1
EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH JANUARI SIHOTANG NIM. 040200118
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, anugerah dan bimbingan-Nya yang senantiasa menyertai penulis dalam setiap langkah hidup penulis, terutama saat penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul ”Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, waktu dan kerja keras dalam menyusun skripsi ini. Didalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 2) Bapak Armansyah, SH. MH. Selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan serta bantuan buku-buku dalam penyelesaian penulisan skripsi ini;
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
3
3) Bapak Edy Murya, SH.,, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini; 4) Ibu Rafiqoh Lubis, SH. MHum., , selaku Dosen Wali dan seluruh dosen serta staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 5) Kedua orang tuaku yang tercinta Bapak St. M. Sihotang dan Mama D. Br. Lumbanraja yang telah memberikan doa, kasih sayang, semangat dan dukungan baik moril maupun spiritual. Terima kasih atas semua jerih payah dan pengorbanan yang telah Bapak dan Mama berikan. 6) Kakandaku yang terkasih (K’Mince) dan Lae G. Pardede yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan motivasi. Semoga tetap menjadi keluarga yang bahagia. 7) Terkhusus buat sahabat terdekatku Maeka Yusnita Hutagaol, SH yang telah memberikan banyak bantuan dan bimbingan mulai dari pencarian topik skripsi sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, waktu, semangat dan dukungan yang diberikan. 8) Buat sahabat-sahabatku di Fakultas Hukum USU terutama Adwan, Rapael, Luhut, Alexander. Para Penghuni Paten 22 terutama Dolin, Arito, K’Wasti, Belfrid dan Eva. Terimakasih untuk pengertiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
4
9) Terimakasih yang tak terhingga juga buat para redaktur-redaktur koran di Sumatera Utara dan Jakarta terutama Pak Idris Pasaribu, Bang Kwa Tjen Siung, Bang Anthoni Limtan (Harian Analisa), Bang Nasib TS, Bang Teja Purnama (Harian Global), dan yang lainnya yang telah memberi kesempatan kepada tulisan-tulisan penulis untuk nongkrong di rubrik yang beliau-beliau asuh. Walaupun sebenarnya tulisan saya belumlah seberapa ampuh dan tajam. 10) Terimakasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Abang Janpatar Simamora, SH (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen) atas segala saran, motivasi dan bantuan buku-bukunya dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa juga motivasi beliau yang besar manfaatnya dalam melecut semangat penulis dalam menulis artikel-artikel Didalam penulisan sripsi ini, penulis menyadari masih memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari sempuran. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2008
(Januari Sihotang)
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
5
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………….
i
Daftar Isi………………………………………………………………
iv
Abstraksi……………………………………………………………...
viI
BAB I
1
PENDAHULUAN………………………………………
A.
Latar Belakang…………………………………………………
1
B.
Perumusan Masalah……………………………………………
6
C.
Tujuan Penulisan………………………………………………
7
D.
Manfaat Penulisan…………………………………………….
7
E.
Keaslian Penulisan…………………………………………….
8
F.
Tinjauan Kepustakaan…………………………………………
9
1. Pengertian Demokrasi…………………………………….
9
2. Perwakilan Rakyat………....……….…………………….
10
3. Sistem Ketatanegaraan Indonesia………………………..
14
G.
Metode Penelitian…………………………………………….
17
H.
Sistematika Kepenulisan……………………………………..
18
BAB II
MAJELIS PERUBAHAN RAKYAT SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 …………………………………………………
A.
Sejarah Lahirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat ………...
21 21
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
6
B.
Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945……………………………………………………
C.
27
Beberapa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Badan Perwakilan Rakyat di Negara Lain ………………….
BAB III
36
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945…………………………………………………
42
A.
Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945.
42
B.
Alasan-Alasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945…..
46
C.
Prosedur dan sistem Perubahan Undang-Undang Dasar…...
52
D.
Perubahan Dalam Undang-Undang Dasar 1945…………….
56
BAB IV
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ……………………………………...
A.
60
Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ………………………………………………...
B.
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 …………..
C.
60
70
Hal-Hal yang Timbul dalam Praktek tentang Kedudukan dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
7
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 …………………
BAB V
78
PENUTUP ……………………………………….
84
A.
Kesimpulan ………………………………………………
84
B.
Saran …………………………………………………….
88
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………
89
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
8
ABSTRAKSI EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Januari Sihotang1 Armansyah, SH.MH.** Edy Murya, SH i**
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang tertentu oleh Undang-Undang Dasar 1945 asli. Dengan kekuasaannya yang tidak terbatas, MPR juga didaulat sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Alasannya karena MPR dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Dalam perjalanannya Undang-Undang Dasar 1945 telah diganti oleh beberapa konstitusi dan kemudian kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945. Setelah tahun 1999 terjadi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama, kemudian disusul yang kedua tahun 2000, ketiga tahun 2001 dan keempat tahun 2002. Pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dicabut kekuasaannya untuk melaksanakan kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945) kemudian susunan, kedudukan, tugas dan wewenangnya pun berubah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat 1,2,3 Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Pada Perubahan Keempat akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah komposisinya menjadi anggota 2 lembaga negara yaitu:Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (pasal 2 ayat (1)). Perubahan susunan, kedudukan, tugas dan wewenang tersebut mengubah struktur dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. MPR berubah menjadi Lembaga Negara yang sama dengan lembaga negara lainnya seperti DPR, DPD, MA, BPK dan Mahkamah Konstitusi. Dengan dipertahankannya keberadaan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai tugas dan wewenang tersendiri, menimbulkan perdebatan mengenai sistem perwakilan yang dianut Indonesia. selain itu ada juga pendapat agar MPR sebaiknya dijadikan hanya sebagai forum pertemuan antara DPR dan DPD saja. Bukan sebagai lembaga negara yang mempunyai susunan organisasi tersendiri.
*Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum mengalami perubahan, di dalam penjelasan umumnya antara lain menyebutkan bahwa, UUD 1945 adalah UUD yang singkat, supel, dan rigid. Singkat; karena tidak banyak pasal dan ayatnya; supel, karena hanya memuat aturan-aturan yang pokok-pokok saja dan sekaligus terkandung sifat rigid di dalamnya, yaitu sulit diubah secara formal. Sebelum diubah, materi muatan UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 16 bab dan 37 pasal, 4 aturan peralihan serta 1 (satu) aturan tambahan. Kemudian pasal-pasal tersebut dilengkapi dengan penjelasan yang berfungsi untuk menginterpretasikan isi dari batang tubuh tersebut. Adapun materi muatan yang terdapat dalam UUD 1945, beberapa di antaranya adalah mengatur kedudukan dan kekuasaan lembaga-lembaga negara, secara keseluruhan seperti: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dari lembaga-lembaga negara tersebut, menurut Jimly Ashiddiqie 2, hanya MPR saja bersifat khas Indonesia. Lima lainnya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontoh dari zaman Hindia Belanda. DPR dapat dikaitkan
2
Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 37-38.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
10
dengan sejarah ‘Volksraad’ (Dewan Rakyat), Presiden adalah pengganti dari lembaga negara ‘Gavernuur General’ , Mahkamah Agung sendiri berkaitan dengan ‘Landraat’ dan ‘Raad van Justice’ di Hindia Belanda, serta ‘Hogeraad’ yang ada di Negeri Belanda. Sedangkan BPK berasal dari ‘Raad van Rakenkamer’ dan DPA berasal dari ‘Raad van NederlendscheIndie’ yang ada di Batavia atau ‘Raad van State’ yang ada di Negeri Belanda 3, sedangkan MPR tidak ada contoh sebelumnya, kecuali yang ada di lingkungan negara-negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal, dimana kedaulatan rakyat disalurkan ke dalam pelembagaan Majelis Rakyat yang tertinggi (Supreme People’s Council) seperti di Uni Soviyet dan RRC. Selama diberlakukannya UUD 1945, ada yang menarik dengan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu tentang keberadaan MPR. Dimana dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikatakan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” Ketentuan tersebut secara otomatis menempatkan MPR sebagai satusatunya lembaga pemegang kedaulatan rakyat atau dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, berbeda dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan kata lain, MPR RI didaulat sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Susunan keanggotaan MPR sendiri terdiri dari anggota-anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Untuk pengisian anggota DPR dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) dan pengangkatan. Untuk pengisian
3
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007, hlm 19-20.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
11
Utusan Golongan diangkat oleh Presiden dan Utusan Daerah diangkat oleh DPRD Tingkat I. Kekuasaan yang dimiliki oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, adalah: 1. menetapkan UUD 2. menetapkan GBHN 3. memilih presiden dan wakil presiden 4. mengubah UUD Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR dipandang sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas untuk menafsirkan konstitusi (UUD 1945) dan membagi-bagikan kekuasaan negara yang diamanatkan rakyat melalui pemilihan umum kepada lembaga tinggi negara lain yang ada di bawahnya. Namun dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, seringkali UUD 1945 tidak ditaati terutama oleh pemerintah. Berbagai penyimpangan muncul seperti pembagian kekuasaan yang tumpang tindih, bahkan bias dikatakan kacau-balau karena dominannya peran pemerintah dalam melakukan intervensi, bahkan mengambilalih tugas, wewenang dan fungsi lembaga-lembaga lainnya. Azas lex superior derogate legi inferiori dalam pembuatan perundang-undangan seringkali tidak diindahkan, sehingga terjadi tumpang-tindih peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Walaupun pada Pasal 37 UUD 1945 memberi peluang untuk mengubah (amandemen)
UUD
1945,
namun
pemerintah
Orde
Baru
terkesan
mengesampingkan hal tersebut dengan alasan melaksanakan UUD 1945 secara Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
12
murni dan konsekuen. Dengan pengertian bahwa UUD 1945 adalah amanat para pendiri bangsa yang harus dijaga dan dihormati (disakralkan) sehingga tidak boleh dikutak-katik. Hal ini dapat dilihat dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983. Namun setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, 21 Mei 1998, dan bergulirnya Era Reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut adanya perubahan terhadap UUD 1945. Tuntutan itu muncul sebagai reaksi atas dominannya kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam bingkai UUD 1945, tidak adanya check and balances antarlembaga negara serta beragamnya tafsir terhadap bunyi pasal dalam UUD 1945. Selain itu, banyak persoalan ketatanegaraan Indonesia yang tidak ditemukan jawabannya karena desain UUD 1945 sangat simpel. MPR merespon tuntutan masyarakat tersebut dan melakukan perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali pada tahun 1999-2002. UUD 1945 yang semula terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 49 ayat menjadi 21 bab, 73 pasal dan 170 ayat. Meskipun perubahan terhadap materi muatan hampir 50% tetapi masih terdapat inkonsistensi substansi teoritik maupun yuridis. Strukturisasi atau sistemisasi pasal-pasal tambahan yang tidak konsisten tersebut melahirkan inovasi politik dan hukum 4. Perubahan UUD 1945 pun menimbulkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan, dimana hal ini juga menimbulkan perubahan dalam badan perwakilan di Indonesia. 4
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004, hlm. 299.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
13
Sistem perwakilan di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memiliki badan perwakilan yang terdiri dari DPR (merupakan representasi dari kepentingan politik) dan DPD (representasi kepentingan daerah). Masing-masing lembaga negara tersebut, dalam pengisian keanggotaannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, selain itu ada juga MPR yang mempunyai lingkungan jabatan dan wewenang tersendiri. Keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Sehingga di Indonesia, badan perwakilannya terdiri dari DPR, DPD dan MPR. Sedangkan bila direlevansikan dengan sistem perwakilan yang ada di dunia yaitu unikameral dan bikameral, maka Indonesia tidak menganut keduanya. Menyangkut kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terjadi pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga Negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Hal ini dimaksudkan supaya masing-masing lembaga negara dapat saling mengawasi dan mengimbangi. Perubahan yang menyangkut khusus tentang MPR, berimplikasi pula pada berkurangnya kewenangan lembaga tersebut, di antaranya adalah kewenangan dalam hal memilih presiden dan wakil presiden. Menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR hanya berwenang: 1. mengubah dan menetapkan UUD 2. melantik presiden dan/ atau wakil presiden 3. memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
14
Mengingat kecilnya peran MPR, muncul berbagai pemikiran untuk tidak melembagakan MPR sebagai organisasi tersendiri. Dengan demikian, MPR hanya sebagai sidang gabungan (joint session) antara DPD dan DPR. Dengan demikian, MPR tidak akan mempunyai pimpinan tersendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada gabungan tersebut 5. Keberadaan MPR berdasarkan perubahan UUD 1945 sebagai sebuah lembaga negara kemudian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak jelas. Hal tersebut memunculkan berbagai perdebatan tentang sistem badan perwakilan yang dianut Indonesia yaitu, unikameral, bikameral atau trikameral. Sedangkan menyangkut keberadaannya sebagai sebuah lembaga Negara yang berdiri sendiri juga patut diperdebatkan. Oleh karena itu penulis mencoba membahas masalah ini dengan mengangkat judul: “Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945? 2. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945?
