EKSISTENSI PELABUHAN CIREBON: STUDI EKONOMI POLITIK MASA HINDIA BELANDA (1930-1942)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh: Firman Faturohman NIM. 1110022000003
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 November 2015
Firman Faturohman
i
EKSISTENSI PELABUIEIAN CIREBON: STUDI EKONOMI POLITIK MASA HIN]MA BELANDA (1930-1942)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh: Firman Faturohman NIM. 1110022000003
Pembimbing II,
Pembimbing I,
Imas Emalia, M. Hum. NIP. 19730208 199803 2 001
PROGRAM STUD! SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATUILLAH JAKARTA 2015M11437H
11
Pengesahan Panitia Ujian Skripsi dengan judul EKSISTENSI PELABUHAN CIREBON: STUIM EKONOMI POLITIK MASA HINDIA BELANDA (1930-1942) telah diujikan dalam sidang muaqasyah Fakultas Adab dan Humanioran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 November 2015. Skripsi mi diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta, 16 November 2015
Sidang Muaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
H. Nurhasan, MA. NIP. 19690724 199703 1 001
NIP.,19750417 2005012 007
Anggota, Penguji II,
Penguji I,
I Dr. Shdatlioto Abd. Hakim, MA. NIP. 19590203 198903 1 003
NIP. 19541010 198803 1 001
Pembimbing, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Imas Emalia, M. Hum. NIP. 19730208 199803 2 001
19550304 198503 1 002
111
DEDIKASI Didedikasikan untuk Ibundaku Yoyoh Khoeriyah, Ayahandaku Indra Subekti dan adik tercintaku Farah Nur Arafah.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
“Setiap tulisan memiliki sejarahnya sendiri” Kutipan tersebut sedikitnya bisa menggambarkan tentang perjuangan serta perjalanan panjang penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Alhamdulillah adalah kata yang terus terucap dari penulis ketika sudah menyelesaikan kewajiban di akhir masa studi dengan membuat sebuah karya ini. Banyak
rintangan
dan
hambatan
yang
penulis
hadapi
dalam
merampungkan skripsi yang berjudul: Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942). Namun, semua ritangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha, kerja keras dan bantuan “Tangan-tangan Allah” yang ada di manamana untuk membantu hamba-Nya yang mengalami kesulitan. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada mereka semua, di antaranya: 1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah 3. Ibu Sholikatus Sa‟diyah M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
v
mahasiswa di prodi SKI tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurat ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. 4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. selaku dosen pembimbing I yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau. 5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing II sekaligus pembimbing penulis dalam beberapa event nasional seperti Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) dan Arung Sejarah Bahari (AJARI). merupakan dosen yang membuka wawasan awal penulis tentang dunia kemaritiman. 6. Mas Dr. Didik Pradjoko, M.Hum. Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI) yang ahli di bidang sejarah maritim, yang telah meminjamkan buku-buku terkait sejarah maritim dan membuka wawasan penulis lebih luas lagi tentang sejarah kemaritiman. 7. Penguji I, Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum. Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dosen yang mengispirasi dan menambah wawasan penulis terkait keilmuan sejarah terutama Sejarah Islam. Terlebih tentang pengetahuan mengenai ilmu Arkeologi sebagai ilmu bantu sejarah yang membuat penulis berminat untuk terjun di dalamnya 8. Penguji II, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. dosen sejarah sekaligus teman bertukar pikiran penulis saat menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan
vi
Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA) UIN Jakarta yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis meskipun aktif di organisasi namun wawasan keilmuan harus tetap dijaga dan terus diasah. 9. Dr. Saidun Derani, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi serta bantuan buku-buku yang amat bermanfaat selama masa perkuliahan. 10. Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. Guru Besar Filologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun belum pernah belajar langsung dengannya dalam perkuliahan formal namun merupakan salah seorang dosen yang mengispirasi penulis. Diskusi-diskusi singkat dalam beberapa pertemuan membuat penulis termotivasi untuk terus belajar dan bekerja keras. 11. Dr. Bart Luttikhuis peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) Belanda, yang secara tidak sengaja bertemu saat penulis mencari sumber di ANRI dan berbicara banyak hal tentang sejarah di Indonesia serta membuka lebih luas lagi wawasan penulis mengenai berbagai hal terkait kesejarahan. 12. Keluargaku, Ibundaku Yoyoh Khoeriyah, Ayahandaku Indra Subekti dan adik tercintaku Farah Nur Arafah yang selalu memberikan dukungan setiap hari baik moril maupun materi tak terhingga dan didikan di rumah ini menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. 13. Keluarga Om Abdul Radja Sutjahjo Mukadi dan Tante Sandra yang tak henti-hentinya memberikan wawasan serta motivasi luar biasa tentang
vii
berbagai hal mengenai pelajaran hidup dengan berbagai sudut pandang yang sedikit banyaknya telah membentuk pribadi penulis. 14. Om Max Yusuf Alkadrie, keluarga dari Kesultanan Pontianak yang selalu mensupport penulis agar terus menajdi pribadi lebih baik dan sejarawan yang berani mengungkap fakta. 15. Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang tak bosanbosannya membantu penulis dalam penelusuran sumber dan membantu dalam memahami isi dari arsip-arsip masa lalu terutama Bu Hapsari, Bu Rini, Mba Nia, Mas Rudi dan Saudari Tantri (teman seperjuangan penulis dari UGM yang kini telah meniti karir di ANRI). 16. Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang membantu penulis dalam penelusuran sumber buku dan surat kabar masa lalu. 17. Bapak Ridwan selaku Kepala Sekolah MAN Serpong yang mengizinkan penulis untuk menimba pengalaman mengajar dan berbagi ilmu dengan adik-adik di MAN Serpong, tak lupa juga Bunda Novry dan Pak Sukoyo, guru yang selalu memotivasi penulis dan mengajarkan banyak hal selama menjadi pengajar di MAN Serpong 18. Saudara Hanafi Wibowo, S.Hum. sahabat penulis, teman diskusi, sharing dan bertukar pikiran mengenai berbagai hal dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 19. Saudara Ir. Endi Aulia Garadian, S.Hum. Sahabat penulis, teman satu kost, teman diskusi dan bertukar pikiran yang juga membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
20. Saudari Tika Ramadhini, S.Hum. teman penulis dari Universitas Indonesia yang kini sedang melanjutkan studi S2 di negeri Kincir Angin Belanda, yang memberikan penulis sumber-sumber Belanda serta diskusi terkait sejarah maritim. 21. Saudari Dini Nurlaelasari S.Hum, teman penulis dari Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung yang kini sedang melanjutkan studi S2 di universitas yang sama, teman diskusi yang baik dengan prespektif sejarah yang berbeda dan memberikan sumber-sumber tentang Cirebon. 22. Saudara Dio Rama Aditia, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang telah mau meluangkan waktunya untuk menelusuri jejak masa lalu di Cirebon. 23. Saudara Abel Jatayu, S.Hum. mahasiswa Universitas Diponogoro (UNDIP) Semarang yang telah membuka koneksi dengan Prof. Singgih Trisulistyono dan mengusahakan pengiriman beberapa karya dibidang maritim. 24. Teman-teman seperjuangan di SKI 2010
dan senior-juniornya yang
saking banyaknya sehungga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun penulis merasa harus berterima kasih kepada Nana dan Johan sahabat penulis yang selalu penulis repotkan selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini. 25. Teman-teman dari jurusan lain di UIN Jakarta seperti Ade Mulyawan (Ilmu Politik), Teh Indah (Dirasat Islamiyah), Zia (Bahasa Sastra Arab/FIM),
Mutiara
(Ilmu
Keperawatan),
Gita
dan
Iim
(Ilmu
Perpustakaan), Lala (Psikologi UIN Bandung), Silvia (Komuniksi UMJ)
ix
dan Aziz (Ushuluddin UIN Jogja) yang sudah banyak berbagi pengalaman dan kisah sehingga penulis dapat mengambil ilmu dari disiplin-disiplin ilmu mereka masing-masing. 26. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Kebudayaaan Islam (SKI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) tempat penulis meluangkan waktu untuk berproses dalam organisasi. 27. Teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiwa (FORSA) tempat penulis belajar untuk memimpin sebuah organisasi, terutama untuk teman seperjuangan di FORSA seperti Lina, Ojan, Aceng, Ines dan Mazda serta Bang Adi selaku pembina. 28. Teman-teman
Ikatan
Himpunan
Mahasiswa
Sejarah
Se-Indonesia
(IKAHIMSI) yang sudah sering membantu terutama Sekretaris Jendral (periode 2011-2013) sdr. Unang dari Universitas Tadulako (UNTAD) Sulawesi Tengah, Sekretaris Jendral (periode 2012-sekarang) sdr. Samantha dan mas Erwin dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang banyak membantu penulis dan membuka jalan penulis untuk bisa masuk mengkaji sejarah dari berbagai prespektif dan sudut pandang di seluruh Indonesia. 29. Alumni Pekan Nasional Cinta Sejarah tahun 2011 di Palu - Sulteng terutama bang Ari dari Universitas Negeri Medan (UNIMED) Sumatera Utara.
x
30. Alumni Arung Sejarah Bahari tahun 2012 di Lombok dan Sumbawa – Nusa Tenggara Barat yang mempertemukan penulis dengan mahasiswa sejarah dari seluruh Indonesia yang membahas tentang maritim. 31. Alumni Forum Indonesia Muda (FIM) terutama FIM 16 dan FIM regional dejapu tempat kumpulnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru Indonesia dimana motivasi dan aksi nyata untuk membangun negeri tercinta Indonesia akan terus menyala terutama untuk Pak Elmir, Bunda Tatty, Kak Ivan, Adik, Mufti, Arif, Jali, Mubin, Gita, Nafizah, Rias, Euis, Ninette, Risa, Tear, Cenna, Dira dan semua keluarga besar FIM. 32. Alumni Ekspedisi Nusantara Jaya tahun 2015 rute Makasar – Sorong – Saumlaki – Kupang, yang membuat perjalanan di Kapal Republik Indonesia (KRI) Banda Aceh 593 menjadi lebih berwarna dalam mengarungi lautan Indonesia selama 1 (satu) bulan untuk menjalankan tugas negara serta melihat langsung gambaran-gambaran kemaritiman di Indonesia, terutama kepada bang Acho dari Shabat Pulau, Mba Yusnita, Adam, Duta, Bang Rizal dari Korps Alumni Kapal Pemuda Nusantara dan Kemenpora serta Bang Adityo dari Jurnal Maritim dan Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI) teman penulis bertukar pikiran tentang kemaritiman.
xi
ABSTRAK Firman Faturohman Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942) Studi ini mengkaji Pelabuhan Cirebon yang menjadi jantung dari perekonomian dan politik masa pemerintahan Hindia Belanda untuk daerah Jawa Barat. Hampir di sebagian besar wilayah di Nusantara basis kekuatan politik dan ekonomi dari Hindia Belanda terletak di daerah pesisir, tak terkecuali Cirebon. Di saat itu, ketika awal abad ke-20, penguasa lokal Cirebon pun telah kehilangan legitimasi politiknya yang diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Keinginan bangsa penjajah yang terus menerus mengeksploitasi kekayaan alam Cirebon, salah satunya dengan cara membangun industri gula secara besarbesaran yang kala itu menjadi komoditas primadona di pasaran dunia. Hal tersebut membuat aktifitas maritim yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya semakin ramai dan terus meningkat sampai masa depresi ekonomi melanda dunia tahun 1930. Saat inilah dimulainya masa malaise (kesengsaraan) yang banyak melanda kaum pribumi. Selain itu, pada masa ini dapat dilihat pula usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk tetap menjadikan Pelabuhan Cirebon eksis demi menunjang kepentingan negaranya. Tema penulisan sejarah yang diambil adalah sejarah maritim, dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik penulis berusaha menjelaskan dinamika yang terjadi di Pelabuhan Cirebon sebelum dan saat terjadinya depresi ekonomi yang berdampak kepada lapisan masyarakat di Cirebon. Penulis juga menemukan adanya kepentingan dari pemerintah Hindia Belanda dan kaum pribumi terhadap Pelabuhan Cirebon, terutama pada komoditas gula dan tembakau yang mempunyai pengaruh kuat bagi eksistensi Pelabuhan Cirebon di saat depresi ekonomi melanda dunia. Selain itu, dapat dilihat dinamika gerakan politik yang terjadi di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya untuk menuntut keadilan dari pemerintah Hindia Belanda. Dijelaskan pula beberapa organisasi massa pergerakan yang berjuang menuntut kemerdekaan dari pemerintah Hindia Belanda. Gerakan itu terus berlanjut hingga akhirnya pasukan tentara Jepang datang untuk pertama kalinya di Pulau Jawa, dengan berlabuh di sekitar daerah hinterland Pelabuhan Cirebon untuk melakukan penyerangan terhadap Hindia Belanda. Kata kunci: Pelabuhan Cirebon, Hindia Belanda, Gula, Depresi Ekonomi, Sejarah Maritim.
xii
KATA PENGANTAR Asia Tenggara merupakan wilayah yang menjadi tujuan dari para bangsa di dunia, baik dari Eropa, Asia maupun Timur Tengah. Asia tenggara sebagai perlintasan jalur laut internasional yang melewati semenanjung Malaka hingga ke Maluku telah membuat peradaban-peradaban baru dan hegemoni penguasa lokal terdengar hingga ke luar wilayah yang sempat disebut negeri bawah angin ini, bila penulis meminjam term dari buku karya Anthony Reid. Keadaan masyarakat yang beragam suku namun ramah dan terbuka kepada bangsa pendatang, serta tempat asal dari komoditas-komoditas yang laku di pasaran dunia pada saat itu membuat banyak pendatang terutama dari Eropa dengan menggunakan jalur laut. Mereka berlomba-lomba mencapai negeri yang subur dan menyimpan kekayaan alam ini. Beberapa kekuatan besar Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol
yang silih berganti berusaha
menancapkan hegemoni kekuasaanya di beberapa wilayah Asia Tenggara untuk mengeruk kekayaan alam demi kesejahteraan negeri-negeri mereka di Eropa. Terlepas dari hal di atas, penulis mengambil kajian wilayah Asia Tenggara atas dasar peminatan kajian sejarah yang ditawarkan di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yaitu kajian Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam kajian skripsi ini penulis mengambil wilayah kajian Indonesia, pesisir utara Pulau Jawa yakni daerah Cirebon yang merupakan salah satu bandar jalur sutera. Kajian ini penulis batasi awal abad ke-20 saat depresi ekonomi melanda dunia sampai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda 1942. Untuk itu skripsi ini penulis beri judul Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942).
xiii
DAFTAR ISI LEMBAR PERYATAAN.....................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii DEDIKASI ............................................................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................... xii KATA PENGANTAR ........................................................................................ xiii DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 20 C. Tujuan dan Manfaat ....................................................................... 21 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 23 E. Kerangka Teori dan Pendekatan .................................................... 25 F. Metode Penelitian .......................................................................... 27 G. Sistematika Penulisan .................................................................... 32
BAB II
KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON TAHUN 1930-1942 ............................................................................. 34 A. Kondisi Geografis .......................................................................... 34 B. Keadaan Masyarakat Cirebon........................................................ 40 1. Masyarakat Pesisir .................................................................... 40 2. Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah Hinterland)................................................................................49
BAB III KONDISI PELABUHAN CIREBON 1930 - 1942 ........................... 56 A. Penduduk Kota Pelabuhan Cirebon ............................................... 56 B. Peran Penting Pelabuhan Cirebon bagi Pemerintah Hindia Belanda ....................................................................................................... 60 C. Pelabuhan Cirebon dan Aktivitas Ekspor – Impor ........................ 71
xiv
D. Sarana Pelabuhan dan Pendistribusian Komoditas utama Ekspor – Impor di Pelabuhan Cirebon .......................................................... 85 BAB IV GERAKAN POLITIK MASYARAKAT CIREBON HINGGA KEDATANGAN JEPANG ................................................................ 90 A. Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di Cirebon .......................................................................................... 90 B. Pergerakan Politik Pasca Depresi Ekonomi 1930 ......................... 98 C. Awal Mula Kedatangan Militer Jepang di Pulau Jawa ............... 102 BAB V
PENUTUP ......................................................................................... 105 A. Kesimpulan .................................................................................. 105 B. Saran ............................................................................................ 108
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111 LAMPIRAN ....................................................................................................... 120
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Indeks pendapatan perkapita penduduk Pribumi Jawa dan Madura (1929 = 100 Gulden)
47
Tabel 2
Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen)
48
Tabel 3
Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland Pelabuhan Cirebon
53
Tabel 4
Penduduk Cirebon
58
Tabel 5
Pelabuhan Induk dan Binaan di Hindia Belanda
67
Tabel 6
Nilai Eksor – Impor tahun 1859 -1869
72
Tabel 7
Presentase Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon Tahun 1914
75
Tabel 8
Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1929
76
Tabel 9
Harga Gula per 100 kg Tahun 1920-1934
78
Tabel 10
Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1932
79
Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14
Paket Volume Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 daftar nilai impor Pelabuhan Cirebon tahun 1929 Ikan Asin yang dibongkar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung Priok
xvi
80 80 83 85
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1
Pendapatan Perkapita
48
Grafik 2
Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen)
49
Grafik 3
Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland Pelabuhan Cirebon
54
Grafik 4
Penduduk di Cirebon
58
Grafik 5
Ekspor Pelabuhan Cirebon 1903 -1929
74
Grafik 6
Impor Pelabuhan Cirebon 189-1937 (Gulden)
82
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Peta Gemeente Cirebon Masa Kolonial
37
Gambar 2
Peta Pulau Jawa dan Pembagian Residensi
38
Gambar 3
Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon
41
Gambar 4
Gambar sero untuk menangkap ikan
43
Gambar 5
Gambar jaring payang
43
Gambar 6
Kapal nelayan masyarakat di pelabuhan Cirebon
44
Gambar 7
Jaring muroami
45
Gambar 8
Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1940
56
Gambar 9
Keadaan Pelabuhan Cirebon saat kapal-kapal berlabuh di Pelabuhan
65
Gambar 10
Foto pengawas Pelabuhan Cirebon sedang mengawasi kapal-kapal yang sedang berlabuh
66
Gambar 11
Kantor Pelabuhan Cirebon
70
Gambar 12
Salah satu kapal pengangkut komoditas berlabuh di Pelabuhan Cirebon
73
Gambar 13
Keadaan bongkar muat kapal di Pelabuhan Cirebon
73
Gambar 14
Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1930
86
Gambar 15
Foto keadaan rel kereta api yang bermuara di Pelabuhan Cirebon untuk kebutuhan sarana distribusi komoditas
87
Gambar 16
Kereta api SCS di Statsiun Pelabuhan Cirebon
88
xviii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Wilayah perairan Indonesia mencakup hampir dari 2/3 wilayah
keseluruhan dari Negara Indonesia. Fakta tersebut membuat Negara Indonesia dikenal sebagai archipelagic state (negara bahari atau buana bahari).1 Sebagai negara bahari, Indonesia seharusnya tidak menggunakan kata negara kepulauan namun lebih menggunakan konsep “laut utama” atau heartsea karena setidaknya ada tiga zona laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Ketiga zona laut utama di Indonesia yang penulis sebutkan di atas, wilayah kawasan Laut Jawa meliputi kawasan Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara merupakan kawasan jantung perdagangan laut di wilayah Indonesia bahkan Asia Tenggara.2 Menurut penulis kajian sejarah mengenai kawasan laut dan hal-hal yang terkait di dalamnya, merupakan aspek kajian sejarah maritim yang tepat bila dikaji menggunakan pendekatan ekonomi politik. Saat ini penulisan sejarah maritim sangat penting bagi penemuan kembali jati diri Negara Indonesia yang kini di tahun 2014 telah memiliki visi sebagai “poros maritim dunia”, artinya Indonesia menjadi pusat dari kegiatan maritim di
1
Archipelagic berasal dari kata “archipelagus” yang berasal dari kata archi yang berarti utama dan pelagus yang berati laut, sehingga memiliki arti “laut utama”. Maka dapat disimpulkan archipelagic state bukan negara kepulauan melainkan negara bahari. Lihat A. M. Djuliati Suroyo, dkk., Sejarah Maritim Indonesia 1 Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17 (Semarang: Jeda, 2007), h. 9. Lihat juga A. B. Lapian, “Dunia Maritim sebagai Unit Kajian Sejarah”. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Sejarah di Surabaya, 13-17 Juli 2005, h. 4. 2 Suroyo, Sejarah Maritim, h. 10.
1
dunia. Maka penulisan sejarah yang berorientasi kepada sejarah maritim menjadi sebuah kebutuhan wajib dipenuhi civitas akademika tidak terkecuali di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, sangat disayangkan bila melihat 34.202 koleksi skripsi di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta3 masih sedikit pembahasan mengenai sejarah maritim bahkan penulis belum menemukan skripsi mengenai pelabuhan di pesisir-pesisir yang memiliki peran penting dalam penulisan sejarah maritim karena memilki fungsi ekonomi, politik, dan budaya. Bila melihat jauh ke belakang tentang maritim Indonesia, sebenarnya sudah memiliki gen maritim jauh sebelum negara ini memproklamirkan kemerdekaanya. Zaman kerajaan-kerajaan Islam yang bertempat di pesisir pantai seperti Kesultanan Malaka, Samudera Pasai, Aceh, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Pontianak, Banjarmasin, Gowa Tallo, Ternate, dan Tidore merupakan kerajaan-kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan maritim di Indonesia (dahulu masih Nusantara) pada saat itu dan memiliki kerajaan-kerajaan tersebut memiliki pelabuhan yang baik untuk kegiatan maritim. Setelah habis era kerajaan maritim yang bertempat di pesisir pantai mulai muncul era penjajah Eropa yang kemudian menguasai pelabuhan-pelabuhan kerajaan dan aktivitas maritim di wilayah pesisir yang selanjutnya menguasai pula hasil kekayaan alam di bumi nusantara. Kejadian yang terjadi yang berhubungan dengan aktivitas maritim seperti yang penulis ungkapkan merupakan salah satu kajian dari sejarah maritim. A. B. Lapian dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Sejarah Maritim mengatakan “hal terpenting dari sejarah maritim adalah pertumbuhan wilayah laut menjadi satu kesatuan sebagai akibat adanya interaksi kultural,
3
http://tulis.uinjkt.ac.id/ diakses tanggal 12 September 2015.
2
sosial, ekonomi, dan politik antara penduduknya, yang kemudian meluas karena berinteraksi dengan sistem-sistem lain sehingga terlibat dalam jaringan maritim Nusantara, bahkan masuk dalam sistem ekonomi dunia”,4 Dalam mengkaji sejarah maritim, penulis menemukan banyak kawasan perairan di Nusantara yang dapat dikaji dan diteliti, seperti beberapa zona laut utama yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Selain itu banyak pula pelabuhan yang tersebar di pulau-pulau dan zona-zona laut di Indonesia. Setelah menelusuri sumber, literatur, dan letak geografis akhirnya untuk penelitian ini penulis akan membahas salah satu kawasan di perairan zona Laut Jawa yang masuk dalam wilayah Pulau Jawa serta merupakan salah satu zona perdagangan dan perlintasan di kawasan Laut Jawa yakni Pelabuhan Cirebon. Pelabuhan Cirebon yang terletak di tengah-tengah jalur perlintasan antara Batavia menuju Semarang ditopang dengan kondisi geografis yang baik terletak di teluk, membuat Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu tempat yang aman untuk berlabuhnya kapal untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan di sebelah timur maupun singgah untuk menjajakan barang dagangan. Peran Pelabuhan Cirebon semakin penting karena dari pelabuhan inilah mula-mula diangkutnya komoditas ekspor seperti gula yang saat itu menjadi primadona di pasaran Eropa dengan nilai jual jutaan Gulden.5 Sementara itu, di bidang impor Pelabuhan Cirebon tidak kalah penting dengan menempati posisi teratas untuk beberapa komoditi impor seperti tembakau yang mengalahkan tiga pelabuhan besar lainnya seperti Pelabuhan Tanjung Priok,
4
Adrian B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, pidato pengukuhan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (Depok: 4 Maret 1992), h. 16. 5 “Gulden” adalah ukuran besaran mata uanga pada masa Hindia Belanda.
3
Semarang, dan Surabaya; khususnya ketika import tembakau menanjak sekali tahun 1930 (5.851.277 Gulden) berkat adanya pabrik rokok British American Tobacco di Cirebon.6 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami betapa pentingnya kajian terkait Pelabuhan Cirebon yang memiliki peran begitu segnifikan dalam aktivitas kemaritiman, tidak hanya dalam jaringan di kawasan lokal namun juga jaringan aktivitas maritim internasional. Pelabuhan Cirebon merupakan suatu wilayah yang terletak di Pesisir Utara dari Pulau Jawa dan kini masuk ke dalam wilayah Kotamadya Cirebon Provinsi Jawa Barat. Cirebon juga menjadi salah satu basis penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat dengan Kesultanan Cirebon sebagai motor penggeraknya. Wilayah Cirebon mulanya merupakan cakupan dari vasal7 Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Saat Kerajaan Pajajaran diperintah oleh Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi, Islam mulai menyebar di daerah Cirebon dan sedikit demi sedikit mulai ada keinginan untuk melepaskan diri dari vasal Kerajaan Pajajaran karena mulai timbulnya kekuasaan politik Islam di Cirebon.8 Maka sejak tahun 1479 Kesultanan Cirebon tidak lagi menjadi vasal dari Kerajaan Pajajaran, melainkan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Islam.9 Tokoh sentral yang menjadikan Cirebon lepas dari vasal Pajajaran serta menguatkan
6
“Memorie Residen Cirebon CJAE T Hiljee, 3 Juni 1930” dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), (Memorie van Overgave) Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat) (Jakarta: ANRI, 1976), h. CL. 7 Kata vasal bila merujuk dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki arti „„takluk“ atau „„daerah taklukan“ bisa juga ditarik kesimpulan berada dalam kekuasaan negara lain. Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1605. 8 Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: CV. Eka Dharma, 1998), h. 12. 9 M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon (Jakarta: Suko Rejo Bersinar, 2001), h.24.
