Marina Chimica Acta, April 2012, hal 2-7 Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 12 No. 1 ISSN 1411-2132
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Spons Callyspongia sp. Isolation, Characterization, and Bioactivity of Secondary Metabolites Cloroform Extract of Sponges Callyspongia sp. 1)
Suriani1), Hanapi Usman2), Ahyar Ahmad2) Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2) Jurusan Kimia Universitas Hasanuddin ABSTRACT
The isolation, structure determination and activity test against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs of secondary metabolites of sponges Callyspongia sp has been carried out. Separation techniques used consisted of maceration and fractination, while the structure of compounds were elucidated based on physical, spectroscopie UV and IR data. Two compounds that obtained were predicted as (1) Triterpenoid, and (2) Steroid. Compound (1) showed stronged toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs LC50 58,86µg/mL and IC50 0,365µg/mL with compound (2) showed high toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchine with LC50 86,53 µg/mL and IC50 22,69µg/mL, respectively. Keywords : Callyspongia sp, Bioactivity, Artemia salina Leach, Sea Urchin Eggs, Triterpenoid, Steroid. Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari spons ini dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996) dan juga beberapa metabolit sekunder yang memiliki bioaktifitas telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari spons Indonesia antara lain β-sitosterol; Cholest-5-en-3β-ol; Cholestan-3β-ol; Ergosta5,22-dien-3β-ol; 9,19-Siklocholest-24-en-3β-ol; dan Ergost5-en-3β-ol, senyawa tersebut menunjukkan toksisitas terhadap A.salina (Sapar, 2004). Barangamide, brianthein, aaptamin, lembehyne, dan bitungolides (Rachmaniar, 2003). Senyawa-senyawa lain masih banyak diteliti dan dilaporkan mempunyai aktivitas farmakologis seperti caminoside A dan swinhoeiamide A (Astuti, 2003). Analisis yang dilakukan terhadap spons Xestospongia aschmorica menghasilkan empat senyawa manzamine baru dengan aktivitas antibakteri (Endrada et al., 1996). Manzamin A yang sebelumnya banyak diteliti karena potensinya sebagai senyawa antikanker mampu menghambat parasit malaria. Peptida pendek dan siklo peptide dari Theonella sp. Dan Microscleroderma sp. (Schmidt and Fusetani et al., 1999) yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Schmidt and Faulkner,1998; Fusetani et al., 1999; dalam Sapar, 2004). Bunga karang yang aktif sebagai bakterisida pada komoditas perikanan antara lain Callyspongia sp, Halicondria sp, dan Auletta sp (Rosmiati & Suryati, 2001). Namun sejauh ini belum banyak data penelitian yang mengeksplorasi senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp sebagai bahan baku obat pada penyakit manusia dan hewan yang bersifat sebagai anti kanker. Oleh
PENDAHULUAN Dibidang kelautan, Indonesia memegang peranan penting bagi dunia karena memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia yang merupakan sumber daya organik. Di dalamnya terdapat 60.000 km persegi areal terumbu karang (spons) yang mencakup 15 % terumbu karang dunia (Kompas, 5 April 2004) Menurut Achmad (2004) sumber daya organik merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai sumber senyawa baru yang unik yang tidak dapat ditemukan di laboratorium dan mungkin sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian, dan industri. Indonesia memiliki sumberdaya organik yang melimpah, merupakan kekayaan yang sebagian besar belum diteliti kandungan kimianya. Oleh karenanya Indonesia adalah suatu negara yang sangat prospektif untuk mengembangkan kimia organik bahan alam khususnya bahan alam laut. Spons merupakan biota laut yang multiseluler primitive (metazoan) tanpa jaringan nyata, yang merupakan sumber metabolit sekunder terkaya (Eru,2005 & Romimohtarto, 2001). Jumlah penyebarannya sangat banyak. Ada 15.000 spesies spons laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa bioaktif laut ditemukan pada spons laut (Anonim, 2006). Perjalanan pencarian obat dari spons dibeberapa perairan Indonesia sudah dilakukan, namun masih banyak lokasi di Indonesia yang belum tersentuh (Wahyuono,2003). Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah
2
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Penentuan struktur senyawa dapat dilakukan berdasarkan pengukuran instrument seperti UV dan IR terhadap senyawa bioaktif yang telah dimurnikan.
karena itu perlu dilakukan penelusuran senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp serta uji toksisitas sebagai anti kanker dengan menggunakan uji BST dan antimitotik masing-masing menggunakan benur udang A. Salina dan telur bulubabi.
HASIL PENELITIAN 1. Ekstraksi dan Fraksinasi
METODE PENELITIAN Hasil maserasi ekstrak kloroform setelah disaring dievaporasi pada tekanan rendah diperoleh maserat kental berupa residu berwarna coklat sebanyak 1044 mL dan secara konversi berat pervolume diperoleh ekstrak sebanyak 48 g. Hasil ekstraksi cair-cair dalam corong pisah berturut-turut dengan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat pada penguapan mengunakan alat rotary vapor dengan tekanan rendah diperoleh ekstrak n-heksan (3,8g), kloroform (6,8g), dan etil asetat (2,6g) Ekstrak kloroform (6,8g) tersebut selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan KKV dan eluen nheksan, campuran n-hesan-etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 27 fraksi. Berdasarkan analisis KLT fraksi dengan Rf yang sama digabung hingga diperoleh 4 fraksi utama (A-D), kemudian dievaporasi dan ditentukan beratnya serta dimonitor dengan KLT. Fraksi X merupakan gabungan fraksi A dan fraksi B, setelah difraksinasi dengan KKT menggunakan eluen nheksan, campuran n-heksan etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 32 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT menghasilkan 9 fraksi utama (X1 –X9 ). Fraksi utama ke-2 (X2) sebanyak 13,2 mg berupa serbuk putih kekuningan, dikristalisasi dan direkristalisasi dengan metanol diperoleh senyawa (1) berupa serbuk putih sebanyak 6,4 mg dengan titik leleh 176 –177 oC. Kemurnian senyawa tersebut dengan melalui analisis KLT yang menunjukkan noda tunggal dengan tiga macam sistem eluen. Fraksi utama ke-3 (X3) setelah dikristalisasi dengan aseton menghasilkan senyawa (2) yang berupa kristal putih sebanyak 4,2 mg. Kristal tersebut larut dalam pelarut nheksan. Fraksi utama C difraksinasi lebih lanjut dengan menggunakan KKT dengan eluen etil-asetat–n-heksan 40% diperoleh 5 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT. menghasilkan 2 fraksi utama (C1 – C2). Setelah fraksi C1 dikristalisai dengan aseton kemudian fraksi C1 dan fraksi X3 dianalisis dengan KLT secara bersamasama, karena analisis KLT mempunyai nili Rf yang sama sehingga fraksi C1 dan fraksi X3 digabung diperoleh senyawa (2) berbentuk kristal putih sebanyak 5,4 mg dengan titik leleh 187 – 189 oC. Karakter senyawa tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Kemurnian senyawa (2) dibuktikan melalui analisis KLT dengan tiga macam sistem eluen yang menunjukkan noda tunggal.
1. Isolasi dan pemurnian senyawa metabolit sekunder dari spons Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada metode yang sering digunakan dalam mengisolasi senyawa kimia bahan alam yang meliputi pemilihan spesies spons, penentuan lokasi pengambilan sampel, persiapan dan pengambilan sampel hewan, maserasi, partisi, fraksinasi dan analisis spektroskopi dari senyawa murni yang diperoleh dan dilanjutkan dengan uji aktivitas dari senyawa yang diperoleh (Soekamto, 2003). 2. Uji Bioaktivitas a. uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Masing-masing sebanyak 1 mg sampel dalam tabung ependorf dilarutkan dalam DMSO sebanyak 100 µL kemudian diencerkan dengan 150 µL aquades. Dari pengenceran tersebut diambil 200 µL diencerkan kembali dengan 600 µL aquades. Selanjutnya pengenceran dilakukan dalam mikroplate dengan konsentrasi yang divariasi dan volume sampel tiap lubang 100 µL secara triplo. Larva udang A. salina yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 µL dengan jumlah benur 7-15 ekor, dimasukkan dalam mikroplate (96-well plate) yang berisi sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam dilakukan juga pada DMSO tanpa sampel sebagai control negative. Selanjutnya dihitung udang yang mati dan yang hidup serta ditentukan LC50 dengan program “ Bliss method” (Meyer, 1982). b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi Tabung eppendoff yang berisi sampel ditambahkan air laut sesuai perhitungan untuk mencukupkan volume akhir hingga 1 ml. Kemudian dalam tabung tersebut ditambahkan zigot sebanyak 100 µg/ml setelah 10 menit terjadi fertilisasi. Dilakukan pengulangan 3 kali untuk tiap sampel uji dan kontrol. Selanjutnya disimpan pada suhu 15 – 20 oC dengan diselingi pengocokan. Pengamatan sel yang membelah dilakukan setelah 2 jam inkubasi dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera. 3. Penentuan Struktur Senyawa
3
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Tabel 4. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) senyawa (isolat tunggal)
2. Uji Bioaktivitas. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Tabel 1. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) ekstrak spons callysponga sp. fraksi n-heksan, kloroform dan etil asetat No
1. 2. 3.
Ekstrak
n-Heksan Kloroform Etil asetat
Berat (g)
3,8 6,8 2,6
Aktivitas (LC50) (µg/mL)
1. 2. 3. 4.
Fraksi utama
Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D
Berat (mg)
134 87 43 32
230,25 94,53 435,38
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Fraksi
X1 X2 X3-C1 X4 X5 X6 X7 X8 X9
Berat (mg) 3,3 13,2 14,6 5,2 4,6 3,7 4,3 4,5 3,2
Berat (mg)
1. 2.
Senyawa 1 Senyawa 2
6,4 mg 9,6 mg
Aktivitas (LC50) (µg/mL) 58,86 86,53
Tabel 5. Nilai aktivitas (IC50 dalam µg/mL) ekstrak kloroform dan senyawa (isolat tunggal) No
Senyawa
Berat
1.
Ekstrak kloroform Senyawa 1 Senyawa 2
6,8 g
Aktivitas (IC50 ) (µg/mL) 5,337
6,4 mg 9,6 mg
0,365 22,69
2. 3.
Aktivitas (LC50) (µg/mL)
3. Pengukuran Spektroskopi Senyawa (1) diperoleh sebagai serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176 – 177 oC. UV (MeOH) λmax: 237 nm dan 366 nm; penambahan pereaksi NaOH menunjukkan λmax : 237 nm dan 366 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 :>3000 cm-1 (OH), 2918, 2962, 2850 cm-1 (C-H alifatik) 1705 cm-1 (C=O), 1261, cm-1 (O-CH3), 1097 cm-1 (C-O), 1465 cm-1 dan 1407 cm-1 (CH2 dan CH3) serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1 Senyawa (2) dperoleh sebagai kristal berwarna putih dengan titik leleh 187 – 189 oC. UV (MeOH) λmax : 229 nm dan 274 nm; penambahan pereaksi geser NaOH menunjukkan λmax : 229 nm dan 274 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 : 3433 cm-1 (OH), 2924 dan 2851 cm-1 (C-H alifatik) 1107 (C-O), 1710 cm-1 (C=O), 1464 dan 1374 cm-1 (CH2 dan CH3) serta serapan tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959, 879 dan 793 cm-1.
58,86 152,09 184,33 741,09
Tabel 3. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) fraksifraksi utama hasil fraksinasi fraksi A+B (fraksi X) dan fraksi C No
Senyawa
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Tabel 2. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) 4 fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform spons Callyspongia sp . No
No
Aktivitas (LC50) (µg/mL) 11,83 68,32 758,46 471,29 778,09 358,70 -
PEMBAHASAN 1. Interpretasi senyawa Senyawa 1 diperoleh berbentuk serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176–177 oC. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menunjukkan positif warna merah ungu yang mengindikasikan golongan senyawa triterpenoid. Dari spektrum UV tampak bahwa senyawa 1 memberikan pita serapan maksimum pada daerah panjang
4
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
gelombang λmaks 237 nm (9230) dan serapan pada panjang gelombang λmaks 366 nm (727), setelah penambahan pereaksi geser NaOH tidak menyebabkan pergeseran panjang gelombang yang mengindikasikan bahwa tidak ada pergeseran gugus hidroksil. Dari data spektrum IR tersebut di atas, nampak adanya serapan pada νmaks >3000 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH, serapan pada 2918, 2962, 2850 cm-1 yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1463 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1385 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3 yang khas untuk golongan triterpenoid (Yoshihiro et al, 2001). Serapan pada 1705 cm-1 yang menunjukkan regangan ulur ikatan C=O sebagai keton siklik, serapan pada 1261 cm-1 menunjukkan adanya gugus metoksi dan serapan pada 1097 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder serta tekukan keluar bidang gugus CH pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1 (Gambar 2). Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa triterpenoid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah senyawa golongan triterpen. Senyawa 2 diperoleh berbentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 187– 189 oC. Karakter senyawa ini tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menghasilkan warna hijau biru yang mengindikasikan senyawa golongan steroid hal ini juga didukung dengan adanya analisis spektrum UV dan IR. Dari spektrum UV senyawa 2 diperoleh serapan maksimum pada λmax 229 nm (6543) dan 274 nm (2592). Penambahan pereaksi geser NaOH tidak mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ditunjukkan pada serapan λmax 229 dan 274 nm yang mengindikasikan tidak ada pergeseran gugus hidroksil. Selanjutnya informasi mengenai senyawa 2 sebagai senyawa steroid diperoleh dari spektrum infra merah (Gambar 4) nampak adanya bilangan gelombang maksimum pada daerah νmaks 3433 cm-1 yang merupakan serapan untuk gugus OH (hidroksil), indikasi terhadap adanya gugus hidroksil didukung oleh serapan pada daerah νmaks 1107 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder yang khas untuk golongan steroid (Guogiang et al, 2005). Pada bilangan gelombang νmaks 2924, 2851 cm-1 terdapat serapan yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1464 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1374 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3. Bilangan gelombang pada νmaks 1710 cm-1
menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) sebagai keton siklik dan bilangan gelombang pada gelombang νmaks 1259 cm-1 yang kuat menunjukkan adanya gugus metoksi serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959,879 dan 793 cm-1. Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa steroid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 2 adalah senyawa golongan steroid. 2. Uji Bioaktivitas Senyawa Metabolit Sekunder a. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Metabolit sekunder ekstrak n-heksan, fraksi-fraksi, dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp. diuji aktivitasnya dengan menggunakan udang A.salina sesuai dengan cara yang diuraikan oleh Meyer. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Berdasarkan suatu ketentuan, senyawa murni dikatakan aktif apabila nilai LC50 di bawah atau sama dengan 200 µ g/mL dan 500 µ g/mL untuk ekstrak atau fraksi (Anderson et al, 1991). Aktivitas ekstrak awal (ekstrak n-heksan, kloroform, dan etil asetat) terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 masing-masing 230,25 µ g/mL, 94,53 µ g/mL, dan 435,38 µ g/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak kloroform sangat aktif, dan ekstrak n-heksan tergolong aktif sedangkan ekstrak etil asetat cukup aktif. Kemudian empat fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform, hanya satu fraksi yang dikategorikan tidak aktif yaitu fraksi D. Fraksi A, fraksi B dan fraksi C mempunyai nilai LC50 rata-rata dibawah 200 µ g/mL (Tabel 2) sehingga tergolong aktif terhadap benur udang A. salina. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi-fraksi dari ekstrak kloroform spons Callyspongia sp kemungkinan mengandung senyawa yang bersifat bioaktif atau kemungkinan terdapat beberapa senyawa yang tidak aktif yang bergabung dan saling memperkuat bioaktivitasnya sehingga menyebabkan fraksi tersebut aktif. Fraksi yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi, yaitu fraksi A dengan LC50 58,86 µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang sangat aktif atau bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan triterpenoid. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang Artemia salina dengan nilai LC50 42,97 µ g/mL (Ulfa, 2006). Aktivitas yang sangat tinggi pada senyawa triterpenoid dengan gugus asam karboksilat juga dijumpai pada asam (24Z)-3-oksotirukalla-7,24-dien-26-oat dan asam epi-oleanolat (Gambar 5) yang berhasil diisolasi dari daun Celaenododendron mexicanum (Euphorbiaceae). Kedua senyawa ini mempunyai aktivitas anti-protozoa ( Manuel et al., 2001).
5
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
itu, bahan baku senyawa-senyawa ini juga dapat diperbaharui. Senyawa golongan steroid seperti β -sitosterol memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Renai Sante dalam Sapar, 2004).