5
Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 25.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
15
3. Hal-hal apakah yang timbul dengan dipertahankannya MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?
C, Tujuan Penulisan Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945. 2. Mengetahui susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945. 3. Mengetahui hal-hal yang timbul dengan dipertahankannya MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat Teoritis. a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan pengetahuan dan pemikiran sebagai salah satu referensi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Hukum Tata Negara; b. Bagi penulis sendiri, tulisan ini bermanfaat dalam memenuhi persyaratan guna menyelesaikan studi dan meraih gelar kesarjanaan program strata
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
16
satu (S-1) di Depatemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan pemikiran penulis yang berkaitan dengan susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR
dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia setelah perubahan UUD 1945; b. Tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945 serta mencoba membahas bagaimana masa depan MPR.
E.
Keaslian Penulisan Sepanjang
pengetahuan dan penelusuran penulis di lingkungan
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, “Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” yang diangkat menjadi judul dalam skripsi ini belum pernah diangkat dan ditulis sebagai sebuah judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusunnya melalui berbagai referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
17
Dengan demikian, penulis mempunyai keyakinan dan harapan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F.
Tinjauan Kepustakaan
1.
Pengertian Demokrasi Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan sebagian besar negara-
negara di dunia. Istilah demokrasi sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari kata ‘demos’ yang artinya rakyat, dan kata ‘cratia/ cratein’ yang artinya pemerintahan atau memerintah. Dengan demikian, demokrasi dapat diartikan pemerintahan oleh rakyat, yaitu pemerintah yang dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat 6. Sementara itu,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
merumuskan: “Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, dan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama semua warga negara.” Sedangkan secara epistemologis, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh dengan berbagai sudut pandang masing-masing. H. L. Mencken menyebutkan, “demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka butuhkan dan pantas dapatkan sangat berat.”7
6
Max Boboy, DPR RI dalam Prespektif Sejarah dan Tatanegara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 81 7 Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 35 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
18
Tentang demokrasi, Soekarno berpendapat bahwa, “demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk memerintah.” Muhammad
Hatta
mengartikan,
“kedemokrasian
adalah
keadilan
keyakinan segenap bangsa Indonesia. keyakinan ini mesti menjadi semboyan segala partai di Indonesia dan mesti menjadi dasar susunan Indonesia merdeka di masa yang akan dating.” Berdasarkan pengertian-pengertian demokrasi di atas, maka ada dua pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep demokrasi yaitu pendekatan klasik normatif dan pendekatan empiris minimalis. Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan sedangkan pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun 8. 2.
Perwakilan Rakyat Rosseau pernah berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung
(direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada zaman Yunani Kuno. Namun pada kenyataannya hal tersebut sangat susah diterapkan lagi karena berbagai faktor antara lain luasnya wilayah negara, pertambahan populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah sosial, politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8
Abdy Yuhana, loc.cit.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
19
Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rosseau ini, maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui perwakilan rakyat atau yang terkenal dengan parlemen 9. Logeman sendiri menggunakan kata perwakilan dalam arti hukum perdata orang yang menduduki atau mengemban suatu jabatan adalah perwakilan dari jabatan itu. Sedangkan Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua pihak antara wakil dan yang terwakili, dimana wakil memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan yang terwakili 10. Kata perwakilan (representation) adalah konsep seorang atau suatu kelompok mempunyai kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation)11. Namun, dengan hanya menyertakan perwakilan politik, hal ini dirasakan sebagai pengabaian terhadap kepentingan-kepentingan golongan nonpartai politik yang patut dilindungi. Oleh karena itu, beberapa negara di dunia mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan mengikutsertakan wakil-wakil dari golongan yang dianggap perlu mendapat perlindungan khusus 12.
9
Max Boboy, op. cit, hlm. 17 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 1 11 Abdy Yuhana, loc. cit 12 Ibid, hlm. 55 10
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
20
Dalam
hubungan
wakil
dan
yang
diwakili,
Riswanda
Imawan
mengemukakan adanya empat tipe hubungan yang bisa terjadi yaitu: 13 1) Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya. 2) Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili, sesuai dengan mandate yang diberikannya 3) Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai wakil dan sebagai utusan. 4) Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program partai/ organisasinya. Berbicara tentang lembaga perwakilan, maka di dunia dikenal 3 (tiga) sistem perwakilan yaitu sebagai berikut: a. sistem perwakilan satu kamar (unikameral) Dalam struktur parlemen dengan tipe unikameral hanya dikenal satu badan legislatif tertinggi. Dalam badan ini tidak dikenal adanya dua badan terpisah seperti adanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat atau Majelis Tinggi dan Majelis Rendah 14. Walaupun fungsi dan tugas parlemen unikameral ini bervariasi antara negara yang satu dengan nsegara lain, tapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan, fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat. 13
Ibid, hlm. 56 Sistem unikameral ini biasanya dianut oleh negara-negara kecil seperti Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syria, Kuwait. Selain itu, negara-negara kesatuan Sosialis lebih banyak menganut system unikameral.
14
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
21
b. sistem perwakilan dua kamar (bikameral) Ada banyak alasan negara-negara menganut sistem perwakilan dua kamar antara lain, pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balances), dua, untuk menampung aspirasi atau kepentingan golongan tertentu yang tidak cukup terwakili melalui majelis pertama 15. Sistem perwakilan bikameral ini biasanya dianut negara-negara yang berbentuk kerajaan dan federal, walau sebagian kecil negara kesatuan juga menganutnya seperti Perancis 16. c. Sistem perwakilan tiga kamar (trikameral) Sistem perwakilan trikameral (tiga kamar) adalah suatu system dimana struktur organisasi yang ada di badan perwakilan rakyat terdiri dari tiga badan ataupun kamar dengan fungsinya masing-masing dan sama-sama memiliki posisi dan fungsi yang setara. Dalam praktek, sistem ini nyaris tak ditemui. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, bentuk lembaga perwakilan mengarah kepada bentuk sistem trikameralisme. Hal ini tampak dengan adanya tiga bentuk lembaga perwakilan (DPR, DPD dan MPR) yang masing-masing memiliki tugas, wewenang, dan fungsi masing-masing. Menurut Jimly Asshidiqie, walaupun setelah perubahan UUD 1945 MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, namun keberadaannya tetap ada
15
Penamaan untuk kamar kedua di beberapa Negara seperti House of Lord (Inggris), Bundesrat (Jerman), Dewan Negara (Malaysia), Senate (Amerika Serikat) 16 Ibid, hlm. 60 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
22
sehingga Indonesia tidak dapat disebut menganut sistem unikameral atau bikameral melainkan trikameral dengan alasan bahwa MPR tetap sebagai sebuah lembaga perwakilan yang mempunyai susunan, kedudukan, fungsi dan wewenang tersendiri sama seperti DPR dan DPD 17.
3.
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata ‘sistem’ dan
‘ketatanegaraan’. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebih kecil. Selanjutnya, jika pengertian sistem ini dikaitkan dengan istilah sistem ketatanegaraan, maka sistem ketatanegaraan dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenang masing-masing maupun hubungan satu sama lain 18. Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan ini dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia, maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi Republik Indonesia baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembagalembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain menurut UUD 1945.
17
Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional yang diadakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hlm. 7-9 18 Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 67 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
23
Jika dicermati menurut UUD 1945, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun tetapi adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia 19. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Presiden 3. Dewan Pertimbangan Agung 4. Dewan Perwakilan Rakyat 5. Badan Pemeriksa Keuangan 6. Mahkamah Agung Jika diklasifikasikan, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sedangkan lembaga kenegaraanan lainnya disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sementara itu menurut hasil Perubahan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara adalah sebagai berikut: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Presiden 3. Dewan Perwakilan Rakyat 4. Dewan Perwakilan Daerah 5. Mahkamah Agung 6. Badan Pemeriksa Keuangan 7. Mahkamah Konstitusi, dan
19
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 41
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
24
8. Komisi Yudisial Berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, hasil perubahan tidak mengenal lembaga tertinggi negara karena lembaga-lembaga negara tersebut mempunyai posisi yang sama atau sebanding antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya. Munculnya gagasan perubahan tentang kelembagaan negara tersebut tak lain adalah demi terciptanya sistem dan mekanisme check and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia 20. Hal ini penting karena selama Orde Baru, sebelumnya dapat dikatakan bahwa check and balances itu tidak ada. Misalnya dalam hal pembuatan undangundang, seluruhnya didominasi eksekutif. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan undang-undang menjadi begitu kuat di dalam sistem politik yang executive heavy karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan undang-undang. Waktu itu, tidak ada peluang untuk pengujian atas undang-undang oleh lembaga yudisial dalam apa yang dikenal sebagai judicial review atau constitutional review seperti yang dilakukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sekarang ini. Sehubungan dengan check and balances itu pulalah ada perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah) menjadi parlemen sistem bicameral 21 yang terajut
20
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007, hlm. 65 Sistem parlemen Indonesia tidak bisa dikatakan murni sebagai sistem parlemen bikameral karena selain DPR dan DPD terdapat juga MPR yang mempunyai struktur organisasi dan kewenangan tersendiri. 21
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
25
dalam hubungan check and balances dengan lembaga negara lain, khususnya dengan lembaga eksekutif dan yudikatif. Gagasan parlemen bikameral juga menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan territorial yakni DPD 22. Secara institusional, lembaga negara-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri dimana yang satu bukan merupakan bagian yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga negara yang satu tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan dalam arti materi (separation of power), melainkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal 23. Dengan kata lain, UUD 1945 menganut azas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur di dalamnya serta hubungan kekuasaan di antara badanbadan kenegaraan yang ada.
G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mencapai suatu tujuan untuk menunjang usaha penyusunan dan pembahasan skripsi ini. Maka untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakan
22 23
Ibid, hlm. 66. Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 69.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
26
metode penelitian yuridis normatif.
24
Dikatakan demikian karena yang menjadi
dasar dalam penulisan skripsi ini adalah gagasan atau konsep yang mencakup azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan lain-lain. Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif yang menjadi titik berat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945. pendekatan yang bersifat yuridis normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana yang dianggap menunjang penulisan skripsi ini. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah berupa karya ilmiah seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen, buku-buku dan sebagainya.
H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini yang dibahas adalah dasar-dasar pemikiran penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi halhal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan
24
Sorejono Soekanto, Metode Penelitian Hokum, Rajawali Press, Jakarta. 1998. hlm. 42
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
27
judul, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SEBELUM
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Pada bab ini yang dibahas adalah sejarah lahirnya MPR RI dan penjelasan secara terperinci tentang MPR sebelum perubahan UUD 1945 dan perbandingannya dengan badan perwakilan di negara lain. BAB III
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Pada bab ini penulis berusaha membahas mengenai perubahan UUD 1945 dengan membahas latar belakang pembentukan dan alasan perubahan UUD 1945. dalam bab ini juga dibahas mengenai prosedur dan sistem perubahan UUD dan perubahan-perubahan dalam UUD 1945.
BAB IV
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SETELAH
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Pada bab ini merupakan pokok utama dari kajian penelitian skripsi penulis, yaitu membahas tentang susunan, kedudukan, tugas serta wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945 dan status hukum Ketetapan MPR setelah perubahan UUD 1945. BAB V
PENUTUP
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
28
Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari pembahasan Bab I, II, III, dan IV serta saran yang penulis dapatkan berdasarkan pemikiran penulis.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
29
BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A.
