EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS BELANJA PUBLIK KABUPATEN SAMPANG (Studi Program Wajib Belajar) THE EFICIENCY AND EFFECTIVENESS OF SAMPANG DISTRICT EDUCATION OFFICE’S (Case Study on Compulsory Education Education Program) ABSTRACT This research was conducted based on the fact that the human resources developmentespecially on basic education area- can’t be said to succeed. In an effort to develop basic education needs public expenditure on compulsory education program. One thing that must be criticized is on how the efficiency and effectiveness level of public expenditure influence the effort to optimize access equalization program and quality of education in Sampang District. The purpose of this research was to describe, analyze, and interpret the efficiency of public expenditure on compulsory education program and the effectiveness of access equalization achievement quality of basic education. This research also analyzes the constraints in achieving minimum service standards of education. Research method in order to analyze the efficiency and effectiveness of public expenditure was using descriptive quantitative research methods. Sources of data were derived from regent’s work report documents, Dispendaloka, statistics central agencies, and education office. Data were analyzed by comparing percentages, describing results, and drawing conclusions. The analysis research showed that public expenditure of Sampang District on compulsory education program is not efficient, due to nothingness realization of some programs. The outcomes’ effectiveness is not optimum, it can be seen from continuing and dropout rate number of primary school level/ or equivalent, while for junior secondary school level/ or equivalent is indicated by participation rates and dropout rates which exceed the minimum service standards. During execution years of compulsory education program, year of 2009 is relatively most efficient with 0,98 percentage than the year of 2008 with reached 0,70 in difference. Non performance programs and tendency to spend the budget by spending on apparatus’ needs are the major factors of inefficiency expenditure. While the cause of failure to achieve effectiveness are: (1) Low number of continuing to primary school/ or equivalent due to not carrying number the learners who continue to attend non-formal school. (2) High rates of primary school dropouts occur in first grade, this is not only because the teacher with low competence, but also because the students’ background did not through kindergarten which determine students’ readiness to attend school. (3) High rates of secondary school dropouts because lack of community awareness toward education. Sampang District government through education office needs to make efficiency and effectiveness of public expenditure on compulsory education program. One way that can be done by reducing the budget until the cost of the program be accepted by society. To achieve a minimum service atandard, education office needs to keep records of children aged 7-13 years who attend school in non-formal education, make a good
1
distribution of elementary school teachers and increase their competence, and provide insights on the importance of continuing school to parents and learners. Keywords: Efficiency of public expenditure, effectiveness of public expenditure, compulsory education program. ABSTRACT Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa pembangunan sumber daya manusia khususnya bidang pendidikan dasar belum dapat dikatakan berhasil. Dalam upaya pembangunan pendidikan dasar diperlukan belanja publik program wajib belajar. Salah satu yang harus diperhatikan adalah bagaimana tingkat efisiensi dan efektivitas belanja publik sebagai upaya untuk mengoptimalkan program pemerataan akses dan mutu pendidikan di Kabupaten Sampang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan efisiensi belanja publik program wajib belajar dan efektivitas capaian pemerataan akses dan mutu pendidikan dasar, kendala dalam pencapaian standar pelayanan minimal pendidikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif deskripti. Sumber data berasal dari dokumen laporan kerja bupati, dispendaloka, badan pusat statistik dan dinas pendidikan. Data dianalisis dengan membandingakan persentase, mendeskripsikan, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja publik program wajib belajar dinas pendidikan di Kabupaten Sampang belum efisien, disebabkan beberapa program yang tidak terlaksana. Capaian efektivitas belum optimal dilihat diri angka melanjutkan dan angka putus sekolah pada jenjang sekolah dasar/sederajat, sedangkan untuk sekolah menengah pertama/sederajat ditunjukkan oleh angka partisipasi dan angka putus sekolah yang melebihi standar pelayanan minimal. Program wajib belajar selama tahun pelaksanaannya, tahun 2009 secara relatif paling mendekati efisien dengan presentase 0,98 daripada tahun 2008 mencapai selisih 0,70. Tidak terlaksananya program dan adanya kecenderungan untuk menghabiskan anggaran dengan melakukan belanja aparatur adalah faktor utama ketidak efisienan belanja. Penyebab tidak tercapainya efektivitas adalah (1) rendahnya angka melanjtukan ke jenjang sekolah dasar/sederajat disebabkan tidak tercatatnya angka melanjutkan ke jenjang sekolah non formal, (2) tingginya angka putus sekolah dasar terjadi pada kelas satu, selain rendahnya kompetensi guru latar belakang siswa yang tidak melalui taman kanak-kanak menjadi penentu kesiapan siswa masuk sekolah, (3) tingginya angka putus sekolah menengah pertama/sederajat, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pendidikan. Pemerintah Kabupaten Sampang melalui dinas pendidikan perlu melakukan efisiensi dan efektivitas terhadap belanja publik program Wajar. Salah satu caranya yang dapat dilakukan dengan melakuakan perencanaan anggaran belanja sampai dengan biaya program yang akan diterima oleh masyarakat. Untuk mencapai standar pelayanan minimal dinas pendidikan perlu melakukan pencatatan terhadap anak usia 7-13 tahun yang melanjutkan sekolah pada pendidikan non-formal, melakukan pendistribusian dan peningkatan kompetensi gurus sekolah dasar, dan memberikan pemahaman-pemahaman pentingnya melanjutkan sekolah pada orang tua maupun pada peserta didik. Kata Kunci: Efisiensi belanja publik, efektivitas belanja publik, program wajar.
