ANALISIS PASAR KEUANGAN GLOBAL DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA
TESIS
Oleh RUSIADI 087018017/EP
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
ANALISIS PASAR KEUANGAN GLOBAL DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh RUSIADI 087018017/EP
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Judul Tesis
:
ANALISIS PASAR KEUANGAN GLOBAL DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA
Nama Mahasiswa
:
Rusiadi
Nomor Pokok
:
087018017
Program Studi
:
Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Jonni Manurung, MS) Ketua
Ketua Program Studi
(Dr. Murni Daulay, M.Si)
(Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Tanggal lulus: 25 Agustus 2009
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Telah diuji pada Tanggal: 25 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Dr. Jonni Manurung, MS
Anggota
: 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 2. Dr. Murni Daulay, M.Si 3. Kasyful Mahalli, SE, M.Si 4. Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kontribusi masing-masing variabel terhadap perubahan variabel lainnya yaitu SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pengumpulan data diperoleh dari data skunder yaitu data SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones dan IHSG bulan Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008 (58 observasi). Penentuan jumlah observasi didasarkan atas stabilitas lag struktur dalam model penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Vector Autoregression (VAR), Impulse Response Function (IRF) dan Varian Decomposition (VD) yang sebelumnya diuji menggunakan uji Unit Roots Test, uji Causalitas Granger dan uji Kointegrasi Johansen. Hasil analisa data diketahui hasil uji Vector Autoregression menunjukkan variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi selain inflasi itu sendiri adalah kurs. Variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap indeks Dow Jones adalah SBI. Variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap Hang Seng adalah indeks Dow Jones. Variabel lain yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap IHSG adalah indeks Dow Jones t-1. Hasil Impulse response function diketahui bahwa stabilitas pertama semua variabel berada pada periode ke 40 atau jangka menengah dan stabilitas kedua pada periode 85 atau jangka panjang. Hasil variance decomposition, secara keseluruhan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, semua variabel pada periode pertama dipengaruhi oleh error variance variable itu sendiri. Sedangkan dalam jangka panjang terjadi perubahan pengaruh error variance yang semakin menurun terhadap variabel itu sendiri dan digeser oleh variabel lainnya. Spesifikasi model yang terbentuk dengan menggunakan Roots of Characteristic Polynomial dan Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial diperoleh hasil stabil, hal ini dapat ditunjukkan bahwa hampir semua unit roots berada dalam lingkaran gambar Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial. Kata Kunci: SBI, Kurs, Inflasi, IHSG, Dow Jones, Hang Seng.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
ABSTRACT
The aim of this reserch is to analiyze contribuse of every variable for the changed others variable, they are SBI, Exchang rate, Inflation, Indeks Hangseng, Indeks Dow Jones and the Share Price Indeks (IHSG). The file bringing together get from of secudare file they are SBI, Exchang rate, Inflation, Hang Seng Indeks, Dow Jones Indeks and IHSG in January 2004 until in October 2008 (58 Observation). The Quanty of observation is based on stracture stabilities style. The style used in this observation are econometrica style and Vector Auteregression Method (VAR), Impulse Response Function (IRF) and Varian Decomposition (VD) it beforetest with unit Roots Test, Causalitas Granger Test and Kointegrasi Johansen test. The analyse result know the Vector Autoregression test to show the variable has the bigger contribute for inflation for Hang Seng is Dow Jones Indeks. The other variable has many contribute for IHSG is Dow Jones Indeks t-1, the result impulse response function known that the the first stabilitas of all variable in at 40 period or middle period, and the second stabilities at 85 or long period. The result of variance decomposition, both, all of variable in the first period influenced by variance error can be decrease for is one variable with others. The style specification curved with Roots of Characteristic Polynominal and Inverse Roots of AR. Characteristic Polynominal gets a good result, it is can show that almost all this unit Roots there in the picture inverse Roots of AR Characteristic Polynominal.
Keywords: SBI, Exchange Rate, Inflation, IHSG, Dow Jones, Hang Seng.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan hikmat dan hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Pasar Keuangan Global dan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek
Indonesia”
sebagai
tugas
akhir
pada
Program
Magister
Ekonomi
Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, sebagai Pembimbing I, dan Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai. 2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dengan arif dan bijaksana dapat mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini. 4. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 14 yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
5. Kedua orang tuaku Ayahanda alm Gimun dan Ibunda Rawen, Istriku Ade Novalina, serta seluruh keluarga besarku yang ada di Batang Serangan dan di Kisaran yang selama ini turut memberikan dorongan moril dan materil hingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.
Medan,
September 2009 Penulis,
RUSIADI NIM. 087018017
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rusiadi
Tempat dan Tanggal Lahir
: Titi Belanga, Langkat, 04 Juni 1975
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Nama Orang Tua Ayah
: Gimun
Ibu
: Rawen
Alamat Rumah
: Jl. Pembangunan III No. 45 C Medan
Pendidikan 1. Tahun 1983-1989
: SDN No. 050695 Batang Serangan
2. Tahun 1989-1992
: SMP Swadaya Batang Serangan
3. Tahun 1992-1995
: SMU Persada Padang Tualang
4. Tahun 1995-2000
: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP)
5. Tahun 2008-2009
: Sekolah Pascasarjana Program Studi Ekonomi Pembangunan USU-Medan.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ......................................................................................................
i
ABSTRACT.......................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP..........................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ................................. .....................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
9
2.1. Pasar Keuangan ............................................................................
9
2.1.1. Pasar Modal..........................................................................
9
2.1.2. Konsep Saham......................................................................
12
2.1.3. Jenis-jenis Saham dan Return Saham ..................................
13
2.1.4. Indeks Harga Saham Gabungan ..........................................
15
2.1.5. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia ................................
17
2.1.6. Nilai Tukar Mata Uang ........................................................
18
2.2. Inflasi ............................................................................................
21
2.3. Arbitrage Pricing Theory (APT) Multifaktor ...............................
23
2.4. Integrasi Pasar dan Keuangan Global ...........................................
27
2.5. Penelitian Terdahulu .....................................................................
31
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2.7. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 37 2.8. Hipotesis........................................................................................... 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 39 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 39 3.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 39 3.3. Uji Asumsi…………………………………………………………. 40 3.3.1. Uji Stasioneritas Data dengan Akar Unit . ................................. 40 3.3.2. Uji Kointegrasi ........................................................................... 43 3.3.3. Uji Kausalitas Granger............................................................... 46 3.4. Model Analisis......... ........................................................................ 49 3.4.1. Vector Autoregression (VAR) ................................................... 49 3.4.2. Impulse Response Function (IRF).............................................. 50 3.4.3. Forecast Error Variance Desomposition (FEVD)..................... 51 3.5. Definisi Operasional ………………………………………………. 52 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 54 4.1. Perkembangan Indikator Ekonomi.................................................... 54 4.2. Deskripsi Variabel Penelitian............................................................ 58 4.2.1. Perkembangan SBI Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008............................................................................................. 59 4.2.2. Nilai Tukar Mata Uang Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008.................................................................. 60 4.2.3. Inflasi Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008………........
61
4.2.4.
Indeks Dow Jones Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008.
62
4.2.5. Perkembangan Indeks Hang Seng ..............................................
63
4.2.6. Perkembangan IHSG .................................................................. 64 4.3. Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi ................................ 65 4.4. Uji Kausalitas Granger……………………………………………. 72 4.4.1. Granger Causality Test ……………………………………….. 72 4.4.2. Uji Kointegrasi Johansen ……………………………………… 75
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.5. Vector Autoregression …………………………………………….. 76 4.6. Impulse Response Function (IRF) ………………………………… 81 4.6.1. Response Function KURS........................................................... 81 4.6.2. Response Function Inflasi ………………………….…………. 85 4.6.3. Response Function Indeks Dow Jones ………………………... 87 4.6.4. Response Function Indeks Hang Seng........................................ 91 4.6.5. Response Function IHSG............................................................ 94 4.7. Variance Decomposition .................................................................. 96 4.7.1. Variance Decomposition KURS …………………………......... 97 4.7.2. Variance Decomposition Inflasi ................................................. 98 4.7.3. Variance Decomposition Indeks Dow Jones .............................. 99 4.7.4. Variance Decomposition Indeks Hang Seng ………………….. 100 4.7.5. Variance Decomposition IHSG……………….....………...…... 101 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 103 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 103 5.2. Saran-saran................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 106
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
4.1.
Hasil Pengujian Akar-akar Unit dengan Level.............................
66
4.2.
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada SBI...............................................................................................
67
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada SBI...............................................................................................
67
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada KURS. .........................................................................................
68
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada INFLASI. ....................................................................................
69
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada Dow Jones. ..................................................................................
69
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada Hang Seng ..................................................................................
70
Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada IHSG. ..........................................................................................
71
4.9.
Granger Causality Tests .............................................................
72
4.10.
Uji Kointegrasi Johansen ...........................................................
75
4.11. Hasil Estimasi VAR dengan Dasar Lag 1 ...................................
77
4.12.
Impulse Response Function KURS ............................................
82
4.13.
Impulse Response Function Inflasi ............................................
86
4.14.
Impulse Response Function Dow Jones (DJ) .............................
89
4.15.
Impulse Response Function Hang Seng ......................................
92
4.16.
Impulse Response Function IHSG .............................................
95
4.17.
Varian Decomposition Kurs .......................................................
97
4.18.
Varian Decomposition Inflasi .....................................................
98
4.19.
Varian Decomposition Indeks Dow Jones ..................................
99
4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
Halaman
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.20.
Varian Decomposition Indeks Hang Seng ..................................
100
4.21.
Varian Decomposition IHSG .....................................................
101
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1.
Judul
Halaman
Pergerakan Indeks Hang Seng dan Dow Jones Januari 2007 s/d Maret 2009................................................................................
2
1.2.
Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Maret 2009.............................
3
1.3.
Perkembangan Kurs Rupiah Januari 2007 s/d Maret 2009............
5
1.4.
Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009 .......
5
2.1.
Kerangka Pemikiran....................................................................... 37
4.1.
Perkembangan SBI Januari 2004 s/d Oktober 2008 ...................... 59
4.2.
Perkembangan Kurs Januari 2004 s/d Oktober 2008..................... 60
4.3.
Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008 .................. 61
4.4.
Perkembangan Dow Jones Januari 2004 s/d Oktober 2008 ........... 62
4.5.
Perkembangan Indeks Hang Seng Januari 2004 s/d Oktober 2008 63
4.6.
Perkembangan IHSG Januari 2004 s/d Oktober 2008 ................... 64
4.7.
Stabilitas Struktur Model .............................................................. 80
4.8.
Respon Variabel Kurs pada Perubahan Variabel Lain .................. 84
4.9.
Respon Variabel Inflasi pada Perubahan Variabel lain ................. 87
4.10.
Respon Variabel Dow Jones pada Perubahan Variabel Lain......... 90
4.11.
Respon Variabel Hang Seng pada Perubahan Variabel Lain......... 93
4.12.
Respon Variabel IHSG pada Perubahan Variabel Lain ................. 96
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Tabulasi Data Pendukung Variabel................................................ 110
2.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 112
3.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 113
4.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 114
5.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 115
6.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 116
7.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada Level ..................... 117
8.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 118
9.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 119
10.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 120
11.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 121
12.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 122
13.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 1st Difference ....... 123
14.
Uji Stasioneritas dengan Unit Root Test pada: 2nd Difference....... 124
15.
Uji Kausalitas ................................................................................. 125
16.
Hasil Uji Kointegrasi Johansen...................................................... 127
17.
Hasil Analisa VAR dengan Lag 1.................................................. 128
18.
Impulse Response Function Grafik Tunggal.................................. 129
19.
Varian Decomposition Grafik ........................................................ 130
20.
Stabilitas Struktur........................................................................... 131
21.
Hasil Analisa VAR dengan Lag 1-5............................................... 132
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Investasi dalam aktiva keuangan dapat berupa investasi langsung maupun
investasi tidak langsung. Investasi aktiva langsung dapat dilakukan dengan pembelian langsung aktiva keuangan suatu perusahaan. Sedangkan investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli saham (surat-surat berharga) dari perusahaan investasi yang diperdagangkan di pasar modal. Untuk menganalisis dan menilai harga saham dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi ekonomi atau kondisi pasar yang terdiri dari variabel makroekonomi maupun kondisi spesifik perusahaan. Kondisi makro ekonomi terdiri atas tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia, Produk Domestik Bruto, tingkat inflasi, jumlah uang beredar dan kurs mata uang rupiah sedangkan kondisi spesifik perusahaan berkaitan dengan beberapa rasio keuangan perusahaan yang mencerminkan likuiditas perusahaan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Investasi dapat dipengaruhi oleh kondisi finansial global yang akhirakhir ini sedang mengalami kelesuhan. Kondisi keuangan global yang terus menekan ekonomi juga akan mempengaruhi di pasar saham. Masalah krisis finansial global, hingga saat ini belum ada titik terang yang dapat menenangkan pelaku ekonomi dunia. Runtuhnya sektor keuangan AS membawa dampak langsung dari keruntuhan sistem keuangan AS tersebut. Dampak jangka pendek yang sudah dirasakan adalah jatuhnya harga saham dan melemahnya
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus tertekan belakangan (Bambang Brodjonegoro, 2008). Menurut Chatib Basri (Tempo, 2008) dampak krisis finansial yang bermula di AS mungkin agak lebih lambat dan kecil pengaruhnya pada ekonomi Indonesia, karena adanya integrasi jaringan produksi (production network) di mana negara-negara di Asia Tenggara banyak mengekspor bahan mentah dan barang antara ke pusat-pusat jaringan produksi seperti Cina, Korea dan Jepang. Walaupun demikian, karena konsumen akhir dari barang jadi itu juga negara-negara maju, cepat atau lambat Indonesia akan terkena dampak juga. Krisis subprime mortgage pada medio 2007 yang terjadi di AS telah memicu krisis ekonomi global. Sejalan dengan kejatuhan Dow Jones harga saham-saham di Asia seperti Hang Seng Hongkong dan IHSG juga berguguran. IHSG yang pada awal 2008 memasuki masa keemasan pada level 2.830, akibat kepanikan investor, IHSG juga terjerembab ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008 atau telah terkoreksi 59%. 35000
Setelah krisis global
31352
Sebelum krisis global
30000
28643 27812
27142
25000 23184 20318
19651
20000
10000
23455
24533
22849
21772 20634
22102
22731 21261
19800
20106
18016
15000
13895
13627 12621
25755 24331
23984
12268
13062 12354
13357
14387
13968
13371
13211
13408
12820
13930 13264 12650
12638
12262 12266
11350 11378
13888
11543 10850
Hang Seng
13576 13278 12811
9325 8829 8776
8000 7608
7062
5000 1757
1740
1830 1999
2084
2139
2348
2194 2359
2643
2627
2688 2745
2721
2447
2304 2444
2349
2304
2165
1832
1256
1241
1255
1332
1285
1434
0 Jan-07
Feb-07
Mar-07
Apr-07
May-07
Jun-07
Jul-07
Aug-07
Sep-07
Oct-07
Nov-07
Dec-07
Jan-08
Feb-08
Mar-08
Apr-08
May-08
Jun-08
Jul-08
Aug-08
Sep-08
Oct-08
Nov-08
Dec-08
Jan-09
Feb-09
Mar-09
Sumber: Data diolah dari www.idx.co.id. Gambar 1.1. Pergerakan Indeks Hang Seng dan Dow Jones Januari 2007 s/d Maret 2009
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Dow Jones
Pada Gambar 1.1 diketahui pola pergerakan antara Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones dan IHSG. Pola pergerakan ketiga indeks saham tersebut menggambarkan adanya integrasi pasar keuangan global. 3000 2745 2643 2688
2500 2348 2000
1999
2084
2721 2627
2447
2359
2139
2444 2304
2194
2304 2165
2349
1832
1830 1757 1740
Krisis melanda Indonesia
1500
1000
1434
1332 1256
1241
1255
1285
500
0 Jan - 0 7
Feb- 0 7
M ar - 0 7
Apr - 0 7
M ay- 0 7
Jun - 0 7
Jul- 0 7
Aug- 0 7
Sep- 0 7
Oct - 0 7
Nov- 0 7
Dec- 0 7
Jan - 0 8
Feb- 0 8
M ar - 0 8
Apr - 0 8
M ay- 0 8
Jun - 0 8
Jul- 0 8
Aug- 0 8
Sep- 0 8
Oct - 0 8
Nov- 0 8
Dec- 0 8
Jan - 0 9
Feb- 0 9
M ar - 0 9
Sumber: Data diolah dari www.idx.co.id, 2009 Gambar 1.2. Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Maret 2009 Berdasarkan Gambar 1.1 dan 1.2 terlihat gambaran yang mengarah pada integrasi pergerakan indeks Hang Seng Hongkong, Indeks Dow Jones Amerika Serikat
dan
IHSG
Indonesia.
Adanya
integrasi
pasar
keuangan
global
menggambarkan interaksi yang hampir sama diperlihatkan terhadap reaksi antara satu komoditas saham dengan komoditas saham lainnya tanpa memandang batas negara dan waktu. Reaksi kejatuhan indeks Dow Jones Amerika mulai Desember 2007 pada bulan Oktober 2007 dari 13930 point menjadi 13.371 point pada Januari 2008 dan terus bergerak turun menjadi 7.608 poin pada Maret 2009 atau turun sebesar 43%. Pola penurunan Indeks Dow Jones juga diikuti oleh jatuhnya indeks Hang Seng dan IHSG, di mana Indeks Hang Seng pada Oktober merupakan puncak tertinggi dengan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
IHSG
31.352 point kemudian anjlok ke terus sampai mencapai level 13.576 poin pada bulan Maret 2009 atau turun sebesar 57%. Sedangkan IHSG dari 2.745 poin pada Desember 2007 juga menurun menjadi 1.434 poin atau menurun sebesar 48%. IHSG sempat mencapai titik terendahnya di level 1.111,4 pada tanggal 28 Oktober 2008. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah titik tersebut merupakan bottom dari bear market yang sedang terjadi sekarang ini? Tidak ada yang tahu hal ini dengan pasti (Aldo Perkasa, 2008). Pelemahan IHSG tersebut terutama disebabkan oleh gejolak eksternal yang bersumber dari permasalahan di bursa global. Dari sisi domestik, penurunan IHSG masih relatif tertahan dengan terjaganya faktor fundamental emiten dan efektifnya peran komunikasi Bank Indonesia dalam meyakinkan pasar. Sejalan dengan perkembangan risiko global yang cenderung meningkat, penurunan IHSG juga merupakan dampak dari penyesuaian portofolio investor asing. Beberapa bursa global bahkan mengalami pelemahan cukup signifikan sebagai dampak pengalihan dana investor asing dari negara emerging markets. Hal itu dilakukan untuk mengurangi eksposure aset berisiko dan kecenderungan ketatnya likuiditas global. Dalam bursa domestik, perilaku penyesuaian portofolio tersebut tercermin pada tekanan jual asing yang berlangsung hingga pekan pertama Agustus 2008. Namun, pada pekan kedua, investor asing kembali membukukan net beli di pasar saham sebagai reaksi kondisi pasar saham yang relatif undervalued. Pelemahan IHSG justru menjadi insentif bagi investor asing untuk membukukan net beli di pasar saham. Kondisi lesuhnya IHSG direspon oleh nilai tukar rupiah dan SBI yang terus menurun serta inflasi yang Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
meningkat selama krisis berlangsung yaitu Desember 2007 yang terlihat pada Gambar 1.3 dan 1.4.
