ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
PERANAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR DALAMMENINGKATKAN DAYA ADAPTASI BIBIT KELAPA SAWIT TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN PADA MEDIA TANAH GAMBUT (The Role of Michorhiza Arbuskular toImproved the Adaptability of Oil Palm Seedling to Drought at Peat Soil) Elis Kartika1 Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Mendalo Darat e-mail :
[email protected]
ABSTRACT In a long dried season, oil palm plant that planted in peat soil will hindered by drought stress. Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient uptake and yield of oil palm. One of the alternatives to overcome this drought stress problem on many plants is through inoculation with AMF. This research was conducted to observe the adaptability of oil palm seedling inoculated with AMF on drought stress in peat of used forest soil. The experiment on this soil type was arranged in a Factorial Completely Randomized Design with two factors. The first factor was AMF inoculation (M0= without AMF and M1 = inoculation of AMF) and the second factor was drought stress levels (available water 100%, 75%, 50% and 25%). Research result indicates that AMF inoculation improved the adaptability of oil palm seedling on every level of drought stress, as shown by the responses of growth and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated seedling on drought stress was solely by tolerance mechanism, either osmoregulation as shown by higher production level of osmoticum components or cell turgor regulation by leaf ABA accumulation. On the inoculated seedlings, however, there were synergism between those two tolerance mechanism and escape mechanism. Two important escape mechanisms were intensifying root system and decreasing transpiration surface of seedlings. Key words : oil palm, AMF, drought stress, adaptation mechanism
PENDAHULUAN Cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan produksi pada tanaman kelapa sawit. Menurut Hutomo et al. (1977), taksiran penurunan produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar antara 21-65 %. Tanggap paling awal dari tanaman
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 52
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
ISSN:2302-6472
yang mendapat cekaman kekeringan adalah terjadinya hambatan pembukaan stomata daun (Penny-Packer et al. 1990). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan konduktansi stomata, fotosintesisdan pertumbuhan (Prevete et al. 2000; Delfine et al. 2001), sehingga pada akhirnya dapat menurunkan produksi. Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah gambut akan mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau panjang. Selain disebabkan oleh perakarannya yang dangkal, juga tanah tersebut mempunyai kemampuan menahan air yang rendah. Tanah gambut bekas hutan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kejenuhan basa yang rendah, derajat kemasaman yang tinggi dengan 3.90, kandungan hara makro dan mikro yang sedang, serta unsur P sulit tersedia bagi tanaman. Agar tetap dapat bertahan hidup dalam keadaan kekeringan, tanaman harus dapat mengatur status air dalam tubuhnya melalui pengaturan potensial osmotik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan melalui pengaturan osmotik sel, yaitu melalui sintesis dan akumulasi senyawa organik serta dengan cara menjaga turgor sel. Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain gula osmotik (Kobashi et al., 2000; Wijana 2000), glisina-betaina (Makela et al. 1999; Wijana 2000) dan prolina (Pangaribuan 2001; Wijana 2000). Selain itu untuk mengatur turgor sel, tanaman menghasilkan ABA (Pastor et al. 1999; Kobashi et al. 2000; Wijana 2000) serta sudah diketahui bahwa ABA dapat memacu akumulasi prolina (Trotel-Aziz et al. 2000). Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap kekeringan pada tanaman kelapa sawit adalah dengan menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA). CMA pada lahan kekeringan mampu meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya, selain itu juga mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan (Setiadi 1989). Selain itu, adanya peningkatan serapan P oleh tanaman yang bermikoriza diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim fosfatase akar tanaman. Hasil penelitian Aboul-Nasr (1998) menunjukkan bahwa inokulasi CMA pada tanaman labu dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa tanaman labu yang diinokulasi Glomus intraradices memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada yang tidak diinokulasi. Tanaman yang bermikoriza secara