EKSPRESI DALAM FACEBOOK. APAKAH REFLEKSI DARI BUDAYA INDONESIA? Ika Karlina Abstract The number of internet penetration in Indonesia is still low, with only around 10% population (25 million) have access to the internet. However, one trend shows there is a growing number in term of facebook user; May 2010 data indicates Indonesia is among three biggest facebook users in the world (24,7 million users from 456,6 million global users). This research examines how facebook is used by Indonesian people and to what extend it affects the existing culture and social norm in the country. The method used in this research includes observation and focus group discussion with facebook users. The results show that facebook changes the way people looking at and attending conflicts. What has been considered as taboo in high-context communication situation is becoming more transparent through facebook. Tools like comments, photo album, and wall provide a way for the user to become more active and open in expressing ideas and thoughts. Through facebook, interpersonal communication process has become more complex because they are occure in public sphere. This research conludes that that people cannot avoid the impact of the development of technology and social impact that accompanying it. But to maintain peaceful society and prevent nation identity, there should be policies that regulate or be a notification of social relations for facebookers in Indonesia. Those policies should be socialized properly to ensure the implementation of it.
Latar Belakang Penetrasi internet di Indonesia baru mencapai sekitar 2,5 juta orang atau sekitar 10,5 persen dari jumlah penduduk. Meski demikian, pengguna internet Indonesia sangat aktif menggunakan social networking sites (SNS/situs jejaring social). Menurut alexa.com, per Februari 2010, situs nomor satu yang paling banyak diakses penduduk Indonesia adalah facebook, mengalahkan social media lainnya seperti blogger, wordpress, youtube, dan twitter. Di Indonesia, facebook terbilang fenomenal. Hingga Mei 2010, jumlah facebooker (orang yang memiliki akun facebook) Indonesia mencapai 24,7 juta orang. Menurut checkfacebook.com, pada November 2009, Indonesia masuk ke dalam ‘top 10 ‘Fastest Growing over Past Week’ dan ‘ 10 Largest Countries Face book Users’. Selain itu, alexa.com juga mencatat bahwa orang-orang Indonesia adalah pengguna facebook paling aktif di dunia. Sayangnya, fenomena facebook ini juga menimbulkan masalah. Di Tanjung Pinang, misalnya, empat orang siswa SMA dikeluarkan dari sekolah karena menghina guru mereka di facebook. Di status siswa-siswa tersebut bahkan tertulis kalimat akan membunuh guru mereka karena kesal dengan cara mengajarnya. Penghujung tahun lalu, seorang anggota
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
polisi bernama Evan akhirnya dipecat karena menulis status “polisi tidak butuh masyarakat, justru masyarakat yang butuh polisi”. Evan menulis status tersebut saat terjadi kasus Kepolisian Republik Indonesia (Polri) versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Evan akhirnya mendapatkan banyak hujatan dari para facebooker. Rupanya, kasus Evan dan siswa SMA Tanjung Pinang, banyak terjadi di facebook. Banyak penggunaan facebook yang memaki orang lain melalui status mereka atau melalui menu comment. Akan tetapi, memang tak semua ekspresi kekesalan berujung pemecatan atau konflik. Beberapa pemilik akun facebook yang peneliti amati, rupanya sangat kontras dengan kepribadian mereka di dunia nyata. Seorang anak SD yang biasanya berbahasa dengan santun, bisa jadi menuliskan status yang mengatakan ingin membunuh gurunya, atau mahasiswi yang di kelas terbilang pendiam bisa menuliskan status ingin memotong alat kelamin temannya. Belum lagi, beberapa facebooker yang jika kesal akan menuliskan kalimat umpatan dengan huruf kapital di statusnya. Pada dasarnya, seseorang melakukan komunikasi antarpribadi untuk mengungkapkan ekspresi, berbagi informasi, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Facebooker Indonesia juga melakukan komunikasi antarpribadi di situs jejaring sosial tersebut untuk tujuan yang sama. Akan tetapi, ada hal menarik untuk dicermati dari facebooker Indonesia, yakni terjadinya pergeseran budaya komunikasi dari high context communication ke low context communication. Untuk mengetahui apakah memang terjadi pergeseran budaya komunikasi, peneliti melakukan observasi ke beberapa akun facebook dan focus group discussion ke 100 orang pengguna facebook. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menggali lebih dalam tentang: 1. Menu apa saja yang ada di facebook yang dapat digunakan untuk berkomunikasi? 2. Fungsi komunikasi apa saja yang dapat dilakukan melalui facebook? 3. Bagaimana facebook mengubah budaya komunikasi orang Indonesia? Tinjauan Pustaka Menurut Bucy (2002: 192-193), komunikasi yang berlangsung di web bisa terjadi dalam berbagai level dan bermacam konteks. Tingkatan komunikasi tersebut terdiri dari komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Dalam konteks komunikasi interpersonal, menurut Straubhaar and LaRose (2006: 19), “Includes changes in which two or more people take part, but the term is usually reserved for situations in which just two or more people are communicating.” Komunikasi antar pribadi menurut Mulyana (2001: 73) adalah komunikasi antar orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun non-verbal. Ketika komunikasi interpersonal dilakukan melalui
113
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
media elektronik, misalnya telepon, maka istilah yang biasa digunakan adalah point-to-point communication (Staubhaar and LaRose, 2006: 19). Seseorang melakukan komunikasi antarpribadi biasanya untuk mengungkapkan ekspresi, berbagi informasi, dan menjalin hubungan. Seseorang melakukan komunikasi interpersonal untuk empat tujuan: mengidentifikasi dirinya, mencari pandangan yang lain tentang dunia, menjaga hubungan baik, dan mengubah kebiasaan dan perilaku. Adapun komunikasi interpersonal yang efektif ditandai dengan adanya keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan keseimbangan. Ketersediaan media baru seperti facebook, membuat kegiatan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh orang-orang menjadi lebih luas dan kreatif. Facebook membantu orang-orang menjalin hubungan antar pribadi dengan orang-orang yang berada jauh dari tempatnya berada dalam waktu singkat dan sekejap. Mirip seperti suatu jaringan hubungan sosial. Berkenaan dengan jaringan sosial, Bucy (2002: 193) menjelaskan bahwa “Web dapat digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis komunikasi.” Klasifikasi komunikasi yang terjadi, tergantung pada siapa yang mengambil bagian dalam proses tersebut. Beberapa bentuk komunikasi yang bisa terjadi di web: 1. Penyampaian informasi, dimana web memungkinkan orang mengakses informasi yang tersedia di jaringan. 2. Komunikasi, dimana orang-orang dapat menggunakan web hypertext untuk menciptakan forum untuk saling berbagi informasi, diskusi, dan membantu anggota kelompok untuk berhubungan satu sama lain. Orang-orang menggunakan komputer untuk berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan akan pembelajaran, hiburan, interaksi sosial, menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan, menghabiskan waktu, keluar dari rutinitas. 3. Interaksi, orang-orang dapat berkomunikasi secara interaktif sehingga memungkin seseorang menyampaikan/menerima informasi berdasarkan pertanyaan orang lain. 4. Computation (Penghitungan), dimana web memungkinkan seseorang mengumpulkan informasi yang tersebar di web dan menampilkan informasi tersebut dalam web personalnya.(Bucy, 2002: 39) Komunikasi interpersonal yang terjadi di facebook, pada dasarnya mengacu pada komunikasi dalam kelompok, dimana dua orang atau lebih bertemu dan memiliki hubungan yang independen, dan para anggotanya saling berbagi ideologi, nilai, dan norma yang menghubungkan mereka. Sementara itu, ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya ia membawa seperangkat atribut yang menyertainya termasuk budaya. Pertukaran pesan yang terjadi dalam proses komunikasi tersebut merupakan pertukaran budaya. Hall dalam Miller (2002: 286) membagi budaya komunikasi ke dalam yakni High-context dan low-context culture, berdasarkan bagaimana orangorang dalam budaya tersebut memberikan makna pada sesuatu. Context 114
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