14000 12625
12523
12200 11300
12000 9630
9600
10000
10055
9888
9859 9601
9610
9580
9739
9519
9583
9826
9578
9279
8000
9736
9699
9723
9607
Feb-08
Mar-08
9810
11450
9663 9715
9581
6000 4000 2000 0 Jan-07
Feb-07
Mar-07
Apr-07
May-07
Jun-07
Jul-07
Aug-07
Sep-07
Oct-07
Nov-07
Dec-07
Jan-08
Apr-08
May-08
Jun-08
Jul-08
Aug-08
Sep-08
Oct-08
Nov-08
Dec-08
Jan-09
Feb-09
Mar-09
Sumber: Bank Indonesia, data diolah, 2009 Gambar 1.3. Perkembangan Kurs Rupiah Januari 2007 s/d Maret 2009 Dari Gambar 1.3 diketahui turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dari 9.859 per US dollar pada Desember 2007 menjadi 12.626 pada Desember 2008. Penurunan nilai tukar rupiah sebagai imbas pasar keuangan global yang mengalami krisis sehingga mempengaruhi variabel makro ekonomi seperti inflasi dan tingkat SBI. 14
10
11.85 9.5
9.25 9
11. 03 10. 38 9 8.75 8. 5
8 6
12. 14
11.9
12
6.25 6.3 6. 52 6. 29
6.01 5.77
8. 25 8. 25 8. 258.25 8.25 8
6. 06
6.51
6.95 6.88 6.71 6.59
7. 36 7. 4
11. 06 9. 17
8. 96 8 8.75 9 8.25 8. 5 8.17 8
8
8
11.68
11. 77
9. 25
9.5
9. 5 9. 25 8. 75
8. 6 8. 25
8.31 Inflasi
7.75
4 2
0 Jan-07
Feb-07
Mar-07
Apr-07
May-07
Jun-07
Jul-07
Aug-07
Sep-07
Oct-07
Nov-07
Dec-07
Jan-08
Feb-08
Mar-08
Apr-08
May-08
Jun-08
Jul-08
Aug-08
Sep-08
Oct-08
Nov-08
Dec-08
Jan-09
Feb-09
Mar-09
Sumber: Bank Indonesia, data diolah, 2009 Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi dan SBI Januari 2007 s/d Maret 2009
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
SBI
Pada Gambar 1.4 diketahui seiring dengan kenaikan inflasi yang merangkak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada Desember 2007, maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar, hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Bila suku bunga SBI cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa (Yunus Yuniarta, 2008). Faktor domestik yang mempengaruhi IHSG berupa faktor fundamental yaitu inflasi, pendapatan nasional, jumlah uang yang beredar, suku bunga, maupun nilai tukar rupiah. Berbagai faktor fundamental tersebut dianggap dapat berpengaruh terhadap ekspektasi investor yang akhirnya berpengaruh pada pergerakan indeks (Pasaribu, Tobing, Manurung, 2008). Kemudian faktor makro yang mempengaruhi kinerja saham perusahaan yaitu tingkat bunga, inflasi, kurs valuta asing, kondisi ekonomi global, dan peredaran uang Samsul (2006). Berdasarkan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas dan membuat suatu tulisan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul: “ANALISIS PASAR
KEUANGAN
GLOBAL
DAN
INDEKS
HARGA
SAHAM
GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA”. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan utama yang ingin dibahas
dalam penelitian ini adalah apakah krisis ekonomi global berdampak pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Indeks Harga Saham Gabungan? 2. Apakah SBI, Kurs, Inflasi, Harga Saham Gabungan, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Indeks Hang Seng? 3. Apakah SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Harga Saham Gabungan berkontribusi terhadap perubahan Indeks Dow Jones? 4. Apakah Indeks Harga Saham Gabungan, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan SBI? 5. Apakah SBI, Indeks Harga Saham Gabungan, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Kurs? 6. Apakah SBI, kurs, Indeks Harga Saham Gabungan, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Inflasi?
1.3.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kontribusi SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones terhadap perubahan Indeks Harga Saham Gabungan?
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2. Menganalisis kontribusi SBI, Kurs, Inflasi, Harga Saham Gabungan, Indeks Dow Jones terhadap perubahan Indeks Hang Seng? 3. Menganalisis kontribusi SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Harga Saham Gabungan terhadap perubahan Indeks Dow Jones? 4. Menganalisis kontribusi Indeks Harga Saham Gabungan, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones terhadap perubahan SBI? 5. Menganalisis kontribusi SBI, Indeks Harga Saham Gabungan, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones terhadap perubahan Kurs? 6. Menganalisis kontribusi SBI, kurs, Indeks Harga Saham Gabungan, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones terhadap perubahan Inflasi?
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya para investor untuk mengetahui reaksi pasar modal Indonesia terhadap krisis pasar keuangan global yang melanda negara lain.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah, pengamat dan pelaku pasar modal dalam menambah wawasan serta bahan penelitian lebih lanjut mengenai reaksi pasar modal Indonesia terhadap peristiwa (event) baik yang bersifat teknis maupun politis. 3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya dalam masalah yang sama.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pasar Keuangan
2.1.1. Pasar Modal Secara umum pasar modal (capital market) didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk utang atau modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, maupun yang diterbitkan oleh pihak swasta. Pada pasar modal instrumen-instrumen keuangan yang diperjual belikan seperti saham, obligasi, waran, right, obligasi konvertible, dan berbagai produk turunan (derivatif) seperti opsi (putt atau call). Pengertian pasar modal yang lebih spesifik lagi dapat kita lihat melalui Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 di mana pasar modal didefinisikan “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Ada tiga pengertian khusus mengenai pasar modal, seperti yang diungkapkan oleh Wai dan Patrik (Permata Sari, 2001) yaitu;
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
a. Definisi luas. Pasar modal adalah kebutuhan sistem keuangan yang terorganisir, termasuk bank-bank komersil dan semua perantara di bidang keuangan, serta surat-surat berharga jangka pendek, primer dan tidak langsung. b. Definisi menengah. Pasar modal adalah semua pasar yang terorganisir dan lembaga-lembaga keuangan yang memperdagangkan warkat-warkat kredit (biasanya berjangka waktu lebih dari 1 tahun) termasuk saham, obligasi, pinjaman berjangka, hipotek, dan tabungan, serta deposito berjangka. c. Definisi sempit. Pasar modal adalah pasar terorganisir yang memperdagangkan saham-saham, obligasi dengan memakai jasa makelar, komisioner, dan underwriter. Pasar modal memiliki peranan besar bagi perekonomian suatu negara, karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang membutuhkan dana (issuer). Dengan adanya
pasar
modal
maka
pihak
yang
memiliki
kelebihan
dana
dapat
menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return) sedangkan pihak issuer (dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk keperluan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Dengan adanya pasar modal diharapkan aktivitas perekonomian menjadi meningkat karena pasar modal merupakan alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan-perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahaan. Disisi lain pasar modal itu sendiri keberadaannya memiliki manfaat bagi investor, masyarakat luas dan bagi perusahaan itu sendiri (Tjiptono dan Fakhruddin, 2001) antara lain yaitu: 1. Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal. 2. Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan upaya diversifikasi. 3. Menyediakan leading indicator bagi trend ekonomi suatu negara. 4. Penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah. 5. Penyebaran kepemilikan, keterbukaan dan profesionalisme, menciptakan iklim usaha yang sehat. 6. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik. 7. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek. 8. Alternatif investasi yang memberikan keuntungan dengan resiko yang dapat diperhintungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi. 9. Memberikan iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses terhadap kontrol sosial. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
10. Pengelolaan perusahaan dengan iklim keterbukaan, mendorong pemanfaatan manajemen profesional. 11. Sunber pembiayaan jangka panjang bagi emiten. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pasar modal itu perlu ada (Robert Angg, 1997) karena: 1. Dibutuhkan basis pendanaan jangka panjang untuk melaksanakan berbagai proyek pembangunan. 2. Secara makro ekonomi pasar modal merupakan sarana pemerataan pendapatan. 3. Berfungsi sebagai motivator untuk meningkatkan kualitas output perusahaan. 4. Sebagai alternatif bagi investor. Seperti halnya pasar pada umumnya, pasar modal merupakan tempat bertemunya antara pembeli dan penjual dengan resiko untung dan rugi. Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan atau sekuritas jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang atau modal sendiri, baik yang diterbitkan pemerintah atau perusahaan swasta (Suad Husnan, 2002). 2.1.2. Konsep Saham Saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan, dan pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva perusahaan. Menurut Arthur (2001): “Saham adalah suatu sertifikat atau piagam yang memiliki fungsi sebagai bukti pemilikan suatu perusahaan dengan berbagai Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
aspek-aspek penting bagi perusahaan. Pemilik saham akan mendapatkan hak untuk menerima sebagaian pendapatan tetap/deviden dari perusahaan serta kewajiban menanggung resiko kerugian yang diderita perusahaan”. 2.1.3. Jenis-jenis Saham dan Return Saham Saham Biasa adalah suatu sertifikat atau piagam yang memiliki fungsi sebagai bukti pemilikan suatu perusahaan dengan berbagai aspek-aspek penting bagi perusahaan. Pemilik saham akan mendapatkan hak untuk menerima sebagian pendapatan tetap/deviden dari perusahaan serta kewajiban menanggung resiko kerugian yang diderita perusahaan. Orang yang memiliki saham suatu perusahaan memiliki hak untuk ambil bagian dalam mengelola perusahaan sesuai dengan hak suara yang dimilikinya berdasarkan besar kecil saham yang dipunyai. Semakin banyak persentase saham yang dimiliki maka semakin besar hak suara yang dimiliki untuk mengontrol operasional perusahaan (Arthur, 2001). Saham preferen adalah saham yang pemiliknya akan memiliki hak lebih dibanding hak pemilik saham biasa. Pemegang saham preferen akan mendapat dividen lebih dulu dan juga memiliki hak suara lebih dibanding pemegang saham biasa seperti hak suara dalam pemilihan direksi sehingga jajaran manajemen akan perusahaan sekuat tenaga untuk membayar ketepatan pembayaran dividen preferen agar tidak lengser (Arthur, 2001). Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi (Jogiyanto, 2000). Return dapat berupa return realisasi (realized return) dan return ekspektasi (expected return). Return realisasi (realized return) merupakan return yang telah terjadi. Return Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
realisasi dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukuran kinerja perusahaan. Return historis ini juga dapat digunakan sebagai dasar penentuan return ekspektasi (expected return) dan resiko dimasa yang akan datang. Dengan mengabaikan adanya dividen, return saham menurut Jogiyanto (2003) adalah:
Rt =
PtH − Pt Pt
(2.1.1)
t
RtH = Pt (1 + Rt )
(2.1.2)
Di mana: Rt = return saham periode t Pt = harga saham pada periode t Pt-1 = harga saham pada periode t-1 Dalam melakukan pengukuran return realisasi banyak yang menggunakan berbagai macam cara atau model pengukuran seperti return total (total retruns), relatif return (return relative), kumulatif return (return cumulative) dan return disesuaikan (adjusted return). Sedangkan rata-rata dari return dapat dihitung berdasarkan rata-rata aritmatik (arithmetic mean) atau rata-rata geometric (geometric mean). Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah terjadi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi. Perhitungan return ekspektasi dengan model pasar dilakukan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
dengan dua tahap yaitu: (1) dengan membentuk model ekspektasi data realisasi selama periode estimasi dan (2) menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi return ekspektasi di periode jendela. 2.1.4. Indeks Harga Saham Gabungan Menurut Anoraga dan Pakarti (2008) Indeks Harga Saham Gabungan merupakan perbandingan perubahan harga saham dari waktu ke waktu. Indeks harga merupakan suatu angka yang digunakan untuk membandingkan peristiwa dengan peristiwa lainnya. Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi yaitu: (1) sebagai indikator trend pasar, (2) sebagai indikator tingkat keuntungan, (3) sebagai tolok ukur (banchmark) kinerja suatu portofolio, (4) memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif, (5) memfasilitasi berkembangnya produk derivatif. Umumnya semua indeks harga saham gabungan (composite) menggunakan metode rata-rata tertimbang termasuk di BEJ. Menurut Anoraga dan Pakarti (2008). Di BEJ terdapat beberpa jenis indeks, antara lain: 1. Indeks individual, menggunakan indeks harga masing-masing saham terhadap harga dasarnya. 2. Perhitungan indeks ini menggunakan prinsip yang sama dengan IHSG, yaitu: IHSG =
h arg a pasar x100 h arg a dasar
(2.2)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Indeks harga saham sektoral, menggunakan semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor. 1. Perhitungan harga dasar masing-masing sektor didasarkan pada kurs/harga akhir setiap saham tanggal 28 Desember 1995. 2. Indeks ini mulai diberlakukan tanggal 2 Januari 1996. 3. BEJ indeks sektoral terbagi atas 9 sektor. 4. Sektor-sektor primer (ekstraktif): pertanian, dan pertambangan. 5. Sektor-sektor sekunder (industri manufaktur): industri dasar dan kimia; aneka industri dan industri barang konsumsi. 6. Sektor-sektor tersier (jasa): property dan real estate; transportasi dan infrastruktur; keuangan; perdagangan, jasa dan investasi. Indeks LQ 45, menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan (setiap awal bulan Februari dan Agustus). Dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan selalu berubah. Indeks harga saham gabungan atau ISHG (composite share price index), menggunakan semua saham yang tercatat sebagai komponen penghitungan indeks. Tanggal 10 Agustus 1982 ditetapkan sebagai hari dasar (nilai indeks = 100). IHSG =
nilai pasar = jumlah saham tercatat x h arg a terakhir x100 nilai dasar = jumlah saham tercatat x h arg a perdana
(2.3)
Anoraga dan Pakarti (2008: 104), secara umum beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seorang pemodal sebelum berinvestasi di pasar modal, antara lain:
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
1. Pertimbangkan tingkat keuntungan dan tingkat risiko yang dapat ditanggung. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemodal harus siap menanggung risiko yang besar juga, dan sebaliknya. 2. Ketahui jangka waktu investasi (time horizon). Jangka waktu investasi akan menentukan perilaku investor dalam aktivitas investasinya. Pada umumnya orang yang berinvestasi jangka panjang dapat menanggung risiko yang lebih besar, tetapi tingkat keuntungan rata-ratanya stabil untuk jangka panjang. Bila berinvestasi untuk jangka pendek risikonya akan lebih kecil. 2.1.5. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Menurut Noprin (2000) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran (Suhedi, 2000). Suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Suku Bunga Nominal. Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati pasar. (2) Suku Bunga Riil. Suku bunga riil adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Suku bunga yang tinggi di satu sisi, akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat (Aulia Pohan, 2008: 53). Tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika tingkat harga tinggi di mana jumlah uang yang beredar di masyarakat banyak sehingga konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi. 2.1.6. Nilai Tukar Mata Uang Nilai tukar rupiah atau disebut juga kurs rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008). Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nlai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006). Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan “kuat” apabila transaksi autonomous kredit lebih besar dari transaksi autonomous debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing (Nopirin, 1995). Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008). Menurut Sukirno (2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank central terhadap pasar uang jika diperlukan. Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak yang berlebihan. Para ekonom membedakan kurs menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dollar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dollar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dollar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dollar akan membayar 120 yen untuk setiap dollar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw, 2003). Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:
Q=S
P P*
(2.4)
Di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dollar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).
2.2.
Inflasi Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus-menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa Pohan (2008: 158). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000: 25). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi. Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi. Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity
effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000). 1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect) Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang di mana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. 2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects). Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu. 3. Efek terhadap Output (Output Effects). Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2.3.
Arbitrage Pricing Theory (APT) Multifaktor Ross (1976) merumuskan model keseimbangan yang disebut Arbitrage
Pricing Theory (APT), yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang mempunyai sifat yang identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Dalam hal ini hukum yang dianut oleh APT adalah hukum satu harga (the law of one
price). Suatu aktiva yang memiliki karakteristik sama (identik sama) jika dijual dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk melakukan
arbitrage dengan membeli aktiva yang berharga murah dan pada saat yang sama menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko (Husnan, 2000). Dalam perekonomian suatu negara terdapat empat pasar yang telah dikenal yaitu: pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing maupun pasar barang. Dari keempat pasar tersebut yang saling terkait erat serta yang mencerminkan hukum satu harga (the law of one price) umumnya tiga pasar yaitu: pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing. Ketiga pasar mempunyai keseimbangan dan identik sama sehingga tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Jika tidak terjadi keseimbangan dari pasar-pasar tersebut, maka akan terjadi proses arbitrage dari pasar yang satu ke pasar yang lain sebagaimana diuraikan di atas. Terkait dengan pasar modal, model APT dinyatakan bahwa tingkat keuntungan dari saham yang diperdagangkan di pasar modal terdiri dari dua komponen, yaitu: tingkat keuntungan normal atau tingkat keuntungan yang diharapkan dan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko (Husnan, 2000). Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan bagian dari tingkat keuntungan sesungguhnya yang diharapkan oleh investor. Tingkat keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki oleh investor. Sedangkan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau ke bagian tingkat keuntungan yang bersumber dari informasi yang bersifat tidak diharapkan. Investor dalam menjalankan aktivitasnya menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan investor. Risiko tidak sistematis dari satu perusahaan tidak berkorelasi dengan perusahaan lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi terhadap setiap perusahaan (saham). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sistematis adalah sama, misalnya: tingkat inflasi, tingkat bunga dan variabel-variabel lainnya atau sering disebut dengan variabel makroekonomi. Oleh karena itu perubahan variabel makroekonomi akan berdampak pada seluruh perusahaan (saham). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa kemungkinan terdapat perbedaan besar kecilnya perubahan variabel makroekonomi terhadap harga saham. Model faktor mendasarkan diri pada anggapan bahwa adanya hubungan linear antara harga suatu saham dengan harga seluruh saham yang ada di bursa yang diwakili oleh indeks pasar. Atas dasar anggapan itu, maka tingkat keuntungan suatu saham akan berkorelasi dengan perubahan harga pasar (Sharpe, Alexander, Bailey, 1999). Sebagai proses penghasil imbalan, model faktor berusaha untuk mencakup kekuatan-kekuatan perekonomian utama yang secara sistematis menggerakkan atau mempengaruhi harga semua saham. Secara implisit, dalam susunan model faktor Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
terdapat asumsi bahwa imbalan antara dua saham akan berkorelasi, yaitu bergerak bersama-hanya melalui reaksi yang sama terhadap satu atau lebih faktor yang ditentukan oleh model. Model faktor dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung untuk menghitung imbalan harapan, varian, maupun kovarian dari setiap saham. Hasilnya, model faktor adalah alat yang bermanfaat untuk manajemen portofolio (Sharpe, Alexander, Bailey, 1999). Model multi faktor mengasumsikan bahwa proses penentuan harga saham melibatkan beberapa faktor. Artinya terdapat beberapa kemungkinan bahwa lebih dari satu faktor penyebab (pervasive factor) dalam perekonomian yang mempengaruhi harga saham. Situasi ekonomi mempengaruhi hampir semua perusahaan. Jadi perubahan dari perekonomian yang diramalkan memiliki dampak yang besar terhadap harga sebagian besar saham. Sebagai contoh ada dua sumber resiko ekonomi makro yaitu GDP dan tingkat bunga yang tidak dapat dipastikan kondisinya terhadap harga saham. Menurut Bodie, Kane dan Marcus (2006), secara sederhana model multi faktor persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut: Ri = E(ri ) + βiGDPGDP + βiIRIR + ei
(2.5)
Dua faktor pada sisi kanan persamaan atas faktor sistematis di dalam perekonomian. Sebagaimana model faktor tunggal, kedua faktor makro ini mempunyai nilai ekspektasi nol: menunjukkan perubahan pada variabel ini yang sebelumnya tidak diantisipasi. Koefisien pada setiap faktor pada persamaan di atas
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
mengukur sensitivitas imbal hasil saham atas faktor tersebut. Untuk alasan ini, koefisien sering kali disebut sebagai sensitivitas faktor (factor sensitivity), pembebanan faktor (factor loading), atau beta faktor (factor beta). Dan ei mencerminkan pengaruh faktor spesifik perusahaan. 2.4.