2
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berhasil tidaknya pembangunan bertumpu pada kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimilikinya, baik Sumber Daya Alam (Natural Resources) maupun Sumber Daya Manusia (Human Resources) berupa jumlah penduduk serta tingkat keterampilan atau pendidikannya. Menurut UNDP tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur yang panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif”. Pernyataan tersebut memberikan penekanan bahwa belanja publik harus menempatkan pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, dan bukan sebagai alat pembangunan. Sejak tahun 1990, perhatian dunia terhadap sumber daya manusia khususnya dalam bidang pendidikan semakin meningkat. Forum Pendidikan Dunia yang dipelopori oleh UNESCO pada tahun 2001, telah bersepakat bahwa pendidikan harus dinikmati oleh semua orang (Lie, 2004). Pendidikan merupakan sebuah investasi sumber daya yang sangat bermanfaat. MC Mahon dalam Nurkholis (2002) menyebutkan “Pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Untuk membiayai sebuah Investasi, maka dibutuhkan sumber dana. Menurut Fuady (2002) ”anggaran untuk mengatur alokasi belanja barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods and service)”. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai hubungan pusat dan daerah tentang kewenagan daerah dengan tujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan pelimpahan wewenang tersebut, diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari APBD, selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong
timbulnya inovasi pelayanan publik yang efektif dan efisien. Dalam penyelenggaraan pendidikan maka pembiyaannya oleh daerah ditampung di APBD daerah. Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 167 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah diwajibkan melakukan peningkatan pelayanan dasar pendidikan, dengan ketentuan sekurang-kurangnya 20%. Berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut di atas, berarti akan menghabiskan seperlima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kabupaten Sampang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki indeks pendidikan (IP) terendah dari rata-rata kabupaten yang lain, lebih jauh perkembangan indeks pedidikan dikabupaten Sampang seperti tabel berikut: Tabel 1.1 Indeks Pendidikan (IP) Jawa Timur (persentase) Daerah Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Jatim
2002 50 41,28 60,9 55,38 69,82
2003 59,22 42 62,09 55,68 70,02
2004
2005
2006
59,84 48,47 64,78 59,23 70,92
64,72 50,93 65,06 64,88 72,24
65,77 50,07 64,41 61,91 72,81
Sumber: Evaluasi Kinerja Renstrada Prop. Jatim 2003 (BPS, 2008)
Dari tabel 1.1 di atas Kabupaten Sampang kemudian memerlukan penanganan yang serius dalam meningkatan mutu pendidikan. Anggaran belanja Dinas Pendidikan pada tahun sebelumnya (2007 dan 2008) terjadi kesenjangan di antara SKPD yang terkait dengan pelayanan dasar yang lain. Dinas pendidikan mendapat alokasi paling besar yaitu 35% dari pagu anggaran daerah. Tingginya anggaran ini berimplikasi pada rendahnya alokasi anggaran untuk pelayanan dasar kesehatan, serta tidak menunjukkan perubahan kualitas pendidikan yang signifikan (LKPJ bupati, 2009). Oleh karena itu, pemerintah dengan merujuk pada IP, Kabupaten Sampang untuk tahun 2009-2013 merencakan anggaran proporsional, sebagaimana
3
ketentuan pemerintah anggaran pendidikan minimal 20% dan kesehatan 15%. Anggaran tahun 2009 untuk dinas pendidikan dialokasikan 21% dan kesehatan 15%. Pemerintah Kabupaten Sampang sebagai miniatur pelaksana pelayanan publik yang paling dekat pada masyarakat pada tahun 2008 s/d 2013 memiliki misi untuk “menjamin aksesibilitas dan mutu pelayanan pada masyarakat” yang kemudian diterjemahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bahwa “peningkatan kualitas pelayanan publik melalui peningkatan alokasi belanja daerah pada pelayanan publik/belanja langsung”. Dimana efektifitas dan efisiensi adalah pijakan dari rencana program prioritas daerah. Dalam hal ini “Pemerintah perlu menetapkan satandar pelayanan minimal sehingga memudahkan pemberian penilaian terhadap kinerja pelayanan pemerintah” (Khusaini, 2006). Sesuai dengan masukan dari stakeholder pada acara temu publik dan musrenbang, anggaran pendidikan lebih diutamakan untuk penuntasan wajib belajar 9 tahun dan pendidikan kejuruan dalam rangka mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) di kabupaten Sampang dalam menyongsong industrialisasi pasca realisasi Jembatan Suramadu. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas anggaran, diperlukan penelitian tentang “efisiensi dan efektivitas belanja publik” khususnya belanja publik yang dilaksanakan pada program pelayanan dasar pendidikan dimana perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan diharapkan mampu menjawab permasalahan di atas.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis masalah berikut ini: 1) Menganalisis efisiensi belanja publik Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun, dan 3) Menganalisis efektivitas belanja publik Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam pelaksanaan program Wajib Belajar (Wajar) pada capaian: (a) Pemerataan perluasan akses pendidikan, dan (b) Mutu Pendidikan 1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah daerah Kabupaten Sampang, khususnya bagian perencanaan daerah di kabupaten Sampang. Dinas pendidikan selaku pelaksana teknis dari program-program penyedia pelayanan publik. Di samping itu dari hasil penelitian ini diharapkan dapat pula menjadi bahan informasi bidang pengelolaan keuangan dan bahan kajian bagi mahasiswa pascasarjana yang memiliki minat untuk mendalami efisiensi dan efektivitas belanja publik di era otonomi dan desentralisasi fiskal. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Barang Publik Penganut aliran ekonomi klasik menegaskan bahwa campur tangan pemerintah tidak diperlukan dalam perekonomian, kecuali pada hal-hal tertentu misalnya penetapan harga dan distribusi karena dengan asumsi bahwa bahwa masalah ekonomi akan dapat di atasi dalam sendirinya melalui mekanisme pasar. Tetapi pada kenyataan mekanisme pasar yang berlangsung di negara- berkembang mekanisme pasar seringkali gagal mengatasi permasalahan ekonomi, sehingga dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mengantisipasi masalah yang terjadi dalam perekonomian. Beberapa ahli ekonomi membahas tentang penyediaan barang dan jasa publik yang dibiayai dengan pajak yang dipungut dari masyarakat. Pigou berpendapat bahwa barang publik harus disediakan sampai suatu tingkat dimana kepuasan marginal (marginal utility) akan pajak yang dipungut untuk membiayai program-program pemerintah atau untuk penyediakan barang publik.
1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Sejauh mana tingkat efisiensi belanja publik Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang dalam melaksanakan program Wajib Belajar (Wajar), dan 2) Sejauh mana efektivitas belanja publik Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam melaksanakan program Wajib Belajar (Wajar) ditinjau dari: (a) Pemerataan perluasan akses pendidikan, dan (b) Mutu Pendidikan.
4
Gambar 2.1 Penyediaan dan pembiayaan barang publik yang di Optimalkan (Pigou).
agar alokasi sumber daya ekonomi dapat tercapai secara efisien. Kegagalan pasar dapat terjadi karena adanya faktor-faktor di bawah ini yaitu: a. Adanya barang bersama (common goods) b. Adanya unsur ketidaksempurnaan pasar c. Adanya barang publik d. Adanya ekternalitas e. Adanya pasar yang tidak lengkap (incomplete market). f. Adanya kegagalan informasi g. Adanya ketidakpastian (uncertainty) Penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah sering mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak tentang ketidak efisienan dan ketidak efektivan pengelolaan yang dilakukan untuk menyediakan pelayanan jasa publik kepada masyarakat. Misalnya pelayanan akan kebutuhan dasar dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infra struktur, kegiatan pemerintah ini oleh sebagian masyarakat dinilai masih belum menunjukkan efisiensi dan bahkan sering mengalami kegagalan dalam menjalankan kebijakan yang diambil. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Raksohadiprodjo (2001) bahwa kegagalan pemerintah dalam menjalankan program-program karena: 1. Pemerintah tidak dapat mengantisipasi kebijakan yang diambil. Sering kebijakan yang diambil menimbulkan reaksi masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Misalnya pemerintah memberikan subsidi pada BBM, namun ternyata yang memanfaatkan adalah orang kaya. 2. Pemerintah terbatas di dalam mengendalikan akibat kebijaksanaan. Misalnya saja, pemerintah mengendalikan harga sewa rumah agar si miskin dapat menyewa rumah secara murah. Ternyata ternyata pengembang mengalihkan investasinya pada proyek yang lain. 3. Pemerintah dalam membuat kebijaksanaan sering tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya karena birokrasinya tidak mampu. 4. Pemerintah pada hakekatnya memberikan pelayanan pada kelompok tertentu atau kepentingan tertentu (vesed intrest) dan mungkin memiliki kepentingan sendiri (self-interest), serta sering bertentangan dengan kepentingan (conflict interest).
