EMANSIPASI WANITA DALAM KEMITRASEJAJARAN DAN PENDIDIKAN ISLAM Sitti Hasnah Abstract In the history of the women’s civilizations, emancipation of women has been running for centuries. This can be traced back to the era of the Prophet Muhammad from historical perspective. However, in the West, such an emancipation began in the early 20th century, in which many theories of emancipation were born. This was caused by the inequalities and injustices that women experienced. Women’s emancipation demands not only one aspect, but all aspects of life. Among these are such aspects as education that is considered as the front guard that can positions women as equal with men. This paper will discuss the concept of female emancipation from the Islamic education viewpoint. Kata kunci: emansipasi, mitra sejajar, pendidikan Islam Pendahuluan Citra wanita dalam perjalanan sejarah manusia tidak pernah konstan dan selalu menjadi pembicaraan aktual dan menjadi agenda yang tidak pernah pupus sepanjang waktu. Perjalanan sejarah wanita ibarat roda yang berputar terus (untuk menghindari kerancuan istilah, penulis menyamakan istilah wanita dan perempuan. Misalnya, pada saat menyebut ‚wanita makan‛ yang di maksud juga adalah ‚perempuan‛, demikian sebaliknya). Dahulu ia pernah berada pada posisi underdog, dipecundangi dan diremehkan, kemudian putaran roda itu secara bertahap tapi pasti membawanya kepada posisi yang bisa menampakkan sebuah titik terang yang dapat melepaskan perempuan dari halimun marjinalisasi. Semua persoalan seputar perempuan menjadi masalah kontemporer mengikuti gelombang kemajuan dan peradaban manusia.
40
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
Kalau kita kembali memutar piringan hitam mereview perjalanan sejarah perempuan, maka ditemukan bagaimana kedudukan perempuan pada beberapa peradaban pra-Islam, seperti peradaban Yunani, Romawi, Hindu, Budha, dan lainnya, diposisikan senilai dengan barang yang sewaktu-waktu dapat dibarter oleh pemiliknya. Perempuan pada periode ini benar-benar merintih dalam kezaliman, ketidakadilan, kebengisan, dan penindasan terhadap hak-haknya. Pada periode menjelang Islam, jahiliyah, nasib perempuan tidak lebih baik dari sebelumnya. Mereka diperbudak, bahkan bayi perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup karena dianggap kelahirannya hanya membawa aib bagi keluarganya. Muhammad Saw datang sebagai pembawa rahmat dan kebajikan kembali mengibarkan bendera persamaan antar jenis kelamin, ras, dan kedudukan. Muhammad Saw, dalam menata dan membangun umat, tidak memandang kepada spesifikasi dimiliki oleh seseorang tetapi beliau mengajarkan bagaimana saling menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa memilih merek biologis.1 Posisi dan keadaan perempuan pun pada saat itu berubah secara drastis, mereka mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dalam melakoni hidup bermasyarakat, perlakuan yang terhormat, serta segala hak-hak yang seharusnya mereka miliki.2 Rasulullah Saw, dalam mengemban missi dakwah dan pendidikan, mengajarkan dan memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu, tanpa diskriminasi. Demikian pula Umm al-Mu’mini>n diperintahkan untuk belajar agar bisa menjadi pentransmisi pengetahuan dan ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah.3 Pada periode pasca Rasulullah, banyak sahabat yang datang belajar kepada istri beliau, terutama menerima riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasulullah Saw. Perempuan pada zaman Rasulullah berdiri sederajat dengan laki-laki dan diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Setelah melalui rentang waktu yang cukup panjang, terjadi 1
Muh}ammad Alhiyyah al-Abra>shi>, al-Tarbiyyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha (Mitra: Mat}ba‘ah ‘I<sa> al-Ba>bi> al-H{alabi> wa Shuraka>’uh, 1975), 23. 2 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki Pengantar tentang Personal Dominasi terhadap Kaum Perempuan, Terj. Nug Katjasungkana (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), 11. 3 Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi Lakilaki dan Perempuan dan Tradisi Islam Pasca Patriarki (Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 1995), 37.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
