EKSISTENSI FAKULTAS SYARI’AH MENUJU UNIVERSITAS ISLAM NEGERI Oleh: Dedy Sumardi, M. Ag Abstract The existence of the Faculty of Sharia has received the legality of the government through the IAIN PTAIN status change. At the present time there is an increase orientation change of the status of the State Islamic University IAIN be based on a mix of religious sciences with the humanities. Change of status to make the existence of the Faculty of Shariah exist and develop scientific specifications. This effort can be made through the restructuring and development of object oriented study of science, nature and form of the study of Islamic rules' and the integration of science has. The impact of this aspect of development further strengthens the existence of the Faculty of Sharia in the face of opportunities and challenges at the time under the State Islamic University. Institutionally, the Faculty of Sharia participate and contribute in developing the study of Islamic law in the national legal system and be able to translate the Islamic law that is theory into practical life. In addition, as a new reference for the Faculty of Shariah scholars in response to issues that senantiasai kesyariahan developed in accordance with the demands of the times. Kata Kunci: Eksistensi, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri A. Pendahuluan Fakultas Syariah sebagai bagian integral dari Perguan Tinggi Islam dan sistem pendidikan nasional secara umum tidak luput dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi, dan orientasi pengembangan. Salah satu dari perubahan itu adalah pengembangan Institut Agama Islam (IAIN) yang menjadi tempat bernaungnya Fakultas Syariah menjadi Universitas Islam Negeri atau UIN. Wacana pengembangan IAIN menjadi UIN sangat kuat dan telah membumi hingga melahirkan beberapa UIN seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Sutan Kasim Riau. IAIN Ar-Raniry dalam beberapa waktu ke depan telah pula mengarahkan diri dalam bentuk UIN sehingga paradigma, visi dan kedudukan beberapa fakultas yang telah ada, seperti Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Fakultas Adab, tentu harus menyesuaikan diri dan mampu eksis di tengah-tengah Fakultas Umum yang tentu saja jauh lebih diminati oleh calon-calon mahasiswa. Karena itu, fakultas-fakultas ini harus
1
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
2
introspeksi diri, dan mengukur eksistensinya serta mampu mengembangkan diri di tengah-tengah fakultas lainnya. Tulisan ini akan mencoba melihat dan mengukur eksistensi salah satu Fakultas Syari’ah sebagai salah satu unsur sebuah universitas yang dapat dilihat dari spesifikasi objek kajian disiplin ilmu yang ada di Fakultas Syari’ah, sifat dan bentuk studi, serta peluang implementasi integrasi ilmu itu sendiri dalam rangka memberi warna dan pengaruh terhadap sistem hukum nasional. Diharapkan dari evalusi diri ini Fakultas Syariah tetap optimis dan mampu mengembangkan potensinya ketika berada di bawah UIN. B. Pengembangan IAIN Menuju UIN Pengembangan IAIN menjadi UIN merupakan bagian dari pengembangan IAIN dalam paradigma baru, digagas oleh petinggi dan praktisi pendidikan nasinal, di mana paradigma baru itu terlihat dalam beberapa aspek, yaitu: pertama, kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi, tidak hanya dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Kedua, akuntabilitas yang bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, materi pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak diarahkan kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holders sebagai pengguna lulusan perguruan tinggi. Ketiga, penjaminan kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan oleh lembaga tersebut secara mandiri dan berkesinambungan serta evaluasi eksternal dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Evaluasi terakhir ini setidaknya telah menggairahkan perguruan tinggi untuk memperoleh pengakuan formal Badan Akreditasi Nasional tersebut.1 Tentu saja, IAIN sebagai bagian integral dari pendidikan nasional tak dapat menutup mata terhadap perubahan paradigma dan pengembangan perguruan tinggi. Paradigma baru itu, seperti yang dikatakan Azyumardi Azra mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.2 1
Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi” (Jakarta: Dirjen Dikti, 1999) 2 Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, PERTA:
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
3