Integrasi Pasar dan Keuangan Global Appleyard & Feld (1998) “...much international trade is taking place in a
context where countries accord differential treatmen to their trading partners. This treathment usually occurs by way of economic integration, where countries join together to creat a larger economic unit with special relationship among the members..”(Dennis R Appleyard & Alfred J. Feld Jr, International Economics Trade Theory and Policy). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa negara-negara yang bergerak dalam perdagangan internasional telah membentuk suatu persekutuan dagang (Integrasi Ekonomi) yang sebelumnya telah terjadi hubungan antar negara yang istimewa. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam bidang ekonomi telah tercipta hubungan tertentu antar negara. Menurut Appleyard & Feld (1998), integrasi ekonomi dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu Free Trade Area,
Customs Union, Common Market, dan Economic Union. Setiap negara dapat masuk kedalam salah satu kategori tersebut. Dengan demikian, integrasi pasar uang dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi antar pasar uang dua atau lebih negaranegara di mana jika salah satu pasar mengalami shocks baik berupa perubahan tingkat
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
suku bunga, kenaikan inflasi atau yang lain akan memberikan pengaruh baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek pasar uang negara yang terintegrasi. Pengaruh yang ditimbulkannya bisa positif atau negatif. Integrasi pasar uang yang terjadi memiliki indikator yang selalu dapat dijadikan sebagai acuan atau bukti adanya integrasi pasar uang. Acuan tersebut diantaranya inflasi, tingkat bunga, pendapatan nasional, nilai tukar, tabungan, investasi dan sebagainya. Tingkat suku bunga sendiri dibagi menjadi tingkat bunga jangka panjang dan tingkat suku bunga jangka pendek. Dalam studi ini indikator yang diambil adalah tingkat suku bunga jangka pendek yaitu suku bunga deposito (bulanan). Suku bunga deposito dinilai sangat sensitive terhadap berbagai perubahan ekonomi dibandingkan dengan suku bunga yang lain. Hal ini merupakan sifat suku bunga deposito yang termasuk dalam suku bunga jangka pendek. Dari indikator suku bunga deposito inilah dapat diketahui apakah terjadi integrasi pasar uang atau tidak antar negara. Jika integrasi pasar uang terjadi maka hasil analisisnya akan menampilkan trend yang sama untuk tiap negara, dengan kata lain kenaikan atau penurunannya akan terjadi secara bersama-sama dari periode ke periode selanjutnya atau sebelumnya. Pendapat ini dikuatkan oleh apa yang ditulis oleh Laopodis (2003). Integrasi pasar uang yang terjadi mempunyai banyak sekali implikasi seperti pada variable makro yaitu nilai tukar. Selain nilai tukar integrasi pasar uang juga mempunyai pengaruh terhadap pasar keuangan suatu negara. Berikut akan dibahas satu persatu pengaruh dari integrasi pasar uang tersebut. Implikasi integrasi pasar uang terhadap nilai tukar dapat dibedakan menjadi dua yaitu implikasi terhadap Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
negara dengan nilai tukar mengambang dan pada negara yang menggunakan nilai tukar tetap. Implikasi tehadap nilai tukar biasa dikaitkan dengan munculkan real
devaluation. Implikasi pasar uang bagi negara dengan sistem nilai tukar mengambang adalah ketika terjadi devaluasi. Devaluasi dapat menambah beban hutang luar negeri, memperburuk keadaan harga dan dapat menimbulkan risk premium. Selanjutnya, efek negatif ini akan menjadi offset partially dengan efek positif pada sisi aset dengan naiknya permintaan dalam negeri. Seperti spesifikasi sebelumnya, di bawah rezim nilai tukar yang mengambang, di mana bank sentral menentukan harga output dalam negeri, penyelesaian devaluasi dilakukan dengan depresiasi nominal memisahkan produk real wages dan oleh karena itu arus tenaga kerja tidak berubah, tapi yang akan terjadi adalah turunnya investasi dan output dimasa depan. Sedangkan negara dengan sistem nilai tukar tetap yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan real devaluation adalah dengan deflasi akan menaikkan product real wages dan akan menyebabkan turunnya arus tenaga kerja dan arus output. Turunnya arus output akan menurunkan tingkat harga sehingga akan mendorong risk premium lebih jauh lagi dan menurunkan investasi dan future output lebih besar lagi dibandingkan dengan jika yang diterapkan adalah floating exchange rate (kebijakan nilai tukar yang mengambang). Diantara kedua model di atas, kebijakan nilai tukar mengambang lebih menjanjikan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan kebijakan nilai tukar yang tetap. Implikasi integrasi pasar uang pada pasar modal dibedakan menjadi negara dengan pasar keuangan yang kuat dan negara dengan pasar keuangan yang lemah dan Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
labil. Integrasi keuangan bagi negara dengan pasar uang yang lemah mempunyai efek yang tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan integrasi menyebabkan semakin mudahnya investor untuk lari ke luar negeri mencari investasi yang cepat memberikan keuntungan. Dengan demikian negara dengan sistem keuangan yang labil akan kehilangan investor dan akhirnya tenggelam dalam integrasi pasar uang tersebut. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan ekonominya. Sedangkan untuk negara dengan sistem keungan dan pasar keuangan yang kuat terjadi sebaliknya. Dengan semakin kemudahan investor menanamkan modalnya ke pasar yang lebih luas semakin bertambah pula bagi investor untuk segera melarikan investasinya ke wilayah yang memberikan keuntungan yang cepat dan meninggalkan investasi yang lama. Akhirnya negara dengan pasar ekonomi yang kuat akan memperoleh lebih banyak investor. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa integrasi pasar uang menjadikan negara yang memiliki pasar keuangan kuat akan menjadi lebih maju dan kuat sementara negara dengan sistem dan pasar keuangan lemah akan tenggelam dan semakin terpuruk karena ditinggalkan oleh pasar investornya. Implikasi integrasi pasar uang pada pasar barang. Hal ini dilandasi oleh pembentukan keseimbangan pasar oleh keseimbangan pasar barang dan pasar uang. Jika pasar barang terus berkembang dan pasar uang tidak dikendalikan atau sebaliknya maka masalah ekonomi berupa inflasi dan deflasi akan terjadi. Tingginya inflasi akan menyebabkan pengangguran dan beberapa masalah ekonomi yang lain yang juga sangat penting
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
untuk diperhatikan. Sehingga yang perlu diperhatikan berhubungan dengan terjadinya integrasi pasar uang adalah seberapa kuat perekonomian dalam negeri suatu negara.
2.5.
Penelitian Terdahulu Lee
(2002)
dengan
menggunakan
pendekatan
Multivariate
Vector
Autoregression (VAR), meneliti hubungan kausalitas dan interaksi dinamis antara return saham, tingkat bunga, pertumbungan produksi industri, dan tingkat inflasi di Amerika Serikat. Lee menggunakan sampel data mulai bulan Januari 1987 sampai Desember 2000 yang diperoleh dari NYSE, CRSP dan Citibase data file. Hasil temuan utama dari Lee adalah: (1) return saham membantu menjelaskan bagian substansial dari variance real activity, yang merespon secara positif terhadap stock
return. (2) Dengan memasukkan tingkat bunga dalam sistem VAR, return saham mampu menjelaskan sedikit variasi dalam inflasi, meskipun tingkat bunga menjelaskan bagian substansial dari variasi inflasi, dan (3) Inflasi menjelaskan variasi yang kecil dalam real activity. Selain itu Titman dan Warga (1998) juga mencoba untuk meneliti hubungan yang terjadi antara stock return yang diduga dapat digunakan sebagai prediktor atas suku bunga dan inflasi. Penelitian ini mencoba untuk mengorek lebih lanjut apakah
stock return memberikan peramalan yang lebih baik atas perubahan suku bunga dan inflasi. Hasil dari penelitian tersebut adalah: 1) Adanya hubungan yang positif antara
stock return terhadap perubahan suku bunga di masa depan, 2) Adanya hubungan yang positif antara stock return terhadap perubahan inflasi di masa depan. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Ma dan Kao (2000) mencoba melihat hubungan antara perubahan nilai tukar dengan reaksi harga saham berdasarkan portofolio dua aset. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah: (1) Pendapatan investasi domestik untuk investor luar negeri dipengaruhi oleh pendapatan domestik yang diharapkan dan apresiasi mata uang domestik yang diharapkan, (2) Jika perekonomian domestik pada saat ini mengalami surplus perdagangan dengan sisa dunia, apresiasi mata uang akan mengurangi ekspor. Pada gilirannya hal ini akan mengakibatkan pasar saham yang tersusun dari perusahaan pengekspor tertekan. Disisi lain untuk perekonomian domestik yang mengalami defisit perdagangan, apresiasi mata uang akan menurunkan biaya impor dan akan mempengaruhi pasar modal secara positif (menguntungkan), (3) Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap pasar modal menunjukkan kemungkinan akan signifikan jika perekonomian sedikit tergantung pada perdagangan luar negeri. Ini memberi kesan bahwa investasi yang didominasi mata uang kuat lebih disukai investor. Namun yang merupakan hal penting adalah adanya dampak positif yang tidak mendua (ambigous) dari tingkat nilai tukar terhadap pasar modal, tanpa memperhatikan dependensi perekonomian luar negeri. Ajayi dan Mougoue (1996) mencoba untuk mengaplikasikan analisis time
series untuk mempelajari hubungan antara index saham dan nilai tukar dengan menggunakan sampel berupa 8 negara yang mempunyai advanced economies. Error Correction Model dengan menggunakan 2 variabel digunakan untuk mengestimasi hubungan dinamis antar variabel baik untuk short run maupun long run. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah: 1) Kenaikan dalam aggregate stock price Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
mempunyai efek yang negatif terhadap nilai tukar mata uang domestik untuk short
run, 2) Namun untuk long run, kenaikan dalam harga pasar mempunyai efek yang positif terhadap nilai tukar mata uang domestik, 3) Di lain pihak depresiasi nilai tukar mata uang mempunyai efek yang negatif baik untuk short run maupun long run terhadap harga pasar saham. Fung dan Lie (1990) meneliti tentang hubungan kausal antara harga pasar dan aktivitas ekonomi. Penelitian ini menggunakan model Granger untuk menguji hubungan kausal antara pergerakan stock market di Taiwan terhadap perubahan aktivitas ekonomi seperti GNP dan penawaran uang. Hasil dari penelitian tersebut adalah stock market di Taiwan tidak efisien karena gagal untuk memberikan informasi atas perubahan variabel ekonomi. Penelitian yang menganalisis hubungan antara perubahan harga saham dengan suku bunga dan nilai tukar mata uang juga dilakukan oleh Suwandi (1997) di mana dalam kesimpulannya disebutkan bahwa tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang mempengaruhi pergerakan saham. Namun kedua variabel tersebut tidak dapat dijadikan tolak ukur sebagai pembentuk perubahan harga saham. Wibowo (2002) meneliti Analisis Hubungan Kausal Antara Suku Bunga dan Nilai Tukar Mata Uang terhadap Pergerakan Harga Saham. Pasar modal sebagai suatu instrumen ekonomi tidak lepas dari berbagai pengaruh lingkungan, terutama lingkungan ekonomi dan lingkungan politik. Pengaruh lingkungan ekonomi mikro seperti kinerja perusahaan, pengumuman laporan keuangan atau dividen perusahaan. Sementara lingkungan makro seperti: perubahan suku bunga tabungan dan deposito, Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai regulasi dan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang selalu ditanggapi oleh pelaku pasar di pasar modal. Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi pengaruh perubahan suku bunga dan nilai tukar terhadap pergerakan harga saham yang dilakukan pada 5 bursa saham di kawasan Asia di mana dipilih negara Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia sebagai sampel. Penelitian ini mencoba mengamati hubungan antar variabel pada periode krisis di mana periode amatan yang dipakai adalah 1997-2000. Model Granger digunakan untuk mengetahui hubungan kausal yang tejadi antar variabel. Sebelumnya dilakukan pengujian stationeritas terhadap data di mana ditemukan bahwa data yang digunakan telah stationer pada derajat integrasi 1. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu tingkat bunga terbukti signifikan berpengaruh pada IHSG untuk semua negara kecuali Thailand. Variabel Kurs terbukti signifikan hanya pada negara Indonesia, Jepang dan Malaysia. Dengan demikian hubungan kausalitas dua arah terjadi pada semua negara kecuali Singapura dan Thailand. Yatmiko (2002) meneliti tentang Pengaruh Nilai Kurs Rupiah Per Dollar AS dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Sektor Aneka Industri di Bursa Efek Jakarta (Periode Juni 2004 – Juni 2005). Hasil penelitian secara simultan yang menggunakan uji F-statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kurs rupiah terhadap dollar AS dan tingkat suku bunga SBI terhadap indeks harga saham sektor aneka industri. Hal ini dilihat dari atau 23,033>7,56, di mana Ho ditolak. Hasil pengujian secara parsial yang menggunakan Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
t-statistik menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh yang signifikan dan searah antara kurs rupiah terhadap dollar AS terhadap indeks harga saham sektor aneka industri. Dari hasil perhitungan diperoleh atau 2,794>2,064, di mana Ho ditolak. 2. Terdapat pengaruh yang signifikan dan berlawanan arah antara tingkat suku bunga SBI terhadap indeks harga saham sektor aneka industri. Dari hasil perhitungan diperoleh atau -3,340<2,064, di mana Ho ditolak. Hasil penelitian ini berlaku untuk periode penelitian yang bersangkutan untuk mengetahui apakah hasil penelitian ini berlaku secara umum perlu dilakukan penelitian sejenis dengan menggunakan periode yang lain. Octavia (2007) meneliti Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah /US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Secara bersama-sama ada pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar Rupiah/US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta periode 2003-2005 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000, (2) Secara parsial ada pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar Rupiah/US$ terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta periode 2003-2005 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000, dan (3) Secara parsial ada pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar Rupiah/US$ terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta periode 2003-2005 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hasil tersebut berdasarkan pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Nilai Tukar Rupiah/US$ danTingkat Suku Bunga SBI merupakan faktor yang Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
sangat berperan dalam perubahan Indeks Harga Saham Gabungan. Adanya pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar Rupiah/US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan periode tahun 2003-2005 perlu diperhatikan oleh para investor agar dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat keputusan investasi di Bursa Efek Jakarta. Wondabio (2006) meneliti Analisa Hubungan Index Harga Saham Gabungan (Ihsg) Jakarta (Jsx), London (Ftse), Tokyo (Nikkei) dan Singapura (SSI). Pendekatan Model
Ekonometri–Autocorrelation
Condition
Heteroscedasticity
(ARCH)/
Generalized Autocorrelation Condition Heteroscedasticity (GARCH) dan Vector Autoregression (VAR) - Suatu studi empiris tahun 2000–2005. Hasil penelitian menyebutkan pola hubungan antara JSX dan FTSE, NIKEI dan SSI ternyata memiliki hubungan yang berbeda-beda. FTSE dan NIKKEI ternyata mempunyai pengaruh terhadap JSX, tetapi JSX tidak mempunyai pengaruh terhadap FTSE dan NIKKEI. Ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian negara maju akan berpengaruh terhadap perekonomian negara berkembang. Hubungan FTSE dan NIKKEI terhadap JSX adalah negatif atau berbalik dimana jika FTSE/NIKKEI naik maka JSX turun. Ini menandakan bahwa kenaikan FTSE dan NIKKEI justru menekan JSX. Hal ini dapat diduga adanya pengalihan investasi oleh para investor. JSX dan SSI berhubungan simultan tetapi JSX mempengaruhi SSI secara positif sedangkan SSI mempengaruhi JSX secara negatif. Artinya jika JSX naik maka SSI naik. Sedangkan jika SSI naik maka JSX malah turun.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2.6.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah:
KURS
Indeks Dow Jones Faktor Asing
Faktor Domestik
SBI
IHSG Indeks Hang Seng
INFLASI
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.7.
Hipotesis Teori empirik sebagaimana yang dikemukakan oleh Husein Umar (2008: 104)
sebagai berikut: Hipotesis adalah suatu proporsi, kondisi atau prinsip untuk sementara waktu dianggap benar dan barangkali tanpa keyakinan supaya bisa ditarik suatu konsekuensi logis dan dengan cara ini kemudian diadakan pengujian tentang kebenarannya dengan menggunakan data empiris dari hasil penelitian. Berdasarkan observasi/penelitian pendahuluan di lapangan, maka penulis membuat suatu hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Indeks Harga Saham Gabungan.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2. SBI, Kurs, Inflasi, Harga Saham Gabungan, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Indeks Hang Seng. 3. SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Harga Saham Gabungan berkontribusi terhadap perubahan Indeks Dow Jones. 4. Indeks Harga Saham Gabungan, Kurs, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan SBI. 5. SBI, Indeks Harga Saham Gabungan, Inflasi, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Kurs. 6. SBI, Indeks Harga Saham Gabungan, kurs, Indeks Hang Seng, Indeks Dow Jones berkontribusi terhadap perubahan Inflasi.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian: Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bank Indonesia dalam
studi peristiwa yang terangkum di website www.idx.co.id, www.etrading.co.id www.bei.co.id, www.bi.go.id, www.depkeu.go.id. Waktu penelitian: Penelitian direncanakan mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008.
3.2.
Jenis dan Sumber data Jenis data adalah data sekunder berupa data time series data sekunder
merupakan data primer yang telah diolah dan disajikan ke dalam tabel dan bentuk lain (Husein Umar, 2008). Sedangkan data time series merupakan sekumpulan data dari suatu fenomena tertentu yang didapat dalam interval waktu tertentu misalnya minggu, bulan dan tahun (Muhidin, 2008). Sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Data IHSG, Indeks Dow Jones dan Indeks Hang Seng diperoleh dari Indonesian Exchange Rate dan Jakarta Composite Index dari website www.idx.co.id, www.etrading.co.id dan www.bei.co.id. Berdasarkan bulan Januari 2004 s/d Oktober 2008 dalam satuan point.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2. Data Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diperoleh dari Bank Indonesia dengan situs website www.bi.go.id, dikeluarkan antara Januari 2004 s/d Oktober 2008. SBI berdasarkan persen (%). 3. Data kurs (Rupiah terhadap US Dollar) diperoleh dari Bank Indonesia dengan situs website www.bi.go.id, data dalam satuan rupiah. Data dihitung mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008. 4. Data inflasi diperoleh dari Bank Indonesia dengan alamat website www.bi.go.id. Data inflasi bulan Januari 2004 s/d Oktober 2008 dalam satuan persen (%). 5. Data cadangan devisa, transaksi berjalan dan minyak mentah diperoleh dari Departemen Keuangan www.depkeu.go.id. Data bulan Januari 2004 s/d Oktober 2008 dalam satuan persen.
