Slamet Arofik
ELASTISITAS HUKUM ISLAM PERSPEKTIF YUSUF QARDHAWI Slamet Arofik1 Abstract: Many orientalists thought that Islamic law does not have relevance to the life dynamics development. Islamic law is not able to appreciate and overcome the growing problems. It because the source of Islamic law is the dogma (nash) which is final, exclusive and can not be changed or renewed. That is why Islamic law is static and rigid. This research aimed to remove the assumption by explaining Qardhawi’s thought and view about the flexibility and elasticity of Islamic law. It has continuity, it is also applicative in accordance with current development all situations and condition. Qardhawi has said this idea firmly not only in the form of discussions and speech but also in his intellectual work. The conclussion is Islamic law is flexible and elastic there are factors cause it is flexible and elastic. Keywords: elastic, Islamic law, Qardhawi Pendahuluan Syariat2 Islam merupakan ajaran serta pedoman hidup yang bersumber pada al-Qur’an dan hadits. Syariat merupakan tata aturan Tuhan yang bertujuan mengatur dan mengarahkan manusia agar 1
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. Kata syariat diartikan sebagai semua ketetapan Allah Swt untuk seluruh hambaNya yang disampaikan dan diajarkan Nabi Muhammad Saw guna mengatur seluruh aktivitas manusia, baik yang berkaitan dengan hati maupun aktivitas lahir. Baca FPII, Sejarah Tasyri‘ Islam (Kediri: FPII Lirboyo, 2006), 1-2. 2
165
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
mampu menciptakan kehidupan yang damai, sejahtera, harmonis hingga kelak di alam baka. Namun sudah maklum adanya bahwa dua sumber syariat tersebut memiliki daya jangkau yang sangat terbatas3 sekaligus “menutup diri” dari perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Kondisi ini ditambah dengan munculnya pernyataan sebagian kaum orientalis yang mengkaji Islam hanya dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu serta memandang Islam dengan “kacamata” mereka serta mengukur segala sesuatu yang terdapat dalam agama Islam dengan nilai-nilai Barat, sehingga beranggapan bahwa hukum Islam mandek dan ekslusif, sehingga tidak dapat mengikuti dinamika kehidupan yang terus dan selalu berkembang. Syariat Islam tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul seiring dengan lajunya waktu.4 Lebih lanjut dikatakan mereka bahwa syariat Islam merupakan tata aturan yang tidak dapat dirubah (tsabit) dan stagnasi (jumud) karena akal manusia di hadapan wahyu tidak lain hanya dalam posisi menerima dan mengikuti (al-taslim wal ittiba‘), bukan menciptakan dan melahirkan kreasi baru (al-ibtikar wal ibda’), sehingga pada gilirannya nanti hukum Islam akan menjadi tidak fleksibel (al-murunah) dan tidak dapat menerima segala bentuk perkembangan dan dinamika jaman.5 Hal ini didasarkan atas paparan QS. al-Nur: 51 dan QS. al-Ahzab: 36 yang subtansinya adalah seorang muslim harus tunduk dan patuh pada wahyu yang telah diturunkan. Terhadap sumber tersebut umat Islam harus selalu mendengar (sam‘an) dan patuh (tha‘atan), dan tidak boleh mengikuti tuntutan keimanan dan keislamannya masing-masing.6 Di sini urgensitas tulisan ini karena secara rinci akan mematahkan dan me-mansukh opini orientalis dengan memaparkan gagasan serta pandangan Yusuf al-Qardhawi tentang hakikat hukum Islam serta faktor-faktor yang dimiliki sehingga hukum 3 Kata “terbatas” di sini adalah keduanya merupakan wahyu yang abadi, namun telah final sehingga tidak berubah dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sya‘ban Muhammad Isma‘il, al-Tasyri‘ al-Islami (Kairo: Maktabat al-Nahdhah al-Misriyah, 1985), 16. 4 Yusuf Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah fi al-Syari‘ah al-Islamiyah (Kuwait: Maktabat al-Iskandariyah, 2002), 11. 5 Qardhawi, al-Fiqh al-Islami Bayn al-Asalah wa al-Tajdid (Kairo: Maktabat Wahbah, 1999), 83. 6 Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah, 11.
166
Slamet Arofik
Islam bersifat elastis (al-murunah), memiliki keluasan medan (al-sa’ah) sehingga memiliki ruang gerak untuk melakukan ijtihad sekaligus pembaharuan (tajdid) hukum sehingga hukum Islam akan selalu bisa berselaras dan bersenyawa dengan dinamika kehidupan. Pembahasan A. Biografi Yusuf Qardhawi Nama lengkapnya adalah Yusuf ‘Abdullah al-Qardhawi. Dia lahir pada tanggal 9 September 1926 di daerah Saft al-Turab, sebuah kampung kecil yang terdapat di Propinsi Gharbi dengan ibu kota Tanta, Mesir, yang berjarak sekitar 150 km dari kota Kairo. Dia memiliki nama asli Yusuf, sedangkan Qardhawi adalah nama keluarga yang diambil dari nama kakeknya, yaitu Haji ‘Ali alQardhawi. Kata Qardhawi sendiri sebenarnya merupakan nama dari sebuah daerah yang bernama al-Qardhah.7 Yusuf Qardhawi, selanjutnya ditulis Qardhawi, berasal dari keluarga yang sangat sederhana namun taat beragama. Ayah Qardhawi adalah seorang petani yang meninggal dunia pada tahun 1928 M, pada saat itu Qardhawi masih berusia dua tahun. Sepeninggal ayah, Qardhawi kemudian diasuh dan dididik oleh ibu dan pamannya yang bernama Ahmad. Ketika Qardhawi berada di tahun pertama Madrasah Ibtida’i di Al-Azhar, setingkat SMP pada masa sekarang, ibunya meninggal dunia, sehingga Qardhawi kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Qardhawi telah hapal al-Qur’an tepat pada usia 9 tahun 10 bulan dengan baik.8 Hal pertama dan terpenting dalam perjalanan intlektual Qardhawi adalah pada usia lima tahun dimasukkan ke sebuah lembaga pendidikan al-Qur’an yang ada di desanya yang disebut kuttab9 yang diasuh oleh Syaikh Hamid Abu Zuwyl. Di sana Qardhawi mulai mengahapal al-Qur’an sampai berhasil mengkhatam-kannya pada usia 9 tahun 10 bulan dan tercatat sebagai anak terkecil yang berhasil menghafal al-Qur’an di kampung itu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah Dasar alIlzamiyah, kemudian Qardhawi berangkat ke Tanta untuk men7
Qardhawi, Ibn al-Qaryah wa al-Kuttab, juz I (Kairo: Dar al-Shuruq, 2002), 15. Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. V (Jakarta: Ichtiar Bar Van Hoeve, 1997), 1448. 9 Sejenis institusi pendidikan yang khusus untuk belajar menulis dan membaca alQur’an. 8
167
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
daftar menjadi murid al-Azhar di tingkat Ibtida’i, dengan masa tempuh empat hahun, kemudian mendaftarkan diri ke jenjang berikutnya, yaitu pada tingkat Tsanawi dengan masa tempuh lima tahun. Di tingkat Tsanawi, juga dijalani dengan lancar dan tidak ada hambatan yang signifikan hingga Qardhawi kemudian melanjutkan studi ke Univeritas al-Azhar, menempuh studi strata satu (S-1) di Fakultas Ushuluddin dengan mengambil jurusan Akidah-Filsafat. Di universitas ini Qardhawi lulus dengan predikat terbaik pada tahun 1952 M.10 Dari Fakultas Ushuluddin, Qardhawi banyak mengambil pemikiran-pemikiran maupun ide-ide dari ulama-ulama terkemuka, khususnya tentang pembaharuan fikih. Tidak hanya itu, dari fakultas ini pula di kemudian hari Qardhawi terkenal sebagai ulama kontemporer yang memiliki ciri khas dalam pemikiran fikihnya, yaitu fikih yang penuh dengan al-Qur’an maupun hadits dan jauh dari keterkaitan dengan mazhab tertentu maupun ulama terdahulu.11 Qardhawi kurang puas dengan pendidikan di Fakultas Ushuluddin, lalu kuliah strata satu (S-1) lagi di Fakultas Bahasa Arab di universitas yang sama dan menyelesaikannya pada tahun 1954 M. Pada jurusan ini Qardhawi memperoleh ijazah internasional dan sertifikat (ijazah) mengajar.12 Selesai menempuh strata satu (S-1) dari kuliah kedua, tepat pada tahun 1957, Qardhawi melanjutkan studi di Ma’had al-Buhuth wa al-Dirasat al-‘Arabiyah al‘Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban), yang merupakan sebuah lembaga studi berada di bawah naungan Liga Arab. Pada lembaga ini Qardhawi memperoleh gelar diploma tinggi dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Bersamaan dengan itu pula, masih pada 1957 M, Qardhawi melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S-2) di Universitas al-Azhar dengan konsentrasi ilmu tafsir-hadits. Pada jenjang ini Qardhawi mampu menyelesaikan dalam waktu tiga tahun, yaitu sampai pada tahun 1960 M. Selesai menempuh S-2, Qardhawi juga 10 Qardhawi, Ibn al-Qaryah wa al-Kuttab, juz I, 15. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1448. 11 Dalam pengantar buku Fatawa Mu‘asirah, Qardhawi memberikan pengakuan bahwa dia terbebas dari belenggu madzhab, sikap taqlid dan fanatik terhadap pendapat ulama. Baca Qardhawi, Min Hady al-Islam: Fatawa Mu‘asirah, Vol. I, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 2000), 04. 12 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1448-1449.