Kurva Penyediaan barang publik yang optimal Kepuasan batas akan barang pemerintah
Budget Pemerintah
Kurva kepuasan marginal akan barang publik ditunjukkan oleh kurva UU. Kurva UU tersebut mempunyai bentuk menurun yang menunjukkan bahwa semakin banyak barang publik yang dihasilkan maka akan semakin rendah kepuasan marginal yang dirasakan oleh masyarakat. Dilain pihak, pajak merupakan pungutan yang dipaksa oleh pemerintah sehingga pembayaran pajak menimbulkan rasa tidak puas bagi masyarakat yang membayar pajak. Karena itu kurva ketidakpuasan marginal masyarakat ditunjukkan oleh titik O ke bawah dan kurva ketidakpuasan ditunjukkan oleh kurva PP. Pada titik F kepuasan marginal barang publik (jarak CF) lebih kecil daripada ketidakpuasan masyarakat akan pembayaran pajak (FI) sehingga pemerintah diharapkan untuk memperkecil anggaran untuk menghasilkan barang-barang publik yang lebih sedikit. Sebaliknya pada titik D kepuasan marginal masyarakat akan barang pemerintah lebih besar (jarak AD) daripada ketidakpuasan marginal masyarakat dalam membayar pajak (jarak DG). Titik E adalah keadaan yang optimum di mana bagi masyarat, kepuasan marginal untuk barang publik sama dengan ketidakpuasan marginal dalam hal pembayaran pajak (Mangkoesoebroto: 1993). Due dan Friedlander (1983) mengemuka-kan sifat pokok daripada barang umum (barang publik) adalah barang ini tidak dapat dimiliki. Jadi sekali sudah tersedia, maka barang tersebut sudah tersedia secara merata bagi semua orang. Akibatnya adalah konsumsi barang umum (publik) oleh satu orang tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, dan oleh karena itu tidak perlu bagi seseorang yang memilikinya agar dapat memanfaatkannya. Disamping itu barang-barang publik mempunyai dua sifat yaitu tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya dan tidak dikecualikan Dalam hal terjadinya kegiatan pasar, maka pemerintah diharapkan untuk ikut campur tangan 5
2.2 Desentralisasi Pendidikan Pengertian desentralisasi menurut Rondinelli dalam Adnan (2001) adalah transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang berada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba. Desentralisasi, menurut Sidik (2002), dapat menjadi alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih demokratis. Disentralisasi dalam pendidikan merupakan kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk jenjang sekolah dasar (SD-MI), pemerintah daerah berperan cukup besar terutama dalam penyediaan sarana, prasarana dan personil. Pada jenjang pendidikan dasar ini, sarana fisik sekolah menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional melalui mekanisme kontrol ditingkat kabupaten/kota. Kewenangan daerah dalam pendidikan akan meningkatkan responsifitas birokrasi terhadap keinginan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, dikaitkan dengan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pelayanan publik dalam hal ini pedidikan, meurut Sidik (2002) diperlukan sedikitnya tujuh syarat bagi keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yaitu (i) realistis, (ii) keselarasan kewenangan dengan sumber daya, (iii) partisipasi publik, (iv) transparansi dan informasi (v) mekanisme penyaluran aspirasi (vi) sistem akuntabilitas publik, dan (vii) peraturan perundangundangan yang mendukung kepentingan publik.
serta potensi daerah dengan berpedoman pada Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan produktifitas. 2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas pemerintah dan pembangunan. 3. Anggararan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor secara berkesinambungan dalam mendukung pengyempurnaan maupun memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan skala prioritas. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan, dan pertanggungjawaban daerah (Devas, 1989; Bastian, 2002). Keuangan daerah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses atau alur kegiatan dalam pengelolaan keuangan dearah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggung-jawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah itu sendiri (Mamesah, 1995). Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah tentunya tidak dapat dipisahkan dengan penglolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen yang dipakai sebagai tolak ukur dalam meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah (Barata dan Trihartanto, 2004). Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama DPRD harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sehingga terpenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (Kaho, 1997).
