ISSN 1410-1939
KERAGAMAN GENETIK Rhizophora mucronata Lamk. DI HUTAN BAKAU JAMBI [THE GENETIC VARIATION OF Rhizophora mucronata Lamk. IN JAMBI MANGROVE FOREST] Hamzah Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract Genetic variation of Rhizophora mucronata Lamk. from mangrove forest in Jambi Province was studied using isozyme analysis. Isozyme analysis was performed using five enzyme systems, i.e. AAT, ADH, EST, MDH and PER. The result showed that based on allele number per locus and the percentage of polymorphic loci, the genetic variation of Rhizophora mucronata Lamk. in Jambi mangrove forest is comparable with other mangrove population in Indonesia, namely Sumatera Utara, Muara Angke, Pulau Rambut and Cilacap. The R. mucronata Lamk. has a lower observed hetrozygosity than other the populations, but higher in expected hetrozygosity. The R. mucronata Lamk. of Jambi Province is close related to Sumatera Utara, but both populations have a far genetic distance to those three of Java populations of Muara Angke, Pulau Rambut and Cilacap. The R. mucronata Lamk. of Cilacap that was isolated geographically was widely separated from other Java populations of Muara Angke and Pulau Rambut. Key words: genetic variation, isozymes, Rhizophora mucronata, mangrove.
PENDAHULUAN Kawasan Pantai Timur Provinsi Jambi merupakan salah satu areal penyebaran hutan bakau Indonesia. Sebagaimana hutan bakau pada umumnya, kawasan ini berfungsi melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, habitat biota air dan berbagai jenis burung, mamalia, reptil dan amfibi. Perakaraan bakau dapat menahan dan mengendapkan lumpur sehingga dapat memperluas daratan. Sejumlah jenis pohon bakau bernilai ekonomi tinggi yang di antaranya dapat digunakan untuk kayu bangunan, pembuatan chip, kayu bakar, arang serta sumber bahan obat. Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1982), luas hutan bakau Jambi 65.000 ha. Pada tahun 1993 luas bakau Jambi hanya 13.450 ha (Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, 1993) atau bahkan lebih kecil lagi yaitu seluas 4.050 ha (Giesen, 1993). Data ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas yang besar pada hutan bakau Jambi. Usaha pertambakan yang berkembang pesat, pengambilan kayu bakar dan arang, konversi menjadi lahan perkebunan kelapa serta sawah merupakaan penyebab utama penurunan luas tersebut. Pemerintah Daerah Jambi telah banyak berusaha merehabilitasi areal yang mengalami kerusakan dan mencegah berlangsungnya kerusakan guna
menjaga kelestarian hutan bakau. Penanaman bakau (Rhizophora spp.) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur seperti Alang-Alang, Simbur Naik, Lambur, Sungai Itik dan Sungai Cemara. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli bakau juga ikut aktif dalam program rehabilitasi hutan bakau Jambi. Di samping upaya merehabilitasi dengan menanam sejumlah jenis tertentu, langkah mendasar usaha pelestarian seperti mencari informasi tentang keragaman genetik pada jenis-jenis yang menjadi komponen utama bakau perlu pula dilakukan. Jenis-jenis dari kelompok genus Rhizhophora merupakan salah satu genus penting pada hutan bakau karena selalu ada dan sering berada dalam jumlah dominan. Tumbuhan genus Rhizophora yang terdapat di hutan bakau Indonesia terdiri atas tiga jenis yaitu R. mucronata Lamk., R. apiculata Blume dan R. stylosa Griff. Dari tiga jenis tumbuhan ini, R. mucronata Lamk. memiliki bibit dengan kemampuan survival lebih tinggi karena memiliki ukuran propagul yang lebih besar. Hal ini membuat jenis R. mucronata Lamk. lebih baik digunakan dalam upaya rehabilitasi hutan bakau dibanding jenis-jenis dari famili lainnya (Fauziah, 1999) terutama pada tempat-tempat yang berlumpur relatif dalam. Di kawasan hutan bakau Jambi, R. mucronata Lamk.