168
Slamet Arofik
langsung melanjutkan studi pada Program Doktor dan mengambil judul disertasi al-Zakah wa Atharuha fi Hill al-Mashakil al-Ijtima‘iyah atau Zakat dan Dampaknya dalam Menanggulangi Problematika Sosial Kemasyarakatan, yang pada masa berikutnya karya tersebut diterbitkan dalam dua jilid dengan judul Fiqh al-Zakah: Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa Falsafatiha fi Dlaw’i al-Qur’an wa al-Sunnah atau Fikih Zakat: Studi Komperatif Mengenai Hukum Zakat dan Filsafatnya Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Berdasarkan perjalanan pendidikan, diketahui bahwa Qardhawi menguasai hampir seluruh bidang kajian keagamaan Islam. Qardhawi menguasai bidang akidah, teologi Islam, bahasa dan sastra Arab serta sejarah dan peradaban Islam dari Ma‘had Al-Buhuth Wa Al-Dirasat Al-‘Arabiyah al-‘Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban). Qardhawi juga menguasai ilmu tafsir dan hadits sejak ia studi pada tingkat magister dan doktor di Universitas al-Azhar, Mesir. Penguasaan yang luas dan mendalam tentang ilmu agama serta pengetahuan umum tercermin pada karya-karya ilmiahnya. Lebih dari seratus judul buku yang telah diterbitkan, meliputi ilmu alQur’an, hadits, fikih dan usul fikih, akidah, sejarah serta peradaban, politik Islam dan ekonomi Islam. Buku Fiqh al-Zakah, sebagai studi kasus, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setebal 1.186 halaman, merupakan kitab pertama yang membahas secara lengkap dan luas seluk-beluk hukum zakat, mulai dari zakat pribadi, zakat karyawan atau zakat profesi, hingga zakat lembaga atau perusahaan. B. Karakteristik Hukum Islam Perspektif Yusf Qardhawi Pada masa Nabi Muhammad Saw, setiap permasalahan yang dihadapi manusia bisa langsung ditanyakan kepadanya dan seketika itu pula jawaban bisa langsung diperoleh melalui wahyu yang turun. Realitas semacam ini secara tidak langsung berimplikasi kepada kesimpulan sementara bahwa jawaban yang disampaikan Nabi Saw (wahyu) terhadap pertanyan-pertanyaan tersebut, merupakan jawaban yang temporal dan kasuistik, sehingga belum tentu bisa diterapkan pada semua manusia yang memiliki kasus yang sama, namun berbeda situasi maupun kondisi, apalagi berbeda jaman, karena tidak semua jawaban Nabi Saw ketika itu 169
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
dapat disesuaikan serta cocok jika diterapkan pada obyek maupun konteks yang berbeda. Meskipun demikian, realitas bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu atau teks yang bersifat permanen, final dan tidak mungkin berkembang, baik berupa al-Qur’an maupun hadits, secara de facto hukum Islam tidak bisa dikatakan telah final. Melalui tulisan ini akan dijelaskan betapa hukum Islam akan terus berkembang dan bersesuaian seiring berbedanya situasi kondisi maupun berubahnya jaman,13 karena hukum Islam miliki faktorfaktor dan dimensi-dimensi yang menyebabkannya tidak mengalami stagnasi dan finalisasi. Qardhawi, tokoh terkaji dalam tulisan ini mengatakan bahwa syariat Islam bisa menerima perubahan serta bisa menerima pembaharuan karena syariat Islam didasari atas beberapa hal. Di antaranya adalah memiliki nilai orsinalitas (al-asalah) serta memiliki karakteristik (al-khashaish) yang berbeda dengan hukum maupun undangundang lain yang ada di muka bumi ini, baik berbeda dari segi sumber, pijakan, tujuan ataupun orientasinya, sehingga hukum Islam berpeluang untuk dilakukan pembaharuan (tajdid) dan bisa dilakukan perubahan (taghyir). Dalam buku berjudul al-Fiqh al-Islami Bayn al-Asalat wa alTajdid, Qardhawi mengemukakan sebelas karakteristik yang dimiliki hukum Islam yang menjadi landasan pacu atas dinamikanya.14 Karakteristik tersebut meliputi berasaskan ketuhanan, dalam hal ini adalah wahyu, bersifat keagamaan, kemanusiaan, komprehensif, moralitas, universal, sistematis dan tematik, moderat, keseimbangan antara individu dan kolektif, memiliki teori dan kaidah umum serta mampu berkembang dan diperbarui. Karakteristik terakhir inilah yang Qardhawi merupakan khasais yang memberikan ruang gerak terhadap hukum Islam untuk berkembang dan mengadakan pembaharuan.15 13 Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in, Juz III (Kairo: Maktabat al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969), 3. 14 Qardhawi, al-Fiqh al-Islami Bayn al-Asalah wa al-Tajdid, 7. 15 Hukum Islam yang masuk pada kategori ibadah mahdlah tidak boleh dikembangkan, apalagi diperbarui, sedangkan lainnya bisa dijabarkan serta penerapannya berlaku proses kontekstualisasi. Baca Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi (Demak: Demak Press, 2002), 11-12.
