i EKOSTRUKTUR MANGROVE DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SERTA KAPASITAS ASIMILASI PESISIR PULAU SEPANJANG KABUPATEN SUMENEP MADURA
WAHYU A’IDIN HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Ekostruktur Mangrove dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan serta Kapasitas Asimilasi Pesisir Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 20 Juli 2011
Wahyu A’idin Hidayat NRP. C551090071
iv
v ABSTRACT
WAHYU A’IDIN HIDAYAT. Mangrove Eco-Structure and Relationship with Environmental Characteristic and Assimilation Capacity on The Coastal of Sepanjang Island, Sumenep Regency, Madura. Under direction of NEVIATY PUTRI ZAMANI and DIETRIECH GEOFFREY BENGEN. The main problem that occurs on small islands particularly and the main island generally are the risk of contamination and declining environmental quality. Mangrove ecosystem is known to have the function and role in controlling environmental pollution. Therefore this study aims to identify the mangroves ecostructure on Sepanjang Island, to identify the relationship of mangroves with chemical and physics environment characteristics, to quantify organik waste loads and to analyze assimilation capacity of mangrove ecosystem to organik waste on the coastal of Sepanjang Island,. This study was conducted by analyzing the mangrove eco-structure from INP and the index of H’, E, or D. While the quality of water and sediment are major parameters in addition to mangrove. Macrozoobentos also become one of the measured parameter. The results showed that mangrove eco-structure on research sites were dominated by famili Rhizohoraceae. Pollutants load that showed the quality of environmental on mangrove ecosystems generally on tolerated conditions for marine life and has a value of assimilation capacity which are at under capacity condition. Key words: mangrove ecosystem, pollutants load, assimilation capacity, Sepanjang Island
vi
vii RINGKASAN WAHYU A’IDIN HIDAYAT. Ekostruktur Mangrove dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan serta Kapasitas Asimilasi Pesisir Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan DIETRIECH GEOFFREY BENGEN. Pertumbuhan penduduk tidak dapat dihindari, khususnya yang terjadi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Permasalahan kompleks yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk adalah limbah yang sangat membutuhkan perhatian khusus dalam penanganannya. Ekosistem mangrove memiliki fungsi selain dalam hal jasa lingkungan, juga mampu berfungsi sebagai pengendali pencemaran melalui proses sedimentasi, filtrasi, aktivitas mikroba, penyerapan tanaman, dan lain sebagainya. Nilai manfaat tersebut akan dijadikan fokus utama pada penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini memiliki tujuan antara lain : (1) mengidentifikasi ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang; (2) mengetahui hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan; dan (3) mengkuantifikasi beban limbah organik dan menganalisi kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai dengan April 2011. Pada tahap pertama penelitian ini dilakukan eksplorasi di Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep, Madura, dengan materi ekostruktur mangrove dan pengambilan contoh sedimen, air, dan makrozoobentos. Penentuan ekostruktur mangrove dilakukan transek kuadrat (10 x 10) meter dengan pengulangan 3 stasiun pengamatan pada masing-masing lokasi penelitian. Pada masing masing stasiun dibagi menjadi 3 plot pengamatan yang selanjutnya dilakukan identifikasi dan perhitungan INP, H’, E, D. Untuk contoh air dan sedimen dilakukan pengambilan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Tahap kedua dilaksanakan analisis laboratorium dengan parameter kualitas air berupa DO, BOD5, nitrat, nitrit, amonia, fosfat, TOM, deterjen, kecerahan, kekeruhan, TSS, suhu air, pH, dan salinitas. Untuk parameter fisika kimia sedimen dilakukan analisis berupa fraksi sedimen, C organik, N organik, P, deterjen, TOM, dan pH tanah. Tahap kedua penelitian ini adalah analisis laboratorium. Untuk analisis fisika kimia air dan sedimen yang dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan ITS; analisis makrozoobentos di Laboratorium Ekologi FMIPA ITS; dan analisis fraksi sedimen di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Analisis data fisika kimia perairan dilakukan dengan dengan Analisis Komponen Utama dengan menggunakan software Minitab 16, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara kualitas lingkungan dengan mangrove dan makrozoobentos dilakukan dengan Analisis Faktorial Koresponden menggunakan software SPSS 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi mangrove terbanyak adalah dari jenis Rhizophora apiculata dengan tegakan sebanyak 73 pohon, kemudian diikuti Avicennia officinalis dengan jumlah tegakan sebanyak 51 pohon. Tegakan yang paling sedikit adalah Sonneratia alba dengan jumlah tegakan hanya 5 pohon. Berdasarkan analisis ekostruktur mangrove, didapatkan hasil bahwa pada stasiun Tanjung Tembing mangrove yang paling banyak ditemui adalah dari spesies Avicennia officinalis dan stasiun Panamparan adalah Pandanus tectorius.
viii Demikian halnya dengan stasiun Pajan Barat dan Pajan Barat 2 dapat diketahui bahwa spesies yang paling mendominasi adalah Avicennia officinalis dan Ceriops tagal. Stasiun Tanjung Kiaok secara keseluruhan didomiminasi oleh spesies yang sama yaitu Rhizophora apiculata. Selain itu pada lokasi penelitian ditemukan 12 spesies makrozoobentos yang terbagi dalam 3 kelas organisme. Kelas tersebut adalah Gastropoda (10 jenis), Bivalvia (1 jenis), dan Malacostraca (1 jenis). Sedangkan prosentase keberadaan makrozoobentos pada seluruh stasiun adalah 83% berupa gastropoda, 8% ditemukan bivalvia dan 9% malacostraca. Hasil analisis faktorial koresponden pada saat surut terendah menunjukkan bahwa stasiun S11 berada didominasi oleh mangrove dari spesies Rhizophora apiculata. Stasiun ini cenderung berada pada substrat lempung berpasir dengan faktor lingkungan yang paling mempengaruhi adalah pH dan deterjen. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang berada pada lokasi ini sangat menonjol pada nilai pH dan deterjen. Adapun pada stasiun S8 dan S13, masing-masing memiliki mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis ternyata banyak ditemukan gastropoda. Parameter yang paling berpengaruh dari kuadran ini adalah TOM, pH, deterjen, P, dan N organik. Sedangkan pada stasiun S5 dimana spesies Pandanus tectorius mendominasi memiliki substrat berpasir dan tidak ditemukan makrozoobentos. Parameter yang mendominasi pada stasiun ini adalah C organik dan deterjen. Stasiun S2 yang didominasi oleh mangrove dari spesies Avicennia marina memiliki parameter yang mendominasi berupa N organik, P, TOM, dan pH. Sebaran spasial hubungan ekosistem mangrove dengan lingkungannya pada kondisi pasang tertinggi menunjukkan bahwa pada stasiun S5 ditemukan spesies Pandanus tectorius. Pada stasiun ini parameter lingkungan yang mendominasi adalah N organik, P, C organik, pH dan tidak ditemukan makrozoobentos. Sedangkan pada stasiun S2 berada memiliki substrat pasir dan didominasi oleh parameter TOM, pH, dan deterjen. Tidak ditemukannya makrozoobentos disini dikarenakan makrozoobentos sulit untuk hidup pada substrat berpasir yang disebabkan oleh dinamika substrat pasir yang lebih dinamis. Stasiun S8 dan S13 dimana tumbuh mendominasi mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis, ternyata sangat disukai oleh makrozoobentos dari kelas gastropoda. Parameter kualitas lingkungan yang dominan pada stasiun ini adalah C, N organik, P, dan TOM. Sedangkan pada stasiun S11 memiliki substrat lempung berpasir dengan dominasi spesies Rhizophora apiculata memiliki karakter lingkungan yang didominasi oleh C organik, TOM, dan deterjen. Berdasarkan hasil perhitungan beban pencemar dan kapasitas asimilasi, dapat diketahui bahwa stasiun pada ekosistem mangrove (A8, A11, dan A13) secara umum memiliki nilai kapasitas asimilasi under capacity pada parameter deterjen, amonia, dan BOD5. Sedangkan telah mengalami over capacity pada parameter kekeruhan, nitrat, dan fosfat. Adapun pada stasiun setelah ekosistem mangrove (A3, A6, A9, A12 dan A14) secara umum memiliki nilai kapasitas asimilasi under capacity pada parameter deterjen, amonia, dan BOD5. Sedangkan parameter nitrat dan fosfat telah mengalami over capacity. Adapun parameter kekeruhan, memiliki nilai over capacity pada saat surut, dan mengalami under capacity pada saat pasang.
ix
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
x
xi
EKOSTRUKTUR MANGROVE DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SERTA KAPASITAS ASIMILASI PESISIR PULAU SEPANJANG KABUPATEN SUMENEP MADURA
WAHYU A’IDIN HIDAYAT
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dedi Sudharma, DEA
xiii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
Nama NRP
: Ekostruktur Mangrove dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan serta Kapasitas Asimilasi Pesisir Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura : Wahyu A’idin Hidayat : C551090071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua
Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Tanggal Ujian : 20 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr. Tanggal Lulus :
xiv
xv
PRAKATA Penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT atas segala rahamatNya dengan selesainya penelitian dengan judul Ekostruktur Mangrove dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan serta Kapasitas Asimilasi Pesisir Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura. Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan dalam rangka penyelesaian tugas akhir pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terfokus pada permasalahan pencemaran organik yang selama ini menjadi masalah serius yang harus diselesaikan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Telah banyak diketahui salah satu fungsi mangrove adalah menyerap bahan pencemar. Namun demikian tidak banyak penelitian yang memfokuskan pada pencemaran organik yang disebabkan oleh limbah antropogenik. Kekayaan sumberdaya alam berupa ekosistem mangrove di Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura sangat melimpah. Tercatat terdapat 36 jenis mangrove dan 23 diantaranya merupakan spesies langka (menurut IUCN) (Lampiran 1). Selain itu wilayah ini merupakan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang harus dikelola dengan baik. Komparasi antara kemampuan menyerap bahan pencemar dan banyaknya spesies serta terisolirnya lokasi penelitian akan menjadi perhatian khusus dan fokus penelitian. Hasil studi ini sedang dalam proses publikasi pada beberapa jurnal kelautan dengan harapan dapat dijadikan rujukan ilmiah dalam upaya eksplorasi sumberdaya alam pesisir dan laut serta sebagai rujukan upaya pengelolaan pulaupulau kecil khususnya di Kabupaten Sumenep, Madura.
Bogor, 20 Juli 2011 Ttd Wahyu A’idin Hidayat
xvi
xvii
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang telah mendukung terselesaikannya penelitian ini. 1. Kedua Orang Tua dan seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis untuk terus belajar dan terus berusaha. 2. Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, selaku anggota komisi pembimbing sekaligus “BAPAK” yang sangat berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan yang sangat membantu dalam proses pembelajaran. 3. Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak membimbing dan memberikan masukan dalam upaya terselesaikannya penelitian. 4. Prof. Dr. Ir. Dedi Sudharma, M.Sc. selaku penguji pada proses tahap akhir penyelesaian studi yang memberikan saran bagi penyempurnaan hasil penelitian. 5. Prof.Dr.Ir Cecep Kusmana, MS., Prof.Dr.Ir. Harpasis S. Sanusi, Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., Ir. Suhardjono, dan Dr. Ir. Tri Partono, M.Sc. atas saran dan informasi yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian. 6. Dr. Agus Romadhon, SP, M.Si, Fery Kurniawan, Miftachul Ilmi, Sabtana Ari, Sawiya, Yunus, dan teman-teman kos pojok Sendi, Aris, Om Joffa, terimakasih atas dukungannya. 7. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang Lumban, Maria, Ai, Mbak Ana, Teja, Kahar, Pak Kapten, Mbak Citra, Pak Roni, Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta dorongan selama menempuh belajar bersama, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.
xviii
xix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada Tanggal 10 Juni 1986 di Sidoarjo, sebagai putra pertama dari 3 bersaudara pasangan H. Nur Kholis, S.Pd. dan Siti Badriah, S.Pd. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Simoketawang, Wonoayu, Sidoarjo. Pendidikan berikutnya adalah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Tambakberas Jombang, lulus pada Tahun 2002. Pendidikan menengah tingkat atas diselesaikan pada Tahun 2005 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tambakberas Jombang. Setelah lulus dari MAN Tambakberas Jombang penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura pada tahun 2005 dan menyelesaikan studinya dengan masa studi 3,5 tahun sehingga awal Tahun 2009 sudah dapat menyelesaikan pendidikannya. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di program magister pada Jurusan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian studi S2 dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyusun tesis dengan judul “Ekostruktur Mangrove dan Hubungannya dengan Karakteristik Lingkungan serta Kapasitas Asimilasi Pesisir Pulau Sepanjang Kabupaten Seumenep Madura”. Sejak pendidikan menengah penulis telah aktif di dunia organisasi dan pernah menjabat sebagai pimpinan redaksi majalah SMA Tahun 2004/2005. Pengalaman tersebut terus dikembangkan disaat menempuh pendidikan di Universitas Trunojoyo dengan menjadi Ketua Bhakti Bahari 2006 dan sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan (HIMALA) Universitas Trunojoyo pada Tahun 2007/2008. Selain dunia organisasi, penulis juga aktif di dunia karya tulis ilmiah. Lebih dari 12 karya tulis yang pernah dibuat selama menjadi mahasiswa dengan penghargaan diantaranya : Finalis PKM DIKTI Tahun 2008 dan 2009, Finalis Pelayaran Kebangsaan Tahun 2008, Finalis PKM DIPA dan LKTM DIPA mulai Tahun 2006 hingga 2008.
xx
xxi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxiii DAFTAR TABEL ................................................................................................xxv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii 1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3 1.5 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................7 2.1 Ekosistem Mangrove ................................................................................... 7 2.1.1 Pengertian Ekosistem Mangrove........................................................7 2.1.2 Distribusi dan Zonasi .........................................................................7 2.1.3 Karakteristik Abiotik dan Lingkungan Hidup Mangrove ..................9 2.1.4 Karakteristik Biotik Mangrove ........................................................13 2.1.5 Fungsi dan Manfaat Mangrove ........................................................14 2.2 Pencemaran Lingkungan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil .......................... 16 2.2.1 Pengertian Pencemaran ....................................................................16 2.2.2 Bahan Pencemar ...............................................................................17 2.2.3 Faktor Penyebab Pencemaran ..........................................................20 2.2.4 Analisis Beban Pencemar .................................................................22 2.2.5 Kapasitas Asimilasi ..........................................................................23 2.3 Parameter Kualitas Air .............................................................................. 24 2.3.1 TSS (Total Suspended Solid) ...........................................................24 2.3.2 Kebutuhan Oksigen Biokimia dan Kimiawi (BOD5) .......................25 2.3.3 Unsur Nitrogen (NH3, NO2, NO3) ....................................................26 2.3.4 Fosfor ...............................................................................................28 2.3.5 Suhu..................................................................................................29 2.3.6 Salinitas ............................................................................................30 2.3.7 Derajat Keasaman (pH) ....................................................................30 2.3.8 Oksigen Terlarut (DO) .....................................................................30 2.4 Sedimen ..................................................................................................... 31
xxii 2.5 Makrozoobentos ......................................................................................... 33 2.6 Pulau-Pulau Kecil ...................................................................................... 35 2.6.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil .......................................................... 35 3. METODE PENELITIAN .................................................................................. 39 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 39 3.2 Pengumpulan Data ..................................................................................... 42 3.2.1 Jenis Data......................................................................................... 42 3.2.2 Metode Pengambilan data ............................................................... 42 3.3 Analisis Data .............................................................................................. 49 3.3.1 Kondisi Mangrove ........................................................................... 49 3.3.2 Analisis Substrat .............................................................................. 52 3.3.3 Struktur Komunitas Makrozoobenthos ............................................ 54 3.3.4 Model Kualitatif dan Kuantitatif ..................................................... 55 3.3.5 Analisis Data.................................................................................... 57 4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 59 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 60 5.1 Ekostruktur Mangrove ............................................................................... 60 5.1.1 Distribusi dan Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove ........................ 60 5.1.2 Struktur Vegetasi Mangrove ............................................................ 63 5.2 Karakteristik Biofisik Lingkungan............................................................. 66 5.2.1 Parameter Fisika Kimia Perairan ..................................................... 66 5.2.2 Distribusi Spasial Karakteristik Fisika dan Kimia Air .................... 79 5.2.3 Karakteristik Fisika Kimia Sedimen................................................ 81 5.2.4 Struktur Komunitas Makrozoobentos .............................................. 90 5.3 Hubungan Mangrove dan Karakteristik Biofisik Lingkungan ................... 92 5.4 Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Pulau Sepanjang ... 96 5.4.1 Stasiun pada Ekosistem Mangrove (A8, A11, dan A13) ................. 98 5.4.2 Stasiun setelah Ekosistem Mangrove (A3, A6, A9, A12 dan A14) ............................................................................................... 103 6. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 107 6.1 Kesimpulan .............................................................................................. 107 6.2 Saran......................................................................................................... 108 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 109
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran ......................................................................... 5 2. Skema keterkaitan antara faktor fisik-kimiawi dengan tumbuhan mangrove. 12 3. Proses transformasi dan pengaruh bahan pencemar dalam ekosistem (Sanusi dan Putranto, 2009) ......................................................................................... 19 4. Chemistry of nitrogen compounds in mangrove soil ...................................... 27 5. Peta lokasi penelitian ...................................................................................... 40 6. Kerangka penelitian ........................................................................................ 41 7. Ilustrasi penentuan transek di stasiun penelitian ............................................. 44 8. Ilustrasi pengambilan sample sedimen ........................................................... 45 9. Ilustrasi penampang trapesium untuk mengukur debit air .............................. 48 10. Tipe substrat berdasarkan Segitiga Miller....................................................... 53 11. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar .................... 57 12. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan keberadaan mangrove ..... 62 13. Kondisi pasang surut pada lokasi penelitian ................................................... 66 14. Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun pusat pencemaran ........................ 69 15. Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun mangrove ..................................... 71 16. Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun setelah ekosistem mangrove ........ 73 17. Biplot kualitas perairan pada kondisi pasang tertinggi ................................... 80 18. Biplot kualitas perairan pada kondisi surut terendah ...................................... 80 19. Karakteristik fisika kimia sedimen pada stasiun pusat pencemar ................... 84 20. Karakteristik fisika kimia sedimen pada stasiun ekosistem mangrove ........... 86 21. Karakteristik fisika kimia sedimen setelah ekosistem mangrove ................... 88 22. Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi pasang tertinggi ....... 89 23. Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi surut terendah .......... 89 24. Komposisi kelas makrozoobentos pada lokasi penelitian ............................... 90 25. Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat surut terendah ...........................................................................................95 26. Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat pasang tertinggi .........................................................................................95 27. Analisis regresi antara konsentrasi deterjen dan beban pencemar deterjen .... 99 28. Analisis regresi antara konsentrasi kekeruhan dan beban pencemar kekeruhan...................................................................................................... 100
xxiv 29. Analisis regresi antara konsentrasi nitrat dan beban pencemar nitrat ........... 100 30. Analisis regresi antara konsentrasi amonia dan beban pencemar amonia .... 101 31. Analisis regresi antara konsentrasi fosfat dan beban pencemar fosfat .......... 102 32. Analisis regresi antara konsentrasi BOD5 dan beban pencemar BOD5 ......... 102 33. Analisis regresi antara konsentrasi deterjen dan beban pencemar deterjen... 103 34. Analisis regresi antara konsentrasi kekeruhan dan beban pencemar kekeruhan ...................................................................................................... 104 35. Analisis regresi antara konsentrasi nitrat dan beban pencemar nitrat ........... 104 36. Analisis regresi antara konsentrasi amonia dan beban pencemar amonia ..... 105 37. Analisis regresi antara konsentrasi fosfat dan beban pencemar fosfat .......... 105 38. Analisis regresi antara konsentrasi BOD5 dan beban pencemar BOD5 ......... 106
xxv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi beberapa beberapa vegetasi mangrove ............................................................................................13 2. Volume rata-rata limbah domestik .................................................................. 20 3. Sumber pencemar (pollutants) di wilayah pesisir dan lautan .......................... 21 4. Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan konsentrasi BOD 5 ............ 25 5. Skala Wentworth ............................................................................................. 32 6. Kecepatan endapan sedimen............................................................................ 32 7. Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan keberadaan kelompok bentos ... 35 8. Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua .......................................................................................37 9. Jenis, alat dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian .................... 43 10. Karakteristik stasiun dan pemberian kode stasiun penelitian ......................... 46 11. Jumlah tegakan mangrove setiap 300m2 ......................................................... 61 12. Indek Nilai Penting (INP) mangrove setiap 300 m 2........................................ 65 13. Indek keanekaragaman (H’), E (keseragaman), dan Dominansi (D) .............. 65
xxvi
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar tumbuhan mangrove di Pulau Sepanjang ........................................... 115 2. Fraksi sedimen pada tiga layer yang berbeda ................................................ 116 3. Parameter fisika kimia perairan..................................................................... 117 4. Parameter fisika kimia sedimen .................................................................... 128 5. Profil makrozoobentos pada stasiun penelitian ............................................. 129 6. Kelimpahan dan struktur komunitas makrozoobentos .................................. 130 7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut) ........................................131 8. Nilai beban pencemar pada lokasi penelitian ................................................ 133 9. Nilai kapasitas asimilasi pada lokasi penelitian ............................................ 134 10. Prosedur pengukuran DO (Disolved Oxigen) dengan menggunakan Metode Winkler ............................................................................................ 135 11. Prosedur pengukuran BOD5 (Biological Oxygen Demand) .......................... 136 12. Prosedur pengukuran nitrat ........................................................................... 137 13. Prosedur pengukuran nitrit ............................................................................ 138 14. Prosedur pengukuran amonia ........................................................................ 139 15. Prosedur pengukuran TSS (Total Suspended Solid) ..................................... 140 16. Prosedur penetapan tekstur sedimen ............................................................. 141 17. Prosedur pengukuran Total Organik Matter (TOM) .................................... 142 18. Prosedur analisis deterjen.............................................................................. 143 19. Dokumentasi penelitian................................................................................. 144
1
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Desakan pertumbuhan penduduk selalu beriring dengan resiko tercemar dan menurunnya kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan antara lain sebagai akibat pembuangan sampah dan limbah yang menjadi hasil sampingan dari pertumbuhan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya. Constanza et al., (1997) menyatakan bahwa sekitar 60 % penduduk dunia berada di wilayah pesisir. Jumlah tersebut terus meningkat dan berdampak pada peningkatan kebutuhan manusia, produksi sampah dan limbah hasil aktivitas manusia. Semakin besar populasi penduduk maka semakin banyak pula tekanan pada lingkungan pantai, termasuk permukaan perairan akibat polusi pembuangan limbah cair (Putnam et al., 2010). Pencemaran terhadap sumber daya air terjadi sejak lama baik di laut, danau maupun sungai. Situasi tersebut memberikan tekanan yang sangat besar terhadap lingkungan pesisir khususnya dalam penurunan kualitas lingkungan, keanekaragaman hayati, hilangnya suatu habitat, dan pada akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup penduduk yang mendiaminya (Herrera-Silveira dan Morales-Ojeda, 2009). Terdapat beberapa sumber pencemaran bagi lingkungan perairan yaitu limbah industri dan limbah rumah tangga. Limbah rumah tangga ini akan terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk di suatu wilayah. Air limbah domestik dapat meningkatkan organisme patogen, nutrien, dan beban organik pada ekosistem pesisir sehingga mengurangi kualitas air dan sedimen (Putnam et al., 2010). Pengelolaan limbah rumah tangga sangat membutuhkan perhatian khusus demi keberlanjutaan ekosistem dan upaya menjaga kualitas lingkungan. Terlebih pengelolaan limbah tersebut apabila dilakukan di pulau kecil. Hal tersebut dikarenakan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang memiliki luas sangat terbatas sehingga sangat terbatas pula dalam menerima limbah. Dalam upaya pengelolaan limbah rumah tangga, ekosistem mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap limbah organik baik yang dilakukan oleh individu mangrove maupun oleh ekosistemnya (Wu et al., 2008).
2 Ekosistem mangrove Pulau Sepanjang memiliki luas + 3.000 ha dengan lebar kawasan bervariasi (250 – 1.500) m yang terdiri dari 36 jenis tumbuhan mangrove yang tergolong dalam 22 suku dan 27 marga (Suhardjono dan Rugayah, 2007) (Lampiran 1). Dengan potensi tersebut, maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar peran dan efektifitas ekosistem mangrove dalam mengendalikan pencemaran terhadap lingkungan, dalam artian seberapa besar kapasitas asimilasi ekosistem mangrove dalam menerima beban pencemar di pesisir Pulau Sepanjang. 1.2 Perumusan Masalah Pulau Sepanjang merupakan salah satu pulau yang terletak di gugus Pulau Sapeken dengan luas wilayah 72,11 km2. Pulau dengan kepadatan penduduk sebanyak
109
orang/km2
ini
memproduksi
limbah
sebanyak
203,61
liter/orang/hari (Data BTKL tahun 2005 in Mukhtasor, 2007). Seperti telah diketahui bahwa pulau kecil memiliki karakteristik yang khas secara ekologis berupa keterpisahan dengan pulau induk (mainland island) sehingga memiliki batas fisik yang jelas terpisah dengan pulau induk dan bersifat insuler. Keterpisahan tersebut mengakibatkan pulau kecil memiliki kemampuan yang sangat kecil dalam menerima tekanan baik dari darat maupun dari laut. Ekosistem mangrove dikenal memiliki fungsi dan peran dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
ekosistem
mangrove
memberikan
kontribusi
signifikan
dalam
mengendalikan nutrien dan bahan organik dari air limbah serta untuk menjaga kualitas air di daerah estuaria. Fungsi tersebut terpenuhi melalui proses sedimentasi, filtrasi, aktivitas mikroba, penyerapan tanaman, dan lain sebagainya. Proses tersebut terjadi ketika air limbah tersebut melewati ekosistem mangrove. Namun demikian, ekosistem mangrove memiliki batas dalam menerima beban pencemar sehingga perlu dilakukan kajian kapasitas asimilasinya. Kajian kapasitas asimilasi merupakan kajian terhadap kemampuan suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima beban pencemar tanpa menyebabkan gangguan maupun kerusakan bagi lingkungan dan ekosistem tersebut. Kajian tersebut membutuhkan hubungan antara komponen ekosistem mangrove dan
3 polutan yang berpotensi dalam mencemari lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam upaya mengetahui hubungan ekostruktur mangrove dengan kualitas lingkungan dan kapasitas asimilasi pesisir Pulau Sepanjang dibutuhkan kajian yang mendalam mengenai: 1. Ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang 2. Hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan pesisir Pulau Sepanjang 3. Jumlah beban limbah organik dan analisis kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang b. Mengetahui hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan c. Mengkuantifikasi beban limbah organik dan menganalisi kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan vegetasi
mangrove
dan
kualitas
lingkungannya
serta
diharapkan
pula
mendapatkan informasi yang tepat mengenai kapasitas asimilasi pesisir Pulau Sepanjang dalam upaya mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Selain itu sebagai bahan pertimbangan dalam membuat rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya Pulau Sepanjang Kecamatan Sapeken Madura. 1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu permasalahan kompleks yang ada di wilayah pesisir pulaupulau kecil berpenduduk adalah limbah yang dapat menyebabkan pencemaran. Suatu wilayah dapat dikatakan tercemar apabila beban pencemar melebihi kapasitas asimilasi di wilayah tersebut. Permasalahan di pesisir pulau-pulau kecil tersebut dikarenakan sifat insuler dan wilayah yang relatif sempit dan memiliki ekosistem pesisir yang sensitif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi
4 positif bagi keberlangsungan hidup penduduk yang mendiaminya. Namun dilain pihak apabila pemanfaatan tersebut berlebihan, maka akan menimbulkan pencemaran dan jika dibiarkan akan berpotensi untuk melebihi kapasitas asimilasi yang dimiliki dan berakibat fatal bagi sistem kehidupan. Pada dasarnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ekosistem pesisir yang khas (salah satunya adalah ekosistem mangrove) memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan pencemaran. Kemampuan tersebut dimiliki baik oleh tegakan mangrove maupun ekosostemnya. Oleh karena itu perlu diketahui secara kuantitatif berapa sebenarnya kapasitas asimilasi yang dimiliki ekosistem mangrove. Menurut Anna (1999), pada suatu penelitian untuk dapat mengukur beban limbah pencemaran dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Pertama adalah dengan melakukan penilaian secara cepat melalui pemanfaatan data yang dapat mendukung perhitungan tersebut (meliputi jumlah penduduk, sumber pencemar, dan lain-lain) yang kemudian dihitung total beban pencemar yang dihasilkan. Yang kedua adalah dengan melakukan pengukuran secara langsung terhadap beban pencemaran pada lokasi penelitian dan dilakukan perhitungan dan pendekatan antara beban pencemar dengan keberadaan ekosistem mangrove. Adapun kerangka pemikiran secara lengkap disajikan pada Gambar 1.