2.3 Keuangan Daerah Keuangan daerah sedehananya dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (Wojang, 1995). Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah disesuaikan dengan situasi dan kondisi 6
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. PAD terdiri dari; a) Hasil Pajak Daerah, yang meliputi: (1) pajak hotel, (2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5) pajak penerangan jalan, (6) pajak pengambilan dan pengelolahan bahan galian golongan C, dan (7) pajak parker. b) Hasil Retribusi Daerah. c) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. d) Lain-lain PAD yang sah. 2. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan derah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Adapun tujuan Dana Perimbangan adalah: (1) dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, (2) menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan (3) memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. Dana Perimbangan terdiri dari; Bagian daerah dari perimbangan; Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman Daerah, dan Lain-lain penerimaan yang sah. Pengeluaran atau belanja pemerintah daerah kabupaten/kota untuk keperluan pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat yang dibiayai melalui APBD. Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan meliputi belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak tersangka. Sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, struktur belanja pemerintah daerah, terdiri atas;
1. Belanja Rutin/Operasional (Recurrent Expenditure). Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah asset atau kekayaan bagi daerah. Belanja rutin ditujukan terutama untuk menggerakkan roda pemerintahan seharihari, dalam kondisi keterbatasan keuangan daerah maka belanja rutin ini perlu lebih diupayakan adanya penghematan sehingga mampu melakukan tabungan (saving) guna membiayai kegiatan proyek pembangunan. Hal ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk membiayai kegiatan pembangunan mempunyai nilai pengganda (multiplier) yang lebih besar daripada pengeluaran rutin. Belanja rutin terdiri dari: a) Belanja administrasi umum, terdiri dari: 1) Belanja pegawai, 2) Belanja barang, 3) Belanja perjalan dinas, dan 4) Belanja pemeliharaan. b) Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana 2. Belanja investasi/pembangunan (Invesment/ Capital Expenditure). Belanja investasi/ modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah asset atau kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Penyusunan belanja pembangunan selalu didasarkan pada kebutuhan nyata dari masyarakat tingkat bawah, untuk menentukan alokasi belanja pembangunan terhadap proyek-proyek yang dibangun, inisiatif harus datang dari masyarakat itu sendiri melalui lembaga pemerintahan yang berada ditingkat bawah. Sesuai dengan Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P3D), bahwa mekanisme perencanaan pembangunan di daerah merupakan perpaduan antara perencanaan dari bawah (Bottom Up Planning) dengan perencanaan dari atas (Top Down Planning). Perencanaan dari bawah bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat tentang permasalahan dan 7
kebutuhan pembangunan, sedangkan perencanaan dari atas merupakan kebijakan pusat di daerah yang tercermin dari pencapaian tujuan program yang telah disusun secara nasional. Belanja investasi/pembangunan terdiri dari: a) Belanja publik adalah belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan aset daerah (Permen no 59 tahun 2007) b) Belanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang. c) Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria: 1) Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan penjualan. 2) Tidak mengharapkan dibayar kembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman. 3) Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi. 3. Pengeluaran Tidak Tersangka. Pengeluaran tidak tersangka adalah pengeluaran yang disediakan untuk pembiayaan: a) Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah. b) Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan/atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan. c) Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang
dibebaskan (dibatalkan) dan/atau kelebihan penerimaan. Implikasi pelaksanaan otonomi daerah bahwa pemerintah daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, yang tidak terlepas dari kesiapan masing-masing daerah yang menyangkut masalah pendanaan (Yuliati, 2001). Oleh karena itu, pemerintah daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaiknya daerah yang miskin sumber daya alam menanggapinya dengan sedikit rasa khwatir dan was-was (Mardiasmo, 2004). Hal ini sangat dirasakan oleh daerah yang miskin sumber daya alam. Sumber pendapatan mereka hanya akan berasal dari pendapatan asli daerah yang berupa PBB dan BPHTB, serta dari hasil pungutan retribusi daerahnya, di samping sumber dana dari subsidi atau bantuan pemerintah pusat (Suparmoko, 2002). Kenyataan menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur pendapatan dan belanja daerah relatif masih sangat rendah. 2.4 Efisiensi Belanja Publik. Besaranya anggaran yang dikeluarkan dalam menghasilkan barang dan jasa publik, akan tergantung pada banyaknya input yang digunakan dan banyaknya harga dari input itu. Maka jika harga input naik, sudah pasti pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk penyediaan output dalam jumlah yang tetap. Pemerintah dapat melakukan alih teknologi dengan mengurangi jumlah input relatif yang mengalami kenaikan harga. Namun jika itu dilakukan oleh pemerintah, total belanja akan mengalami peningkatan, meskipun peningkatannya tidak sebesar seandainya pemerintah tidak melakukan pengurangan jumlah input. Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan pada harga input akan mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan pengeluarannya, kecuali jika ouput langsung dikurangi atau jika ada teknologi-teknologi baru yang memungkinkan dapat menghasilkan ouput tetap dengan jumlah input yang lebih sedikit. Upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh produksi yang sebanyak-banyaknya merupakan efisiensi sebagai mana Soekarwati (1990). Hal tersebut dapat dicapai pada situasi dimana produksi marginal (MP) sama dengan harga input (P), dengan 8
formulasi MP = P atau MP/P. Namun pada kenyataannya MP tidak selalu sama dengan P. Selanjutnya Wijaya (1990) mengartikan efisiensi sebagai suatu keadaan dimana perekonoomian beroperasi pada titik disepanjang garis kemungkinan produksi, yang berarti perekonomian bekerja secara efisien. Agoes (2004) menilai efisiensi, efektivitas dan keekonomisan dari setiap fungsi yang terdapat dalam perusahan. Misalkan: fungsi penjualan dan pemasaran, fungsi produksi, fungsi pergudangan dan distribusi, fungsi sumber daya manusia, fungsi akuntansi, serta fungsi keungan. Jika suatu goal, objective, program dapat tercapai dalam batas waktu yang ditargetkan tanpa memperdulikan biaya yang dikeluarkan, maka hal tersebut dikatakan efekttif. Jika dengan biaya (input) yang sama bisa dicapai hasil (output) yang lebih besar, maka hal itu disebut efisien. Jika suatu hasil (output) bisa diperoleh dengan biaya (input) yang lebih kecil/murah dengan mutu ouput yang sama, maka hal tersebut disebut ekonomis. Gregor dan Swales (2005), dalam Cumbers (2006) menyatakan bahwa infestasi sektor publik memiliki prinsip yang sangat berbeda dengan sektor privat, hal ini menjadi penting sebagai sebuah pemikiran bahwa sektor publik adalah sangat besar peranannya dalam penyediaan barang dan jasa kolektif, dibanding-kan dengan sektor privat yang biasanya tidak melakukan investasi untuk barang kolektif. Analisis maslah alokasi sumber daya yang efisien, akan membantu membandingkan diagram permintaan dan penawaran bagi barang prifat, sebagaimana gambar berikut ini:
titik ‘E’ yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran. Harga sama dengan OC dan output OH, dengan catatan bahwa OF dibeli oleh A dan OG oleh B dimana OF+OH = OH. Pada bagian sebelah kanan memperlihatkan pola yang sama tetapi untuk barang publik. Kita asumsikan untuk tujuan ini bahwa konsumen ingin menyatakan penilaian marginal mereka terhadap barang publik, katakanlah dengan pemisalan informasi prakiraan cuaca, yang sebagaimana lazimnya menyediakan laporan cuaca harian secara Cuma-Cuma, seperti seelumnya DA dan DB merupakan kurva permintaan A dan B, yang tergantung pada pendapatandan harga barang lainnya. Dalam keadaan tertentu, karena tidak realistis untuk menggap bahwa konsumen secara sukarela menyampaikan preferensinya, maka kurva tersebut disebut kurva permintaan samaran. Tetapi untuk pembahasan ini diandaikan bahwa referensi konsumen telah diungkapkan. Perbedaan terpenting dari kasus barang privat bahwa kurva permintaan pasar DA+B dicapai dengan menambahkan DA dan DB secara vertical dimana DA+B setiap jumlah barang tertentu. Hal ini terjadi karena kedua konsumen tersebut mengkonsumsi satu jenis barang yang sama dan setiap orang dianggap menawarkan harga yang sama dengan penilaian masingmasing terhadap unit marginal. Harga yang tersedia untuk menutupi biaya jasa sama dengan jumlah harga barang yang dibayar oleh masing-masing konsumen. ‘S’ merupakan kurva penawaran, memperlihatkan biaya marginal (yang dibebankan pada A dan B secara berasama-sama) untuk berbagai ouput dari barang publik. Tingkat output keseimbangan OH pada kasus barang privat, kini sama dengan ON yang merupakan jumlah konsumsi oleh konsumen A dan B. Gabungan harga sama dengan OK, tetapi harga yang dibayar oleh A adalah OM sedangkan yang dibayar oleh B adalah OL, dimana OM+OL = OK. Kasus barang privat, memperlihatkan bahwa jarak vertikal dibaha setiap kurva permintaan menyatakan manfaat marginal yang diperoleh dari konsumsi. Pada titik keseimbangan ‘E’ baik manfaat marginal yang diperoleh A dangan dengan mengkonsumsi OF maupun manfaat yang diperoleh B dalam mengkonsumsi OG, sema dengan biaya margianal HE. Hal ini merupakan pemecahan yang efisiensi karena manfaat marginal sama dengan biaya marginal bagi setiap konsumen. Jika output tidak mencapai
Gambar 2.2 Barang privat dan Barang Publik Barang Privat
Barang Publik Harga Barang . Publik K
Sumber: Musgrave (1993)
Dari gambar di atas memperlihatkan pasar umum pada barang privat. DA dan DB merupakan permintaan barang si A dan B berdasarkan distribusi pendapatan dan harga barang lainnya dalam keadaan tertentu. ‘S’ merupakan kurva penawaran, dan keseimbangan ditentukan pada
9
OH, maka manfaat marginal melebihi biaya marginal dan masing-masing individu akan berkeinginan untuk membayar lebih besar daripada besarnya biaya yang dibutuhkan. Manfaat bersih akan diperoleh dengan memperbesar output selama manfaat marginal melebihi biaya marginal untuk melaksanakannya. Dengan demikian, manfaat bersih akan diperoleh dengan memproduksi OH unit, pada saat manfaat marginal itu sama dengan biaya marginal. Penurunan kesejahteraan terjadi jika output diperbesar melewati OH, karena biaya marginal akan melebihi manfaat marginal. Dari keterangan ini pula efisiensi dapat dikatakan sebagai capainan keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu dan ketidak efisienan dapat terjadi karena perilaku birokrat, dimana birokrasi cenderung menghasilkan barang dan jasa yang besar daripada yang seharusnya. Birokrasi sebagaimana juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, yaitu gaji, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya (Neskanen dalal Mangkoesoebroto 1997). Mahmudi (2009) mengatakan bahwa “biaya standar dapat digunakan sebagai alat untuk pengukuran kinerja yaitu dengan cara membandingkan biaya standar yang dianggarkan dengan realisasisi atau populer disebut dengan analisis varian”. Secara umum, jika tidak terjadi kejadian yang luar biasa, jika realisasi biaya ternyata lebih rendah dari besaran biaya yang diaggarkan berarti mampu melakukan efisiensi. Sebaliknya jika realisasi biaya lebih tinggi dari biaya yang dianggarkan maka kinerjanya dinilai kurang baik karena dimungkinkan terjadi pemborosan anggaran. Berdasarkan uruaian di atas, dapat dirumuskan suatu model pengukuran efisiensi untuk barang dan jasa publik dengan melakukukan proksi dan asumsi yang berlaku bagi barang dan jasa publik. Penyediaan barang pulik lebih mengutamakan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat sehingga dengan mendasarkan pada teori di atas bahwa efisiensi dapat diukur dengn rasiao antara realisasi program dan anggaran yang dapat diformulasi sebagai berikut: Efisiensi (E) = Realisasi Program – Anggaran Program Asumsi yang digunakan adalah: Jika E = 0, artinya pengadaan barang publik adalah
efisien Jika E > 1, artinya pengadaan/pengeloalaan barang dan jasa publik sangat efisien. Jika E < 1, artinya pengelolaan barang dan jasa publik adalah tidak efisien. Penentuan biaya beban biaya pada jasa dan barang publik didasarkan pada prinsip kesejahteraan umum, artinya tidak ada satupun dari anggota masyarakat yang merasa dirugikan di dalam penganggaran tersebut. Oleh karena itu pengukuran efisiensi dengan menggunakan prinsip realisasi program dikurangi anggaran program sama dengan nol merupakan salah satu ukuran efisiensi yang mengacu pada prinsip keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. 2.5 Efektivitas Belanja Publik Devas, dkk. (1989) menyatakan bahwa efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah haruslah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Selan dengan hal tersebut efektivitas menunjukkan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan (objectives), sehingga efektivitas hanya berkepentingan dengan keluaran (Jones; 1995). Agoes (2004) memaparkan bahwa efektivitas hanya berhubungan dengan pencapaian tujuan dan tidak mempertimbangkan biaya. Perbandingan antara masukan dan keluaran dalam berbagai kegiatan, sampai dengan mencapai tujuan yang ditetapkan, baik yang ditinjau dari kuantitas (valume) hasil kerja, kualitas hasil kerja, maupun batas waktu yang ditargetkan. Mahsun (2009) pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapain tujuan melalui hasilhasil yang ditampakkan yang berupa produk, jasa atau proses. Pada kebanyakan organisasi swasta, ukuran kinerja ini dapat berupa tingkat laba. Namun organisasi sektor publik tidak bisa menggunkan sektor laba untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi karena memang tujuan utamanya adalah kesejahteraan masyarakat. Oleh karena sifat dan karakternya yang unik, maka organisasi sektor publik memerlukan ukuran penilaian kinerja yang lebih luas, tidak hanya tingkat laba, efisiensi, dan tidak hanya finansial. 10