HO
Gambar 6. Struktur molekul senyawa steroid ( β -sitosterol) Gambar 5. Struktur Molekul Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Fraksi B dan fraksi C dengan LC50 masingmasing 152,09 µ g/mL dan 184,33 µ g/mL juga tergolong fraksi yang aktif. Hasil fraksinasi fraksi X (fraksi A + fraksi B ) dan fraksi C juga memperlihatkan fraksi yang tergolong aktif yaitu fraksi X2 11,83 µ g/mL dan fraksi X3 + C2 68,32 µ g/mL kecuali fraksi X5 758,46 µ g/mL, fraksi X6 471,29 µ g/mL, 778,09 µ g/mL dan fraksi X8 fraksi X7 358,70 µ g/mL. Fraksi X1, Fraksi X4 dan fraksi X9 tidak dilakukan uji bioaktivitas karena tidak larut dalam larutan uji yang digunakan dalam hal ini adalah DMSO Kemudian fraksi X3 + C1 yang aktivitasnya tergolong sangat tinggi (68,32 µ g/mL) setelah direksistalisasi diperoleh senyawa (2) yang dipastikan sebagai senyawa golongan steroid dengan LC50 86,53 µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan steroid pada fraksi tersebut. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 76 µ g/mL (Sapar, 2004). Golongan senyawa steroid yang hampir selalu dapat ditemukan pada hewan dan tumbuhan. Senyawa ini diduga terbentuk dari asam asetat melalui jalur asam mevalonat kemudian mengalami beberapa reaksi kondensasi, siklisasi dan sebagainya hingga terbentuk senyawa antara/intermediate. Penggunaan senyawasenyawa aktif farmakologik yang berasal dari alam seperti turunan steroid sangat penting artinya ditinjau dari segi kesehatan karena efek sampingnya relatif kecil dibanding dengan senyawa sintetik. Di samping
Metabolit sekunder ekstrak kloroform dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp diuji aktivitasnya dengan menggunakan sel telur Bulubabi. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Pengelompokan terhadap aktivitas sitotoksik didasarkan pada kriteria sitotoksisitas yang tinggi bila IC50 < 4 µg/mL untuk senyawa murni dan IC50 < 20 µg/mL untuk ekstrak total (Hostettmann,1991). Uji aktivitas ekstrak kloroform, senyawa (1) dan senyawa (2) terhadap sel telur Bulubabi masing-masing 5,337 µg/mL,0,365 µg/mL dan 22,69 µg/mL. Berdasarkan kriteria pengelompokan maka ekstrak kloroform dan senyawa (1) memiliki toksisitas yang sangat tinggi sedangkan senyawa (2) memiliki toksisitas cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa ekstrak atau fraksi yang bersifat aktif setelah difraksinasi lebih lanjut akan menghasilkan fraksi atau senyawa murni yang juga bersifat aktif seperti pada fraksi X2 dan X3 +C1 diatas. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada ekstrak atau fraksi yang tergolong aktif ditemukan atau terdapat senyawa yang tidak aktif khususnya terhadap benur udang A. salina dan sel telur Bulubabi. KESIMPULAN Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV dan IR) menghasilkan 2 jenis senyawa yang diperoleh merupakan (1) senyawa triterpendid dan (2) senyawa steroid. Hasil uji bioaktif yang dilakukan terhadap benur udang Artemia salina Leach dan sel telur Bulubabi memperlihatkan bahwa senyawa (1) sangat toksik terhadap Artemia salina dan sel telur Bulubabi masing-masing LC50 58,86 µg/mLdan IC50 0,365 g/mL sedang senyawa (2) cukup toksik terhadap
6
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Medika. http:/www. Iptek.com, diakses 12 April 2005. Fusetani, N.,J Warabi, K. Nogata, Y., Nakao, Y & Matsunaga, S. 1997. Koshikamide Al, a new Cytotoxic Linear Peptide Isolated from a Marine Sponge, Theonella sp. Tetrahedron letters 40, 4687-4690. Garson, M.J., 1994. The Biosynthesis of Sponge Secondary Metabolites: Why it is Important? In : Soest, R. W. M. van, Th. M.G. van Kempen and J. C. Braekman, Sponges in Time and space. Proc. 4 th Int. Porifera Congr. Rotterda: Balkema. Gatot, D. 1984. Kemoterapi Tumor Ganas dalam “Tumor Ganas pada Anak”. Bagian Patologi Anatomik, FK-UI, Jakarta, 99-105. Gan, S. 1987. Anti Kanker dalam “ Farmakologi dan Terapi”, Edisi III, Bagian Farmakologi FK-UI, Jakarta. 625-626, 635.. Gisela P.C., Gina, C., dan Lazaro, J.E. 1994. Biological Essay For Screening Of Marine Samples, “In Natural Produst Workshop”, Work Book, Marine Science Institut, University Of The Philiphines, Philiphine, 1518. Guogiang Li, Zhiwei, D., Huasi, G., Leen van, O., Peter, P & Wenhan, L. 2005. Steroids from the soft coral Dendrophyta sp. www.elsevier.com/locate/steroids. Diakses 22 Februari 2006. Hadi, S. and John B. Bremner. 2001. Initial Studies on Alkaloids from Lombok Medicinal Plants: Molecules. Departement of Chemistry; University of Wollongong; Wollongong V. 6. 117-129, Australia. Harryanto, A.R., Aru, W.S., 1990. Kemoterpi Kanker dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 524-529. Hooper, J.N,A., 1997. Guide to Sponge Collection and Identification. Version Merch. Queensland Museum South Brisbane, Queensland. Hostettmann, K., Hostettmann, M., Marston, A. 1991. Isolasi dan Uji Sitotoksik Senyawa Bahan Alam. ITB, Bandung. Jasin, M., 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar Wijaya. Surabaya.
Artemia salina dan sel telur Bulubabi dengan LC50 86,53 µg/mL dan IC50 22,69µg/mL. SARAN Callyspongia sp berpotensi untuk dikembangkan sebagai fitofarmaka mengingat senyawa yang terkandung di dalamnya bersifat bioaktif. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh dan analisis spektrum lebih lanjut agar dapat diketahui secar pasti struktur senyawa yang terkandung di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Achmad, S.A. 2004. Empat puluh tahun dalam kimia organic bahan alam tumbuh-tumbuhan tropika Indonesia, Rekoleksi dan Prospek. Bulletin of The Indonesian Society of Natural Products Chemistry, 4(2): 5 -54. Anderson, J.E., Goetz, C.M, and McLaughlin, J.L. 1990. A blind Comparison of Simple Banch-top Bioassay and Human Tumour Cell Cytotoxicities as Anti tumour Prescreen. Phytochemical Analysis . 6: 107-111 Anonim, 2003. Foundation Scuba Diver Indonesia. http:/www.Terangi.or.id/ Indonesian/terumbuIndon, diakses 12 April 2005. Anonim, 2006, Mencari Obat Mujarab Laut. http:/www. Forek.or.id, diakses 25 Mei 2006. Amir,I & Bidiyanto,A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongia) Sec. Umum. Oseana, Vol 21 No 2, Lipi, Jakarta. Astuti, P., 2003, Spons Invertebrata Laut Berpotensi sebagai Sumber Bahan Baku Obat Alam, vol 8 No.26 Oktober-Desember (Edisi khusus). Bagian Biologi-Farmasi, UGM, Yogyakarta. Barnes, R., P. Calon and P. Olive, 1989. The Invertebrata. Blacwell Scientific Pub. Oxford. London. Edinburg. Boston Melborne. Five Pub: 49-53. Barnes., R.S.K., 1999. A new Synthesis. Second Edition. Blacwel Science, UK, 49-52. Caraan, G.B., Lazaro,J.E., Concepcio, G.P., 1994, Biological Assays for Screening of Marine Samples, Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute and Institute of Chemistry, University of the Philipines. Dini, I. 2005. Penelusuran Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) dan Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina Leach. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Eru Wibowo, A., dkk., 2005, Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit Sekunder dari biota Laut, Pusat Pengkajian dan penerapan Teknologi Farmasi dan
Kompas, 2004. Menggali Bahan Baku Obat di Dalam Laut. Terbit 12 Mei 2004. Jakarta. Lomis, T.A., 1978. Toksikologi Dasar. Edisi III, Penerjemah Imono Argo, IKIP Semarang Press, 4, 16-21.Manuel J. and Luis M., 2001. Plant Natural Product With Leishmaniacidal Activity. J. The Royal Society of Chemistry, 18: 674-688.McLaughlin, J, L., C.J. Chang, and D.L. Smith, 1991. Benctop : Bioassay for The Discovery of Bioactive Natural Products an update; in studies in Natural Products Chemistry. Elsevier, Amsterdam, in Press. 1-10. Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E Putnan, L.B. Jacobsen, D.E. Nicholas, J.L. McLaughlin 1982. Brine Shrimp: A
7
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Troter II, R.T., Logan, M.H., Rocha, J.M., dan Bonetta, J.L., 1983. Ethnography and Bioassay : Combined Methods for a Preliminary Screen of Home Remedies for Potensial Pharmacological Activity. MFI, J. of Pharm, vol 6, no 4. Ulfa, M. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.). Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Wahyuono, S., 2003, Mencari Obat antikanker dari Spons Perairan Indonesia, Cakrawala Suplemen Pikiran Rakyat. http:/www. Pikiran rakyat.com, diakses 13 April 2006. Wiryowidagdo, S & W. Moka, 1995. Identifikasi dan Eksplorasi Organisme Laut sebagai Sumber Bahan Baku obat di Kepulauan Spermonde Sul-Sel. Yuliani, S. 2001. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat - Bogor. 20,(3). Yoshihiro, M., Masoto, F., Akihito,Y., Yutaka, S., Shigenori, & Hiroshi,S. 2001. Triterpene glycosides from the roots of Sanguisorba officinalis. www. elsevier.com/locate/phytocem. Dieakses 22 Februari 2006.
Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent. Departement of Medical Chemistry and Pharmakognocy, School of Pharmacy and pharmacal science, and Cell Culture Libratory, Perdue Cancer Center. West lavayette. USA. Raflizar, Adimunca, C.,Tuminah, S. 2006. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai Obat Radang Hati Akut. Cermin Dunia Kedokteran. 50: 10-14. Rahmaniar, 2003. Produk Alam Laut sebagai Lead Compound untuk Farmasi dan Pertanian, Dibawakan pada Seminar Sehari Perpektif baru dalam Drug. Discovery, Makassar, 26 Oktober 2003. Rahman,R, Abd & Ahmad ridhay, 2004. Penapisan senyawa Antimikroba dari Beberapa Jenis Bunga Karang (Porifera).Tesis tidak diternitkan. Makassar, Jurusan Farmasi Univeritas Hasanuddin. Romimohtarto,K & Sri Juwana, 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut, Djambatan, Jakarta. Rosmiati & Suryati,E 2001, Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh senyawa Bioaktif Spona terhadap Bakteri Patogen udang. http://Pustaka.bogor.net/publ/J biotek diakses 24 Februari 2006. Rusli, 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Anti Mikroba Beberapa Spons dari Perairan Pulau Samalona. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Sapar, A., A.S. Kumanireng, N, de Voogd, Alfian N, 2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit Sekunder Aktif Sponges Biemna triraphis Asal Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde), Marina Chemica Acta. J.V. 6 NO.1. Sarjoko, 1996. Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas, Rancangan Rasional dalam Pengembangan Senyawa Bioaktif, Dibawakan pada Seminar sehari Perspektif baru dalam Drug. Discovery, Ujung Pandang. Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut di Indonesia. Arah dan prospek: Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Jakarta. Scheuer, P.J., (Ed), 1978. Marine Natural Product : Chemical and Biological Perspectives. Vol. II. Academic Press, Inc. New York. USA. Scmidt, E.W and Faulkner, D.J. 1998. Mecrosclerodermis C-E, Anrifungal Cyclic, peptide from the lithistid Marine Sponges Theonella sp and Microscleroderma sp, Tetrahedron 54, 3043-3056. Soekamto, N.H., 2003. Profil Fitokimia Beberapa Spesies Moraceae Indonesia; Disertasi tidak diterbitkan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
8
Dear readers, Due to a progress in technology, publications now enters in a new appearance and positioned in a global perspective that is the ability of reaching the readers as much and large as possible. Doubly prepared in the form in ‘on-line’ as well as in printed matter are not really an easy task because we are still in a learning stage especially for on line system. Fortunately we have many good talents and volunteers that work hardly to build a capability of having a good online performance. Communication, as said in French words : “ςa n’est plus comme d’autres fois” meaning that the way we interact is no longer like before. Now we all are using internet language which is for older fellows are sometimes difficult to adapt and adopt. We learn every day as the consequence of sustaining life. On the other hand printed form remain existed simply because many writers or researchers require it as part of proven documents needed for promoting their career in professional level. It is necessary as well to let the readers know that various efforts have been conducted to assign the web site of the journal. First thing to do is to apply the journal at www.unhas.ac.id and it works although it is difficult to manage. A second try is to bring the journal into other website in this case called www.marina.cv-21.com as is currently used. Further step in the future is to create our own website called www.marina-chimica-acta.com which will be used for the next publication. Of course some budget implication can not be avoided but as part of our dedication to the journal, an equilibrium between the cost and the service will be made in balance. Sponges have been mostly the article topics presented at this time. Suriani et al for example explored the secondary metabolites of Callispongis sp. through its isolation, characterization, and bioactivity examination. Ika Indrayani et al, on the other hand, discussed about the capacity of Clathria reinwardhi and Xestospongia in absorbing metals Pb and Fe, the research they have done in Spermonde waters. Another sponge research is coming from Henie Purwandar that studied concentration of trace metals of Cr, Co, and Ni on sponge microsymbiont, Enterobacter agglomerans from haliclona fascigera sp. Two other papers are about biosorption capacity of reef upon nickel ion from Rizki Amaliah et al. , and the last one is article given by Rohani Bahar dealing with alginate extraction from seaweed sargassum sp and its application in slowing fruit maturation, in this case oranges. Finally, it is important once again to note that printed form will be kept existed on request and cost implied. Have a nice reading.
Chief Editor Alfian Noor 1
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 2-7 Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 12 No. 1 ISSN 1411-2132
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Spons Callyspongia sp. Isolation, Characterization, and Bioactivity of Secondary Metabolites Cloroform Extract of Sponges Callyspongia sp. 1)
Suriani1), Hanapi Usman2), Ahyar Ahmad2) Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2) Jurusan Kimia Universitas Hasanuddin ABSTRACT
The isolation, structure determination and activity test against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs of secondary metabolites of sponges Callyspongia sp has been carried out. Separation techniques used consisted of maceration and fractination, while the structure of compounds were elucidated based on physical, spectroscopie UV and IR data. Two compounds that obtained were predicted as (1) Triterpenoid, and (2) Steroid. Compound (1) showed stronged toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs LC50 58,86µg/mL and IC50 0,365µg/mL with compound (2) showed high toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchine with LC50 86,53 µg/mL and IC50 22,69µg/mL, respectively. Keywords : Callyspongia sp, Bioactivity, Artemia salina Leach, Sea Urchin Eggs, Triterpenoid, Steroid. Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari spons ini dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996) dan juga beberapa metabolit sekunder yang memiliki bioaktifitas telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari spons Indonesia antara lain β-sitosterol; Cholest-5-en-3β-ol; Cholestan-3β-ol; Ergosta5,22-dien-3β-ol; 9,19-Siklocholest-24-en-3β-ol; dan Ergost5-en-3β-ol, senyawa tersebut menunjukkan toksisitas terhadap A.salina (Sapar, 2004). Barangamide, brianthein, aaptamin, lembehyne, dan bitungolides (Rachmaniar, 2003). Senyawa-senyawa lain masih banyak diteliti dan dilaporkan mempunyai aktivitas farmakologis seperti caminoside A dan swinhoeiamide A (Astuti, 2003). Analisis yang dilakukan terhadap spons Xestospongia aschmorica menghasilkan empat senyawa manzamine baru dengan aktivitas antibakteri (Endrada et al., 1996). Manzamin A yang sebelumnya banyak diteliti karena potensinya sebagai senyawa antikanker mampu menghambat parasit malaria. Peptida pendek dan siklo peptide dari Theonella sp. Dan Microscleroderma sp. (Schmidt and Fusetani et al., 1999) yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Schmidt and Faulkner,1998; Fusetani et al., 1999; dalam Sapar, 2004). Bunga karang yang aktif sebagai bakterisida pada komoditas perikanan antara lain Callyspongia sp, Halicondria sp, dan Auletta sp (Rosmiati & Suryati, 2001). Namun sejauh ini belum banyak data penelitian yang mengeksplorasi senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp sebagai bahan baku obat pada penyakit manusia dan hewan yang bersifat sebagai anti kanker. Oleh
PENDAHULUAN Dibidang kelautan, Indonesia memegang peranan penting bagi dunia karena memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia yang merupakan sumber daya organik. Di dalamnya terdapat 60.000 km persegi areal terumbu karang (spons) yang mencakup 15 % terumbu karang dunia (Kompas, 5 April 2004) Menurut Achmad (2004) sumber daya organik merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai sumber senyawa baru yang unik yang tidak dapat ditemukan di laboratorium dan mungkin sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian, dan industri. Indonesia memiliki sumberdaya organik yang melimpah, merupakan kekayaan yang sebagian besar belum diteliti kandungan kimianya. Oleh karenanya Indonesia adalah suatu negara yang sangat prospektif untuk mengembangkan kimia organik bahan alam khususnya bahan alam laut. Spons merupakan biota laut yang multiseluler primitive (metazoan) tanpa jaringan nyata, yang merupakan sumber metabolit sekunder terkaya (Eru,2005 & Romimohtarto, 2001). Jumlah penyebarannya sangat banyak. Ada 15.000 spesies spons laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa bioaktif laut ditemukan pada spons laut (Anonim, 2006). Perjalanan pencarian obat dari spons dibeberapa perairan Indonesia sudah dilakukan, namun masih banyak lokasi di Indonesia yang belum tersentuh (Wahyuono,2003). Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah
2
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Penentuan struktur senyawa dapat dilakukan berdasarkan pengukuran instrument seperti UV dan IR terhadap senyawa bioaktif yang telah dimurnikan.
karena itu perlu dilakukan penelusuran senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp serta uji toksisitas sebagai anti kanker dengan menggunakan uji BST dan antimitotik masing-masing menggunakan benur udang A. Salina dan telur bulubabi.
HASIL PENELITIAN 1. Ekstraksi dan Fraksinasi
METODE PENELITIAN Hasil maserasi ekstrak kloroform setelah disaring dievaporasi pada tekanan rendah diperoleh maserat kental berupa residu berwarna coklat sebanyak 1044 mL dan secara konversi berat pervolume diperoleh ekstrak sebanyak 48 g. Hasil ekstraksi cair-cair dalam corong pisah berturut-turut dengan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat pada penguapan mengunakan alat rotary vapor dengan tekanan rendah diperoleh ekstrak n-heksan (3,8g), kloroform (6,8g), dan etil asetat (2,6g) Ekstrak kloroform (6,8g) tersebut selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan KKV dan eluen nheksan, campuran n-hesan-etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 27 fraksi. Berdasarkan analisis KLT fraksi dengan Rf yang sama digabung hingga diperoleh 4 fraksi utama (A-D), kemudian dievaporasi dan ditentukan beratnya serta dimonitor dengan KLT. Fraksi X merupakan gabungan fraksi A dan fraksi B, setelah difraksinasi dengan KKT menggunakan eluen nheksan, campuran n-heksan etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 32 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT menghasilkan 9 fraksi utama (X1 –X9 ). Fraksi utama ke-2 (X2) sebanyak 13,2 mg berupa serbuk putih kekuningan, dikristalisasi dan direkristalisasi dengan metanol diperoleh senyawa (1) berupa serbuk putih sebanyak 6,4 mg dengan titik leleh 176 –177 oC. Kemurnian senyawa tersebut dengan melalui analisis KLT yang menunjukkan noda tunggal dengan tiga macam sistem eluen. Fraksi utama ke-3 (X3) setelah dikristalisasi dengan aseton menghasilkan senyawa (2) yang berupa kristal putih sebanyak 4,2 mg. Kristal tersebut larut dalam pelarut nheksan. Fraksi utama C difraksinasi lebih lanjut dengan menggunakan KKT dengan eluen etil-asetat–n-heksan 40% diperoleh 5 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT. menghasilkan 2 fraksi utama (C1 – C2). Setelah fraksi C1 dikristalisai dengan aseton kemudian fraksi C1 dan fraksi X3 dianalisis dengan KLT secara bersamasama, karena analisis KLT mempunyai nili Rf yang sama sehingga fraksi C1 dan fraksi X3 digabung diperoleh senyawa (2) berbentuk kristal putih sebanyak 5,4 mg dengan titik leleh 187 – 189 oC. Karakter senyawa tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Kemurnian senyawa (2) dibuktikan melalui analisis KLT dengan tiga macam sistem eluen yang menunjukkan noda tunggal.
