ENHANCED LANDFILL MINING: KONSEP BARU PENGELOLAAN LANDFILL BERKELANJUTAN Enhanced Landfill Mining: A New Concept of Sustainable Management Landfill Sri Wahyono Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jalan M.H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340 E-mail :
[email protected] Diterima: 30 Maret 2012; Direvisi: 9 April 2012; Disetujui: 18 April 2012 Abstract Enhanced landfill mining (ELFM) is a new concept that integrates recovery of materials and energy in a landfill for sustainability of material and landfill management.The concept integrates a variety of technologies such as excavating, sorting, thermal, transformation and recycling technology. It is also integrated with the non-technical aspects such as regulatory, market, economic, social, and environmental aspects. The concept of ELFM can be an alternative solution for the landfill management problem. Keywords: landfill mining, sustainability Abstrak Enhanced landfill mining (ELFM) adalah konsep baru yang terintegrasi tentang recovery material dan energi pada sebuah landfill yang bermanfaat bagi keberlanjutan pengelolaan material dan pengelolaan landfill. Konsep tersebut mengintegrasikan berbagai teknologi seperti teknologi ekskavasi, teknologi pemilahan, teknologi termal, teknologi transformasi dan daur ulang. Hal tersebut juga terintegrasi dengan aspek non teknis seperti aspek regulasi, market, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep ELFM menjadi alternatif solusi permasalahan pengelolaan landfill. Kata Kunci: landfill mining, berkelanjutan 1. PENDAHULUAN Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) atau landfill merupakan subsitem yang sangat penting dalam pengelolaan sampah kota. Landfill merupakan tempat berakhirnya sampah setelah proses panjang pengelolaannya yang berawal dari subsistem pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pemilahan, daur ulang hingga pembuangannya. Sampah yang tidak tertangani atau terdaur ulang diangkut dan ditimbun di landfill. Dalam pandangan kegiatan pengelolaan sampah, landfill merupakan ujung akhir sistem. Tidak terbayangkan seandainya suatu kota tanpa landfill. Sampah akan menumpuk di manamana mengakibatkan bau busuk, menyebarnya bibit penyakit, kekumuhan, dan sebagainya. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah timbulan sampah dan rentang waktu kehidupan perkotaan, landfill akan semakin penuh dan daya tampungnya
semakin terbatas dan pada akhirnya harus ditutup karena tidak mampu menampung sampah lagi. Seperti umumnya pada saat pengoperasiannya, pada pasca penutupannya juga meninggalkan jejak buruk terhadap lingkungan dan penduduk di sekitarnya misalnya berupa ancaman bahaya longsor tumpukan sampah, ledakan dan kebakaran gas metan, pencemaran air dan tanah, emisi gas rumah kaca, dan sebagainya. Pencemaran air, tanah dan udara pasca penutupan landfill tidak tertahankan karena pada masa-masa yang lalu umumnya teknis landfilling masih menganut sistem open dumping atau sampah hanya ditimbun di lahan terbuka tanpa rekayasa teknis yang memungkinkan pencemaran dicegah. Oleh karena itu, banyak terjadi kasus generasi masa kini yang mewarisi beban pencemaran landfill yang diakibatkan oleh kecerobohan para moyangnya dalam mengelola sampah.
Enhanced Landfill Mining (Sri Wahyono)
239
Di sisi lain, pasca penutupan landfill, penduduk perkotaan memerlukan lokasi landfill yang baru untuk membuang padatan sisa peradabannya. Saat ini, untuk menemukan lokasi landfill yang sesuai dengan kriteria teknis dan terhindar dari restriksi masyarakat bukanlah hal yang mudah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan cara menggunakan kembali landfill yang telah habis masa pakainya. Upaya penggunaan kembali (reuse) landfill diawali dengan kegiatan ekstraksi gas dan material landfill atau disebut landfill mining. Landfill mining adalah proses mengekstraksi material atau sumber daya alam berbentuk padat dari material limbah yang sebelumnya dibuang dengan cara ditimbun dalam tanah [1]. Pengertian lainnya, landfillmining adalah ekskavasi dan pemindahan material dari landfill untuk tujuan daur ulang, reuse, dan composting [2]. Hal itu termasuk di dalamnya upaya recovery material dan pemrosesannya serta memanfaatkann lahannya sebagai landfill baru. Landfill mining dimulai tahun 1990-an. Di masa lalu, landfill mining bertujuan terbatas pada rehabilitasi lahan landfill sebagai upaya penanganan pencemaran pasca penutupan landfill [3,4]. Pada dekade ini, selain ditujukan untuk rehabilitasi lahan, landfill mining juga ditujukan untuk ekstraksi gas metan, guna ulang lahan landfill, dan menata ulang material. Saat ini landfill mining diberi pemaknaan baru. Landfill mining bukan dipandang sebagai kegiatan end pipe atau di akhir sistem, tetapi dipandang sebagai kegiatan awal seperti halnya eksplorasi mineral pada bidang pertambangan. Dalam hal ini, landfill mining termasuk dalam kegiatan besar proses recovery material perkotaan atau urban mining. Landfill mining adalah strategi untuk mengembalikan sumberdaya material dan energi dari warisan sampah masa lampau dalam kerangka efisiensi sumber daya (resource efficiency) [11]. Urban mining sendiri merupakan strategi global dalam pengelolaan material yang berkelanjutan (sustainable materials management) [15]. Konsep landfill mining yang holistik telah dikembangkan oleh sebuah konsorsium pakar lintas disiplin ilmu di Flanders (Belgia) sejak tahun 2008. Konsep tersebut disebut Enhanced landfill mining (ELFM) atau secara harafiah diterjemahkan sebagai landfill mining yang diperluas. ELFM didefinisikan sebagai pengkondisian, ekskavasi dan valorisasi yang aman dan terintegrasi terhadap sampah yang ditimbun (dari masa lalu atau masa depan) baik itu dimanfaatkan sebagai material (waste to material, WtM) maupun sebagai energi (waste to energy, WtE) menggunakan teknologi transformasi yang inovatif serta memperhatikan kriteria sosial dan lingkungan yang ketat. 240
Berdasarkan definisi tersebut, landfill bukan lagi dipandang sebagai tempat pembuangan akhir tetapi dipandang atau dijadikan sebagai tempat penampungan sementara (temporary storage) [19]. Konsep landfill sebagai penampungan sementara juga bermanfaat untuk memastikan bahwa material pada akhirnya akan di-reuse atau didaur ulang, bukan langsung dihancurkan dengan cara dibakar atau permanen ditimbun. Di masa depan landfill merupakan lokasi penambangan material yang saat ini belum ekonomis untuk ditambang dengan teknologi saat ini. Konsep tersebut juga memberikan kesadaran kepada pengelola dan operator landfill serta masyarakat bahwa landfill perlu ditambang dikemudian hari. Jadi dalam konsep ELFM, landfill bukan lagi sebagai tempat penimbunan akhir tetapi sebagai tempat penampungan sementara menunggu pengolahannya lebih lanjut. 2. BAHAN DAN METODE 2.1 Input-Output Material dan Energi dalam Sistem ELFM Konsep ELFM mengacu pada hukum termodinamika pertama. Hukum termodinamika pertama, yaitu hukum konservasi energi, menyatakan bahwa jumlah energi dalam alam semesta adalah konstan. Jumlah energi tidak dapat bertambah atau berkurang [8] . Hukum konservasi energi juga berarti konservasi massa atau material. Material dalam sistem tertutup akan tetap konstan sepanjang waktu. Material tidak dapat diciptakan dan dihancurkan, meskipun mungkin berubah dalam ukurannya dan berubah menjadi tipe partikel yang berbeda. Material yang masuk ke dalam suatu sistem tidak dihancurkan melainkan ditransformasikan secara kimiawi menjadi produk lain. Hukum konservasi massa diwujudkan ke dalam prinsip material balance (keseimbangan material) yaitu keseimbangan antara material yang masuk (input) dan keluar (output) dari suatu sistem. Dalam konsepnya, ELFM adalah sistem yang di dalamnya meliputi berbagai aspek seperti aspek tekonologi, regulasi dan market. Ketiga aspek tersebut menentukan performansi ekonomi dan keberlanjutan ELFM. Aspek teknologi meliputi dua hal pokok yaitu teknologi untuk me-recovery material dan me-recovery energy. Aspek regulasi antara lain meliputi perijinan, subsidi, pajak, dan sebagainya. Sementara itu, aspek market meliputi kebutuhan pasar, harga material, biaya input, dan energi [5,11]. Selain aspek-aspek tersebut, ELFM juga meliputi berbagai aktor seperti pemerintah, swasta kalangan akademisi dan lain-lain yang yang memiliki perspektif dan kepentingan yang berbeda[16]. Aliran material input yang masuk ke dalam
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
sistem ELFM meliputi sampah di landfill, biaya modal, tenaga kerja, mineral dan energi. Sementara itu, output-nya berupa output yang diharapkan dan yang tidak diharapkan. Output yang diharapkan berupa material dan energi, sedangkan output yang tidak diharapkan adalah emisi gas dan sisa sampah [5,11]. Emisi gas, seperti CO2, agar tidak membahayakan lingkungan dikaji untuk disimpan di dalam lapisan bumi [10]. Konsep ELFM memungkin siklus material tertutup seperti halnya recycling terhadap residu proses manufaktur suatu produk dan urban mining terhadap produk yang telah berakhir masa pakainya.