Mengikuti paradigma ini, maka UIN menjadi alternatif pilihan yang paling tepat. Bila tetap mempertahankan lembaga perguruan tinggi Islam sebagai IAIN, inipun juga menuntut upaya pencapaian substansi yang berada di balik gagasan pembentukan UIN, misalnya, reapproachement antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan agar kajian-kajian keilmuan di IAIN lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan zaman. Akan tetapi jelas bahwa IAIN dengan mandat terbatas seperti ini, seperti yang ditulis Azyumardi Azra bukan hanya tidak selaras dengan paradigma baru Perguruan Tinggi, tetapi juga akan membuat IAIN sulit untuk merespon berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat baik pada tingkat lokal, regional maupun global.3 Penguatan IAIN menjadi UIN didasari oleh paling tidak dua alasan yang berkembang. Pertama, kehendak untuk memenuhi harapan umat Islam dengan memberi mereka kedudukan yang lebih penting dalam pendidikan nasional. Kedua, keinginan memadukan kembali ilmu pengetahuan dan teknik, di satu pihak, dan agama, di lain pihak, setelah dipisahkan oleh pemikiran Barat modern. Alasan yang terakhir ini tentu saja diilhami oleh gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang telah menjadi diskursus yang hangat dan menarik.4 Studi Islam pada lembaga pendidikan tinggi Universitas sesungguhnya telah tumbuh kembang di berbagai belahan dunia muslim, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, Universitas Teheran dan Universitas Ferdowsi Masyad di Iran dan berbagai universitas lainnya di belahan dunia muslim dengan berbagai model masing-masing. Oleh karena itu, pengembangan IAIN menjadi UIN dapat dilakukan dengan berbagai model pilihan. C. Eksistensi Fakultas Syari’ah Fakultas Syariah merupakan salah satu fakultas dari dua fakultas yaang pertama ketika didirikan di Yogyakarta pada 1950, berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) No. 34/1950, Seperti yang ditulis oleh Nur A. Fadhil Lubis, eksistensi Fakultas Syariah dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia sangat kuat. Ketika PTAIN beralih menjadi IAIN dengan menggabungkan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada 1960 dan selanjutnya berkembang menjadi 14 IAIN pada pertengahan 1970-an di berbagai penjuru Tanah Air, eksistensi Fakultas Syari'ah tetap dipertahankan dan dikembangkan. Keberadaan studi syari'ah juga terus berkembang dengan diresmikannya 32 fakultas cabang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) pada 1996. Signifikansi studi syari'ah juga terlihat dari banyak fakultas/program Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), Vol. 1, No. 1, September 1997. 3 Ibid. 4 Johan Hendrik Mueleman, IAIN di Persimpangan Jalan, PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), Vol. 1, No. 1, September 1997.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
4
studi ini di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), bahkan sebagai bagian dari Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Meskipun tidak merupakan program studi tersendiri, hukum Islam merupakan mata kuliah wajib di seluruh Fakultas Hukum di Tanah Air.5
Kuatnya eksistensi Fakultas Syariah dengan sendirinya tidak perlu diragukan baik di lingkungan IAIN, bahkan ketika IAIN berubah menjadi UIN sekalipun. Fakultas Syari’ah umumnya selalu menjadi favorit dan memiliki banyak peminat dibanding fakultas lain setelah Fakultas Tarbiyah. Hampir tidak dirasakan ada kesulitan berkaitan dengan input yang akan mengakaji persoalan-persoalan syariah. Demikian pula pembukaan studi syariah di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta menunjukan eksistensinya yang menarik perhatian kalangan perguruan tinggi. Meskipun peminatnya di beberapa perguruan tinggi umum dan swasta berada di bawah studi-studi lainnya, hal ini tidak dapat dikatakan eksistensinya yang tidak kuat. Betapapun, keberadaan Fakultas Syariah yang berada di bawah IAIN masih menjadi primadona dibanding studi syariah di perguruan tinggi umum dan swasta lainnya. Hal ini wajar, karena Fakultas Syariah yang berada di bawah IAIN merupakan pusat studi syariah dengan alternatif program studi yang lebih mapan, baik dari pengalaman maupun tenaga ahlinya. Kuatnya eksistensi Fakultas Syariah tampaknya disebabkan spesifikasi objek kajian ilmu, sifat dan bentuk kajian serta peluang dan tantangan yang semakin menghadang. Pengembangan aspek-aspek ini tentu semakin memperkuat eksistensi Fakultas Syariah ke depan ketika berada di bawah Universitas Islam Negeri yang berdampingan dengan fakultas-fakultas favorit lainnya.