5 a
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
b
Jenis Bahan Pencemar
Antropogenik ▪ Industri ▪ Domestik ▪ Transportasi ▪ Pertanian
Alamiah ▪ Letusan Gunung Berapi ▪ Pelapukan Batuan
Ekosistem Mangrove
Fungsi Ekosistem mangrove - Jasa Lingkungan - Pengendali Pencemaran Beban Pencemar
c Nilai Baku Mutu Kualitas Lingkungan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
Kapasitas Asimilasi Ekosistem Mangrove
Status Pencemaran
KBP < KBM Tidak tercemar
KBP > KBM Tercemar
Keterangan : a) tujuan 1; b) tujuan 2; c) tujuan 3; KBP = konsentrasi bahan pencemar; KBM = konsentrasi baku mutu Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
7
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove 2.1.1
Pengertian Ekosistem Mangrove Ekosistem
merupakan
unit
fungsional
antara
komunitas
dengan
lingkungan abiotiknya (Partanto dan Al barry, 1994). Sedangkan mangrove sering dikatakan sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau yang tumbuh khas di wilayah tropis dan dipengaruhi oleh kondisi pasang surut (Hogarth, 2007; Dahuri et al., 2008; Nagelkerken et al., 2008; Akamatsu, 2009) yang didominasi oleh spesies yang khas dan mempunyai kemampuan pada wilayah yang lembab dan berlumpur (Nybakken, 1992). Sehingga ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai hutan intertidal yang sangat produktif yang terdistribusi sepanjang pantai tropis dan mampu menstabilkan zona pantai dari erosi serta bertindak sebagai zona penyangga antara darat dan laut (Prasad dan Ramanthan, 2008). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dalam sistem ekologi di daerah pantai Indonesia (Bengen dan Dutton, 2004). Sedangkan Nursal et al., (2005); Tam et al., 2009) berpendapat bahwa hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat di daerah pantai tropis, mempunyai periode basah dan kering, karena mereka secara periodik tergenangi oleh arus masuk dan keluar. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan gelombang (Kusmana et al., 2008). Dalam ekosistem mangrove terdapat gabungan komponen daratan dan komponen lautan, dimana termasuk di dalamnya adalah flora dan fauna yang hidup saling bergantungan satu dengan yang lain. Parameter pembatas bagi persebaran mangrove adalah iklim, geomorfologi dan sedimentologi pantai, range pasang surut, pengaruh air tawar dan hidrologi (Woodroffe, 1992 in Perry dan Berkeley, 2009) dan terletak pada garis lintang sekitar antara 25 N dan 25 S (Knox, 2000). Sedangkan Kennish (2001) berpendapat antara 28°N dan 25°S. 2.1.2
Distribusi dan Zonasi Mangrove di beberapa pantai tropis yang landai dapat tumbuh dengan
lebat dan mempunyai lebar mencapai 5 km yang dimulai dari tepi menuju ke laut
8 dan dapat tumbuh hingga ribuan hektar pada estuaria (Knox, 2000). Menurut Spalding et al., (1997) in Hogarth (2007) luas mangrove yang ada di dunia mencapai 18.000.000 ha, dan menurut Wilkie and Fortuna (2003) in McLeod dan Salm (2006) pada tahun 2003 turun menjadi 14.653.000 ha dari total yang hidup di daerah tropis dan sub tropis. Indonesia dikenal mempunyai keanekaragaman jenis mangrove tertinggi di dunia (Nontji, 1987). Indonesia memiliki kekayaan 202 jenis mangrove yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas (Bengen, 2002). Sedangkan Nontji (1987) berpendapat bahwa tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Menurut Bengen (2002) dan Nybakken (1992), vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhizopora,
Bruguiera,
Ceriops,
Xylocarpus,
Lumnitzera,
Languncularia,
Aegeceras, Snaeda dan Conocarpus yang termasuk dalam delapan famili. Namun demikian dari keseluruhan jenis diatas, hanya 47 jenis tumbuhan yang spesifik berupa hutan mangrove. Hogarth (2007) berpendapat bahwa tumbuhan spesifik mangrove (true mangrove) berjumlah 55 spesies yang terbagi dari 20 genera dan dimiliki oleh 16 famili. Menurut Noor et al., (2006), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain : a. Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Termasuk mangrove jenis ini adalah Avicennia marina. b. Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka. Pada lokasi ini didominasi oleh Rhizophora. c. Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air tawar. Pada lokasi ini biasanya didominasi oleh Nypa atau Sonneratia. d. Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan tertinggi dan jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini
9 termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis. 2.1.3
Karakteristik Abiotik dan Lingkungan Hidup Mangrove Mangrove
memiliki
tipe
karakter
khusus
dalam
mendukung
perkembangannya. Terdapat 3 komponen yang mengatur lingkungan hidup mangrove diberbagai lokasi, yaitu : geofisika, geomorfik, dan biologis (Thom, 1982 in Knox, 2000). Sedangkan menurut Hutabarat et al., (2009); Dahuri et al., (2008); Bengen dan Dutton (2004), ada beberapa parameter lingkungan utama karakter abiotik yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu : a. Suplai air tawar dan salinitas Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah suplai atau pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai, mata air, dan air tanah. Tingkatan salinitas pada air dikategorikan sebagai oligohalin (yaitu apabila memiliki salinitas 0.5 – 5 ppt), mesohalin (apabila mempunyai salinitas antara 5 – 30 ppt) dan polyhalin (yaitu dengan salinitas sebesar 18 – 30 ppt) (Bengen dan Dutton, 2004). Nirarita et al, (1996) in Nursal et al., (2005) berpendapat bahwa airnya payau mempunyai salinitas 2 - 22 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt. Berbedanya salinitas tersebut dikarenakan masuknya dan bercampurnya air polihalin dan air dengan salinitas rendah dalam hutan mangrove. Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) sangat mempengaruhi keberlangsungan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung dari : (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfir. Walaupun ekosistem mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam dan isi air tergantung dari tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi.
10 b. Pasokan nutrien Pasokan nutrien tidak semata-mata diproduksi secara langsung oleh ekosistem mangrove, namun juga disuplai oleh sungai dan laut (Bengen dan Dutton, 2004). Nutrien sangat dibutuhkan oleh mangrove untuk melangsungkan hidupnya. Dalam memelihara produktivitasnya, ada dua hal yang sangat mempengaruhi konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien : (1) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar, dan (2) dinamika sirkulasi internal dan kompleks detritus. Proses-proses tersebut sangat mempengaruhi terhadap pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove.
c. Substrat Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada tanah lumpur, namun berberapa spesies dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, dan tanah gambut (Kusmana et al., 2008). Tanah mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen rendah, dan kaya bahan organik. Pembentukan tanah mangrove dipengaruhi: (1) faktor fisik, seperti transport nutrien oleh arus pasang surut dan aliran sungai; (2) faktor fisik-kimia, seperti agregasi berbagai partikel; dan (3) faktor biotik, seperti produksi dan perombakan bahan organik. Tanah mangrove tersusun atas pasir (sand), lumpur/ debu (silt) dan tanah liat (clay) dengan komposisi berbeda-beda. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan tergenang air laut secara periodik, kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, dinamika pasang-surut dan gerakan angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove dalam menahan berbagai akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritis meliputi: (1) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove; (2) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic).
11 d. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan yang berasosiasi dengan mangrove dalam melangsungkan proses fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Tanah mangrove umumnya berupa lumpur yang selalu jenuh air, sehingga hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah dari pada laut terbuka (Bengen dan Dutton, 2004). Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang memiliki bahan organik berlebih, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan organik, sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tumbuhan mangrove beradaptasi melaui sistem perakaran yang khas. Sebagai contoh adalah Aegialites dan Sonneratia spp. menyiasatinya dengan adanya pneumatofora. Kekurangan oksigen juga dipenuhi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan, misalnya kepiting. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah, keanekaragaman tumbuhan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi terjadi pada siang hari dan terendah pada malam hari.
e. Pasang-surut air laut Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas area mangrove Aksornkoae (1993). Salinitas air meningkat pada saat pasang naik, dan menurun pada saat pasang surut. Hal ini dapat membatasi zonasi dan distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal (Kusmana et al., 2008). Indonesia pada umumnya memiliki tipe pasang surut mixed semi diurnal tides yaitu dengan 2 kali pasang tertinggi dan 2 kali surut terendah dalam sehari dengan posisi ketinggian yang tidak sama (Bengen dan Dutton, 2004). Area pantai diantara pasang tertinggi highest high water spring tide (HHWST) dan surut terendah low water spring tide (LLWST) atau yang disebut daerah intertidal. Adapun daerah yang ada di tengah tengahnya mid tide level
12 (MTL) sampai dengan HHWST merupakan daerah pertumbuhan mangrove (Bengen dan Dutton, 2004). Pada area yang selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan Xylocarpus jarang mendominasi area ini. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa air tawar dan laut, sehingga mempengaruhi distribusi vertikal spesies mangrove. Ekosistem mangrove yang tumbuh di daerah pasang harian memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari daerah semi-diurnal atau pasang campuran (Aksornkoae, 1993). Rentang pasang surut dapat mempengaruhi sistem perakaran mangrove. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih tinggi daripada di daerah yang rentangnya sempit. Tomlinson (1986) dan UNEP (1994) in Bengen dan Dutton (2004) menyatakan bahwa mangrove sejati terbatas pada daerah intertidal diantara muka laut saat neap tide dan spring tide. Apabila mangrove hidup dalam kondisi yang optimal misalnya didaerah delta sungai, estuaria dan laguna, maka pohon mangrove bisa tumbuh mencapai 45 m sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Hutchings dan Saenger (1987) menambahkan hubungan antara faktorfaktor kimia fisika dan proses kehidupan penting bagi mangrove pada Gambar 2.
Sumber : Hutchings dan Saenger (1987) Gambar 2 Skema keterkaitan antara faktor fisik-kimiawi dengan tumbuhan mangrove
13 2.1.4
Karakteristik Biotik Mangrove
Menurut Soerinaga dan Indrawan (1984) in Bengen dan Dutton (2004), kunci karakteristik hutan mangrove yang ada di Indonesia adalah : 1. Terpengaruh oleh kondisi pasang surut 2. Tidak terpengaruh oleh perubahan musim 3. Tumbuh di tanah khususnya tanah liat berlumpur dan berpasir yang tergenang oleh air laut 4. Berada pada pantai landai 5. Tidak terstruktur pada lapisan tegakan hutan 6. Tinggi pohon mencapai 30 m 7. Terdiri dari pohon asosiasi yang tumbuh mulai dari laut menuju bagian dalam, yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora/ Bruguiera, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera dan Nypa fruticans 8. Ditumbuhi spesies ikutan : Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, A. ebracteatus Vegetasi hutan mangrove di Indonesia sangat beragam, dengan beberapa faktor yang mempengaruhi zonasi dan keanekaragamannya (Bengen, 2002; Bengen dan Dutton, 2004). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi beberapa vegetasi mangrove disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi beberapa vegetasi mangrove
1 2
Rhizopora mucronata Rhizopora apiculata
10 - 30 10 - 30
Toleransi terhadap gelombang dan angin Tinggi Sedang
3
Bruguiera gymnorrhiza
10 - 30
Rendah
Tinggi
4
Lumnitzera littoralis
10 - 30
Sangat rendah
Sedang
5 6 7
Bruguiera parviflora Rhizopora stylosa Sonneratia alba
10 - 30 10 - 30 10 - 30
Rendah Sedang Sedang
Tinggi Tinggi Tinggi
8
Sonneratia caseolaris
10 - 30
Sedang
Tinggi
9
Avicennia spp.
10 - 30
Sedang
Tinggi
10
Xylocarpus granatum
10 - 30
Rendah
Sedang
No
Nama tumbuhan
Salinitas (ppt)
Sumber : Bengen (2002); Bengen dan Dutton (2004)
Toleransi terhadap lumpur Tinggi Tinggi
Frekuensi penggenangan 29 hari/ bulan Beberapa hari/ bulan Beberapa hari/ bulan Beberapa hari/ bulan <9 hari/ bulan <9 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 10-19 hari/ bulan 9 hari/ bulan
14 2.1.5
Fungsi dan Manfaat Mangrove Terdapat banyak fungsi ekosistem mangrove yang dapat dirasakan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Bengen dan
Dutton (2004)
mengelompokkan fungsi terpenting ekosistem mangrove menjadi 6 bagian, yaitu : (1) sebagai pelindung dari erosi yang disebabkan oleh gelombang dan angin; (2) produsen bahan organik sehingga bisa menjadikannya sebagai rantai makanan bagi ikan, kepiting dan udang; (3) daerah pelindung bagi fauna muda seperti burung, kelelawar dan sebagai feeding ground dan spawning ground bagi ikan dan udang tertentu; (4) sebagai penghasil bahan baku industri; (5) sebagai pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya; dan (6) sebagai tempat wisata dan rekreasi. Selain manfaat diatas, mangrove memiliki manfaat yang diklasifikasikan menjadi 3, yaitu manfaat fisik, manfaat ekonomi dan manfaat biologi. Dari segi fisik mangrove mumpunyai fungsi sebagai ekosistem yang menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut (Furukawa et al., 1997 in Perry dan Berkley, 2009); menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru; sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau sebagai filter air asin menjadi air tawar; sebagai pengurai bahan organik (Anwar dan Subiandono, 1997 in Bengen dan Dutton, 2004). Adapun fungsi mangrove dari segi biologi adalah sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi ikan, udang, burung dan satwa lain (Bengen dan Dutton, 2004); sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika; sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut (Kon et al., 2009); sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) oleh bermacam-macam ikan, krustasea (kepiting dan udang), bivalvia, dan gastropoda (Bengen dan Dutton, 2004); Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. Zamroni dan Rohyani (2008) menambahkan bahwa produksi serasah di Pantai Teluk Sepi dengan luas 128,74 ha dapat mencapai 9,9 ton/ha/tahun, selain itu mangrove juga berperan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang (Macia et al., 2003); sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi
15 plankton juga sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan dan biota lainnya (Bengen dan Dutton, 2004). Mangrove juga membantu dalam memberi perlindungan terhadap lamun dan ekosistem terumbu karang dari dampak negatif pengkayaan nutrien dan sedimentasi (Adame et al., 2010). Fungsi lain yang dimiliki ekosistem mangrove adalah fungsi ekonomi, misalnya sebagai penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan; penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu; penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga (Bengen dan Dutton, 2004). Selain itu ekosistem mangrove memiliki fungsi wisata yang bermanfaat untuk dinikmati secara langsung yang sekaligus berfungsi untuk melestarikan keberadaan mangrove di lokasi wisata, konservasi dan penelitian (Bengen, 2002). Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara mangrove dan pencemaran terhadap lingkungan. Misalnya yang dilakukan oleh Chiu dan Chou (1991 dan 1995) in Sadooni dan El-Kassas (1999) yang mempelajari tentang pengaruh distribusi logam berat pada hutan mangrove di daerah estuaria Thamsui, Taiwan. Hasil dari studi menyebutkan bahwa konsentrasi logam berat secara berurutan menurun mulai dari akar ke batang, daun dan bibit serta terdapat korelasi positif antara jumlah logam berat yang terdapat dalam jaringan tubuh dengan di substrat. Pada penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa logam berat yang terdapat bibit mangrove Kandelia candel lebih banyak ditemukan dari pada dalam padi sehingga dapat disimpulkan bahwa mangrove jenis ini dapat beradaptasi dengan logam berat dalam jumlah yang lebih besar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Boeer (1993) in Sadooni dan ElKassas (1999) menyatakan bahwa respon pneumatofora Avicennia marina memiliki lebih banyak cabang pada lingkungan yang tercemar oleh minyak dibandingkan pada lingkungan yang tidak terjadi pencemaran. Demikian pula yang dilakukan oleh Dasiva et al., (1997) in Sadooni dan El-Kassas (1999) yang meneliti dampak pencemaran petroleum pada ekosistem mangrove di Brazil. Hasil penelitian menyatakan bahwa polusi minyak berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah pneumatofora, kerusakan bentuk daun, buah dan penurunan litter production. Selanjutnya Zhang et al., (2010) menyatakan bahwa mangrove
16 spesies Sonneratia apetala Buch-Ham lebih efektif meremove nutrien daripada logam berat. Pada pencemaran organik, Tam dan Wong (1995, 1996, 1999) dan Tam et al., (2009) telah membuktikan efisiensi penggunaan lahan basah mangrove dalam meremove nitrogen dan polutan lainnya. Lahan basah merupakan sistem ekologi yang memanfaatkan sumber daya alam melibatkan vegetasi, tanah, dan kumpulan mikroba yang berhubungan untuk pemurnian limbah. Sistem ini menarik, karena memberikan alternatif biaya rendah, pemeliharaan yang mudah dan sederhana dalam upaya pengolahan air limbah (Tam et al., 2009). Karakteristik dan perendaman pasang surut yang unik di lahan basah mangrove menyediakan alternatif lingkungan berupa aerobik dan anaerobik, yang sesuai untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Tam et al., 2009). Selanjutnya Sartoris et al., (2000) menambahkan bahwa kemampuan removing nitrogen berbanding lurus dengan luas lahan basah dan biomassa tanamannya. Boto (1982) in Prasad dan Ramanathan (2008) menambahkan bahwa ekosistem mangrove secara general berfungsi juga sebagai penyerap (sink) nutrien-nutrien dan materi terlarut serta berfungsi pula sebagai sumber materi organik. Mangrove di wilayah terlindung mampu mendeposisikan sedimen halus yang pada umumnya mengandung banyak nutrien, logam berat dan mineral. Silva et al. (2007) menambahkan bahwa mangrove berfungsi penting dalam mengendalikan eutrofikasi pada area pantai tropis. Oleh karena itu mangrove sangat
sesuai
untuk
penelitian
biogeochemical,
hydrogeochemical
dan
hidrological processes (Prasad dan Ramanathan, 2008). 2.2 Pencemaran Lingkungan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil 2.2.1
Pengertian Pencemaran Definisi pencemaran adalah perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan
biologi yang tidak diinginkan oleh udara, tanah dan air (Oddum, 1971). Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, Pencemaran didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
17 Pramudianto
(1999)
mendefinisikan
pencemaran
laut
sebagai
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan fungsinya. Demikian juga Kennish (2001) mendefinisikan bahan pencemar sebagai introduction matterial atau ekstraksi material dan energi oleh manusia kepada lingkungan, sehingga konsentrasi zat ini menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah di bawah tingkat alami sehingga kondisi lingkungan berubah. Perubahan terhadap lingkungan tersebut membahayakan bagi kelangsungan hidup biota maupun manusia yang disebabkan oleh limbah dari proses baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh manusia. UNEP (1993) in Anna (1999) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pencemar (pollutants) dan limbah (waste). Pencemar merupakan bahan dan energi yang dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh makhluk hidup maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Adapun limbah rumah tangga yang sering disebut sebagai limbah domestik merupakan buangan dari rumah tangga, institusi, fasilitas komersial, dan fasilitasfasilitas lain yang sejenis yang bervariasi kuantitas dan komposisinya dari waktu kewaktu (Mukhtasor, 2007). Limbah tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish (2001) memberikan contoh dampak antropogenik pada ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga kategori : (1) terjadinya pencemaran; (2) hilangnya habitat dan terjadi perubahan; dan (3) pemanfaatan sumberdaya dan eksploitasi yang berlebihan. 2.2.2
Bahan Pencemar Bahan pencemar atau disebut pulutan merupakan bahan yang bersifat
asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang merusak ekosistem sehingga mengganggu fungsinya dari fungsi asalnya (Effendi, 2003). Pulutan sendiri berdasarkan cara masuknya ke lingkungan diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu secara alami (misalnya letusan gunung berapi, banjir dan fenomena alam lainnya) dan antropogenik (misalnya kegiatan perindustrian, rumah tangga, pertanian, dan perikanan).
18 Sedangkan beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan dalam hal ini perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono, 2005). Selanjutnya menurut Jeffries dan Mils (1996) in Effendi (2003) berdasar sifat toksiknya, polutan dibagi menjadi 2 yaitu polutan tak toksik dan polutan toksik. a. Polutan tak toksik Pada dasarnya jenis polutan ini telah ada di alam. Bahan ini menjadi polutan ketika melebihi ambang batas yang dapat ditolelir sehingga menyebabkan terganggunya kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses sifat fisikakimia perairan. Sebagai contoh adalah pasokan nutrien/ zat hara yang berlebihan pada perairan, maka akan menyebabkan peristiwa eutrofikasi yang pada akhirnya akan memacu terjadinya blooming algae yang dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem. Contoh lain adalah bahan tersuspensi. Bahan tersuspensi dapat mempengaruhi sifat fisik perairan berupa penetrasi cahaya. Penetrasi cahaya kedalam perairan dapat terhambat sehingga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis.
b. Polutan toksik Polutan toksik pada umumnya berupa bahan yang bukan alami, misalnya pestisida, deterjen dan bahan artifisial lainnya. Polutan ini dapat menyebabkan kematian. Selain menyebabkan kematian, polutan ini juga dapat mengganggu pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi. Pulutan ini bersifat stabil (persisten) sehingga sulit untuk terdegradasi. Mason (1993) in Effendi (2003) mengelompokkan polutan ini menjadi lima, yaitu : 1. Logam (metals) meliputi timbal, nikel, cadmium, zinc, copper, dan merkuri 2. Senyawa
organik,
meliputi
pestisida
organoklorin,
herbisida,
PCB,
hydrocarbon petroleum, aromatic polinuklir, dibenzodioksin berklor, senyawa
19 organometalik, fenol, formaldehida. Pada umumnya senyawa ini berasal dari aktivitas industri, pertanian dan rumah tangga 3. Gas, misalnya klorin dan amonia 4. Anion misalnya sianida, flourida, sulfide dan sulfat 5. Asam dan alkali Adapun bagan proses transformasi dan pengaruh bahan pencemar dalam ekosistem ditampilkan pada Gambar 3. Sumber
Pencemar
Distribusi dan Transformasi
Pencemar
Lintasan dan Fluk Biogeokimia
Udara
Penyerapan dan Pemaparan
Air
Tanah
Sistem Lingkungan
Organisme
Sifat fisika kimia
Sifat Biokimia
Toksik Letal Sub Letal
Biokonsentrasi Bioakumulasi Biomagnifikasi
Respon Organisme
Reproduksi Migrasi Mortalitas
Respon Populasi
Perubahan Sifat dan Dinamika Populasi
Respon Komunitas
Perubahan Struktur dan Fungsi Komunitas
Diversitas Asosiasi
Respon Ekosistem
Perubahan fungsi Ekosistem
Produktivitas Nutrient Rate
Gambar 3 Proses transformasi dan pengaruh bahan pencemar dalam ekosistem (Sanusi dan Putranto, 2009) Beban pencemar yang dikeluarkan dari limbah rumah tangga menurut USEPA ditampilan pada Tabel 2.
20 Tabel 2 Volume rata-rata limbah domestik Volume Rata-rata limbah domestik (liter/orang/hari) Brown & Caldwell (1984) 250.6 Anderson & Slegrist (1989) 268.0 Anderson dkk. (1993) 191.9 Mayer dkk (1999) 261.3 Weight average 259.7 Sumber : USEPA (2002) in Mukhtasor (2007) Sedangkan di Jawa Timur berdasarkan studi yang dilakukan oleh BTKL Studi
pada tahun 2005 in Mukhtasor (2007) diketahui bahwa produksi limbah air dari sumber domestik di Kabupaten Sumenep adalah 203.61 liter/orang/harinya. 2.2.3
Faktor Penyebab Pencemaran Pencemaran pada umumnya terjadi akibat proses alam maupun akibat ulah
tangan manusia. Sutamihardja et al., (1982) mengklasifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran di laut, antara lain : 1. Erosi dan sedimentasi akibat kerusakan hutan di daerah hulu sungai yang bermuara ke laut serta penggalian pasir dan kerikil di sungai-sungai tersebut 2. Limbah pertanian berupa pestisida dan pupuk yang digunakan dalam usaha pertanian yang masuk ke sistem perairan sehingga akhirnya bermuara ke laut 3. Air selokan yang berasal dari kota maupun pusat penduduk 4. Permasalahan pokok akibat aktivitas perminyakan. Beberapa peristiwa tersebut antara lain : ceceran minyak dari buangan secara kontinyu; pembuangan air ballast; permasalahan mengenai kecelakaan transportasi baik dalam hal pipa pengiriman maupun transportasi oleh kapal serta aktivitas pelabuhan 5. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), berupa air panas yang berasal dari air pendingin yang dibuang ke perairan yang pada akhirnya akan meningkatkan
suhu
perairan
sehingga
mengakibatkan
terganggunya
lingkungan bagi kelangsungan hidup biota di perairan tersebut 6. Aktivitas industri yang membuang limbah sisa industri ke perairan Selanjutnya Alamsyah dan Benny (1999); Dahuri (2008) menambahkan bahwa pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun
21 kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi. Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun, dan reklamasi di kawasan pesisir. Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir
dan
laut antara lain : perkapalan, dumping di laut, pertambangan,
eksplorasi dan eksploitasi minyak, budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing). Tabel 3 menyajikan urutan kepentingan sumbangan setiap sumber pencemar terhadap bahan pencemar di lingkungan pesisir dan lautan. Tabel 3 Sumber pencemar (pollutants) di wilayah pesisir dan lautan Pencemar Pertanian (pullutants)
Limbah Cair
Sedimen Nutrien Logam beracun Zat kimia beracun Pestisida Organisme exotik Organisme patogen Sampah Bahanbahan penyebab turunnya oksigen terlarut
*** *** *
** *** *
Limbah Cair Perkotaan *** ** *
*
**
*
***
*
*
***
*
* ***
*** **
* *
Sumber Pertambangan
***
* **
*** *
Sumber : Brodie (1995) in Dahuri (2008) Keterangan : *** : Sumber terbesar ** : Sumber moderat * : Sumber terkecil
Budidaya perikanan
*
Industri
Pelayaran
* * *** **
* *
* * ** *
**
* *
**
22 2.2.4
Analisis Beban Pencemar Beban pencemar merupakan istilah yang dikaitkan dengan jumlah total
bahan pencemar yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna, 2007). Besarnya beban pencemar sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang berada di sekitar aliran air yang masuk ke daerah tersebut. Selain itu besarnya beban pencemar juga sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan oleh tingginya atau terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut. Sedangkan sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar (Rafni, 2004; Hadi, 2005 in Mezuan, 2007). Dalam suatu analisis beban pencemar, sangat diperlukan penggunaan metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan analisis. Memilih metode yang tepat merupakan masalah utama yang biasa dihadapi dalam suatu penelitian. Pemilihan metode seharusnya didasarkan pada kondisi lingkungan, seperti proses percampuran, tingkat pembilasan, volume pengenceran, penggunaan lahan, keberadaan spesies terancam punah, dan waktu pembuangan limbah. Suatu limbah dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila masih bisa ditolelir oleh ekosistem, namun sebaliknya bisa dikatakan sebagai bahan pencemar apabila dapat mengganggu keberadaan dan stabilitas ekosistem. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia yang mendiami sekitar aliran perairan mulai dari hulu sungai yang mengalir kearah laut (Suharsono, 2005). Seperti dikatakan diatas, bahwa pemilihan metode harus didasarkan pada tujuan dari suatu penelitian. Apabila suatu penelitian tersebut dilakukan untuk memberikan perhatian yang menarik bagi media dan masyarakat, maka metode yang pertama ini memberikan solusi analisis untuk memberikan asumsi bahwa seluruh limbah yang dihasilkan oleh manusia adalah pencemar. Metode pendekatan kedua adalah dengan mengasumsikan bahwa seluruh limbah dari masyarakat adalah pencemar, sedangkan limbah yang berasal dari proses-proses alam seperti banjir, letusan gunung berapi dan lain sebagainya sebagai rona awal. Pendekatan ketiga dalam penetapan metode analisis beban pencemar adalah dengan menggunakan metode penelitian langsung terhadap
23 seluruh objek yang dibagi dalam bagian kecil. Setiap bagian kecil tersebut kemudian dihitung beban limbah, kapasitas asimilasi dan status pencemarannya. Dari pada dua metode sebelumnya, metode ketiga ini memang lebih baik dan biasa digunakan pada penelitian skala regional, urban, dan lokal. Adapun metode pendekatan keempat adalah dengan menganalisis beban limbah dengan tujuan untuk mengetahui nilai lebih dan berkurangnya kapasitas asimilasi dari beban limbah kimia yang berbeda. Metode ini hampir sama dengan metode ketiga dengan keunggulan dan kekurangan yang hampir sama pula. 2.2.5
Kapasitas Asimilasi Pada dasarnya limbah bisa berfungsi sebagai sumberdaya dan juga bisa
menjadi bahan pencemar lingkungan. Perbedaan utama yang dapat dianalisis adalah karakteristik dari lingkungan penerima limbah, kualitas dari limbah yang dibuang dan juga waktu dari pembuangan limbah itu dilakukan (UNEP, 1993 in Anna, 1999). Limbah yang dapat dinetralkan dapat dikategorikan sebagai gangguan biasa sedangkan yang merusak lingkungan dikatakan sebagai pencemar. Demikian halnya limbah yang melewati atau yang diterima ekosistem mangrove, apabila tidak mengganggu ekosistem mangrove maka hanya dikategorikan sebagai gangguan biasa, namun apabila sampai merusaknya maka dikategorikan sebagai pencemar. Kemampuan dalam menerima limbah tanpa merusak ekosistem tersebut disebut sebagai kapasitas asimilasi. Nemerow (1991) in Mezuan (2007) menambahkan bahwa kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Jadi, kapasitas asimilasi merupakan kemampuan dari suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima limbah ataupun bahan pencemar tanpa menyebabkan gangguan ataupun kerusakan bagi lingkungan ataupun ekosistem tersebut. Perhitungan kapasitas asimilasi sangat tergantung dari lingkungan studi dan bersifat sangat spesifik, sehingga antara suatu lingkungan dengan lingkungan yang lain akan berbeda penilaiannya. Salah satu metode yang digunakan dalam menghitung kapasitas asimilasi adalah dengan membandingkan antara kualitas air dengan jumlah beban pencemar limbah. Kapasitas asimilasi dapat ditentukan
24 dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya pada suatu grafik. Setelah itu hasil yang diperoleh direferensikan dengan baku mutu yang berlaku dan berkaitan dengan biota laut (Rajab, 2005). Referensi yang dipakai dalam penentuan ini adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 8). Adapun yang disebut nilai kapasitas asimilasi merupakan hasil perpotongan pada grafik dari hasil komparasi antara beban pencemar dengan baku mutu air laut bagi kehidupan biota tersebut. 2.3 Parameter Kualitas Air Kualitas air didefinisikan sebagai sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, dan komponen lain dalam air (Effendi, 2003). Dahuri (2005) menambahkan bahwa kondisi kualitas air suatu lingkungan dapat menggambarkan apakah suatu lingkungan itu tercemar atau tidak. Penentuan tingkat tercemar atau tidaknya suatu lingkungan dapat dilakukan dengan mengukur konsentrasi berbagai bahan pencemar. Adapun pengukuran kualitas air dilakukan dengan maksud untuk : 1) mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk, fisika, kimia dan biologi, 2) membandingkan nilai kualitas air dengan baku mutu yang berlaku sesuai dengan peruntukannya, 3) menilai kelayakan sumber daya air untuk keperluan tertentu (Siregar, 2005). 2.3.1
TSS (Total Suspended Solid) Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid) merupakan padatan
dengan diameter > 1 µm yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat langsung mengendap, yang terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya. Padatan tersebut tersaring pada kertas milipore dengan ukuran pori sebesar 0,45 µm (Hariyadi et al., 1992 in Rafni, 2004). Apabila nilai TSS suatu perairan tinggi maka nilai kecerahan perairan tersebut akan rendah, demikian sebaliknya semakin rendah nilai TSS maka semakin tinggi kecerahan pada perairan tersebut. Padatan tersuspensi akan berpengaruh kuat terhadap keberadaan biota melalui dua mekanisme. Pertama,
25 menghalangi penetrasi sinar matahari yang secara langsung akan menghambat proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton sehingga berakibat berkurangnya pasokan oksigen. Kedua secara langsung kandungan TSS yang tinggi dapat mengganggu biota (Effendi, 2003). Nybakken (1992) menambahkan bahwa semakin tinggi nilai TSS maka dapat mangakibatkan penurunan kedalaman eufotik yang menyebabkan semakin berkurang pula perairan produktif. 2.3.2
Kebutuhan Oksigen Biokimia dan Kimiawi (BOD5) Bahan organik yang mengalir pada saluran air sangat sulit untuk
dipisahkan sesuai dengan yang ditujukan. Hal tersebut dikarenakan limbah tersebut langsung tercampur dengan segala bahan yang ada pada saluran tersebut. Oleh karena itu tidak ada tes khusus yang menyediakan pengukuran secara spesifik. Namun demikian terdapat 3 cara pengukuran yang pada umumnya digunakan untuk memperkirakan kandungan bahan organik di perairan. (Effendi, 2003) menyatakan bahwa tiga cara tersebut adalah dengan memperkirakan Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Organik Carbon (TOC). BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam air, pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 200C selam 5 hari (BOD5) (APHA, 2005). Pengukuran dengan dilakukan inkubasi selama 5 hari ditujukan untuk meminimalkan oksidasi amonia yang juga mengkonsumsi oksigen. Proses oksidasi amonia (nitrifikasi) berlangsung pada hari ke 8-10, sehingga dengan masa inkubasi 5 hari diperkirakan 70-80% bahan organik telah mengalami oksidasi (Effendi, 2003). Nilai BOD5 di suatu perairan dapat dijadikan petunjuk dalam menentukan tingkat pencemaran bahan organik suatu perairan (Tabel 4). Tabel 4 Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan konsentrasi BOD 5 Konsentrasi BOD5 (ppm) Tingkat Pencemaran < 2.90 Tidak Tercemar 3.00 - 5.00 Tercemar Ringan 5.10 – 14.90 Tercemar Sedang >15.00 Tercemar Berat Sumber : Lee et al. (1978) in Rafni 2004
26 2.3.3
Unsur Nitrogen (NH3, NO2, NO3) Diantara dissolved nutrient yang ada, nitrogen merupakan penyebab utama
terjadinya eutrofikasi (Elser et al., 1990 in González-Alcaraz et al., 2010). Nitrogen dan senyawanya tersebar sebanyak 78% di atmosfer bumi (Effendi, 2003). Meskipun dalam jumlah yang melimpah, namun demikian tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh organisme (Dugan, 1972 in Effendi, 2003). Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3 (amonia), NH4 (amonium), NO3 (nitrat). Fiksasi nitrogen atmosfer oleh akar yang berasosiasi dengan bakteri merupakan sumber nitrogen yang penting bagi tumbuhan darat (Hogarth, 2007). Nitrogen diperairan dibedakan menjadi dua yaitu nitrogen anorganik yang terdiri dari amonia (NH3), amonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekol nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Sedangkan dalam bentuk organik berupa protein, asam amino dan urea. Bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi baik dengan melibatkan atau tidak melibatkan makrobiologi maupun mikrobiologi sebagai bagian dari siklus nitrogen. Nasib nitrogen di lahan basah meliputi : (1) rilis ke air pasang dan diekspor ke lingkungan air sekitarnya; (2) adsorpsi ke partikel sedimen, (3) penyerapan dan asimilasi oleh tanaman termasuk makroalga dan plankton, dan (4) konversi mikroba, khususnya dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Tam et al., 2009). Nitrifikasi adalah proses aerobik yang mengoksidasi NH4+ menjadi NO3-, Sedangkan denitrifikasi adalah proses heterotrofik anoxic yang mereduksi NO3- menjadi gas N2 ke atmosfer. Proses Nitrifikasi dan denitrifikasi diyakini menjadi mekanisme penting dan dalam jangka panjang, khususnya untuk loading nitrogen tingkat tinggi (Ullah and Faulkner, 2006). Adapun proses tersebut yang terjadi pada ekosistem mangrove untuk lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 4.
