i
TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar)
SKRIPSI
Oleh: Ahmad Syaifudin NIM: 03210074
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG 2007
ii
TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Islam (SHI)
Oleh : Ahmad Syaifudin 03210074
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG 2007
iii
HALAMAN PERSETUJUAN TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar)
Skripsi oleh: Ahmad Syaifudin NIM: 03210074 Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan Oleh Dosen Pembimbing:
Drs. Suwandi, M.H. NIP. 150 302 232
Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP. 150 216 425
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Ahmad Syaifudin, NIM 03210074, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar)
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji
Malang, 22 September 2007 Pembimbing,
Drs. Suwandi M.H NIP. 150 302 232
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar) benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 22 September 2007 Penulis
Ahmad Syaifudin 03210074
vi
PENGESAHAN SKRIPSI Dewan penguji skripsi saudara Ahmad Syaifudin, 03210074, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang angkatan tahun 2003, dengan judul
TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA “BORONGAN” (Studi Kasus di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar)
Telah dinyatakan LULUS dengan Nilai: B+
Dewan Penguji
Tanda Tangan
1. Drs. Fadil SJ, M.Ag NIP. 150 252 758
(Penguji Utama)
…………………….
2. Zaenul Mahmudi M.A NIP. 150 295 155
(Ketua penguji )
………… ………….
(Sekretaris)
…………………….
3. Drs. Suwandi M.H NIP. 150 302 232
Malang, 1 November 2007 Dekan.
Drs. H. Dahlan Tamrin. M.Ag NIP 150 216 425
vii
TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi (pemindahan bahasa Arab ke dalam tulisan bahasa Indonesia) dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai beriku:
ء ب
=’ =b
ض ط
= dh = th
ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص
=t = ts =j =h = kh =d = dz =r =z =s = sy = sh
ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ي
= dhz =‘ = gh =f =q =k =l =M =n =w =h =y
ا و ي
Vokal panjang â û Î Vokal ganda ي ّ Yy
ّوww
Vokal pendek a -َ-u ---ُ i -----ِ
َْأو
Diftong au
ْ َأوay
viii
MOTTO =çGõ3u‹ø9uρ 4 çνθç7çFò2$$sù ‘wΚ|¡•Β 9≅y_r& #’n<Î) Aøy‰Î/ ΛäΖtƒ#y‰s? #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$#ﺍ㕃r'‾≈tƒ ó=çGò6u‹ù=sù 4 ª!$# çµyϑ‾=tã $yϑŸ2 |=çFõ3tƒ βr& ë=Ï?%x. z>ù'tƒ Ÿωuρ 4 ÉΑô‰yèø9$$Î/ 7=Ï?$Ÿ2 öΝä3uΖ÷−/ ∩⊄∇⊄∪ 4 $\↔ø‹x© çµ÷ΖÏΒ ó§y‚ö7tƒ Ÿωuρ …çµ−/u‘ ©!$# È,−Gu‹ø9uρ ‘,ysø9$# ϵø‹n=tã “Ï%©!$# È≅Î=ôϑãŠø9uρ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun.” (Q.S Al-Baqarah: 282 )
ix
PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan untuk Orang-orang yang telah memberikan arti bagi hidupku. Orang-orang yang menjadikan aku mengerti arti kehidupan. Orang-orang yang selalu memberi kritik dan saran Dengan pengorbanan, kasih sayang dan ketulusannya. Kepada kedua orang tuaku yang paling berjasa dalam hidupku dan slalu menjadi motivator serta penyemangat dalam setiap langkahku untuk terus berproses menjadi Insan Kamil, Abi tersayang (H. Nurhadi “Oemar”) Ummi tersayang (Hj. Umi Khoiriyah) Kakak-kakaku yang telah menjadikan hidupku lebih bermakna dan penuh warna serta menjadikan hidup lebih hidup (Khoirun”Khoiriyah” Ni’mah, Sp sekeluarga. Masti’ah “Nurhadiana”, Spd sekeluarga. Pol.PP, Fatkhur”Oemar” Rahman, S,sos. Luluk Atul “Khoiriyah” Nuna,Spd. M. Nadzib “Oemar” Asrori, SH.) Keponakanku yang selalu mengisi hari-hari liburku dirumah (Mutia, Sulthon, Zilan, Viaya, Khuriyah dan alda auliya) Kepada guru-guruku yang telah bersusah payah mendidik dan mentransfer ilmunya untukku, semoga bermanfaat dan barakah dunia akhirat Tidak lupa pada teman-temanku senasib seperjuangan Someone yang selalu menjadi semangat dalam suka dan duka, menjadi teman dalam mengarungi dunia pendidikan di kampus tercinta UIN Malang Terima kasih atas semua ketulusan dan keihlasannya dalam memberikan kasih sayang selama ini sehingga menjadikan hidupku begitu indah dan lebih berarti, Kupersembahkan buah karya sederhana ini kepada kalian semua hanya do’a dan harapan yang terucap: “Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepadaku, sehingga aku mampu mewujudkan apa yang kalian titipkan selama ini. Dan semoga aku bisa menjadi yang terbaik bagi kalian semua” “Amien Ya Robbal Alamin”
x
KATA PENGANTAR
ِ ِْ ا ِ َْ ا ِ ِْ ِ ا Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah memberikan tauladan dalam kehidupan ini sehingga kita bisa terangkat dari jaman kejahiliyaan menuju zaman yang terang benderang penuh dengan iman dan Islam. Atas nikmat Allah SWT. yang telah diberikan, skripsi yang berjudul Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian dengan Cara “Borongan” di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar ini dapat terselesaikan oleh penulis. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, kepada yang terhormat: 1. Prof. Imam Suprayogo sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang penulis sampaikan terima kasih atas segala saran dan prasarana yang disediakan untuk kami selama kuliah di Universitas yang bapak pimpin. Semoga UIN akan semakin maju dan terus maju di bawah pimpinan Bapak 2. Drs.Dahlan Thamrin, Ibu Tutik Hamidah dan Bapak Fadil Sj. M. Ag masingmasing sebagai Dekan, Pembantu dekan I dan Pembantu Dekan II Fakultas Syari’ah. Terima kasih atas bantuan yang terkait dengan administrasi ataupun akademis.
xi
3. Drs. Suwandi, M. H. sebagai pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, motivasi dan juga dukungannya. Semoga selalu diberi kemudahan dalam menjalani kehidupan. 4. Semua Dosen Fakultas Syari’ah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. Terima kasih atas bimbingan dan do’anya selama ini. 5. Kepada Para Staf Fakultas Syari’ah yang memberikan informasi yang penulis butuhkan, mulai dari sejak penulis mengajukan proposal, hingga tuntasnya penulisan skripsi 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, (H. Nurhadi, Alm. Hj Umi Choiriyah), terima kasih atas do’a, kasih sayangnya serta segala dukungannya yang selama ini telah menjadi penguat langkahku. 7. Kakak-kakakku tercinta (Mbak Ni’mah, Mbak Atik, Mas Maman, Mbak Nuna,dan Mas Didik) terima kasih atas saran dan kritiknya yang menjadi salah satu motivasi penyelesaian penyusunan skripsi ini. 8. Sahabat sejatiku “Hilda Izzati Majid” yang selalu meluangkan waktunya untuk menemani dan membantu menyeleseikan skripsi ini. 9. Teman-teman Fakultas Syari’ah angkatan 2003 yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi, serta do’anya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sehingga bisa terseleseikan dengan baik. 10. Teman-teman kost “ Joyo Suko Zig-Zag 45” dan teman-teman kontrakan Joyo Utomo 504 F. terima kasih atas bantuan dan do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT. juga memudahkan aktivitas kalian. 11. Sahabat terbaikku Bahrul, Agus, Arif, Vulka, Anshori, Mustaqim, Nanang (engkong), Ihsan, Aan, Haris, Zen, Thorik, dan Nyawa Band Cs semoga kita
xii
selalu menjadi rahmatan lil’alâmin dimanapun dan kapanpun kita berada. Terima kasih atas kebersamaannya yang indah. 12. Sahabatku dari timnas “SYARI”AH ORANGE” (Bahrul Cordoba, Akmal horizon, Najih inazhi, Inos joker, Arif prof, Wahyu lawang, Sirojuddin dorisse, Fauzi, Faisol, Lukman klowor, Hamid, Vulka, Figoedis CS). 13. Sahabat-sahabatku dari UKM UNIOR, terimakasih do’a dan kebersamaannya. 14. Serta semua pihak yang ikut andil dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua khususnya penulis sendiri. Semoga Allah SWT akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua Amien Ya Robbal Alâmin.
Malang, 22 September 2007 Penulis
Ahmad Syaifudin 03210074
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................i HALAMAN PENGAJUAN.............................................................................ii HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................iii PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………...iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ……………………………………..v HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………vi TRANSLITERASI…………………………………………………………..vii HALAMAN MOTTO ..................…………………………………………viii HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................ix KATA PENGANTAR …………………………………………………….....x DAFTAR ISI ................................................................................................xiii ABSTRAK ...................................................................................................xvi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................1 B. Rumusan Masalah ...............................................................................6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................6 D. Kegunaan Penelitian …………………………………………………7 E. Definisi Operasional.............................................................................7 F. Sistematika Penelitian .........................................................................9 BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu .........................................................................11 B. Akad Dalam Jual-Beli .......................................................................13
xiv
1. Pengertian Akad .........................................................................13 2. Syarat dan Rukun Akad ..............................................................14 a. Syarat Akad…………………………………………………14 b. Rukun Akad…………………………………………………15 3. Pembagian dan Sifat Akad……………………………………...16 C. Tinjauan Umum Tentang Jual-Beli …………………………………18 1. Pengertian Jual-Beli …………………………………………….18 2. Syarat dan Rukun Jual-Beli …………………………………….21 a. Syarat Jual-beli………………………………………………21 b. Rukun Jual-beli……………………………………………...32 3. Landasan Hukum Jual-Beli……………………………………..35 4. Hukum dan Macam Jual-beli……………………………………36 5. Hikmah Jual-Beli………………………………………………..44 D. Tinjauan Fiqih Muamalah terhadap Jual-Beli Gharar ......................45 1. Pengertian dan Hukum Jual-Beli Gharar……………………….45 2. Macam-Macam Jual-Beli Gharar………………………………..47 BAB III: METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian………………………………………………..53 B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ……………………………………54 C. Sumber Data ......................................................................................55 D. Metode Pengumpulan Data ...............................................................56 E. Metode Pengolahan Data ..................................................................58 F. Metode Analisis Data………………………………………………..58 BAB IV : PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA
xv
A. Paparan Data 1. Gambaran Umum Obyek Penelitian .................................................60 a. Keadaan Geografis………………………………………………60 b. Keadaan Penduduk………………………………………………61 c. Keadaan Pendidikan……………………………………………..61 d. Keadaan Keagamaan…………………………………………….61 2. Akad Dan Pelaksanaan jual-beli hasil pertanian di Desa Kolomayan wonodadi Blitar…………………………..................... 63 3. Pandangan Fiqih muamlah, terhadap Akad dan pelaksanaan Jual-beli Hasil Pertanian dengan dengan Cara “Borongan”. di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar………………………….........67 B. Analisis Data 1. Analisis Akad Dan Pelaksanaan jual-beli hasil pertanian di Desa Kolomayan wonodadi Blitar………………………………………. 70 2. Analisis Akad Dan Pelaksanaan jual-beli hasil pertanian di Desa Kolomayan wonodadi Blitar, Perspektif Fiqih muamalah………... 73 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................77 B. Saran ..................................................................................................78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK Syaifudin, Ahmad. NIM: 03210074, “Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian Dengan Cara “Borongan”. Fakultas Syari’ah UIN Malang. Dosen Pembimbing: Drs. Suwandi, M.H. Kata Kunci: Fiqih Muamalah, Jual-Beli, Hasil Pertanian, Borongan. Dalam perkembangan ekonomi pada masa sekarang ini telah banyak muncul berbagai macam praktek jual beli diantaranya jual beli dengan cara borongan. Praktek jual beli dengan cara borongan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan sudah menjadi kebiasaan. Dalam masalah jual beli ini Rasulullah SAW.sudah memberikan ketetapan didalamnya dengan merujuk kepada Al-Qur’an yang telah ditentukan oleh Allah SWT.didalamnya, seperti yang difirmankan-Nya. “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ayat ini yang menjadi acuan bagi setiap muslim dalam sebuah jual beli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktek jual beli hasil pertanian dengan cara “borongan” yang terjadi di Desa Kolomayan pada masa sekarang ini apakah sudah sesuai dengan jual beli dalam fiqih Islam atau sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan dalam fiqih muamalah dan mengapa orangorang di desa Kolomayan lebih memilih jual beli dengan sistem ini. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualtatif. Metode penelitian yang dipakai untuk meneliti ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan dengan metode dokumentasi, interview dan observasi. Metode analisis data (Analitical Method) yaitu data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa dengan diberikan penilaian dengan metode deskriptif kualitatif. Dan dalam penelitian ini memakai cara berfikir Induktif. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa: praktek jual beli dengan cara “borongan” tidak sesuai dengan syarat sahnya jual beli, karena kualitas dan kuantitas barangnya belum diketahui dengan pasti dan hanya mengandalkan suatu perkiraan saja. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.”Janganlah kamu membeli ikan yang berada dalam air sesungguhnya yang demikian itu penipuan”. Cara yang dipakai dalam pelaksanaan jual-beli “borongan” sangat berpengaruh terhadap sah dan tidaknya jual beli itu, menurut ajaran agama Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kesimpulan praktek jual-beli hasil pertanian dengan cara “Borongan” di Desa Kolomayan tidak boleh secara syarat. Akan tetapi dalam perkembangannya aturan jual-beli dengan cara “borongan”ada yang memperbolehkannya asalkan tidak merugikan salah satu pihak atau lebih mementingkan unsur saling ridha, hal itu juga diperkuat dengan pendapat sebagian Ulama yang mengatakan bahwa apabila sifat-sifat dari barang tersebut bisa disebutkan atau diketahui, maka jual-beli tersebut sah atau tidak dilarang. Selain mengambil dasar itu, jual-beli dengan cara “borongan” ini juga mengacu pada unsur suka sama suka diantara kedua belah pihak. Maka bisa dikatakan bahwa jual beli hasil pertanian dengan cara “borongan” yang ada di Desa Kolomayan adalah tidak batal (sah).
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya bahwa manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya yaitu dalam bidang Muamalah, dalam hal Muamalah sendiri Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Syari’at Islam. Sesungguhnya praktek jual-beli itu telah ada lebih dahulu sebelum adanya konsepsi tentang Muamalah (ekonomi Islam), sebab usaha manusia dalam bentuk perdagangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia telah ada semenjak manusia itu ada. Baik berupa tukar menukar barang (Barter), Jual-beli maupun kegiatan Muamalah yang lain. Dan itu berkembang sesuai dengan perkembangan
1
xvii 2
budaya manusia, akhirnya timbullah pikiran-pikiran untuk menerapkan kaidahkaidah dasar tentang Muamalah (ekonomi Islam)1 Karena itulah semenjak Islam datang dibumi ini, bangsa Arab ketika itu telah mempunyai adat, norma dan kaidah-kaidah Muamalah. Adapun sikap Islam terhadap kaidah-kaidah yang telah berlaku dikalangan bangsa arab itu adalah mengembangkan dan menyempurnakan mana yang sesuai dengan syari’at Islam, dan menghapuskan yang tidak sesuai dengannya. Kemudian menggantikannya dengan kaidah-kaidah yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.2 Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia didunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan cara perdagangan (jual-beli) tertentu, sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak dengan mudah diwujudkan setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada cara yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan, itulah perdagangan dan hukum-hukum jual-beli yang dibenarkan atau yang disyari’atkan.3 Maka didalam pelaksanaan perdagangan (jual-beli) selain ada penjual, pembeli, juga harus sesuai dengan syarat rukun jual-beli, dan yang paling penting yaitu tidak adanya unsur penipuaan, jadi harus suka sama suka atau saling ridha.