Gambar 1. Input-Output Enhanced landfill mining (Dimodifikasi dari Van Passel et al, 2011) [5,11] 2.2 Kajian ELFM ELFM adalah sebuah konsep baru yang perlu dikaji. Kajian tentang ELFM sedang dilakukan oleh konsorsium para pakar dari berbagai disiplin ilmu di Belgia sejak tahun 2007 dengan nama proyek closing the circle (CtC). Lokasi kajian terletak di landfill REMO, Belgia. Studi diawali dengan pematangan konsep ELFM yang telah selesai pada tahun 2008. Setelah itu dilakukan secara rinci uji valorisasi, perekayasaan, dan elaborasi proyek dalam tahun 2009-2012. Kemudian mulai tahun 2013, studi tersebut masuk ke fase skala pilot. Setelah itu akan dibangun skala penuh plant WtE dan WtM pada tahun 2017. Proyek CtC memerlukan investasi sekitar 230 juta Euro dan akan mempekerjakan 800 orang [6,7]. WtE dan WtM direncanakan akan beroperasi selama 20 tahun. Aplikasi WtE diskenariokan dengan menggunakan teknologi plasma [17]. Energi yang akan dihasilkan diperkirakan sebesar 75 MW – 100 MW dengan teknologi gasifikasi plasma. Carbon dioksida dari WtE akan ditangkap dengan berbagai metoda. Setelah periode tersebut, landfill akan secara bertahap dikembangkan sebagai taman yang berkelanjutan [6,7,12]. Proyek CtC meliputi rentang studi yang
luas yang meliputi aspek teknologi, sosial dan lingkungan [14]. Pertama, dilakukan studi karakterisasi sampah yang digali dari landfill yang bertujuan untuk memverifikasi kualitas data sampah yang tercatat dalam log book seperti data tentang jenis, jumlah, dan potensi sampah untuk di recovery material dan energinya [6,7,12]. Studi tentang komposisi dan karakteristik sampah yang digali dari landfill juga dilakukaN oleh kelompok riset lain seperti di New Jersey dengan hasil riset yang komprehensif [23]. Kedua, studi validasi terhadap material yang digali dan teknologi valorisasi energi. Material yang digali diproses melalui beberapa tahap yaitu screening, wind shifter, washing, dense medium separator, magnet, eddy current dan shredder. Studi serupa juga telah dilakukan oleh beberapa negara, misalnya Finlandia, India, dan Jerman [20,21,22]. Residu material diproses menjadi RDF sebagai bahan bakar gasifikasi plasma. Ketiga, analisis konservasi alam, mengkaji dampak lingkungan dan mempertimbangkan integrasi lokasinya dengan konservasi alam. ELFM berdampak positif pada lingkungan karena mereklamasi lahan dan merestorasi lokasi dan juga mereduksi penggunaan bahan bakar fosil. Keempat, melakukan studi carbon footprint sebagai studi ekonomi lingkungan untuk mendemonstrasikan keuntungan landfill mining dengan skenario tidak melakukan apa-apa. Untuk memproduksi energi dan material dalam jumlah yang sama total level gas rumah kaca yang diemisikan dari skenario CtC secara signifikan lebih rendah daripada tidak dilakukan apa-apa: 5,3 juta ton CO2e berbanding dengan 6,3 juta ton CO2e, mereduksi 15% emisi GRK [6,7]. Studi tentang konsep, sosial, dan hukum juga dilakukan. Berdasarkan studi ekonomi, sosial dan lingkungan, konsep ELFM sangat bermanfaat. Sebagaimana sumber daya primer menjadi semakin langka dan biaya eksternal sumberdaya primer diinternalisasikan, keekonomian ELFM menjadi layak. Secara teknologi, teknik pemisahan dan teknologi WtE dan WtM adalah faktor kunci. Kebijakan strategis juga diperlukan untuk menghilangkan barier non teknis. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Strategi Teknis ELFM Strategi teknis ELFM tergantung dari parameter instrinsik dan ekstrinsik landfill. Yang dimaksud dengan paramaeter intrinsik adalah kondisi internal landfill seperti luas, lokasi, umur, tipe, dan komposisi sampahnya. Sementara itu, parameter ekstrinsik adalah kondisi eksternal seperti ketersediaan teknologi yang cocok, batasan ekonomi dan kondisi sosial [7]. Penambangan landfill meliputi dua kategori
Enhanced Landfill Mining (Sri Wahyono)
241
yaitu in-situ dan ex-situ landfill mining [7]. In situ landfill mining adalah aktivitas pengembalian sumberdaya tanpa melakukan ekskavasi seperti ekstraksi landfill gas untuk energi. Hal ini cocok dilakukan untuk landfill yang banyak mengandung sampah organik domestik. Sementara itu, ex -situ landfill mining merujuk pada aktivitas pengembalian sumberdaya dengan melakukan ekskavasi sebagian atau menyeluruh material landfill untuk diolah lebih lanjut. Hal tersebut cocok untuk landfill industri atau campuran domestik dan industri yang banyak mengandung logam, plastik, kaca, dan sebagainya. Strategi landfill mining dalam proyek CtC dimulai dengan mengekstraksi landfill gas. Material yang telah siap didaur ulang menjadi sumberdaya kembali. Kompos atau hasil dekomposisi material organik yang telah stabil termasuk material jenis ini. Kompos dapat dimanfaatkan sebagai soil conditioner lanskap perkotaan,
lahan kritis, areal reboisasi, dan sebagainya [24]. Material yang diproses secara termal (seperti fraksi kayu, tekstil, karet, dan fraksi lembut organik) selain menghasilkan energi juga menghasilkan abu, slag atau plasmarock yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Sementara itu, residu material yang belum dapat dimanfaatkan dikirim kembali ke landfill yang telah difungsikan sebagai penampungan sementara untuk suatu saat, dimasa depan, didaurulang ketika teknologi transformasi telah ditemukan atau secara ekonomi layak untuk diolah. Bahan yang secara langsung dapat didaur ulang seperti material logam besi dan non besi, plastik, beling, dan sebagainya. Material tersebut merupakan sumberdaya sekunder yang bermanfaat untuk mensubstitusi sumber daya primer. Hal tersebut dikategorikan sebagai waste to material (dari limbah menjadi sumberdaya material).