didefinisikan sebagai “the information that surrounds an event” (segala macam informasi yang melatari sebuah peristiwa), yang membangun kesatuan makna bersama-sama dengan peristiwa itu sendiri. Menurutnya, low-context communication adalah situasi komunikasi dimana sebagian besar informasi terletak pada kata-kata yang diucapkan; sedangkan highcontext communication adalah situasi komunikasi dimana sebagian besar informasi justru melekat pada diri orangnya (terutama statusnya). Dalam budaya high-context, sebagian besar makna tidak dikomunikasikan melalui kata-kata, sehingga orang-orangnya membuat dan merespon pesan dengan cara yang senantiasa konsisten. Orang-orang dalam budaya high-context cenderung lebih sensitif terhadap keadaan lingkungan mereka, dan lebih mampu mengekspresikan serta menafsirkan perasaan tanpa kata-kata. Makna dalam budaya high-context culture banyak disampaikan melalui status seseorang: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, latar belakang keluarga, gelar, afiliasi. Orang-orang dalam budaya ini cenderung berkomunikasi secara tersirat dan tidak langsung. Budaya ini biasanya ditemui di negara-negara Timur, seperti Jepang, China, Indonesia, Malaysia, dan India. Dalam budaya low-context, sebagian besar informasi dikandung dalam pesan verbal dan orang-orang dalam budaya ini cenderung berkomunikasi dengan cara yang eksplisit. Orang-orang dalam budaya ini juga cenderung berbicara lebih banyak, lebih cepat, dan dengan nada suara yang lebih tinggi. Budaya ini biasanya ditemui di negara-negara barat, seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan Belanda. Perbedaan kedua budaya komunikasi ini juga terlihat dalam persepsi terhadap konflik dan cara menanganinya. Budaya high-context cenderung memandang konflik sebagai sesuatu yang merusak dan perlu ditangani secara diam-diam dan tanpa terlihat. Sedangkan budaya low-context justru cenderung menangani konflik secara terbuka dalam rangka mencari solusi pemecahan segera. Menurut teorti Face Negotiation, Toomey dalam Littlejohn and Foss (2005: 168), orang-orang dalam budaya kolektivis (high-context) biasanya menghindari serangan personal secara langsung, menggunakan strategi berputar-putar, menekankan kepentingan-kepentingan kelompok. Ketika terjadi konflik mereka tetap mengonfirmasikan adanya kemungkinan melanjutkan hubungan. Sementara orang-orang dalam budaya individualis (low-context) cenderung menggunakan direct personal attack (serangan perorangan) dalam menyerang orang lain dan menunjukkan personal respect dalam memperbaiki hubungan dengan orang lain. Dalam konflik, mereka biasanya bertujuan mencari solusi atas masalah. Lebih jelasnya, bagan berikut membantu memahami kedua konteks budaya tersebut.
115
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
Tabel 1. Ciri Komunikasi Budaya Tinggi dan Rendah High-Context Communication Informasi melekat pada diri orangnya Berkomunikasi secara tersirat dan tidak langsung Konflik adalah sesuatu yang merusak dan perlu ditangani secara diam-diam dan tanpa terlihat Serangan personal secara langsung, menggunakan strategi berputar-putar, menekankan kepentingan-kepentingan kelompok Ketika terjadi konflik mereka tetap mengonfirmasikan adanya kemungkinan melanjutkan hubungan
Low-Context Communication Informasi terletak pada kata-kata yang diucapkan Berkomunikasi melalui pesan verbal dan cenderung eksplisit Konflik dilakukan secara terbuka dalam rangka mencari solusi pemecahan segera Menggunakan direct personal attack (serangan perorangan) dalam menyerang orang lain dan menunjukkan personal respect dalam memperbaiki hubungan dengan orang lain Dalam konflik, mereka biasanya bertujuan mencari solusi atas masalah
Berdasarkan teori tersebut, budaya orang Indonesia ketika berkomunikasi dapat dikatakan termasuk ke dalam high-context communication. Orang-orang Indonesia tidak terbiasa bicara secara langsung, blak-blakan atau to the point. Ketika berbicara norma dan nilai rasa menjadi pertimbangan utama. Berbicara dengan teman sebaya berbeda dengan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana data-data yang dikumpulkan tidak dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk informasi. Guna melengkapi pemahaman ini, Straus dan Corbin (2003: 7) yang menyebutkan 3 unsur utama penelitian kualitatif : 1. data bisa berasal dari bermacam sumber; biasanya dari wawancara dan pengamatan. 2. terdiri dari berbagai prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk mendapatkan temuan. Kedua prosedur ini mencakup teknik-teknik memahami data yang disebut penandaan (coding) dan prosedur lain yang juga merupakan bagian dari analisis meliputi sampling non statistik, penulisan memo dan pembuatan diagram hubungan konseptual. 3. penelitian kualitatif ialah laporan tertulis dan lisan. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi, penelitian kualitatif mengutamakan data deskriptif utuh dari fenomena yang diteliti. Peneliti pun bertindak sebagai alat atau instrumen pengumpul data. Penelitian ini juga tidak hanya berhenti hingga pendeskripsian suatu fenomena, akan 116