1. Isolasi dan pemurnian senyawa metabolit sekunder dari spons Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada metode yang sering digunakan dalam mengisolasi senyawa kimia bahan alam yang meliputi pemilihan spesies spons, penentuan lokasi pengambilan sampel, persiapan dan pengambilan sampel hewan, maserasi, partisi, fraksinasi dan analisis spektroskopi dari senyawa murni yang diperoleh dan dilanjutkan dengan uji aktivitas dari senyawa yang diperoleh (Soekamto, 2003). 2. Uji Bioaktivitas a. uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Masing-masing sebanyak 1 mg sampel dalam tabung ependorf dilarutkan dalam DMSO sebanyak 100 µL kemudian diencerkan dengan 150 µL aquades. Dari pengenceran tersebut diambil 200 µL diencerkan kembali dengan 600 µL aquades. Selanjutnya pengenceran dilakukan dalam mikroplate dengan konsentrasi yang divariasi dan volume sampel tiap lubang 100 µL secara triplo. Larva udang A. salina yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 µL dengan jumlah benur 7-15 ekor, dimasukkan dalam mikroplate (96-well plate) yang berisi sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam dilakukan juga pada DMSO tanpa sampel sebagai control negative. Selanjutnya dihitung udang yang mati dan yang hidup serta ditentukan LC50 dengan program “ Bliss method” (Meyer, 1982). b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi Tabung eppendoff yang berisi sampel ditambahkan air laut sesuai perhitungan untuk mencukupkan volume akhir hingga 1 ml. Kemudian dalam tabung tersebut ditambahkan zigot sebanyak 100 µg/ml setelah 10 menit terjadi fertilisasi. Dilakukan pengulangan 3 kali untuk tiap sampel uji dan kontrol. Selanjutnya disimpan pada suhu 15 – 20 oC dengan diselingi pengocokan. Pengamatan sel yang membelah dilakukan setelah 2 jam inkubasi dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera. 3. Penentuan Struktur Senyawa
3
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Tabel 4. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) senyawa (isolat tunggal)
2. Uji Bioaktivitas. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Tabel 1. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) ekstrak spons callysponga sp. fraksi n-heksan, kloroform dan etil asetat No
1. 2. 3.
Ekstrak
n-Heksan Kloroform Etil asetat
Berat (g)
3,8 6,8 2,6
Aktivitas (LC50) (µg/mL)
1. 2. 3. 4.
Fraksi utama
Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D
Berat (mg)
134 87 43 32
230,25 94,53 435,38
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Fraksi
X1 X2 X3-C1 X4 X5 X6 X7 X8 X9
Berat (mg) 3,3 13,2 14,6 5,2 4,6 3,7 4,3 4,5 3,2
Berat (mg)
1. 2.
Senyawa 1 Senyawa 2
6,4 mg 9,6 mg
Aktivitas (LC50) (µg/mL) 58,86 86,53
Tabel 5. Nilai aktivitas (IC50 dalam µg/mL) ekstrak kloroform dan senyawa (isolat tunggal) No
Senyawa
Berat
1.
Ekstrak kloroform Senyawa 1 Senyawa 2
6,8 g
Aktivitas (IC50 ) (µg/mL) 5,337
6,4 mg 9,6 mg
0,365 22,69
2. 3.
Aktivitas (LC50) (µg/mL)
3. Pengukuran Spektroskopi Senyawa (1) diperoleh sebagai serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176 – 177 oC. UV (MeOH) λmax: 237 nm dan 366 nm; penambahan pereaksi NaOH menunjukkan λmax : 237 nm dan 366 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 :>3000 cm-1 (OH), 2918, 2962, 2850 cm-1 (C-H alifatik) 1705 cm-1 (C=O), 1261, cm-1 (O-CH3), 1097 cm-1 (C-O), 1465 cm-1 dan 1407 cm-1 (CH2 dan CH3) serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1 Senyawa (2) dperoleh sebagai kristal berwarna putih dengan titik leleh 187 – 189 oC. UV (MeOH) λmax : 229 nm dan 274 nm; penambahan pereaksi geser NaOH menunjukkan λmax : 229 nm dan 274 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 : 3433 cm-1 (OH), 2924 dan 2851 cm-1 (C-H alifatik) 1107 (C-O), 1710 cm-1 (C=O), 1464 dan 1374 cm-1 (CH2 dan CH3) serta serapan tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959, 879 dan 793 cm-1.
58,86 152,09 184,33 741,09
Tabel 3. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) fraksifraksi utama hasil fraksinasi fraksi A+B (fraksi X) dan fraksi C No
Senyawa
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Tabel 2. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) 4 fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform spons Callyspongia sp . No
No
Aktivitas (LC50) (µg/mL) 11,83 68,32 758,46 471,29 778,09 358,70 -
PEMBAHASAN 1. Interpretasi senyawa Senyawa 1 diperoleh berbentuk serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176–177 oC. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menunjukkan positif warna merah ungu yang mengindikasikan golongan senyawa triterpenoid. Dari spektrum UV tampak bahwa senyawa 1 memberikan pita serapan maksimum pada daerah panjang
4
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
gelombang λmaks 237 nm (9230) dan serapan pada panjang gelombang λmaks 366 nm (727), setelah penambahan pereaksi geser NaOH tidak menyebabkan pergeseran panjang gelombang yang mengindikasikan bahwa tidak ada pergeseran gugus hidroksil. Dari data spektrum IR tersebut di atas, nampak adanya serapan pada νmaks >3000 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH, serapan pada 2918, 2962, 2850 cm-1 yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1463 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1385 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3 yang khas untuk golongan triterpenoid (Yoshihiro et al, 2001). Serapan pada 1705 cm-1 yang menunjukkan regangan ulur ikatan C=O sebagai keton siklik, serapan pada 1261 cm-1 menunjukkan adanya gugus metoksi dan serapan pada 1097 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder serta tekukan keluar bidang gugus CH pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1 (Gambar 2). Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa triterpenoid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah senyawa golongan triterpen. Senyawa 2 diperoleh berbentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 187– 189 oC. Karakter senyawa ini tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menghasilkan warna hijau biru yang mengindikasikan senyawa golongan steroid hal ini juga didukung dengan adanya analisis spektrum UV dan IR. Dari spektrum UV senyawa 2 diperoleh serapan maksimum pada λmax 229 nm (6543) dan 274 nm (2592). Penambahan pereaksi geser NaOH tidak mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ditunjukkan pada serapan λmax 229 dan 274 nm yang mengindikasikan tidak ada pergeseran gugus hidroksil. Selanjutnya informasi mengenai senyawa 2 sebagai senyawa steroid diperoleh dari spektrum infra merah (Gambar 4) nampak adanya bilangan gelombang maksimum pada daerah νmaks 3433 cm-1 yang merupakan serapan untuk gugus OH (hidroksil), indikasi terhadap adanya gugus hidroksil didukung oleh serapan pada daerah νmaks 1107 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder yang khas untuk golongan steroid (Guogiang et al, 2005). Pada bilangan gelombang νmaks 2924, 2851 cm-1 terdapat serapan yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1464 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1374 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3. Bilangan gelombang pada νmaks 1710 cm-1
menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) sebagai keton siklik dan bilangan gelombang pada gelombang νmaks 1259 cm-1 yang kuat menunjukkan adanya gugus metoksi serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959,879 dan 793 cm-1. Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa steroid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 2 adalah senyawa golongan steroid. 2. Uji Bioaktivitas Senyawa Metabolit Sekunder a. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Metabolit sekunder ekstrak n-heksan, fraksi-fraksi, dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp. diuji aktivitasnya dengan menggunakan udang A.salina sesuai dengan cara yang diuraikan oleh Meyer. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Berdasarkan suatu ketentuan, senyawa murni dikatakan aktif apabila nilai LC50 di bawah atau sama dengan 200 µ g/mL dan 500 µ g/mL untuk ekstrak atau fraksi (Anderson et al, 1991). Aktivitas ekstrak awal (ekstrak n-heksan, kloroform, dan etil asetat) terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 masing-masing 230,25 µ g/mL, 94,53 µ g/mL, dan 435,38 µ g/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak kloroform sangat aktif, dan ekstrak n-heksan tergolong aktif sedangkan ekstrak etil asetat cukup aktif. Kemudian empat fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform, hanya satu fraksi yang dikategorikan tidak aktif yaitu fraksi D. Fraksi A, fraksi B dan fraksi C mempunyai nilai LC50 rata-rata dibawah 200 µ g/mL (Tabel 2) sehingga tergolong aktif terhadap benur udang A. salina. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi-fraksi dari ekstrak kloroform spons Callyspongia sp kemungkinan mengandung senyawa yang bersifat bioaktif atau kemungkinan terdapat beberapa senyawa yang tidak aktif yang bergabung dan saling memperkuat bioaktivitasnya sehingga menyebabkan fraksi tersebut aktif. Fraksi yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi, yaitu fraksi A dengan LC50 58,86 µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang sangat aktif atau bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan triterpenoid. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang Artemia salina dengan nilai LC50 42,97 µ g/mL (Ulfa, 2006). Aktivitas yang sangat tinggi pada senyawa triterpenoid dengan gugus asam karboksilat juga dijumpai pada asam (24Z)-3-oksotirukalla-7,24-dien-26-oat dan asam epi-oleanolat (Gambar 5) yang berhasil diisolasi dari daun Celaenododendron mexicanum (Euphorbiaceae). Kedua senyawa ini mempunyai aktivitas anti-protozoa ( Manuel et al., 2001).
5
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
itu, bahan baku senyawa-senyawa ini juga dapat diperbaharui. Senyawa golongan steroid seperti β -sitosterol memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Renai Sante dalam Sapar, 2004).
HO
Gambar 6. Struktur molekul senyawa steroid ( β -sitosterol) Gambar 5. Struktur Molekul Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Fraksi B dan fraksi C dengan LC50 masingmasing 152,09 µ g/mL dan 184,33 µ g/mL juga tergolong fraksi yang aktif. Hasil fraksinasi fraksi X (fraksi A + fraksi B ) dan fraksi C juga memperlihatkan fraksi yang tergolong aktif yaitu fraksi X2 11,83 µ g/mL dan fraksi X3 + C2 68,32 µ g/mL kecuali fraksi X5 758,46 µ g/mL, fraksi X6 471,29 µ g/mL, 778,09 µ g/mL dan fraksi X8 fraksi X7 358,70 µ g/mL. Fraksi X1, Fraksi X4 dan fraksi X9 tidak dilakukan uji bioaktivitas karena tidak larut dalam larutan uji yang digunakan dalam hal ini adalah DMSO Kemudian fraksi X3 + C1 yang aktivitasnya tergolong sangat tinggi (68,32 µ g/mL) setelah direksistalisasi diperoleh senyawa (2) yang dipastikan sebagai senyawa golongan steroid dengan LC50 86,53 µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan steroid pada fraksi tersebut. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 76 µ g/mL (Sapar, 2004). Golongan senyawa steroid yang hampir selalu dapat ditemukan pada hewan dan tumbuhan. Senyawa ini diduga terbentuk dari asam asetat melalui jalur asam mevalonat kemudian mengalami beberapa reaksi kondensasi, siklisasi dan sebagainya hingga terbentuk senyawa antara/intermediate. Penggunaan senyawasenyawa aktif farmakologik yang berasal dari alam seperti turunan steroid sangat penting artinya ditinjau dari segi kesehatan karena efek sampingnya relatif kecil dibanding dengan senyawa sintetik. Di samping
Metabolit sekunder ekstrak kloroform dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp diuji aktivitasnya dengan menggunakan sel telur Bulubabi. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Pengelompokan terhadap aktivitas sitotoksik didasarkan pada kriteria sitotoksisitas yang tinggi bila IC50 < 4 µg/mL untuk senyawa murni dan IC50 < 20 µg/mL untuk ekstrak total (Hostettmann,1991). Uji aktivitas ekstrak kloroform, senyawa (1) dan senyawa (2) terhadap sel telur Bulubabi masing-masing 5,337 µg/mL,0,365 µg/mL dan 22,69 µg/mL. Berdasarkan kriteria pengelompokan maka ekstrak kloroform dan senyawa (1) memiliki toksisitas yang sangat tinggi sedangkan senyawa (2) memiliki toksisitas cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa ekstrak atau fraksi yang bersifat aktif setelah difraksinasi lebih lanjut akan menghasilkan fraksi atau senyawa murni yang juga bersifat aktif seperti pada fraksi X2 dan X3 +C1 diatas. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada ekstrak atau fraksi yang tergolong aktif ditemukan atau terdapat senyawa yang tidak aktif khususnya terhadap benur udang A. salina dan sel telur Bulubabi. KESIMPULAN Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV dan IR) menghasilkan 2 jenis senyawa yang diperoleh merupakan (1) senyawa triterpendid dan (2) senyawa steroid. Hasil uji bioaktif yang dilakukan terhadap benur udang Artemia salina Leach dan sel telur Bulubabi memperlihatkan bahwa senyawa (1) sangat toksik terhadap Artemia salina dan sel telur Bulubabi masing-masing LC50 58,86 µg/mLdan IC50 0,365 g/mL sedang senyawa (2) cukup toksik terhadap
6
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Artemia salina dan sel telur Bulubabi dengan LC50 86,53 µg/mL dan IC50 22,69µg/mL.
Medika. http:/www. Iptek.com, diakses 12 April 2005. Fusetani, N.,J Warabi, K. Nogata, Y., Nakao, Y & Matsunaga, S. 1997. Koshikamide Al, a new Cytotoxic Linear Peptide Isolated from a Marine Sponge, Theonella sp. Tetrahedron letters 40, 4687-4690. Garson, M.J., 1994. The Biosynthesis of Sponge Secondary Metabolites: Why it is Important? In : Soest, R. W. M. van, Th. M.G. van Kempen and J. C. Braekman, Sponges in Time and space. Proc. 4 th Int. Porifera Congr. Rotterda: Balkema. Gatot, D. 1984. Kemoterapi Tumor Ganas dalam “Tumor Ganas pada Anak”. Bagian Patologi Anatomik, FK-UI, Jakarta, 99-105. Gan, S. 1987. Anti Kanker dalam “ Farmakologi dan Terapi”, Edisi III, Bagian Farmakologi FK-UI, Jakarta. 625-626, 635.. Gisela P.C., Gina, C., dan Lazaro, J.E. 1994. Biological Essay For Screening Of Marine Samples, “In Natural Produst Workshop”, Work Book, Marine Science Institut, University Of The Philiphines, Philiphine, 1518. Guogiang Li, Zhiwei, D., Huasi, G., Leen van, O., Peter, P & Wenhan, L. 2005. Steroids from the soft coral Dendrophyta sp. www.elsevier.com/locate/steroids. Diakses 22 Februari 2006. Hadi, S. and John B. Bremner. 2001. Initial Studies on Alkaloids from Lombok Medicinal Plants: Molecules. Departement of Chemistry; University of Wollongong; Wollongong V. 6. 117-129, Australia. Harryanto, A.R., Aru, W.S., 1990. Kemoterpi Kanker dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 524-529. Hooper, J.N,A., 1997. Guide to Sponge Collection and Identification. Version Merch. Queensland Museum South Brisbane, Queensland. Hostettmann, K., Hostettmann, M., Marston, A. 1991. Isolasi dan Uji Sitotoksik Senyawa Bahan Alam. ITB, Bandung. Jasin, M., 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar Wijaya. Surabaya.
SARAN Callyspongia sp berpotensi untuk dikembangkan sebagai fitofarmaka mengingat senyawa yang terkandung di dalamnya bersifat bioaktif. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh dan analisis spektrum lebih lanjut agar dapat diketahui secar pasti struktur senyawa yang terkandung di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Achmad, S.A. 2004. Empat puluh tahun dalam kimia organic bahan alam tumbuh-tumbuhan tropika Indonesia, Rekoleksi dan Prospek. Bulletin of The Indonesian Society of Natural Products Chemistry, 4(2): 5 -54. Anderson, J.E., Goetz, C.M, and McLaughlin, J.L. 1990. A blind Comparison of Simple Banch-top Bioassay and Human Tumour Cell Cytotoxicities as Anti tumour Prescreen. Phytochemical Analysis . 6: 107-111 Anonim, 2003. Foundation Scuba Diver Indonesia. http:/www.Terangi.or.id/ Indonesian/terumbuIndon, diakses 12 April 2005. Anonim, 2006, Mencari Obat Mujarab Laut. http:/www. Forek.or.id, diakses 25 Mei 2006. Amir,I & Bidiyanto,A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongia) Sec. Umum. Oseana, Vol 21 No 2, Lipi, Jakarta. Astuti, P., 2003, Spons Invertebrata Laut Berpotensi sebagai Sumber Bahan Baku Obat Alam, vol 8 No.26 Oktober-Desember (Edisi khusus). Bagian Biologi-Farmasi, UGM, Yogyakarta. Barnes, R., P. Calon and P. Olive, 1989. The Invertebrata. Blacwell Scientific Pub. Oxford. London. Edinburg. Boston Melborne. Five Pub: 49-53. Barnes., R.S.K., 1999. A new Synthesis. Second Edition. Blacwel Science, UK, 49-52. Caraan, G.B., Lazaro,J.E., Concepcio, G.P., 1994, Biological Assays for Screening of Marine Samples, Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute and Institute of Chemistry, University of the Philipines. Dini, I. 2005. Penelusuran Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) dan Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina Leach. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Eru Wibowo, A., dkk., 2005, Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit Sekunder dari biota Laut, Pusat Pengkajian dan penerapan Teknologi Farmasi dan
Kompas, 2004. Menggali Bahan Baku Obat di Dalam Laut. Terbit 12 Mei 2004. Jakarta. Lomis, T.A., 1978. Toksikologi Dasar. Edisi III, Penerjemah Imono Argo, IKIP Semarang Press, 4, 16-21.Manuel J. and Luis M., 2001. Plant Natural Product With Leishmaniacidal Activity. J. The Royal Society of Chemistry, 18: 674-688.McLaughlin, J, L., C.J. Chang, and D.L. Smith, 1991. Benctop : Bioassay for The Discovery of Bioactive Natural Products an update; in studies in Natural Products Chemistry. Elsevier, Amsterdam, in Press. 1-10. Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E Putnan, L.B. Jacobsen, D.E. Nicholas, J.L. McLaughlin 1982. Brine Shrimp: A
7
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit
Volume 13 Nomor 1
Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent. Departement of Medical Chemistry and Pharmakognocy, School of Pharmacy and pharmacal science, and Cell Culture Libratory, Perdue Cancer Center. West lavayette. USA. Raflizar, Adimunca, C.,Tuminah, S. 2006. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai Obat Radang Hati Akut. Cermin Dunia Kedokteran. 50: 10-14. Rahmaniar, 2003. Produk Alam Laut sebagai Lead Compound untuk Farmasi dan Pertanian, Dibawakan pada Seminar Sehari Perpektif baru dalam Drug. Discovery, Makassar, 26 Oktober 2003. Rahman,R, Abd & Ahmad ridhay, 2004. Penapisan senyawa Antimikroba dari Beberapa Jenis Bunga Karang (Porifera).Tesis tidak diternitkan. Makassar, Jurusan Farmasi Univeritas Hasanuddin. Romimohtarto,K & Sri Juwana, 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut, Djambatan, Jakarta. Rosmiati & Suryati,E 2001, Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh senyawa Bioaktif Spona terhadap Bakteri Patogen udang. http://Pustaka.bogor.net/publ/J biotek diakses 24 Februari 2006. Rusli, 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Anti Mikroba Beberapa Spons dari Perairan Pulau Samalona. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Sapar, A., A.S. Kumanireng, N, de Voogd, Alfian N, 2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit Sekunder Aktif Sponges Biemna triraphis Asal Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde), Marina Chemica Acta. J.V. 6 NO.1. Sarjoko, 1996. Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas, Rancangan Rasional dalam Pengembangan Senyawa Bioaktif, Dibawakan pada Seminar sehari Perspektif baru dalam Drug. Discovery, Ujung Pandang. Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut di Indonesia. Arah dan prospek: Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Jakarta. Scheuer, P.J., (Ed), 1978. Marine Natural Product : Chemical and Biological Perspectives. Vol. II. Academic Press, Inc. New York. USA. Scmidt, E.W and Faulkner, D.J. 1998. Mecrosclerodermis C-E, Anrifungal Cyclic, peptide from the lithistid Marine Sponges Theonella sp and Microscleroderma sp, Tetrahedron 54, 3043-3056. Soekamto, N.H., 2003. Profil Fitokimia Beberapa Spesies Moraceae Indonesia; Disertasi tidak diterbitkan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Troter II, R.T., Logan, M.H., Rocha, J.M., dan Bonetta, J.L., 1983. Ethnography and Bioassay : Combined Methods for a Preliminary Screen of Home Remedies for Potensial Pharmacological Activity. MFI, J. of Pharm, vol 6, no 4. Ulfa, M. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.). Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Wahyuono, S., 2003, Mencari Obat antikanker dari Spons Perairan Indonesia, Cakrawala Suplemen Pikiran Rakyat. http:/www. Pikiran rakyat.com, diakses 13 April 2006. Wiryowidagdo, S & W. Moka, 1995. Identifikasi dan Eksplorasi Organisme Laut sebagai Sumber Bahan Baku obat di Kepulauan Spermonde Sul-Sel. Yuliani, S. 2001. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat - Bogor. 20,(3). Yoshihiro, M., Masoto, F., Akihito,Y., Yutaka, S., Shigenori, & Hiroshi,S. 2001. Triterpene glycosides from the roots of Sanguisorba officinalis. www. elsevier.com/locate/phytocem. Dieakses 22 Februari 2006.