Pemerintah daerah dapat dianggap sebagai organisasi sektor publik yang menjadi pusat pertanggung jawaban. Pengendalian anggaran meliputi pengukuran terhadap output dan belanja yang riil dilakukan dibandingkan dengan anggaran. Sehingga anggaran yang merupakan alat strategi organisasi harus disiapkan dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi penyimpangan. Daerah merupakan bagian yang paling kompeten untuk menyiapkan anggaran karena merekalah yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan aktivitas pelayanan masyarakat, lebih lanjut Mahsun (2009) mengatakan bahwa fokus pengurkuran kinerja sektor publik justru terletak pada outcome (hasil) dan bukan pada output dan proses. Outcome yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan sektor publik. Dalam konteks daerah maka pelayanan publik, khususnya lembaga yang dibentuk untuk membidangi pemenuhan kebutuhan dasar (dinas pendidikan) yang kemudian merealisasikan program-progam pelayanan kepada masyarakat. Program lembaga dinas merupakan keputusan yang telah ditetapkan dalam restra daerah. Dimana setiap program sudah ditetapkan secara terperinci meliputi pembiayaan-pembiayan yang menggunanan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dari beberapa konsepsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas pelayanan publik tidak berorientasi terhadap laba, tetapi berorientasi pada pelayanan. Dimana membandingkan kinerja tahun tahun ini dengan tahun lalu atau membandingkan kinerja dengan berbagai standar yang diturunkan dari pemerintah pusat atau daerah sendiri merupakan upanya pengukuran kinerja (Mahsun 2009). Pemerintah dengan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) khususnya bidang pendidikan KEPMEN Nomor 129a/U/2004 yang merupakan tolak ukur pelayanan publik pemerintah daerah. Hal ini juga dipertegas oleh ketentuan umum pada Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan publik penyelenggara pelayanan publik adalah lembaga yang semata-mata dibentuk menurut perundang-undangan semata-mata untuk memenuhi untuk kegiatan pelayanan publik. Belanja publik dikatan efektif dengan melihat capaian dari kinerjanya yang kemudian dibandingkan dengan SPM atau secara relatif membandingkan capaian kinerja tahun ini dengan tahun sebelumnya (20072008). Berikut ini adalah
SPM yang menjadi acuan dalam pelaksanaan program. 1. Angka partisipasi murni (APM) SD/MI adalah jumlah penduduk usia sekolah (7-12 tahun) yang bersekolah SD/MI minimal 95% dari jumlah penduduk. 2. Angka partisipasi murni (APM) SMP/MTS adalah jumlah penduduk usia sekolah (13-15 tahun ) yang bersekolah SMP/MTS minimal mencapai 90% dari jumlah penduduk. 3. Angka putus sekolah (APTS) SD/MI dan SMP/MTS tidak melebihi 1 persen dari keseluruhan jumlah siswa yang bersekolah. 4. 95% dari jumlah siswa yang lulus SD/MI melanjutkan ke SMP/MTS. 5. 70% dari jumlah siswa yang yang lulus SMP/MTS melanjutkan ke SMA/SMK. 6. Nilau rata-rata Ujian Nasional (Unas) SMP/MTS memenuhi ketentuan badan standar nasional pendidikan (BSNP) yaitu 5,00 tahun 2007; 5,25 tahun 2008; dan 5,50 untuk tahun 2009. Dengan merujuk pada KEPMEN 129a/U/2004 tentang SPM pendidikan dasar untuk efektivitas menunjukkan menunjukkan manfaat yang diperoleh oleh penduduk (siswa) karena program Wajar yaitu angka partisipasi murni SMA/MA/SMK. 2.6 Penelitian Terdahulu Ada beberapa peneliti yang sudah melakukan penelitian mengenai efisiensi maupun efektivitas belanja, begitu pula penelitian tentang anggaran pendidikan, dan berikut ini gambaran singkat mengenai hasil penelitian tersebut. Penelitian yang Toyama (2004) tentang aloksai anggaran pendidikan di era otonomi daerah dimana implikasinya terhadap pengelolaan pelayanan pendidikan dasar dengan input anggaran dan yang menjadi ouput adalah belanja menghasilkan penemuan bahwa anggaran pembangunan sektor pendidikan di daerah sampel, rata-rata sekitar 8% dari total anggaran pembangunan atau sekitar 2% dari total APBD. Temuan ini, memiliki kontradiksi dengan fakta yang terjadi pada kabupaten sampang yang menetapkan pagu anggaran pendidikan yang tinggi (35% dari APBD pada tahun 2008 dan 21% pada tahun 2009). Ismail (2006) meneliti efisiensi relatif kantor pelayanan pajak bumi dan banunan di jawa timur dengan input biaya personalia, biaya sarana fisik, dan jumlah pegawai dan output kredit yang 11
KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Kerangka Konseptual Kegagalan pasar atau tidak tersedianya barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam suatu perekonomian, karena sifat barang dan jasa tersebut diperuntukan bagi kepentingan orang banyak dan tanpa memandang kepada siapa barang itu diperuntukkan, sehingga dalam kondisi sedemikian barang dan jasa tersebut harus dihasilkan oleh pemerintah. Pelayanan akan kebutuhan dasar sangatlah penting mengingat pendidikan dapat dikatakan sebagai barang publik. Dalam pelaksanaannya daerah dituntut untuk cermat membaca orientasi pendidikan secara nasional, pemerintah propinsi dan hasil musrembang yang kemudian teraktualisasikan dalam RPJMD sebelum kemudian diterjemahkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) menjadi Renstra. RPJMD yang melahirkan ketetapan target dan pagu anggaran sudah seharusnya dapat terlaksa secara efisien dan efektivitas, dengan begitu pemerintah dan masyarakat bisa mengetahui sejauh mana capaian dari rencana yang telah dibuat. Pengukuran efisiensi dapat dilihat dengan menghitung rasio biaya untuk mencapai tujuan dari program, sedangkan efektivitas dapat dilihat dengan merujuk pada standar pelayanan minimal yang merupakan ukuran dari kinerja pelayanan publik dibidang pendidikan. Dinas pendidikan selama 3 tahun atau sejak diberlakukannya program wajib belajar 9 tahun ditetapkan anggaran pada tahun 2007 sebesar 34%, 2008 35% dan tahun 2009 21%. Naik dan turunnya anggaran ini menarik untuk diketahui sejauh mana tingkat efisiensi belanja publik dan efektivitasnya belanja ditinjau dari tujuan program Wajar yaitu perluasan akses dan mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan. Gambar 3.1 Kerangka Pikir
diberikan dan surat berharga. Temuan dalam penelitian ini bahwa KP PBB di Jawa timur secara umum kinerja relatif baik dimana secara rata-rata pencapaian efisiensi di atas 78 %. Jika dicermati efisiensi yang dalam pelaksaan dalam birokrasi pemerintah masih belum optimal pelaksanaannya. Mualiman (2003) yang meneliti tentang efisiensi perbankan di indonesia dengan input biaya tenaga kerja dan dana dengan ouput kredit yang diberikan dan surat berharga, sampel penelitan 167 buah bank dgn observesi 17034. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank dengan kategori bank asing campuran merupakan yang paling efisien dibanding dengan yang lain. Artinya bank campuran memiliki efisiensi lebih tinggi daripada bank yang berada dalam pengelolaan pemerintah atau yang berbadan usaha milik negara (BUMN). Makmun (2002) meneliti tentang efisiensi kinerja asuransi pemerintah dengan sampel 9 BUMN, penelitian ini menggukan input gaji pegawai dan anggaran sedangkan ouputnya adalah laba bersih yang diperoleh. Melalui metode kuantitatif hasil penelitan menunjukkan bahwa temuan penting dalam penelitian ini secara umum kinerja asuransi menunjukkan adanya penurunan. Namun dilihat dari tingkat efisiensi relatif PT.Taspen dan PT. Jiwasraya jauh tertinggal dibanding asuransi milik pemerintah. Nurdin (2006) meneliti tentang efektivitas belanja publik terhadap pelayanan publik dengan studi kasus pelayanan dibidang pendidikan, kesehatan, dan prasarana jalan kota Magelang. Dengan input belanja daerah dan ouput pelayanan publik, hasil temuan menunjukkan bahwa penggunaan belanja daerah di Kota Magelang mulai tahun 2003 sudah cukup efektif ditinjau dari sisi manajerial maupun manfaat yang diterima oleh masyarakat. Jong, Et.Al., (2000) dengan metode kualitatifnya meneliti investasi pemerintah dalam melakukan pelayanan publik, hasil penelitiannya menemukan bahwa kelebihan investasi dapat menimbulkan ketidak efisienan. Artinya dana yang dikeluarkan untuk pengelolaan jasa sektor publik lebih besar dari yang sebernarnya dibutuhkan. Meskipun penelitian ini tidak dapat di generalisir, namun dari beberapa penelitan di atas Toyama (2004), Ismail (2006), Mualiman (2003), Makmun (2002) memiliki penemuan yang menunjukkan efisiensi yang belum maksimal.