41
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
distorsi pemahaman terhadap perempuan yang berimplikasi pada kembalinya pemahaman pra-Islam tentang kapan mulai terjadinya distorsi pemahaman terhadap wanita, tidak ada kejelasan. Referensi yang terkait, yang dianggap representatif juga tidak menyebutkan secara pasti.4 Banyak orang yang cenderung kembali memasung kebebasan perempuan dengan dalih menghormati dan menjaga martabat keluarga, bahkan tidak jarang rela menyetir pemahaman agama dengan interpretasi menurut persepsinya masing-masing. Sekitar abad ke-14, tuntutan hak emansipasi kembali meluap hak bagai air bah, ketimpangan peran yang diperankan oleh dunia jenis kelamin biologis dilihat sebagai suatu hal yang tidak wajar bahkan cenderung memarginalkan perempuan dalam mendapatkan peran strategis dalam masyarakat. Di Barat, banyak teori feminime yang lahir banyak sebagai reaksi dari ketimpangan tersebut. Mereka meneriakkan tentang women liberation. Kesadaran akan ketimpangan itu tidak hanya terjadi di dunia Barat atau Eropa, di dunia Islam juga muncul pemikiran-pemikiran pembaharuan tentang tuntutan emansipasi bagi wanita. Bagi umat Islam, tuntutan emansipasi tetap berada pada rel dan semangat jiwa Islam yang telah membingkai mereka. Tuntutan hak-hak itu terkait dengan penempatan mereka pada peran-peran sosial, seperti yang berkenaan dengan dunia pendidikan. Alasannya adalah bahwa seorang perempuan tidak mungkin mampu melakoni peran sosial yang strategis jika tidak berpendidikan. Gerakan emansipasi dan mitra sejajar dalam bidang pendidikan sebenarnya telah dicanangkan oleh Rasulullah Saw., dan harapan yang pernah dipraktekkan pada periode Islam klasik sangat diidamkan oleh kaum wanita dan inilah yang kembali menjadi tuntutan mereka. Bertolak pada hal-hal yang telah dipaparkan terdahulu, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan bagaimana bentuk kemitra sejajaran dalam pendidikan Islam. Emansipasi dalam Konsep Barat Secara leksikal, kata emansipasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang kemudian dibakukan ke dalam bahasa Indonesia, yang berarti 4
Charis Waddy, Wanita dalam Sejarah Islam, Terj. Faruq Sabil (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987), 16; Ruth Rode, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata para Penulis Biografi Muslim, Terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), 27.
42
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
‚kemerdekaan dan pembebasan.‛5 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap dikemukakan bahwa emansipasi adalah ‚persamaan derajat, pengangkatan derajat dari aspek kehidupan masyarakat,‛ sementara secara terminologi, disebutkan sebagai ‚proses pembebasan diri kaum wanita dari segala strata sosial ekonomi yang rendah atau pengekangan hukum yang memasung dan membatasi kemungkinan ruang gerak untuk berkembang.‛6 Dengan demikian, emansipasi adalah usaha sadar yang dilakoni kaum wanita untuk memperoleh hak yang sama dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana yang telah dilakoni kaum pria sehingga mereka terbebas dari perlakuan ketidakadilan/ diskriminasi jenis kelamin. Di Barat, muncul gerakan-gerakan wanita yang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus melawan dominasi laki-laki. Dalam memperjuangkan haknya terdapat tiga aliran besar yang masingmasing mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang perempuan, yaitu feminisme liberal, feminisme sosial, dan feminisme radikal. Feminisme liberal mempunyai dasar logika bahwa, semua manusia adalah sama yang diciptakan secara berimbang. Kesempatan dan hak antara laki-laki dan wanita tidak ada jarak atau distinction, karena mereka samasama makhluk rasional. Oleh karena itu, saat mempersoalkan mengapa perempuan terkebelakang, itu merupakan kesalahan mereka sendiri yang terlanjur berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Maka, pemecahan masalah terhadap hal tersebut adalah bahwa mereka harus diberikan pendidikan semaksimal mungkin melalui institusi pendidikan dan ekonomi agar mampu bersaing dengan kaum laki-laki.7 Aliran ini banyak berpengaruh di dunia terutama negara ketiga di dunia. Feminisme sosialis (Marxis) pada awalnya berkembang sangat pesat di Jerman dan Rusia. Aliran ini melihat bahwa ketimpangan peran laki-laki dan perempuan di sebabkan oleh sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan yang tinggi kepada suami sehingga menimbulkan dukungan kekuasaan suami. Untuk menghapus hal 5