3.3.
Uji Asumsi
3.3.1. Uji Stasioneritas Data dengan Akar Unit Sekumpulan data dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varian dari data
time series tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu atau rata-rata variansnya konstan Nachrowi (2006). Data time series seringkali tidak stasioner sehingga menyebabkan hasil regresi yang meragukan atau sering disebut regresi lancung (superious regression). Regresi lancung adalah situasi di mana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan secara statistik dan nilai koefisien determinasi yang tinggi namun hubungan antar variabel di dalam model tidak saling berhubungan. Agar regresi yang dihasilkan tidak rancu (meragukan) kita Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
perlu merubah data tidak stasioner menjadi data stasioner. Beberapa uji stasioner yang dilakukan adalah uji akar unit. Uji akar unit yang sekarang terkenal adalah uji dari Dickey Fuller dan Phillips Perron, namun yang biasa digunakan adalah uji Dickey Fuller karena uji ini sangat sederhana. Dasar dari uji akar unit DF (Dickey Fuller) adalah data time series yang mengikuti pola AR(1). Padahal hampir semua data time series mengikuti pola AR(1) ini. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF dengan nilai kritis distribusi statistik Mackinnon. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Data tidak stationer dapat dijadikan menjadi data stationer. Caranya dengan melakukan uji stationeritas data pada tingkat diferensi data yang disebut juga dengan uji derajat integrasi. Jadi data yang tidak stasioner pada tingkat level akan diuji lagi pada tingkat diferen sampai menghasilkan data yang stasioner. Di dalam menguji apakah data mengandung akar unit atau tidak, Dickey-Fuller menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini: Dickey-Fuller menyarankan untuk melakukan regresi model-model berikut ini:
ΔYt = θ Yt −1 + et
(3.1)
ΔYt = β 1 + θ Yt −1 + et
(3.2)
ΔYt = β1 + β 2 t + θ Yt −1 + et
(3.3)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Di mana: t adalah variabel trend waktu perbedaan persamaan (3.1) dengan dua regresi lainnya adalah memasukkan konstanta dan variabel trend waktu. Dalam setiap model, jika data time series mengandung unit root yang berarti data tidak stasioner hipotesis nulnya adalah Ø = 0, sedangkan hipotesis alternatifnya Ø<0 yang berarti data stasioner. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai DF statistik dengan nilai kritisnya yakni distribusi statistik τ. Nilai DF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien ØYt-1. Jika nilai absolut statistik DF lebih besar lebih besar dari nilai kritisnya maka kita menolak hipotesis nul sehingga data yang diamati stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai statistik DF lebih kecil dari nilai kritis distribusi statistik τ. Salah satu asumsi dari persamaan (3.1) dan (3.2) adalah bahwa residual et tidak saling berhubungan. Dalam banyak kasus residual et seringkali berhubungan dan mengandung unsur autokorelasi. Dickey fuller kemudian mengembangkan uji akar unit dengan memasukkan unsur autokorelasi dalam modelnya yang kemudian dikenal dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Dalam prakteknya uji ADF inilah yang digunakan untuk mendeteksi apakah data stasioner atau tidak. Adapun formulasi uji ADF sebagai berikut: n
ΔYt = γ Yt −1 + ∑ β ΔYt −1+1 + et t =1
(3.4)
n
ΔYt = α 0 + γYt −1 + ∑ β ΔYt −1+1 + et t =1
(3.5)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
n
ΔYt = α 0 + α1T + γYt −1 + ∑ βΔYt −1+1 + et t =1
(3.6)
Di mana, Y
: variabel yang diamati
Yt
: Yt – Yt-1
T
: Trend waktu
n
: lag Prosedur untuk mengetahui data stasioner atau tidak dengan cara
membandingkan antara nilai statistik ADF dengan nilai kritis distribusi MacKinnon. Nilai statistik ADF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien γYt-1 pada persamaan (4 s/d 6). Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nila kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Hal penting dalam uji ADF adalah menentukan panjangnya kelambanan. Panjangnya kelambanan bisa ditentukan berdasarkan kriteria AIC (Akaike Information Criterion) ataupun SC (Schwarz Information Criterion. Nilai AIC dan SIC yang paing rendah dari sebuah model akan menunjukkan model tersebut yang paling tepat (Pratomo dan Hidayat, 2007). 3.3.2. Uji Kointegrasi Regresi yang menggunakan data time series yang tidak stasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi jika koefisien determinasi cukup tinggi tapi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen tidak mempunyai makna. Hal ini terjadi karena hubungan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
keduanya yang merupakan data time series hanya menunjukkan tren saja. Secara umum bisa dikatakan bahwa jika data time series Y dan X tidak stasioner pada tingkat level tetapi menjadi stasioner pada diferensi (difference) yang sama yaitu Y adalah I(d) dan X adalah I(d) di mana d tingkat diferensi yang sama maka kedua data adalah terkointegrasi (mempunyai hubungan dalam jangka panjang). Uji kointegrasi ada berbagai macam namun untuk uji dengan beberapa vektor uji yang sering digunakan adalah uji Johansen. Setelah diketahui bahwa baik data inflasi dan pertumbuhan ekonomi keduanya stasioner, maka selanjutnya akan diuji apakah ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara dua variabel tersebut. Granger (1988) menjelaskan bahwa jika dua variabel berintegrasi pada derajat satu, I (1) dan berkointegrasi maka paling tidak pasti ada satu arah kausalitas Granger. Berdasarkan teorema representasi Granger (Engle, Granger, 1987), dinyatakan bahwa jika suatu vektor n I (1) dari data runtut waktu Xt berkointegrasi dengan vektor kointegrasi, maka ada representasi koreksi kesalahan atau secara matematis dapat dinyatakan dengan: A (L) .Xt = -γαXt-1 + β(L) εt
( 3.7)
Di mana: A (L) adalah matrik polinomial dalam lag operator dengan A(0) = I; γ adalah (nx1) vektor konstanta yang tidak sama dengan nol; β(L) adalah skalar polinomial dalam L; dan εt adalah vektor dari variabel kesalahan (error) yang bersuara resik (white noise). Dalam jangka pendek adanya penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang (α’X=0) akan berpengaruh terhadap perubahan Xt dan akan menyesuaikan kembali menuju keseimbangan. Uji kointegrasi yang akan Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
digunakan di sini menggunakan prosedur uji kointegrasi Johansen-Juselius (1990). Dalam tulisan ini, prosedur Johansen-Juselius diaplikasikan untuk sistem persamaan bivariat dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen dalam bentuk vector autoregressive (AR) yang meliput sampai ρ lag dari variabel Xt: Xt : Π1Xt-1 + Π2Xt-2+.... ΠpXt-p+εt
( 3.8)
Di mana: Xt adalah vektor (2X1) dari I(1); Πt adalah (2x2) matrik parameter dan εt~I N(0, ε). Keseimbangan jangka panjangnya ditentukan oleh: Π*X = 0
(3.9)
Di mana Π* adalah matrik koefisien jangka panjang yang ditentukan oleh: I – Π1 – Π2 - ........- Πp = Π*
( 3.10)
Rank (r) dari Π* menentukan banyaknya vektor kointegrasi yang ada antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus bivariate kointegrasi ada jika r sama dengan 1. Jika matrik Π adalah hasil dari dua matrik (2X1), atau: Π = γα’. Kemudian, jika inflasi dan pertumbuhan ekonomi berkointegrasi maka vektor kointegrasi yang unik adalah α dan koefisien γ menunjukkan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan. Hipotesis yang akan diuji adalah dalam sistem persamaan paling sedikit satu vektor kointegrasi antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi Johansen menyarankan dua pengujian untuk menentukan banyaknya vektor kointegrasi. Dua uji tersebut adalah
trace test dan maximum eigenvalue statistic. Johansen trace statistic atau juga dikenal sebagai test statistik LR (Likelihood Ratio) untuk menguji hipotesis Ho: r<1 terhadap Ha: r=0, yang dirumuskan dalam persamaan: Trace test (Qr) = -nεln(1-λi)
( 3.11)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Di mana λi adalah korelasi kuadrat antara Xt-p dan Xt yang merupakan koreksi terhadap pengaruh proses lagged differences variabel X. Alternatif uji kointegrasi dari Johansen adalah dengan menggunakan maximum eigenvalue statistic yang dapat dihitung dari trace statistic, yaitu: Qmax = -nln(1 – λi) = Qr – Qr+1
( 3.12)
Aplikasi model uji kointegrasi dalam penelitian ini: 3
ΔIHSGt = ∑ Γt Δ1IHSGt −1 + Π1IHSGt − k + BHANGSENGt + BDOWJONESt t =1
+ BSBI t + BKURS t + BINFLASI t + ε t 3
3
t −1
j =1+1
(3.13)
Di mana: Π = ∑ Ai − 1 dan Γ = − ∑ A j Ada tidaknya kointegrasi didasarkan pada uji Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue. Apabila nilai hitung Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih besar daripada nilai kritisnya, maka terdapat kointegrasi pada sejumlah variabel, sebaliknya jika nilai hitung Trace Statistic dan Maksimum Eigenvalue lebih kecil daripada nilai kritisnya maka tidak terdapat kointegrasi. Nilai kritis yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Osterwald-Lenum. 3.3.3. Uji Kausalitas Granger Suatu variabel X, dikatakan mempunyai kausalitas Granger dengan variabel lainnya, Y, jika dengan memasukkan nilai lag dari X dapat digunakan untuk memprediksi variabel Y yang hasilnya lebih baik dibandingkan jika menggunakan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
nilai lag variabel Y. Sehingga dalam kasus ini inflasi dikatakan mempunyai kausalitas terhadap pertumbuhan ekonomi, jika lag variabel inflasi dapat memprediksi besarnya pertumbuhan ekonomi dimasa yang akan datang secara lebih baik dibandingkan jika menggunakan lag variabel pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Model lain yang akan digunakan sebagai alternatif dari uji kausalitas Granger yang digunakan adalah uji kausalitas Granger model koreksi kesalahan. Model kausalitas ini mampu menggabungkan informasi dari sifat kointegrasi dari data variabel time series (Miller and Russek, 1990). Engle dan Granger (1987) mendefinisikan suatu data time series yang tidak stasioner, Xt dikatakan terkointegrasi pada order d jika data tersebut stasioner setelah dilakukan diferensi tingkat pertama dinotasikan sebagai Xt ~ I(d). Jika dua data time series, Xt dan Yt terkointegrasi pada order d, Engle dan Granger menunjukkan bahwa kombinasi linier Zt = Xt - δYt akan stasioner. Sebagai akibatnya kedua series Xt dan Yt dikatakan terkointegrasi. Jika terdapat kointegrasi maka kedua variabel mempunyai hubungan jangka panjang. Oleh karena itu hubungan jangka panjang antara kedua variabel dapat diestimasi dengan persamaan sebagai berikut: Xt = αo + βoYt + µt
(3.14)
Yt = α1 + βoXt + µt
(3.15)
Uji kausalitas Granger yang didasarkan pada model koreksi kesalahan dapat diformulasikan sebagai berikut: n
n
t =1
t =1
DX t = α 0 + β 0 + μ t −1 + ∑ c oi DX t −1 + ∑ d oi DYt −1 + ε t
(3.16)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
n
n
t =1
t =1
DYt = α 0 + β 0 + μ t −1 + ∑ c1i DYt −1 + ∑ d 1i DX t −1 + ε t
(3.17)
Di mana D adalah diferensi atau perbedaan dan variabel koreksi µt-1 merupakan residual dari kointegrasi dalam persamaan (3.16) dan (3.17). Setelah diketahui bahwa kedua variabel terkointegrasi, pertanyaannya adalah variabel mana yang saling mempengaruhi dan bagaimana kondisi jangka pendek mampu mengkoreksi kembali kondisi jangka panjang. Dengan memasukkan variabel koreksi kesalahan di dalam persamaan (3.16) dan (3.17), model koreksi kesalahan mampu menunjukkan arah terjadinya kausalitas. Y dikatakan berpengaruh terhadap X dalam persamaan (14) tidak hanya jika doi signifikan tetapi juga bo signifikan. Oleh karena itu, tidak seperti uji kausalitas standar Granger, model koreksi kesalahan mampu menjelaskan bahwa Y mempengaruhi X sepanjang Nilai koefisien koreksi kesalahan signifikan walaupun doi tidak signifikan. Selanjutnya Granger menunjukkan bahwa model koreksi kesalahan mampu menghasilkan prediksi jangka pendek yang lebih baik dan mampu menyediakan penyesuaian dinamis jangka pendek untuk mencapai kondisi keseimbangan jangka panjang. Perubahan kelambanan di dalam variabel independen dapat diinterpretasikan sebagai efek jangka pendek sedangkan koreksi kesalahan menunjukkan efek jangka panjang. Persoalan utama dalam mengestimasi model autoregresif dalam persamaan (14) dan (15) adalah dalam hal menentukan panjangnya kelambanan. Sebagaimana diketahui bahwa kedua persamaan tersebut terdiri dari lebih dari satu variabel independen kelambanan. Oleh karena itu, harus memilih model dengan panjang kelambanan yang optimum. Untuk itu digunakan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
metode yang dikembangkan oleh Akaike Information Criterron (AIC) dan Schwarz Criterion (SC), nilai terkecil dari AIC dan SC digunakan untuk menentukan panjangnya kelambanan yang optimal.
3.4.
Model Analisis
3.4.1. Vector Autoregression (VAR) Menurut Sims (Manurung, 2005) jika simultanitas antara beberapa variabel benar maka dapat dikatakan bahwa variabel tidak dapat dibedakan mana variabel endogen dan mana variabel eksogen. Pengujian hubungan simultan dan derajat integrasi antar variabel dalam jangka panjang variabel yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan metode VAR. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan simultan (Saling terkait) antara variabel kurs, SBI, Inflasi, Dow Jones dan Hang Seng sebagai variabel eksogen terhadap Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) sebagai variabel endogen dengan memasukkan unsur waktu (lag). Pengujian VAR dengan rumus: LogIHSG t = α 1 LogIHSG t − p + α 2 LogHangseng t − p + α 3 LogDowJones t − p + α 4 LogSBI +
α 5 LogKURS t − p + α 6 LogINFLASI t − p + e1,t
……..
…
(3.18)
LogHangseng t = α 7 LogIHSGt − p + α 8 LogHangseng t − p + α 9 LogDowJones t − p + α 10 LogSBI +
α 11 LogKURS t − p + α 12 INFLASI t − p + e 2,t
.
(3.19)
LogDowjones t = α 13 LogIHSGt − p + α 14 LogHangseng t − + α 15 LogDowJones t − p + α 16 LogSBI +
α 17 LogKURS t − p + α 18 LogINFLASI t − p + e3,t
(3.20)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
LogSBI t = α 19 LogIHSGt − p + α 20 LogHangseng t − p + α 21 LogDowJones t − p + α 22 LogKURS t − p +
α 23 LogINFLASI t − p + e 4,t
(3.21)
LogKURS t = α 24 LogIHSGt − p + α 25 LogHangseng t − p + α 26 LogDowJones t − p + α 27 LogSBI +
α 28 LogKURS t − p + α 29 LogINFLASI t − p + e5,t
(3.22)
LogINFLASI t = α 30 LogIHSGt − p + α 31 LogHangseng t − p + α 32 LogDowJones t − p + α 33 LogSBI + α 34 LogKURS t − p + α 35 LogINFLASI t − p + e6,t
(3.23)
Dengan: IHSGt
= data IHSG tahun sekarang (point/bulan)
HANGSENGT
= data HANGSENG tahun sekarang (point/bulan)
DOWJONESt
= data DOWJONES tahun sekarang (point/bulan)
SBIGt
= data SBI tahun sekarang (persen/bulan)
KURSt
= data KURS tahun sekarang (point/bulan)
INFLASIt
= data INFLASI tahun sekarang (persen/bulan)
a,b
= koefisien
c
= konstanta
e
= kesalahan penganggu/residual (error terms)
p
= panjang lag
3.4.2. Impulse Response Function (IRF)
Impulse Response Function (IRF) dilakukan untuk mengetahui respon dinamis dari setiap variabel terhadap satu standar deviasi inovasi (Pramono, 2006). Analisis IRF bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel transmit
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
terkointegrasi pada periode jangka pendek maupun jangka panjang. IRF merupakan ukuran arah pergerakan setiap variabel transmit akibat perubahan variabel transmit lainnya (Manurung, 2009). Nilai peramalan persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut: Yt + n = E (Y ) + ∑θ iε t + n − i
(3.24)
Z t + n = E ( Z ) + ∑ θ iε t + n − i
(3.25)
Y
Z
Dimana : E(Y) dan E(Z) masing-masing nilai rata-rata dari Y dan Z. 3.4.3. Forecast Error Variance Desomposition (FEVD)
Forecast Error Variance Desomposition (FEVD) dilakukan untuk mengetahui relative importance dari berbagai shock terhadap variabel itu sendiri maupun variabel lainnya. Identifikasi FEDV menggunakan Cholesky decomposition (Pramono, 2006). Analisis FEDV bertujuan untuk mengetahui pengaruh atau kontribusi antar variabel transmit (Manurung, 2009). Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) atau sering dikenal dengan istilah Variance Decomposition digunakan untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR (Purnawan, 2008). Persamaan FEDV dapat diturunkan dengan ilustrasi sebagai berikut:
Et X t +1 = A0 + A1 X 1
(3.26)
Nilai A0 dan A1 digunakan mengestimasi nilai masa depan Xt+1
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2
E t X t + n = et + n + A1 et + n − 2 + ............. + A1n −1et +1
(3.27)
Artinya nilai FEDV selalu 100 persen, nilai FEDV lebih tinggi menjelaskan kontribusi varians satu variabel transmit terhadap variabel transmit lainnya lebih tinggi.
3.5.
Definisi Operasional Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan
dalam penelitian ini perlu diberikan batasan operasional sebagai berikut: 1. IHSG adalah indeks rata-rata saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) berdasarkan bulan, yaitu IHSG data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008. 2. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terusmenerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Inflasi diukur dalam persen (%) data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008. 3. SBI, adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. SBI dalam penelitian ini diukur dalam persen (%) data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008. 4. Kurs. Merupakan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS yang berarti nilai yang mencerminkan harga mata uang Dollar AS dalam satuan Rupiah, data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
5. Indeks Dow Jones merupakan indeks harga saham terbesar di Eropa yaitu indeks harga saham Amerika, data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008. 6. Indeks Hang Seng merupakan indeks harga saham terbesar di Asia yaitu indeks harga saham Hongkong, data mulai Januari 2004 s/d Oktober 2008.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Perkembangan Indikator Ekonomi Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia.