99
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
banyak terdapat di desa Lagan dan Mendahara, sedangkan di desa-desa lainnya banyak terdapat R. apiculata Blume. Oleh karena nilai ekologi dan ekonominya yang penting, R. mucronata Lamk. perlu mendapat perhatian besar. Informasi tentang sifat-sifat genetik yang merupakan dasar bagi program pemuliaan perlu digali lebih mendalam. Selama ini pengetahuan tentang sifat genetik tanaman kehutanan termasuk R. mucronata Lamk. sangat terbatas dan tidak diminati karena umur tanaman yang panjang dan sulit memperoleh penanda genetik yang cocok. Penggunaan penanda molekuler yang telah tersedia saat ini, seperti isozim, dapat menganalisis keragaman genetik dalam waktu relatif cepat. Isozim adalah enzim yang merupakan produk lngsung dari gen, terdiri atas molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Variasi mobilitas suatu protein secara langsung mencerminkan perbedaan sekuen DNA dari struktur gen pembentuk protein (Weeden dan Wendel, 1989). Penanda isozim juga memerlukan biaya relatif murah dan teknik yang lebih sederhana. Isozim bersifat kodominan sehingga dapat pula mendeteksi enzim yang diekspresikan oleh alel resesif. Alel resesif dapat menjadi penentu karakter spesifik yang umumnya sering tertutup pada penampakan visual.
BAHAN DAN METODA Penelitian lapang dilakukan pada populasi R. mucronata Lamk. di hutan bakau Jambi, yang terdapat di Desa Lagan Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Pengambilan daun untuk keperluan analisis isozim dilakukan pada bulan Oktober 2004. Analisis isozim dilakukan pada bulan Oktober 2004 di Laboratorium Biologi Tumbuhan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB, Bogor. Analisis isozim dilakukan dengan metoda sodium borat untuk sistem enzim PER (peroxidase) dan EST (esterase), metoda litium borat (Ashton) untuk AAT (aminoacetate transferase) metoda Soltis dan Soltis untuk ADH (alcohol dehydrogenase) dan MDH (malate dehydrogenase). Enzim setiap tanaman diekstrak dari daun yang sudah berkembang penuh. Enzim diserap dengan kertas saring lalu dielektroforesis pada gel pati dengan tegangan 100 - 150 volt dan arus 40 - 50 mA. Larutan pewarna isozim dibuat menurut prosedur Wendel dan Weeden (Weeden dan Wendel, 1989). Pola pita yang dihasilkan setiap isozim diinterpretasikan ke dalam lokus-lokus dan alel-alel suatu
100
lokus. Lokus dengan mobilitas paling lambat diberi kode 1, dan lokus-lokus berikutnya diberi kode 2 dan seterusnya. Demikian pula dengan alel, alel yang paling lambat diberi kode 1 dan selanjutnya 2 atau 3. Dengan asumsi bakau bandul bersifat diploid, genotipe setiap individu dapat dikode. Misalnya pada lokus EST-1 dapat terdiri atas genotip 11, 12, 13, 22, 23 dan 33. Parameter yang diukur adalah frekuensi alel populasi, jumlah alel per lokus, persentase lokus polimorfik, heterozigositas, indeks fiksasi, nilai F statistik dan jarak genetik. Untuk mendapatkan data parameter tersebut, data hasil interpretasi pola pita isozim dianalisis menggunakan software Biosys-2 (Swofford dan Selander, 1997). Oleh karena diperlukan pembanding guna menentukan besarnya keragaman genetik maka data, keragaman genetik R. mucronata Lamk. Jambi dibandingkan dengan data keragaman genetik R. mucronata Lamk. pada areal penyebaran lainnya di Indonesia, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Muara Angke (Jakarta), Pulau Rambut (Kepulauan Seribu) dan Cilacap.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Rhizophora mucronata Lamk. di hutan bakau Jambi Hutan bakau di Pantai Timur Provinsi Jambi telah mengalami degradasi berat. Luas hutan bakau turun drastis akibat okupasi lahan oleh masyarakat. Konversi hutan bakau yang berstatus cagar alam tersebut menjadi tambak, kebun kelapa dan sawah membuat hutan bakau pada beberapa tempat hanya menutupi areal sempit beberapa puluh meter di pinggir pantai. Pada tempat-tempat tersebut pohonpohon kelapa rakyat dengan mudah dapat dilihat di belakang vegetasi bakau. Vegetasi yang menyusun hutan bakau tidak berbeda dengan vegetasi yang menyusun hutan bakau pada kawasan lainnya di Indonesia. Api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp), bakau (Rhizophora spp.), nipah (Nypa frutican) serta tumu dan lenggadai (Bruguiera spp.) merupakan vegetasi yang dominan. Di samping kelompok vegetasi yang dominan tersebut terdapat jenis-jenis lain yang tidak kalah pentingnya pada komunitas hutan bakau. Jenis-jenis vegetasi tersebut antara lain buta-buta (Excoecaria agallocha), nyirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera spp) dan vegetasi tumbuhan bawah seperti jeruju (Acanthus spp). Vegetasi Rhizophora spp. banyak terdapat di desa-desa (dari utara ke selatan) Kuala Tungkal, Mendahara, Lagan Ilir, Alang-Alang, Lambur dan Simbur Naik. Bakau yang terdapat di hutan bakau
Hamzah: Keragaman Genetik Rhizophora mucronata Lamk. di Hutan Bakau Jambi.