John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Ulama, 1992), 58. 6 Suharso dan Ana Retnonningsih, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Edisi Baru (Semarang, Widya Karya, 2008), 158. 7 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. ke-3 (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999), 18.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
43
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
tersebut, perlu peninjauan kembali institusi keluarga yang terlalu memberi proporsi yang besar kepada laki-laki/suami, dalam menentukan sebuah kebijakan strategis dalam rumah tangga yang berimplikasi tidak hanya pada peranan di rumah tangga tetapi sampai kepada peran sosial. Oleh karena itu, dikotomi domestik dan publik harus dihapus.8 Aliran ini mempunyai ideologi dasar bahwa emansipasi wanita bisa terwujud jika wanita terlibat langsung dalam urusan produksi dan urusan rumah tangga yang ditransformasi menjadi industri sosial. begitu pula pandangan masyarakat terhadap ketidak adilan perlakuan terhadap wanita merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan harus dilakukan perubahan secara radikal. Feminisme radikal menggambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis.9 Lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan.10 Wanita yang berada pada lembaga perkawinan hanya bisa meringkuk dalam penguasaan pria tanpa melihat keberadaannya sebagai bagian dar feminisme manusia yang mempunyai hak kebebasan dan layak untuk berpartisipasi dalam bidang sosial. Oleh karena itu, institusi keluarga sama sekali harus dimeriahkan baik pada tataran teoritis maupun praktis. Mencermati beberapa aliran feminisme yang berkembang di Barat, di ketahui bahwa tujuan mereka adalah untuk memperoleh hak keadilan dan kesetaraan. Namun, ide-ide ini tidak sepenuhnya bisa terakses dalam masyarakat feminismenya. Bahkan, ada indikasi bahwa masing-masing aliran saling tuding dan menyalahkan. Hal ini di sebabkan karena mereka sudah jauh menyimpang dari tujuan awalnya dalam menuntut persamaan hak, mereka terjebak dalam persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki. Mereka juga tidak mempunyai standar normal yang bisa diperpegangi dalam menjalankan idenya, sehingga institusi keluarga dianggap hal yang harus ditiadakan karena termasuk dari bahagian pelanggengan ketidakadilan. Dengan sendirinya mereka justru menjerumuskan kaumnya 8
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Persfektif al-Qur’an, Cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1999), 32. 9 Jane Collenburger dan Yan Sumaryana, Sosiologi Wanita, Cet. ke-1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 39. 10 Ratna Megawangi, ‚Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman,‛ dalam Mansour Fakih, et al., Membincang Feminisme: Diskusi Persfektif Islam, Cet. ke-1 (Surabaya: Risala Gusti, 1996), 8.
44
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
