POTRET MEDIA RELATIONS DALAM PERSEPSI WARTAWAN DAN PRAKTISI PUBLIC RELATIONS Ika Karlina Idris Abstract Until now the mass media is still considered as the most reliable media to disseminate messages or important information to public at large. The importance role of this mass media encourages PR practitioner to make special activity called media relations. Unfortunately, most PR ignored about the workings of the news, journalism, and mass media, thus the information was never conveyed to the public. Qualitative research methodology was chosen as a procedure that produces descriptive data in the form of words, written or spoken of the people. Researcher conducted interviews with 25 professionals public relations and 23 journalist. Media relations activities undertaken by public relations practitioners in this study could be categorized into the communication model described Grunig as Public Information Model. These findings are not much different from Grunig and Hunt found 28 years ago. There are no significant pattern changes. However, diversity of findings stimulated interesting areas to be analyzed and discussed in a subsequent follow-up of this research study. Pendahuluan “Wartawan adalah alat untuk mempublikasikan apa yang telah diprogramkan perusahaan.” (ASS, PR Executive sebuah perusahaan kosmetik). Di hampir setiap aktivitas Public Relations (PR) sebuah perusahaan atau organisasi selalu berhubungan dengan media massa. Saat ini Praktisi PR masih menganggap media massa sebagai media yang paling handal dalam menyebarkan pesanpesan atau informasi penting kepada lebih banyak orang. Hal ini seperti dijelaskan dalam kutipan berikut. “Sebagai media komunikasi massa, pers (termasuk radio dan televisi) dinilai memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini khalayak. Dengan ciri keserempakannya, pers di negara-negara maju sudah dianggap sebagai keutamaan keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” (Abdullah, 2004: 4). Berdasarkan pendapat tersebut, terlihat bahwa pemberitaan yang dilakukan oleh media massa dapat membentuk opini khayalak tentang sebuah perusahaan atau organisasi. Baik-buruk, positif-negatif citra perusahaan dapat ditentukan oleh pemberitaan media massa. Jika media massa mengabarkan informasi tentang keburukan perusahaan, maka dapat dipastikan khalayak juga akan memiliki persepsi yang buruk tentang perusahaan tersebut. Pentingnya peran media massa terhadap pencitraan perusahaan mendorong setiap praktisi PR untuk menjadikannya sebagai aktivitas khusus yang diseringkali disebut sebagai relasi media (media relations). Wragg dalam Thaker (2004: 148) mengatakan bahwa tujuan utama press relations tidak sekadar menjawab pertanyaan wartawan atau menyebarkan bahan publikasi. Tujuan utama press relations adalah untuk meningkatkan reputasi organisasi dan produknya, serta memberitahu dan mempersuasi
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
khalayak sasaran. Aktivitas ini merupakan salah satu fungsi yang mutlak dilakukan oleh seorang praktisi PR. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa “media relations” pada dasarnya adalah aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh individu ataupun profesi humas suatu organisasi, untuk menjalin pengertian dan hubungan baik dengan media massa, dalam rangka pencapaian publikasi organisasi yang maksimal serta berimbang,” (Iriantara, 2005: 5). Adapun himpunan kegiatan media relations, antara lain mencakup beberapa aktivitas seperti press conference, press briefing, press tour, special event, dan press gathering (Soemirat dan Ardianto, 2008: 7). Pada dasarnya, setiap aktivitas media relations yang dilakukan bertumpu pada penyediaan informasi yang akurat, cepat, dan sesuai dengan kebutuhan media massa. Akan tetapi, tidak semua praktisi PR menyadari hal ini. Masih banyak praktisi PR yang mencecar media massa dengan informasi yang “bagus-bagus” tentang perusahaan, yang hanya memotret sisi positif atau dunia ideal suatu perusahaan yang seringkali sebenarnya tidak dibutuhkan oleh media massa. Dengan kata lain, masih banyak praktisi PR perusahaan yang tidak mengerti nilai berita dari sebuah informasi dan profil media massa mana yang cocok dengan nilai berita tersebut. Tilley and Hollings (2008) mengistilahkan hubungan praktisi PR dan wartawan dengan “A love-hate relationship”. Parengkuan (2007) menggambarkan hubungan PR dan wartawan sebagai berikut. “In the past, in practice, both professions seemed to keep a cautious distance from each other. In the eyes of journalists, PR officers were considered to act as a “bumper” of the news source. Or, PR officers were seen as officers who only distributed press releases, with a news value that was one-sided. On the other hand in the eyes of traditional PR officers, journalists were looked upon as being fond of exposing the rotten secrets of the institutions or client that employed the PR officer.” (Di masa lalu, dalam praktiknya, kedua profesi tampaknya menjaga jarak hati-hati satu sama lain. Di mata wartawan, petugas PR dianggap