170
Slamet Arofik
Lebih tegas lagi Qardhawi mengemukakan bahwa tidak seluruh ayat al-Qur’an menunjukkan qath‘i al-dilalah, meskipun seluruhnya merupakan qath‘i al-tsubut. Begitu juga tidak semua hadits berupa dzanni al-dilalah, meskipun hampir seluruhnya dzanni altsubut. Berdasarkan atas tsubut dan dilalah-nya ini, ulama kemudian menetapkan dua jenis hukum yang disebut dengan qath‘i dan dzanni. Mereka sepakat bahwa ranah ijtihad boleh dilakukan pada jenis hukum yang kedua ini dan di sini terdapat yang disebut Ali Yafie sebagai ruang gerak ijtihad.16 Sebagai legitimasi atas dinamika hukum Islam tersebut, Qardhawi mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Saw pernah bersabda: 17
Hadits tersebut secara tidak langsung memberikan ruang gerak terhadap hukum Islam dalam kurun atau waktu tertentu untuk mengalami pembahuruan-pembaharuan melalui mujaddid, baik perorangan ataupun kelompok. Dalam hal ini, sejarah telah mencatat beberapa nama terkenal yang disebut-sebut sebagai mujaddid, di antaranya adalah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Imam alSyafi‘i, Abu al-Hasan al-Asy‘ari, Abu Hamid al-Ghazali, Abu Daqiq al-‘Id dan lain sebagainya.18 C. Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi Eksistensi karakteristik hukum Islam yang kesebelas di atas menurut Qardhawi berimplikasi kepada muncul dan tumbuhnya faktor-faktor yang menyebabkan hukum Islam elastis serta berpeluang untuk berkembang. Tidak hanya itu, hukum Islam juga memiliki medan yang luas sehingga para ahli bisa berperan mengisi medan tersebut dengan “penemuan-penemuan” yang belum tercover dalam nash agama. Qardhawi menyebutkan dalam buku ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah fi al-Syari‘ah al-Islamiyah, bahwa faktorfaktor yang menjadikan elastisitas hukum Islam ada lima, yaitu: 16 Ali Yafie, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam,“ dalam Ijtihad Dalam Sorotan, ed. Jalaludin Rahmat (Bandung: Mizan, 1996), 75-78. 17 Abu Dawud Sulaiman Ibn al-As‘ad al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, vol. IV (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), 91. Lihat juga, Qardhawi, al-Fiqh al-Islami, 23. 18 Ibid, 24.
171
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
1. Luasnya situasi yang dimaafkan Qardhawi memunculkan faktor yang pertama ini didasarkan pada hadits Nabi Saw yang berbunyi:
19
Hadits Nabi Saw di atas, tepatnya kata “ “ merupakan khitab yang ditujukan kepada para sahabat pada masa turunnya wahyu. Nabi Saw melarang para sahabat untuk tidak menanyakannya karena dengan demikian berarti mereka telah mencegah bertambahnya beban, baik itu berupa perintah melakukan sesuatu atau larangan-larangan baru, akibat sikap memperanyakan hal itu. Karena alasan ini pula dalam hadits lain Nabi Saw menyatakan yang artinya biarkan aku (cukup) dengan apa yang telah aku tinggalkan kepada kalian. Istilah yang diambil oleh Qardhawi berupa situasi atau medan netral yang dimaafkan atau merupakan konklusi dari hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh sahabat Salman yang berbunyi:
20
Berdasarkan hadits tersebut tampak jelas sekali bahwa Allah Swt telah memberikan batasan kongkrit kepada hamba-Nya atas segala hal yang telah dihalalkan oleh-Nya dan segala hal yang diharamkan-Nya. Sedangkan apapun yang tidak disebutkan dalam kitab-Nya, bukan berarti Allah Swt lupa dengan hal tersebut, akan tetapi justeru merupakan rahmat bagi hamba-Nya agar diambil kemudian memilah dan memilih mana yang lebih baik dan mana 19 Muhammad Ibn ‘Abdillah Abu ‘Abdillah al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 12. 20 Abu Bakr Ahmad Ibn al-Husayn Ibn ‘Ali Ibn Musa al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, Vol. 10 (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), 12.
172
Slamet Arofik
yang lebih cocok dengan kondisinya demi keberlangsungan hidup. Qardhawi kemudian memunculkan istilah tersebut. Berdasarkan logika seperti ini, segala hal yang tidak disebutkan oleh Allah Swt, segala hal yang tidak tersentuh oleh nash menunjukkan atas minimalisasi beban kewajiban dan perluasan sektor kemaafan yang ada dalam fikih Islam. Hal itu bukan terjadi karena kebetulan, melainkan disengaja dan menjadi tujuan utama bagi pembuat syariat. Allah Swt menghendaki syariat ini bersifat umum, abadi dan relevan dengan setiap waktu, ruang dan kondisi.21 Luasnya medan netral di atas, didukung dengan semakin beragamnya persoalan yang belum memiliki stastus hukum, secara tidak langsung berimplikasi pada para mujtahid untuk kreatif berijtihad dalam mengisinya. Dalam rangka mengisi medan tersebut, para mujtahid memiliki dan menggunakan metode-metode istinbath yang berbeda, satu dengan yang lain tidak sama, seperti qiyas, istihsan, istishlah dan ‘urf. 2. Nash memperhatikan hukum-hukum universal Faktor kedua ini dilatarbelakangi adanya fakta bahwa sebagian besar nash atau teks al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip umum dan memuat hukum yang bersifat universal. Nash tidak membicarakan hal-hal yang bersifat rinci, kongkrit maupun bersifat teknis, kecuali pada hal-hal yang bersifat abadi dan langgeng. Pada hal-hal yang bersifat langgeng ini nash memberikan rincian yang kongkrit dan memberikan teknis. Misalnya hukum yang berkaitan dengan ibadah, perkawinan, perceraian, warisan dan lain sebagainya. Dalam hal ini nash akan menjelaskan dengan rinci karena mencegah adanya bid‘ah dan terjadinya pembaruan yang menyesatkan, menyulitkan dan memberatkan.22 Salah satu contoh yang dikemukakan Qardhawi terkait dengan hal ini adalah tentang wajibnya mengadakan musyawarah yang didasarkan atas firman Allah Swt dalam QS. As-Syura: 38 dan QS. Ali Imran: 159. Dua ayat tersebut yang pertama merupakan Makkiyah sedangkan kedua adalah Madaniyah. Keduanya memiliki subtansi yang 21 22
Qardlawi, ‘Awamil al-Sa‘ah, 10. Ibid, 35.
173
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
sama yaitu wajibnya mengadakan musyawarah.23 Namun kedua ayat tersebut tidak menyinggung sama sekali tata cara musyawarah yang harus dilakukan yang ideal dan mekanisme musyawarah, terlebih jika yang melakukannya antara pemerintah dengan masyarakat, terlebih saat keduanya memiliki perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dikompromikan dari berbagai sudut maupun sisi. Dengan demikian terbukti bahwa nash tidak membicarakan itu semua, sebab jika hal itu disebutkan tentu akan memberatkan dan mempersulit manusia. 3. Nash menerima keragaman pemahaman Implementasi faktor ketiga ini adalah tertuju pada nash-nash yang memuat hukum parsial (juz’iyah) dan yang terperinci. Nash yang memuat hukum parsial diformulasikan dan dinyatakan dengan bentuk kata ataupun redaksi yang memungkinkan terdapat di dalamnya keberagaman penafsiran. Satu kata bisa memiliki beberapa makna tergantung pihak yang memberi pemaknaan sesuai dengan karakter maupun tingkat integritas keilmuannya. Tidak heran jika faktor ketiga ini beserta dua faktor sebelumnya pada tahap berikutnya mendorong menculnya berbagai aliran pemikiran hukum dalam khazanah fikih Islam.24 Untuk menunjukkan keterbukaan al-Qur’an dan hadits terhadap berbagai pemahaman, pemikiran dan penafsiran, akan dipaparkan dua contoh, satu di antaranya mewakili nash al-Qur’an dan yang lain mewakili hadits. Contoh pertama adalah permasalahan ila’ ( ). Dalam QS. al-Baqarah: 226-227 terdapat kata “ ” yang memiliki arti sumpah. Kata ini, jika diungkapkan dengan menggunakan kata ila’ maka dalam fikih Islam memiliki arti artinya bersumpah tidak akan 25 menggauli istri. Jika diteliti dengan seksama, ayat terebut hanya menyatakan bahwa bagi para suami yang meng-ila’ istrinya hendaknya memberikan batasan waktu hingga empat bulan, sedangkan ayat ter23 Hukum wajib tersebut diambil dari makna perintah yang ada pada subtansi ayat yang menggunakan kata perintah (fi’il amar). 24 Dalam fikih Islam ada doktrin yang keras, longgar, rasional, tradisional dan literer, yang sesuai dengan karakter tokohnya. Baca Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 45. 25 Pendapat Qardhawi ini mengutip perkataan Ibn ‘Abbas. al-Khazin, Lubab al-Ta’wil fi Ma‘ani al-Tanzil, vol. I, 227. Baca juga Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 46.