Belanja Tidak
Efektifitas
*
Output: 1 APM,AM,APTS,Ur
f _ [
12
*
Pertmb. Eko.
I
1 as
1
Belanja La{igsung
Keterangan: Gambar kerangka pikir di atas merupakan fokus peneliti yang menempatkan analisis efisiensi dan efektivitas belanja publik. Dimana efisiensi akan menganalisis realisasi program Wajar ditinjau dari sisi anggaran yang digunakan sedangkan untuk efektifitas akan ditinjau dari output yang dicapai yaitu: (a) Pemerataan perluasan akses pendidik dari capaian angka partisipasi murni (APM) dan angka melanjutkan (AM); (b) Mutu pendidikan dari capaian angka putus sekolah(APTS) dan nilau ujian nasional (Unas) yang diananlisis dengan ketentuan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pendidikan dasar. Oucome atau dampak/manfaat akan dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten, dan Dinas Pendidikan kabupaten (Disdik). 4.1.2 Fokus Penelitian Untuk menghindarkan penelitian dari data yang tidak relevan dengan masalah dan tujuan penelitian, sekaligus untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak melebar, perlu ditentukan fokus penelitian. Menurut Moleong (2004) fokus penelitian berfungsi untuk memilih data yang relevan, meskipun suatu data menarik tetapi karena tidak relevan maka tidak perlu dimasukkan dalam data yang dikumpulkan. Secara spesifik fokus penelitian tersebut adalah untuk menganalisis efisiensi dan efektivitas belanja publik pada dinas pendidikan Kabupaten Sampang. Karena pelayanan publik dibidang pendidikan memiliki ketentuan dalam Keputusan Mentri (Kepmen) Nasional nomor 129a/U/2004 yaitu Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan, maka target dalam Rensra daerah juga harus dilihat dengan menggunakan SPM. Efektivitas akan dicapai jika SMP terpenuhi, dalam hal ini belanja publik Disdik dapat dikatakan sukses. Sedangkan untuk mengukur tingkat efisiensinya digunakan analisis terhadap realisasi biaya program di bandingkan dengan anggaran program yang tersedia dengan melihat laporan kerja program pelayanan dibidang pendidikan.
METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu maka penelitian ini dilaksanakan melalui survei terhadap belanja publik program Wajib Belajar (Wajar) yang diselenggaran oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang. Data yang akan digunakan adalah data sekunder selama (2007-2009) tahun pelaksanaanya. Dengan paradigma kuantitaf data yang terkumpul akan dianalisa secara kritis, guna menjelaskan menjelaskan masalah penelitian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu. Oleh kerena itu, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas belanja publik yang dilakukan oleh Disdik Kabupaten Sampang. Peneliti berupaya mengembangkan konsep dan fakta secara mendalam untuk menjawab pertanyaan, Sejauh mana tingkat efisiensi dan efektivitas belanja publik program Wajar. Dengan mengacu pada latar belakang maka tempat penelitian di lakukan di dinas pendidikan Kabupaten Sampang, Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 bulan, yakni bulan juni sampai dengan juli tahun 2010.
4.2 Analisa Data 4.2.1 Efisiensi Belanja Publik. Analisis efisiensi belanja publik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar efisiensi dari suatu penggunaan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan/ proyek. Analisa anggaran merupakan pengukuran kineerja yang dilakukan dengan membandingkan anggaran dan realisasinya (Mahsun 2009). Hasil yang diperoleh berupa selisih lebih (favourable variance) atau selisih kurang (unfavourable variance). Teknik ini berfokus pada kinerja input yang bersifat finansial. Data yang digunakan untuk dasar analisa adalah anggaran dan laporan realisasi anggaran yaitu Laporan Pertanggung Jawaban Bupati (LKPJ) Dinas Pendidikan. Proporsi belanja publik pada dinas pendidikan ada pada program wajib belajar (WAJAR) sehingga menjadi sampel dalam penelitian ini. Anggararan yang terealisasi dalam pelaksanaan program dan anggaran yang disediakan untuk pelaksaanaan program merupakan fokus utama menilai efisiensi.