Jambi berupa bakau bandul/bakau besar (R. mucronata Lamk.) dan bakau kacang/bakau kecil (R. apiculata Blume). Di Simbur Naik dan Lambur dapat dikatakan terdapat tegakan murni R. apiculata Blume sedang di Lagan Ilir dan Mendahara terdapat baik R. apiculata Blume dan R. mucronata Lamk. dalam proporsi yang relatif seimbang. Populasi bakau bandul (R. mucronata Lamk.) di desa Lagan Ilir cukup besar dan menempati areal yang relatif luas di sepanjang muara Sungai Lagan. Sebagaimana penyebaran R. mucronata pada umumnya, jenis ini juga hanya menyebar pada tempat berlumpur dalam dan relatif selalu tergenang. Oleh karena sifat penyebaran terhadap substrat tersebut, R. mucronata hanya tumbuh pada
Lokus
areal selebar kurang dari 20 m di sepanjang bagian kanan muara Sungai Lagan. Interpretasi pola pita isozim Pola pita hasil elektroferesis setiap isozim digambarkan dalam bentuk zimogram. Berdasarkan zimogram yang dibuat dapat dijelaskan jumlah lokus, jumlah dan macam alel dan jumlah genotip setiap isozim. Zimogram setiap isozim yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Berdasarkan zimogram pada Gambar 1 dan Gambar 2, selain jumlah lokus maka jumlah alel dan jumlah genotip dapat pula diinterpretasi. Jumlah lokus, jumlah alel dan jumlah genotip menurut setiap setiap isozim dapat dilihat pada Tabel 1.
+
+
Lokus
I
I
II -
I
11
12
22
II
22
12
22
I
PER
11
22
EST
Gambar 1. Zimogram isozim PER dan EST pada R. mucronata Lamk. beserta nomor alelnya.
Lokus
+
Lokus
+
Lokus
+
IV III II I
II
II
I
I
I
11
12
22
I
11
22
I
11
II
22
12
22
II
11
22
II
11
III
11
12
22
IV
22
12
22
AAT
-
MDH
ADH
Gambar 2. Zimogram isozim AAT, MDH dan ADH pada R. mucronata Lamk. beserta nomor alelnya.
101
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
Tabel 1. Jumlah lokus, jumlah alel dan jumlah genotip isozim PER, EST, AAT, MDH dan ADH pada R. mucronata Lamk. Isozim PER EST AAT MDH ADH
Jumlah lokus 2 1 4 2 2
Jumlah alel 2 2 2 2 1
Jumlah genotip 3 2 3 2 1
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa isozim AAT memiliki lokus paling banyak di antara isozim yang diteliti. Umunya isozim yang diteliti memiliki dua alel, kecuali ADH yang memiliki satu alel. Isozim PER dan AAT memiliki tiga alel, isozim EST dan MDH memiliki dua alel dan isozim ADH memiliki satu alel. Keragaman genetik Data keragaman genetik R. mucronata Lamk. asal hutan bakau Jambi beserta empat derah asal pembanding dapat dilihat pada parameter keragaman genetik seperti disajikan pada Tabel 2. Parameter keragaman genetik yang diukur adalah jumlah alel per lokus, persentase lokus polimorfik, rata-rata heterozigositas pengamatan dan rata-rata heterozigositas harapan Hardy-Weinberg. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah alel per lokus dan persentase lokus polimorfik R. mucronata Lamk. Jambi relatif sama atau sebanding dengan R. mucronata Lamk. Sumatera Utara, Muara Agke, Pulau Rambut dan Cilacap. Dengan demikian keragaman genetik R. mucronata Lamk. Jambi dapat dikatakan sama dengan keragaman ge-
netik R. mucronata Lamk. asal empat daerah pembandingnya. Heterozigositas pengamatan bakau Jambi (0,131) lebih rendah dibanding bakau asal daerahdaerah pembandingnya. Berdasarkan atas data heterozigositas ini keragaman genetik R. mucronata Lamk. Jambi lebih rendah dibanding dengan keragaman genetik R. mucronata Lamk. dari empat daerah pembandingnya. Secara keseluruhan heterozigositas pengamatan R. mucronata Lamk. ke lima daerah asal tersebut lebih rendah dibanding heterozigositas pengamatan pada Hopea odorata (0,291) dan Dryobalanops aromatica (0,292) (Wickneswari, 