dalam kebebasan seksual tanpa ikatan dan mendorong untuk melakoni bidang apa saja tanpa melihat kemampuan dan kelemahan yang bersemayam pada diri wanita. Emansipasi Wanita dalam Perspektif Pendidikan Islam Semenjak kedatangan Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw pada awal abad ke-9 M, kaum wanita mendapatkan berita gembira akan jaminan nasib mereka bahkan sampai kepada pemberian peran yang besar dan belum pernah diberikan oleh agama-agama sebelumnya.11 Dalam prinsip pendidikan telah dikemukakan oleh Rasulullah bahwa seseorang sudah mempunyai potensi bawaan sejak lahir tanpa menyebutkan jenis kelamin mana yang mempunyai potensi yang lebih unggul.12 Keunggulan potensi akan tampak bagi mereka yang mengasahnya melalui pendidikan. Rasulullah Saw tidak segan-segan meminta kepada al-Shifa>’ binti ‘Abd Alla>h untuk mengajarkan istrinya H{afs}ah membaca dan menulis, serta menggali potensi yang dimilikinya melalui proses pembelajaran. Di bawah bimbingan Islam, kaum wanita menuntut ilmu sama dengan kaum pria, bahkan mereka diberikan kesempatan luas untuk berperan aktif dalam bidang sosial, mulai dari peran domestik sampai kepada perang politik.13 Peran yang dipegang oleh perempuan tentu saja tetap berada dalam bingkai Islam yang menjadi patron bagi mereka dalam bertindak dan berbuat, karena nilai moral dan nilai religius tetap menjadi jiwa dalam sanubari mereka. Islam telah menempatkan posisi perempuan pada proporsinya, dalam arti memanusiakan perempuan. Ia tidak dipandang sebagai obyek yang hanya sekedar menjadi pelayan bagi suami tanpa kreatifitas dan inisiatif, hanya menunggu arahan sutradaranya (suami), tetapi ia juga sebagai subyek yang ikut memainkan peran dalam percaturan kehidupan masyarakat. Alquran mengajarkan bahwa yang dinilai oleh Allah adalah takwa dari seseorang, bukan jenis kelaminnya. Begitu juga digambarkan bagaimana
11
Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam terhadap Wanita, Terj. Afif Mohammad, Cet. ke-2 (Bandung: Pustaka, 1994), 17. 12 Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn Mughi>rah ibn Baradzabah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz I, Cet. ke-1 (Beirut: Da>r al-Fikr al‘Ilmi>, 1992), 12. 13 Siti Zulaikha, et al., Muslimah Abad 21, Cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani, 1999), 36.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
45
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
kemandirian perempuan yang pernah dilakoni oleh beberapa sosok wanita dalam perjalanan sejarah. Emansipasi yang ditanamkan oleh Islam bukanlah emansipasi sebagaimana yang didengungkan di Barat yang ingin bebas dan tidak ada lagi parameter yang membatasi gerak mereka. Dalam Islam, emansipasi yang di maksud adalah menempatkan mereka pada proporsinya dan pada hak-hak yang dimilikinya dengan tidak melupakan kewajiban-kewajiban yang berada di pundaknya. Jadi dengan sendirinya wanita bukanlah dari bagian penduduk bumi yang tidak bernama, tidak berwajah dan tidak bersuara, tetapi ia telah melakoni perannya sebagaimana dilakoni oleh kaum laki-laki. Ia telah berjasa memajukan pendidikan generasi, mulai dari pendidikan dalam skala kecil, Seperti mendidik anak dalam lingkungan keluarga sampai dalam skala besar menjadi kontributor pendidikan di masyarakat luas. Mitra Sejajar Laki-laki dan Perempuan dalam Perspektif Islam Islam telah menggelar sebuah revolusi besar dalam kehidupan umat manusia dalam hal kemitrasejajaran antara laki-laki dan wanita.14 Dalam Alquran dikemukakan bahwa perempuan adalah pakaian bagi laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian perempuan. Prinsip kemitraan ini di awal pra-Islam tidak akan pernah diterima dan ditolak mentah-mentah karena alam bawah sadar mereka telah terekam anggapan bahwa perempuan itu statusnya tidak lebih daripada barang yang dimiliki oleh tuannya, dan ia berhak berbuat apa saja kepadanya. Namun, prinsip ini hilang bersama dengan datangnya Islam. Kaum wanita terangkat dari ketercampakan serta keterhinaan dan ditempatkan pada singgasana kesejajaran. Adapun kaitannya dengan kemitrasejajaran dan institusi keluarga, menurut anggapan women liberation di dunia Barat, perempuan diberi kebebasan menciptakan model dan corak rumah tangga yang cocok menurut mereka. Jika sebuah keluarga sudah dianggap cukup tanpa laki-laki, maka dalam rumah tangga itu tidak perlu laki-laki. Mereka tidak harus terikat dalam norma rumah tangga. Jika keinginan biologisnya menghendaki sesuatu maka ia bisa saja menyewa atau meminjam laki-laki untuk beberapa waktu tanpa diikat oleh ikatan perkawinan. 14
Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), 44.