4
Islam sebagai corak dalam Kesultanan Cirebon ini adalah Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Selain menjadi Raja Kesultanan Cirebon pertama juga merupakan ulama pemimpin agama yang merupakan bagian dari sembilan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang sering disebut dengan Wali Songo.10 Wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon pada masa awal membentang dari ujung barat Pulau Jawa hingga perbatasan Mataram di Jawa Tengah dan meliputi sejumlah daerah penting seperti Banten, Sunda Kelapa, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Ciamis, dan sebagainya. Semakin luasnya kekuasan Kesultanan Cirebon, maka Sunan Gunung Jati melantik putra sulungnnya yakni Pangeran Sabakingkin atau yang lebih dikenal sebagai Maulana Hasanudin menjadi penguasa di Banten pada tahun 1526 guna menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.11 Seiring berjalannya waktu Kesultanan Cirebon di Jawa Barat dibagi menjadi 2 (dua) daerah. Sebelah timur Sungai Citarum termasuk ke dalam Kesultanan Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu dan sebelah barat Sungai Citarum masuk ke dalam wilayah Banten dipegang oleh Maulana Yusuf.12 Letak Kesultanan Cirebon yang berada di Pesisir Utara Pulau Jawa, menjadi suatu kewajiban memiliki Pelabuhan sebagai pintu gerbang terjalinnya kontak sosial dengan bangsa yang lain dari jalur laut.13 Kesultanan Cirebon memiliki beberapa pelabuhan di wilayahnya sebagai wadah serta pusat dari aktivitas maritim untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Di antaranya yang paling 10
Slamet Muljana. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. (Yogyakarta : PT LKiS Pelangi Aksara,2005), h. 72. 11 M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon, h. 6. 12 Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 12. 13 Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 14.
5
dikenal pada saat itu adalah Pelabuhan Muara Jati dan Pelabuhan Talang (sekarang Pelabuhan Cirebon).14 Berdasarkan berita Tome Pires dapat diketahui bahwa Cirebon sudah memiliki pelabuhan yang baik dengan adanya 3-4 jung yang berlabuh di pelabuhan tersebut. Pires juga menyebutkan bahwa di pelabuhan ini terdapat beras dan bahan makanan lain dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, Pires juga menyebutkan bahwa jung bisa masuk ke daerah pelabuhan dengan memanfaatkan sungai yang ada di sekitar pelabuhan.15 Bila melihat penjelasan dari Pires, kuat dugaan pelabuhan yang dimaksud adalah Pelabuhan Muara Jati. Selain Pelabuhan Muara Jati, Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga membangun pelabuhan baru yang diberi nama Pelabuhan Talang.16 Pelabuhan baru ini berkembang dengan cepat dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang yang berasal dari luar wilayah Cirebon, terutama dari Cina. Letak dari pelabuhan baru ini berjarak kurang lebih 3 KM dari Istana Pakungwati (sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan), dimungkinkan menjadi salah satu faktor utama berkembang pesatnya pelabuhan tersebut. Adanya Pelabuhan Cirebon telah mendorong terjadinya akivitas maritim seperti interaksi perdagangan yang terjadi antara penduduk pribumi dengan pendatang yang berasal dari daerah foreland (daerah seberang) seperti India dan Cina. Pelabuhan Cirebon sangat terbantu dengan adanya daerah hinterland
14
Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1, h. 123-124. Tome Pires, Suma Oriental, h. 256-257. 16 Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1, h. 124. 15
6
penghasil pertanian seperti Majalengka dan Kuningan yang menghasilkan komoditas gula, kopi, teh, dan indigo17 yang dibutuhkan oleh bangsa pendatang.18 Dampak selanjutnya yang dihasilkan dengan adanya interaksi perdagangan penduduk pribumi dan kaum pendatang di Pelabuhan Cirebon, membuat minat dari bangsa-bangsa luar semakin besar untuk datang ke Cirebon. Ketika bangsa pendatang singgah di Cirebon sembari menunggu angin musim yang membawa mereka ke daerah asal mereka, para pendatang ini juga mulai bermukim dan bertempat tinggal di Cirebon sehingga terjadi pula diaspora etnis serta akulturasi budaya antara budaya lokal Cirebon dan budaya yang berasal dari luar Cirebon.19 Kedatangan para pedagang ke Pelabuhan Cirebon dan bermukimnya para pendatang dari luar Cirebon menjadikan pelabuhan ini salah satu pelabuhan yang ramai dengan adanya hubungan jaringan perdagangan lokal, regional, dan internasional (terutama Arab dan Cina). Hubungan perdagangan baik yang terjalin di antara orang-orang Arab dan Cina dengan Pelabuhan Cirebon dapat dilihat dari masih ada dan berkembangnya pemukiman komunitas Arab di sepanjang Jalan Panjunan dan pemukiman komunitas Cina di sepanjang Jalan Pasuketan.20 Banyak pendatang yang datang ke bumi Nusantara, tidak hanya dari kalangan Arab dan Cina melainkan juga bangsa Eropa ke wilayah ini melalui pintu gerbang pelabuhan-pelabuhan yang ada di Nusantara. Bangsa Eropa yang mulanya datang untuk berdagang namun lama kelamaan merasa nyaman dengan 17
Indigo merupakan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami dan merupakan salah satu komoditas unggulan selain kopi dan gula (tebu). Lihat Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 43. 18 J.C van Leur, Indonesia Trade and Society (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 281282. Lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 51-54. 19 Paramita R. Abdurachman, Cerbon (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982), h. 32. 20 Samodra Wibawa, Negara-Negara di Nusantara: dari Negara-kota hingga Negarabangsa dan dari Modernisasi hingga Reformasi Adminsitrasi (Yogyakarta : UGM Press, 2001), h.18.
7
bumi Nusantara yang subur sehingga menjadikan mereka berniat untuk memiliki dan memonopoli semua perdagangan di Nusantara, termasuk di wilayah Cirebon.21 Berdirinya perusahaan dagang milik Belanda yaitu Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC)22 tahun 1602 menjadi titik awal sekaligus bukti nyata dari keinginan bangsa Eropa yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara. Berbagai cara dilakukan oleh VOC untuk mengeruk semua keuntungan dagang. VOC banyak membuat kebijakan yang menguntungkan mereka tetapi merugikan pribumi bahkan VOC juga berusaha untuk ikut serta dalam pemerintahan lokal dan akhirnya tidak sedikit pemerintah lokal mereka kuasai.23 Kesultanan Cirebon merupakan salah satu pemerintah lokal yang pemerintahannya berusaha untuk dikuasai oleh VOC. Salah satu momentum VOC untuk menguasai Kesultanan Cirebon setelah mangkatnya Penguasa Cirebon terakhir Panembahan Girilaya. Ditangkapnya Panembahan Girilaya dan dikenakan status tahanan rumah oleh Amangkurat II akibat kecurigaan atas loyalitas Panembahan
Girilaya
sebagai
sekutu
Mataram.
Panembahan
Girilaya
dimakamkan di Bukit Girilaya,24 namun kedua Putranya yaitu Pangeran Martawidjaja dan Kartawidjaja tidak diperbolehkan pulang kembali ke Cirebon.25
21
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 27. 22 Vereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC)merupakan Perhimpunan Dagang Hindia Timur yang didirikan oleh para Pedagang Belanda pada tahun 1602. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), h. 71. 23 Anthony Ried, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdaganagn Global (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 317. 24 Bukit Girilaya sebuah tempat dimakamkannya Panembahan Girilaya, dekat dengan makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. (Wawancara dengan Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum) 25 M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon, h.33-34.
8
Sehingga status dari kekuasaan di Cirebon dijabat oleh putra bungsu yakni Pangeran Wangsakerta. Pangeran Wangsakerta yang menjalankan administrasi pemerintahan di Cirebon, meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyelamatkan kedua kakaknya yang ditahan di Mataram. Berkat kerjasama Sultan Ageng Tirtayasa dan pemberontak Trunojoyo dari Madura, kedua Pangeran Cirebon tersebut berhasil diselamatkan dan dibawa pulang. Pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dengan kapasitasnya selaku Sultan Banten memutuskan melantik Pangeran Martawidjaja sebagai Sultan Sepuh, Pangeran Kartawidjaja sebagai Sultan Anom dan Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Carbon. Pembagian wilayah Cirebon ini dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa sebagai langkah preventif guna mencegah perebutan kekuasaan antara anak-anak Panembahan Girilaya tersebut.26 Pembagian wilayah Cirebon yang awalnya dilandasi atas niat baik tersebut, ternyata malah mengundang musuh baru, yaitu VOC yang berhasrat menguasai Cirebon dengan politik adu domba/devide et impera di antara para Sultan yang ada di Cirebon tersebut. Seiring semakin panasnya gesekan internal di Cirebon membuat VOC semakin di atas angin untuk melancarkan siasatnya sebagai penengah dari perselisihan. Inilah titik awal dari penancapan pengaruh VOC dalam politik Kesultanan Cirebon dan selanjutnya sedikit demi sedikit menguasai pemerintahan maupun perekonomian di Cirebon.27 Lemahnya mental dan pengaruh sultan-sultan Cirebon dalam menjalankan roda pemerintahan dan penyelesaian masalah, membuat pemerintahan Kesultanan Cirebon memiliki rasa ketergantungan kepada VOC dalam menyelesaikan hal-hal 26
Yoseph Iskandar. Sejarah Banten. (Jakarta : Tryana Sjamoen,2001),h.216 Sartono Kartodirdjo. Multidimensi pembangunan bangsa: etos nasionalisme dan negara kesatuan. (Yogyakarta : Penerbit Kanisius,1999),h.234 27
9
terkait pemerintahan. Adanya perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681 membuat Kesultanan Cirebon secara politik berada di bawah protektorat VOC.28 Pembubaran VOC, setelah mengalami kebangkrutan, oleh rezim Belanda Pro-Prancis yaitu Republik Bataaf pada 1799,29 mengakibatkan terjadinya akuisisi atas semua aset VOC sebelumnya dan Pemerintah baru pun melanjutkan monopoli dagang serta campur tangan atas wilayah yang pernah ditundukkan oleh VOC. Dengan membuat perjanjian-perjanjian dan kebijakan-kebijakan yang semakin melemahkan kekuasaan lokal yaitu Kesultanan Cirebon bahkan menyengsarakan penduduk di wilayah ini. Perjanjian persahabatan dengan VOC tahun 1681, salah satu contohnya, memberikan kekuasaan pada VOC untuk melakukan intervensi dalam kebijakankebijakan domestik Kesultanan Cirebon (intern kesultanan), termasuk juga kebijakan ekonomi khususnya yang menyangkut Pelabuhan Cirebon sebagai sumber pemasukan kas Kesultanan Cirebon. Hal ini dikarenakan Pelabuhan Cirebon sudah diibaratkan sebagai jantung dari perekonomian dan aktivitas maritim yang ada di Cirebon. Keadaan di Pelabuhan Cirebon sama seperti halnya beberapa wilayah pesisir yang juga menjadi basis kekuasaan lokal (pada saat itu kekuasaan lokal kerajaan-kerajaan Islam) mulai perlahan-lahan diambil alih dan dilemahkan bahkan ada yang sampai mundur ke pedalaman dan tidak lagi memiliki akses terhadap pelabuhan yang ada di pesisir-pesisir. Bahkan Sumber Belanda menyebutkan bahwa pada tahun 1700-an Cirebon digambarkan sebagai negeri pedalaman (inlandsche stad) karena kelemahan para sultan dalam
28
Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon., h. 40. C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 115. 29
10
mengelola pelabuhan dan daerah yang dilecehkan (het geminachte strandnest) karena lemahnya posisi Cirebon dalam Percaturan Politik Regional.30 Kenyataan ini semakin membuat Hindia Belanda lebih leluasa kekuasaan serta dominasinya di wilayah pesisir dan pelabuhan-pelabuhan.Selain itu, kini Cirebon bukan lagi menghadapi pedagang, tetapi sebuah negeri Eropa yang sedang bergiat menancapkan kuku kolonialismenya lebih dalam. Apalagi, Benua Eropa sejak tahun 1792 sedang berada dalam gejolak militer besar, di mana Prancis bertempur melawan Aliansi Besar yang terdiri atas Kekaisaran Romawi Suci, Kerajaan Prussia, Kerajaan Inggris Raya, dan Kekaisaran Rusia. Konflik ini tentu berdampak hingga koloni-koloni milik negara negara Eropa yang ikut terlibat dalam konflik ini.31 Republik Bataaf pun dirombak kembali oleh Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte. Alasannya, ia ingin Belanda menjadi garis pertahanan pesisir dalam menghadapi Inggris, maka ia menamai ulang negara tersebut menjadi „Kerajaan Holland‟ dan menobatkan adiknya, Louis Bonaparte menjadi raja di sana.32 Herman Willem Daendels dikirim oleh Raja Louis Bonaparte ke Nusantara menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808-1811, dia kemudian mulai memobilisasi pertahanan Nusantara (Jawa sebagai pusatnya) dengan membuat jalan dari Anyer hingga Panarukan sepanjang seribu kilometer yang lebih dikenal sebagai „De Groote Postweg’.33
30
Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919: 407 Gregory Fremont-Barnes, The French Revolutionary Wars (Oxford : Osprey Publishing, 2001), h.17. 32 Martijn van der Burg, 'Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands between Republicanism and Monarchy (1795-1815)'. European Review of History (2010). vol.17 no.2, h. 151–170 33 Peter Nas dan Pratiwo, 'Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos'. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 158, No. 4, On The Road : The social impact of new roads in Southeast Asia (2002), h. 707-725 31
11
Alasan Daendels membuat sistem pertahanan terpadu di Pulau Jawa, dikarenakan adanya ancaman dari George Wilhelm Friedrich von Hanover yang bergelar “Raja Inggris Raya dan Irlandia, Adipati Brunschwick-Luneburg dan Elektor Kekaisaran Romawi Suci” yang juga adalah paman dari pemimpin Belanda pada masa VOC yaitu Stadtholder Willem V. Angkatan laut Inggris sudah berhasil memblokir jalur laut di sekitar pulau Jawa sehingga hanya pertahanan darat Jawa saja yang dikosentrasikannya untuk menahan serangan Inggris.34 Ketika keadaan di Eropa sedang mengalami peperangan yang dilancarkan oleh Kekaisaran Prancis dengan Napoleon sebagai aktor utamanya, negeri induk dari penjajah, yakni Belanda telah mengalami kekalahan atas Prancis sehingga membuat kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tangan Inggris dari tahun 18111816. Keadaan ini terjadi karena kekalahan Belanda atas Prancis tersebut membuat Stadtholder Willem V, melarikan diri dan meminta perlindungan Inggris, maka berdasarkan kesepakatan yang disebut dengan „surat-surat kew‟,35 kekuasaan daerah jajahan Belanda beralih ke Inggris.36 Pada tahun 1813 ketika wilayah Hindia Belanda dikelola oleh Inggris, kekuasaan Kesultanan Cirebon yang sebelumnya sudah terbagi menjadi beberapa kesultanan, kemudian oleh pemerintah Inggris tidak lagi diakui legitimasi kekuasaan dari Kesultanan Cirebon tersebut baik di bidang ekonomi maupun politik karena sudah masuk dalam
34
William James.The Naval History of Great Britain: From the Declaration of War by France in 1793 to the Accession of George IV. (London: R. Bentley,1847), h.27. 35 “Surat-surat kew” diambil dari nama sebuah daerah di Inggris yang bernama „Kew‟ di dekat London,dinamakan surat Kew sebab saat terjadi serangan oleh Napoleon, Willem V dari negeri Belanda berhasil lolos dari serangan pasukan prancis dan melarikan diri ke kerajaan inggris di daerah kew dekat London. Dia mengeluarkan surat/dokumen dari Kew yang memrintahkan agar para pejabat jajahan belanda menyerahkan wilayah mereka kepada Pamannya, Raja Inggris George Wilhelm Friedrich von Hanover 36 Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 248.
12
lindungan Hindia Belanda sebelum kekalahan Belanda atas Prancis.Untuk lebih leluasa menjalankan dominasinya di Cirebon maka dihapuslah Kesultanan Cirebon oleh Raffles yang menjabat sebagai Letnan-Gubernur Jawa saat itu. Maka sejak saat itulah Kesultanan Cirebon kehilangan legitimasi politik dalam pemerintahan di Cirebon dan hanya menjadi pemangku adat saja.37 Pasca pemerintahan singkat Inggris, berdasarkan hasil Konvensi London tahun 1814, Hindia Belanda diserahkan kembali kepada Kepangeranan Belanda Bersatu pada tahun yang sama dengan syarat menyerahkan daerah kekuasaan VOC seperti Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan sebagai gantinya.38 Setelah mendapatkan penguasaannya kembali di Nusantara termasuk di wilayah Cirebon, selanjutnya Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pusat perekonomian dan aktivitas maritim yang dikelola sesuai dengan kepentingan Hindia Belanda. Di lain pihak, penghapusan legitimasi politik Kesultanan Cirebon ketika penjajahan masih dipegang oleh pemerintah Inggris, membuat Kesultanan Cirebon tidak bisa berbuat apa-apa di daerah yang dahulu pernah dikuasainya dan kini berpindah ke pemerintah Hindia Belanda kembali.39 Mangkatnya para sultan generasi pertama dan situasi nyaman yang didapatkan oleh sultan dan keluarganya menjadikan ada rasa malas serta keengganan para penerusnya untuk mengurus politik pemerintahan kesultanan di wilayah Cirebon. Sehingga pada tahun 1880-an, Cirebon diubah menjadi
37
Adeng dan Wiwi Kuswiyah, Kota Dagang Cirebon, h. 40. H. R. C. Wright. 'The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824'. The Economic History Review, New Series, Vol. 3, No. 2 (1950), h. 229-239 39 Abdurachman, Cerbon, h. 63. lihat juga Imas Emalia, Gerakan Politik Keagamaan Di Keresidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011), h.8. 38
13
karesidenan di bawah pemerintah Hindia Belanda guna mempermudah administrasi pemerintahan.40 Setelah menjadi sebuah residensi Cirebon, jabatan kepala residen dan asisten residen diduduki orang-orang Belanda, sementara bagian jabatan yang mengelola distrik-distrik di bawah residen diduduki oleh orang-orang pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh bupati. Perlu diketahui bahwa para bupati di Cirebon ini tidak diambil dari keluarga sultan melainkan dari berbagai latar belakang seperti yang dahulunya abdi dalem di kesultanan lalu kemudian diangkat menjadi bupati. Sultan-sultan yang sebelumnya mempunyai legitimasi politik memutuskan mengundurkan diri dan hanya menjadi pelindung tradisi kesenian lokal seperti membatik dan mengukir kayu dengan alasan pragmatis bahwa mereka tak memiliki kekuatan militer yang memadai guna menentang Belanda secara terang-terangan.41 Sementara itu, keadaan di Pelabuhan Cirebon menjadi kian penting bagi pemerintahan Hindia Belanda karena semakin berkembangnya aktivitas perdagangan di wilayah Cirebon, tersedianya kekayaan alam di wilayah ini terutama daerah hinterland menjadi nilai lebih tersendiri untuk semakin menunjang daerah Cirebon sebagai daerah pemasok hasil bumi (Wingewest) bagi pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya dengan keadaan alam Cirebon yang subur membuat pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk mengeksploitasi hasil alam dengan menjalankan sistem taman paksa pada tahun 1830 untuk menambah nilai ekonomis yang masuk ke kantong Hindia Belanda meskipun
40 41
Abdurachman, Cerbon, h.63. Abdurachman, Cerbon, h. 63.
14
mengakibatkan terjadinya kelaparan besar di Cirebon pada tahun 1844.42 Selain itu, adanya tanam paksa membuat makin meningkatnya persaingan ekonomi global yang bersifat liberal dalam menjual hasil-hasil bumi yang ada di Cirebon, maka sejak tahun 1858 dikeluarkanlah keputusan bahwa Pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan yang menjalankan fungsi ekspor dan impor yang dikelola oleh seorang haven en equipagemeester43dari kalangan Belanda. Setelah adanya penguasaan oleh pemerintah Hindia Belanda atas Pelabuhan Cirebon, maka segala urusan terkait aktivitas maritim seperti perdagangan dan pelayaran kapal yang dilakukan oleh kapal pribumi maupun kapal asing harus memiliki izin yang diberikan oleh permerintahan Hindia Belanda.44 Dikuasainya Pelabuhan Cirebon oleh pemerintah Hindia Belanda menjadikan pula sentral ekonomi dari Kesultanan Cirebon terganggu karena tidak ada lagi pemasukan dari bea cukai pelabuhan dan aktivitas ekonomi sebelumnya masuk ke Kesultanan Cirebon beralih menjadi pendapatan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini karena penguasaan dari Pelabuhan Cirebon berpindah tangan ke pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya Pelabuhan Cirebon dijadikan sebagai pusat pemerintahan dari Hindia Belanda dalam bidang ekonomi di wilayah ini.45 42
Cornelis Fasseur. The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System. (New York : Cornel University Press,1992), h.74. Lihat juga Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 21. 43 Yang dimaksud Haven en Equipameester adalah Kepala Pelabuhan dan Perlengkapan Kapal, dahulunya jabatan ini terkenal dengan sebutan Syahbandar sebagai seorang kepala yang mengelola pelabuhan. Lihat Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 81. 44 Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 140. 45 Lihat Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia (Jakarta: Menara Kudus, 2000), h. 96. Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan maritim yang menggantungkan ekonomi dari perdagangan dan pelayaran, aktivitas ekonomi seperti pasar terpusat di dekat keraton seperti halnya beberapa Kerajaan Islam (Banten, Demak, Malaka, Bandarmasin, dll.) lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 45. Pemerintahan Hindia Belanda mengubah sentra ekonomi seperti pasar menajadi di sekitaran Pelabuhan Cirebon untuk memudahkan pengawasan serta pengumpulan barang komoditas pasar
15
Selain itu pemanfaatan daerah hinterland yang dijadikan perkebunan tebu (gula) dan kopi sebagai pemasok komoditas utama ekspor Pelabuhan Cirebon semuanya diatur oleh pemerintahan Hindia Belanda sehingga membuat para pedagang pribumi dan pemilik lahan menderita karena kebijakan pemanfaatan lahan tersebut lewat penyewaan paksa yang dilakukan oleh aparat pejabat desa yang juga merupakan perpajangan tangan Hindia Belanda.46 Kebijakan ini tidak lain adalah untuk menguntungkan pemerintahan Hindia Belanda dengan meningkatkan produksi dari komoditas ekspor yang laku di pasaran dunia dan selanjutnya di ekspor melalui Pelabuahan Cirebon Memasuki tahun 1924, keluarlah peraturan yang menjadikan Pelabuhan Cirebon dikategorikan kedalam pelabuhan kecil (kleine haven) karena dianggap intensitas kegiatan ekonomi dan ekspor-impor Pelabuhan Cirebon yang mengakomodir produk dari daerah hinterland masih kalah saing dengan Pelabuhan Semarang sebagai pelabuhan besar. Hal ini menjadikan Pelabuahn Cirebon berada di bawah binaan dari Pelabuhan Semarang.47 Selain itu juga penulis rasa, bahwa secara de facto masih adanya Kesultanan Cirebon yang letaknya masih dekat di wilayah pesisir
menjadi kekhawatiran tersendiri,
meskipun para sultan sudah menjadi mitra dari Hindia Belanda, keberadaan ini yang membuat kekuasaanya di hati masyarakat Cirebon masih tetap ada sebagai penguasa masyarakat Cirebon. Sikap ini yang menurut hemat penulis bisa
dan memudahkan para pedagang dari kawasan foreland dalam menjalani aktivitas ekonomi lebih dekat. 46 Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 62. 47 Staatsblad, 1924 No.378, lihat juga Sutejo K. Widodo, Ikan Layang Terbang Menjulang (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), h. 45-46.
16
dijadikan faktor atau alasan lain mengapa Pelabuhan Cirebon masih eksis walaupun dikategorikan sebagai pelabuhan kecil. Meskipun Pelabuhan Cirebon ditetapkan menjadi kleine haven namun, pelabuhan ini tidak kehilangan eksistensinya dan masih menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Pulau Jawa pada awal abad ke-20, setidaknya sekalipun terjadi depresi ekonomi tahun 1930 yang menerpa dunia. Hal ini disebabkan pemanfaatan daerah hinterland dari Pelabuhan Cirebon masih dikelola dengan baik untuk kepentingan Hindia Belanda dan menghasilkan komoditi yang menjadi primadona pada saat itu yakni tebu, kopi, dan indigo. Dengan demikian dikategorikannya Pelabuhan Cirebon sebagai kleine haven dan binaan dari Pelabuhan Semarang tidak begitu menghambat Pelabuhan Cirebon untuk berkembang serta bisa mengimbangi dari 3 pelabuhan besar yang lainnya atas beberapa komoditas ekspor-impor. Betapa vitalnya peran dari adanya Pelabuhan Cirebon yang bisa mempengaruhi sektor ekonomi, politik, dan agama di wilayah Cirebon. Kegiatan maritim tidak saja dengan kalangan domestik seperti simpul aktivitas pesisir utara Pulau Jawa namun jauh lebih luas lagi hubungannya dengan jaringan internasional, seperti yang dikemukakan oleh A.B. Lapian bahwa fungsi pelabuhan dalam negara kepulauaan sangat penting di antaranya adalah penghubung maritim (laut) dan darat.48 Maka dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai Pelabuhan Cirebon yang di dalamnya ada kepentingan pemerintah Hindia Belanda sebagai pemegang kekuasaan pada saat itu dan kalangan pribumi sebagai pihak
48
Lapian, Pelayaran dan Perniagaan , h. 96.