bertindak sebagai “bumper” dari sumber berita. Atau, petugas PR hanya dipandang sebagai petugas yang hanya mendistribusikan siaran pers, dengan nilai berita yang tidak objektif. Di sisi lain, petugas PR, dalam perspektif tradisonal, memandang wartawan hanyalah sebagai orang yang gemar memberitakan rahasia busuk dari institusi atau klien yang mempekerjakan petugas PR). Ketidakpahaman praktisi PR mengenai nilai berita dan kehidupan wartawan sebagai insan media massa membuat informasi yang disampaikan perusahaan tak pernah sampai ke publiknya. Akibatnya media massa pun memberitakan informasi sesuai pertimbangan atau sudut pandang kebijakan media mereka sendiri. Kondisi yang demikian ini membuat praktisi PR melakukan berbagai cara agar informasi yang mereka inginkan dapat dimuat oleh media. Salah satu taktiknya adalah dengan memberikan “ucapan terimakasih” berupa uang. Tindakan pemberian amplop ini bisa jadi dimanfaatkan oleh oknum yang mengaku sebagai wartawan atau oleh wartawan yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak atas dasar kepentingan pribadi. Berikut salah satu fenomena pemberian amplop yang tertulis dalam Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). PR kantor atau instansi pemerintah yang rajin menebar amplop adalah tempat mangkal dan langganan para jurnalis kasus. Tempattempat itu juga ajang liputan mereka sehari-hari. Umumnya jurnalis kasus di instansi tertentu punya sumber berita yang sangat royal dan gampang mengeluarkan “pucuk”. Mereka juga gampang dan cepat mendapat informasi tentang manipulasi atau 330
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
penggelapan yang dilakukan oknum pejabat (Irvan, 2009: 134). Selain pemberian amplop, kasus yang juga menarik dicermati adalah lomba karya jurnalistik. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan dan juga praktisi PR bahwa lomba karya jurnalistik cenderung digelar oleh perusahaan untuk menjaring berita-berita positif. Ini dilakukan karena dengan anggaran rendah, penyelenggara akan menuai kesempatan memenuhi daerah pemberitaan yang luas. Wartawan akan berlombalomba untuk menulis berita positif yang dimuat di media massa sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan hadiah yang dijanjikan. Dalam laporan tersebut juga tertulis pengakuan dari Direktur Operasional dan Marketing Groups of Shafira yang menyatakan bahwa sayembara penulisan jurnalistik dilatarbelakangi peran media yang selama ini membantu membesarkan perusahaannya. Selain itu, ada juga pengakuan dari Muara Bagja seorang pekerja di bidang fashion yang bisa mengkoordinir wartawan. Karena tak semua wartawan suka dikasih “amplop” maka ia mengkompensasi pemberian amplop dengan tanda terimakasih dalam bentuk lain misalnya souvenir atau hadiah untuk kompetisi jurnalistik (Budiarti, 2009: 92). Lomba jurnalistik ini sangat rawan dengan pemberitaan yang tidak objektif. Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa kriteria pemenang harus sesuai dengan keinginan penyelenggara. Lebih lanjut Muara Bagja (Budiarti, 2009) mengatakan bahwa, lazimnya tulisan yang menang harus menyebut nama brand, nama produk, gambar produk, dan sebanyak mungkin halaman. “Kalau semuanya memenuhi syarat, baru bagaimana penyajian tulisan,” kata Muara. Dari kedua kasus tersebut nampak bahwa dalam melakukan kegiatan aktivitas media relations, seorang praktisi PR bisa saja melakukan hal-hal yang melanggar etika, baik etika kehumasan ataupun etika jurnalistik. Parsons (2008: 94-96) mengatakan hal senada yakni bahwa kode etik PR menekankan akan kejujuran dan akurasi dalam semua pengumpulan dan penyebaran informasi, melindungi rahasia perusahaan, adil, dan menghindari suap. Sebenarnya apa yang wartawan yang ingin capai dalam hal komunikasi publik tidak jauh berbeda dengan apa yang PR perjuangkan. Dalam Pasal 3 Kode Etik Kehumasan Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) juga mengatur tentang perilaku Humas dengan media massa, di antaranya: Pertama, tidak melibatkan diri dalam tindak untuk memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa. Kedua, tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan. Aktivitas media relations seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang baik antara perusahaan dengan publiknya, yakni wartawan dan instansi media massa. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan tujuan kedua belah pihak juga dapat tercapai. “Hubungan yang baik dengan media tentunya disertai harapan agar berbagai kegiatan yang dijalankan organisasi diliput media secara jujur, akurat, dan berimbang,” (Iriantara, 2005: 5). Hal senada dikatakan Supa and Zoch (2009), yakni memahami hubungan antara praktisi PR dan wartawan sangatlah penting untuk membuat aktivitas media relations yang efektif. Dari fenomena yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimanakan potret perbedaan persepsi antara praktisi PR dan wartawan tentang media relations? Adapun isu yang peneliti ingin gali lebih lanjut di antaranya mengenai : 331
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
1. 2. 3. 4. 5.