8
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 9-15 Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 13 No. 1 ISSN 1411-2132
PENELITIAN LOGAM Pb DAN Fe DALAM SPONS DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN Ika Indrayani, Mutamainnah Bashir, Alfian Noor*, Asmawati Abdullah Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Hasanuddin Kampus UNHAS Tamalanrea, Makassar 90245 *Kontak :
[email protected] ABSTRACT Analisis of metals concentration of Pb and Fe in the sponge Clathria reinwardhi, Clathria sp. and Xestospongia sp. have been carry out. Spons preparation was done by washed, dried, crushed and dissolved in HNO3 p.a the solution is ready for analysis using by Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) method. The results shown that Pb was higher accumulation in sceleton and Fe was in tissue. The concentration of Pb and Fe in the sponge from Barranglompo are Clathria reinwardhi (8,85 and 238,40 ppm); Clathria sp. (15,94 and 232,79 ppm); Xestospongia sp. (8,86 and 139,39 ppm). Samalona are Clathria reinwadhi (10,99 and 259,87 ppm); Xestospongia sp. (9,92 and 301,69 ppm) and Barangcaddi is Clathria reinwardhi (10,99 and 147,32 ppm). Key words : Accumulation, Concentration, Metals, Spons, SSA PENDAHULUAN Bahan Penelitian Bahan yang digunakan: spons spesis Clathria reinwardhi, Clathria sp., Xestospongia sp., HNO3 p.a Merck, HNO3 5%, HNO3 0,5 M, NH4 Fe(SO4)2. 12 H2O Merck, Pb(NO3)2 Merck, akuabides, akuades, deterjen, kertas pH, aseton teknis, tissue roll, aluminium foil, kertas saring Whatman 42, plastik kedap udara, dan kertas label.
Platform karang kepulauan Spermonde adalah kandang keragaman hayati perairan Indonesia yang jarang tandingannya dan yang paling banyak diteliti dalam tigapuluh tahun terakhir. Setidaknya 262 spesies terumbu karang Moll, H (1983), 223 spesis rumput laut Verheij (1993), 58 spesis lamun Erftemeier (1994), dan 199 spesis spons de Voogd (1999) telah ditemukan dan dideterminasi dalam lingkup kepulauan ini. Di sisi lain pengaruh kota metropolitan Makassar berupa buangan limbah cukup besar diantaranya logam berat (lihat peta) Gambar 1. Peta Kawasan Terpadu Kota Makassar
Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel spons dilakukan pada tanggal 23 Maret 2011 di tiga lokasi yaitu Pulau Barranglompo, Pulau Barangcaddi dan Pulau Samalona. Kemudian sampel dipreparasi dan diukur di laboratorium Kimia Analitik FMIPA UNHAS.
Spons sebagai filter feeder sudah diketahui berperan penting sebagai alat monitor dan bahkan menyerap logam tersebut dalam sistem biologisnya (setidaknya dua sumber). Berikut ini dilaporkan hasil penelitian kontribusi berbagai jenis spons dalam menyerap Pb dan Fe di perairan kota Makassar.
Metode Pengambilan Sampel Sampel spons yang telah diambil dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi, yaitu spons (Clathria reinwardhi, Xestospongia sp. Clathria sp). Sampel air laut dan sedimen juga diambil di lokasi spons tersebut. Sampel spons dicuci bersih, kemudian dibagi menjadi dua bagian, satu untuk perlakuan pada rangka dan bagian lain untuk perlakuan bukanrangka.
METODOLOGI PENELITIAN Alat Penelitian Alat yang digunakan meliputi alat gelas yang umum digunakan di laboratorium, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Buck Scientific 205, lampu katoda berongga Pb dan Fe, neraca analitik Ohaus Mode No. AP 110, pemanas listrik Maspion, batang pengaduk, kotak es, cawan petri, lumpang porselin, oven SPN 150 SFD Model Spinsofd, konduktometer YSI Model 33, pH-meter Pinnacle Series, dan desikator.
Prosedur Analisis Analisis kadar air dan logam berat (Pb dan Fe) Kira-kira 10,000 gram masing-masing sampel ditimbang teliti di dalam cawan. Sampel dikeringkan dalam oven pada temperatur 105 oC selama 4 jam lalu didinginkan dalam desikator,
ϵ
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons
Volume 13 Nomor 1
Setelah dingin dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan hingga tanda batas dengan akuabides dan dikocok sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan filtratnya siap dianalisis dengan SSA. Analisis: blanko adalah pengukuran pereaksi yang digunakan tanpa larutan sampel , larutan sampel, larutan baku kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom untuk mendapatkan kurva kalibrasi dan konsentrasi Pb dan Fe dalam larutan contoh.
kemudian sampel kering ditimbang. Sampel kering ditimbang sampai bobot tetap. Selisih bobot menunjukkan kadar air. Penyiapan sampel Pb dan Fe dalam rangka, sampel dicuci air panas yang ditambahkan deterjen kemudian direndam dalam air laut selama kurang lebih 48 jam. Setelah itu sampel ditekan-tekan sampai jaringannya rusak dan dicuci dengan air. Selanjutnya sampel dicuci aseton, dikeringkan dan dihaluskan sampai menjadi serbuk. Untuk penentuan logam Pb dan Fe secara keseluruhan, contoh dicuci air panas yang ditambahkan deterjen lalu direndam dalam akuades. Setelah itu contoh dicuci aseton kemudian dikeringkan dan dihaluskan sampai menjadi serbuk, sedangkan penetapan kadar logam Pb dan Fe maupun larutan bakunya serta larutan sampel dilakukan menurut (Verdenal dkk, 1985) Setiap sampel ditimbang teliti sebanyak 1 gram lalu ditambahkan 10 mL asam nitrat p.a, dipanaskan dan kemudian didinginkan pada suhu kamar.
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Kondisi Perairan Kepulauan Spermonde Pantai perairan kepulauan Spermonde umumnya bersuhu nyaman, tingkat keasinan air yang tidak terlalu tinggi, serta keasaman relatif netral, disertai kuat arus yang terkendali. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan parameter fisikokimia perairan di tiga pulau lokasi sampling.
Tabel 1. Kondisi Perairan Tiga Pulau di Kepulauan Spermonde Pulau Barranglompo 28,6
Kondisi Suhu (oC)
Pulau Barangcaddi 28,2
Pulau Samalona 29
Salinitas (‰)
31
30
34
pH
7
7,6
6,8
0,05
0,09
0,13
Kecepatan Arus (m/s) Dari berbagai data perairan sebelumnya, kondisi di atas mewakili situasi rata-rata dan umumnya menjadi kondisi habitat spons, baik pertumbuhan maupun interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hooper (1997), suhu pertumbuhan optimal spons berkisar 26-31oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap kelarutan logam dalam lingkungan perairan, dimana peningkatan suhu dapat meningkatkan kelarutan logam dalam air sehingga hal ini bisa saja mempengaruhi akumulasi logam dalam organisme laut, terutama pada spons. Salinitas merupakan salah satu faktor kimia yang ikut mempengaruhi kehidupan biota di dalamnya. Pada umumnya karang seperti spons tumbuh dengan normal pada salinitas 28-35‰.
Selain suhu dan salinitas, pH juga dapat mempengaruhi kelarutan logam dalam air dimana peningkatan pH dapat menurunkan kelarutan logam dalam air. Spons tumbuh pada pH berkisar 6 – 8 (Kuntsen dalam Hamidah, 1980). Pengaruh kedalaman biasanya berhubungan dengan faktor lingkungan lainnya, seperti cahaya dan pergerakan air. Dimana kedalaman laut juga mempengaruhi spons untuk mengakumulasikan logam (Tuwanakotta, 2008). B.
Hasil Analisis Kadar Air Analisis kadar air yang diperoleh dalam sedimen dan spons yang diambil dari pulau Samalona, Barangcaddi dan Barranglompo direkam dalam tabel 2.
Tabel 2. Kadar Air dalam Sedimen dan Spons Kadar air (%) Lokasi
Sedimen 27,79
Clathria reinwardhi 73,19
Xestospongia sp. 52,10
Clathria sp. -
Barangcaddi
30,23
81,25
-
-
Barranglompo
29,25
79,20
43,68
88,62
Samalona
Keterangan : - = Tidak ada sampel
ϭϬ
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons
Volume 13 Nomor 1
Kadar air yang dikandung oleh spons Clathria sp. dan Clathria reinwardhi lebih tinggi daripada Xestospongia sp. Hal ini mungkin disebabkan bentuk fisik (tekstur) spons yang berbeda.
C.
Analisis kadar logam Pb dan Fe dalam salinitas, pH, air laut dan sedimen, Clathria reinwardhi, dapat dilihat pada tabel 3.
Xestospongia sp. dan Clathria sp. yang berada di Samalona, Barranglompo serta di Barangcaddi
Lokasi
Samalona Barangcaddi Barranglompo Keterangan : -
Tabel 3. Kadar Logam Pb dan Fe dalam Air Laut, Sedimen dan Spons Kadar Logam (ppm) Air Laut Sedimen Clathria reinwardhi Xestospongia sp. Pb Fe Pb Fe Pb Fe Pb Fe 0,21 0,52 55,31 904,09 10,99 259,87 9,92 301,69 0,12 0,34 55,25 857,88 10,99 147,32 0,16 0,46 53,14 538,98 8,85 238,40 8,86 139,39
Clathria sp. Pb Fe 15,94 232,79
: tidak ada sampel (Darmokoesoemo dan Handoko, 2008). Kadar logam Fe dalam sedimen (538,98 ppm – 904,09 ppm) lebih tinggi daripada dalam air laut (0,34 ppm – 0,52 ppm). Hal ini menunjukkan bahwa pada sedimen terjadi akumulasi logam Fe yang besar karena sedimen merupakan tempat mengendapnya logam-logam Fe yang berasal dari permukaan. Adapun hasil penentuan kadar logam Pb seperti terlihat pada tabel 3 menunjukkan bahwa spons-spons yang hidup di Samalona memiliki kadar logam Pb yang besar. Hal ini disebabkan oleh kadar logam Pb dalam air laut di Samalona (0,2066 ppm) lebih tinggi apabila dibandingkan dengan air laut di perairan Barranglompo dan Barangcaddi (0,1597 dan 0,1239 ppm). Kadar logam Pb dalam spons berkisar antara 8,8544 -15,9407 ppm dalam berat kering. Tingginya kadar logam Pb juga disebabkan oleh jaraknya yang dekat dengan kota Makassar yang padat dengan penduduk dan terdapat banyak industri. Selain itu Samalona dekat dengan pelabuhan Soekarno dan pelabuhan pertamina. Berdasarkan Connel dan Miller (1995) bahwa keberadaan logam di perairan laut dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain; dari kegiatan pertambangan, rumah tangga, limbah buangan dari industri, tumpahan minyak dan dari aliran pertanian. Kadar logam Pb dan Fe dalam air laut, sedimen dan spons dapat ditampilkan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada gambar 2.
Menurut Warsidah (2001) akumulasi logam dalam spons bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pertumbuhannya. Kadar logam dalam spons juga dipengaruhi oleh sedimen yang ada di sekitarnya. Sedangkan menurut Darmono ( 2001), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kadar logam dalam tubuh spons adalah air laut dan sedimen di mana spons itu hidup. Hal ini disebabkan karena dalam mencari makanan spons aktif menghisap dan menyaring air laut melalui pori-pori yang ada di permukaan tubuhnya. Di lain pihak, sedimen merupakan tempat terakhir terakumulasinya semua jenis logam yang tidak diserap oleh biota-biota di dalam perairan. Dari tabel 3, kadar Fe rata-rata dalam air laut, sedimen dan sampel spons lebih tinggi daripada kadar Pb. Hal ini disebabkan karena logam Fe termasuk logam esensial dimana pada proses pertumbuhannya spons memerlukan logam tersebut, karena logam-logam ini secara umum dapat membantu dalam proses fisiologis makhluk hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari makhluk yang bersangkutan. Logam Fe secara fisiologis dibutuhkan oleh spons untuk mengkatalisis reaksireaksi kimiawi yang memungkinkan diperolehnya metabolit lain (Lehninger, 1982). Selain itu, logam Fe pada spons juga berperan dalam transport oksigen, respirasi sel, dan terlibat dalam metabolisme enzimatik hidrogen (hidrogenase), peroksidase, katalase dan nitrogenase
ϭϭ
Hasil Analisis Logam Pb dan Fe dalam Air Laut, Sedimen dan Spons
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Sppons
Volum me 13 Nomor 1
<ŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝ;ƉƉŵͿ
ϭϬϬϬ ϴϬϬ ϲϬϬ ^ĂŵĂůŽŶĂ
ϰϬϬ
ĂƌĂŶŐĐĂĚĚŝ ϮϬϬ
ĂƌĂŶŐůŽŵƉŽ
Ϭ Wď
&Ğ
Wď
^ĞĚŝŵĞ
ŝƌ>ĂƵƚ
^ĂŵƉĞů
Gambar 2. Diagram Kad adar Logam Pb dan Fe dalam Air Laut, Sedimen dan Spon ons bergantung pada setiap spesies, ko konsentrasi logam dalam air, fase pertumbuhan dan ke kemampuan untuk pindah tempat (Darmon ono, 1995).
D.
Distribusi Logam Pb dan Fe dal alam Jaringan dan Rangka Spons Distribusi dan akumulasi logam m pada setiap organisme air sangat berbeda-beda,, hal tersebut
Tabel 4. K Kadar Logam Pb dan Fe dalam Jaringan Spons Kadar Logam Pb dan Fe (ppm) Lokasi Samalona Barangcaddi Barranglompo
Clathria reinwa wardhi Pb Fe 2,13 148,93 1 2,13 106,83 1 3,54 130,01 1
Xestospongia sp. Pb Fe 4,60 167,85 3,54 12,40
Clath thria sp. Pb Fe 7,10 51,83
<ŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝ;ƉƉŵͿ
Keterangan: - : tidak ada sampel
ϮϬϬ ϭϱϬ ϭϬϬ ĂŵĂůŽŶĂ
ϱϬ
ĂƌƌĂŶŐĐĂĚĚŝ
Ϭ Wď
&Ğ
ůĂƚŚƌŝĂƌĞŝŶǁĂƌĚŚŝ
ĂƌƌĂŶŐůŽŵƉŽ
^ĂŵƉĞů Gambar 3. Dis istribusi Logam Pb dan Fe dalam Jaringan Spons
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Sppons
Volum me 13 Nomor 1
Tabel 5. Kadar K Logam Pb dan Fe dalam Rangka Spons Lokasi
Clathria reinwardhi re
Kadar Logam Fe dan Pb (ppm) Xestospongia sp.
Clat lathria sp.
Pb
Fe
Pb
Fe
Pb
Fe
Samalona
8,86
110,94
5,32
133,84
-
-
Barangcaddi
8,86
40,49
-
-
-
-
Barranglompo
5,31
108,39
5,31
126,99
8,83
180,96
<ŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝ;ƉƉŵͿ
Keterangan: - : Tidak ada sampel
ϮϬϬ ϭϱϬ ϭϬϬ ĂŵĂůŽŶĂ
ϱϬ
ĂƌƌĂŶŐĐĂĚĚŝ
Ϭ Wď
&Ğ
ůĂƚŚƌŝĂƌĞŝŶǁĂƌĚŚŝ
ĂƌƌĂŶŐůŽŵƉŽ
^ĂŵƉĞů Gambar 4. Distribusi Di Logam Pb dan Fe dalam Rangka Spons Berdasarkan Tabel 4 dan 5, sebagian se besar hasil analisis logam Pb dalam tiga jenis nis spons yang diteliti yaitu Clathria reinwardhi, Xesto stospongia sp. dan Clathria sp. menunjukkan bahw wa logam Pb lebih banyak terakumulasi di dal alam rangka daripada di dalam jaringan. Menuru rut Amir dan Budiyanto (1996), beberapa kerangkaa spons s terdiri dari kalsium karbonat. Oleh karena itu, itu logam Pb lebih banyak terkandung dalam rangka ka di banding dalam jaringan spons itu sendiri. Kemu mungkinan hal ini disebabkan karena adanya pertukara aran ion antara Ca2+ (CaCO3) dengan Pb2+ sehingga ga membentuk PbCO3. Sedangkan logam Fe lebih leb banyak terakumulasi dalam jaringan dibandin ingkan dalam rangka. Dari enam sampel spons yan ang dianalisis, empat diantaranya yaitu Clathriaa reinwardhi
(Barranglompo, Barangcaddi dann Samalona) dan Xestopongia sp. (Samalona) meng nghasilkan logam Fe lebih banyak terakumulasi dalam d jaringan daripada dalam rangka. Hasill yang diperoleh sesuai dengan pendapat Verdenal al dan Darmono. Menurut Verdenal dkk. pada tahunn 1985, logam Fe dibutuhkan untuk penyusunan sera erat pada jaringan spons yang disebut lepidokros rosit, sedangkan menurut Darmono (1995) logam m Fe merupakan logam esensial yang sangat diperlu rlukan oleh setiap organisme termasuk didalamnnya organisme invertebrata untuk melangsungka kan metabolisme dalam jaringan pernapasan. Kedua ua hal inilah yang mungkin menyebabkan logam Fe lebih banyak terakumulasi dalam jaringan daripada d dalam rangka.