46
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
Dalam Islam, kita diatur oleh aturan-aturan yang berisi hak dan kewajiban yang harus ditegakkan. Prinsip dasar kemitraan dalam rumah tangga adalah al-ma‘ru>f dan mawaddah wa rah}mah. Prinsip ini sangat lentur dan tidak kaku mengikuti dinamika masyarakat yang ia tinggal bersamanya selama tidak menyalahi jwa Islam. Dalam hal ini, Megawangi perpendapat bahwa kesetaraan bukanlah berarti memberi perlakukan yang betul-betul sama pada setiap individu yang mempunyai aspirasi dan kebutuhan yang berbeda, tetapi memberikan perhatian yang sama kepada setiap person agar kebutuhannya yang spesifik bisa terpenuhi.15 Peran yang dilakoni perempuan tidaklah harus dipandang sebelah mata sekalipun hal itu hanya pada sektor domestik. Kesetaraan di sini adalah pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuannya tanpa didasari pada anggapan bahwa pekerjaan salah satunya jauh lebih bergengsi. Maka, keragaman dalam kesetaraan bisa terwujud jika kita menghormati peran sesama makhluk hidup. Jika prinsip itu dipegangi, niscaya tidak ada pandangan ketimpangan karena peran-peran itu memang berbeda tetapi mengarah kepada satu tujuan. Prospek Perempuan dalam Sosio-Historis Pendidikan Islam Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim tidak hanya memperhatikan kesalehan ritual semata (‘iba>dah mah}d}ah), namun juga yang perlu diperhatikan adalah kesalehan sosial dengan cara menjalin hubungan kerjasama yang harmonis dengan masyarakat sosial. Karena seseorang tidak akan bisa berfungsi dengan baik dan mengaktualkan kemanusiaannya secara sempurna jika tidak mampu menjalin kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya manusia lain. Keharmonisasian hubungan antara sesama makhluk perlu dijaga dan dipertahankan dengan tidak memilih apakah dia berjenis biologis laki-laki atau perempuan. Pemilihan terhadap salah satunya akan mengakibatkan ketimpangan dan mengganggu jalannya proses harmonisasi di dunia. Hal ini bisa berdampak pada ketidaksimpangan ekologi. Oleh karena itu, Islam telah memproteksi agar tidak terjadi hal tersebut. Alquran menginformasikan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah faktor dunia yang saling melengkapi dan sejajar. Disebutkan dalam Alquran (al-
15
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1999), 52.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
47
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
Baqarah (2): 187): ( هن لباس لكم وا نتم لبا س لهنMereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka (perempuan). Prinsip kesejajaran antara laki-laki dan perempuan telah diajarkan oleh Islam 14 abad yang lalu, jauh sebelum kaum feminis dan pemerhati perempuan menuntut kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Muhammad Saw telah memberikan contoh kepada umatnya bagaimana memperlakukan perempuan dan bergaul dalam rumah tangga. ‘A<’ishah, salah seorang istri nabi, menceritakan bahwa nabi sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sektor domestik yang sering kali diatributkan bahwa pekerjaan itu hanya cocok untuk perempuan. Sejarah mencatat bahwa kaum perempuan pada masa nabi mendapatkan peluang dan kebebasan dalam bekerja selama dianggap layak dan mempunyai keahlian dalam bidang apa saja yang halal. Kaum perempuan banyak yang terjun dalam berbagai bidang seperti Khadi>jah, istri yang dikenal sebagai seorang pengusaha. Zaynab binti Jahsi> berprofesi sebagai penyamak kulit binatang. Umm Sa>lim binti Malh}a>n menekuni bidang tata rias, Qillah Umm Bani> ‘Amma>r dikenal sebagai wairaswasta yang sukses, al-Shifa>’ bekerja sebagai sekretaris dan pernah menjabat sebagai penanggung jawab pasar kota Madinah pada masa ‘Umar Ibn alKhat}t}a>b.16 Dalam bidang pendidikan, beberapa nama dari kaum perempuan dikenal aktif sebagai pendidik, seperti ‘A<’isah, Saki>na (putri H{usayn ibn Abi> T{a>lib), Shuhrah (salah seorang guru dari Imam Sha>fi‘i>), Sha>miat alTaymiyyah, Zaynab, Rabi>‘ah al-‘Adawiyyah.17 Mereka ini memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pendidikan, dan melayani pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh masyarakatnya. Di samping itu, mereka juga mempunyai murid khusus yang secara rutin mendapatkan materi pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan agama dan umum. Antara ilmu umum dan agama pada saat itu disatukan karena memang belum dikenal dikotomi ilmu pengetahuan. Jadi, semua pengetahuan mengandung nuansa religius, meskipun mereka memperbincangkan masalah kesusastraan dan lain-lain.
16
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Cet. ke-1 (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Perserikatan Solidaritas Perempuan, dan The Asian Foundation, 1999), 22. 17 Ibid., 23.