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
tetapi akan terus berlanjut melibatkan proses interpretasi memaknai apa yang terkandung di dalamnya. Pengumpulan data untuk mengetahui bagaimana pergeseran budaya komunikasi orang-orang Indonesia yang terjadi melalui facebook, peneliti melakukan observasi ke beberapa akun facebook, wawancara mendalam terhadap sejumlah pengguna facebook yang pernah terlibat konflik di facebook, dan focus group discussion kepada 100 orang pengguna facebook yang terdiri dari 80 orang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina angkatan 2007 dan 2008 serta 20 orang wartawan di sejumlah harian umum nasional. Pemilihan informan subjek penelitian dilakukan tanpa spesifikasi tertentu. Mengenai pemilihan ini, peneliti mengacu pada penjelasan Lexy bahwa dalam penelitian kualitatif, pemilihan subjek jelas berbeda dengan penelitian non kualitatif. Menurutnya (Lexy, 2006:223), “Dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan atau purposive sampling.” Pemilihan subjek sebagai informan penelitian tidak berdasarkan pada aturan tertentu seperti pada penelitian non kualitatif, akan tetapi dilakukan berdasarkan kebutuhan penelitian. Beberapa informan yang telah dipilih kemudian diminta untuk menunjuk atau merekomendasikan pemilik akun facebook lain yang dapat memberikan informasi selanjutnya. Informan lapis kedua ini diminta pula untuk menunjuk informan-informan berikutnya. Begitu seterusnya hingga data berulang atau jenuh. Cara ini dilakukan seperti dijelaskan Lexy (2006: 224): Setiap satuan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu. Dari mana atau dari siapa peneliti memulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila hal itu sudah berjalan, maka pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Teknik sampling bola salju bermanfaat dalam hal ini, yaitu mulai dari satu menjadi makin lama makin banyak.
Berdasarkan kutipan di atas, maka teknik pengambilan subjek penelitian seperti ini disebut sebagai teknik snowball sampling atau bola salju. Langkah ini juga dipilih berdasarkan pertimbangan rasional peneliti seperti ditegaskan oleh Imam dan Tobroni (2001: 133-134), “Informanlah yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk memberikan informasi atau data sebagaimana diharapkan peneliti.” Dengan demikian data akan terus terakumulasi terus menerus secara berantai mengalir hingga data yang diperoleh berulang (data jenuh). Sementara itu berkenaan dengan analisis data, peneliti mengacu pada gagasan Miles dan Huberman(1992:16-21). Langkah-langkah analisis data penelitian kualitatif pada garis besarnya terdiri dari beberapa bagian yaitu, “Pengumpulan data, reduksi data, penyajian/display data, menarik kesimpulan/verfikasi.” Antara satu tahap dengan tahap lainnya bukanlah suatu kegiatan terpisah, akan tetapi merupakan suatu rangkaian yang sambung menyambung, saling terkait atau tidak terputus. 117
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
Pengecekan data dilakukan terus menerus untuk menghasilkan keabsahan data seperti disebutkan oleh Lexy (2006: 324) menjelaskan ada empat kriteria yang digunakan untuk menentukannya yaitu, “Derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).” Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama dengan ketekunan/keajegan pengamatan. Kedua, triangulasi data yang dilakukan berdasarkan sumber data (triangulation of sources). Peneliti membandingkan dan melakukan cross checking konsistensi data atau informasi dari berbagai sumber yang dikumpulkan misalnya dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat, serta membandingkan hasil wawancara dengan berbagai dokumen yang berkaitan. Teknik ketiga adalah dengan pengecekan data melalui diskusi dengan rekan sejawat. Peneliti mengungkapkan hasil akhir penelitian yang bersifat sementara penelitian melalui diskusi dengan rekan-rekan yang diutamakan memiliki latarbelakang atau disiplin ilmu yang berkaitan. Melalui diskusi ini diharapkan diperoleh koreksi ataupun masukanmasukan untuk menghindari kesalahan dan menyempurnakan kesimpulan hasil penelitian. Pembahasan Facebook merupakan situs jejaring sosial yang dibuat sejak Februari 2004, untuk