nyata meningkatkan jumlah P dan K pada tajuk tanaman tersebut. Di bawah cekaman kekeringan, tanaman yang bermikoriza memiliki kandungan K tajuk serta N dan P akar yang lebih tinggi daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Hasil yang sama diperoleh oleh Al-Karaki & Clark (1999) pada tanaman barley; Syvertsen & Graham (1999) pada sour orange dan sweet oranges; Hapsoh (2003) pada kedelai; serta Hanum (2004) pada kedelai. Mekanisme peningkatan adaptasi terhadap cekaman kekeringan akibat adanya CMA, selain karena perbaikan penyerapan P, juga adanya kolonisasi mikoriza menunda dehidrasi jaringan dan memelihara turgor sel tanaman selama kekeringan dengan satu atau lebih mekanisme sebagai berikut; (1) meningkatkan
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 53
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
penyerapan air melalui peningkatan kerapatan akar (Osonubi et al.1992), daya hantar hidrolik akar internal (Cui & Nobel 1992), dan/atau transport air dari hifa ke akar (Ruiz-Lozano & Azcon 1995); (2) mengurangi kehilangan air dari tanaman melalui pengurangan luas daun (Osonubi et al.1992) atau peningkatan resistensi stomata (Allen & Allen 1986) serta (3) peningkatan penyesuaian osmotik daun (Ruiz-Lozano et al. 1995) dan/atau akar (Auge & Stodola 1990). Mikoriza juga meningkatkan kelenturan dinding sel tanaman (Auge et al.1987), yang memelihara turgor sel selama kekeringan. Menurut Davies et al. (1992) perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah sekeliling akar bermikoriza akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi tanaman terhadap kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air yang cukup. Pemberian CMA pada keadaan kekeringan dapat mempengaruhi mekanisme adaptasi tanaman dalam memproduksi senyawa organik dan mengatur turgor sel serta dalam penyerapan P seperti pada tanaman labu (Aboul-Nasr, 1998), gandum (Al-Karaki & Clark, 1999), kakao (Sasli 1999), dan kedelai (Hanum 2004). Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam keadaan kekeringan pada bibit kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut dalam mengatur mekanisme adaptasi belum dilaporkan. Dengan pemberian CMA pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA tersebut mampu meningkatkan daya adaptasi bibit terhadap cekaman kekeringan, sehingga jika ditanam di lapangan bibit akan mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang beragam. Penelitian ini bertujuan mengkaji peranan CMA dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan pada media tanah gambut bekas hutan serta untuk mengkaji mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit dalam mengatasi cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA pada tanah gambut tersebut.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB, dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian Bogor. Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dua faktor menggunakan Rancangan Acak Lengkap tiga ulangan. Faktor pertama, mikoriza terdiri dari dua taraf yaitu M0 (tanpa inokulasi CMA) dan M1 (dengan inokulasi CMA). Faktor kedua, cekaman kekeringan terdiri atas empat taraf yaitu C1 (100% air tersedia), C2 (75% air tersedia), C3 (50% air tersedia), dan C4 (25% air tersedia). Media tanam berupa tanah yang berasal dari tanah gambut bekas hutan, dikeringanginkan, diayak, disterilisasi dan kemudian dimasukkan ke dalam polybag berukuran 40 cm x 45 cm. Kecambah kelapa sawit varietas D x P (Tenera) (panjang radikel maksimum 0.5 cm) ditanam dalam polybag tersebut. Isolat CMA yang diberikan merupakan isolat CMA yang terbaik pada tanah gambut bekas hutan (isolat campuran inokulum CMA Glomus sp-1c,
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 54
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) serta diberikan pada saat penanaman kecambah. Perlakuan cekaman kekeringan mulai dilakukan pada saat bibit berumur 2,5 bulan. Sebelum perlakuan cekaman kekeringan, penyiraman dilakukan setiap hari. Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air tersedia. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan dan pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock phosphate, KCl dan kisserite dengan dosis menggunakan rekomendasi PPKS Medan. Pengamatan dilakukan terhadap peubah tinggi bibit, jumlah daun, jumlah daun pecah lidi, diameter batang, luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, efisiensi penggunaan air (EPA), analisis aktivitas enzim fosfatase asam, serapan P, serapan K, analisis prolina, analisis ABA, dan analisis glisina-betaina, serta infeksi akar. Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji ortogonal polinomial dan regresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan uji ortogonal polinomial didapatkan persamaan regresi dan grafik dari setiap peubah yang diamati seperti tercantum Gambar 1- 5. Berdasarkan Gambar 1- 5 diperoleh bahwa dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan menyebabkan tanggap morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit semakin menurun baik bibit yang diinokulasi CMA maupun yang tidak, seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali infeksi akar. glisina-betaina, kadar prolina daun dan kadar ABA daun. Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi pada bibit yang diinokulasi CMA lebih lambat daripada bibit tanpa CMA untuk peubah jumlah daun, jumlah daun pecah lidi, bobot kering tajuk, dan glisin. Sebaliknya peubah diameter batang, bobot kering akar, EPA, enzim fosfatase asam di akar, kadar ABA daun, serapan K dan serapan P menunjukkan perubahan tanggap yang lebih lambat pada bibit tanpa CMA. Sementara itu, peubah tinggi tanaman dan luas daun menunjukkan perubahan tanggap yang hampir sama antara bibit yang diinokulasi CMA dan yang tidak. Seperti halnya pada tanah PMK bekas hutan (Kartika, 2009), tanggap morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diamati kecuali glisina-betaina daun, prolina daun, dan kadar ABA daun. Adanya CMA ternyata membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi, sehingga bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih baik. Peran CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan untuk semua peubah yang diamati. Bibit yang diinokulasi CMA memberikan tanggap tinggi bibit dan jumlah daun pecah lidi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA pada setiap cekaman kekeringan. Penurunan tinggi bibit yang diinokulasi CMA mempunyai pola yang sama dengan bibit tanpa CMA, sedangkan pada peubah jumlah daun pecah lidi bibit yang diinokulasi CMA penurunannya lebih lambat (Gambar 1.).
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 55
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
120.0 y = 0.5799x + 42.85 R2 = 0.9195
Tinggi bibit (cm)
100.0
y = 0.5907x + 35.117 R2 = 0.8247
80.0
60.0
40.0 M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)
20.0
0.0 0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
6 y = 0.0413x + 0.8333 R2 = 0.6428
Jumlah daun pecah lidi
5
4 y = 0.0613x - 1.3333 R2 = 0.7504 3
2 M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)
1
0 0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Gambar 1. Tanggap tinggi dan jumlah daun pecah lidi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di tanah gambut bekas hutan
Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi cekaman kekeringan sehingga nilai peubah morfologi dan fisiologi yang sama bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA. seperti ditunjukkan oleh peubah diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, luas daun, serapan K, serapan P dan enzim fosfatase asam di akar (Gambar 2.).
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 56
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012 100.0
16
90.0
y = 0.4704x + 31.417 2 R = 0.9296
14
y = 0.052x + 8.6667 R2 = 0.6514
12
y = 0.0653x + 6.1667 R2 = 0.6428
70.0 60.0 y = -0.0053x2 + 1.2168x - 6.1167 R2 = 0.94
50.0 40.0
Jumlah daun
Diameter batang (mm)
80.0
10 8 M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)
6
30.0 M0 M1 Poly. (M0) Linear (M1)
20.0 10.0
4 2 0
0.0 0
25
50
75
0
100
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Persentase air tersedia
120.00 2
y = -0.0038x + 1.5387x - 9.2067 R2 = 0.9798
25.00 2
y = -0.0015x + 0.4087x - 3.7005 R2 = 0.9707
100.00
Bobot kering tajuk (g)
Bobot kering akar (g)
20.00
y = -0.0015x2 + 0.3135x - 3.1945 2 R = 0.8625
15.00
10.00
80.00
40.00
M0 M1 Poly. (M1) Poly. (M0)
5.00
y = 0.8225x - 8.2988 R2 = 0.9329
60.00
M0 M1 Poly. (M1) Linear (M0)
20.00
0.00
0.00 0
25
50
75
0
100
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Persentase air tersedia
9000.00 8000.00
y = 79.015x - 595.6 R2 = 0.9539
7000.00 M0 M1 Poly. (M1) Linear (M0)
7.00
5000.00 y = 63.33x - 693.26 R2 = 0.921
4000.00 3000.00
M0 M0 Linear (M0) Linear (M0)
2000.00 1000.00
y = 0.0006x2 + 0.0008x + 0.5511 2 R = 0.9728
6.00 Serapan K (g/tan.)
Luas daun (cm2)
8.00
6000.00
5.00 4.00 3.00 y = 0.0355x - 0.5772 2 R = 0.8788
2.00 1.00
0.00 0
25
50
75
0.00
100
0
Persentase air tersedia
50
75
100
Persentase air tersedia
700.00 M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)
1.00
0.80 y = 0.0114x - 0.2077 R2 = 0.9476 0.60
0.40 y = 0.0068x - 0.1902 R2 = 0.9229 0.20
Enzim fosfatase asam di akar (umol/g bb)
1.20
Serapan P (g/tan.)
