Konsep Emansipasi …
KONSEP EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN Dra. Hj. Sartiyati, M.Pd.I Abstrak Emansipasi wanita merupakan suatu gerakan social dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas diri perempuan menuju kehidupan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Qasim Amin merupakan salah seorang tokoh muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah perempuan, dalam hal ini emansipasi. Qasim Amin berupaya menyelaraskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, bahwa Islam selama ini sering dipahami secara keliru oleh pemeluknya terutama masalah perempuan. Kata Kunci : emansipasi wanita, Qasim Amin Pendahuluan Istilah emansipasi wanita berasal dari bahasa latin (emancipation) yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan, selain itu dapat juga diartikan sebagai proses suatu kelompok social dalam masyarakat untuk meningkatkan diri menuju kedudukan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam tata kehidupan masyarakat. Proses ini dapat menuju suatu asimilasi total 1. Persepsi tersebut selaras dengan firman Allah Swt dalam Al-quran yang artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar , laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuann yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Qasim Amin seorang ilmuan Mesir yang berinisiatif memperjuangkan emansipasi wanita di Mesir yang mendorong oleh citacitanya untuk kesejahteraan masyarakat, ia berpandangan kesejahteraan itu tidak akan dapat dicapai tanpa memperhatikan hakhak anggota masyarakat. Perbandingan jumlah penduduk Mesir, kalangan wanita tidak kalah jumlahnya dengan kaum laki-laki, kedua jenis tersebut tidak dapat dibedakan karena manusia yang dipandang 19
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
mulia disisi-nya hanyalah ketaqwaannya. Selain itu Amin Qasim berpandangan bahwa kebodohan masyarakatnya sangat jauh tertinggal dibidang ilmu pengetahuan, dan bahkan keliru memahami ajaran Islam sehingga berakibat sulit mencapai kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan ilmu pengetahuan berdampak kepada kemiskinan ekonomi, jumud dan terbenam dalam khurafat dan kesesatan, hal ini menjadi misi yang diperjuangkan oleh Qasim Amin, ia menuding ulama fiqh hanya berjuang untuk memuliakan kalangan pria saja, sementara wanita hanya sebagai objek seks semata, padahal kedudukan wanita sangat menentukan dalam mendidik anaknya atau generasi muda, selain itu wanita harus difungsikan sebagai mitra lakilaki dunia. Riwayat Hidup Qasim Amin Qasim Amin adalah putra Muhammad Baic Amin, berasal dari keturunan Turki dan Ibu berdarah al-Sha’id ( Mesir). Ia dibesarkan Provinsi Kurdi (Utara Turki), ia sempat bermukim di Sulaimaniyah selama 8 tahun dan kemudian kembali ke kota tempat kelahirannya yaitu iskandariyah. Karena ayahnya seorang yang berada, maka lebih muda bagi Qasim Amin untuk melanjutkan pendidikan sampai ketingkat yang tinggi. Pendidikan yang dikecapnya sampai di Licence pada usia 18 tahun3. Dorongan ayahnya yang juga seorang ilmuan membuat Qasim semakin bersemangat menimba ilmu, baik dinegerinya maupun ke Paris untuk mendalami ilmu hokum dan ilmu lain. Disamping itu, pergaulannya dengan Jalaludin al-Afgani, Said Zaghlul, Muhammad Abduh, Abdulullah an-Nadim dan Adib bin Ishaq banyak mewarnai pemikirannya yang berkaitan dengan prospek masa depan umat islam secara umum khususnya dalam konteks umat islam Mesir4. Selain latar belakang pendidikannya berbeda dengan temantemannya yang berdampak pada perbedaan refleksi dalam mewujudkan cita-cita yang sama yaitu mewujudkan umat islam, tetapi hal itu mempercepat kristalisasi mengenai pembaharuan dan langkah menuju kemajuan umat islam. Konsep Emansipasi Wanita Qasim Amin Qasim memiliki pandangan yang sama dengan gurunya Muhammad Abduh dan temannya Sa’ad Zaghlul dan kelompok pimpinan politik pada zaman itu. Ia berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari alam, dan alam harullah adalah hokum Sunnatullah. Diantara Sunnatullah adalah causality alam sehingga ia dikenal denga istilah hukum alam. Qasim mengungkapkan contoh bahwa kemajuan itu berasal dari perubahan, tanpa perubahan maka kemajuan mustahil akan dapat dicapai5. Watak Qasim tergolong berjiwa halus, tenang dan tidak 20