Krisis global yang berawal di Amerika Serikat pada tahun 2007, semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada awal tahun 2008. Sejumlah kebijakan yang sangat agresif di tingkat global telah dilakukan untuk memulihkan perekonomian. Di Amerika Serikat, sebagai episentrum krisis, kebijakan pemerintah baru yang menempuh langkah serius untuk mengatasi krisis, menjadi faktor positif yang dapat mengurangi pesimisme akan resesi yang berkepanjangan dan risiko terjadinya depresi. Sementara itu, kemauan negara-negara industri maju lainnya untuk berkoordinasi dalam kebijakan pemulihan ekonomi juga diharapkan dapat meningkatkan keyakinan pelaku pasar. Namun, proses berbagai lembaga keuangan memperbaiki struktur neracanya (deleveraging) yang diperkirakan masih terus berlangsung, serta dampak umpan balik dari sektor riil ke sektor keuangan, menyebabkan risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi. Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan. Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008. Sementara kondisi fundamental dari sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan juga cukup kuat untuk menahan terpaan krisis global. Meski demikian, dalam perjalanan waktu ke depan, dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia akan semakin terasa. Semakin terintegrasinya perekonomian global dan semakin dalamnya krisis menyebabkan perekonomian di seluruh negara akan mengalami perlambatan pada tahun 2009, Indonesia tak terkecuali. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia di tahun 2009 akan tumbuh melemah menjadi sekitar 4,0%, dengan risiko ke bawah terutama apabila pelemahan ekonomi global lebih besar dari yang diperkirakan. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut bukan sesuatu yang buruk apabila dibandingkan dengan banyak negara-negara lain yang diperkirakan tumbuh negatif. Oleh karenanya, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah dampak krisis ini meluas lebih dalam, melalui kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor riil, menjadi penting untuk dilakukan di tahun 2009. Strategi kebijakan moneter melalui BI Rate diarahkan pada upaya pencapaian target inflasi dalam jangka menengah yang ditetapkan Pemerintah. Strategi tersebut Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
ditempuh secara terukur dan hati-hati dengan mempertimbangkan tekanan inflasi ke depan, dinamika perekonomian terkini dan stabilitas sistem keuangan. Dalam implementasinya, stance kebijakan moneter selama tahun 2008 secara umum dapat dibagi dalam tiga periode yaitu periode BI Rate tetap (Januari-April), periode kenaikan BI Rate (Mei-Oktober), dan periode penurunan BI Rate (NovemberDesember). Perbedaan stance kebijakan dalam masing-masing periode mencerminkan adanya perubahan risiko tekanan inflasi ke depan, perkembangan ekonomi domestik dan stabilitas sistem keuangan. Perubahan risiko tersebut sangat terkait dengan semakin dalamnya krisis ekonomi global pada semester II-2008, serta potensi perlambatan ekonomi domestik yang lebih dalam. Gejolak di pasar keuangan global yang dimulai sejak pertengahan tahun 2007 masih belum mereda. Kekhawatiran akan dampak krisis subprime yang lebih dalam dan resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) telah memicu sentimen negatif pada pelaku pasar keuangan global. Melemahnya dolar AS yang disertai dengan tertekannya pasar keuangan global memicu pengalihan investasi dari pasar finansial ke pasar komoditas yang selanjutnya mendorong peningkatan harga komoditas internasional. Tingginya harga komoditas internasional tersebut memberi tekanan pada inflasi global. Perilaku penanam modal asing yang cenderung menghindari risiko sempat mendorong aliran keluar modal asing dari pasar keuangan domestik, meskipun secara keseluruhan triwulan I-2008 penanaman dana asing masih mencatat
net inflow sebagai akibat dari masih tetap menariknya kondisi imbal hasil rupiah. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Di pasar saham, aliran keluar modal asing mendorong pelemahan kinerja pasar saham. Sementara itu, di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) masih meningkat akibat kekhawatiran terhadap sustainabilitas fiskal dan peningkatan inflasi ke depan. Aliran keluar modal asing yang sempat terjadi menyebabkan nilai tukar secara rata-rata mengalami sedikit pelemahan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Seiring dengan aliran keluar modal asing yang sempat terjadi pada awal tahun, surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat penurunan meskipun masih cukup tinggi. Dampak gejolak eksternal belum mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik. Di sisi inflasi, tekanan inflasi pada triwulan I-2008 lebih banyak dipengaruhi oleh faktor biaya (cost-push) yang bersumber dari luar negeri. Kenaikan harga komoditas energi dan pangan internasional mendorong peningkatan tekanan inflasi yang bersumber dari imported inflation. Tekanan inflasi yang bersumber dari melemahnya nilai tukar dalam periode ini, secara umum relatif minimal. Ekspektasi inflasi masyarakat yang meningkat, sebagaimana tercermin pada hasil survei konsumen dan pedagang eceran, juga turut memberikan sumbangan pada tekanan inflasi. Meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat tersebut terkait dengan kenaikan harga komoditas internasional dan kelangkaan pasokan minyak tanah. Sementara itu, kenaikan permintaan domestik masih dapat diimbangi dengan kenaikan sisi penawaran sehingga belum memberikan dampak yang signifikan pada tekanan inflasi.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Sampai dengan paruh pertama tahun 2008, kondisi pasar valas ditandai dengan kelebihan permintaan. Tingginya permintaan valas terutama terkait dengan meningkatnya impor, khususnya minyak, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, pasokan valas yang terbatas terutama bersumber dari pelaku asing sejalan dengan aliran masuk modal asing dalam instrumen keuangan domestik. Terbatasnya pasokan valas tersebut dipicu oleh krisis likuiditas global dan berkurangnya minat investasi asing sebagai imbas lanjutan dari krisis subprime yang muncul sejak pertengahan tahun 2007. Dengan terus berlanjutnya kenaikan harga minyak, terbatasnya pasokan juga didorong oleh sentimen negatif terhadap sustainabilitas fiskal dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Dalam kondisi neraca transaksi berjalan pada paruh pertama tahun 2008 yang masih mencatat surplus cukup besar dan respons kebijakan ekonomi makro yang cukup berhati-hati serta kebijakan stabilisasi di pasar valuta asing secara terukur dan berhati-hati dapat menahan tekanan depresiasi nilai tukar.
4.2.
Deskripsi Variabel Penelitian Bagian ini menguraikan hasil-hasil selama periode penelitian, yaitu mengenai
hasil analisis terhadap SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Dow Jones, Indeks Hang Seng dan Indeks Harga Saham Gabungan.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.2.1. Perkembangan SBI Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008 Selama krisis suku bunga yang lebih tinggi banyak dipengaruhi oleh kalangan likuiditas yang dialami oleh bank-bank yang kurang sehat atau tidak sehat yang secara struktural mengandalkan sumber dana pada pasar uang antar bank. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sektor perbankan telah mengidap berbagai kelemahan tercermin pada besarnya jumlah kredit macet pada sejumlah bank dengan terjadinya krisis yang telah mengakibatkan pemerintah mengambil kebijakan ketat, di samping serbuan rush berulang-ulang sektor perbankan menjadi semakin terpuruk karena disintermediasi perbankan sudah terjadi sejak akhir 1997 dan kualitas aktiva produktif juga semakin buruk. 13 12 11 10 9 8 7 2004
2005
2006
2007
2008
SBI
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.1. Perkembangan SBI Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.1 di atas diketahui bahwa nilai SBI pada tahun 2004 merupakan titik terendah berada pada kisaran 7,5% sedangkan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006 SBI mencapai level tertinggi mencapai di atas 12%, kemudian menurun kembali pada akhir tahun 2007 dan kembali meningkat diawal tahun 2008. Peningkatan SBI disebabkan pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dan inflasi yang terjadi sedangkan penurunan SBI dimaksudkan untuk menumbuhkan sektor riil melalui pinjaman investasi dengan bunga yang rendah. 4.2.2. Nilai Tukar Mata Uang Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008 Kurs merupakan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS yang berarti nilai yang mencerminkan harga mata uang Dollar AS dalam satuan Rupiah, data mulai Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. 10400 10000 9600 9200 8800 8400 8000 2004
2005
2006
2007
2008
KURS
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.2. Perkembangan Kurs Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.2 di atas diketahui bahwa perkembangan kurs dari Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Nilai kurs yang paling tinggi terjadi pada awal tahun 2004 pada posisi di atas Rp. 8.000 per dollar sedangkan nilai kurs yang paling rendah terjadi pada awal tahun 2008 terdepresisi ke level Rp. 10.500 per dollar. 4.2.3. Inflasi Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008 Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Inflasi diukur dalam persen (%). Berikut data inflasinya: 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2004
2005
2006
2007
2008
INFL
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.3. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.3 diketahui bahwa inflasi yang terjadi dari Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Pada periode tersebut inflasi terendah terjadi pada awal tahun 2004 sedangkan inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 akhir dan awal tahun 2006. Naiknya inflasi disebabkan adanya kenaikan jumlah uang beredar, turunnya suku bunga dan permintaan masyarakat akan barang juga meningkat. 4.2.4. Indeks Dow Jones Periode Januari 2004 Sampai Oktober 2008 Indeks Dow Jones merupakan indeks harga saham terbesar di Eropa yaitu indeks harga saham Amerika, data mulai Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. 14000
13000
12000
11000
10000
9000 2004
2005
2006
2007
2008
DJ
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.4. Perkembangan Dow Jones Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui perkembangan indeks Dow Jones yang terjadi dari Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Pada periode tersebut indeks Dow Jones pada awal tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kemudian setelah krisis Subrime Morgage terjadi menyebabkan indeks Dow Jones mengalami penurunan signifikan. Peningkatan indeks Dow Jones pada tahun 2004 disebabkan kondisi ekonomi Amerika dan dunia yang membaik sedangkan penurunan indeks Dow Jones terjadi karena kondisi krisis global yang menyebabkan krisis kepercayaan finansial di Amerika dan di dunia. 4.2.5. Perkembangan Indeks Hang Seng Indeks Dow Jones merupakan indeks harga saham terbesar di Eropa yaitu indeks harga saham Amerika, data mulai Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. 32000 28000 24000 20000 16000 12000 8000 2004
2005
2006
2007
2008
HS
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.5. Perkembangan Indeks Hang Seng Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.5 diketahui perkembangan indeks Hang Seng yang terjadi dari Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Pada periode tersebut indeks Hang Seng pada awal tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kemudian setelah krisis Subrime Morgage terjadi menyebabkan indeks Hang Seng mengalami penurunan signifikan. Peningkatan indeks Hang Seng pada tahun 2004 disebabkan kondisi ekonomi Amerika dan dunia yang membaik sedangkan penurunan indeks Hang Seng terjadi karena kondisi krisis global yang menyebabkan krisis kepercayaan finansial di Amerika dan di dunia. 4.2.6. Perkembangan IHSG IHSG adalah indeks rata-rata saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) berdasarkan bulan. Berikut data perkembangan IHSG: 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 2004
2005
2006
2007
2008
IHSG
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.6. Perkembangan IHSG Januari 2004 s/d Oktober 2008
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.6 diketahui perkembangan IHSG yang terjadi dari Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Pada periode tersebut IHSG pada awal tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kemudian setelah krisis Subrime Morgage terjadi menyebabkan indeks Hang Seng mengalami penurunan signifikan. Peningkatan IHSG pada tahun 2004 disebabkan kondisi ekonomi Amerika dan dunia yang membaik sedangkan penurunan IHSG terjadi karena kondisi krisis global yang menyebabkan krisis kepercayaan finansial di Amerika dan di dunia.
4.3.
Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan uji akar-akar unit yang
dikembangkan oleh Dickey Fuller (1981). Alternatif dari uji Dickey Fuller adalah
Augmented Dickey Fuller (ADF) yang berusaha meminimumkan autokorelasi. Uji ini berisi regresi dari diferensi pertama data runtut waktu terhadap lag variabel tersebut, lagged difference terms, kontanta, dan variabel trend (Kuncoro, 2001). Untuk melihat stasioneritas
dengan
menggunakan
uji
DF
atau
ADF
dilakukan
dengan
membandingkan t (=tau) statistik dari variabel lag variabel dependen dengan nilai kritis DF atau ADF dalam tabel. Data yang tidak stasioner bisa menyebabkan regresi yang lancung sehingga perlu dilakukan uji stasioneritas data. Hasil uji stasioneritas variabel-variabel dalam penelitian ditampilkan pada tabel di bawah ini. Penelitian ini dimulai dengan uji stasioner terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu kurs (KURS), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Inflasi (INF), Indeks Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Dow Jones (DJ), Indeks Hang Seng (HS) dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Hasil pengujian stasioneritas data untuk semua variabel amatan adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Hasil Pengujian Akar-akar unit dengan Level
SBI
-2.489224
Nilai Kritis Mc Kinnon pada Tingkat Signifikansi 1% -3.552666
KURS
-2.483970
-3.552666
0.1247
INFLASI
-1.761234
-3.550396
0.3957
DOW JONES
-0.754074
-3.550396
0.8241
Tidak stasioner
HANG SENG
-1.188095
-3.550396
0.6738
Tidak stasioner
IHSG
-3.086131
-3.568308
0.0340
Tidak stasioner
Variabel
Nilai Augmented Dickey Fuller
Prob
Kesimpulan
0.1235
Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner
Sumber: Lampiran Pengujian Unit Root Test
Hasil uji Augmented Dickey Fuller pada Tabel 4.1 tersebut di atas menunjukkan bahwa data semua variabel tidak stasioner sebagaimana ditunjukkan oleh nilai Dickey Fuller statistik yang di bawah nilai kritis Mc Kinnon pada derajat kepercayaan 1%. Bahkan pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa semua data tidak stasioner pada level. Solusi yang dapat dilakukan untuk data yang tidak stasioner adalah dengan menciptakan variabel baru dengan cara first difference (disebut, DKURS, DSBI, DINF, DDJ, DHS, dan DIHSG), lalu dilakukan uji ADF kembali. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Tabel 4.2. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test Pada SBI Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.520909 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.1160
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Tabel 4.3. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada SBI Null Hypothesis: D(SBI,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.016978 -3.555023 -2.915522 -2.595565
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, diperoleh hasil uji akar unit dari SBI bahwa nilai ADF test statistic sebesar -8.016978. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (-8.016978 < -3.555023) maka kita bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis. Sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel SBI yang diamati adalah stasioner pada derajat kedua (2nd difference) dengan kata lain variabel SBI dalam penelitian berintegrasi satu atau I(2).
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner. Tabel 4.4. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada KURS Null Hypothesis: D(KURS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.555475 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan Tabel 4.4, diperoleh hasil bahwa nilai ADF test statistic sebesar -5.555475. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (-5.555475 < 3.552666) maka kita bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis. Sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel KURS yang diamati adalah stasioner pada diferensi pertama dengan kata lain variabel KURS dalam penelitian berintegrasi satu atau I(1). Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Tabel 4.5. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada INFLASI Null Hypothesis: D(INFL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.453951 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, diperoleh hasil inflasi bahwa nilai ADF test statistic sebesar -6.453951. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (6.453951<-3.552666) maka bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis, sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel inflasi yang diamati adalah stasioner pada diferensi pertama dengan kata lain variabel inflasi dalam penelitian berintegrasi satu atau I(1). Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner. Tabel 4.6. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada Dow Jones Null Hypothesis: D(DJ) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.917929 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.0002
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, diperoleh hasil bahwa nilai ADF test statistic sebesar -4.917929. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (-4.917929<3.552666) maka kita bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis. Sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel indeks Dow Jones yang diamati adalah stasioner pada diferensi pertama dengan kata lain variabel indeks Dow Jones dalam penelitian berintegrasi satu atau I(1). Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner. Tabel 4.7. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada Hang Seng Null Hypothesis: D(HS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.628969 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan Tabel 4.7 di atas, diperoleh hasil indeks Hang Seng bahwa nilai ADF test statistic sebesar -5.628969. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (-5.628969<-3.552666) maka kita bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis. Sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel indeks Hang Seng yang diamati adalah stasioner pada diferensi pertama dengan kata lain variabel indeks Hang Seng dalam penelitian berintegrasi satu atau
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
I(1). Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner. Tabel 4.8. Unit Root Test dan Derajat Integrasi dengan ADF Test pada IHSG Null Hypothesis: D(IHSG) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.610529 -3.552666 -2.914517 -2.595033
0.0085
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan Tabel 4.8 di atas, diperoleh hasil IHSG bahwa nilai ADF test statistic sebesar -3.610529. Nilai ADF test < nilai kritis atau dengan kata lain (3.610529<-3.552666) maka kita bisa mengambil keputusan untuk menolak hipotesis. Sehingga kesimpulan data time series adalah stasioner. Dengan demikian variabel IHSG yang diamati adalah stasioner pada diferensi pertama dengan kata lain variabel IHSG dalam penelitian berintegrasi satu atau I(1). Kemudian nilai probabilitas 0,000 < α 1%, 5% dan 10% sehingga data dinyatakan stasioner. Berdasarkan keterangan pada Tabel 4.2 s/d 4.8 dapat dinyatakan bahwa: 1. Semua data KURS, SBI, INFL, DJ, HS dan IHSG tidak memiliki akar unit atau dinyatakan stationer.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2. Terbukti bahwa data KURS, INFL, DJ, HS dan IHSG stasioner pada derajat satu (first difference) kecuali variabel SBI berada pada second difference karena memiliki t-statistik Dickey Fuller yang lebih besar daripada nilai kritis Mac Kinnon dengan derajat kepercayaan 1%, sehingga hipotesis yang menyatakan data memiliki akar unit dapat ditolak.
4.4.