48
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
Islam telah memberikan kebebasan kepada perempuan untuk terjun dalam bidang-bidang sosial. Maka, tidak mengherankan jika banyak perempuan yang tercatat dalam sejarah pernah terjun langsung dalam percaturan sosial. Mereka memiliki peran besar dalam dunia Islam seperti Khadi>jah, salah istri pertama Nabi, yang telah berjuang bersama suaminya dalam mengokohkan fondasi-fondasi Islam.18 Al-Khusa>’, seorang ibu yang telah mengajarkan anak-anaknya bagaimana berjuang di jalan Allah demi menegakkan kebenaran dan memberantas kezaliman. Bahkan, dengan penuh kerelaan dan kesabaran, ia menghadapi kematian empat orang putranya yang gugur dalam peperangan melawan orang-orang kafir.19 Asma> binti Abi> Bakr ikut serta dalam berbagai macam peperangan dan berhasil mendidik anaknya untuk mempunyai prinsip istiqa>mah dan berani mempertahankan kebenaran meskipun harus kehilangan nyawa.20 Zarqa> binti ‘Adi> mengajarkan kepada kaumnya untuk bersifat dermawan dan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, bahkan ia tidak segan-segan memberi bantuan moral dan moril kepada ‘Ali> bin Abi> T{a>lib waktu terjadi peran S{iffi>n.21 Rabi>‘ah al-‘Adawiyyah, seorang sufi terkenal pada masanya dan sesudahnya, memperoleh penghargaan yang tinggi dari masyarakat karena ajaran moralnya terhadap sesama manusia dan Allah. Ia mengajarkan untuk selalu bertaubat dan bersabar serta menerima yang diberikan oleh Allah apa adanya, karena kesabaran akan mengalahkan penderitaan dan mampu membawa kepada terwujudnya manusia seutuhnya yang senantiasa cinta kepada Allah.22 Masih banyak lagi perempuan-perempuan lain yang terjun dalam dunia sosial sebagai wujud nyata partisipasi dalam membangun ummat dan generasi, meskipun nama-nama mereka yang jumlahnya tidak terhitung tersebut tidak sempat terekam oleh pena sejarah. Perempuan sejak dahulu (zaman Rasulullah) sudah melakoni peran sosial dalam berbagai bidang 18
Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Terj. M.S. Nasrullah, Cet. ke-1 (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), 18. 19 Muh. Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj. Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad, Cet. ke-1 (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), 39. 20 Ahmed, Wanita dan Gender, 20. 21 22
Ibid.
Margaret Smith, Rabi’ah Pergaulan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Barajah, Cet. ke-1 (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), 40.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
49
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
terutama dalam bidang pendidikan. Meskipun perjuangan perempuan mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah, bahkan pernah juga dikatakan bahwa ia pernah mengalami distorsi terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah. Peran perempuan lebih dikonsentrasikan pada sektor domestik terutama kemungkinan setelah dibukukannya buku-buku fikih. Akibatnya, pemahaman sebagian umat yang memberikan penafsiran agama mengalami bias gender. Selain itu, perempuan juga pernah memegang posisi strategis pada zaman dinasti Islam kecil seperti pada masa dinasti Mama>lik, bahkan ada beberapa di antaranya yang menduduki top leader dalam singgasana kerajaan, seperti S{afiyyah Ha>ru>n yang berkuasa di daerah Aleppo, Gha>ziyyah, Khayun penguasa di daerah Hamah. Setelah Islam mengalami kemunduran, bahkan hilang sama sekali dalam peta politik dunia, masih terdapat beberapa nama perempuan yang berperan aktif dalam lapangan sosial namun tidak sempat terekam oleh sejarah. Suara-suara perjuangan perempuan, kembali berkibar sekitar abad 19, 20, dan 21. Sejak dideklarasikannya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Saneca Fall, maka sejak saat itu tuntutan kuat dari kaum perempuan untuk diberi kesempatan berperan aktif dalam dunia sosial menggema ke mana-mana. Tidak ketinggalan perempuan-perempuan Islam menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan serta meminta agar tafsirantafsiran agama yang berbias gender dan merugikan perempuan kembali ditelaah ulang sekaligus melakukan review historis pada zaman Rasulullah untuk melihat kondisi perempuan pada zaman itu kemudian melakukan interpretasi terhadap Alquran dan hadis secara jernih tanpa bias-bias subyektif. Perjuangan perempuan dalam menuntut haknya ternyata tidak sia-sia, berbagai kesempatan di bidang sosial diberikan kepada perempuan. Kebijakan pemerintah di berbagai negara memberi peluang kepada mereka untuk terjun ke dunia sosial bersama-sama dengan laki-laki. Lebih dari itu, badan dunia seperti PBB memberikan skala prioritas kepada kaum perempuan untuk mengembangkan karirnya dengan memberi kesempatan kepada perempuan mengikuti pelatihan dan pendidikan melalui pemberian bantuan berupa beasiswa. Pelatihan dan pendidikan diselenggarakan baik di negaranya sendiri maupun di luar negeri yang di anggap maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus memberi pengalaman kepada