Konsep Emansipasi …
menyukai kekerasan, ia termasuk ilmuan yang cinta keindahan dan masalah social menjadi perhatiannya. Menurut Qasim, kemunduran suatu bangsa juga dipengaruhi oleh kurangnya perhatian bangsa tersebut kepada seni dan keindahan, ia juga tertarik dengan masalah positif kemasyarakatan, ide-idenya mengenai emsnsipasi wanita telah mewarnai majalah-majalah ilmiah. Dan salah satu karyanya yang diterbitkan pada tahun 1899 adalah Tahrir al-Mar’at, karya tersebut secara umum berisikan seruan kepada masyarakat Mesir untuk mendukung gerakan emansipasi wanita. Perhatian terhadap hak-hak wanita. Usaha ini melanjutkan ide Muhammad Abduh tentang “kemakmuran masyarakat dan kepentingan bersama”(al-Rifahiyat al ijtimaiyah wa Mashlahat al-jama’at)6. Menurut Qasim Amin, ide ini berfungsi sebagai motovasi untuk berjuang dan harus diwujudkan dalam alam realita sehingga dapat dinikmati masyarkat Mesir. Menurut pendapatnya; jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan cita-cita ini adalah meningkatkan kualitas hidup bangsa Mesir dengan menguasai ilmu pengetahuan modern, dengan menjalin bersama dengan penguasa politik7. Wanita Mesir menurut Qasim Amin, merupakan barang berharga yang tersimpan dalam etalase atau kotak berharga untuk dipandang dan ini akan berakibat bangsa Mesir akan Lemah, karena separuh penduduknya menjadi pengangguran terselubung untuk dihidupi, jika pun menjadi pekerja mereka tidak memiliki keahlian yang akan menjadi bangsa Mesir yang diperbudak8. Padahal apabila ditinjai dari sudut pandang agama islam, justru agama mendorong untuk menuntut ilmu , beramal shaleh dan di sisi Allah juga akan mendapat penghargaan yang sama dengan pria, Allah hanya membedakannya dari sisi ketaqwaannya, kalaupun wanita itu bertaqwa, ia lebih mulia dari kaum lelaki. Qasim melihat wanita yang tidak terpelajar dan tidak memiliki keterampilan mengalami kesulitan dan sanggat bergantung pada walinya seperti anak wanita yang mengalami kematian suami, atau tidak memiliki anak laki-laki, saudara laki-laki, atau bercerai suaminya. Untuk itu diperlukan pendidikan dan pengajaran agar menjadi manusia yang mandiri dan mampu berfikir kreatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya tanpa harus bergantung kepada orang lain9. Kenyataan menunjukan bahwa banyak wanita mesir yang kematian wali,suami tiada tempat bergantung lagi. Dengan terpelajarnya wanita ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa melakukan perbuatan menyimpang dan asusila dan mencari balas kasihan dari orang lain10. Lebih lanjut diharapkan agar wanita tidak menjadi beban masyarakat dan Negara. Bahkan ia diharapkan dapat mengembangkan ilmunya untuk kemajuan bangsa. Karena pada dasarnya wanita juga diberi kemampuan oleh Allah Swt untuk berfikir dan berbuat seperti pria, 21
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
kecuali dalam hal tertentu dan dapat merusak kodratnya sebagai wanita11. Qasim Amin seorang tokoh yang hidup pada abad 19, wanita telah begitu maju pikirannya, dengan upaya penghapusan diskriminasi tersebut, tetapi masih mayoritas pandangan masyarakat Mesir masih berpandangan kalau wanita islam itu hanyalah bagian dari pelayan lelaki. Konsep tersebut terbentuk karena dibentuk oleh kaum lelaki dan hanya menjadikan wanita sebagai objek semata. Sebagai umat islam yang utuh, selayaknya memperhatikan perannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah, karena itu Qasim memperlihatkan keprihatinannya, dan menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya ditengah masyarakat tetapi memasuki rumah tangga Mesir pada waktu itu penyebabnya adalah kebodohan, tidak saja dikalangan wanita miskin tetapi justru terdapat pada kalangan masyarakat yang tingkat ekonominya menengah keatas. Terkadang juga masyarakat petani tidak membedakan antara pria dan wanita dalam hak untuk mendapatkan pembagian hasil pertanian, karena mereka