17
terjajah yang memiliki hubungan (kepentingan) pula terhadap Pelabuhan Cirebon baik langsung maupun tidak langsung, terlebih ketika terjadinya depresi ekonomi di Cirebon, yang ternyata mampu bertahan hingga masa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Tahun 1930-1942 dijadikan rentangan waktu yang dikaji oleh penulis karena tahun 1930 merupakan masa dimulainya depresi ekonomi. Ketika Hindia Belanda baru saja menerapkan beberapa kebijakan di daerah hinterland untuk kepentingan pelabuhan seperti penanman gula secara besar-besaran untuk mendpatkan untung yan besar pula, namun kesalahan prediksi yang dilakukan Hindia Belanda karena datangnya depresi ekonomi yang tak diduga sebelumnya mengakibatkan dampak negatif kepada pemerintah Hindia Belanda dan pribumi di Cirebon dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan tersebut menimbulkan kesenjangan di masa yang sulit ekonomi makin terlihat sehingga tuntutan-tuntutan tentang perbaikan taraf hidup makin terdengar dan memunculkan gerakan-gerakan kemerdekaan Indonesia, gerakan-gerakan itu hadir dari masyarakat di sekitar Pelabuhan Cirebon dan daerah hinterlandnya, selain itu pula dapat dilihat peran daerah hinterland Pelabuhan Cirebon yang tidak hanya memiliki peran ekonomis tetapi juga peran dalam pertahanan keamanan bila dikelola dengan baik. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis menganggap penting untuk menulis tentang Pelabuhan Cirebon. Dalam hal ini penulis mengambil judul: “Eksistensi Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930-1942)”. Akan tetapi karena letaknya yang kurang strategis dibandingkan dengan Pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa, menjadikan Pelabuhan Cirebon tidak lebih terkenal dibandingkan dua pelabuhan tersebut. Meskipun demikian, penulis rasa penting untuk diadakannya kajian tentang Pelabuhan Cirebon karena
18
Pelabuhan Cirebon kini merupakan salah satu Pelabuhan yang tetap eksis melakukan kontak akivitas sosial dan ekonomi bila dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan yang dahulu sempat ada di daerah atau berdekatan dengan daerah Cirebon. Ditambah dengan adanya sokongan dari daerah hinterland Pelabuhan Cirebon menjadikan Cirebon sebagai salah satu Pelabuhan penting pada masa Hindia Belanda. Terlepas dari eksistensi Pelabuhan Cirebon ini yang ternyata pada tahun 2004 di perairan Cirebon terjadi penemuan harta karun bawah laut terbesar yang pernah ditemukan di daerah Asia yang berasal dari kapal yang tenggelam di perairan tersebut.49 Penemuan harta karun bawah laut tersebut yang dilelang tahun 2010 setidaknya bisa menambah gambaran dan informasi berharga bahwa betapa pentingnya Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan internasional yang memiliki peranan cukup besar serta menjadi tujuan dari kedatangan bangsabangsa dari luar Nusantara termasuk penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Belum adanya pelabuhan besar yang mengakomodir jalur laut Provinsi Jawa Barat pun menjadi menarik bila diadakan kajian tersendiri sebab di Provinsi Jawa Barat sendiri menurut hemat penulis, kebutuhan akan adanya pelabuhan besar yang mengakomodir aktivitas laut di daerah Jawa Barat sangat penting, dalam hal ini Pelabuhan Cirebon memiliki peluang besar untuk kembali menjadi sebuah Pelabuhan Besar bila kembali menelisik tarikan sejarah masa lalu. Dari pemaparan di atas diidentifikasi ternyata banyak masalah yang terjadi di Pelabuhan Cirebon ataupun wilayah Cirebon itu sendiri. Seperti masalah politik Kesultanan Cirebon, etnis pendatang yang masuk ke Cirebon memalui Pelabuhan
49
http://nasional.kompas.com/read/2010/05/03/07370983/Harta.Karun.Rp.720.Miliar.Dile lang.Rabu diakses hari Selasa 28 Juli 2015 Pukul 12.08 wib.
19
Cirebon, dan masalah tentang eksistensi Pelabuhan Cirebon saat terjadi depresi ekonomi. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, masalah pokok
yang akan penulis kaji dalam skripsi ini adalah sejauh mana eksistensi Pelabuhan Cirebon ketika depresi ekonomi melanda seluruh dunia hingga berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda. Tentunya akan dibahas proses sebelum maupun sesudah terjadi depresi ekonomi dengan melihat kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda terkait dengan Pelabuhan Cirebon, yang berdampak terhadap dinamika yang terjadi dalam masyarakat Cirebon baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis juga ingin menjelaskan dampak dari kebijakan Hindia Belanda masa depresi berdasarkan sumber-sumber sejarah, terhadap eksistensi Pelabuhan Cirebon dalam rentang tahun 1930-1942. Pembatasan periode sekitar tahun 1930-1942 dipilih karena saat terjadi masa-masa sulit karena datangnya depresi ekonomi maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda terkait dengan Pelabuhan Cirebon maupun yang berhubungan dengan Pelabuhan Cirebon seperti pembatasan kapal yang berlabuh di pelabuhan Cirebon dengan harus memiliki izin berlabuh dari pelabuhan di Batavia dahulu sebelum bisa singgah di Pelabuhan Cirebon, selain itu kebijakan penanaman komoditas dagang utama seperti tebu di daerah hinterland dari Pelabuhan Cirebon sangat berhubungan dengan aktivitas ekspor – impor di Pelabuhan Cirebon.50 Pada periode tersebut selain tujuan utama dari
50
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 226-227.
20
pemerintaha Hindia Belanda untuk mengeruk keuntungan dari kekayaan alam di Cirebon, sekalipun masa itu adalah masa yang sedang sulit, juga secara politik adalah untuk melanggengkan dominasi kekuasaan di Cirebon yang merupakan bekas kekuasaan Kesultanan Cirebon. Lebih jauh lagi dalam rentang waktu tersebut kekuasaaan Hindia Belanda di Cirebon memberikan dampak politik dan ekonomi terhadap masyarakat Cirebon hingga tahun 1942. Dengan demikian akan dibahan pula dampak ekonomi dan politik yang terjadi di Cirebon pada masa itu. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: 1.
Bagaimana keadaan masyarakat Cirebon tahun 1930-1942 ?
2.
Bagaimana fungsi Pelabuhan Cirebon tahun 1930-1942 dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda ?
3.
Bagaimana
sikap
masyarakat
Cirebon
terhadap
kebijakan
pemerintahan Hindia Belanda menjelang dan sesudah masa depresi terkait masalah di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya ? C.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menelaah lebih jauh bagaimana keadaan Pelabuhan Cirebon sebagai salah satu pusat perekonomian di pesisir utara Pulau Jawa yang menjadi pintu masuknya perkembangan agama Islam di Cirebon.
2.
Mengetahui bagaimana fungsi dari Pelabuhan Cirebon tahun 19301942, yaitu masa Pemerintahan Hindia Belanda.
3.
Mengkaji lebih jauh mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda tahun 1930-1942 tentang fungsi Pelabuhan Cirebon.
21
4.
Untuk lebih mendalami potensi kemaritiman di wilayah Cirebon dan mencari akar masalah mundurnya eksistensi Pelabuhan Cirebon.
Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Edukatif, dapat menjadi pelajaran bagi Bangsa Indonesia pada umumnya dan rakyat Cirebon pada khususnya di mana Cirebon sebagai bagian wilayah pusat dari perkembangan Islam di Jawa Barat, mengenai
betapa
pentingnya
peran
sebuah
pelabuhan
bagi
pengembangan ekonomi dan untuk melindungi eksistensi pelabuhan, maka perlu adanya kedaulatan dalam bidang politik. 2.
Manfaat Inspiratif, memberikan motivasi lebih bagi para akademisi Sejarah Kebudayaan Islam dan para peminat serta pemerhati sejarah untuk mendalami sejarah di bidang maritim Indonesia, karena Indonesia adalah Negara yang sudah memiliki gen sebagai Negara Maritim.
3.
Manfaat sebagai sarana transfer keilmuan dan pemikiran mengenai Sejarah Maritim kepada khalayak luas.
4.
Memberikan sumbangan keilmuan berupa karya sejarah atau historiografi bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Fakultas Adab dan Humaniora khususnya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam terkait dengan tulisan yang berhubungan dengan sejarah maritim yang masih sangat minim diminati di kalangan mahasiswa sejarah.
22
D.
Tinjauan Pustaka Penulis menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
diambil yakni, Pelabuhan Cirebon: Studi Ekonomi Politik Masa Hindia Belanda (1930 – 1942), dalam pencarian penulis di koleksi Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ternyata belum ada tulisan yang membahas pelabuhan secara mendetail termasuk sejarah dari Pelabuhan Cirebon. Namun, saat penulis mencari literatur di Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) penulis menemukan penelitian tesis S2 Universitas Gajah Mada (UGM) dari Singgih Tri Sulistiyono yang juga membahas tentang Pelabuhan Cirebon dengan judul Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930, penelitian ini menjelaskan tentang keadaaan Pelabuhan Cirebon saat di buka tahun 1859 oleh Pemrintahan Hindia Belanda sebagai pelabuhan yang berfungsi sebagai ekspor dan impor hingga munculnya depresi tahun 1930.51 Dalam tesis ini Singgih menjelaskan potensi Cirebon di daerah pedalaman namun tidak menjelaskan potensi pesisir dari Pelabuhan Cirebon, ini menjadikan salah satu perbedaan yang panulis angkat. Selain itu, tahun kajian dari penulis juga berbeda dengan tahun kajian dalam tesis Singgih, namun bisa dikatakan juga penulis melanjutkan apa yang telah ditulis sebelumnya oleh Singgih tapi penulis menambahkan beberapa bagian yang belum tersentuh seperti potensi pesisir dan pergerakan perjuangan kaum pribumi untuk mendapatkan hak politik dan kehidupan lebih layak.
51
Singgih Tri Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”(Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 1994), h. 1-3. (tidak diterbitkan)
23
Buku yang berjudul Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial karangan Jan Breman dengan penerbit LP3ES, tahun 1986.52 Memberikan informasi tentang reformasi agraria (undang-undang agraria) di wilayah Cirebon, memberikan banyak gambaran terkait komoditi dagang daerah hinterland Pelabuhan Cirebon serta beberapa kebijakan terkait komoditi dagang tersebut serta dampak yang terjadi terhadap kaum buruh di kawasan Cirebon. Maskipun ada kesamaan tempat yang di ambil dalam penelitiannya namun Jan Breman hanya fokus pada daerah hinterland berbeda dengan penelitian penulis yang mengabungkan keadaan hinterland dan pesisir. Buku Cilacap 1830 – 1942 Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa karya Susanto Zuhdi yang diangkat dari tesis S2 diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, merupakan buku rujukan penulis dan menginformasikan banyak tentang komoditas-komoditas ekspor impor di Cirebon dan Cilacap, buku ini pun penting untuk penulis membandingkan eksitensi dan peran Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Cilacap memiliki daerah hinterland sama. Perbedan tempat kajian sudah menjadikan pembeda antara skripsi yang akan penulis tulis. Selain buku-buku tentang maritim, sosio-ekonomi Cirebon penulis mendapatkan pula buku karangan Imas Emalia berjudul Gerakan Politik Keagamaan Islam Karesidenan Cirebon 1911-1942 diterbitkan Pustaka Intermasa tahun 2011.53 Menjelaskan tentang keadaan keagamaan yang terjadi pada tahun 1930-1942 di Cirebon. Dapat diketahui pula dari buku ini di Cirebon dalam hal
52
Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986) 53 Imas Emalia, Gerakan Politik Keagamaan Di Keresidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011)
24
keagamaan memiliki karakteristik yang khas yakni dengan adanya jabatan penghulu yang memiliki kaitan dengan kebijakan Politik Islam Hindia Belanda. Kajian dari Imas jelas berbeda dengan studi yang penulis ambil namun memiliki kesamaan di tahun kajian. E.
Kerangka Teori dan Pendekatan Peran sebuah pelabuhan dapat semakin tergambar ketika sejauh kapal
berlayar melintasi samudera dan laut pasti suatu ketika akan menepi ke pelabuhan. Dalam mengkaji sejarah maritim, peran pelabuhan sangat penting sebagai pusat aktivitas dari kegiatan maritim. Seperti aktivitas pelayaran dan perdagangan yang berlangsung di pelabuhan mempunyai pengaruh besar terhadap dianamika masyarakat dan perkembangan suatu tempat yang dekat dengan pelabuhan menjadi sebuah kota pelabuhan (port city).54 Untuk memahami pelabuhan dalam perspektif historis, maka dibutuhkan pemahaman tentang konsep pelabuhan itu sendiri. Terdapat dua konsep terkait pengertian pelabuhan, yakni mengacu pada konsep fisik dan ekonomi. Berdasarkan konsep fisik (harbour) memiliki pengertian pelabuhan sebagai tempat berlabuhnya kapal serta menjadi tempat berlindungnya kapal-kapal dari ombak besar. Sementara itu, berdasarkan konsep ekonomi (port) adalah pelabuhan dilihat sebagai tempat atau pusat dari tempat tukar menukar atau keluar masuknya
barang-barang
komoditas
antara
daerah
hinterland
(daerah
pedalaman)55 dan foreland (daerah sebrang).56 Begitu pula di Cirebon yang
54
Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 101. 55 Yang dimaksud dengan hinterland adalah daerah-daerah yang terletak di sekitaran pelabuhan termasuk didalamnya adalah kota pelabuhan itu sendiri dan kota-kota serta daerahdaerah pedalaman di luar kota pelabuhan yang saling memiliki hubungan ekonomi dengan
25
menjadi wilayah penelitian penulis dalam skripsi ini memiliki 2 (dua) konsep seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagai harbour, Pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat berlindung dari ombak karena letak geografis Cirebon yang menjorok ke dalam serta sebagai pelabuhan transit kapal-kapal antar pulau (interinsuler). Sebagai port, Pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat keluar masuknya arus komoditas yang dihasilkan oleh daerah hinterland maupun dari daerah foreland dibutuhkan pasar regional maupun global. Penjelasan penulis dapat diketahui bahwa Pelabuhan memiliki konsep harbour dan port. Namun, pada penelitian yang dibahas oleh penulis antara tahun 1930-1942 menjelaksan peran penting dari Pelabuhan Cirbon dengan konsep port yakni pembahasan tentang ekonomi di pelabuhan dan fluktuatif dari volume dan nilai ekspor impor menjadi indikator dari aktivitas maritim di Pelabuhan yang masih tetap eksis meski terjadi depresi ekonomi di dunia. Singgih Tri Sulistiyono dalam bukunya Pengantar Sejarah Maritim Indonesia, “Eksistensi sebuah pelabuhan perlu dipahami dari sisi arti itu sendiri, sehingga dapat diketahui peran apa yang dimainkan oleh sebuah pelabuhan dan ini pun akan memeberikan arahan untuk memahami penelitian tentang pelabuhan”.57 Menurut R. Bintarto, pelabuhan memiliki empat arti.58 Pertama, arti ekonomis karena sebuah pelabuhan mempunyai fungsi sebagai tempat ekspor pelabuhan. Lihat Agus Supriyono, “Hubungan Antara Pelabuhan dengan Daerah-Daerah Hinterland: Studi Kasus di Pelabuhan Semarang Pada Masa Kolonial Belanda Abad XX, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi, ed., Arung Samudera: Persembahan Sembilan Windu A.B. Lapian, (Depok: PPKB LP UI, 2001), h. 21. 56 Yang dimaksud dengan foreland adalah daerah sebrang, daerah sebrang disini merupakan daerah yang terletak di sebrang pusat perdagangan dan penulis menyebutnya daerah sebrang lautan. Lihat Singgih Tri Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”(Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 1994), h. 11. (tidak diterbitkan) 57 Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 104. 58 R. Bintarto, Beberapa Aspek Geografi (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1968), 33.
26
impor dan kegiatan ekonomi lainnya. Kedua, arti budaya karena pelabuhan menjadi tempat pertemuan berbagai bangsa, sehingga kontak-kontak sosial budaya dapat terjadi terhadap masyarakat setempat. Ketiga, arti politis karena pelabuhan memiliki arti ekonomis sebagai urat nadi negara, maka harus dipertahankan. Keempat, arti geografis karena keterkaitannya dengan lokasi dan syarat-syarat berlangsungnya sebuah pelabuhan. Berdasarkan dari yang dikemukakan oleh R. Bintarto, penulis akan lebih fokus mengkaji sejarah pelabuhan dengan menggunakan pendekatan ekonomi dan politik sebab ekonomi menjadi faktor penting yang tak bisa dilepaskan karena kegiatan ekonomi dan para pelakunya terus berkembang saling berhubungan menjadi sebab akibat. Dan politik sangat erat juga kaitannya dengan ekonomi terlebih saat mengkaji sejarah maritim di masa pemerintahan Hndia Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia
memiliki posisi yang sangat penting dalam
mata rantai perekonomian Hindia Belanda pada masa itu dan kelak menjadi dasar dari perkembangan perkonomian di Indonesia. F.
Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian sejarah
dengan bersifat deskriptif analitis yakni dengan proses menguji dan menganalisis data rekaman jejak dan peninggalan pada masa lampau.59 Maka dalam penelitian ini penulis menguraikan dan menggambarkan keadaan dinamika yang terjadi di Cirebon terkait dengan Pelabuhan Cirebon tahun 1930-1942. Dengan analisa data untuk mendapatkan fakta objektif terkait korelasi dan dampak dari kebijakan
59
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UIPress, 2006), h. 39.
27
fungsi Pelabuhan Cirebon terhadap aspek ekonomi dan politik, di Cirebon yang menjadi objek kajian penulis. Adapun langkah-langkah penulisan yang penulis tempuh sebagai berikut,60 yaitu: 1.
Heuristik
Heuristik adalah kegiatan untuk mengumpulkan sumber sejarah. Adapun sumber yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber, yaitu: sumber tertulis yang bersifat primer berupa arsip-arsip sezaman. Selain itu sumber-sumber yang bersifat sekunder seperti buku-buku, tesis, desertasi, dan sebagainya. Langkah awal penulis lakukan untuk mencari sumber data, adalah menggunakan teknik libray research (penelitan/studi kepustakaan) dan studi kearsipan61, yakni suatu cara memeperoleh data dengan mempelajari buku-buku yang ada di berbagai perpustakaan dan mempelajari arsip-arsip yang berkaitan dengan penulisan. Maka dari itu penulis mengunjungi beberapa perpustakaan milik lembaga ataupun lembaga arsip dan individu yang memiliki koleksi buku maupun arsip yang terkait dengan penulisan ini, seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, penulis dapat memperoleh beberapa sumber primer berupa arsip untuk memperoleh data berupa arsip Staatsblad van NederlandschIndie,
Regeeringsalmanak
Nederlandsch-Indie,
ENI
(Encyclopaedie
vanNederlandsch-Indie), Citra Daerah Cirebon dalam Arsip, dan beberapa sumber pendukung lainnya. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta untuk mendapatkan sumber-sumber Cirebon awal abad ke-20 berupa koran-koran 60
Muhamad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, (Bandung: Yrama Widya, 2011), h.32. Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah sebuah Pengantar. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 222. 61
28
sezaman untuk memahami dinamika yang terjadi di Cirebon pada masa itu, juga micro file sebagai bahan-bahan sumber primer dan buku-buku yang ada di perpustakaan ANRI sebagai sumber sekunder yang berkaitan dengan tema penulisan skripsi ini. Dari Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) penulis menemukan hasil-hasil penelitian terkait dengan Cirebon dan pelabuhan seperti karya dari Masyhuri yang berjudul “Interaksi VOC dengan Pantai Utara Jawa”, memberikan wawasan tentang penulisan ini. Dari Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan mendapatkan buku atlas Pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia yang mendukung Pelabuhan Cirebon sebagi salah satu pelabuhan bersejarah di Indonesia. Dari Perpustakaan TNI mendapatkan buku terkait perlawanan - perlawanan yang terjadi di sekitaran daerah Cirebon. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Universitas Indonesia, penulis juga mendapatkan buku-buku terkait tema penulisan ini. Dari beberapa perpustakaan pribadi milik beberapa dosen seperti Imas Emalia, Didik Pradjoko, dan Saidun Derani penulis banyak mendapatkan buku-buku pendukung dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mendapatkan beberapa sumber pendukung dari teman penulis yakni Tika Rahmadini yang sedang melanjutkan studi S2 di Leiden Belanda dan dari Dini Nurlaelasari mahasiswa S2 UNPAD. Tak disengaja pula penulis bertemu dengan Dr. Bart Luttikhuis seorang peneliti sejarah dari Belanda yang sedang melakukan penelitian di Indonesia, beliau membarikan masukan dan beberapa sumber situs yang bisa diakses. Selanjutnya untuk dapat membantu memahami dan merasakan keadaan Pelabuhan Cirebon masa lalu dengan realita
29
saat ini penulis juga mengunjungi langsung Pelabuhan Cirebon yang di dalamnya kini terdapat PT. PELINDO II selaku pengelola Pelabuhan Cirebon. 2.
Kritik Sumber
Setelah data-data terkumpul, tahapan selanjutnya adalah kritik sumber. Penulis berusaha melakukan kritik dengan memverifikasi dan menguji sumber baik yang bersifat kritik intern maupun ekstern. Kritik intern adalah menilai kredibiltas serta kelayakan sumber-sumber yang penulis daatkan untuk dapat mengungkap kebenaran sejarah pada kurun waktu peristiwa yang penulis ambil. Beberapa sumber yang penulis kritisi adalah temuan arsip-arsip dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki relevansi seperti Staatsblad, Verslag, Memori Sarah Terima Jabatan, Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, kontrak-kontak kesultanan dan surat kabar sezaman. Penulis juga melakukan kritik ekstern dibantu oleh beberapa pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia tentang keaslian dokumen yang penulis teliti dalam penulisan skripsi ini seperti pengecekan tanggal terbit dokumen arsip untuk menyesuaikan dengan tahun bahasan penulis. Selain itu, meskipun ada kontrak-kontran yang berangka tahun jauh lebih kebelakang dari rentang waktu yang penulis bahas, tetap masuk dalam sumber yang penulis pakai karena memiliki benang merah sampai pada tahun yang penulis bahas. 3.
Interpretasi
Tahapan selanjutnya adalah Interpretasi, penulis menyusun fakta-fakta yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya ditafsirkan lalu dikembangkan sesuai dengan imajinasi penulis yang tetap berpedoman pada data dan fakta yang sudah terkumpul tadi agar menjadi cerita peristiwa sejarah yang hidup, menarik, dan
30
memiliki tafsiran kebenaran terhadap peristiwa sejarah seperti terjadi di Pelabuhan Cirebon masa 1930 – 1942. Bila mengambil intisari dari tuliasan M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi dalam bukunya Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar dapat dimaknai bahwa sejarah akan menjadi tumpukan debu tanpa adanya imajinasi dari penulis yang menghidupkan alur cerita dalam tulisan sejarah tersebut. 4.
Historiografi
Historiografi merupakan tahapan akhir, yakni menuliskan buah karya dari pemikiran penulis dan hasil dari tahapan-tahapan sebelumnya. Serta memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman penulisan. Historiografi ini adalah berupa skripsi pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam dan merupakan kajian atas Sejarah Maritim. Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi,” yang berada dalam buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) tahun 2007 dan Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diterbitkan oleh Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.62 Sehingga dalam penyajiannya diharapkan menjadi suatu karya tulis yang bernilai, baik dari segi isi maupun dalam tatacara penulisan.
62
Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) (Jakrta: CeQDA UIN Jakarta, 2007) h. 11. Lihat juga Tim Penyusun, Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta, 2013) h. 353.
31
G.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini akan disusun atas pembagian bab dan sub bab
sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan; menguraikan tentang akar persoalan yang melatar belakangai penulis dalam mengangkat tema ini. Rumusan masalah sebagai penjelasan daari latar belakang masalah. Tujuan penelitian merupakan orientasi dan arah penelitian. Manfaat penelitian merupakan harapan bagi penelitian masa selanjutnya. Tinjauan pustaka sebagai referensi awal penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang berbagai kajian yang serupa. Metode penelitian yang merupakan pedoman yang penulis lakukan dalam penelitian. Sistematika penulisan sebagai uraian tentang berbagai penjelasan yang tertulis dalam penulisan ini. BAB II : menguraikan tentang gambaran umum kondisi geografis Cirebon, baik keadaan geografis pertanian maupun pesisir, sehingga berimplikasi pada karakteristik perekonomian masyarakatnya. BAB III : Pada bab ini menguraikan tentang keadaan Pelabuhan Cirebon sejak masa depresi ekonomi mulai melanda sampai berakhirnya masa kolonial Belanda. Dijelaskan juga sedikit uraian tentang Pelabuhan Cirebon sebelum masa depresi yang dilanjutkan dengan kegiatan ekonomi berupa ekspor – impor yang terjadi di Pelabuhan Cirebon. dijelaskan juga dinamika masyarakat kota Pelabuhan Cirebon saat itu dan sarana transportasi untuk komoditas ekspor – impor di Pelabuhan Cirebon. BAB IV : Bab ini penulis menjelaskan tentang kemunculan gerakan politik di Cirebon sebagai dampak dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di Pelabuhan Cirebon dan sekitarnya yang berimbas terhadap
32
masyarakat Cirebon. Dijelaskan pula kiprah dari pergerakan-pergerakan yang hadir di sekitan Pelabuhan Cirebon dan daerah hinterland sebagai bentuk reaksi dari ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda dan diakhiri dengan pembahasan kedatangan Jepang di Pulau Jawa. BAB V : Penutup, sebagai kesimpulan akan menguraikan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis menyampaikan temuan-temuan terkait sejarah maritim. Selanjutnya adalah saran sebagai bahan acuan bagi perbaikan untuk berbagai hal yang dilihat kurang sempurna yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan. Selain itu adalah harapan untuk lebih mengembangkan lagi kajian Sejarah Kebudayaan Islam, khususnya pada aspek maritimnya baik oleh program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam maupun mahasiswanya.
33
BAB II
KONDISI GEOGRAFIS DAN MASYARAKAT DI CIREBON TAHUN 1930-1942 A.
Kondisi Geografis Penelusuran tentang nama awal Cirebon memiliki banyak versi, ada yang
mengatakan bahwa kata Cirebon merupakan perubahan dari pelafalan masyarakat dari kata “Caruban” => “Carbon” => “Cerbon” => selanjutnya menjadi “Cirebon” hingga saat ini. Bila menelisik kembali data sejarah, kata Cirebon dapat ditemukan pada kitab Carita Purwaka Caruban Nagari berangka tahun 1720 ditulis oleh salah satu pangeran dari Kesultanan Cirebon yakni Pangeran Aria Cirebon yang selanjutnya ditulis kembali oleh P. S. Sulendraningrat. Dalam kitabnya mengatakan Cirebon berasal dari kata Sarumban yang berarti centrum atau pusat dari tempat percampuran penduduk dari berbagai tempat, bangsa, dan agama.63 Ini dapat dipahami pula bila melihat struktur masyarakat di Cirebon, karena Cirebon merupakan salah satu pusat dan tujuan masyarakat dari berbagai penjuru untuk datang ke daerah ini. Namun kata Cirebon lebih dikenal dari perpaduan dua suku kata Sunda yaitu “ci” (air) dan “rebon” (udang kecil). Bila dilihat dari hasil bumi yang ada di daerah Cirebon sendiri banyak menghasilkan rebon (udang kecil) yang memiliki kualitas bagus dan penghasil terasi berbahan baku utama rebon. Ihwal penamaan Cirebon pula biasa dikaitkan dari cerita Pangeran Walangsungsang (putra sulung Prabu Siliwangi sekaligus paman dari Syarif Hidayatullah) dalam membuat terasi
63
Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: CV. Eka Dharma, 1998), h. 11. lihat juga Imas Emalia, Gerakan Politik Keagamaan Di Keresidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011), h. 20.