1
Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis "Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah” (Solo: Ramadhani,1990) 15. 2 Ibid., 16 3 Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspekti Islam (.Surabaya: Risalah Gusti, 1996)149.
xviii 3
Anjuran untuk melaksanakan jual-beli yang baik dan benar atau harus saling suka sama suka, telah banyak disebutkan dalam Al-qur’an. Salah satunya surat An-nisa’ ayat 29: <Ú#ts? tã ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ ∩⊄∪ %&'ا...............4 öΝä3ΖÏiΒ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. 4
Jadi lafadz Tijarah yang berarti perdagangan sebenarnya memiliki padanan dengan al-ba’i karena memang lafadz tijarah adalah nama lain dari al-ba’i yang menjadi salah satu term fiqih dalam sebuah konsep pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Al-Ba’i (jual-beli) menurut terminologi adalah Tukar menukar barang atau harta dengan sejenisnya dengan cara yang baik, atau juga bisa dikatakan tukar menukar barang dengan barang atau harta dengan harta dengan cara yang khusus/tertentu (akad).5 Konsep ba’i sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian Islami sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam pelaksanaan jualbeli yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kolomayan Kec Wonodadi Kab Blitar. Kegiatan Muamalah khususnya jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di Desa kolomayan sangat bervariasi, guna untuk mendapatkan barang yang diinginkannya.
4 5
QS. al-Nisâ (4):10. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam”Hukum Fiqih Lenkap”, (Jakarta: Atthahiriyah,1976)268.
xix 4
Khususnya dalam pembahasan ini adalah jual-beli hasil pertanian, dimana mayoritas masyarakat di Desa Kolomayan dalam transaksi jual-beli hasil pertanian menggunakan jual-beli dengan cara ”Borongan”. Jual-beli Cara “Borongan” ini bermula ketika seorang pedagang atau penjual ingin mendapatkan barang yang akan dijualnya nanti, maka mereka para penjual mencari barang dagangannya itu dengan cara melakukan akad jual-beli dengan cara ”borongan”, jadi sekali akad dan sekali pengambilan saja, ini bisa dicontohkan semisal; ada pedagang membeli buah apukat milik petani, maka pedagang itu akan mengambil buah apukat yang ada dipohon semuanya sampai habis, karena menggunakan cara ”borongan”, seperti yang kita ketahui umumnya buah-buahan itu belum tentu matangnya (masaknya) secara bersamaan. Bagaimana kedudukan buah yang masih hijau (kecil) tersebut. Padahal dalam aturan Muamalahnya sudah dijelaskan bahwa jual-beli buah yang belum nampak atau masih kecil hukumnya adalah tidak sah (fasid),6 seperti sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh ’Abdullah bin ’Umar r.a:7 @= و45&
ا:ن ر ّ أ: )*+,- . ا/0 ر1*- 23 . ا45- 2.(1*AD)3 1*CDا اEF;5G H و,%B Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a.: Rasulullah Saw. Pernah bersabda, “ Jangan menjual buah kurma sebelum jelas masak (bebas dari kemungkinan busuk atau kena hama) dan jangan menjual kurma basah dan kurma kering. Kenapa Rasulullah melarang memperjual-belikan sesuatu yang belum nampak masaknya, karena hal itu bisa mengakibatkan pertengkaran diantara mereka (penjual dan pembeli).
6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1987)85. Rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)406. 7
xx 5
Pelaksanaan dari jual-beli dengan Cara ”borongan” di Desa Kolomayan
yang
lain yaitu; menjual tanaman kacang tanah yang masih belum diketahui barangnya. Kharijah bin zaid bin tsabit berkata bahwa zaid bin tsabit tidak menjual buah-buahan dari tanahnya sebelum pleiad8 muncul sehingga seseorang dapat membedakan buah yang kuning dari yang merah (matang).9 Jadi apabila pleiad muncul maka tandanya tanaman tersebut sudah memasuki umur tua atau sudah waktunya untuk dipanen. kedua masalah diatas adalah beberapa macam jual-beli dengan cara ”borongan” yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat di Desa Kolomayan, yang mana pelaksanaan dari transaksi jual-beli dengan cara ”borongan” sebenarnya masih diperdebatkan, karena adanya unsur ”spekulasi” (perkiraan saja), Jadi kebenarannya masih perlu dibuktikan. Padahal yang kita ketahui bahwa sistem jual-beli yang baik adalah barangnya bisa diketahui atau jelas, bermanfaat dan saling menguntungkan satu sama lain serta tidak adanya penipuan. Seperti Hadist Shahih Bukhari:10 :>QN RF&)3 )إذا:)لQN ,عE;5D ا/N ع4O& %ّP أ89: و%;9- .< ا9= / ّ 5ّ,9D 1@ ذآMن ر ّ أ:)*+,- . ا/0 ر%,-و .(T3 @UH “Diriwayatkan dari (Abdullah bin umar) r.a: Seseorang menemui Nabi Saw, dan berkata bahwa ia selalu dicurangi dalam pembelian. Nabi Saw, bersabda kepadanya agar pada waktu membeli (sesuatu) mengatakan,”Tidak ada penipuan”. (ia mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata cacat, rusak, tidak sesuai dengan janji sipenjual, dan sebagainya). Dalam hadist diatas Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa jual-beli yang mengandung unsur penipuan hendaknya ditinggalkan dan barang yang cacat atau rusak hendaknya dikembalikan pada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
8
“Bintang yang muncul saat fajar pada permulaan musim panas. Itu terjadi ketika cuaca di Hijaz sangat panas pada awal musim ketika buah-buahan matang. Kemunculan bintang ini adalah tanda-tanda masaknya buah kurma”. 9 Rahman I.Doi, Op., Cit., 407 10 Ibid., 397.
xxi 6
Apakah pelaksanaan jual–beli hasil pertanian dengan Cara ”borongan” di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar itu terjadi dari kebiasaan/tradisi atau memang ada dalam aturan perniagaan/strategi perdagangan Islami. Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat di Desa Kolomayan yang notabene keIslamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek perekonomian Islami yang masih diragukan kebenarannya. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian fenomena kasus di atas, maka penulis tergugah untuk mengadakan penelitian yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian Dengan Cara “Borongan” (Studi Kasus di Desa Kolomayan Kec.Wonodadi Kab.Blitar). B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas dapat diambil permasalahan tentang pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara ”borongan”. Maka untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti mengambil masalah yang terumus sebagai berikut: 1. Bagaimana Akad dan pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian dengan cara ”Borongan” di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar? 2. Bagaimana pandangan Fiqih Muamalah tentang akad dan pelaksanaan Jual 3. Beli Hasil Pertanian dengan cara ”Borongan” di Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab. Blitar? C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari masalah yang sudah tertera dalam perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
xxii 7
1. Untuk mengetahui akad dan pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara ”Borongan” di Desa Kolomayan, Kec. Wonodadi, Kab.Blitar. 2. Untuk mengetahui pandangan Fiqih Muamalah tentang akad dan pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara ”Borongan” di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar. D. Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini dapat diambil kegunaan dan manfaatnya, diantaranya adalah: 1. Secara Teoritis: a. Untuk memperoleh persetujuan dalam rangka penyusunan skripsi hal mana menjadi salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam, pada Fakultas Syari’ah Universitas Negeri Malang. b. Memberikan sumbangan akademis kepada Universitas Negeri Malang yang sifatnya penerapan ilmu yang sudah didapat dari dan di dalam perkuliahan. 2. Secara Praktis: a. Masukan bagi Institusi yang terkait langsung degan obyek yang sedang diteliti. b. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pemahaman akan obyek penelitian untuk kemudian bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya. c. Sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi hal-hal di masyarakat tentang Muamalah yang tidak sesuai dengan hukum Islam. E. Definisi Operasional Fiqih Muamalah
:Aturan-aturan (hukum) Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
xxiii 8
keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.11 Jual-Beli (Al-Bai’)
:Jual-Beli menurut pengertian lughawiyah adalah “Saling menukar (pertukaran). Dan kata Al-Bai’ (Jual) dan Asy-Syiraa (Beli) dipergunakan – biasanya – dalam pengertian yang sama. Dua kata ini masingmasing mempunyai makna dua yang satu sama lainnya bertolak belakang. Sedangkan
menurut
pengertian
syari’at
adalah
“Pertukaran harta12) atas dasar saling rela. Atau memindahkan
milik
dengan
ganti
yang
dapat
dienarkan.13 Hasil Pertanian
:Semua tanaman yang diperoleh oleh seorang petani, Diantaranya yaitu: Padi, Jagung, Semangka, Berbagai Jenis Sayuran, Kacang tangah dan sebagainya.14
Cara “Borongan”
:Jual-Beli dengan Cara “borongan” adalah jual-beli yang dilakukan dengan cara membeli semua barang tersebut dengan sekali akad, jadi barang yang dibeli tersebut diambil semua tanpa meninggalkan bekas sedikpun.15
11
Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah (bandung: CV. Pustaka Setia, 2004)15. Dimaksud harta disini;Semua harta yang memiliki dan dapat dimanfaatkan. 13 Syyid syabiq., Op. Cit, 36. 14 Hj Umi Khoiriyah Wawancara (Kolomayan, 19 mei 2007) 15 Hj Umi Khoiriyah Wawancara (Kolomayan, 19 mei 2007) 12
xxiv 9
F. Sistimatika Pembahasan Agar tersusun dengan Sistematis maka penulis membagi dalam lima bab, dan dalam tiap-tiap bab masing-masing diuraikan aspek-aspek yang berhubungan dengan pokok pembahasan, yaitu tinjauan fiqih Muamalah tentang pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan Cara “borongan’ di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar. Lebih lanjut tiap-tiap bab diperinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus dalam bentuk sub-sub, secara sistematis untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai jalan pikiran penulis, sehingga para pembaca dapat dengan mudah memahami alur dan arah dari tulisan ini. Uraian kelima bab ini merupakan suatu totalitas dimana antara bab yang satu dengan bab yang lainnya tidak dapat dipisahkan.. Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan kata kunci, Bagian ini dimaksudkan sebagai tahap pengenalan dan deskripsi permasalahan serta langkah awal yang memuat kerangka dasar teoritis yang akan dikembangkan dalam bab-bab berikutnya. Bab II Kajian Pustaka dalam bab ini terdiri dari sub-sub bab. Diantaranya adalah kajian terdahulu, Akad dalam jual-beli (pengertian, srayart, rukun dan sfatnya), tinjauan umum tentang jual-beli (pengertian, syarat dan rukun jual-beli, landasan hukumnya, serta hikmahnya), tinjauan fiqih muamalah tentang jual beli gharar (pengertian, hukum, macam/bentuk dan hikmahnya), seputar jual-beli Cara tebasan atau ‘’borongan’’. Bab ini merupakan kajian literer dari beberapa literatur yang ada, yang dimaksudkan untuk memberikan penyajian teori yang dianut dan juga berkembang dalam kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian.
xxv 10
Bab III Membahas tentang metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi tentang, paradigma penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, obyek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Dan dengan adanya metode penelitian, akan diketahui cara atau tehnik yang dipakai dalam penelitian ini. Bab IV Merupakan pembahasan secara menyeluruh dari laporan penelitian, disini penulis akan memberikan laporan hasil penelitian secara lengkap tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data dan analisis data. Bab V Penutup, dalam bab terakhir ini penulis akan melengkapi laporan penelitian ini dengan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dikembangkan berdasarkan seluruh hasil kajian. Sedangkan saran dikembangkan berdasarkan temuan dan kesimpulan, yang dimaksudkan untuk melengkapi apa yang dirasa kurang dari tulisan ini, sehingga dapat dikembangkan pasca penelitian.
xxvi
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Judul penelitian ini “Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian dengan Cara “Borongan”. Jadi untuk mengetahui lebih jelas bahwa penelitian yang akan dibahas oleh peneliti mempunyai perbedaan secara substantif dengan peneliti yang sudah melakukan penelitian terlebih dahulu tentang tema Muamalah, khususnya pada bab jual-beli, maka kiranya sangat penting untuk mengkaji hasil penelitian terdahulu. yaitu penelitian yang dilakukan: 1. Anis Wijayanti Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual-beli Air di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang”. Skripsi ini membahas tentang akad dan prakteknya pelaksanaan jual-beli air minum, dimana air adalah
11
xxvii 12
barang yang dapat dimiliki oleh semua orang tanpa harus membeli, dan yang menjadi permasalahan adalah bagaimana melihat cacat dan kurangnya dari suatu air, atau bagaimana caranya mengukur atau menimbang suatu air, juga dikawatirkan bercampur dengan barang yang tidak sah diperjual-belikan. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Praktek jual-beli air di Perusahaan Daerah Air Minum Kota Semarang menunjukkan bahwa Cara jual-belinya atas dasar ridha dan suka sama suka, di mana Perusahaan Daerah Air Minum Kota Semarang sebagai pihak penjual dan konsumen/pelanggan sebagai pihak pembeli, jadi jual-beli air di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena dalam hal Muamalah dasar jual-beli suka sama suka atau saling ridha sangat dianjurkan. Dalam penelitiannya Anis Wijayanti menggunakan metode penelitian sebagai berikut: teknik pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi, sedangkan metode dalam menganalisisnya menggunakan metode Induktif. 2. Penelitian yang dilakukan Muhammad Wildan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Dengan Sistem Lelang (Studi Kasus di Desa Jabung Kec. Talun Kab. Blitar). Dalam penelitian tersebut bisa kita ketahui bahwa jual-beli dengan sisitem lelang tidak bertentangan dengan fiqih muamalah, karena hukum dari jual-beli sistem ini adalah seperti pada dasarnya hokum jual-beli yaitu, mubah. Metode penelitian yang dipakai yaitu pendekatan kualitati yang bersifat deskriptif dan Penelitian ini memakai pola fikir induktif.
xxviii 13
B. Akad Dalam Jual-Beli 1. Pengertian Akad Menurut etimologi Akad adalah: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara umum, dari satu segi maupun dari dua segi”16. Bisa juga berarti ة4QFD( اsambungan), 4+FD اdan (janji). Sedangkan menurut terminologi Ulama’ fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus, yang mana pembagian tersebut untuk membedakan mana akad yang seharusnya ada dalam hal muamalah, biar nantinya lebih jelas. Pengertian tersebut adalah: a. Secara Umum Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dalam segi bahasa menurut Ulama’ Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu: “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak pembebasan, atau sesuatu yang bentuknya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai”.17 b. Secara Khusus Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan Ulama’ fiqih, salah satunya yaitu: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada obyeknya. Dengan demikian, ijab-qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena
16 17
Rahmat Syafi’i, Op., Cit., 43. Ibid., 44.
xxix 14
itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari’at Islam.18 2. Syarat dan Rukun Akad a. Syarat Akad Syarat secara umum adalah sesuatu yang harus kita lakukan sebelum kita melakukan sesuatu hal, jadi kalau dalam pembahasan ini syarat akad jual-beli adalah sesuatu hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan akad jual-beli tersebut (yaitu penjual dan pembeli). Menurut Ulama’ Fiqih syarat akad dibagi menjadi 4 (empat), diantaranya yaitu: 1) Syarat Terjadinya Akad yaitu: Segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. 2) Syarat Sah Akad yaitu: Segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. 3) Syarat Pelaksanaan Akad, ada dua syarat yaitu: Kepemilikan dan kekuasaan Kepemilikan adalah “Sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas sesuai dengan aturan syara’.” Adapun Kekuasaan adalah “Kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’.”. 4) Syarat kepastian hukum (luzum) Dasar dari akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib dan sebagainya. Jika luzum nampak maka akad batal atau dikembalikan.19
18 19
Ibid., 45. Ibid., 66.
xxx 15
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil (menyeluruh) meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai maslahat dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Termasuk dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli berupa hak memilih (khiyar) bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan dia bisa melihat maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut sehingga dia bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya. b . Rukun Akad Secara umum rukun adalah pokok sesuatu dan hakekatnya ia merupakan bagian yang sangat penting dari padanya meskipun berada di luarnya. Seperti ruku' dan sujud merupakan hakekat dan pokok sholat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat sholat. Dalam muamalah seperti ijab dan qobul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur Ulama’ rukun akad ada tiga; yaitu ‘aqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qud alaih) dan shighotul akad (ijab-qobul).20 Sedangkan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab da Qobul. Ijab dan qobul dinamakan Shighatul aqdi, atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Adapun orang yang mengadakan akad atau halhal yang lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.21 20
Sayyid Sabiq. Op., Cit., 50. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1999)29. 21
xxxi 16
Sedangkan Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu: 1) Orang yang akad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli 2) Sesuatu yang diakadkan (mauqud alaih), contoh: harga atau yang dihargakan 3) Shighat, yaitu Ijab dan qobul. Ijab dan qobul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Ijab dan qobul ini adalah komponen dari shighotul akad, yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau ‘aqidan ( pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan. 3. Pembagian dan sifat-sifat Akad Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung pada sudut pandangnya, Diantara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut ini:22 a. Berdasarkan Ketentuan Syara’ 1) Akad Shahih yaitu: akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. 2) Akad Tidak Shahih yaitu: akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. b. Berdasarkan Penamaannya 1) Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai dan lain-lain.