Gambar 2. Konsep Integrasi ELFM (dimodifikasi dari Laevers et al, 2011)[6] Material lainnya yang tidak dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumberdaya sekunder diproses lebih lanjut dengan teknologi transfomasi. Dari proses ini akan didapatkan material siap di daur ulang, siap dikonversikan secara termal menjadi energi (waste to energy), kompos, dan residu material yang secara teknis saat ini belum bisa di-recovery atau kelayakan ekonominya belum sesuai dengan yang diharapkan. 3.2 Manfaat-Biaya ELFM Dari uraian di atas, konsep ELFM memiliki beberapa manfaat internal seperti lahan yang diperbaiki dapat digunakan untuk keperluan lain, meningkatkan kapasitas landfill, menyediakan 242
lahan baru landfill, mencegah atau mereduksi biaya penutupan landfill dan pemeliharaannya pasca penutupan, serta revenue dari recyclable material seperti tanah, logam, plastik, kaca, kayu, dan sebagaimana. Sedangkan manfaat ekternalnya meliputi reduksi emisi gas rumah kaca, meningkatkan kembali nilai lahan di sekitar landfill, reduksi pencemaran air tanah dan sebagainya. Terkait dengan biaya, pembiayaan ELFM tergantung dari beberapa hal seperti karakteristik landfill (material yang ditimbun, komposisi sampah, praktek penimbunan, usia dan kedalaman timbunan, rasio tanah penutup), ekonomi regional (nilai tanah, biaya material penutup dan monitoring), keberadaan
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
material bahan beracun dan berbahaya (B3), serta ukuran dan volume landfill [2]. Menurut studi analisis manfaat-biaya (cost benefit analysis) ELFM untuk melakukan kegiatan ELFM terhadap TPA dengan luas 2.000 Ha diperlukan biaya sebesar 12.779.680.000 Euro [5]. Sementara itu manfaat yang didapatkan berupa material yang berhasil direcovery senilai 1.534.382.080 Euro, energi yang di-recovery senilai 1.534.382.080 Euro, reklamasi landfill senilai 1.368.000.000, dan reduksi carbon footprint senilai 256.650.240 Euro. Dari nilai manfaat -biaya didapatkan selisih sebesar 317.134.876 Euro. Dengan demikian, ELFM menurut studi tersebut secara ekonomi menguntungkan. 3.3 Konsep Penerapan ELFM di Indonesia Di Indonesia, seperti halnya di negara sedang berkembang lainnya, level pengelolaan akhir sampah masih berkutat pada upaya peningkatan sistem landfill yang tadinya open dumping menjadi sistem yang saniter yaitu sanitarylandfill. Hal tersebut ditegaskan dalam UU No. 18 Tahun 2008 yang tersirat dalam pasalnya bahwa sistem open sejak tahun 2013 sudah dilarang dioperasikan karena tidak bersahabat dengan lingkungan dan harus digantikan dengan sistem yang saniter. Hal ini berbeda dengan di negara -negara maju, di mana tahap pengelolaan akhir sampahnya setahap lebih maju yaitu umumnya sudah menggunakan sistem yang saniter yang dapat meminimalisir terjadinya pencemaran lingkungan akibat lindi dan emisi landfill gas. Di Indonesia, transisi aplikasi sanitary landfill dari open dumping menuju sanitary landfill berupa revitalisasi sistem open dumping menjadi controlled landfill. Hal tersebut berlaku bagi kota kecil dan sedang. Sementara itu, dalam kebijakannya secara nasional, pemerintah kabupaten/kota secara bersama dapat mengaplikasikan sanitary landfill regional yang pembiayaan disain dan kontruksinya ditanggung oleh pemerintah pusat. Proses revitalisasi landfill yang dilakukan oleh pemerintah daerah melibatkan operasi ekskavasi timbunan sampah. Namun, proses tersebut umumnya belum dipandang sebagai landfill mining yang memiliki pengertian pengekstrasian material yang ditimbun dengan tujuan pengembalian material dan energi. Ekskavasi lebih bertujuan untuk proses engineering perbaikan landfill. Hal tersebut masih jauh dari pengertian sistem landfill mining. Secara sistem, landfill mining meliputi berbagai komponen seperti komponen teknologi, regulasi dan pasar. Ketiga komponen tersebut menentukan performansi ekonomi dan keberlanjutan landfill mining. Komponen teknologi meliputi dua hal pokok yaitu teknologi untuk mengembalikan material dan energi.
Aspek regulasi antara lain meliputi perijinan, subsidi, pajak, dan sebagainya. Sementara itu, aspek market meliputi kebutuhan pasar, harga material, biaya input, dan energi [5]. Jadi di Indonesia, seperti di negara-negara maju pada tahun 1990-an, landfill mining bertujuan terbatas pada revitalisasi atau rehabilitasi landfill sebagai upaya penanganan pencemaran yang ditimbulkannya [3,4]. Selain itu juga sebagai upaya memperpanjang umur landfill yang berarti pula mereduksi kebutuhan lahan akan landfill [9,13]. Dari sisi konsep, di Indonesia, penggunaan kembali TPA dikenal dengan istilah reusable sanitary landfill. Istilah tersebut disosialisasikan sejak pertengahan tahun 2000-an oleh BPPT yang kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian terhadap dua demo plant landfill di TPA Regional Banglet, Bali. Reusable sanitary landfill adalah pengkondisian sanitary landfill dengan resirkulasi lindi dan pengendalian gas untuk mempercepat dekomposisi sampah dalam serial sel landfill yang kemudian ditambang secara bergiliran untuk dipakai kembali menjadi landfill kembali [25]. Studi tentang landfill mining pernah dilakukan di beberapa landfill yaitu TPA Bantargebang (Bekasi), TPA Maminasata (Makasar), dan TPA Leuwigajah (Bandung) oleh ITB, BPPT, dan lembaga riset dari Australia. Kompos yang umumnya mengandung logam berat diatas ambang batas sehingga tidak cocok untuk tanaman pangan. Sementara itu, bahan yang didapat kualitasnya rendah sehingga kurang diminati pasar. Penggunaan kembali landfill melalui landfill mining sangat besar pengaruhnya pada keberlanjutan pengelolaan sampah karena untuk mencari lokasi TPA yang baru sangatlah sulit akibat penolakan masyarakat dan kelangkaan lahan di perkotaan [26]. 4. KESIMPULAN Enhanced landfill mining (ELFM) adalah konsep baru yang terintegrasi tentang recovery material dan energi pada sebuah landfill yang bermanfaat bagi keberlanjutan pengelolaan material dan pengelolaan landfill. Konsep tersebut mengintegrasikan berbagai teknologi seperti teknologi ekskavasi, teknologi pemilahan, teknologi termal, teknologi transformasi dan daur ulang. Terintegrasi dengan aspek non teknis juga seperti aspek regulasi, pasar, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Saat ini konsep tersebut masih dalam tahap pengujian. Diharapkan, konsep ELFM dapat menjadi aplikatif sebagai solusi bagi keberlanjutan pengelolaan landfill atau persampahan dan keberlanjutan pengelolaan material di wilayah perkotaan.
Enhanced Landfill Mining (Sri Wahyono)
243
DAFTAR PUSTAKA
1. Krook, J., Svensson, N., dan Eklund, M., (2012). Waste Management. 32, 513-520 2. Hogland, W. (2011). Landfill Mining/Mining pa deponi. Miljoringen nettverk for forurenset grunn og sedimenter. 3. Prechthai, T., Padmasri, M., dan Visvanathan, C. (2008). Resources, Conservation and Recycling, 53, p. 70–78. 4. Van der Zee, D.J., Achterkamp, M.C., dan de Visser, B.J., (2004). Waste Management, 24 (8) (2004), p. 795–804. 5. Van Passel, S., De Gheldere, S., Dubois, M., Eyckmans, J., Vdan an Acker, K. (2010). Exploring the Socio-Economics of Enhanced landfill mining. ELFM Symposium 2010. 6. Laevers, P., Tielemans, Y., Jones, P.T., Geysen, D., Quaghebeur, M., dan Devocht, A. (2011). Closing the Circle: Enhanced landfill mining. Waste management World March-Apr i l 2012. 7. Jones, P.T., Geysen, D., Tielemans, Y., Pontikes, Y., Blanpain, B., Mishra, B., dan Apelian, D. (2012). Closing Material Loops: the Enhanced landfill mining Concept. JOM DOI: 10.1007/s11837-012-0378-1 2012 TMS 8. Kristianto, Philip. (2002). Ekologi Industri. Andi Offset, Yogyakarta. 9. Guerriero, J. (1996). Status Of Landfill Reclamation And Its Applicability to Solid Waste. Management.