174
Slamet Arofik
sebut tidak memberikan uraian sama sekali tentang hal-hal yang bersifat teknis, misalnya kriteria suami yang boleh meng-ila’ istri, dalam keadaan bagaimana suami boleh menjatuhkan ila’, apa hukum yang muncul jika istri yang disumpah ila’ ternyata belum pernah digauli sama sekali dan lain sebagainya. Berawal dari redaksi ayat di atas yang bersifat global dan belum ada rincian sama sekali, maka berimplikasi pada keragaman interpretasi dan pendapat di antara para ahli fikih sejak masa para sahabat, tabi‘in sampai generasi-genersi setelah mereka.26 Contoh kedua adalah hadits yang membicarakan tentang tidak diperbolehkannya mempermainkan harga pasar. Dari sini akan diketahui sejauh mana hadits itu mampu menampung sejumlah pemahaman dan kreativitas para mujtahid. Pada masa Nabi Saw, suatu saat pernah terjadi lonjakan harga yang begitu tinggi, kemudian beberapa sahabat datang padanya dengan berkata: “Wahai Rasul, alangkah baiknya jika Anda menurunkan harga. Rasul kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Penggenggam, Pemerluas, Pemberi Rejeki dan Penentu Harga dan aku berharap Allah Swt menurunkan ilham padaku dan janganlah seseorang menentukan dengan kegelapan yang akan menutupi dirinya sendiri dalam diri maupun hartanya.”27 Pada riwayat lain menyebutkan bahwa telah datang seorang lakilaki pada Nabi Saw lalu berkata: “Wahai Rasul tentukanlah harga”, Rasul pun menjawab: “Berdoalah kepada Allah”. Kemudian datang lagi orang lain dan juga berkata: “Wahai Rasul tentukanlah harga”, Rasul kemudian menjawab: “Allah-lah yang menaikkan dan menurunkan harga.”28 Kandungan makna kedua hadits di atas memberikan pengertian bahwa syariat Islam menginginkan adanya kebebasan dalam perdagangan di pasar dan mempercayakan naik turunnya harga pada perkembangan pasar, sesuai dengan hukum permintaan dan jumlah persediaan barang. Tidak hanya demikian, hadits tersebut juga menegaskan bahwa campur tangan dalam kebebasan pribadi, 26
Ibid. Abu ‘Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad al-Shaibani, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, vol. III (Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1998), 156. 28 Abu Bakr Ahmad Ibn al-Husayn Ibn ‘Ali al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol. II (Hidar Abad: Majlis Dairat al-Ma‘arif al-Nizamiyah, 1344 H.), 140. 27
175
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
campur tangan dalam produktivitas perdagangan dan barang konsumsi merupakan perbuatan dzalim yang harus dihindari. Berdasarkan kedua hadits itu pula para ahli hadits berkesimpulan bahwa penentuan harga hukumnya haram dan merupakan perbuatan dzalim.29 4. Melindungi keadaan darurat dan tertentu Faktor keempat adalah fakta bahwa syariat Islam sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan, hal-hal darurat dan keadaan-keadaan sulit dalam kehidupan manusia. Begitu pula syariat memperhatikan keadaan terpaksa dan memperhatikan hukum pengecualian. Syariat meletakkan semua itu pada tempat dan porsi masing-masing sekaligus menetapkan hukum-hukumnya selaras dengan tujuan umum syariat, yaitu mempermudah dan menghilangkan kesulitan.30 Hal ini terbukti di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang memiliki substansi yang sama, yaitu QS. al-Baqarah: 286, QS. al-Baqarah: 185, QS. al-Nisa: 28 dan QS. Ali Imran: 6. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, para ahli fikih merumuskan kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan sandaran untuk merumuskan hukum-hukum yang berakitan dengan keadaan darurat, keadaan terpaksa dan keadaan sulit dalam sisi kehidupan manusia.31 Kaidah-kaidah tersebut adalah kesukaran menarik kemudahan, keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang dan kondisi terancam. 5. Perubahan fatwa sebab perubahan waktu, ruang, kondisi dan adat Menurut Qardhawi, konsep perubahan fatwa seiring dengan perubahan waktu, ruang, kondisi dan tradisi masyarakat, diperbolehkan. Dengan konsep ini, fikih Islam dapat mengakomodir perubahan masyarakat yang akan terus mengalami perkembangan.32 Qardhawi menegaskan bahwa al-Qur’an maupun hadits tidak lain kecuali memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan alam 29 Namun menurut Imam Malik, campur tangan dalam penentuan harga hukumnya boleh. Begitu juga menurut al-Syafi‘i. Baca Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 56-57. 30 Qardhawi, al-Fiqh al-Islami, 86. 31 Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 62-63. 32 Qardhawi, al-Fiqh al-Islami, 86. Lihat pula Qardhawi, ‘Awamil al-Sa’ah, 70.