Bagaimana relasi media dalam pandangan wartawan? Bagaimana relasi media dalam pandangan PR? Bagaimana media massa yang baik di mata PR? Bagaimana PR yang baik di mata wartawan? Pernahkah hubungan personal membuat wartawan datang ke sebuah event yang diadakan oleh PR? 6. Bagaiamana sikap PR dan wartawan terhadap amplop atau uang tranpor? 7. Bagaimana pandangan PR dan wartawan tentang perusahaan yang mengadakan lomba karya tulis untuk wartawan?. Pandangan masing-masing pihak penting diketahui untuk menumbuhkan saling pengertian di antara praktisi PR dan wartawan demi terjalinnya rasa kepercayaan dan sikap saling menghormati antara profesi yang satu dan yang lainnya. Selain itu, pandangan masing-masing pihak juga menggambarkan model komunikasi PR dalam menjalin hubungan dengan media massa. Model Komunikasi PR Grunig dalam Aktivitas Media Relations Menilik cara praktisi PR memperlakukan media tidak bisa lepas dari cara pandang PR terhadap fungsi media bagi kepentingan perusahaan. Baines, Egans, dan Jefkins (2004: 162) menegaskan bahwa tugas press officer sebenarnya hanya mencakup: menginisiasi peliputan media dan menyediakan informasi yang dibutuhkan media. Dalam aktivitas media relations, praktisi PR menggunakan media massa sebagai alat penyampaian informasi dari perusahaan ke publik dan alat untuk memantau perkembangan isu mengenai perusahaan dan industri terkait. Untuk melihat model komunikasi PR dengan publiknya (dalam hal ini adalah media massa), Grunig and Hunt (1984) membuat empat model komunikasi PR kepada publiknya, yakni press agentry/publicity model, public information model, two-way asymmetric PR, dan two-way symmetric PR (Freitag and Quesinberry 2009: 34). Dijelaskan lebih lanjut oleh Wilcox and Cameron (2006: 63) bahwa pada model pertama aktivitas komunikasi PR bersifat satu arah dan bertujuan untuk mendapatkan publisitas bagi perusahaan atau dengan kata lain PR (dengan berbagai cara) berupaya agar informasi tentang perusahaan sebanyak-banyaknya muncul di media massa. Ciri khas model ini adalah persuasi publik dengan informasi yang berlebihan atau dibesarbesarkan. Model ini biasanya dijalankan oleh praktisi PR di dunia hiburan. Pada model kedua, PR bertujuan untuk menyediakan informasi yang akurat dan komprehensif, meski patokan urgensi informasi masih ditentukan oleh PR, bukan oleh kebutuhan publik. Public information model biasanya banyak diterapkan oleh PR di instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah. Pada model ketiga komunikasi perusahaan diupayakan untuk memperoleh pemahaman dan/atau mengubah perilaku publik. PR telah melakukan pengukuran dampak pesan yang disebarkan semata-mata agar dapat membuat perencanaan komunikasi yang lebih efektif. Adapun organisasi yang biasanya menggunakan model ini adalah konsultan pemasaran, konsultan periklanan, dan konsultan PR. Pada model terakhir, komunikasi yang dilakukan PR tidak hanya untuk memperoleh pemahaman publik, namun juga PR (dan perusahaan) telah bersedia mendengarkan suara publiknya atau bahkan mengubah kebijakan sesuai dengan masukan dari publik yang bersangkutan. Model ini biasanya digunakan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang manajemen 332
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
krisis, manajemen risiko, ataupun dalam sebuah upaya penyusunan rencana jangka panjang. Penjelasan tadi dapat dilihat dalam kutipan berikut. Model Publisitas
Arah Komunikasi Satu arah
Karakteristik Model
Menggunakan persuasi dan manipulasi untuk mempengaruhi perilaku audiens sesuai dengan keinginan organisasi Informasi Satu arah Menggunakan siaran pers dan alat komunikasi satu arah Publik lainnya untuk mendistribusikan informasi dari organisasi. Praktisi PR biasanya bekerja sebagai wartawan internal perusahaan Dua ArahDua arah Menggunakan persuasi dan manipulasi untuk Asimetris (tak seimbang) mempengaruhi perilaku audiens sesuai dengan keinginan organisasi. Belum menggunakan riset untuk mengetahui pandangan para pemegang kepentingan terhadap perusahaan Dua ArahDua arah Menggunakan komunikasi sebagai salah satu alat untuk Simetris bernegosiasi dengan publik, memecahkan konflik dan mendukung rasa saling percaya dan respek antara organisasi dan publiknya Sumber: http://iml.jou.ufl.edu/projects/fall99/westbrook/models.htm
Pada ketiga model pertama, PR mengomunikasikan pesannya dengan metode persuasi (satu arah dan dua arah), namun pada model terakhir PR telah menggandeng publiknya untuk bersama-sama mencapai tujuan perusahaan. Aktivitas media relations, menurut Grunig and Hunt (1984) dalam Theaker (2001: 147), sebagian besar masih menggunakan model persuasif, utamanya model kedua : public information model. “Lebih dari 50 persen praktisi menjalankan model informasi publik, dimana tujuan utama kegiatan mereka adalah diseminasi informasi. Meski model ini telah menekankan keterbukaan informasi, namun model ini sebenarnya belum mengakomodasi pendapat seluruh stakeholder.” Dengan mengetahui pandangan PR dan wartawan mengenai aktivitas media relations, peneliti berharap dapat mengetahui model komunikasi yang digunakan perusahaan dalam berkomunikasi dengan media massa. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana data-data yang dikumpulkan tidak dalam bentuk angka, melainkan dalam bentuk kata atau deskripsi. Mulyana (2002: 147), berpendapat bahwa : Metodologi kualitatif bertujuan untuk menangani hal-hal bersifat khusus, bukan hanya hal perilaku terbuka, tetapi juga proses yang tak terucapkan, dengan sampel kecil atau purposif; memahami peristiwa yang punya makna historis; menekankan perbedaan individu; mengembangkan hipotesis (teori) yang terkait oleh konteks dan waktu; membuat penilaian etis atau estetis atas fenomena (komunikasi) spesifik. Pada dasarnya penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk 333