244
Proceedings of the 17th Biennial Waste Processing Conference ASME 1996. 10. Laenen, B dan Van Tongeren, P. (2012). Landfill Mining and CO2 Storage in Unmineable Coal Seams - Assessing the Feasibility for the Campine Basin (Northern Belgium). Environment, Nature and Energy department of the Flemish government, Flemish Government. 11. Van Gerven, T., Geysen, D., Pontikes, Y., Cizer, O., Mertens, G., Elsen, J., Van Balen, K., Jones, P.T., Blanpain, B. (2011). An Integrated Materials Valorisation Scheme for Enhanced landfill mining. ELFM Symposium. 12. Laevers, P. dan Tielemans, Y. (2010). Closing the Circle: an Enhanced landfill Mining Case Study. Enhanced landfill mining. ELFM Symposium 2010. 13. Nelson, H. (1994). Landfill Reclamation Strategies. BioCycle, October 1994 14. Paredis, E, Tempst, W. dan Moyersoen, J. 2010. Developing Enhanced Landfill Mining as a transition experiment: context, framing, methodology, questions. ELFM Symposium (2010). 15. Jones, P., Geysen, D., Rossy, A., Bienge, K. (2010). Enhanced Landfill Mining (ELFM) and Enhanced Waste Management (EWM): essential components for the transition to Sustainable Materials Management (SMM). ELFM Symposium 2010. 16. Craps, M, dan Sips, K. (2010). Enhanced Landfill Mining as a governance challenge: managing
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
KOMBINASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL JAGUNG DAN EROSI TANAH PADA LAHAN KERING DI SUB DAS BIYONGA KABUPATEN GORONTALO Combination of Soil Conservation Techniques and Its Effect on the Yield of Maize and Soil Erosion of Dry Land in Biyonga Sub-Watershed, Gorontalo Nurdin Program Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend Sudirman 6 Kota Gorontalo 96122 E-mail:
[email protected] Diterima: 3 April 2012; Direvisi: 13 April 2012; Disetujui: 24 April 2012 Abstract Upland is one of land potentials for maize development, but most farmers were using upland without soil conservation, so the soil erosion is difficult controlling and productivity is decreasing. This research was aimed to find of soil conservation technique combinations which can minimize soil erosion and rising of maize yields. This research was carried out in Biyonga Sub-Watershed of Gorontalo Regency. Experimental was conducted in afactorial random block design with2 main factors, where first factor was contour cultivation and the second was strip cropping which each factors consisted of 5 treatments for manure and mulching with 3 replicates. Erosion box and their soil collector were used to measure of soil erosion. Results showed that contour cultivation is ±1.24 higher than strip cropping toincrease maize yields, but soil erosion was ±1.20 higher than strip cropping. The highest of maize yield was 5.82 ha-1 tahun-1 and their soil erosion was 1.34 ton ha-1 tahun-1. Soil erosion on the strip cropping was only 1.08 tonha-1 tahun-1 although maize yields were only 4.80 ton ha-1. The best dosage for manure and mulching were 10 ton ha-1 and 12 ton ha-1. Keywords: erosion, strip, cropping, upland, maize Abstrak Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial untuk pengembangan jagung, tetapi umumnya petani jagung menggunakannya tanpa menerapkan teknik konservasi tanah, sehingga erosi tanah sukar dikendalikan dan produktifitasnya menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi teknik konservasi tanah yang dapat menekan erosi tanah dan meningkatkan hasil jagung. Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Biyonga Kabupaten Gorontalo. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua factor, yaitu faktor pertama penanaman menurut kontur dan faktor kedua penanaman dalam strip yang masing-masing faktor terdiri dari lima perlakuan pupuk kandang dan mulsa serta masing-masing tiga ulangan. Pengukuran erosi tanah menggunakan petak erosi beserta drum penampung sedimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanaman menurut kontur meningkatkan hasil jagung sebanyak ±1,24 kali lebih banyak dibanding penanaman dalam strip, tetapi erosi tanah sebanyak ±1,20 kali lebih banyak dibanding penanaman dalam strip. Hasil jagung tertinggi sebanyak 5,82 ton ha-1 dan erosi tanah sebanyak 1,34 ton ha-1 tahun-1. Sementara, erosi tanah pada penanaman dalam strip hanya 1,08 ton ha-1 tahun-1 dengan hasil jagung sebanyak 4,80 ton ha-1. Dosis pupuk kandang terbaikadalah 10 ton ha-1, sementara untuk mulsa adalah 12 ton ha-1. Kata Kunci: erosi, strip, pertanaman, lahan kering, jagung
Kombinasi Teknik Konservasi (Nurdin)
245
1. PENDAHULUAN Gorontalo dikenal sebagai provinsi Agropolitan yang menetapkan jagung sebagai entry point program tersebut. Produksi jagung provinsi ini dengan program Agropolitan terus mengalami peningkatan dari 130.251 ton tahun 2002 menjadi 572.874 ton pada tahun 2007. Pada tahun 2008 produksi ini diharapkan mencapai 1 juta ton [1]. Hasil tersebut dicapai setelah petani memperoleh bantuan dana untuk biaya usahatani jagung.Upaya peningkatan produksi jagung terus digalakkan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, agroindustri jagung, penguatan kelembagaan dan tata niaga (Ismail 2003). Namun, upaya pengembangan pertanian tanpa konsep yang jelas, hanya akan membuat program tersebut tidak berjalan terarah dan berkesinambungan. Salah satu upaya dalam program intensifikasi adalah optimalisasi produktifitas lahan kering di daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini dibudidayakan untuk jagung. Luas lahan kering di Provinsi Gorontalo mencapai 437.597,59 ha [1] atau 36% dari luas total provinsi yang potensial untuk pengembangan jagung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Abdurachman et al. (2008) [2] bahwa lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang potensial untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan dan peternakan. Rukmana (2001) [3] mendefinisikan lahan kering sebagai sebidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas, dan biasanya tergantung dari air hujan. Lebih lanjut Abdurachman et al. (2008) [2] menyatakan bahwa keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Secaraalamiah, lahan kering juga peka terhadap erosi terutama bila keadaan tanahnya miring dan tidak tertutup vegetasi [19, 21], tingkat kesuburan tanahnya rendah, baik kandungan unsur hara, bahan organik, pH dan KTK [4,7,3]. Melihat kondisi di atas, usahatani jagung di daerah ini memiliki faktor pembatas agroklimat dan lahan. Pada musim kemarau, lahan kering sukar untuk diusahakan karena keterbatasan lengas tanah yang tersimpan dalam jeluk matriks tanah sehingga jagung sulit berproduksi secara optimal. Pada musim penghujan bahaya erosi dan tanah longsor sering terjadi akibat ulah manusia membuka hutan dan mengalihfungsikannya menjadi lahan-lahan pertanian. Lahan dengan kelerengan di atas 8% peka terhadap erosi dan tanah longsor. Hal ini diperparah dengan pengolahan tanah yang intensif, mengakibatkan 246
kerusakan tanah, erosi dan kehilangan air [3]. Pengolahan tanah intensif dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah, menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, dan daya hantar air (9), dan kualitas kimia serta biologi tanah [10]. Untuk mengurangi dampak tersebut, dianjurkan pengolahan tanah minimum [11,12]. Pengolahan tanah ini akan meningkatkan jumlah pori makro, sehingga meningkatkan kapasitas infiltrasi [13, 14], mengurangi aliran permukaan (run off) dan erosi tanah [15]. Namun, tindakan membatasi pengolahan tanah sering berakibat merosotnya produksi pertanian. Di samping itu, banyak petani yang membudidayakan jagung pada lahan kering berlereng tanpa tindakan konservasi tanah, sehingga terjadi erosi tanah dan berdampak pada keberlanjutan usahatani jagung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh paket teknologi konservasi tanah yang dapat menekan erosi tanah dan meningkatkan hasil jagung sebagai komoditas unggulan Program Agropolitan. 2. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dalam kawasan Sub DAS Biyonga yang merupakan salah satu anak DAS Limboto dan termasuk bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone Bolango serta masuk DAS Prioritas. Secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam Kelurahan Biyonga Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Sedangkan secara geografis, lokasi penelitian terletak pada 00o30’ LU sampai 00o40’ LU dan 122o50’ BT sampai 123o00’ BT. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, dari Februari sampai Agustus 2007. Bahan penelitian terdiri atas: pupuk majemuk NPK Ponska (15-15-15) sebagai starter, pupuk kandang, mulsa jerami padi, benih jagung Lamuru FM dan strip rumput gajah (elephant grass). Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial (RAKF) dengan perlakuan faktor utama berupa teknik konservasi tanah (penanaman menurut kontur (K) dan penanaman dalam strip (S)), lima faktor perlakuan pupuk kandangterdiri dari: perlakuan kontrol atau P0 (0 ton ha-1), P1 (2,5 ton ha-1), P2 (5 tonha-1), P3 (7,5 ton ha-1) dan P4 (10 ton ha-1). Sementara itu,limafaktor perlakuan pemulsaan terdiri dari: perlakuankontrol atau M0 (0 ton ha-1), M1 (3 ton ha-1), M2 (6 ton ha-1), M3 (9 ton ha-1), dan M4 (12 ton ha-1). Sebelum pengolahan tanah dilakukan, sampel tanah diambil dari lahan dengan metodediagonal[17], padalima titik untuk keperluan analisis tanah di laboratorium.Pengambilan contoh tanah tidak terusik menggunakan ring sampel. Sementara untuk tanah terusik digunakan kantong plastik dengan kedalaman tanah 20 cm.