25
y = 3.6876x + 218.28 R2 = 0.8011
600.00
500.00
400.00 y = 2.3844x + 157.22 R2 = 0.7731
300.00
200.00 M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)
100.00
0.00 0
25
50
75
100
0.00 0
-0.20 Persentase air tersedia
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Gambar 2. Tanggap diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, luas daun, serapan K, serapan P, serta enzim fosfatase asam di akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 57
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
Semakin berat cekaman kekeringan yang diberikan, maka semakin terhambat pertumbuhan dan perkembangan bibit kelapa sawit tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Muller & Whitsitt (1996) dari hasil penelitiannya bahwa cekaman kekeringan menyebabkan tanaman mengalami penurunan pertumbuhan, perubahan akumulasi senyawa osmotik terlarut, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, serta perubahan pada ekspresi gen. Selanjutnya dikemukakan bahwa cekaman kekeringan berpengaruh terhadap tanaman baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Dengan adanya cekaman kekeringan, secara normal tanaman akan mengurangi pembukaan stomatanya sehingga dapat mengurangi kecepatan kehilangan air. Akibat penutupan sebagian stomata tersebut menyebabkan menurunnya konsentrasi CO2 melalui stomata sehingga mengurangi proses fotosintesis. Oleh karena itu bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan memiliki laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan tanpa cekaman kekeringan. Tetapi bibit bermikoriza lebih mampu mengatasi cekaman kekeringan tersebut. Hal ini diduga adanya simbiosis dengan mikoriza dapat membantu proses asimilasi CO2 dan alokasi C serta dapat membantu memelihara konsentrasi CO2 optimal untuk fotosintesis. Araus et al. (1997) mendapatkan bahwa dengan menutupnya sebagian stomata akibat cekaman kekeringan menyebabkan konsentrasi CO2 interselular dan fotosintesis bersih menurun, sementara itu rasio 13 12 C/ C meningkat. Tanaman bermikoriza memiliki potensial air, transpirasi, konduktansi stomata dan fotosintesis bersih lebih tinggi daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Pada keadaan tercekam kekeringan, bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih efisien dalam penggunaan air dibandingkan bibit tanpa CMA sehingga EPA yang sama bahkan lebih tinggi dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih rendah dibandingkan bibit yang tidak diinokulasi CMA pada kadar air tanah yang lebih tinggi (Gambar 3.). Menurut Ruiz-Lozano et al. (2000) tanaman bermikoriza memiliki kecepatan fotosintesis dan EPA yang lebih tinggi daripada yang tidak pada keadaan cekaman kekeringan, sehingga aktivitas fotosintesis meningkat pada tanaman yang bermikoriza. Hasil penelitiannya mendapatkan bahwa kombinasi antara kolonisasi mikoriza dan cekaman kekeringan menurunkan nilai δ13C pada tanaman selada dibandingkan yang tidak bermikoriza.
6.00
5.00 y = 0.0254x + 1.743 R2 = 0.9156
EPA (g/L)
4.00 y = 0.0003x2 - 0.0139x + 1.7732 R2 = 0.9487 3.00
2.00 M0 M1 Poly. (M0) Linear (M1)
1.00
0.00 0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Gambar 3. Tanggap EPA bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 58
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
Kandungan kadar glisina-betaina, prolina daun dan ABA daun bibit kelapa sawit semakin meningkat dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan. Pada tingkat cekaman kekeringan C1 (100% air tersedia) dan C2 (75% air tersedia), kandungan kadar glisina-betaina daun bibit yang diinokulasi CMA lebih rendah dibandingkan bibit tanpa CMA, tetapi ketika cekaman kekeringan semakin berat yaitu pada taraf C3 (50% air tersedia) dan C4 (25% air tersedia) kandungan kadar glisina-betaina daun bibit ber-CMA lebih tinggi (Gambar 4). Kandungan prolina daun setelah perlakuan cekaman kekeringan disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa kandungan prolina daun pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia) menurun baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun yang tidak. Selanjutnya mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia) meningkat secara tajam baik bibit yang bermikoriza maupun tidak. Kandungan prolina daun antara bibit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA tidak menunjukan perbedaan yang tinggi bahkan hampir tidak berbeda nyata dengan bibit tanpa CMA pada setiap tingkat cekaman kekeringan.