Uji Kausalitas Granger
4.4.1. Granger Causality Test Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa uji kausalitas Granger ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola hubungan antar variabel. Sesuai dengan pertanyaan penelitian dalam tesis ini maka pola hubungan yang dianalisa dibatasi pada pola hubungan antara Kurs, SBI, Inflasi, Dow Jones Hang Seng dan IHSG. Tabel 4.9. Granger Causality Tests Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/10/09 Time: 13:45 Sample: 2004M01 2008M10 Lags: 1 Null Hypothesis:
Keterangan
Obs F-Statistic Probability
HS does not Granger Cause DJ DJ does not Granger Cause HS
57
4.78919 14.9582
0.03298 0.00030
H0 ditolak H0 ditolak
Hubungan 2 arah
IHSG does not Granger Cause DJ DJ does not Granger Cause IHSG
57
3.88312 30.9164
0.05391 8.6E-07
H0 diterima H0 ditolak
Hubungan 2 arah
INFL does not Granger Cause DJ DJ does not Granger Cause INFL
57
5.5E-06 0.58648
0.99814 0.44712
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Lanjutan Tabel 4.9 KURS does not Granger Cause DJ DJ does not Granger Cause KURS
57
0.00390 1.04097
0.95041 0.31214
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
SBI does not Granger Cause DJ DJ does not Granger Cause SBI
57
1.37286 5.70498
0.24646 0.02044
H0 diterima H0 ditolak
Hubungan 1 arah
IHSG does not Granger Cause HS HS does not Granger Cause IHSG
57
0.00394 12.6085
0.95017 0.00081
H0 diterima H0 ditolak
INFL does not Granger Cause HS HS does not Granger Cause INFL
57
0.31134 0.00508
0.57916 0.94345
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
KURS does not Granger Cause HS HS does not Granger Cause KURS
57
0.01984 0.18289
0.88851 0.67060
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
SBI does not Granger Cause HS HS does not Granger Cause SBI
57
0.27878 1.11191
0.59967 0.29636
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
INFL does not Granger Cause IHSG IHSG does not Granger Cause INFL
57
0.63611 0.02418
0.42862 0.87702
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
KURS does not Granger Cause IHSG IHSG does not Granger Cause KURS
57
0.01225 0.06049
0.91229 0.80665
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
SBI does not Granger Cause IHSG IHSG does not Granger Cause SBI
57
0.37090 0.77399
0.54507 0.38288
H0 diterima H0 diterima
Tidak ada hubungan
KURS does not Granger Cause INFL INFL does not Granger Cause KURS
57
9.39519 0.85888
0.00339 0.35818
H0 ditolak H0 diterima
Hubungan 1 arah
SBI does not Granger Cause INFL INFL does not Granger Cause SBI
57
0.02161 19.9126
0.88369 4.2E-05
H0 diterima H0 ditolak
Hubungan 1 arah
SBI does not Granger Cause KURS KURS does not Granger Cause SBI
57
3.24516 86.1532
0.07722 8.9E-13
H0 diterima H0 ditolak
Hubungan 1 arah
Hubungan 1 arah
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan uji kausalitas pada Tabel 4.9 diketahui bahwa terdapat hubungan satu barah, dua arah dan tidak ada sama sekali hubungan diantara variabel. Berikut hasil lengkapnya:
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
1. Hubungan indeks Hang Seng dan Indeks Dow Jones. Terdapat hubungan dua arah atau timbal balik antara Hang Seng dan Dow Jones. Di mana indeks Dow Jones bisa mempengaruhi indeks Hang Seng dan sebaliknya indeks Hang Seng Bisa mempengaruhi indeks Dow Jones, hal tersebut bisa diketahui dari perkembangan data yang menunjukkan adanya penurunan indeks Dow Jones yang terus direspon oleh indeks Hang Seng. 2. Hubungan IHSG dan indeks Dow Jones. Terdapat hubungan satu arah Dow Jones dengan IHSG. Indeks Dow Jones yang secara ekonomi dikatakan pasar yang kuat secara langsung dapat mempengaruhi pasar yang lebih kecil yaitu IHSG. 3. Hubungan Inflasi dan indeks Dow Jones. Tidak terdapat hubungan satu dengan lainnya. 4. Hubungan SBI dan indeks Dow Jones. Terdapat hubungan satu arah yaitu antara indeks Dow Jones terhadap SBI. 5. Hubungan IHSG dan indeks Hang Seng. Terdapat hubungan satu arah antara Hang Seng dengan IHSG, namun IHSG tidak mempengaruhi Hang Seng. 6. Hubungan Inflasi dan indeks Hang Seng. Tidak terdapat hubungan satu dengan lainnya. 7. Hubungan Kurs dan indeks Hang Seng. Tidak terdapat hubungan. 8. Hubungan SBI dan indeks Hang Seng. Tidak terdapat hubungan. 9. Hubungan Inflasi dan indeks IHSG. Tidak terdapat hubungan satu dengan lainnya. 10. Hubungan Kurs dan IHSG. Tidak terdapat hubungan satu dengan lainnya. Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
11. Hubungan SBI dan IHSG. Tidak terdapat hubungan satu dengan lainnya. 12. Hubungan KURS dan Inflasi. Terdapat hubungan satu arah yaitu antara kurs dengan inflasi, di mana apresiasi terhadap kurs akan direspon positif terhadap permintaan masyarakat akan suatu barang sehingga inflasi akan terjadi. 13. Hubungan SBI dan Inflasi. Terdapat hubungan satu arah antara inflasi dengan SBI sedangkan SBI tidak mempengaruhi inflasi. 14. Hubungan SBI dan Kurs. Terdapat hubungan satu arah antara kurs dengan SBI sedangkan SBI tidak mempengaruhi kurs. 4.4.2. Uji Kointegrasi Johansen Untuk mengetahui ada berapa persamaan kointegrasi maka dilakukan uji kointegrasi. Hasil uji kointegrasi dengan alat bantu Eviews 5.1 ditampilkan pada Tabel 4.10 di bawah ini: Tabel 4.10. Uji Kointegrasi Johansen Date: 07/10/09 Time: 13:48 Sample (adjusted): 2004M02 2008M10 Included observations: 57 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: DJ HS IHSG INFL KURS SBI Lags interval (in first differences): No lags Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized
Trace
0.05
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5
0.766886 0.521611 0.286921 0.205705 0.130804 0.062466
169.1026 86.09757 44.06972 24.79445 11.66732 3.676649
95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466
0.0000 0.0015 0.1085 0.1689 0.1736 0.0552
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Pada baris pertama menunjukkan penolakan terhadap Ho yang mengatakan tidak ada kointegrasi karena nilai likelihood ratio-nya lebih besar dari nilai critical
value-nya, dengan kata lain Ho ditolak. Pada baris kedua Ho mengatakan ada kointegrasi maksimal 1 persamaan, namun hipotesis ini juga ditolak karena nilai
likelihood ratio-nya juga lebih besar. Kemudian pada baris selanjutnya hipotesis nol. (Ho) mengatakan ada persamaan kointegrasi maksimal 2, namun hanya pada α = 5% sehingga hipotesis ini bisa ditolak. Dari uji ini diketahui bahwa ada 2 persamaan kointegrasi (seperti keterangan di bagian bawah tabel) pada 5% dan 1% levels yang berarti asumsi adanya hubungan jangka panjang antar variabel terbukti. Berdasarkan hasil uji kointegrasi diketahui bahwa ternyata ada persamaan yang memiliki kointegrasi dalam jangka panjang sehingga hasil kausalitas yang menyatakan hubungan jangka pendek dapat digantikan dengan asumsi yang menyatakan hubungan jangka menengah dan jangka panjang terbukti. Jadi semua variabel dinyatakan memiliki kontribusi dalam jangka panjang sehingga analisa Vector
Autoregression dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya.
4.5.
Vector Autoregression Setelah terjadi hubungan timbal balik dalam uji kausalitas, maka langkah
selanjutnya adalah dengan menggunakan VAR. Estimasi VAR didukung dengan penggunaan lag, di mana nilai Akaike Information (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SIC) yang paling kecil diantara lag sebagai pedoman penentuan panjang lag. Berdasarkan penentuan panjang lag diketahui bahwa pada lag dasar atau lag 1 Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
nilai AIC dan nilai SIC merupakan nilai yang paling baik sehingga dikatakan lag 1 yang terbaik dibandingkan dengan model-model yang lainnya dan penelitian ini menggunakan lag 1. Asumsi penggunaan lag 1 ditentukan oleh stabilitas lag structur dengan menggunakan Invesrse Roots of AR Characteristic Polynomial dan prinsip
Parsimony. Di mana nilai lag structur pada lag 1 sudah stabil maka ditentukan lag 1. Berikut hasil analisa VAR pada lag 1: Tabel 4.11. Hasil Estimasi VAR dengan Dasar Lag 1 Vector Autoregression Estimates Date: 07/10/09 Time: 13:50 Sample (adjusted): 2004M02 2008M10 Included observations: 57 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
LOG(DJ(-1))
LOG(HS(-1))
LOG(IHSG(-1))
LOG(INFL(-1))
LOG(KURS(-1))
C
LOG(SBI)
LOG(DJ)
LOG(HS)
LOG(IHSG)
LOG(INFL)
LOG(KURS)
1.087905 (0.15876) [ 6.85231] -0.052917 (0.09090) [-0.58216] -0.004045 (0.04857) [-0.08328] -0.028627 (0.02743) [-1.04362] 0.022912 (0.14311) [ 0.16009] -0.582683 (1.88746) [-0.30871] 0.071674 (0.05224) [ 1.37212]
0.922164 (0.28963) [ 3.18391] 0.609686 (0.16582) [ 3.67671] 0.014982 (0.08861) [ 0.16907] 0.010784 (0.05004) [ 0.21551] 0.339147 (0.26108) [ 1.29902] -7.988412 (3.44327) [-2.32000] -0.020293 (0.09529) [-0.21295]
0.992485 (0.31085) [ 3.19285] 0.106977 (0.17797) [ 0.60110] 0.690207 (0.09510) [ 7.25750] 0.025389 (0.05371) [ 0.47274] 0.490710 (0.28020) [ 1.75128] -12.57554 (3.69547) [-3.40296] -0.009093 (0.10227) [-0.08891]
-1.505462 (0.67595) [-2.22717] 0.662143 (0.38700) [ 1.71095] -0.096589 (0.20681) [-0.46705] 0.647186 (0.11679) [ 5.54165] 1.192485 (0.60931) [ 1.95710] -2.683135 (8.03601) [-0.33389] 0.395348 (0.22240) [ 1.77765]
-0.129788 (0.08851) [-1.46645] -0.025394 (0.05067) [-0.50114] 0.041401 (0.02708) [ 1.52895] -0.007678 (0.01529) [-0.50215] 0.827438 (0.07978) [ 10.3715] 2.778007 (1.05219) [ 2.64022] -0.010361 (0.02912) [-0.35579]
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Lanjutan Tabel 4.11 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.893239 0.880428 0.061992 0.035211 69.72260 113.5988 -3.740308 -3.489407 9.340961 0.101828
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion Sumber : Data diolah dengan Eviews
0.943614 0.936848 0.206311 0.064236 139.4583 79.33097 -2.537929 -2.287028 9.762703 0.255613
0.975203 0.972227 0.237640 0.068940 327.7250 75.30198 -2.396561 -2.145659 7.262560 0.413679
0.868163 0.852342 1.123726 0.149915 54.87600 31.02295 -0.842911 -0.592010 2.150590 0.390137
0.758949 0.730023 0.019265 0.019629 26.23749 146.9074 -4.909032 -4.658131 9.133340 0.037778
2.90389 1.50819 502.6230 -16.40782 -15.15332
Dari hasil peramalan KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG ditunjukkan pada Lampiran 8, di mana data periode dari tahun 2004:1 sampai tahun 2008:10. Model VAR dari KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG masing-masing adalah: Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.11 dengan menggunakan dasar lag = 1 terlihat bahwa adanya hubungan antara KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG dengan lag 1, hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan mengamati t-statistik dari masingmasing koefisien, hubungan timbal balik antara variabel KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG secara statistik signifikan. 1. Variabel KURS. Kontribusi yang paling besar dan positif terhadap kurs adalah kurs t-1 sebesar 10,37 kemudian disusul oleh IHSG t-1 sebesar 1,53. Sedangkan Hang Seng, Dow Jones dan Inflasi memiliki kontribusi yang rendah terhadap kurs.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
2. Variabel Inflasi (INF) Kontribusi yang paling besar dan positif terhadap inflasi adalah inflasi t-1 sebesar 5,54 kemudian disusul oleh kurs t-1 1,96, indeks Dow Jones dan indeks Hang Seng memiliki kontribusi yang rendah terhadap inflasi. 3. Variabel Indeks Dow Jones (DJ) Kontribusi yang paling besar dan positif terhadap indeks Dow Jones adalah Dow Jones t-1 sebesar 6,85 kemudian disusul oleh SBI sebesar 1,37. Sedangkan IHSG, indeks Hang Seng, kurs dan inflasi memiliki kontribusi yang rendah terhadap indeks Dow Jones. 4. Variabel Indeks Hang Seng (HS) Kontribusi yang paling besar dan positif terhadap indeks Hang Seng adalah indeks Hang Seng t-1 sebesar 3,68 kemudian disusul oleh Dow Jones t-1 sebesar 3,18. Sedangkan inflasi, kurs dan Dow Jones memiliki kontribusi yang rendah terhadap indeks Hang Seng. 5. Variabel Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Kontribusi yang paling besar dan positif terhadap IHSG adalah IHSG 1 tahun sebelumnya sebesar 7,26 kemudian disusul oleh indeks Dow Jones t-1 sebesar 3,19. Sedangkan inflasi, kurs dan indeks Hang Seng memiliki kontribusi yang rendah terhadap IHSG. Berdasarkan hasil analisa Vector Autoregression diketahui bahwa variabel sebelumnya juga mempengaruhi. Di mana dapat ditunjukkan pada Lampiran 8 bahwa variabel masa lalu (t-1) berpengaruh signifikan terhadap dirinya sendiri Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
dan variabel lain. Dari hasil estimasi tersebut di atas beserta uraiannya ternyata hubungan timbal balik antara variabel Kurs, SBI, Inflasi, Dow Jones, Hang Seng dan IHSG menjadi semakin jelas dan dengan demikian hipotesa adanya hubungan timbal balik antara Kurs, SBI, Inflasi, Dow Jones, Hang Seng dan IHSG sebagai variabel yang diamati dalam penelitian ini terbukti. Model VAR sesuai dengan ekspetasi perekonomian Indonesia di masa mendatang, hal tersebut dapat ditunjukkan pada trend beberapa variabel yang berfluktuasi. Berdasarkan hasil penjelasan Vector Autoregression kemudian didukung dengan gambar stabilitas berikut:
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.7. Stabilitas Struktur Model
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Berdasarkan Gambar 4.7 diketahui bahwa spesifikasi model yang terbentuk dengan menggunakan Roots of Characteristic Polynomial dan Inverse Roots of AR
Characteristic Polynomial diperoleh hasil stabil, hal ini dapat ditunjukkan bahwa semua unit roots berada dalam lingkaran gambar Inverse Roots of AR Characteristic
Polynomial. Ini disimpukan bahwa spesifikasi model penelitian menjadi stabil.
4.6.
Impulse Response Function (IRF)
Impulse response function ini digunakan untuk melihat pengaruh perubahan dari satu variabel pada variabel itu sendiri atau variabel lainnya. Estimasi yang dilakukan untuk IRF ini dititikberatkan pada respon suatu variabel pada perubahan satu standar deviasi dari variabel itu sendiri maupun dari variabel lainnya yang terdapat dalam model. 4.6.1. Response Function KURS Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.12 dan Gambar 4.8 diperoleh hasil bahwa satu standar deviasi dari kurs sebesar 0,015 dapat membawa pengaruh standar deviasi inflasi sebesar 0,002 di bawah rata-rata, kemudian membawa pengaruh terhadap IHSG sebesar 0,008 di bawah rata-rata, indeks Hang Seng dan Dow Jones masing-masing sebesar 0,003 di bawah rata-rata dan 0,009 di bawah rata-rata. Kemudian pada periode kedua responnya masih sama dengan periode pertama hanya kurs itu sendiri yang terpengaruh sedangkan periode ke 12 masih tetap pada periode jangka pendek (1 tahun) yang terakhir terjadi perubahan
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
respon kurs di mana pengaruhnya bertambah dari kurs, inflasi dan kemudian indeks Hang Seng yang positif di atas rata-rata. Dalam periode 60 (jangka menengah 5 tahun) terjadi perubahan respon satu standar deviasi dari kurs sebesar sebesar 0,001 di bawah rata-rata akan membawa pengaruh inflasi yang sebelumnya positif menjadi negatif pada jangka menengah sebesar 0,01 di bawah rata-rata dan diikuti oleh indeks Hang Seng sebesar 0,02 di bawah rata-rata. Indeks Dow Jones yang sebelumnya positif menjadi negatif sebesar 0,02 di atas rata-rata. Tabel 4.12. Impulse Response Function KURS
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LOG(DJ)
Response of LOG(KURS): LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
-0.009096 -0.002611 (0.00259) (0.00242) -0.012194 -0.000705 (0.00450) (0.00391) -0.006439 0.000400 (0.00588) (0.00484) -0.004537 0.003220 (0.00628) (0.00500) -0.006375 0.000651 (0.00551) (0.00471) -0.006924 0.000493 (0.00505) (0.00458) -0.008091 -0.000255 (0.00569) (0.00450) -0.007128 0.001764 (0.00661) (0.00433) -0.008745 0.004632 (0.00740) (0.00434) -0.011215 0.006121 (0.00815) (0.00497)
-0.008400 (0.00227) -0.008523 (0.00423) -0.001234 (0.00559) -0.000833 (0.00577) 0.001874 (0.00468) 0.001878 (0.00410) 0.000285 (0.00369) -0.000992 (0.00369) -0.000841 (0.00375) -0.001121 (0.00415)
-0.002491 (0.00211) -0.001885 (0.00380) -0.004364 (0.00480) -0.005082 (0.00463) -0.005551 (0.00436) -0.005191 (0.00417) -0.000797 (0.00390) 0.003097 (0.00368) 0.005004 (0.00387) 0.005793 (0.00432)
0.015395 (0.00148) 0.010822 (0.00344) 0.005782 (0.00429) 0.004577 (0.00417) 0.001013 (0.00356) 0.000816 (0.00344) 0.001385 (0.00344) 9.80E-05 (0.00315) 5.65E-05 (0.00288) 0.000827 (0.00292)
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Lanjutan Tabel 4.12 11
-0.012415 0.006802 -0.001964 0.005683 0.001224 (0.00916) (0.00585) (0.00460) (0.00497) (0.00330) 12 -0.012109 0.007583 -0.002195 0.005008 0.001417 (0.01048) (0.00661) (0.00509) (0.00544) (0.00371) 60 0.023211 -0.019645 0.002382 -0.011104 -0.001527 (0.06236) (0.04575) (0.02512) (0.02637) (0.02137) 120 -0.028925 0.039239 0.007306 0.021064 0.015057 (0.47807) (0.36868) (0.07873) (0.21096) (0.06584) Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS) Standard Errors: Analytic Keterangan * Jangka Pendek ** Jangka Menengah *** Jangka Panjang
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Dalam jangka panjang (120 bulan) satu standar deviasi dari kurs sebesar 0,015 membawa efek terhadap inflasi 0,02, terhadap IHSG 0,007, Hang Seng 0,039 di atas rata-rata sedangkan indeks Dow Jones sebesar 0,029 di bawah rata-rata.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.8. Respon Variabel Kurs pada Perubahan Variabel Lain Pada Gambar 4.8 diketahui bahwa respon kenaikan satu standar deviasi dari kurs dapat direspon oleh DJ, HS, IHSG dan INFL dalam jangka periode sampai pada periode 10 kemudian periode berikut sampai pada jangka menengah sedangkan jangka panjang kurs terus meningkat. Inflasi, IHSG dan indeks Hang Seng juga mengalami hal yang sama. Efek standar deviasi dari kurs juga sama direspon oleh IHSG pada periode 1 meningkat kemudian menurun pada jangka menengah dan kembali meningkat pada jangka panjang. Indeks Dow Jones pada periode awal
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
meningkat kemudian menurun dan meningkat kembali sampai ke jangka menengah sedangkan jangka panjang mengalami penurunan kemudian meningkat kembali. 4.6.2. Response Function Inflasi Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.13 diperoleh hasil bahwa satu standar deviasi dari inflasi pada periode pertama, pada periode kedua satu standar deviasi dari inflasi sebesar 0,00049 di bawah rata-rata akan berpengaruh terhadap kurs sebesar 0,00032 di bawah rata-rata, IHSG sebesar 0,0061 di atas ratarata, Hang Seng sebesar 0,0046 di bawah rata-rata, dan indeks Dow Jones sebesar 0,034 di atas rata-rata. Pada periode jangka menengah terjadi perubahan di mana satu standar deviasi dari inflasi sebesar 0,052 membawa pengaruh dari kurs sebesar 0,0056 di atas ratarata, kemudian IHSG sebesar 0,0123 di bawah rata-rata, indeks Dow Jones sebesar 0,093 di atas rata-rata dan indeks Dow Jones sebesar 0,112 di bawah rata-rata. Dalam periode jangka panjang terjadi perubahan dari periode seblumnya untuk semua variabel dari menurun menjadi meningkat dan dari meningkat menjadi menurun. Di mana satu standar deviasi dari inflasi sebesar 0,106 membawah efek terhadap kurs sebesar 0,072 di bawah rata-rata, IHSG sebesar 0,0323 di bawah rata-rata, indeks Hang Seng sebesar 0,197 di bawah rata-rata dan indeks Dow Jones sebesar 0,151 di atas rata-rata.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Tabel 4.13. Impulse Response Function Inflasi
Period
LOG(DJ)
Response of LOG(INF): LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
1
0.031550 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 (0.00304) (0.00000) (0.00000) (0.00000) (0.00000) 2 0.034035 0.004618 0.006109 -0.000492 -0.000320 (0.00704) (0.00546) (0.00611) (0.00549) (0.00516) 3 0.027955 -0.001305 0.017056 -0.007071 0.001956 (0.01059) (0.00858) (0.00973) (0.00820) (0.00738) 4 0.025158 -0.007666 0.010166 -0.008457 0.006546 (0.01281) (0.01029) (0.01188) (0.00943) (0.00844) 5 0.034678 -0.016429 0.004365 -0.004364 0.005921 (0.01327) (0.01101) (0.01146) (0.01002) (0.00848) 6 0.044259 -0.015921 0.006016 -0.005106 0.004613 (0.01478) (0.01232) (0.01208) (0.01126) (0.00951) 7 0.042818 -0.019029 0.012963 -0.010347 0.004290 (0.01902) (0.01435) (0.01411) (0.01262) (0.01116) 8 0.042807 -0.024965 0.013127 -0.015735 0.003731 (0.02392) (0.01588) (0.01642) (0.01360) (0.01260) 9 0.047302 -0.031388 0.009405 -0.018451 0.002950 (0.02829) (0.01749) (0.01840) (0.01491) (0.01369) 10 0.053537 -0.034944 0.008122 -0.020309 0.001616 (0.03275) (0.01966) (0.02012) (0.01686) (0.01489) 11 0.055774 -0.037488 0.010101 -0.022560 0.000337 (0.03857) (0.02231) (0.02212) (0.01899) (0.01641) 12 0.056293 -0.041017 0.010602 -0.024582 -0.000663 (0.04531) (0.02502) (0.02416) (0.02108) (0.01795) 60** -0.112150 0.092950 -0.012881 0.052684 0.005626 (0.30601) (0.22778) (0.12504) (0.13038) (0.10906) 120*** 0.150923 -0.197146 -0.032835 -0.106186 -0.071794 (2.34424) (1.79367) (0.39728) (1.02787) (0.32241) Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS) Standard Errors: Analytic Keterangan * Jangka Pendek ** Jangka Menengah *** Jangka Panjang
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Pada Gambar 4.9 diketahui bahwa respon kenaikan satu standar deviasi inflasi pada periode pertama akan menurunkan membawa efek terhadap kurs, indeks Dow
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Jones, kurs dan IHSG sedangkan SBI dan indeks Hang Seng mengalami di atas ratarata atau meningkat. Kemudian pada periode berikutnya inflasi terus menurun sampai periode 10. SBI menurun pada periode 5 dan seterusnya, indeks Hang Seng mengalami penurunan pada periode 2 dan seterusnya, kurs periode 3 dan seterusnya mengalami peningkatan dan hal yang sama terjadi pada IHSG, indeks Dow Jones.