membantu orang-orang berkomunikasi lebih efisien dengan teman, keluarga ataupun rekan kerja mereka. Social Networking Sites (SNS) ini didirikan dengan harapan agar orang-orang dapat saling berhubungan setiap hari, mengunggah foto tanpa batas, saling berbagi tautan (link) dan video, dan berkenalan lebih jauh dengan orang lain. Siapa saja yang berumur 15 tahun ke atas dapat memiliki akun di facebook dan berinteraksi dengan teman-teman mereka. Saat ini, pengguna facebook tercatat sebanyak 400 juta orang. Sebanyak 50% diantaranya selalu memperbaharui status dan aktif menghiasi ruang facebooknya. Tercatat sebanyak lebih dari 35 juta orang memperbarui status mereka tiap hari dan 60 juta orang memperbarui posting mereka setiap hari. Lalu, sebanyak 3 miliar foto diunggah ke facebook setiap bulan dan lebih dari 5 miliar konten (web links, news stories, blog posts, notes, photo albums, etc.) yang dibagi (share) setiap minggunya. Ada beberapa produk (communication tolls) yang dimiliki facebook, yang memungkinkan seseorang untuk berbagi informasi, berkomunikasi, berinteraksi dan melakukan pengumpulan informasi (Bucy, 2002: 193). Berikut klasifikasi produk facebook dengan menggunakan kategori Bucy:
118
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
Tabel 2. Klasifikasi Produk Facebook (Kategori Bucy, 2002) Berbagi informasi Komunikasi Interaksi Pengumpulan informasi
Ads, Profile, Pages, Notes, Events, Posted Items, Video, Marketplace, Share, Status Chat, Inbox, Wall, News Feed Updated Privacy Controls, Networks, Groups, Gifts, Wall Friends, Photos, Notes, News Feed, Mini-Feed, Importing stories into Mini-Feed, Lexicon, Public Search Listing
Menurut insidefacebook.com, communication tools utama mereka ada pada menu News Feed, Messaging, Wall, dan Chat. Melalui ruang tersebut, para pengguna facebook dapat saling berbagi dan bertukar pesan sehingga hubungan di antara mereka menjadi lebih akrab namun sebatas dalam media, dalam arti tidak bertatap muka langsung. Sementara itu, bila mengacu pada penjelasan Hall tentang budaya konteks tinggi dan rendah, orang-orang Indonesia pada umumnya biasa melakukan komunikasi antar persona dalam high-context communication. Pertukaran pesan dalam konteks budaya tinggi, masing-masing orang lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa non-verbal serta pesan umumnya disampaikan secara tersirat dan tidak langsung. Komunikasi dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan masing-masing atau merusak hubungan sosial yang sudah terjalin karena ada satu atau dua kata yang tidak berkenan. Kesalahpahaman pertukaran pesan komunikasi yang dilakukan secara langsung dapat dihindari dengan menggunakan pesan-pesan non-verbal untuk menguatkannya. Menyadari hal tersebut, fenomena jalinan komunikasi antar persona melalui facebook merupakan hal yang menarik. Facebook adalah sebuah situs jejaring sosial dimana para penggunanya dapat berkomunikasi, berbagi informasi, berinteraksi dan mengumpulkan informasi. Komunikasi antar persona yang dilakukan melalui facebook adalah komunikasi melalui media komputer, dimana semua komunikasi dilakukan melalui bahasa tulisan yang tentunya sungguh berbeda dengan komunikasi secara langsung. Sementara ketika berkomunikasi dengan menggunakan facebook, penguatan pesan yang semula dapat dilakukan secara langsung tidak dapat dilakukan. Semua pesan yang semula dalam komunikasi antara persona secara langsung dapat disampaikan, baik verbal maupun non-verbal menjadi terbatas hanya sebatas bahasa tulisan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa kasus dimana facebook membuat pemilik akun lebih akspresif mengungkapkan perasaan atau opininya. Hal tersebut misalnya dapat dilihat pada beberapa status facebooker berikut ini: 119
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
SHD:
Males banget deh ama… Usil, Moody, itung2an, sok tahu, sok iyeh....mending kalo cewek kgk napeh, nah ini lakiiiiii cuy....”amit-amit jabang beybeh 3 komentar: SDB: S.U.M.P.A.H MALESSS bangeth AVA: Sahat eta dude,..,.. PRM: Cewe juga males bnget ama org gtu !!! Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti atau status-status berikut: WDI: RMC:
Ada banci yang beraninya ngomong di fb doank !! Ada yang hilang dari perasaanku, yang terlanjur sudah berikan padamu...ternyata aku tak berarti tanpamu, berharap...dan berharap lagi...Tapi q tak pernah menyerah, karna q yakin kau adalah BINTANG HIDUPKU...