40.00 50.00
M0 M1 Poly. (M1) Poly. (M0)
35.00 30.00
y = -0.0714x + 31.075 2 R = 0.601
40.00
25.00 20.00
2
y = 0.002x - 0.412x + 43.546 R2 = 0.8851
15.00 M0 M1 Linear (M0) Poly. (M1)
10.00 5.00 0.00
Prolina daun (umol/g bb)
Glisina-betaina (umol/ g bb)
45.00
35.00 30.00 25.00 20.00
y = 0.0115x2 - 1.7893x + 74.142 R2 = 0.8901
15.00 10.00 5.00
y = 0.0092x2 - 1.4585x + 61.325 R2 = 0.9317
0.00
0
25
50
75
100
0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Persentase air tersedia
50.00 45.00
M0 M1 Linear (M1) Poly. (M0)
Kadar ABA daun (ng/g)
40.00 35.00 30.00 25.00
y = -0.4909x + 56.674 R2 = 0.9932
20.00 15.00 10.00 2
y = 0.0014x - 0.6178x + 55.667 R2 = 0.9911
5.00 0.00 0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Gambar 4.
Tanggap glisina-betaina daun, prolina daun, dan kadar ABA daun bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 59
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
Kandungan kadar ABA daun bibit yang diinokulasi CMA meningkat secara tajam dengan meningkatnya cekaman kekeringan dibandingkan dengan bibit tanpa CMA (Gambar 4.). CMA mulai berperan dalam mengatasi cekaman kekeringan sejak terjadi cekaman kekeringan dengan mulai meningkatnya kandungan kadar ABA daun. Infeksi akar oleh mikoriza semakin meningkat dengan semakin beratnya cekaman kekeringan yang terjadi. Infeksi akar tertinggi diperoleh pada bibit yang mendapat cekaman kekeringan sangat berat (Gambar 5). Secara umum CMA akan berkembang dengan baik pada keadaan yang tidak menguntungkan (sub-optimal). Pada keadaan yang tidak menguntungkan seperti halnya adanya cekaman kekeringan yang sangat berat, CMA akan lebih giat menginfeksi tanaman.
98.00 97.00 96.00
Infeksi akar (%)
95.00 y = 0.0004x2 - 0.1073x + 97.917 R2 = 0.7355
94.00 93.00 92.00 91.00
M1 Poly. (M1)
90.00 89.00 0
25
50
75
100
Persentase air tersedia
Gambar 5.
Tanggap infeksi akar bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan cekaman kekeringan di media tanah gambut bekas hutan
mikoriza dan
KESIMPULAN Inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, pengurangan luas permukaan transpirasi, pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA daun), dan mekanisme toleransi (osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Tanpa CMA, mekanisme adaptasi yang dominan pada bibit kelapa sawit adalah melalui mekanisme toleransi.
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 60
ISSN:2302-6472
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aboul-Nasr, A. 1998. Effects of inoculation with glomus intraradices on growth, nutrient uptake and metabolic activities of squash plants under drought stress conditions. Ann. Agric. Sci. Cairo 1 : 119-133. Al-Karaki, G.N., and R.B. Clark. 1999. Varied rates of mycorrhizal inoculum on growth and nutrient acquisition by barley grown with drought stress. J. Plant Nutr. 22 : 1775-1784. Allen, E.B., and M.F. Allen. 1986. Water relations of two xeric grasses in the field : Interaction of mycorrhizas and competition. New Phytol. 104 : 559-571. Araus, J.L., A. Febrero, R. Buxo, M.D. Camalich, D. Martin, F. Molina, M.O. Rodriguez-Ariza, I. Romagosa. 1997. Changes in carbon isotope discrimination in grain cereals from different regions of the western Mediterranean Basin during the past seven millennia. Palaeoeviromental evidence of a differential change in aridity during the late Holocene. Glob Change Biol 3: 107-118. Auge, R.M., A.J.W. Stodola. 1990. An apparent increase in symplastic water contributes to greater turgor in mycorrhizal roots of droughted Rosa plants. New Phytol. 115: 285295. Auge, R.M., K.A. Schekel, R.L. Wample. 1987. Rose leaf elasticity changes in response to mycorrhizal colonization and drought acclimation. Physiol. Plant. 70 : 175-182. Cui,M, and P.S. Nobel. 1992. Nutrient status, water uptake and gas exchange for three desert succulents infected with mycorrhizal fungi. New Phytol.122: 643-649. Davies, F.T., J.R. Jr, Potter, R.G. Linderman. 1992. Mycorrhiza and repeated drought exposure affect drought resistance and extraradical hyphae development of pepper plants independent of plant size and nutrient content. J. Plant Physiol. 139: 289-294. Delfine, S., F. Loreto, A. Alvino. 2001. Drougth-stress effects on physiology, growth and biomass production of rainfed and irrigated bell pepper plants in the Mediterranean region. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 126 (3) : 297-304. Hanum, C. 2004. Penapisan beberapa galur kedelai (Gglycine max L.Merr.) toleran cekaman aluminium dan kekeringan serta tanggap terhadap mikoriza vesikular arbuskular. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 162 hal.