22
Rahmat Syafi’i, Op., Cit., 66.
xxxii 17
2) Akad yang belum dinamai syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sifat-sifat akad: Segala bentuk aktivitas hukum, termasuk akad itu mempunyai sifat tertentu yang bisa membedakan dengan aktivitas hukum yang lainnya, disini akad memiliki dua keadaan umum, yaitu: 1) Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz) yaitu: akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad ini dihargai syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh: seseorng berkata, “Saya membeli rumah kepadamu kemudian diambil lagi, maka berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum waktu itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.23 ` 2) Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz) Yaitu: akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akadpun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya.24 Contoh: Seseorang berkata, “Saya jual mobil ini dengan harga Rp 40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya.” Atau berkata, “Saya jual mobil ini dengan syarat saya boleh memakainya selama sebulan, sesudah itu akan saya serahka kepadamu. Pada dasarnya akad ghair munjiz itu berlangsung dengan bergantung pada urusan yang lain, jadi apabila urusan itu tidak terjadi maka akadpun tidak ada. Tapi biasanya
23 24
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Op., Cit., 93. Rahmat Syafi’i, Op., Cit., 68.
xxxiii 18
yang terjadi pada jual-beli kebanyakan adalah akad Munjiz, karena akad itu sama saja dengan akad-akad yang ditetapkan syara’ dan sudah diberi hukum-hukumnya. Dari pembahasan akad diatas perlu diketahui juga bahwa akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan). Dan ada juga akad yang habis atau berakhir dengan sebab adanya pembatalan akad dari salah satu pihak, tapi itu termasuk akad yang tida lazim, karena lazimnya akad itu adalah keterikatan kedua belah pihak dalam sebuah transaksi, maka apabila akad tersebut dibatalkan, Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus saling mengetahui. Kecuali apabila salah satunya meninggal dunia maka akad akan berakhir. Akan tetapi sebagian Ulama’ Fiqih ada yang mengatakan bahwa, apabila salah satu pihak wafat, maka akad akan diteruskan oleh ahli waris, seperti akad sewamenyewa, gadai, dan perserikatan dagang. Guna untuk menghindari kerugian dari salah satu pihak.25
C. Tinjauan Umum Tentang Jual-Beli 1. Pengertian Jual-Beli Banyak sekali pengertian jual-beli, baik secara etimologi maupun terminology, juga pengertian dari para Ulama’ Secara umum yang kita ketahui jual beli ialah menukar harta atau benda yang mempunyai nilai dengan cara tertentu, serta menggunakan lafad ijab dan qobul.
25
M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah), (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003)112.
xxxiv 19
Kalau pada saat ini jual-beli lebih identik diartikan dengan “tukar-menukar uang dengan suatu barang yang dibutuhkan” maka pertukaran tersebut menggunakan cara tertentu (Akad) yang sudah ditetapkan oleh Syari’at Islam. Jadi nilai nominal dari uang sebagai alat tukar itu sangat berharga guna untuk mendapatkan suatu barang, kalau masa dulu mungkin jual-beli diartikan dengan tukar menukar barang (Barter). Karena memang mereka belum mengenal uang sebagai alat tukar. Tapi pada masa modern sekarang ini mereka sudah mengenal yang namanya uang, jadi mereka mempergunkannya sebagai alat tukar untuk membeli atau untuk mendapatkan suatu barang. Jadi apabila mereka tidak mempunyai uang, maka mereka tidak akan mendapatkan barang yang diinginkannya. Bisa dikatakan bahwa Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya, maka dari itu antara penjual dan pembeli terikat suatu perjanjian yang harus dipenuhi satu sama lain. Ada juga yang mendefinisikan Al-Bay'(jual) secara bahasa berarti pertukaran (mubadalah); lawan katanya adalah asy-syara’ (beli). Al-Bay adalah kata jadian (mashdar) dari kata kerja ba'a, yaitu menukar barang dengan barang (mubadalah mal bi mal). Dengan ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia berarti mempertemukan atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain (muqabalah syay'inbi syay’in) atau memberi ganti dan mengambil barang yang telah diberi ganti (daf'u iwadh wa akhdu ma 'uwwidha 'anhu).26 Secara etimologi jual-beli diartikan sebagai “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).27
26 27
M. Ali Hasan, Op., Cit., 115. Rahmat Syafi’i, Op. Cit., 73.
xxxv 20
Sedangkan menurut terminologi, adalah “Pertukaran barang dengan barang (yang lain) atau pertukaran harta dengan harta (yang bermanfaat) atas dasar saling rela dengan cara yang tertentu(Akad)”. 28 Adapun
secara
terminologi
sendiri,
para
Ulama’
berbeda
dalam
mendefinisikannya, antara lain:29 a. Menurut Ulama’ Hanafiyah: .صEXOW %M< و9- *)ل3 )لW TD) د5W Artinya: “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).” b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: )ً Z;9*G *)ل3 )لWT93)QW Artinya: “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni: )ً Zّ9*G) وZى9*G *)لD)3 *)لDاTD) د5W Artinya: “Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”. Pendapat yang lain yaitu; Jual-Beli menurut pengertian lughawiyah adalah “Saling menukar (pertukaran). Dan kata Al Bai’ (Jual) dan Asy Syiraa (Beli) dipergunakan – biasanya – dalam pengertian yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lainnya bertolak belakang.30 Sedangkan menurut pengertian syari’at adalah “Pertukaran harta31, atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan atau diperbolehkan syara’. Secara umum jual-beli adalah Pertukaran barang dengan ganti barang atau dengan harga (uang) yang menggantikan barang.32 Jadi Menjual adalah 28
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam”Hukum Fiqih Lenkap”, (Jakarta: Atthahiriyah,1976)268. Rahmat Syafi’i, Op. Cit., 73-74. 30 Sayyid Sabiq, Op., Cit.,47. 31 Dimaksud harta disini;Semua harta yang memiliki dan dapat dimanfaatkan. 29
xxxvi 21
memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.33 Istilah-istilah yang berada dalam pembahasan jual-beli mungkin bisa dijelaskan seperti dibawah ini: Istilah “perundingan” adalah mengecualikan akad “qiradl”. Istilah “diperbolehkan syara” mengecualikan “riba” Istilah “bermanfaat” memasukkan pengertian “hak milik” Demikian juga istilah “harga” mengecualikan “upah” dalam akad sewamenyewa, karena akad sewa-menyewa itu tidak dapat disebut dengan nama “harga”.34 2. Syarat dan Rukun Jual-Beli Syahnya suatu perbuatan hukum menurut hukum agama Islam harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Oleh karena itu Muamalah (jual-beli) adalah suatu akad, yang dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun jual-beli, dan perlu diketahui bahwa dalam hal syarat dan rukun jual-beli, para Ulama’ berbeda pendapat. 2.1 Syarat Jual-Beli Syarat sahnya suatu jual beli ada dua unsur pokok yaitu bagi yang berakad dan (barang) yang diakadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya.Adapun syarat tersebut adalah sebagai berikut:35 32
Mahmud Muhammad Bablily, Op., Cit.,116. Azhar Syarif , “Hukum Jual-Beli,” www. azhar1010.multiply.com/reviews/item/5 - 19k, (diakses pada 19 juni 2007)t.h. 34 Syekh Al-Iman Al-‘Alim Al-‘Allamah Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Bin Qasim AsSyafi’I,”\;QD] اAN “, diterjemahkan I,ron Abu Amar, Fatkhul Qoribjilid 1 (Cet. 1;t.t.: Menara Kudus., 1982)228-229. 33
xxxvii 22
a. Bagi Yang Berakad Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa hak (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan hal ini juga didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi:36 (%M)W 23ا ض )روا ا1G 2- ^;5Dّ*) اPإ "Jual-beli itu berdasarkan kerelaan" (HR. Ibnu Majah), Adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang hak (dibenarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya. Orang yang berakad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya, anak kecil, orang gila, tapi jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika (kadangkadang sadar dan kadang-kadang gila), maka akad yang dilakukannya pada waktu sadar dinyatakan sah, dan yang dilakukan ketika gila tidah sah, begitu juga anak kecil yang sudah dapat membedakan dinyatakan valid (sah), hanya kevalidannya tergantung kepada izin walinya.37
35
Azhar Syarif, Op. Cit., t.h. Aiyub Ahmad, Fikih Lelang; Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Kiswah, 2004)22. 37 Sayyid Sabiq, Op. Cit., 51 36
xxxviii 23
Orang yang berakad memiliki penuh atas barang yang diakadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam:38 (%M)W 23ك )روا ا4,- _;D)W ^;3H :8ّ9: %;9- < ّ 9= .> ا:) ل ر7 "Janganlah kamu menjual apa-apa yang bukan milikmu”. (diriwayatkan Ibnu Majah). Maksud dari hadits itu adalah jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu. Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para Ulama’) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil.39 Karena jualbeli yang seperti itu mengandung unsur penipuan dan merugikan salah satu pihak. Jadi syarat orang yang berakad (penjual dan pembeli) bisa kita klasifikasikan seperti berikut: 1) Berakal, agar tidak terkicuh, jadi orang yang benar-benar gila dan bodoh (tidak bisa membedakan baik bagi dirinya atau bagi orang lain) jual belinya tidak sah. 2) Dengan kehendaknya sendiri (tidak ada unsur paksaan). 3) Keduanya tidak mubazir (orang yang berakad hendaknya tidak boros/pemboros, karena orang yang boros di dalam hukum dikatakan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, jadi perbuatan hukumnya di bawah pengampuan/perwaliannya). 4) Baligh, ketentuan dewasa dalam hukum Islam adalah umur 15 tahun, atau sudah bermimpi (bagi laki-laki) dan haid (bagi perempuan). 40
38
Mahmud Muhammad Bablily, Op., Cit., 160. Azhar Syarif , Op. Cit., t.h. 40 Suhrawardi K. Lubis, hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)130. 39
xxxix 24
b. Bagi (Barang) Yang Diakadi. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khamar, babi, darah, bangkaidan berhala. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw.dalam suatu hadits: 41 ()نO;aD)م )روا ا,=' وا1&`,;OD واTA;*D وا1*OD;^ ا3 م1B %DE: ور.ن ا ّإ "Sesungguhnya Allah dan Rasulullah telah mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi dan patung berhala”, (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud dari pelarangan tersebut adalah karena barang-barang itu najis dan haram. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu ketentuan barang yang dijual-belikan adalah barangnya itu suci dan bersih materinya, jadi tidah sah menjual barang yang najis, baik barangnya atau harganya. Begitu juga barang yang terkena najis dan tidak dapat disucikan maka akad jual-belinya menjadi batal. Barang yang diakadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual-beli sesuatu yang tidak diketahui kwalitas dan kwantitasnya seperti ikan dalam air, hal tersebut sesuai hadits Nabi, yaitu:42 (4*Bر )روا ا1b %PcN *)ءD< اN d*eDوا ا1AeGH 89: و%;9- .< ا ّ 9= .> ا:)ل ر7 “Rasulullah SAW, bersabda:”Janganlah kamu membeli ikan dalam air karena padanya terkandung unsur penipuan”.(HR. Ahmad). Jadi barang yang diakadi tersebut diketahui ketika terjadi akad oleh yang berakad, karena ketidaktahuan 41 42
Moh Rifa’i dkk, Terjemahan Khulasah Kifayatul Ahyar, (Semarang, 1987)184. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Kencana, 2003)198.
25xl
terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan dilarang oleh syara’, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya, karena yang demikian itu berlawanan dengan asas suka sama suka (saling ridha). Dan tidak sah juga menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan "lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian”. Ini seperi hadits Nabi SAW: 43 (89eW ر )روا1fD;^ ا3 2-)ة وXgD;^ ا3 2- 89: و%;9- .< ا ّ 9= .> ا: ر/+P “Bahwa Rasulullah Saw melarang memperjual-belikan barang dengan cara pelemparan batu (kerikil) dan jual beli dengan cara spkulasi”. (HR. Muslim). Karena ketidak jelasan barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli itu bisa merugikan salah satu pihak dan mengandung unsur penipuan. Oleh karenanya bahwa barang yang menjadi akad jual-beli harus memenuhi kriteria yang sudah ditentukan dalam syara’. Diantara syarat-syarat barang yang menjadi obyek jual-beli itu bisa kita klasifikasikan seperti berikut: 1) Barangnya bersih, artinya bahwa barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis dan benda yang diharamkan. 2) Barang yang diperjual-belikan adalah sesuatu yang bermanfaat (dapat dimanfaatkan), seperti; Gajah untuk mengangkut barang dan sebagainya. 3) Barang yang diperjual-belikan benar-benar milik orang yang melakukan transaksi jual-beli, jadi tidak boleh menjual barang orang lain atau membelanjakan uang orang lain, kecuali ada izin atau kuasa dari orang yang memilikinya.
43
Azhar Syarif, Op. Cit., t.h.
xli 26
4) Barang atau uang yang telah menjadi miliknya itu haruslah telah berada ditangannya atau dalam kekuasaannya dan dapat diserahkan sewaktu terjadi transaksi (barang itu dapat diserahkan). 5) Dapat mengetahui/diketahui barang dan harganya, mengetahui disini dapat diartikan secara lebih luas, yaitu melihat sendiri keadaan barang baik mengenai hitungan, takaran, timbangan, atau kualitasnya. Jadi barangnya diketahui secara transparan, baik kualitas maupun jumlahnya. 6) Barang yang diakadkan ada di tangan, karena barang yang belum ditangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) dilarang, sebab bisa jadi barang tersebut rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan.44 Sedangkan Ulama’fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jualbeli, pada umumnya mereka menyatakan bahwa jual-beli mempunyai empat macam syarat,yaitu syarat terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum.45 Sedangkan menurut Ulama’ Madzhab syarat jual beli ada enam puluh tujuh, dengan perincian dibawah ini: A. Menurut Ulama’ Hanafiyah Diantara perbedaan syarat dalam jual-beli yang terjadi dikalangan Ulama’ antara lain yaitu: seperti persyaratan yang ditetapkan oleh Ulama’ Hanafiyah, bahwa yang berkaitan dengan syarat jual-beli ada 23, diantaranya yaitu:
44 45
Suhrawardi K. Lubis, Op., Cit., 135. Rahmat Syafi’i, Op. Cit., 76.
xlii 27
a. Syarat terjadinya akad (in’iqad) adalah : Syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’.antara lain: (1). Syarat Aqid (orang yang akad), (2). syarat dalam akad, (3). Tempat Akad, (4). Ma’qud ‘Alaih (objek akad). b. Syarat pelaksanaan akad (nafadz) diantaranya adalah: (1)Benda dimiliki Akid atau berkuasa untuk akad, (2), pada benda tidak terdapat milik orang lain. c. Syarat sahnya akad terbagi dua, yaitu: (1). Syarat umum adalah: Syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual-beli yang telah ditetapkan syara’. (2). Syarat khusus adalah: syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu. d. Syarat lujum (kemestian), syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual-beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan batalnya akad.46 Menurut Ulama’ Hanafiyah jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, maka akad tersebut batal, jika tidak memenuhi syarat sah akad tersebut fasid, sedangkan apabila tidak memenuhi akad nafadz, akad tersebut mauquf cenderung boleh. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.47 Jadi kepastian suatu akad sangat ditekankan, karena syarat lujum itu harus terlepas dari adanya khiyar yang bisa membatalkan akad. B. Madzhab Maliki Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ulama’ Malikiyah, berbeda dengan Ulama’ sebelumnya, tapi tujuanya tetap sama yaitu menuju muamalah yang disyari’atkan.