50
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
perempuan untuk memacu langkah mereka sebagaimana kaum laki-laki yang sudah berada di garda depan. Dalam dunia Islam, khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, sederet nama besar yang berperan aktif seperti ‘A<’ishah binti ‘Abd al-Rah}ma>n yang lebih di kenal dengan nama Bint al-Sha>t}i‘, seorang professor pada Universitas ‘Ayn al-Shams, Kairo dan pengarang buku tafsir al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m.23 Al-Fa>ru>qi> adalah salah seorang guru pada Universitas Temple dan duduk sebagai anggota pokja pada badan dunia UNESCO. Studi doktornya diselesaikan pada Universitas Syracuse Amerika Serikat dan di kenal sebagai salah seorang sarjana yang paling otoritatif dalam bidang musik dan kesenian Islam. Riffat Hasan seorang feminis muslim kelahiran Lahore, gelar Ph.D diperoleh dari University of Louisville Kentucy. Ia termasuk penulis produktif, dan berbagai macam karya dihasilkan baik dalam bentuk buku maupun jurnal. Fatimah Mernissi, seorang feminis muslim kelahiran Maroko, gelar Ph.D diperoleh di Amerika Serikat pada tahun 1973. Ia adalah salah seorang dosen pada Universitas Muhammad V, dan menjabat sebagai konsultan pada badan dunia PBB. Masih banyak lagi nama-nama lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dalam konteks Indonesia, dikenal nama R.A. Kartini, seorang pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaumnya terutama di bidang pendidikan, agar kaum perempuan tidak berada dalam lingkaran kebodohan dan keterisoliran.24 Perjuangan ini kemudian diikuti oleh Dewi Sartika dari Jawa Barat. Perjuangan Kartini tidaklah sia-sia, ia berhasil mengetuk berbagai hati kalangan dalam strata masyarakat sehingga pintu hati kaum laki-laki terbuka untuk memberi peluang kepada perempuan berpartisipasi dalam pembangunan. Terbukti dengan ditetapkannya menteri khusus yang menangani kaum wanita. Di berbagai Perguruan Tinggi dibuka pusat-pusat studi wanita yang didanai oleh Lembaga Perguruan Tinggi. Pemerintah pusat juga beberapa donatur dari Bank Dunia, AusAid, CIDA, The Asia Foundation, dan lain-lain. Pada akhir dekade ini banyak tempattempat strategis dalam bidang pemerintahan dan swasta yang diduduki oleh kaum perempuan. Pemerintah membuka lebar kesempatan kepada 23
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintussyathi, Terj. Mudzakir Abdussalam, Cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1996), 37. 24 Safarinah Sadli, ‚Kemiskinan Melekat pada Perempuan,‛ Makalah Renungan Hari Kartini (1997).
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
51
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
perempuan untuk mengikuti pendidikan dan pengajaran seperti laki-laki. Peluang pengangkatan guru dan pegawai tidak hanya di khususkan bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan yang dikompetisikan secara positif, siapa yang mempunyai kemampuan maka dia yang layak menjadi orang pilihan (terjaring dalam proses rekruitmen pegawai). Mencermati berbagai peran strategis yang dilakoni oleh perempuan baik dahulu maupun sekarang, diketahui bahwa perempuan memang telah melakoni bidang-bidang sosial semenjak awal datangnya Islam dan berlanjut terus meskipun mengalami pasang surut hingga sekarang. Untuk itu, tidak ada alasan untuk memasung kebebasan perempuan mendapatkan peran-peran sosial di berbagai bidang. Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, perempuan mempunyai prospek yang cerah untuk berpartisipasi dalam kancah sosial. Pendidikan Islam menjadi pilar utama yang membingkai kaum perempuan Muslim dalam menentukan perannya kelak. Pendekatan moral sangat perlu diprioritaskan untuk melaksanakan fungsi dan peran perempuan dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan Islam akan mengarahkan perempuan dalam membina kualitas pendidikan manusia sebagai penggerak kemajuan masyarakat dalam melakoni bidang-bidang sosial. Pendidikan moral perlu diberikan kepada kaum perempuan yang kelak menjadi tulang punggung dalam mengemban estafet pembangunan dan sebagai agen pendidik yang akan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya. Dengan demikian, kesetaraan yang dituntut kaum wanita dalam bidang pendidikan tidak menjadikannya terjun sebebas-bebasnya tanpa pola yang mengikat mereka sebagaimana kaum perempuan di Barat, tempat dicetuskannya gender dan feminisme. Dalam kehidupan real, peran perempuan sebagai pendidik berlangsung di berbagai tingkat yaitu, sebagai ibu rumah tangga di rumah, guru di sekolah, dosen di Perguruan Tinggi, dan penyuluh dan anggota di masyarakat. Adapun yang dimiliki perempuan, ia harus mengerti bahwa ia adalah seorang pendidik yang akan mengkader dan menghasilkan individu muslim yang mampu melaksanakan peran dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah di muka bumi. Penutup Sejarah telah mencatat bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan pernah berlangsung cukup lama karena tidak adanya patron norma yang membimbing mereka. Mereka hanya mengandalkan pemahaman dan analisa