34
saat memeras air dari perasaan rebon tumbuk itu ternyata memeiliki rasa yang lebih nikmat dari terasi itu sendiri, sehingga tersebutlah kata Cirebon.64 Meskipun Cirebon terkenal dengan hasil bumi rebonnya, namun tidak dipungkiri juga bahwa daerah Cirebon pun menghasilkan produk bumi yang amat baik dan subur, seperti bukti catatan Tome Pires yang mengemukakan bahwa beras dari Cirebon sudah diekspor ke Malaka yang mempunyai kualitas dan mutu bagus dan diekspor melalui pelabuhan yang ada di Cirebon.65 Perlu diketahui tentang Pelabuhan Cirebon yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian skripsi ini tidak bisa dipisahkan dengan kota tempat pelabuhan itu berada, yakni Kota Cirebon karena keduanya memiliki hubungan saling berkaitan. Bila mengutip tulisan dari Singgih Tri Sulistiyono, beliau berpendapat ada hubungan yang sangat kuat antara pelabuhan dengan kota pelabuhan dan daerah hinterland. Selanjutnya beliau menambahkan pula, pembahasan terhadap kota pelabuhan secara menyeluruh sering menempatkan pelabuhan dalam posisi rendah, sehingga kota pelabuhan sering kehilangan sifat maritimnya. Namun juga, bila penelitian yang dilakukan terhadap suatu pelabuhan tanpa menunjukkan dan menganalisis dari kota tempat pelabuhan itu berada dapat menghilangkan fungsi dari kota pelabuhan sebagai hal yang sangat berkaitan.66 Dengan demikian sesungguhnya berbicara Pelabuhan Cirebon adalah tidak bisa dipisahkan dengan Kota Pelabuhan Cirebon. Kota Cirebon merupakan kota pesisir utara Provinsi Jawa Barat paling timur yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan sumber terkait 64
Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Alqaprint: Bandung, 2000), h.
28. 65
Adeng, Kota Dagang Cirebon, h. 2. Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar Sejarah Maritim Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 103. 66
35
wilayah Cirebon dahulu merupakan wilayah yang berada di kawasan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran sendiri sebenarnya memiliki pelabuhan lain seperti Muarajati, Indramayu dan Singapura yang lebih dahulu dibangun. 67 Pelabuhan Cirebon pada akhirnya menjadi pelabuhan yang tetap berkembang dengan baik bertahan sampai sekarang. Dimulai dari berdirinya sebagai sebuah Kerajaan Islam di Cirebon, kota Cirebon sudah memiliki posisi yang cukup penting, yakni sebagai ibukota Kesultanan Cirebon. Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda pun Kota Cirebon masih menjadi tempat yang memiliki posisi penting dengan menjadi ibukota karesidenan Cirebon. Cirebon ditetapkan menjadi sebuah kota “gemeente” pada tahun 1906,68 yang oleh karena perkembangnnya yang pesat pada 1926 kemudian ditingkatkan statusnya menjadi stadgemeente dengan otonomi yang semakin luas untuk mengatur pengembangan kota.69 Walaupun telah mengalami beberapa peralihan kekuasaan, namun Cirebon masih menjadi tempat yang memiliki peran penting. Hal ini membuktikan bahwa Cirebon merupakan salah satu tempat yang istimewa baik saat masa pemerintahan Kesultanan Cirebon maupun masa Hindia Belanda. Letak yang strategis sebagai penghubung dari Batavia ke daerah timur Pulau Jawa serta memiliki wilayah daratan yang cukup subur, telah menjadikan salah satu faktor penting bagi wilayah Cirebon sebagai salah satu tempat yang istimewa bagi pemerintah Hindia Belanda.
67
Adeng, Kota Dagang Cirebon, h. 48-49. Lihat Staasblad 1906, No. 122. Gemeente adalah Kota Praja atau bisa disebut juga Kota Madya, kota yang diberikan otonomi administrasi khusus dan hanya diberikan kepada beberapa kota saja yang dianggap penting mulai tahun 1906. Lihat juga Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 221. 69 Pauline Dublin Milone, Urban Areas in Indonesia: Administrative and Cencus Concepts. Research Series No. 10 (Berkeley: Institute of International Studies University of California,1966), h. 20. 68
36
Gambar 1: Peta Gemeente Cirebon Masa Kolonial (Sumber: Tropenmuseum)
Bila melihat peta dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda tahun 1887 tentang batas wilayah dari Kota Cirebon, batas sebelah utara adalah selokan yang membujur antara Desa Tangkil dan Kejaksan sampai dengan barat laut pekarangan tempat tinggal residen. Batas sebelah barat adalah pekarangan dan jalanan yang membujur antara Tangkil dan Sunyaragi sampai kali Sigarampak sampai dengan pertemuan Desa Sunyaragi dan Desa Kanggraksan. Di sebelah selatan batas itu membujur dari pertemuan kedua desa itu ke timur
37
sampai kali Kasunenan terus ke hulu sampai ke pantai. Bagian timur dibatasi oleh Laut Jawa.70
Gambar 2: Peta Pulau Jawa dan Pembagian Residensi (Sumber: Melvill van Cambee, P. & W.F, Verslag, Algemeene Atlas van Nederlandsch Indie)
Bila melihat letak geografis Pelabuhan Cirebon yang berada di Kota Cirebon ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa namun berada di teluk yang menjorok kedalam, membuat Pelabuhan Cirebon cukup strategis dan aman untuk disinggahi kapal-kapal dari terjangan ombak besar. Selain itu, bila melihat letak Pelabuhan Cirebon di pesisir utara Pulau Jawa
dan berada di tengah jalur
perlintasan kapal-kapal menuju pelabuhan-pelabuhan besar untuk mengangkut komoditas tiap daerah menjadikan Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan yang tepat untuk melakukan transit sebelum melanjutkan perjalanannya. Selanjutnya yang membuat posisi Pelabuhan Cirebon kian strategis dan penting adalah daerah hinterland di sekitar Pelabuhan Cirebon terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan daerah pegunungan seperti Gunung Ciremai yang tanahnya amat subur. Beras menjadi salah satu hasil dareah hinterland yang 70
Lihat Staatsblad 1887, No. 159. Lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 38.
38
menjadi unggulan dari Pelabuhan Cirebon untuk di ekspor ke berbagai daerah hingga ke Malaka sebagai pemasok barang tersebut.71 Setelah terjadi rekomendasi tanam paksa yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Van den Bosh tahun 1830 maka dilakukan riset pula mengeni daerah Cirebon yang hasilnya menunjukan bahwa wilayah Cirebon merupakan daerah yang cocok untuk penanaman indigo dan tebu.72 Cirebon sendiri merupakan wilayah utama penghasil tebu di tanah Pasundan dan menempati urutan ke-4 dalam wilayahwilayah penghasil tebu terbesar di Pulau Jawa setelah Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo.73 Menurut sumber yang penulis dapat, dijelaskan bahwa komoditi tebu dari daerah Cirebon merupakan komoditi unggulan Hindia Belanda hingga abad ke-20. Daerah dataran tinggi dari hinterland Cirebon juga menghasilkan komoditi unggulan yakni kopi sebagai salah satu kopi terbaik di Jawa. Hal ini karena tanah di daerah tempat ditanaminya kopi tersebut adalah tanah yang subur. Selain itu terdapat buah-buahan dan sayur-sayuran serta daging dari hewan-hewan ternak adalah juga dapat menopang Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan dinamis sehingga mampu bersaing dalam memenuhi permintaan pasar.74 Karakter masyarakat pesisir dan daratan yang berada di Cirebon dapat mempengaruhi komoditi-komoditi mata dagangan di Pelabuhan Cirebon ataupun daerah sekitarnya. 71
A. M. Djuliati Suroyo, dkk., Sejarah Maritim Indonesia 1: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17 (Semarang: Jeda, 2007), h. 122. 72 Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 20. 73 William J. O‟Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth, William J. O‟Malley dan Anna Wideman (Penyunting), Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 206. 74 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas (Bandung: Pemerintah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 1991), h. 47.
39
B.
Keadaan Masyarakat Cirebon Berdasarkan beberapa sumber yang menjelaskan tentang letak geografis
Cirebon, dapat diketahui bahwa Cirebon memiliki dua karakter wilayah berbeda yakni wilayah pantai (pesisir) dan wilayah daratan (pertanian) yang sama-sama bersentuhan serta memiliki keterkaitan dengan Pelabuhan Cirebon baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini berimplikasi terhadap ciri kehidupan masyarakat di kedua wilayah tersebut, serta terlihat pula dari cara mereka memanfaatkan potensi dari keadaan geografis di wilayah mereka masing-masing. 1.
Masyarakat Pesisir
Menurut Masyhuri wilayah pantai dari Karisedenan Cirebon lebih tepatnya di sekitar Indramayu dan Cirebon pesisir, memiliki mata pencaharian untuk menunjang kehidupan mereka adalah berprofesi sebagai nelayan. Faktor penyebab hal tersebut adalah bahwa perairan pantai di daerah Cirebon kaya akan ikan. Seperti halnya pula di beberapa tempat di sekitar pesisir utara Pulau Jawa semisal Batavia, Kepulauan Seribu, Pemalang, Pekalongan, Juana (Pati), Jepara, Rembang, Sedayu, Gersik, laut antara Pulau Bawean, dan pentai utara Madura, serta perairan di Kepulauan Madura, terutama di Sapudi dan Kangean.75 Semuanya merupakan tempat-tempat di pesisir Jawa yang ikannya melimpah. Di daerah Cirebon penangkapan ikan dan pengolahan hasil dari tangkapan masih menggunakan cara tradisional,pekerjaaan menangkap dan mengolah ikan inilah yang menjadi matapencaharian utama nelayan di sekitar pesisir Pantai Cirebon. Setidaknya ada 2 (dua) tipe nelayan di perairan Pelabuhan Cirebon, yakni nelayan dekat pantai dan nelayan lepas pantai, para nelayan yang 75
Masyhuri, Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1996), h. 32.
40
bermatapencaharian dekat pantai sedikit berbeda dengan para nelayan yang bekerja menangkap ikan di lepas pantai karena nelayan lepas pantai tergolong nelayan komersial. Para nelayan lepas pantai, di daerah Cirebon menangkap ikan menggunakan mayang dan jaring payang tersebut. Namun, penggunaan mayang dan jaring payang di kawasan Jawa Barat kurang begitu populer hanya di wilayah Indramayu dan Cirebon yang cukup populer menggunakan mayang dan jaring payang. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang cukup menonjol dalam pemakaian mayang dan jaring payang dalam menangkap ikan. Hal tersebut bisa dimengerti, karena penangkapan ikan dengan cara demikian kebanyakan dilakukan oleh nelayan penuh yang bertempat tinggal di daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara itu nelayan penuh yang tinggal di Jawa Barat jauh lebih sedikit.76
Gambar 3: Foto perahu-prahu nelayan pribumi di Pelabuhan Cirebon (Sumber: KITLV)
Pada awal tahun 1920an, kegiatan penangkapan ikan di wilayah Hindia Belanda, diantaranya wilayah pesisir Cirebon mulai nampak persaingan antara nelayan pribumi dan nelayan asing. Keadaan tidak seimbang baik dalam bidang 76
Masyhuri, Menyisir Pantai Utara, h. 47.
41
teknologi (nelayan pribumi masih menggunakan perahu tradisional) dan modal (terbatas yang di dapatkan oleh nelayan pribumi), tidak bisa melawan kekuatan dari nelayan-nelayan asing yang memiliki modal besar dan teknologi yang canggih seperti sudah digunakannya perahu-perahu bermesin (tidak perlu lagi menggunakan bantuan angin sepertihalnya perahu tradisional) oleh nelayan asing yang berasal dari Jepang dan Belanda. Peningkatan jumlah konsumsi di Pulau Jawa menyebabkan makin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan yang terjadi di pesisir utara Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut. Para nelayan pribumi di daerah dekat pantai pesisir Pulau Jawa bagian barat kebanyakan menggunakan sero (Gulding Barrier)77 untuk menangkap ikan, sementara di bagian Jawa Tengah dan Timur nelayan pribumi menggunakan jaring jabur serta jaring payang untuk penangkapan ikan lepas pantainya. Namun penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan pribumi makin bergeser ke bagian dekat pantai dan tidak lagi menuju ke penangkapan lepas pantai. Masyhuri menjeaskan padahal daerah penangkapan lepas pantai baru di garap sekitar sekitar 20% saja dan pada tahun 1920an terjadi pula penurunan hasil tangkapan yang di dapat oleh para nelayan pribumi.78 Penulis dapat memahami mengapa semakin kecilnya hasil tangkapan nelayan pribumi, bisa dikarenakan pertama, persaingan penangkapan di dekat pantai makin kompetitif dengan banyaknya nelayan pribumi yang mengalihkan daerah tangkapannya ke dekat pantai sebab bila memaksakan menggarap daerah tangkapan di lepas pantai dengan teknologi tradisional dan modal terbatas sudah pasti kalah saing dengan nelayan asing jarak dan wktu tempuh pun kemungkinan 77
Achmar Mallawa & Sudirman. Teknik Penangkapan Ikan . (Jakarta : Rineka Cipta,2004), h.46. 78 Masyhuri, Menyisir Pantai Utara. h. 250.
42
menjadi pertimbangan para nelayan pribumi. Kedua, populasi ikan di dekat pantai yang terus menerus diambil kemungkinan bisa menjadi penyebab dari terjadinya penurunan hasil tangkapan.
Gambar 4: Gambar sero untuk menangkap ikan (Sumber: academica.edu)
Gambar 5: Gambar jaring payang (Sumber: academica.edu)
Pada awal tahin 1930-an didirikan perusahaan penangkapan ikan semi resmi oleh pemerintahan Hindia Belanda yang bepusat di Batavia dan
43
membangun juga beberapa cabang di Cirebon, Tegal, dan Semarang. Berdasarkan penjelasan Bottemane yang dikutip oleh Masyhuri, pendapatan produksi ikan yang dihasilkan oleh pemerintah ini cukup besar dan bisa menghasilkan 130 ton/tahun.79 Penulis dapat memahami daerah-daerah tersebut memiliki potensi besar dalam menjaring laba besar dari sektor penangkapan dengan ditunjang modal yang besar dari pendirian perusahaan pemerintah Hindia Belanda dan kemudahan yang diberikan kerena daerah-daerah Semarang, Tegal, dan Cirebon khususnya, memiliki pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Hindia Belanda sehingga kapal-kapal penangkap ikan Belanda memiliki hak eksklusif berlabuh di pelabuhan-pelabuhan tersebut. Namun kemunculan dari perusahaan penangkapan ikan tersebut menjadi saingan berat nelayan pribumi untuk mengoptimalkan hasil laut daerahnya seperti Cirebon.
Gambar 6: Kapal nelayan masyarakat di pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)
79
Masyhuri, Menyisir Pantai Utara.. h. 253.
44
Selain adanya persaingan dari nelayan asing Belanda, ada pula persaingan dari nelayan asing Jepang. Nelayan-nelayan Jepang biasanya menggunakan jaring muroami untuk menangkap ikan.80 Sekitar tahun 1926 mulai ada nelayan-nelayan Jepang yang mencari ikan di wilayah Hindia Belanda dan setahun kemudian yakni 1927 mulai membangun perusahaan penangkapan yang mengakomodir para nelayan Jepang di Hindia Belanda, keadaan ini terus berlanjut hingga tahun 1930an.81 Persaingan dengan nelayan Jepang merupakan persaingan yang kian terasa berat bagi para nelayan pribumi sebab bukan saja persaingan dalam hal mendapatkan ikan, namun nelayan Jepang ini memasarkan ikan tangkapannya di daerah nelayan pribumi memasarkan ikan hasil tangkapannya juga.
Gambar 7: Jaring muroami (sumber: academica.edu)
Salah satu contoh persaingan nelayan pribumi dengan nelayan asing yang dapat penulis gambarkan ketika melihat aktivitas yang terjadi di pasar ikan 80
Masyhuri, Menyisir Pantai Utara. h. 254. Jaring Muroami berasal dari kata Ami yang berati jaring dan Muro yang artinya ikan/nama sejenis ikan. Lihat juga Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h.309. 81 Ibid. h. 254-255.
45
Gebang. Sebelum datangnya nelayan asing, aktivitas nelayan biasanya dimulai pada watu tengah hari. Baik nelayan lepas pantai maupun dekat pantai kembali merapat ke pelabuhan menjelang jam 12 siang dengan menggunakan pemanfaatan angin laut dan menjajakan hasil tangkapannya pada siang hari. Namun, setelah adanya nelayan asing aktivitas dari pasar ikan mengalami beberapa perubahan menjadi lebih pagi karena nelayan-nelayan asing (Belanda dan Jepang) telah menggunakan teknologi kapal bermesin sehingga bisa lebih cepat sampai di pelabuhan untuk menjajakan hasil tangkapannya. Adanya persaingan seperti yang digambarkan di atas mau-tidak mau membuat nelayan pribumi berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Cara yang paling tepat diambil oleh nelayan pribumi menghadapi nelayan asing dalam persaingan menjajakan hasil tangkapannya adalah dengan mengalihkan daerah tangkapan mereka ke daerah yang lebih dekat dengan pantai sehingga jarak tempuh yang dibutuhkan para nelayan untuk sampai di pelabuhan bisa lebih cepat atau sama dengan nelayan-nelayan asing. Meskipun bisa mencapai pelabuhan dengan waktu hampir bersamaan namun ada saja hal negatif yang dirasakan oleh nelayan pribumi. Hal negatif yang dimaksud oleh penulis adalah persamaan waktu datang dengan nelayan asing namun hasil tangkapan dari nelayan bumi putera tidak sesuai harapan bahkan bisa dikatakan lebih rendah dibanding para nelayan asing. Karena daerah penangkapan ikan di dekat pantai makin banyak yang menggarap dan membuat ikan-ikan yang nelayan bumi putera dapatkan (tangkap) makin sedikit.
Berubahnya aktivitas maritim pasar ikan di Pelabuhan Cirebon yang telah penulis jelaskan di atas ternyata berdampak pula pada harga ikan yang terus
46
merosot karena target konsumen pasar sama82 dengan nelayan pribumi dan nelayan asing sama (apalagi nelayan asing membandrol harga ikan lebih murah dibandingkan dengan nelayan pribumi) ditambah lagi dengan adanya pengaruh krisis ekonomi sehingga membuat pendapatan perkapita pribumi pada masa depresi kian suit, meskipun pada akhir-akhir tahun sebelum kepergian Hindia Belanda pendapatan perkapita sempat mengalami kenaikan. Berikut gambaran grafik pendapatan perkapita penduduk pribumi masa depresi ekonomi; Tabel 1 Indeks pendapatan perkapita penduduk Pribumi Jawa dan Madura (1929 = 100 Gulden) Tahun
Pendapatan Perkapita
1929
100
1930
98
1931
96
1932
95
1933
94
1934
93
1935
94
1936
95
1937
103
1938
103
1939
107
82
Pemintaan pasar ikan di Pulau Jawa cukup tinggi, ini juga yang menyebabkan nelayannelayan asing memilih untuk memasarkan hasil tangkapannya di daerah sekitar Pelabuhan dan bersaing dengan nelayan pribumi.
47
Grafik 1
Sumber: Masyhuri, Menyisir Pantai Utara (Yogyakarta: 1996) tabel 17. Diambil dari J.J. Polak, The National income of the Netherlands Indies 1921-1939 (New York: 1942) tabel 16.4; Ekonomisch Weekblad voor Nederlads-Indie, 20 December 1941.
Dapat pula digambarkan bagaimana pendapatan nelayan-nelayan pribumi dengan melihat harga ikan pada masa-masa itu. Seperti yang penulis gambarkan melalui tabel dan grafik; Tabel 2 Harga perkilogram ikan di Jawa 1926 – 1940 (dalam sen) Ikan Asin (Luar
Ikan Asin
Ikan Segar
negeri)
(Luar Jawa)
(Lokal Jawa)
1926
25,5
16,7
23
1930
26,3
18,3
20
1931
27
13,6
13
1932
18,3
13,8
11
1933
16,6
11,6
7
1934
16,4
9,7
6
1935
16,1
9,2
6
1940
17
8,9
6,5
Tahun
48
\Grafik
2
Sumber: Masyhuri, Menyisir Pantai Utara (Yogyakarta: 1996) tabel 19. Diambil dari Mededelingen..., no. 27 (1925), h. 204; Mededelingen..., no. 36 (1926), h. 58; A. M. Pino, Zeevisscherij in Indie...‟, 1937, h.77. Lihat pula data yang dikemukakan oleh Soenario, Onderzoek....‟, 1939, h.23; W.M.F Mansvelt, Changing Economy Indonesia: Vol.5 National income, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), h.40.
Keadaan di atas yang penulis paparkan sudah bisa menjelaskan bagaimana sulit dan menderitanya para nelayan yang tinggal di pesisir Cirebon dekat dengan Pelabuhan Cirebon. Terlebih lagi kebijakan pemerintah Hindia Belanda membolehkan nelayan-nelayan asing ikut menggarap daerah tangkapan nelayan pribumi dan kenyataan pahit makin dirasakan ketika pemasaran hasil tangkapannya pun tidak diekspor keluar namun bersaing dengan hasil tangkapan nelayan pribumi di tempat pemasaran yang sama di sekitaran Pelabuhan Cirebon. 2.
Aktivitas Masyarakat Pedalaman (Aktivitas daerah Hinterland)
Berbicara tentang Cirebon di masa depresi seakan tidak bisa dipisahkan dari sejarah daerah ini beberapa tahun ke belakang atau sekitar abad ke-19an. Penulis berasumsi demikian karena bila melihat sejarah satu abad ke belakang ada kebijakan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yakni
49
diberlakukannya tanam paksa, yang mengharuskan petani-petani pribumi mananam beberapa komuditas tanaman yang laku di pasaran eropa dan dunia seperti tebu dan kopi yang keuntungan terbesarnya masuk pada kantong pemerintah Hindia Belanda dan bahkan berkat keuntungannya yang amat melimpah hingga bisa menghidupi negeri induknya yakni Belanda.83 Penelusuran penulis terhadap literatur terkait, sejak satu abad ke belakang ketika berlakunya tanam paksa pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan penanaman tebu secara besar-besaran. Selain itu ada pula tanaman indigo, kopi dan tembakau yang laku di kawasan Eropa mulai ditanami di wilayah Cirebon.84 Namun, ketika masuk tahun 1901, Ratu Wilhelmina menerapkan Politik Etis dan segera dibentuknya sejumlah saluran besar bagi irigasi serta pembaruan
lainnya
di
bidang pertanian,
dengan
maksud
awal
untuk
mensejahterakan para petani pribumi sebab banyak petani yang miskin dan memprihatinkan dari sisi kesejahteraan hidup mereka.85 Namun kenyataannya, dalam kebijakan pertanian; masih banyak kecurangan dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja, masih terdapat ketidak seimbangan antara hasil pertanian, terutama padi dan hasil perkebunan, yakni tebu yang ketika itu menjadi komuditas ekspor utama Pelabuhan Cirebon. Dapat diambil sebagai gambaran bahwa luas perkebunan tebu di daerah Cirebon timur mencapai 7.000 bau86 dengan persebaran pabrik gula di beberapa lokasi seperti di Sindanglaut, Karangsuwung, Jatipiring, Tersana Baru, Leuweng 83
Parakitri Tahi Simbolon. Menjadi Indonesia. (Jakarta : Penerbit Gramedia,2006), h.129 Breman, Penguasaan Tanah, h. 10. 85 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 23-26. 86 Bau/Bahu adalah ukuran yang pakai pada masa itu untuk mengukur luas wilayah garapan. 1 bau = 7096,5 m2. Lihat Breman, Penguasaan Tanah, h. xv. 84
50
Gajah dan Losari Baru. Di daerah lainnya, di Cirebon barat dan Majalengka perkebunan tebu luasnya mencapai 6.000 bau dengan pabrik gula di Kadipaten, Jatiwangi, Parungjaya dan Arjawinangun.87 Persebararan daerah penghasil gula di hinterland dari Pelabuhan Cirebon membuat semakin intensifnya hubungan Pelabuhan dangan daerah hinterland yang kemudian membawa dampak pada perkembangan ekonomi dan pertumbuhan di Pelabuhan Cirebon. Meskipun dampak perkembangan terjadi di Pelabuhan Cirebon, namun efek dan tujuan dari diadakannya perombakan undang-undang agraria untuk menyejahterakan petani
pribumi
nampaknya
belum
membuahkan
hasil.
Setidaknya dari sumber yang penulis dapatkan bahwa sekitar tahun 1920-an bahwa sudah ada kebijakan dari undang-undang agraria yang baru untuk perluasan lahan pertanian, fakta di lapangan yang terjadi malah adanya pengambil alihan hak tanah pertanian oleh perkebunan-perkebunan gula untuk memperluas daerah tanam tebu dengan menggunakan pasal-pasal tuntutan untuk pengajuan perluasan lahan. Padahal desakan kebutuhan untuk kebutuhan dari sektor pertanian makin meningkat karena mulai meningkatnya juga penduduk di daerah Cirebon.88 Kejadian tersebut penulis rasa hanya membuat angan-angan hampa kaum petani untuk berkehidupan lebih baik dan bisa dikatakan sifat pemerintah Hindia Belanda yang hanya memberikan harapan palsu tersebut semakin menambah penderitaan petani pribumi. Keadaan baik tak selamanya baik, akan ada masa di saat perputaran kegemilangan seperti komuditas ekspor gula yang selama ini di ekspor dan 87
“Memori Residen Cirebon J van der Marel 22 April 1922” dalam Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930), Jawa Barat, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 1976, h. cxxvi. 88 Memori Serah Jabatan 1920-1930 Jawa Barat, h. CXVIII dan Verslag Suiker – Enquete Commissie 1921 h. 159. Lihat juga Breman, Penguasaan Tanah, h. 135.