SSW: @watching tv one...very wrong answer man! What a man ?! I hate you !! Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti
Kutipan-kutipan status di facebook tadi menggambarkan bagaimana seseorang menyatakan ketidakpuasan kepada teman, sahabat atau pasangannya. Namun pernyataannya itu mengundang komentar dari partisipan lain yang membacanya. Padahal belum tentu ia mengerti permasalahan yang sebenarnya ada. Yang kemudian terjadi adalah para partisipan pengguna facebook tersebut saling berkomentar dan bahkan menjurus pada pertengkaran sarkaisme. Lebih parah lagi, apa yang mereka bicarakan menjadi konsumsi banyak orang, terutama yang telah menjadi teman-teman dalam jejaring sosial mereka. Ini terjadi karena mereka tidak menyadari bahwa jejaring sosial dapat menjadi ruang publik bila pesan masih dimungkinkan untuk dibaca oleh orang lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dengan menggunakan facebook, seperti curahan hati kepada sahabatnya, pesan-pesan yang dituliskannya tidak lagi menjadi pesan yang hanya dapat diketahui oleh satu orang saja, akan tetapi beberapa orang. Pesan komunikasi disini menjadi pesan yang dapat dikonsumsi oleh publik terbatas, yaitu mereka yang tertarik untuk membacanya, terlepas apakah mereka memahami konteks yang dibicarakan atau tidak. Mereka memberikan komentar atas pesan tersebut menurut sudut pandang pemahaman atau persepsi mereka sendiri. Sebenarnya, pesan yang dituliskan dalam facebook bukanlah pesan tunggal, meskipun disampaikan secara tertulis. Umumnya, pesan yang biasanya disampaikan tatap muka secara langsung dapat diperkuat dengan menggunakan pesan-pesan non-verbal serhingga kesalahpahaman dapat dihindarkan. Namun bila menyampaikan pesan melalui facebook, pesanpesan non-verbal tidak dapat disertakan bersama pesan lisan. Pesan-pesan tersebut dipaksakan untuk dapat termuat dalam pesan tertulis. Rasa kesal, 120
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
sedih ataupun gembira diwakilkan dengan bentuk huruf-huruf, gambar, warna ataupun kode yang dianggap mampu menggambarkannya. Sayangnya, belum ada yang dapat menjamin bahwa pesan yang disampaikan oleh penulis pesan tersebut akan dimengerti dan dipahami oleh partisipan lain pengguna facebook tepat seperti sesuai dengan apa yang dimaksud. Pesan non-verbal yang dituliskan tersebut seringkali dipersepsi atau dimaknakan berbeda dengan yang dimaksud karena tidak dapat dikonfirmasi kebenaran maknanya. Analisa ini diperkuat dengan hasil focus of group discussion yang dilakukan, sebagian besar partisipan mengakui bahwa hal yang paling sering mereka lakukan adalah memperbarui status, memberi komentar di status ataupun foto, dan mengirim pesan di wall. Sebagian besar partisipan mengaku bahwa facebook membuat mereka lebih ekspresif, utamanya saat menulis status atau comments. Memperbarui status sesering mungkin menurut beberapa partispan dilakukan karena tiga hal: pertama, untuk menunjukkan eksistensi diri. Kedua untuk mendapatkan perhatian temanteman dengan cara dikomentari. Ketiga, untuk mendapatkan dukungan dari teman-teman. Selain itu, partisipan juga mengakui bahwa komunikasi interpersonal yang terjadi tak lagi sekadar antar dua orang, tapi bisa dengan banyak orang. Komunikasi interpersonal yang dilakukan pada menu wall antar dua orang faceboober, juga bisa dilihat oleh orang lain yang menjadi teman mereka dan bisa dikomentari. Pada akhirnya, komunikasi interpersonal pun berubah menjadi sebuah dialog dan bentuknya berubah menjadi komunikasi kelompok. Berikut contoh komunikasi interpersonal yang akhirnya berubah menjadi komunikasi kelompok: IDS