Tabel 6. Angka Bandi ding Kadar Logam Pb dalam Rangka dan Jaringan Spons Kadar Logam Pb (ppm) Spons
Chlatria reinwardhi re
Xetospongia sp.
Chlatria sp.
BL
BC
S
BL
S
BL
Rangka
5,31
8,8 8,86
8,86
5,31
5,32
8,84
Jaringan
3,54
2,1 2,13
2,13
3,54
4,60
7,10
AB
1,50
4,1 4,16
4,15
1,50
1,16
1,24
ϭϯ
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons
Volume 13 Nomor 1
ϰ͘ϱ ϰ͕ϭϱ
ϰ ϯ͘ϱ ϯ Ϯ͘ϱ Ϯ
ĂƌĂŶŐůŽŵƉŽ ^ĂŵĂůŽŶĂ
ϭ͘ϱ
ϭ͕ϱϬ
ϭ͕ϱϬ ϭ͕ϭϲ
ϭ
ĂƌĂŶŐĐĂĚĚŝ
ϭ͕Ϯϰ
Ϭ͘ϱ Ϭ Ϭ
Ϭ͘ϱ
ϭ
ϭ͘ϱ
Ϯ
Ϯ͘ϱ
ϯ
ϯ͘ϱ
Gambar 5. Grafik Angka Banding Kadar Logam Pb dalam Rangka dan Jaringan pada Spons Keterangan : 1. Clathria reinwardhi 2. Xestospongia sp. 3. Clathria sp.
Spons Jaringan Rangka AB
Tabel 7. Angka Banding Kadar Logam Fe dalam Jaringan dan Rangka Spons Kadar Logam Fe (ppm) Clathria reinwardhi Xestospongia sp. BL BC SL BL SL 130,01 106,83 148,93 12,4 167,85 108,39 40,49 110,94 126,99 133,84 1,19 2,64 1,34 0,09 1,25
Clathria sp. BL 51,83 180,96 0,29
ϯ
Ϯ͕ϲϰ
Ϯ͘ϱ Ϯ ϭ͘ϱ
> ^>
ZĂƐŝŽ :ͬZ ϭ
Ϭ͘ϱ
Ϭ͕Ϭϵ
Ϭ
ůĂƚŚƌŝĂ ƌĞŝŶǁĂƌĚŚŝ
yĞƐƚŽƐƉŽŶŐŝĂ ƐƉ͘
ůĂƚŚƌŝĂ ͘ ƐƉ͘
Gambar 3. Grafik Angka Banding Kadar Logam Fe dalam Jaringan dan Rangka pada Spons
"Volume. x, No. y"
"Tittle of Journal ..."
Pada gambar 5 dan 6 terlihat bahwa logam Pb dan Fe yang terakumulasi dalam rangka dan jaringan pada ketiga jenis spons yaitu Clathria reinwardhi, Xestospongia sp. dan Clathria sp berada pada kisaran konsentrasi 1,15 – 4,16 ppm dan 0,09 – 2,64 ppm. Berdasarkan data di atas, maka spons merupakan salah satu hewan yang dapat berperan dalam menanggulangi pencemaran serta dapat dijadikan sebagai bioindikator khususnya pencemaran yang disebabkan oleh logam-logam di perairan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa spons Clathria reinwardhi, Xestospongia sp. dan Clathria sp. mengandung logam Pb dan Fe. Logam Pb lebih banyak terakumulasi dalam rangka sedangkan Fe lebih banyak terakumulasi dalam jaringan. Kandungan Pb dan Fe dalam spons yang berasal dari Barranglompo untuk Clathria reinwardhi (8,85 dan 238,40 ppm); Clathria sp. (15,94 dan 232,79 ppm); Xestospongia sp. (8,86 dan 139,39 ppm). Samalona untuk Clathria reinwadhi (10,99 dan 259,87 ppm); Xestospongia sp. (9,92 dan 301,69 ppm) dan Barangcaddi untuk Clathria reinwardhi (10,99 dan 147,32 ppm).
DAFTAR PUSTAKA Amir, I., dan Budiyanto, A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum, Oseana, 21 (2), 15-31. Berquist, P. R., 1978, Sponss, Hutchinson, London. Connel, D.W., dan Miller, G.J., 1995, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Ui-Press, Jakarta. Darmokoesoemo dan Handoko, 2008, Studi Fisiko-Kimia Pembebasan Besi (III) Dalam Kompleks Besi (III) Azotobactine D Secara In Vitro, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya. Darmono, 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI-Press, Jakarta. Darmono, 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI-Press, Jakarta. De Voogd, J. Nicole, 2005, Indonesian Sponges, Biodiversity and Mariculture potential, University of Amsterdam, Netherlands. Harris, V. A., 1988, Sessile Animals of The Sea Shore, Chapman and Hall, London. Hooper, J. N. A., 1997, Guide to Spons Collection and Identification, Memoir of the Queensland Museum, Australia. Lehninger, A. L., 1982, Dasar-Dasar Biokimia, Erlangga, Jakarta. Moll, H., 1983, Zonation and Diversity of Scleractinia on Reffs off S.W Sulawesi, Indonesia. Offsetdrukkerij Kanters B.V., Alblasserdam Rochyatun, E., Edward, dan Rozak, A., 2003, Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Cr, Mn dan Fe dalam Air laut dan Sedimen Di Perairan Kalimantan Timur, Oseanologi dan Limnologi Indonesia, (35), 51-71. Tuwanakotta, N., 2008, Kadar Logam Berat Pb, Cd, dan Cr dalam Spons (symphyllia agaricia) di Perairan Teluk Ambon Bagian Luar. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ambon. Verdenal, dkk., 1985, New Perspective in Spons Biology, Smithsonian Institution Press, London. Verhejj, E., 1993, Marine Plants on the Reefs of the Spermonde Archipelago, S. W Sulawesi, Indonesia, Aspects of Taxonomy Flousties, and Ecology, Rijksherbarium/hortus Botanicus Leiden, Belanda. Warsidah, 2001, Distribusi Logam-Logam Esensial Mn, Cu, Zn, dan Ni dalam Spons di Perairan Spermonde, Tesis tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.
ϭϱ
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 16-20 Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1 ISSN 1411-2132
EKSTRAKSI ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET BUAH Rohani Bahar Jurusan Kimia, Universitas Hasanuddin, Makassar 90245 Email :
[email protected] ABSTRACT This research is aimed to determine the capacity of sodium alginate in fruit maturation. Extracted using sodium carbonate (4%, 6%, and 8%) from sargassum sp taken of Kayangan island, alginate was then purified by isopropanol. The results showed that the best quality was achieved at 6% with rendemen of 18.3%, 9.09% reduction by drying, ash content 47.33% with 1.395 of viscosity. Hasilnya menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6% mencapai mutu yang terbaik dengan rendamen 18,36%, kadar susut pengeringan 9,09%, kadar abu 47,33% dengan visikositas 1,395%. The examination was applied to orange maserated with sodium alginate (0-50 ppm). At 15 ppm suspension, orange can be kept 58.2 days in average at room temperature while control or without treatment average keeping time was only 32.8 days. This indicated that sodium alginate has a potential as fruit preserver. Key words : maturation, extract, Sargassum sp, keeping time hasil pertanian khususnya dalam mempertahankan kesegaran, keutuhan, serta kesehatan terhadap buah sangat menentukan nilai ekonomisnya. Diketahui bahwa, buah khususnya jeruk manis apabila dipanen sangat banyak mengalami perubahan-perubahan kimia, khususnya perubahan karena respirasi udara, perubahan kadar air, susunan molekul karbohidrat, perubahan asam dan perubahan pH yang pada akhirnya perubahan tersebut akan mengakibatkan buah dapat rusak dan akhirnya membusuk. Buah jeruk akan cepat mengalami kerusakan seperti perubahan warna karena enzim dan aktiviitas mikrobiologi, oleh kaarena itu diperlukan alternatif untuk mengawetkan dan memperpanjang daya simpan buah tersebut. Berdasarkan pada permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membuat ekstrak Na-alginat dari alga Sargassum yang dapat menghambat proses pematangan buah jeruk, menentukan masa simpan rata-rata buah jeruk dengan menggunakan suspensi ekstrak Naalginat dari alga Sargassum, menentukan konsentrasi suspensi ekstrak Na-alginat dengan daya hambat maksimum alga Sargassum terhadap proses pematangan buah jeruk, menentukan pengaruh konsentrasi Na2CO3 dalam proses ekstraksi rumput laut Sargassum sp. terhadap rendamen dan mutu asam alginat.
PENDAHULUAN Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang mempunyai potensi cukup baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Dari ratusan jenis rumput laut yang ada di Indonesia, terdapat 5 jenis yang bernilai ekonomis tinggi seperti Gracilaria, Gelidium, keduanya penghasil agar, Eucheuma, Hypea, sebagai penghasil carrageenan, dan Sargassum, sebagai penghasil alginat. Saat ini rumput laut tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Sargassum sp adalah salah satu jenis rumput laut yang bernilai ekonomis, tersebar luas di perairan Indonesia, tumbuh di perairan yang terlindung dan berombak besar pada habitat batu (Kadi dan Atmadja, 1988). Sargassum sp sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai sumber alginat yang banyak dibutuhkan dalam industr makanan maupun non pangan (Indriani dan Sumarsih, 1994). Dalam industri pangan alginat dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat kemasan edible atau lebih dikenal dalam bentuk edible film atau edible coating (Glicksman, 1983). Edible coating sendiri sudah berkembang sejak lama dan sudah digunakan sebagai pelapis buah jeruk dan lemon untuk meningkatkan masa simpannya (Krochta dkk., 1994), juga digunakan sebagai pelapis produk daging beku (Bauer, 1968), makanan semi basah (Torres, 1985), produk hasil laut, sosis dan obatobatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta dkk., 1994). Fungsi dari edible coating selain dapat melindungi produk pangan, juga penampakan asli produk dapat dipertahankan. Selain itu kemasan edible dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan (Kinzel, 1992). Teknologi pasca panen dalam dunia pertanian sangat menentukan kualitas produk pertanian. Penanganan
METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain alat gelas, timbangan digital, viskosimeter ostwald, piknometer, furnace 6000, oven, blender, cawan petri, cawan porselen, saringan vakum, pengaduk, desikator, dan alat-alat untuk analisa kimia.
16
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut
sŽůƵŵĞϭϯEŽŵŽƌϭ
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rumput laut jenis Sargassum sp yang diambil dari pulau Khayangan, larutan asam klorida (HCl) 30 %, natrium hidroksida (NaOH), kertas saring whatman, aluminium foil, natrium karbonat (Na2CO3), kalsium klorida (CaCl2), natrium hipoklorit (NaClO) 12 %, isopropanol, akuades, tissu, plastik dan buah jeruk manis.
Kada Susut pengeringan =
Kadar Abu (FAO,1978) Sebanyak 3 gram tepung natrium alginat ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot keringnya kemudian dipanaskan dalam tanur pada suhu 650 oC sampai bebas dari karbon. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang Kada Abu =
6.
Pengawetan dengan Natrium Alginat Lima buah jeruk dicelup dalam larutan natrium alginat konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm, 50 ppm. Pencelupan dilakukan selama 1 jam, hingga diperkirakan keseluruhan pori dari jeruk manis tertutup. Jeruk dikeluarkan satu per satu dari wadah dan seluruh permukaannya dikeringkan dengan tissu secara hati-hati. Buah yang telah kering dikemas dalam plastik tembus pandang yang sebelumnya telah dilubangi dan diberi label sesuai konsentrasi suspensi. Setiap buah dalam kemasan plastik disimpan secara teratur pada suhu ruangan, hingga 95 % warna kulit buah jeruk berubah dari warna hijau menjadi warna coklat. Lama penyimpanan dalam hari dicatat sebagai daya hambat ekstrak Sargassum sp. terhadap proses pengawetan buah.
3.
Rendamen Rendamen natrium alginat dapat dihitung berdasarkan berat kering rumput laut. 100%
Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Cawan dimasukkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Cawan dan sampel dimasukkan kembali ke dalam oven, dikeringkan lagi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus Kada Air (%) =
100%
Viskositas Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan dilarutkan dalam 250 mL aquades ke dalam gelas piala 400 mL yang telah diketahui bobotnya. Setelah natrium alginat larut sempurna ditambah aquades lagi sampai bobot total larutan 300 gram. Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Viskosimeter Ostwald. Viskositas larutan dihitung dengan satuan Centipoise (cP).
Identifikasi Natrium Alginat (FCC, 1981) Sebanyak 5 mL sampel pada sampel pada konsentrasi 1% ditambahkan 1 mL larutan CaCl2 dan ke dalam 10 mL sampel pada konsentrasi 1% ditambahkan 1mL H2SO4. Sampel terbukti natrium alginat bila menunjukkan adanya endapan gel yang terpisah.
5.
2.
100%
4.
Prosedur Kerja 1. Ekstraksi sampel Pada penelitian ini serbuk Sargassum sebanyak 100 gram direndam dalam larutan HCl 0,5% selama 30 menit kemudian direndam dalam NaOH 0,25% selama 30 menit, dicuci dan ditambahkan Na2CO3 1 % sebanyak 10 kali berat sampel rumput laut. Ekstraksi dilakukan pada suhu 70 oC selama 2 jam. Setelah itu disaring dan ditambahkan CaCl2 dengan variasi konsentrasi 3 %, 6 %, 9% dan HCl 4 % untuk mendapatkan Asam Alginat. Dicuci dan dilanjutkan dengan penambahan Na2CO3 dengan variasi konsentrasi 4 %, 6%, 8 % untuk mengendapkan natrium alginat. Natrium alginat murni diperoleh dengan penambahan isopropanol, pemanasan pada suhu 60oC dan penggilingan.
Rendamen =
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Ekstraksi Hasil maserasi serbuk Sargassum sp. diperoleh ekstrak berwarna coklat muda yang kemudian digunakan untuk menguji daya hambatnya terhadap proses pembusukan buah. 2.
100%
Pengaruh konsentrasi Na2CO3 terhadap rendamen dan bobot hilang Natrium Alginat
Tabel 1. Karakteristik Natrium Alginat Hasil Ekstraksi PERLAKUAN PARAMETER
STANDAR Na2CO3 4%
Rendamen (%) Kadar Susut Pengeringan (%) Kadar abu (%) Viskositas (Cps)
17,34 10,22 40,67 9,20
Na2CO3 6% 18,36 9,09 47,33 13,95
ϭϳ
Na2CO3 8% 19,96 12,80 50,67 10,29
> 18,00 < 15,00 < 27,00 8-16
Ekstraksi Alginat Dari Rumput ut Laut
sŽůƵŵĞϭϯEŽŵŽƌϭ mempun unyai masa simpan yang lebih lama diband ndingkan dengann produk yang mempunyai bobot susut penge geringan yang tin tinggi.
3.
Rendamen Rata-rata rendamen natriu rium alginat yang dihasilkan dari rumput laut ini berkis isar antara 17,34% sampai 20,24%. Nilai rata-rata tertingg ggi natrium alginat diperoleh dari perlakuan Na2CO3 8% ya yaitu sebesar 20,24%, diikuti perlakuan Na2CO3 6% yaitu u sebesar 18,36% dan yang terendah sebesar 17,34% padaa p perlakuan Na2CO3 4%.
5.
Kaadar Abu Natrium Alginat Has asil rata-rata kadar abu natrium alginat berkisar be antara 40,67% sampai 50,67%. Rata-rata kada dar abu tertingg ggi natrium alginat sebesar 50,67% diperoleh leh pada perlakua uan Na2CO3 8%, diikuti perlakuan Na2CO3 6% yaitu 47,33% % dan perlakuan Na2CO3 4% yaitu 40,67%. <ĂĚĂƌďƵ;йͿ
ϭϬϬ ϱϬ Ϭ ϰ
Gambar 1. Grafik Renda damen Natrium Alginat
ϲ
ϴ
<ŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝEĂϮKϯ;йͿ
Semakin tinggi konsentrasii Na2CO3 yang digunakan semakin tinggi pula rendamen natrium alginat yang ang dihasilkan, hal ini diduga disebabkan dengan semakin kin banyaknya Na+ akan mempercepat pertukaran den engan H+ dari asam alginat untuk membentuk natrium um alginat, dan bahkan menyebabkan adanya Na+ berle rlebih. Penggunaan NaOH pada tah ahap pra ekstraksi ditujukan untuk membuka permukaan n dinding sel rumput laut sehingga permukaannya lebi bih luas dan lebih mudah melepaskan alginat. NaOH juga j mendorong keluarnya alginat dari dinding sel rum umput laut dan alginat ikut bersama larutan yang dipisahka kan.
Gambar ar 3. Grafik Kadar Abu Natrium Alginat Gambar ar 3 diatas menunjukkan adanya peningkatan kad adar abu dengann bertambahnya konsentrasi Na2CO3 yang digu gunakan, hal inii ddisebabkan bahwa pada tahap pengendapan natrium n alginatt ddengan Na2CO3 diduga karena adanya kelebih ihan ion natrium m yang tidak bereaksi dengan algin untuk mem mbentuk natrium m alginat. Kadar ab abu natrium alginat yang ditetapkan FCC adalah ah sekitar 27% dan kadar abu natrium alginat komersil kira-kira iran23%, oleh kar arena itu semua natrium alginat yang dihasilka kan pada setiap pe perlakuan belum memenuhi standar FCC. Yani (19 (1988) menyatakan bahwa tingginya kadar abu u diduga karenaa te terbentuknya garam NaCl yang tidak terbilas pada pa saat pencucia cian endapan asam alginat. Food Chemicall Codex (1981)) m menyatakan bahwa kelebihan Na2CO3 saat net etralisasi asam al alginat akan meningkatkan kelebihan soda dan an kadar abu yan ang cukup tinggi. Hasil penelitian Budinartuti ti (1990) juga m menyatakan bahwa perubahan kadar abu bu juga dipengar garuhi oleh perubahan konsentrasi Na2CO3, makin kin tinggi konsentr ntrasi Na2CO3 makin tinggi residu garam yang terjadi. ter
4.