1. Spesifikasi Objek Kajian Ilmu pada Fakultas Syari’ah Objek kajian ilmu yang ada di Fakultas Syariah senantiasa menarik, dibutuhkan dalam dunia yang dinamis dan dapat dikembangkan. Menarik, dibutuhkan dan dapat dikembangkan merupakan bagian paling penting yang menjadikan Fakultas Syariah semakin eksis dalam dunia yang terus berubah dan berkembang. Objek kajiannya yang menarik dilihat dari sisi di mana kajiannya yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, yakni ketentuan tentang perilaku praktis masyarakat muslim sehingga senantiasa menjadi rujukan.
5
Nur A. Fadhil Lubis, Pengembangan Studi Hukum Islam di IAIN, PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), Vol. 1, No. 1, September 1997.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
5
Dalam tradisi keilmuan muslim, kata syari’ah6 menjadi istilah paling penting, sebab istilah ini menunjukan makna titah Allah dan Rasul kepada umat untuk kebahagian mereka di dunia dan di akhirat. Titah ini tertuang dalam al-Qur’an dan hadis. Pemahaman terhadap kata syari’ah menunjukkan bahwa syari’ah memiliki konotasi makna yang sangat luas, di mana ia merupakan segala pengetahuan tentang segala perintah Allah dan Rasul yang berkenaan dengan agama (ulum al-din). Secara perlahan namun pasti, istilah ini menjadi terbatas pada titah Allah berkenaan dengan hal-hal yang bersifat praktis, yang dikenal dengan hukum syara’. Penyempitan makna ini telah melahirkan cabang studi tersendiri, sehingga dikenal istilah akidah, syari’ah dan akhlak sebagai dimensi keislaman. Walaupun istilah ini dipahami baik dalam makna awalnya maupun makna teknis, ia tetap menjadi istilah yang memberi konotasi sangat penting dalam benak setiap muslim. Titah Allah dan Rasul yang berkenaan dengan kegiatan praktis muslim dalam al-Qur’an dan hadis masih membutuhkan pemahaman yang mendalam (fiqh)7. Karena sebagian titah Allah bersifat global dan prinsip-prinsip pokok sementara sebagian titah Rasul bersifat tanggapan situasional atas keadaan para sahabat dalam menjalankan titah Allah. Itu sebabnya, di dalam al-Qur’an Allah menegaskan dalam surat Al-Anfal: 122 “agar tidak semua umat Islam pergi berperang; hendaknya ada sekelompok orang (nafar) dari setiap komunitas (firqah) yang mempelajari dan memahami (li yatafaqahu) ajaran agama”. Oleh karena itu, maka fiqh berkembang sebagai sebuah istilah yang merujuk pada pengetahuan tentang titah Allah dan Rasul (hukum-hukum syara’) dalam kaitannya dengan kegiatan praktis, menjadi sangat penting. Dalam sejarah perkembangannya, kajian terhadap hukum syara’ telah mendapat perhatian serius dari tokoh-tokoh yurisprudensi awal. Kajian terhadap hukum-hukum syara’ telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang 6
Kata syariah pada mulanya bermakna jalan menuju ke sumber air. Dalam al-Qur’an kata ini dipakai untuk menunjukan peraturan dan urusan-urasan agama: “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (Q.S. al-Jatisyah: 18). Tetapi lama-lama kelamaan kata ini dipahami terbatas dalam aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan dengan perilaku praktis. Sedangkan aturan-aturan yang berkaitan dengan keimanan dan persoalan keyakinan disebut akidah. Sementara aturan-aturan Allah dan Rasul yang berkaitan dengan dengan etika dan kesopanan masuk dalam istilah akhlak. 