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan untuk mendapatkan gambaran sifat tanah di lokasi penelitian. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dibuat alur-alur penanaman jagung menurut kontur dan strip. Pembuatan alur -alur strip untuk rumput gajah dengan jarak tanam 30 cm dan meratakan pupuk kandang. Pada alur strip dibuat saluran air yang memotong lereng dengan ukuran selebar 0,3 m dan sedalam 0,3 m. Sebelum penanaman, dilakukan pencampuran pupuk kandang sesuai dosis perlakuan dengan tanah olah. Pupuk kandang berasal dari kotoran kuda yang telah diinkubasi selama ± tiga bulan. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal dimana jarak tanam adalah 75 cm × 75 cm. Setiap lubang akan diisi 3 biji jagung dengan kedalaman 5 cm. Pemeliharaan jagung meliputi penyulaman pada 7 hari setelah tanam (HST), penjarangan 14 HST, penyiangan 10 HST untuk memberantas gulma, dan pembumbunan 28 HST untuk memperkokoh batang dan memperbaiki drainase. Pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan karena tanaman bebas dari gangguan hama dan penyakit. Selama penelitian berlangsung tidak terjadi hujan. Oleh karena itu dilakukan penyiraman sebanyak dua kali, yaitu pada awal tanam dan pada saat berbunga betina. Penyiraman menggunakan air yang ditampung dalam tong dan dihubungkan dengan selang. Penilaian produktivitas jagung berdasarkan parameter hasil jagung kadar air 15%. Seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam pola rancangan acak kelompok faktorial (RAKF). Uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf uji 5% dengan Minitab versi 14. Pengukuran erosi dengan metode petak erosi kecil, yaitu membuat petak erosi dengan panjang 22 m, lebar 2 m dan tinggi 0,5 m [1], karena tanaman peraga adalah tanaman semusim (jagung). Disamping itu, dibuat bak penampungan (soil collector) dengan ukuran panjang 2 m, lebar 0,5 m dan tinggi 0,5 m., juga lubang pengeluaran aliran permukaan sebanyak 5 buah dengan jarak antar pipa 10 cm dan lubang di tengah dimasuki pipa plastik. Drum penampungan aliran permukaan ditanam sebagian (masuk ke dalam tanah) serta tutup drum. Perhitungan besar erosi dan aliran permukaan dilaksanakan menurut teknik yang diungkapkan Sofiah (1978). Untuk menghitung aliran permukaan digunakan persamaan sebagai berikut: Total volume = volume 1 + volume 2, dimana: VT = volume total aliran permukaan, volume 1 = volume air pada ember 1 dan volume 2 = volume air pada ember 2, sedangkan untuk menghitung total tanah yang tererosidengan menghitung berat tanah yang tertampung diambil cuplikannya sebanyak 1 liter, kemudian
dihitung dengan menggunakan persamaan: D1 = (x1 g/1 l) x volume air D1……..(3) D2 = (x1 g/1 l) x volume air D2……..(4) A = D1 + D2 Dimana: A = erosi tanah (ton ha-1 tahun-1); D1 = tanah tererosi pada ember 1; D2 = tanah tererosi pada ember 2; x1 = berat tanah kering oven pada ember 1; x2 = berat tanah kering oven pada ember 2.Sebagai pembanding, maka dilakukan pendugaan besarnya erosi tanah dilakukan dengan metode USLE (universal soil loss equation) yang dikemukakan oleh Weischmeier dan Smith (1978), yaitu: A = R K L S C P …………………….(5) Dimana: A = banyak tanah tererosi (ton ha-1 tahun-1); R = faktor curah hujan dan aliran permukaan; K = faktor erodibilitas tanah; L = faktor panjang lereng; S = faktor kecuraman lereng; C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman; dan P = faktor tindakan khusus konservasi tanah. Sedangkan faktor erodibilitas (K) dihitung dengan persamaan berikut: ...................(6)
Dimana: M = % pasir dan debu (Φ 0,1-0,05 dan 0,05-0,02 mm); a = % bahan organik; b = kode struktur tanah; dan c = kelas permeabilitas tanah. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Sifat-Sifat Tanah Tanah di lokasi penelitian bertekstur lempung berdebu, permeabilitasnya agak cepat, porositas tanah sedikit dan struktur gumpal bersudut (Tabel 1). Permeabilitas tanah yang agak cepat disebabkan karena tekturnya lempung berdebu dengan persentase pasirnya 36,15% walaupun porositas tanahnya relatif sedikit.Kadar N total, P dan K terekstrak Bray 1 sangat rendah, serta kadar C-Organik sedang. Kondisi pH tanah yang relatif netral (6,71) menunjukkan bahwa tanah ini sebenarnya cukup menyediakan unsur hara yang esensial untuk tanaman.Sedangkan kapasitas tukar kation (KTK) tergolong sangat tinggi, sehingga tanah tersebut mampu memegang hara yang diberikan ke dalam tanah [20]. Berdasarkan kriteria sifat kimia tanah, maka status kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong sedang[32]. Status kesuburan tanah yang rendah, membutuhkan upaya strategis untuk meningkatkan kesuburan tanah agar dapat menyuplai kebutuhan hara bagi tanaman. Hal ini disebabkan oleh erosi yang mengakut hara dari lapisan olah. Pada endapan cekungan lahan di lokasi penelitian, terlihat gulma dan rerumputan
Kombinasi Teknik Konservasi (Nurdin)
247
tumbuh subur. Morgan (1986) menyatakan bahwa toleransi kehilangan tanah terjadi jika tingkat kesuburan tanah dapat dipertahankan 20 sampai 25 tahun. Soepardi (1983) melaporkan bahwa kehilangan unsur hara karena erosi selama dua tahun di Missouri, yaitu: 66 kg N ha-1, 41 kg P2O5 ha-1, 729 kg K2O ha-1, 309 kg CaO ha1, 145 kg MgO ha-1, dan 42 kg SO4 ha-1.Di samping itu, intensifnya pengolahan tanah dan penanaman pada musim tanam sebelumnya telah menyebabkan kehilangan unsur hara, baik karena hilang bersama panen, pencucian hara bersama air perkolasi dan penguapan karena proses volatilisasi beberapa unsur hara yang mobil, seperti NO3-, dan NH4+.Hasil wawancara dengan petani diperoleh informasi bahwa selama mengusahakan lahan tersebut untuk berbagai tanaman, belum pernah diberikan pupuk atau bahan organik, sehingga wajar bila di dalam tanah ketersediaan N, P dan K sangat rendah. Kemiringan lereng daerah penelitian sebesar 8% atau landai sehingga cocok untuk diterapkan teknik konservasi tanah dengan metode vegetatif. Metode vegetatif yang cocok dan sesuai diantaranya adalah penanaman menurut kontur (countur cultivation) dan penanaman dalam strip (strip cropping). Hal ini sejalan dengan pernyataan Joseph (2005) bahwa lahan dengan kedalaman afektif lebih dari 30 cm dari permukaan tanah dan kemiringan lereng 8 % –25% sebaiknya diterapkan teknik penanaman menurut kontur. Teknik ini cukup layak diterapkan karena kedalaman efektif tanah rata-rata 37 cm. 3.2. Pengaruh Kombinasi Teknik Konservasi Tanah terhadap Hasil Jagung Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan kering di Sub DAS Biyonga meningkatkan hasil jagung, kecuali pada perlakuan penanaman dalam strip (Tabel 2). Pada penanaman menurut