bersama bekerja dengan porsi yang sama dalam bertani. Sedangkan dikalangan masyarakat mampu, justru banyak wanita yang masih dipingit dalam rumah. Pengetahuan sangat terbatas sehingga menjadi perbedaan yang sangat mencolok antara pria dan wanita dalam rumah tangga nya. Pria tidak bertukar pikiran dengan istrinya karena ilmu pengetahuannya sangat lemah, sehingga terjadi kesulitan pada musyawarah dalam keluarga, maka kerukunan sulit tercapai. Perbedaan pengetahuan dan pengalaman yang demikian besar merupakan factor penyebab bagi krisis hubungan pria wanita dalam rumah tangga dan masyarakat12. Ditambahkanya, wanita sebagai istri diharapkan untuk menjadi teman/partner bagi dalam mencurahkan perasaan, tempat bertukar pendapat dan musyawarah. Kesulitan yang dihadapi suami dapat berkurang bahkan hilang apabila ada istri tempat berbincang dan musyawarah , tetapi karena hal tersebut tidak dapat dilakukan karena istri yang sangat terbatas pengetahuannya, akibatnya; suami memendam sendiri permasalahan yang dihadapinya. Suami merasa hidup seorang diri, sementara suami hidup konsumtif dan hanya teman mengadu dan meminta kebutuhan materi belaka. Realitas tersebut, tidak hanya terjadi dikalangan menengah kebawah, tetapi justru lebih banyak terjadi dikalangan elite bangsa Mesir. Hal tersebut sebagai akibat dari kurangnya pendidikan dikalangan wanita itu sendiri. Dalam kaitanya tugas wanita sebagai ibu, Qasim berpendapat bahwa untuk melepaskan itu semua, orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anak secara seksama tanpa membedakan laki-laki dan
22
Konsep Emansipasi …
wanita, bahkan seorang ibu harus berperan untuk mendidik anak agar tradisi tersebut tidak bertahan lama, al ghazali berpendapat; Anak adalah amanah Tuhan, hatinya suci merupakan permata berharga dan polos bagaikan kertas putih tanpa tulisan. Ia dapat diarahkan kemana saja, jika ia dilatih dan diajarkan yang baik, maka akan tumbuh dan berkembang kearah yang baik. Ia akan bahagia dunia akhirat, orang tua pendidik dan pengajar sama-sama mendapatkan balasannya. Sebaliknya jika ia dilatih yang tidak baik atau dibiarkan tanpa pendidikan, maka ia akan celaka, dosanya akan menjadi beban orang tua13. Masyarakat Mesir masih kurang memperhatikan pendidikan wanitanya, karena mereka berpendapat bahwa pendidikan merusak akhlak, hal ini menjadi kendala dalam peningkatan pengetahuan wanita. Menurut Qasim pandangan seperti tersebut sudah sangat berubah, justru menjadi kebalikannya, bahwa pendidikan harus memperhalus budi pekerti dan akhlak, serta mengangkat harkat dan martabat terdidik dan semakin sehat fisiknya. Jika tidak bisa diubah, maka konsep pendidikan yang keliru, karena itu kebijakan pemerintah dibidang harus bisa berubah persepsi keliru itu. Wanita dan Keluarga Keluarga adalah unit system terkecil dimasyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah penunjang suatu system masyarakat melalui unit ekonomi, tempat reproduksi dan pembentukan angkatan kerja baru serta konsumsi, tempat pembentukan suatu ideologi, nilai dan agama serta tempat terbentuknya kesatuan social bio-sosial. Peningkatan kesejahteraan keluarga adalah upaya menuju terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Usaha ini akan berhasil bila dilaksanakan secara serius dan dengan rencana yang tertata dengan baik. Selain itu peran anggota keluarga perlu diperhatikan Karena tidak semua keluarga memiliki kemampuan memadai dalam kebutuhan keluarga. Tambahan penghasilan bagi keluarga kalangan bawah misalnya, sangat penting bagi kelangsungan keluarganya. Menurut Boserup (1970) dan Sayogo (1984), suatu kebijakan dikatakan berpengaruh negative apabila menghilangkan sebahagiaan atau seluruh fungsi reproduksi wanita14, menurut data UNICEF tahun 1980, wanita adalah penanggung jawab agar anggota keluarga memiliki sesuatu untuk dibentuk (Vaa, 1991) akan tetapi pada wanita penghasilannya rendah dan berilmu pengetahuan rendah, peluang untuk memenuhi tanggung jawab ini tidak selalu tersedia (Afshar, 1978)15, sehingga menimbulkan masalah, hal ini juga dialami berbagai masalah diwilayahh Mesir.