51
menjadi primadona komoditas hinterland dari Pelabuhan Cirebon kini harus mengalami kemunduran atau bisa dikatakan kehancuran total akibat depresi ekonomi tahun 1930. Saat semakin meluasnya pengambilan hak lahan pertanian untuk penanaman tebu sebagai produksi gula untuk jangka panjang sampai beberapa tahun kedepan, namun justru kini keadaan berbalik menghantam perkebunanperkebunan tebu untuk mempersempit luas wilayah penanaman tebunya.89 Hancurnya dominasi perkebunan-perkebunan sebenarnya menghancurkan pula rencana pembaharuan undang-undang agraria yang melibatkan pihak perkebunan gula sebagai penyewa lahan pertanian dan menjadi tujuan petani pribumi dalam mencari pemasukan mereka (ketika lahan pertanian mereka di pakai untuk ditanami tebu, para petani ini bekerja di pabrik gula dan menjadi buruh pabrik maupun perkebunan gula). Keruntuhan gula di pasaran Eropa akibat depresi ekonomi berdampak ke masyarakat di daerah hinterland Pelabuhan Cirebon membuat mereka maikn sengsara dan melarat dimulai pula lah era yang biasa orang menyebutnya dengan malaise.
89
Memori van Overgave, H.A. Lincklaen Westenberg 1932, h. 60
52
Tabel 3 Luas tanah yang ditanami tebu di wilayah hinterland Pelabuhan Cirebon Tahun
Tanah dalam hektar
1920
8.648
1921
9.290
1922
9.352
1923
9.870
1924
10.055
1925
10.759
1926
10.812
1927
11.503
1928
12.195
1929
12.078
1930
13.151
1931
12.142
1933
6.354
1934
1.549
1935
1.027
1936
699
53
Grafik 3
Sumber: diolah dari Koloniale Verslag diambil dari buku Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial
Meskipun kehancuran industri gula mulai mempersempit lahan tanam tebu dan kembali membuka peluang untuk meluaskan lahan pertanian, namun itu semua tidak serta merta membuat kehidupan para petani pribumi menjadi lebih baik. Sebab pemerintah Hindia Belanda mulai menggunakan berbagai cara untuk teteap mendapatkan keuntungannya kembali, salah satunya adalah dengan menaikan nilai pajak tanah dari 50 sen menjadi f 2,80/bau pada tahun 1932.90 keadaan ini berimplikasi pada kaum petani pribumi yang harus menjual sebagian hasil panen sebelum waktunya dikarenakan sudah tidak adanya uang untuk membayar kenaikan pajak tersebut. Dapat kita pahami betapa menderitanya kaum petani pribumi dan masyarakat yang bergantung pada daerah hinterland Pelabuhan Cirebon. Selain itu, kendati Industri Gula telah mengalami kehancuran, ternyata peluang untuk meluaskan kembali lahan pertanian menemui kendala.Karena selama ini pemilik ladang Tebu menggalakan sistem penanaman monokultur
90
Breman, Penguasaan Tanah, h. 139.
54
danakibat pertanian monokultur tebu yang berkelanjutan, muncullah efek negative yang terindikasi dengan tekstur tanah yang mengeras dan ada yang menjadi pasir. Rusaknya ekosistem pada area lahan pertanian tebu karena proses pasca panen melalui pembakaran sisa-sisa daun tebu yang menyebabkan kematian hewan dan vegetasi yang menguntungkan untuk pertanian. Akibatnya, tanah yang seharusnya bersifat subur untuk ditanami oleh para petani menjadi kurang subur sehingga membuat mereka mengalami kerugian.91 Pelabuhan Cirebon yang menjadi pintu masuk dan keluarnya dari komoditas ekspor – impor, ketika komoditas ekspornya hancur ternyata memberikan efek domino pula kepada kaum pribumi di kawasan hinterland terutama yang berprofesi sebagai petani pribumi penggarap sawah dan menjadi buruh pabrik gula. Lebih lanjut keadaan ekspor – impor komoditas primadona (gula) di Pelabuhan Cirebon akan penulis sampaikan di bab selanjutnya.
91
Citha Recha Sari, Pengaruh Monocultur Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) Terhadap Status NPK di dalam Tanah. Makalah Seminar Umum. Fakultas Agronomi, Universitas Gajah Mada,h.5.
55
BAB III
KONDISI PELABUHAN CIREBON 1930 - 1942 A.
Penduduk Kota Pelabuhan Cirebon Bila melihat gambar peta pemukiman penduduk Kota Pelabuhan Cirebon
nampak jelas bahwa pola pemukiman penduduk lebih banyak bangunan tempat tinggal yang mengarah kearah utara atau dengan kata lain mengarah ke Pelabuhan Cirebon. Tidak lagi konsentris di sekitar keraton yang biasanya ada di beberapa wilayah kesultanan. Pertumbuhan pusat orientasi dari keraton ke pelabuhan merupakan salah satu indikasi betapa pentingnya pelabuhan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, terutama setelah diberlakukannya gemeente di Jawa.
Gambar 12: Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1940 (doc. Pribadi, Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
56
Selanjutnya terkait tentang data penduduk yang ada di gemeente Cirebon, meskipun terkendala akan minimnya sumber terkait pendataan penduduk yang ada di gemeente Cirebon beberapa data yang penulis dapat dan ditambah data kependudukan dari verslag gemeente Cirebon tahun 1932 dapat mewakili gambaran tentang data penduduk yang ada di gemeente tersebut.
Seiring dengan perkembangan Pelabuhan
Cirebon sebagai pusat
pemerintahan dan pusat ekonomi masa pemerintahan Hindia Belanda membuat arus urbanisasi dan pertambahan penduduk tidak bisa dihindari lagi. Adanya peningkatan dan penurunan jumlah penduduk bisa menjadi salah satu indikator dampak yang terjadi akibat depresi ekonomi. Berikut tabel dan grafik yang penulis dapatkan dari beberapa sumber:
57
Tabel 4 Tahun
Penduduk 1905 Eropa
1930
1500
1569
Jepang Cina Pribumi
1931
1932
1527
1605
45
54
3136
6094
8046
8038
18096
40475
39415
39818
1645
1674
Timur Asing Grafik 4
Sumber: Verslag Van Den Toestand Der Stadsgemeente Cheribon Over 1932, h. 1.
Meskipun terjadi pengurangan jumlah penduduk namun angkanya tidak terpaut cukup jauh, bukti ini juga bisa menjadi indikasi bahwa gemeente Cirebon dengan pusatnya di sekitar Pelabuhan Cirebon masih menjadi wilayah yang penting dan diminati penduduk untuk tinggal dan menetap. Terlebih lagi dari sumber yang penulis paparkan terjadi penurunan jumlah penduduk pribumi di tahun 1931 pasca terjadinya depresi ekonomi. Bahkan bila menelusuri hasil analisa Jan Breman bahwa dampak dari depresi mengakibatkan adanya arus 58
perpindahan penduduk pribumi ke daerah pegunungan karena minimnya upah yang didapat dan untuk mencari bahan makanan yang tersedia di alam pegunungan (seperti umbi-umbian).92
Namun di tahun berikutnya 1932
mengalami peningkatan jumlah penduduk kembali. Di kalangan orang-rang Eropa pun dapat dilihat bahwa sempat ada penurunan jumlah penduduk namun angkanya kembali naik ketika tahun selanjutnya. Orang-orang Cina pun walau mengalami penurunan jumlah penduduk, hanya sebagian kecil saja, selain itu fenomena jumlah orang-orang Cina yang menjadi elemen terbanyak ke-2 menunjukan bahwa Cirebon merupakan salah satu tempat tujuan bagi orang-orang Cina serta dapat dipahami juga hubungan kekerabatan dengan orang-orang Cina telah terjalin lama bahkan ada Kampung Pecinan (wilayan tempat berkumpulnya orang Cina) di Cirebon dekat Kelenteng Talang. Menarik pula bahwa di tahun pasca depresi ekonomi mulai ada pendataan penduduk yang berwarga negara Jepang walau hanya sedikit namun mengalami peningkatan. Selain itu, depresi ekonomi rupanya turut mengakibatkan meningkatnya kejahatan di wilayah Kota Pelabuhan Cirebon. Pencurian, pencopetan, penipuan, dan pemerasan serta prostitusi merupakan fenomena patologi sosial yang sering dijumpai dalam realitas perkotaan Cirebon. Pencurian tidak hanya dilakukan terhadap rumah-rumah Tionghoa, tetapi juga terhadap rumah penduduk pribumi, barang barang di gudang pelabuhan dan kantor-kantor pemerintah.93 Pencopetan merupakan bentuk kriminalitas yang frekuensinya selalu meningkat pada setiap bulan puasa.94 Kasus-kasus penipuan biasanya berupa penggelapan dan
92
Jan Breman, Penguasaan Tanah, h. 158. Koemandang Masjarakat, 6 dan 15 Juli 1939; Poesaka Tjirebon, 8 Desember 1938 94 Poesaka Tjirebon, 17 November 1938 93
59
penggandaan uang.95 Kasus-kasus pemerasan biasanya terjadi di pelabuhan dan pabrik-pabrik.96 Sementara itu, prostitusi merupakan salah satu jenis kekotoran kota yang meresahkan masyarakat Cirebon. Para pekerja prostitusi berkeliaran di sejumlah tempat di kota Cirebon termasuk di daerah sekitar pelabuhan yang banyak pendatang dari luar daerah Cirebon yang sedang singgah maupun pelaut yang ingin menggunakan jasa mereka.97 Walaupun beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi kriminalitas dan membatasi perluasan prostisusi, namun hal itu tampaknya belum efektif untuk mengatasi masalah-masalah patologi sosial di kota Cirebon. Terjadinya kriminalitas dan prostitusi merupakan bukti bahwa dampak dari depresi ekonomi betul betul mempengaruhi kehidupan social masyarakat Cirebon, khususnya yang beraktivitas di sekitar pelabuhan dan Pemerintah Hindia Belanda belum bekerja cukup maksimal untuk mengatasinya. B.
Peran Penting Pelabuhan Cirebon bagi Pemerintah Hindia Belanda Berdasarkan sumber-sumber yang didapat penulis, bahwa ketika awal mula
Pelabuhan Cirebon dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran dikenal dengan sebutan Juru labuan yang dijabat oleh Ki Gedeng Tapa.98 Ketika pengaruh Islam mulai datang dan menyebar ke seluruh pelosok wilayah Cirebon, penguasa Pelabuhan lebih dikenal dengan sebutan Syahbandar. Kegiatan maritim seperti jual-beli, bongkarmuat, bea cukai dan pengamanan pelabuhan ada dalam tangung jawabnya. Salah satu Syahbandar Pelabuhan Cirebon yang terkenal adalah Tumenggung Laksa
95
Kepentingan Ra’jat, 17 Februari 1933 Koemandang Masjarakat, 6 Juli 1939 97 Kepentingan Ra’jat, 8 Maart 1933 98 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas. (Bandung: PEMDA I Propinsi Jabar dan Fakultas Sastra UNPAD , 1991), h. 48 Lihat juga P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wil. III Cirebo, 1975) h. 10. 96
60
Nagara.99 Peran Syahbandar di Pelabuhan Cirebon sebagai penguasa pelabuhan cukup penting karena Syahbandar merupakan kepanjangan tangan dari sultan sebagai penguasa wilayah. Selain tugas yang telah penulis sebutkan di atas, Syahbandar juga memiliki tugas untuk mengakomodir dan menjaga agar wilayah pelabuhan tetap aman serta aturan yang telah berlaku dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Para pedagang yang datang ke Pelabuhan Cirebon merasa terbantu dengan adanya Syahbandar yang ketika kapal berlabuh sayahbandar menghampiri dan memberikan petunjuk ataupun nasehat tentang tatacara berdagang di daerah setempat serta menaksir barang dagangan yang dibawa untuk selanjutnya ditentukan pajak yang harus dipenuhi pula, terlebih ada beberapa Syahbandar di Pelabuhan Cirebon yang memang diangkat dari kalangan saudagar yang berasal dari negeri Cina karena memiliki intensitas kerjasama cukup tinggi (dalam hal perdagangan) dengan Kesultanan Cirebon.100 Selain para pedagang yang datang dari daerah foreland untuk menjajakan barang yang dibawanya, mayarakat pribumi pun merasa tenang karena sebelumnya para Syahbandar ini telah memberikan gambaran tentang keadaan dan tatacara berdagang yang ada di daerah setempat. Keadaan di Cirebon dengan Syahbandarnya yang ada di bawah kendali penguasaan Kesultanan Cirebon mulai berubah ketika Belanda berhasil menaklukan wilayah Cirebon dan menacapkan dominasi kekuatannya atas Pelabuhan Cirebon, penguasaan Syahbandar yang biasanya dijabat oleh orangorang pribumi maupun orang-orang Cina berlaih ke tangan orang-orang Belanda 99
Tim Peneliti Jurusan Sejarah, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, h.48. lihat juga Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 91. 100 Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, h.103.
61
dengan sebutan haven en equipagemeester (Kepala Pelabuhan dan Perlengkapan Kapal).101 Dengan penguasaan pemerintah Hindia Belanda di Nusantara secara sepenuhnya membuat pelabuhan-pelabuhan di Nusantara berada di bawah kendali Hindia Belanda. Sudah hampir dipastikan penguasaan ini bertujuan untuk memuluskan kepentingan kolonial di daerah jajahan dengan salah satu tujuan utamanya adalah mengeruk hasil kekayaan daerah jajahan termasuk di Cirebon untuk kemakmuran negeri induk yakni Belanda. Pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda dirancang sedemikian rupa sehingga pelabuhan tersebut bisa memenuhi keinginan penguasa kolonial. Pelabuhan-pelabuhan yang pernah berjaya pada masa kerajaan-kerajaan banyak yang menjadi pelabuhan mati setelah nusantara jatuh dalam kekuasaan Hindia Belanda karena pihak kolonial tidak terlalu antusias dengan pelabuhan-pelabuhan tersebut dan dirasa kurang membawa keuntungan bila menancapkan kepentingan kolonial di pelabuhan-pelabuhan tersebut, sehingga hanya beberapa pelabuhan saja yang beruntung karena masih mendapatkan kesempatan tetap hidup sebagai pelabuhan yang dianggap penting untuk memenuhi kebutuhan para koloni penjajah dan memiliki daerah hinterland tang dirasa cukup penting bagi pihak kolonial di daerah jajahannya ini. Pulau Jawa bisa dikatakan salah satu pulau yang penting bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhannya di daerah jajahan, ini bisa dibuktikan dengan kebijkan pemerintah kolonial membuka 3 pelabuhan besar di Pulau Jawa yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya. Dibukanya 3 pelabuhan besar tersebut tidak lain adalah untuk memantapkan kepentingan-kepentingannya 101
Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 91. Diambil dari Almanak en Naaamregister van Nederlandsch-Indie voor 1859 (Batavia: Ter Lands- Drukkerij, 1859) h. 76.
62
di wilayah jajahan Hindia Belanda seperti pelayaran swata dan perdagangan ekspor-impor. Pada tahun 1859 mulailah dibuka 19 pelabuhan kecil untuk lebih memantapkan perdagangan bebas yang akan dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda, namun ada sedikit kecemasan dari Eerste Kamer tentang pembukaan pelabuhan-pelabuhan kecil tersebut apakah masih bisa sepenuhnya memenuhi kepentingan kolonial atau sebaliknya malah
merugikan pihak kolonial. Pada
akhirrnya hanya 3 pelabuhan kecil saja yang dibuka menajadi pelabuhan eksporimpor yakni Pelabuhan Cirebon, Cilacap dan Pasuruan, sisanya hanya menjadi pelabuhan ekspor saja.102 Semenjak pelabuhan-pelabuhan kecil dibuka tahun 1859 dan pelabuhan besar beberapa tahun sebelumnya patut diketahui pula pengelolaan pelabuhan di Hindia Belanda hingga 1910 kurang begitu tertata rapi pengelolaanya dan hanya melayani kepentingan kolonial untuk mengeksploitasi kekayaan alam tanpa ada timbal balik yang menguntungkan ke pelabuhan agar palayanan dan pengelolaan lebih baik. Pada tahun 1910 karena dirasa perlu adanya pengelolaan pelabuhan menjadi lebih baik lagi maka pemerintah Hindia Belanda mendatangkan direktur Kota Madya Rotterdam yang memiliki pelabuhan bertaraf internasional, untuk memberikan masukan dan ceramahnya dalam hal pembentukan dan pengelolaan pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda menjadi pelabuhan yang modern.103 Pelabuhan yang modern secara pengelolaan dan alur koordinasi perlu untuk mengembangkan pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda menjadi lebih baik lagi. Pengelolaan pelabuhan yang profasional dan tidak hanya untuk kepentingan 102
Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 93. Ibid, h. 95. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Surabaya, Tanjung Priok, Semarang, Makasar, Belawan dan Deli diproyeksikan khusus menjadi pelabuhan besar yang modern. Setelah itu baru kemudian pelabuhan pelabuhan kecil seperti Cirebon, Cilacap, Tegal, Menado, dan lainlain yang diproyeksikan menggunakan pengelolaan yang modern. 103
63
eksploitasi semata perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak swaata dan membuatnya seperti menjadi perusahaan pelabuhan (berdijf haven). Untuk kebutuhan perbaikan pegelolaan pelabuhan agar menjadi lebih baik lagi, maka pada tahun 1911 Deparemant Burgerlijke Openbare Werken (BOW) mendirikan sebuah dinas baru yang mengurusi urusan menegenai pelabuhan. Selain didirikannya dinas pelabuhan, dibuat juga komisi bantuan (Commissie van Bijstand) yang bertugas memberikan nasehat dan saran untuk pengelolaan dan pengembangan pelabuhan, pada tahun 1912 di Tanjung Priok Batavia sebagai awalan. Komisi bantuan ini diketuai oleh Direktur pelabuhan dan biasanya mempunyai anggota antara lain: kepala pelabuhan (havenmeester), pengawas ekspor-impor, wakil gemeente, dokter pelabuhan, wakil dari kereta api baik negeri atau swasta, wakil pelayaran besar, pelayaran pantai, perahu penyebrangan, wakil perdagangan impor, wakil perdagangan ekspor, wakil dari perusahaan pergudangan, wakil dari perusahaan kerajinan, wakil dari penduduk pelabuhan, wakil konsumen.104 Komisi bantuan ini sebisa mungkin dapat mewakili semua elemen yang terkait dengan pelabuhan. Komisi bantuan ini pada akhirnya hanya ada di sebagian pelabuhan yang dianggap penting oleh pemerintah Hindia Belanda.
104
Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 99.
64
Gambar 8: Keadaan Pelabuhan Cirebon saat kapal-kapal berlabuh di Pelabuhan (Sumber: kitlv)
Salah satu pelabuhan yang dianggap penting adalah Pelabuhan Cirebon, keadaan Pelabuhan Cirebon yang kian ramai oleh aktivitas maritim seperti gambar di atas dengan berlabuhnya kapal-kapal di Pelabuhan Cirebon dan hilir mudiknya kapal-kapal untuk sekedar berhenti mengisi pebekalan maupun melanjutkan perjalanan ke berbagai tempat dan tujuan. Keadaan ini merupakan aktivitas maritim denagn aktivitas keluar masuknya komoditas-komoditas ekspor-impor menggunakan kapal, hal ini membuat Pelabuhan Cirebon sudah selayaknya dapat meegelola pelabuhan dengan lebih baik dengan pembentukan komisi bantuan. Fakta gambar di atas bisa menjadi bukti betapa ramainya keadaan Pelabuhan Cirebon pada masa itu bisa menjadi indikator pentingnya sebuah pelabuhan sebagai pelabuhan yang memang memiliki niali jual dan masuk dalam kriteria pelabuhan penting yang memiliki komisi bantuan.
65
Gambar 8: Foto pengawas Pelabuhan Cirebon sedang mengawasi kapal-kapal yang sedang berlabuh (Sumber: kitlv)
Pelabuhan yang penulis maksud dengan pelabuhan penting ialah (selain pelabuhan-pelabuhan besar) pelabuhan-pelabuhan kecil yang dikelola sebagai perusahaan (kleine bedrijfshavens). Ada pula pengkategorian lain untuk pelabuhan kecil yang kurang begitu penting menurut pemerintah Hindia Belanda yakni pelabuha-pelabuhan kecil yang tidak dikelola sebagai perusahaan (kleine niet bedrijfshavens). Dalam hal ini ada 15 kleine bedrijfshavens termasuk Cirebon yang dirasa oleh pemerintah Hindia Belanda memiliki masa depan dan peran vital bagi pemerintahan dan kepentingan-kepentingan kolonial di daerah jajahan.105 Ketika melihat letak pelabuhan yang terpisah-pisah jauh ditambah pula dengan terbatasnya tenaga ahli terkait pelabuhan untuk membina peengelolaan pelabuhan, maka pemerintah Hindia Belanda membagi beberapa pelabuhan kleine bedrijfshavens menjadi beberapa kelompok pelabuhan binaan yang menginduk 105
Lihat Staatsblad no. 387 tahun 1924. Pelabuhan-pelabuhan yang termasuk kleine bedrijfshavens adalah Ambonia, Asahan, Banjarmasin, Banyuwangi, Bengkulu, Benoa, Menado, Palembang, Panarukan, Pasuruan, Pekalongan, Probolinggo, Sibolga dan Tegal.
66
kepada pelabuhan-pelabuhan besar. Berikut pembagian pelabuhan-pelabuhan Induk dan Binaan teersebut : Tabel 5 Pelabuhan Induk dan Binaan di Hindia Belanda Pelabuhan Induk
Pelabuhan Binaan a. Pelabuhan Palembang b. Pelabuhan Banjarmasin
1. Pelabuhan Batavia c. Pelabuhan Banyuwangi d. Pelabuhan Benoa a. Pelabuhan Panarukan 2. Pelabuhan Surabaya
b. Pelabuhan Pasuruan c. Pelabuhan Probolinggo a. Pelabuhan Cirebon
3. Pelabuhan Semarang
b. Pelabuhan Pekalongan c. Pelabuhan Tegal a. Pelabuhan Menado
4. Pelabuhan Makasar b. Pelabuhan Ambon
5. Pelabuhan Belawan
a. Pelabuhan Asahan a. Pelabuhan Bengkulu
6. Pelabuhan Emmahaven b. Pelabuhan Sibolga Sumber: Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 102. diambil dari Verslag van de Kleine Havens in Nederlandsch-Indie over het Jaar 1923. h. 2
67
Pelabuhan-pelabuhan yang termasuk binaan maupun induk yang seperti tertera pada tabel di atas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan perekonomian masyarakat setempat, baik dalam hal perkembangan masyarakat pesisir maupun pedalaman. Bila melihat masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan, Pelabuhan Cirebon di sini berfungsi juga sebagai tempat berlabuh dan diturunkannya hasil tangkapan nelayan sehingga membantu dalam memasarkan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan-nelayan pribumi sebelum adanya persaingan dengan nelayan asing. Selain di daerah pesisir. Di daerah pedalaman pun mengalami perkembangan dengan semakin pentingnya Pelabuhan Cirebon, komoditas-komoditas yang diangkut dari daerah pedalaman membuat adanya interaksi antara masyarakat daerah pedalaman dengan masyarakat di daerah pesisir pelabuhan sehingga terjalin hubungan dan terjadi pula perkembangan di daerah pedalaman Cirebon. Bila dalam tabel 5 disebutkan pelabuhan induk merupakan pelabuhan besar, dalam hal ini memiliki fungsi untuk membina pelabuhan-pelabuhan kecil karena pelabuhan-pelabuhan induk ini lebih dahulu dibagun sebagai pelabuhan percontohan untuk pelabuhan modern pada saat itu, selain membina pelabuhan dalam tata pengelolaan dan organisasi pelabuhan, pelabuhan induk memiliki wewenang untuk menerima laporan dari pelabuhan-pelabuhan binaanya. Selain itu, luas
pelabuhan-pelabuhan besar memiliki letak geografis yang strategis
menjadi harbour, port, maupun portcity. Di tambah lagi luas wilayah dan daya tampung lebih besar untuk menampung komoditas komoditas ekspor-impor yang datang dari daerah hinterland pelabuhan-pelabuhan besar. Sedangkan pelabuhan kecil, meskipun tergolong dalam pelabuhan binaan namun fungsinya pun sangat
68
penting bagi pemerintah Hindia Belanda sebab dari pelabuhan-pelabuhan inilah komoditas-komoditas hasil dari hinterland di ekspor. Fungsi yang membedakan tidak semua pelabuhan binaan memiliki fungsi impor-ekspor seperti pelabuhan besar, seperti contoh adalah pelabuhan yang dibina oleh Pelabuhan Semarang, hanya Pelabuhan Cirebonlah yang memiliki fungsi ekspor-impor.106 Ini dapat di pahami karena Pelabuhan Cirebon memiliki daerah pedalaman yang penting bagi pemerintah Hindia Belanda dan berkembangnya Pelabuhan Cirebon serta berkembangnya gemeente Cirebon menjadi port city membuat berbagai penduduk datang serta terbentuk keberagaman masyarakat di Cirebon dan bahkan dampak dari Pelabuhan Cirebon sampai pula ke residen-residen yang masuk ke dalam daerah hinterland dari Cirebon karena Pelabuhan Cirebon merupakan pintu masuk dari komoditas-komoditas yang diperlikan masyarakat hinterland Pelabuhan Cirebon. Selain memiliki fungsi ekspor-impor yang penulis kemukakan di atas, perlu diketahui pula bahwa hanya ada beberapa pelabuhan binaan (yang masuk ke dalam kategorikleine bedrijfshaven) saja yang memiliki komisi bantuan. Dari beberapa pelabuhan kleine bedrijfshaven yang sudah tertera di tabel, baru Pelabuhan Cirebon sajalah sebagai pelabuhan kecil yang memiliki komisi bantuan itu saat itu. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa Pelabuhan Cirebon memiliki peran vital untuk pemerintah Hindia Belanda.
106
Singgih, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon” h. 106-108.
69
Gambar 9: Kantor Pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)
Pada tanggal 29 mei 1924 no. 42 dibentuklah komisi bantuan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk Pelabuhan Cirebon (Commissie van Bijstand in het Belang van het Beheer der haven van Cheribon). Berikut pengurus komisi bantuan di Cirebon yang pertama107: Ketua Anggota (karena jabatan)
Anggota (bukan karena jabatan
107
: Ir. J.J. Baggelaar (Direktur Pelabuhan Semarang) : 1. A.R. Schotman (Walikota Cirebon) 2. W. Kilian (Controleur der in-en uivoerechten Accijnzen) 3. W.F.M.J. van Riet (Inspektur kereta api S.S) : 1. J.H.E. Groenewoud (Inspektur kereta api S.C.S) 2. F.H. Rammers (Agent der NederlandschIndie Handels Bank) 3. G.W. Schut (Agent der Internatio) 4. H.G. van der Reest (Adminitrator Tegalsch Prauweenveer)
Governments Besluit no. 42 tahun 1924
70
Tugas dari komisi bantuan ini antara lain adalah penyusunan rencana pengembangan pelabuhan, membuat anggaran belanja tiap tahun, sewa menyaewa alat, penyewan gudang dan lain-lain. Mesikpun telah ada komisi bantuan namun pelaksanaan harian di pelabuhan Cirebon tetap di kendalikan oleh haven meester atau haven beheerder dan ketika tahun 1925 dijabat oleh L.G Mulder.108 C.