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2008: 6). Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti melakukan wawancara kepada 25 orang praktisi PR dan 23 orang wartawan. Menurut Berger dalam Kriyantono (2008: 98), “Wawancara adalah percakapan antara periset—seseorang yang berharap mendapatkan informasi—dan informan—seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek.” Peneliti tidak membatasi kepada jenis kelamin dan lingkup organisasi. Hanya saja, agar bisa memberi gambaran tentang media relations, praktisi PR haruslah sedang atau pernah menjalankan aktivitas tersebut. Selain itu, baik PR ataupun wartawan paling tidak telah bekerja selama minimal tiga tahun. Dalam penelitian ini peneliti adalah pengamat luar yang tidak langsung turun ke lapangan. Meski tidak turun langsung, namun peneliti menggunakan pengalaman kerja saat masih menjadi wartawan sebagai bekal untuk memotret fenomena aktivitas media relations. Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan dibantu oleh para mahasiswa Peminatan Hubungan Masyarakat (Humas) yang mengambil mata kuliah Relasi Media pada tahun akademik 2010/2011 di Universitas Paramadina. Peneliti melakukan kontrol terhadap pemilihan informan dan menyediakan kontak informan kepada mahasiswa. Mereka pun telah terlebih dahulu dilatih dan diberi arahan untuk melakukan wawancara. Adapun pengumpulan data dilakukan selama bulan Oktober-Desember 2010 dengan panduan pertanyaan ringkas yang telah disusun oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini berupa kalimat dan deskripsi. Dari data tersebut peneliti sedapat mungkin mencoba melakukan pengelompokkan dan reduksi data sebagaimana tergambar dalam pembahasan hasil penelitian. Temuan Penelitian Informan dalam penelitian ini sangat beragam, baik dari segi jenis perusahaan, tingkat pendidikan maupun lama bekerja. Informan yang dipilih adalah para praktisi PR dan wartawan yang telah bekerja sebagai wartawan selama tiga tahun atau minimal pernah melakukan kegiatan relasi media selama tiga tahun. Berikut identitas informan yang diwawancarai dalam penelitian ini.
334
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
Tabel 1 Identitas Informan PR (25 Orang) Asal Instansi
Wartawan (23 Orang) Lembaga Pemerintah Swasta
Jenis Kelamin
Lama Bekerja
Usia
Media Online
2
Media Penyiaran
4
Media Cetak
17
Konsultan PR
4 Jenis Kelamin
Laki-laki
13
BUMN
1
Perempuan
10
Universitas
4 S1 (Jurnalistik)
10
S1 (non-Jurnalistik)
12
Laki-laki Perempuan
Tingkat Pendidikan
3 Asal Instansi 13
10 Tingkat Pendidikan 15
S2
1
SMA
1 Lama Bekerja
< 5 Tahun
6
S1
9
5-10 Tahun
8
S2
7
10-15 tahun
4
S3
3
Tidak Menjawab
5
3-5 Tahun
6
>15 tahun
5
5-10 Tahun
8 Usia
25-30 Tahun
13
10-15 Tahun
3
>15 Tahun
8
25-30 Tahun
11
30-40 Tahun
6
30-40 Tahun
4
40-50 Tahun
4
40-50 Tahun
10
Berdasarkan bagan di atas, dapat diketahui bahwa para informan dalam penelitian ini adalah praktisi PR di bidangnya masing-masing. Mereka tersebar dalam berbagai organisasi dan perusahaan, swasta maupun pemerintah. Sementara informan dari kalangan wartawan sebagian besar berasal dari mereka yang bekerja di media cetak, dimana sebagian besar mereka tidak dilatarbelakangi oleh pendidikan formal ilmu jurnalistik.
335
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Tabel 2 Makna Hubungan Media Relations yang Ideal bagi PR dan Wartawan PR (25 Orang) Simbiosis mutualisme Wartawan adalah teman Menjalin hubungan baik Professional, sebatas hubungan kerja Menjalin hubungan baik hanya dengan wartawan yang meliput isu seputar perusahaan
Wartawan (23 Orang) Simbiosis Mutualisme PR adalah teman Menjalin hubungan baik Professional, sebatas hubungan kerja
Saat ditanya bagaimana makna hubungan yang ideal antara wartawan dengan PR, wartawan lebih cenderung menjawab bahwa hubungan yang terjalin seharusnya saling menguntungkan kedua belah pihak dan tetap dalam ranah profesionalistas. YA (nama inisial) salah seorang wartawan media cetak Internasional yang telah bekerja lebih dari 15 tahun mengatakan, “Seharusnya hubungan wartawan dengan PR menggunakan etika-etika profesional dunia jurnalistik maupun etika profesional dunia PR. PR dan wartawan bisa menjalin hubungan pertemanan yang baik tapi tetap berada pada aturan etika profesional.” Profesionalisme hendaknya dijunjung ketika menjalankan tugas. Sebagian besar wartawan berpendapat hubungan mereka dengan PR adalah hubungan yang saling membutuhkan. Ketika ditanya untuk pertanyaan yang sama para praktisi PR lebih cenderung berpendapat bahwa hubungan dengan media mestilah masuk ke hubungan personal, yakni menjalin pertemanan. Hampir semua PR mendefinisikan hubungan baik dengan menghabiskan waktu di luar jam kerja, baik hanya sekadar makan bersama ataupun ngopi-ngopi. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah memberikan “personal touch” dalam hubungan tersebut, misalnya dengan mengucapkan selamat ulang tahun pada wartawan atau menghadiri undangan pernikahan wartawan. HD, PR sebuah bank, mengatakan bahwa personal touch tak bisa dilakukan secara massal. “Setiap wartawan atau medianya harus mendapat perlakuan khusus satu per satu,” tegasnya. JN, PR sebuah lembaga pemerintahan yang telah bekerja selama lebih dari 20 tahun mengatakan bahwa selama ini dirinya menjalin hubungan pertemanan yang sangat akrab dengan wartawan. “Saya anggap mereka keluarga sendiri. Saking baiknya hubungan kami, jika ada informasi berita buruk tentang lembaga justru mereka akan sampaikan lebih dulu sebelum menulis beritanya,” kata JN. Meski kecenderungannya PR menganggap wartawan sebagai teman, namun tidak demikian dengan GT, PR sebuah perusahaan di bidang kosmetik. Ia menganggap bahwa wartawan tidak lebih hanya sebagai alat untuk membantu publikasi perusahaan. “Wartawan adalah aset untuk PR Department,” ujar GT yang mengawali karirnya di sebuah agensi PR. Selain itu, keragaman pandangan juga tergambar dalam jawaban wartawan dan PR saat diminta menilai tentang profesi satu sama lain. Hal tersebut dapat dilihat dalam dua tabel berikut.