7 Fiqh secara kebahasaan berarti pemahaman. Kata lainnya yang hampir semakna dengan kata ini adalah fahm. Tetapi berbeda dengan kata fahm, kata fiqh lebih bersifat pemahaman yang mendalam. Secara istilah fiqh didefinisikan oleh ulama sebagai “pengetahuan tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang dirumuskan dari dalil-dalil syara’ yang terperinci. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz I, (Damskus, Syiria: Dar al-Fikri, 1998), h. 16. Muhammad Khudhari Beik, Ushul al-Fiqh, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1998), h. 5. Asal usul penggunaan istilah fiqh dalam Islam dapat ditelusuri dalam Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Granadi, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 2.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
6
oleh Ibnu Khaldun pada waktu itu disebut sebagai kategori ilmu modern dalam agama (min al-ulum al-haditsah fi al-millah).8 Disiplin ilmu ini sangat diminati sehingga melahirkan mazhab dengan berbagai karakter. Bahkan dalam berbagai catatan para penulis, mazhab-mazhab ini jumlahnya mencapai 500 mazhab. Tetapi lama-kelamaan menciut menjadi puluhan dan setelah melalui seleksi alamiah selama berabad-abad kini tinggal empat mazhab9 terkenal dan diberlakukan di seluruh dunia Islam dengan pengecualian mazhab Syi’ah, yaitu: 1) mazhab Hanafi yang dipelopori oleh al-Nu’man ibn Sabit 10 yang dikenal dengan Imam Abu Hanifah yang berkembang di Turki, Suria, Afganistan dan India, 2) mazhab Maliki yang dibidani oleh Malik Ibn Anas yang lebih dikenal dengan Imam Malik11 dan banyak dianut di Hijaz, Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan dan Bahrain, 3) mazhab Syafi’i yang digagas oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi’i yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i12 dan banyak dianut di Mesir, Palestina, Suria, Libanon, Irak dan di wilayah Asia Tenggara, serta 4) mazhab Hanbali dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal atau yang lebih dikenal dengan Imam Hanbali, banyak dianut di Suria, dan Saudi Arabia.13 Mazhab-mazhab ini seperti diidentifikasi oleh para penulis, terkelompokan dalam dua aliran besar, bila dilihat dari metode penalaran dan 8
Dikutip dalam Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. vii 9 KH. Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, hingga Ukhwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 89. 10 Imam Abu Hanifah lahir di kufah dan mengembangkan mazhabnya di sana. Kehidupannya diisi dengan berdagang sambil mempelajari fiqh. Kecerdasannya dalam bidang fiqh menjadikannya masyhur dan mendapat tawaran jabatan dari Dinasti Bani Umayyah dan juga dinasti Abbasyiah, tetapi jabatan ini ditolak yang akhirnya menyebabkan ia dimasukan ke dalam penjara. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim al-Anshari dan Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani. 11 Imam Malik lahir dan menetap di Madinah. Sebagian penulis mengatakan ia bahkan tidak pernah keluar dari kota Madinah, kecuali untuk ibadah haji. Karyanya yang paling populer dan bahkan menjadi rujukan tidak hanya dalam bidang fiqh tetapi juga dalam bidang hadis adalah Kitab al-Muwaththa’. Murid-muridnya yang terkenal terdapat al-Syaibani, Yahya al-Laits al- Andalusi dan Abd al-Rahman ibn al-Qasim. 