Eksplorasi Metabolit Sekunder dari Spons di Wilayah Sulawesi Selatan dan Uji Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina
Beddu Jawahir, Nunuk H. Soekamto, dan Rosmawaty Jurusan Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin Kampus Tamalanrea 90245 Makassar
Abstrak. Eksplorasi Metabolit Sekunder dari Spons di Wilayah Sulawesi Selatan telah dilakukan, khususnya dari fraksi non aktif dari spons Clathria reinwardtii. Uji bioaktivitas dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) menggunakan Artemia salina Leach. Teknik pemisahan yang digunakan terdiri atas ekstraksi, fraksinasi, dan pemurnian. Senyawa yang diperoleh diuji golongan senyawa dan penentuan strukturnya berdasarkan data fisik dan data spektroskopi UV, IR dan NMR. Dua senyawa yang diduga termasuk dalam golongan senyawa fenolik dan steroid yaitu β-sitosterol telah berhasil diisolasi dari Clathria reinwardtii. Kata kunci; β-sitosterol, Artemia salina Leach, Clathria reinwardtii, fenolik. Abstract. Explorations of secunder metabolic, especially non active fraction of Clathria reinwardtii, of spons from South Sulawesi have been done. Bioactivity test against Artemia salina was carried out with Brine Shrimp Lethality Test method. Separation techniques contain of extraction, fractionation, and purification. Qualitative tests and structure elucidation on the compound obtained was based on the physical and spectroscopic data UV, IR and NMR. Two compounds which are isolated from Clathria reinwardtii are suggested as fenolic compound and steroid group i.e. β-sitosterol. Keywords : β-sitosterol, Artemia salina Leach, Clathria reinwardtii, fenolic.
pertahanan diri, yaitu untuk mempertahankan hidup dan menghindari gangguan dari organisme lain di lingkungan hidupnya. Karena aktivitas farmakologiknya maka senyawa tersebut memiliki prospek untuk diisolasi dan dimanfaatkan dalam bidang pengobatan (Sardjoko, 1996). Berbagai jenis penyakit akhir-akhir ini muncul dengan tingkat keganasan yang berbeda dan cenderung meningkat. Saat ini upaya kebutuhan obat baru dipenuhi melalui kerja eksploratif yaitu pencarian dengan memodifikasi struktur senyawa obat yang secara klinis masih digunakan dan memanfaatkan sumber daya alam. Salah satu sumber daya alam yang belum
1. PENDAHULUAN
Terumbu karang di daerah tropis merupakan suatu ekosistem yang khas, bereanekaragaman biota laut yang hidup di dalamnya yang merupakan sumber senyawa organik yang beranekaragam pula. Beberapa jenis organisme yang terdapat di dalamnya merupakan sumber vitamin, protein, dan mineral. Selain itu, ada juga beberapa jenis organisme yang mensintesis dan menyimpan senyawa toksin (marine toxin) pada bagian tubuhnya atau dikeluarkan ke lingkungan hidupnya (Satari, 2003). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang digunakan dalam sistem 53
dikembangkan secara maksimal adalah sumber alam kelautan (Wahyuono, 2003). Salah satu jenis organisme yang berpotensi cukup besar dan berpeluang mengandung senyawa aktif adalah spons. Spons merupakan hewan laut yang hidup di kedalaman sampai dengan 50 meter di bawah permukaan laut. Penyebarannya sangat luas, terdapat 15.000 spesies spons laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa bioaktif ditemukan pada spons laut (Anonim, 2006). Perjalanan pencarian obat dari spons di beberapa perairan di Indonesia sudah dilakukan, namun masih banyak lokasi di Indonesia yang belum tersentuh (Wahyuono, 2003). Di Perairan kepulauan Spermonde saja telah ditemukan 199 spesies spons dan diduga sekitar 2000 spesies terdapat di Kepulauan tersebut (de Voogd, 2005 dalam Noor, 2007). Salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan tersebut adalah Pulau Barang Lompo. Spons dengan populasi terbesar yang tumbuh di perairan sekitar Pulau Barang Lompo yaitu Clathria reinwardtii (de Voogd et al., 2006). Ekstrak dari Clathria sp. memberikan aktivitas antibiofouling yang tinggi dan aktivitas dalam menghambat jamur Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp., dan Fusarium sp. (Suryati et al., 2005). Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder yaitu dari spons Xentospongia aschmorica yaitu manzamin A yang berpotensi sebagai antikanker dan berkemampuan menghambat parasit (Sakai, 1992), thorectandrol A dan B yang diisolasi dari spons Thorectandra sp yang dikoleksi dari Palau aktif terhadap sel kanker MALME3M (melanoma) dan MCF-7, disamping itu ditemukan pula senyawa yang s palaulol yang bersifat sitotoksik pula (Charan, 2001). Pada kesempatan ini akan dilaporkan dua senyawa fenolik (1) dan β-sitosterol (2) hasil penelusuran dari fraksi non aktif terhadap benur udang A. salina yang terkandung dalam spons C. reinwardtii.