336
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
Tabel 3 Wartawan yang Baik dalam Pandangan Praktisi PR Wartawan yang objektif
6
Menulis informasi sesuai dengan yang disampaikan perusahaan
2
Menulis informasi yang akurat
2
Semua wartawan baik
2
Bukan wartawan “bodreks”
1
Wartawan yang objektif dan cover both side
1
Memiliki rubrik yang sesuai dengan isu perusahaan
1
Penilaian kualitas seorang wartawan dipandang PR dengan menggunakan hasil pemberitaan yang telah ditulis wartawan. Jawaban tentang kualitas wartawan berputar pada seputar isu objektivitas, keberimbangan berita, dan akurasi informasi. Bisa jadi, PR tak perlu menilai bagaimana cara seorang wartawan dalam memperlakukan humas atau bagaimana cara wartawan memperlakukan mereka, selama kepentingan publikasi perusahaan tercapai. Pandangan PR terhadap “nilai penting” media massa sebagai salah satu publik kunci perusahaan juga dapat terlihat dari evaluasi aktivitas media relations yang mereka lakukan. Berikut alat yang PR gunakan untuk mengevaluasi keefektifan media relations: Tabel 4 Alat Evaluasi Media Relations Media monitoring (content analysis)
16
Media perception audit
4
Menyebar kuesioner ke wartawan
2
Tidak pernah
2
PDCA (plan, do, check, action)
1
Dari hasil wawancara diketahui bahwa alat evaluasi yang paling banyak digunakan adalah media content analysis atau dengan kata lain PR masih dalam tahap mengukur jumlah pemberitaan, tone dari isi pemberitaan, objektivitas, serta muatan pesan kunci dalam pemberitaan tersebut. Tabel 5 PR yang Baik dalam Pandangan Wartawan Memahami kebutuhan wartawan
8
Menjaga komunikasi dengan wartawan
3
Memiliki akses informasi saat krisis
2
Menjalin hubungan personal dengan wartawan
2
Terbuka dalam memberikan informasi
2 337
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Mengenali nilai berita dari sebuah informasi
2
Belum pernah menemukan PR yang baik
1
Mampu menampilkan opini yang positif bagi perusahaannya
1
Memiliki kepedulian sosial
1
Mampu mengorganisir acara dengan baik
1
Pada dasarnya wartawan menganggap bahwa PR yang baik adalah pihak yang mengerti akan kebutuhan wartawan, yakni informasi yang cepat, akurat, dan memiliki nilai berita. Selain kebutuhan akan informasi wartawan juga menegaskan adanya kebutuhan akan akses kepada petinggi perusahaan, utamanya saat perusahaan mengalami krisis. YA mengatakan bahwa PR yang baik adalah PR yang bisa memiliki akses pada saat krisis dan sanggup mengendalikan krisis. “PR yang baik bukan PR yang seringsering bikin launching atau seminar, yang paling penting adalah ketika krisis terjadi, ketika buruk terjadi, dia mampu meng-handle itu,” tegasnya. Selain itu, PR yang baik dalam pandangan wartawan adalah PR yang tetap menjaga komunikasi dan hubungan dengan wartawan dalam kondisi apapun, meski sedang tidak ada keperluan dengan wartawan yang bersangkutan. Di sisi lain, walau hubungan sudah baik, wartawan tetap tak suka dipaksa untuk menghadiri sebuah event atau diarahkan untuk memuat sudut pandang pemberitaan sesuai dengan keinginan praktisi PR. Keberatan tersebut dapat direkam dalam pendapat berikut, “Jangan terusterusan hubungin kami untuk konfirmasi siapa yang datang liputan, kapan berita terbit. Emang itu tugas mereka sih, tapi kami juga nggak tahu siapa yang datang dan kapan terbit karena itu wewenang editor,” ujar NV, wartawan sebuah harian berbahasa Inggris. Gambaran persepsi responden berkenaan dengan hal ini tergambar dalam bagan berikut. Tabel 6 Faktor “Hubungan Personal” sebagai Faktor Pendorong Wartawan Memenuhi Undangan Event PR PR Pernah Tidak Pernah
Wartawan 16 Pernah, hanya untuk menjalin hubungan baik 9 Tidak pernah
13 10
Dalam bagan di atas, dapat diketahui bahwa seringkali wartawan merasa “terpaksa” datang pada event yang dibuat praktisi PR. Hasil wawancara dengan wartawan menunjukkan bahwa mereka biasanya datang atas dasar persahabatan bukan karena membutuhkan informasi yang bernilai berita untuk disampaikan kepada masyarakat. Praktisi PR sendiri membenarkan bahwa seringkali mengundang wartawan dengan pendekatan “persahabatan” agar mereka meluangkan waktu dan bersedia hadir dalam suatu event. Pandangan ini mendorong mereka untuk menjustifikasi tindakan pemberian “amplop” sebagai tanda terima kasih. Sementara bagi wartawan, tindakan pemberian amplop tidak ubahnya seperti mencoreng profesionalisme mereka. Meskipun demikian, mereka juga tidak dapat menolak bahwa pada kenyataannya, ada sebagian wartawan yang menerima pemberian amplop. 338
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
Tabel 7 Sikap PR dan Wartawan terhadap “Amplop” atau Uang Transport PR Tidak setuju dengan pemberian hadiah