12 Muhammad ibn Idris al-Syafi’i lahir di Gazza. Sejak kecil ia sudah tertarik belajar agama dan belajar pada beberapa guru-guru di berbagai kota. Di Irak, ia belajar dengan muridmurid Imam Hanafi. Demikian pula di Hijaz, ia berguru dengan Imam Malik. Kitabnya yang paling populer adalah Al-Risalah yang menjadi rujukan pertama dalam bidang Ushul Fiqh dan Ilmu Hadis. Demikian pula kitabnya yang lain “Al-Umm” menjadi kitab rujukan dalam bidang fiqh dan juga ilmu hadis. Imam Syafi’i sangat dikenal sebagai pembela sunnah, karena kegigihannya dalam menjawab dan membala sunnah Nabi, baik dari para ingkar sunnah maupun dari para pengkritik hadis di kalangan ulama. 13 Ahmad ibn Hanbal lahir di Bagdad. Pada mulanya ia belajar hadis dan melakukan pencarian dan pengkodifikasian hadis Nabi. Kitab yang dihasilkannya dari perjalanan mencari hadis dengan mengunjungi berbagai kota adalah kitab Musnad yang lebih dikenal dengan Musnad Ahmad. Penguasaannya terhadap al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi membawa ia menguasai fiqh dan memiliki aliran tersendiri sehingga dikenal dengan mazhab Hanbali.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
7
pengelohan hukum itu sendiri, yaitu pola Irak dan pola Hijaz. Perbedaan kedua pola ini adalah terletak pada penggunaan sunnah. Di Irak di mana mazhab Hanafi berkembang, peredaran sunnah lebih terbatas dan secara kualitatif membutuhkan seleksi yang kuat. Konsekuensinya adalah penggunaan ra’yu menjadi lebih kuat dan tajam sehingga lebih dikenal dengan ahl al-ra’yi. Sementara di Hijaz, perbendaharaan sunnah sangat luas dan tidak membutuhkan seleksi yang ketat. Karena itu, penggunaan sunnah lebih dominan dalam ketetapan-ketetapan hukum yang diambil. Itu sebabnya Hijaz, dimana berkembang Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali dikenal dengan ahl sunnah.14 Di sisi lain, kajian-kajian yang dilakukan Fakultas Syariah senantiasa dibutuhkan bahkan dapat dikatakan mendesak sejalan dengan perkembangan perilaku praktis masyarakat, sebagai akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi. Banyak perilaku-perilaku baru muncul membutuhkan segera rujukan syari’ah, di mana para fuqaha’ sebelumnya sama sekali belum pernah membicarakan atau memikirkannya. Perkembangan pesat terutama dalam bidang teknologi kesehatan, seperti tranfusi darah, transplantasi organ, eutanasia, dan bahkan kloning. Demikian pula dalam bidang persoalan ekonomi yang tak kalah berkembanganya semisal, multi level marketing, pasar saham dan lain lain sebagainya. Semua perilaku-perilaku praktis tersebut membutuhkan rujukan-rujukan syariah baru yang hanya dapat dijawab oleh civitas akademika Fakultas Syari’ah. Berangkat dari realitas tersebut, maka kegiatan akademis civitas akademika Fakultas Syari’ah tidak pernah mandeg dan padam. Ijtihad-ijtihad baru terus menanti dan berjejer di hadapan sehingga senantiasa berada dalam kesibukan akademik yang terus menerus dan tiada putusnya. Di samping studi berkaitan dengan hukum-hukum syara’, juga dilakukan studi berkaitan dengan hukum positif di Indonesia. Hal ini tentu menjadi menarik, karena di samping memberi wawasan perbandingan yang lebih luas, kajian ini dapat memberikan kemampuan untuk menempatkan hukum-hukum syara’ (baca: hukum-hukum Islam) yang sekarang mulai mendapatkan tempat dalam hukum positif di Indonesia. 2. Sifat dan Bentuk Studi Hukum Syara’ di Fakultas Syari’ah Di Indonesia terutama di kalangan pesantren, ilmu fiqh menjadi bagian sentral dan telah menjadi primadona yang mengasyikan. Seorang penulis dan praktisi pesantren menulis: Suatu hal yang tak dapat diragukan lagi bahwa pesantren merupakan lembaga tafaqqahu fi al-din dan bahwa ilmu fiqh merupakan ilmu yang 14
K.H. Ali Yafie, Menggagas..., h. 115.