:puteeeee...udah ngurus rekening beloooommm??? Minggu dpean gw ngasih nomer rekening gw niihh. Cepaaaatttt! RWT :yammpun kalian, udh ampir 2 bulan bekerja ngga ngasih2...paraaahhh IDS :hahahahaha...anak bandel, sok2 ga butuh duit :D Putee niihh...cepetan ahhh,gw tinggal nih ngasih duluan PAG :@IDS: gw tidak punya uang selembar pun untuk membuka tabungan maupun deposito :( @tya: sbnrnya gw sukarelawan, gak digaji,jd ga ngasi2 buku d... Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti
Penyampaian pesan yang saling bersahut-sahutan secara lisan melalui facebook dapat juga menjadi media konflik. Mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berbicara secara langsung seolah mendapatkan media penyaluran yang pas untuk menyampaikan segala keluh kesah dan perasaannya melalui facebook. Pada saat seperti ini, mereka seperti tidak menyadari bahwa media facebook tersebut bukanlah seperti diari yang tidak memungkinkan bagi orang lain untuk turut membacanya. Berikut adalah salah satu pertengkaran yang terjadi:
121
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
1.
RR (berkonflik dengan ayahnya) RR: “gGrRrRrRrrRrRRrRrRrRrRrRr,,,Tiap harii bisanyaa marah2 doank,,,,padahal dia yg nyimpen barangnya sendiri,,ketika hilang,nyokz w yg disalahin,,,,FUUUUUCCCKKK!!!!!!!! w ga rela nyokz w dimarah2n trus..klo bkn karna nyokap w tercinta,,,dh w kasii pelajaran ntuu orang !!!!!!” 10 komentar: NRS: jiah emak anak udah kaya pemain sinetron jadul….siapa yg marah2……lagi puyeng kaleee RR: lah,,cii mummy brut auk yaa?ho3x Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti
2.
MA (berkonflik dengan atasannya) MA: he’s pig..!!! such an a**h*** 6 komentar GP: siapa sayang? kita culik apa?? MA: huhu… ga pa2 sih, hihihi… bawaan orok (jawaban standar yak, hehe) Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti
3.
SPS (berkonflik dengan mantan pacarnya) SPS: dasar co matre+egois!! Kunyuk!! Mati j lo!!!! 7 komentar RS: ngomonge g2 c, mg km d apain 5co u IK: hajar shin!! SPS: udh mbak td d jln q tending j burung’a! Dh kesel bgt mpe k ubun2!! Huff.. RJ: Makan tuh cow………………………………… SPS: boro2 w makan,, ngliat’a j dh empt!! Hmpfh!! Sumber data informan terbatas hanya untuk peneliti
Pada facebook, para pengguna akun seolah berbeda dengan pada kenyataannya. Mereka menyampaikan kata-kata yang boleh dikatakan tidak pernah dinyatakan dati mulutnya. Mereka lebih berani mengungkapkan pesa-pesan secara verbal. Bahkan konflik yang mungkin tidak terjadi dunia nyata, disampaikan secara terbuka seolah menumpahkan segala kekesalan. Mereka yang berkonflik tidak segansegan menggunakan kata-kata yang menyerang langsung dan mengurangi personal respect yang justru amat dibudayakan di hampir semua etnis budaya di Indonesia. Peneliti menemukan banyak kasus yang menggambarkan situasi seperti ini. Suami dan istri bertengkar satu sama lain, laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya dalam konteks hubungan dekat. Macammacam masalahnya, mulai dari pacaran, cinta segitiga, perseteruan dalam keluarga, dan atau diantara teman-teman. Kesemua itu menjadi konsumsi publik dimana setiap orang dapat melihat atau bahkan ikut bergabung, Mereka yang merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut ikut menimpali, menambahkan, melerai dan lain sebagainya. Keadaan yang seperti ini menunjukkan adanya kecenderungan pergeseran budaya komunikasi dari konteks tinggi ke konteks rendah. Terutama sekali dalam konteks cara komunikasi mereka mengatasi konflik. 122
Ika Karlina Ekspresi Dalam Facebook. Apakah Refleksi dari Budaya Indonesia?