Sejarah Lahirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, para anggota
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memberikan
perhatian
besar
terhadap
kedaulatan
rakyat
dan
sistem
permusyawaratan yang akan dianut konstitusi, termasuk di dalamnya adalah mengenai lembaga kedaulatan rakyat yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat 25. Keinginan untuk menjelmakan aspirasi rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan ialah Majelis Permusayawaratan Rakyat yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno dalam pidato yang brsejarah pada 1 Juni 1945 dalam pembahasan BPUPKI. Satu prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan rakyat itu ialah sila ke empat, tentang mufakat atau demokrasi. Di dalamnya terkandung prinsip kebersamaan di dalam negara 26. Sejalan dengan konsepsi Soekarno tersebut, M.Yamin juga mengemukakan prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah peri-kerakyatan yang terdiri dari: 1.
Permusyawaratan
25
A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi, Membangun Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 33 26 Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 69. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
30
2.
Perwakilan
Konsepsi mengenai MPR oleh M. Yamin berbunyi sebagai berikut 27: 1.
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari atas anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan dari DaerahDaerah dan Golongan-Golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. 3. Seluruh pemerintah bersama-sama dengan Presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 4. Segala putusan Majelis Permusywaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak. Sedangkan Soepomo tidak mengemukakan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah ‘Badan Permusyawaratan’. Indonesia yang akan berdiri tidak bersistem individualisme seperti di negara-negara Barat tetapi berdasar kepada kekeluargaan. Soepomo tidak menjelaskan secara rinci tentang keberadaan Badan Permusyawaratan tersebut, tetapi dari ungkapan yang disampaikan tersebut, fungsi badan tersebut adalah 28: 1. Sebagai badan permusyawaratan dari rakyat yang akan menetapkan garis-garis kebijaksanaan pemerintahan di samping kepala negara.
27
Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm 50-51. 28 ibid, hlm. 52. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
31
2. Sebagai pengawas dalam arti pasangan kepala negara di dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dalam pembahasan selanjutnya tentang MPR di dalam BPUPKI tersebut, oleh Sukirman ditambahkan agar dipertegas perbedaan kedudukan antara DPR dan MPR 29. Untuk anggota MPR sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat. Kedudukan DPR lebih rendah dari MPR. Namun pada prinsipnya yang dimaksudkan oleh BPUPKI mengenai MPR adalah seperti yang disebutkan dalam Rancangan UUD 1945 Bab V yang berbunyi 30: Pasal 18. 1. Badan Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan oleh undangundang. 2. Badan Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Pasal 19. Badan Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara. Setelah hasil rancangan UUD disempurnakan, dibawa ke dalam sidang tanggal 14, 15, 16 Juli 1945 di dalam pengajuan konsepsi dari lembaga Badan Permusyawaratan itu sudah berubah namanya menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
29 30
Samsul Wahidin, op.cit, hlm.76. Ibid, hlm. 74.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
32
Hingga pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD 1945 maka ketentuan mengenai MPR diatur dalam Pasal 2 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut 31: 1. Majelis Permusyawaratan terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan Daerah dan golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. 3. Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Namun pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga negara yang ada pada saat itu baru Presiden dan Wakil Presiden (Lembaga Kepresidenan) yang dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebelum lembagalembaga negara lain terbentuk, segala kekuasaannya sepenuhnya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 32. Semasa UUD 1945 periode pertama yang berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, saat berubahnya status Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Serikat atau disebut Republik Indonesia Serikat (RIS), MPR hanya dikenal dalam teori ketatanegaraan sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Sedangkan di dalam parakteknya MPR tersebut belum terbentuk sebagai lembaga kenegaraan RI. Oleh karena lembaga
31 32
Riri Nazruyah, op.cit, hlm. 54. Ibid, hlm. 50.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
33
tertinggi negara (MPR) ini belum terwujud sebagaimana dimaksudkan oleh UUD maka tugas dan wewenangnya masih dilaksanakan oleh Presiden dan KNIP 33. Pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor 10 yang antara lain disebutkan bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi tugas legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Demikian pula halnya pada masa UUD RIS 1949 yang berlaku sejak 27 Desember sampai dengan 17 Agustus 1950, dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagian RIS, begitu juga dalam masa UUDS 1950 yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, kesemuanya tidak mengenal Lembaga MPR. Akan tetapi lembaga semacam MPR dikenal Konstituante yang tugas dan wewenangnya hampir sama dengan MPR dalam UUD 1945 34. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya antara lain membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan kekuatan hukum berupa Penetapan Presiden yakn 35i: 1. Pembentukan MPRS dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959. 2. Pembentukan DPRS dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959. 33
H. Muhammad Ridhwan Indra, MPR Selayang Pandang, CV Haji Masagung, Jakarta, 1991, hlm. 3. 34 Budiman B Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 30. 35 H. Muhammad Ridhwan Indra, op.cit, hlm.8 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
34
3. Pembentukan DPAS dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Khusus untuk DPR, yang semula adalah hasil Pemilu 1955 dan terus berlangsung keanggotaannya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. akan tetapi DPR tersebut kemudian dibubarkan oleh Presiden pada tanggal 5 Maret 1960 berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960. Dengan demikian, lembaga DPR pun menjadi kosong dalam pemerintahan RI 36. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah utusan-utusan dari daerah dan golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian keluarlah Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Dalam Pasal I ayat (1) Penpres tersebut dikatakan bahwa, “Sebelum tersusun Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuk MPRS yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang dimaksud dalam Penpres Nomor 1 Tahun 1959 ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan menurut aturan-aturan perundang-undangan”. Yang menjadi permasalahan adalah, pada saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR belum ada. Namun hal itu sudah terjawab berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi, ”Segala badan
36
H, Muhammad Ridhwan Indra, loc.cit.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
35
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Namun karena pembentukan MPRS harus diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya seperti yang dimaksudkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka RUU mengenai MPRS dating dari Presiden dan diajukan kepada DPR sehingga dalam waktu yang relatif singkat akan dapat disetujui oleh DPR yang kemudian disahkan Presiden menjadi undang-undang.” Dengan demikian, pembentukan MPRS yang harus menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, telah dapat memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Berarti pula bahwa pembentukan MPRS telah sesuai dengan UUD 1945.
B. Susunan, Kedudukan, Tugas Dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 1. Sususnan MPR Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Sebelum Perubahan dikatakan bahwa, “Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
terdiri
atas
anggota-anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Yang selanjutnya dalam penjelasan UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara dikatakan bahwa MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
36
maksudnya ialah seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah mempunyai wakil dalam MPR 37. Sesungguhnya mengenai susunan MPR ini terjadi perdebatan sejak BPUPKI tahun 1945. Dr. Sukiman mengusulkan supaya anggota MPR secara langsung dipilih oleh rakyat. Muh.Hatta menolak usul ini dan mengatakan bahwa kalau organis tidak langsung oleh karena itu jadilah rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (10 uud 194538. Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah urusan daerah dan utusan golongan, sehingga keseluruhan anggota-anggota MPR itu benar-benar diharapkan mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. unsur anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik (political democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan politik (political representation) dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan negara, sedangkan utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi (economic democracy) yang didasarkan atas dasar prosdur perwakilan fungsional (functional representation) 39. Sistem perwakilan fungsional itu dimaksudkan untuk mengatasi sistem perwakilan politik. Sementara itu, jika DPR berorientasi nasional dan untuk kepentingan bangsa dan negara, maka Utusan Daerah diharapkan untuk menjamin tidak terabaikannya kepentingan daerah-daerah. Dengan demikian, keberadaan
37
A.S.S. Ta,bunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1981, hlm. 40. 38 A.S.S. Tambunan, loc.cit. 39 Riri Naszriyah, op.cit, hlm. 84. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
37
para anggota MPR ini benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat, sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi 40. Untuk mengetahui perkembangan keanggotaan MPR, kita harus melihat komposisi anggota MPR sejak tahun 1945. pada awal kemerdekaan sebelum MPR dibentuk dimana fungsinya dijalankan oleh KNIP berdasarkan Presiden, dapat dilihat bahwa anggota KNIP belum jelas hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan mengenai KNIP tersebut. Namun pada saat anggotanya dilantik, jumlahnya 139 orang 41. Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946, jumlah anggota KNIP ditegaskan sebanyak 200 orang. Hal ini terdiri dari 110 orang ditetapkan melalui Pemilu yang bertingkat, 60 orang hasil penunjukan partai politik dan 30 orang ditunjuk oleh Presiden. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1949, jumlah anggota KNIP ditambah menjadi 536 orang yang terdiri dari wakil partai politik 251 orang, wakil daerah 88 orang, wakil golongan 78 orang, wakil minoritas 10 orang dan orang ‘bebas’ sejumlah 109 orang 42. Setelah kembali ke UUD 1945, susunan MPR pun dibenahi walaupun saat itu masih bernama MPRS. Jumlah anggota MPRS pertama adalah 566 orang terdiri dari anggota DPR hasil Pemilu 1955 272 orang, Utusan Daerah 94 orang,
40
Riri Nazruyah, loc.cit. Ibid, hlm. 85. 42 A.S.S. Tambunan, op.cut, hlm. 43. 41
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
38
dan Utusan Golongan 200 orang. Namun, dengan dibentuknya DPR GR dengan anggota 283 orang, maka anggota MPRS menjadi 616 orang 43. Selanjutnya, setelah Orde Baru berkuasa maka susunan keanggotaan MPR adalah sebagai berikut:
No 1 2 3
Tabel 1 Susunan MPRS Menurut Unsur Unsur 1960/1996 1966 DPR GR 281 242 Utusan Daerah 90 110 Utusan Golongan 239 190 Jumlah MPRS 616 542
1967 350 117 195 663
1968 414 117 297 828
Tabel II Susunan MPR RI 1972-1977 No Unsur 1 DPR A, Dengan pemilihan B. Dengan pengangkatan 2 Utusan dari daerah-daerah (termasuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I) 3 Utusan Golongan Jumlah Seluruh Anggota MPR RI
Banyak Wakil 360 kursi 100 kursi 26 130 kursi 330 kursi 920 kursi
Tabel III Susunan MPR RI 1977-1982 DPR Golkar PPP PDI Golongan Karya ABRI Golongan Karya Non ABRI 43
232 99 29 75 25
Tambahan Utusan Daerah I Utusan Golongan PPP ABRI Golkar
34 48 55 31 76
Ibid, hlm. 46.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
39
PDI 460 Jumlah Jumlah Seluruh Anggota MPR 920
Jumlah
10 460
Tabel IV Susunan MPR RI 1982-1987 DPR
Tambahan Golkar 242 Utusan Daerah I PPP 94 Utusan Golongan PDI 24 PPP Golongan Karya ABRI 75 ABRI Golongan Karya Non ABRI 25 Golkar PDI Jumlah 460 Jumlah Jumlah Seluruh Anggota MPR 920
140 52 155 76 29 8 460
Tabel V Susunan MPR RI 1987-1992 DPR Golkar PPP PDI ABRI
Jumlah
Tambahan 299 Utusan Daerah I 61 Utusan Golongan 40 PPP 100 ABRI Golkar PDI 500 Jumlah Jumlah Seluruh Anggota MPR 1000
147 100 51 151 31 20 500
Tabel VI Susunan MPR RI 1992-1997 DPR Golkar PPP PDI ABRI
Tambahan 282 Utusan Daerah I 62 Utusan Golongan 56 PPP 100 ABRI Golkar
149 100 50 142 31
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
40
PDI 500 Jumlah Jumlah Seluruh Anggota MPR 1000
Jumlah
28 500
2. Kedudukan MPR Istilah kedudukan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai arti tempat pegawai (pengurus perkumpulan dan sebagainya) tinggal untuk melakukan pekerjaan dan jabatannya. Ketika kata kedudukan dikaitkan dengan kata Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai sebuah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, maka mempunyai arti posisi MPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melakukan pekerjaan atau jabatannya. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sesungguhnya sudah jelas mencantumkan kedudukan MPR baik dalam UUD 1945 maupun penjelasan umumnya. MPR didaulat sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan negara tertinggi berada di tangan MPR. Hal ini dapat disimpulkan karena pada Pasal 1 ayat (2) tersebut dinyatakan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dalam Penjelasan UUD 1945 juga dikatakan: “Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama, ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens derstaatsvaolkes). Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Kepala Negara (Presiden dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden)”.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
41
Dari ketentuan di atas, maka MPR mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Sehingga MPR dapat membagibagikan sebagian kekuasaannya kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan distribution of power. Setelah MPR mendelegasikan kekuasaannya, bukan berarti MPR tak mempunyai kekuasaan lagi 44. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru semua anggota MPRS diangkat Presiden. Bahkan menurut Penjelasan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1959 menyatakan bahwa MPRS hanya berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Ini berarti bahwa Presiden telah mencampuri bahkan membatasi wewenang MPRS. Hal ini berarti, bahwa pada masa MPRS 1960-1965 bukanlah Lembaga Tertinggi Negara, tetapi suatu majelis yang berkedudukan di bawah Presiden 45. Menyadari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 oleh lembaga kenegaraan seperti di atas, maka MPRS masa Orde Baru telah mulai menempatkan MPRS sebagai suatu lembaga negara yang tertinggi, dengan kewenangan-kewenangan yang dapat dilaksanakan pada saat itu. MPRS telah mengangkat Pejabat Presiden seperti yang ditetapkan dengan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, mengangkat Presiden berdasarkan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968, mencabut kekuasaan pemerintahan/ memberhentikan Sukarno dari jabatan Presiden (TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967) tentu setelah MPRS terlebih dahulu menilai pertanggungjawaban Presiden 46.