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.9. Respon Variabel Inflasi pada Perubahan Variabel Lain 4.6.3. Response Function Indeks Dow Jones Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.14 diperoleh hasil bahwa satu standar deviasi dari indeks Dow Jones, pada periode 1 sampai ke 2 tidak membawa efek apapun terhadap variabel kurs, inflasi, IHSG dan indeks Hang Seng
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
dengan nilai standar deviasi sebesar 0,0000 sedangkan untuk indeks Dow Jones sendiri mengalami peningkatan sebesar 0.03 di atas rata-rata. Kemudian pada akhir jangka pendek (periode 12) terjadi perubahan, di mana respon standar deviasi indeks Dow Jones akan menurunkan kurs sebesar 0,0007 di bawah rata-rata kemudian inflasi juga menurun sebesar 0,02 di bawah rata-rata dan indeks Hang Seng juga menurun sebesar 0,04 di bawah rata-rata, sedangkan yang mengalami peningkatan adalah IHSG dan indeks Dow Jones itu sendiri yang masingmasing sebesar 0,01 dan 0,06 di atas rata-rata. Periode jangka menengah terjadi perubahan semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat. Kurs yang semula menurun menjadi meningkat sebesar 0,006 di atas rata-rata, inflasi meningkat yang sebelumnya menurun sebesar 0,05, IHSG yang semula meningkat menjadi menurun sebesar 0,02, indeks Hang Seng yang sebelumnya negatif menjadi positif sebesar 0,09 dan indeks Dow Jones dari meningkat menjadi menurun sebesar 0,11. Periode jangka panjang terjadi perubahan hampir semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat kecuali IHSG yang terus menurun. Kurs yang semula meningkat menjadi menurun sebesar 0,07 di bawah rata-rata, inflasi menurun yang sebelumnya meningkat sebesar 0,11, IHSG tetap menurun sebesar 0,03 di bawah rata-rata, indeks Hang Seng yang sebelumnya meningkat menjadi menurun sebesar 0,19 dan indeks Dow Jones dari menurun menjadi meningkat sebesar 0,15.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Tabel 4.14. Impulse Response Function Dow Jones (DJ)
Period
LOG(DJ)
Response of LOG(DJ): LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
1*
0.031550 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 (0.00304) (0.00000) (0.00000) (0.00000) (0.00000) 2 0.034035 0.004618 0.006109 -0.000492 -0.000320 (0.00704) (0.00546) (0.00611) (0.00549) (0.00516) 3 0.027955 -0.001305 0.017056 -0.007071 0.001956 (0.01059) (0.00858) (0.00973) (0.00820) (0.00738) 4 0.025158 -0.007666 0.010166 -0.008457 0.006546 (0.01281) (0.01029) (0.01188) (0.00943) (0.00844) 5 0.034678 -0.016429 0.004365 -0.004364 0.005921 (0.01327) (0.01101) (0.01146) (0.01002) (0.00848) 6 0.044259 -0.015921 0.006016 -0.005106 0.004613 (0.01478) (0.01232) (0.01208) (0.01126) (0.00951) 7 0.042818 -0.019029 0.012963 -0.010347 0.004290 (0.01902) (0.01435) (0.01411) (0.01262) (0.01116) 8 0.042807 -0.024965 0.013127 -0.015735 0.003731 (0.02392) (0.01588) (0.01642) (0.01360) (0.01260) 9 0.047302 -0.031388 0.009405 -0.018451 0.002950 (0.02829) (0.01749) (0.01840) (0.01491) (0.01369) 10 0.053537 -0.034944 0.008122 -0.020309 0.001616 (0.03275) (0.01966) (0.02012) (0.01686) (0.01489) 11 0.055774 -0.037488 0.010101 -0.022560 0.000337 (0.03857) (0.02231) (0.02212) (0.01899) (0.01641) 12 0.056293 -0.041017 0.010602 -0.024582 -0.000663 (0.04531) (0.02502) (0.02416) (0.02108) (0.01795) 60** -0.112150 0.092950 -0.012881 0.052684 0.005626 (0.30601) (0.22778) (0.12504) (0.13038) (0.10906) 120*** 0.150923 -0.197146 -0.032835 -0.106186 -0.071794 (2.34424) (1.79367) (0.39728) (1.02787) (0.32241) Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS) Standard Errors: Analytic Keterangan * Jangka Pendek ** Jangka Menengah *** Jangka Panjang
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.10. Respon Variabel Dow Jones pada Perubahan Variabel Lain Pada Gambar 4.10 diketahui bahwa respon kenaikan satu standar deviasi indeks Dow Jones pada periode pertama akan menurunkan hampir semua variabel. Semua variabel mencapai stabilitas pada periode 40 dan periode 80 atau dalam jangka menengah. Goncangan pola pergerakan dari respon indeks Dow Jones akan mengakibatkan variabel lainnya mengalami fluktuasi dan selalu mencapai titik stabil.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.6.4. Response Function Indeks Hang Seng Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.15 diperoleh hasil bahwa satu standar deviasi dari indeks Hang Seng, pada periode 1 tidak membawa efek apapun terhadap variabel kurs, inflasi, IHSG dan indeks Hang Seng dengan nilai standar deviasi sebesar 0,0000 sedangkan untuk indeks Dow Jones sendiri mengalami peningkatan sebesar 0.5 di atas rata-rata. Kemudian pada akhir jangka pendek (periode 12) terjadi perubahan, di mana respon standar deviasi kurs meningkat sebesar 0,004 di atas rata-rata, kemudian inflasi juga menurun sebesar 0,04 di bawah rata-rata dan indeks Hang Seng juga meningkatkan IHSG sebesar 0,025 di atas ratarata, sedangkan indeks Hang Seng mengalami penurunan sebesar 0,08 di atas ratarata dan indeks Dow Jones meningkat 0,12 di atas rata-rata. Periode jangka menengah terjadi perubahan hampir semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat kecuali kurs. Inflasi meningkat yang sebelumnya menurun sebesar 0,11 di atas rata-rata, IHSG yang semula meningkat menjadi menurun sebesar 0,03 di bawah rata-rata, indeks Hang Seng yang sebelumnya negatif menjadi positif sebesar 0,19 di atas rata-rata dan indeks Dow Jones dari meningkat menjadi menurun sebesar 0,24. Periode jangka panjang terjadi perubahan hampir semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat kecuali IHSG yang terus menurun. Kurs yang semula meningkat menjadi menurun sebesar 0,15 di bawah rata-rata, inflasi menurun yang sebelumnya meningkat sebesar 0,26, IHSG tetap menurun sebesar 0,05 di bawah rata-rata, indeks
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Hang Seng yang sebelumnya meningkat menjadi menurun sebesar 0,47 dan indeks Dow Jones dari menurun menjadi meningkat sebesar 0,39 di atas rata-rata. Tabel 4.15. Impulse Response Function Hang Seng
Period
LOG(DJ)
Response of LOG(HS): LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
1
0.047613 0.041998 0.000000 0.000000 0.000000 (0.00732) (0.00404) (0.00000) (0.00000) (0.00000) 2 0.038980 0.034679 0.008265 0.002741 0.002736 (0.01380) (0.01139) (0.01227) (0.01106) (0.01038) 3 0.046008 0.021665 0.014549 0.003628 0.010126 (0.01845) (0.01466) (0.01675) (0.01432) (0.01288) 4 0.043788 0.001776 0.017959 0.004780 0.023012 (0.02182) (0.01752) (0.02021) (0.01601) (0.01431) 5 0.062689 -0.013969 0.018446 0.001560 0.019789 (0.02217) (0.01875) (0.01903) (0.01692) (0.01419) 6 0.078302 -0.019462 0.023939 -0.006006 0.014631 (0.02573) (0.02133) (0.02135) (0.01935) (0.01646) 7 0.083415 -0.027455 0.030077 -0.017914 0.013255 (0.03291) (0.02560) (0.02547) (0.02253) (0.01992) 8 0.085598 -0.039570 0.028766 -0.029048 0.011705 (0.04097) (0.02932) (0.03020) (0.02573) (0.02292) 9 0.094817 -0.053446 0.024758 -0.034464 0.010819 (0.04859) (0.03325) (0.03408) (0.02906) (0.02544) 10 0.106440 -0.062434 0.022565 -0.036492 0.009560 (0.05669) (0.03804) (0.03769) (0.03304) (0.02843) 11 0.113472 -0.069595 0.024784 -0.039835 0.006557 (0.06697) (0.04348) (0.04193) (0.03710) (0.03188) 12 0.117337 -0.076952 0.025324 -0.044271 0.004307 (0.07905) (0.04882) (0.04652) (0.04076) (0.03524) 60** -0.240442 0.186461 -0.036540 0.106675 0.000638 (0.60000) (0.53378) (0.26212) (0.29434) (0.25466) 120*** 0.396253 -0.471829 -0.054335 -0.256373 -0.147694 (4.89631) (3.58054) (0.95532) (2.06847) (0.69287) Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS) Standard Errors: Analytic Keterangan * Jangka Pendek ** Jangka Menengah *** Jangka Panjang
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.11. Respon Variabel Hang Seng pada Perubahan Variabel Lain Pada Gambar 4.11 diketahui bahwa respon kenaikan satu standar deviasi indeks Hang Seng pada periode pertama akan menurunkan indeks Hang Seng sendiri, IHSG, inflasi, kurs dan SBI sedangkan indeks Dow Jones mengalami peningkatan. Semua variabel mencapai stabilitas pada periode 40 dan periode 80 atau dalam jangka menengah. Goncangan pola pergerakan dari respon indeks Hang Seng akan mengakibatkan variabel lainnya mengalami fluktuasi dan selalu mencapai titik stabil.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.6.5. Response Function IHSG Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 4.16 diperoleh hasil bahwa satu standar deviasi dari IHSG, pada periode 1 tidak membawa efek apapun terhadap variabel kurs dan inflasi sedangkan IHSG dan indeks Hang Seng meningkat dengan nilai standar deviasi sebesar 0,05 dan 0,01 di atas rata-rata sedangkan untuk indeks Dow Jones mengalami peningkatan sebesar 0.5 di atas rata-rata. Kemudian pada akhir jangka pendek (periode 12) terjadi perubahan, di mana respon standar deviasi kurs meningkat sebesar 0,01 di atas rata-rata, kemudian inflasi juga menurun sebesar 0,06 di bawah rata-rata, IHSG meningkat 0,04 di atas rata-rata dan indeks Hang Seng menurun sebesar 0,10 di atas rata-rata, sedangkan indeks Hang Seng mengalami penurunan sebesar 0,10 di atas rata-rata dan indeks Dow Jones meningkat 0,16 di atas rata-rata. Periode jangka menengah terjadi perubahan semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat. Kurs dari meningkat menjadi menurun sebesar 0,007, Inflasi meningkat sebesar 0,14 di atas rata-rata, IHSG yang semula meningkat menjadi menurun sebesar 0,06 di bawah rata-rata, indeks Hang Seng yang sebelumnya negatif menjadi positif sebesar 0,25 di atas rata-rata dan indeks Dow Jones menjadi menurun sebesar 0,33 di bawah rata-rata. Periode jangka panjang terjadi perubahan hampir semua variabel dari meningkat menjadi menurun dan dari menurun menjadi meningkat kecuali kurs dan IHSG yang terus menurun. Kurs menurun sebesar 0,20 di bawah rata-rata, inflasi menurun yang sebelumnya meningkat sebesar 0,37, IHSG tetap menurun sebesar 0,06 di bawah rata-rata, indeks
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Hang Seng yang sebelumnya meningkat menjadi menurun sebesar 0,69 dan indeks Dow Jones dari menurun menjadi meningkat sebesar 0,59 di atas rata-rata. Tabel 4.16. Impulse Response Function IHSG
Period
LOG(DJ)
Response of LOG(IHSG) : LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL)
LOG(KURS)
1
0.052387 0.010949 0.047815 0.000000 0.000000 (0.00836) (0.00659) (0.00460) (0.00000) (0.00000) 2 0.063486 0.013887 0.039423 -0.006111 0.009890 (0.01635) (0.01351) (0.01442) (0.01258) (0.01177) 3 0.070101 0.008584 0.031651 0.001445 0.007761 (0.02364) (0.01885) (0.02154) (0.01828) (0.01650) 4 0.068725 0.007166 0.027963 0.006557 0.024974 (0.02934) (0.02347) (0.02714) (0.02141) (0.01910) 5 0.069796 -0.006689 0.022161 0.007841 0.033757 (0.03082) (0.02635) (0.02763) (0.02397) (0.02020) 6 0.089551 -0.020686 0.024056 0.002096 0.030509 (0.03357) (0.02823) (0.02767) (0.02566) (0.02147) 7 0.106762 -0.031362 0.032937 -0.012731 0.030222 (0.04166) (0.03180) (0.03058) (0.02794) (0.02451) 8 0.115859 -0.046227 0.040767 -0.033138 0.026356 (0.05349) (0.03661) (0.03671) (0.03152) (0.02877) 9 0.127062 -0.063794 0.042439 -0.050099 0.021275 (0.06644) (0.04201) (0.04435) (0.03603) (0.03293) 10 0.141533 -0.079750 0.039014 -0.057669 0.018574 (0.07932) (0.04856) (0.05136) (0.04185) (0.03726) 11 0.154642 -0.092495 0.037011 -0.060071 0.014506 (0.09339) (0.05613) (0.05751) (0.04880) (0.04197) 12 0.163459 -0.103250 0.037300 -0.061863 0.010646 (0.10967) (0.06421) (0.06332) (0.05562) (0.04687) 60 -0.333829 0.250293 -0.056712 0.143902 -0.006769 (0.82929) (0.77781) (0.36456) (0.42466) (0.36845) 120 0.598863 -0.688030 -0.064675 -0.375192 -0.200884 (6.78007) (4.87601) (1.39559) (2.82547) (0.99314) Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS) Standard Errors: Analytic Keterangan * Jangka Pendek ** Jangka Menengah *** Jangka Panjang
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Sumber: Data diolah dengan Eviews Gambar 4.12. Respon Variabel IHSG pada Perubahan Variabel Lain Pada Gambar 4.12 diketahui bahwa respon kenaikan satu standar deviasi IHSG pada periode pertama akan menurunkan indeks IHSG itu sendiri, kurs dan inflasi sedangkan indeks Dow Jones mengalami peningkatan. Semua variabel mencapai stabilitas pada periode 40 dan periode 80 atau dalam jangka menengah. Goncangan pola pergerakan dari respon IHSG akan mengakibatkan variabel lainnya mengalami fluktuasi dan selalu mencapai titik stabil.
4.7.
Variance Decomposition
Variance decomposition bertujuan untuk mengukur perkiraan varians error suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan sebelum dan sesudah shocks, baik
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
yang berasal dari variabel sendiri maupun dari variabel lain. Dengan menggunakan metode variance decomposition dalam Eviews diperoleh hasil sebagai berikut: 4.7.1. Variance Decomposition KURS Dari Tabel 4.17 ditunjukkan bahwa KURS pada periode 1, perkiraan error variance seluruhnya (58,76%) dijelaskan oleh KURS itu sendiri. Namun pada periode 2, perkiraan error variance kurs mempengaruhi kurs itu sendiri sebesar 47,48%, diikuti oleh indeks Dow Jones 31,03%, IHSG 19,20%, Inflasi 1,30%, Hang Seng 0,98%. Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi kurs adalah indeks Dow Jones yaitu 49,95% pada periode 12. Tabel 4.17. Varian Decomposition Kurs Variance Decomposition of LOG(KURS): LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Period
S.E.
1
0.020083
20.51371
1.690720
17.49422
1.538986
58.76236
2
0.027310
31.03072
0.980953
19.19950
1.308723
47.48011
3
0.029008
32.43226
0.888542
17.19859
3.422983
46.05763
4
0.030329
31.90494
1.939933
15.80779
5.938521
44.40882
5
0.031564
33.53694
1.833736
14.94800
8.575600
41.10572
6
0.032796
35.52066
1.721092
14.17350
10.44842
38.13632
7
0.033820
39.12690
1.624218
13.33598
9.881343
36.03156
8
0.034760
41.24342
1.794930
12.70549
10.14745
34.10872
9
0.036496
43.15551
3.239364
11.57878
11.08479
30.94155
10
0.039124
45.76973
5.266373
10.15741
11.83780
26.96869
11
0.042056
48.32389
7.173274
9.008382
12.07063
23.42383
12
0.044775
49.94842
9.196771
8.188060
11.90061
20.76615
60
0.135998
47.64233
32.24163
3.567409
10.83389
5.714735
120
0.358403
43.67512
38.73537
1.925158
12.01247
3.651891
Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.7.2. Variance Decomposition Inflasi Berdasarkan Tabel 4.18 ditunjukkan bahwa inflasi pada periode 1, perkiraan
error variance seluruhnya (91,74%) dijelaskan oleh inflasi itu sendiri. Namun pada periode 2, perkiraan error variance inflasi mempengaruhi inflasi itu sendiri sebesar 87,16%, diikuti oleh Indeks Dow Jones sebesar 6,98%, Hang Seng 3,26%, IHSG 2,53% dan kurs 0,06%. Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi inflasi adalah indeks Dow Jones yaitu 44,96% pada periode 60. Jadi indeks Dow Jones merupakan variabel yang paling mempengaruhi error variance terhadap inflasi di Indonesia. Tabel 4.18. Varian Decomposition Inflasi Variance Decomposition of LOG(INFL): LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Period
S.E.