2.1 Umum Penentuan titik leleh senyawa hasil penelitian ini dilakukan menggunakan alat refraktometer. Spektrum UV, IR, dan NMR diukur masingmasing dengan spektrofotometer Varian Conc 100, Simadzu FTIR, dan JMN ECA-500. Proses fraksinasi dengan kromatografi kolom vakum, flash dan gravitasi serta analisis KLT pada pelat berlapis Si gel Merck Kieselgel 60 F254, 0,25 mm dan pereaksi serium sulfat sebagai penampak noda. Untuk penguapan pelarut pada tekanan rendah digunakan alat Buchi Rotavapor. 2.2 Persiapan Sampel Spons C. reinwardtii yang telah dibersihkan, dikeringkan di udara terbuka (tanpa sinar matahari) kemudian dihaluskan dengan blender untuk digunakan pada tahap selanjutnya. 2.3 Ekstraksi, Isolasi, dan Uji Bioaktivitas Serbuk spons Clathia reiwardtii sebanyak 3,6 kg dimaserasi dengan pelarut metanol selama 1 x 24 jam sebanyak tiga kali. Maserat metanol yang diperoleh kemudian dievaporasi hingga menghasilkan ekstrak metanol kering sebanyak 126,25 gram. Selanjutnya ekstrak tersebut dipartisi dengan peningkatan kepolaran, mulai dari nheksan, kloroform dan etil asetat. Hasil partisi ketiga pelarut yang kemudian dievaporasi diperoleh ekstrak kering dengan berat berturutturut 27; 16; dan 2,8 g. Ekstrak kering dari n-heksan, CHCl3, dan EtOAc diuji bioaktivitasnya dengan metode Brime Shrimp Lethality Test (BST). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Anderson (1990) untuk fraksi yang digolongkan tidak aktif terhadap benur udang A. salina memiliki nilai LC50 > 500 µg/mL, maka ketiga fraksi tersebut tergolong fraksi yang non aktif. Tabel 1.
2. Metode dan Hasil 55
Berat dan nilai aktivitas (LC50) ekstrak n-heksan, kloroform, dan etil asetat
No
Ekstrak
1. 2. 3.
n-Heksan Klorofom EtOAc
Berat (g) 27,00 16,00 2,80
Aktivitas (LC50) (µg/mL) 3044,00 589,01 1313,91
Berdasarkan analisis KLT senyawa 2 yang dibandingkan dengan senyawa standar β-sitosterol pada tiga sistem eluen, senyawa tersebut memberikan nilai Rf yang sama. Hal ini berarti senyawa 2 diduga adalah ß-sitosterol dan dari hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menunjukkan positif steroid. Ekstrak CHCl3 difraksinasi dengan KKV menggunakan eluen n-heksana, etil asetat, aseton dan metanol dengan urutan kepolaran yang terus meningkat, diperoleh 14 fraksi utama. Fraksifraksi tersebut diuji bioaktivitasnya menggunakan benur udang A. salina Leach dengan metode BST. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Ekstrak n-heksan selanjutnya difraksinasi dengan KKV menggunakan eluen n-heksana, etil asetat, aseton dan metanol dengan urutan kepolaran yang terus meningkat, diperoleh 9 fraksi utama. Fraksifraksi tersebut diuji bioaktivitasnya menggunakan benur udang A. salina Leach dengan metode BST. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data uji bioaktivitas fraksi n-heksan, ada delapan fraksi yang non aktif yakni fraksi A, B, C, D, E, F, G, I karena memiliki nilai LC50 > 500 µg/mL. Sembilan fraksi gabungan diperoleh dari KKT fraksi utama D. Fraksi gabungan pertama D1 (8,50 mg) kemudian di KKG diperoleh 4 fraksi gabungan. Senyawa 1 (1,90 mg) diperoleh dari fraksi gabungan kedua D1.2 dan setelah dianalisis KLT dengan 3 macam sistem eluen diperoleh noda tunggal, kemudian diuji kualitatif yang menunjukan senyawa tersebut positif fenolik. Tabel 2.