52
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
rasional semata sehingga terjadi ketimpangan terhadap salah satu di antara dua jenis kelamin biologis. Di Barat, slogan-slogan emansipasi didengungkan dalam berbagai aliran yang menyertainya, namun tampaknya hal tersebut gagal. Mereka meneriakkan hal-hal yang sama sekali menginginkan persaingan jenis untuk mengatasi salah satunya. Di negara asal emansipasi (Amerika), ternyata ini menjadi polemik, dan terbukti dengan tidak adanya anggota parlemen dan masyarakat bersedia dipimpin oleh wanita. Dalam Islam, emansipasi diletakkan dalam proporsinya yakni melihat kondisi yang layak untuk diperankan oleh seorang wanita dan kebebasan peran bukan dalam arti yang sebebas-bebasnya tetapi ada aturan dan kewajiban yang mengikat mereka. Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan terutama dalam lingkungan keluarga adalah pembagian kerja yang didasarkan pada perimbangan kesetaraan dalam keragaman. Meskipun pekerjaan salah satunya berbeda, tetapi mereka harus menghargai dan menghormatinya sebagai parner kerja yang saling melengkapi. Daftar Pustaka Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn Mughi>rah ibn Baradzabah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz I, Cet. ke-1. Beirut: Da>r al-Fikr al-‘Ilmi>, 1992. Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintussyathi, Terj. Mudzakir Abdussalam, Cet. ke-1. Bandung: Mizan, 1996. Asgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Cet. ke-1. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994. Charis Waddy, Wanita dalam Sejarah Islam, Terj. Faruq Sabil. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1987. Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi Lakilaki dan Perempuan dan Tradisi Islam Pasca Patriarki. Jakarta: Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 1995. Jane Collenburger dan Yan Sumaryana, Sosiologi Wanita, Cet. ke-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1996. John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Ulama, 1992.
Sitti Hasnah, Emansipasi Wanita dalam
53
Kemitrasejajaran dan Pendidikan Islam
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki Pengantar tentang Personal Dominasi terhadap Kaum Perempuan, Terj. Nug Katjasungkana (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), 11. Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Terj. M.S. Nasrullah, Cet. ke-1. Jakarta: Lentera Basritama, 2000. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. ke-3. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999. Margaret Smith, Rabi’ah Pergaulan Spiritual Perempuan, Terj. Jamilah Barajah, Cet. ke-1. Surabaya: Risalah Gusti, 1997. Muh. Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj. Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad, Cet. ke-1. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Alhiyyah al-Abra>shi>, al-Tarbiyyah al-Isla>miyyah wa Fala>sifatuha, Mitra: Mat}ba‘ah ‘I<sa> al-Ba>bi> al-H{alabi> wa Shuraka>’uh, 1975.
Muh}ammad
Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam terhadap Wanita, Terj. Afif Mohammad, Cet. ke-2. Bandung: Pustaka, 1994. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Persfektif al-Qur’an, Cet. ke-1. Jakarta: Paramadina, 1999. Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Cet. ke-1. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, Perserikatan Solidaritas Perempuan, dan The Asian Foundation, 1999. Ratna Megawangi, ‚Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman,‛ dalam Mansour Fakih, et al., Membincang Feminisme: Diskusi Persfektif Islam, Cet. ke-1. Surabaya: Risala Gusti, 1996. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Cet. ke-1. Bandung: Mizan, 1999. Ruth Rode, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata para Penulis Biografi Muslim, Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1995. Safarinah Sadli, ‚Kemiskinan Melekat pada Perempuan,‛ Makalah Renungan Hari Kartini (1997).
54
Musawa, Vol. 3, No. 1, Juni 2011: 39-54
Siti Zulaikha, et al., Muslimah Abad 21, Cet. ke-1. Jakarta: Gema Insani, 1999). Suharso dan Ana Retnonningsih, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Edisi Baru Semarang, Widya Karya, 2008), 158.