44
Budiman B Sagala, op. cit, hlm. 80. Ibid, hlm. 77. 46 Riri Nazriyah, op. cit, hlm. 79-80. 45
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
42
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara di bawah MPRS, namun belum murni. Dikatakan tidak murni karena seluruh anggota MPRS adalah hasil pengangkatan/penunjukan Presiden sendiri. Di samping itu, DPR GR Orde Baru pernah Infuctie, tidak berfungsi karena beku, selama waktu hampir setahun. Sedangkan dari dua kali pemilihan umum yang telah diselenggarakan di bawah UUD 1945, boleh dikatakan bahwa MPR RI (periode 1972-1977 dan periode 1977-1982) diproses dan dibentuk oleh pemilihan umum. Memang secara yuridis, MPR RI adalah hasil pemilihan umum, namun perlu diketahui bahwa hingga Pemilu 1999 masih ada anggota MPR RI hasil pengangkatan dan penunjukan Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan masa itu pun, MPR masih merupakan lembaga yang lemah dibanding lembaga eksekutif yang posisinya lebih kuat. Karena saat itu belum pernah MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden yang diangkat, padahal MPR berwenang untuk itu 47. Dalam perjalanan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia selanjutnya, sejalan dengan keinginan untuk menjadikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dimana MPR RI merupakan lembaga yang superbody yang mempunyai kekuasaan tak terbatas sesuai dengan Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: “Oleh karena MPR memegang kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas”.
47
Ibid, hlm. 81.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
43
Untuk menjalankan hal tersebut, TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara telah menentukan dan menempatkan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara 48.
3. Tugas dan Wewenang MPR MPR menurut UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan tertinggi negara. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 1 ayat (2) yang secara eksplisit menyebutkan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dalam rangka menjalankan kedaulatan rakyat tersebut, MPR mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas MPR diatur dalam Pasal 3 dan Pasal % UUD 1945 serta Pasal 3 Tap MPR No. I/MPR/1983 sebagai berikut: a. Menetapkan Undang-Undang Dasar b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara c. Memilih (dan mengangkat) Presiden dan Wakil Presiden) Sementara itu, wewenang yang dimiliki oleh MPR menurut UUD 1945 hanya mengatur satu wewenang saja yaitu kewenangan dalam mengubah UUD yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Sedangkan menurut TAP MPR No. I/MPR/1983 wewenang MPR meliputi sembilan macam, yaitu 49: 1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden /Mandataris. 48 49
Ibid, hlm. 82. Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 94-96.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
44
2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan majelis. 3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. 4. Meminta Pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
dan
menilai
pertanggungjawaban tersebut. 5. Mencabut mandate dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan atau Undang-Undang Dasar. 6. Mengubah Undang-Undang Dasar. 7. Menetapkan peraturan tata tertib majelis. 8. Menetapkan pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota. 9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang
melanggar
sumpah/janji anggotanya.
C. Beberapa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Badan Perwakilan Rakyat di Negara Lain. Sebagai bahan perbandingan, dalam kedudukan, susunan, tugas dan wewenang MPR, berikut ini penulis akan nenaparkan perbandingan MPR di Indonesia dengan badan/lembaga perwakilan yang berlaku di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. 1. Amerika Serikat Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
45
Amerik Serikat merupakan negara republic yang federal dengan limapuluh negara bagian. Amerika Serikat mempunyai Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum tertulis tertua di dunia dan sering menjadi contoh bagi UndangUndang Dasar lainnya di berbagai negara. Kekuatan UUD Amerik Serikat tersebut terletak pada sifatnya yang sederhana dan luwes. Hanya dengan 27 kali amandemen sejak abad XVIII kini UUD tersebut mampu melayani kebutuhan lebih dari 270 juta warga Amerika Serikat. Dari segi demokrasi, Amerika Serikat dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia. Sehingga negara ini juga sering dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan demokrasi. Badan legislatifnya dinamakan Konggress dan terdiri dari dua kamar yaitu Senat dan House of Representative. Senat Amerika merupakan senat yang terdapat di dalam negara yang berbentuk federal dengan sistem presidensial dengan beranggotakan 100 orang yang berasal dari lima puluh negara bagian dimana tiap negara bagian diwakili oleh dua senator dengan pemilihan yang dilakukan secara langsung. Sedangkan keanggotaan House of Representative (DPR-nya Amerika Serikat) juga dipilih langsung berdasarkan jumlah penduduk dari tiap negara bagian. Saat ini DPR Amerika beranggotakan 435 orang 50 Menurut Purnomowati 51
Arend bahwa
Liphart,
sebagaimana
Amerika
Serikat
dikutip
oleh
dikategorikan
Reni
Dwi
sebagai
strongbicameralism. Dikatakan demikian karena mempunyai symmetrical
50
Ibid, hlm. 96-97. Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Raja Grafindo Presada, Jakarta, 2005, hlm. 58.
51
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
46
chambers dimana kamar pertama dan kamar kedua mempunyai kekuasaan yang sama. Dan masing-masing kamar tersebut juga mempunyai legitimasi demokratis karena dipilih secara langsung. Dalam hal ini, House of Representative merupakan perwakilan politik dan Senat merupakan perwakilan negara bagian. Jika dilihat dari segi jumlah, Senat yang hanya terdiri dari 100 orang jauh lebih kecil dari House of Representative yang berkisar 435 orang. Namun dalam hal tertentu, Senat dapat dikatakan sebagai benteng terakhir dari konstitusi. Karena Komisi Senat membawahi masalah impeach Presiden, masalah pertahanan, dan masalah yang menentukan ekonomi negara seperti Bank Sentral52. Dalam parlemen Amerika Serikat, Senat mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari House of Representative. Hal tersebut dilihat karena walaupun secara umum Senat merupakan legislatif tetapi kadang-kadang dapat menjadi badan eksekutif maupun badan yudikatif.
53
Dalam bidang eksekutif, Senat dapat
mengambil bagian dalam
pemerintahan di negara bagian sedangkan dalam bidang yudikatif, Senat dapat mengambil bagian dalam mengadili kejahatan politik khusus dan memutus kasuskasus sipil yang khusus. Sementara itu, kongres diberi dominasi dan kekuasaan yang cukup besar dalam menentukan kebijakan publik bahkan lebih besar dari kekuasaan Presiden walaupun negara tersebut menganut sistem pemerintahan presidensil.
52 53
Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 98. Abdy Yuhana, loc. Cit.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
47
Menurut Pasal 1 Konstitusi Amerika Serikat, adapun rincian kekuasaan kongres adalah: 54 a. Mengesahkan rancangan undang-undang; b. Menetapkan besar pemungutan pajak dan cukai; c. Memberi pinjaman uang sebagai bantuan pinjaman luar negeri; d. Mengatur perdagangan dengan luar negeri dan antara beberapa negara dan dengan suku Indian; e. Menetpakan peraturan tentang naturalisasi; f. Mengatur pencetakan uang; g. Menghukum pemalsuan atas jaminan uang dari negara; h. Mendirikan kantor pos beserta jaringannya; i.
Meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian;
j.
Mendirikan pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung;
k. Menentukan dan menghukum pembajak dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan di laut bebas, dan pelanggaran terhadap hukum bangsa-bangsa; l.
Menyatakan perang, mengeluarkan surat sita jaminan dan pembalasan, serta membuat peraturan penangkapan di darat dan di laut;
m. Membangun dan membantu angkatan perang, mengatur wilayah militer, dan menetapkan semua hukum yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan segala kekuasaannya yang telah dilimpahkan oleh konstitusi.
2. Republik Rakyat Cina
54
Ibid, hlm.100.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
48
Repbulik Rakyat Cina adalah negara demokrasi yang menganut asas sentralisme, dan pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah melalui perwakilan yang keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Menurut Pasal 57 Konstitusi RRC Tahun 1982, bahwa pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat dan juga sebagai Lembaga Tertinggi Negara adalah Kongres Rakyat Nasional. Kongres Rakyat Nasional terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh provinsi-provinsi, daerah otonom, kotamdya yang langsung tunduk pada pemerintah pusat dan angkatan bersenjata. Peranan Kongres Nasional dalam bentuk tugas dan kewenangan antara lain 55: a. Mengubah UUD/Konstitusi. b. Mengawasi pelaksanaan Konstitusi. c. Menyusun dan merevisi atau meninjau kembali undang-undang pokok tentang kejahatan, perdata sipil, susunan kenegaraan dan lain-lain. d. Memilih presiden dan wakil presiden RRC. e. Memutuskan pemilihan perdana menteri atas calon yang diajukan oleh Presiden RRC, memutuskan pemilihan wakil perdana menteri, dewan negara, menteri-menteri, pimpinan dalam lembaga, kepala pemeriksaan keuangan negara, sekretaris jenderal dewan negara, atas pencalonan dari perdana menteri.
55
Ibid, hlm. 105.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
49
f. Memilih pimpinan dari angkatan perang pusat atas pencalonannya untuk anggota angkatan perang pusat. g. Memilih Ketua Mahkamah Agung. h. Memilih Ketua Kejaksaan Agung. i.
Menilai
dan
menyetujui
anggaran
belanja
negara
dan
laporan
pelaksanaannya. j.
Menilai dan menyetujui rencana-rencana pembangunan bidang ekonomi dan sosial dan laporan pelaksanaannya.
k. Mengubah atau mencocokkan keputusan-keputusan dari Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional. l.
Menyetujui
pembentukan
propinsi-propinsi,
daerah
otonom
dan
kotamadya yang langsung di bawah pemerintah pusat. m. Menentukan pembentukan Daerah Administrasi Khusus dan menentukan peraturannya (sistem) yang diterapkan. n. Menyatakan keadaan perang dan damai, dan o. Menjalankan tugas dan wewenang lainnya yang dianggap perlu oleh lembaga Tertinggi Negara.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
50
BAB III PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A.
Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 Keinginan Bangsa Indonesia untuk merdeka sebenarnya sudah ada jauh
sebelum 17 Agustus 1945. Keinginan ini semakin menguat setelah usainya Perang Dunia I namun kondisi politik dunia saat itu belum stabil karena meletusnya kembali Perang Dunia II. Sementara itu, imperialisme Jepang yang dulunya dianggap sebagai saudara tua yang akan membebaskan Indonesia ternyata malah menjajah dan mengeksploitasi Indonesia.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
51
Sekitar tahun 1945, Tentara Jepang semakin terdesak dalam Perang Asia Timur Raya. Untuk mendapat simpati dan dukungan Indonesia, kembali Jepang meluncurkan beberapa strategi misalnya lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan, Bendera Merah Putih boleh dikibarkan di samping Bendera Hinomaru Jepang, pemakaian Bahasa Indonesia dan janii akan kemerdekaan yang akan diberikan pada Bangsa Indonesia kelak. Namun politik seperti ini sebenarnya tidak tulus dari Jepang. Hal tersebut tak lain hanya untuk memobilisasi penduduk Indonesia dalam menyokong tujuan-tujuan pemerintah Jepang 56. Sejalan dengan janii kemerdekaan Jepang tersebut, dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang di dalam Bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai. Salah satu tugas dari badan ini adalah untuk merumuskan rancangan undang-undang dasar untuk Indonesia Merdeka nantinya 57. Sebenarnya sejak awal pembuatannya, UUD 1945 sudah dimaksudkan sebagai UUD sementara untuk segera mengantarkan Indonesia ke pintu kemerdekaan. UUD 1945 dibuat karena adanya peluang untuk merdeka yang harus direbut dengan cepat dan untuk itu harus pula segera ditetapkan UUD bagi negara yang digagas sebagai negara konstitusional dan demokratis. UUD diperlukan bagi negara yang dimerdekakan itu karena para pendiri negara (founding people) Indonesia telah bersepakat untuk mendirikan negara di atas prinsip demokrasi dan hukum yang mengakui dan melindungi hak-hak azasi
56
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 57-58. 57 Ibid, hlm. 58 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
52
manusia (HAM). Pilihan seperti menuntut adanya aturan main politik yang dituangkan di dalam konstitusi sebagai kontrak sosial dan politik berdirinya negara. Maka, dibuatlah UUD 1945 melalui perdebatan BPUPKI dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian mensahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Karena dikepung oleh situasi politik yang muncul akibat berkobarnya Perang Pasifik, perdebatan tentang materi UUD belum menghasilkan kesepakatan final tentang beberapa masalah mendasar ketika harus disahkan. Namun para pendiri itu menyepakati untuk mensahkan lebih dahulu UUD 1945 sebagai UUD sementara untuk kemudian, setelah merdeka kelak, segera dibuat UUD yang lebih permanent dan bagus. Dengan demikian, tak dapat dibantah bahwa UUD 1945 itu sejak semula memang dimaksudkan sebagai UUD interin (sementara) untuk pada waktunya harus diperbaharui oleh MPR hasil pemilu. Bahwa UUD 1945 sejak semula memang dimaksudkan untuk sementara dapat ditelusuri dari sejarah pembahasan maupun isi UUD itu sendiri yang kemudian dikonfirmasi oleh kenyataankenyataan politik yang menyusulnya. Setelah tak dapat diputuskan dengan suara bulat karena banyak bagian isinya yang masih diperdebatkan pada siding PPKI, 18 Agustus 1945, Soekarno PPKI mensahkan dulu UUD 1945 sebagai UUD Sementara untuk pada saatnya diperbaiki lagi setelah keadaan memungkinkan. Bung Karno yang pada tanggal 18 Agustus 1945 sudah menjadi Ketua PPKI mengatakan: “…Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah UndangUndang Dasar Sementara., …ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
53
Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”
Dari cuplikan sejarah itu jelas bahwa UUD sejak semula memang dipadang belum baik dan masih harus diperbaiki setelah keadaan memungkinkan. Pandangan Soekarno bahwa UUD 1945 perlu diterima untuk sementara, dan itu tak dibantah sedikitpun oleh anggota-anggota PPKI yang lain, tertuang juga di dalam UUD 1945 itu sendiri yakni di dalam Aturan Tambahan. Aturan Tambahan itu jelas memuat sikap PPKI bahwa UUD 1945 adalah UUD Interin dan karenanya PPKI memerintahkan agar setelah Perang Pasifik UUD itu dibicarakan lagi untuk kemudian ditetapkan oleh MPR. Isi Aturan Tambahan itu adalah sebagai berikut: 1. Dalam enam bulan setelah berakhirnya Peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini. 2. Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Ayat (1) Aturan Tambahan memerintahkan kepada Presiden untuk, dalam waktu enam bulan setelah Perang Pasifik, membentuk lembaga-lembaga negara dan instrument kenegaraan lainnya sesuai dengan ketentuan UUD, termasuk membentuk MPR dan DPR melalui pemilihan umum sesuai dengan prinsip demokrasi. Tafsir yang paling logisd atas perintah “menyelenggarakan segala hal” dalam ayat tersebut yang paling utama adalah menyelenggarakan pemilu sesuai Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
54
dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung di dalam perdebatan di BPUPKI dan PPKI. Alasannya jelas, yakni ketika itu semua lembaga negara belum dapat dibentuk melalui ketentuan konstitusi sehingga harus ditetapkan secara khusus pula. Itulah sebabnya Aturan Peralihan Pasal 4 memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dengan menentukan bahwa “sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasiona.” Kekuasaan yang begitu besar dan tidak normal itu menurut Aturan Tambahan ayat (1) harus diakhiri dalam waktu tertentu disertai langkah pembentukan alat-alat negara sesuai dengan ketentuan UUD. Selanjutnya ayat (2) Aturan Tambahan secara spesifik memerintahkan agar sesudah MPR terbentuk berdasarkan pelaksanaan perintah ayat (1) maka MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Memang “menetapkan” UUD di sini dapat saja diartikan menetapkan kembali apa yang telah diputuskan oleh PPKI, tetapi yang lebih masuk akal adalah memperbaharui. Ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena secara histories UUD itu diputuskan oleh PPKI dengan maksud sementara seperti yang dinyatakan oleh Soekarno tanpa bantahan dari anggota lain. Kedua, kata ‘menetapkan’ tersebut lebih tepat diartikan membahas kembali dan memperbaikinya sesuai dengan tugas dan wewenang MPR yang dicantumkan dalam Pasal 3 UUD itu sendiri yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
55
Dengan demikian tampak jelas bahwa selain tercatat dari rekaman histories keniscayaan perubahan UUD 1945 itu tercantum juga di dalam UUD itu sendiri yakni di dalam Aturan Tambahan ayat (2) yang sumber kewenangannya ditentukan oleh Pasal 3 dan caranya ditentukan di dalam Pasal 37 58.
B.
Alasan-Alasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Sebuah konstituai, ketika disusun dan diadopsi cenderung mencerminkan
keyakinan dan kepentingan dominan atau kompromi antara keyakinan dan kepentingan yang bertentangan yang menjadi karakteristik dari masyarakat waktu itu. Karena sebagian besar konstitusi disusun untuk menemukan apa dan siapa yang menjadi kekuatan utama dalam menyusun dan mengadopsi konstitusi. 59 jika dikatakan bahwa konstitusi adalah produk dari zamannya, maka konstitusi juga akan berubah seiring perubahan waktu termasuk situasi dan kondisi dalam masyarakat. Menurut Sri Soemantri M 60, bahwa perubahan Undang-Undang Dasar merupakan suatu keniscayaan , karena: a.
Generasi yang hidup sekarang ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang.
b.
Hukum konstitusi hanyalah salah satu dari bagian dari Hukum Tata Negara.
c.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar selalu dapat diubah.
58
Moh. Mahfud MD, op. cit, hlm 21-23. KC Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hlm. 82. 60 Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, hlm. 272 59
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
56
Selanjutnya, Sri Soemantri menyatakan bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan. 61 Selanjutnya, menurut Abdul Mukthie Fadjar, ada lima alasan perlunya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu 62: a.
Alasan Historis Bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para
pendiri negara (BPUPKI) sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara karena dibuat dan ditetapkan dalam suasanan ketergesa-gesaan. Selanjutnya pada saat siding PPKI yaitu sehari sesudah Indonesia merdeka, ada keinginan yang mendesak untuk sesegera mungkin mensahkan UUD 1945. b.
Alasan Filosopis Bahwa dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan gagasan yang saling
bertentangan, seperti antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, antara paham negara hukum dan negara kekuasaan. Alasan ini tentu harus dielaborasi secara cermat, karena pada dasarnya para perumus Undang-Undang Dasar 1945 beranjak dari berbagai perspektif yang berbeda. Namun dengan semangat kebersamaan, para perancang UUD 1945 mampu mensinkronisasikan tiap-tiap perspektif dalam satu formulasi UUD yang secara sistematis dan bersifat menyeluruh. c. 61 62
Alasan Teoritis. Ibid, hlm. 273. Ibid, hlm. 273-282.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
57
Bahwa
dari
sudut
pandang
teori konstitusi
(konstitusionalisme),
keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang
menonjolkan
pembatasan-pembatasan
tersebut,
melainkan
lebih
menonjolkan pengintegrasian. d.
Alasan Yuridis. Alasan yuridis sebagaimana lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD)
yang selalu memuat adanya klausul perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga mencantumkan hal itu dalam Pasal 37. Sebab betapapun selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Beranjak dari opini tersebut, harus diakui bahwa constitution are made for men; not men for constitution (konstitusi dibuat untuk manusia; bukan manusia untuk konstitusi), sehingga perubahan terhadap konstitusi memang harus dimungkinkan. Namun mengingat konstitusi merupakan aturan yang dibuat demi terlaksananya praktik ketatanegaraan, perubahan konstitusi hendaknya dilakukan demi penyempurnaan praktik ketatanegaraan dengan mengurangi besarnya kerugian sosial. Maka dari hal ini dapat dipahami pendapat KC Wheare yang menyatakan bahwa terdapat empat sasaran dalam perubahan konstitusi, antara lain 63: a.
Agar konstitusi diubah dengan pertimbangan yang matang, tidak serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).
63
KC Wheare, op. cit, hlm. 83.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
58
b.
Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
c.
Agar -ini berlaku dalam negara serikat- kekuasaan negara-negara serikat dan kekuasaan negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara sepihak.
d.
Agar hak-hak perseorangan seperti kelompok minoritas bahasa atau kelompok minoritas agama dan kebudayaannya mendapat jaminan.
e.
Alasan politik praktis bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktik politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 19451949 maupun 1950-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari sistem presidential ke sistem pemerintahan parlementer (1946), penetapan Soekarno oleh MPR(S) sebagai presiden seumur hidup (Ketetapan
MPR
Nomor
III/MPRS?1963).
ini
berarti
menyimpang/mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 1945, dan digunakannya mekanismereferendum untuk mengubah UUD 1945 (Ketetapan MPR Nomor IV/1983 jo UU Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendm) yang berarti telah menyimpan/mengubah ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Selain itu, praktik politik sejak tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahankelemahan pengkaidahan dalam UUD 1945
yang
memungkinkan
multiinterpretasi sesuai selera pemimpin yang berkuasa.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
59
Terlepas dari kontroversi mengenai berbagai alasan perubahan UUD 1945, sekurangnya ada lima alasan pokok UUD 1945 perlu diubah, antara lain 64: a.
Guna mempertegas makna diktum yang terdapat dalam pasal.
b.
Guna memperbaiki atau menyempurnakan diktum guna menghindari penafsiran ganda.
c.
Guna mengoreksi kesalahan yang dilakukan dalam suatu diktum.
d.
Guna menambah diktum baru demi penyempurnaan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam konstitusi tersebut.
e.
Guna mengadopsi perkembangan ketatanegaraan yang dituntut guna terciptanya kepastian hukum dalam waktu yang relatif lama. Sejalan dengan itu, Sekretariat Jenderal MPR RI menegaskan bahwa
tujuan perubahan UUD 1945, antara lain: a.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
c.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Azasi Manusia agar sesuai dengan perkembangan paham Hak Azasi
64
Sri Soemantri, op. cit, hlm. 283.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
60
Manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945. d.
Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
e.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban
negara
mewujudkan kesejahteraan
sosial,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan
dalam
perjuangan
mewujudkan
negara
kesejahteraan. f.
Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
g.
Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai perkembangan aspirasi kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang. 65
C.
65
Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar
Ibid, hlm. 284-285
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
61
Pada umumnya konstitusi yang berlaku di negara-negara yang ada di dunia adalah konstitusi rigid. Walaupun masing-masing konstitusi tersebut mempunyai tingkat kenegaraan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, termasuk Undang-Undang Dasar 1945, merupakan suatu UUD yang sulit diubah karena harus melalui berbagai prosedur. Apabila diteliti mengenai sistem perubahan UUD di berbagai negara, paling tidak ada 2 (dua) sistem yang berkembang yaitu 66: a. Renewel (pembaharuan) Sistem ini dianut oleh negara-negara Eropa Continental. Renewel artinya apabila suatu konstitusi (UUD) dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan) maka yang diberlakukan adalah UUD yang baru secara keseluruhan. b. Amandement (perubahan) Sistem ini biasanya dianut oleh negara-negara Anglo Saxon. Amandement seperti ini artinya apabila suatu UUD diubah atau diamandemen maka UUD yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan dalam UUD tersebut. Secara garis besar, UUD dapat berubah atau diubah melalui dua jalan yaitu 67: a. Melalui jalan yuridis formal.