1
0.156230
4.527333
0.001211
3.727353
91.74410
0.000000
2
0.207780
6.984803
3.262106
2.529592
87.16116
0.062338
3
0.237376
19.12237
6.418408
3.093588
70.81609
0.549552
4
0.252617
24.99657
6.403772
3.456897
64.58062
0.562144
5
0.263084
27.91354
7.774855
3.710658
59.73434
0.866605
6
0.273076
30.16982
9.273138
3.447167
56.19788
0.911996
7
0.282673
31.44005
11.62206
3.223392
52.81492
0.899575
8
0.293396
33.33087
13.60439
3.065217
49.16267
0.836855
9
0.306185
34.69020
15.53226
2.994149
46.00965
0.773742
10
0.322100
35.64269
17.14687
2.794599
43.68811
0.727732
11
0.340294
36.26378
18.43832
2.555578
41.98184
0.760488
12
0.357504
37.02024
19.83566
2.339004
40.05377
0.751331
60
0.844330
44.96073
33.55544
2.347644
16.41960
2.716587
120
1.971675
41.23899
39.59000
2.044822
13.13791
3.988281
Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.7.3. Variance Decomposition Indeks Dow Jones Dari Tabel 4.20 ditunjukkan bahwa indeks Dow Jones pada periode 1, perkiraan error variance seluruhnya (100%) dijelaskan oleh indeks Dow Jones itu sendiri sedangkan variabel lain tidak terpengaruh. Namun pada periode 2, perkiraan
error variance indeks Dow Jones mempengaruhi indeks Dow Jones itu sendiri sebesar 97,33%, diikuti oleh IHSG 1,69%, kemudian indeks Hang Seng sebesar 0,96%, inflasi dan kurs pada urutan berikutnya. Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi indeks Dow Jones adalah indeks Hang Seng sampai pada periode jangka panjang pada periode 120 yaitu sebesar 38,84%. Tabel 4.19. Varian Decomposition Indeks Dow Jones Variance Decomposition of LOG(DJ): LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Period
S.E.
1
0.031550
100.0000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
2
0.047041
97.33395
0.963876
1.686580
0.010948
0.004642
3
0.057799
87.86420
0.689443
9.824916
1.503867
0.117576
4
0.065193
83.95589
1.924544
10.15411
2.864811
1.100642
5
0.076130
82.31509
6.068388
7.774964
2.429460
1.412094
6
0.089954
83.16781
7.479256
6.016123
2.062358
1.274455
7
0.102863
80.93104
9.142169
6.189095
2.589140
1.148557
8
0.116061
77.17398
11.80791
6.140666
3.871896
1.005544
9
0.130883
73.74564
15.03607
5.344944
5.031865
0.841477
10
0.147305
71.42886
17.49777
4.523655
5.873368
0.676346
11
0.163786
69.37278
19.39223
4.039399
6.648089
0.547502
12
0.179985
67.23030
21.25221
3.692034
7.370717
0.454746
60
0.648425
48.44027
34.17290
3.117247
10.67856
3.591013
120
1.740617
44.10818
38.84253
1.842980
11.95652
3.249786
Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.7.4. Variance Decomposition Indeks Hang Seng Dari Tabel 4.20 ditunjukkan bahwa indeks Hang Seng pada periode 1, perkiraan error variance seluruhnya (56,24%) dijelaskan oleh indeks Dow Jones kemudian disusul oleh indeks Hang Seng itu sendiri sebesar 43,76% sedangkan variabel lainnya tidak terpengaruh. Pada periode 2 seluruh variabel terpengaruh. Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi indeks Hang Seng pada jangka pendek pada periode 7 adalah indeks Dow Jones sebesar 73,38%. Jadi indeks Hang Seng dan indeks Dow Jones selalu mempengaruhi secara cepat akibat pasar keuangan global yang saling terintegrasi satu sama lain. Tabel 4.20. Varian Decomposition Indeks Hang Seng Variance Decomposition of LOG(HS): LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Period
S.E.
1
0.063489
56.24113
43.75887
0.000000
0.000000
0.000000
2
0.082681
55.38765
43.39367
0.999269
0.109919
0.109490
3
0.098740
60.54693
35.24065
2.871866
0.212043
1.128516
4
0.112005
62.33909
27.41289
4.802892
0.346951
5.098178
5
0.131926
67.51379
20.88042
5.416819
0.264067
5.924900
6
0.157282
72.28514
16.22171
6.127639
0.331611
5.033902
7
0.183985
73.38020
14.08136
7.150410
1.190314
4.197723
8
0.211073
72.20085
14.21358
7.290248
2.798358
3.496965
9
0.241487
70.57548
15.75700
6.620608
4.174614
2.872292
10
0.274729
69.54064
17.33918
5.790004
4.989828
2.340354
11
0.308933
68.48574
18.78723
5.222470
5.608700
1.895863
12
0.343145
67.20265
20.25676
4.777628
6.210556
1.552412
60
1.388606
47.62405
34.23616
3.434895
10.60862
4.096277
120
3.844633
44.96771
38.24271
1.889960
11.81683
3.082800
Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Sumber: Data diolah dengan Eviews
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
4.7.5. Variance Decomposition IHSG Dari Tabel 4.21 ditunjukkan bahwa IHSG pada periode 1, perkiraan error variance seluruhnya (53,28%) dijelaskan oleh indeks Dow Jones kemudian disusul oleh IHSG itu sendiri sebesar 44,40 dan indeks Hang Seng sebesar 2,33% sedangkan variabel lainnya tidak terpengaruh. Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi IHSG jangka menengah adalah indeks Dow Jones sebesar 74,75%. Tabel 4.21. Varian Decomposition IHSG
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 60 120
S.E.
Variance Decomposition of LOG(IHSG): LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
0.071768 53.28321 2.327547 44.38924 0.000000 0.000000 0.105182 61.23777 2.826857 34.71377 0.337543 0.884069 0.130825 68.29624 2.257836 28.29213 0.230393 0.923397 0.152769 70.32283 1.875805 24.09851 0.353186 3.349669 0.173051 71.07176 1.611292 20.42072 0.480542 6.415693 0.199769 73.42659 2.281393 16.77367 0.371602 7.146742 0.233345 74.74967 3.478530 14.28625 0.570028 6.915520 0.271044 73.67385 5.486991 12.85076 1.917257 6.071142 0.313756 71.38068 8.228813 11.41965 3.980374 4.990480 0.360593 69.44750 11.12135 9.816345 5.571244 4.043571 0.409495 68.11250 13.72577 8.428724 6.472054 3.260958 0.458690 66.98474 16.00630 7.378951 6.977165 2.652844 1.948061 47.13273 34.17102 3.679624 10.66643 4.350198 5.445227 45.33954 37.92389 1.947818 11.75389 3.034855 Cholesky Ordering: LOG(DJ) LOG(HS) LOG(IHSG) LOG(INFL) LOG(KURS)
Sumber: Data diolah dengan Eviews Berdasarkan penjelasan hasil varian decomposition diketahui bahwa variabel makro ekonomi juga mempengaruhi pergerakan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia, di mana fluktuasi terhadap kondisi makro ekonomi akan menyebabkan volatilitas indeks harga saham, begitu juga dengan pasar saham
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
dunia seperti indeks Dow Jones dan indeks Hang Seng yang juga mempengaruhi pergerakan IHSG sehingga telah terjadi integrasi pasar global yang terjadi pada periode Januari 2004 sampai dengan Oktober 2008. Salah satu indikator keberhasilan ekonomi makro suatu negara adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selain faktor tingkat bunga (interest rate), nilai tukar (exchange rate) dan GNP. Telah terbukti secara empiris bahwa variabel ekonomi makro berpengaruh signifikan terhadap return saham pada emiten yang terdaftar di BEJ (Lestari Murti, 2005). Bila kondisi ekonomi suatu negara baik maka IHSG tentunya juga menunjukkan adanya
trend yang meningkat tetapi jika kondisi ekonomi suatu negara dalam keadaan turun maka akan berpengaruh juga terhadap IHSG tersebut. Dengan adanya revolusi informasi, investor di manapun dapat mengamati IHSG pada waktu yang bersamaan. Ketika kondisi suatu negara dalam keadaan menurun maka IHSG juga akan mengalami penurunan yang berakibat investor akan keluar dari pasar (Anoraga Panji dan Pakarti Piji, 2006). Ekonomi negara yang lebih kuat mempunyai kecenderungan untuk mendominasi negara yang perekonomiannya lebih lemah. Berdasarkan kajian ini maka diperkirakan negara yang kuat selalu menang dalam persaingan, sehingga negara yang lemah akan cenderung mengalami kerugian. Hal ini dapat diartikan juga bahwa ketergantungan negara yang lemah terhadap negara yang kuat akan semakin nyata. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa IHSG adalah salah satu variabel ekonomi makro, sehingga IHSG suatu negara yang kuat akan berpengaruh terhadap IHSG dari negara yang lemah.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara deskriptif perkembangan SBI mengalami fluktuasi, namun kurs mengalami depresiasi pada akhir tahun 2007, inflasi juga mengalami fluktuasi dan cenderung naik pada akhir tahun 2007. Hal lainnya terjadi penurunan untuk Indeks Dow Jones, Indeks Hang Seng dan IHSG pada akhir tahun 2007 sebagai dampak krisis ekonomi global yang terjadi pertengahan tahun 2007 di Amerika Serikat. 2. Hasil estimasi dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR), menunjukkan hasil adanya hubungan antara KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG dengan lag 1, hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan mengamati tstatistik dari masing-masing koefisien, hubungan timbal balik antara variabel KURS, SBI, INF, DJ, HS dan IHSG secara statistik signifikan. Variabel lain selain variabel itu sendiri yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap kurs adalah IHSG t-1. Variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi selain inflasi itu sendiri adalah kurs. Variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap indeks Dow Jones adalah SBI. Variabel yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap Hang Seng adalah indeks Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Dow Jones. Variabel lain yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap IHSG adalah indeks Dow Jones t-1. 3. Berdasarkan hasil Impulse response function diketahui bahwa stabilitas pertama semua variabel berada pada periode ke 40 atau jangka menengah dan stabilitas kedua pada periode 85 atau jangka panjang, hal tersebut menimbulkan makna bahwa walaupun ada variabel yang jangka pendek tidak berpengaruh namun dalam jangka menengah dan jangka panjang akan saling mempengaruhi. 4. Dari hasil variance decomposition, secara keseluruhan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, semua variabel pada periode pertama dipengaruhi oleh error variance variable itu sendiri. Sedangkan dalam jangka panjang terjadi perubahan pengaruh error variance yang semakin menurun terhadap variabel itu sendiri dan digeser oleh variabel lainnya. Perkiraan error
variance variable lain yang paling mempengaruhi kurs adalah indeks Dow Jones periode 12, Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi inflasi adalah indeks Dow Jones pada periode 60, Perkiraan
error variance variable lain yang paling mempengaruhi indeks Dow Jones adalah indeks Hang Seng sampai pada periode jangka panjang pada periode 120, Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi indeks Hang Seng pada jangka pendek pada periode 7 adalah indeks Dow Jones, Perkiraan error variance variable lain yang paling mempengaruhi IHSG pada jangka menengah adalah indeks Dow Jones. Jadi indeks Dow Jones Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
merupakan variabel yang paling kuat mempengaruhi error variance variable dalam penelitian ini. 5. Spesifikasi
model
yang
terbentuk
dengan
menggunakan
Roots
of
Characteristic Polynomial dan Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial diperoleh hasil stabil, hal ini dapat ditunjukkan bahwa hampir semua unit roots berada dalam lingkaran gambar Inverse Roots of AR Characteristic
Polynomial.
5.2.
Saran-Saran 1. Indeks Dow Jones merupakan variabel yang paling mempengaruhi terhadap IHSG dikatakan integrasi pasar telah menyatu secara global, sehingga pemerintah selalu memperhatikan kebijakan terhadap reaksi pasar saham dunia terhadap IHSG sehingga kebijakan nantinya tetap mempertimbangkan perkembangan terkini pasar global, hal tersebut dapat meminimalisasikan terjadinya guncangan pasar global khususnya terhadap indikator ekonomi seperti SBI, kurs dan inflasi. 2. Kurs merupakan variabel yang memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi, sehingga dalam mengendalikan inflasi sebaiknya pemerintah memperhatikan fluktuasi kurs agar inflasi dapat dikendalikan ke posisi yang lebih moderat. 3. IHSG merupakan variabel lain yang paling memiliki kontribusi terbesar terhadap kurs, sebaiknya pengendalian kurs oleh pemerintah dilakukan dengan memperhatikan perkembangan IHSG di bursa.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Ajayi and Mougoue. 1996. On The Dynamic Relation Between Stock Prices and Exchange Rates. The Journal of Financial Research, Vol XIX, No. 2, p. 193207. Aldo Perkasa. 2008. Market View. Danareksa Investement Management. www.danareksaonline.com. Review 17 November 2008. Aulia Pohan. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Cetakan Pertama. PT. Raja Grafindo: Jakarta. Bambang Brodjonegoro. 2008. Meredam Dampak Ekonomi Global. Kliping Universitas Indonesia. November 2008. Boediono. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi 3. BPFE: Yogyakarta. Bodie Zvi, Kane Alex, Marcus Alan. J. 2006. Investments. Buku 1. Edisi 6. Cetakan Pertama. Salemba Empat: Jakarta. Damodar R. Gujarati. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jilid 1. Alih Bahasa Julius Mulyadi. Erlangga: Jakarta. Ferdian, Rully. 2001. Independensi BI dalam Mengendalikan Inflasi. tidak dipublikasikan. FE UII: Yogyakarta. Feld, Stein, Appleyard, Martin dan Horioka. 1998. Domestic Saving and International Capital Flows. Economic Journal. Granger, C., W., J. 1969. Investigating Relation by Economics Models and Cross Spectoral Methods. Econometrica. Vol. 37, No. 3, p. 424-438. Husein Umar. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Rajawali Press: Jakarta. Husnan, Suad. 2002. Dasar-Dasar Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi Tiga. BPFE: Yogyakarta. Imam Ghozali. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi Ketiga. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Jamli, Ahmad. 2001. Dasar-Dasar Keuangan Internasional. Cetakan Keenam. BPFE: Yogyakarta. Jogiyanto H. M. 2000. Teori Portofolio dan Anilisis Investasi. Edisi Kedua. BPFE: Yogyakarta. Keown, Arthur J. 2000. Manajemen Keuangan. Edisi Ketiga. Cetakan Keempat. Penerbit BPFE: Yogyakarta. Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif: Teori Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Pertama. AMP YKPN: Yogyakarta. Kao, G.W and Ma C.K. 2000. On Exchange Rate Changes and Stock Price Reaction. Journal of Business Finance and Accounting, No 17, p. 441-449. Laopodis, Nikiforos P. 2003. International Inteest Rate Linkages: Implications for monetary Policy. Associate Professor of Finance, Volume 29 Nomor 11. Lee, Bong Soo. 2002. Causal Relation, Journal of Finance, 2002, Vol. XLVIII, No. 4 p. 1591-1603. Manurung, Jonni J., Manurung, Adler H., Saragih, Ferdinand D. 2005. Ekonometrika. Cetakan Pertama. Elex Media Computindo: Jakarta. Manurung, Jonni J., Manurung, Adler H. 2009. Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter. Cetakan Pertama. Salemba Empat: Jakarta. Mankiw, Gregory N. 2006. Principles of Economics. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Alih Bahasa Chriswan Sungkono. Salemba Empat: Jakarta. Nachrowi D Nachrowi. 2006. Ekonometrika, untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Cetakan Pertama. Lembaga Penerbit FE UI: Jakarta. Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso. 1998. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Sektor Riil. Bank Indonesia: Jakarta. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Buku II. Edisi ke 1. Cetakan Kesepuluh. BPFE UGM: Yogyakarta. Pandji Anoraga dan Piji Pakarti. 2008. Pasar Modal. Edisi Revisi. Cetakan Ketiga. Rineka Cipta: Jakarta.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Pasaribu, Pananda, Wilson L Tobing, Adler Haymans Manurung. 2008. Pengaruh Variabel Makro Ekonomi terhadap IHSG. Jurnal. Universitas Indonesia. Pramono, Bambang. 2006. Dampak Pembayaran Non Tunai terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Working Paper No. 11. Bank Indonesia: Jakarta. Prapto Yuwono. 2005. Ekonometrika. Cetakan Pertama. Andi: Bandung. Purnama, Mhd Edhi. 2008. Interaksi Antara Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan. Draf Laporan Akhir. PPIPD MEP UGM: Yogyakarta. Ruddy N Sasadara. Jurnal Economic Review. No. 213. September 2008. Dampak Krisis Finansial Global terhadap Sektor Ekonomi dan Perbankan. Majalah InfoBank No 356, Edisi November 2008: 42. Sasana, Hadi. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dan Filipina, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, vol 11, no 2, 207-220. Salvatore, Dominick. 2008. Theory and Problem f Micro Economic Theory, 3rd Edition. Alih Bahasa oleh Rudi Sitompul. Erlangga: Jakarta. Sitinjak, Elyzabeth Lucky Maretha dan Widuri Kurniasari. 2003. Indikatorindikator Pasar Saham dan Pasar Uang yang Saling Berkaitan Ditinjau dari Pasar Saham Sedang Bullish dan Bearish. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen. Vol. 3 No. 3. Sadono Sukirno. 2002. Teori Makro Ekonomi. Cetakan Keempat Belas. Rajawali Press: Jakarta. Sambas Ali Muhidin dan Maman Abdurahman. 2008. Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Cetakan Pertama. CV. Pustaka Setia: Bandung. Samsul, Muhammad. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Cetakan Pertama. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Setyorini, R. 2000. Hubungan Dinamis antara Nilai Tukar Rupiah dengan Harga Saham di Bursa Efek Jakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Suad Husnan. 2000. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas di Pasar Modal. UPP-AMP YKPN: Yogyakarta.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009
Suwandi. 1997. Analisis Hubungan antara Perubahan Harga Saham dengan Suku Bunga dan Nilai Tukar Mata Uang. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Titman and Warga. 1998. Stock Returns as predictors of Interest Rates and Inflation, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 24, No, 1, p. 47-57. Yunus Yuniarta. 2008. Analisis Pengaruh Laju Inflasi, Tingkat Suku Bunga, Jumlah Uang Beredar, Kurs Valas, Volume Rata-Rata Transaksi dan Sibor Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Skripsi. FE UMS: Surakarta. Wahyu Ario Pratomo dan Paidi Hidayat. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam Ekonometrika. Cetakan Pertama. USU Press: Medan. Sumber data pendukung: www.bi.go.id. www.idx.co.id, www.etrading.co.id, www.bei.co.id, www.danareksaonline.com. http://finance.yahoo.com.
Rusiadi : Analisis Pasar Keuangan Global Dan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia, 2009