175. 44. Carney AS, Powe DG, Huskisson RS, et al. Atypical nasal challenges in Patients with idiopathic rhinitis: more evidence for the existence of allergy in the absence of atopy? Clin Exp Allergy 2002; 32: 1436-1440. 45. Rondon C, Dona L Lopez S, et al. Seasonal idiopathic rhinitis with local inflammatory response and specific IgE in absence of systemic response. Allergy 2008; 63: 13 52-1358. 46. Wedback A. Enbom H, Eriksson NE, et al. Seasonal nonallergic rhinitis (Theory): a new disease entity? A clinical and immunological comparison between Theory, seasonal rhinitis and persistent allergic rhinitis nonallergic. Rhinology 2005; 43: 86-92. 47. Powe DG, Jagger C, Kleinjan A. et al. “Entopy": mucosal localized allergic disease in the absence of systemic responses for atopy. Clin Exp Allergy 2003; 33: 1374-1379. 48. Rondon C, Canto G, Blanca M. Local allergic rhinitis: a new entity, and further characterization studies. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2010; 10 (1): 1-7. 49. Powe DG, RS Huskisson, Carney AS, et al. Evidence for an inflammatory pathophysiology in idiopathic rhinitis. Clin Exp Allergy 2001; 31 (6): 864-872. 50. Powe DG, RS Huskisson, Carney AS, et al. Mucosal T-cell phenotypes in persistent atopic rhinitis and nona topic show an association with mast cells. Allergy 2004; 59: 204-212. 51. DR Webb, Meltzer EO, AF Finn Jr. et al. Intranasal fluticasone propionate is effective for perennial nonallergic rhinitis with or without eosinophilia. Ann Allergy Asthma Immunol 2002; 88: 385-390. 52. Mygind N. Effects of corticosteroid therapy in non-allergic rhinosinusitis. Acta Otolaryngol 1996; 116 (2): 164-166. 53. Purello-D'Ambrosio F, Isola S, Ricciardi r .. et al. A controlled study on the effectiveness of loratadine in rombination with flunisolide in the treatment of nonallergic rhinitis with eosinophilia (nares). Clin Exp Allergy 1999; 29 (8): 1143-1147. 54. AK Ellis, Keith PK. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome. Curr Allergy Asthma Rep 2006; 6 (3): 215-220. 55. EAACI Task Force on Occupational Rhinitis; Moscato G, Vandenplas 0, Gerth van Wijk R, et al. Occupational rhinitis. Allergy 2008; 63: 969-980. 56. Karjalainen A. Martikainen R, Klaukka T, et al. Risk of asthma Finnish Among Patients with occupational rhinitis. Chest 2003; 123: 283-288.
57. Hytonen M. Kanerva L, Malmberg H, et al. The risk of occupational rhinitis. Int Arch Occup Environ Health 1997; 69: 487-490. 58. Siracusa A. Desrosiers M, Marabini A Epidemiology of occupational rhinitis: prevalence. etiology and determinants. Clin Exp Allergy 2000; 30: 1519-1534. 59. Hellgren J. Iillienberg L, Jarlstedt J. et al. Population-based study of non-infectious rhinitis in relation to ocrupational exposure, age. sex. and smoking. Am J Ind Med 2002; 42 (1): 23-28. 60. Shusterman D, Avila J. Balmes PC, et al. Chlorine produces nasal inhalation allergic rhinitics without rongestion in mast cell degranulation. Eur Respir J 2003; 21: 652-657. 61. T. Haahtela Skin tests used fur epidemiologic studies. Allergy 1993; 48 (Suppl s14): 7680. 62. Nathan RA. Eccles R. Howarth PH, et al. Objective monitoring of nasal patency in rhinitis and nasal physiology. J Allergy Clin Immunol 2005; 115 (3 Pt 2): S442-S459. 63. V. Schlunssen Schaumburg I. Andersen NT, et al. Nasal patency is related to dust exposure in woodworkers. Occup Environ Med 2002; 59: 23-29. 64. Howarth PH, Penson CG, Meltzer EO, et al. Objective monitoring of nasal airway inflammation in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115 (3 Pt 2): S414-S441. 65. Palczynski C, Walusiak J. Krakowiak A, et al. Nasal lavage fluid examination in diagnostics of ocrupational allergy to chloramine. Occup core Med Environ Health 2003; 16: 231-240. 66. Johannessen SGO, Bieber T, Dahl R. et al. Revised nomenclature for allergy global fur use: report of the Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization, Oct 2003. J Allergy Clin Immunol 2004; 113: 832-836. 67. Berges-Gimeno M, Simon RA, Stevenson DD. The natural history and clinical characteristics of aspirin exacerbated respiratory disease. Ann Allergy Asthma Immunol 2002; 89: 474-478. 68. J Hedman, Kaprio J, Poussa T, et al. Prevalence of asthma. aspirin intolerance. nasal polyps and chronic obstructive pulmonary disease in a population-based study. Int J Epidemiol 1999; 28: 717-722. 69. Jenkins C, Costello J, Hodge L. Systematic review of prevalence of aspirin-induced asthma and its implications fur clinical practice. BMJ 2004; 328: 434-437. 70. JC Delaney. The diagnosis of aspirin idiosyncrasy by analgesic challenge. Clin Allergy 1976; 6: 177-181.