176
Slamet Arofik
semesta, menegakkan keadilan, menghilangkan segala macam kedzalim-an dan segala macam kegiatan yang merusak kedamaian dan ketentraman dunia, sehingga para ahli fikih dalam setiap merumuskan hukum dan memberikan fatwa harus selalu bertumpu pada situasi dan kondisi mahkum ‘alaih dan bersandar pada tujuantujuan utama syariat ( ) dan tidak harus selalu berpegang teguh kepada satu pendapat dari salah satu ahli fikih.33 Qardhawi, mengutip pernyataan Ibn Qayyim dan ulama lain, bahwa fatwa harus selalu berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan waktu, ruang, kondisi dan motivasi. Lebih lanjut Ibn Qayyim menjelaskan bahwa perubahan fatwa hanya bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, sebab syariat Islam berlandaskan kemaslahatan dan tidak menghendaki kesukaran dan kesulitan.34 Berdasarkan realitas tersebut, Qardhawi mengklasifikasikan hukum Islam menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah hukumhukum yang sama sekali tidak berubah dari ketentuan tunggalnya sejak semula, yaitu tidak terpengaruh oleh perkembangan ruang, waktu dan ijtihad para ahli fikih. Hukum semacam ini antara lain adalah hukum yang mengandung unsur kewajiban atau perintah, larangan dan ketetapan syariat serta menyangkut hukuman terhadap tindakan kriminal. Kedua adalah hukum yang menerima perubahan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang ada, selaras dengan perkembangan waktu, ruang dan kondisi. Misalnya adalah tentang ukuran, bentuk sanksi, cara pelaksanaan dan apapun halhal yang bersifat cabang, kecuali yang telah ditentukan. Dalam hal ini syariat terbuka terhadap perbedaan penafsiran, sehingga hukum yang dihasilkan bisa berubah dan disesuaikan dengan tuntutan kemaslahatan.35 D. Landasan Historis Elastisitas Hukum Islam Yusuf Qardhawi Berdasarkan deskripsi sejarah, tampak jelas bahwa hukum Islam sejak kemunculan hingga kapan pun bersifat elastis, bisa 33
Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 70. Ibid, 72. Lihat pula, Ibn al-Qayyim, I‘lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Vol. III (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 11. 35 Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 72. 34
177
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
berubah dan tidak jumud, sehingga mampu berkembang dan bisa bersesuaian dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. 1. Pedoman dari Sunnah Sejarah pertama, yang berasal dari sunah Nabi Saw adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Saw mengenai hukum bersentuhan (memeluk ketat) dengan istri bagi orang yang berpuasa, kemudian Nabi Saw memberi keringanan padanya. Lalu datang orang lain bertanya (sama), kemudian Nabi Saw melarangnya. Ternyata, orang yang diberi keringan adalah orang tua dan orang yang dilarang Nabi Saw adalah pemuda.36 Hadits tersebut, meski diakui Qardaawi lemah, namun didukung oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab Musnad, dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr Ibn ‘Ash bahwa suatu ketika kami sedang bersama Nabi Saw, kemudian datang seorang pemuda lalu bertanya, “Wahai Rasul, bolehkah aku mencium istriku ketika aku puasa?”, Rasul menjawab: “Tidak”, kemudian datang seorang tua bertanya, “Wahai Rasul, bolehkah akau mencium istriku ketika aku puasa?” jawab Rasulullah: “Ya”. Kemudian kami saling memandang. Rasul kemudian bersabda: “Aku tahu kalian saling memandang, sesungguhnya orang tua yang telah cukup umur lebih bisa mengendalikan diri”.37 Masih banyak hadits yang memiliki subtansi senada dengan hadits di atas. Sebagai penutup dari contoh dari item ini adalah fakta bahwa Nabi Saw pernah menjawab satu persoalan dengan berbagai jawaban. Hal ini disebabkan karena keadaan penanya berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini Nabi Saw memberikan jawaban dan jalan keluar yang relevan dan cocok, sesuai dengan kondisi masing-masing penanya. Salah satu contoh adalah ketika Nabi Saw ditanya tentang amal perbuatan yang paling mulia, maka jawaban Rasul berbeda-beda. Mula-mula Nabi Saw men36 Hadits tersebut dinyatakan oleh Qardhawi sebagai hadits yang sanad-nya dha‘if (lemah) dan tidak mungkin dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum. Namun hadits tersebut dikuatkan dengan hadits lain sehingga derajatnya menjadi kuat, sehingga bisa dijadikan landasan hukum. 37 Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. XIII (CD. Maktabah Shameela), 439.
178
Slamet Arofik
jawab iman kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Ketika ada pertanyaan lagi, jawaban Nabi Saw berganti dengan jihad fi sabilillah. Kemudian ada yang bertanya lagi, Nabi Saw menjawab dengan haji mabrur.38 2. Petunjuk dari sahabat Nabi Saw Semua orang yang memperdalam ilmu sejarah, khususnya sejarah hukum Islam, maka dengan mudah menemukan kesimpulan bahwa sahabat Nabi Saw adalah orang-orang yang paling sering menggunakan kaidah perubahan fatwa karena adanya perubahan hal-hal yang menyebabkannya.39 Terdapat banyak contoh mengenai hal ini, diantaranya adalah sebagai berikut: a) Perubahan fatwa dalam kasus peminum arak Telah dipahami bahwa pada jaman Nabi Saw bentuk hukuman bagi peminum arak belum ditentukan dan digariskan secara kongkrit. Hukuman bagi peminum arak hanya sebatas ta‘dzir.40 Hal ini dapat dilihat pada hadits yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Utbah Ibn al-Harith bahwa Nu’aiman atau Ibn Nu’aiman, seorang pemabuk, dibawa menghadap Nabi Saw. Namun Nabi Saw merasa berat untuk menjatuhkan hukuman padanya dan memerintahkan kepada mereka yang ada di rumah untuk memukulinya dengan ikatan rumput dan sandal. Aku sendiri termasuk orang yang memukulinya.41 Hadits senada diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berkata bahwa seorang laki-laki yang telah minum arak didatangkan pada Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda “Pukullah dia”. Abu Hurairah berkata “Maka kami pun memukulinya, di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, ada pula yang memumukul dengan bajunya.” Berdasarkan dua hadits di atas, dengan jelas menjelaskan bahwa hukuman bagi peminum arak adalah dipukul, meski Nabi Saw tidak memberikan penjelasan dengan kongkrit tentang teknik pemberian hukuman, apakah dengan menggunakan sandal, baju, 38
Bukhari, Shahih al-Bukhari, 374. Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 82. 40 Ta‘dzir adalah sebuah hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan syara’ dan elemennya adalah kemaksiatan yang tidak ada hukuman hadd dan kafarat atau qishas-diyah. Sahid HM, Pornografi dalam Kajian Fiqh Jinayah (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2011), 15-18. 41 Bukhari, Shahih al-Bukhari, 275. 39
179
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
seutas rumput atau dengan menggunakan cambuk. Nabi Saw tidak memberi batasan tertentu tentang jumlah pukulan yang harus ditimpakan pada peminum arak. Hal ini berbeda sama sekali dengan kasus peminum arak melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang kuat, dari sahabat Ibn ‘Abbas, yang berkata bahwa sesungguhnya Nabi Saw tidak memerintahkan memukul peminum arak sama sekali pada suatu kesempatan.42 Berdasarkan uraian hadits-hadits di atas, jika dipahami dengan sepintas dan tidak dipahami dari sudut pandang pencanangan hukum (tasyri‘), maka akan menimbulkan kesan kontradiktif. Padahal kenyataannya tidak demikian adanya. Hadits-hadits tersebut merupakan realitas menarik dari segi elastisitas hukum Islam. Ketika Islam masih lemah, Nabi Saw tidak memberikan hukuman cambuk atas peminum arak. Namun ketika Islam sudah kuat, maka Nabi Saw menetapkan hukum tersebut, meskipun tidak menjelaskan batasan jumlah ataupun teknisnya.43 b) Perubahan fatwa tentang zakat fitrah Nabi Saw, dalam sebuah hadits shahih, mewajibkan atas semua umat Islam pada akhir bulan Ramadhan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha‘44 makanan dari kurma, anggur, gandum atau keju. Namun, shahih pula hadits yang menyatakan bahwa pada masa sahabat, banyak dari mereka mengeluarkan zakat fitrah hanya setengah sha‘ jagung. Hal ini dilakukan karena mereka berpendapat bahwa setengah sha‘ jagung nilai atau harganya sepadan dengan satu sha‘ kurma atau gandum basah. Lebih dari itu, Qardhawi mengutip keterangan yang disampaikan oleh Ibn Mundzir bahwa sahabat ‘Utsman, ‘Ali, Abu Hurairah, Jabir, Ibn ‘Abbas, Ibn Zubair, Asma’ binti Abu Bakr berpendapat bahwa zakat fitrah dapat dibayar dengan setengah sha‘ jagung.45 42 Sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dan Nasa’i dari sahabat Ibn ‘Abbas. Baca Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Barri, vol. XII (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 2003), 85. 43 Perlu dicatat disini bahwa hukuman terhadap peminum arak terus berkembang dari masa ke masa. Baca Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 84-88. 44 Satu sha‘ sama dengan 4 mud, sedangkan satu mud sama dengan 0,67979 kg. Muhammad Ibn Isma‘il al-Shan‘ani, Subul al- Salam (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 345. 45 Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 91 dan Fiqh al-Zakah, vol. II, 935-936.