27
Atmosphere
NH4+
Aerobic Zone
NO2-
NO3-
Anaerobic Zone
NH4+
NO3-
N2
N2O
Gambar 4 Chemistry of nitrogen compounds in mangrove soil (Boto, 1984 in Hogarth, 2004) Adapun transformasi nitrogen mikrobiologis mencakup hal-hal sebagai berikut (Effendi, 2003) : a. Asimilasi nitrogen anorganik (amonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino dan protein. Di perairan, proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan tumbuhan. b. Fiksasi
gas
nitrogen
menjadi
amonia
dan
nitrogen
organik
oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis algae Cyanophyta (blue green algae) dan bakteri. c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat. Proses oksidasi ini dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan pada pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik, menyukai suhu 300C. d. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur. Autolysis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok amonia. e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat (NO3) menjadi nitrit (NO2), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur. Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi
28 pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada perairan dengan kondisi anaerob. Sumber utama nitrogen antropogenik adalah berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan urea secara intensif dan berasal dari limbah domestik (rumah tangga). Tingginya konsentrasi nitrogen suatu perairan maka akan dapat memicu pertumbuhan alga secara tidak terkontrol (blooming algae). Konsentrasi nitrogen pada perairan tidak tercemar adalah 0.1 – 5 mg/L sedangkan di perairan tercemar berat, kadar nitrogen mencapai 100 mg/L (Dojildo and Best, 1992 in Putri 2006). Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Demikian halnya dengan amonium, namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitratnitrogen pada perairan alami tidak pernah melebihi 0.1 mg/L. Apabila suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/L maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan kotoran hewan (Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi (2003) menambahkan bahwa kadar nitrat yang melebihi 0.2 mg/L di suatu perairan dapat memicu
terjadinya
eutrofikasi
yang
implikasinya
dapat
menstimulasi
pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat (blooming). 2.3.4
Fosfor Fosfor merupakan salah satu nutrien yang dimanfaatkan dalam
pertumbuhan algae. Dalam perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu untuk dapat membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Kadar fosfor dalam perairan alami jarang yang melebihi 1 mg/L (Boyd, 1988 in Effendi 2003). Selanjutnya Effendi (2003) menambahkan bahwa berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : (1) perairan oligotrofik, dengan kadar ortofosfat 0.003 – 0.01 mg/L; (2) perairan mesotrofik, dengan kadar ortofosfat sebesar 0.011 – 0.003 mg/L; dan (3) perairan eutrofik yang memiliki
29 kadar ortofosfat 0.031 – 0.1 mg/L (Vollenweider in Wetzel, 1975 in Effendi, 2003). 2.3.5
Suhu Suhu air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : musim,
ketinggian dari permukaan laut, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi, 2003). Terkait dengan mangrove, suhu sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993). Organisme baik teresterial terlebih akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan, maupun perkembangbiakan biota. Hal tersebut dikarenakan organisme akuatik khususnya memiliki kisaran suhu tertentu dalam melangsungkan hidupnya. Suhu berpengaruh baik dalam proses fisik, kimia maupun biologi air. Perubahan suhu sangat mempengaruhi terhadap proses metabolisme dan respirasi baik mangrove maupun organisme air. Bagi organisme air perubahan suhu perairan 100C dapat meningkatkan 2 – 3 kali lipat konsumsi oksigen Organisme akuatik (Effendi, 2003). Terkait dengan makrozoobentos Hutagalung (1988) in Amrul (2007) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan mollusca adalah 15 – 280C. Siagian (2001) in Suwondo et al., (2010) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25-320C. Welch (1980) in Diniarti (2010) menambahkan bahwa suhu diatas 34 – 400C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Secara umum mangrove memiliki kondisi pertumbuhan optimum pada suhu di daerah tropis (Aksornkoae, 1993). Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C. Suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove jenis Avicennia marina berkisar 18 – 200C, Rhizophora stylosa, Ceriops spp, Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun segar dicapai pada suhu 26 – 280C, suhu optimum Bruguiera spp 270C, dan Xylocarpus spp berkisar antara 21 – 260C (Aksornkoae, 1993).
30 2.3.6
Salinitas Salinitas merupakan jumlah berat semua garam dalam gram yang terlarut
dalam satu liter air yang biasanya dinyatakan dalam bentuk satuan per mil atau gram per liter (Nontji, 1987). Gradien salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan debit air dari sungai (run off), pasang surut serta dinamika perairan lainnya. Ketersediaan air tawar dan pengaruh pasang surut sangat berdampak pada nilai salinitas yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam kaitannya dengan mangrove, salinitas memiliki peran penting bagi pertumbuhan, daya adaptif, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Mangrove dapat tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas air payau (> 0,5‰) sampai dengan salinitas air laut 30‰ - 33‰. Salinitas yang tinggi (> 35‰) dapat berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif (Bengen, 2000). Sedangkan terkait dengan makrozoobentos, salinitas merupakan salah satu parameter yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi penyebarannya selain kandungan bahan organik dan fraksi sedimen (Wu dan Richard, 1981 in Emiryati, 2004). 2.3.7
Derajat Keasaman (pH) pH merupakan gambaran jumlah aktivitas ion hidrogen dalam perairan.
Setiap organisme memiliki kisaran pH yang berbeda pula dalam tingkat toleransinya. pH yang paling disukai oleh biota akuatika dalah 7 - 8.5 (Effendi, 2003). Nilai pH juga sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi perairan. Nilai pH sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut dan masukan air tawar dari daratan. Nilai pH diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, pH = 7 adalah netral; pH berkisar antara 0 - <7 adalah asam dan nilai pH berkisar antara >7 – 14 adalah basa. 2.3.8
Oksigen Terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup
organisme yang ada didalamnya. Kadar oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Effendi (2003) menyatakan bahwa DO berfluksuasi baik secara harian maupun musiman dimana fluktuasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
31 percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Berubahnya konsentrasi DO sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek secara langsung berupa kematian bagi biota dan secara tidak langsung didapat dari meningkatnya konsentrasi toksisitas bahan pencemar perairan yang dapat membahayakan biota (Emiryati, 2004). Effendi (2003) menambahkan bahwa dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol. Sedangkan pada ekosistem mangrove, Aksornkoae (1993) menambahkan bahwa DO sangat bervariasi tergantung waktu, musim, dan kekayaan tumbuhan serta organisme akuatik pada ekosistem mangrove. 2.4 Sedimen Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum. Sedangkan Nurjaya et al., (2006) mendefinisikan bahwa sedimen merupakan partikel anorganik yang tidak menyatu (terlepas satu sama lain) terakumulasi di dasar laut. Sedimen berasal dari berbagai sumber baik hasil dari pelapukan (weathering), erosi, proses vulkanik, aktivitas biologi dan kimiawi. Jadi, sedimen merupakan salah satu bagian dari ekosistem perairan yang sangat berperan dalam siklus biogeokimia dari suatu unsur elemen atau unsur kimia, karena dalam sedimen terjadi proses transformasi suatu senyawa atau unsur kimia (menentukan spesiasi kimia). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai yang halus. Berdasarkan skala Wentworth sedimen diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 5).
32 Tabel 5 Skala Wentworth Nama Batuan ((boulder) Batuan bulat (cobble) Batuan kerikil (pebble) Butiran (granule) Pasir paling kasar (very coarse sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sangat halus (very fine sand) Lempung (silt) Liat (clay)
Ukuran (mm) > 256 256 – 64 64 – 4 4–2 2–1 1 – 0.5 0.5 – 0.25 0.25 – 0.12 0.125 – 0.0625 0.0625 – 0.0039 < 0.0039
Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus, kondisi dasar perairan, turbulensi, densitas sedimen, bentuk sedimen dan diameter sedimen (Libes, 1992 dan Odum, 1971 in Idris 2000) sedimen dengan diameter 104 µm akan tererosi oleh arus dengan kecepatan 150 cm/det dan terbawa arus pada kecepatan antara 90-150 cm/det, selanjutnya akan mengendap pada kecepatan < 90 cm/det. Hal yang sama untuk sedimen halus dengan diameter 102 µm, sedimen ini tererosi pada kecepatan arus >30 cm/det dan terdeposisi pada kecepatan < 15 cm/det (Holme dan Mclyntyre 1971 in Amrul 2007). Selanjutnya Wood (1986) in Amrul (2007) menyatakan partikel yang halus akan mengendap pada kecepatan arus 5 cm/det tetapi dapat kembali keperairan dengan kecepatan arus 15 cm/det. Tabel 6 Kecepatan endapan sedimen Tipe Sedimen
Diameter (µm)
Pasir halus 250 – 125 Pasir sangat halus 125 – 62 Silt 31.2 – 3.9 Clay 1.95 – 0.12 Sumber : King (1976) in Supriharyono (2000)
Kecepatan Endapan (cm/detik) 1.2037 0.3484 0.0870 – 0.0014 3.47 x 10-4 - 1.16 x 10-6
Tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung limbah yang masuk. Semakin kasar tekstur sedimen maka kemampuan untuk menerima limpahan limbah semakin besar. Hal ini berkaitan dengan kondisi oksidatif
33 sedimen. Kondisi yang oksidatif menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya. Berbeda halnya dengan tekstur sedimen halus dimana daya dukungnya terhadap masukan limbah relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh sudah adanya konsentrasi bahan organik yang harus didekomposisi sebelumnya. Masukan limbah apalagi dalam jumlah banyak dan konstan akan menyebabkan keadaan anoksik pada sedimen. Kondisi seperti ini menyebabkan hasil dekomposisi bahanbahan organik kebanyakan bersifat toksik bagi organisme akuatik. 2.5 Makrozoobentos Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1983). Makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Makrozoobenthos berperan penting dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Selain itu bentos berfungsi juga menjaga stabilitas dan geofisika sedimen. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari makrozoobenthos biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Setiawan, 2009). Komunitas fauna bentik ini pada dasarnya terbagi menjadi 5, yaitu Mollusca, Crustacea, Polychaeta, Echinodermata, dan kelompok lain yang terdiri dari beberapa takson kecil seperti Sipunculidae (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva yang sering kali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.
34 Bentos sebagaimana hewan lain memiliki tingkat kesesuaian tertentu dalam hidup di lingkungan. Semakin tinggi tingkat toleransi yang dimiliki bentos, maka semakin luas pula tingkat penyebarannya. Sebaliknya semakin rendah atau sempit tingkat toleransi kehidupan bentos terhadap lingkungan, maka semakin sempit pula tingkat penyebarannya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan, maka dapat dipastikan terjadi pula perubahan terhadap kelimpahan jenis, kepadatan, dan keanekaragaman. Hal yang umum digunakan dalam mengetahui pencemaran lingkungan dengan menggunakan bentos adalah dengan cara menghitung indeks diversitas. Alasannya adalah apabila lingkungan berubah maka diversitas akan berubah pula. Adapun parameter yang digunakan adalah : kelimpahan spesies, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi (Gray, 1981; Krassulya, 2001 in Rafni, 2004). Menurut Putri (2006), terdapat 3 alasan mengapa bentos dapat dijadikan indikator lingkungan : 1. Memiliki tingkat kepekaan yang berbeda-beda terhadap jenis pencemaran 2. Memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi 3. Memiliki mobilitas yang rendah sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya serta mudah ditangkap dan diidentifikasi Bentos memiliki perbedaan kepekaan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok (Bengen et al., 1995) : 1. Kelompok intoleran, yaitu bentos yang dapat melangsungkan kehidupannya dalam kisaran toleransi yang sempit sehingga sangat jarang ditemukan di perairan yang kaya akan bahan organik dan tidak dapat berkembangbiak dengan baik apabila habitatnya mengalami penurunan kualitas lingkungan. Contoh dari kelompok ini adalah Ephemera simulans, Chimmara obscura, Mesouvelia sp, Helicus eithophilus, dan Anopheles punctipenis. 2. Kelompok fakultatif. Kelompok ini memiliki tingkat toleransi yang lebih lebar dibandingkan dengan kelompok intoleran sehingga kelompok ini dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan yang tercemar berat. Contoh spesies yang ada di kelompok ini adalah : Stenonema heterotarsela, Argion maculatum,
35 Taenioptery maura, Agobus stagninus, Conydalis comubus, Hydropsyche bronta, Chironomus decorus, dan Helodrilus chlorotica. 3. Kelompok toleransi yaitu kelompok bentos yang dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan luas dan dapat dijumpai di lokasi tercemar. Contoh : Chironomus riparium, Limnodrilus sp, dan Tubifex sp. Berdasarkan keberadaan kelompok bentos intoleran, fakultatif dan toleran, tingkat pencemaran suatu lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok (Tabel 7). Tabel 7 Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan keberadaan kelompok bentos Kondisi perairan Tidak tercemar
Tercemar sedang
Tercemar
Tercemar berat
Struktur Komunitas Komunitas makrozoobentos yang seimbang dengan beberapa spesies intoleran yang hidup diselingi kelompok fakultatif, tidak terdapat spesies yang mendominasi Terdapat sejumlah spesies intoleran yang hilang dan beberapa kelompok fakultatif. Terdapat satu atau beberapa spesies toleran yang mulai mendominasi Komunitas mokrozoobentos dengan jumlah terbatas diikuti oleh hilangnya kelompok intoleran dan fakultatif. Ditemukan kelompok toleran yang mulai melimpah manandakan perairan tercemar bahan organik Hilangnya seluruh makrozoobentos dan diganti oleh cacing oligochaeta dan organisme yang mampu bernafas di udara
2.6 Pulau-Pulau Kecil 2.6.1
Pengertian Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil (PPK) merupakan 7% dari wilayah dunia. PPK
mempunyai berbagai macam pengertian, diantaranya menurut SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 yang mendefinisikan bahwa pulau kecil merupakan pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan mempunyai penduduk kurang dari 200.000 orang. Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS (United Nation Convention of the Law on The Sea), definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Sedangkan menurut Monk et al. (2000) in Siregar
36 (2008) mendefinisikan pulau sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air laut. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Adapun definisi pulau kecil berdasarkan pembentukannya, pulau kecil terbagi menjadi dua tipe yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental. Lebih lanjut lagi, pulau oseanik dapat digolongkan atas dua kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Adapun perbandingan ciri-ciri pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua disajikan pada Tabel 8.
37 Tabel 8 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua PULAU OSEANIK
Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas
Area daratan kecil
Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau continental terdekat
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting
Tanahnya porous/permeabel
Keanekaragaman hayati rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Sedikit sumberdaya daratan
Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar
PULAU KONTINENTAL Karakteristik Geografis Dekat dengan benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area daratan besar
Area daratan sangat besar
Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting
Beragam tanahnya
Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan missal hewan laut bertulang belakang
Suhu agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat Karakteristik Geologi Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Seringnya pemijahan misal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
BENUA
Sumberdaya daratan luas
Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
Sumber : Salm et al. 2000 in Bengen dan Retraubun (2006)
38
39
3.
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret dan April 2011 yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, eksplorasi dan pengambilan data lapang yang dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April di Pulau Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep Madura. Pertimbangan pengambilan lokasi di Pulau Sepanjang dikarenakan pulau tersebut memiliki luas 72,11 km2 dengan luas mangrove + 3000 Ha. Menurut Suharjono dan Rugayah (2007) kawasan mangrove tersebut memiliki keanekaragaman spesies mangrove yang tinggi (36 spesies mangrove) dimana 23 spesies diantaranya merupakan spesies langka menurut IUCN (Lampiran 1). Selain itu pulau ini hanya memiliki sumber pencemaran dari limbah penduduk dan tidak adanya industri sehingga sangat sesuai untuk dilakukan penelitian ini. Adapun peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5, dan kerangka penelitian pada Gambar 6. Tahap kedua penelitian ini adalah analisis laboratorium, dimana analisis fisika kimia air dan sedimen dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan ITS; analisis makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi FMIPA ITS; dan analisis fraksi sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada bulan April 2011.
40
Gambar 5 Peta lokasi penelitian
41 Sumber Pencemaran - Alami - Antropogenik
Analisis Kualitas Air Analisis N, P Analisis Detergen
Ekosistem Mangrove
Ekostruktur Identifikasi Jenis
INP
Beban Pencemar H’, E, D
Analisis Makrozoobentos
Karakteristik Lingkungan Pulau Sepanjang
Luasan
Analisis Citra, Studi Literatur
SIG
Kapasitas Asimilasi Ekosistem Mangrove Pulau Sepanjang
Kep Men LH No 51 Tahun 2004
KBP < KBM Tidak Tercemar
KBP > KBM Tercemar
Efektifitas Ekosistem Mangrove sebagai Pengendali Pencemaran
Keterangan : KBP = Konsentrasi beban pencemar KBM = Konsentrasi baku mutu Gambar 6 Kerangka penelitian
42 3.2 Pengumpulan Data 3.2.1
Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini difokuskan pada beban
pencemaran dan kapasitas asimilasi ekosistem mangrove. Data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara survei, pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap kondisi lapang. Data primer yang dikumpulkan berupa parameter oseanografi, parameter fisika–kimia perairan, substrat, dan parameter biologi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan informasi dari instansi terkait. Parameter tersebut disajikan pada Tabel 9. 3.2.2
Metode Pengambilan data
3.2.2.1 Penentuan Titik Sampling Pengambilan titik sample dilakukan di Pulau Sepanjang Kabupaten Sumenep Madura. Penentuan stasiun dilakukan secara purposive sampling yang didasarkan pada lokasi pembuangan limbah, keberadaan ekosistem mangrove serta fungsi lahan yang ada di lokasi penelitian. Pada setiap stasiun dibagi menjadi 3 plot lokasi pengambilan sample yaitu, sebelum ekosistem mangrove, pada ekosistem mangrove, dan wilayah perairan laut setelah ekosistem mangrove (Gambar 7). Sedangkan untuk pengamatan Penetapan lokasi sampling tersebut bertujuan untuk mendapatkan data yang representatif.
43 Tabel 9 Jenis, alat dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian Tujuan
1. Mengidentifikasi ekostruktur mangrove di Pulau Sepanjang
1. 2.
3.Mengkuantifik asi beban limbah organik dan menganalisi kapasitas asimilasi ekosistem mangrove terhadap limbah organik
Satuan -
Metode Transek kuadrat Visual
m 3. Pasang Surut m/sec 4. Kecepatan Arus 5. Citra Satelit7 ETM+ Path 106/ -
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Row 064 (19 November 2010) Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Wilayah Administrasi Posisi pengukuran BOD5 Nitrit (NO2) Nitrat (NO3) Amonia (NH3) Fosfat (PO4) TOM Deterjen Tekstur/ fraksi sedimen Karbon organik (C organik) Nitrogen (N) organik sedimen Kedalaman Penampang sungai Debit sungai (aliran air) Suhu TSS
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kecerahan Kekeruhan pH Salinitas DO Analisis makrozoobenthos
6. 2.Mengetahui hubungan mangrove dengan karakteristik fisika kimia lingkungan;
Data Struktur komunitas mangrove Identifikasi mangrove
7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Current meter Citra Landsat ETM 7
Lintang dan bujur mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L % % % m m2 m3/sec 0 C mg/L m NTU PSU mg/L Individu
Alat Perlengkapan Transek Kuadrat Buku panduan identifikasi
Peta
Winkler Salzman Brucine Acetat Nessler Khlorida Timah Oksidasi Redukasi MBAS Pipet Gravimetri Kjeldahl
Gravimetri
Turbidimetrik
Visual
GPS Botol DO Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter
Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter Botol Polyethylene, Oven Botol Polyethylene, SpektrofoTOMeter Ekman grab, Sediment core Alat pemipet
Tongkat skala Skala metrik Pengukuran dan penghitungan Thermometer Van Dorn Water Sampler, timbangan, kertas saring, Vacuum pump Secchi disc Turbidimeter pH meter Hand Refraktometer DO Meter Buku panduan identifikasi
Sumber Data In Situ/ analisis citra Bengen (2004), Noor et al., (2006) DISHIDROS In situ BTIC/ LAPAN Bakosurtanal, Kabupaten Sumenep In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium In situ In situ In situ In Situ Laboratorium In situ Laboratorium In situ In situ In situ Laboratorium
Bappeda
44
Gambar 7 Ilustrasi penentuan transek di stasiun penelitian 3.2.2.2 Penentuan Titik Sample dan Pengambilan Sample Air Penentuan titik sample air dilakukan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7. Penentuan tersebut ditetapkan untuk mengetahui kualitas air di 3 titik tersebut yaitu titik pusat penduduk, pada ekosistem mangrove, dan pada titik tepat air akan keluar ke laut (Tabel 10). Pengambilan sample dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Pengambilan sample air dilakukan secara langsung pada 3 lapisan kedalaman (permukaan, tengah, dan dasar) kemudian dikompositkan. Untuk analisis N organik dan P, sample air diambil 500 ml dan disimpan pada kondisi suhu 40C (Hadi, 2005). Demikian halnya untuk sample BOD5, Deterjen, TSS, TOM dan Kekeruhan, air diambil 500 ml dan dimasukkan kedalam botol secara perlahan demi menghindari terjadinya gelembung udara, kemudian seluruh sample dimasukkan kedalam cool box dan didinginkan pada kondisi suhu 40C untuk dibawa ke laboratorium. Adapun pengukuran nilai DO, pH, salinitas, kecerahan, kedalaman perairan, dan debit sungai dilakukan dengan cara insitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah dengan menggunakan alat portable.
45 3.2.2.3 Penentuan Titik Sample dan Pengambilan Sample Sedimen Sebagaimana penentuan titik sample air, penentuan titik sample sedimen juga diilustrasikan pada Gambar 7. Penentuan titik sample sedimen juga dilakukan pada tiga titik pengamatan, yaitu titik pusat penduduk, pada pertengahan ekosistem mangrove, dan pada titik tepat air akan keluar ke laut yang dilakukan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah (Tabel 10). Pengambilan sample sedimen dilakukan dengan menggunakan sedimen core dengan masing-masing plot pengamatan diambil 3 layer yaitu pada kedalaman 10 cm, 30 cm, dan 60 cm. Pada masing-masing layer diambil sample sebanyak + 500 gram. Pengambilan sample pada layer 10 cm dilakukan untuk mengetahui nilai N organik, P, TOM, deterjen, fraksi sedimen, dan C organik. Sedangkan untuk layer 30 cm dan 60 cm digunakan untuk mengetahui fraksi sedimen. Untuk lebih jelasnya diilustrasikan pada Gambar 8. Adapun pengawetan untuk N organik dan P dilakukan dengan melakukan penyimpanan pada kondisi suhu 40C (Hadi, 2005). Demikian halnya dengan parameter TOM, deterjen, fraksi sedimen, C organik dan N organik dilakukan dengan cara didinginkan pada kondisi suhu 40C. Sample yang diambil dimasukkan ke kantong plastik dan dianalisis di laboratorium. Layer
10 cm
Parameter yang diamati
NO2, NO3, NH3, PO4, TOM, Detergen Tekstur/ fraksi sedimen C organik dan N organik sedimen
30 cm
Tekstur/ fraksi sedimen
60 cm
Tekstur/ fraksi sedimen
Gambar 8 Ilustrasi pengambilan sample sedimen
46 Tabel 10 Karakteristik stasiun dan pemberian kode stasiun penelitian No
1
2
3
4
Lokasi
Tanjung Tembing
Panamparan
Pajan Barat
Tanjung Kiaok
Kode Lokasi
TTB
PNP
PJB
TJK
Stasiun
Kualitas Air
Kode Kualitas Sedimen
1
A1
S1
2
A2
S2
3
A3
S3
1
A4
S4
2
A5
S5
3
A6
S6
1
A7
S7
2
A8
S8
3
A9
S9
1
A10
S10
2
A11
S11
3
A12
S12
5
Pajan Barat 2
PB2
1
A13
S13
6
Sepanjang
SPJ
1
A14
S14
Keterangan : = tidak dilakukan sampling
Karakteristik Stasiun Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di wilayah dermaga Sepanjang (Dusun Tanjung Tembing) Berada pada ekosistem mangrove dan berada di lingkungan pemukiman penduduk namun tidak ditemukan aliran air dari point source Berada pada lingkungan perairan pantai di luar ekosistem mangrove Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di Dusun Panamparan Berada pada ekosistem mangrove dan berada di lingkungan pemukiman penduduk namun tidak ditemukan aliran air dari point source Berada pada lingkungan perairan pantai di luar ekosistem mangrove Stasiun ini berada pada point source pencemaran antropogenik di Dusun Pajan barat Titik ini berada di ekosistem mangrove dengan kerapatan yang tinggi Titik ini berada pada sisi luar dan berada pada perairan dimana berada pada batas terluar ekosistem mangrove Merupakan titik yang berada pada point source pencemaran antropogenik di Desa Tanjung Kiaok Titik ini tepat berada pada ekosistem mangrove berada dan ditemukan saluran air menuju laut karena sangat berdekatan Titik ini berada pada sisi luar dan berada pada perairan dimana berada pada batas terluar ekosistem mangrove Tepat berada di ekosistem mangrove dimana karakteristiknya hampir tidak dipengaruhi oleh masukan pencemar dari daratan Berada pada lokasi dimana tidak ditemukan ekosistem mangrove dengan karakteristik substrat berpasir dan tidak ditemukan masukan bahan pencemar ke laut
47 3.2.2.4 Pengambilan Sample Makrozoobenthos Pengambilan sample makrozoobenthos dilakukan pada stasiun yang sama dengan pengamatan sedimen sebagaimana Gambar 7 dan Tabel 10. Pengambilan contoh makrozoobenthos ini dilakukan dengan menggunakan transek (1 x 1) m 2 yang dilakukan pada permukaan sedimen. Setelah penebaran transek kuadrat tersebut sedimen di saring untuk diambil biotanya. Sample biota yang didapatkan tersebut selanjutnya diawetkan dengan menggunakan formalin 10 % kemudian dilakukan identifikasi di laboratorium. 3.2.2.5 Pengamatan Ekosistem Mangrove Prosedur pengamatan untuk ekosistem mangrove pada penelitian ini menggunakan metode yang ditentukan oleh Bengen (2002). a. Pada setiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal. b. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada disepanjang transek garis, diletakkan secara sistematik petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot). c. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dihitung jumlah individu setiap jenis, dan diukur lingkar batang setiap mangrove pada setinggi dada (sekitar 1.3 m). d. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, maka dipotong bagian ranting lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin bunga dan buahnya. f. Pada setiap zona sepanjang transek garis, diukur parameter lingkungan yang ditentukan (suhu air, salinitas dan pH) g. Pada setiap petak contoh (plot) amati dan dicatat tipe subtrat (lumpur, lempung, pasir, dan sebagainya). Metode peletakan plot transek di masing-masing stasiun ditampilkan dalam Gambar 7.