Bobot Susut Pengeringan an Rata-rata bobot susut p pengeringan pada natrium alginat berkisar antara 9,09% % sampai 12,80%. Rata-rata bobot susut pengeringan tertin tinggi natrium alginat sebesar 12,80% diperoleh pada perla rlakuan Na2CO3 8%, diikuti perlakuan Na2CO3 4% yaitu aitu 10,22% dan perlakuan Na2CO3 6% yaitu 9,09%. Ha Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi dengan Na2CO3 6% merupakan perlakuan yang paling optimum.
6.
Vis iskositas Vis iskositas natrium alginat hasil penelitian ini berkisar b antara 99,2 cP sampai 13,95 cP. Viskositas natrium alginat yang ter tertinggi diperoleh pada perlakuan Na2CO3 6% yaitu 13,95 cP cP, diikuti perlakuan Na2CO3 8% yaitu 10,29 9 cP dan perlakua uan Na2CO3 4% yaitu 9,2 cP. Nilai ini menun unjukkan bahwa ssemua ekstrak hasil penelitian mencapai standa dar yang berkisar ar 8 – 16 cP. sŝƐŬŽƐŝƚĂƐ;ĐWͿ
Gambar 2. Grafik Kadar Susut Su Pengeringan Natium Algin ginat Bobot susut pengerin ringan natrium alginat yang ditetapkan FCC adalah <15% d dan bobot susu pengeringan natrium alginat komersil kira--kira 12,5% sehingga dapat dikatakan bahwa semua natriu trium alginat yang dihasilkan pada setiap perlakuan masih me memenuhi standar FCC. Tingginya bobot susut penge geringan dapat berpengaruh terhadap daya simpan suat atu produk. Produk yang mempunyai bobot susut pen engeringan rendah biasanya
ϮϬ ϭϬ Ϭ ϰ
ϲ
ϴ
<ŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝEĂϮKϯ;йͿ
G Gambar 4. Grafik Viskositas Natrium Alginat at Gam ambar 4 menunjukkan bahwa pada ekstraksii dengan d Na2CO3 6% mencapai nilai viskositas yang optimum um. Hal ini dise isebabkan karena pada konsentrasi tersebutt alginat a 18
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut
sŽůƵŵĞϭϯEŽŵŽƌϭ
terekstrak dengan baik sehingga dihasilkan natrium alginat dengan bobot molekul tinggi, sedangkan dengan kelebihan Na2CO3 kemungkinan alginat terdegradasi sehingga banyak rantai polimer alginat yang terputus dan menghasilkan natrium alginat dengan bobot molekul rendah yang akan memberikan nilai viskositas yang rendah pula. Viskositas merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dari natrium alginat itu sendiri. Ekstraksi alginat menggunakan larutan Na2CO3 dengan konsentrasi rendah menyebabkan sebagian besar alginat berbobot molekul rendah terekstrak sehingga viskositas natrium alginat yang dihasilkan rendah. Peningkatan konsentrasi Na2CO3 sampai batas tertentu dapat meningkatkan viskositas natrium alginat karena banyak
alginat berbobot molekul tinggi terekstrak. Pemanasan dibutuhkan untuk mempermudah ekstraksi dan melarutkan alginat berbobot molekul tinggi, akan tetapi pemanasan yang terlalu lama akan mendegradasi polimer alginat. Demikian juga ekstraksi yang dilakukan pada suhu rendah menyebabkan ekstraksi berjalan lambat. Tetapi semakin tinggi suhu ekstraksi maka viskositas natrium alginat yang diperoleh semakin kecil, dan sebaliknya. Mutu alginat ditentukan oleh panjangnya rantai polimer mannuronat maupun guluronat atau selang seling kedua ikatannya. Semakin panjang rantainya, semakin besar berat molekulnya dan semakin besar nilai viskositasnya. 7.
Daya Hambat Natrium Alginat Terhadap Proses Pematangan dan Pembusukan Buah
Tabel 2. Masa Simpan Pematangan Jeruk Manis disuspensi dengan ekstrak natrium alginate Konsentrasi Suspensi (ppm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 No. Perlakuan Masa Simpan (Hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 8 18 20 40 25 18 16 17 17 16 2 16 19 38 45 36 29 22 28 26 22 3 27 37 40 47 38 45 32 29 29 27 4 28 45 48 50 41 46 35 42 41 35 5 30 47 49 55 47 47 43 46 45 38 rata-rata (hari) 21,8 33,2 39,0 47,4 37,4 37,0 29,6 32,4 31,6 27,6 Keterangan: Penetapan masa simpan setelah 95% permukaan kulit jeruk manis berubah dari hijau menjadi kuning. Tabel 3. Masa Simpan Pembusukan Jeruk Manis disuspensi dengan Ekstrak Natrium Alginat Konsentrasi Suspensi (ppm) 0 5 10 15 20 25 30 35 No. Perlakuan Masa Simpan (Hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 1 20 29 32 50 36 32 31 28 2 29 32 36 54 45 38 33 34 3 35 40 52 58 47 54 41 39 4 38 51 58 62 53 56 47 57 5 42 58 63 67 59 59 51 59 rata-rata (hari) 32,8 42,0 48,2 58,2 48,0 47,8 40,6 43,4
50 11 18 25 29 30 34 27,2
40
45
50
9 29 35 40 51 56 42,2
10 25 34 36 45 50 38,0
11 27 32 39 42 47 37,4
ϳϬ
Masa Simpan (Hari)
ϲϬ ϱϬ ϰϬ ϯϬ
WĞŵďƵƐƵŬĂŶƵĂŚ
ϮϬ
WĞŵĂƚĂŶŐĂŶƵĂŚ
ϭϬ Ϭ Ϭ
ϱ
ϭϬ
ϭϱ
ϮϬ
Ϯϱ
ϯϬ
ϯϱ
ϰϬ
ϰϱ
ϱϬ
Konsentrasi Na2CO3 (ppm)
Gambar 5. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Sargassum sp. dengan masa simpan buah jeruk manis
ϭϵ
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut
sŽůƵŵĞϭϯEŽŵŽƌϭ
Gambar 5 menunjukkan bahwa adanya peningkatan masa simpan buah jeruk manis dengan bertambahnya konsentrasi natrium alginat sampai pada konsentrasi 15 ppm, setelah itu mengalami penurunan masa simpan sampai pada konsentrasi 30 ppm, dan sedikit mengalami kenaikan pada konsentrasi 35 yang kemudian terus mengalami penurunan masa simpan sampai konsentrasi 50 ppm. Dengan demikian konsentrasi optimum ekstrak alginat dalam menghambat proses pematangan buah berdasarkan penelitian ini yaitu 15 ppm dengan masa simpan buah rata-rata 47,4 hari. Ekstrak alginat dapat digunakan untuk meningkatkan masa simpan buah karena kemampuan alginat untuk menutupi pori-pori buah sehingga respirasi udara dari dan ke dalam buah berjalan lambat. Berkurangnya respirasi udara akan mencegah
berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen. Selain itu sifat alginat yang mudah menyerap air dapat mengeluarkan air dan menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut di dalam jeruk manis. Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam jeruk, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia maupun enzimatis. KESIMPULAN Pada penelitian ini, dari alga coklat jenis Sargassum sp. berhasil diekstrak natrium alginat yang digunakan untuk menghambat proses pematangan dan pembusukan buah. Ekstrak natrium alginat pada konsentrasi 15% diperoleh sebagai konsentrasi optimum dalam pengawetan buah jeruk dengan rata-rata masa simpan selama 58,2 hari.
DAFTAR PUSTAKA Anggadiredja,J., 1992. Ekstraksi Sodium Alginat dengan metode CaCl2 dari Sargassum sp dan Turbinaria sp. Laporan Penelitian Bachtiar, E., 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Lat (Alga) sebagai Biotarget Industri, Universitas Padjajaran Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jatinangor Bauer, C. D., G.L. Neuser and H.A. Pinkalla, Oktober 15, 1968, US Patent : 3.406.081 Bosse,W.V.1928. Rhodophyceae: Gigartinales et Rhodomeniales. List des algues du Siboga. Siboga exed : 49 (4) : 1-141 Chapman, L.J. dan D.J. Chapman, 1980. Seaweed and Their Uses 3rd, Chapman and Hall, New York FCC, 1981. Food Chemical Codex, National Academy Press. Washington DC Gautam, M., et al. 2000. Indonesia the Chalenges of World Bank Involvement in Forest. Evaluation Country Case Study Series. The Worls Bank. Washington,D.C.64 pp Glicksman,M., 1983, Food Hydrocolloids. Volume II, CRS Presss,inc, Florida Indriani, H., dan E. Sumarsih, 1994. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut Nizamuddin, M., 1970. Phytogeography of the fucales and their seasonal growth. Bot. Mar. 13 : 131-139 Kadi, A. 2005. Kesesuaian Perairan Teluk Klabat Bangka untuk Usaha Budidaya Rumput Laut. Jour. Sci Fish Vol VII No 1. Univ. Gajah Mada Jogyakarta : 65-70 Kadi,A., dan W.S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae); Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya, dan Pasca Panen, Puslitbang Oseanografi-LIPI, Jakarta Kinzel, B., 1992. Protein Rich Edible Coating for Foods. Agricultural Research. May 1992 : 20-21 Krochta,J.M., Baldwin, E.A dan M.O. Nisperos-Carriedo, 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality, technomic Publi,Co., Inc USA
20
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 21-35 Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1 ISSN 1411-2132
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Dalam Bakteri Simbion Spons Haliclona fascigera Di Perairan Spermonde, Makassar The Existence of Trace Metals Co, Cr, and Ni in Bacterial Symbiont of Sponge Haliclona fascigera at in The Spermonde Waters, Makassar Henie Poerwandar Asmaningrum*, Alfian Noor, & Maming Gaffar Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar 90245 *Koresponden :
[email protected]
ABSTRACT This work is aimed to identify the existence of metals Co, Cr, and Ni in bacterial symbiont of sponge species Haliclona fascigera. Sampling has been conducted in Spermonde waters around three islands of Samalona (SM), Barrang Caddi (BC), and Barrang Lompo (BL). After microbiological treatment, metals in samples were determined using Inductively Coupled Plasma – Optical Emission Spectroscopy. The bacterial symbiont found is Enterobacter agglomerans and its metal concentration (ppm) respectively are Co ( 0.199 ), Cr (0.564), and Ni (0.464) in SM; Co ( 0.1975 ), Cr ( 0.4938) and Ni ( 0.5432 ) in BC; and finally Co ( 0.313), Cr ( 0.6254) and Ni ( 0.813) in BL. It is concluded, these metal concentrations were still much lower than its toxic levels.
Key words : Haliclona fascigera, bacterial symbionts, trace metals, ICP-OES
PENDAHULUAN Semakin berkembangnya penelitian tentang spons laut akhirnya membawa pengetahuan bahwa spons selama hidupnya selalu bersimbiosis dengan mikroorganisme termasuk bakteri. Pada tahun 1994, Faulkner menyatakan bahwa keberadaan mikroorganisme simbion inilah yang mendukung spons dalam mempertahankan hidupnya dan diperkirakan mengambil bagian dalam produksi metabolit sekunder. Selvin dkk (2009) meneliti kemampuan spons bersama bakteri simbionnya dalam mengakumulasi logam berat. Bakteri sendiri diketahui mampu berfungsi sebagai akumulator dan sering digunakan pada proses biosorpsi logam berat.
Ϯϭ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bakteri simbion atau yang bersimbiosis dengan spesies Haliclona fascigera dan menentukan konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni dalam bakteri tersebut. Telah banyak jenis spons ditemukan di Kepulauan Spermonde, sekitar 199 spesis, sementara wilayah perairan tersebut mengalami perkembangan pesat dan dikuatirkan berdampak pada ekosistem perairan sekitarnya. Diduga sekitar 2000 spesies spons terdapat di kepulauan tersebut (de Voogd, 2005 dalam Noor, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies bakteri simbion spons Haliclona fascigera adalah Enterobacter agglomerans. Konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada bakteri simbion spons Haliclona fascigera dari ketiga pulau menunjukkan pola yang mirip, dimana Co terukur pada konsentrasi terkecil dan Ni terukur pada konsentrasi terbesar. Konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada bakteri simbion spons Haliclona fascigera masih di bawah level toksik.
METODE PENELITIAN Lokasi dan sampling Gambar-1 dibawah ini menunjukkan lokasi pengambilan contoh yang terdiri dari perairan sekitar pulau Samalona (SM), Barang Caddi (BC) dan Barang Lompo (BL).
Gambar-1. Peta lokasi penelitian. Kondisi perairan juga dapat dilihat di bagian bawah.
ϮϮ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Spons laut diambil pada kedalaman ± 12 m. disertai perekaman gambar baik sebelum maupun sesudah sampling, lalu dimasukkan dalam plastik sampel yang telah diisi sedikit air laut. Selanjutnya ditempatkan di dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium kimia radiasi disimpan dalam pendingin sebelum perlakuan selanjutnya.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan antara lain pH meter, GPS, termometer, kotak pendingin, ICP-OES Optima 2000 DV merk Perkin Elmer, inkubator (heraeus), penangas listrik, oven, neraca analitik (heraeus), blender, neraca analitik, cawan petri, autoklaf, enkas, bunsen, spoit, sendok tanduk, batang pengaduk, penyaring mikro, dan alat gelas yang umum dipakai di laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan antara lain spons laut Haliclona fascigera, asam nitrat, pepton, ekstrak daging, agar, alumunium foil, kertas label, cling wrap, plastik sampel, kertas saring Whatman, alkohol 70%, air laut steril, akuades, dan akuabides.
Prosedur Kerja Dilakukan dua tahap pekerjaan yaitu (1) pengerjaan mikrobiologis dan (2) analisis logam. Dalam pengerjaan kimia mikrobiologi dilakukan hal-hal sebagai berikut : Preparasi Sampel dan Optimasi Mikroba Simbion Suspensi spons diencerkan sampai 7 seri, lalu dari 3 seri pengenceran terakhir masingmasing diambil 0,05 mL dan ditebar pada 10-15 mL medium NA dalam cawan petri. Cawan kemudian diinkubasi pada variasi suhu 27C, 37C, dan 47C, dengan variasi waktu 1 - 5 x 24 jam untuk mengetahui kondisi optimum pertumbuhan mikroba.
Ϯϯ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Untuk identifikasi bakteri simbion, suspensi spons yang telah diencerkan diisolasi pada media NA dan McConkey agar. Diamati juga karakteristik pertumbuhan pada media TSI agar dan SIM agar. Selain itu dilakukan juga uji sitrat, urea, dan karbohidrat.