180
Slamet Arofik
c) Fatwa-fatwa khalifah ‘Umar ibn al-Khattab Salah satu contoh yang membuktikan bahwa perubahan hukum disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi adalah mengenai gagasan khalifah ‘Umar untuk menghentikan atau tidak memberikan lagi bagian zakat atas orang-orang yang pada masa Nabi Saw dan masa khalifah Abu Bakr dikenal dengan sebutan mu’allaf qulubuhum atau orang-orang yang lemah hatinya. Menurut Qardhawi, yang dilakukan ‘Umar tersebut bukan semata ingin menghapus (nasakh) ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadits atau menganulir sunnah Nabi yang telah dilakukan Nabi Saw hingga wafat, namun hal itu dilakukan karena semata Umar melihat kenyataan bahwa Islam tidak lagi memiliki kebutuhan untuk merangkul orang-orang non-muslim agar memeluk agama Islam dan menguatkan hati orang-orang yang baru masuk Islam karena pada saat itu Islam telah besar dan kuat. Tidak hanya itu, keputusan yang diambil ‘Umar tersebut bertujuan untuk mencegah semakin banyaknya orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai mu’allaf qulubuhum.46 E. Implementasi Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi Berikut akan dijelaskan bentuk-bentuk elastisitas hukum Islam dalam pandangan Qardhawi yang diambil dari karya-karyannya, di antaranya yaitu: 1) Wajibnya zakat profesi Zakat profesi merupakan kalimat yang terdiri dari dua suku kata yakni zakat dan profesi. Menurut etimologi, zakat merupakan kata dasar (mashdar) dari kata zakka ( ) yang berarti berkah, tumbuh, bersih, suci dan baik. Sedangkan istilah profesi dalam terminologi Arab tidak ditemukan padanan katanya secara eksplisit. Di negara Arab modern, istilah profesi diterjemahkan dan dipopulerkan dengan dua kosakata yaitu al-mihnat dan al-hirfah.47 46
Qardhawi, ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah, 94. Kata al-mihnat sering dipakai untuk menunjuk pekerjaan yang lebih mengandalkan kinerja otak, seperti pengacara, penulis, dokter, advokat, pekerja kantoran dan sebagainya. Sedangkan kata al-hirfat lebih sering dipakai untuk menunjuk jenis pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga otot, seperti pengrajin, tukang pandai besi, tukang jahit, buruh bangunan dan sebagainya. 47
181
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
Istilah zakat profesi tergolong jenis baru dalam kategorisasi harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, mengingat dalam fikih kasik disebutkan bahwa harta yang wajib dizakati hanya lima macam, yaitu emas dan perak, hewan rumahan, tanaman dan buahbuahan, hasil tambang dan harta perniagaan, sehingga zakat profesi belum tersentuh dan belum memiliki legalitas hukum yang menaungi.48 Setelah mempertimbangkan semakin beragamnya sumber pendapatan dalam masyarakat, begitu pula setelah membandingkan pendapat-pendapat yang terdapat dalam empat madzhab tentang harta penghasilan beserta dengan alasan masing-masing, demikian pula setelah meneliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, termasuk pula setelah memperhatikan hikmah dan maksud sang Pembuat syariat mewajibkan membayar zakat dan memperhatikan kebutuhan keberlangsungan agama Islam dan umat Islam pada masa sekarang, maka Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha ( ) seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan lain sebagainya yang mengerjakan profesi tertentu ( ). Termasuk juga seperti pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan, tempat-tempat hiburan dan lain-lainnya, maka semuanya wajib terkena zakat. Kewajiban zakat ini tidak disyaratkan harus genap satu tahun (haul), melainkan dikeluarkan pada waktu menerima pendapatan tersebut.49 Hal ini berbeda dengan yang telah menjadi ketetapan madzhab empat yang menerangkan bahwa harta penghasilan tidak wajib dizakati, kecuali telah mencapai nishab dan telah genap satu tahun (haul).50 Dalam menetapkan nishab zakat profesi, Qardhawi tidak memberikan patokan pasti. Qardhawi menawarkan dua alternatif. Pertama meng-qiblat pada pendapat Muhammad al-Ghazali, bahwa nishab zakat profesi disamakan dengan nishab tanaman dan buah48
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib, 541. Qardhawi, Fiqh al-Zakat, 505-510. Pendapat Qardhawi ini merujuk pada pendapat sebagian sahabat Nabi Saw, seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud dan Mu‘awiyah. Baca Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam, 776. 50 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam, 776. 49
182
Slamet Arofik
buahan. Artinya, siapa saja yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat, maka orang tersebut wajib pula mengeluarkan zakatnya. Kongkritnya, orang yang memiliki penghasilan yang nilainya mencapai 5 wasaq dari nilai terendah yang dihasilkan oleh tanah, seperti gandum, maka dikenakan wajib zakat.51 Jika ukuran 5 wasaq dikognkritkan dalam ukuran kilogram, mengingat satuan yang digunakan untuk menimbang di era modern adalah kilogram bukan lagi wasaq, terlebih jika mencermati biografi Indonesia yang mayoritas tanaman yang dijadikan makanan pokok (al-qut) adalah padi, maka 5 wasaq sama halnya dengan 815 kg beras putih,52 bukan gabah atau gandum. Hal ini tentu saja setelah dibersihkan dari jerami dan kulit. Jika dinominalkan dengan uang maka senilai Rp 6.275.500, dengan asumsi harga beras Rp 7.700 per kilo. Alternatif kedua merupakan cara yang lebih baik dan lebih tepat menurut Qardhawi mengingat kondisi sekarang sebagian besar bentuk pendapatan masyarakat bukan berupa hasil tanaman ataupun buah-buahan, namun berupa uang, yaitu dengan cara menyamakan nishab zakat penghasilan dengan al-nuqud (emas dan perak) yaitu senilai 85 gram emas,53 dengan asumsi harga emas Rp 425.000 per gram. Meskipun demikian, bagi kalangan profesional yang memperoleh dan menerima pendapatan tidak teratur, kadang-kadang setiap hari (seperti pendapatan seorang dokter), kadang-kadang pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor, begitu pula penjahit atau sebangsanya atau seperti sebagian pekerja yang menerima upah setiap minggu, ada pula dua minggu sekali atau seperti kebanyakan para pegawai, yaitu menerima gaji setiap bulan, maka terdapat dua cara dalam menghitung nishab-nya. Pertama adalah dengan memberlakukan nishab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan yang diterima, secara lang51 Muhyidin Abi Zakariyya Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, al-Majmu‘, Vol. V, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007), 46. Lihat juga Muhammad Ibn Isma‘il al-San‘ani, Subul al-Salam, 345. 52 Tentang konversi ini, baca Kodifikasi Santri Angkatan 2009, Kang Santri Menyingkap Problematika Umat (Kediri: Pustaka D’Aly, 2010), 375. 53 Qardhawi, Fiqh al-Zakat, 513-515.