Wartawan 10 Menolak karena melanggar profesionalisme
Tidak harus berupa uang
5
Tidak masalah
5
Memberi sebagai uang transport
5
23
Memberikan “amplop” sebagai ucapan terima kasih atau sekadar uang transportasi kepada wartawan yang telah meliput sebuah event hingga kini masih terus berlangsung dalam praktik hubungan media. Semua wartawan tidak setuju dengan pemberian amplop, namun mereka masih cukup toleran kepada wartawan lain yang menerima amplop. Alasan gaji kecil atau tingkat kesejahteraan yang rendah membuat sebagian besar wartawan toleran kepada sesama wartawan yang menerima amplop. Hanya dua orang yang dengan tegas menggunakan alasan bertentangan dengan kode etik. Tabel 8 Sikap Wartawan terhadap Wartawan Lain yang Menerima Amplop Tidak bisa menghakimi, kembali ke individu masing-masing karena kesejahteraan wartawan masih rendah
8
Tidak professional
5
Menyalahi kode etik
2
Merendahkan martabat wartawan
4
Tidak masalah, asalkan tidak meminta
1
Menggangu kinerja wartawan
1
Pemberian berdampak negatif bagi image media
1
Harusnya PR tidak memberikan amplop
1
FY wartawan sebuah media cetak nasional yang telah bekerja lebih dari 20 tahun mengatakan tidak setuju dengan amplop jika itu untuk acara-acara yang sifatnya rutin. Namun FY masih setuju dengan pemberian uang transpor atau amplop untuk acara undangan ke luar kota karena kesediaan menghadiri undangan biasanya terkait dengan kesediaan membantu publikasi acara tertentu. “Tapi saya pribadi cenderung tidak mau menerima uang saku,” ujar FY di akhir pernyataannya. Sikap toleran ini juga ditunjukkan oleh para wartawan saat memberi pendapat tentang cara lain yang dapat dilakukan PR untuk mengucapkan “terima kasih” tanpa menggunakan uang. Souvenir, goody bag, door prize, dan voucher adalah alternatif yang diusulkan wartawan sebagai pengganti uang. Namun demikian ada juga yang menjawab bahwa terima kasih bisa dilakukan dengan bentuk mengadakan event khusus wartawan (media gathering) atau cukup sekedar dengan mengucapkan terima kasih.
339
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Salah satu taktik yang biasanya digunakan PR untuk “membujuk” wartawan agar mau menulis tentang organisasi mereka atau menulis sesuai dengan “key messages” yang ingin disampaikan PR (dan bukan dari sudut pandang lain yang bisa saja lebih kritis) adalah dengan mengadakan lomba tulis khusus wartawan. Berikut pandangan PR dan wartawan terkait lomba tulis khusus wartawan. Tabel 9 Pandangan PR dan Wartawan tentang Lomba Karya Tulis Khusus Wartawan PR Boleh, karena kegiatan ini positif untuk wartawan
Wartawan 10 Setuju, bertujuan untuk mengasah kemampuan menulis
14
Boleh, namun tidak langsung mengarah ke brand/perusahaan
5 Tidak Setuju, karena biasanya ada niat terselubung
4
Boleh, bagus karena merupakan bentuk publikasi perusahaan
5 Setuju, karena merupakan bentuk perhatian terhadap dunia jurnalistik
2
Boleh, karena dapat membuat wartawan “dekat” dengan perusahaan
3 Boleh, namun tidak langsung mengarah ke brand/perusahaan
1
Boleh, karena dapat menaikkan citra perusahaan
2 Setuju, namun PR mesti objektif dalam menentukan pemenang
1
Setuju, karena perusahaan butuh pendapat dari luar mengenai kondisi perusahaan
1
Salah satu upaya PR dalam mengapresiasi wartawan adalah dengan mengadakan kompetisi penulisan. Akan tetapi, seperti yang dikutip dalam laporan AJI “Wajah Retak Media” lomba penulisan sangat rawan dengan pemberitaan yang tidak objektif. Semua PR berpendapat bahwa kompetisi penulisan adalah hal yang positif bagi kedua belah pihak. Kompetisi menulis, menurut SR, seorang konsultan PR, merupakan salah satu strategi dalam menjalin hubungan dengan media. Dengan kompetisi menulis, PR dapat mendeteksi wartawan mana saja yang dapat “membantu” dalam pencitraan perusahaan. Adapun untuk menjaga objektivitas lomba, menurut RN, PR sebuah perusahaan penerbitan, baiknya ada juri independen dari luar perusahaan. “Hal ini juga untuk menghindari jika ada isu yang tidak baik tentang lomba.” Di pihak wartawan, sebagian besar setuju bahwa kompetisi penulisan “sah” untuk wartawan, walau mereka menyetujuinya dengan berbagai syarat. Hanya empat orang wartawan yang menyadari bahwa PR memiliki niat terselubung dalam kompetisi ini. Mereka mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa wartawan yang menang dalam kompetisi ini adalah wartawan yang berasal dari media “besar” yang biasanya tidak mau menerima amplop. “Misalnya ***** gak pernah mau menerima amplop, tetapi ketika lomba pasti selalu jadi juara,” ujar MT (wartawan salah satu TV berita). Salah satu aktivitas PR yang paling “standar” untuk mendapatkan publikasi media adalah melalui konferensi pers; salah satu aktivitas media relations dimana perusahaan butuh untuk mengumpulkan media massa agar informasi bisa langsung disampaikan ke wartawan yang bersangkutan. Biaya yang besar dan persiapan yang 340