8
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
dominan di dunia pesantren. Dari saat-saat dini, para santri sudah berkenalan dan menjadi akrab dengan kitab taqrib, suatu kitab matan yang standar dalam ilmu fiqh.15 Karya-karya fiqh terutama dalam mazhab Syafi’i ditelaah dari satu kitab ke kitab lainnya dalam tingkat penjelasan yang lebih luas. Tidak berlebihan jika dikatakan alumni pesantren belum dianggap cakap bila tidak menguasai fiqh cenderung terfokus pada aspek ibadah saja. Tetapi berbeda dengan studi di pesantren yang cenderung berkutat pada persoalan ibadah dan terkesan bersifat tekstual dan tidak memiliki sifat kontekstual, bersifat teoritis belaka dan tidak berkaitan dengan keadaan perkembangan dinamis masyarakat. Studi fiqh di Fakultas Syari’ah bersifat komprehensif. Bidang ibadah yang hampir menghabiskan separoh pembahasan dari kitab-kitab fiqh Syafi’i mendapat kesempatan yang sama untuk dibahas dengan dimensi-dimensi fiqh lainnya seperti muamalat, munakahat dan jinayat siyasah. Di samping itu, kajian yang dilakukan lebih bersifat terbuka terhadap mazhab-mazhab lain yang lebih dinamis dan fleksibel seperti mazhab Hanafi dan Maliki. Di sisi lain dapat pula dilihat bahwa kajian-kajian perbandingan di antara berbagai mazhab hukum Islam yang ada menjadi bagian yang tak terpisah dari sifat studi hukum pada Fakultas Syariah. Studi ini akan memberikan wawasan yang lebih luas yang tidak hanya terikat pada satu mazhab saja, tetapi juga akan membuka wawasan terhadap mazhab-mazhab lainnya yang berkembang, baik dalam tataran fiqh maupun ushulnya sehingga menjadi lebih fleksibel dan terbuka. Berkaitan dengan hukum-hukum syara’ atau kajian syari’ah itu sendiri memiliki aspek-aspek penting dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan terutama dalam kerangka pengembangan hukum syara’ ke depan. Kajian tentang syara’ (al-Qur’an dan hadis) sebagai sumber hukum-hukum syara’, studi pemikiran yang mengurai perkembangan pemikiran tentang hukum di kalangan umat Islam, studi terapan yang mengkaji pengalaman dan implementasi serta perkembangan interaksi kaidah-kaidah tingkah-laku tersebut dengan kondisi empiris masyarakat Muslim. 16 Karena itu, Fakultas Syariah sebagai lembaga yang mengkaji hukum hukum syara' secara mendalam berkenaan dengan ketiga dimensi ini dalam kenyataan dapat membantu ke arah pengembangan studi hukum yang lebih progresif.
15 16
K.H. Ali Yafie, Menggagas..., h. 107. Nur A. Fadhil Lubis, Pengembangan…, h. 26.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
9
3. Peluang dan Tantangan yang Dihadapi Fakultas Syariah Dalam catatan sejarah, di Indonesia sejak awal telah berkembang sistem hukum, yaitu hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Pada fase awal kolonial, hukum Islam diterima dan pernah diakui sebagai hukum yang berlaku baik secara formal maupun aktual bagi setiap warga pribumi muslim. Belakangan keberlakuan ini diintimidasi oleh teori yang menyatakan bahwa dalam masyarakat muslim nusantara hukum Islam berlaku apabila telah diterima dan menjadi bagian dari hukum adat. Setelah kemerdekaan, eksistensi hukum Islam menjadi bahan perbincangan kembali sejalan dengan semangat merdeka di bidang hukum. Terlepas dari teori-teori yang berkembang dalam perbicangan tersebut, hukum Islam dapat diterima selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sejalan perkembangan situasional politik Islam, desakan yang semakin kuat untuk memberlakukan hukum Islam akhirnya melahirkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Berikutnya di disusul oleh UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Telaah historis terhadap kedudukan hukum Islam dalam konstalasi hukum positif di Indonesia di atas menunjukan bahwa semakin kukuhnya hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif. Sekali lagi Fakultas Syari’ah semakin menemukan momentum untuk memperkuat eksistensinya. Momentum ini harus ditunjukan dengan pengembangan akademis terhadap hukum Islam itu sendiri yang ditunjukan oleh civitas akademika. Untuk menjawab hal itu, tentu komponen penting dari pendidikan