Analisis kadar logam Co, Cr, dan Ni pada Bakteri Simbion Spons. Suspensi spons diencerkan sampai 7 seri, lalu dari 3 seri pengenceran terakhir masingmasing diambil 0,05 mL dan ditebar pada 10-15 mL medium NA dalam cawan petri. Cawan diinkubasi pada suhu optimum selama masa inkubasi optimum. Koloni bakteri yang diperoleh ditimbang lalu didestruksi dengan HNO3 60% kira-kira 6 mL pada gelas ukur, kemudian dipanaskan. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu takar 100 mL, diencerkan dengan akuabides hingga volume 100 mL. Sampel kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman yang steril dengan ukuran pori µm. Hasil yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam botol sampel lalu dianalisis menggunakan ICPOES untuk mengetahui konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel spons laut diambil di perairan Pulau Samalona, Pulau Barrang Caddi, dan Pulau Barrang Lompo. Bila diurutkan berdasarkan jarak pulau ke kota Makassar, maka Pulau Samalona jaraknya paling dekat dengan kota Makassar disusul Pulau Barrang Caddi lalu Pulau Barrang Lompo yang jaraknya paling jauh dari
kota
Makassar. Hasil pengukuran parameter fisik-kimia perairan ketiga pulau tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Ϯϰ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Tabel 1. Parameter Lingkungan Pada Lokasi SamplingSpons Laut Haliclona fascigera Lokasi Parameter (09.00 – 15.00 WITA) Suhu (ºC) pH
SM
BC
BL
31,1 6,66
30,5 6,55
31,4 6,61
Kecepatan arus (ms-1) Salinitas (‰)
0,21 30
0,05 30,5
0,43 30
Kondisi optimum pertumbuhan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera Jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera dari Pulau Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo ditunjukkan pada Gambar 1, 2, dan 3. Berdasarkan pola pertumbuhan pada Gambar 1, 2, dan 3 tampak bahwa suhu optimum pertumbuhan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau Samalona adalah 27°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah 2x24 jam, dari Pulau Barrang Caddi adalah 37°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah 2x24 jam, dan dari Pulau Barrang Lompo adalah 47°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah
:ƵŵůĂŚŬŽůŽŶŝ ďĂŬƚĞƌŝ;džϭϬϵͿ
4x24 jam. ϭϰ ϭϮ ϭϬ ϴ ϲ ϰ Ϯ Ϭ ϭ
Ϯ
ϯ
ϰ
ϱ
ƐƵŚƵϮϳΣ
ϭϭ͘ϴ
ϭϮ͘ϲ
ϭϮ͘Ϯ
ϳ͘ϲ
Ϯ͘ϰ
ƐƵŚƵϯϳΣ
ϱ͘Ϭϴ
Ϭ͘Ϯϴ
ϭϮ͘Ϯ
Ϭ͘ϭ
Ϭ͘Ϭϰ
ƐƵŚƵϰϳΣ
Ϭ͘Ϭϳ
Ϯ͘Ϯ
ϭ͘ϯϰ
Ϭ͘ϲϰ
Ϭ͘ϬϮ
Hari pengamatan
Gambar 1. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera Pulau Samalona pada tiga variasi suhu
Ϯϱ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
:ƵŵůĂŚŬŽůŽŶŝďĂŬƚĞƌŝ ;ϭϬϴͿ
ϯϬ Ϯϱ ϮϬ ϭϱ ϭϬ ϱ Ϭ Hari pengamatan
ϭ
Ϯ
ϯ
ϰ
ϱ
ƐƵŚƵϮϳΣ
Ϯϲ͘ϰ
ϲ͘ϴϰ
ϱ͘ϰϴ
ϯ͘Ϯ
Ϯ͘ϱϮ
ƐƵŚƵϯϳΣ
ϭϰ͘ϴ
ϭϳ
ϭϲ͘Ϯ
Ϭ͘ϴ
Ϭ͘ϳϰ
ƐƵŚƵϰϳΣ
ϰ͘Ϯϯ
Ϯ͘ϰϰ
ϭ͘ϴϯ
ϭ͘ϴϰ
ϭ͘ϭϭ
:ƵŵůĂŚŬŽůŽŶŝ ďĂŬƚĞƌŝ;ϭϬϴͿ
Gambar 2. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera Pulau Barrang Caddi pada tiga variasi suhu
ϰ ϯ͘ϱ ϯ Ϯ͘ϱ Ϯ ϭ͘ϱ ϭ Ϭ͘ϱ Ϭ ϭ
Ϯ
ϯ
ϰ
ϱ
ƐƵŚƵϮϳΣ
Ϯ͘ϯϰ
Ϯ͘ϲϴ
ϭ͘ϯϰ
ϭ͘ϭϲ
ϭ͘ϭϮ
ƐƵŚƵϯϳΣ
Ϯ͘Ϯϳ
Ϯ͘ϲϵ
ϯ͘ϭ
ϭ͘ϱϭ
ϭ͘ϭϴ
ƐƵŚƵϰϳΣ
ϭ͘Ϯϴ
Ϭ͘ϳϰ
ϭ͘Ϯϲ
ϯ͘ϲ
Ϭ͘ϯ
Hari pengamatan
Gambar 3. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera Pulau Barrang Lompo pada tiga variasi suhu Identifikasi bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera Hasil uji biokimia terhadap bakteri yang ditumbuhkan dari spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tabel 2. Hasil uji biokimia Uji Biokimia TSIA H2S Gas SIM Indol
Hasil Acid/acid -
Ϯϲ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan an Ni
Volume 113 Nomor 1
H2S Motility Methyl Red (MR) Voges-Proskauer (VP) Glukosa Laktosa Maltosa Sukrosa Sitrat Urea
+ + + + + -
Gambar 4. Hasil uji biokimiia (Keterangan gam ambar kiri urutan uji biokimia dari kiri ke kan anan : urea, sitrat, VP, MR,, SIM, TSIA; gambar kanan urutan uji karb rbohidrat : glukosa, laktosa, a, sukrosa, maltosa dimana warna merah seb ebelum dan warna kuning sesudah ses ditumbuhkan sampel)
Konsentrasi logam runut C Co, Cr, dan Ni dari bakteri Enterobacter agglomerans agg yang berasosiasi dengan spo pons laut Haliclona fascigera Setelah dianalisis men enggunakan ICP – OES diperoleh nilai konsent ntrasi logam
Konsentrasi logam runut (ppm)
runut Co, Cr, dan Ni seperti yang ya dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Ž ƌ Eŝ
ŶŐĂĚĚŝ ĂƌƌĂŶŐ>ŽŵƉŽ
Ϯϳ
Pulau
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan an Ni
Volume 113 Nomor 1
Gambar 5. Grafik konsen sentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dar ari bakteri Enterobacter aggl gglomerans yang berasosiasi dengan spons laut ut Haliclona fascigera ditinjau au dari posisi pulau
Konsentrasi logam runut (ppm)
W͘^ĂŵĂůŽŶĂ
W͘ĂƌƌĂŶŐĂĚĚŝ W͘ĂƌƌĂŶŐ>ŽŵƉŽ
ƌ
Eŝ
Jenis logam log runut
Gambar 6. Grafik konsen sentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dar ari bakteri Enterobacter aggl gglomerans yang berasosiasi dengan spons laut ut Haliclona fascigera ditinjau au dari jenis logam Kondisi optimum pertumbu uhan bakteri simbion spons laut Haliclona fasc ascigera Gambar 1 menunjukka kan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuh uhan bakteri simbion spons laut Haliclona na fascigera yang diperoleh dari Pulau Samalo alona cukup bagus. Populasi bertambah secara s teratur dan mengikuti tahap-tahap pe pertumbuhan bakteri secara umum yang meliputi m tahap penyesuaian, pertumbuhan dan ppenurunan. Namun pada suhu 37°C di hari ha ke-2 sempat terjadi penurunan jumlah kolo loni bakteri. Hal ini kemungkinan disebabk bkan karena bakteri masih pada tahap penyesuaia aian. Bakteri membutuhkan waktu sekitarr 2 – 3 hari untuk beradaptasi dengan lingkunga gannya yang baru sebelum dapat mengguna nakan nutrisi yang ada di sekitarnya secara optima mal. Gambar 2 menunjukka kkan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuh uhan bakteri simbion spons laut Haliclona a fascigera f yang diperoleh dari Pulau Barrang Ca Caddi cukup bagus. Pada suhu 37°C, popu pulasi bertambah secara teratur dan mengikutii ta tahap-tahap
Ϯϴ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
pertumbuhan bakteri secara umum yang meliputi tahap penyesuaian, pertumbuhan dan penurunan. Namun tidak demikian pada suhu 27°C dan 47°C. Dari grafik terlihat bahwa telah terjadi penurunan jumlah koloni bakteri sejak hari ke-2 sampai pada hari ke-5. Dalam penelitian ini, kemungkinan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau Barrang Caddi tidak mampu hidup pada suhu 27°C dan 47°C. Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor-faktor lingkungan yang tidak cocok , seperti suhu, pH, keadaan medium, dan radiasi. Gambar 3 menunjukkan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuhan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau Barrang Lompo cukup bagus. Populasi bertambah secara teratur dan mengikuti tahap-tahap pertumbuhan bakteri secara umum yang meliputi tahap penyesuaian, pertumbuhan dan penurunan. Sedangkan pada suhu 47°C, di hari ke-2 juga terjadi penurunan jumlah koloni bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pola pertumbuhan bakteri dari Pulau Samalona, yaitu bakteri masih pada tahap penyesuaian. Setelah dibandingkan dengan tabel identifikasi bakteri yang memuat ciri-ciri spesies bakteri, diketahui bahwa bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang ditumbuhkan adalah Enterobacter agglomerans. Pesciaroli et al, (2012) menemukan bahwa bakteri Enterobacter agglomerans mampu hidup di laut pada kisaran suhu 5 40°C, dengan suhu optimumnya adalah 25°C. Sedangkan Son et al (2006) dan Gavini et al (1989) dalam Pesciaroli et al (2012) menemukan bahwa bakteri Enterobacter agglomerans mampu hidup di laut pada kisaran suhu 5 - 45°C, dengan suhu optimumnya adalah 30°C. Penelitian ini menumbuhkan bakteri pada tiga variasi suhu,
Ϯϵ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
yaitu 27°C, 37°C, dan 47°C. Literatur-literatur di atas mendukung bahwa bakteri yang diidentifikasi, yaitu Enterobacter agglomerans, berada pada jangkauan suhu hidupnya. Hasil identifikasi juga menunjukkan bakteri Enterobacter agglomerans ini merupakan koloni bakteri dominan pada
spons laut Haliclona fascigera. Hal ini
memang mungkin terjadi, seperti dikemukakan oleh
Hentschel et al, 2006 dalam
Sipkema et al (2009) bahwa spons yang ditempati oleh mikroorganisme spesifik biasanya adalah spons yang densitas mikrobialnya tinggi. Sedangkan spons yang densitas mikrobialnya rendah kurang memiliki mikroorganisme spesifik. Spesifitas yang tinggi menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi didasarkan pada pertukaran metabolit. Proses metabolik bakteri simbion spons, meski belum jelas apakah sebagai bagian dari hubungan komensal ataukah mutualistik, antara lain reduksi sulfat, oksidasi metan, dan kemungkinan oksidasi ammonia (Sipkema et al, 2009). Pada penelitian lain, bakteri Enterobacter agglomerans juga telah diisolasi dari spons laut Jaspis sp dan diketahui memiliki aktivitas sebagai penghasil inhibitor protease (Mahdiyah, 2010).
Konsentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dari bakteri Enterobacter agglomerans yang berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera Gambar 5 menunjukkan bahwa bakteri Enterobacter agglomerans yang berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera dari Pulau Barrang Lompo memiliki konsentrasi logam runut paling tinggi yaitu Co sebesar 0, 3127 ppm, Cr sebesar 0,6254 ppm, dan Ni sebesar 0,8131 ppm. Hal ini didukung dengan kondisi pulau yang meskipun jaraknya paling jauh dari kota Makassar, tetapi memiliki kecepatan arus paling tinggi daripada Pulau Samalona dan Barrang Caddi. Pulau Barrang Lompo berada pada daerah ombak pecah. Arus diketahui berperan penting dalam proses
ϯϬ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
sirkulasi dalam perairan dan berpengaruh terhadap jumlah nutrien yang dibawanya. Selain itu diperkirakan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk, aktivitas ekonomi, dan pembangunan infrastruktur di pulau ini turut menyumbang tingginya serapan logam pada bakteri tersebut. Gambar 5 juga menunjukkan pada Pulau Samalona konsentrasi logam runut Cr lebih tinggi daripada konsentrasi logam runut Co dan Ni pada bakteri Enterobacter agglomerans yang berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera. Hal ini kemungkinan disebabkan karena letak Pulau Samalona yang paling dekat dengan Kota Makassar, dimana diketahui bahwa di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar terdapat pabrik semen yang merupakan penyumbang utama Cr ke lingkungan. Selain dari pabrik semen, Cr juga dapat berasal dari cat kapal-kapal transportasi yang menghubungkan Pulau Samalona dengan pulau-pulau lainnya. Logam Cr merupakan logam runut esensial. Penyerapan logam ini pada bakteri dipengaruhi oleh pH dan suhu. pH medium mempengaruhi kelarutan logam dan tingkat ionisasi gugus fungsi logam seperti gugus karboksilat, fosfat dan amino sebagai pembawa muatan negatif. Di laut Cr(VI) berada dalam bentuk oksianion (CrO42- atau Cr2O72-), oleh sebab itu tidak efektif berikatan dengan gugus fungsi yang bermuatan negatif. Demikian juga sebaliknya, saat pH menurun, seluruh permukaan sel menjadi positif, permukaan sel dikelilingi ion hidronium, yang kemudian meningkatkan interaksi Cr(VI) pada sisi aktif biopolimer sehingga mampu diserap oleh sel bakteri tersebut. Lebih lanjut, kenaikan suhu menyebabkan kenaikan serapan logam runut Cr(VI) kemungkinan hal itu meningkatkan afinitas logam atau sisi aktif bakteri (Sultan et al, 2012). Jika ditinjau dari jenis logam runut, seperti yang dilihat pada gambar 6, maka diperoleh konsentrasi logam Co pada bakteri Enterobacter agglomerans yang
ϯϭ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera terukur paling kecil pada ketiga pulau, yaitu Pulau Samalona sebesar 0,1989 ppm, Pulau Barrang Caddi sebesar 0,1975 ppm, dan Pulau Barrang Lompo sebesar 0, 3127 ppm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kecilnya konsentrasi Co yang tersedia di air laut. Martin et al (1989) dan Johnson et al (1988) dalam Moffet and Ho (1996) menyatakan bahwa semakin dalam laut, semakin kecil konsentrasi Co. Selain itu, Co dalam spesiasi organiknya (Co(II)) sangat labil, mudah teroksidasi menjadi Co(III). Ni terukur paling tinggi, yaitu Pulau Samalona sebesar 0,4642 ppm, Pulau Barrang Caddi sebesar 0,5432 ppm, dan Pulau Barrang Lompo sebesar 0,8131 ppm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya enzim yang mengikat Ni sebagai kofaktor dalam metabolismenya. Samapai saat ini telah diketahui ada sembilan enzim yang mengandung nikel antara lain urease, NiFe hidrogenase, karbon monoksida dehidrogenase, asetil-CoA dekarbonilase/sintase, metil koenzim M reduktase, superoksida dismutase tertentu, beberapa glioksilase, acireducton dioksigenase, dan metilendiurease (Mulrooney and Hausinger, 2003). Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri simbion mampu mengakumulasi logam runut, seperti hal nya spons inangnya. Hal ini karena bakteri memiliki hubungan dalam rantai makanan yang erat pada spons laut terutama dalam lingkungan air tinggi kandungan organiknya (Reiswig, 1974; 2006). Kefalas et al (2003) menyatakan bahwa bakteri yang berasosiasi dengan spons dapat digunakan sebagai indikator kontaminasi ekosistem laut.
KESIMPULAN Spesies bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang teridentifikasi di Pulau Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo adalah Enterobacter
ϯϮ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
agglomerans. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0,1989 ppm, Cr sebesar 0,5637 ppm, dan Ni sebesar 0,4642 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera di Pulau Samalona. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0,1975 ppm, Cr sebesar 0,4938 ppm, dan Ni sebesar 0,5432 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera di Pulau Barrang Caddi. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0, 3127 ppm, Cr sebesar 0,6254 ppm, dan Ni sebesar 0,8131 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera di Pulau Barrang Lompo. Bakteri Enterobacter agglomerans sebagai simbion spons laut Haliclona fascigera mampu berfungsi sebagai bioindikator logam runut Co, Cr, dan Ni.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada pihak-pihak yang berpartisipasi selama penelitian, memberi kontribusi pada penerbitan artikel dan pada pihak Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, yang telah memberikan beasiswa untuk kelancaran penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Faulkner, D. J., Unson, M. D., and Bewley, C. A. 1994. The Chemistry of Some Sponges and Their Symbionts. Pure & Appl. Chem. 66 : 1983-1990. Kefalas, E., Castritsi-Catharios, J., Miliou, H. 2003. Bacteria Associated With The Sponge. Ecol Indicators. 2 : 339–43.
ϯϯ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Mahdiyah, D. 2010. Penapisan dan Identifikasi Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons Jaspis sp. Penghasil Inhibitor Protease. (Online). (http://repository.ipb.ac.id/, diakses pada 7 Mei 2012). Moffett, J. W., Ho, J. 1996. Oxidation of Cobalt and Manganese in Seawater Via A Common Microbially Catalyzed Pathway. Geochimica et Cosmochimica Acta. 18 : 3415-3424. Mulrooney, S. B., Hausinger, R. P. 2003. Nickel Uptake and Utilization by Microorganisms. FEMS Microbiology Reviews. Noor, A. 2007. Riset Kelautan Berorientasi Terapan: Keperluan Mendesak Bagi Kawasan Timur Indonesia. Makalah disajikan dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah untuk Kawasan Timur Indonesia. Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS. Makassar. Pesciaroli, C., Cupini, F., Selbmann, L., Barghini, P., Fenice, M. 2012. Temperature Preference of Bacteria Isolated from Seawater Collected in Kandalaksha Bay, White Sea, Rusia. Polar Biol. 35 : 435 – 445. Reiswig, H. M. 1974. Bacteria as Food for Temperate Water Sponges. Can J Zool. 53 : 582–9. Reiswig, H. M. 2006. Particle Feeding in Natural Populations of Three Marine Demosponges. Biol Bull. 141: 568–91. Selvin, J., Priya, S. S., Kiran, G. S., Thangavelu, T., Bai, N. S. 2009. Sponge-associated Marine Bacteria as Indicators of Heavy Metal Pollution. Mic Res. 164 : 352-363. Sipkema, D., Holmes, B., Nichols, S. A., Blanch, H. W. 2009. Biological Characterisation of Haliclona (?gellius) sp. : Sponge and Associated Microorganisms. Microb Ecol. 58 : 903 – 920.
ϯϰ
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni
Volume 13 Nomor 1
Sultan, S., Mubashar, K., Faisal, M. 2012. Uptake of Toxic Cr (VI) by Biomass of Exopolysaccharides Producing Bacterial Strains. Afr Jour of Micr Res. 13 : 3329-3336.
ϯϱ
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 36-45 Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1 ISSN 1411-2132
PEMANFAATAN KARANG SEBAGAI BIOSORBEN ION LOGAM Ni(II) Rizki Amaliah, Nursiah La Nafie dan Sitti Fauziah Jurusan Kimia, Fakuktas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin Kampus UNHAS Tamalanrea, Makassar 90245
ABSTRACT Nickel is one of the environmental inorganic pollutant and its removal is of major concern because of its larger usages in industrial process. Biosorption has emerged as an alternative solution for heavy metal pollution, using biomaterial called biosorbent. Biosorption of Ni(II) ion using coral with variation of contact time, pH and concentration has been investigated. The concentration of Ni(II) ion before and after adsorption were determined by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). The result showed that coral was able to adsorb Ni(II) ion and the optimum biosorption occured at contact time 90 minutes and at pH 6. Langmuir and Freundlich isothermal model were used to study the adsorption isotherm. Biosorption of Ni(II) ion by coral was more appropriate to Langmuir isothermal model with a value of adsorption capacity (Qo) 3,1928 mg/g. Keywords: biosorption, Langmuir isothermal, coral, Ni(II), AAS.
PENDAHULUAN Perkembangan dunia industri dapat memberi dampak positif dan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Dampak negatif yang banyak dirasakan dari perkembangan dunia industri adalah dihasilkannnya bahan-bahan pencemar yang dapat mengganggu lingkungan. Bahan pencemar yang sering mendapat perhatian adalah ion-ion logam berat, hal ini disebabkan karena ion-ion ini bersifat toksik meskipun pada konsentrasi yang rendah dan umumnya sebagai polutan utama bagi lingkungan (Suardana, 2008). Logam berat adalah logam-logam dan metaloid yang memiliki massa atom antara 63,5 dan 200,6 g/mol serta memiliki densitas lebih dari 4,5 g/cm3 (Shah, 2008). Logam berat pencemar lingkungan terdiri atas beberapa unsur yang dikategorikan atas pencemar prioritas tinggi, sedang dan rendah yang umumnya terlarut dalam air dalam berbagai senyawa. Logam berat tidak dapat dihancurkan oleh mikroorganisme dan dapat terakumulasi dalam tubuh manusia serta mengakibatkan kerusakan organ-organ tubuh (Sembodo, 2006). Logam berat menyebabkan ϯϲ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
pencemaran yang serius karena toksisitasnya dan tidak dapat terdegradasi dalam lingkungan (Pekey, 2006). Nikel, khususnya Ni(II) dikenal sebagai pencemar anorganik dan usaha untuk menghilangkannya dari lingkungan harus menjadi perhatian utama karena senyawa nikel bersifat karsinogenik dan juga dapat menyebabkan asma (Hanif, dkk., 2006). Nikel berada di lingkugan karena berbagai proses seperti elektroplating, industri penyamakan kulit, pengawetan kayu, industri pulp, industri pembuatan baja, dan sebagainya (Congeevaram, dkk., 2007). Lembaga perlindungan lingkungan, Environmental Protection Agency (EPA), USA telah menetapkan ambang batas pembuangan nikel pada air limbah adalah 2 – 3 mg/L (Aslam, dkk., 2010), sedangkan ambang batas nikel dalam air minum adalah di bawah 0,04 mg/L (Rodríguez, dkk., 2006). Beberapa metode dapat digunakan untuk menghilangkan ion logam berat dari air limbah, salah satunya adalah biosorpsi. Metode ini didasarkan pada daya serap (adsorpsi) suatu biosorben terhadap logam yang akan dihilangkan dari larutannya. Biosorpsi merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi pencemaran logam berat. Menurut Volesky (1999), biosorpsi memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan teknik konvensional, diantaranya: murah, dapat diperbaharui, tidak ada produk endapan dan air beracun yang dihasilkan sebagai hasil sampingan, serta recovery logam sangat mungkin dilakukan karena logam dapat dengan segera dipisahkan dari biomassa dan diperoleh kembali. Pencemaran tidak sepenuhnya dapat dihindari, tetapi dapat diminimalisasi. Seiring dengan perkembangan penduduk, dibutuhkan suatu metode dan teknologi untuk membersihkan dan mengurangi kerusakan lingkungan (Viera dan Volesky, 2000). Biosorpsi dapat menjadi solusi untuk membersihkan lingkungan yang terkontaminasi logam berat. Karang merupakan limbah di sekitar perairan dengan komponen utamanya kalsium karbonat, sangat mungkin dimanfaatkan sebagai bahan biosorben, utamanya sebagai biosorben logam-logam berat sebagai upaya mengurangi pencemaran ion logam khususnya di daerah perairan. Hal ini telah dibuktikan oleh Suzuki dan Takeuchi (1994) bahwa karang dapat digunakan untuk menjerap ion logam berat bervalensi dua, Pb2+ dan Cu2+ dengan kapasitas adsorpsi masing-masing sebesar 1,3 mol/kg dan 0,9 mol/kg pada suhu 403 K.