48 3.2.2.6 Teknik Pengukuran Debit Sungai Debit air dinyatakan sebagai volume dimana air mengalir pada satuan waktu tertentu, namun pada umumnya dinyatakan dengan m3/detik. Pengukuran debit air sungai dilakukan dengan mengukur lebar sungai dan kecepatan arus. Untuk lebar sungai diukur dengan menggunakan rol meter dan tali sedangkan kedalaman sungai diukur dengan menggunakan tongkat skala. Adapun kecepatan arus diukur diukur dengan menggunakan drift pole. Pengukuran debit air pada penelitian ini dilakukan pada 3 titik pada masing-masing stasiun penelitian. Adapun ilustrasi dari pengukuran tersebut disajikan pada Gambar 9. Lebar Permukaan
Lebar Tengah
Lebar Dasar Gambar 9 Ilustrasi penampang trapesium untuk mengukur debit air
Dengan meningkatnya debit air, kadar bahan-bahan alam yang terlarut ke suatu badan air akibat erosi meningkat secara eksponensial (Effendi, 2003), namun konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air tersebut mengalami penurunan karena terjadi proses pengenceran. Menurut (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003) perhitungan debit air dapat ditentukan dengan menggunakan formula berikut : D=VxA Keterangan : D : debit air (m3/detik) V : kecepatan arus (m/detik) A : luas penampang saluran air (m2)
49 3.3 Analisis Data 3.3.1
Kondisi Mangrove
3.3.1.1 Indeks Nilai Penting Indeks Nilai Penting (INP) adalah nilai yang menandakan baik buruknya kondisi suatu ekosistem di suatu lokasi. Proses penghitungan INP adalah sebagai berikut (Bengen, 2002) : Kerapatan (kepadatan) jenis (Di) Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit area. Penentuan kerapatan jenis melalui rumus : 𝑛𝑖 Di = 𝐴 Keterangan : Di ni A
: kerapatan jenis ke-i : jumlah total individu ke-i : luas total area pengambilan contoh
Kerapatan (kepadatan) relatif (RDi) Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis tegakan ke-i dengan total tegakan seluruh jenis. Penentuan kerapatan relatif (RD i) menggunakan rumus : RDi = Keterangan : RDi ni ∑n
ni X 100 ∑n
: kerapatan relatif : jumlah total individu ke-i : total tegakan seluruh jenis
Frekuensi Jenis (Fi) Frekuensi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukannya suatu jenis ke-i dalam semua petak contoh dibandingkan dengan jumlah total petak contoh yang dibuat. Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus : pi Fi = ∑F Keterangan : Fi pi ∑F
: frekuensi jenis ke-i : jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i : jumlah total petak contoh yang dibuat
50 Frekuensi relatif (RFi) Ferkuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis ke-i dengan jumlah frekuensi seluruh jenis. Untuk menghitung frekuensi relatif (RFi) digunakan rumus : RFi = Keterangan : RFi Fi ∑F
Fi X 100 ∑F
: frekuensi jenis ke-i : frekuensi jenis ke-i : jumlah total petak contoh yang dibuat
Penutupan jenis (Ci) Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area tertentu. Ci =
∑BA A
Keterangan : Ci : penutupan jenis ∑BA : πd2/4 (d = diameter batang setinggi dada, π = 3.1416) A : luas total area pengambilan contoh dimana BA = π DBH² / 4 Keterangan : BA : Basal area π : 3.14 DBH : Diameter pohon jenis Penutupan relatif (RCi) Penutupan relatif (RCi) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan luas total penutupan untuk seluruh jenis. Untuk menghitung RC i, maka digunakan rumus : RCi = Keterangan : RCi Ci C
Ci X 100 ∑C
: penutupan relatif : penutupan jenis ke-i : penutupan total untuk seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) adalah penjumlahan nilai relatif (RDi), frekuensi relatif (RFi) dan penutupan relatif (RCi) dari mangrove.
51 INP = RDi + RFi + RCi Indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300. Nilai penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk mengetahui dominansi suatu spesies dalam komunitas.
3.3.1.2 Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove Keanekaragaman (H′) Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas. Rumus yang digunakan untuk menghitung keanekaragaman adalah rumus dari Indeks Diversitas Shannon (Bengen, 2002), yaitu : s
H′ = −
pi ln pi dimana pi =
ni N
i=1
Keterangan : H′ ni N S
: Indeks Keanekaragaman : Jumlah Individu Jenis ke-i : Jumlah Total Individu : Jumlah Spesies
Kisaran nilai Indeks Keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut : H’ ≤ 2.3026
: Keanekaragaman rendah
2.3026 ≤ H’ ≤ 6.9078 : Keanekaragaman sedang H’ ≥ 6.9078
: Keanekaragaman tinggi
Analisis Keseragaman Populasi (E) Indeks Keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu dalam komunitasnya (Bengen, 2002). Rumus yang digunakan adalah : E= Keterangan : E S
H′ dimana H maks = ln s H maks
: Indeks Keseragaman : Jumlah Spesies
52 Nilai Indeks Keseragaman berkisar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E (mendekati 0), keseragaman semakin kecil yang berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, ada kecenderungan terjadi dominansi oleh jenisjenis tertentu. Semakin besar nilai E (mendekati 1) menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi, jumlah individu setiap jenis dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Kisaran nilai indeks keseragaman adalah : E ≤ 0.4
: Keseragaman rendah
0.4 ≤ E ≤ 0.6 : Keseragaman sedang E > 0.6
: Keseragaman tinggi
Analisis Dominansi (D) Nilai indeks dominansi (D) dihitung untuk mengetahui ada atau tidaknya spesies tertentu yang mendominasi suatu ekosistem. Indeks dominansi diperoleh dengan menggunakan formulasi Simpson (Brower dan Zaar in Candra, 2007), yaitu : D = ∑pi 2 dimana pi = Keterangan : D ni N
ni N
: Indeks Dominansi : Jumlah Individu Jenis ke-i : Jumlah Total Individu
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika nilai D mendekati 0, berarti tidak ada jenis yang mendominasi. Sedangkan jika nilai D besar (mendekati 1) berarti ada jenis yang mendominasi. Kisaran nilai indeks dominansi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 0
< D ≤ 0.3 : Dominansi rendah
0.3 < D ≤ 0.6 : Dominansi sedang 0.6 < D ≤ 1
3.3.2
: Dominansi tinggi
Analisis Substrat Analisis fraksi sedimen merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui perbandingan antara pasir, liat, dan debu pada suatu sample sedimen yang diambil pada kondisi lapang yang sesungguhnya. Pada hasil perhitungan
53 prosentasi sample tersebut kemudian dimasukkan kedalam Segitiga Millar (Gambar 10) untuk mengetahui tipe substrat di lokasi penelitian.
Gambar 10 Tipe substrat berdasarkan Segitiga Miller Penentuan tipe substrat berdasarkan Segitiga Miller dilakukan melalui beberapa langkah yang dicontohkan sebagaimana berikut : 1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya fraksi pasir (sand) 40%, debu (silt) 40%, dan liat (clay) 20%. 2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir di titik 40% sejajar dengan sisi persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 40% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 20% sejajar dengan persentase pasir. 3. Hasil perpotongan dari ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya dalam hal ini lempung.
54 3.3.3
Struktur Komunitas Makrozoobenthos Analisis struktur komunitas makrozoobenthos dilakukan melalui beberapa
tahap diantaranya Kerapatan (kepadatan), Keanekaragaman, dan Dominansi. Analisis Keanekaragaman (H’) Analisis keanekaragaman dilakukan dengan menggunakan formulasi Shanon Winner dengan formula sebagai berikut : s
H′ = −
pi log2 pi dimana pi =
ni N
i=1
Keterangan : H′ ni N S
: Indeks Keanekaragaman : Jumlah Individu Jenis ke-i : Jumlah Total Individu : Jumlah Spesies
Analisis Keseragaman Populasi (E) Analisis keseragaman dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut : E= Keterangan : E S
H′ dimana H maks = ln s H maks
: Indeks Keseragaman : Jumlah Spesies
Nilai Indeks Keseragaman berkisar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E (mendekati 0), keseragaman semakin kecil yang berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, ada kecenderungan terjadi dominansi oleh jenisjenis tertentu. Semakin besar nilai E (mendekati 1) menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi, jumlah individu setiap jenis dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Kisaran nilai indeks keseragaman adalah : E ≤ 0.4
: Keseragaman rendah
0.4 ≤ E ≤ 0.6 : Keseragaman sedang E > 0.6
: Keseragaman tinggi
Dominansi (D) Perhitungan nilai dominansi dilkukan dengan menggunakan formulasi Simpson (Krebs, 1985 in Suwondo et al., 2006) dengan formula sebagai berikut :
55 D = ∑pi 2 dimana pi = Keterangan : D ni N
ni N
: Indeks Dominansi : Jumlah Individu Jenis ke-i : Jumlah Total Individu
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika nilai D mendekati 0, berarti tidak ada jenis yang mendominasi. Sedangkan jika nilai D besar (mendekati 1) berarti ada jenis yang mendominasi. Kisaran nilai indeks dominansi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 0
< D ≤ 0.3 : Dominansi rendah
0.3 < D ≤ 0.6 : Dominansi sedang 0.6 < D ≤ 1 3.3.4
: Dominansi tinggi
Model Kualitatif dan Kuantitatif
3.3.4.1 Beban Pencemaran Analisis beban pencemar dilakukan dengan perhitungan secara langsung di saluran-saluran pembuangan di pesisir Pulau Sepanjang. Metode yang digunakan adalah dengan cara mengukur secara langsung beban pencemar yang menuju ekosistem mangrove di pesisir Pulau Sepanjang. Pengukuran sekaligus dilakukan pada debit air yang mengalir. Dengan diketahui debit air dan konsentrasi limbah, maka beban pencemar dapat dihitung dengan menggunakan model berikut (Quano, 1993): BP = Q x Ci Keterangan : BP Q Ci
= Beban pencemar yang berasal dari satu sungai (saluran air) (mg/s) = Debit sungai (saluran air) (L/s) = Konsentrasi parameter ke-i (mg/L) Kapasitas beban (KB atau loading capacity) sebuah perairan merupakan
suatu ukuran untuk melihat seberapa besar beban pencemar yang dapat diterima oleh suatu perairan. Nilai kapasitas beban ini diukur pada saat pasang (KB pasang) dan surut (KBsurut) serta kapasitas beban berdasarkan standar baku mutu air laut untuk biota laut (KBbaku mutu) yaitu Kepmen LH No.51/MENLH/2004.
56 Perhitungan nilai KB pada saat pasang dan surut berdasarkan rumus berikut (Rafni, 2004). KBp = Vp x (Cip max) KBs = Vs x (Cis max) KBBM = V x CiBM Keterangan : KBp = Kapasitas beban saat pasang (ton) KBs = Kapasitas beban saat surut (ton) KBBM = Kapasitas beban berdasarkan standar baku mutu (Kepmen No.51/MENLH/2004) yang diasumsikan sebagai faktor pembatas (ton) Vp = Volume muara saat pasang (m3) Vs = Volume muara saat surut(m3) Cip max = Konsentrasi maksimum parameter ke-i saat pasang (mg/L) Cis max = Konsentrasi maksimum parameter ke-i saat surut (mg/L) CiBM = Konsentrasi parameter ke-i berdasarkan standar baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen No.51/MENLH/2004) Kriteria yang digunakan untuk melihat kondisi kapasitas asimilasi suatu perairaan apakah sudah tercemar atau belum adalah dengan membandingkan nilai beban pencemar (BP) dari parameter tertentu dengan nilai kapasitas beban perairan tersebut (KBp, KBs, dan KBBM), yaitu : Jika nilai KB (KBp, KBs, dan KBBM) > BP, maka diduga kapasitas asimilasi belum terlampaui (under capacity). Jika nilai KB (KBp, KBs, dan KBBM) < BP, maka diduga kapasitas asimilasi telah terlampaui (over capacity). 3.3.4.2 Kapasitas Asimilasi Penelitian tentang kapasitas asimilasi dilakukan dengan menggunakan metode hubungan antara kualitas air (konsentrasi limbah dengan beban limbahnya). Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan sungai (saluran pembuangan) dengan limbah di ekosistem mangrove. Selanjutnya dianalisis dengan memotongkan dengan garis nilai baku mutu air yang diperuntukkan untuk biota laut berdasarkan Kep Men Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 8).
57
Gambar 11 Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar Selanjutnya nilai kapasitas asimilasi dianalisis dengan melihat seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya, dengan asumsi dasar : a. Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir Pulau Sepanjang (lokasi penelitian). b. Nilai hasil pengamatan yang dilakukan di perairan pesisir dan di ekosistem mangrove maupun perairan yang telah melewati ekosistem mangrove diasumsikan telah dapat mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut. c. Perhitungan pencemar hanya yang berasal dari limbah antropogenik Data
yang
diamati
merupakan
hubungan
data
pencemar
yang
mempengaruhi kualitas lingkungan sebelum ekosistem mangrove, pada kawasan ekosistem mangrove dan kawasan perairan setelah ekosistem mangrove. 3.3.5
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam mengolah data individu mangrove
adalah dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis). Cluster analysis merupakan analisis yang digunakan dalam mengelompokkan unit-unit yang homogen dari suatu kelompok data tertentu (Bengen, 2000). Software yang digunakan dalam analisis ini adalah SPSS 16.0. Adapun dalam menganalisis kualitas air dan lingkungan digunakan Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis (PCA). Adapun software yang digunakan adalah Minitab 16.
58 Untuk menganalisis hubungan mangrove dengan kualitas lingkungan digunakan Analisis
factorial
koresponden/
menggunakan software SPSS 16.0.
Correspondence
Analysis
(CA)
dengan
59
4.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Pulau Sepanjang merupakan salah satu pulau besar di Kepulauan Kangean. Secara administratif Pulau Sepanjang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sapeken. Pulau Sepanjang terdiri dari 2 desa yaitu Desa Sepanjang dan Desa Tanjung Kiaok. Luas Pulau Sepanjang adalah 72,11 km2 sehingga merupakan pulau terbesar di Kecamatan Sapeken (34.73%) dimana Kecamatan Sapeken memiliki luas total 204,77 km2. Desa Sepanjang memiliki jarak 8 km dari Kecamatan Sapeken yang berada di Pulau Sapeken, sedangkan desa Tanjung Kiaok berjarak 21 km (Bappeda, 2009). Pulau Sepanjang memiliki pantai yang dikelilingi oleh terumbu karang. Pada sisi selatan pulau ini berhadapan langsung dengan laut dalam. Adapun batas administratif Pulau Sepanjang adalah sebagai berikut : • Sebelah Utara
: Laut Kalimantan
• Sebelah Barat
: Laut Jawa
• Sebelah Selatan
: Laut Bali
• Sebelah Timur
: Laut Sulawesi
Pulau Sepanjang memiliki daratan yang landai dan rata dengan ketinggian maksimum 13 meter diatas permukaan laut, sehingga pada pulau ini mangrove dapat berkembang biak dengan baik. Potensi yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang diantaranya adalah sebagai kawasan budidaya rumput laut, pembenihan ikan, kawasan penanaman pohon jati. Selain itu Pulau Sepanjang sangat berpotensi dikembangkan sebagai ekowisata mangrove, snorkling, diving, renang, layar (yach) dan pancing. Dapat dikembangkannya wisata mangrove di pulau ini dikarenakan masih terhampar luas mangrove yang ada yang disertai berbagai jenis satwa seperti biawak, ular, kera, berbagai jenis burung, dan biota lainnya (DKP, 2006; Suharjono dan Rugayah, 2007). Mangrove di Pulau Sepanjang berada dibawah pengelolaan PT Perhutani Unit II Jawa Timur dan kesemuanya berada dalam kondisi yang baik (DKP, 2006).
60
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Ekostruktur Mangrove Pengamatan struktur ekosistem mangrove dilokasi penelitian terbagi menjadi 5 lokasi penelitian yaitu Tanjung Tembing, Panamparan, Pajan Barat, Tanjung Kiaok, dan Pajan Barat 2. Untuk stasiun Sepanjang dikarenakan tidak ditemukan mangrove, maka tidak dilakukan transek. Pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan transek sebanyak 3 stasiun pengamatan mangrove yang terdiri dari 3 plot pengamatan. Pengamatan terhadap ekostruktur mangrove dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu dari INP dan indeks keseragaman, keanekaragaman serta dominansi. 5.1.1 Distribusi dan Kerapatan Jenis Vegetasi Mangrove Distribusi dan kerapatan merupakan keberadaan suatu individu dalam satuan luas tertentu yang didalamnya juga diketahui jumlah total tegakannya. Tabel 11 menunjukkan distribusi dan kerapatan jenis mangrove per satuan area 10 m2. Pada lokasi penelitian ditemukan 9 spesies mangrove yang terbagi dalam 5 famili mangrove. Kesepuluh spesies tersebut adalah Aegiceras floridum dari famili Myrsinaceae; Avicennia officinalis dari famili Avicenniaceae; Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata dari famili Rhizohoraceae; Pandanus tectorius dari famili Pandanaceae; dan Sonneratia alba dari famili Sonneratiaceae. Secara keseluruhan pada lokasi pengamatan komunitas mangrove, dapat diketahui bahwa setiap stasiun pengamatan memiliki tegakan mangrove yang relatif berbeda baik dari segi spesies maupun kerapatannya. Distribusi terbanyak adalah mangrove dari jenis Rhizophora apiculata dengan tegakan sebanyak 73 pohon, kemudian Avicennia officinalis dengan jumlah tegakan sebanyak 51 pohon. Adapun jumlah tegakan yang paling sedikit adalah Sonneratia alba dengan jumlah tegakan hanya 5 pohon.
61 Tabel 11 Jumlah tegakan mangrove setiap 300m2 Stasiun No
Famili
Spesies 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Myrsinaceae Avicenniaceae Rhizohoraceae Rhizohoraceae Rhizohoraceae Pandanaceae Rhizohoraceae Rhizohoraceae Sonneratiaceae
Aegiceras floridum Avicennia officinalis Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra Ceriops tagal Pandanus tectorius Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba
11 9 2
TTB 2 13 2 9 1
3 10
1
PNP 2
3
1 11
17
7 3
2
PJB 2
3
5 9 2 2
18
5
18
1
TJK 2
3
PB2 1
2
9 3 6
3 2
14 2 2
19 1
17 3 2
4
Sumber : Data Lapang (2011) Keterangan : TTB (Tanjung Tembing); PNP (Panamparan); PJB (Pajan Barat); TJK (Tanjung Kiaok); PB2 (Pajan Barat 2) Tegakan mangrove yang paling banyak ditemukan di stasiun TTB adalah dari spesies Avicennia officinalis. Meskipun substrat yang ada di lokasi tersebut adalah didominasi pasir, namun spesies tersebut masih bisa tumbuh dikarenakan pada layer 60 cm (stasiun 1) dan 30 cm (stasiun 2) (Lihat Lampiran 2) dapat ditemukan lempung yang mampu menunjang kehidupan mangrove jenis ini. Sedangkan pada stasiun 3, mangrove yang paling banyak tegakannya adalah spesies Aegiceras floridum. Banyaknya spesies tersebut pada stasiun 3 dikarenakan pada lokasi tersebut bersubstrat pasir dan berbatu. PNP merupakan stasiun pengamatan yang berada di sisi selatan Pulau Sepanjang. Pada stasiun tersebut, tegakan mangrove yang bisa ditemui hanya berasal dari famili Pandanaceae berupa Pandanus tectorius dikarenakan stasiun ini berbatasan langsung dengan laut lepas dan memiliki substrat pasir. Pada stasiun PJB mangrove yang paling banyak ditemui adalah dari spesies Bruguiera gymnorrhiza.
62 Banyaknya spesies tersebut dikarenakan substrat habitat mangrove ini adalah berpasir pada lapisan atas. Selain dapat hidup pada substrat berpasir, spesies ini dapat hidup pula pada substrat berlumpur. Sedangkan pada PB2 tegakan mangrove yang paling banyak ditemukan adalah Avicennia officinalis. Banyak ditemukannya spesies tersebut juga tidak lepas dari jenis substrat di lokasi penelitian yang sangat mendukung kehidupan spesies ini. Adapun pada TJK memiliki mangrove yang banyak ditemukan dari spesies Rhizophora apiculata. Apabila dikompilasikan dengan fraksi sedimen, pada dasarnya ada perbedaan dengan mendominasinya spesies ini. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi tersebut substrat yang ada berupa lempung berpasir, Namun demikian spesies ini dapat berkembang dengan baik. Setelah
dilakukan
analisis
kelompok
(cluster
analisis)
terhadap
keberadaan jenis mangrove didapatkan 5 kelompok yang didasarkan pada lokasi penelitian mangrove. Hasil cluster analisis direpresentasikan dalam dendrogram yang disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan keberadaan mangrove Gambar 12 menyatakan bahwa stasiun Panamparan (PNP) memiliki kemiripan yang tinggi dengan stasiun Pajan Barat 2 (PB2) dari segi jumlah kerapatan mangrovenya. Adapun stasiun Tanjung Tembing (TTB) memiliki
63 kemiripan yang tinggi dengan stasiun Pajan Barat (PJB) dari segi kerapatan mangrove. 5.1.2 Struktur Vegetasi Mangrove Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam suatu komunitas mangrove (Bengen, 2002). Baik maupun tidak kondisi mangrove dan seberapa besar perannya dalam suatu komunitas mangrove, dapat dilihat dari nilai yang dapat ditunjukkannya. Hasil perhitungan INP secara keseluruhan disajikan pada Tabel 12. Hasil Perhitungan INP pada stasiun TTB 1 menunjukkan bahwa spesies Avicennia officinalis memiliki nilai INP paling tinggi, yaitu 154,38 kemudian diikuti oleh Ceriops decandra dengan nilai INP 119,42 dan yang memiliki nilai INP paling rendah pada stasiun ini adalah spesies Ceriops tagal (26,20). rendahnya nilai INP pada spesies Cerips tagal menandakan bahwa spesies tersebut kurang mampu bersaing dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan. Pada Stasiun TTB 2 spesies yang memiliki INP paling tinggi adalah Avicennia officinalis dengan nilai 139,09 dan INP paling rendah pada stasiun ini adalah dari spesies Ceriops tagal (29,19). Demikian halnya dengan stasiun PJB 1 dan PJB 2, spesies yang memiliki nilai INP paling tinggi adalah Avicennia officinalis dengan nilai masing-masing 190,82; dan 88,25. Sedangkan pada stasiun TTB 3, INP paling tinggi adalah dari spesies Aegiceras foridum. Pada stasiun PNP hanya ditemukan spesies Pandanus tectorius sehingga spesies tersebut memiliki nilai INP 300 pada ketiga stasiunnya. Stasiun TJK secara keseluruhan didomiminasi oleh spesies yang sama dalam hal tingginya nilai INP. Spesies tersebut berasal dari famili Rhizohoraceae yaitu spesies Rhizophora apiculata dengan nilai INP masing-masing adalah 142,25; 224,46; dan 182,64. Adapun stasiun PB 2 memiliki nilai INP yang didominasi oleh jenis Avicennia officinalis dengan nilai INP sebesar 216,90. Keanekaragaman
spesies
merupakan
keheterogenan
spesies
dan
merupakan ciri khas dari struktur komunitas. Keanekaragaman mencakup 2 hal pokok yaitu seberapa banyak spesies yang yang menghuni suatu komunitas serta berapa besar kelimpahannya. Secara umum nilai indeks kenekaragaman pada
64 keseluruhan stasiun dapat dilihat pada Tabel 13. Keanekaragaman terbesar dapat ditemukan pada stasiun PB2 dengan nilai 1,046 dan stasiun yang memiliki indeks keanekaragaman (H’) terkecil adalah stasiun PNP secara keseluruhan dengan nilai 0. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun PNP dikarenakan pada stasiun tersebut komunitas mangrove bersifat homogen yaitu hanya dari spesies Pandanus tectorius. Namun demikian
secara
keseluruhan nilai indeks
keanekaragaman mangrove masuk dalam kategori keanekaragaman rendah. Adapun nilai indeks keseragaman (E) dari keseluruhan lokasi penelitian rata-rata menunjukkan nilai keseragaman yang tinggi (>0,6) dengan nilai indeks keseragaman tertinggi pada stasiun TJT 2 (E = 3,343) dan terendah pada stasiun PNP secara keseluruhan yaitu sebesar 0. Nilai indeks keseragaman 0 mengindikasikan bahwa penyebaran individu setiap jenis tidak sama dan cenderung didominasi oleh jenis tertentu. Sebaliknya apabila nilai indeks keseragaman mendekati 1, maka hal tersebut menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi dan mengindikasikan sama atau tidak jauh berbeda. Indeks dominansi pada keseluruhan stasiun menunjukkan angka dan klasifikasi yang heterogen. Stasiun PB2 merupakan stasiun yang memiliki nilai indeks dominansi paling rendah (D = 0,368) dengan kata lain stasiun ini memiliki dominansi sedang karena memiliki nilai 0,3 < D < 0,6. Rendahnya nilai indeks dominansi ini berbanding terbalik dengan nilai indeks keanekaragaman spesies yang ada di stasiun tersebut yang memiliki nilai 1.046 dan merupakan nilai indeks keanekaragaman tertinggi diantara stasiun-stasiun lainnya. Adapun stasiun yang memiliki indeks dominansi tinggi yaitu stasiun PNP secara keseluruhan (D = 1). Tingginya nilai dominansi menunjukkan bahwa struktur komunitas sedang dalam keadaan labil atau sedang terjadi tekanan ekologis tertentu. Secara umum hampir seluruh stasiun tidak terjadi dominansi, hal tersebut ditandai dengan banyaknya stasiun yang mengalami dominansi sedang.
65 Tabel 12 Indek Nilai Penting (INP) mangrove setiap 300 m2 Spesies 1 Aegiceras foridum Avicennia officinalis Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra Ceriops tagal Pandanus tectorius Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba
154,38 119,42 26,20
TTB 2 139,09 60,61 71,11 29,19
3 191,16
1
PNP 2
INDEKS NILAI PENTING PJB 3 1 2 190,82
108,84 83,69 300,00
300,00
3
88,25 85,17 27,69 27,95
179,37
70,95
120,63
1
TJK 2
3
216,90 40,26 111,78
300,00 25,49
142,25 40,17 77,31
224,46 75,54
182,64 53,00 64,36
Sumber : Analisis data lapang (2011) Tabel 13 Indek keanekaragaman (H’), E (keseragaman), dan Dominansi (D) Stasiun TJT
PNP
PJB
TJK PB2
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1
Sumber : Analisis data lapang (2011)
Keanekaragaman (H') 0,930 1,039 0,659 0 0 0 0,927 0.876 0,863 0,996 0,199 0,689 1,046
PB2 1
Keseragaman (E) 2,875 3,343 2,172 0 0 0 2,776 2.746 3,139 3,033 0,595 2,129 3,080
Dominansi (D) 0,426 0,408 0,534 1 1 1 0,435 0.102 0,452 0,483 0,905 0,624 0,368
71,32
66 5.2 Karakteristik Biofisik Lingkungan 5.2.1 Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pengukuran kualitas air ini dilengkapi dengan suhu udara sebagai faktor pendukung. Pengukuran kualitas air ini dibagi pada beberapa stasiun penelitian yang didasarkan pada lokasi dimana didapat pusat pencemaran, ekosistem mangrove, dan juga perairan setelah ekosistem mangrove. Pengambilan sample dan pengukuran kualitas lingkungan dilaksanakan berdasar informasi pasang tertinggi dan surut terendah pada siang hari yaitu pada pukul 10.00-13.00 WIB (pasang) dan pukul 15.00-17.00 WIB (surut). Pembagian stasiun tersebut dijelaskan pada Tabel 10. a)
b)
Sumber : Data Dishidros (2011) Gambar 13 Kondisi pasang surut pada lokasi penelitian a) Bulan Maret b) Bulan April Tahun 2011 Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi TNI AL (DISHIDROS) menunjukkan bahwa tipe pasang surut permukaan air laut di Pulau Sepanjang adalah bersifat harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini memiliki pengertian bahwa pada pulau ini hanya terdapat satu kali periode pasang dan satu kali surut dalam sehari. Pasang surut pada penelitian ini
67 berpengaruh bagi waktu sampling. Pengambilan sample penelitian dilakukan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Adapun kondisi pasang surut dilokasi penelitian saat dilakukan sampling adalah sebagai berikut (Gambar 13). Pasang surut memiliki peran penting terhadap keberadaan bahan pencemar disuatu lingkungan. Pasang surut juga berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan ekosistem mangrove. Bagi mangrove, pasang surut sangat berpengaruh terhadap perpindahan massa air tawar dan laut yang secara langsung mempengaruhi distribusi vertikal spesies mangrove dan zonasi (Bengen dan Dutton, 2004). Selain itu, rentang pasang surut dapat mempengaruhi sistem perakaran dan penyebaran propagul mangrove. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, pneumatofora Rhizophora, Sonneratia, dan Aegialites tumbuh lebih tinggi daripada di daerah yang rentangnya sempit. Terkait dengan pencemaran, pasang surut memiliki peran penting dalam mendistribusikan bahan pencemar kelaut. Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang menjadi faktor utama dalam mempengaruhi kondisi lingkungan. Suhu sangat mempengaruhi proses fisika maupun kimia perairan sehingga berperan penting bagi ekosistem perairan khususnya biota yang berada di dalam perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu udara pada saat pasang dari seluruh stasiun berkisar antara 28,830C – 30,830C dan surut 280C – 30,330C (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum perbedaan suhu tidak terlalu signifikan. Pada umumnya lokasi yang memiliki suhu udara rendah adalah pada stasiun yang berada pada daerah mangrove dan point source. Hal tersebut dikarenakan stasiun-stasiun tersebut masih berada di daerah yang tidak mendapatkan penyinaran langsung dari sinar matahari. Adapun stasiun yang memiliki suhu tinggi yaitu pada stasiun yang berada pada daerah perairan laut yang mendapatkan pemaparan sinar matahari secara langsung. Pengambilan data suhu air dilakukan dalam waktu yang sama dengan pengambilan data suhu udara. Hasil pengukuran yang dilakukan di 12 stasiun penelitian menunjukkan bahwa suhu air pada saat pasang berkisar antara 28,50C 30.50C dan pada saat surut perkisar antara 28,170C – 30,670C (Gambar 14, 15, dan 16). Suhu udara dan suhu air memiliki korelasi yang kuat diantara keduanya. Demikian halnya yang terjadi pada lokasi penelitian yang menunjukkan bahwa
68 perbedaan suhu antara atmosfer dan air berkorelasi positif dengan cuaca dan waktu pengambilan data. Stasiun Tanjung Tembing dan stasiun Panamparan adalah bukti bahwa cuaca sangat berpengaruh, dikarenakan saat pengambilan data dilakukan pada saat cuaca mendung sedangkan stasiun lainnya pada saat kondisi cuaca cerah. Tingginya suhu pada saat pasang dari pada saat surut di hampir seluruh stasiun dikarenakan pengambilan data dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 10.00 – 13.00 WIB sehingga menyebabkan suhu air tinggi karena mendapatkan sinar matahari secara langsung. Sedangkan data surut dilakukan pengambilan pada sore hari (jam 15.00-17.00 WIB) dimana intensitas matahari yang diterima lebih sedikit dibandingkan siang hari. Suhu memiliki peranan penting bagi kehidupan biota perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa suhu memiliki peran terhadap proses fisika kimia dan biologi. Setiap organisme yang memiliki kisaran suhu maksimum maupun minimum
dalam
melangsungkan
kehidupannya.