Ketika komunikasi tersebut terjadi di facebook, sebenarnya akan memaksa orang-orang yang terbiasa menggunakan bahasa non-verbal untuk lebih banyak menggunakan bahasa verbal (low-context). Lalu, meski dilakukan di facebook, namun cara menangani konflik tentulah juga sesuai dengan ciri-ciri budaya high-context, yakni cenderung menghindari konflik dan tidak mengemukakannya secara lugas. Kesimpulan dan Saran Hasil pembahasan dan diskusi temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat pergeseran dalam budaya komunikasi masyarakat Indonesia. Budaya orang Indonesia yang memiliki budaya tinggi cenderung tidak tercerminkan ketika seseorang berkomunikasi melalui faceboook. Pada konteks komunikasi berbudaya tinggi, pesan cenderung implisit tersirat dan menyampaikan dengan berbagai makna atau pertimbangan, khususnya hubungan harmonis. Sedangkan pada konteks budaya komunikasi rendah, pesan cenderung seperti disampaikan secara verbal dan eksplisit. Konteks komunikasi berbudaya rendah seperti seolah mendapatkan wadahnya dalam facebook. Hal ini terutama sekali terlihat dalam perseturuan konflik bermedia faceboook. Fitur-fitur seperti comments, photo album, dan wall membuat pengguna facebook masyarakat Indonesia seolah merasa lebih aktif dan mempunyai kesempatan yang terbuka seluas-luasnya untuk mengekspresikan ide-ide dan pikiran. Padahal media facebook sebenarnya juga merupakan media terbatas yang tidak mampu memberikan penguatan pesan melalui pesan non-verbal seperti berkomunikasi secara langsung sehingga kesalahpahaman sangat mungkin terjadi. Apalagi, facebook membuat dunia terbatas seolah tak terbatas. Ruang privasi dapat menjadi ruang publik. Masyarakat kita tidak dapat menghindari dampak dari perkembangan teknologi dan dampak sosial yang menyertainya itu. Menyadari hal tersebut dan menanggapi hasil temuan penelitian, ada baiknya dilakukan suatu gerakan untuk menjaga masyarakat damai dan mencegah tergerusnya identitas bangsa. Sebaiknya pemerintah membuat sebuah kampanye komunikasi untuk mendidik masyarakat dalam menggunakan situs jejaring sosial. __________ Daftar Pustaka Babbie, Earl. 2004. The Practice of Social Research. 10th Edition. Belmont : Wadsworth/Thomson Learning Inc. Bucy, Erick P. 2002. Living in the Information Age. Belmont: Wadsworth Group. Imam Suprayogo & Tobroni.2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT Remaja
123
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 112-124
Lexy J Moleong. 2006. Edisi Revisi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Rosdakarya. Littlejohn, Stephen W and Foss, Karen A. 2006. Theories of Human Communication. USA: Thomson Wadsworth Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI Press Miller, Katherine. 2001. Communication Theories: Perspective, Process, and Context. USA: Mc. Graw Hill Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Neuman, W. Lawrence. 2003. Fifth Edition. Sosial Research Methods : Qualitaive and Quantitative Approaches. Boston : Allyn and Bacon Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methods. 3rd Edition. USA : Sage Publication Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Straubhaar, Joseph & LaRose, Robert. 2006. Media Now, Understanding Media, Culture, and Technology, fifth edition. America: Thomson Wadswoth.
124