71. Szczeklik A, Nizankowska E, Duplaga M. Natural history of aspirin-induced asthma. Alane Investigators. European Network on Aspirin- Induced Asthma. Eur Respir J 2000; 16: 432-436. 72. Stevenson DD, Szczeklik A. Clinical and pathologic perspectives on aspirin sensitivity and asthma. J Allergy Clin Immunol 2006; 118 (4): 773-786. 73. Craig Ferguson 11. BJ, Krouse JH. Sleep impairment in allergic rhinitis, rhinosinusitis. and nasal polyposis. Am J Otolaringol 2008; 29 (3): 209-217. 74. Bochenek G, Nagraba K, Nizankowska E, et al. A study of 9alphallbeta rontrolled-PGF2 (a PGD2 metabolite) in plasma and urine of Patients with bronchial asthma and healthy rontrois after aspirin challenges. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 743-749. 75. Cowbum US, Sladek K, Soja J, et al. Over expression of leukotriene C4 synthase in bronchial biopsies from aspirinintolerant Patients with asthma. J Clin Invest 199 8; 101: 834846. 76. Relatives M, Pierzchalska M, Bazan-Socha S, et al. Enhanced expression of the leukotriene C (4) synthase due to overactive transcription of an allelic variant associated with aspirin-intolerant asthma. Am J Respir Cell Mol Biol 2000; 23: 290-296. 77. Sousa A, Parikh A, Scadding G, et al. Leukotriene receptor expression on nasal mucosal inflammatory cells in aspirin-sensitive rhinosinusitis. N Engl J Med 2002; 347: 1524-1526. 78. Bachert C, Wagenmann M, Hauser U, et al. lL-5 synthesis is upregulated in human nasal polyp tissue. J Allergy Clin Immunol 1997; 99: 837- & 42. 79. Bachert C, Wagenmann M, Rudack C, et al. The role of cytokines in infectious sinusitis and nasal polyposis. Allergy 1998; 53: 2-13. 80. Harnilos D, Leung DYM, Wood R. et al. Evidence for distinct cytokine expression in allergic versus nonallergic chronic sinusitis. J Allergy Clin Immunol 1995; 96: 537-544. 81. Sousa AR. Lams BE, Piister R. et al. Expression of interleukin-5 and granulocytemacrophage stimulating factor rolony in aspirin- sensitive and non-aspirin-sensitive asthmatic airways. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156: 1384-1389. 82. Yamashita T, Tsuyi H, Maeda N, et al. Etiology of nasal polyps associated with aspirinsensitive asthma. Rhinology 1989; 8: 15-24. Chapter 30: nonallergic: 487 Rhinitis 83. Sladek K, Dworski R, Soja J. et al. Eirosanoids in bronchoalveolar lavage fluid of Patients with aspirin-intolerant asthma after aspirin challenge. Am J Respir Crit Care Med 1994; 149: 940-946. 84. Stevenson DD, Simon RA. Lack of cross-reactivity between rofeccrub and aspirin in aspirin-sensitive asthmatic Patients. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 47-51.