183
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
sung. Maksudnya adalah penghasilan seseorang yang telah mencapai nishab, seperti seseorang yang memiliki gaji tinggi, para pegawai atau karyawan yang memiliki honorarium serta tunjangan besar serta para golongan profesi yang memiliki penghasilan tinggi, maka kepada mereka langsung dikenakan wajib zakat. Sedangkan gaji yang tidak mencapai nishab, misalnya pegawai level menengah bahkan menengah ke bawah, dengan gaji kecil atau pas-pasan, maka tidak wajib langsung terkena wajib zakat karena belum mencapai nishab. Kedua adalah dengan mengumpulkan atau menjumlahkan pendapatan yang diterima berkali-kali tersebut dalam satu waktu yang berdekatan. Karena pada kenyataanya, jumlah pegawai atau profesional yang menerima gaji atau menerima pendapatan sebesar satu nishab secara langsung tidak terlalu banyak, sehingga hal ini mengakibatkan sebagian besar dari pegawai maupun profesional terlepas dari kewajiban membayar zakat. Dengan demikian, cara yang kedua ini dapat diberlakukan dalam rangka menghitung nishab. Jadi, andaikata seseorang dalam tiap bulan mengumpulkan penghasilannya (penghasilan bersih yakni sudah dikurangi kebutuhan-kebutuhan yang ada) kemudian penghasilan tersebut diakumulasikan pada waktu terdekat dan ternyata mencapai nishab, maka orang tersebut terkena hukum wajib zakat. Sedangkan besar zakat yang wajib dikeluarkan atas profesi adalah seperempat puluh atau 2,5 %. Hal ini sesuai dengan keumuman nash yang telah mewajibkan dikeluarkannya zakat atas nuqud sebanyak seperempat puluh.54 2) Formulasi fikih minoritas Syariat Islam merupakan syariat yang tidak mengenal kasta, derajat, keadaan ataupun medan. Keadaan manusia, kapan dan dimana saja, umat Islam dituntut untuk memenuhi kewajibannya sebagai hamba Allah Swt sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki.55 Kewajiban ini tidak mengenal status sosial, apakah seorang pejabat, penguasa, rakyat, pria, wanita, kaya, miskin atau hidup di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam atau sebaliknya hidup di tengah-tengah komunitas yang tidak 54 55
184
Ibid, 519. Baca QS. al-Taghabun: 16 dan QS. al-Baqarah: 286.
Slamet Arofik
seagama. Selama masih mengaku beragama Islam, maka tuntutan (taklif) agama Islam wajib dilaksanakan. Bermula dari realitas semacam itu serta menimbang fikih klasik yang tidak sepenuhnya mampu secara tuntas menjawab persoalanpersoalan yang dihadapi oleh muslim minoritas, khususnya yang hidup di negara-negara Barat, maka Qardhawi menggagas sebuah formulasi hukum fikih yang disebut dengan fikih minoritas atau fiqh al-aqalliyat. Fiqh al-aqalliyat merupakan formulasi fikih yang diperoleh dari reinterpretasi terhadap dalil-dalil syar‘i ketika dihadapkan kepada kondisi serba baru pada masyarakat modern Barat dengan menggunakan piranti berupa ijtihad dan menggunakan landasan dasar berupa maqashid al-syari‘ah.56 Fikih ini diharapkan mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan kekinian, persoalan yang belum ter-cover dalam fikih klasik yang dialami mereka yang hidup di negara-negara Barat yang selalu bergumul dengan berbagai macam proplematika keagamaan akibat status minoritas yang mereka sandang dengan tidak mengabaikan dan meninggalkan kewajiban mereka sebagai seorang muslim, dengan tanpa mengesampingkan nash-nash syariat sebagai pilar utama.57 Contoh-contoh implementasi fiqh al-aqalliyat yang ditulis Qardhawi dalam bukunya fi Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimah di antaranya adalah: a) Diperbolehkannya melakukan salat Jumat sebelum tergelincir matahari dan sesudah ‘Ashar. Mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa waktu shalat Jumat adalah sama seperti waktu salat Dzuhur, yaitu mulai saat tergelincirnya matahari sampai pada saat bayangan suatu benda menyamai benda tersebut, karenanya tidak boleh melakukan melakukan shalat Dzuhur atau shalat Jumat mendahului atau lebih akhir dari waktu tersebut. Namun dalam terma fikih minoritas, bagi masyarakat yang ada di negara Barat, terlebih ketika mereka ada pada musim dingin, sehingga waktu untuk shalat Dzuhur sangat pendek sehingga tidak mencukupi untuk melakukan shalat Jumat dengan 56 57
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas (Yogyakarta: LKiS, 2010), 26. Ibid, 137-139. Baca juga Qardhawi, fi Fiqh al-Aqalliyat, 40-60.
185
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
sempurna sebagaimana mestinya atau disebabkan karena tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakannya karena dalam kondisi belajar atau sedang dalam keadaan bekerja, maka menurut Qardhawi bagi mereka boleh hukumnya melaksanakan shalat Jumat pada saat sebelum atau sesudah waktu Dzuhur.58 b) Meninggalkan kewajiban berqurban. Ketika negara-negara Eropa banyak yang terkena wabah penyakit, khususnya penyakit yang menyerang hewan ternak, seperti halnya penyakit sapi gila, penyakit yang menyerang kuku dan mulut kambing, menyebabkan banyak kalangan mengingatkan larangan mengkonsumsi daging keduanya, bahkan melarang kaum muslim untuk tidak melaksanakan ibadah qurban dengan menggunakan kedua hewan tersebut karena khawatir semakin merebak dan meluasnya penyakit tersebut sehingga siapapun ikut akan terkena dampak dari wabah. Oleh karenanya menurut Qardhawi meninggalkan ibadah qurban hukumnya lebih wajib dari pada melaksanakannya, sebab dengan meninggalkan ibadah qurban berarti sama halnya dengan menjaga keselamatan dan kesejahteraan jiwa diri sendiri dan orang banyak.59 c) Men-jama‘ shalat Maghrib dan Isya’ di rumah. Sebagaimana telah ditetapkan dalam QS. al-Nisa: 103 dan banyak sekali keterangan pada hadits-hadits mutawatir bahwa masing-masing dari shalat lima waktu memiliki waktu tersendiri dan tidak bisa diubah. Shalat harus dilakukan tepat pada waktunya, tidak boleh didahulukan atau diakhirkan dari waktu yang semestinya, kecuali jika terdapat hal-hal yang memperbolehkan memindah dan mengumpulkan dua shalat dilakukan dalam satu waktu (jama’). Meski demikian, menurut Qardhawi, bagi masyarakat yang hidup di negara Barat saat musim panas, sehingga waktu shalat Maghrib sangat panjang hingga mencapai larut malam dan bahkan terkadang melampaui tengah malam sedangkan tidak mungkin setiap hari harus begadang hanya untuk menunggu datangnya waktu Isya’ padahal agama tidak menghendaki adanya hal-hal yang memberatkan, di sisi lain lagi ke58 Hal itu didasarkan pada pendapat dua madzhab, yaitu Maliki dan Hambali. Qardhawi, fi Fiqh al-Aqalliyat, 72-75. Lihat pula al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib alArba‘ah, Vol. I, 341-342. 59 Baca Qardhawi, fi Fiqh al-Aqalliya, 85-86.
186
Slamet Arofik
esokan harinya mereka pagi-pagi sekali harus segera melaksanakan rutinitas, maka menurut Qardhawi bagi mereka boleh menjama‘ antara shalat Maghrib dan Isya’ selama musim panas berlangsung sebagaimana diperbolehkannya men-jama‘ antara shalat Dzuhur dan Ashar selama berlangsungnya musim dingin, karena begitu pendeknya waktu siang.60 3) Penghalalan Kawin Misyar Istilah kawin misyar, Qardhawi mengakui bahwa tidak ditemukan makna misyar dengan pasti, hanya saja setelah Qardhawi melihat praktek kawin misyar yang marak terjadi di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat modern di kawasan Timur Tengah, Qardhawi kemudian menyimpulkan satu definisi bahwa kawin misyar adalah suatu perkawinan saat seorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman sorang perempuan (istri) dan sang perempuan tidak pindah ke rumah sang laki-laki dan pada umumnya laki-laki itu memiliki istri yang permanen (sah).”61 Berdasarkan definisi di atas, dapat diambil pengertian bahwa kawin misyar merupakan sebuah perkawinan yang mengarah kepada kemudahan, khususnya bagi suami. Kawin model ini tidak lagi berkewajiban memberi tempat tinggal, nafkah lahir dan halhal lain terhadap istri yang dinikahi dengan cara misyar dan tidak pula memberikan sesuatu yang bersifat sama di antara kedua orang istri.62 Qardhawi menyatakan bahwa tujuan kawin misyar adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah dan memberikan hak yang sebanding dengan istri pertama.63 Jadi, jika dipahami secara sederhana, maka kawin misyar adalah sebuah perkawinan yang tidak ada nafkah, tidak ada tempat tinggal dan lain sebagainya, yang ada hanyalah kepuasan seksual semata. Artinya, 60 Ibid, 79. Lihat juga Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Husayn al-Qushayri al-Naysaburi, Shahih Muslim (Bairut, Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, tt), 489. 61 Qardhawi, Zawaj al-Misyar, Haqiqatuh wa Hukmuh (Kairo: Maktabah Wahbah, 2005), 09. Lihat juga Qardhawi, Hady al-Islam Fatawa Mu‘asirah, Vol. III 289. 62 Hal itu berbeda sama sekali dengan pernikahan pada umumnya yang mengenal istilah hak dan kewajiban, baik bagi suamu ataupun istri. Muhammad Jawwad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Lentera Bumi Tama, 2001), 76. 63 Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, 394.