23
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
Qasim Amin berpendapat bahwa tata keluarga ikut menunjang keberhasilan upaya perbaikan kondisi wanita, Karena tata kekeluargaan yang tidak sempurna, tidak dapat diharapkan akan mencetak calon ibu rumah tangga yang baik. Antara upaya peningkatan mutu wanita dan sempurnanya tata kekeluargaan (nizam al-ailat) itu, kata Qasim Amin terdapat hubungan saling terkait dalam membahas masalah tentang keluarga ini, ia merasa perlu menyajikan dua masalah penting yaitu perkawinan dan perceraian. Perkawinan Wanita dalam perkawinan bukan sebagai pihak ketiga, tetapi pihak kedua bersama-sama suami, sedangkan posisi pertama adalah Allah Swt. Perkawinan adalah memikul amanah Allah Swt, hubungan suami istri adalah hubungan horizontal. Islam mengajarkan untuk tidak memandang rendah wanita , menghormati hak-haknya dan berlaku baik serta jujur dalam berhubungan16. Menurut pengamatan Qasim, ada pandangan yang meluas dan mengakar yang menempatkan wanita sebagai harta benda yang bergerak. Pandangan ini berasal dari defenisi nikah yang bersumber kitab-kitab fiqh. Defenisi tersebut adalah al-nikah huwa ‘aqdi yamlikual rajul buudha’a al-mar’at (nikah adalah sebuah transaksi yang membuat laki-laki dapat menikmati kehormatan wanita)17. Defenisi tersebut menggambarkan pandangan perumusnya, bahwa harga wanita itu hanya terletak pada perkawinan secara biologis (jasmani), tidak tergambar dari defenisi tersebut-kata Qasim-ada tujuan yang lebih bermakna dan lebih jauh dibalik perkawinan selain hubungan jasmaniyah. Konsep pembaharuan tidak berdiri sendiri, perkawinan ini juga erat hubungannya dengan pendidikan18. Menurut Qasim, dalam ajaran islam terdapat prinsip monogamy. Al-Quran memberikan persyaratan yang berat bagi orang yang akan melaksanakan poligami dalam keadaan tertentu, seperti jika istri sulit melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Namun pada prinsipnya menurut Qasim, monogamilah yang paling baik. Sakitnya istri tidak dapat dijadikan alas an poligami, tidak etis, karena itu diluar kehendak istri. Padahal bagi istri, suami yang sakit dirawat dengan baik, sungguh tidak adil apabila istri sakit ditinggal dan menikah lagi, padahal mereka adalah manusia biasa yang punya hati19. Perceraian Menurut Qasim, perceraian di Mesir pada penghujung abad 19 terhitung cukup tinggi jumlahnya yaitu 33.000 dari 120.000 perkawinan (1898 M). keadaan ini tidak terlepas dari tanggung jawab pria dalam rumah tersebut. Talak hanya dibenarkan dalam keadaan tertentu. Ia 24
Konsep Emansipasi …
mengusulkan untuk membuat suatu undang-undang perceraian yang dapat memperkecil angka tersebut, yang prinsip agar pria tidak sewenang-wenang menjatuhkan talak kepada istrinya. Wanita perlu diberi hak untuk menentukan pilihan antara meneruskan atau mengakhiri perkawinannya, bila ia diperlakukan sebagaimana mestinya satau suami tidak melaksanakan kewajibannya sebagai penanggung jawab keluarga. Qasim Amin mengajukan pendapat yang sesuai mazhab Maliki, yaitu wanita diberi hak untuk mengadu kepada qadhi, apabila ia merasa diperlakukan diluar batas kemanusiaan istri20. Disamping perhatiannya terhadap keluarga, pendidikan wanita dan generasi muda, Qasim juga memberikan perhatian kepada pendidikan seluruh bangsa Mesir, ia juga mendorong masyarakat untuk memiliki cita-cita. Tanpa cita-cita semua potensi