Pelabuhan Cirebon dan Aktivitas Ekspor – Impor Perlu diketahui sejak awal pembahasan ekspor – impor pada bagian ini
adalah untuk menjadi bahan acuan dan sebagai indikator perkembangan serta eksistensi dari Pelabuhan Cirebon. Bila aktivitas ekspor – impor suatu pelabuhan tinggi maka pendapatan pelabuhan itu pun sama tingginya. Selanjutnya dapat dijadikan sebuah indikator pula untuk berkembangnya suatu pelabuhan. Namun, bila pelabuhan tersebut memiliki nilai ekspor – impor yang rendah dapat menjadi indikator pula semakin kurang berkembangnya suatu pelabuhan itu. Untuk dapat memahami lebih dalam tentang pancapaian ekspor – impor dari Pelabuhan Cirebon maka penulis akan memberikan gambaran dari beberapa volume ekspor – impor Pelabuhan Cirebon dan membandingkannnya dengan Pelabuhan lain seperti Pelabuhan Cilacap yang dekat dengan Pelabuhan Cirebon, karena tidak jarang letak yang berdekatan dan daerah hinterland yang sama membuat ada persaingan di antara pelabuhan-pelabuhan yang letaknya saling berdekatan. Untuk melihat perkembangan Pelabuhan Cirebon dari semenjak awal berdirinya (ditetapakan sebagai pelabuhan ekspor – impor). Berikut tabel nilai ekspor – impor yang letaknya berdekatan : 108
Singgih, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 104.
71
Tabel 6 Nilai Eksor – Impor tahun 1859 -1869
Tahun 1859 1862 1869 1859 1862 1869
Pelabuhan Cirebon Cilacap Nilai Ekspor ƒ 4.124.247 ƒ 4.378.715 ƒ 4.026.568 ƒ 5.475.379 ƒ 6.955.043 ƒ 3.499.255 Nilai Impor ƒ 646.242 ƒ 1.126 ƒ 814.346 ƒ 6.971 ƒ 858.422 ƒ 4.470
Sumber diambil dari Susanto Zuhdi, Cilacap (1830-1942) Bangkit dan Runtuhnya suatu Pelabuhan di Jawa, h.25
Dari tabel di atas dapat dilihat pada dekade awal dari kemunculan Pelabuhan Cirebon di bawah kekuasaan Hindia Belanda adanya persaingan dengan Pelabuhan Cilacap yang notabene mempunyai daerah hinterland yang sama dengan Pelabuhan Cirebon. Bila dilihat dari nilai ekspor Pelabuhan Cirebon dan Cilacap cukup berimbang dan perbedaanya tidak terpaut terlalu jauh karena sama-sama mengakomoodir komoditas-komoditas ekspor dari daerah hinterland sama yang memiliki nilai ekonomis yang baik pula bagi pemerintah Hindia Belanda. Namun, bila dilihat dari nilai impor yang dihasillkan oleh Pelabuhan Cirebon jauh lebih unggul dibandingkan dengan Pelabuhan Cilacap, letak geografis yang bukan merupakan jalur utama dari pelayaran dan Pelabuhan Cilacap merupakan pelabuhan terra incognita (tidak dikenal) menurut penulis menjadi salah satu faktor pula dari kecilnya nilai impor. Berbeda dengan Cirebon yang memang telah memiliki akar historis menjasi salah satu bandar jalur sutra.
72
Gambar 10: Salah satu kapal pengangkut komoditas berlabuh di Pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)
Komoditas yang mendominasi di Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Cilacap pada dekade awal ini hampir sama yakni gula dan kopi. 109 Sebagaimana yang telah diketahui bersama pula bahwa setelah adanya kebijakan tanam paksa tahun 1830 oleh pemerintah Hinda Belanda, mulai di tanam komoditas yang laku di pasaran dunia seperti dua komoditas tersebut.
Gambar 11: Keadaan bongkar muat kapal di Pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)
109
Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h.108.
73
Memasuki dekade awal abad ke-20 keadaan ekspor - impor di Pelabuhan Cirebon terus mengalami kenaikan, hingga sebelum terjadinya Perang Dunia I. Ternyata peristiwa Perang Dunia I berdampak pada aktivitas ekspor di Pelabuhan Cirebon yang sempat mengalami penuruan pada Perang Dunia I yang berlangsung dari tahun 1914 – 1919. Grafik 5
Sumber: grafik ini diambil dari Sulistiyono,“Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h. 112.
Menurut Singgih Tri Sulistiyono ada beberapa alasan tentang dampak dari Perang Dunia I terhadap ekspor Pelabuhan Cirebon. Pertama, Pelabuhan Cirebon merupakan bagian dari jaringan pelayaran dunia dan internasional yang memasok hampir semua komoditas ekspornya ke Eropa yang sedang terjadi Perang Dunia I. Kedua, jenis komoditas
ekspor Pelabuhan Cirebon kurang beragam dan
didominasi hasil tanaman komersial seperti gula yang menjadi komoditas utama ekspor dari Pelabuhan Cirebon, akibat dari perang dunia ini aktivitas ekspor di
74
Pelabuhan Cirebon pun mengalami penurunan.110 Berikut penulis memberikan contoh pula paket nilai ekspor dari Pelabuhan Cirebon sebelum Perang Dunia I yang menggambarkan betapa komoditas gula mendominasi. Tabel 7 Presentase Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon Tahun 1914 Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1914 Gula 70,56% Minyak kacang-kacangan 11,73% ƒ12.698.400 Lain-lain 17,71%
Sumber: Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap 1830-1942, h.79. diambil dari Statistiek van den Handel en de in-en Uitvoerrechten in Nederlandsch Indie1914
Penurunan yang terjadi pada era Perang Dunia I ini ternyata tidak berlangsung lama, bahkan beberapa tahun setelahnya mengalami peningkatan sedikit demi sedikit dan terus meningkat hingga tahun 1929 setahun sebelum depresi ekonomi dan pada tahun 1929 pun merupakan titik tertinggi dalam aktivitas ekspor di Pelabuhan Cirebon (untuk melihan gambaran peningkatan kembali bisa melihat grafik diatas). Keadaan peningkatan yang signifikan bila dilihat dari grafik yang penulis lampirkan bisa langsung melonjak beberapa kali 110
Singgih, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h.113.
75
lipat, itu dapat dipahami karena kebutuhan akan gula di tempat (negara-negara Eropa) tujuan ekspor dari Pelabuhan Cirebon pasca Perang Dunia I. Tabel 8 Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1929 Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1929 Gula 68% Minyak Kelapa dan Sejenisnya 13,30% Hasil-hasil bumi lainnya 8,30% ƒ21.970.513 Tapioka 3,55% Bahan obat-obatan dan rempah-rempah
3,40%
Lain-lain
3,45%
Sumber: Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap 1830-1942. h. 81. Diambil dari Statistiek van den Handel en de in-en Uitvoerrechten in Nederlandsch Indie1914
Selain itu prasarana pendistribusian dan management pelabuhan yang makin baik serta profesional memberikan nilai tambahan dan faktor pendukung lainnya sebagai peningkat volume ekspor di Pelabuhan Cirebon. Terkait sarana pendistribusian akan penulis bahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya. Menjelang tahun 1930 mulai terjadi krisis yang melanda Eropa dan terus merambat hingga ke koloni jajahan Hindia Belanda yang juga terkena dampak
76
dari “depresi ekonomi”.111 Ketika terjadinya depresi ekonomi, mulai jatuh aktivitas dari perdagangan-perdagangan, tutupnya pabrik-pabrik, bank-bank bangkrut, harga-harga komoditas seperti kapas, tembaga, minyak, gula, karet dan yang lainya mengalami kemerosotan yang tajam. Keadaan tersebut membuat keadaan ekspor-impor di Pelabuhan Cirebon pun terkena dampaknya. Gula merupakan salah satu komoditas primadona pada tahun 1920an mengalami kemerosotan harga yang terus menerus. Komoditas gula juga merupakan komoditas tekspor terpenting di Pelabuhan Cirebon. Di Jawa ekspor gula turun sangat tajam, data yang didapatkan penulis menunjukan bahwa pada tahun 1929 ekspor gula dari Hindia Belanda mencapai angaka 2.946.000 ton dengan harga jual 312 juta gulden, lalu pada tahun 1934 ekspor gula mengalami penurunan menjadi 1.104.000 ton dan harga jual yang merosot tajam menjadi hanya 45 juta gulden.112 Berikut gambaran harga gula dari tahun ke tahun mulai dari 1920 sampai pada 1934:
111
Yang dimaksud “depresi ekonomi” adalah keadaan sulit ekonomi atau bisa juga dikatakan zaman ketika terjadinya pengangguran besar-besaran produksi industri, meluasnya pengangguran dan merosotnya kegiatan perdagangan. Selanjutnya keadaan masa-masa depresi ekonomi biasa disebut dengan zaman “malaise”, yakni zaman penuh kesukaran atau zaman sepinya perdaganan. Kalangan masyarakat pelabuhan memberikan sebutan dengan zaman meleset yang artinya luput atau tidak mengenai sasaran atau bisa juga dikatakan masa sulit dalam kehidupan. Menurut para pakar ekonomi setelahnya, penyebab dai terjadinya depresi ekonomi 1930 adalah telah terjadi kekeliruan yang dibuat pada tahun-tahun sebelumnya (1920an). Keuntungan yang didapat hanya dialokasikan terhadap pembangunan pabrik dan teknologi untuk memperbanyak penghasilan untuk komoditas, namun tidak sama sekali memperhaikan petani atau pekerja yang banyak jumlahnya, sehingga kecilnya kemampuan konsumen dalam hal daya beli barang produksi komoditas yang dihasilkan. Lihat Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap 1830-1942, h.90. dan lihat juga Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 252-255. 112 Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap1830-1942, h. 92
77
Tabel 9 Harga Gula per 100 kg Tahun 1920-1934 Tahun 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934
Jumlah 15 gulden 24,40 gulden 17,74 gulden 21,24 gulden 24,26 gulden 18,77 gulden 15,76 gulden 17,60 gulden 14,25 gulden 12,37 gulden 8,23 gulden 6,07 gulden 4,87 gulden 4,40 gulden 3,64 gulden
Sumber: Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap, h. 93.
Dari gambaran di atas tersebut dapat disimpulakan penurunan yang terjadi dari segi nilai harga juga mempengaruhi ekspor dari segi jumlah komoditas yang dihasilkan untuk di ekspor. Untuk Pelabuhan Cirebon sendiri sebagai tempat ekspor dari gula, dalam keadaan ini amat sangat dirugikan karena penghasilan pelabuhan dan pabrik-pabrik gula di sekitar pelabuhan amat bergantung dari penjualan komoditas tersebut.
78
Tabel 10 Presentase nilai ekspor Pelabuhan Cirebon tahun 1932 Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1932 Gula 51,77% Minyak Kelapa dan Sejenisnya 9,14% Hasil-hasil bumi lainnya 14,63% ƒ7.437.000 Tapioka 6,74% bahan obat-obatan dan rempah-rempah
12, 83%
Lain-lain
4,89%
Sumber: Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap 1830-1942, h. 96.
Dapat dilihat pada tahun 1932 komoditas gula masih mendominasi ekspor di Pelabuhan Cirebon namun nilainya mulai turun jauh dari tahun 1929 yang sebelumnya penulis sampaikan. Selanjutnya pada tahun 1937 produksi gula yang terus mengalami penurunan harga dan produksi membuat ekspor di Pelabuhan Cirebon yang dahulu didominasi oleh gula kini mulai tergantikan oleh Tapioka.
79
Tabel 11 Paket Volume Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 Gula 32,60% Minyak Kelapa dan Sejenisnya 7,32% Hasil-hasil bumi lainnya 13,27% 175.178 ton Tapioka 39,73% Semen dan Biji Tambang 3,62% Lain-lain 3,46%
Tabel 12 Paket Nilai Ekspor Pelabuhan Cirebon 1937 Gula 24,44% Minyak Kelapa dan Sejenisnya 13,70% Hasil-hasil bumi lainnya 11,80% ƒ9.461.000 Tapioka 41,33% Semen dan Biji Tambang 8,72% Lain-lain 0,01%
Sumber: Susanto Zuhdi, Pelabuhan Cilacap 1830-1942, h. 104-105.
80
Berdasarkan sumber yang penulis dapat, keadaan tahun 1937 cukup menarik karena gula yang dari sekian tahun ke belakang terus menjadi primadona di Pelabuhan Cirebon kini mulai tergantikan dengan komoditas ekspor lainnya seperti tapioka. Di sini dapat diambil kesimpulan pula meskipun keadaan depresi ekonomi telah menjatuhkan dan menurunkan nilai jual komoditas-komoditas ekspor seperti gula yang menjadi primadona komoditas ekspor Pelabuhan Cirebon namun daerah hinterland Pelabuhan Cirebon berusaha menjawab tantangan dan masih memiliki komoditas lain yang bisa diandalkan untuk tetap membuat eksistensi Pelabuhan Cirebon tetap sebagai salah satu pelabuhan penting yang dipilih oleh pemerintah sebagai pelabuahan ekspor-impor dan tetap terjaga dengan baik. Setelah mengetahui gambaran ekspor kini berlanjut pada impor yang ada di Pelabuhan Cirebon. Keadaan impor di Pelabuhan Cirebon sangat baik bila dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Pelabuhan Cilacap dan Pekalongan yang sama-sama ada di bawah binaan dari Pelabuhan Semarang. Disebabkan hanya ada beberapa pelabuhan saja yang dibuka sebagai pelabuhan ekspor-impor, maka keadaan impor di Pelabuahn Cirebon akan dilihat perbandingannya dengan pelabuhan yang dibuka sebagai pelabuhan impor yang setara yaitu Pelabuhan Cilacap. Hal ini perlu dilakukan untuk mengertahui sejauh mana pelabuhan diperlukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Seperti yang sudah penulis singgung di atas, Pelabuhan Cirebon masih memiliki posisi penting dalam peta pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pulau Jawa, khususnya untuk kepentingan impor. Semenjak dibukanya Pelabuhan Cirebon,
81
aktivitas impor di pelabuhan ini terus mengalami peningkatan hingga pencapaian nilai yang paling tinggi terjadi pada tahun 1929.113 Grafik 6 Impor Pelabuhan Cirebon 189-1937 (Gulden)
Sumber: Sulistiyono, Pelabuhan Cirebon, h. 116, lihat juga susanto zuhdi, pelabuhan cilacap, h.82.
Dari grafik di atas, dapat dilihat perbandingan nilai impor Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Cilacap yang terpaut cukup jauh. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan impor yang membedakan dengan Pelabuhan Cilacap. Faktor utamanya adalah letak geografis Pelabuhan Cirebon yang berada di pesisir utara yang ramai disinggahi perahu-perahu pendatang. Berbeda dengan letak Pelabuhan Cilacap yang berada di jalur selatan Pulau Jawa yang tidak begitu ramai dalam hal pelayaran dan perdagangan. Selain itu seperti yang pernah diungkapkan pada subbab sebelumnya bahwa Pelabuhan Ciebon telah memiliki akar sejarah sejak beberapa abad sebelumnya dan menjadi rute dari perdagangan jalur sutera membuat para importir lebih senang untuk mengimpor barang-barangnya melalui Pelabuhan Cirebon.
113
Sulistiono, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon”, h.115
82
Perlu diketahui pula beberapa komoditas yang diimpor melalui Pelabuhan Cirebon ternyata sebagian besar bukan berasal dari Eropa. Kebanyakan impor yang dilakukan di Pelabuhan Cirebon adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Cirebon baik kalangan masyarakat pribumi maupun dari kalangan masyarakat Eropa. Beberapa komoditas yang masuk melalui Pelabuhan Cirebon di antaranya adalah beras, ikan asin, teh, kedela,i dan besi. Dari berbagai jenis komoditas impor, hanya besi satu-satunya komoditas impor yang berasal dari Eropa, besi digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun rel kereta api.114 Komoditas impor yang cukup banyak volume masuknya pula pada saat menjelang depresi ekonomi yaitu tembakau, karena menjelang tahun 1930 mulai dibuka pabrik rokok British American Tobacco (BAT), pabrik rokok ini merupakan pabrik yang terbesar di Hindia Belanda yang bisa memproduksi rokok 17 juta batang sehari. Meskipun BAT telah dibuka pula di Semarang namun pabrik BAT di Cirebon merupakan pabrik terbesar setelah ditutupnya pabrik BAT di Surabaya.115 Berikut daftar nilai impor Pelabuhan Cirebon tahun 1929 : Tabel 13
Barang
Pelabuhan Tanj. Priok
Cirebon
Semarang
Surabaya
Tembakau
ƒ 1.412.968
ƒ8.149.801
ƒ 4.142.360
-
Teh
ƒ518.973
ƒ 5.595.256
ƒ 2.778.958
ƒ 383.908
Sumber: Memori Serah Jabatan. h. CL 114
Sulistiyono, “Perkembangan Pelabuhan Cireon”, h. 117. Memori Serah Jabatan, h. CL, lihat juga John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perubahan di Jawa Masa Kolonial. Editor: Iskandar P. Nugraha (Depok: Komunitas Bambu, 2013)h. 150. 115
83
Nilai impor di atas bisa menjadi gambaran betapa pentingnya Pelabuhan Cirebon bagi pemerintahan Hindia Belanda sebagai sumber pendapatan dan niai yang dihasilkan dari pelabuhan Cirebon meskipun menjadi pelabuhan impor terbesar ke-4 di Pulau Jawa namun dari segi komoditas impor seperti tembakau dan teh nilainya melebihi 3 pelabuhan besar lainnya. Teh yang diimpor melalui Pelabuhan Cirebon berasal dari Taiwan dan biasanya teh yang diimpor ke Jawa selain berasal dari Taiwan, juga berasal dari Negari Cina.116 Selain dari sektor perkebunan dan pertanian, dari sektor perikanan adanya impor ikan asin dalam jumlah besar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung Priok membuat Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pusat perekonomian atau tumpuan bagi masyarakat Jawa Barat terkait kebutuhan ikan asin di daerah Jawa Barat, bahakan presentase impor ikan asin di Pulau Jawa 70% dilakukan di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung Priok, dibandingkan Pelabuhan Semarang dan Surabaya.117 Berikut tabel ikan asin yang dibonkar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung Priok:
116
Memori Serah Jabatan, h. CLI. Masyhuri, „Peran Ekonomis Sektor Perikanan’ dalam Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012) h. 140. 117
84
Tabel 14 Ikan Asin yang dibongkar di Pelabuhan Cirebon dan Tanjung Priok (dalam kg) Tahun
Jumlah
% dari total jumlah Impor
1924
33.323.220
73,51
1925
37.469.249
78,06
1933
30.058.614
70,81
1934
34.944.183
72,51
1937
34.050.000
76,00
1938
36.890.600
74,22
Sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah, h.140. diambil dari Mededeelingen ..., No.20 (1925), h. 56; Mededeelingen ..., No.36 (1926), h. 58; Thl. K.L. van Dort, Rijchtlijnen ... (1936), h. 23; Mededeelingen van het Instituut voor de Zeevisscherij to Batavia, No. 4 (1939), h.4; C.J.Bottemanne, Het Indische Zeevisscherij ... (1946), h.23.
Dari uraian dan data yang sampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa Pelabuhan Cirebon memiliki arti penting bagi kebutuhan pemerintah Hindia Belanda. Perimbangan ekspor – impor yang dimiliki Pelabuhan Cirebon telah membuat pelabuhan tersebut tetap bertahan meskipun terjadi penurunan pada masa depresi ekonomi. D.
Sarana Pelabuhan dan Pendistribusian Komoditas utama Ekspor – Impor di Pelabuhan Cirebon Untuk mendukung Pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan yang penting bagi
pemerintahan Hindia Belanda maka diperlukan pula sarana-sarana pendukung untuk pendistribusian komoditas-komoditas unggulan. Sarana pendistribusian yang cukup penting bagi keberlangsungan Pelabuhan Cirebon adalah sarana
85
kereta api. Menarik bila melihat peta Cirebon, dalam peta tersebut dapat dilihat bahwa rel kerata api semua bermuara di Pelabuhan Cirebon.
Gambar 13: Foto Gambar Peta Gemeente Cheribon 1930 (doc. Pribadi, Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
Kereta api memiliki peran penting bagi Pelabuhan Cirebon dalam mendistribusikan komoditas ke daerah hinterland maupun dari daerah hinterland ke pelabuhan untuk selanjutnya diberangkatkan ke daerah foreland. Kereta api pendistribusian di daerah Cirebon dari sumber yang penulis dapatkan adalah penggunaan kereta api Semarang Cheribonshe Stoomtrammaastchappij (SCS) untuk mengakomodir alur pendistribusian Pelabuhan Cirebon selain SCS ada pula kereta api Staatsspoorwegen (SS) yang juga mendistribusikan komodita-
86
komoditas Pelabuhan Cirebon.118 Namun dari sumber-sumber yang penulis dapatkan hanya sdedikit sumber yang penulis temukan tentang kereta api SS, berbeda dengan kereta api SCS yang berhasil penulis temukan di beberapa sumber seperti MvO dan Besluit. Seperti telah dijelaskan bahwa muara dari rel kereta api yang sampai ke pelabuhan, sehingga SCS memiliki peranan penting dalam pendistribusian beras ke daerah-daerah bagian timur dari Cirebon seperti Tegal. Selain mengirim beras ke daerah-daerah hinterland Cirebon, perlintasan SCS yang melewati halte di Cirebon timur juga mngangkut komoditas-komoditas lain seperti bawang merah dan kacang tanah untuk kebutuhan daerah Pekalongan dan Semarang, selain itu juga ada beberapa bagian didistribusikan ke daerah Losari dan Ciledug (namun hanya sebagian kecil saja untuk pendistribusaian dua tempat terakhir).119
Gambar 14: Foto keadaan rel kereta api yang bermuara di Pelabuhan Cirebon untuk kebutuhan sarana distribusi komoditas. (Sumber: gahetna.nl)
Di Cirebon bagian barat pendistribusian dilakukan olehkereta api SS yang berperan mendistribusikan komoditas-komoditas seperti beras, buah-buahan, 118 119
Memori Serah Jabatan, h. CLI. Memori Serah Jabatan, h. CLII.
87
sayur-sayuran, kacang tanah, dan beberapa hasil bumi lainnya. Semua hasil-hasil bumi ini didistribusikan ke kota-kota atau daerah yang ada dalam perlintasan jalur kereta SS dari Cirebon sampai ke Batavia.120
Gamabr 15: Kereta api SCS di Statsiun Pelabuhan Cirebon (Sumber: gahetna.nl)
Begitu pentingnya peran dari perkereta apian di masa pemerintahan Hindia Belanda sampai pada sumber besluit yang penulis dapatkan dari Burgerlijke Openbare Werken (BOW) dan Departement Van Verkeer En Waterstaat (VenW) yang membahas tentang pelabuhan, disinggung pula pengangkatan-pengangkatan yang terjadi di bagian perkereta apian sebagai bagian dari Commissie van Bijstand (Komisi Bantuan) Pelabuhan Cirebon. Bila melihat kembali peta gemeente Cirebon dapat kita pahami peran dari Pelabuhan Cirebon tetap sangat penting untuk keberlangsungan pemerintahan Hindia Belanda, kawasan Pelabuhan Cirebon tidak hanya menjadi pusat dari perekonomian dengan aktivitas ekspor – impor dan perdagangannya, namun 120
Memori Serah Jabatan, h. CLII.
88
penting diingat pula bahwa kawasan Pelabuhan Cirebon pun menjadi pusat politik dari pemerintah Hindia Belanda sehingga banyak perkantoran-perkantoran atau bangunan-bangunan penting seperti rel kereta api, kantor pos, bank, kantor walikota, dan lain-lain yang dibangun di sekitar Pelabuhan Cirebon.
89
BAB IV
GERAKAN POLITIK MASYARAKAT CIREBON HINGGA KEDATANGAN JEPANG A.
Munculnya Gerakan Politik Masyarakat dan Elite Modern di Cirebon Bila pada bab dan sub-bab sebelumnya telah menjelaskan tentang keadaan
masyarakat pribumi yang memiliki kepentingan terhadap Pelabuhan Cirebon, baik masyarakat pesisir maupun di daerah hinterland Pelabuhan Cirebon. Kedua unsur masyarakat ini memiliki hubungan sangat besar terhadap Pelabuhan Cirebon terutama masyarakat yang tinggal di daerah hinterland, sebab unsur masyarakat hinterland memiliki kepentingan terhadap pelabuhan yang merupakan pintu gerbang ekspor dari komoditas-komoditas daerah hinterland seperti gula sebagai salah satu ekspor unggulan dari Pelabuhan Cirebon. Tetapi penting juga dilihat peran politik masyarakat pribumi terkait dengan Pelabuhan Cirebon ini antara tahun 1930 – 1942, sebab kita dapat melihat dinamika yang terjadi di Cirebon setelah melemahnya elite lokal (Kesultanan Cirebon) diperlukan leader di masyarakat Cirebon yang bisa menjadi tumpuan baru dalam hal memperjuangkan hak-hak mereka serta sebuah aksi nyata untuk melawan ketidakadilan dari pemerintah Hindia Belanda. Maka pada bagian ini akan menjelaskan hal itu, khususnya bagi kemunculan dari elite pribumi yang mengantikan peran penguasa lokal di masyarakat Cirebon untuk berjuang melawan ketidakadilan penjajah dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Cirebon untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Pada bab pendahuluan sedikitnya telah dijelaskan tentang keadaan Kesultanan Cirebon yang sudah dihilangkan kekuasaannya di bidang politik, 90
namun masih mempunyai tempat di masyarakat sebagai kaum elite yang sejak dahulu mempimpin wilayah Cirebon. Keadaan seperti ini terus dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan segala cara melakukan intervensi terhadap Kesultanan Cirebon agar bisa menjadikannya sebagai salah satu penguasa lokal yang bisa dikendalikan atau “diajak berkawan” untuk memenuhi kepentingan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Cirebon, strategi ini dilakukan bertujuan pula untuk mengamankan pemerintah Hindia Belanda dari gangguan-gangguan yang datang oleh masyarakat Cirebon. Pada awal abad ke-20 hingga akhir kolonialisme Belanda di wilayah Cirebon, Kesultanan Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan dalam sistem yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, baik residen, bupati ataupun jabatan jabatan di Cirebon tidak menyertakan Kesultanan Cirebon dalam struktur kekuasaan di wilayah tersebut. Dalam perjalanannya setelah mangkatnya para sultan pertama yang di gaji oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun – tahun selanjutnya para sultan dari Kesultanan Cirebon ini malah megundurkan diri dari struktur pemerintahan sebagai pegawai (abdi) dari Hindia Belanda sebagaimana yang telah diungkapkan pada bab pendahuluan. Keputusan yang diambil oleh para sultan tersebut lebih memilih diam di istana dan menjadi pelindung dari budaya kesenian tradisional.121 Dapat dipahami bila beralihnya kesultanan yang sulit bergerak bebas ketika masuk ke dalam sistem politik pemerintahan Hindia Belanda membuat Kesultanan Cirebon mulai mundur dari percaturan politik di Cirebon dan mulai menitikberatkan pada bidang kebudayaan, inilah yang mampu masyarakat Cirebon.