46 47
Ibid., 80. Ibid., 76.
xliii 28
Syarat yang dimukakan Ulama’ Malikiyah meliputi: Yang berkenaan dengan aqid (orang yang akad), shighat, dan ma’qud alaih (barang).48 Jadi shighat menurut Ulama’ Malikiyah termasuk juga syarat jual-beli, sedangkan menurut Ulama’ Hanafiyah shighat (Ijab dan Qobul) adalah satu-satunya rukun jual-beli, Ulama’ Malikiyah juga menerima khiyar itu bisa dilihat dimana didalamnya tidak mencantumkan syarat lujum. Diantara syarat jual-beli sekaligus hal-hal yang harus dipenuhi dalam syarat itu, menurut Ulama’ Malikiyah ada 11, yaitu: a. Syarat Aqid (penjual dan pembeli) meliputi empat hal, yitu:: a) Pembeli dan penjual sudah tamyiz b) Keduanya adalah pemilik barang c) Keduanya berkehendak sendiri, maka jual-belinya orang terpaksa batal d) Penjual hendaknya pintar, sadar dan dewasa.49 Dengan demikian yang melakukan akad jual-beli haruslah seorang yang sudah baligh, berakal (bisa membedakan yang benar/baik dengan yang batil) dan sepenuhnya memiliki atau menjadi wakil atas barang tersebut, sekaligus tidak adanya unsur keterpaksaan atau harus dengan kemauannya sendiri, maka orang yang terpaksa atau dipaksa jual-belinya tidak sah. Menurut Ulama’ Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu juga dipandang sahih jual-beli orang yang buta.50
48
Wiroso, Jual-beli Murabahah, (Yogyakarta: UII Press, 2005)29. Ibid., 30 50 Rahmat Syafi’I, Op. Cit., 81 49
xliv 29
b. Syarat dalam shighat, meliput dua hal, yaitui: a) Tempat akad satu majelis, jadi ijab dan qobul dalam satu majelis b) Pengucapan ijab dan qobul tidak terpisah/tidak ada pemisah. c. Syarat harga dan barang yang dihargai, meliputi lima hal: a) Bukan barang yang dilarang syara’. b) Barangnya harus suci c) Barang tersebut bisa diambil manfaatnya oleh syara’ d) Diketahui oleh kedua orang yang berakad dan, e) Barangnya bisa diserah terimakan. C. Madzhab Syafi’i Syarat yang ditentukan oleh Ulama’ Syafi’iyah tidak jauh beda dengan Ulma’ Malikiyah, tapi hal-hal yang harus ada dalam syarat tersebut dijelaskan lebih rinci lagi. Ulama’ Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan Aqid, Shigat, dan Ma’qud alaih. Persyaratan tersebut adalah:51 a. Syarat Aqid, meliputi empat hal, yaitu: a) Faham, dewasa, sadar, yaitu baligh, berakal, baik agamanya dan hartanya b) Tidak dipaksa atau tanpa hak. c) Islam, dan d) Pembeli bukan musuh atau bukan orang kafir yang diperangi atau memerangi. 51
Wiroso, Op., Cit., 30.
xlv 30
b. Syarat Shighat, terdiri dari tiga belas macam, yaitu: a) Berhadap-hadapan atau berbentuk pembicaraan yang jelas b) Ditujukan pada seluruh badan yang akad, jadi tidak sah mengatakan”Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu” c) Qobul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab, jadi orang yang mengucapkan qobul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orng yang mengucapkan ijab d) Harus menyebutkan barang atau harga e) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud) f) Pengucapan ijab dan qobul harus sempurna g) Ijab dan qobul tidak terpisah, artinya keduanya tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolokan dari salah satu pihak h) Antara ijab dan qobul tidak dipotong oleh pembicaraan lain yang keluar dari akad, meskipun sebentar, karena pembicaraan yang sebentar itu bisa saja merusak akad (disitu terdapat perasaan berpaling dari qobul) i) Orang yang mengucapkan ijab tidak boleh merubah ucapannya sebelum pihak yang lain menerimanya, seperti perkataan “saya jual lima ribu, kemudian berkata lagi,”saya menjualnya dengan sepuluh ribu, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada qobul j) Ijab dan qobul secara lafadz maupun makna haruslah cocok dan serasi (bersesuaian antara ijab dan qobul secara sempurna)
xlvi 31
k) Tidak menta’liq (menggantungkan jual-beli) dengan sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh akad. l) Akadnya tidak dibatasi dengan dengan ukuran waktu tertentu, karena akad jual-beli menuntut waktu selama-lamanya. c. Syarat Ma’qud alaih (barang yang diakadkan) meliputi lima hal, yaitu: a) Barangnya harus suci. b) Barang itu dapat diambil manfaatnya menurut ketentuan syara’ c) Barangnya dapat diserahkan d) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain e) Barangnya jelas dan dapat diketahui oleh orang yang berakad, baik zat, sifat maupun ukurannya. D. Madzhab Hambali Yang terakhir yaitu pendapat dari Ulama’ Hanabilah yang tidak jauh berbeda dari pendapat Ulama’-ulama’ sebelumnya. Para Ulama’ hanabilah menetapkan 11 syarat dalam jual-beli, yang meliputi syarat bagi yang berakad (Aqid), Shighat, dan barang yang diakadkan (Ma’qud alaih). 52 a. Syarat aqid, meliputi dua hal, yaitu: a) Dewasa, aqid harus dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual-beli barang-barang yang sepele atau telah mendapatkan izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan
52
Rahmat Syafi’i, Op., Cit., 85.
xlvii 32
b) Adanya kerelaan, masing-masing aqid harus saling ridha. b. Syarat shighat, ada tiga macam, yaitu: a) Harus satu majelis/berada ditempat yang sama dalam ijab dan qobul b) Antara ijab dan qobul tidak ada selingan (pemisah) c) Akad tidak ditentukan waktunya dan tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad. c. Syarat ma’qud alaih (barang yang diakadkan) terdiri dari enam hal, yaitu: a) Harus berupa harta, yaitu barang yang bermanfaat menurut syara’ b) Barangnya milik penjual secara sempurna c) Barang yang dijual dapat diserahkan sewaktu akad d) Barangnya dapat diketahui secara nyata oleh penjual dan pembeli e) Harga dapat diketahui oleh kedua pihak yang berakad sewaktu akad. f) Barannya terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah, Barang, harga, dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti jual beli mushaf, dan jual-beli Riba.53 2.2 Rukun Jual-Beli Rukun jual-beli menurut madzhab Hanafi adalah ijab dan qobul yang menunjukkan adanya pertukaran atau kegiatan saling memberi yang menempati kedudukan ijab dan qobul itu. Rukun ini dengan ungkapan lain merupakan pekerjaan
53
Wiroso. Op, Cit., 36.
xlviii 33
yang menunjukkan keridhaan dengan adanya pertukaran dua harta milik, baik berupa perkataan atau perbuatan.54 Menurut jumhur Ulama’ ada empat rukun dalam jual-beli, yaitu: Orang yang menjual, yang membeli, shighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan. Keempat Rukun ini mereka sepakati dalam setiap jenis akad. Rukun jual-beli menurut jumhur Ulama’, selain madzhab Hanafi, ada 3 atau 4 yaitu: Orang yang berakad (penjual dan pembeli), yang diakadkan (harga dan barang), Shighat (ijab dan qobul), Ada nilai tukar pengganti barang.55 Sedangkan Madzhab Hanafi menyatakan bahwa, orang yang berakad, barang yang diakadkan dan nilai tukar adalah termasuk syarat jualbeli, bukan rukun, menurut madzhab Hanafi rukun jual-beli yang paling dasar adalah ijab dan qobul, serta unsur kerelaan antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli).56 Jadi secara garis besar rukun dari jual-beli ada tiga, yang mana masing-masing dari ketiga rukun tersebut mempunyai dua komponen,57 dan dari komponen tersebut mempunyai syarat-syarat tertentu, diantaranya yaitu: a. Al ‘aqidani terdiri dari penjual dan pembeli Kedua belah pihak yang melakukan akad harus memenuhi syarat, antara lain: a) Berakal, orang gila dan dungu tidak sah melakukan jual-beli b) Dengan kehendak sendiri, tidak ada paksaan
54
Rahmat Syafi’i, Op. Cit.,76. Wiroso,,Op., Cit., 16. 56 M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah), (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003)118. 57 Aiyub Ahmad, Op., Cit., 21-26 55
xlix 34
c) Keadaan tidak dibawah pengampunan, karena harta yang ada dibawah pengampunan itu ditangan walinya. d) Baligh (dewasa). b. Ma’qud ‘alaih terdiri dari barang dan harga Ma’qud ‘alaih harus memenuhi syarat: a) Barangnya suci b) Bermanfaat c) Milik sendiri d) Dapat diserah terimakan ditempat e) Diketahui barang dan harganya. c. Shighat terdiri dari ijab dan qobul Shighat adalah alat untuk mengungkapkan keinginan dari pihak pembeli dan pihak penjual. Alat tersebut bisa berbentuk ungkapan lisan, tulisan, atau yang lainnya. Ungkapan dari pihak pertama disebut “ijab”, dan dari pihak kedua disebut “qobul”.58 Agar Shighat (ijab dan qobul) dapat dipandang sah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: a) Bersambung ijab dan qobul, ijab baru dianggap bersambung, dengan ucapan atau ungkapan qobul apabila: pertama, penyerah (mujib) tidak menarik ijabnya ketika qobul dilaksanakan. Kedua, antara ijab dan qobul tidak
58
Ibid., 24.
35 l
diselangi oleh hal-hal yang tidak menunjukkkan ijab harus batal. Ketiga, kedua belah pihak saling mengetahui apa yang diungkapkan oleh pihak lain. Keempat, akad itu dilakukan dalam satu majelis. b) Adanya keserasian antara ijab dan qobul. c) Ijab dan qobul harus dengan sengaja dan pasti d) Ijab dan qobul keluar dari orang yang cakap e) Ijab dan qobul tidak bersifat sementara. Shighat jika dilihat dari alat yang dipakai dapat dibagi kepada lima macam, yaitu: Perkataan, Tulisan, Utusan, Isyarat dan Perbuatan. 3. Landasan Hukum Jual-Beli Jual-beli sebagai sarana tolong-menolong: antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam, yaitu:59 Landasan Qur’aninya: ï∩⊄∠∈∪ (….. $# (#4θt/Ìh9$# tΠ§ymuρ yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨≅ymr&uρ…… “Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) ∩⊄∇⊄∪… ΟçF÷ètƒ$t6s? #sŒÎ) ,#ÿρ߉Îγô©r&uρ …… “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli” (QS. Al-Baqarah:282) ∩⊄∪ öΝä3ΖÏiΒ <Ú#ts? tã ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” 59
M. Ali Hasan, Op., Cit., 115-117
36li
(QS. An-Nisa’:29) Landasan Sunnahnya, antara lain: .و ٍر15W ^ٍ ;3 > وآ4;3 >M1D*> ا- :)لQN ;\؟j\ أeZDي ا ّ ا: 89: و%;9- .< ا9= / ّ ّ,D> اh: (^Nا1D),3)+-)N1,- 8)آgD)+gg:`ارو5D))رواه Artinya: “ Nabi Muhammad SAW. Ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, “ Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’).60
Maksud mabrur dalam hadits diatas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain. (%M)W 23< واQ+;5Dض )روا ا ٍ ا1G 2- ^;5Dّ*) اPوا Artinya: “Jual-beli harus dipastikan saling meridhai.” (HR. Baihaki dan Ibnu Majjah).61 Landasan Ijma’nya:62 Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Ummat juga sepakat bahwa jual-beli itu sudah berlaku (dibenarkan) sejak zamannya Rasulullah SAW, hingga hari ini.63 4. Hukum dan Macam Jual-Beli 4.1 Hukum Jual-Beli Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik dalam urusan ibadah maupun Muamalah mempunyai landasan hukumnya, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Demikian halnya dengan perjanjian jual-beli merupakan akad dari sejumlah akad yang diatur oleh agama. Jika dilihat dari kitab-kitab fikih akan ditemukan 60
Ramat Syafi’i, Op., Cit., 75. Ibid., 75 62 Ijma’ adalah”ketetapan” atau “Persesuaian faham segala mujtahidin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Terhadap sesuatu hukum. 63 Sayyid Sabiq, Op. Cit., 48. 61
37lii
hukum yang terdapat dalam perjanjian jual-beli, yaitu mubah, wajib, sunat, makruh dan haram.64 a. Mubah Mubah adalah hukum asal dari perjanjian jual-beli, hal ini sesuai dengan frman Allah SWT. ï∩⊄∠∈∪ ( «!$# 4’n<Î) (#4θt/Ìh9$# tΠ§ymuρ yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨≅ymr&uρ “Dan Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”65 (QS. Al-Baqarah: 275) Pada dasarnya hukum jual-beli adalah boleh (mubah) sesuai dengan ayat diatas dan yang diharamkan dalam muamalah adalah apabila jual-belinya tersebut mengandung unsur riba, karena riba itu bisa merugikan salah satu pihak dan dilarang oleh agama. b. Wajib Hukum jual-beli menjadi wajib apabila dalam keadaan terpaksa karena melarat atau ketiadaan makanan sehingga jika barang tersebut tidak dijual dapat mengakibatkan masyarakat luas menderita kelaparan.66 Jual beli yang seperti ini biasanya terjadi ketika ada peperangan yang lama atau terjadi embargo ekonomi (pemberhentian pengiriman bantuan) oleh satu Negara terhadap Negara lain, maka para pedagang tidak diperbolehkan menyimpan barangbarang kebutuhan masyarakat atau bahan makanan yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Karena selain merugikan rakyat juga bisa mengacaukan ekonomi rakyat 64
Aiyub Ahmad, Op., Cit., 13-16. QS., Al-Baqarah (1):275. 66 Aiyub Ahmad, Loc., Cit 65
liii 38
Jadi barang-barang yang disimpan oleh para pedagang tersebut wajib dikeluarkan sesuai dengan harga pasar yang ada. Atau seperti kasus seseorang mempunyai utang, dan dia Cuma mempunyai barang untuk melunasi utangnya, maka bagi dia hukumnya wajib menjual-belikan barang tersebut. c. Sunnah (mandub) Jika melaksanakan jual-beli dengan keluarga dekat atau sahabat-sahabatnya, maka hukumnya sunnah. Karena dalam Islam dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesama saudaranya, temanya, dan kaum kerabat yang lainnya.67 Jadi hukum Sunnah(mandub) ini hanya berlaku apabila jual beli tersebut dilakukan dengan keluarganya sendiri atau dengan sahabat terdekatnya, karena Islam lebih mengutamakan hal itu, agar tetap terjalinnya tali persaudaran dan kekerabatan yang baik, apabila mereka salah satu keluarga/sahabat tidak membutuhkan barang tersebut maka tidak boleh dipaksa. Sunnah disitu biasanya terjadi, karena dengan kemauannya sendiri. Artinya dari pada barang tersebut menjadi milik orang lain maka dijuallah pada keluarga/sahabat terdekat. d. Makruh Makruh melaksanakan sesuatu perjanjian yang akan digunakan untuk melanggar ketentuan syara’ seperti menjual anggur kepada sesesorang yang diduga akan dibuatnya menjadi minuman khamar.68
67 68
Aiyub Ahmad, Loc., Cit Aiyub Ahmad, Loc., Cit
liv 39
Ketentuan makruh disini, karena yang menjadi obyek jual beli dikhawatirkan akan merugikan orang lain atau dalam penggunaan barang yang di jual-belikan dikhawatirkan akan digunakan kepada hal-hal yang bisa membahayakan orang dan terdapat unsur yang dilarang oleh syara’. Seperti pada saat ini yang semakin marak adalah menjual rokok, karena padanya terdapat bahaya yang dapat mengancam kehidupan dan menjurus kepada pemborosan, maka sebenarnya jual-beli rokok itu hukumnya makruh. Jadi pada dasarnya makruh disini yaitu memperjual-belikan sesuatu dalam penggunaannya tidak dibenarkan oleh syari’at Islam. e. Haram Hukum dalam bermuamalah itu dapat berubah menjadi haram apabila benda yang menjadi objeknya (barang yang diakadi) itu adalah sesuatu yang sudah diharamakan oleh syara’, seperti; khamr, bangkai, daging babi dan sebagainya. Jadi apa-apa yang dilarang oleh syara’, maka jual-belinya tidak sah baik yang dilarang itu barangnya atau harganya. Karena jual beli yang baik adalah yang sesuai dengan syari;at Islam. Yaitu dengan menjalankan syarat, rukun dan mementingkan kesejahteraan umum. Sedangkan yang dimaksud dilarang barangnya dan harganya adalah apabila barang yang dijual-belikan adalah barang yang pada dasarnya sudah dilarang oleh agama, seperti jual-beli bangkai, khamar dan sebagainya maka harganya juga ikut terlarang, kalau barangnya tidak dilarang tapi harganya dilarang, seperti harga dari suatu barang dijual tiga kali lipat, bahkan lebih dari harga pasarnya, maka jual-belinya menjadi tidah sah.