Kenaikan
suhu
dapat
meningkatkan laju metabolisme pada organisme (Affandi dan Tang, 2002). Semakin tinggi suhu maka semakin meningkat pula laju metabolisme yang terjadi dan mengakibatkan oksegen terlarut (DO) yang ada di perairan semakin menurun karena banyak dimanfaatkan oleh organisme. Siagian (2001) in Suwondo et al., (2010) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25 - 320C. Welch (1980) in Diniarti (2010) menambahkan bahwa suhu diatas 34 – 400C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Saenger (2002) menambahkan bahwa laju respirasi dan fotosintesis memiliki dampak yang sangat signifikan dengan laju terendah apda suhu 170C dan tertingggi pada suhu 250C. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C (Kusmana, 2008). Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, limbah, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi 2003; Nurjaya 2006).
69
Gambar 14 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun pusat pencemaran
70 Salinitas khususnya diwilayah pesisir terlebih lagi di ekosistem mangrove memiliki tingkat fluktuasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan wilayah pesisir merupakan daerah peralihan pasang surut dimana pengaruh darat dan laut sangat berpengaruh terhadap mangrove maupun habitat biota akuatik. Pada lokasi penelitian untuk salinitas terbagi menjadi 3 yaitu : pertama, untuk lokasi point source pencemaran (A1, A4, A7 dan A10) yaitu berkisar antara 4,33 – 16,670/00 pada saat surut dan 4,00 – 17,000/00 pada saat pasang; kedua, pada ekosistem mangrove (A8, A11 dan A13) berkisar antara 28,50 – 29,670/00 saat pasang dan 28,00 – 28,330/00 saat surut; ketiga, yaitu pada lokasi kearah laut setelah ekosistem mangrove (A3, A6, A9, A12 dan 14) memiliki salinitas 28,83 – 33,670/00 saat pasang dan 28,17 – 32,500/00 saat surut (Gambar 14, 15, dan 16). Rendahnya salinitas di stasiun A1, A4, A7 dan A10 dikarenakan pada stasiun tersebut air yang diukur adalah air payau dari limbah penduduk yang berasal dari sumur yang ada di sekitar rumah mereka. Adapun stasiun A8, A11 dan A13 dimana mangrove ditemukan, salinitas berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan mangrove yaitu sampai dengan 340/00 (Kep Men LH No 51 Tahun 2004). Sedangkan untuk stasiun A3, A6, A9, A12 dan 14 dimana perairan tersebut adalah perairan laut dimana memiliki rata-rata nilai salinitas yang tinggi dan sangat mendukung bagi kehidupan terumbu karang dan lamun (berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004). pH yang biasa dikenal sebagai derajat keasaman digunakan sebagai penunjuk apakah suatu larutan tersebut bersifat asam atau basa. pH di perairan khususnya pesisir sangat fluktuatif tergantung dari masukan air tawar dari darat maupun air laut. pH juga sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Sebagian besar biota akuatik memiliki sensitifitas yang sangat terhadap pH. pH optimum yang disukai adalah berkisar antara 7 – 8,5 (Effendi, 2003). pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir apabila pH rendah. Nilai pH di lokasi penelitian pada saat pasang berkisar antara 6,74 – 7,52 (Gambar 14, 15, dan 16). Nilai pH terendah terletak pada stasiun A1 dimana pusat pencemaran di desa tersebut berkumpul dan tertinggi pada stasiun A14 yaitu di Desa Sepanjang. Adapun pada saat surut
71
Gambar 15 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun mangrove
72 berkisar antara 6,76 - 7,48 dengan nilai pH terendah berada pada stasiun A7 (pusat pencemaran) dan tertinggi pada stasiun A14 (setelah ekosistem mangrove). Nilai pH tertinggi baik pasang maupun surut berada di stasiun yang sama dikarenakan perairan tersebut bersubstrat pasir tanpa vegetasi mangrove. Berdasarkan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai pH pada seluruh stasiun pengamatan berada pada kisaran 7,0 – 8,5 sehingga memiliki kondisi yang baik bagi kehidupan organisme dan mangrove. Nilai pH juga sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos khususnya kelas gastropoda, dimana nilai pH yang disukai adalah > 7 (Moss in Suwondo et al., 2006). Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh bahan organik maupun anorganik yang terdapat di perairan tersebut. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan dan TSS. Semakin tinggi kecerahan maka semakin rendah nilai Kekeruhan dan TSS. Demikian pula sebaliknya semakin rendah nilai kecerahan maka semakin tinggi nilai kekeruhan dan TSS. Apabila suatu perairan memiliki nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi, maka penetrasi cahaya kedalam perairan akan terganggu sehingga menyebabkan terganggunya produktivitas suatu perairan (Nybakken, 1992). Dari keseluruhan stasiun pengamatan, nilai kecerahan menunjukkan angka 100%. Hal tersebut dikarenakan lokasi pengambilan sample adalah aliran air yang kecil dan dangkal serta di pantai yang dangkal pula. Nilai kekeruhan menunjukkan bahwa stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 40,05 – 43,04 NTU saat pasang 45,62 – 49,13 NTU saat surut. Fenomena ini diduga dikarenakan stasiun tersebut merupakan kawasan yang paling besar menerima beban limbah langsung dari penduduk. Adapun stasiun A8, A11, dan A13 dimana ekosistem mangrove berada memiliki tingkat kekeruhan yang bervarisi baik disaat pasang maupun surut. Pada saat pasang nilai kekeruhan berkisar antara 13,1 – 30,6 NTU, sedangkan saat surut berkisar antara 16 – 34,64 NTU. Bervariasinya nilai tersebut dikarenakan kawasan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam kaitannya dengan faktor oseanografi maupun masukan dari daratan. Adapun stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 merupakan daerah yang memiliki nilai kekeruhan paling kecil, yaitu berkisar 3,43 – 3,85 NTU saat pasang dan 4,55 –
73
Gambar 16 Sebaran nilai fisika kimia air pada stasiun setelah ekosistem mangrove
74 8,81 NTU saat surut. Meskipun stasiun ini adalah berbatasan langsung dengan laut yang seharusnya memiliki nilai kekeruhan yang tinggi, namun demikian hampir keseluruhan stasiun memiliki nilai kekeruhan yang rendah dan baik bagi biota laut. Berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai kekeruhan maksimum untuk biota laut adalah <5 NTU. Namun demikian hanya sebagian kecil dari seluruh stasiun yang memiliki kekeruhan yang memenuhi syarat, diantaranya yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 dan itupun hanya pada saat pasang, namun saat surut hampir seluruhnya memiliki kekeruhan lebih dari 5 NTU. Nilai kekeruhan sangat ditentukan oleh besarnya nilai kandungan nutrien dalam dari sedimen (Prartono dan Hasena, 2009). Semakin tinggi nutrien yang ada, maka semakin besar pula nilai kekeruhan dalam suatu perairan. Nilai TSS di seluruh lokasi penelitian memiliki nilai yang berbanding lurus dengan kekeruhan. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai TSS rata-rata berkisar antara 152,79 – 183,54 mg/L pada saat pasang dan 154,48-182,1 mg/L pada saat surut. Tingginya nilai TSS dikarenakan banyaknya beban pencemar yang terakumulasi di stasiun tersebut. Penurunan kualitas air yang dibarengi dengan peningkatan nilai TSS akan berdampak langsung dalam menghambat laju fotosintesis tumbuhan perairan sehingga secara langsung pula menurunkan nilai DO dalam perairan yang diakibatkan terhambatnya penetrasi sinar matahari. Pada stasiun A8, A11, dan A13 nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 87 - 106 mg/L, dan pada saat surut 98 - 128 mg/L. Adapun stasiun yang berbatasan langsung dengan laut yaitu stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki nilai TSS pada saat pasang berkisar antara 31 - 36 mg/L dan pada saat pasang rata-rata berkisar antara 37 - 69 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum nilai TSS pada saat surut di seluruh stasiun penelitian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan saat pasang. Kadar oksigen terlarut pada perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (Effendi, 2003). Terkait dengan limbah, kadar oksigen bisa jadi menjadi sangat rendah sebagai akibat aktivitas mikroorganisme pengurai
yang
membutuhkan
oksigen
dalam
proses
penguraian
yang
75 mengakibatkan do menjadi rendah. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di Pulau Sepanjang tersebar merata dan hampir seragam pada stasiun pengamatan yang sama karakteristiknya. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 memiliki nilai DO yang rendah yaitu berkisar antara 4,12 – 4,33 mg/L pada saat pasang dan antara 4,08 4,25 mg/L pada saat surut. Hal tersebut dikarenakan titik pengambilan sample merupakan pusat pertemuan pencemaran sehingga DO yang ada banyak dimanfaatkan oleh bakteri pengurai dalam proses penguraian. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 yang diambil pada wilayah mangrove diketahui bahwa konsentrasi DO berkisar antara 5,45 – 5,80 mg/L pada saat pasang dan antara 5,33 – 5,96 mg/L. Sedangkan stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi do antara 5,67 – 6,34 mg/L pada saat pasang dan antara 5,10 – 6,22 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut Kep Men LH No 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut adalah >5. Suwondo et al., (2006) menambahkan bahwa organisme di pantai dapat hidup minimal dengan kondisi DO 4 ppm tergantung dari ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran bahan pencemar, dan suhu air. Oleh karena itu untuk seluruh stasiun yang merupakan ekosistem mangrove (stasiun A8, A11, dan A13) dan stasiun di sisi laut (stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14) masih memenuhi syarat dan baik dalam kondisi pasang maupun surut. Namun untuk stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 yang merupakan pusat asal pencemaran sudah tidak memenuhi syarat bagi kehidupan biota (menurut Kep Men LH No 51 Tahun 2004) namun masih sesuai menurut Suwondo et al., (2006). Konsentrasi bahan organik total dalam air pada stasiun pengamatan sangat bervariasi tergantung dimana lokasi pengamatan dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan informasi bahwa konsentrasi TOM pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut adalah sebesar 55,1 – 57,82 mg/L dan pasang berkisar antara 51,05 – 55,54 mg/L. Konsentrasi terbesar ditemukan pada stasiun A7 yaitu 57,82 mg/L saat surut dan 55,54 saat pasang. Besarnya nilai tersebut diakibatkan oleh banyaknya penduduk yang mendiami stasiun tersebut dan banyak membuang limbah serta pada stasiun tersebut terdapat dermaga perahu yang cukup aktif yang berpotensi meningkatkan konsentrasi bahan organik. Konsentrasi bahan organik pada stasiun A8, A11, dan A13 saat surut berkisar antara 13,66 - 30 mg/L dan
76 pasang berkisar antara 24,37 – 30,43 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A13 konsentrasi bahan organik pada saat surut berkisar antara 10,18 – 13,93 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 12,32 – 28,65 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Secara umum konsentrasi bahan organik semakin kearah laut semakin mengecil khususnya di rentetan stasiun yang melewati ekosistem mangrove. Hal tersebut dikarenakan bahan organik yang melawati mengendap ke dasar perairan dan mengalami pencucian. Fosfor merupakan salah satu nutrien yang dimanfaatkan dalam pertumbuhan alga (Effendi, 2003). Fosfor yang ditemukan dalam perairan berupa ortofosfat dan polifosfat. Fosfat banyak ditemukan di perairan apabila perairan tersebut mengalami pencemaran bahan organik baik yang berasal dari limbah penduduk maupun pertanian yang menggunakan pupuk dalam usaha pertaniannya. Konsentrasi fosfat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,29 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,18 – 0,28 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Besarnya konsentrasi fosfat di stasiun-stasiun tersebut dikarenakan banyaknya limbah organik dari buangan penduduk. Adapun pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut konsentrasi fosfat berkisar antara 0,04 – 0,07 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,06 – 0,1 mg/L. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi fosfat pada saat surut berkisar antara 0,02 – 0,16 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,04 – 0,13 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004 kandungan fosfat maksimum adalah 0,015 mg/L, maka dapat diketahui bahwa secara keseluruhan memiliki konsentrasi fosfat yang tidak memungkinkan bagi kehidupan biota laut. Effendi (2003) menjelaskan bahwa perairan yang memiliki kandungan fosfat melebihi 0,1 merupakan perairan eutrofik yang berpotensi terjadi blooming. Konsentrasi deterjen pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat surut 1,27 – 1,46 mg/L, pasang 0,99 - 1,24 mg/L. Konsentrasi deterjen tertinggi ditemukan pada stasiun A1 dikarenakan stasiun pengamatan sangat dekat dengan aktifitas penduduk yang cukup padat. Adapun konsentrasi deterjen pada stasiun A8, A11, dan A13 pada saat surut berkisar antara 0,44 – 1,04 mg/L dan pada saat pasang berkisar antara 0,86 – 0,92
77 mg/L. Sedangkan pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi deterjen pada saat surut adalah 0,36 – 0,96 mg/L dan pada saat pasang 0,37 – 0,64 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh stasiun yang berada pada point source pencemaran memiliki konsentrasi deterjen diatas 1 mg/L. Adapun untuk stasiun ekosistem mangrove dan stasiun setelah ekosistem mangrove secara umum memiliki konsentrasi deterjen yang cukup rendah yaitu dibawah 1 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan deterjen yang diizinkan adalah 1 mg/L sehingga secara umum kondisi perairan di Pulau Sepanjang adalah mendukung bagi kehidupan biota akuatik. BOD merupakan jumlah oksigen yang didigunakan dalam proses biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam air, pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 200C selama 5 hari (BOD5) (APHA, 2005). Nilai BOD5 di suatu perairan dapat dijadikan petunjuk dalam menentukan tingkat pencemaran bahan organik suatu perairan (Effendi, 2003). Nilai BOD5 berbanding lurus dengan konsentrasi bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Nilai BOD5 berkisar antara 2,36 – 4,07 mg/L pada saat pasang dan 2,27 – 3,96 mg/L saat surut (Gambar 14, 15, dan 16). Nilai tertinggi pada seluruh stasiun rata-rata diperoleh pada stasiun pusat pencemaran, sedangkan nilai BOD5 terendah rata-rata ditemui setelah ekosistem mangrove. hal tersebut sesuai dengan kondisi DO di lokasi penelitian berbanding terbalik dengan nilai BOD5. Hal tersebut dikarenakan oksigen dipakai oleh oleh mikroorganisme dalam proses oksidasi bahan organik. Nitrat merupakan senyawa nitrogen yang paling banyak ditemukan di perairan. Nitrat juga merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman air dan alga (Effendi, 2003). Nitrat nitrogen merupakan senyawa yang mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Dalam bentuk nitrat, nitrogen mampu dengan mudah dimanfaatkan oleh fitoplankton, sehingga nitrat memiliki peranan penting dala mengendalikan
maupun
memacu
kesuburan
perairan.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrat 0,18 – 0,32 mg/L dan pada saat surut sebesar 0,21 – 0,28 mg/L. Sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi nitrat pada saat pasang
78 adalah 0,13 – 0,16 mg/L dan pada saat surut sebesar 0,09 – 0,18 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 memiliki konsentrasi nitrat pada saat pasang sebesar 0,05 – 0,16 mg/L dan pada saat surut 0,07 – 0,12 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Stasiun A1, A4, A7, dan A10 memiliki konsentrasi nitrat yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya konsentrasi nitrat di stasiun-stasiun tersebut diduga karena banyaknya bahan organik yang ada di stasiun tersebut sebagai akibat buangan limbah dari penduduk yang berupa berbagai macam sampah organik dan juga sampah lainnya. Pada ekosistem mangrove nitrat selain dihilangkan melalui proses denitrifikasi, juga dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan mangrove itu sendiri (Wu et al., 2008). Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dangan nitrogen (denitrifikasi). Pada perairan alami, nitrit ditemukan sangat sedikit sekali dan lebih sedikit dari pada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Hal tersebut dikarenakan nitrit segera dioksidasi menjadi nitrat. Meskipun sedikit, nitrit memiliki sifat toksik bagi biota. Berdasarkan hasil penelitian secara jelas ditemukan konsentrasi nitrit di seluruh stasiun memiliki konsentrasi sangat kecil bahkan ada yang mencapai 0 mg/L. Konsentrisi nitrat pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 saat pasang memiliki konsentrasi antara 0,002 – 0,017 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,003 – 0,014 mg/L. Sedangkan pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada yaitu stasiun A8, A11, dan A13 pada saat pasang memiliki konsentrasi nitrit sebesar 0,003 – 0,014 mg/L dan pada saat surut 0,002 – 0.01 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 konsentrasi nitrit pada saat pasang berkisar antara 0,00 – 0,004 mg/L dan pada saat surut 0,00 – 0,002 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Mayoritas sumber nitrit berasal dari limbah domestik dan limbah industri (Effendi, 2003). Pada perairan alami konsentrasi nitrit hanya sekitar 0,001 mg/L dan tidak lebih dari 0,06 mg/L (CCREM, 1987 dalam Effendi, 2003). Apabila dibandingkan dengan yang ada di likasi penelitian maka dapat disimpulkan bahwa perairan di lokasi penelitian masih bisa memenuhi syarat untuk kehidupan biota laut. Amonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah
79 dan kolom air yang bersumber dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur dan biasa dikenal sebagai proses amonifikasi (Effendi, 2003). Sumber amonia diantaranya adalah feses dari hewan akuatik, difusi dari atmosfer, limbah industri dan limbah domestik. Konsentrasi amonia pada seluruh stasiun memiliki variasi yang sangat beragam. Pada stasiun A1, A4, A7 dan A10 konsentrasi amonia pada saat pasang berkisar antara 0,29 – 0,36 mg/L dan pada saat surut berkisar antara 0,23 – 0,38 mg/L, sedangkan pada stasiun A8, A11, dan A13 konsentrasi amonia pada saat pasang adalah 0,18 – 0,29 mg/L dan pada saat surut 0,18 – 0,24 mg/L. Adapun pada stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14 pada saat pasang memiliki konsentrasi amonia antara 0,13 – 0,20 mg/L dan pada saat surut 0,16 – 0,19 mg/L (Gambar 14, 15, dan 16). Pada perairan alami, konsentrasi amonia pada umumnya kurang dari 0,1 mg/L (McNeely et al., 1979 in Effendi, 2003). Tingginya nilai amonia mengindikasikan terjadinya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, limpasan pupuk pertanian dan sebagainya (Effendi, 2003). Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004, kandungan maksimum amonia yang dizinkan adalah 0,3 mg/L. Nilai tersebut apabila dibandingkan dengan hasil penelitian, maka diketahui bahwa hampir seluruh stasiun penelitian masih sangat memenuhi syarat bagi kehidupan biota akuatik, kecuali stasiun-stasiun yang berada pada puast pencemaran yaitu A1, A4, A7 dan A10 yang hampir seluruhnya memiliki kadar amonia lebih tinggi diantara yang lainnya.
5.2.2 Distribusi Spasial Karakteristik Fisika dan Kimia Air Untuk mengetahui secara lebih jelas karakteristik kontribusi antar stasiun pengamatan terhadap beban pencemar serta korelasinya dengan karakteristik fisika kimia air baik pada saat surut maupun pasang, maka dilakukan analisis komponen utama (AKU) atau yang lebih dikenal dengan uji Principal Component Analysis (PCA). Hasil uji tersebut disajikan pada Gambar 17 dan 18. Gambar berikut merupakan biplot kualitas perairan saat kondisi perairan mengalami pasang tertinggi. Gambar 17 menunjukkan bahwa stasiun A12, A3, dan A9, berada dalam satu kelompok yang sama, dalam artian stasiun tersebut
80 memiliki karakter lingkungan yang hampir sama. Parameter yang paling dominan pada kelompok tersebut adalah kecepatan arus. Sedangkan stasiun A4 dan A7 memiliki karakter yang sama dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD5, TOM, deterjen, nitrat, dan kekeruhan. Adapun stasiun A1 dan A10 memiliki karakter yang sama pula dengan penyumbang beban pencemar yang dominan adalah fosfat, amonia, dan nitrit. Stasiun A4 dan A12 memiliki karakter yang kuat pada parameter pH, DO dan kedalaman. Untuk stasiun A8 memiliki karakter yang kuat diantara beberapa parameter penelitian dengan karakter yang lebih menonjol pada parameter nitrit.
Gambar 17 Biplot kualitas perairan pada kondisi pasang tertinggi
Gambar 18 Biplot kualitas perairan pada kondisi surut terendah
81 Pada kondisi surut terendah seluruh stasiun memiliki karakteristik yang berbeda pula seperti halnya pada saat pasang tertinggi (Gambar 18). Pada gambar tersebut diketahui bahwa stasiun A3, A9, A9, A12 dan A14 memiliki karakteristik lingkungan yang sama yaitu DO. Demikian halnya yang terjadi pada stasiun A11 yang memiliki karakter kuat pada seluruh parameter namun lebih menonjol pada parameter DO. Pada stasiun tersebut berkorelasi positif dengan bahan pencemar berupa nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, BOD5, fosfat, dan deterjen. Adapun stasiun A4, A7, dan A10 memiliki pola yang sama memiliki karakteristik yang didominasi oleh nitrat, amonia, TSS, kekeruhan, dan TOM. Sedangkan stasiun A1 memiliki karakteristik yang berbeda sama sekali dengan stasiun-stasiun lainnya dimana memiliki karakteristik yang kuat dalam menyumbang bahan pencemar berupa BOD5, fosfat, deterjen, dan nitrit. Adapun stasiun A6, A8, dan A13 memiliki karakter yang kuat pada seluruh parameter, namun lebih menonjol pada faktor lingkungan berupa kedalaman, pH, dan kecepatan arus.
5.2.3 Karakteristik Fisika Kimia Sedimen Analisis terhadap sifat-sifat tanah dilakukan pada 14 stasiun penelitian. Sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran secara umum bagi lokasi penelitian dalam upaya diketahuinya kapasitas asimilasi ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Adapun rincian dari stasiun-stasiun tersebut adalah disajikan pada Gambar 19, 20, dan 21. Sifat-sifat tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi beberapa parameter, diantaranya : fraksi sedimen, C organik sedimen, N organik, dan P. Pengukuran tersebut selain digunakan untuk mengetahui kapasitas asimilasi ekosistem mangrove, juga digunakan untuk mengetahui karakteristik sedimen pada mangrove di lokasi penelitian. Penelitian terkait dengan fraksi sedimen pada seluruh lokasi penelitian dilakukan pada keseluruhan stasiun penelitian. Pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan pengambilan sample pada 3 layer yang berbeda, yaitu layer 10 cm, 30 cm, dan 60 cm kecuali pada beberapa stasiun yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan sample. Adapun hasil analisis fraksi sedimen disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil penelitian, fraksi sedimen di Pulau Sepanjang adalah pasir dengan kisaran (46,89 – 99,43)%,
82 debu dengan kisaran rata-rata (0,00 – 21,49)%, dan liat berkisar antara (0,57 51,66)%. Diketahuinya prosentase sedimen adalah setelah dilakukan pengukuran fraksi sedimen dengan menggunakan metode pipet dan hasil tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Segitiga Miller. Hasil yang didapat merupakan interpretasi dari gambaran umum sedimen di Pulau Sepanjang. Secara umum substrat yang terdapat di Pulau Sepanjang berupa substrat pasir. Hal tersebut dikarenakan material penyusun Pulau Sepanjang secara umum adalah berupa pulau karang sehingga substrat yang mendominasi adalah substrat berpasir. Pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 yang merupakan lokasi berkumpulnya beban pencemar mimiliki substrat yang bervariasi antar baik antar stasiun maupun antar layernya. Pada stasiun S7 misalnya, pada stasiun tersebut memiliki perbedaan di setiap layernya, yaitu bersubstrat pasir di layer atas, lempung berpasir di layer tengah, dan lempung liat berpasir di layer bawah. Namun demikian, pada stasiun S4 dan S10 memiliki karakteristik substrat yang sama pada ketiga layer di masing-masing tipenya, yaitu liat berpasir di stasiun S4 dan lempung berpasir di stasiun S10. Stasiun yang terdapat pada ekosistem mangrove (S2, S5, S8, dan S11) juga memiliki kondisi substrat yang mayoritas berpasir. Pada stasiun S5 dimana substrat pada lokasi tersebut mutlak berpasir dan berhadapan langsung dengan laut lepas, hanya memiliki mangrove dengan spesies Pandanus tectorius. Demikian halnya dengan stasiun S2 dimana substrat adalah pasir dan pasir berlempung, maka mangrove yang dapat hidup dengan baik adalah spesies Avicennia officinalis. Kusmana et al. (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan mangrove sangat dipengaruhi oleh substrat dimana habitat mangrove berada baik berpasir, koral, tanah berkerikil, maupun tanah gambut. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 yang merupakan stasiun paling luar (berada di posisi paling depan menghadap ke laut), kesemuanya terdiri dari substrat berpasir dari ketiga layernya. Perbedaan hanya didapat pada layer 60 cm pada stasiun S6 dan layer 30 cm pada stasiun S12 yang masing-masing bersubstrat lempung berpasir. Perbedaan tipe substrat sangat mempengaruhi terhadap faktor fisik, kimia, maupun biologi suatu perairan. Pada substrat berpasir sangat jarang bisa ditemui mollusca namun masih bisa ditemui crustacea. Demikian halnya
83 dengan spesies mangrove yang dapat hidup pada tipe substrat tersebut. Hal tersebut dikarenakan masing-masing spesies mangrove memiliki karakteristik sedimen yang berbeda-beda tiap jenisnya. Selain itu tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung penerimaan limbah yang masuk. Semakin kasar suatu tekstur, maka semakin besar pula kemampuannya dalam menerima laimbah. Sebaliknya semakin kecil ukuran suatu tekstur sedimen, maka semakin kecil pula daya dukung sedimen dalam menerima beban limbah. Kemampuan tersebut sangat terkait dengan kondisi oksidatif sedimen. kondisi oksidatif tersebut menyebabkan hasil degradasi bahanbahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya. Kandungan bahan organik dalam sedimen berbeda-beda berdasarkan jenis substrat yang menyusunnya. Substrat yang lebih halus memiliki kemampunya menyimpan bahan organik yang lebih baik dari pada substrat yang lebih kasar. Nilai rata-rata C-organik pada masing-masing stasiun penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing lokasi yang berbeda. Stasiun S1, S4, S7, dan S10 yang merupakan pusat pencemaran memiliki konsentrasi C organik sebanyak 14,53 – 18,36% pada saat surut dan 13,47 – 16,47% pada saat pasang. Sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 merupakan kawasan ekosistem mangrove memiliki konsentrasi C organik pada saat surut berkisar antara 17,04 – 24,04% dan pada saat pasang sebesar 15,12 – 22,86%. Adapun pada stasiun S3, S6, S9, dan S12 konsentrasi C organik pada saat surut berkisar antara 6,19 – 30,67% dan pada saat pasang sebesar 10,12 – 25,82%. Tingginya konsentrasi C organik pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 dikarenakan posisi stasiun tersebut berada pada pusat pencemaran sehingga bahan organik dari limbah antropogenik banyak terendap pada stasiun-stasiun tersebut. Sedangkan tingginya C organik pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada dikarenakan banyaknya serasah mangrove yang mengakibatkan kandungan C organik tinggi. Selain itu kondisi substrat juga sangat berpengaruh, semakin halus fraksi substrat di suatu lokasi, maka semakin banyak pula kandungan C organiknya.
Menurut
Foth
(1978)
in
Iswahyudi
(2008),
faktor
yang
84
Gambar 19 Karakteristik fisika kimia sedimen pada stasiun pusat pencemar
85 mempengaruhi jumlah dan penyebaran bahan organik antara lain : iklim, vegetasi, kondisi drainase dan tekstur tanah. Semakin rapat tegakan mangrove yang ada pada suatu lokasi, maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya. Nitrogen total merupakan gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan amonia pada air limbah (Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003). Terlihat bahwa stasiun pusat pencemaran (S1, S4, S7, dan S10) memiliki konsentrasi N organik yang tinggi yaitu berkisar antara 0,89 – 1,23% saat pasang dan pada saat surut sebesar 0,92 – 1,26%. Sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 (stasiun pada ekosistem mangrove) memiliki konsentrasi N organik pada saat pasang berkisar antara 0,96 – 1,26% dan pada saat surut sebesar 0,98 – 1,22%. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 memiliki konsentrasi saat pasang 0,49 – 1,05% dan saat surut 0,54 – 1,00%. Terlihat jelas bahwa stasiun yang berada pada pusat pencemaran memiliki kandungan N organik yang lebih tinggi dari pada stasiun lainnya dan selanjutnya diikuti oleh stasiun pada ekosistem mangrove. Tingginya N organik pada keseluruhan stasiun secara umum berkorelasi positif dengan tingginya C organik. Selain itu diduga bahwa tingginya N total adalah disebabkan oleh perbedaaan fraksi sedimen dimana fraksi sedimen yang lebih halus lebih banyak memerangkap bahan organik dari pada sedimen yang berukuran lebih kasar. Wu et al., (2008) menyatakan bahwa sedimen merupakan media utama yang mampu memerangkap nitrogen. Zhang et al., (2010) menambahkan bahwa 97% TN dan 95% TP pada ekosistem mangrove diendapkan oleh sedimen. Kadar Total P sangat tergantung pada bahan organik yang tersedia, semakin tinggi bahan organik yang tersedia, maka semakin banyak fosfat yang tersedia. Menurut Sanchez (1976) in Iswahyudi (2008) tingkat P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dam sifat-sifat tanah seperti : pH tanah, Kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik, dan aktivitas mikroorganisme tanah. Pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 diketahui bahwa saat pasang konsentrasi total P berkisar antara 0,12 – 0,23% dan saat surut 0,16 – 0,24%, sedangkan stasiun S2, S5, S8, dan S11 pada saat pasang memiliki konsentrasi antara 0,09 – 0,25% dan saat surut 0,11 – 0,27%. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 pada saat pasang memiliki konsentrasi sebesar 0,07 – 0,25% dan saat surut 0,08 – 0,28%.