kontur, taraf pupuk kandang dan mulsa nyata meningkatkan hasil jagung dengan hasil tertinggi (5,03 dan 4,99 ton ha-1) masing-masing pada taraf pupuk kandang 10 ton ha-1dan 12 ton ha-1. Berdasarkan kombinasi perlakuan, maka taraf pupuk kandang 10 ton ha-1 dan mulsa 12 ton ha-1 nyata meningkatkan hasil jagung. Hal ini disebabkan oleh pupuk kandang yang digunakan telah diinkubasi sehingga kandungan C/N rationya rendah. Rasio C/N rendah menghambat terjadinya imobilisasi oleh mikroba tanah[39, 11], sehingga pupuk yang diberikan terutama Phonska (N15-P15-K15) siap diserap oleh tanaman. Hasil penelitian Hudson (1971) menunjukkan bahwa pemupukan N15-P15-K15 sebanyak 250 kg ha-1 ternyata memberikan perlindungan tanah dengan hasil jagung 4,08 ton ha-1. Nurdin (2005) melaporkan bahwa pemupukan Phonska pada taraf 250 kg ha-1 nyata meningkatkan hasil jagung di Moodu Kota Gorontalo. Mulsa yang digunakan pada penelitian ini merupakan jerami padi. Neneng (2006) melaporkan bahwa mulsa jerami menghasilkan jagung pipilan kering lebih tinggi dibanding pupuk hijau, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Mulsa jerami dapat menekan pertumbuhan gulma dan lebih memperkaya bahan organik tanah, mengawetkan bahan organik serta menurunkan suhu tanah [37] karena kadar C-organik di lokasi penelitian tergolong sangat rendah (Tabel 1). Nursyamsi et al. 2002 [25] menyatakan bahwa tanah yang memiliki kandungan C-organik <2% memerlukan tambahan bahan organik sebanyak 5 ton ha-1. Sementara itu, Kamagi (1998) menyatakan bahwa pupuk kandang nyata meningkatkan hasil jagung. Hal ini didukung hasil penelitian Faesal et al. 2006 [17] bahwa taraf pupuk kandang 3 ton ha-1 nyata meningkatkan hasil jagung di Gowa Sulawesi Selatan. Pada penelitian ini, taraf pupuk kandang 2,5 ton ha-1 sudah nyata meningkatkan hasil jagung.
Tabel 1. Sifat-Sifat Tanah pada lapisan olah(0-20 cm) sebelum percobaan (0-20 cm) Sifat Fisik/Kimia Tanah Tekstur : Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Permeabilitas (cm jam-1 ) Pori-Pori Tanah Kemantapan Agregat Struktur Berat Jenis (g cm-3 ) Berat Volume (g cm-3 ) Kadar Air (θ) : pF 0 (%) pF 2,54 (%) pH : H2 O KCl C-Organik (%) N total Kjedahl (%) PBray 1 (ppm) K Bray 1 (me 100 g-1 ) KTK NH4 oAc (me 100 g-1 )
248
Nilai
Kriteria/Kelas
36,15 49,41 14,44 11,05
Lempung Berdebu
Agar Cepat Sedikit Sedang Gumpal Bersudut
2,08 1,79 22,07 20,31 6,71 5,82 2,44 0,05 8,23 3,06 51,11
Netral Masam Sedang Sedang Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
Tabel 2. Rataan hasil jagung akibat penerapan teknik konservasi tanah Teknik Konservasi Tanah Taraf Pupuk Kandang: 0 ton ha-1 -1 2,5 ton ha -1 5 ton ha -1 7,5 ton ha -1 10 ton ha Taraf Mulsa: -1 0 ton ha -1 3 ton ha -1 6 ton ha -1 9 ton ha -1 12 ton ha Kombinasi Pupuk Kandang+Mulsa: -1 -1 1 ton ha +0 ton ha -1 0 ton ha +3 ton ha-1 -1 -1 0 ton ha +6 ton ha -1 0 ton ha +9 ton ha-1 0 ton ha-1+12 ton ha-1 -1 -1 2,5 ton ha +0 ton ha -1 -1 2,5 ton ha +3 ton ha -1 -1 2,5 ton ha +6 ton ha -1 -1 2,5 ton ha +9 ton ha 2,5 ton ha-1+12 ton ha-1 5 ton ha-1+0 ton ha-1 -1 -1 5 ton ha +3 ton ha -1 -1 5 ton ha +6 ton ha -1 -1 5 ton ha +9 ton ha -1 -1 5 ton ha +12 ton ha -1 7,5 ton ha +0 ton ha-1 7,5 ton ha-1+3 ton ha-1 -1 -1 7,5 ton ha +6 ton ha -1 -1 7,5 ton ha +9 ton ha -1 -1 7,5 ton ha +12 ton ha -1 -1 10 ton ha +0 ton ha 10 ton ha-1+3 ton ha-1 10 ton ha-1+6 ton ha-1 -1 -1 10 ton ha +9 ton ha -1 -1 10 ton ha +12 ton ha
-1
Hasil Jagung (ton ha ) Penanaman dalam Kontur
Penanaman dalam Strip
2,58a 3,67b 4,71c 4,82d 5,03e
2,66a 3,48b 3,46b 3,31b 3,91b
3,52a 3,88ab 4,09b 4,33b 4,99bc
2,60a 2,95b 3,41b 3,72c 4,15d
2,70a 2,25a 2,39a 2,39a 3,20ab 2,89a 3,60abcd 3,74bcd 3,61abcd 4,49cd 3,88bcd 4,52cde 4,52cde 4,87cde 5,77cdef 3,58abc 4,37cd 5,12def 5,36def 5,68defg 4,54cde 4,67cde 4,69cde 5,42def 5,82defg
2,29 2,23 3,09 2,87 2,84 2,34 3,19 3,51 3,82 4,57 2,86 3,14 3,36 3,63 4,35 2,61 2,85 3,13 3,78 4,19 2,93 3,34 3,95 4,55 4,80
tn
Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5% Pada penanaman dalam strip, walaupun pada taraf pupuk kandang dan mulsa yang sama nyata meningkatkan hasil jagung, tetapi hasil tersebut lebih rendah (3,91 dan 4,15 ton ha-1) dibanding penanaman menurut kontur. Sementara kombinasi perlakuan pada penanaman dalam strip tidak nyata meningkatkan hasil jagung. Hal ini diduga karena pada perlakuan penanaman dalam strip terjadi persaingan unsur hara antara jagung dengan strip rumput gajah. Hal ini terlihat dari penampilan (performance) strip rumput gajah yang tumbuh lebat dan hijau. Tala’ohu et al. 2003 [40] melaporkan bahwa kombinasi rorak dan strip lamtoro dengan mulsa atau pupuk kandang dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi jagung pipilan kering dibandingkan kebiasaan petani. Kombinasi teknik konservasi tanah secara
linier positif berpengaruh terhadap peningkatan hasil jagung pada penanaman menurut kontur (Gambar 1). Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil jagung lebih tinggi. Hal ini terlihat dari nilai b (0,24), walaupun nilai koefisien diskriminan (R2=0,86) lebih rendah dibanding pengaruh pemulsaan.Namun, hasil jagung justru sebesar 95% dipengaruhi oleh pemberian mulsa dan hanya sebesar 5% dipengaruhi oleh faktor lainnya. Pada penanaman dalam strip (Gambar 2), pengaruh pupuk kandang justru lebih rendah dibanding pemulsaan yang tampak pada nilai b (0,09) dan koefisien diskriminan (R2=0,66). Gambar 1. Interaksi antara Pupuk Kandang dan Mulsa terhadap hasil jagung pada Penanaman menurut KonturPengaruh pemulsaan pada perlakuan ini paling tinggi dengan nilai
Kombinasi Teknik Konservasi (Nurdin)
249
koefisien diskriminan (R2) sebesar 0,99. Dengan demikian, hasil jagung sebesar 99% dipengaruhi oleh pemberian mulsa dan hanya sebesar 1% dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Berdasarkan kemiringan garis linier, maka hasil jagung dipengaruhi oleh pupuk kandang yang diberikan pada penanaman menurut kontur (nilai b 0,24) yang tertinggi dibanding pemberian mulsa, sebagaimana pernyataan Kasno et al. (2009) bahwa kemiringan garis linier salah satunya ditunjukkan oleh nilai b. Dengan demikian, maka pada penanaman dalam strip hasil jagung dipengaruhi oleh pemulsaan karena nilai b paling tinggi dibanding pupuk kandang. Di samping itu, daerah ini cukup tinggi penguapannya sehingga dengan pemulsaan akan menekan laju penguapan dan pengaruhnya signifikan terhadap unsur hara yang mobil seperti nitrat (NO3-) dan Amonia (NH4+) karena proses volatilisasi [39]. Pemberian mulsa efektif menekan kehilangan hara karena pengangkutan oleh erosi dan aliran permukaan [3].