1991), Stemonoporus oblingofolius (Dipterocarpaceae) (0,282) (Murawski dan Bawa, 1994) serta pinus (Pinus merkusii) asal hutan alam Aceh (0,304) (Na'iem, 2000). Namun demikian heterozigositas pengamatan R. mucronata Lamk. asal Jambi masih lebih tinggi dibanding rata-rata heterozigositas 29 spesies Dipterocarpaceae (0,111) (Hamrick dan Loveless 1986 sebagaimana dikutip oleh Wickneswari, 1991). Heterozigositas harapan R. mucronata Lamk. asal Jambi (0,193) lebih tinggi dibanding R. mucronata Lamk. asal pembandingnya Sumatera Utara, Muara Agke, Pulau Rambut dan Cilacap. Hal ini menunjukkan bahwa R. mucronata Lamk. asal Jambi memiliki potensi keragaman genetik yang cukup tinggi. Potensi keragaman yang tinggi tersebut tidak terbentuk diduga dikarenakan transfer tepungsari pada tegakan maunpun antar tegakan terhambat karena terjadinya penurunan populasi. Keragaman genetik dapat pula dilihat pada indeks fiksasi yang ditunjukkan oleh nilai F statistik dari lokus-lokus isozim yang teramati. Besarnya niali F statistik dari R. mucronata Lamk. asal Jambi beserta empat asal pembandingnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Keragaman genetik R. mucronata Lamk. Jambi dan keragaman genetik empat pembanding (angka dalam kurung merupakan kesalahan standar). Rata-rata heterozigositas
Ukuran contoh
Jumlah alel per lokus
Persentase lokus polimorfik*
Pengamatan
Harapan HDYWB**
Jambi
50,00 (0,00)
1,5 (0,20)
45,5
0,131 (0,090)
0,193 (0,068)
Sumut
50,00 (0,00)
1,5 (0,20)
45,5
0,145 (0,087)
0,171 (0,067)
Muara Angke
30,00 (0,20)
1,4 (0,20)
36,4
0,162 (0,110)
0,135 (0,064)
Pulau Rambut
30,00 (0,50)
1,5 (0,20)
45,5
0,188 (0,117)
0,158 (0,063)
Areal penyebaran
Cilacap 30,00 (0,10) 1,5 (0,20) 45,5 0,227 (0,120) 0,158 (0,063) * = suatu lokus dinyatakan polimorfik jika frekuensi alel yang paling umum tidak melebihi 95%. **= perkiraan tidak bias (Nei, 1978).
102
Hamzah: Keragaman Genetik Rhizophora mucronata Lamk. di Hutan Bakau Jambi.
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa indeks fiksasi dalam populasi (Fis) untuk seluruh populasi bernilai positif (0,2381). Demikian pula dengan indeks fiksasi antar populasi (Fst) dan indeks fiksasi total populasi (Fit) juga bernilai positif, dengan nilai masing-masing 0,4153 dan 0,4293. Nilai indeks fiksasi yang positif menunjukkan bahwa pada bakau Jambi dan empat daerah asal bakau lainnya mengalami kekurangan hetero-zigositas. Hal ini menunjukkan keragaman genetik bakau relatif rendah. Kondisi kekurangan heterozigositas ini dapat berakibat R. mucronata Lamk. menjadi kurang plastis terhadap tekanan lingkungan yang kurang menguntungkan. Kemungkinan gejala ini perlu disikapi dengan lebih waspada agar R. mucronata Lamk. asal Jambi beserta empat daerah asal pembandingmya tidak mengalami kerusakan lebih jauh agar keragaman yang ada saat ini dapat dipertahankan. Selanjutnya diharapkan populasi yang ada terus berkembang dan terjadi aliran gen secara terus menerus. Dengan demikian keragaman dapat meningkat dengan bertambahnya waktu. Tabel 3. Nilai F statistik pada lokus-lokus isozim R. mucronata Lamk. asal Jambi beserta empat asal pembanding. Lokus Fis Fst Fit -0,3364 0,4334 0,2696 PER1 0,1670 -0,1425 PER2 -0,3716 1,000 1,000 0,5027 EST1 -0,0421 0,1959 AAT1 -0,2960 0,7901 1,000 AAT2 1,0000 -0,2028 AAT3 -0,8310 0,3431 -0,0081 0,8605 0,8594 AAT4 0,6692 1,000 MDH1 1,0000 MDH2 0,6483 0,3083 0,7568 0,9167 0,8924 0,2253 ADH1 0,0726 0,000 ADH2 -0,0782 Rata-rata 0,2381 0,4153 0,4923 Fis = indeks fiksasi dalam populasi, Fst = indeks fiksasi antar populasi, Fit = indeks fiksasi total populasi.