40lv
4.2 Macam-Macam Jual-Beli Jumhur Ulama’ membagi jual-beli menjadi dua macam, yaitu jual-beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual-beli yang dikategorikan tidak sah. Jual-beli sahih adalah Jual beli yang memenuhi ketentuanrt syara’, baik rukun maupun syaratnya. Sedangkan jual-beli tidak sah adalah jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli menjadi rusak (fasad) atau batal. Adapun menurut Ulama’ Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syari’at. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal.69 Dengan kata lain ada akad yang batal saja dan juga ada akad yang rusak saja tanpa harus batal. Maka dari itu Ulama’ Hanafiyah membagi menjadi tiga macam, yaitu: jual-beli sah (sahih), batal dan rusak (fasid).70 Jual-beli yang sahih adalah apabila jual-beli itu disyari’atkan memenuhi ketentuan rukun dan syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar lagi, maka jual beli tersebut sahih dan mengikat kedua belah pihak. Jual-beli yang batal (batil) adalah apabila jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual-beli pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka jual-beli itu batil. Seperti jual beli yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila.
69 70
Rahmat Syafi’i., Op. Cit., 91-92. M. Ali Hasan, Op., Cit.,128-138
lvi 41
Jual-beli rusak (fasid) adalah jual-beli yang sesuai dengan ketentuan syari’at pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syari’at pada sifatnya, seperti jual-beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan. Adapun dalam masalah ibadah, Ulama’ Hanafiyah sepakat dengan jumhur Ulama’ bahwa batal dan fasad adalah sama. Dari ketiga macam jual-beli tersebut, jual-beli batil dan rusak (fasid) masih banyak diperselisihkan dikalangan Ulama’ madzhab bahkan ada juga yang dilarang oleh Islam secara mutlak. Berkenaan dengan jual-beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juaili meringkasnya sebagai berikut:71 1. Terlarang sebab ahliah (ahli akad) Ulama’ telah sepakat bahwa jual-beli yang dikategorikan sahih adalah apabila dilakukan oleh orang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Jadi mereka yang tidak dianggap sah jual belinya yaitu: a. Jual beli orang gila, Ulama’ sepakat tidak sah b.Jual-beli anak kecil, Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa jual-beli anak yang belum baligh, tidak sah. Karena tidak ada ahliah. Sedangkan menurut Ulama’malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah anak kecil dianggap sah bila mendapatkan izin dari walinya. c. Jual-beli orang buta, Ulama’ Syafi’iyah menganggap tidak sah dan menurut Jumhur Ulama’ dikategorikan jual-beli sahih, bila sifat dari barangnya disebutkan.
71
Rahmat Syafi’i., Op. Cit., 93-102.
lvii 42
d.Jual-beli terpaksa, tidak atas kemauan sendiri. e. Jual-beli fudhul (jual-beli milik orang tanpa seizin pemiliknya). Menurut Ulama’ Hafiyah dan Malikiyah, jual-belinya ditangguhkan sampai dapat izin pemiliknya. Sedangkan menurut Ulama’ Hanabilah dan Syafi’iyah tidak sah. f. Jual-beli Malja’ (jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni menghindar dari perbuatan zhalim). Jual-beli tersebut fasid menurut Ulama’Hanafiyah dan batal menurut Ulama’ hanabilah.72 2. Terlarang sebab shighat Ulama’ Fiqih sepakat atas sahnya jual-beli yang didasarkan pada keridhaan diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab dan qobul;berada disatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah. Jual-beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual-beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para Ulama’ adalah sebagai berikut: a. Jual-beli Mu’athah (jual-beli yang disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab-qobul). Jumhur Ulama’ menyatakan sahih apabila ada ijab dari salah satunya. b.Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad, sebab tidak memenuhi syarat terjadinya akad. c. Jual-beli Munjiz (jual-beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang).73
72
Ibid., 95.
lviii 43
3. Terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan) Secara umum ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut dengan barang jualan dan harga. Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual-beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’. Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian Ulama’, tetapi diperselisihkan oleh Ulama’ lain. Diantaranya yaitu: a. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. b.Jual-beli barang yang najis dan terkena najis c. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul) d.Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang belum kelihatan matangnya e. Jual-beli barang yang tidak dapat dilihat (ghaib), dan jual-beli sesuatu sebelum dipegang.74 4. Terlarang sebab syara’ Diantara jual-beli ini yang masih diperselisihkan sebagian Ulama’, antara lain: a. Jual-beli Riba b.Jual beli anggur untuk dijadikan khamr c. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain. d.Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang dijalan. 73 74
Aiyub Ahmad, Op., Cit., 45. Rahmat Syafi’i, Op., Cit., 99.
44lix
e. Jual-beli memakai syarat f. Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan. 75 Yang menyebabkan perselisihan disitu adalah karena mereka para Ulama’ Madzhab ada yang membedakan antara pengertian batal dan fasad (rusak), dan ada juga yang menyatakan bahwa batal dan fasad itu sama. Maka dari itu para ulama madzhab ada yang melarang secara mutlak, juga ada yang masih membolehkan tapi harus memenuhi beberapa syarat. Sedangkan masalah yang terakhir kenapa jual beli itu dilarang menurut Wahbah Al-Juaili adalah jual beli yang terlarang sebab syara’, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah disyari’atkan oleh agama. Ketidak sesuaiannya bisa kita lihat dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat dari barang ataupun harga dari pelaksanaan jual-beli tersebut. 5. Hikmah Jual-Beli Setiap hukum yang diatur oleh Allah SWT. Dan Rasul-Nya mempunyai rahasiarahasia tersendiri. Rahasia itu dapat disebut dengan hikmah, yang adakalanya dianalisis oleh manusia; sebaliknya ada ketentuan syari’at yang tidak dapat dikaji hikmahnya secara rasional. Demikian pula halya hikmah yang terkandung dalam pengaturan dan di-syari’atkan dalam transaksi atau perjanjian jual-beli. Diantara hikmah-hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan jual-beli adalah:76 o Menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya, mencegah manusia dari perbuatan saling menguasai dan eksploitas (memakan harta sesaa dengan cara yang batil)
75 76
Ali Hasan, Op., Cit., 131. Amir Syarifuddin, Op., Cit., 194.
45lx
o Dapat memenuhi kebutuhan karena sesungguhnya manusia itu membutuhkan apa yang dimiliki oleh kelompok lain/kawannya. o Dapat memeperoleh harta secara halal o Untuk melapangkan kehidupan manusia o Sebagai wujud interaksi sosial antara penjual dan pembeli, akibatnya timbullah hak dan kewajiban secara timbal balik. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan dan hikmah jual-beli bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan hidup manusia saja; tetapi mengandung nilai-nilai ubudiyah dan duniawiyah.77
D. Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Jual-Beli Gharar a. Pengertian dan Hukum Jual-Beli Gharar Secara bahasa, gharar berarti: Hal yang tidak diketahui bahaya tertentu atau jualbeli barang yang mengandung kesamaran. Menurut terminologi atau istilah fiqihnya, gharar diartikan oleh para Ulama’ ahli fiqih seputar hal ketidaktahuan terhadap akibat satu perkara/transaksi,atau ketidakjelasan antara baik dan buruknya atau jual beli yang mengandung kesamaran.78 Dasar dari dilarangnya jula-beli gharar adalah hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:79 (89eW ر )روا1fD;^ ا3 2-)ةوXgD;^ ا3 2- 89: و%;9- .< ا9: .> ا:< ر+P “Nabi Muhammad SAW. Melarang jual beli yang curang dan jual-beli gharar”.
77 Aiyub Ahmad. Op., Cit., 21. Imam az-zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Mizan Media Utama, 1997) 457. 79 Amir Syarifuddin, Op., Cit., 201. 78
46lxi
Alasan tidak diperbolehkannya adalah karena tidak adanya kepastian dalam obyek, baik barang atau uang ataupun caranya sendiri. Karena memang sepertinya larangan dalam hal ini langsung menyentuh essensi jual-belinya, maka disamping hukumnya haram jual-beli tersebut tidaklah sah. Jual-beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur spekulasi, artinya bahwa barang atau ma’qud ‘alaihnya masih dipertanyakan (sama-samar),jadi ketidak jelasan barang, harga dan pelaksanaannya itu dikawatirkan nantinya akan menuju kepada suatu penipuan atau penghianatan dari salah satu pihak. Bisa dikatakan bahwa jual-beli tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun dari ma’qud ‘alaih. Larangan terhadap jual beli yang mengandung unsur gharar alias menjual kucing dalam karung merupakan salah satu dasar syariat yang agung. Nabi melarang jual beli dengan sistem melem-par kerikil, jual beli yang mengandung kamuflase (penyamaran/samar-samar), jual-beli barang yang tida ada dan tidak jelas, jual-beli munabadah,80 jual-beli mulasamah,81 jual beli dengan cara melempar batu,82 dan jual beli yang akadnya bisa menimbulkan percekcokan. 83 Jadi bentuk pelarangan tersebut adalah menunjukkan keharaman secara tegas jelas. Hikmah Dilarangnya Jual Beli Gharar Hikmah dilarangnya jual beli kamuflatif atau yang mengandung unsur ketidakpastian karena mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi telah memperingatkan hal tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau belum tumbuh: "Bagaimana, kalau Allah tidak 80
Jual-beli dengan melempar batu, barang yang kena batu itulah yang harus dibeli. Jual-beli barang dengan tidak dilihat, hanya dengan diraba saja. 82 Jual-beli tanah dengan luasnya sejauh lemparan batu. 83 Mahmud Muhammad Banlilby, Op., Cit., 159. 81
lxii 47
mengizinkan buah itu untuk tum-buh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya”.84 Dan bukan hanya buah yang belum layak untuk dikomsumsi, tetapi semua jual beli yang mengandung unsur kesamaran, baik barang, harga dan pelaksanaannya harus ditinggalkan, karena bisa merugikan salah satu pihak. Dan jual-beli ini bisa menyebabkan percekcokan di antara manusia, atau tidak mampu menunaikannya, disamping sebagai lahan timbulnya permusuhan diantara mereka, juga menyebabkan rusaknya ekonomi Islam yang sudah disyari’atkan. b. Macam-Macam Jual-Beli Gharar Macam-macam gharar ditinjau dari hukum keharaman dan kehalalannya, jual beli gharar terbagi menjadi tiga: Bila kuantitasnya banyak, hukumnya dilarang berdasar-kan ijma'. Seperti menjual ikan yang masih dalam air dan burung yang masih di udara. Bila jumlahnya sedikit, hukumnya dibolehkan menurut ijma'. Seperti pondasi rumah (dalam transaksi jual beli rumah), isi bagian dalam pakaian, dan sejenisnya. Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya masih diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedi-kitnya kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan.85 Bentuk-bentuk Jual Beli Gharar Ditinjau dari isi kandungannya, jual beli gharar ini juga terbagi menjadi tiga: Pertama: Barang Transaksi yang Tidak Ada dan Tidak Diyakini Bisa Didapatkan. Seperti jual beli tahunan, yakni menjual buah-buahan dalam perjanjian selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum
84
Rahman I.Doi, Op., Cit., 407. AlSofawah,OR.ID,“NULL,”http://www.alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=71&idjudul=67 - 21k - Cached - More from this site, (diakses pada 1 Agustus 2007), t.h. 85
lxiii 48
tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi). Nabi SAW. telah melarang jual beli dengan sistem tahunan atau juga dengan sistem Ijon. Contoh lain adalah jual beli hablul habalah anak dalam kandungan binatang, malaqih (hasil cangkokan tanaman), madha-min (sebagian Ulama’ menyatakan ketiganya sama artinya) dan sejenisnya. Jual beli hablul habalah adalah ungkapan dari menjual hasil produksi yang masih belum jelas. Itu termasuk jual beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak binatang yang masih dalam kandungan induknya. Larangan tersebut sesuai hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar;86 Mّ1D آ)ن اTّ;9) هoD أه> ا%F& )5A& وآ)نT95gD> ا5B ^;3 2- <+P .(89eW) رى وO5D )روا ا.)+,p3
86
Mahmud Muhammad Banlilby, Op., Cit.,163.
lxiv 49
berbagai faktor yang dapat menjeru-muskan umat ini kedalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual beli tersebut.87 Kedua: Barangnya tidak dapat diserah terimakan Seperti Ikan yang ada dalam air dan burung yang terbang dilangit, dan sebagainya. Bentuk jual ini ada yang dipastikan haram ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan. Karena sangat dibutuhkannya pengenalan terhadap hukum bentuk jual beli gharar yang terakhir ini, karena kaitannya yang erat dengan pengembangan sistem perbankan. Ketiga:Menjual Barang yang Tidak Diketahui. Bisa jadi objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda”. Bisa juga sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual: Saya jual kepada Anda seluruh isi rumah saya, dan sejenisnya. Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui.seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,”. Atau sesuatu yang tidak diketahui dan tidak ada kriteria dan ketentuan apa-apa, seperti penjualan barang secara “borongan” baik dengan jumlah tertentu atau juga dengan jumlah yang tidak diketahui. Namun sebagian Ulama’ membedakan antara gharar dengan hal yang tidak diketahui. Mereka beranggapan bahwa majhul artinya yang diketahui kapan bisa diperoleh,
87
Baiturrahmah,”Jual-beli yang dibolehkan dan dilarang,” http://www.booksreview.blogsome.com/2006/07/28/4/ - 23k - Hasil Tambahan - Tembolok - Laman sejenis, (diakses pada tanggal 1 Agustus 2007), t.h.
lxv 50
tetapi tidak diketahui wujud kriterianya. Adapun jual beli gharar adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui kapan diperolehnya.88 C. Jual-Beli Dengan Cara “Borongan” (Tebasan). Jual-beli dengan cara “borongan” sekarang ini lebih sering disebut dengan nama “Tebasan”. Yang mana pengertiannya sama saja, yaitu jual-beli yang dilakukan dengan cara lansung mengambil barang yang dibelinya dengan langsung mengambil keseluruhan dari barang tersebut. Hampir semua petani di setiap daerah sekarang ini menjual hasil pertaniannya dengan sistem tebasan, karena menurut mereka sistem tebasan lebih mudah dan keuntungannya lebih banyak dari pada sitem kiloan. Padahal belum tentu semua jenis tebasan itu diperbolehkan dalam Islam. Mengingat adanya unsur spekulasi dari sistem tebasan itu.89 Beberapa daerah yang sudah mengenal dengan sistem tebasan yaitu Pekuncen, Brebes, Purwokerto, dan lain sebagaiya. Menurut petani sistem ini mulai dikenal di daerahnya awal tahun 1980 an. Secara perlahan hampir seluruh petani yang memiliki lahan diatas 0,5 ha menebaskan padinya. Orang pertama mengenalkan sistem ini yaitu orang Bumiayu atau Brebes. ada kemungkinan cara tersebut mereka peroleh ketika transaksi sayuran. Ketika sayuran di Brebes mulai berkurang, mereka merambah ke daerah tetangganya yaitu Banyumas. Kebetulan untuk sayuran di daerah kaki pegunungan Slamet tidak banyak, yang besar adalah tanaman padi. Sehingga orang Bumiayu di Banyumas menebas padi.90
88
Ibid., th. IN: PR, “Untuk Menghindari Fluktuasi Harga Gabah”, http://www. apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.5/8.7.1) id IAA25846 for reg Indonesia@conf igc. Apc. org; Fri, 21 Feb 1997 08:55:40 -0500 (EST)=16, (Diakses pada 3 Agustus 2007), t.h. 90 Ibid., th. 89
lxvi 51
Selama ini cara yang kita kenal dalam sistem tebasan misalnya untuk tanaman padi adalah untuk satu ha lahan padi dibeli oleh sipenebas antara Rp 1 hingga Rp 1,4 juta. Kalau dikembalikan kepada perhitungan biasa untuk satu ha lahan maksimal menghasilkan 4 ton gabah. Kalau saja untuk 1 kg harga gabah kering seperti sekarang yaitu Rp 400,00. Maka jika dijual ke para pengepul untuk empat tonnya yaitu Rp 1,6 juta. Disini pihak pembeli mengalami kerugian sikatar 200.000 hingga 600.000 Ribu. Tapi tidak menutup kemungkinan pihak pembeli juga mendapat keuntungan dari borongan atau tebasannya itu.91
91
Suara Merdeka (Jumat, 27 Februari 2004), 17.
lxvii
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya dan dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah ditentukan.92 Dalam The New Horizon Ladder Dictionary penelitian didefinisikan “sebagai suatu studi yang dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh informasi yang benar”. Studi yang dimaksud secara praktis dilakukan dengan cara berupaya untuk menemukan suatu informasi, mengembangkan dan menguji kebenaran, upaya tersebut dilakukan dengan selalu menggunakan metode ilmiah.93 Dalam penulisan skripsi ini guna memperoleh data dan informasi yang objektif dibutuhkan data-data dan informasi yang aktual dan relevan. 92
Suharsimi Arikunto, ProsedurPenelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara, 2002),127. 93 Saifullah, Buku Panduan; Metodologi Penelitian (Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Malang, 2006), 2.