86
Gambar 20 Karakteristik fisika kimia sedimen pada stasiun ekosistem mangrove
87 Total organik matter/ bahan organik pada sedimen di seluruh lokasi penelitian menunjukkan angka yang fluktuatif sebagaimana terjadi pada air. Konsentrasi TOM tertinggi didapat pada stasiun S8 baik pasang maupun surut dengan konsentrasi 55,2% saat pasang dan 46,48% saat surut. Hal tersebut dikarenakan stasiun tersebut memiliki kondisi mangrove sangat rapat sekaligus menerima beban limbah dari stasiun S7 dimana stasiun tersebut merupakan pusat terjadinya pencemaran di desa Pajan Barat. Adapun stasiun yang memiliki konsentrasi TOM paling rendah adalah stasiun S6 dimana stasiun tersebut berada di sisi selatan Pulau Sepanjang dengan memiliki substrat pasir dan tidak jauh dari stasiun tersebut terdapat palung yang kedalamannya mencapai 300 m. Sebaran pH sedimen berkisar antara 6,40 – 7,44. Adapun secara terperinci nilai pH pada stasiun S1, S4, S7, dan S10 pada saat pasang berkisar antara 6,70 – 6,94 dan pada saat surut 6,62 – 6,90. Sedangkan pada stasiun S2, S5, S8, dan S11 pada saat pasang nilai pH berkisar 6,40 – 6,85, dan berkisar antara 6,40 – 6,80 pada saat surut. Adapun stasiun S3, S6, S9, dan S12 memiliki rata-rata nilai pH pada saat pasang surut 7,20 – 7,44 dan pada saat pasang 7,12 – 7,43. Secara umum stasiun yang menghadap ke laut memiliki nilai pH substrat yang tinggi. Sebaliknya stasiun yang berada pada pusat pencemaran memiliki nilai pH substrat yang rendah. Hal tersebut dikarenakan pada pusat pencemaran memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi. pH substrat memiliki nilai berbanding terbalik dengan kadar C organik (Notohadiprawiro, 1986 in Emiyarti, 2004). Secara umum kandungan deterjen di keseluruhan stasiun penelitian adalah sangat kecil yaitu berkisar antara 0,0001% sampai dengan 0,00035%. Sedangkan secara terperinci di stasiun S1, S4, S7, dan S10 pada saat pasang memiliki kandungan konsentrasi deterjen sebesar 0,00019 – 0,00031% dan pada saat surut sebesar 0,00014 – 0,00035%. Pada stasiun S2, S5, S8, dan S11 memiliki konsentrasi deterjen saat pasang berkisar antara 0,00013 – 0,00022% dan pada saat surut berkisar antara 0,00014 – 0,00027%. Adapun pada stasiun S3, S6, S9, dan S12 pasang berkisar antara 0,0001 – 0,00019% dan pada saat surut berkisar antara 0,00007 – 0,00024%. Tingginya konsentrasi deterjen pada stasiun S1 dan S4 dikarenakan tingginya konsentrasi deterjen di air pada stasiun tersebut.
88
Gambar 21 Karakteristik fisika kimia sedimen setelah ekosistem mangrove
89
Gambar 22 Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi pasang tertinggi
Gambar 23 Biplot karakteristik fisika kimia sedimen pada kondisi surut terendah
Hasil analisis biplot pada distribusi karakteristik fisika dan kimia sedimen saat pasang tertinggi menunjukkan karakter yang menyebar luas bagi masingmasing stasiunnya (Gambar 22). Stasiun S3, S6, S10, dan S13, berada dalam satu kelompok yang sama, dalam artian stasiun tersebut memiliki yang sama dimana tidak memiliki pengaruh yang dominan terhadap beban pencemar. Stasiun S1, S2, S4, S5, dan S7 memiliki karakter yang penyumbang konsentrasi N organik dan deterjen. Adapun stasiun S8, S9, dan S13 secara umum memiliki konsentrasi yang
90 dominan pada beban pencemar berupa C organik, P, dan TOM. Sedangkan stasiun S12, dan S14 memiliki karakter yang kuat pada pH tanah. Gambar 23 menunjukkan hasil analisis biplot karakteristik fisika dan kimia sedimen saat kondisi perairan mengalami surut terendah. Stasiun S3, S6, S10, dan S11 memiliki karakter yang sama dan tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyumbang beban pencemar. Stasiun S1, S2, S4, dan S7 berada pada satu kelompok yang sama dengan memlikiki karakter yang kuat pada deterjen dan N organik. Parameter TOM dan P berkorelasi positif, sedangkan deterjen berkorelasi negatif dengan nilai pH tanah. Adapun stasiun S8, S11, dan S13 memiliki karakter yang kuat dalam menyumbang beban pencemar berupa C organik, P, dan TOM. Adapun stasiun S12 dan S14 memiliki karakter yang kuat pada parameter pH tanah. 5.2.4
Struktur Komunitas Makrozoobentos Organisme makrozoobentos yang terdapat pada lokasi penelitian terdiri
dari 12 spesies yang terbagi dalam 3 kelas. Kelas tersebut adalah gastropoda (10 jenis), bivalvia (1 jenis), dan malacostraca (1 jenis). Adapun komposisi dari makrozoobentos pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 24.
9%
8%
83%
Gastropoda
Malacostraca
Bivalvia
Gambar 24 Komposisi kelas makrozoobentos pada lokasi penelitian
Gambar tersebut menunjukkan bahwa 83% makrozoobentos yang ditemukan adalah dari kelas gastropoda. gastropoda pada lingkungan mangrove memiliki arti sangat penting dalam proses dekomposisi serasah mangrove.
91 Sedangkan kelas malacostraca dan bivalvia hanya ditemukan masing-masing 1 spesies dari total stasiun penelitian dengan kelimpahan masing-masing 9% untuk Malacostraca dan 8% untuk Bivalvia. Adapun sebaran makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah dari kelas gastropoda. Stasiun S8 merupakan stasiun dimana banyak ditemukan spesies Clypeomorus coralium dari kelas gastropoda (71 individu dari 86 individu yang ada). Sedangkan stasiun yang memiliki kelimpahan individu paling sedikit adalah stasiun S6 yang hanya ditemukan Cerithidea quadrata dari kelas gastropoda (Lampiran 6). Banyaknya kehadiran gastropoda sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mangrove pada lingkungan pesisir (Suwondo et al., 2006). Selain itu banyaknya jenis gastropoda yang terdapat pada lokasi penelitian sangat terkait dengan faktor lingkungan yang mendukung keberadaannya (Cannicci et al., 2009). Nagelkarken et al., (2008) menyatakan bahwa distribusi gastropoda pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : sinar matahari, pasang surut, salinitas dan tipe substrat. Sedimen yang didominansi pasir sangat mendukung bagi kehidupan gastropoda (Barnes dan Hughes, 1999). Sedangkan Lee (2008) berpendapat bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam kelimpahan makrozoobentos adalah bahan organik. Indeks keanekaragaman memiliki kontribusi penting dalam mengetahui status lingkungan suatu ekosistem. Nilai indeks keanekaragaman pada lokasi penelitian berkisar antara 0 – 2,18 dengan nilai tertinggi ditemui pada stasiun S9 (H’ = 2,18) dan terkecil pada stasiun S6 dan S15 (H’ = 0). Adapun secara lengkap disajikan pada (Lampiran 7). Heddy dan Kurniaty (1996) menjelaskan bahwa dengan mengetahui nilai indeks keanekaragaman suatu organisme, dapat diketahui pula tingkat stress atau tekanan yang didapat oleh lingkungan. Secara keseluruhan nilai indeks keanekaragaman menunjukkan angka < 3,32 yang menunjukkan keseluruhan stasiun memiliki status keanekaragaman rendah. Nilai
Indeks
keseragaman
pada
keseluruhan
lokasi
penelitian
menunjukkan kisaran antara 0 – 7,67 dengan nilai indeks keseragaman tertinggi pada stasiun S9 dan terendah pada stasiun S6 dan S15 (Lampiran 7). Nilai indeks keseragaman memiliki arti dalam menggambarkan keseimbangan ekologis suatu ekosistem. Semakin besar nilai indeks keseragaman, maka semakin baik pula
92 kualitas lingkungan yang dimiliki, namun sebaliknya semakin rendah nilai indeks keseragaman, maka semakin tidak baik pula kualitas lingkungan yang ada. Nilai indeks dominansi pada keseluruhan lokasi penelitian berkisar antara 0,25 - 1 dengan nilai tertinggi pada stasiun S6 dan S15 dan terendah pada stasiun S9. Nilai indeks dominansi menunjukkan dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas makrozoobentos. Apabila terdapat suatu nilai yang tinggi, maka terdapat suatu spesies tertentu yang mendominansi suatu komunitas, sedangkan sebaliknya semakin rendah nilai indeks ini, maka tidak terdapat dominansi oleh spesies tertentu. Tingginya nilai indeks dominansi pada stasiun S6 dan S15 dikarenakan pada stasiun tersebut hanya ditemukan 1 individu makrozoobentos dari jenis Cerithidea quadrata. Sebaliknya nilai terkecil pada stasiun S9 dikarenakan pada stasiun tersebut ditemukan 34 individu yang terbagi dalam 6 spesies yang berbeda. 5.3 Hubungan Mangrove dan Karakteristik Biofisik Lingkungan Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik air dan sedimen sangat mempengaruhi distribusi jenis mangrove maupun makrozoobentos. Pada stasiun S8 dimana mangrove spesies yang paling banyak ditemui adalah Bruguiera gymnorrhiza dan memiliki substrat pasir ternyata sangat disukai oleh gastropoda. Demikian halnya yang terjadi pada stasiun S13 dimana mangrove yang paling banyak ditemui adalah Avicennia officinalis dengan substrat pasir juga sangat disukai oleh gastropoda. Adapun mangrove stasiun S11 dimana spesies Rhizophora apiculata paling banyak ditemukan dan memiliki substrat lempung berpasir, ternyata juga paling disukai oleh gastropoda. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Suhu optimum mangrove adalah diatas 200C dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 5 0C (Saparinto, 2007). Pada lokasi penelitian suhu berkisar antara 28,830C – 30,830C dan surut 280C – 30,330C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 100C (Kusmana et al., 2008). Menurut Hutcings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa temperature optimum bagi pertumbuhan daun Rhizophora stylosa, Ceriops spp., adalah
93 berkisar antara 26-280C, sedangkan bagi Bruguiera spp. adalah 270C. Oleh karena itu suhu di keseluruhan lokasi penelitian berada pada kondisi baik bagi seluruh organisme akuatik maupun bagi kehidupan mangrove. Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi 2003; Nurjaya 2006). Selain itu suhu juga dipengaruhi oleh faktor antropogenik seperti limbah dan sebagainya. Salinitas memiliki peran penting bagi pertumbuhan, daya adaptif, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Mangrove dapat tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas air payau (> 0,5‰) sampai dengan salinitas air laut 30‰ - 33‰. Salinitas yang tinggi (> 35‰) dapat berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif (Bengen, 2002). Pada keseluruhan lokasi penelitian didapatkan nilai salinitas berkisar antara 28,50 – 29,670/00 saat pasang dan 28,00 – 28,330/00 saat surut. Ini menunjukkan bahwa salah satu parameter kualitas lingkungan berupa salinitas berada pada kondisi yang optimum bagi pertumbuhan mangrove. Pasang surut juga sangat mempengaruhi distribusi dan struktur vegetasi serta fungsi mangrove. Mangrove yang mengalami penggenangan secara terus menerus biasanya hanya bisa ditumbuhi oleh Rhizophora mucronata dan beberapa ada yang tumbuh diantaranya adalah Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. Pasang surut juga sangat mempengaruhi sistem perakaran. Pada lokasi penelitian pasang surut yang terjadi tidak melebihi dari 1 m, oleh karena itu perakaran dari mangrove juga tampak tidak terlalu tinggi khususnya dari genus Rhizophoraceae. Kaitannya dengan oksigen terlarut (DO), mangrove dan biota yang berasosiasi dalam ekosistem mangrove sangat membutuhkan bagi proses respirasi dan fotosintesis (Aksornkoae, 1993). Namun demikian oksigen terlarut dapat diperoleh lebih dari bantuan hewan yang melobangi substrata tau dengan adaptasi perakaran. Pada lokasi penelitian didapat nilai oksigen terlarut berkisar antara 5,45 – 5,80 mg/L pada saat pasang dan antara 5,33 – 5,96 mg/L saat surut. Angka ini sangat mendukung bagi kehidupan mangrove dan biota yang berasosiasi dikarenakan masih dalam range yang diinginkan. Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa oksigen yang ada pada ekosistem mangrove berkisar antara 3,8 – 7,3 mg/L,
94 sedangkan baku mutu bagi biota laut dalam Kep Men LH No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa oksigen terlarut harus lebih dari 5 mg/L. Mangrove memiliki hubungan yang erat dengan substrat. Jenis substrat sangat mempengaruhi bagaimana zonasi terbentuk. Selain itu substrat sangat berpengaruh terhadap lingkungan yang di sekitar mangrove. Pada lokasi penelitian secara umum substrat berpasir baik apda layer 10 cm, 30 cm, maupun 60 cm. Sebagai contoh pada stasiun S7, S10, S12, dan S13 (Lampiran 2) menunjukkan bahwa substrat utama yang ada berupa substrat berpasir, dan ternyata pada stasiun tersebut spesies Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan cukup baik. Steenis (1958) in Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa Rhizophora mucronata dapat hidup dengan baik pada substrat berpasir, dan Gledhy (1963) in Aksornkoae (1993) juga menambahkan bahwa substrat lumpur berpasir sangat mendukung bagi kehidupan Avicennia marina dan Bruguiera spp. Gambar 25 menunjukkan hasil analisis faktorial koresponden pada saat surut terendah. Terlihat jelas pada kuadran 1 dimana stasiun S11 berada sangat didominasi oleh mangrove dari spesies Rhizophora apiculata. Stasiun ini cenderung berada pada substrat lempung berpasir dengan faktor lingkungan yang paling mempengaruhi adalah pH dan deterjen. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang berada pada lokasi ini sangat menonjol pada nilai pH dan deterjen. Adapun pada kuadran 2 dimana S8 dan S13 berada, masing-masing memiliki mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis ternyata banyak ditemukan gastropoda. Parameter yang paling berpengaruh dari kuadran ini adalah TOM, pH, deterjen, P, dan N. Sedangkan pada stasiun S5 dimana spesies Pandanus tectorius mendominasi memiliki substrat berpasir dan tidak ditemukan makrozoobentos. Parameter yang mendominasi apda stasiun ini adalah C organik dan deterjen. Kuadran 4 dimana stasiun S2 berada didominasi oleh mangrove dari spesies Avicennia marina. Parameter yang mendominasi pada stasiun ini adalah N organik, P, TOM, dan pH.
95
Gambar 25 Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat surut terendah
Gambar 26 Distribusi spasial hubungan mangrove dan karakteristik lingkungan pada saat pasang tertinggi
96 Sebaran spasial hubungan ekosistem mangrove dengan lingkungannya pada saat pasang tertinggi disajikan pada Gambar 26. Kondisi pasang tertinggi pada kuadran 1 dimana stasiun S5 berada ditemukan spesies Pandanus tectorius. Pada stasiun ini parameter lingkungan yang mendominasi adalah N organik, P, C organik, pH dan tidak ditemukan makrozoobentos. Sedangkan pada kuadran 2 dimana stasiun S2 berada memiliki substrat pasir dan didominasi oleh parameter TOM, pH, dan deterjen. Tidak ditemukannya makrozoobentos disini dikarenakan makrozoobentos sulit untuk hidup pada substrat berpasir yang disebabkan oleh dinamika substrat pasir yang lebih dinamis. Kuadran 3 dimana stasiun S8 dan S13 dimana tumbuh mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia officinalis ternyata sangat disukai oleh makrozoobentos dari kelas gastropoda. Parameter kualitas lingkungan yang dominan pada stasiun ini adalah C organik, N organik, P, dan TOM. Sedangkan pada kuadran 4 dimana stasiun S11 berada memiliki substrat lempung berpasir dengan dominasi spesies Rhizophora apiculata memiliki karakter lingkungan yang didominasi oleh C organik, TOM, dan deterjen. Mendominasinya C organik pada stasiun dimana ekosistem mangrove berada dikarenakan banyaknya serasah mangrove yang mengakibatkan kandungan C organik tinggi. Selain itu kondisi substrat juga sangat berpengaruh, semakin halus fraksi substrat di suatu lokasi, maka semakin banyak pula kandungan C organiknya. Menurut Foth (1978) in Iswahyudi (2008) faktor yang mempengaruhi jumlah dan penyebaran bahan organik antara lain mencakup iklim, vegetasi, kondisi drainase dan tekstur tanah. Selain itu tingginya C organik pada lokasi penelitian sangat dipengaruhi guguran serasah maggrove baik yang berasal dari daun, batang, ranting, buah, maupun akar. Semakin rapat tegakan mangrove yang ada pada suatu lokasi, maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya. 5.4 Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Pulau Sepanjang Beban pencemar merupakan istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna, 2007). Tingkat pencemaran pada pesisir Pulau Sepanjang sampai dengan saat ini masih belum
97 dirasakan mengalami peningkatan secara signifikan. Hal tersebut dikarenakan masih alaminya ekosistem yang ada serta jumlah penduduk yang mendiaminya tidak terlalu padat. Pada tahun 2006 penduduk Pulau Sepanjang berjumlah hanya 7.843 jiwa yang masing masing terbagi atas Desa Sepanjang (4747 jiwa) dan Desa Tanjung Kiaok (3096 jiwa). Sedangkan pada Tahun 2008 penduduk pada pulau Sepanjang meningkat menjadi 9.730 jiwa yang terbagi dalam 2 desa, masingmasing desa tersebut adalah Desa Sepanjang sebanyak 409 jiwa dan Desa Tanjung Kiaok sebanyak 3.131 jiwa (BPS, 2009). Namun demikian, peningkatan jumlah penduduk
tersebut
berpotensi
mengancam
lingkungan
dengan
makin
meningkatnya buangan limbah yang dihasilkan. Belum terjamahnya Pulau Sepanjang oleh industri yang disertai aktivitas transportasi yang tidak terlalu padat, menjadikan pulai ini tetap terjaga kealamiannya. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan ekosistem mangrove yang masih luas dan rapat ditambah dengan potensi terumbu karang yang luas dan masih alami serta keanekaragaman biota yang mendiaminya. Disisi lain, dengan kealamian tersebut terdapat suatu potensi dan sekaligus ancaman bagi pulau tersebut. Potensi yang ada sangat mendukung pagi pengembangan pulau tersebut sebagai kawasan wisata yang berpotensi dalam meningkatkan perekonomian penduduk setempat, namun ancaman yang sekaligus didapat adalah potensi pencemaran yang sekaligus berpotensi merusak ekosistem yang saat ini ada. Adapun tujuan dari perhitungan beban pencemar adalah untuk mengetahui jenis beban pencemar yang ada di Pulau Sepanjang serta untuk mengetahui seberapa besar jumlah yang masuk ke dalam perairan. Perhitungan kapasitas asimilasi dilakukan dengan membandingkan konsentrasi dan beban limbah yang ada pada kondisi eksisting dengan konsentrasi dan beban limbah yang didasarkan pada baku mutu bagi kehidupan biota laut yang tercantum dalam Kep Men LH No 51 Tahun 2004. Apabila hasil perhitungan terhadap konsentrasi bahan pencemar dan beban limbah tidak melebihi grafik baku mutu, maka dapat dikatakan belum melampaui kapasitas asimilasi, namun apabila telah melebihinya, maka dikatakan telah melampauinya. Nilai beban pencemar dari seluruh parameter pada seluruh stasiun didapatkan dengan mengalikan konsentrasi pencemar maksimum dengan volume
98 air yang didapat pada lokasi penelitian. Nilai volume didapatkan dengan mengalikan lebar aliran air dan ketinggian aliran air serta kecepatan arus yang ada. Untuk stasiun pada ekosistem mangrove nilai volume didapatkan dengan mengalikan luasan ekosistem mangrove dengan ketinggian air rata-rata serta kecepatan arus rata-rata yang terdapat pada stasiun-stasiun tersebut. Adapun nilai beban pencemar maksimum yang ditampilkan dan dimiliki oleh seluruh stasiun dengan harapan nilai yang didapat dalam kapasitas asimilasi nantinya adalah nilai maksimum dari beban pencemar yang ada pada lokasi penelitian. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung dari aktivitas manusia yang mendiami sekitar aliran perairan mulai dari hulu sungai yang mengalir kearah laut (Suharsono, 2005). Pada stasiun A1, A4, A7, dan A10 konsentrasi beban pencemar secara umum memiliki nilai lebih tinggi pada saat surut dari pada saat pasang. Perbedaan nilai tersebut tidak lebih dikarenakan banyak faktor diantaranya laju penguraian, konsentrasi beban pencemar dan waktu pembilasan. Pada saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan oleh tingginya atau terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut. Sedangkan sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar (Rafni, 2004; Hadi, 2005 in Mezuan, 2007). Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan dari suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima limbah ataupun bahan pencemar tanpa menyebabkan gangguan ataupun kerusakan bagi lingkungan ataupun ekosistem tersebut. Perhitungan kapasitas asimilasi sangat tergantung dari lingkungan studi dan bersifat sangat spesifik, sehingga antara suatu lingkungan dengan lingkungan yang lain akan berbeda penilaiannya. Nilai kapasitas asimilasi dapat ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya pada suatu grafik. Setelah itu hasil yang diperoleh direferensikan dengan baku mutu yang berlaku dan berkaitan dengan biota laut (Rajab, 2005). 5.4.1
Stasiun pada Ekosistem Mangrove (A8, A11, dan A13) Stasiun pada ekosistem mangrove (A8, A11, dan A13) secara umum
memiliki kondisi yang unik pada setiap stasiunnya. Persamaan regresi pada konsentrasi dan beban pencemaran deterjen adalah y = 329,22x – 7,547 dengan R2
99 = 0,5669 (Gambar 27). Beban pencemar maksimum yang dapat diasimilasi adalah sebesar 369,966 kg/jam dengan konsentrasi deterjen maksimum sebesar 1 mg/l. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan stasiun di ekosistem mangrove berada pada saat pasang tertinggi maupun surut terendah memiliki kondisi under capacity kecuali stasiun A8 yang telah mengalami over capacity pada saat surut terendah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan stasiun di ekosistem mangrove memiliki kondisi yang belum tercemar oleh parameter deterjen kecuali stasiun A8. Baku mutu = 1 mg/L
Gambar 27 Analisis regresi antara konsentrasi deterjen dan beban pencemar deterjen Parameter kekeruhan di stasiun penelitian memiliki konsentrasi yang telah mengalami over capacity. Gambar 28 merupakan gambar regresei linier yang didapat dari korelasi antara konsentrasi dan beban pencemar parameter kekeruhan. Pada gambar tersebut didapat persamaan y = 76,802x + 200,79 dengan R2 = 0,7845. Adapun nilai kapasitas asimilasi maksimum adalah 517,957 kg/jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan stasiun penelitian telah tercemar oleh parameter kekeruhan. Hal tersebut wajar dikarenakan pada stasiun mangrove banyak terdapat bahan organik yang berpotensi menjadikan nilai kekeruhan sangat tinggi. Sumber bahan organik tersebut selain dari limbah penduduk jug didapat dari guguran serasah mangrove.
100
Baku mutu < 5 NTU
Gambar 28 Analisis regresi antara konsentrasi kekeruhan dan beban pencemar kekeruhan
Baku mutu = 0,008 mg/L
Gambar 29 Analisis regresi antara konsentrasi nitrat dan beban pencemar nitrat Gambar 29 menunjukkan bahwa secara keseluruhan stasiun penelitian telah mengalami pencemaran, dengan kata lain bahwa stasiun pada ekosistem mangrove (A8, A11, dan A13) telah tercemar oleh parameter nitrat. Persamaan yang didapat dari hasil regresi adalah y = 317,4x – 0,5347 dengan R2=0,8177. Nilai kapasitas asimilasi maksimum adalah sebesar 2,960 kg/jam. Berdasarkan hasil perhitungan dan perbandingan dengan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 bagi kehidupan biota laut dapat diketahui bahwa seluruh stasiun mangrove
101 memiliki konsentrasi dan beban pencemar yang telah over capacity. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi yang diizinkan adalah hanya 0,008 mg/L. Pada parameter amonia dapat diketahui bahwa secara keseluruhan stasiun pengamatan baik pada saat pasang tertinggi maupun surut terendah memiliki konsentrasi dan beban pencemar yang berada dalam kondisi under capacity. Hal tersebut diakrenakan secara keseluruhan nilai amonia berada pada konsentrasi dibawah 0,3 mg/L. Baku mutu = 0,3 mg/L
Gambar 30 Analisis regresi antara konsentrasi amonia dan beban pencemar amonia Persamaan regresi yang diperoleh adalah 355,94x – 8,3916 dengan nilai R2 = 0,5867. Nilai beban limbah maksimum yang dapat diasimilasi sebesar 110,99 kg/jam. Nilai beban pencemar maksimum parameter fosfat yang dapat diasimilasi adalah sebesar 5,549 kg/jam. Adapun konsentrasi maksimum berdasarkan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 bagi kehidupan biota laut adalah sebesar 0,015 mg/L.
102
Baku mutu = 0,015 mg/L
Gambar 31 Analisis regresi antara konsentrasi fosfat dan beban pencemar fosfat Berdasarkan hasil perhitungan dan penelitian diketahui bahwa konsentrasi dan beban pencemar fosfat di stasiun A8, A11, dan A13 telah mengalami over capacity, dengan kata lain bahwa telah mengalami pencemaran fosfat. Pada parameter BOD5 dapat diketahui bahwa keseluruhan stasiun memiliki nilai kapasitas asimilasi yang berada dibawah nilai batas maksimum yang diperbolehkan (Gambar 32). Model analisis regresi parameter BOD5 yang didapat adalah y = 380,23x – 201,83 dengan R2 = 0,9952. Adapun nilai beban pencemar maksimum yang dapat diasimilasi adalah sebesar 7399,324 dengan konsentrasi BOD5 sebesar 20 mg/L (Kep Men LH No. 51 Tahun 2004). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pada stasiun A8, A11, dan A13 secara keseluruhan belum tercemar parameter BOD5. Baku mutu = 20 mg/L
Gambar 32 Analisis regresi antara konsentrasi BOD5 dan beban pencemar BOD5
103 5.4.2
Stasiun setelah Ekosistem Mangrove (A3, A6, A9, A12 dan A14) Hubungan beban limbah antara konsentrasi dengan beban limbah deterjen
disajikan pada Gambar 33. Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa garis perpotongan antara konsentrasi dan beban limbah maksimum yang diperbolehkan adalah 534,627 kg/jam. Dengan kata lain bahwa nilai yang ditunjukkan pada seluruh stasiun tersebut berada pada kondisi under capacity berdasarkan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 tentang baku mutu bagi kehidupan laut. Nilai kecil tersebut didapat dikarenakan pada stasiun A3, A6, A9, A12 dan A14 berada disisi luar (kearah laut) sehingga pada stasiun tersebut deterjen telah mengalami pencucian oleh air laut. Baku mutu = 1 mg/L
Gambar 33 Analisis regresi antara konsentrasi deterjen dan beban pencemar deterjen Pada Gambar 34 terlihat bahwa konsentrasi kekeruhan memiliki nilai yang berbeda dimana stasiun A3, A6, dan A14 memiliki nilai yang melebihi nilai baku mutu yang diperbolehkan, sedangkan stasiun A9 dan A12 memiliki konsentrasi dan beban pencemar dibawah batas maksimum. Model regresi linier yang diperoleh adalah y = 321,27x + 754,15 dengan R2 = 0,9281. Nilai kapasitas asimilasi pada maksimum yang dizinkan adalah sebesar 2673,136 kg/jam.
104
Baku mutu < 5 mg/L
Gambar 34 Analisis regresi antara konsentrasi kekeruhan dan beban pencemar kekeruhan Gambar 35 menunjukkan bahwa parameter nitrat pada keseluruhan stasiun pengamatan telah mengalami over capacity. Dengan kata lain secara keseluruhan lokasi penelitian telah tercemar nitrat. Nilai kapasitas asimilasi maksimum parameter nitrat adalah sebesar 4,277 kg/jam. Model regresi yang diperoleh adalah y = 519,37x – 3,168 dengan R2 = 0,9451.
Baku mutu = 0,008 mg/L
Gambar 35 Analisis regresi antara konsentrasi nitrat dan beban pencemar nitrat
105 Pada parameter amonia secara keseluruhan stasiun A3, A6, A9, A12 dan A14 berada pada kondisi under capacity. Adapun model analisis parameter amonia menghasilkan persamaan y = 603,95x – 21,142 dengan R2 = 0,8901 (Gambar 36). Baku mutu = 0,008 mg/L
Gambar 36 Analisis regresi antara konsentrasi amonia dan beban pencemar amonia Nilai kapasitas asimilasi maksimum parameter amonia adalah sebesar 160,388 kg/jam dengan nilai konsentrasi amonia sebersar 0,3 mg/l. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stasiun A3, A6, A9, A12 dan A14 belum tercemar oleh parameter amonia. Nilai kapasitas asimilasi yang diizinkan bagi parameter fosfat stasiun stasiun A3, A6, A9, A12 dan A14 adalah sebesar 8,019 kg/jam dengan konsentrasi sebesar 0,015 mg/l (Gambar 37).
Baku mutu = 0,015 mg/L
Gambar 37 Analisis regresi antara konsentrasi fosfat dan beban pencemar fosfat
106 Berdasarkan gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa keseluruhan stasium penelitian (A3, A6, A9, A12 dan A14) mengalami pencemaran terhadap parameter fosfat. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi fosfat telah melebihi 0,015 mg/l. persamaan regresi yang diperoleh pada parameter fosfat adalah y = 444,88x + 1,967 dengan R2 = 0,9487. Persamaan regresi linier beban limbah dengan konsentrasi BOD5 di stasiun A3, A6, A9, A12 dan A14 adalah y = 534,06x – 173,8 dengan R2 = 0,9971. Nilai kapasitas asimilasi maksimum adalah sebesar 10692,54 kg/jam. Gambar 38 menunjukkan bahwa secara keseluruhan stasiun memiliki nilai beban pencemar dibawah batas maksimum yang diizinkan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keseluruhan stasiun yang berada di setelah ekosistem mangrove (A3, A6, A9, A12 dan A14) dinyatakan belum tercemar parameter BOD5 (under capacity). Baku mutu = 20 mg/L
b)
Gambar 38 Analisis regresi antara konsentrasi BOD5 dan beban pencemar BOD5
107
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Struktur ekosistem mangrove pada stasiun Tanjung Tembing (TTB) didominasi oleh Avicennia officinalis, stasiun Panamparan (PNP) didominasi oleh Pandanus tectorius, stasiun Pajan Barat (PJB) didominasi oleh Avicennia officinalis dan Ceriops tagal, stasiun Tanjung Kiaok (TJK) didominasi Rhizophora apiculata, dan stasiun Pajan Barat 2 (PB2) didominasi oleh Avicennia officinalis. Dari keseluruhan jenis mangrove yang ditemukan, terdapat 6 spesies langka menurut IUCN. 2. Secara umum kondisi lingkungan pada keseluruhan stasiun ekosistem mangrove berada pada posisi yang sangat mendukung bagi kehidupan mangrove dan biota yang berasosiasi. 3. Aktifitas penduduk pada Pulau Sepanjang pada saat ini tidak berpengaruh terhadap lingkungan perairan sekitar ekosistem mangrove. Hal tersebut dibuktikan dengan kondisi beban pencemar pada keseluruhan stasiun ekosistem mangrove dan stasiun setelah ekosistem mangrove berada pada kondisi yang sangat mendukung bagi kehidupan biota. Nilai kapasitas asimilasi stasiun pada ekosistem mangrove (A8, A11, dan A13) secara umum memiliki nilai kapasitas asimilasi pada kondisi under capacity pada parameter deterjen, amonia, dan BOD5, sedangkan pada parameter kekeruhan, nitrat, dan fosfat telah mengalami over capacity. Adapun pada stasiun setelah ekosistem mangrove (A3, A6, A9, A12 dan A14) secara umum memiliki nilai kapasitas asimilasi under capacity pada parameter deterjen, amonia, dan BOD5, sedangkan parameter nitrat dan fosfat telah mengalami over capacity. Parameter kekeruhan, memiliki nilai over capacity pada saat surut, dan mengalami under capacity pada saat pasang.