ϯϳ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan karang dalam menjerap ion Ni(II) serta mengetahui kondisi optimum adsorpsi ion Ni(II) oleh karang. METODE PENELITIAN Bahan-bahan dan alat penelitian Bahan-bahan yang digunakan adalah karang mati yang diperoleh dari pesisir di kelurahan BoneBone kota Bau-bau Sulawesi Tenggara, Ni(NO3)2.6H2O, HNO3, NaOH, akuades, akuabides, kertas saring Whatman 41, aluminium foil, kertas pH universal, kertas label dan kertas saring biasa. Alat-alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas yang umum digunakan, oven model SPNISOSFD, magnetic stirrer, neraca digital Ohaus model NO AP210, ayakan (80 mesh dan 100 mesh), spektrofotometer serapan atom (SSA) Buck Scientific Model 205 VGP, dan desikator. CARA KERJA Penyiapan Biosorben Karang Karang yang telah diambil segera dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan partikel-partikel lain. Pencucian dilanjutkan dengan menggunakan akuades. Karang selanjutnya ditiriskan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 130 0C selama 24 jam lalu disimpan dalam desikator. Karang selanjutnya dihaluskan dan partikel diambil dengan ukuran lolos saringan 80 mesh tetapi tidak lolos saringan 100 mesh.
Penentuan Waktu Optimum Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang Larutan Ni(II) dengan konsentrasi 50 mg/L pada pH 5 disiapkan. Karang sebanyak 2 gram ditambahkan ke dalam 100 mL larutan Ni(II). Campuran dikocok dengan stirrer magnet selama 5 menit dan disaring menggunakan kertas saring Whatman 41. Absorbansi filtrat diukur dengan SSA pada panjang gelombang maksimum. Percobaan kemudian diulangi dengan variasi waktu pengocokan (10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 menit). Setiap percobaan dilakukan 2 kali
ϯϴ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang. Konsentrasi yang diserap untuk tiap waktu dihitung dengan cara: Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal - konsentrasi akhir Cadsorpsi = Cawal – Cakhir Banyaknya ion-ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram biosorben (karang) ditentukan dengan persamaan:
.
dimana qe = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g) Co = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi V = volume larutan ion logam (L) W = jumlah adsorben, karang (g) Waktu optimum adalah waktu dimana konsentrasi teradsorpai (Cadsorpsi) terbesar
Penentuan pH Optimum Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang Karang sebanyak 2 gram ditambahkan ke dalam 100 mL larutan ion logam Ni(II) dengan konsentrasi 50 mg/L dan pH 2. Campuran dikocok selama waktu optimum kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 41. Absorbansi filtrate diukur dengan SSA. Percobaan di atas diulang pada pH yang berbeda masing-masing 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Setiap percobaan dilakukan 2 kali pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang. pH optimum adalah pH dimana konsentrasi teradsorpsi (Cadsorpsi) terbesar. Penentuan Kapasitas Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang Larutan ion logam Ni(II) dengan konsentrasi masing-masing 50, 100, 150, 200 dan 250 mg/L disiapkan. Karang sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam tiap-tiap 100 mL larutan tersebut. Campuran dikocok selama waktu dan pH optimum kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 41. Absorbansi tiap-tiap filtrat diukur dengan SSA. Setiap percobaan dilakukan 2 kali pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang. Kapasitas biosorpsi dihitung dengan menggunakan persamaan Freudlich [log qe = log k + 1/n (log Ce)] atau persamaan Langmuir (Ce/qe = 1/Qob + Ce/Qo) dengan mengalurkan log qe terhadap ϯϵ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
log Ce untuk persamaan Freudlich atau Ce/qe terhadap Ce untuk persamaan Langmuir. Berdasarkan intercept persamaan Freudlich diperoleh nilai k (kapasitas adsorpsi) dan dari slope persamaan Langmuir dapat diperoleh nilai Qo yang berhubungan dengan kapasitas adsorpsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Waktu Terhadap Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang Waktu kontak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses biosorpsi. Jumlah ion logam yang teradsorpsi akan mencapai batas maksimum pada waktu tertentu, yang dinamakan waktu optimum. Waktu kontak optimum biosorpsi ion logam Ni(II) ditentukan dengan menghitung jumlah ion yang diadsorpsi (qe) sebagai fungsi waktu (t) yang ditunjukan pada table 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang pada variasi waktu pengadukan. Waktu (menit) 5 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Co (mg/L) 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586 43.4586
Ce (mg/L) 27.2368 20.6015 17.7819 17.2744 14.0789 12.5940 12.0113 9.3797 8.7594 5.3759 6.4477
ϰϬ
Qe (mg/g) 0.8108 1.1425 1.2835 1.3087 1.4688 1.5429 1.5721 1.7039 1.7340 1.9032 1.8499
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
:ƵŵůĂŚŝŽŶEŝ;//ͿLJĂŶŐĚŝĂĚƐŽƌƉƐŝ ;ƋĞ͕ŵŐͬŐͿ
Ϯ ϭ͘ϴ ϭ͘ϲ ϭ͘ϰ ϭ͘Ϯ ϭ Ϭ͘ϴ Ϭ͘ϲ Ϭ͘ϰ Ϭ͘Ϯ Ϭ Ϭ
ϮϬ
ϰϬ
ϲϬ
ϴϬ
ϭϬϬ
ϭϮϬ
ǁĂŬƚƵ;ŵĞŶŝƚͿ
Gambar 1. Hubungan antara waktu kontak (menit) dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi (mg/g) oleh karang Table 1 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa waktu optimum biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang adalah 90 menit dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi adalah 1,9032 mg/g. Jumlah ion logam Ni(II) yang teradsorpsi cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pengadukan hingga mencapai optimum pada waktu pengadukan 90 menit, namun setelah mencapai waktu optimum, jumlah ion logam Ni(II) yang teradsorpsi cenderung menurun. Kondisi ini sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu kontak antara adsorben dengan zat terlarut maka akan semakin banyak zat terlarut yang teradsorpsi. Akan tetapi, jumlah zat terlarut yang teradsorpsi akan mencapai batas optimum pada waktu tertentu, dimana adsorben (karang) tidak dapat lagi mengadsorpsi karena ion logam Ni(II) sudah mengisi penuh sisi aktip permukaan adsorben.
Waktu optimum biosorpsi ion logam Ni(II) pada beberapa penelitian lain menunjukan hasil yang berbeda-beda, tergantung pada jenis biosorben yang digunakan. Ada yang menunjukan hasil yang sama seperti penelitian yang dilakukan El-Sayed, dkk., (2010) tentang biosorpsi ion Ni(II) dan Cu(II) dari larutannya dengan jerami padi, diperoleh waktu optimum untuk biosorpsi ion Ni(II) adalah 90 menit. Ozdemir, dkk., (2005) juga memperoleh waktu optimum biosorpsi ion ϰϭ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
Ni(II) adalah 90 menit dalam penelitian pemanfaatan alginat untuk adsorpsi Cu(II) dan Ni(II). Sedangkan penelitian adsorpsi Ni menggunakan karbon aktif tempurung kelapa yang dilakukan oleh Onundi, dkk., (2010) menunjukan hasil waktu optimum yang berbeda, yaitu 75 menit. Pada penelitian ini, waktu kontak 90 menit adalah waktu yang diperlukan untuk mengadsorpsi ion logam Ni(II) secara optimal oleh karang, yang digunakan untuk penelitian lebih lanjut. Pengaruh pH Terhadap Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang pH larutan adalah salah satu faktor penting dalam biosorpsi ion logam selain waktu. Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukan pengaruh perubahan pH larutan dalam biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang. Tabel 2. Jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang sebagai fungsi pH. pH 3 4 5 6 7 8
Co (mg/L) Ce (mg/L) qe (mg/g) 46.4706 27.3702 0.9549 44.6367 21.9550 1.1339 44.6367 7.1972 1.8718 41.7301 0.7958 2.0465 38.0623 -2.1453 2.0098 -4.3945 -4.2215 -0.0087
Pengendapan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Ada
:ƵŵůĂŚŝŽŶEŝ;//ͿLJĂŶŐĚŝĂĚƐŽƌƉƐŝ ;ƋĞ͕ŵŐͬŐͿ
Ϯ͘ϱ Ϯ ϭ͘ϱ ϭ Ϭ͘ϱ Ϭ Ϭ
Ϯ
ϰ
ϲ
ϴ
ϭϬ
ͲϬ͘ϱ Ɖ,
Gambar 2. Hubungan antara pH dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi (mg/g) oleh karang.
ϰϮ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
pH larutan sangat berpengaruh terhadap jumlah ion logam yang teradsorpsi. Pada penelitian ini, pengaruh pH terhadap biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang diamati pada kisaran pH 3 hingga 8. Kisaran pH yang digunakan adalah pH yang tidak mengganggu proses analisis, misalnya dengan adanya pengendapan logam (sebagai hidroksida) ataupun yang dapat melarutkan biosorben yang digunakan. Gambar 2 dan Tabel 2 menunjukan jumlah ion logam Ni(II) yang teradsorpsi sedikit pada pH rendah, dan meningkat seiring dengan peningkatan pH larutan hingga mencapai optimum pada pH 6 dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi sebesar 2.0465 mg/g. Pengaruh pH berkaitan dengan fakta bahwa dalam suasana asam terjadi kompetisi antara ion logam dan ion H+ yang menyebabkan pengikatan logam pada kondisi seperti ini kurang berarti. Dengan peningkatan pH, tolakan elektrostatik menurun akibat dari penurunan kepadatan muatan positif pada permukaan biosorben sehingga mengakibatkan peningkatan adsorpsi logam. Pada pH yang lebih tinggi (pH > 6), terjadi penurunan jumlah ion Ni(II) yang teradsorpsi. Hal ini disebabkan karena pada pH yang lebih tinggi ion Ni(II) dalam larutan berkurang karena mulai terbentuk endapan Ni(OH)2. Penelitian lebih lanjut untuk penentuan kapasitas biosorpsi digunakan pH optimum yaitu pH 6.
Kapasitas Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang Kelayakan dan efisiensi suatu proses biosorpsi tidak hanya bergantung pada sifat biosorben, tetapi juga pada konsentrasi larutan ion logam. Pengaruh konsentrasi ion logam Ni(II) dalam proses biosorpsi ditunjukan pada Tabel 3 dan Gambar 3 berikut.
Tabel 3. Jumlah ion Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang sebagai fungsi konsentrasi pada waktu optimum dan pH 6. Co(mg/L) 29.5543 81.3370 120.8914 162.6741 189.1365
Ce (mg/L) 3.6072 31.6992 67.1588 92.9248 130.8496
qe(mg/g) 1.2969 2.4814 2.6860 3.4869 2.9141
Ce/qe 2.7814 12.7747 25.0036 26.6501 44.9029
ϰϯ
log Ce 0.5572 1.5010 1.8271 1.9681 2.1168
log qe 0.1129 0.3947 0.4291 0.5424 0.4645
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
:ƵŵůĂŚŝŽŶEŝ;//ͿLJĂŶŐĚŝĂĚƐŽƌƉƐŝ;ƋĞ͕ŵŐͬŐͿ
ϰ ϯ͘ϱ ϯ Ϯ͘ϱ Ϯ ϭ͘ϱ ϭ Ϭ͘ϱ Ϭ Ϭ
ϮϬ
ϰϬ
ϲϬ
ϴϬ
ϭϬϬ
ϭϮϬ
ϭϰϬ
ŬŽŶƐĞŶƚƌĂƐŝ͕Ğ;ŵŐͬ>Ϳ
Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi ion Ni(II) setelah adsorpsi (mg/L) dengan jumlah ion Ni(II) yang diadsorpsi (mg/g). Semakin besar konsentrasi ion logam Ni(II), jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi juga semakin besar kemudian cenderung menurun dan konstan yang diakibatkan karena biosorben telah mengalami kejenuhan. Kapasitas biosorpsi ditentukan menggunakan dua model isotermal yaitu model isotermal Langmuir dengan mengalurkan Ce/qe terhadap Ce (Gambar 4) dan model isotermal Freundlich dengan mengalurkan log qe terhadap log Ce (Gambar 5).
Gambar 4. Kurva isotermal Langmuir untuk adsorpsi ion Ni(II) oleh karang ϰϰ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
Gambar 5. Kurva isotermal Freundlich untuk adsorpsi ion Ni(II) oleh karang
Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukan model isotermal Langmuir yang paling sesuai untuk biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang dengan nilai koefisien korelasi (R2) adalah 0,972 sedangkan nilai R2 dari kurva isotermal Freundlich adalah 0,9246. Nilai koefisien korelasi (R2) yang besar pada kurva isothermal Langmuir mengindikasikan proses biosorpsi ion logam memiliki cakupan lapis tunggal (monolayer) pada karang. Dengan kata lain, biosorpsi ion logam Ni(II) pada karang terjadi pada gugus fungsi pada permukaan karang yang dianggap sebagai adsorpsi lapis tunggal. Biosorben berbeda dapat memberikan karakteristik penyerapan yang berbeda, sehingga kesesuaian dari isothermal adsorpsi sangat bergantung pada jenis biosorben yang digunakan. Berdasarkan slope kurva isotermal Langmuir kapasitas adsorpsi (Qo) diperoleh sebesar 3,1928 mg/g, sedangkan dari intercept kurva isothermal Freundlich diperoleh nilai kapasitas adsorpsi (K) sebesar 0,9683 mg/g. Biosorben yang paling baik digunakan dalam penyerapan ion logam adalah yang memiliki nilai kapasitas adsorpsi yang paling besar.
KESIMPULAN
ϰϱ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
Karang dapat digunakan sebagai biosorben ion logam Ni(II) dengan waktu optimum biosorpsi karang terhadap ion logam Ni(II) adalah 90 menit, pH optimum biosorpsi karang terhadap ion logam Ni(II) adalah 6. Biosorpsi karang terhadap ion logam Ni(II) lebih sesuai dengan isotermal Langmuir dengan nilai kapasitas adsorpsi (Qo) sebesar 3,1928 mg/g.
DAFTAR PUSTAKA Aslam, M. Z., Ramzan, N., Naveed, S., and Feroze, N., 2010, Ni(II) Removal by Biosorption Using Ficus religiosa (Peepal) Leaves, Journal of The Chilean Chemical Society, 55 (1), 81-84. Congeevaram, S., Dhanarani, S., Park, J., Dexilin, M., Thamaraiselvi, K., 2007, Biosorption of Chromium and Nickel by Heavy Metal Resistant Fungal and Bacterial Isolates, Journal of Hazardous Materials,146, 270-277. El-Sayed, G. O., Dessouki, H. A., and Ibrahim, S. S., 2010, Biosorption of Ni (II) and Cd (II) Ions from Aqueous Solutions onto Rice Straw, Chemical Sciences Journal, (Online), (http://astonjournals.com/csj, diakses 27 Oktober 2010), 1-11. Hanif, M. A., Nadeema, R., Bhatti, H. N., Ahmada, N. R. and Ansari, T. M., 2006, Ni(II) Biosorption by Cassia fistula (Golden Shower) Biomass, Journal of Hazardous Materials, (Online) 139, (http://www.aseanbiodiversity.info/51006486.pdf, diakses 26 Oktober 2010). Onundi, Y. B., Mamun, A. A., Al Khatib, M. F., and Ahmed, Y. M., 2010, Adsorption of copper, nickel and lead ions from synthetic semiconductor industrial wastewater by palm shell activated carbon, Int. J. Environ. Sci. Tech., (Online) 7 (4), (http://www.bioline.org.br/pdf?st10074, diakses 11 Juni 2011), 751-758. Ozdemir, G., Cheyhan, N., and Manav, E., 2005, Utilization in alginate beads for Cu(II) and Ni(II) adsorption of an exopolysaccharide produced by Chryseomonas luteola TEM05, World Journal of Microbiology & Biotechnology, (Online) 21 (2), (http://www.springerlink.com/content/l0471n8w5n0p2266/fulltext.pdf, Pekey, H., 2006, The Distribution and Sources of Heavy Metals in Izmit Bay Surface Sediments Affected by a Polluted Stream, Marrine Pollution Buletine, (Online) 52 (10), (http://www.sciencedirect.com/science/journal/0025326X, diakses 27 Oktober 2010), 219-231. Rodríguez, C. E., Quesada, A. and Rodríguez E., 2006, Nickel Biosorption by Acinetobacter baumannii and Pseudomonas aeruginosa Isolated from Industrial Wastewater, Brazilian Journal of Microbiology, 37, 465-467. Sembodo, B. S. T., 2006, Model Kinetika Langmuir untuk Adsorpsi Timbal pada Abu Sekam Padi, Ekuilibrium, 5 (1), 28-33. ϰϲ
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii)
Volume 13 Nomor 1
Suardana, I. N., 2008, Optimalisai Daya Adsorpsi Zeolit Terhadap Ion Kromium(III), Jurnal Penelitian dan pengembangan Sains & Humaniora, (Online) 2 (1), (http://www.freewebs.com/santyasa/Lemlit/PDF_Files/SAINS/APRIL_20 08/I_Nyoman_Suardana.pdf, diakses 11 Agustus 2010), 17-33.
Suzuki, Y., and Takeuchi, Y., 1994, Uptake of a Few Divalent Heavy-Metal Ion Species from Their Aqueous Solutions by Coral Sand Heat-Treated at Various Temperatures, Journal of Chemical Engineering of Japan, (Online) 27 (2), (http://www.jstage.jst.go.jp/article/jcej/27/2/165/_pdf, diakses 24 Agustus 2010), 165-170. Vieira, R. H. S. F. and Volesky, B., 2000, Biosorption: a solution to pollution?, INTERNATIONAL MICROBIOL, 3, 17-24. Volesky, B., 1999, Biosorption for the Next Century, Biohydrometallurgy and the Environment Toward the Mining of the 21st Century, Process Metallurgy, (Online) 9 (2), (http://www.sciencedirect.com/science/bookseries/, diakses 10 November 2010).
ϰϳ