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
matang dibutuhkan dalam aktivitas ini karena saat itu semua mata media akan tertuju pada apa yang disampaikan perusahaan. Namun syarat utama—dan tidak bisa ditawar lagi—dalam konferensi pers adalah tersedianya informasi yang memiliki nilai berita. Konfrensi pers yang “tidak penting” atau tidak memiliki nilai berita adalah hal yang paling mengganggu wartawan dalam melakukan peliputan. Sebagian besar informan mengaku pernah mendatangi konferensi pers yang tidak memiliki nilai berita (18 dari 23 orang informan). Sementara itu di sisi lain sebagian besar PR mengaku bahwa konferensi pers yang mereka lakukan selalu memiliki informasi yang berharga untuk disampaikan (22 dari 3 orang). Menurut RY, PR sebuah hotel di Jakarta, jika PR mengadakan konferensi pers yang tidak memiliki nilai berita maka akan berpotensi merusak citra perusahaan. Hal senada dikatakan JN. “Jumpa pers harus ada isinya. Karena jumpa pers ada laporan pertanggungjawabannya, baik itu keuangan maupun dari segi pemberitaan.” Pendapat berbeda dikatakan TS, seorang konsultan PR yang telah malangmelintang di industri ini lebih dari 10 tahun. Sebagai seorang konsultan, dirinya seringkali diminta untuk mengadakan konferensi pers yang tidak memiliki nilai berita. “Biasanya di perusahaan retail dan bukan di corporate PR.” Untuk mengakali agar tetap ada informasi yang ditulis wartawan, menurut TS, PR mesti kreatif mengemas produk dan event agar ada informasi yang bisa dimunculkan dan layak muat. SY, praktisi PR dan juga aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, mengatakan bahwa baiknya perusahaan tak “memaksa” membuat konferensi pers jika memang tidak ada muatan berita. Dia sendiri merasa seringkali “dipaksa” atasan untuk membuat konferensi pers untuk seminar-seminar yang tidak memiliki nilai berita. “Hasilnya memang tidak banyak media yang datang,” ujar SY. Kesimpulan dan Saran Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian awal yang berusaha menangkap gejala awal dari suatu fenomena. Kedalaman temuan tidak menjadi tujuan utama. Generalisasi dari penelitian ini masih terlalu jauh untuk disimpulkan. Namun keberagaman temuan yang diperoleh menjadi khazanah yang menarik untuk dianalisa dan dibahas dalam penelitian lanjutan berikutnya. Pada dasarnya PR dan wartawan memiliki perbedaan yang tegas dalam memandang sebuah hubungan yang ideal. Meski keduanya menganggap bahwa hubungan mereka mesti saling menguntungkan satu sama lain, namun PR cenderung untuk menekankan pada tindakan menjaga hubungan baik dan mendekatkan diri kepada media. Sementara itu wartawan lebih menganggap bahwa PR haruslah memenuhi kebutuhan mereka akan informasi. Aktivitas media relations yang dijalankan oleh para praktisi PR dalam penelitian ini masih berkutat dalam aktivitas penetrasi informasi kepada wartawan dan upaya mendapatkan publisitas. Hal tersebut tergambar dari pandangan PR mengenai wartawan yang baik, yakni wartawan yang memberitakan informasi sesuai dengan “sudut pandang” PR. Demi publikasi pula, PR mengadakan lomba tulis khusus wartawan dan tak segan untuk menjalin hubungan personal. Meski PR mengetahui dan menyadari bahwa praktik pemberian uang terima kasih (amplop) menyalahi etika, namun hanya sebagian yang menolak praktik tersebut. Tindakan pemberian “amplop” atau uang transpor yang biasanya diberikan kepada wartawan yang meliput sebuah event 341
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
perusahaan ternyata masih menjadi praktik yang marak terjadi. Jawaban-jawaban informan PR menunjukkan bahwa mereka sangat permisif dengan praktik ini. Pada dasarnya PR masih beranggapan bahwa “ucapan terima kasih” dalam bentuk hadiah atau barang perlu diberikan kepada wartawan. Di sisi lain, wartawan yang semuanya menyatakan tidak setuju dengan pemberian “amplop” sebenarnya juga tidak tegas menolak atau tidak benar-benar setuju. Mereka juga masih permisif kepada sesama wartawan lain yang menerima amplop. Aktivitas media relations yang fokus pada penetrasi pesan dan pencapaian publisitas adalah ciri-ciri dari model PR publicity model dan public information model. Sebagian besar praktik media relations yang dilakukan praktisi PR dalam penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam model komunikasi yang digambarkan Grunig sebagai Public Information Model, dimana PR melakukan komunikasi satu arah ketika menyampaikan informasi. Masih dijumpainya konferensi pers yang tidak