66
Dahlan Thaib, Djazin Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 76. 67 Taufiqurohman Syahuri, Hukum Konstitusi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.46. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
62
Artinya bahwa perubahan UUD dilakukan sesuai dengan ketentuan formal mengenai perubahan UUD yang terdapat dalam konstitusi sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundangan lain. b. Melalui jalan non yuridis formal (jalan politis). Artinya bahwa perubahan UUD terjadi karena sebab tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan UUD tersebut. Perubahan seperti ini bila dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakatnya, maka perubahan tersebut secara yuridis adalah sah, sehingga ia memiliki kekuatan yuridis. Ini menunjukkan bahwa norma yang terdapat dalam peraturan lama telah dihilangkan keabsahannya oleh revolusi atau kudeta. CF Strong berpendapat 68 bahwa prosedur perubahan konstitusi ini dapat dilakukan melalui empat macam cara yaitu: a. By the legislature under special restrictions (perubahan konstitusi melalui legislatif dengan persyaratan khusus). b. By the people through a referendum(perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum). c. That method peculiar to federal state where all, or a proportion of the federating units must agree too the change (perubahan konstitusi di negara serikat dan perubahan itu harus disetujui secara proporsional oleh negara bagian).
68
Ibid, hlm. 49-53.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
63
d. By the special convention for the purpose (perubahan konstitusi melalui konvensi khusus atau dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk untuk keperluan perubahan). Jika keempat cara di atas dihubungkan dengan cara perubahan konstitusi yang pernah dilakukan di Indonesia maka: a. Cara pertama sama dengan cara perubahan dalam UUD 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 37 yaitu: (1)
Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2)
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.
Perubahan berdasarkan pasal 37 UUD 1945 tersebut sebagaimana disinggung di atas baru pertama kali terjadi dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia pada Sidang Umum MPR Tahun 1999 dilanjutkan dalm Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, 2001, dan 2002. Cara pertama ini juga terdapat dalam UUD 1945 setelah amandemen keempat. Hal tersebut dalam Pasal 37 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD 1945 sebagai berikut: (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
64
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh pesen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. b. Cara kedua, yaitu melalui referendum juga pernah dianut di Indonesia melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983, tetapi belum sempat dilaksanakan dalam praktek. Keinginan cara perubahan melalui referendum juga sempat muncul sebagai Rancangan Pasal 37 ayat (5) perubahan keempat UUD 1945 Tahun 2002, namun tidak disetujui oleh Sidang Majelis sehingga tidak dimasukkan dalam materi perubahan UUD 1945. c. Sedangkan cara perubahan keempat sama dengan cara perubahan yang pernah dilakukan pada masa negara Indonesia di bawah sistem konstitusi UUDS (1950-1959) yakni melalui badan konstituante, seperti diatur dalam Pasal 135 UUDS 1950 yang teksnya berbunyi: “Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.”
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
65
D. Perubahan Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa UUD 1945 sudah dilakukan perubahan sebanyak empat kali, mulai dari Sidang Umum MPR tahun 1999 sampai dengan berakhir pada Sidang Umum MPR Tahun 2002. MPR telah membentuk Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR untuk melakukan persiapan materi Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan akhirnya dibawakan ke Sidang Paripurna MPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang Dasar. 1.
Perubahan Pertama. Sidang Umum MPR Tahun 1999 mengenai perubahan pertama Undang-
Undang Dasar 1945 menyangkut Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 21 UndangUndang Dasar 1945. Dengan demikian, pada perubahan pertama ini, MPR telah merubah 9 (sembilan) pasal. Perubahan pertama ini ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. 69 2.
Perubahan Kedua. Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 telah melaukan perubahan
sebanyak tujuh bab dan dua puluh lima pasal, yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,
69
Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjend MK RI, Jakarta, 2003, hlm. 25 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
66
Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XX, Pasal 36A, Pasal 36B dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Perubahan kedua ini ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 200070. 3.
Perubahan Ketiga. Perubahan ketiga UUD 1945, MPR mengubah dan atau menambah Pasal 1
ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6 ayat (1) dan (2); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA; Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan (2); Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang disahkan pada tanggal 9 November 2001 71. 4.
Perubahan Keempat. Perubahan keempat (terakhir untuk saat ini) Undang-Undang Dasar 1945
MPR RI menetapkan: a.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan perubahan pertama, kedua dan ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan
70 71
Ibid, hlm. 31. Ibid, hlm. 41.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
67
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat. b.
Penambahan bagian akhir perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 dengan kalimat, ‘perubahan tersebut diputuskan pada Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan kesembilan tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku mulai tanggal ditetapkan.
c.
Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25A.
d.
Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.
e.
Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII; Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Aturan Peralihan Pasal 1, 2 dan 3; Aturtan Tambahan Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 72 Perubahan keempat ini ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2002 dan ini merupakan perubahan terakhir UUD 1945 sampai dengan saat tulisan ini dibuat.
72
Ibid, hlm. 51-52.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
68
BAB IV MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui sistem MPR dengan prinsip semua terwakili telah menimbulkan kekuasaan Presiden yang begitu besar. Termasuk dalam pembentukan MPR. Pada periode Orde Lama (1959-1965) seluruh anggota MPRS dipilih langsung oleh Presiden. Hal tersebut berlanjut setelah Orde Baru berkuasa (1966-1998). Dari 1000 orang anggota MPR, 600 Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
69
orang diantaranya ditentukan dan diangkat oleh Presiden. Dari keadaan ini dapat dilihat, bahwa seakan-akan MPR tidak lagi menjadi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 sebelum preubahan. Bahkan MPR sepertinya hanya sebagai pelengkap demokrasi dan berada di bawah Presiden. 73 Padahal naskah asli UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebut MPR sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat sesuai bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa, “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Penjelasan UUD 1945 juga memberi arti bahwa, “Majelis adalah penyelenggara negara tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. 74 Selanjutnya disebutkan,
“Oleh
karena
MPR
memegang
kedaulatan
negara,
maka
kekuasaannya tidak terbatas”. 75 Sehingga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR sering disebut Lembaga Tertinggi Negara. Namun dalam praktik, pemberian kekuasaan tak terbatas kepada MPR dan kedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara, seringkali dipergunakan sebagai alat untuk memperbesar kekuasaan Presiden di luar ketentuan UUD 1945. Misalnya dikeluarkannya Ketetapan MPR yang memberi kekuasaan tak terbatas Presiden demi pembangunan. Kemudian, kekuasaan tidak terbatas itu telah dipergunakan untuk membuat berbagai Ketetapan di luar wewenang MPR, di luar materi muatan dan tata cara yang ditentukan dalam UUD.
73
Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 121. Penjelasan Pasal 1 UUD 1945 sebelum perubahan. 75 Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan. 74
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
70
Pada masa Orde Lama penyimpangan juga terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang di dalamnya terkandung tentang pengangkatan Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup. 76 Uraian di atas jelas memperlihatkan bahwa tabir yang menyelimuti masalah ketatanegaraan di Indonesia di bawah UUD 1945 dalam kurun Orde Lama dan Orde Baru bersumber pada implementasi kedaulatan rakyat melalui sistem perwakilan rakyat yang tidak memperhatikan paham demokrasi yang sesungguhnya dan perangkat hukum yang dilahirkan juga tidak menunjang terwujudnya demokrasi. Dengan demikian, agar sesuai dengan paham kedaulatan rakyat tersebut, maka seluruh rakyat seyogyanya diikutsertakan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai negara dengan jalan mengadakan revisi pengaturan terhadap sistem perwakilan. Dimana rakyat diberi kesempatan untuk menentukan sendiri seluruh orang-orang yang akan mewakilinya di lembaga perwakilan. Hal inilah yang mendasari perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945, khususnya yang terkait dengan keberadaan Lembaga MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 77 Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan ditetapkannya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) melalui Perubahan kedua UUD 1945, Indonesia resmi menganut
sistem pemisahan kekuasaan (separation
of
power)
dengan
mengembangkan mekanisme hubungan ‘check and balances’ yang lebih
76
Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, 2003, Yogyakarta, hlm. 77-78. 77 Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 128. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
71
fungsional. Dengan perubahan ini, ditambah lagi dengan diadopsinya ketentuan mengenai pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sehingga Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Maka kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara mengalami perubahan mendasar. MPR juga kehilangan sebagian fungsi dan wewenangnya yang lain. (1) Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UndangUndang Dasar 1945 Dengan adanya perubahan ketiga UUD 1945 dimana salah satu pasal yang diubah adalah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Perubahan Pasal 1 ayat (2) sebelum perubahan berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat”.
Diubah
menjadi,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar”. Dengan adanya perubahan tersebut menimbulkan pemahaman baru tentang kedaulatan rakyat. Kedudukan Utusan Golongan dianggap
tidak
lagi
mencerminkan
konsep
kedaulatan
rakyat.
Karena
sesungguhnya, bila berkaca pada perubahan ketiga semua anggota MPR harus dipilih melalui pemilihan umum. Termasuk Utusan Golongan. Sedangkan mengenai Utusan Daerah diakomodasi dengan akan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga harus dipilih melalui pemilihan umum. Menyangkut keberadaan Utusan Golongan, terpaksa diadakan voting karena tidak ada titik temu antar fraksi yang ada di MPR. Dalam sidang tersebut, diajukan dua alternatif tentang keberadaan Fraksi Utusan Golongan, yaitu:
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
72
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah Utusan Golongan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya diatur oleh Undang-Undang. Alternatif pertama ini dipilih oleh 122 orang anggota MPR. b) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan duatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Alternatif kedua ini dipilih oleh 475 orang anggota MPR dan 3 orang abstain. Dengan demikian, alternatif kedualah yang terpilih. Alternatif kedua ini selanjutnya dijadikan isi Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.
78
Adapun alasan penghapusan Fraksi Utusan Golongan dari MPR adalah: a) Sulitnya menentukan golongan yang akan diwakili seorang Utusan Golongan. b) Cara pengisian Utusan Golongan sangat berpeluang menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dan yang mengangkat. Mengenai perbedaan susunan MPR sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel VII Perbedaan Susunan MPR Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945 Perbedaan
78
Sebelum Perubahan UUD 1945
Sesudah Perubahan UUD 1945
Harian Kompas, 11 Agustus 2004.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
73
Komposisi Rekrutmen
DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan DPR lewat Pemilu, Utusan Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I dan Utusan Golongan diangkat Presiden
Anggota DPR dan Anggota DPD Seluruh Anggota DPR dan DPD dipilih melalui Pemilu
Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ada tiga alasan yang menyebabkan perlunya penyesuaian susunan MPR menjadi suatu lembaga perwakilan rakyat dengan dua kamar (bikameral) sebagai berikut: 79 a) Dibutuhkan pembenahan sistem ketatanegaraan berhubungan dengan berbagai permasalahan dengan sistem MPR yang lama. Selama ini anggota MPR yang bukan anggota DPR (Utusan Daerah dan Utusan Golongan) tidak berfungsi efektif dan tidak jelas orientasi keterwakilannya. MPR juga dianggap mempunyai kekuasaan yang rancu karena dapat menjatuhkan presiden melalui Sidang Istimewa MPR. b) Untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah secara struktural. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dewan yang secara khusus mempresentasikan kepentingan daerah yang disebut DPD. Sehingga dengan adanya DPD ini, kepentingan daerah dapat diakomodasi melalui institusi formal di tingkat nasional. c) Kebutuhan bagi Indonesia untuk mulai menerapkan sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi. Dengan adanya lembaga perwakilan dua kamar,
79
Riri Nazriyah, op.cit, hlm. 149.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
74
maka diharapkan lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan fungsi kontrolnya dengan baik. Mengenai alasan penyesuaian susunan MPR untuk menjadi suatu lembaga perwakilan rakyat dengan dua kamar, Prof.Dr. Bagir Manan, SH. kurang setuju 80 karena susunan MPR yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD tidak menggambarkan konsep dua kamar. Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Seperti Congress Amerika Serikat yang terdiri dari Senat dan House of Representatives. Karena kalau anggota yang jadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD.