Gambar 1. Kombinasi teknik konservasi tanah secara linier positif berpengaruh terhadap peningkatan hasil jagung.
Tabel 3. Erosi tanah dan aliran permukaan akibat penerapan teknik konservasi tanah Perlakuan Kombinasi
Erosi Tanah … ton ha-1 tahun…
Tingkat Bahaya Erosi
Aliran Permukaan
1,34
Sedang
11,08
1,08
Sedang
9,55
108,11
Berat
153,02
1
Penanaman menurut kontur +pupuk kandang+mulsa Penanaman dalam strip+pupuk kandang +mulsa Tanpa perlakuan (kebiasaan petani)
3.3. PENGARUH TEKNIK KONSERVASI TANAH TERHADAP EROSI TANAH Hasil pengukuran erosi di lokasi penelitian pada penanaman menurut kontur lebih tinggi dibanding penanaman dalam strip (Tabel 4).Legowo (2005) melaporkan bahwa DAS Limboto berada pada kondisi kritis karena laju erosi tanah
3
-1
m ha tahun
-1
44,69 ton ha-1 tahun-1 atau 3,72 mm tahun-1. Besarnya erosi tanah yang terjadi pada penanaman menurut kontur sebesar 1,34 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan penanaman dalam strip erosi yang terjadi sebesar 1,08 ton ha-1 tahun-1. Walupun demikian, tingkat bahaya erosi yang terjadi masih tergolong sedang [5].
Tabel 4. Erosi tanah dugaan berdasarkan metode USLE
Perlakuan K0 K1 K2 K3 K4 S0 S1 S2 S3 S4 KP
Faktor R 695 695 695 695 695 695 695 695 695 695 695
K 0,25 0,20 0,27 0,20 0,25 0,20 0,18 0,20 0,25 0,25 0,27
C 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 0,08 1,00
LS 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80
P 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 1,00
Deposisi sedimen sebesar 2,94 ton ha-1 tahun-1 atau 0,24 mm ha-1. Sedangkan hasil sedimen DAS Limboto adalah 41,75 ton ha-1 tahun-1 atau 3,48 mm tahun-1. Selanjutnya, Arsyad (2006) 250
Erosi Tanah (A) -1 -1 ……. ton ha tahun 5,56 4,45 6,00 4,45 5,56 3,56 3,20 3,56 4,45 4,45 150,09
Rataan …….
TBE (BRLKT 1986)
5,20
Sedang
3,84
Sedang
150,09
Sangat berat
menyatakan bahwa keuntungan penanaman menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang meningkatkan penyerapan air oleh tanah dan menghindari erosi tanah.
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012
Pada penanaman menurut strip, di samping diberikan mulsa juga ada tanaman strip yang dapat menekan laju erosi tanah. Suwardjo, 1978 [36] melaporkan bahwa penanaman jagung dengan pola strip hanya menghasilkan erosi tanah sebesar 2,6 ton ha-1 dibanding tanpa strip sebesar 4,6 ton ha-1. Selanjutnya, Utomo (1989) melaporkan bahwa penggunaan tanaman rumput gajah sebagai tanaman strip pada tanaman ubi kayu tumpangsari jagung dapat menekan laju erosi dari 55,10 ton ha-1 (tanpa strip) menjadi 37,15 ton ha-1. Dariah et. al (1993) menambahkan bahwa strip akar wangi (Vetiveria zizaniodes) yang ditanam pada budidaya tanaman jagung bisa menjadi tanaman konservasi, mudah dan murah. Erosi dugaan dengan metode USLE (Tabel 4) menunjukkan bahwa penanaman menurut kontur lebih tinggi (5,20 ton ha-1 tahun-1) dibanding penanaman dalam strip (3,84ton ha-1 tahun-1). Nilai erosi ini masih tergolong sedang berdasarkan tingkat bahaya erosi dan relatif sama dengan hasil pengukuran melalui petak erosi.Sementara itu, tingkat bahaya erosi pada lahan yang diusahakan petani tanpa tindakan konservasi tanah sudah tergolong sangat berat[5]. Berdasarkan nilai erosi yang dihasilkan, maka pengukuran langsung dengan petak erosi lebih sensitif dibanding pendugaan erosi dengan metode USLE. Beberapa komponen faktor sering tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan masih bersifat umum [3], terutama faktor erosivitas hujan dan erodibilatas tanah. Oleh karena itu, usulan perbaikan keragaan metode ini untuk kondisi khusus terus dilakukan [42, 28]. Besarnya aliran permukaan pada penanaman menurut kontur lebih besar dibanding penanaman dalam strip (Tabel 4). Hal ini memberikan petunjuk bahwa pemulsaan lebih efektif menekan aliran permukaan pada penanaman dalam strip dibanding penanaman menurut kontur. BP2TPDAS-IBB (2002) melaporkan bahwa tanpa mulsa, aliran permukaan sebesar 45,3%, infiltrasi sebesar 54,7% dan erosi 53,3 ton ha-1. Pemberian mulsa sebanyak 8,54 ton ha-1, aliran permukaan hanya 0,1%, infiltrasi sebesar 99,5% dan erosi menjadi 0,0 ton ha-1. Pemberian pupuk kandang berpengaruh yang baik terhadap pemantapan agregat tanah, sehingga tidak mudah tererosi. Analisis tanah menunjukkan bahwa kemantapan agregat tanah di daerah ini sedang dengan struktur tanah gumpal, sehingga pemberian pupuk kandang meningkatkan kemantapan agregat tanah karena ada perekat oleh ikatan kompleks bahan organik tanah dan konsistensinya lebih teguh [31]. 4. KESIMPULAN Penerapan kombinasi teknik konservasi tanah pada penanaman menurut kontur nyata
meningkatkan hasil jagung dam mampu menekan laju erosi tanah. Pada penanaman dalam strip, walaupun tidak nyata meningkatkan hasil jagung tetapi efektif menekan laju erosi tanah dibanding penanaman menurut kontur. Kombinasi perlakuan terbaik untuk hasil jagung tertinggi adalah pupuk kandang 10 ton ha-1 dan mulsa 12 ton ha-1. Sementara laju erosi tanah yang terjadi pada lahan jagung petani tanpa tindakan konservasi tanah sudah tergolong sangat berat, sehingga membutuhkan penanganan segera untuk menekan tingkat degradasi lahan yang lebih besar lagi. Berdasarkan nilai erosi yang terjadi, maka pengukuran langsung melalui petak erosi lebih sensitif hasilnya dibanding pendugaan erosi dengan metode USLE. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 1982. Pedoman umum metode pengukuran erosi dalam rehabilitasi lahan kritis dan pencegahan erosi. Departemen Pertanian RI, Jakarta. 2. Adiningsih, J.S dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar hasil penelitian tanah dan agroklimat. Pusat penelitian tanah dan agroklimat, Bogor. 3. Arsyad S. 2006. Konservasi tanah dan air. Edisi revisi. Serial pustaka IPB Press, Bogor. 4. AbdurachmanA, A Dariah, dan A Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. J. Litbang Pertanian 27 (2): 43-49. 5. BRLKT. 1986. Petunjuk pelaksanaan rencana teknis lapangan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Badan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah Ditjend reboisasi dan rehabilitasi lahan Departemen kehutanan RI, Jakarta. 6. Bens O. W, N. A Buczko, U. Hüttl, R. F. 2001. Makroporositätund infiltrationseingescrafhten von Ackerböden unter differenzierter Bewirschraftung. Mitteilungen der Deutschen Bodenkundlichen Gesselschaft. Band 96, Heft 1. 7. BP2TPDAS-IBB. 2002. Pedoman praktik konservasi tanah dan air. Balai penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan daerah aliran sungai Indonesia bagian barat. Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan RI, Surakarta. 8. BPS. 2007. Provinsi gorontalo dalam angka tahun 2007. Badan pusat statistik Provinsi Gorontalo. 9. Dariah A, H. Suwardjo dan D. Erfandi. 1993. Akar wangi sebagai tanaman konservasi tanah dan air. Serial populer No.3. Puslittanak, Bogor. Hal 6-9. 10. Hudson N. 1971. Soil conservation. BT Brastford, London. 11. Havlin J.L, J.D Beaton, S.L Tisdale, and W.L Nelson. 1999. Soil fertility and fertilizer An introduction to nutrient management. 6th ed. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey. pp.497. 12. Husain J. 2001. Wasserinfiltration in tonigen und strukturierten böden auf unterschiedlichen skalen und bei nutzungsänderung. Dissertation der fakultät
Kombinasi Teknik Konservasi (Nurdin)
251
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20. 21. 22.