Jarak genetik Jarak genetik antara R. mucronata Lamk. asal Jambi dan empat populasi perbandingan dapat dilihat pada Tabel 4. angka-angka di atas diagonal menunjukan jarak genetik Nei (Nei, 1972) dan angka-angka dibawah diagonal menunjukan jarak Prevosti (Wright, 1978). Pada Tabel 4 terlihat bahwa jarak genetik Nei (1972) maupun jarak Prevosti (Wright, 1978), antara R .mucronata Lamk. asal Jambi dengan Sumatera Utara jauh lebih kecil dibandingkan dengan Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. Hal ini menunjukan bahwa secara genetik R. mucronata Lamk. asal Jambi dan Sumatera Utara relatif dekat dan keduanya mempunyai jarak relatif jauh secara genetik dengan R .mucronata Lamk. asal Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. Kedekatan jarak genetik antara R. mucronata Lamk. asal Jambi dan Sumatera Utara sesuai dengan kedekatan jarak di lapangan dibanding dengan R. mucronata Lamk. yang berasal dari tiga daerah lainnya. Kedekatan jarak secara fisik memungkinkan terjadinya aliran gen, baik melalui tepung sari maupun melalui propagul antar kedua daerah asal penyebaran R. mucronata Lamk. tersebut. Aliran gen tersebut dapat terjadi baik secara langsung maupun secara sinambung melalui populasi R. mucronata Lamk. asal daerah Riau yang berada di antara wilayah Jambi dan Sumatera Utara. Hal yang sama juga terjadi pada tiga daerah penyebaran R. mucronata Lamk., yakni Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap, sehingga bakau yang berasal dari ke tiga daerah ini memiliki jarak genetik yang relatif dekat. Berdasarkan analisis klaster menggunakan metoda pemasangan kelompok rata-rata aritmatika tidak terboboti (unweinghted pair-group method with arithmatic averaging, UPGMA) dapat ditunjukkan dendogram kekerabatan antar daerah asal R. mucronata Lamk. seperti pada Gambar 3. Dalam hal ini jarak genetik antar daerah asal ditunjukkan oleh panjang percabangan yang terlihat pada dendogram.
Tabel 4. Jarak genetik antara R. mucronata Lamk. asal Jambi dan empat asal pembanding. Asal Jambi Sumut Muara Angke Jambi ------0,090 0,421 Sumut 0,135 ------0,511 Muara Angke 0,419 0,452 ------Pulau Rambut 0,332 0,364 0,419 Cilacap 0,353 0,403 0,221 Nilai di atas diagonal = Jarak genetik Nei (1972). Nilai di bawah diagonal = Jarak genetik Prevosti (Wright, 1978).
Pulau Rambut 0,256 0,322 0,118 ------0,221
Cilacap 0,307 0,408 0,208 0,265 -------
103
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
0,075 Jambi
0,18
Sumatera Utara 0,095 Muara Angke
0,08 0,08
Pulau Rambut 0,175 Cilacap
Gambar 3. Dendogram hasil analisis klaster kekerabatan antar R. mucronata Lamk. asal Jambi, Sumatera Utara, Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap.