yang dimiliki manusia seperti akal, pendidikan, potensi dan pengetahuan, tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Qasim juga mendorong masyarakat untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan menjalin kerjasama dengan pemerintah. Kesimpulan 1. Amin Qasim adalah tokoh pembaharuan dibidang pendidikan, khususnya pendidikan wanita dan generasi Mesir. Dia menginginkan terwujudnya emansipasi wanita untuk mengangkat martabat wanita sehingga dapat menjadi mitra sejajar dalam rumah tangga dan masyarakat. 2. Untuk memberikan perlindungan kepada wanita dan mengangkat martabatnya, perlu ditinjau kembali defenisi perkawinan yang diharapkan terwujudnya kasih sayang ( mawaddah wa rahmah ) antara suami dan istri. 3. Kebodohan pada wanita berakibat kerukunan rumah tangga sulit dicapai dan pendidikan anak pun sulit terwujud dengan baik, tetapi sebaliknya apabila wanita terpelajar, ia dapat menjadi “sahabat suaminya dalam suka dan duka” sehingga keharmonisan rumah tangga dapat terwujud dan masyarakat pun sejahtera akan tercapai. 4. Untuk menghindari/mengurangi angka perceraian, perlu adanya undang-undang mempersulit perceraian. Sedangkan bagi wanita yang diperlukan sewenga-wenang oleh suami dapat mengadukan halnya kepada qadhi. Wanita diberi hak untuk memilih dan meneruskan atau mengakhiri perkawinannya. 5. Setiap anggota masyarakat diharapkan memiliki ilmu pengetahuan agar bersikap adil dan memiliki budi pekerti yang mulia, menghargai seni dan memiliki semangat dan cita-cita hidup.
25
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
26
Konsep Emansipasi …
PENDIDIKAN BELA NEGARA DI PONDOK PESANTREN (Antara Cita-cita dan Realita)1 Dr. H. Marwazi, M.Ag A. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, muncul wacana ingin memasukkan materi bela negara di pondok-pondok pesantren, hal ini dipicu oleh realita di masyarakat tentang adanya kekerasan, radikalisme, dan terorisme yang diduga ada yang berasal dari pesantren. Dari tiga kasus itu kekerasan, radikalisme, dan terorisme), yang paling ditakuti adalah yang ke tiga. Memang jika itu benar, ada sebahagian alumni pesantren yang menjadi pelakunya, bahkan pemimpinnya2. Di samping itu, akhir-akhir ini ada juga kasus NII (Negara Islam Indonesia) yang dialamatkan juga kepada pemimpin pesantren. Tapi hal itu harus dipandang secara obyektif, bahwa di Indonesia ada ratusan ribu pondok pesantren, sementara untuk kasus terorisme, yang sudah terbukti cuma satu, yaitu Pondok pesantren al-Mukmin Ngruki Solo. Sementara untuk kasus NII, hanya satu juga, yaitu pondok pesantren Az-Zaetun3 di Indramayu, ini pun belum ada keputusan tetap dari pengadilan, dan kasus teroris di Pondok Umar Bin Khatab di Nusa Tenggara Barat. Kasus-kasus itu tidak tepat bila digenalisir kepada semua pondok pesantren, sehingga muncul anggapan bahwa pondok pesantren sebagai sarang terorisme, radikalisme, fanatisme, dan lain sebagainya. Karena hal itu justeru akan merugikan lembaga tersebut yang selama ini telah dirasakan dan dibuktikan kontribusinya sebagai tempat pendidikan karakter atau pembentukan karakter (caracter building). Pemerintah dan masyarakat harus jujur dan seimbang dalam memandang dan menilai pondok pesantren, ia sebagai sistem lembaga peindidikan pertama di Indonesia yang telah banyak melahirkan pejuang kemerdekaan negara, pemimpin bangsa, dan pembangun masyarakat, bahkan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila harus “dibina”, maka harus tepat sasaran, yaitu khusus pada pondok pesantren yang terindikasi atau terbukti saja, karena bila tidak, justeru akan kontra produktif. Pondok pesantren selama ini, tumbuh dan berkembang dari pribadi dan masyarakat serta untuk masyarakat, maka disebut lembaga pribumi atau lembaga pendidikan rakyat. Walaupun 1