52
lxviii 53
Metode yang digunakan penulis sebagai sarana dan pedoman dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Paradigma Penelitian Paradigma ialah sebuah framework tak tertulis, berupa lensa mental atau peta kognitif dalam mengamati dan memahami sesuatu yang dapat mempertajam pandangan terhadap dan bagaimana memahami data.94 Menurut Harmon (1970) paradigma adalah ”cara mendasar untuk mempersepsi, bepikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.95 Maka dari itu untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat Islam, dalam hal ini penulis menggunakan paradigma Alamiah
atau
Naturalistik
Paradigm,
yang
bersumber
pada
pandangan
fenomenologis. Fenomenologis atau naturalistic paradigm (Licon dan Guba), mengikuti petunjuk Irwin Deutscher yang berasal dari weber. Penganut fenomenologi berkepentingan "memahami perilaku" manusia menurut kerangka acuan dari pelaku perbuatan itu sendiri. Bagi mereka, realitas terpenting adalah bagaimana manusia melukiskannya, atau menghayati dunianya. Dalam aliran ini berkembang teori fenomenologi, interaksi simbolis, etnometologi dan pertukaran sosial. Dengan perkataan lain, mereka menganut paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.96 Artinya
94 Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Cet.I, Malang: t.p., 2005),10. 95 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Cet, XXII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),49. 96 Cik Hasan Bisrii, "Paradigma Kualitatif dalam Penelitian Hukum Islam" " Makalah, disampaikan dalam Workshop Metodologi Penelitian Kualitatif, tanggal 2 – 8 Januari (Malang: Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Malang, 2006), 1.
lxix 54
bahwa dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui secara langsung, dengan cara pengamatan partisipatif, fenomenologis,dan studi kasus tentang bagaimana fenomena yang terjadi diDesa Kolomayan dalam masalah Jual-Beli Cara “Borongan” yang dilakukan oleh masyarakat di desa itu. B. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat alami dan ditampilkan sesuai adanya, serta menggunakan literatur untuk acuan dalam pembahasan. Penelitian ini juga merupakan penelitian lapangan, karena penulis terjun langsung kelapangan atau obyek penelitian yang langsung berhubungan dengan masyarakat.97 Metode Kualitatif adalah “Prosedur penelitian yang menghasilkan: Ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orangorang (subyek) itu sendiri.98 Menurut Bogdan dan Taylor penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati99 Penelitian kualitatif disini bersifat “deskriptif”, yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecenderungan yang sedang berkembang.100 Karena dalam penelitian ini mengarahkan pada peneliti untuk mengetahui bagaimana cara untuk masuk kedalam
97
buku pedoman penulisan karya ilmiah, (Malang: Fakultas syari'ah UIN Malang), 11. Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,(Surabaya:Usaha Nasional, 1992), 21. 99 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Cet, XVII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 3. 100 M. Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 89. 98
lxx 55
dunia konseptual para subjek yang ditelitinya dengan sedemikian rupa, sehingga dapat memahami kehidupan sehari-hari khususnya saat peneliti berinteraksi dengan obyek yang diteliti.101 Dalam penelitian ini penulis berupaya menggambarkan dan menunjukkan pelaksaaan jual-beli hasil pertanian dengan Cara “borongan” dengan mengemukakan data dan segala informasi yang telah diperoleh dari informan.102 C. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh.103 Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama atau sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual dan kelompok. Hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan dan hasil penguji, jadi pencatatan dari wawancara dan pengamatan berperanserta merupakan hasil dari gabungan kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.104 Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara atau interview yang dilakukan dengan pedagang dan petani, serta masyarakat setempat yang mengetahui tentang masalah jual-beli dengan cara “Borongan” di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar. b. Data Sekunder 101
Lexy Moleong, Op., Cit., (Cet, XVII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),9. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Dan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 107. 103 Ibid., 107. 104 Op., Cit., Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Cet, XXII; Bandung: Remaja Rosdakarya), 157. 102
lxxi 56
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku-buku, majalah dan berbagai literatur yang relefan dengan pembahasan penelitian ini. Jadi pengumpulan data sekunder ini melalui orang kedua baik berupa informan atau buku literatur yaitu buku-buku, artikel, surat kabar dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan.105 Data sekunder ini membantu peneliti untuk mendapatkan bukti maupun bahan yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat memecahkan atau menyelesaikan suatu penelitian dengan baik karena didukung dari buku-buku, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum dipublikasikan. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah proses yang Sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk memperoh data-data yang diperlukan maka penulis menggunakan metode sebagai berikut: a.
Wawancara (Interview) Metode wawancara adalah suatu cara pengumpulan data dengan cara
komunikasi langsung antara peneliti dengan obyek peneliti.106 Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data secara umum dari pedagang (penjual) yang memakai jual-beli dengan cara‘’borongan’’. Sedangkan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara intervieu bebas dan intervieu terpimpin. Dalam melakukan intervieu ini, pewawancara membawa pedoman yang hanya
105 106
135.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1986), 12. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002),
lxxii 57
merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan dinyatakan.107 Sehingga penelitian ini bisa mendapatkan data yang valid dan terfokus pada pokok permasalahan yang sedang diteliti. b.
Observasi Metode observasi adalah dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.108 Jadi mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban terhadap fenomena sosial keagamaan yang terjadi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut. Dengan demikian penulis terjun langsung kelapangan atau kepada masyarakat dengan mengadakan pengamatan (melihat, mendengar, dan bertanya) dan pecatatan situasi masyarakat, dengan metode ini penulis akan memperoleh data tentang gambaran umum obyek penelitian. c.
Dokumentasi Metode dokumentasi adalah suatu upaya untuk mengumpulkan bukti-bukti atau
data-data yang berkisar pada masalah demonografi daerah penelitian baik yang berbentuk tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat dan dokumen resmi yang bersumber dari arsip atau catatan.109 Dengan metode ini peneliti akan memperoleh data tentang gambaran umum obyek penelitian yang berhubungan dengan jumlah penduduk, peta Desa kolomayan dan sebagainya.
107
Arikunto, Op. Cit., 132. Setrisno Hadi, Metode Risech II (Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM, 1986),136. 109 Ibid., 161. 108
lxxiii 58
E. Metode Pengolahan Data Setelah data yang kita cari, kita butuhkan sudah didapat dengan berbagai cara diatas maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data, dan untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan mempermudah pemahaman, maka peneliti dalam menyusun skripsi nanti melakukan beberapa upaya diantaranya adalah: 1. Editing, yaitu meneliti kembali catatan para pencari data untuk mengetahui apakah catatan tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya.110 Dalam hal ini catatan yang diperoleh dari data tersebut adalah tentang mitos larangan perkawinan antar saudara mintelu. 2. Classifying, yaitu mengklasifikasikan data-data yang telah diperoleh agar lebih mudah dalam melakukan pembacaan data sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Dalam hal ini yang diklasifikasikan adalah data tentang pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan (studi kasus di Desa Kolomayan, Kec Wonodadi, Kab Blitar)111 3. Verifying, yaitu memeriksa kembali data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar validitasnya bisa terjamin. F. Metode Analisis Data Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Moleong adalah proses untuk mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori satuan dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylir analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema 110 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), 270. 111 LKP2M, Research Book For LKP2M (Malang: UIN, 2005), 60-61.
lxxiv 59
dan ide itu. Penafsiran lain yaitu, analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.112 Tujuan dari analisa data adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi suatu data yang teratur, serta tersusun dan lebih berarti.113 Dalam penelitian ini penulis menganalisa data yang diperoleh dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat. Kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.114 Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Penelitian deskriptif dibedakan menurut sifatsifat datanya yaitu riset deskriptif yang bersifat eksploratif dan bersifat developmental. Dalam penelitian ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu dengan menggambarkan keadaan atau status fenomena. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini data yang diperoleh di lapangan, baik yang diperoleh melalui wawancara atau metode dokumentasi (literatur-literatur tentang muamalh) digambarkan atau disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat, bukan dalam bentuk angka-angka sebagaimana dalam penelitian statistik, serta dipisahpisahkan dan dikategorikan sesuai dengan rumusan masalah. Kemudian langkah terakhir adalah concluding yaitu pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan jawaban.115
112
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 263. 113 Marzuki, Metode Riset. (Yogyakarta: BPFE UII, 1986), 87. 114 Arikunto., Op., Cit., 107. 115 Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Peneltian di Pergruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 89.
lxxv
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA A. Paparan Data 1. Gambaran Umum Objek Penelitian a. Keadaan Geografis Desa Kolomayan adalah Desa yang subur dan cocok untuk daerah pertanian, jenis apa saja. Daerah tersebut terletak di sebelah Barat Kota Blitar yang berjarak +20km, dan dari pusat kecamatan Wonodadi + 4km. Lebih jelasnya tentang keadaan desa Kolomayan dapat diterangkan sebagai berikut: Batas-batas desa: a) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Togokan b) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pikatan c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kunir d) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Dermojayan.
60
lxxvi 61
Luas tanah Desa Kolomayan Luas tanah Desa Kolomayan keseluruhannya seluas +3354 Ha dengan perincian sebagai berikut: a) Dusun Cankringan + 1600 Ha b) Dusun Sweden + 1754 Ha. b. Keadaan Penduduk Penduduk desa Kolomayan seluruhnya berjumlah 7096 jiwa yang terdiri dari 3.577 laki-laki dan 3.519 perempuan dan jumlah kepala keluarga secara keseluruan adalah 5.096 kepala Keluarga.116 c. Keadaan Pendidikan Penduduk desa Kolomayan dalam masalah pendidikan yaitu kebanyakan tamatan SMA/sederajat. Hal ini bisa dilihat dengan orang yang sekolahnya tamat SD/MI sejumlah 500 orang, sedangakan yang tamat SMP sejumlah 45 orang, tamat SMA sejumlah 905 orang, Sarjana D-1 berjumlah 12 orang, D-2 berjumlah 17 orang, D-3 berjumlah 30 orang, S-I berjumlah 45orang, S-2 berjumlah 9 orang, dan S-3 berjumlah 2 orang. Adapun untuk sarana pendidikan yaitu terdapat TK 2 buah, Madrasah Ibtidaiyyah 3 buah, dan SD 2 Buah yaitu: a) MI Nurul Jadid b) MI Darus Salam c) MI Nurul Huda d) SD Kolomayan I Dan II. Sarana pendidikan lainnya adalah Pondok Pesantren (Al-Falah) 1 buah. d. Keadaan Keagamaan 116
Samson (Skretaris Desa), (Wawancara, 27 Agustus 2007). Data Penduduk Tahun 2007.
lxxvii 62
Penduduk Desa Kolomayan seluruhnya beragama Islam. Ini terbukti dengan banyak nya kegiatan-kegiatan keagamaan, diantaranya: a) Yasinan, dilaksanakan setiap hari kamis malam oleh kaum Laki-laki (baik yang tua atau muda) dengan cara bergilir per rumah dan Perempuan setia juam’at sore b) Tahlilan, dilaksanakan setiap hari kamis malam oleh kaum laki-laki di Masjid. c) Diba'an, dilaksanakan setiap hari Senin malam oleh para pemuda-pemudi. d) Manakiban, dilaksanakan setiap hari selasa oleh ibu-ibu. e) Istighosah setiap jum’at legi. e. Keadaan Ekonomi Penduduk Menurut Kepala Desa Kolomayan Bpk Moh.Thoha sebagian besar masyarakat di desa ini bekerja sebagai petani dan peternak Ayam Petelur, Unggas baik kalangan laki-laki maupun wanita. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografis pedasaan yang mempunyai lahan pertanian yang luas. Dari hasil observasi di lapangan, setiap pagi masyarakat mulai menjalankan aktifitasnya sehari-hari sampai waktu dhuhur untuk istirahat dan melaksanakan sholat, begitu juga para peternak biasanya mereka membawa unggasnya kesawah-sawah untuk memcari makanan tambahan unggas. Ini bisa dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sawah sebanyak 276 orang, dan peternak 95 orang. Selain menjadi petani sawah dan peternak, mata pencaharian lainnya adalah sebagai pedagang 20 orang, wiraswasta 60 orang, pegawai negeri 56 orang, guru 50 orang, Dokter 2 orang.117 Melihat dari berbagai profesi serta pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kolomayan, bisa dikatan bahwa Desa Kolomayan tergolong pada masyarakat menengah keatas. 117
M. Thoha (Kepala Desa), (Wawancara, 27 Agustus 2007)
lxxviii 63
2. Akad dan Pelaksanaan Jual-Beli Hasil Pertanian dengan Cara “Borongan” di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar a. Sejarah Jual-beli dengan cara “Borongan” di Desa Kolomayan Sebelum kita membahas akad dan pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan disini akan dipaparkan sekilas sejarah jual-beli cara borongan yang ada pada masyarakat Desa Kolomayan, Kalau pada daerah lain kata borongan ini mempunyai padanan arti dengan kata tebasan. Karena memang dibeberapa daerah megatakan bahwa nama baku dari borongan adalah tebasan, tapi masyarakat di Desa kolomayan tidak mengenal istilah tebasan, mereka lebih mengenal istilah borongan. Karena memang umumnya yang dipakai yaitu kata borongan, dan bagi mereka kata tebasan identik dengan perkelahian (tebasan pedang atau samurai) atau memotong pohon (menebas kayu).118 Menurut Bapak Ghofur jual-beli cara borongan di Desa kolomayan mulai dikenal oleh sebagian pedagang dan masyarakat di Desa Kolomayan yaitu sekitar tahun 1990. Secara perlahan hampir seluruh petani yang memiliki lahan luas memborongkan hasil tanamannya. Bapak Ghopur adalah salah satu orang yang pertama mengenalkan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan, yang akhirnya diikuti oleh sebagian besar masyarakat Desa Kolomayan. Untuk barang atau tanaman yang biasanya diborongkan adalah tanaman padi, jagung, kacang tanah, semangka, apukat, jeruk dan sebagainya. Sehingga orang Kandat di Kolomayan memborong tanaman tersebut, dari situlah perlahan-lahan masyarakat di Desa Kolomayan mulai mengenal jual-beli dengan cara borongan.