108 6.2 Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah : 1. Sangat perlu dilakukan penelitian secara temporal yang mewakili musim, yaitu pada musim kemarau dan musim hujan. 2. Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap limbah organik, sehingga sangat diperlukan kajian pula terhadap limbah anorganik. 3. Penambahan pengamatan terhadap pola arus di lokasi penelitian. 4. Perlu penambahan pengamatan pada jaringan tumbuhan untuk mengamati uptake limbah organik oleh individu mangrove.
109
DAFTAR PUSTAKA Adame MF, D Neil, SF Wright, CE Lovelock . 2010. Sedimentation within and among mangrove forests along a gradient of geomorphological settings. J.Ecss. 86:21–30. Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI Press. Riau. Akamatsu Y, Ikeda S, Toda Y. 2009. Transport of nutriens and organik matter in a mangrove swamp. J.Ecss. 82:233–242. Alamsyah, Benny R. 1999. Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB. Amrul HMZN. 2007. Karakteristik fisika kimia sedimen dan hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobentos di estuary Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anna S. 1999. Analisis beban pencemaran dan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arksonkoae S. 1993. Ecology and management of mangroves. Bangkok. IUCN. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. 2006. Luas Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Sumenep. Sumenep: BPS Sumenep. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2006. Kecamatan Sapeken dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2008. Kecamatan Sapeken dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2009. Kecamatan Sapeken dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2009. Sumenep dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2010. Kecamatan Sapeken dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. Barnes RSK, Hughes RN. 1999. An introduction to marine ecology. Third edition. Blackwell science. USA. Bengen DG, Dutton IM. 2004. Interactions : Mangrove, Fisheries And Forestry Management in Indonesia. Di dalam: Northcote TG, Hartman GF, Editor. Fishes and Forestry. Blackwell science. hlm. 632-653. Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Jakarta. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
110 Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Bogor. PKSPL-IPB. Bengen DG. 2002. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Bogor. PKSPL-IPB. Cannicci S et al., 2009. Effect of urban wastewater on crab and mollusc assemblages in equatorial and subtropical mangrove of East Africa. J.Ecss. 84:305-317. Constanza R et al. 1997. The value of the world’s ecosystem services and natural capital. J.Nature. 387:253–260. Dahuri R, J Rais, SP Ginting, Sitepu. 2008. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta. Pradya Paramita. Dahuri R. 2005. Akar permasalahan pencemaran Teluk Jakarta dan strategi penanggulangannya. Prosiding diskusi panel penanganan dan pengelolaan pencemaran wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB. Bogor. Diniarti. 2010. Kapasitas asimilasi beban pencemaran limbah cair tahu-tempe dan pengaruhnyakepada makroavertebrata benthic di Sungai Ancar, Nusa Tenggara Barat. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. DKP Provinsi Jawa Timur. 2006. Laporan akhir inisiasi percepatan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) di Kabupaten Sumenep tahun anggaran 2006. Surabaya. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. Emiryati. 2004. Karakteristik fisika kimia sedimen dan hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Teluk Kendari. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. González-Alcaraz MN, C Egea, A Maria-Cervantes, FJ Jimenez-Carceles, J Alvarez-Rogel. 2010. Effects of eutrophic water flooding on nitrate concentrations in mine wastes. J.Ecoleng. Article in press. Heddy S, M Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip dasar ekologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Herrera-Silveira JA, Morales-Ojeda SM. 2009. Evaluation of the health status of a coastal ecosistem in southeast Mexico: Assessment of water quality, phytoplankton and submerged aquatic vegetation. J.Marpolbul. 59:72–86. Heryanto. 2005. Ekologi moluska mangrove Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Laporan teknik bidang botani. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Hogarth PJ. 2007. The biology of mangrove and seagrasses. Oxford University Press. New York.
111 Hutabarat AA, F Yulianda, A Fahrudin, S Harteti, Kusharjani. 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Bogor. Pusdiklat Kehutanan RI dan SECEM Korea International. Hutchings P, Saenger P. 1987. Ecology of mangroves. University of Queensland Press. Queensland. Idris M. 2000. Analisis pencemaran dan karakteristik sedimen terhadap struktur komunitas zoobentos di perairan pesisi Kotamadya Palu. [Thesis]. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Iswahyudi. 2008. Kajian biofisik hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kahir A, NDW Prihantini, Handoko. 2009. Profil wilayah kepulauan Kabupaten Sumenep. Sumenep. Bappeda Kabupaten Sumenep. Kennish MJ. 2001. Practical hand book of marine science. Third edition.Institute of Marine and Coastal Sciences Rutgers University New Brunswick, New Jersey. Keputusan Menteri Kelautan dan perikanan No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Knox GA. 2000. The ecology of seashores. London. Crc Press. Kon K, Kurokura H, Tongnunui P. 2009. Do mangrove root structures function to shelter benthic macrofauna from predators?. J.Jembe. 370:1–8. Kristensen E, S Boulion, T Dittmar, C Marchand. 2008. Organik carbon dynamics in mangrove ecosystem : A review. J.Aquabot. 89:201-219. Kusmana C, Istomo, C Wibowo, SWR Budi, IZ Siregar, T Tiryana, S Sukarjdo. 2008. Manual silvikultur mangrove di Indonesia. IPB dan Korea International Cooperative Energy. Lee. SY. 2008. Mangrove macrozoobenthos: assemblages, services, and linkages. J.seares. 59:16-29. Macia A, Abrantes KGS, Paula J, 2003. Thorn fish terapon jarbua (forskål) predation on juvenile white shrimp Penaeus indicus H. Milne Edwards and brown shrimp Metapenaeus monoceros (Fabricius): the effect of turbidity, prey density, substrate type and pneumatophore density. J.Biolecol 291:29– 56. McLeod E, Salm RV. 2006. Managing Mangroves for Resilience to Climate change. IUCN Resilience Science Group Working Paper Series - No 2. Mezuan. 2007. Kajian kapasitas asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta. PT Pradnya Paramita.
112 Nagelkerken I, et al., 2008. The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. J.Aquabot. 89:155-185. Nontji A. 1987. Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Noor RY, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Ditjen PHKA/WI-IP.Bogor. Nurjaya I, Kaswadji R, dan Pratono T. 2006. Kumpulan Modul Mata Kuliah Oseanografi Umum. FPIK. Bogor. Nursal, Fauziah Y, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. J.Biogen. 2(1):1-7. Nybakken JW. 1992. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka. Odum. 1983. Dasar-dasar ekologi. Edisi ketiga. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Partanto PA, Al Barry MD. 1994. Kamus ilmiah popular. Surabaya. Penerbit Arkola. Perry CT, A Berkeley. 2009. Intertidal substrate modification as a result of mangrove planting: Impacts of introduced mangrove species on sediment microfacies characteristics. J.ecss. 81:225–237. Pramudianto B. 1999. Sosialisasi PP No.19/1999 tentang pengendalian pencemaran dan atau perusakan laut, prosiding seminar sehari teknologi dan pengelolaan kualitas lingkungan pesisir dan laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB. Prartono T, T Hasena. 2009. Studi kinetis senyawa fosfor dan nitrogen dari resuspensi sedimen. J.ITKT (1) 1:1-8. Prasad MBK, Ramanathan AL. 2008. Sedimentary nutrien dynamics in a tropical estuarine mangrove ecosistem. J.Ecss. 80:60-66. Putnam LA, RP. Gambrell, KA Rusch. 2010. CBOD5 treatment using the marshland upwelling sistem. J.Ecoleng. 36:548–559. Putri WAE. 2006. Kapasitas asimilasi beban pencemar di muara Sungai Batang Arau (Muara Padang) Sumatera Barat. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Quano. 1993. Training manual on assessment of the quantity and type of land based pollutant discharge into the marine and coastal environment. UNEP. Bangkok. Rachmansyah. 2004. Analisis daya dukung lingkungan perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru Sulawesi Selatan bagi pengembangan budidaya bandeng dalam keramba jarring apung. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rafni R. 2004. Kapasitas asimilasi beban pencemar di Perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
113 Rajab LOA. 2005. Analisis beban pencemar dan kapasitas asimilasi serta penyususnan strategi pengelolaan perairan Teluk Kendari. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Romimohtarto K, S Juwana . 2001. Biologi Laut, ilmu pengetahuan tentang biota laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Sadooni FN, IA El-Kassas. 1999. Mangrove as a bioindicator for environmental pollution in the coastal marine environments - Rivew. Qatar University. 19:147-151. Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Sanusi HS, S Putranto. 2009. Kimia laut dan pencemaran : Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Bogor, Departemen Ilmu dan Teknik Kelautan – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Saparinto C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove. Dahara Prize. Semarang. Sartoris JP et al. 2000. Investigation of nitrogen transformations in a southern California constructed wastewater treatment wetland. J.Ecoleng. 14:49–65. Setiawan D. 2009. Studi komunitas makrozoobenthos di perairan hilir sungai lematang sekitar daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Jurnal Penelitian Sains. 09:12-14. Silva CAR, SR Oliveira, RDP Rego, AA Mozeto. Dynamics of phosphorus and nitrogen through litter fall and decomposition in a tropical mangrove forest. J.Marenvress. 64:524-534. Siregar AS. 2005. Instalasi pengolahan limbah, menuntaskan pengenalan alat-alat dan sistem pengolahan air limbah. Kanisius. Yogyakarta. Siregar CN. 2008. Analisis potensi daerah pulau-pulau terpencil dalam rangka meningkatkan ketahanan, keamanan nasional, dan keutuhan wilayah NKRI Di Nunukan–Kalimantan Timur. Sosioteknologi 13:7. Suhardjono, Rugayah. 2007. Keanekaragaman tumbuhan mangrove di Pulau Sepanjang, Jawa Timur. J.Biodiv. 8(2):130-134. Suharsono. 2005. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya. Interaksi daratan dan lautan. Jakarta. LIPI press. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutamihahardja RTM, Adnan K, Sanusi HS. 1982. Perairan Teluk Jakarta ditinjau dari tingkat pencemarannya. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Sutisna. 2007. Analisis beban pencemaran dan kapasitas asimilasi beban kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suwondo E, Febrita, F Sumanti. 2006. Struktur komunitas gastropoda pada hutan mangrove di Pulau Sipora kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. J.Biogen. 2(1): 25-29.
114 Tam NFY, AHY Wong, MH Wong, Ys Wong. 2009. Mass balance of nitrogen in constructed mangrove wetlands receiving ammonium-rich wastewater: Effects of tidal regime and carbon supply. J.Ecoleng. 35:453–462. Tam NFY, Wong YS. 1995. Mangrove soils as sinks for wastewater-borne pollutants. J.Hydro. 295:231–242. Tam NFY, Wong YS. 1996. Retention of wastewater-borne nitrogen and phosphorus in mangrove soils. J.Envitech. 17:851–859. Tam NFY, Wong YS. 1999. Mangrove soils in removing pollutants from municipal wastewater of different salinities. J.Enviqua. 28:556–564. Ullah S, Faulkner SP. 2006. Denitrification potential of different land-use types in an agricultural watershed, lower Mississippi Valley. J.Ecoleng. 28:131–140. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wang M, J Zhang, Z Tu, X Gao, W Wang. 2010. Maintenance of estuarine water quality by mangroves occurs during flood periods: A case study of a subtropical mangrove wetland. J.Marpolbul. 60:2154–2160. Wu Y, A Chung, NFY Tam, N Pi, MH Wong. 2008. Constructed mangrove wetland as secondary treatment system for municipal wastewater. J.Ecoleng. 34:137–146. Zamroni Y, Rohyani IS. 2008. Produksi serasah hutan mangrove di perairan Teluk Sepi, Lombok Barat. J. Biodiv. 9(4):284-287. Zhang JE, JL Liu, Y Ouyang, BW Liao, BL Zao . 2010. Removal of nutriens and heavy metals from wastewater with mangrove Sonneratia apetala Buch-Ham. J.Ecoleng. 36: 807–812.
115
Verbenaceae
Sumber : Suhardjono dan Rugayah (2007)
Keterangan : + : ada - : tidak ada
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + -
Status kelangkaan Berdasarkan IUCN kriteria
Tarungguk
Rubiaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae
Calung
Myrsinaceae Rhizophoraceae
Turunan Cermih
Meliaceae
Dermaga Sepanjang
Flagellariaceae Goodeniaceae Pandanaceae Pteridaceae Lythraceae Malvaceae
Acanthus ilicifolius Sesuvium portulacastrum Cerbera manghas Wedelia biflora Calophyllum inophyllum Lumnitzera littorea L. racemosa Cycas rumphii Excoecaria agallocha Caesalpinia bonduc Pongamia pinnata Flagellaria indica Scaevola taccada Pandanus tectorius Acrostichum aureum Phempis acidula Hibiscus tiliaceus Thespesia populnea Xylocarpus granatum X. moluccensis Aegiceras floridum Bruguiera cylindrica B. gymnorrhiza B. parviflora B. sexangula Ceriops decandra C. tagal Rhizophora apiculata R. mucronata R. stylosa Scyphiphora hydrophyllacea Sonneratia alba Heritiera globosa Heritiera littoralis Avicennia officinalis Clerodendrum inerme
Tanjung Kiaok
Cycadaceae Euphorbiaceae Fabaceae
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Segentong
Acanthaceae Aizoaceae Apocynaceae Asteraceae Clusiaceae Combretaceae
Jenis
Tanjung Perak
Suku
Pajan Barat
Lampiran 1 Daftar tumbuhan mangrove di Pulau Sepanjang
EN (B1, 2c) EN (B1, 2c) EN (B1, 2c)
CR (B1, 2c) EN (B1, 2c) VU (B1,2c)
LRIc
EN (A1acd, 2bcd; B1, 2ac) EN (B1, 2c) EN (A1cd, 2d; B1, 2c) CR (A1cd) CR (A1cd) VU (B1, 2cd) EN (A1cd, 2d; B1, 2c) EN (B1, 2ac) EN (A2bd) VU (A2cd; B1, 2c) CR (B1, 2c) EN (B1, 2c) EN (A2cd) EN (A2bcd; B1, 2cd) EN (B1, 2b) EN (B1, 2c)
116 Lampiran 2 Fraksi sedimen pada tiga layer yang berbeda No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kode Stasiun
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Pasir
Fraksi Sedimen (%) Debu
Liat
(1,0 – 0,125)
(0,0625 – 0,039)
(< 0,039)
10
97,36
0,00
2,64
Pasir
30
95,43
1,66
2,91
Pasir
60
86,58
2,03
11,39
Pasir Berlempung
10
90,76
5,84
3,40
Pasir
30
85,98
4,76
9,26
Pasir Berlempung
60
84,35
3,48
12,17
Pasir Berlempung
10
97,91
0,00
2,09
Pasir
30
98,24
0,49
1,27
Pasir
60
98,17
1,02
0,81
Pasir
10
59,70
0,00
40,30
Liat Berpasir
30
48,65
1,94
49,41
Liat Berpasir
60
46,89
1,45
51,66
Liat Berpasir
10
94,57
2,65
2,78
Pasir
30
92,96
0,00
7,04
Pasir
60
82,31
1,34
16,35
Lempung Berpasir
10
96,22
2,68
1,10
Pasir
30
95,41
0,00
4,59
Pasir
60
80,43
0,00
19,57
Lempung Berpasir
10
98,73
0,00
1,27
Pasir
30
84,54
0,00
15,46
Lempung Berpasir
60
78,65
0,00
21,35
Lempung Liat Berpasir
10
99,12
0,00
0,88
Pasir
30
76,46
2,74
20,80
Lempung Liat Berpasir
60
71,09
2,08
26,83
Lempung Liat Berpasir
10
99,27
0,00
0,73
Pasir
30
97,30
0,00
2,70
Pasir
10
75,76
20,97
3,27
Lempung Berpasir
30
65,87
21,06
13,07
Lempung Berpasir
60
66,56
21,49
11,95
Lempung Berpasir
10
78,03
21,23
0,74
Lempung Berpasir
30
66,01
6,07
27,92
Lempung Berpasir
60
58,76
15,18
26,06
Lempung Liat Berpasir
10
98,33
0,00
1,67
Pasir
30
85,21
13,01
1,78
Lempung Berpasir
10
94,54
0,00
5,46
Pasir
30
78,96
2,85
18,19
Lempung Berpasir
60
77,26
1,92
20,82
Lempung Liat Berpasir
10
99,43
0,00
0,57
Pasir
30
97,45
0,38
2,17
Pasir
60
93,29
1,46
5,25
Pasir
Kedalaman (cm)
Tipe Sedimen
S8
S9
S10
S11
S12
S13
S14
117 Lampiran 3 Keberadaan mangrove di lokasi penelitian a. Stasiun Tanjung Tembing (TTB) NO
Stasiun
Plot
Spesies
1
A
1
Ceriops decandra
2
A
1
3
A
4
Jml
DBH
BA
24
7.643312
45.85987
Ceriops decandra
19.5
6.210191
30.27468
1
Ceriops decandra
33
10.50955
86.70382
A
1
Avicennia officinalis
24
7.643312
45.85987
5
A
1
Avicennia officinalis
27
8.598726
58.0414
6
A
1
Avicennia officinalis
45
14.33121
161.2261
7
A
1
Avicennia officinalis
37
11.78344
108.9968
8
A
2
Ceriops decandra
19
6.050955
28.74204
9
A
2
Ceriops decandra
17.5
5.573248
24.38296
10
A
2
Ceriops decandra
28
8.917197
62.42038
11
A
2
Avicennia officinalis
37
11.78344
108.9968
12
A
2
Avicennia officinalis
30
9.55414
71.65605
13
A
2
Avicennia officinalis
27
8.598726
58.0414
14
A
2
Avicennia officinalis
22
7.006369
38.53503
15
A
2
Avicennia officinalis
32
10.19108
81.52866
16
A
3
Ceriops decandra
39
12.42038
121.0987
17
A
3
Ceriops decandra
38
12.10191
114.9682
18
A
3
Ceriops decandra
15
4.77707
17.91401
19
A
3
Ceriops tagal
17
5.414013
23.00955
20
A
3
Ceriops tagal
15.5
4.936306
19.12818
21
A
3
Avicennia officinalis
22
7.006369
38.53503
22
A
3
Avicennia officinalis
43
13.69427
147.2134
NO
Stasiun
Plot
Spesies
1
B
1
Ceriops decandra
2
B
1
3
B
4
3
CBH
4
3
5
3
2 2
Jml 5
CBH
DBH
BA
17
5.414013
23.00955
Ceriops decandra
24.5
7.802548
47.79061
1
Ceriops decandra
17
5.414013
23.00955
B
1
Ceriops decandra
20
6.369427
31.84713
5
B
1
Ceriops decandra
27
8.598726
58.0414
6
B
1
Ceriops tagal
1
21
6.687898
35.11146
7
B
1
Avicennia officinalis
2
30
9.55414
71.65605
8
B
1
Avicennia officinalis
36
11.46497
103.1847
9
B
2
Ceriops decandra
13
4.140127
13.45541
10
B
2
Ceriops decandra
21
6.687898
35.11146
11
B
2
Ceriops decandra
26
8.280255
53.82166
12
B
2
Ceriops decandra
21
6.687898
35.11146
13
B
2
Avicennia officinalis
30
9.55414
71.65605
14
B
2
Avicennia officinalis
19
6.050955
28.74204
15
B
2
Avicennia officinalis
24
7.643312
45.85987
4
4
118 16
B
2
Avicennia officinalis
30
9.55414
71.65605
17
B
3
Avicennia officinalis
39
12.42038
121.0987
18
B
3
Avicennia officinalis
27
8.598726
58.0414
19
B
3
Avicennia officinalis
19
6.050955
28.74204
20 21
B
3
Avicennia officinalis
26
8.280255
53.82166
B
3
Avicennia officinalis
23
7.324841
42.11783
22
B
3
Avicennia officinalis
14
4.458599
15.6051
23
B
3
Avicennia officinalis
14.5
4.617834
16.73965
24
B
3
Bruguiera gymnorrhiza
29
9.235669
66.9586
25
B
3
Bruguiera gymnorrhiza
27
8.598726
58.0414
NO
Stasiun
Plot
Spesies
1
C
1
Ceriops tagal
2
C
1
3
C
4
6
2
Jml 7
CBH
DBH
BA
15.3
4.872611
18.63774
Ceriops tagal
15
4.77707
17.91401
1
Ceriops tagal
20.6
6.56051
33.78662
C
1
Ceriops tagal
14
4.458599
15.6051
5
C
1
Ceriops tagal
16.7
5.318471
22.20462
6
C
1
Ceriops tagal
13.3
4.235669
14.0836
7
C
1
Ceriops tagal
16.5
5.254777
21.67596
8
C
1
Ceriops tagal
13
4.140127
13.45541
9
C
1
Ceriops tagal
15
4.77707
17.91401
10
C
1
Aegiceras foridum
17.8
5.66879
25.22611
11
C
1
Aegiceras foridum
18
5.732484
25.79618
12
C
2
Aegiceras foridum
18
5.732484
25.79618
13
C
2
Aegiceras foridum
19.3
6.146497
29.65685
14
C
2
Aegiceras foridum
13
4.140127
13.45541
15
C
2
Aegiceras foridum
13.3
4.235669
14.0836
16
C
2
Aegiceras foridum
14
4.458599
15.6051
17
C
2
Aegiceras foridum
13.6
4.33121
14.72611
18
C
2
Aegiceras foridum
15.4
4.904459
18.88217
19
C
2
Aegiceras foridum
16
5.095541
20.38217
20
C
2
Ceriops tagal
12.7
4.044586
12.84156
21
C
3
Aegiceras foridum
14
4.458599
15.6051
22
C
3
Aegiceras foridum
18
5.732484
25.79618
23
C
3
Aegiceras foridum
17.4
5.541401
24.1051
24
C
3
Aegiceras foridum
16
5.095541
20.38217
25
C
3
Aegiceras foridum
30
9.55414
71.65605
26
C
3
Aegiceras foridum
13
4.140127
13.45541
26
C
3
Aegiceras foridum
19
6.050955
28.74204
119 b. Stasiun Panamparan (PNP) NO
Stasiun
Plot
Spesies
Jml
CBH
BA
54
17.19745
232.1656
1
A
1
Pandanus tectorius
2
A
1
Pandanus tectorius
47
14.96815
175.8758
3
A
1
Pandanus tectorius
49
15.6051
191.1624
NO
Stasiun
Plot
Spesies
1
B
1
Pandanus tectorius
2
B
1
Pandanus tectorius
NO
Stasiun
Plot
Spesies
3
DBH
Jml
CBH 2
Jml
DBH
BA
57
18.15287
258.6783
60
19.10828
286.6242
DBH
BA
38
12.10191
114.9682
CBH
1
C
1
Pandanus tectorius
3
2
C
1
Pandanus tectorius
48
15.28662
183.4395
3
C
1
Pandanus tectorius
53
16.87898
223.6465
120 c. Stasiun Pajan Barat (PJB) NO
Stasiun
Plot
Spesies
1
A
1
Ceriops tagal
2
A
1
3
A
4 5
Jml
CBH
BA
29.3
9.33121
68.35111
Ceriops tagal
20
6.369427
31.84713
1
Ceriops tagal
17.5
5.573248
24.38296
A
1
Avicennia officinalis
79
25.15924
496.8949
A
1
Avicennia officinalis
52
16.56051
215.2866
6
A
1
Avicennia officinalis
93.7
29.84076
699.0199
7
A
1
Avicennia officinalis
18.5
5.89172
27.2492
8
A
1
Avicennia officinalis
21
6.687898
35.11146
9
A
1
Avicennia officinalis
25
7.961783
49.76115
10
A
2
Ceriops tagal
20.4
6.496815
33.13376
11
A
2
Ceriops tagal
33
10.50955
86.70382
12
A
2
Avicennia officinalis
23.8
7.579618
45.09873
13
A
2
Avicennia officinalis
37
11.78344
108.9968
14
A
2
Avicennia officinalis
168
53.50318
2247.134
15
A
2
Avicennia officinalis
34
10.82803
92.03822
16
A
2
Avicennia officinalis
42
13.3758
140.4459
17
A
3
Ceriops tagal
43
13.69427
147.2134
18
A
3
Ceriops tagal
52
16.56051
215.2866
19
A
3
Rhizophora mucronata
33
10.50955
86.70382
20
A
3
Rhizophora mucronata
28
8.917197
62.42038
21
A
3
Avicennia officinalis
33
10.50955
86.70382
22
A
3
Avicennia officinalis
38.3
12.19745
116.7906
23
A
3
Avicennia officinalis
15.7
5
19.625
24
A
3
Avicennia officinalis
28.5
9.076433
64.66959
DBH
BA
87
27.70701
602.6274
NO
Stasiun
Plot
Spesies
3
DBH
6
2 5
2 2 4
Jml
CBH
1
B
1
Avicennia officinalis
5
2
B
1
Avicennia officinalis
26.4
8.407643
55.49045
3
B
1
Avicennia officinalis
23
7.324841
42.11783
4
B
1
Avicennia officinalis
58
18.47134
267.8344
5
B
1
Avicennia officinalis
73
23.24841
424.2834
6
B
1
Ceriops tagal
27.4
8.726115
59.77389
7
B
1
Ceriops tagal
19
6.050955
28.74204
8
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
24
7.643312
45.85987
9
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
16
5.095541
20.38217
10
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
33.7
10.73248
90.42118
11
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
28
8.917197
62.42038
12
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
17.5
5.573248
24.38296
13
B
2
Bruguiera gymnorrhiza
28
8.917197
62.42038
14
B
2
Ceriops decandra
20
6.369427
31.84713
15
B
2
Ceriops decandra
25
7.961783
49.76115
2 6
2
121 16
B
3
Bruguiera gymnorrhiza
17.4
5.541401
24.1051
17
B
3
Bruguiera gymnorrhiza
30
9.55414
71.65605
18
B
3
Bruguiera gymnorrhiza
18
5.732484
25.79618
19
B
3
Rhizophora apiculata
42
13.3758
140.4459
20
B
3
Rhizophora apiculata
38
12.10191
114.9682
21
B
3
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
22
B
3
Rhizophora apiculata
30
9.55414
71.65605
23
B
3
Rhizophora apiculata
39
12.42038
121.0987
24
B
3
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
25
B
3
Rhizophora apiculata
40
12.73885
127.3885
DBH
BA
NO
Stasiun
Plot
Spesies
5
Jml
CBH
1
C
1
Ceriops tagal
16
5.095541
20.38217
2
C
1
Ceriops tagal
12
14
4.458599
15.6051
3
C
1
Ceriops tagal
13.5
4.299363
14.51035
4
C
1
Ceriops tagal
16.4
5.22293
21.41401
5
C
1
Ceriops tagal
16
5.095541
20.38217
6
C
1
Ceriops tagal
19
6.050955
28.74204
7
C
1
Ceriops tagal
16
5.095541
20.38217
8
C
1
Ceriops tagal
15.4
4.904459
18.88217
9
C
1
Ceriops tagal
13.7
4.363057
14.94347
10
C
1
Ceriops tagal
13.5
4.299363
14.51035
11
C
1
Ceriops tagal
19
6.050955
28.74204
12
C
1
Ceriops tagal
17
5.414013
23.00955
13
C
1
Rhizophora apiculata
15
4.77707
17.91401
14
C
1
Rhizophora apiculata
17
5.414013
23.00955
15
C
1
Rhizophora apiculata
16
5.095541
20.38217
16
C
2
Ceriops tagal
132
42.03822
1387.261
17
C
2
Ceriops tagal
54
17.19745
232.1656
18
C
2
Rhizophora apiculata
19
6.050955
28.74204
19
C
2
Rhizophora apiculata
20.6
6.56051
33.78662
20
C
2
Rhizophora apiculata
15.4
4.904459
18.88217
21
C
2
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
22
C
2
Rhizophora apiculata
24
7.643312
45.85987
23
C
2
Rhizophora apiculata
22.6
7.197452
40.66561
24
C
2
Rhizophora apiculata
24
7.643312
45.85987
25
C
2
Rhizophora apiculata
18
5.732484
25.79618
26