Marwazi, Dosen IAIN STS Jambi, Pendiri dan Pengasuh PP An-Nur Tangkit Muaro Jambi 2 Yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang terbukti—menurut hakim-- sebagai pimpinan teroris, walaupun masih dibela oleh pengacaranya. 3 Didirikan dan dipimpin oleh Syeikh Panji Gumilang atau Abdussalam
27
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
menurut Ziemek, ia tumbuh secara paralel dengan lembaga sebelumnya (Hindu-Budha), yang memiliki kesamaan dalam segi asrama4, yang menurut istilah Nurchalis Madjid, pertumbuhannya memiliki hubungan historis dengan lembaga pra-Islam sebelumnya5 yaitu Hindu-Budha. Mastuhu mengatakan, ia mulai dikenal di Nusantara dalam periode abad ke-13-17 M, tapi dianggab sebagai lembaga pendidikan berbobot pada abad ke-18 M6. Ia terus tumbuh dan berkembang atas dasar (bebasis) masyarakat. Hanya pada era revormasi pondok ini sedikit diperhatikan oleh pemerintah, terutama setelah ada Direktorat Pondok Pesantren di lingkungan Kementerian Agama, dan masuk dalam Sistem Pindidikan Nasional7. Artinya lembaga ini memiliki sikap kemandirian yang kuat dan tinggi. Maka, sebetulnya belum seberapa sumbangsih pemerintah terhadap pondok tersebut bila dibandingkan dengan jasa dan perjuangnya bagi bangsa dan negara. Sebetulnya, sampai sekarang umumnya pondok pesantren masih menghidupi dirinya sendiri, mulai dari pengadaan sarana, perawatannya, biaya proses pembelajaran, gaji guru dan lain sebagainya; dan tanpa menutup mata pemerintah ikut membantu. B. PENDIDIKAN KEWARGAAN Pendidikan kewargaan (civic edudancation) identik dengan pendidikan kewarganegaraan, adalah kata majmuk yang terdiri dari kata pendidikan (education) dan kewargaan (civic). Pendidikan mempunyai makna yang beragam, sekeragaman para filosof itu mendefinisikannya; Plato (427-346 SM) mendefinisikannya bahwa pendidikan adalah “memberikan segala yang memungkinkan bagi badan dan jiwa menjadi baik dan indah”, Aristoteles (lahir 384 SM) mendefinisikannya “mempersiapkan akal untuk mendapatkan ilmu sebagaimana mempersiapkan bumi untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman”, Pestalozzi 1746-1827 M) mendefinisikannya sebagai “upaya mengembangkan seluruh potensi anak dengan pengembangan yang sempurna dan serasi”, Herbert Spencer (18201903 M) mendefinisikannya sebagai “mempersiapkan manusia agar dapat hidup sempurna”8, jadi bila boleh disimpulkan, pendidikan 4
Ziemek, Manfret ,Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Penerbit P3M, 1986), h.16-17. 5 Madjid, Nurcholish , “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam Kusnanto (ed.), Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h.3. 6 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.20 7 Lihat Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 30 ayat( 4). 8 Al-Abrasyy, Muhammad Atiyah ,Ruh at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, (Tanpa Kota, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tanpa tahun), h. 5-6.
28