(2) Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UndangUndang Dasar 1945 Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan dan Penjelasannya, kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR. Kekuasaan MPR tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif. Dengan demikian, MPR mempunyai kedudukan yang tertinggi di antara lembaga-lembaga negara lainnya. Namun setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, maka hal itu juga menimbulkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan termasuk perubahan dalam sistem perwakilan (MPR) di Indonesia. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berimplikasi terhadap bergesernya kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga negara yang sejajar
80
Bagir Manan, op.cit, hlm. 84.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
75
dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, BPK, dan MA. Hal ini berimplikasi juga terhadap berkurangnya wewenang MPR. Menurut Prof.Dr. Bagir Manan, SH., 81 perubahan kedudukan keanggotaan dan mekanisme keanggotaan MPR, selain untuk menutup penyalahgunaan sebagai jalan penyimpangan praktik dari kehendak UUD, juga dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. (3) Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan UUD 1945. Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar terhadap lembaga MPR. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain 82. Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini sesuai dengan dimungkinkannya Pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara. a. Tugas MPR Sesudah Amandemen UUD 1945
81 82
Ibid, hlm. 74-76. Hal ini dapat dilihat dari Risalah Sidang MPR RI pada tahun 2001.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
76
Dalam
Perubahan
UUD
1945,
tugas
dan
wewenang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945). 2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945). Ad. 1. Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal atau upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Tugas MPR ini merupakan konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mewajibkan Pemilihan untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR karena jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai kewajiban ini sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang menyimpang seperti jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah atau tidak Presiden dan Wakil Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
77
Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang mengesahkan maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang diberi kekuasaan untuk melantik. Dan apakah Majelis Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Ad.2. Tugas Majelis melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan
Permusyawaratan
Rakyat
rakyat untuk
Sementara diambil
dan
putusan
Ketetapan pada
sidang
Majelis Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 83”. Sementara disini terletak pada kalimat akan diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan. 84 b. Wewenang MPR Sesudah Perubahan UUD 1945 Adapun wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945 bisa disimpulkan sebagai berikut:
83
Indonesia, Perubahan Keempat UUD 1945
84
WJS. Poerwadrminta, Op.Cit, h.1094
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
78
1.
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
berwenang
mengubah
dan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. 2.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
hanya dapat
memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 3.
Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. 85
Ad. 1.Wewenang MPR ini merupakan suatu hal yang telah diatur
sebelum
Perubahan dan sesudah Perubahan UUD 1945. Tetapi sebelum Perubahan UUD 1945 hal ini merupakan tugas dari MPR seperti yang diamanatkan dalam pasal 3 UUD 1945. Dan alasan ini diperkuat oleh pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945. Pasal ini menyatakan jika telah berhasil diadakan Pemilihan Umum dan terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka MPR harus bersidang untuk membuat Undang-Undang Dasar baru. Setelah perubahan UUD 1945 tugas menetapkan UUD termasuk dalam wewenang MPR. Karena dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang mewajibkan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan penggantian Undang-Undang Dasar baru. Karena wewenang atau wenang adalah hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu) 86. MPR apabila merasa perlu mengganti Undang-Undang Dasar maka dapat melakukannya. Jika tidak perlu maka tidak ada larangan untuk tidak melakukannya. Ad.3. Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Wewenang ini dilakukan melalui 85
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan DEPKEH HAM , Bali, Juli 2003, hlm.9
86
Ibid, hlm. 11
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
79
proses yang lama dan dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi (pasal 7B UUD 1945).
B.
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UUD 1945. Dasar hukum mengenai Ketetapan MPR dalam UUD 1945 memang tidak
diatur secara jelas dan tegas seperti halnya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Walaupun demikian, melalui penafsiran beberapa pasal dalam UUD 1945 sebelum perubahan, kita dapat menemukan dasar hukum Ketetapan MPR yaitu:
Pasal 2 ayat (3): “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak”. Pasal 3: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besaar daripada Haluan Negara”. Pasal 6 ayat (2): Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
80
Dari pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk-bentuk Putusan MPR. Dalam bentuk peraturan apakah Garis-Garis Besar Haluan Negara dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur? Peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk oleh lembagalembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan yaitu kekuasaan membentuk hukum (rechtsvorming). Dan tidak semua lembaga memperolehnya. Begitu juga dengan MPR, tidak memperoleh kewenangan secara atribusi dan delegasi. 87 Tetapi MPR memperoleh kewenangan tersebut melalui wewenang yang dimilikinya dalam UUD 1945. Sesuai dengan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 88 yang menugasi MPR untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR 2003. Sesuai dengan amanat konstitusi tersebut, maka MPR telah melakukan peninjauan terhadap Ketetapan MPRS dan MPR dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 89 1.
Melihat kesesuaian antara isi dan tujuan dengan kehendak rakyat. Apabila materinya masih sesuai maka dituangkan dalam UU. Jika tidak sesuai maka dinyatakan tidak berlaku lagi.
2.
Melihat kesesuaian antara materi yang diatur dengan konstitusi, apabila bertentangan dengan konstitusi akan dicabut atau dihapus.
87
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, 1998, Yogyakarta, hlm. 54. 88 Lihat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 setelah Perubahan keempat. 89 Riri Nazriyah, op.cit, hlm. 186. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
81
3.
Melihat kesesuaian dengan situasi dan kondisi sekarang yang dilakukan dengan
cara
meneliti
perubahan
yang
terjadi
di
bidang
politik,
ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan budaya untuk dirumuskan dalam kebijakan baru. 4.
mengelompokkan sejumlah Ketetapan dalam kategori einmahlig. Menurut Badan Pekerja MPR, tugas “Meninjau materi dan status hukum
Ketetapan MPRS dan MPR yang diputuskan pada Sidang MPR Tahun 2003” bermakna mempelajari kembali semua Ketetapan MPR/S yang telah diterbitkan antara 1960-2002 serta menggunakan UUD 1945 hasil perubahan sebagai acuan. Namun dalam perspektif hukum konstitusi, rumusan seperti ini dinilai tidak jelas, karena dapat menyesatkan serta mengakibatkan kekosongan hukum dan ketidakadilan. Beberapa faktornya adalah: 1.
Berdasarkan pengalaman historis, peninjauan itu dapat bermakna mencabut atau tetap memberlakukan Ketetapan MPR/S yang sebelumnya. Padahal sebenarnya ada kemungkinan-kemungkinan lain yang terbuka untuk dilakukan misalnya hanya sekadar merevisi ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan MPR/S.
2.
UUD 1045 tidak menentukan hierarki perundang-undangan. Dalam kenyataan normatif, terdapat hierarki hukum yang harus diperhatikan ketika suatu perundang-undangan akan dicabut/dihapus. Padahal peraturan tersebut terkait dengan peraturan lain dalam hierarki yang ada.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
82
3.
sebagai konsekuensinyam penghapusan suatu jenis peraturan perundangundangan yang ada dapat menimbulkan kekosongan hukum dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan. Sehingga Tim Fakultas Hukum UGM dalam kajian tentang Peninjauan
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR/S tahun 1960-2002 menawarkan metode-metode dan tolak ukur substantif dalam meninjau Ketetapan MPR/S tersebut, sebagai berikut: 90 1.
Untuk meninjau status hukum digunakan penafsiran sistematik-struktural terhadap UUD RI setelah perubahan.
2.
Terhadap Ketetapan MPR/S yang telah ditetapkan antara 1960-2002 yang berjumlah 139. Tim membatasi pada Ketetapan yang tidak dicabut dan bukan termasuk kategori einmahlig. Ketetapan kategori einmahlig memiliki ciri-ciri: konkrit, individual dan final. Ketetapan demikian tidak dapat dikelompokkan sebagai peraturan perundang-undangan karena termasuk bechikking yang lazimnya diterbitkan oleh pejabat administrasi negara.
3.
Untuk materi Ketetapan MPR/S yang ‘valud dan bukan einmahlig’ tetapi hendak dicabut tanpa melahirkan kekosongan hukum digunakan prinsip hukum bahwa: a). Tindakan yang sudah dilakukan berdasarkan hukum yang sah harus tetap diikuti, b). Hak yang diperoleh dari hukum yang lama tetap dihormati oleh hukum yang baru.
90
Ibid, hlm. 189.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
83
4.
Dalam meninjau materi muatan dalam Ketetapan MPR/S juga harus diambil sikap oleh MPR dengan pertimbangan yang komprehensif: Ham, demokrasi, supremasi konstitusi, keadilan, kepastian hukum dan realisme politik. Dari delapan kelompok Ketetapan yang ada dalam rancangan Ketetapan
MPR RI mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI dari tahun 1960-2002, melalui Rapat ke-5 Sidang Tahunan MPR Agustus 2003, rancangan kesepakatan MPR/S tersebut telah disepakati pengelompokan/kategori ke dalam 6 (enam) pasal. Dalam putusan Rapat Paripurna ke-6 (lanjutan) tanggal 7 Agustus 2003 Sidang Tahunan MPR RI 2003, MPR telah menetapkan Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Keteapan MPR RI tahun 1960-2002, dengan menggolongkan Ketetapan MPR/S ke dalam enam kelompok yaitu sebagai berikut: 1.
Ketetapan MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.
Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masingmasing.
3.
Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004.
4.
Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undangundang.
5.
Ketetapan MPR/S tentang Peraturan Tata Tertib MPR dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR RI hasil Pemilu 2004.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
84
6.
Ketetapan MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena lebih bersifat einmahlig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sebagai produk legislatif yang dilahirkan oleh sebuah lembaga negara
yang secara tidak tegas diatur oleh UUD, Ketetapan MPR dalam kenyataannya harus menghadapi peninjauan kembali. Jika kita melihat kepada hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR/S di atas, nampak bahwa keberadaan Ketetapan MPR setelah dilakukan peninjauan tersebut masih harus ditinjau ulang untuk menentukan nasibnya di masa yang akan datang. Menurut Pasal 2 Ketetapan MPR No. 1/MPR/2003, ada tiga Ketetapan MPR/S yang masih dipertahankan yaitu, TAP MPRS No. XXY/MPRS/1966, TAP MPR No. XYI/MPR/1998, dan TAP MPR No. V/MPR/1999 yang kesemuanya merupakan ketentuan MPR/S yang bersifat regeling (mengatur). Dari uraian di atas, tampak bahwa keberadaan Ketetapan MPR/S setelah perubahan UUD 1945 masih menimbulkan persoalan. Status hukumnya tidak jelas karena pada kenyataannya Ketetapan MPR masih ada dan dinyatakan masih tetap berlaku tetapi tidak lagi sebagai sumber hukum formal. Hal ini dapat dilihat dari UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa Ketetapan MPR tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, hierarki perundang-undangan adalah: a. Undang-Undang Dasar b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
85
d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah
C. Hal-Hal yang Timbul dalam Praktek Tentang Kedudukan dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 1.
Sistem Parlemen Indonesia. Dengan adanya perubahan UUD 1945, konsep kedaulatan rakyat telah
mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR bukan lagi lembaga yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, melainkan hanya sebagai lembaga negara yang terdiri dari Anggota DPR dan Anggota DPD yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Jimly Asshidiqie 91 menyatakan bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945 bersifat trikameral yaitu MPR, DPD dan MPR. Kedudukan ketiganya adalah setara atau sederajat satu sama lain. Bahkan keberadaan MPR itu sendiri dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan atau sebagai organ pendukung (auxiliary organ) ataupun sebagai kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan di luar kewenangan DPR dan DPD sendiri. Ketentuan mengenai pimpinan MPR pun tidak diatur tersendiri dalam UUD, malainkan hanya dalam UU.