85. Martin-Garcia C, Hinojosa M, Berges P. Safety of a cyclooxygenase-2 inhibitor in Patients with aspirin-sensitive asthma. Chest 2002; 121: 1812-1817. 86. Szczeklik A, Nizankowska E. Bochenek G, et al. Safety of a specific COX-2 inhibitors in the aspirin-induced asthma. Clin Exp Allergy 2001; 31: 219-225. 87. Quaratino D, Romano A, Di Fonso M et al. Tolerability of meloxicam in Patients with histories of adverse reactions to nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Ann Allergy Asthma Immunol 2000; 84: 613-617. 88. Bavbek S, Celik G, Ediger D, et al. The use of nimesulide in Patients with acetylsalicylic acid and nonsteroidal anti-inflammatory drug intolerance. J Asthma 1999; 36: 657 -663. 89. Vaghi A. Tolerance of meloxicam in aspirin-sensitive asthmatics. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157: 715. 90. Bavbek S, Celik G, Ozer E et al. Safety of selective COX-2 inhibitors in the aspirin/NSAID intolerant Patients: romparison of nimesulide, meloxicam and rofecoxib. J Asthma 2004; 41: 6 7-7 5. 91. Settipane RA, Stevenson DD. Cross sensitivity with acetaminophen in aspirin-sensitive asthmatics. J Allergy Clin Immunol 1989; and 4: 26-33. 92. Stevenson DD, Hougham A. Schrank P, et al. Disaldd crosssensitivity in aspirin-sensitive asthmatics. J Allergy Clin Immunol 1990; 86: 749-758. 93. Baldassarre S, Schandene I. Choufani G, et al. Asthma attacks induced by low doses of celeccrub, aspirin and acetaminophen. J Allergy Clin Immunol 2006; 117: 215-217. 94. Dursun AB, Woesmer KA, Simon RA. et al. Predicting outcomes of oral aspirin challenges in Patients with asthma. nasal polyps, and chronic sinusitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2008; 100: 420-425. 95. Hope AP. Woessner KA. Simon RA. et al. Rational approach to aspirin dosing during oral challenges and desensitization of Patients with aspirin-exacerbated respiratory disease. J Allergy Clin Immunol 2009; 123: 406-410. 96. AN Williams, Woessner KM. The clinical effectiveness of aspirin desensitization in chronic rhinosinusitis. Curr Allergy Asthma Rep 2008; 8 (3): 245-252. 97. Macy E, Bernstein JA. Castells MC, et al. Aspirin Desensitization for the Joint Task Force. Aspirin challenge and desensitization for aspirin-exacerbated respiratory disease: a practice paper. Ann Allergy Asthma Immunol 2007; 98: 172-174. 98. Berges-Gimeno M, Simon RA, Stevenson DD. Treatment with aspirin desensitization in Patients with aspirin exacerbated respiratory disease. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 180186.
99. Graf P. Rhinitis medicamentosa: aspects of pathophysiology and treatment AllelxY 1997; 52 (40 Suppl): 28-34. 100. J Ramey Jf, Bailen E, J Lockey, Rhinitis medicamentosa. Investig Allergy Clin Immunol 2006; 16 (3): 148-155. 101. CM Philpott, El-Alami M, Murty GE. The effect of the sex steroid hormones on the nasal airway during the normal menstrual cycle. Clin Otolaryngol 2004; 29: 138-142. 102. Stubner UP, Gruber D, UE Berger, et al. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999; 54: 865-871. 103. Doty RL, Snyder PJ, Huggins GR. et al. Endocrine, cardiovascular, and psychological rorrelated of olfactory sensitivity changes during the human menstrual cycle. Cump J Physiol Psychol 1981; 95: 45-60. 104. Grillo C, La Mantia I, Ttiolo C, et al. Rhinomanometric and olfactometric variations throughout the menstrual cycle. Ann Otol Rhinol Laryngol 2001; 110: 785-789. 105. Wolstenholme CR. Philpott CM, Oloto EJ. et al. Does the use of the oral rombined rontraceptive pill cause changes in the nasal physiology in young women? Am J Rhinol 2006; 20 (2): 238-240. 106. Wild DC, Philpott CM, CR Wolstenholme. et al. Does hormone replacement therapy in post-menopausal women have any effect upon nasal physiology? J Laryngol Otol 2008; 122: 707-710. 107. Robinson AM. Philpott CM, Gaskin JA. et al. 1HE Effi: ct of female hormone manipulation on nasal physiology. Am J Rhinol 2007; 21: 675-679 108. Ellegird EK. Clinical and pathogenetic characteristics of pregnancy rhinitis. Clin Rev Allergy Immunol 2004; 26 (3): 149-159. 109. Bende M, Gredmark T. Nasal stuffiness during pregnancy. Laryngoscope 1999; 109 (7 Pt 1): 1108-1110. 110. Bende M Hallglrde U, Sjogren C, et al. Nasal rongestion during pregnancy. Clin Otolaryngol 1989; 14: 385-387. 111. CM Philpott, Robinson AM, GE Murty. Nasal pathophysiology and its relationship to the female ovarian hormones. J Otolaryngol Head Neck Surg 2008; 37 (4): 540-546. 112. Sarkar M, Koren G, Kalia S, et al. Montelukast use during pregnancy: a multicentre, prospective. oomparative study of infant outromes. Eur J Clin Pharmacol 2009; 65 (12): 1259-1264. 113. Bousquet J. lDckey RE Malling HJ. Allergen immunotherapy: therapeutic vaccines for allergic diseases. WHO position paper. Allergy 1998; 53 (Suppl 44): 1-42. 114. Giinel C, Ba & scedil; ak HS, Giiney E. The relationship between hypothyroidism and rhinitis. Kulak Burun Bogaz Ihtis Derg 2010; 20 (4): 163-168.