121
Abdurachman, Cerbon, h.64
91
Patut diketahui pula sebelum Kesultanan Cirebon dihapuskan tahun 1809 oleh Deandels, Kesultanan Cirebon telah terpecah menjadi 3 (Tiga) keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan).122 Hal ini menyebabkan Kesultanan Cirebon pun seolah menjadi sasaran dari masuknya intervensi Hindia Belanda dalam kekuasaan lokal di Cirebon tersebut, intervensi yang dilakukan oelh pemerintah Hindia Belanda merupakan salah satu cara untuk semakin melemahkan Kesultanan Cirebon dalam menjalankan kekuasaan serta merebut legitimasi politik di wilayah Cirebon. Saat wilayah Cirebon sudah sepenuhnya berada dalam penguasaan Hindia Belanda, pemeritah Hindia Belanda menjalankan kebijakannya dengan tidak adil terhadap masyarakat kaum pribumi di Cirebon, masyarakat Cirebon yang kebanyakan kaum pribumi ini mengalami banyak ketidakadilan seperti kebijakan terhadap pengelolaan Pelabuhan Cirebon yang tidak menyertakan orang pribumi dan kebijakan mengenai pajak dan upah kaum pribumi yang amat kecil. Kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat pribumi di Cirebon ini membuat mereka
amat
membutuhkan
sosok
elite
yang
bisa
menanungi
dan
memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas oleh kaum penjajah. Disaat yang bersamaan pula ketika itu Kesultanan Cirebon sudah terpecah dan tidak memiliki kekuatan, dengan kata lain juga Kesultanan Cirebon tidak lagi bisa ikut berjuang dengan masyarakat pribumi menuntut keadilan pemerintah Hindia Belanda. Situasi ini membuat kebutuhan akan sosok seorang elite yang memiliki kemampuan menyerukan dan memperjuangkan melawan ketidakadilan terhadap pemerintah Hindia Belanda semakin dibutuhkan oleh masyarakat kaum pribumi di 122
Husein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta :Djambatan, 1983), h.109-110.
92
Cirebon. Sebenarnya kemunculan elite baru sudah mulai terlihat sejak menjaelang tahun 1800-an, elite baru ini muncul masih dari lingkup Kesultanan Cirebon, meskipun memang dalam hal ini bukan para sultan yang menjadi tokoh penentang kebijakan Hindia Belanda ini. Tokoh penentang Hindia Belanda itu datang dari para penghulu Kesultanan Cirebon, dan bila penulis boleh meminjam kata dari Max Weber „rutinisasi kharismatik‟ di Cirebon berlanjut dengan dimotori oleh para penguhul Kesultanan Cirebon yang sudah terpecah, kharisma dan kekuatan yang digunakan untuk melawan penjajah sebelumnya dimiliki oleh para sultan kini beralih pada para penghulu keraton sebagai elite massa yang memiliki dukungan dari masyarakat. Kemunculan elite massa dari kalangan pengahulu ini lahir dari ketidakpuasan sikap pemerintah Hindia Belanda ditambah lagi akumulasi dari sikap Kesultanan Cirebon yang seolah enggan diajak untuk berani menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda membuat para penghulu ini mulai bergerak. Para penghulu sebagai elite massa di Cirebon ke depannya aktif pula bergerak dalam organisasi Sarekat Islam (SI) di Cirebon. Pada tahun 1913 SI di Cirebon mulai didirikan dan merupakan salah satu organisasi massa yang menjadi sebuah wadah pergerakan nasional di daerah Cirebon, di dalam tubuh SI sendiri terdapat elite massa yang dapat mengakomodir masyarakat atau pendukungnya di Cirebon untuk ikut sama-sama berjuang melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hidia Belanda terhadap kaum pribumi. Sebelum membahas lebih lanjut tentang elite massa yang membentuk gerakan massa di Cirebon awal abad ke-20 hingga berakhirnya masa kekuasaan Hindia Belanda, perlu diketahui pula asal mula kemunculan elite massa di
93
Cirebon ini yang bisa menghimpun massa ternyata datang dari lingkup Kesultanan Cireboon. Meskipun dalam hal ini bukan para sultan yang berperan menjadi tokoh utama, seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan menjadi perintis awal mula munculnya elite massa tersebut setelah Kesultanan Cirebon terpecah adalah Kiai Muqoyim bin Abdul Hadi, seorang penghulu dari Keraton Kanoman yang meninggalkan keraton dan mendirikan pondok pesantren yang kini dikenal dengan Pesaantren Buntet tahun 1750, kelak salah satu murid yang pernah belajar di Pesantren Buntet ataupun keturunan dari Kiai Muqoyim menjadi tokoh pergerakan nasional di Cirebon awal abad ke-20.123 Kharisma yang dimiliki oleh para Kiai sebagai pemuka dan pemimpin agama yang di segani telah membuat masyarakat percaya dan mendukung kegiatan serta sepak terjangnya yang menentang campur tangan dari pemerintah Hindia Belanda di Cirebon. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Muqoyim ketika menjadi penghulu dari Keraton Kanoman kerap kali menentang ketidak puasan terhadap pemerintah Hindia Belanda, apa yang dilakukannya tersebut telah membuat para kiai menjadi elite massa yang menganti peranan elite para sultan Cirebon dan memiliki bargaining power terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh Hindia Belanda (bisa jadi hal ini pula yang melatarbelakangi terbitnya ordonansi guru/ulama tahun 1905). Pesantren Buntet yang menjadi wadah dari perjuangan elite massa di Cirebon makin dikenal karena berhasil membuka jaringan dengan pesantrenpesantran yang ada di Pulau Jawa, bahkan pada tahun 1913 ketika Pesantren Buntet di pimpin oleh Kiai Abdul Jamil yang juga menjabat sebagai penghulu dari
123
Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 78.
94
Keraton Kasepuhan mulai berafiliasi dengan santrinya yakni H. Smanhudi untuk selanjutnya mendirikan Sarekat Islam (SI) di Cirebon untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.124 Mesikpun peran sultan-sultan dari Kesultanan Cirebon tidak begitu terlihat namun peran dari elite massa yang muncul dari lingkup kesultanan dengan dipelopori oleh para penghulu kesultanan telah membangkitkan kembali semangat nasionalisme untuk menentang ketidakadilan penjajah. Kemunculan gerakan nasional menentang penjajahan pemerintah Hindia Belanda di Cirebon salah satunya dilakukan oleh SI setelah berhasil mengakomodir masyarakat Cirebon dan memiliki dukungan massa yang cukup banyak dari golongan pribumi tak kurang jumlah anggota pada tahun 1913 mencapai 23.000 orang.125 Banyaknya animo masyarakat yang bergabung dalam organisasi pergerakan nasional SI ini dapat dipahami, karena latar belakang kejenuhan atas sikap dari pemerintah Hindia Belanda yang selalu berlaku tidak adil dalam memperlakukan kaum pribumi seperti gajih para buruh yang sangat kecil dan jam kerja yang panjang menjadi salah satu alasan kaum buruh untuk ikut serta mendukung perjuangan dari SI. Selanjutnya dengan munculnya tokoh-tokoh kharismatik yang ada di dalam tubuh SI dan menjabat pula sebagai pemimpin keagamaan membuat SI cepat tumbuh di Cirebon yang notabene merupakan salah satu basis Islam terbesar di daerah Jawa Barat. Peran SI disini cukup penting dalam memperjuangkan hak-hak kaum pribumi terutama kalangan pekerja buruh untuk pebaikan kehidupan mereka. Salah satu cara atau strategi yang dilakukan SI dalam menekan pemerintah Hindia Belanda adalah dengan melakukan pemogokan-pemogokan buruh di beberapa 124 125
Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 81. Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 83
95
tempat di Cirebon seperti buruh pelabuhan, buruh perkebunan gula, dan buruh kereta api Semarang Cheribonshe Stoomtrammaastchappij (SCS). Pemogokanpemogokan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dan berdampak pula pada stabilitas keamanan serta perekonomian di Cirebon. Pemogokan yang cukup menarik perhatian dari pemerintah Hindia Belanda adalah pemogokan tahun 1920 karena sampai menyebabkan terhentinya aktifitas maritim di Pelabuhan Cirebon, gerakan ini dilakukan oleh para buruh yang dipelopori oleh Djaid, seorang yang menduduki jabatan kepala Sarekat Islam Cabang Cirebon selain itu dia juga menjabat sebagai ketua Buruh Pelabuhan dan ketua Buruh Kereta Api di Cirebon.126 Tuntutan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik seperti perbaikan gaji, pengurangan jam kerja, dan peningkatan kesejahteraan kaum buruh, merupakan tuntutan yang disuarakan kaum buruh selain untuk mendapatkan hak mereka, gerakan ini pun bertujuan memperlihatkan kekuatan kaum pribumi yang di akomodir oleh organisasi SI. Terjadinya pemogokan di tahun 1920 telah membuat letupan-letupan gerakan pemogokan kembali terjadi di tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1922, keadaan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda bertindak dengan mengerahkan polisi-polisi, angkatan darat, dan angkatan laut bersenjata untuk menangkap orang-orang yang terlibat dengan pemogokan tersebut dan mengawasi para buruh-buruh, baik buruh di Pelabuhan maupun di Kereta Api.127 Dampak dari pemogokan yang diprakarsai orang-orang SI dengan sendirinya memiliki bargaining power terhadap pemerintah Hindia Belanda karena mendapatkan dukungan dari masyarakat pribumi. 126 127
Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perubahan, h. 40. Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perubahan, h. 69-71.
96
Momentum dari SI ini juga bisa dikatakan sebagai nasionalisme Islam yang tidak saja mengangkat isu-isu masalah sosial yang ada di gemeente Cirebon sebagai tujuan perjuangan, namun juga mengusung misi kebangkitan Islam melawan ketertidasan. Adanya SI juga membuat para kaum terpelajar pribumi sadar dan tergerak untuk turut serta dalam perjuangan, diawali dengan pembentukan serekat-sarekat seperti sarekat buruh yang dipelopori orang-orang SI dan selanjutnya meluas tidak hanya tentang buruh namun lebih jauh lagi untuk membentuk tatanan masyarakat secara keseluruhan yang bebas mredeka dari penjajahan kolonial dengan berazazkan keislaman. Pembentukan tatanan masyarakat ini coba diusahakan SI dengan terlibat aktif pula dibidang pendidikan, bukti nyata dari hal tersebut adalah dengan rencana akan dibuatnya sekolah dasar yang berlandaskan Islam. Sekolah itu diberi nama Sekolah SI Igama yang diresmikan 1922.128 Peran SI di Cirebon yang disokong dengan adanya pemimpin elit massa yang berkharisma membuat SI sebagai wadah pergerakan untuk menyuarakan ketidakadilan terhadap pemerintah Hindia Belanda memiliki pengaruh yang cukup besar di Cirebon baik dalam sektoe ekonomi, politik dan sosial. Selain SI ada juga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan aksi-aksi perlawanan dengan mengakomodir kaum buruh juga dengan membuat sarekat-sarekat buruh, namun pengaruh PKI di Pelabuhan Cirebon masih kurang begitu terdengar dibandingkan dengan kegiatan pemogokan buruh kereta api di sekitar Pelabuhan Semarang dipengaruhi oleh PKI yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono 1922 (pemimpin PKI ini dahulunya merupakan tokoh dari SI cabang Semarang),129 selain itu, pemogokan besar buruh 128 129
Emalia, Gerakan Politik Keagamaan, h. 95. Supriyono, Buruh Pelabuhan Semarang, h. 97
97
pelabuhan juga pernag terjadi tahun 1925 di Semarang yang sama-sama dipengaruhi oleh PKI. Akan tetapi pemogokan besar atas pengaruh PKI tidak begitu terlihat di Pelabuhan Cirbon ataupun sekitaran wilayah Cirebon di tahun yang sama. Gerakan yang menentang Hindia Belanda terjadi di Pelabuhan Cirebon dan wilayah sekitarnya dilakukan oleh masyarakat (kebanyakan kaum buruh), baik dimulai dari lingkup kesultanan maupun dari golongan buruh yang diakomodir oleh elite massa seperti SI dan PKI, dengan mengerahkan massa buruh tersebut untuk melakukan perlawanan dengancara pemogokan terhadap kegiatan-kegiatan vital di Hindia Belanda telah membuat letupan-letupan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah semakin nyata. Fenomena tersebut juga menambah warna tersendiri dalam perjalanan sejarah serta dinamika ekonomi dan politik di wilayah Cirebon. B.
Pergerakan Politik Pasca Depresi Ekonomi 1930 Setelah tahun 1922 hingga menjaelang tahun 1930 atau ketika masa
depresi ekonomi menjelang dan masa setelahnya, gerakan-gerakan menyampaikan ketidakpuasan (perlawanan) di Cirebon masih bermunculan meskipun tidak sebesar tahun 1920-1922, karena adanya pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda. Pasca depresi ekonomi 1930 keadaan ekonomi di daerah jajahan makin mengalami kesulitan, terlebih keadaan kaum pribumi pasca depresi pun lebih mengalami keterpurukan dalam kesejahteraan mereka. Selain itu kenyataan ini pun membuat kaum pribumi terpaksa untuk lebih bekarja keras untuk menghidupi keluarganya. Ditambah pula ketidakadilan masih terus dilakukan oleh kaum
98
penjajah pemerintah Hindia Belanda, makin membuat kaum pribumi semakin mendaerita. Keluhan di bidang ekonomi, sosial, dan politik membuat bermunculannya kembali gerakan-gerakan politik menuntut tidak hanya perbaikan tarah hidup namun juga kemerdekaan di wilayah Indonesia. Pasca tahun 1930 setelah dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), muncullah Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru) yang cukup mendapat perhatian dan dukungan masyarakat Indonesia tak terkecuali di wilayah Cirebon. Hal ini dibuktikan dari tulisan pada artikel dari surat kabar Kepentingan Ra‟jat yang terbit pada bulan Februari 1933 seperti berikut: “Pergerakan Partindo dan PNI tambah hari tambah populairlah nama doea pergerakan ini. Karena keactiefan pemimpin-pemimpin dalam doea pergerkan. Tidak sadja ketjakapan pemimpin-pemimpi jang bisa memadjoekan masingmasing partij, tetapi tjotjog dengan kemaoean Ra‟jat pada masa ini, jang perloe dibela, karena mereka itoe maoe merdeka dari koeng-koengan imperialis”.130
Dua gerakan politik di Indonesia ini mendapat sambutan yang baik untuk menjadi wadah baru perjuangan pergerakan untuk mencapai Indonesia Merdeka tak terkecuali di Cirebon demikian memiliki pengaruhnya. Kedua pergerakan ini sama-sana mengajarkan dan menamkan rasa cinta terhadap tanah air serta menjalankan pergerakanya dengan langkah non-koorperatif terhadap Hindia Belanda. Keberadaan tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta yang menjadi elite dalam pergerakan Partindo dan PNI baru merupakan salah satu alasan kedua pergerakan ini perlahan mulai mendapat dukungan yang besar dari masyarakat 130
Kepentingan Ra’jat, 17 Februari 1933.
99
Indonesia dan di Cirebon salah satunya. Kedua tokoh ini memang dikenal dengan sepak terjangnya dalam pergerakan Indonesia merdeka saat itu. Kemampuan pidato Soekarno yang berapi-api membakar semangat juang Bangsa Indonesia dan fokus pendidikan rakyat oleh Hatta membuat perpaduan di antara kedua pergerakan ini menjadi pergerakan yang baik untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, tidak bisa dipungkiri pula adanya silang pendapat di antara kedua pergerakan ini membuat keduanya tidak bisa bergabung dalam satu naungan wadah pergerakan. Namun bila melihat sepak terjang kedua pergerakan ini disamping perbedaan diantara mereka tetap memiliki tujuan yang sama, satu tujuan utama meraka adalah Indonesia merdeka. Tapi pada masa itu perjuangan membangkitkan semangat kemerdekaan tidaklah mudah, selain sulitnya karena pendidikan kaum pribumi yang masih sangat rendah celakanya ada beberapa golongan yang beranggapan bila sudah sewajarnya Belanda mememerintah Indonesia sebab itu merupakan kehendak dari Tuhan. Seperti apa yang dituliskan dalam artikel surat kabar Kepentingan Ra‟jat bulan maret 1933; “Dalam setengah golongan kaoem Christhen kerap kali terdengar dalil, bahwa soedah memang kehendak Toehan, jang Nederland memerintah Indionesia”.131 Kutipan di atas tersebut jelas ada kalangan yang memanfaatkan kepercayaan masyarakat sebagai suatu cara untuk menyusupi pemikiranpemikiran kaum pribumi yang beragama sama dengan agama yang dianut sebagian besar penjajah untuk melanggengkan kekuasaanya di bumi Indonesia serta menjadikannya sebagai legitimasi kekuasaan di Indonesia.
131
Kepentingan Ra’jat, 8 Maart 1933.
100
Namun, usaha yang dilakukan pihak penjajah Hindia Belanda itu kurang membuahkan hasil sebab ditahun pasca depresi ekonomi seperti tahun 1933 suarasuara mengenai benih-benih kemerdekaan sudah makin santer terdengar dibandingkan masa-masa sebelumnya sebab sudah ada arahan yang jelas tentang kecintaan dan rasa nasionalisme sebagai suatu bangsa yang menuntut kemerdekaan dari penjajah. Perjuangan kedua pergerakan yakni Partindo dan PNI bari dalam menuntut kemerdekaan Indonesia semakin membuat kekhawatiran menghinggapi pihak pemerintah Hindia Belanda kala itu. Maka untuk menekan pergerakan-pergerakan tersebut dikeluarkanlah peraturan pemerintah dalam hal pengawasan rapat-rapat yang diadakan oleh Partindo dan PNI baru. Salah satunya dengan menempatkan polisi-polisi yang mengawasi setiap kegitan rapat dan pengkaderan yang dilakukan dua pergerakan itu.132 Usaha memalikan gerak dan perkembangan tidak hanya itu, tapi juga melaksanakan kebijakan exorbitant rechten133 dengan mengasingkan pemimpin-pemimpin pergerakan tersebut seperti Soekarno diasingkan ke Ende di Pulau Flores dan Hatta ke Boven Digul di Pulau Papua. Meskipun terjadi penangkapan kembali dan pembuangan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap para pemimpin-pemimpin pergerakan tanah air tidak mengurangi rasa semangat untuk merdeka dari penjajahan. Namun cara-cara yang digunakan di daerah-daerah seperti di Cirebon untuk menghindari jatuhnya
132
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h.376. 133 exorbitant rechten adalah hak luar biasa yang dimiliki oleh gubernur jendral untuk mengasingkan seseorang yang dianggap berbahaya untuk ketentraman umum. Lihat, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia SNI V, h. 376
101
korban dan pengasingan-pengasingan maka diambillah jalan yang lebih lunak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. C.
Awal Mula Kedatangan Militer Jepang di Pulau Jawa Pada Perang Dunia II yang berlangsung dari tahun 1939 – 1945 telah
membuat banyak pihak terlibat dalam perang akbar tersebut yang akhirnya mengubah situasi politik di tanah jajahan Hindia Belanda. Jepang sebagai salah satu kekuatan baru di Asia, turut serta dalam Perang Dunia II ini bergabung dalam aliansi yang disebut poros Roberto (Roma, Berlin, dan Tokyo) dan menjadi lawan dari Belanda yang tergabung dalam pihak sekutu bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia. Salah satu tujuan dari keikutsertaan Jepang adalah untuk menguasai Asia dengan membentuk kesemakmuaran bersama Asia Timur Raya di bawah kekuasaan Jepang. 134 Untuk memuluskan rencaran Jepang sebagai penguasa Asia, Hindia Belanda merupakan salah satu ancaman sekaligus menjadi tanah subur akan sumberdaya alam yang bisa membiayai keperluan Jepang selama perang, karena hampir sebagian besar komoditas yang diperlukan Jepang untuk perang di hasilkan dari bumi Indonesia yang pada saat ini masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Usaha Jepang untuk mengusai Asia dimulai dengan menggempur pangkalan laut milik Amerika Serikat, Pearl Harbour di Kepulauan Pasifik pada 78 Desember 1941.135 Setelah Jepang berhasil mengalahkan dominasi kekuatan Amerika di Pasifik, kemudian Jepang mualai melancarkan serangan ke Indonesia 134
Suhartono, „Berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda‟ dalam Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012) h. 405. 135 Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Zaman Jepang dan Zaman Repulik (1942-1970) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h.2. lihat juga Suhartono, „Berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda‟ dalam Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012) h. 405.
102
yang masih dikuasai oleh Hindia Belanda. Diawali dengan mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942. Selanjutnya terus bergerak ke Balikpapan hingga dapat dikuasainya kota ini tanggal 24 Januari 1942. Serangan Jepang terus berlanjut samapai dapat dikuasainya Pontianak, Samarinda dan Banjaramasin tanggal 10 Februari 1942.136 Setelah menguasai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pasukan Jepang terus menjalankan ekspansinya ke pulau-pulai yang menjadi basis kekuatan dari Hindia Belanda tak terkecuali Pulau Jawa. Pada tanggal 28 Februari menjelang 1 Maret 1942, tentara Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, taitu di Teluk Banten, Eretan (dekat Cirebon), dan di Kragan (Jawa Tengah). Eretan yang masih merupakan daerah hinterland dari Pelabuhan Cirebon tanpa di duga menjadi tempat kedatangan awal dari pasukan Jepang di Jawa. Bermodalkan 5.000 pasukan yang mendarat di Eretan dengan dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji mulai bergerak dan dalam waktu singkat berhasil menguasai Subang untuk selanjutnya menguasai lapangan terbang Kalijati 4 Maret 1942.137 Sehari kemudian tentera Jepang terus bergerak kearah Bandung hingga akhirnya pada tanggal 7 maret 1942 berhasil menguasai Bandung hingga ke Lembang yang digunakan sebagai pertahanan terakhir di daerah Jawa Barat. Setelah dikuasainya Bandung, pimpinan Jepang menginginkan pengakuan penyerahan kekuasaan dari tangan Hindia Belanda kepada pihak Jepang. Maka dilakukanlah perundingan di Kalijati pukul 17.00 pada tanggal 8 Maret 1942.138 Ancaman pihak Jepang yang akan membom Kota Bandung dan kota-kota lain bila 136
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Zaman Jepang dan Zaman Repulik (19421970) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h.3. 137 Ibid, h.8. 138 Ibid, h.9.
103
pihak Hindia Belanda bersikeras melawan. Keadaan ini membuat Panglima KNIL, Letnan Jendral Ter Poorten yang memegang komando pasukan tertinggi di Hindia Belanda harus menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat pada pukul 13.20 tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati yang juga masih daerah hinterland dari Pelabuhan Cirebon.139 Letnan Jendral Ter Poorten dari pihak Hindia Belanda dan Letnan Jendral Imamura dari pihak Jepang bersepakat untuk menandatangani penyerahan total segala kekuatan baik senjata, kendaraan, dan pasukan yang dimiliki Hindia Belanda di daerah jajahannya di Indonesia kepada pihak Jepang, mualai saat itulah berakhirnya kuasa Belanda melalui pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dari pemaparan penulis tentang kedatangan Jepang di daerah sekitar hinterland Pelabuhan Cirebon, dapat dilihat dan dianalisa tentang bagaimana gambaran letak geografis tempat pendaratan Jepang di Eretan sudah direncanakan sedemikian rupa dan secara matang. Untuk selanjutnya terus bertahap bergerak menekan jantung-jantung kota yang vital di Jawa seperti Batavia dan Bandung. Jelaslah pula Pelabuhan Cirebon dangan daerah hinterlandnya memiliki arti penting tidak hanya sebagai tempat pemenuhan komoditas ekspor yang memiliki sisi ekonomis namun juga sebagai tempat strategis pintu gerbang ke luar masuknya kapal untuk kebutuhan militer dan atau politik.
139
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Zaman Jepang dan Zaman Repulik (19421970) Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h.12.
104
BAB V
PENUTUP A.
Kesimpulan Melalui skripsi ini, dapat diketahui bahwa Cirebon merupakan suatu
wilayah yang berada di pesisir utara Pulau Jawa telah menjadi salah satu tempat penting bagi penmerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Pelabuhan Cirebon adalah jantung ekonomi politik di wilayah itu. Cirebon sendiri memiliki karakter masyarakat yang khas dengan dibedakan menjadi dua karakteristik dari aktivitas masyarakatnya yakni, masyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman. Menjelang terjadinya depresi ekonomi, selama dan sehingga sesudahnya, masyarakat yang beraktivitas di pesisir dan pedalaman sama-sama mulai mengalami kesulitan hidup sebab adanya persaingan dengan nelayan-nelayan asing untuk kegiatan menangkap ikan. Selanjutnya kesulitan hidup masyarakat pribumi juga dialami oleh masyarakat pedalaman (hinterland) dari Pelabuhan Cirebon,
regulasi-regulasi
tentang
tanah
yang
dimaksudkan
untuk
menyejahterakan mereka namun nyatanya telah membuat kaum pribumi semakin terhimpit dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Berdasarkan sumber-sumber yang ditemukan dapat dijelaskan bahwa Pelabuhan Cirebon memiliki peran penting dalam pemerintahan Hindia Belanda karena Pelabuhan Cirebon adalah salah satu dari 3 (tiga) Pelabuhan yang masuk dalam kategori pelabuhan kecil yang menjalankan fungsi sebagai pelabuhan ekspor dan impor. Dapat diketahui pula gula merupakan salah satu komoditas ekspor yang mennjadi tumpuan dari Pelabuhan Cirebon.