Berdasarkan hasil uji BST, ada empat fraksi yang tergolong fraksi non aktif, yakni fraksi A, B, M, dan N. Tabel 3. Berat dan nilai aktivitas (LC50) fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak CHCl3 Fraksi A B C D E F G H I J K L M N
Berat dan nilai aktivitas (LC50) fraksi utama hasils fraksinasi ekstrak n-heksan
Fraksi
Berat (mg)
A B C D E F G H I
147,50 407,20 140,00 970,00 132,00 617,60 410,00 3200,00 200,00
Nilai Aktivitas (LC50) (µ µg/mL) >1000 >1000 >1000 >1000 >1000 >1000 >1000 86,34 >1000
Keterangan Non aktif Non aktif Non aktif Non aktif Non aktif Non aktif Non aktif Aktif Non aktif
Berat (mg) 7,60 346,50 127,60 283,30 126,80 249,60 417,80 395,40 324,10 349,80 109,50 210,40 1157,70 1030,20
Nilai Aktivitas (LC50 ) (µg/mL) > 1000 > 1000 107,30 44,75 48,51 89,75 78,04 65,82 89,71 119.64 128,08 21,36 502,94 > 1000
Keterangan Non aktif Non aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Non Aktif Non Aktif
Uji Bioaktivitas tidak dapat dilakukan pada senyawa hasil isolasi karena senyawa (1) sangat sedikit dan senyawa (2) tidak larut pada pelarut uji.
Senyawa 2 diperoleh dari rekristalisasi fraksi gabungan kelima D5 dari fraksi utama D. Kemurnian senyawa ini dibuktikan melalui analisis KLT yang menunjukkan noda tunggal dengan tiga macam sistem eluen.
3. Pembahasan 3.1 Identifikasi Struktur Senyawa Senyawa 1 diperoleh berupa kristal tak berwarna (bening). Spot senyawa ini pada kromatogram hasil KLT berpendar hijau muda di 56
bawah sinar UV yang mengindikasikan adanya kromofor atau ikatan rangkap terkonjugasi. Berdasarkan hal tersebut karakterisasi struktur senyawa ini dilakukan berdasarkan analisis spektrum UV, IR, dan NMR. Dari data spektrum UV diperoleh serapan maksimum pada λ max 224,5 dan 273,3. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa ini memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Selanjutnya informasi mengenai senyawa 1 diperoleh dari spektrum Infra merah yang menunjukkan puncak pada serapan 3450 cm-1 sebagai serapan gugus OH, 3050 cm-1 sebagai serapan gugus C-H aromatik dan regang C=C aromatik pada serapan 1675 dan 1580 cm-1, adanya serapan 2920 dan 2850 cm-1 sebagai regang C-H aliftatik dengan tekukan CH2 dan CH3 pada serapan 1460 dan 1380 cm-1. Spektrum 1 H-NMR menunjukkan adanya puncakpuncak serapan pada pergeseran kimia δH 0,8-2 (m) sinyal H untuk CH alkana; δH 4,2 (m) dan δH 5,1 ppm (d, J = 7,35 Hz) sinyal H untuk H-C=C alken; sinyal H untuk H-C=C (t, J = 9,2 Hz), δH aromatik pada δH 7,51 7,53 (dd, J = 9,2 dan 2,45 Hz) dan δH 7,70 ppm (dd, J = 9,2 dan 2,45 Hz). Data di atas mengindikasikan bahwa senyawa 1 memiliki gugus alifatik dan gugus aromatik. Kemungkinan senyawa tersebut mempunyai struktur dengan kerangka sebagai berikut:
Burchard menghasilkan warna hijau biru yang menunjukkan bahan uji positif steroid. Data tersebut didukung oleh data spektrum Infra merah (IR) dimana terdapat serapan maksimum pada daerah 3417 cm-1 untuk gugus hidroksil dan serapan pada 1053 cm-1 untuk vibrasi uluran ikatan C-O. Serapan pada 2939, 2897, dan 2862 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H alifatik, serta serapan tekuk dari gugus metilen dan metil masing-masing pada 1460 dan 1375 cm-1. Datadata ini menguatkan perkiraan senyawa 2 termasuk steroid yang mengandung banyak ikatan C-H alifatik. Sementara serapan pada daerah 1662 cm-1 memberi isyarat adanya ikatan rangkap C=C. Dari spektrum perbandingan senyawa (2) dengan spektrum standar ß-sitosterol diperoleh adanya kemiripan.