118
Ghofur, Wawancara (Kolomayan 27 Agustus 2007).
lxxix 64
b. Akad Dan Pelaksanaan Jual-beli Hasil Pertanian dengan Cara “Borongan” di Desa Kolomayan. Bagaimana akad transaksi antara si Pemborong (borg) dengan petani yang terjadi di Desa Kolomayan?, Biasanya, Akad berlangsung dengan cara, si pemborong datang sendiri ke rumah petani. Kedatangan pemborong setelah sebelumnya melihat kondisi tanaman di sawah, atau juga bisa akad terjadi di sawah setelah melihat tanaman petani, setelah itu harga ditetapkan. 119 Menurut Bapak Kadir, selama ini yang terjadi di Desa Kolomayan yaitu, satu petak sawah ukuran + 200 Meter, misalnya untuk tanaman semangka itu cara memborongnya diperhitungkan dengan benihnya. Seandainya tanah 200 M membutuhkan benih 2Kg dengan harga Rp100.000 maka pemborong membelinya antara 8 ratus ribu sampai 1 juta, tapi bila benihnya 1 Kg cuma Rp 30.000, biasanya pemborong membelinya dengan harga murah. Jadi bisa dikatakan bahwa akad bisa dirumah petani atau juga disawah. Yang terpenting dari akad jual-beli borongan menurut Bapak Kadir adalah dimana semua pihak sama-sama berpengalaman atau sudah biasa menggunakan cara borongan, jadi tidak semua tanaman bisa diborongkan. Kalau tanaman seperti padi, jagung, dan buah-buahan melihat dari luas tanah dan benihnya. Begitu juga kacang tanah, tetapi berhubung kacang tanah pengambilannya masih dipohonnya yang tidak kelihatan maka akad biasanya dilakukan di sawah sekalian melihat keadaan dan umur dari tanamannya. Diantara alasan para petani di Desa Kolomayan yang memakai cara borongan dari hasil tanamannya yaitu: 119
Kadir, (Wawancara 27 Agustus 2007)
lxxx 65
Seperti dikatan oleh H. Munarsi bahwa diborongkan kita lebih merasakan keuntungan banyak, sebab tidak banyak dipengaruhi harga sesaat pada saat panen. Biasanya kalau panen raya mau tidak mau harga hasil pertanian itu jatuh, jadi wajar kalau sekarang harga jatuh atau bahkan naik. Ini kenyataan sejak lama saya bertani, tapi kalau diborongkan kita tidak akan banyak pusing.120 Keuntungan lain dari sistem tersebut, kata Sunaryo petani lainnya, mereka tidak lagi pusing mengurus makanan untuk buruh tani yang ikut panen, lainnya yaitu tidak harus pusing melakukan pekerjaan sewaktu panen, seperti mengeringkan gabah, mengumpulkan dan lain sebagainya. "Sewaktu belum diborongkan, saya harus memasak buat yang panenan, lalu bagi hasil, menjemur dan lain sebagainya”. Tidak kurang memakan waktu sekitar satu minggu kita repot dengan masalah itu.121 Bisa dikatakan bahwa semua masyarakat di Desa Kolomayan mengakui dan memakai sistem borongan khususnya dalam hal jual-beli hasil pertanian saja. Lantas bagaimana cara pelaksanaannya?, kalau diatas dibahas tentang akad jual-beli dengan cara borongan dan beberapa alasan para petani memilih cara borongan, maka yang selanjutnya yaitu cara pelaksanaan jual beli cara borongan sendiri. Sebenarnya cara pelaksanaan jual-beli dengan cara borongan itu sama dengan jual-beli yang lain akan tetapi akad dan pengambilan barangnya yang berbeda, kalau di Desa Kolomayan diantaranya pelaksanaannya, yaitu; setelah akad berlangsung maka barang yang ada di sawah sudah menjadi milik pemborong atau hak milik atas barang itu sudah berganti tangan. Jadi semuanya tergantung pemborong, artinya pengambilan barang atau pemanenannya menjadi hak pemborong.122 120
H. Munarsi, Wawancara (Kolomayan, 28 Agustus 2007). Sunaryo, Wawancara (Kolomayan, 28 Agustus 2007). 122 Mahmud, Wawancara (Kolomayan, 29 Agustus 2007). 121
lxxxi 66
Maka dari itu seperti yang dikatakan Sunaryo, bahwa para petani tidak lagi pusing mengurus buruh tani dan mengurus hasil panenannya. Karena kalau tidak menggunakan cara borongan, biasanya para pemilik sawah masih harus mencari buruh tani, memberi makan dan mengurus hasil panenannya, seperti menjemur, mengupas dan mengemas dalam karung, sedangkan kalau memakai cara borongan maka semuanya itu akan menjadi pekerjaan si Pemborongnya. Pelaksanaan jual-beli dengan cara borongan ini dilakukan setelah akad kedua belah pihak berlangsung. Setelah akad dilakukan, maka pemborong langsung mengambil semua barangnya atau juga ada yang akad dahulu setelah satu/dua hari baru dipanen. Seperti buah-buahan (semangka,jeruk dan apukat) apabila sudah diborong maka semuanya diambil atau dipetik tanpa meninggalkan sisanya, buah yang masih kecil menjadi milik pemborong, karena itu sudah menjadi resiko sipemborong, asalkan adanya buah yang kecil tersebut tidak melebihi yang sudak besar (masak). Tapi ada juga yang menggunakan akad borongan dengan syarat memilih yang besar dan meninggalkan yang kecil, itu dilakukan karena tanamannya kelihatan jelek dan yang besar kelihatan sedikit, maka untuk menghindari kerugian para pemborong harus memilih yang besar saja begitu juga petaninya harus memberikannya, dari pada tidak mendapatkan hasil dari panennya.123 Menurut Bapak Mahmud untuk tanaman seperti padi, jagung dan kacang tanah biasanya para pemborong melihat dahulu tanamannya yang masih ada dipohonnya atau diambil satu buah untuk dijadikan sampel/contoh dan biasanya pemborong serta petani juga melihat umur dari tanaman itu, apakah sudah waktunya untuk dipetik/dipanen. 123
Mahmud, Wawancara (30 Agustus 2007)
lxxxii 67
3. Pandangan Fiqih Muamalah Terhadap Akad dan Pelaksanaan Jual-Beli hasil Pertanian dengan Cara “Borongan” Dalam fiqih muamalah kita banyak mendapati jual-beli yang shahih, batal dan jual-beli yang rusak, salah satu akad jual-beli yang dilarang yaitu jual beli yang mengandung unsur gharar (kesamaran) dan jual-beli yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah syara’, bahkan sebagian Ulama’ Madzhab melarang secara mutlak adanya sistem jual-beli tersebut, sebenarnya larangan-larangan yang ada dalam jualbeli itu juga bisa dikatan, karena ulah manusia yang salah dalam pelaksanaannya.. Lantas bagaimana dengan keberadaan jual-beli dengan menggunakan cara “borongan” yang ada di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar?. Berangkat dari fiqih muamalah, salah satunya yaitu jual-beli gharar, maka disana akan dilihat dan diketahui bahwa jual-beli tersebut dilarang, karena kesamaran barangnya (mengandung kesamaran). Rasulullah SAW. Bersabda:124 .(4*B )روا أ.ور1b %ّP)N *)ءD ا/N d*ّeDواا1AaGH Artinya: “Janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual-beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (H.R Ahmad). Dari hadits diatas mungkin sudah jelas bahwa jual-beli yang mengandung unsur kesamaran adalah dilarang, karena bisa menimbulkan adanya penipuan, dan jual-beli yang seperti itu adalah dilarang, Nabi Muhammad bersabda bahwa seseorang yang menjual barang dagangannya tidak sesuai dengan janji pada waktu menawarkan dagangannya maka mereka para pembeli berhak untuk mengembalikannya, tapi apabila rusaknya barang atau ruginya salah satu pihak tanpa disengaja maka tidak menjadi permasalahan. Karena itu sudah menjadi resiko seseorang dalam hal perniagaan atau jual-beli. 124
Rahmat Syafi’I, Op., Cit., 97.
lxxxiii 68
Hadist Shahih Bukhari:125 :>QN RF&)3 )إذا:)لQN ,عE;5D ا/N ع4O& %ّP أ89: و%;9- .< ا9= / ّ 5ّ,9D 1@ ذآMن ر ّ أ:)*+,- . ا/0 ر%,-و .(T3 @UH “Diriwayatkan dari (Abdullah bin umar) r.a: Seseorang menemui Nabi Saw, dan berkata bahwa ia selalu dicurangi dalam pembelian. Nabi Saw, bersabda kepadanya agar pada waktu membeli (sesuatu) mengatakan,”Tidak ada penipuan”. (ia mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata cacat, rusak, tidak sesuai dengan janji sipenjual, dan sebagainya). Sedangkan kalau dilihat dari syarat dan rukun jual beli, sepertinya yang menjadi masalah dalam jual-beli dengan cara borongan disini adalah barangnya (ma’qud alaihnya), tapi ada sebagian Ulama yang mengatakan bahwa boleh menjual belikan barang yang tidak ada di tempat, dengan syarat kriteria barang tersebut terinci dengan jelas. Jika ternyata sesuai dengan informasi maka jual-beli sah, dan jika ternyata berbeda, pihak yang tidak menyaksikan (salah satu pihak yang melakukan akad) boleh memilih: menerima atau tidak, tak ada bedanya dalam hal ini baik pembeli atau penjual126 Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi saw., bersabda: ;)ر اذاراOD ا%9N 1& 8D )ً h;q ى1Aq ا2W Artinya” Siapa yang membeli sesuatu barang yang ia tidak melihatnya, maka boleh memilih jika telah menyaksikannya. (H.R. Abu hurairah).
Begitu juga dengan jual-beli buah-buahan secara borongan, yang terpenting adalah apabila buah atau tanaman tersebut sudah kelihatan tua atau menguning maka jual-beli tersebut adalah sah, tapi apabila buah atau tanaman tersebut dijual sebelum tua (matang) maka Nabi SAW. melarangnya. Sedangkan untuk buah yang kecil
125 126
Ibid., 397. Sayyid Sabiq, Op., Cit., 61.
lxxxiv 69
apabila membelinya dengan borongan maka mengikuti yang sudah besar (tua) demikianlah pendapat ahli-ahli fiqih Madzha Maliki, Hambali dan Hanafi. 127 Tidak semua gharar dilarang, ada satu macam jual-beli gharar yang sepertinya mendapat keringanan atau menjadi boleh, yaitu ketika kuantitas dari barang tersebut sedikit maka hukumnya dibolehkan menurut ijma’. Tapi apabila sedang-sedang saja maka masih diperdebatkan. Karena parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan. 128 Perlu diketahui juga bahwa dalam fiqih muamalah yang menjadi dasar dari suatu akad dan pelaksanaan jual beli selain dari melihat barang dan harganya adalah unsur kekeluargaan sesama muslim, artinya bahwa dalam Islam yang menjadi kriteria akad dan pelaksanaan jual-beli yang hak dan sah adalah adanya unsur suka sama suka atau saling ridha yang sudak diterangkan dalam Al-Qu’an, surat An-Nisa’ ayat 29.129 <Ú#ts? tã ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ ∩⊄∪ $VϑŠÏmu‘ öΝä3Î/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä3|¡à#Ρr& (#þθè=çFø)s? Ÿωuρ 4 öΝä3ΖÏiΒ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” Jadi sudah sangat jelas sekali bahwa sesuai dengan firman Allah dalam surat AnNisa’ diatas bahwa yang paling mendasar dari transaksi atau akad dalam jual beli adalah saling ridha, karena dalam fiqih muamalahpun juga disebutkan bahwa apabila jual beli itu merugikan salah satu pihak dengan jalan penipuan maka jual-belinya tidak sah. 127
Ibid., 87-88. AlSofawah, Op., Cit., (diakses pada 1 Agustus 2007), t.h. 129 Amir Syarifuddin, Op., Cit., 190 128
lxxxv 70
B. Analisis Data 1. Analisis terhadap Akad dan Pelaksanaan Jual-Beli dengan Cara “Borongan” di Desa Kolomayan Dari data yangdi peroleh, maka pertama kali disini akan dianalisis adalah bagaimana akad dan pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan yang dilakukan oleh masyarakat Kolomayan? Dari sejarahnya dikatakan bahwa masyarakat Kolomayan lebih mengenal istilah “borongan” dari pada “tebasan”(yang mempunyai padanan arti dengan borongan), karena kata borongan itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat Kolomayan. Setiap musim panen mereka para petani biasanya memborongkan hasil tanamannya, karena bagi mereka cara borongan lebih menguntungkan. Bagi mereka dengan menggunakan cara borongan, tidak lagi pusing mengurus makanan untuk buruh tani yang ikut panen, lainnya yaitu tidak harus pusing melakukan pekerjaan sewaktu panen, seperti mengeringkan gabah, mengumpulkan dan lain sebagainya. "Sewaktu belum diborongkan, saya harus memasak buat yang panenan, lalu bagi hasil, menjemur dan lain sebagainya”. Tidak kurang memakan waktu sekitar satu minggu kita repot dengan masalah itu.130 Dari situ bisa kita katakan bahwa sebagian besar masyarakat Kolomayan adalah menggunakan cara borongan untuk menjual hasil panenannya. Akad dalam jual-beli borongan ini berfariasi, artinya akad bisa dilakukan dirumah kedua belah pihak, atau akad bisa terjadi disawah setelah pemborong melihat tanamannya, akan tetapi yang perlu diketahui bahwa tidak semua tanaman hasil pertanian bisa diborongkan. Jual-beli borongan yang ada di Desa kolomayan ini 130
Sunaryo, Wawancara (Kolomayan, 28 Agustus 2007).
lxxxvi 71
berdasarkan perkiraan yang didasarkan atas sebuah pengalaman kedua belah pihak, dan juga tergantung hasil pertaniannya, apabila buah (semangka,jeruk,apukat) bagi mereka yang kecil sudah menjadi resiko dan asalkan keberadaan yang belum masak tidak melebihi yang sudah masak. Seperti pendapat Sebagian Ulama’ Madzhab bahwa didalam Syari’at dibolehkan menjual-belikan kurma apabila sudah nampak kebaikannya sebagian, sehingga yang belum nampak kebaikannya mengikuti yang sudah kelihatan. Demikian pula yang disini boleh akad untuk barang yang sudah ada, yang belum keluar mengikuti yang sudah.131 Sedangkan seperti kacang tanah mereka berdasarkan atas penyebutan sifatsifatnya, pengambilan contoh, harga benih serta luas tanah dan umur dari tanaman (apakah sudah waktunya dipanen atau belum). Seperti yang dilakukan oleh salah satu shahabat yaitu, Zaid bin Tsabit tidak menjual buah-buahan dari tanahnya sebelum Fleid132 muncul sehingga seseorang dapat membedakan buah yang berwarna kuning dari yang merah (masak).133 Jadi meskipun kacang tanah itu tidak kelihatan, tapi penyebutan kriteria atau sifat-sifat yang dimilikinya dijelaskan dengan rinci. Diatas kertas memang jual langsung setelah penenan lebih menguntungkan daripada cara borongan, tetapi karena seringnya juga dipermainkan oleh pengepul134, maka hargapun bisa lebih rendah lagi. Pengepul biasanya memakai jurus bahwa gabah yang dijual kadar air banyak dan lain sebagainya. Tentunya di hadapkan pada kenyataan itu petani tidak berdaya. Sehingga tidak salah kalau borongan menjadi
131
Sayyid Sabiq, Op., Cit., 87. “Bintang yang muncul saat fajar pada permulaan musim panas. Itu terjadi ketika cuaca di Hijaz sangat panas pada awal musim ketika buah-buahan matang. Kemunculan bintang ini adalah tanda-tanda masaknya buah kurma”. 133 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah),(Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,2002)407. 134 Pengepul lebih identik pada agen, penyalur/perantara. 132
lxxxvii 72
bagian dalam kehidupan pertanian sekalipun telah menggoyangkan rasa kebersaman di pedesaan. Yang ditunggu bagaimana peranan KUD sekarang ini.135 Dalam kaca mata ekonomi, para petani terutama yang kaya itu sudah melakukan rasionalisasi atau melepaskan diri dari berbagai kegiatan sosial misalkan saja menyertakan para buruh tani dalam penenan. Dan secara tidak terasa pola hubungan antara petani dengan buruh tani sudah mulai renggang. Pola gotong royong di pedesaan ini semakin memudar dalam kaitannya sebagai pekerja. Para pemborong sendiri biasanya sudah membawa tenaga yang memanen. Mereka dengan sendirinya tidak pernah melibatkan buruh tani setempat. "Buruh tani sudah sulit untuk ikut panen sebab sudah ada tenaganya sendiri,". Akan tetapi ada alasan lain dari diterimanya cara borongan di Desa kolomayan, misalkan saja para pemilik lahan menerima sistem borongan, sebab kesulitan mendapatkan tenaga pada saat panen. Di sekelilingnya tidak banyak ditemukan buruh tani untuk melakukan panenan. "Sekarang silahkan kalau anda cari tenaga untuk panen, sulit. Kita merasakan hal itu, karena warga di daerah Kolomayan sudah lambat laun meninggalkan pertanian atau lebih memilih berternak dan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia)”. Makanya ketika ada borongan, mereka para pemilik lahan merasa senang dan tidak lagi kawatir menjual hasil tanamannya. Kata salah satu pedagang yang biasa menggunakan cara Borongan. 136 Sedangkan pelaksanaan jual-beli dengan cara borongan itu sama dengan jual-beli yang lain akan tetapi dalam pengambilan barangnya yang berbeda, kalau di Desa Kolomayan pelaksanaan jual-beli dengan cara borongan ini, diantaranya yaitu;
135 136
Lasiren, Wawancara (Kolomayan, 30 Agustus 2007). Ghofur, Wawancara (Kolomayan, 27 Agustus 2007).