23.
24. 25.
26.
für umweltwissenschaften und verfahrenstechnik der brandenburgischen technischen universität Cottbus, Deutsschland. Husain J, H.H Gerke, and R.F Hüttl. 2001. Wasserinfiltration auf unterschiedlichen raumskalen in strukturierten böden. Mitteilungan der deutschen bodenkundlichen gesselschaft. 96 (1): 87-88. Husain J, H.H Gerke, and R.F Hüttl. 2002. Infiltration measurements for determining effects of land use change on soil hydraulic properties in Indonesia. In Pagliai, M and Jones, R (Eds). Sustainable land management for enviromental protection-soil physics approach. advances in Geocology no. 32 catena verlag. Reiskirschen p.230-236. Husain J, J.N Luntungan, Y. Kamagi, dan Nurdin. 2004. Model usahatani jagung berbasis konservasi di Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian badan penelitian dan pengengembangan dan pengendalian dampak lingkungan daerah (Balitbangpedalda) Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Faesal A. Najamuddin, dan M. Akil. 2006. Pengaruh cara pemberian dan takaran pupuk kandang terhadap hasil biomas tanaman jagung. J. penelitian pertanian tanaman pangan 25 (2): 124-128. Joseph B. Th. 2005. Potensi sumberdaya tanah das limboto dan das randangan kabupaten gorontalo. Dalam prosiding seminar agropolitan komda Suluttenggo di Gorontalo, Gorontalo. Hal 12-15. Kamagi Y. E. 1998. Pengaruh pengolahan tanah dan dosis pupuk kandang ayam pada tanah latosol berlereng terhadap erosi dengan tanaman kacang tanah sebagai indikator. J. solum 1 (3): 30-38. Kurnia U, Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan. hlm. 147−182. Dalam teknologi pengelolaan lahan kering: menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat, Bogor. Kasno A. 2009. Respon tanaman jagung terhadap pemupukan Fospor pada Typic Dystrudept. J. tanah tropika. 14 (2) : 111-118. LPTP. 1995. Paket budidaya jagung varietas arjuna di lahan kering. Agdex. 041/577 lembar informasi pertanian (LIPTAN) LPTP Koya Barat, Irian Jaya. Lorenz G, C.L Bonelli, S. Roldan, C. Araya and K. Rondano. 2000. Soil quality change due to land use in a kastanozem-phaeozem soilscape of semiarid chaco. Mitteilungen der deustchen bodenkundlichen gesselschaft. Band 93. Legowo, S.W.D. 2005. Pendugaan erosi dan sedimentasi dengan menggunakan model geowepp; studi kasus DAS Limboto, Provinsi Gorontalo. J. sumberdaya air 1 (1): 1-13. Morgan R. P. C. 1988. Soil erosion and conservation. Longman group, Hongkong. Nursyamsi D, A. Budiarto, dan L. Anggria. 2002. Pengelolaan kahat hara pada Inceptisol untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. J. tanah dan iklim. 60:56-68. Nurdin. 2005. Pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.) varitas lamuru yang dipupuk phonska dosis berbeda di Moodu Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo. J. eugenia. 11 : 396-400.
252
27. Nuraida L.N. 2006. Peningkatan kualitas tanah Ultisol Jasinga terdegradasi dengan pengolahan tanah dan pemberian bahan organik. Disertasi sekolah pascasarjana IPB, Bogor. 28. Renard K.G, G.R Foster, G.A Weesies, D.A McCool, and D.C Yoder. 1997. Predicting soil erosion by wáter. A guide to conservation planning with the revised universal soil loss equation (RUSLE). Agric Handb. 703, US Govt print. office, Washington DC. 29. Rukmana R. 2001. Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis. Kanisius, Yogyakarta. 30. Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Departemenilmu tanah fakultas pertanian IPB, Bogor. 31. Rachim D.A. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Departemen ilmu tanah dan sumberdaya lahan fakultas pertanianIPB, Bogor. 32. Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of referrence klasifikasi kesesuaian lahan. Proyek penelitian pertanian menunjang transmigrasi (P3MT) pusat penelitian tanah badan penelitian dan pengembangan pertanian departemen pertanian RI, Bogor. 33. Sarief S. E. 1986. Ilmu tanah pertanian. CV. Pustaka Buana, Bandung. 34. Sofiah. 1978. Petunjuk pelaksanaan percobaan erosi sistem petak kecil. Bahan penataran pps bidang ilmu tanah dan pemupukan II. Departemen pertanian RI, Jakarta. 35. Suwardjo. 1981. Peranan sisa-sisa tanaman dalam konservasi tanah dan air pada lahan usahatani tanaman semusim.Disertasifakultas pasca sarjana IPB, Bogor. 36. Suwardjo. 1987. Konservasi tanah. Penataran PPS bidang ilmutanah dan pemupukan II, 13 Maret-13 April 1987. Badan pengendali bimas dan lembaga penelitian tanah Departemen pertanian RI, Bogor. 37. Sanchez P. A. 1992. Sifat dan pengelolaan tanah tropika. ITB, Bandung. 38. Suriadikarta D.A, T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. hlm. 183−238. Dalam teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat penelitian dan pengembangan tanah dan agroklimat, Bogor. 39. Tisdale S.L, W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1990. Soil fertility and fertilizers. 4th edition. Macmillan Pub. Co., New York. 40. Tala’ohu S.H, Abas A, dan Kurnia, U. 2003. Optimalisasi produktivitas lahan kering beriklim kering melalui penerapan sistim usahatani konservasi. Dalam prosiding kongres nasional VIII himpunan ilmu tanah indonesia (HITI), Padang, 2123 Juli 2003. Hal 166-177. 41. Utomo W. H. 1989. Konservasi tanah di Indonesia; suatu rekaman dan analisa. Rajawali press, Jakarta. 42. Williams J.R. 1975. Sediment yield prediction with universal equation using runoff energy factors. In present and prospective technology for predicting sediment yields and source. USDA Agric research service, Southern region ARS-S-40: 244-252. 43. Weischmeier W.H dan D.D Smith .1978. Predicting rainfall erosion losses: a guide to conservation planning. USDA Handb. No 537: 58.
J. Tek. Ling. (ISSN 1411-318X), Vol. 13, No. 3, September 2012