HO
Gambar Struktur Molekul β -sitosterol Walaupun uji bioaktivitas terhadap kedua senyawa hasil tidak dapat dilakukan, namun berdasarkan literatur senyawa β -sitosterol memiliki
efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Renai Sante dalam Sapar, 2004). Selain itu menurut Yuk (2007), β-sitosterol merupakan senyawa yang efektif digunakan dalam penyembuhan penyakit asma, sehingga memungkinkan senyawa ini untuk dikembangkan sebagai obat terapi penyakit alergi.
R
R OH
Senyawa 2 diperoleh sebagai kristal putih berbentuk jarum dengan titik leleh 132-133 oC. Senyawa ini tidak berpendar di bawah sinar UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda serium sulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru terang kemudian menjadi coklat tua dan selanjutnya memudar. Hal ini berarti bahwa senyawa 2 termasuk dalam senyawa non fenolik. Hasil uji kualitatif senyawa 2 dengan pereaksi Liebermann
4. Kesimpulan Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV,IR, dan NMR) menghasilkan 2 jenis senyawa, yaitu senyawa (1) golongan fenolik dan senyawa (2) diduga β-sitosterol. Kedua senyawa tersebut berasal dari fraksi n-heksan yang
57
mempunyai bioaktivitas non aktif terhadap benur udang A. salina pada uji BST.
Voogd, N. de, Cleary, D. F., Hoeksema, B. W., Noor, A., Soest, R. W. 2006. Sponge Beta Diversity in The Spermonde Archipelago, SW Sulawesi, Indonesia. Marine Ecology Progress Series. 309. 131-142. Wahyuono, S. 2003. Mencari Obat Antikanker dari Spons Perairan Indonesia, (Online), http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0503/ 22/cakrawala/lainnya02. htm, diakses 18 Februari 2007).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Mencari Obat Mujarab Laut, (Online), (http:www. Forek. or. id, diakses 18 Februari 2007). Charan, R.D., McKee, T.C., and Boyd, M.R., (2001), J. Nat. Prod, 64, 661-663. Noor, A. 2007. Riset Kelautan Berorientasi Terapan: Keperluan Mendesak Bagi Kawasan Timur Indonesia. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah untuk Kawasan Timur Indonesia. Pusat Kegiatan Penelitian Unhas. Makassar. Sakai, R., Higa, T., and Jefoord, C. (1992), Manzamin A, A novel Antitumor Alkaloid from a sponge, J. Am. Chem. Soc., 11 (1), 8925-8927. Sapar, A., A. S. Kumanireng, N. de Voogd, Alfian N, 2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit Sekunder Aktif Dari Spons Biemma Triraphis Asal Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde). Marina Chimica Acta. 6. 1. Sardjoko. 1996. Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas, Rancangan Rasional dalam Pengembangan Senyawa Bioaktif. Makalah disajikan pada Seminar Perspektif Baru dalam Drug Discovery, Ujung Pandang. Satari, R., 2003. Produk Alam Laut sebagai Lead Compaund untuk Farmasi dan Pertanian. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Perspektif Baru dalam Drug Discovery, Makassar 26 Oktober 2003. Suryati, E., Rosmiati, Parenrengi, A. 2005. Sponge Bioactive For Bactericide, Fungicide and Antibiofouling in Coastal Aquaculture. Riset Institute for Coastal Aquaculture, Maros. 58