105
Keadaan penguasa lokal dalam hal ini Kesultanan Cirebon ketika wilayahnya sudah dikuasai oleh Hindia Belanda dengan intrik-intrik pemecahan kesultanan hingga dihapuskannya posisi Kesultanan Cirebon menjadi hanya memiliki kuasa yang berakitan dengan budaya lokal saja dan tidak lagi memiliki kuasa di bidang politik. Bila melihat dari sisi yang lebih luas di beberapa wilayah Nusantara secara tidak langsung masa penjajahan tersebut telah mengambil alih posisi penguasa-penguasa (elite) lokal yang memiliki kuasa atau pusat pemerintahannya berada di wilayah pesisir dan laut menjadi “didaratkan” atau bahkan dihancurkan, sebagai contoh; Kerajaaan Malaka, Samudera Pasai, Banten, Demak, Makasar, Bone dan tidak terkecuali Kesultanan Cirebon mengalami nasib yang serupa. Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam wilayah Kesultanan Cirebon telah membuat identitas Kesultanan Cirebon di bidang maritim yang sempat melambung hingga namanya dikenal sebagai salah satu bandar jalur sutera, berubah menjadi Kesultanan Cirebon yang hanya aktif dalam kegiatan seremonial belaka. Pada tahun 1900an Kesultanan Cirebon sebagai elite penguasa lokal kurang memiliki keberanian lagi untuk berjuang menentang ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda karena telah menjadi mitra kerja dari pemerintah Hindia Belnda dan selanjutnya mengundurkan diri dari percaturan politik untuk mengurusi halhal terkait kebudayaan saja. Keadaan ini membuat munculnya elit massa yang berasal dari kaum intelektual muslim (yang dahulunya digagas oleh penghulupenghulu Kesultanan Cirebon), ketika itu dengan wadah Serekat Islam (SI) para elite massa ini sama-sama berjuangan menentang ketidakadilan penjajah dengan strategi melakukan pemogokan-pemogokan yang dilakukan kaum buruh, seperti
106
buruh kereta api yang berkaitan erat dengan Pelabuhan Cirebon dan SI pun melmiliki dukungan dari kaum pribumi yang sudah jenuh akan kesemena-menaan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Selain SI muncul pula gerakan-gerakan yang dilakukan oleh PKI namun aksinya di Pelabuhan Cirebon kurang terdengar dibandingakan dengan aksi di Pelabuhan Semarang. Pasca depresi ekonomi tahun 1930 setelah pembubaran PKI dan mulai melemahnya peran SI di masyarakat. Muncul lagi pergerakan baru yang digalang oleh Partindo dan PNI baru yang memiliki cita-cita kemerdekaan Indonesia serta memiliki karakteristik non-kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan gambaran dari skripsi ini juga dapat dilihat makin kuatnya dominasi Hindia Belanda di Cirebon membuat pengelolaan Pelabuhan Cirebon menjadi prioritas untuk menjadi salah satu alat penunjang kesejahteraan negeri induk mereka yakni Belanda. Pelabuhan Cirebon yang kian penting untuk mengirimkan komoditas gula yang pada saat itu sangat laku di pasaran dunia tibatiba harus menelan pil pahit saat terjadi depresi ekonomi tahun 1930 yang menjadikan harga gula jatuh sehingga pendapatan dan ekspor utama dari Pelabuhan Cirebon ini menurun. Namun bila dibandingkan dengan beberapa pelebuhan kecil yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor dan impor di Pulau Jawa, Pelabuhan Cirebon adalah pelabuhan yang masih eksis dan masih bertahan meskipun terjadi penurunan di bidang ekpor dan impor. Berdasarkan hal tersebut, penulis dapat simpulkan bahwa Pelabuhan Cirebon masih tetap bisa bertahan eksistensinya walaupun pada masa depresi ekonomi. Ditambah lagi dengan adanya pabrik rokok terbesar pada masa itu yakni British American Tobacco (BAT) yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari
107
Pelabuhan Cirebon dan tentunya dengan masih beroperasinya industri gula di Cirebon untuk menjadi komoditas ekspor, meskipun harga jual gula mengalami kejatuhan saat depresi ekonomi dari segi nilai jual. Indikator-indikator ini memberikan bukti dan dampak pula terhadap Pelabhan Cirebon untuk tetap eksis dalam menjalankan aktivitas maritim sebagai pintu gerbang komoditas ekspor dan impor di pesisir Cirebon. Patut diketahui pula bila peran Pelabuhan Cirebon tidak hanya menentukan dari segi ekonomis dengan daerah hinterland yang menghasilkan komoditaskomoditas berkualitas yang laku di pasaran dunia. Namun bila dilihat dari segi letak geografisnya yang sangat strategis, bila dikelola dengan baik bisa dimanfaatkan sebagai pintu masuk pangkalan militer serta tempat berlabuh yang baik. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan awal Jepang di Pulau Jawa salah satunya di sekitar daerah hinterland Pelabuhan Cirebon. B.
Saran Pembahasan tema sejarah maritim menurut penulis sangat menarik dan
jarang diangkat oleh mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam, terlebih lagi pembahasan yang penulis ambil mengenai Pelabuhan di masa kolonial setelah masa depresi ekonomi melanda hampir di seluruh dunia. Penulis hanya menemukan beberapa tulisan terkait sejarah maritim yang ditulis oleh mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam dan kesemuanya itu mengangkat kajian yang angka tahunnya di bawah masa Hindia Belanda dengan kata lain adalah masa di mana kerajaan-kerajaan Islam masih memegang kendali aktivitas maritim. Kasus yang penulis angkat tentang Pelabuhan Cirebon bisa menjadi rekomendasi yang sangat baik dan menguntungkan bagi daerah Provinsi Jawa
108
Barat. Sebuah titik awal dari penemuan kembali kesadaran maritim yang seharusnya tertanam sejak dahulu. Bila penulis lihat dari 5 provinsi di pesisir utara Pulau Jawa ini masing masing memiliki pelabuhan besar untuk bongkar muat komoditas barang maupun mengangkut penumpang; Pelabuhan Merak di Provinsi Banten, Tanjung Priok & Sunda Kelapa di DKI Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas di Provinsi Jawa Tengah, Pelabuhan Tanjung Perak & Tanjung Wangi di Provinsi Jawa Timur. Lalu untuk Provinsi Jawa Barat ? (masih tanda tanya). Belum adanya pelabuhan besar di wilayah Jawa Barat sebenarnya kekosongan itu bisa diisi oleh Pelabuhan Cirebon yang memang sudah memiliki rekam jejak sejarah sebagai pelabuhan yang memiliki peran penting dalam percaturan maritim bangsa Indonesia dari sejak kerajaan-kerajaan bahkan perannya semakin besar masa kolonial. Maka dari itu skripsi ini bisa menjadi modal berharga untuk mengembangkan atau membangunkan kembali jiwa maritim di wilayah Jawa Barat dan Indonesia untuk lebih luasnya lagi. Hal ini semakin menarik karena saat ini pula Indonesia sedang menggaungkan visi misi sebagai poros maritim dunia, dengan kata lain Indonesia sedang berbenah mempersiapkan diri untuk menjadi pusatnya dari kegiatan maritim di dunia. Peran penting dari penulisan sejarah maritim sangat dibutuhkan untuk menggali potensi maritim dan menekankan kembali tentang jati diri bangsa Indonesia yang memiliki gen maritim sejak dahulu, namun telah “didaratkan” semasa zaman penjajahan. Penulis juga berharap kepada para pembaca, setelah membaca tulisan ini akan hadir tulisan-tulisan tentang maritim yang dibuat oleh mahasiswa sejarah khususnya mahasiswa SKI yang seharusnya mulai berani ke luar dari “zona
109
aman” tidak lagi hanya membahas konteks Islam dari sudut pandang politik, budaya, dan tulisan-tulisan mengenai sejarah pesantren. Namun berani membuka diri untuk menulis kajian-kajian baru dalam rangka mengisi kekosongan tulisan sejarah yang salah satunya tulisan sejarah yang mengkaji tentang maritim dan sudah saatnya pula mahasiswa memberanikan diri untuk bergelut dengan sumbersumber kolonial yang biasanya banyak dihindari oleh mahasiswa SKI. Besar pula harapan penulis untuk selanjutnya akan hadir para mahasiswa kelak menjadi tokoh baru di bidang sejarah yang siap menjadi Azyumardi Azra baru, Uka Tjandrasasmita baru, Hasan M. Ambary baru, Taufik Abdullah baru, Sartono Kartodirdjo baru, Susanto Zuhdi baru dan paling khusus semoga akan muncul kembali Adrian B. Lapian baru yang berorientasi memadukan ilmu sejarah berkaitan tentang keislaman dengan kemaritiman yang lahir dari Universitas Islam Nageri Syarif Hidayatullah Jakarta.
110
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Primer 1. Arsip Tak Terbit Governements Besluit. No. 42 tahun 1924. Kielstra, Egbert Broer. Indische Arichipel : Geschiedkundige Schetsen. Haarlem : De Erven F Bohn, 1916. Staatsblad. No.159 tahun 1887. Staasblad. No. 122 tahun 1906. Staatsblad. No. 387 tahun 1924. Verslag Van Den Toestand Der Stadsgemeente Cheribon over 1932 2. Arsip yang Diterbitkan Almanak en Naaamregister van Nederlandsch-Indie voor 1859. Batavia: Ter Lands- Drukkerij, 1859. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat). Jakarta: ANRI, 1976. Encyclopedie van Nederlandsch-Indie. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918. 3. Surat Kabar Sezaman Kepentingan Ra’jat, Soerat Chabar Oemoem, terbit seminggoe sekali. Diterbitkan oleh: Kongsi Kepentingan, 17 Februari 1933 dan 8 Maart 1933. Koemandang Masjarakat, 6 dan 15 Juli 1939.
111
Poesaka Tjirebon, Memperhatikan Politiek Perekonomian, 17 November 1938 dan 8 Desember 1938. Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919.
B. Sumber Sekunder 1. Buku Abdurachman, Paramita R. Cerbon. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982. Adeng, dkk. Kota Dagang Cirebon sebgai Bandar Jalur Sutera. Jakarta: CV. Eka Dharma, 1998. Ali, Mohammad. Sejarah Jawa Barat Sekitar Permasalahannya. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 1975. Arif, Muhamad. Pengantar Kajian Sejarah. Bandung: Yrama Widya, 2011. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Citra Kota Cirebon Dalam Arsip. Jakarta: ANRI, 2011. ----------------------------------------------------. Citra Kabupaten Cirebon Dalam Arsip. Jakarta: ANRI, 2014. Atja. Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari. Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972. Barnes, Gregory Fremont. The French Revolutionary Wars. Oxford : Osprey Publishing, 2001. Bochari, M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah. Sejarah Kesultanan Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001. Booth, Anne dkk. ed. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988.
112
Boxer, C.R. Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1986. Burger, DH. Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesie. Den Haag : Martinus Nijhoff, 1975. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan. JenisJenis Perahu di Pantai Utara Jawa – Madura. Jakarta: Depdikbud, 1981. Ekajati, Edi S. Sejarah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud, 1976. Emalia, Imas. Gerakan Politik Keagamaan Di Keresidenan Cirebon 1911-1942. Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011. Ensiklopedia Islam Jilid 5, Asia tenggara. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Gottschalk, Louis. Terj. Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Depok: UIPress, 2006. Greengrass, Mark. Christendom Destroyed : Europe 1517-1648 London: Penguin Publisher, 2014. Hamid, Abd Rahman. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013. Ingleson, John. Perkotaan, Masalah Sosial dan Perubahan di Jawa Masa Kolonial. Editor: Iskandar P. Nugraha. Depok: Komunitas Bambu, 2013. Iskandar, Yoseph dkk. Sejarah Banten. Jakarta: Tryanasjam‟ un CORP, 2001. James, William. The Naval History of Great Britain: From the Declaration of War by France in 1793 to the Accession of George IV. London: R. Bentley, 1847.
113
Kartodirjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Depdikbud, 1975. -------------------------. Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Koloniaslime. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, 1975. Kemp, Pieter Hendrik van Der. Pemberontakan Cirebon Tahun 1818. Jakarta: Yayasan Idayu, 1979. -------------------------. Java's landelijk stelsel, 1817-1819 : naar oorspronkelijke stukken. Den Haag : Martinus Nijhoff, 1916. Kern, Rudolf Arnold dan Hoesein Djajadiningrat. Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara, 1973. Knaap, Gerrit J. Shallow Waters, Rising Tide. Leiden: KITLV Press, 1996. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013. Lapian, Andrian B. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut. Depok: Komunitas Bambu, 2009. --------------------------. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu, 2008. Leur, J.C van. Indonesia Trade and Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Lubis, Nina H. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint: Bandung, 2000. Madjid, M. Dien. Berhaji di Masa Kolonial. Jakarta: CV. Sejahter, 2008. Madjid, M. Dien dan Johan Whyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2014.
114
Masyhuri. Menyisir Pantai Utara. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1996. Milone, Pauline Dublin. Urban Areas in Indonesia: Administrative and Cencus Concepts. Research Series No. 10. Berkeley: Institute of International Studies University of California, 1966. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (1900-1942) Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Sejarah Nasional Indonesia SNI VI Zaman Jepang dan Zaman Repulik (1942-1970) Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Pires, Tome. Penyunting asli: Armando Cortesao, Penyunting edisi Indonesia: Aditya Pratama. Suma Oriental Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Ombak, 2014. Pradjoko, Didik dan Friska Indah Kartika. Pelayaran dan Perdagangan Kawasan Laut Sawu Abad ke-18 – Awal Abad ke-20. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2014. Pranoto, Suhartono W. Teori & Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Pusat
Bahasa
Departemen
Pendidikan
Nasional.Kamus
Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
115
Bahasa
Ricklefs, M. C. Sejarah Insdonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005. -------------------. Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Komtemporer. Depok: Komunitas Bambu, 2013. Ried, Anthony. Asia Tenggara dalam kurun Niaga1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdaganagn Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Schutte, G.J. State and Trade in the Indonesian archipelago. Leiden: KITLV Press, 1994. Sediawati, Edi dan Susanto Zuhdi, ed. Arung Samudera: Persembahan Sembilan Windu A.B. Lapian. Depok: PPKB LP UI, 2001. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984. Sulendraningrat, P.S. Sejarah Cirebon. Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon, 1975. Sulistiyono, Singgih Tri. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan, 2004. ----------------------------------. The Java Sea Network: Patterns in Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of National Economic Integration in Indonesia 1870 – 1970. Sunardjo, Unang. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Kesultanan Cirebon. Bandung: Tarsito, 1983. Supriyono, Agustinus. Buruh Pelabuhan Semarang: Pemogokan-pemogokan pada zaman Kolonial Belanda, Revolusi dan Republik 1900 – 1965. Suroyo, A. M. Djuliati, dkk. Sejarah Maritim Indonesia 1. Semarang: Jeda, 2007.
116
Taufiqurrahman. Sejarah Pelabuhan Bima. Yogyakarta: Ombak, 2012. Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas. Bandung: Pemerintah Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 1991. Tim Penulis. Indonesia dalam Asrus Sejarah Jilid: 5. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. Tim Penyusun. Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Jakarta, 2013. Tjansdrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. -----------------------------. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indionesia. Kudus: Menara Kudus, 2000. Wibawa, Samodra. Negara-Negara di Nusantara: dari Negara-kota hingga Negara-bangsa dan dari Modernisasi hingga Reformasi Adminsitrasi. Yogyakarta: UGM Press, 2001. Widodo, Sutejo K. Ikan Layang Terbang Menjulang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2005. Wildan, Dadan. Sunan Gunung Jati Petuah, Pengaruh dan Jejak-Jejak Sang Wali di Tanah Jawa. Tangerang Selatan: Salima Network, 2012. Zuhdi, Susanto. Sejarah Buton yang Terabaikan. Jakarta: Rajawali Press, 2010. --------------------. Cilacap 1830 – 1942 Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002. --------------------. Nasionalisme, Laut dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
117
2. Artikel Jurnal Nas, Peter dan Pratiwo, 'Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos'. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 158, No. 4, On The Road : The social impact of new roads in Southeast Asia (2002), pp. 707-725 Van der Burg, Martijn.„Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands between Republicanism and Monarchy (17951815)'.European Review of History (2010). vol.17 no.2, pp 151–170 Wright, H.R.C. 'The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824'. The Economic History Review, New Series, Vol. 3, No. 2 (1950), pp. 229-239 3. Sumber Tertulis Tidak Diterbitkan a. Tesis Sulistiyono, Singgih Tri. “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”. Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana Unuversitas Gajah Mada Yogyakarta, 1994. b. Makalah Seminar Lapian, Andrian B. “Dunia Maritim sebagai Unit Kajian Sejarah”. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Metode Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Sejarah di Surabaya, 13-17 Juli 2005. Sari, Citha Recha. Pengaruh Monocultur Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) Terhadap Status NPK di dalam Tanah. Makalah Seminar Umum. Fakultas Agronomi, Universitas Gajah Mada. c. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar 118
Lapian, Andrian B.. “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Depok, 4 Maret 1992. 4. Sumber Elektronik http://nasional.kompas.com/read/2010/05/03/07370983/Harta.Karun.Rp.720.Milia r.Dilelang.Rabu diakses hari Selasa 28 Juli 2015 Pukul 12.08 wib. http://www.academia.edu/3304700/Jenis__Jenis_Alat_Tangkap_Ikan_dan_Pengoperasiannya (diakses pada 13 April 2015 pukul 09.12 wib) www.gahetna.nl www.kitlv.nl
119
LAMPIRAN Lampiran 1:
Peta Indonesia yang dibuat pada tahun 1879 (Algemeene Kaart van Nederlandsch – Indie) dan peta persebaran pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia. Sumber: Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia.
120
Lampiran 2:
Peta Pulau Jawa, Peta Jawa Barat dan Peta Cirebon
121
Lampiran 3:
Kontrak antara Raja Cirebon dengan Gubernur Jendral VOC tanggal 13 Juli 1684. Sumber: ANRI.
122
Lampiran 4:
Kontrak antara Sultan Anom II Kadiruddin dengan Gubernur Jendral Willem Van Outhoorn tahun 1699 mengenai Penanaman tumbuhan Kopi di Cirebon. Sumber: ANRI.
123
Lampiran 5:
Perjanjian mengenai hukum antara Residen Cirebon Pieter Cornelis Hasfelaus dan Sultan Sepuh IV Amir Sena Muhammad Jaenuddin, 18 April 1760. Sumber: ANRI.
124
Lampiran 6:
Surat Kesepakatan antara Residen Cirebon dan Sultan Kanoman yang didukung VOC, Sultan Anom V Imaduddin, 1 November 1799.Satu bulan sebelum VOC dibubarkan. Sumber: ANRI.
125
Lampiran 7:
Perjanjian antara Nicolas Engelhard denganSultan Sepuh VII Joharuddin dan Sultan Anom V Imaduddinpada tanggal 1 September 1806, di sahkan pada 27 Januari 1807. Sumber: ANRI.
126
Lampiran 8:
Laporan Tumenggung Kanoman Nata Diningrat kepada Residen Cirebon tentang kerusuhan yang terjadi di Cirebon selama masa Inggris berkuasa, 28 September 1816. Sumber ANRI.
127
Lampiran 9:
Lembaran Negara No. 79 tahun 1859 yang berisi tentang pembukaan Pelabuhan Cirebon yang mulai diatur oleh pemerintahan Hindia Belanda pengelolaannya, termasuk Syahbandar yang di jabat oleh orang Belanda dengan sebutan haven en equipagemeester. Sumber: ANRI.
128
Lampiran 10:
Lembaran Negara No. 122 tahun 1906 yang berisi tentang dijadikannya kota Cirebon sebagai gemeente (kota praja). Sumber: ANRI.
129
Lampiran 11:
Lembaran Negara No. 378 tahun 1924 yang berisi tentang daftar pelabuhanpelabuhan yang dinilai penting dan memiliki nilai ekonomis untuk pemerintah Hindia Belanda dan termasuk kedalam Kliene bedrijfshaven. Sumber: ANRI.
130
Lampiran 12:
Laporan tentang keadaan (gemeente) Kota Cirebon pada tahun 1932. Sumber: PNRI.
131
Lampiran 13:
Surat kabar Kepentingan Ra‟jat yang terbit tahun 1933 menerangkan keadaan Cirebon mas itu. Sumber: PNRI.
132
Lampiran 14:
Surat kabar Poesaka Tjirebon dan Koemandang Masjarakat yang terbit tahun 1938 dan 1939 menerangkan keadaan Cirebon mas itu. Sumber: PNRI.
133
Lampiran 15:
Lukisan tentang keadaan di Pelabuhan Cirebon (atas) dan Gunung Ciremai (bawah). Sumber: PNRI.
134
Lampiran 16:
Penulis sedang mengamati dan memilah peta-peta Cirebon di Perpustakaan Nasional Indonesia (PNRI).
135
Lampiran 17:
Foto kantor dari Pelabuhan Cirebon masa Hindia Belanda (atas) dan foto penulis di depan kantor Pelabuhan Cirebon saat ini yang menjadi kantor Patroli Keamanan Laut TNI-AL dan dalam gedung yang sama menjadi kantor Perusahaan Bongkar Muat swasta. Sumber: gahetna.nl 136
Lampiran 18:
Foto penulis berada di depan kantor Patroli Keamanan Laut TNI-AL sedang menunjuk bekas rel kereta api yang melintasi pelabuhan serta bermuara di Pelabuhan Cirebon juga. Rel kereta ini dijadikan alat untuk mengankut komoditas-komoditas ekspor maupun impor yang melewati Pelabuhan Cirebon, namun kini rel kereta tersebuttelah ditimbun aspal untuk jalan.
137
Lampiran 19:
Foto penulis di area Pelabuhan Cirebon tepat di depan gudang-gugang yang dahulu menajdi tempat penyimpanan komoditas-komoditas ekspor-impor.
138
Lampiran 20:
Foto penulis di depan Gedung British American Tobacco (BAT) salah satu pabrik rokok terbesar pada masanya, sekitar tahun 1930an BAT yang berada di Surabaya pindah ke Cirebon dan menjadi perusahaan rorkok yang besar. 139
FIRMAN FATUROHMAN lahir di Majalengka (Jawa Barat) pada tanggal 9 Agustus 1992. Pendidikan penulis ditempuh di SDI Al-Amanah Tangerang (1998-2004), MTs Daarul Uluum PUI Majalengka (2004-2007), MAN Serpong Tangerang Selatan (2007-2010), dan pendidikan sarjananya di Jursan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (2010-2015). Ketika menjadi mahasiswa penulis mengikuti berbagai kompetisi baik tingkat lokal, regional maupun nasional diantaranya menjadi finalis 10 besar Karya Tulis Sejarah Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) di Palu, Sulawesi Tengah tahun 2011, grand finalis Arung Sejarah Bahari (AJARI) di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 2012, Juara II Voli Putra Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan Riset (PIONIR) di Serang, Banten tahun 2013, finalis Kompetisi Pemikiran Kritis Pemuda Maritim (KPKPM) di KRI Banda Aceh saat melintasi Laut Jawa tahun 2015. Selain itu, penulis juga memiliki pengalaman kerja diantaranya menjadi pengajar di Rumah Belajar Forum Indonesia Muda tahun 2014, guru matapelajaran sejarah dan pembimbing eskul karya ilmiah remaja bidang sosial di MAN Serpong tahun 2014-2015. Di bidang penelitian penulis turut aktif pula dalam beberpa penelitian diantaranya berjudul “Sultan Hamid II Perancang Lambang Pemersatu Bangsa” tahun 2011 dan “Pengaruh Jaringan Pelayaran dalam Islamisasi di Sunda Kecil” tahun 2012. Menjadi asisten peneliti dari Imas Emalia, M. Hum. (Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam judul penelitian “Jejak Dakwah Ulama Betawi: Peran Mu‟allim K.H. Muhammad Syafi‟i Hadzami dalam Syi‟ar Islam di Jakarta” tahun 2011 dan dalam judul penelitian “Upaya Melawan Bughat: Perjuangan Pesantren Cipasung dalam Membendung Pemberontakan Daarul Islam di Tasikmalaya Jawa Barat 1950-1962” tahun 2012, penulis jga pernah menjadi Asisten Peneliti dari Dr. Abdul Razak bin Abdul Kadir (Peneliti dan Senior Lecturer Academy of Contemporary Islamic Studies Universiti Teknologi Mara, Serawak – Malaysia) dalam judul penelitian “Menyikap Hubungan Islam Jawa dan Borneo ( Serawak)” tahun 2015. Penulis juga berkesempatan turut serta menjadi bagian dalam Ekspedisi Nusantara (ENJ) 2015 untuk menjalankan tugas negara mempersiapkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan melakuakan berbagia kegiatan bagian timur Indonesia seperti Makasar (Sulawesi Selatan), Sorong (Papua Barat), Saumlaki (Maluku), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Dalam bidang keorganisasian penulis juga aktif diantaranya pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam (HMJ SPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011-2012, menjadi anggota bidang Penelitian dan Pengambangan Mahasiswa Badan
140
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaiora (BEM FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011-2012, menjadi Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Federasi Olahraga Mahasiswa (UKM FORSA). Dalam tataran nasional penulis juga aktif dalam Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah SeIndonesia (IKAHIMSI) tahun 2011-2015, aktif pula menjadi anggota Forum Indonesia Muda (FIM), dan menjadi anggota Ikatan Alumni Ekspedisi Nusantara Jaya (ILUSIRAYA) tahun 2015. Keresahan penulis terkait semakin berkurangnya minat baca dan mempelajari sejarah di kalangan anak muda, membuat penulis merasa perlu turut andil dalam masalah tersebut yang selanjutnya di tahun 2015 membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Muda Cinta Sejarah (Komutasejarah)” bertujuan menanamkan kecintaan terhadap tanah air dan guna menumbuhkan kembali semangat mempelajari sejarah dikalangan anak muda. Email :
[email protected] /
[email protected]
141