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa R. mucronata Lamk. asal Jambi dan Sumatera Utara berada pada satu klaster yang terpisah relatif jauh dari R. mucronata Lamk. asal pembanding lainnya yaitu asal Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. R. mucronata Lamk. asal Muara Angke dan Pulau Rambut berada pada satu klaster dan R. mucronata Lamk. asal Cilacap terpisah jauh dari Muara Angke dan Pulau Rambut. Pengelompokan dengan pola seperti ini sejalan dengan pola jarak genetik seperti pada Tabel 4. Hal ini sesuai dengan londisi penyebaran geografis antar 5 daerah asal R. mucronata Lamk. Secara geografis Jambi relatif berdekatan dengan Sumatera Utara dan keduanya berjarak relatif jauh dari Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. Muara Angke jaraknya sangat dekat dengan Pulau Rambut di utara pulau Jawa sehingga R. mucronata Lamk. di kedua daerah asal tersebut berkerabat dekat. Cilacap terletak di pantai selatan pulau Jawa sehingga secara geografis terpisah jauh dari Muara Angke dan Cilacap serta Jambi dan Sumatera Utara. Hal ini membuat kekerabatan R. mucronata Lamk. asal Cilacap lebih jauh dengan R. mucronata Lamk. asal derah-daerah lainnya.
in itu keragaman gentik R. mucronata Lamk. asal Jambi sebanding pula dengan keragaman genetik beberapa spesies tumbuhan tropik lainnya. Heterozigositas pengamatan R. mucronata Lamk. asal Jambi relatif lebih rendah dibanding bakau asal Sumatera Utara, Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap akan tetapi heterozigositas harapan bakau Jambi lebih tinggi dari bakau asal empat daerah pembanding tersebut. Berdasarkan atas jarak genetik dan kekerabatan antar daerah asal, R. mucronata Lamk. Jambi dan Sumatera Utara memiliki jarak genetik dan kekerabatan yang dekat dan terpisah relatif jauh dari bakau asal Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. R. mucronata Lamk. asal Muara Angke dan Pulau Rambut juga memilik jarak genetik dan kekerabatan yang dekat, sedangkan R. mucronata Lamk. asal Cilacap terpisah relatif jauh dari bakau asal daerah-daerah yang diteliti lainnya. Mengingat luasnya areal penyebaran R. mucronata Lamk. di Indonesia disarankan untuk meneliti keragaman genetik pada daerah asal utama lainnya seperti asal pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Dengan demikian informasi keragaman genetik menjadi lebih banyak sehingga dapat digunakan sebagai dasar bagi penentuan langkah konservasi maupun pemuliaan bagi tumbuhan bakau.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan atas jumlah alel per lokus dan persentase lokus polimorfik R. mucronata Lamk. asal Jambi memiliki keragaman gentik yang sebanding dengan keragaman genetik R. mucronata Lamk. asal empat daerah pembanding dari Sumatera Utara, Muara Angke, Pulau Rambut dan Cilacap. Sela-
104
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Bina Program Kehutanan. 1982. Keadaan Hutan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian Indonesia, Jakarta.
Hamzah: Keragaman Genetik Rhizophora mucronata Lamk. di Hutan Bakau Jambi.
Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. 1993. Hasil Penafsiran Luas Areal Hutan dari Citra Landsat MSS Liputan tahun 1986 - 1991. Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Fauziah, Y. 1999. Prospek Rehabilitasi Mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau Ditinjau dari Vegetasi Strata Semai, pp. 293-296. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru, 15 18 September 1998Pekanbaru, Riau. Giesen, W. 1993. Bakau Indonesia: Perbaikan Area yang Ada dan Masalah Utama tentang Pengelolaan. Makalah Seminar Nasional Coastal Zone Management of Small Island Ecosystems. Wetland Indonesia, Bogor. Murawski, D. A. dan K. S. Bawa. 1994. Genetic structure and mating system of Stemonoporus oblingofolius (Dipterocarpaceae) in Sri Lanka. American Journal of Botany 81: 155-160. Na'iem, M. 2000. Allozym Variation of Pinus merkusii in Aceh Natural Population and Java Artificial Population. Proceedings of Forest Genetic for the Next Millenium. IUFRO Working Party, Durban, South Africa.
Nei, M. 1972. Genetic distance between population. American Naturalist 106: 283-292. Nei, M. 1978. Estimation of average heterozigosity and genetic distance from a small number of individual. Genetics 89: 583-590. Swofford, D. L. dan R. B. Selander. 1997. Biosys-2: A Computer Programme for The Analysis of Allelic Variation in Genetics. Department of Genetics and Development University of Illinois, UrbanaChampaign. Weeden, N. F. dan J. F. Wendel. 1989. Genetic and Plant Isozymes, pp. 46-72. Dalam D. E. Soltis dan P. S. Soltis [eds.]. Isozymes in Plant Biology. Dioscorides Press, Portland, Oregon. Wickneswari, R. 1991. Development of biochemical genetic marker for tropical rain forest species. Malaysian Biochemical Society 16: 6-15. Wright, J. W. 1978. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, New York.
105
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
106