lxxxviii 73
setelah akad berlangsung maka barang yang ada di sawah sudah menjadi milik pemborong atau hak milik atas barang itu sudah berganti tangan. Jadi semuanya tergantung pemborong, artinya pengambilan barang atau pemanenannya menjadi hak pemborong, apakah mau langsung dipanen atau menunggu beberapa hari lagi.137 2. Analisis terhadap Akad dan Pelaksanaan Jual-Beli dengan Cara “Borongan” di Desa Kolomayan Perspektif Fiqih Muamalah Oleh karena itu dari data yang di peroleh, baik akad maupun pelaksanaan jualbeli dengan cara borongan yang ada di Desa Kolomayan tidak bertentangan dengan ketentuan syara’ atau aturan-aturan muamalah yang ada. Ini seperti kata H. Abas,138 salah seorang pedagang yang biasa menggunakan cara borongan, menurutnya cara borongan lebih saling menguntungkan dari pada cara tidak borongan (kiloan). Misalnya pemborong lebih mudah mengambil barangnya, karena tidak memilih dan memilah satu-satu, sedangkan bagi petani mereka tidak susah-susah mencari buruh tani dan mengurus hasil tanamannya (mengupas, menjemur dan sebagainya). Sedangkan akad yang dilakukan pada jual-beli borongan menurutnya tidak jauh berbeda dengan jual-beli yang lain, tapi harus diketahui bahwa akad yang terjadi harus jelas, artinya tidak ada keraguan/kesamaran diantara kedua belah pihak. Sedangkan untuk pelaksanaannya, berhubung menggunakan borongan maka barangnya langsung diambil semua tanpa meninggalkan sisa. Jadi menurut H. Abas bahwa jual-beli borongan itu berjalan layaknya jual-beli yang lain, Cuma dalam pengambilan barangnya saja yang mungkin ada sedikit kejanggalan. Tapi kejanggalannya tersebut tidak menjadikan bahwa jual-beli tersebut harus dilarang,
137 138
Kadir, Wawancara (Kolomayan, 27 Agustus 2007). H. Abas, Wawancara (31 Agustus 2007).
lxxxix 74
karena para pihak saling ridha, dan tidak akan menimbulkan perselisihan. Contoh dari kejanggalannya yaitu keterkaitan atau keikutsertaan hasil tanaman (khususnya tanaman buah-buahan) yang masih kecil (belum masak), padahal dalam fiqih muamalah jual-beli buah yang belum masak tidaklah sah. ()نO;aD )روا ا.r&4gDا.%B@=و45&
139
Moha. Rifa’I, Op., Cit., 193.
xc 75
Arti dari kaidah itu adalah bahwa sesuatu yang mengikut kepada yang lain, maka hukum baginya adalah hukum yang diikuti. Maksudnya yaitu hukum dari jual-beli dengan cara borongan khususnya jual-beli buah-buahan maka buah yang belum masak (masih kecil) hukumnya mengikuti buah yang sudah masak, dan apabila diantara kedua barang tersebut dijual secara terpisah maka tidak boleh, karena bisa menjadikan perselisihan, dan mengandung unsur majhul. Ulama’ fiqih sepakat, bahwa membeli buah-buahan yang belum ada dipohon tidak sah, karena itu sama saja dengan ijon. Namun Ulama’ berbeda pendapat, apabila buah-buahan itu sudah ada dipohonnya. Ulama’Hanafi pendapat bahwa jika buah-buahan itu telah ada dipohonnya, tetapi belum layak panen, maka apabila pembeli disyaratkan untuk memanen buah-buahan itu, maka jual beli itu sah, tapi apabila disyaratkan, bahwa buah-buahan itu dibiarkan sampai matang dan layak panen maka jual-belinya fasid, karena tidak sesuai dengan tuntunan akad yaitu keharusan benda yang dibeli sudah berpindah tangan kepada pembeli ketika akad telah disetujui.140 Jumhur Ulama’ berpendapat, bahwa menjual buah-buahan yang belum layak panen, hukumnya batil.141 Maka jual-beli dengan cara borongan yang ada di Desa Kolomayan tidak bertentangan dengan fiqih muamalah, ini bisa dilihat bahwa akad dan pelaksanaan jual-beli cara borongan dilakukan ketika hasil pertanian sudah layak untuk dipanen atau tanamannya sudah kelihatan. Sedangkan kalau untuk jual beli seperti kacang tanah mereka para pedagang di Desa Kolomayan beranggapan bahwa apabila salah satu dari sifat obyeknya itu bisa dilihat atau disebutkan ciri-cirinya maka jual-belinya tetap sah, dalam muamalah
140 141
Sayyid Sabiq, Op., Cit., 87. M. Ali Hasan. Op., Cit., 138
xci 76
sendiri sudah disebutkan bahwa apabila barangnya atau obyeknya tidak dapat dilihat (Ghaib), sebagian Ulama’ memperbolehkannya, tapi sipedagang berhak khiyar. Seperti kata H. Abas lagi, Bahwa jual beli kacang tanah dengan menggunakan cara borongan yang ada di Desa Kolomayan sudah lama sekali dipakai dan bukan jual-beli yang terlarang, karena pada waktu akad barangnya diambil satu untuk dijadikan contoh, untuk melihat keseluruhan dari barang yang lainnya. Jadi apabila dari contoh itu sudah kelihatan tua dan siap dipanen maka akad terjadi, dan pemborong melakukan pemanenan.142 Perlu diketahui bahwa dalam muamalah selain jual-beli atas dasar suka sama suka (saling ridha), jual beli tersebut tidak menjadikan perselisihan diantara keduanya. Rasulullah swa, juga pernah menegaskan bahwa jual-beli itu harus saling menguntungkan, artinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tapi kalau nantinya ada yang rugi dibelakang, maka itu adalah salah satu resiko, pada dasarnya tidak adanya perselisihan/jual-belinya tidak menjadikan perselihan atau pertengkaran diantara kedua belah pihak maka jual-beli itu tetap sah, yang tidak diperbolehkan adalah jual-beli yang barangnya tidak jelas (majhul), tidak jelas batas waktunya dan tidak jelas adanya. Karena bisa menjadikan perselisihan, Jual-beli ini biasanya dilakukan zaman Jahiliyah.143
142 143
H. Abas, Wawancara (31 Agustus 2007). Mahmud Muhammad Bablily, Op., Cit., 164.
xcii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam bab kesimpulan ini, penulis akan menyampaikan apa yang dituliskan di BAB I sampai BAB IV dengan menarik sebuah konklusi (kesimpulan) dari rumusan masalah yang diajukan oleh penulis yaitu: 1. Akad dan pelaksanaan jual-beli dengan cara borongan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kolomayan Wonodadi Blitar sebenarnya adalah salah satu sistem jual-beli yang dibawa oleh seorang pedagang yang berasal dari daerah Kandat Kediri dan sudah melekat pada masyarakat Desa Kolomayan. Jadi akad dan pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan di Desa Koloamayan tidak ada bedanya dengan jual-beli yang lain, cuma hak khiyar dalam jual-beli ini sepertinya tidak begitu kental, karena memang sekali akad,
77
xciii 78
juga barangnya sekli diambil sekalian. Kedua belah pihak mengutamakan unsur saling percaya, saling ridha , serta menghindari adanya pertentangan dan 79perselisihan. 2. Kedudukan jual-beli hasil pertanian dengan cara borongan dalam fiqih muamalah sebenarnya tidak terlalu dipermasalahkan, akan tetapi dalam pelaksanaannya saja yang mungkin ada sedikit permasalahan, akan tetapi masalah itu tidak menyebabkan jual-beli tersebut menjadi batal, karena jual-beli dengan cara borongan ini sudah sesuai dengan rukun dan syarat jual-beli yang sudah ditetapkan dalam muamalah sendiri. Dan juga perlu diketahui bahwa pada dasarnya dalam suatu akad dalam jual-beli yang terpenting adalah adanya unsur saling ridha dan menghindari perselisihan. Dalam fiqih muamalah sendiri juga disebutkan bahwa jual-beli yang baik adalah jual-beli yang memenuhi rukun, syarat dan adanya unsur saling suka, serta meninngalkan kebiasaaan orang-orang jahiliyah. B. Saran 1. Bagi masyarakat sebenarnya harus menjalankan jual-beli dengan cara borongan sesuai dengan aturan yang sudah biasa terjadi, artinya bahwa masyarakat seharusnya menjalankan cara borongan yang sudah ada atau sudah berjalan, Jadi untuk Desa Kolomayan alangkah lebih baiknya apabila tidak meniru dan menggunakan sistem borongan ataupun sistem tebasan yang ada di daerah lain. Biar nantinya tidak ada keributan dan perselisihan diantara mereka 2. Kepada Masyaraka Desa Kolomayan, sebaiknya mengetahui beberapa kaidahkaidah yang sudah ada atau sudak tertulis dalam fiqih muamala, agar nantinya sebelum mereka menjalankan sebuah transaksi, yaitu jual-beli. Mereka akan
xciv 79
terhindar dari masalah yang tidak diinginkan, dan bisa memilih mana jual-beli yang benar dan yang dilarang. 3. Kepada masyarakat Desa Kolamayan seharus tidak menjalankan sistem transaksi yang tidak menguntungkan dan lebih mengutamakan unsur kekeluargaan, karena sesama manusia haruslah saling tolong menolong dan menjalankan jual-beli yang sekiranya ada dalam lingkungannya sendiri, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
xcv
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Al-Nabhani, Taqyuddin (1996) Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspekti Islam Surabaya: Risalah Gusti. Al-Zabidi, Imam (1997) Ringkasan Shahih Al-Bukhari. Bandung: Miza Media Utama. Ahmad, Aiyub (2004) Fikih Lelang; Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Jakarta: Kiswah. Bablily, Mahmud Muhammad (1990) Etika Berbisnis "Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah". Solo: CV. Ramadhani. Doi, A.Rahman (1998) Penjelasan Lengkap Hokum-hukum Allah (syari'ah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hasan, Ali (2003) Berbagai macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah), Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad Teungku (1999) Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra. Lubis, Suhrawardi (2000)) hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Rahmadi,F (1996) Publik Relation, Dalam Teori Dan Praktek (aplikasi dalam badan usaha swasta dan lembaga pemerintah). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rasjid, Sulaiman (1976) Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyah. Syafe’I, Rachmat (2001) Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. Syabiq, Syyid (1988) Fiqih Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma'arif. Syaltut, Syekh Mahmud (1990) Akidah dan Syari’ah Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Syekh Al-Iman Al-‘Alim Al-‘Allamah Syamsudin Abu Abdillah Muhammad Bin Qasim As-Syafi’I,”\ss;QD] اAssN “, diterjemahkan I,ron Abu Amar, (1982) Fatkhul Qoribjilid 1 (Cet. 1;t.t.: Menara Kudus). Syarifuddin, Amir (2003) Garis-Garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana.
xcvi
Wiroso (2005) Jual-beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press. Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Dan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Buku pedoman penulisan karya ilmiah (2005). Malang: Fakultas syari'ah UIN Malang. Cik Hasan Bisrii, "Paradigma Kualitatif dalam Penelitian Hukum Islam" " Makalah, disampaikan dalam Workshop Metodologi Penelitian Kualitatif, tanggal 2 – 8 Januari (Malang: Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Malang, 2006). Furchan, Arief (1992) Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Hadi,Setrisno (1986) Metode Risech II. Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM. J. Moleong, Lexy (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Koentjaraningrat, (1997) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. ----------(2002) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. LKP2M, (2005) Research Book For LKP2M. Malang: UIN. Marzuki (1986) Metodologi Riset. Yogyakarta: PT. Hanindita. Saifullah (2006) Buku Panduan; Metodologi Penelitian (Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Malang. Subana, M (2001) Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV. Pustaka Setia. Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian (1984) Metode Penelitian Survei. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sudjana, Nana (2000) Proposal Penelitian, di Perguruan Tinggi. Bandung: PT. Sinar Baru.
xcvii
AlSofawah,OR.ID,“NULL,”http://www.alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=71& judul=67 - 21k - Cached - More from this site, (diakses pada 1 Agustus 2007). Azhar Syarif , “Hukum Jual-Beli,” www. azhar1010.multiply.com/reviews/item/5 19k, (diakses pada 19 juni 2007). Baiturrahmah,”Jual-beli yang dibolehkan dan dilarang,” http://www.booksreview.blogsome.com/2006/07/28/4/ - 23k - Hasil Tambahan - Tembolok - Laman sejenis, (diakses pada tanggal 1 Agustus 2007). IN:
PR, “Untuk Menghindari Fluktuasi Harga Gabah”, http://www. apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.5/8.7.1) id IAA25846 for reg Indonesia@conf igc. Apc. org; Fri, 21 Feb 1997 08:55:40 -0500 (EST)=16, (Diakses pada 3 Agustus 2007)
Suara Merdeka (Jumat, 27 Februari 2004) Ghofur, Wawancara, Kolomayan, 27 Agustus 2007. H. Munarsi, Wawancara, Kolomayan, 28 Agustus 2007 H. Abas, Wawancara, 31Agustus 2007. Khoiriyah, Umi. Wawancara. Kolomayan, 19 mei 2007. Kadir, Wawancara, Kolomayan, 27 Agustus 2007. Lasiren, Wawancara, 30 Agustus 2007. Mahmud, Wawancara, 30 Agustus 2007. Samson, Wawancara 27 Agustus 2007 Sunaryo, Wawancara, Kolomayan, 28 Agustus 2007. Thoha, Moh. Wawancara Kolomayan 27 Agustus 2007
xcviii
DEPARTEMEN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG FAKULTAS SYARI’AH Jl. Gajayana No. 50 Malang Telp (0341) 551354, Fax (03471) 572533 BUKTI KONSULTASI Nama NIM Fakultas Judul
No
: Ahmad Syaifudin : 03210074 : Syari’ah : Tinjauan Fiqih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Jua-Beli Hasil Pertanian Dengan Cara “Borongan” (Studi Kasus di Desa Kolomayan Kec. Wonodadi Kab. Blitar).
Tanggal
Materi Konsultasi
Tanda Tangan Pembimbing
1
19 Mei 2007
Konsultasi out line penggarapan Proposal
dan
2
21 Juni 2007
Konsultasi penggarapan Bab I, II, III
3
9 Agustus 2007
Konsultasi Bab I, II, III dan persiapan penelitian
4
21 Agustus 2007
Revisi Bab I, II,III
5
5 September 2007
Konsultasi hasil penelitian dan penggarapan Bab IV dan V
6
12 September 2007
Revisi bab IV dan V
7
19 September 2007
Revisi bab I-V
8
22 September 2007
ACC bab I-V Malang, 23 September 2007 Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. Dahlan Tamrin M. Ag NIP 150 216 425
xcix
SEBAGIAN FOTO WAWANCARA DENGAN PEDAGANG DAN PETANI
Dengan Bapak Kadir
Dengan Bapak Ghopur
Dengan Bapak Lasiren