187
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
seorang suami tidak dituntut untuk membayar mas kawin penuh, nafkah, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain, melainkan hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis sang istri dan mereka tidak pula tinggal dalam satu rumah. Menurut Qardhawi, kawin misyar hukumnya adalah boleh, yaitu perkawinan dimana seorang laki-laki (suami) tidak memberikan nafkah kepada istri meliputi makanan, tempat tinggal dan pakaian. Suami hanya berkewajiban memberikan kepuasan nafkah batin saja, namun dengan catatan jika sang istri merupakan orang yang kaya raya.64 Argumen Qardhawi dalam memberikan legislasi kebolehan atas kawin misyar adalah tidak begitu memandang terhadap istilah kawin misyar itu sendiri, namun lebih memandang dan memperhatikan pada aspek hukum dan hakikat kawin misyar dan bukan pada istilahnya. Ditegaskan Qardhawi bahwa di dalam kaidah syara‘ yang dianggap bukanlah lafadz dan istilahnya, melainkan tujuan dan maknanya. Jadi, jika dalam sebuah akad perkawinan telah terpenuhi antara syarat dan rukun, maka perkawinan tersebut sah adanya tanpa memandang apapun istilahnya.65 Demikian pula dengan kawin misyar, justifikasi halal yang diberikan Qardhawi terhadap kawin misyar karena dalam implementasi kawin misyar tidak jauh berbeda dengan perkawinan pada umumnya, yaitu memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi. Jika rukun-rukun tersebut telah dipenuhi, maka perkawinan hukumnya boleh dan sah. Rukun-rukun kawin misyar adalah ijab dan qabul, wali nikah, adanya mahar (mas kawin) dan adanya dua orang saksi. Dengan demikian, ketika ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah memenuhi semua rukun yang telah disebutkan, maka nikah tersebut menurut syara’ dianggap sah dan siapapun tidak berhak untuk membatalkan atau mengatakan tidak sah terhadap pernikahan tersebut.
64 Qardhawi menghalalkan praktek kawin misyar karena menurutnya kawin misyar merupakan sebuah solusi khususnya bagi wanita karir yang tidak sempat memikirkan masalah perkawinannya, padahal telah memiliki cukup usia. Qardhawi, Zawaj al-Misyar, Haqiqatuh wa Hukmuh, 10. 65 Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Vol. III, 395-396.
188
Slamet Arofik
Penutup Hukum Islam menurut Qardhawi merupakan tatanan masyarakat yang elastis, dinamis dan selalu mampu berselaras dengan dinamika kehidupan yang terus berkembang. Hal ini disebabkan karena hukum Islam memiliki faktor-faktor yang bisa menyebabkannya menjadi elastis dan fleksibel. Faktor-faktor yang dimaksud adalah luasnya keadaan dan situasi yang dimaafkan, nash hanya memperhatikan hukum-hukum yang bersifat universal, nash menerima keberagaman penafsiran dan pemahaman, terjaganya hal-hal yang bersifat darurat dan keadaan-keadaan tertentu, perubahan fatwa disebabkan perubahan waktu, tempat, keadaan dan kebiasaan. Contoh implementasi konsep elastisitas hukum Islam perspektif Qardhawi adalah diwajibkannya zakat profesi meski hampir seluruh kitab fikih klasik tidak menyebutkan kewajiban mengeluarkan zakat atas profesi dan hanya menerangkan lima hal yang wajib dizakati. Termasuk juga diperbolehkannya menggunakan fiqh al-aqalliyat bagi muslim minoritas yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas non-muslim dan ketiga adalah dihalalkannya praktek nikah misyar.* DAFTAR PUSTAKA al-Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar. Fath al-Barri, vol. XII. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003. al-Bayhaqi, Abu Bakr Ahmad Ibn al-Husayn Ibn ‘Ali Ibn Musa. Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, Vol. 10. Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994. Dahlan, Abdul Aziz (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. V. Jakarta: Ichtiar Bar Van Hoeve, 1997. FPII. Sejarah Tasyri‘ Islam. Kediri: FPII Lirboyo, 2006. Ibn Hanbal, Ahmad Ibn Muhammad. Musnad Ahmad, vol. XIII. CD Maktabah Shameela. Isma’il, Sya‘ban Muhammad. al-Tasyri‘ al-Islami. Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Misriyah, 1985. al-Jawziyah, Ibn al-Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi‘in, Juz III. Kairo: Maktabat al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969. 189
Elastisitas Hukum Islam Perspektif Yusuf Qardhawi
Kodifikasi Santri Angkatan 2009. Kang Santri Menyingkap Problematika Umat. Kediri: Pustaka D’Aly, 2010. Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas. Yogyakarta: LKiS, 2010. Mughniyah, Muhammad Jawwad. Fikih Lima Madzhab, terj. Afif Muhammad. Jakarta: Lentera Bumi Tama, 2001. al-Nawawi, Muhyidin Abi Zakariyya Yahya ibn Sharaf. al-Majmu‘, Vol. V. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007. al-Naysaburi, Muhammad Ibn ‘Abdillah Abu ‘Abdillah al-Hakim. al-Mustadrak. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. al-Naysaburi, Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Husayn al-Qushayri. Shahih Muslim. Bairut, Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, tt. Permono, Sjechul Hadi. Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi. Demak: Demak Press, 2002. Qardhawi, Yusuf. ‘Awamil al-Sa‘ah wa al-Murunah fi al-Syari‘ah alIslamiyah. Kuwait: Maktabat al-Iskandariyah, 2002. _______. al-Fiqh al-Islami Bayn al-Asalah wa al-Tajdid. Kairo: Maktabat Wahbah, 1999. _______. Ibn al-Qaryah wa al-Kuttab, juz I. Kairo: Dar al-Shuruq, 2002. _______. Min Hady al-Islam: Fatawa Mu‘asirah, Vol. I. Bairut: alMaktab al-Islami, 2000. _______. Zawaj al-Misyar, Haqiqatuh wa Hukmuh. Kairo: Maktabah Wahbah, 2005. al-Qayyim, Ibn. I‘lam al-Muqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Vol. III. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993. Sahid HM. Pornografi dalam Kajian Fiqh Jinayah. Surabaya: Sunan Ampel Press, 2011. al-Shan’ani, Muhammad Ibn Isma‘il. Subul al- Salam. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman Ibn al-As‘ad. Sunan Abi Dawud, vol. IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1994. al-Syaibani, Abu ‘Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad. Musnad Ahmad Ibn Hanbal, vol. III. Bairut: ‘Alam al-Kutub, 1998.
190
Slamet Arofik
Yafie, Ali. “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam,” dalam Ijtihad Dalam Sorotan, ed. Jalaludin Rahmat. Bandung: Mizan, 1996. al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islam. Damaskus: Dar al-Fikr, 2008.
191