C
3
Ceriops tagal
72
22.92994
412.7389
27
C
3
Ceriops tagal
16
5.095541
20.38217
28
C
3
Ceriops tagal
19
6.050955
28.74204
29
C
3
Ceriops tagal
15
4.77707
17.91401
30
C
3
Rhizophora apiculata
30
9.55414
71.65605
31
C
3
Rhizophora apiculata
28.6
9.10828
65.1242
3
2 8
4
7
122 32
C
3
Rhizophora apiculata
15
4.77707
17.91401
33
C
3
Rhizophora apiculata
17.6
5.605096
24.66242
34
C
3
Rhizophora apiculata
15.8
5.031847
19.8758
35
C
3
Rhizophora apiculata
18
5.732484
25.79618
36
C
3
Rhizophora apiculata
14
4.458599
15.6051
123 d. Stasiun Tanjung Kiaok NO
Stasiun
Plot
Spesies
Jml
CBH
BA
83
26.43312
548.4873
78
24.84076
484.3949
27
8.598726
58.0414
1
A
1
Sonneratia alba
2
A
1
Sonneratia alba
3
A
1
Ceriops decandra
4
A
1
Ceriops decandra
24.6
7.834395
48.18153
5
A
1
Ceriops decandra
17
5.414013
23.00955
6
A
1
Rhizophora apiculata
30
9.55414
71.65605
7
A
1
Rhizophora apiculata
32
10.19108
81.52866
8
A
1
Rhizophora apiculata
38
12.10191
114.9682
9
A
1
Rhizophora apiculata
27
8.598726
58.0414
10
A
1
Rhizophora apiculata
26
8.280255
53.82166
11
A
1
Rhizophora apiculata
19.6
6.242038
30.58599
12
A
2
Rhizophora mucronata
39
12.42038
121.0987
13
A
2
Rhizophora mucronata
37
11.78344
108.9968
14
A
2
Rhizophora apiculata
24
7.643312
45.85987
15
A
2
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
16
A
2
Rhizophora apiculata
17
5.414013
23.00955
17
A
2
Rhizophora apiculata
19
6.050955
28.74204
18
A
2
Rhizophora apiculata
27.5
8.757962
60.21099
19
A
2
Rhizophora apiculata
21
6.687898
35.11146
20
A
2
Rhizophora apiculata
22.6
7.197452
40.66561
21
A
2
Rhizophora apiculata
27
8.598726
58.0414
NO
Stasiun
Plot
Spesies
2
DBH
3
6
2 8
Jml
CBH
DBH
BA
1
B
1
Sonneratia alba
1
80
25.47771
509.5541
2
B
1
Rhizophora apiculata
8
31
9.872611
76.51274
3
B
1
Rhizophora apiculata
29.7
9.458599
70.2301
4
B
1
Rhizophora apiculata
22
7.006369
38.53503
5
B
1
Rhizophora apiculata
27.4
8.726115
59.77389
6
B
1
Rhizophora apiculata
26.1
8.312102
54.23646
7
B
1
Rhizophora apiculata
28
8.917197
62.42038
8
B
1
Rhizophora apiculata
19
6.050955
28.74204
9
B
1
Rhizophora apiculata
27.4
8.726115
59.77389
10
B
2
Rhizophora apiculata
31
9.872611
76.51274
11
B
2
Rhizophora apiculata
22
7.006369
38.53503
12
B
2
Rhizophora apiculata
21
6.687898
35.11146
13
B
2
Rhizophora apiculata
18
5.732484
25.79618
14
B
2
Rhizophora apiculata
37
11.78344
108.9968
15
B
2
Rhizophora apiculata
14
4.458599
15.6051
16
B
2
Rhizophora apiculata
15
4.77707
17.91401
17
B
2
Rhizophora apiculata
17.3
5.509554
23.82882
18
B
2
Rhizophora apiculata
18
5.732484
25.79618
11
124 19
B
2
Rhizophora apiculata
12.7
4.044586
12.84156
20
B
2
Rhizophora apiculata
19
6.050955
28.74204
DBH
BA
NO
Stasiun
Plot
Spesies
Jml
CBH
1
C
1
Rhizophora mucronata
27.5
8.757962
60.21099
2
C
1
Rhizophora mucronata
3
39
12.42038
121.0987
3
C
1
Rhizophora mucronata
43
13.69427
147.2134
4
C
1
Sonneratia alba
76
24.20382
459.8726
5
C
1
Sonneratia alba
54
17.19745
232.1656
6
C
1
Rhizophora apiculata
37
11.78344
108.9968
7
C
1
Rhizophora apiculata
35
11.1465
97.53185
8
C
1
Rhizophora apiculata
27.6
8.789809
60.64968
35
11.1465
97.53185
26
8.280255
53.82166
2 4
9
C
1
Rhizophora apiculata
10
C
2
Rhizophora apiculata
11
C
2
Rhizophora apiculata
38
12.10191
114.9682
12
C
2
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
13
C
2
Rhizophora apiculata
25
7.961783
49.76115
14
C
2
Rhizophora apiculata
28
8.917197
62.42038
15
C
2
Rhizophora apiculata
29.5
9.394904
69.28742
16
C
2
Rhizophora apiculata
38
12.10191
114.9682
17
C
2
Rhizophora apiculata
38
12.10191
114.9682
18
C
2
Rhizophora apiculata
29
9.235669
66.9586
19
C
2
Rhizophora apiculata
17
5.414013
23.00955
20
C
2
Rhizophora apiculata
26
8.280255
53.82166
21
C
2
Rhizophora apiculata
32
10.19108
81.52866
22
C
2
Rhizophora apiculata
19
6.050955
28.74204
13
125 e. Stasiun Pajan Barat 2 (PB2) Plot
Spesies 1
Ceriops tagal
1
Jml
CBH 4
DBH
BA
30
9.55414
71.65605
Ceriops tagal
25
7.961783
49.76115
1
Ceriops tagal
18
5.732484
25.79618
1
Ceriops tagal
19
6.050955
28.74204
1
Avicennia officinalis
73
23.24841
424.2834
1
Avicennia officinalis
43
13.69427
147.2134
2
Ceriops tagal
27
8.598726
58.0414
2
Ceriops tagal
26
8.280255
53.82166
2
Avicennia officinalis
43
13.69427
147.2134
2
Avicennia officinalis
45
14.33121
161.2261
2
Avicennia officinalis
36
11.46497
103.1847
3
Rhizophora mucronata
37
11.78344
108.9968
3
Rhizophora mucronata
33
10.50955
86.70382
3
Rhizophora mucronata
35
11.1465
97.53185
3
Rhizophora mucronata
29
9.235669
66.9586
3
Ceriops tagal
43
13.69427
147.2134
3
Ceriops tagal
42.9
13.66242
146.5295
3
Ceriops tagal
38
12.10191
114.9682
3
Ceriops tagal
33
10.50955
86.70382
3
Ceriops tagal
39
12.42038
121.0987
2 2 3
4
5
126 Lampiran 4 Parameter fisika kimia perairan Nilai rata-rata parameter fisika kimia perairan (suhu, salinitas, pH) Lokasi
Kode Stasiun*
Suhu Udara Surut Pasang
Suhu Air Surut Pasang
A1 28,67 29,67 28,83 A3 29,17 30,00 29,33 A4 28,00 28,83 28,17 PNP A6 28,00 29,00 28,33 A7 28,50 30,17 29,67 PJB A8 28,33 30,83 28,67 A9 28,83 30,83 29,67 A10 28,83 29,33 29,17 TJK A11 28,83 30,50 29,00 A12 29,00 30,50 29,33 PB2 A13 30,33 30,83 28,83 SPJ A14 30,33 30,83 30,67 Sumber : Data lapangan (2011) Keterangan : *) Lihat Tabel 10 TTB
29,00 29,33 28,50 29,00 29,67 29,83 30,33 29,83 30,33 29,17 30,00 30,50
Salinitas pH air Surut Pasang Surut Pasang 4,00 30,67 17,00 30,33 5,33 28,00 28,17 13,00 28,17 29,17 28,33 32,50
4,33 31,83 16,67 31,67 5,17 28,50 28,83 12,33 29,17 30,83 29,67 33,67
6,76 7,34 6,89 7,28 6,83 7,19 7,26 6,79 7,2 7,28 7,24 7,48
6,74 7,44 6,77 7,33 6,76 7,23 7,3 6,81 7,26 7,36 7,31 7,52
Nilai rata-rata parameter fisika kimia perairan (Kekeruhan, TSS, DO, TOM) Lokasi
Kode Stasiun*
Kekeruhan Surut Pasang
TSS DO Surut Pasang Surut Pasang
A1 47,84 41,98 154,48 A3 8,81 3,85 50 A4 45,62 41,79 160,68 PNP A6 7,46 3,83 69 A7 49,13 43,04 182,1 PJB A8 34,64 30,6 128 A9 5,54 3,72 37 A10 45,89 40,05 160,54 TJK A11 16 13,1 98 A12 4,55 3,43 64 PB2 A13 30,68 26,99 117 SPJ A14 7,14 3,76 57 Sumber : Data lapangan (2011) Keterangan : *) Lihat Tabel 10 TTB
152,99 41 152,79 37 183,54 106 66 163,1 87 33 92 31
4,18 5,76 4,25 5,1 4,12 5,45 6,11 4,25 5,96 6,22 5,52 6,14
4,33 5,8 4,08 5,67 4,08 5,33 5,92 4,12 5,8 6,34 5,47 6,19
TOM Surut Pasang 56,21 12,85 55,32 10,18 57,82 30 12,58 55,1 13,66 13,93 28,43 13,42
52,73 12,32 51,05 14,46 55,54 30,43 28,65 51,63 24,37 22,64 26,68 13,87
127 Nilai rata-rata parameter fisika kimia perairan (fosfat, deterjen, BOD5) Lokasi
TTB PNP PJB
TJK PB2 SPJ Sumber Keterangan
Kode Stasiun*
Fosfat Surut Pasang
A1 0,29 A3 0,08 A4 0,23 A6 0,16 A7 0,29 A8 0,06 A9 0,04 A10 0,23 A11 0,07 A12 0,02 A13 0,04 A14 0,09 : Data lapangan (2011) : *) Lihat Tabel 10
0,2 0,05 0,18 0,07 0,21 0,1 0,05 0,28 0,06 0,04 0,06 0,13
Deterjen Surut Pasang 1,46 0,96 1,27 0,72 1,32 1,04 0,88 1,29 0,44 0,36 0,98 0,68
1,24 0,64 1,04 0,54 1,14 0,92 0,6 0,99 0,89 0,37 0,86 0,55
BOD5 Surut Pasang 4,07 3,12 3,86 2,58 3,01 2,84 2,42 3,12 2,76 2,36 2,79 2,66
3,96 3,04 3,92 2,47 3,62 2,92 2,57 3,31 2,89 2,27 2,92 2,52
Nilai rata-rata parameter fisika kimia perairan (nitrat, nitrit, amonia) Lokasi
TTB PNP PJB
TJK PB2 SPJ Sumber Keterangan
Kode Stasiun*
Nitrat Surut Pasang
A1 0,25 0,18 A3 0,08 0,05 A4 0,28 0,32 A6 0,08 0,13 A7 0,21 0,28 A8 0,11 0,16 A9 0,07 0,05 A10 0,24 0,31 A11 0,18 0,13 A12 0,07 0,09 A13 0,09 0,14 A14 0,12 0,16 : Data lapangan (2011) : *) Lihat Tabel 10
Nitrit Surut Pasang 0,014 0,002 0,003 0,004 0,003 0,01 0,001 0,004 0,002 0 0,009 0,004
0,016 0,001 0,002 0,001 0,002 0,014 0 0,017 0,003 0,001 0,006 0,002
Amonia Surut Pasang 0,36 0,19 0,32 0,2 0,29 0,18 0,15 0,33 0,29 0,13 0,19 0,14
0,3 0,18 0,23 0,16 0,31 0,22 0,19 0,38 0,24 0,18 0,18 0,18
128 Lampiran 5 Parameter fisika kimia sedimen Parameter fisika kimia sedimen (C, N, P) Desa
Stasiun* S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14
TTB
PNP
PJB
TJK PB2 SPJ
Sumber Keterangan
C (%) Surut Pasang 17,33 24,07 14,69 18,36 19,69 6,19 14,79 20.52 30,67 14,53 17,04 13,09 24,37 7,43
16,47 22,86 13,54 16,47 20,06 10,12 13,76 22,32 25,82 13,47 15,12 12,64 21,09 10,66
N (%) Surut Pasang 1,26 1,13 0,83 0,92 0,98 0,87 1,21 1,22 1 1,07 0,98 0,54 1,23 0,74
1,21 1,18 0,94 0,89 0,96 0,84 1,23 1,26 1,05 1 0,98 0,49 1,22 0,69
P (%) Surut Pasang 0,24 0,11 0,09 0,2 0,11 0,08 0,24 0,27 0,28 0,16 0,15 0,11 0,25 0,12
0,2 0,09 0,07 0,18 0,09 0,08 0,23 0,25 0,25 0,12 0,13 0,1 0,22 0,1
: Data lapangan (2011) : * Lihat Tabel 10
Parameter fisika kimia sedimen (TOM, pH, Diterjen) Desa
Stasiun*
TTB
PNP
PJB
TJK PB2 SPJ
Sumber Keterangan
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14
TOM Surut Pasang 31,15 29,65 24,38 29,65 42,13 18,22 24,76 46,48 40,18 24,25 22,75 30,68 44,32 22,87
26,49 26,34 23,42 28,35 35,16 11,14 27,43 55,2 36,93 22,65 23,56 27,22 43,39 24,16
: Data lapangan (2011) : * Lihat Tabel 10
pH Tanah Surut Pasang 6,62 6,40 7,34 6,86 6,48 7,20 6,90 6,80 7,20 6,81 6,69 7,26 6,68 7,44
6,70 6,40 7,30 6,90 6,52 7,12 6,88 6,85 7,36 6,94 6,84 7,37 6,72 7,43
Deterjen (%) Surut Pasang 0,00035 0,00027 0,00024 0,00025 0,00026 0,00015 0,00021 0,00014 0,00015 0,00019 0,00018 0,00007 0,00015 0,00019
0,00028 0,0002 0,00019 0,00032 0,00022 0,00017 0,00024 0,00019 0,0001 0,00019 0,00015 0,0001 0,00013 0,00015
129 Lampiran 6 Profil makrozoobentos pada stasiun penelitian Sebaran makrozoobentos No
Nama Spesies
Filum
Kelas
Famili
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
S11
S12
S13
S14
1
Nerita undata
Mollusca
Gastropoda
Neritidae
0
0
0
0
0
0
0
3
8
0
2
0
6
0
2
Terebralia sulcata
Mollusca
Gastropoda
Potamididae
0
0
0
0
0
0
0
5
1
0
2
0
0
0
3
Tereblaria sp
Mollusca
Gastropoda
Potamididae
0
0
0
0
0
0
0
4
12
0
0
0
4
0
4
Malampus flavus
Mollusca
Gastropoda
Melampiidae
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
71
0
0
0
0
6
0
5
Clypeomorus coralium
Mollusca
Gastropoda
Cerithiidae
0
6
Monodonta labio
Mollusca
Gastropoda
Trochidae
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
7
Clibanarius longitarsus
Crustacea
Malacostraca
Diogenidae
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
6
0
0
8
Tellina remies
Mollusca
Bivalvia
Tellinidae
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
9
Nerita planospira
Mollusca
Gastropoda
Neritidae
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
10
Telescopium-telescopium
Mollusca
Gastropoda
Potamididae
0
0
0
0
0
0
0
3
4
0
8
2
1
0
11
Cerithidea quadrata
Mollusca
Gastropoda
Cerithiidae
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
5
12
Ceritium gloriosum
Mollusca
Gastropoda
Cerithiidae
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
0
130 Lampiran 7 Kelimpahan dan struktur komunitas makrozoobentos Kelimpahan makrozoobentos pada stasiun penelitian Stasiun Kelimpahan (Ind/m2) S3 4 S8 86 S9 34 S11 34 S12 13 S14 17 S15 5 Sumber : Analisis data lapang (2011)
Jumlah Jenis 1 5 6 3 3 3 1
Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (D) di Pesisir Pulau Sepanjang Indeks Indeks Indeks Stasiun Keanekaragaman Keseragaman Dominansi (H’) (E) (D) S3 0 0 1 S8 1,01 4,50 0,69 S9 2,18 7,67 0,25 S11 2,14 7,55 0,28 S12 1,46 3,75 0.38 S14 1,32 3,17 0,44 S15 0 0 1 Sumber : Pengolahan data (2011)
131 Lampiran 8 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran 3: Baku mutu air laut untuk biota laut) No
Satuan
Baku Mutu
1
Parameter Fisika Kecerahana
M
2 3 4
Kebauan Kekeruhana Padatan tersuspensi totalb
NTU Mg/L
5 6 7
Sampah Suhuc Lapisan minyak5 Kimia pHd Salinitase
-
Coral : >5 Mangrove : Lamun : >3 Alami3 <5 Coral : 20 Mangrove : 80 Lamun : 20 Nihil1(4) alami Nihil 1(5)
Oksigen terlarut (DO) BOD5 Amonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-) Sulfida (H2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisidaf TBT (tributil tin)7 Logam terlarut Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Biologi Coliform (toltal)g Patogen Plankton Radio Nuklida Komposisi yang tidak diketahui
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
7 – 8.5 (d) Alami3(e) Coral : 33-34(e) Mangrove : s/d 34 (e) Lamun : 33-34(e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003
mg/L µg/l mg/L MBAS mg/L µg/l µg/l
0,002 0,01 1 1 0,01 0,01
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0,05
MPN/100 ml Sel/100 ml Sel/100 ml
1000(g) Nihil1 Tidak bloom6
Bq/l
4
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 1
0
C
%o
132 Catatan : 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisis mengacu pada metode analisis untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0.01mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.
133 Lampiran 9 Nilai beban pencemar pada lokasi penelitian Nilai beban pencemar pada pusat pencemar (stasiun A1, A4, A7, dan A10) Nilai Maksimum (mg/L)* Beban Pencemar (kg/jam)** Parameter Surut Pasang Surut Pasang Deterjen 1,46 1,24 61,01 40,01 Kekeruhan 49,13 43,04 559,73 423,00 DO 4,25 4,33 174,66 143,21 pH 6,89 6,81 79,09 66,44 Nitrat 0,28 0,32 10,45 9,83 Amonia 0,36 0,38 15,04 11,90 Fosfat 0,29 0,28 12,12 8,77 BOD5 4,07 3,96 170,07 127,06 Sumber : Pengolahan data lapangan (2011) Nilai beban pencemar pada ekosistem mangrove (stasiun A8, A11, dan A13) Nilai Maksimum (mg/L)* Beban Pencemar (kg/jam)** Parameter Surut Pasang Surut Pasang Deterjen 1,04 0,92 256,84 340,37 Kekeruhan 34,64 30,6 2395,39 3169,90 do 5,96 5,8 1471,91 2145,80 pH 7,24 7,31 500,65 757,25 Nitrat 0,18 0,16 44,45 59,19 Amonia 0,29 0,24 71,62 88,79 Fosfat 0,07 0,1 17,29 37,00 BOD5 2,84 2,92 701,38 1080,30 Sumber : Pengolahan data lapangan (2011) Nilai beban pencemar pada lokasi setelah ekosistem mangrove (stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14) Nilai Maksimum (mg/L)* Beban Pencemar (kg/jam)** Parameter Surut Pasang Surut Pasang 0,96 0,64 401,92 342,16 Deterjen 8,81 3,85 3688,44 2058,31 Kekeruhan 6,22 6,34 2604,10 3389,54 do 7,48 7,52 876,86 1125,72 pH 0,12 0,16 50,24 85,54 Nitrat 0,20 0,19 83,73 101,58 Amonia 0,16 0,13 66,99 69,50 Fosfat 3,12 3,04 1306,24 1625,27 BOD5 Sumber : Pengolahan data lapangan (2011) Keterangan *) Nilai konsentrasi maksimum **) Nilai beban pencemar maksimum yang terukur di lokasi penelitian
134 Lampiran 10 Nilai kapasitas asimilasi pada lokasi penelitian Kapasitas asimilasi pada ekosistem mangrove (stasiun A8, A11, dan A13) Kesimpulan Beban Pencemar (kg/jam)* Baku Mutu** *** Parameter Surut Pasang Surut Pasang Surut Pasang Deterjen 256,84 340,37 246,97 369,97 OC UC Kekeruhan 2395,39 3169,90 345,75 517,96 OC OC DO 1471,91 2145,80 1234,83 1849,83 UC UC pH 500,65 757,25 587,78 880,53 UC UC Nitrat 44,45 59,19 1,98 2,96 OC OC Amonia 71,62 88,79 74,09 110,99 UC UC Fosfat 17,29 37,00 3,70 5,55 OC OC BOD5 701,38 1080,30 4939,31 7399,32 UC UC Kapasitas asimilasi pada lokasi setelah ekosistem mangrove (stasiun A3, A6, A9, A12, dan A14) Beban Pencemar (kg/jam)* Baku Mutu** Kesimpulan Parameter *** Surut Pasang Surut Pasang 401,92 342,16 418,67 534,63 Deterjen UC 3688,44 2058,31 2093,33 2673,14 Kekeruhan OC 2604,10 3389,54 2093,33 2093,33 DO UC 876,86 1125,72 996,43 1272,42 pH UC 50,24 85,54 3,35 3,35 Nitrat OC 83,73 101,58 125,60 125,60 Amonia UC 66,99 69,50 6,28 6,28 Fosfat OC 1306,24 1625,27 8373,31 10692,54 BOD5 UC Keterangan :
*) **) ***)
Nilai beban pencemar maksimum yang terukur di lokasi penelitian Konsentrasi maksimum yang diperoleh dari baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 OC (Over capacity); UC (Under capacity)
135 Lampiran 11 Prosedur pengukuran DO (Disolved Oxigen) dengan menggunakan Metode Winkler 1. Air sample diambil dengan menggunakan botol BOD tanpa gelembung udara, setelah itu botol langsung ditutup di dalam air guna mencegah terjadinya difusi oksigen dari udara ke dalam botol 2. Tambahkan 0.5 ml Sulfamic Acid untuk 125 ml sample menggunakan pipet tetes, tutup dan aduk dengan cara membolak-balik botol 3. Tambahkan 1 ml mangan sulfat (MnSO 4) dan 1 ml NaOHKI, penambahan reagen ini dilakukan dibawah bermukaan air sample yang terdapat di dalam botol, tutup dan lakukan pengadukan dengan cara membolak-balik botol sebanyak 20 kali. Biarkan beberapa menit hingga terbentuk endapan coklat 4. Tambahkan H2SO4 sebanyak 1 ml, aduk bingga semua endapan larut 5. Ambil 50 ml larutan yang terdapat di dalam botol BOD dengan menggunakan pipet dan masukkan ke dalam Erlenmeyer 6. Titrasi dilanjutkan dengan menggunakan Natrium tiosulfat (yang terdapat dalam buret) hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua (kecoklatan), menjadi kuning muda. Tambahkan 3 – 4 tetes indicator Natrium tiosulfat hingga warna larutan menjadi biru. Lanjutkan titrasi menggunakan Natrium tiosulfat hingga warna larutan tersebut hilang (bening). Catat berapa volume Natrium tiosulfat yang terpakai pada kedua titrasi tersebut 7. Untuk mengetahui nilai oksigen terlarut, maka lakukan perhitungan sesuai rumus berikut : mg O2/l =
ml titran Normalitas tiosulfat x 8 x (1000) (ml botol BOD − ml reagen yang dipakai) ml sample x (ml botol BOD)
Keterangan : ml titran Normalitas Na Tiosulfat ml sample ml botol BOD ml reagen yang terpakai
= natrium tiosulfat yang terpakai = 0,0244 = 50 ml = 125 ml = dijumlahkan (Sulfamic acid, MnSO4, NaOHKI, H2SO4, dan amilum)
136 Lampiran 12 Prosedur pengukuran BOD5 (Biological Oxygen Demand) 1. Ambil air sampel dari kedalaman yang dikehendaki sebanyak 1-2 liter 2. Lakukan aerasi guna meningkatkan kadar oksigen dalam sample + 5 menit 3. Air sample yang telah diaerasi dipindahkan kedalam botol BOD gelap dan terang hingga penuh. Air yang terdapatd alam botol terang segera dianalisis kandungan oksigennya (DO1) melalui metode titrasi winkler atau dengan menggunakan DO meter, sedangkan air sampel yang terdapat dalam botol BOD gelap diinkubasi pada suhu 200C. setelah 5 hari ditentukan kadar oksigen terlarut pada botol tersebut (DO2) 4. Untuk mengetahui nilai BOD5 dilakukan perhitungan sebgai berikut : BOD5 (ppm) = (DO1 – DO5)
137 Lampiran 13 Prosedur pengukuran nitrat
1. Ambil air contoh sebanyak 2 ml yang telah disaring 2. Tambahkan 2 ml Brusin dan 4 ml H2SO4 3. Tunggu sekitar 5 menit 4. Ukur nilai absorbannya dengan spektrofotometer, memakai panjang gelombang 410 nm. Adapun untuk mengetahui nilai nitrat dari angka spektrofotometri digunakan persamaan berikut : Konsentrasi 0.2 0.5 1 1.5 2 Y R2
Absorbansi 0,086 0,155 0,270 0,400 0,510
= 0,2377 x + 0,037 = 0,9994
138 Lampiran 14 Prosedur pengukuran nitrit
1. Ambil air contoh sebanyak 25 ml yang telah disaring 2. Tambahkan 0.5 ml sulfamid acid 3. Tambahkan 0,5 NEP 4. Tunggu sekitar 10 menit 5. Ukur nilai absorbannya dengan spektrofotometer, memakai panjang gelombang 540 nm. Konsentrasi 0,025 0,05 0,125 0,25 0,5 Y = 1,7308X – 0,0045 R2 = 0,9967
Absorbansi 0,020 0,072 0,240 0,440 0,850
139 Lampiran 15 Prosedur pengukuran amonia
1. Ambil air contoh yang telah disaring sebanyak 25 ml 2. Tambahkan 1 ml nessler 3. Tambahkan 1 ml garam signat (untuk menstabilkan) 4. Diamkan sekitar 10 menit dengan tujuan memaksimalkan intensitas warn 5. Ukur nilai absorbannya dengan spektrofotometer, memakai panjang gelombang 630 nm. Konsentrasi 0,05 0,125 0,25 0,5 0,75 1 1,5 2 Y = 0,1829 x + 0,0312 R2= 0,9984
Absorbansi 0,038 0,056 0,079 0,130 0,163 0,210 0,300 0,403
140 Lampiran 16 Prosedur pengukuran TSS (Total Suspended Solid) 1. Sample yang terdapat dalam cool box dikeluarkan dan siap untuk dianalisis lebih lanjut (penyaringan) 2. Sebelum dilakukan penyaringan, kertas saring yang akan digunakan untuk penyaringan direndam terlebih dahulu dengan aquades selama 24 jam. Hal ini bertujuan agar kelembaban antara air dan udara sama, selanjutnya dikeringkan dalam drying oven pada suhu 103 – 1050 C selama kurang lebih 1 jam. Kemudian kertas saring didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (B gr) (catat hasil timbangan) 3. Siapkan jertas saring dengann prositas 0,45 µm (yang telah ditimbang pada prosedur 2) dan vacuum pump kemudia saring air sample sebanyak 100 ml. hasil saringan yang tertinggal pada kertas Millipore akan digunakan untuk menentukan TSS sedangkan air yang lolos dari saringan dapat digunakan dalam menentukan TDS. 4. Untuk TSS, keringkan hasil saringan yang terdapat pada kertas saring dalam oven 1050C selama kurang lebih 1 jam, dinginkan dalam desikator lalu timbang (A gr). Adapun untuk menentukan nilai TSS, dilakukan perhitungan sebagai berikut :
TSS (mg/L) = (A − B)
1000 ml sample
Keterangan : A = Berat (mg) kertas saring akhir (kertas saring dan hasil saringan) B = Berat (mg) kertas saring awal
141 Lampiran 17 Prosedur penetapan tekstur sedimen
1.
Contoh sedimen ditimbang sebanyak 10 gr dan dimasukkan ke dalam gelas piala (800 ml) dan ditambahkan 50 ml H2O2 10 % dan dibiarkan semalam
2.
Tambahkan 25 ml H2O2 3 % dan dipanaskan sampai tidak berbusa
3.
Selanjutnya tambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCL 2 N dan didihkan diatas pemanas listrik selama kurang lebih 10 menit.
4.
Angkat dan setelah dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml
5.
Dicuci dengan air bebas ion menggunakan penyaring Berkefield dan ditambahkan larutan peptisator NA4P2O7.
6.
Suspense tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion
7.
Filtrat ditampung dalam silnder 2 500 ml untuk pemisahan debu dan liat
8.
Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke dalam pinggan aluminium yang telah diketahui bobotnya untuk selanjutnya dikeringkan pada suhu 105 0C, didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang (Bobot Pasir = A gram)
9.
Filtrat dalam silinder diencerkan menjadi 500 ml, diaduk 1 menit dan dipipet 20 ml ke dalam pinggan aluminium. Filtrate dikeringkan pada suhu 105 0C didinginkan dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B gram)
10. Untuk memisahkan liat diaduk lagi 1 menit dan dibiarkan 3 jam 30 menit pada suhu kamar 11. Suspense liat dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 5.2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggiran aluminium. Dikeringkan pada suhu 105 0C, didinginkan dan ditimbang (berat liat + peptisator = C gram) Catatan : bobot peptisator pada pemipetan 20 ml adalah 0.0048 gr 12. Perhitungan % pasir =
A X 100% A + 25 (B − 0.0048)
% debu =
25 (B − C) X 100% A + 25 (B − 0.0048)
% liat =
25 (C − 0.0048) X 100% A + 25 (B − 0.0048)
142 Lampiran 18 Prosedur pengukuran Total Organik Matter (TOM)
1. Air sample diambil 50 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer menggunakan pipet tetes 2. Tambahkan 9.5 ml KMnO4 langsung dari buret dan 10 ml H2SO4 (1:4) 3. Larutan dipanaskan sampai suhu 70-800C kemudian diangkat 4. Jika suhu sudah turun menjadi 60-700C, langsung ditambahkan natrium oxalate 0.01 secara perlahan-lahan sampai tak berwarna 5. Larutan segera dititrasi dengan KMnO4 0.01 sampai terjadi perubahan warna (merah jambu/pink) lalu catat volume titran yang terpakai (X ml) 6. Ambil 50 ml aquades menggunakan pipet kemudian dilakukan prosedur 1-6 dan catat titran yang digunakan (Y ml) 7. Untuk menghitung kandungan TOM digunakan persamaan :
TOM
mg 𝑋 − 𝑌 𝑥 31.6 𝑥 0.01 𝑥 1000 = l 𝑚𝑙 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝑎𝑖𝑟
Keterangan : X = ml titran untuk contoh sample Y = ml titran untuk aquades (blanko) 31.6 = 1/5 dari BM KMnO4, karena tiap mol KMnO4 melepaskan oksigen dalam reaksi ini 0.01 = normalitas (KMnO4)
143 Lampiran 19 Prosedur analisis deterjen 1. Sample air limbah diambil sebanyak 25 ml dengan gelas ukur kemudian dimasukkan pada labu ukur 2. Tambahkan indicator MB (methylen blau) sebanyak 0.5 ml 3. Tambahkan 25 ml reagent chloroform kemudian kocok hingga rata 4. Setelah terlihat perbedaan warna pipet chloroform pada dasar labu (yang berwarna jernih) kemudian pisahkan ke dalam beaker glass 5. Analisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm Konsentrasi 0 0,25 0,5 1 1,6 2 Y = 0,3196 x – 0,0101 R2 = 0,9994
Absorbansi 0,000 0,065 0,145 0,305 0,500 0,684
144 Lampiran 20 Dokumentasi penelitian
Ekosistem mangrove stasiun Panamparan
Ekosistem mangrove stasiun Pajan Barat
Ekosistem mangrove stasiun Tanjung Kiaok
Pengukuran diameter pohon
Pengambilan makrozoobentos
Identifikasi makrozoobentos
Analisis fraksi sedimen di laboratorium
Penebaran transek mangrove