91
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi, Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006, Jakarta, hlm. 47.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
86
Jika diruntut ke belakang, sebenarnya perubahan UUD 1945 adalah semangat menuju sistem bikameral. Hal itu didukung dengan pembentukan DPD sebagai perwakilan daerah (regional representation). DPD diharapkan sebagai penyeimbang DPR yang merupakan perwakilan politik. Namun banyak pihak yang menentang gagasan bikameralisme. Alasannya bahwa bikameralisme dengan sendirinya telah menghilangkan MPR sebagai lembaga negara. Pihak yang menentang bikameralisme menyatakan bahwa MPR merupakan pencerminan langsung sila keempat Pancasila. MPR sebagai penjelmaan permusyawaratan dan DPR sebagai penjelmaan perwakilan. Selain itu, para penentang gagasan bikameralisme juga berpijak dari Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Perwakilan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Adanya kata ‘anggota’ dalam pasal tersebut berarti meskipun MPR hanya sebagai rangkap ganda anggota DPR dan anggota DPD tetapi MPR tetap merupakan lembaga yang berbeda dan terpisah dari DPR dan DPD tersebut. Kemudian, dari segi jumlah anggota dan wewenang DPR dan DPD di Indonesia yang tidak setara semakin menimbulkan banyak pertentangan tentang sistem perwakilan yang dianut Indonesia. Selanjutnya para ahli Hukum Tata Negara Indonesia bahkan berpendapat bahwa sistem parlemen Indonesia adalah soft bicameral atau bikameral lunak.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
87
Menurut Teori Arend Liiphart 92 bahwa sistem parlemen Indonesia dikategorikan sebagai medium strength-bicameralism dengan konstruksi asimetris dan incongruent. Dikatakan asimetris karena DPD mempunyai kekuasaan yang sub ordinat dari DPR. Sedangkan incongruent karena DPR merupakan perwakilan politik sedangkan DPD perwakilan daerah. 2.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Institusi Tetap (Permanen). Suatu lembaga atau institusi negara dikatakan permanen jika memiliki alat
kelengkapan sendiri, masa jabatan anggotanya sendiri, bekerja secara penuh waktu selama masa jabatan anggotanya, serta memiliki tugas dan wewenang yang sifatnya permanen atau lembaga tersebut harus berfungsi secara permanen. Sedangkan suatu lembaga yang bersifat nonpermanen tidak memiliki keseluruhan kriteria-kriteria seperti yang disebutkan di atas. Jika melihat kriteria di atas, maka MPR dapat dikategorikan sebagai lembaga atau institusi negara yang bersifat permanen. Alasannya adalah: 93 a. MPR mempunyai alat kelengkapan tersendiri yaitu pimpinan, panitia ad hoc dan badan kehormatan. 94 b. Masa jabatan MPR adalah lima tahun. 95 c. MPR memiliki tugas dan wewenang yang bersifat permanen dan rutin sekali lima tahun yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilihan umum presiden.
92
Riri Nazriyah, op.cit, hlm.337. Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 146. 94 Lihat Pasal 98 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003. 95 Lihat Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2003. 93
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
88
3.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Sidang Bersama (Gabungan) DPR dan DPD. Salah satu kesepakatan dasar MPR dalam perubahan terhadap UUD 1945
adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial dan memperkuat sistem keseimbangan (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara yang pada gilirannya secara bertahap menghasilkan pemerintahan yang demokratis dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya. Kesepakatan MPR tersebut berimplikasi terhadap adanya pemilihan umum presiden secara langsung untuk mendapatkan sumber legitimasi kekuasaan yang setara dengan lembaga perwakilan. Hal ini menimbulkan eliminasi salah satu kewenangan MPR untuk memilih Presiden. Dalam bidang lembaga perwakilan, MPR pada awalnya dirancang untuk diubah menjadi ‘genus’ dari lembaga perwakilan atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar. Kamar pertama disebut DPR dan kamar kedua DPD. Dan kedudukan MPR hanya sebagai joint session (pertemuan gabungan) antara DPR dan DPD. Namun sayangnya, perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945, khususnya menyangkut sistem perwakilan telah menghasilkan kontradiksi antara daas sein dan daas solen (realitas dan ide). Selain ketidakseimbangan hak dan wewenang antara DPR dan DPD, MPR juga tetap dipertahankan sebagai lembaga yang permanen dan mandiri serta sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini mengakibatkan sistem perwakilan yang dianut setelah perubahan UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana yang
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
89
diidekan (daas solen), melainkan sistem perwakilan dengan tiga lembaga negara sekaligus, yakni MPR, DPR, dan DPD. Seharusnya, agar sesuai dengan aspek sejarah yang telah disampaikan sebelumnya dan maksud semula dari perubahan terhadap UUD 1945 ingin melaksanakan sistem presidensial melalui sistem checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Maka lembaga perwakilan yang dibentuk cukup dengan dua dewan saja yakni DPR dan DPD dengan kewenangan yang seimbang. Sehingga walaupun MPR tetap dipertahankan keberadaannya, tetapi hanya terbatas sebagai suatu forum sidang bersama (joint session) saja antara DPR dan DPD. 96 Jika dilihat dari latar belakang keanggotaannya, juga banyak para pakar Hukum Tata Negara menyarankan agar MPR dijadikan sebagai lembaga negara non permanen. Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota MPR dan anggota DPD 97 tersebut dianggap tidak efisien. Karena DPR dan DPD merupakan lembaga permanen yang memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga MPR yang juga bersifat permanen ini menjadi tidak efektif. Karena anggota DPR maupun anggota DPD memiliki kesibukan yang rutin berkenaan dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
4.
Penguatan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah. Dalam perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu
ternyata kemudian hilang karena kompromi-kompromi dan menonjolnya 96 97
Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 146-156. Lihat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
90
kepentingan politik selama proses amandemen. Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK, DPD yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui pemilu ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis. Berbeda dengan DPR, yang diatur dalam tujuh pasal (Pasal 19-Pasal 22B), DPD hanya diatur dalam dua pasal (Pasal 22C dan Pasal 22D). Di dalam konstitusi hasil perubahan memang sama sekali tidak disebut istilah parlemen sehingga tidak mudah menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Lebih dari itu, jika di dalam UUD disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat (1)), maka DPD tidak mempunyai fungsi-dungsi tersebut secara penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat ikut menetapkan UU sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat, sebab Pasal 20 ayat (1) sudah mengunci bahwa yang memegang kekuasaan pembentuk UU adalah DPR. Jika dipetakan maka kewenangan-kewenangan DPD sebagaimana dapat diambil dari ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) hanyalah terbatas dalam masalah-masalah tertentu seperti di bawah ini. 1.
Dapat mengajukan rancangan UU. DPD dapat RUU (tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan) dalam bidang-bidang tertentu yaitu: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran sert
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
91
penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuasangan pusat dan daerah. 2.
Ikut membahas rancangan UU. Tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan, DPD boleh ikut membahas RUU dalam bidang:otonomi daerah, hubungan
pusat
dan
daerah,
pembentukan
dan
pemekaran
serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3.
Memberi pertimbangan. DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan Rancangan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta memberikan pertimbangan (di luar RUU) dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
4.
Dapat melakukan pengawasan. DPD juga dapat melakukan pengawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan
dan
pemekaran
serta
penggabungan
daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, APBN, pajak, pendidikan dan agama. Karena kewenangan yang sangat terbatas itu, dapat dikatakan bahwa DPD hanya sebagai formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan perubahan. Selain dengan fungsi-fungsinya yang tak dapat menentukan UU dan kebijakan negara lainnya, ditentukan juga bahwa jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Bahkan kelemahan DPD menjadi Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
92
semakin tampak ketika kewenangannya untuk ikut membahas RUU tertentu oleh UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD dikurangi lagi sehingga DPD hanya boleh ikut membahas pada tahap awal Pembicaraan tingkat I saja. Pasal 43 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menggariskan bahwa ‘DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR’. Dengan fungsi dan wewenang seperti itu maka sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang berarti. Peran-perannya yang sering dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat Daerah terhadap Pusat sebenarnya dapat dilakukan oleh Ormas dan LSM atau oleh media massa. DPD hanya menjadi penting kalau terjadi sesuatu yang akan jarang terjadi dan sifatnya insidental berdasarkan UUD 1945, yakni terjadinya perubahan atas UUD dan terjadinya impeachment terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang prosesnya sampai ke MPR.
BAB V PENUTUP
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
93
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1.
Susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945 adalah:
(1) Susunan MPR Sesuai dengan isi Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 bahwa susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. (2) Kedudukan MPR Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sesungguhnya sudah jelas mencantumkan kedudukan MPR baik dalam UUD 1945 maupun penjelasan umumnya. MPR didaulat sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi.. (3) Tugas MPR Adapun tugas MPR diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUD 1945 serta Pasal 3 Tap MPR No. I/MPR/1983 sebagai berikut: a. Menetapkan Undang-Undang Dasar b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara c. Memilih (dan mengangkat) Presiden dan Wakil Presiden) (4) Wewenang MPR
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
94
Sementara itu, wewenang yang dimiliki oleh MPR menurut UUD 1945 hanya mengatur satu wewenang saja yaitu kewenangan dalam mengubah UUD yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. 2. Susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945 adalah: (1) Susunan MPR Susunan MPR sesuai perubahan UUD 1945 terutama Pasal 2 ayat (1) adalah terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. (2) Kedudukan MPR Setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, menimbulkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan termasuk perubahan dalam sistem perwakilan di Indonesia. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berimplikasi terhadap bergesernya kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, BPK, dan MA. (3) Tugas MPR Dalam
Perubahan
UUD
1945,
tugas
dan
wewenang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
95
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945). b. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945). (4) Wewenang MPR Adapun wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945 bisa disimpulkan sebagai berikut: a.
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
c.
Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
3. Hal-hal
yang
timbul
dengan
dipertahankannya
MPR
dalam
sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. (1) Sistem Parlemen Indonesia Dengan adanya perubahan UUD 1945, konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR bukan lagi lembaga yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, melainkan
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
96
hanya sebagai lembaga negara yang terdiri dari Anggota DPR dan Anggota DPD yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Dengan ditetapkannya MPR sebagai lembaga negara menimbulkan berbagai perdebatan mengenai sistem parlemen Indonesia apakah bikameral atau trikameral. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Institusi Tetap (Permanen). MPR dapat dikategorikan sebagai lembaga atau institusi negara yang bersifat permanen. Alasannya adalah: a.
MPR mempunyai alat kelengkapan tersendiri yaitu pimpinan, panitia ad hoc dan badan kehormatan.
b.
Masa jabatan MPR adalah lima tahun.
c.
MPR memiliki tugas dan wewenang yang bersifat permanen dan rutin sekali lima tahun yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilihan umum presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Sidang Bersama (Gabungan) DPR dan DPD. Jika dilihat dari latar belakang keanggotaannya, banyak para pakar Hukum Tata Negara menyarankan agar MPR dijadikan sebagai lembaga negara non permanen. Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota MPR dan anggota DPD tersebut dianggap tidak efisien. Karena DPR dan DPD merupakan lembaga permanen yang memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga MPR yang juga bersifat permanen ini menjadi tidak efektif. Karena anggota DPR
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
97
maupun anggota DPD memiliki kesibukan yang rutin berkenaan dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
B. Saran. Adapun yang menjadi saran penulis adalah: 1. Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang MPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang susunan dan kedudukan secara jelas. Sehingga tidak terjadi interpretasi yang berbeda-beda. 2. Seharusnya Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak menjadi lembaga yang tetap. Karena tugas dan wewenangnya telah direduksi menjadi tugas yang formal belaka. Dan wewenangnya hanya digunakan dalam beberapa kondisi tertentu yang kemungkinan terjadi hanya akibat beberapa hal tak terduga. Kecuali dalam melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sehingga nantinya anggaran yang dikeluarkan oleh negara untuk kesekretariatan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti banyaknya pegawai yang diperlukan untuk melaksanakan tugas keseharian Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak diperlukan lagi. Karena lembaga ini berubah menjadi forum yang hanya bersidang dan melaksanakan tugas dan wewenangnya yang dilakukan pada saat tertentu.. Hal ini bisa jadi pertimbangan untuk Perubahan UUD 1945 ke depan
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
98
DAFTAR PUSTAKA
KELOMPOK BUKU Asshidiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi, Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006. Ashiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. Boboy, Max, DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan TatanegaraI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. Farwa, A.M, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004. Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004. Indra, Muhammad Ridhwan, MPR Selayang Pandang, CV Haji Masagung, Jakarta, 1991.. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984. KC Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003. Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjend MK RI, Jakarta, 2003, Manan, H. Bagir, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Ypgyakarta, 2003. Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001 MD, Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007. Napitupulu, Paimin, Menuju Pemerintahan Perwakilan, PT Alumni, Bandung, 2007 Nazriyah, Riri, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dalam Prospek di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, 2007. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
99
Purnomowati, Reni Dwi, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005. Sagala, Budiman B, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghalia Indonesia, 1981. Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985. Soekanto, Sorejono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta. 1998. Soemantri M, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006 Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, 1998. Sunggono, Bambang,, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007. Syahuri, Taufiqurohman Hukum Konstitusi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004. Tambunan, A.S.S, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya, Pustaka Sinar Harapan, 1991 Thaib, Dahlan, Djazin Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002. Wahidin, Samsul, MPR RI dari Masa ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, 1986. Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007.
KELOMPOK MAKALAH Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional yang diadakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
KELOMPOK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009
100
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. KELOMPOK SURAT KABAR Harian Kompas, 11 Agustus 2004.
Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009