tinggi di Fakultas Syari’ah, yakni kurikulum dan silabi haruslah mengacu untuk memberikan penguatan pada kemampuan lulusannya dalam memanfaatkan momentum yang berharga tersebut. Adalah satu keharusan melakukan peninjauan terhadap kurikulum dan silabus yang berlangsung secara kontinue untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa dinamis. Pengembangan hukum Islam dengan ciri keindonesiaan yang menjadi peluang harus pula dan terus menerus mendapat perhatian yang cukup serius dari civitas akademika Fakultas Syariah. Syariat masih memberi peluang untuk terus menanggapi kondisi sosial, namun tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan, seperti yang dipraktek oleh Nabi dalam menanggapi situasi dan kondisi masyarakatnya untuk dapat melaksanakan titah Allah. Ijtihad masih terbuka lebar, belum tertutup dan tidak akan pernah tertutup. Di sisi lain, perkembangan lembaga keuangan syari’ah yang semakin kuat pada era 90-an telah menunjukan eksistensinya dengan semakin tumbuhnya dan berkembangnya sejumlah Bank Syariah pada setiap Bank Konvensional. Kenyataan demikian memberi penguatan bagi eksistensi Fakultas Syari’ah. Betapa tidak, beberapa konsep-konsep ekonomi syari’ah yang dianut sudah menjadi kajian yang integral dalam studi-studi yang ada di Fakultas Syari’ah. Meskipun masih lebih banyak dalam bentuk teoritis, tetapi
10
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
konsep-konsep dan gagasan-gagasan ekonomi syari’ah dapat dikembangkan dalam bentuk praktisnya. Itu sebabnya, sebagian besar Fakultas Syariah yang ada di Indonesia sudah membuka konsetrasi ekonomi syari’ah. Suatu kenyataan yang bahkan menjadi tantangan dalam studi hukum Islam pada Fakultas Syariah, seperti yang ditulis oleh Yasir Nasution, bahwa keterikatan yang kuat ilmuwan muslim masa kini secara dogmatis terhadap produk pemikiran (fiqh) zaman pertengahan masih tersisa, dan pada saat yang sama mereka tidak didukung oleh kemampuan yang memadai untuk mengembangkan secara rasional metode berpikir para ilmuwan terdahulu sehingga dapat dipergunakan untuk pengembangan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 17 Di sisi lain, Abd al-Mun’im al-Namir mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Yasir Nasution, keterbatasan sebagian ilmuan hukum Islam memahami perkembangan hukum modern juga merupakan tantangan dan dengan sendirinya mengalami kesulitan untuk menempatkan hukum Islam dalam sistem pemikiran hukum yang berlaku. Keadaan seperti ini akan menimbulkan sikap yang hanya menempatkan hukum Islam sebagai alternatif dalam arti yang menyeluruh, bukan sebagai unsur yang bersifat kontributif.18 4. Kemungkinan Integrasi Keilmuan di Fakultas Syariah Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, bahwa salah satu alasan penting tranformasi IAIN menjadi UIN adalah pemaduan kembali antara pengetahuan dan teknik di satu pihak dengan agama di pihak lain yang diilhami oleh gagasan islamisasi pengetahuan. Dalam kaitan ini tentu eksistensi Fakultas Syari’ah yang berada di bawah UIN akan memberi peluang dan kesempatan dalam pemaduan atau paling tidak memberi warna kembali pengetahuan hukum dengan agama dibanding ketika Fakultas Syariah berada di bawah IAIN. Dalam kaitan ini, maka pemilihan model UIN dengan penataan fakultas-fakultasnya merupakan bagian yang penting dan menentukan. Bila model Al-Azhar misalnya, yang hanya menempatkan fakultas agama berada bersama-sama fakultas umum, nyaris sama sekali tidak dapat melampuai dikotomi pengetahuan umum dan agama. Untuk itu, kajian yang layak terhadap model UIN yang dapat menjembatani dikotomi ilmu umum dan agama seharusnya menjadi perhatian yang cukup serius. Hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda sebagai produk zaman sekelarisasi yang sedang berkembang di Eropa. Paradigma hukum pada masa ini didominasi oleh 17
Yasir Nasution ”IAIN dan Industrialisasi: Peluang dan Tangan” dalam Syahrin Harahap (Ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Medan: IAIN Sumatera Bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1998), h. 109-110. 18 Ibid.