memiliki muatan berita menurut wartawan, namun dianggap berbeda oleh PR menunjukkan bahwa terjadi proses penetrasi press releases atau komunikasi satu arah yang menjadi ciri dari public information model. Jika PR sudah melakukan evaluasi dari aktivitas media relations yang dijalankannya, maka model komunikasi yang digunakan sudah masuk ke model ketiga, yakni two-way asymmetric PR. Dalam penelitian ini, evaluasi yang dilakukan PR masih sebatas memantau pemberitaan di media massa (jumlah yang dimuat, tone pemberitaan, dan kemunculan key messages) dan persepsi media terhadap perusahaan. Dengan kata lain, evaluasi masih sebatas pengukuran kuantitas dan kualitas publisitas. Hasil wawancara dengan 25 informan belum menunjukkan adanya kegiatan evaluasi untuk kebutuhan perencanaan aktivitas media relations yang lebih efektif. Aktivitas media relations yang dilakukan oleh praktisi PR dalam penelitian ini sebagian besar belum masuk ke model keempat karena model ini menyaratkan sebuah kondisi dimana PR tidak hanya mengevaluasi dampak pesannya namun juga telah bersedia mendengarkan suara publiknya atau bahkan mengubah kebijakan mereka sesuai dengan masukan dari publik yang bersangkutan. Hasil wawancara menunjukkan belum terdapat komunikasi dua arah dimana PR bersedia mendengarkan masukan media terkait aktivitas media relations atau bahkan hal yang lebih luas seperti kebijakan dan kinerja organisasi. Temuan dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan apa yang ditemukan oleh Grunig dan Hunt 28 tahun yang lalu, yakni model komunikasi PR masih didominasi oleh penyebaran informasi ke publik (public information model). Dapat disimpulkan bahwa komunikasi perusahaan melalui media massa sejak dulu hingga sekarang tak mengalami perubahan pola yang berarti. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah memahami peran dan fungsi masing-masing, serta perlunya saling bekerjasama dan menjalin hubungan baik. Akan tetapi penting pula disadari oleh para praktisi PR bahwa hubungan baik saja tidak cukup kuat untuk “memaksa” media memuat sebuah pemberitaan, apalagi jika perusahaan butuh publisitas di masa krisis. Penelitian ini juga masih terbuka lebar untuk dikembangkan, misalnya saja dengan berfokus pada peran organisasi wartawan (forum wartawan), aktivitas media relations di humas pemerintah, atau aktvitas media relations dalam kerangka budaya komunikasi konteks tinggi (high-context culture). ***** 342
Ika Karlina Idris Potret Media Relations dalam Persepsi Wartawan dan Praktisi Public Relations
Daftar Pustaka Abdullah, Aceng. 2004. Press Relations: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung: Rosda karya. Baines, Paul; Egan, John and Jefkins, Frank. 2004. Public relations: Contemporary issues and techniques. United Kingdom: Elsevier Butterworth-Heinemann. Freitag, Alan R and Stokes, Ashli Quesinberry. 2009. Global Public Relations: Spanning Borders, Spanning Cultures. New York: Routledge. Iriantara, Yosal. 2005. Media Relations: Konsep, Pendekatan, dan Taktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Kriyantono, Rakhmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Prenada Media Group. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Parsons, Patricia J. 2008. Ethics in Public Relations: A Guide To Best Practice. United States: Kogan Page Limited. Soemirat, Soleh dan Ardianto, Elvinaro. 2008. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Rosdakarya Theaker, Alison. (2004). The Public Relations Handbook, Second Edition. New York: Routledge. Wilcox, Dennis L and Cameron, Glen T. (2006). Public Relations Strategies and Tactics, Eight Edition. United States: Pearson. Budiarti, Rita Triana. 2009. Dilema Kompetisi Jurnalistik: Antara Berita dan Pariwara (artikel dalam Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran). Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Supa, Dustin W. and Zoch, Lynn M. 2009. Maximizing Media Relations Through a Better Understanding of the Public Relations-Journalist Relationship: A Quantitative Analysis of Changes Over the Past 23 years. Public Relations Journal Vol. 3, No. 4. Irvan. 2009. Bodrek Made In Deli Serdang. (artikel dalam Wajah Retak Media: Kumpulan Laporan Penelusuran). Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Parengkuan, Agus. 2007. Journalism dan Public Relations (artikel dalam malajah PR Society Indonesia). Tilley, Elspeth and Hollings, James. 2008. Still stuck in “A love-hate relationship”: Understanding journalists’enduring and impassioned duality towards public relations. ANZCA08 Conference, Power and Place. Wellington. http://iml.jou.ufl.edu/projects/fall99/westbrook/models.htm. 343