115. Jaradeh SS, Smith TL, Torriro L et al. Autonomic nervous system Evaluation of Patients with vasomotor rhinitis. Laryngoscope 2000; 110: 1828-1831. 116. Loehrl TA. Smith TL, Darling RJ, et al. Autonomic dysfunction, vasomotor rhinitis, and ex: traesophageal manifestations of gastroesophageal reflux. Otolaryngol Head Neck Surg 2002; 126 (4): 382-387. 117. Loehrl TA. Autonomic dysfunction, allergy and the upper airway. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 2007; 15 (4): 264-267. 118. Long A. McFadden C, D Devine, et al. Management of allergic and nonallergic rhinitis. Evidence report /technology assessment no. 54. Agency for Healthcare Research and Quality publication no. 02-E024. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality, 2002. 119. Banov CH, Lieberman P. Vasomotor rhinitis study groups: efficacy of azelastine nasal spray in the treatment of vasomotor (perennial nonallergic) rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 86 (1): 28-35. 120. Chhabra N, Houser SM. The diagnosis and management of empty nose syndrome. Otolaryngol Clin North Am 2009; 42: 311-330. 121. Moore EJ, Kern EB. Atrophic rhinitis: a review of 242 cases. Am J Rhinol 2001; 15: 355-361. 122. DeShazo RD, Stringer SP. Atrophic rlrinosinusitis: explanation of progress toward an unsolved medical mystery. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2011; 11: 1-7. 123. Guilherme JM, Garcia GJ, Bailie N, et al, Atrophic rhinitis: a CFD study of water oonditioning in the nasal cavity. J Appl Physiol 2007; 103 (3): 1082-1092. 124. Gray RFE, Barton RPE. JLW Wright, et al. Primary atrophic rhinitis: a microsoopic scanning electron (SEM) study. J Laryngol Otol 1980; 94: 985-992. 125. Chand MS. MacArthur CJ. Primary atrophic rhinitis: a summary of four cases and review of the literature. Otolaryngol Head Neck Surg 1997; 116 (4): 554-558. 126. Ferguson JL, McCaffrey TV. Kern EB, et al. Effect of Klebsiella ozaenae on dliary activity in vitro: implications in the pathogenesis of atrophic rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 102 (3): 207 -211. 127. Nielsen JP. Foged NT, S0rensen V. et al. Vaccination against progressive atrophic rhinitis with a recombinant Pasteurella multoada toxin derivative. Can J Vet Res 1991; 55 (2): 128138. 128. Ly TH, DeShazo RD, Olivier J, et al. Diagnostic criteria for atrophic rhinosinusitis. Am J Med 2009; 122: 747-753. 129. Pace-Balzan A. Shankar L Hawke M. Computed tomographic findings in atrophic rhinitis. I Otolaryngol 1991; 20: 428-432.
130. Cadre KC, KB Bhargava, Pradhan RY. et al. Closure of the nostrils (Young's operation) in atrophic rhinitis. J Laryngol Otol 1971; 85: 711-714. 131. Berger WE. Schonfeld JE. Nonallergic rhinitis in children. Curr Allergy Asthma Rep 2007; 7 (2): 112-116. 132. DelGaudio JM. Direct nasopharyngeal reflux of gastric add oontributing is a factor in refractory chronic rhinosinusitis. Laryngoscope 2005; 115 (6): 946-957. 133. Koufman JA. The Otolaryngologic manifestations of gastroesophageal reflux disease (GERD): a clinical investigation of 225 Patients using ambulatory 24-hour pH monitoring and an experimental investigation of the role of add and pepsin in thedevelopment of laryngeal injury. Laryngoscope 1991; 101 (4 Pt 2, Suppl 53): 1-78. 134. Friedman JH. Amick MM. Chou KL. Rhinorrhea and olfaction in Parkinson disease. Neurology 2008; 70: 487-489. 135. Amir R, YG Dowdy, Goldberg AN. Chronic rhinitis: a manifestation of chronic lymphocytic leukemia. Am J Otolaryngol 1999; 20 (5): 328-331. 136. Jordan JA. Mabry RL. Geriatric rhinitis: what it is, and how to treat it. Geriatrics 1998; 53: 76, 81-84.