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
11
semangat rasionalisme yang didukung oleh empirisisme yang melahirkan pandangan hukum yang positifistik dan rasional. Paradigma hukum pada zaman pertengahan dan klasik yang bersifat ideal telah berubah bersifat rasional belaka. Pemikiran hukum yang seperti ini menurut Yasir Nasution dicirikan oleh tiga hal: a. Hukum identik dengan undang-undang, karena hukum yang benar (sah) adalah hukum yang berlaku di suatu negara. b. Hukum tidak mempunyai hubungan dengan yang mutlak dengan moral, sebab hukum tidak lain adalah karya ahli hukum. c. Hukum merupakan suatu sistem tertutup dalam arti diduksikan secara logis dari undang-undang yang berlaku tanpa memerlukan bantuan norma-norma sosial, politik dan moral, termasuk agama.19 Dari ciri tersebut terlihat semangat hukum positif sangat berbeda dengan ciri yang melekat pada hukum Islam, di mana moral bahkan agama sangat melekat erat dalam pemikiran hukum. Dengan tranformasi IAIN menjadi UIN, Fakultas Syariah sebagai lembaga utama yang berperan dalam studi hukum Islam yang telah berhasil mengukir nama dalam pengembangan sistem hukum nasional, diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih besar dalam menunjukan peran aktif dan kontribusi positif hukum Islam di Indonesia, menjadi pelopor dan pengarah pembangunan sistem hukum nasional, tidak hanya sekadar benteng mempertahankan tradisi lama yang telah usang. D. Penutup Eksistensi Fakultas Syari’ah di bawah UIN dipandang optimis tidak sekadar dapat dipertahankan karena spesifikasi dan objek kajiannya yang senantiasa menjadi rujukan umat dalam bertingkah laku, bahkan dapat menjadi semakin kuat jika Fakultas Syari’ah sebagai Pusat Studi Hukum Islam mampu memainkan perannya dalam mempengaruhi sistem hukum nasional. Untuk itu Fakultas Syari’ah harus berbenah diri, baik dalam visi dan misi maupun kurikulum yang senantiasa mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengurangi identitas keislaman yang dimiliki selama ini.
19
Ibid, h. 106.
12
Dedy Sumardi, M. Ag Eksistensi Fakultas Syari’ah Menuju Universitas Islam Negeri
DAFTAR KEPUSTAKAAN Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Granadi, Bandung: Pustaka, 1994. Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), vol. 1, No. 1, September 1997. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986. Johan Hendrik Meuleman, "IAIN di Persimpangan Jalan," PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), vol. 1, No. 1 September 1997. KH. Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, hingga Ukhwah, Bandung: Mizan, 1994. Muhammad Khudhari Beik, Ushul al-Fiqh, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1998. Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia Jakarta: Yayasan Risalah, 1984. Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal al-Fiqh al-Islami, Dar al-Qaumiyah, Kairo: Mesir, 1964. Mun’im, A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Nur A. Fadhil Lubis, Pengembangan Studi Hukum Islam di IAIN, PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), vol. 1, No. 1, September 1997. Task Force Pendidikan Tinggi, “Implementasi Paradigma Baru di Pendidikan Tinggi”, Jakarta: Dirjen Dikti, 1999. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz I, Damaskus, Syiria: Dar al-Fikri, 1998. Yasir Nasution, IAIN dan Industrialisasi: Peluang dan Tangan, dalam Syahrin Harahap (Ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, IAIN Sumatera Bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1998.