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 61
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
ISSN:2302-6472
Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan beberapa genotype kedelai pada berbagai tingkat cekaman kekeringan tanah ultisol: Tanggap morfofisiologi dan hasil. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 146 hal. Hutomo, T., K. Paimin, E. Syamsudin, Y.T. Adiwiganda. 1997. Upaya penanggulangan dampak kekeringan dan kebakaran pada tanaman kelapa sawit. Makalah pada Seminar Sehari PPKS dan GAKPI, Medan. Kartika, E. 2009. Peranan cendawan mikoriza arbuskular dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas hutan. Prosiding Semirata BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten 13-16 April 2009. Kobashi, K., H. Gemma, S. Iwahori. 2000. Abcisic acid content and ssugar metabolism of peaches grown under water stress. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 125 (4) : 425-428. Makela, P., M. Kontturi, E. Pehu, S. Somersalo. 1999. Photosynthetic response of drought- and salt- stressed tomato and turnip rape plants to foliar-applied glycinebetaine. Physiol. Plant. 105 : 45-50. Mullet, J.E., M.S. Whitsitt. 1996. Plant cellular responses to water deficit. Plant Growth Reg. 20 : 119-124. Osonubi, O., O.N. Bakare, K. Mulongoy. 1992. Interactions between drought stress and vesicular-arbuscular mycorrhiza on the growth of Faidherbia albida (syn. Acacia albida) and Acacia nilotica in sterile and non-sterile soil. Biol. Fertil. Soils 14: 159-165. Pangaribuan, Y. 2001. Studi karakter morfofisiologi tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan terhadap cekaman kekeringan. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Pastor, A., M. Lopez-Carbonell, L. Alegre. 1999. Abcisic acid immunolocalization and ultrastructural changes in water-stressed lavender (Lavandula stoechas L.) plants. Physiol. Plant. 105 : 272-279. Pennypacker, B.W., K.T. Leath, W .L.Stout, R.R. Hill Jr. 1990. Technique for simulating field drought stress in the greenhouse. Agron. J. 82 : 951-957. Prevete, K.J., R.T. Fernandez, W.B. Miller. 2000. Drougth response of three ornamental herbaceous perennials. J. Amer. Soc. Hort. 125 (3) : 310-317.
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 62
Vol 1 No.2 April-Juni 2012
ISSN:2302-6472
Ruiz-Lozano, J.M., R. Azcon. 1995. Hyphal contribution to water uptake in mycorrhizal plants as affected by fungal species and water status. Physiol. Plant. 95: 472-478. Sasli, I. 1999. Tanggap karakter morfosiologi bibit kakao terhadap cekaman kekeringan dan aplikasi mikoriza arbuskula. Thesis. Program Pascasarjana IPB Bogor. Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan mikroorganisme dalam kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti. PAU Bioteknologi, IPB Bogor. Syvertsen, J.P., J.H. Graham. 1999. Phosphorus supply and arbuscular mycorrhizas increase growth and net gas exchange responses of two Citruss spp. grown at elevated [CO2]. Plant and Soil 208 : 209-219. Trotel-Aziz, P., M.F. Niogret, F. Larher. 2000. Proline level is partly under the control of abcisic acid in canola leaf disc during recovery from hyper-osmotic stress. Physiol. Plant. 110 : 376-383. Wijana, G. 2001. Analisis fisiologi, biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Page 63