4.1.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi, yaitu melakukan penelusuran terhadap berbagai dokumen yang sudah ada serta dokumen lain yang terkait dengan studi ini. Sumber dokumen yang dimaksud berasal dari instansi yang berwenang mempublikasikan data tersebut, yakni Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten, Badan 13
Dengan mengacu pada kajian teori yang telah disampaikan pada bab terdahulu. Untuk menganalisis efisiensi pada belanja publik studi kasus pada program WAJAR dinas pendidikan kabupaten sampang yang dilaksakan pada tahun 2007-2009 dapat dirumuskan sebagaimana berikut: Efisiensi (E) = Realisasi program – Anggaran program (biaya untuk pelaksanaan program) Asumsi yang digunakan adalah: Jika E = 0, artinya pengadaan barang publik adalah efisien Jika E > 1, artinya pengadaan/pengeloalaan barang dan jasa publik sangat efisien. Jika E < 1, artinya pengelolaan barang dan jasa publik adalah tidak efisien. Penentuan biaya pada jasa dan barang publik didasarkan pada prinsip kesejahteraan umum, artinya tidak ada satupun dari anggota masyarakat yang merasa dirugikan di dalam program tersebut. Oleh karena itu pengukuran efisiensi dengan menggunakan prinsip penerimaan dikurangi biaya sama dengan nol merupakan salah satu ukuran efisiensi yang mengacu pada prinsip keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. Analisis dengan yang mengacu pada daya serap memiliki kelemahan, dimana anggaran tidak selalu mencerminkan capaian dari program. Untuk menganalisa capaian tersebut maka anggaran akan dinilai sebagai input dan tujuan dari Wajar akan menjadi ouputnya, sebagaimana rumus berikut ini:
Keterangan: Tujuan dari program Wajar adalah pencapaian angaka partisipasi murni (APM) atau jumlah penduduk usia sekolah yang menikmati pendidikan. Oleh karena itu anggaran yang terserap pada program wajar memiliki korelasi dengan APM. Perbandingan input : output antar tahun selama pelaksanaan program Wajar akan diketahui dari besar dan kecilnya capaian dan capaian output. 4.2.2 Efektivitas Belanja Publik Efektivitas berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan suatu aktivitas sektor publik, sehingga suatu kegiatan akan dikatakan efektif bilamana kegiatan dimaksud mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kemampuan penyediaan layanan publik, yang tidak lain merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya (Devas 1989, Jones 1995, Suadi, 1997). Outcome yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi tolak ukuran keberhasilan sektor publik (Mahsun 2009). Peneliti dengan mengacu pada pelaksanaan program pada tahun sebelumnya dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) khususnya bidang pendidikan Kepmen Nomor 129a/U/2004 dan Permen no 45 tentang Standar Nilau Ujian Nasional (UNAS) sebagaimana dalam kajian terdahulu, maka: o APM SD/MI 95% dan APM SMP/MTS 90% o APTS SD/MI dan SMP/MTS tidak melebihi 1% o 95% AM ke SMP/MTS dan 70% AM ke SMA/SMK. o Unas SMP/MTS 5,00 tahun 2007; 5,25 tahun 2008; dan 5,50 tahun 2009, maka efektivitas belanja publik akan terjadi jika: Output = SPM atau Output > SPM Output > Output tahun sebelumnya Capaian output yang dimaksud adalah tujuan dari program Wajar: 1. Pemerataan perluasan pendidikan yang akan difokuskan pada angka partisipasi murni (APM) dan angka melanjutkan (AM), dan 2. Mutu pendidikan yang akan difokuskan pada angka putus sekolah (APTS), dan capaian nilai ujian nasional (Unas). Sedangkan untuk capaian outcome akan dianalis dari sisi tujuan utama program Wajar yaitu angka partisipasi murni (APM) kemudian didibandingakan dengan laju Pertumbuhan Ekonomi dengan asumsi bahwa semakin tingginya angka partisipasi, maka angka penduduk yang terpelajar sehingga keuntungan selanjutnya adalah penduduk akan lebih terampil dan akan mempengaruhi sisi pendapatannya. Hal ini sesuai dengan rumus berikut ini:
Keterangan: Efektivitas program Wajar akan dicapai jika tujuan dari program Wajar dapat memenuhi standar pelayanan minimal (SPM), untuk mengetahui sejauh mana dan perbandingannya
dengan tahun sebelumnya akan dianalisis dengan membandingkan capaian laju pertumbuhan ekonomi sebagai outcome dari Wajar.
Tabel. 5.1 Realisasi Anggaran Dinas Pendidikan (rupiah)
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Batas wilayah Kabupaten Sampang secara administratif adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bangkalan. Dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam sebesar 855,104 orang (BPS 2007), homogenitas keagamaan ini turut mendorong adanya identitas keagamaan masyarakat Madura yang “religius dan Islami” (RPJMD Kab Sampang, 2008-2013). Pesantren yang ada di Kabupaten Sampang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni pesantren modern, pesantren semi modern, dan salaf. Di luar pondok pesantren juga berkembang dengan subur lembaga madrasah diniyah, dengan santri yang belajar di madrasah diniyah pada umumnya adalah anak-anak usia SD baik yang bersekolah di SD atau MI. Pada umumnya waktu belajar adalah sore hari, selepas mereka belajar di sekolah/madrasah umum. Jumlah penduduk Kabupaten Sampang pada tahun 2008 sebesar 810.171 jiwa dengan angka pertumbuhan rata-rata adalah 1,8% per tahun. Struktur kependudukan Kabupaten Sampang merupakan struktur penduduk muda, dengan jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun mencapai lebih dari 40%, Kemiskinan menjadi masalah besar bagi penduduk Kabupaten Sampang, data dalam RPJMD Kabupaten Sampang tahun 2008 -2013 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin Kabupaten Sampang mencapai 70%, tersebar secara merata disemua kecamatan.
Tahun
Belanja Pemda
Belanja Disdik
%
Pert.
2007
478.640.637.539
191.619.901.286
40,03
57,93
2008
568.881.450.853
217.257.786.138
38,19
13,38
2009
848.331.198.656
270.775.953.868
31,92
24,63
Sumber Data : Dispendaloka 2009.
Data tabel 5.1 di atas anggaran tahun 2009 diketahui bahwa pagu anggaran pada tahun 2009 mengalami penurunan yaitu 21% atau lebih kecil dari tahun 2008 sebesar 35% dari APBD, namun secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar 24,63% dari tahun 2008. Artinya besar dan kecilnya anggaran tidak selalu mencerminkan besarnya nominal anggaran karena besar dan kecilnya APBN yang menentukan pertumbuhan nominal anggaran yang sebenarnya diterima oleh dinas pendidikan. Distribusi anggaran belanja tidak langsung dan belanja langsung sepertihalnya yang terjadi secara nasional bahwa belanja tidak langsung masih mendonminasi anggaran yang diterima oleh dinas pendidikan. Belanja tidak langsung pada tahun 2007 mencapai 59,02%, pada tahun 2008 dan 2009 belanja tersebut memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Sedangkan untuk belanja langsung pada tahun 2007 masih sebesar 40,98%, kemudian menurun pada tahun 2008 menjadi 33,82% atau mengalami minus perumbuhan sebesar 6,44% jika dibandingkan dengan tahun 2008 dan kembali menurun pada tahun 2009 yaitu 29,23%. Secara persentase anggaran belanja langsung pada tahun 2009 memang menurun jika dibandingkan dengan tahun 2008 namun secara nominal, kondisi yang sebenarnya adalah tumbuh sebesar 8,05%. Tabel. 5.2 Distribusi Anggaran Dinas Pendidikan (%)
5.2 Hasil dan Pembahasan Realisasi anggaran anggaran belanja yang diterima oleh dinas pendidikan selama 3 tahun terakhir menunjukkan penerimaan yang selalu di atas pagu anggaran yang ditetapkan. Dimana persentase yang sebenarnya dapat dilihat sebagaimana tabel berikkut.
Belanja Dinas Pendidikan Tahun
Pert.
Belanja Langsung % 22,16
Pert.
2006
Belanja tidak langsung 77,84
2007
59,02
19,74
40,98
192,1
2008
66,18
27,14
33,82
-6,44
2009
70,68
33,11
29,32
8,05
Ratarata
68,43
31,57
Sumber : LKPJ Bupati, diolah
Semakin menurunnya persentase belanja langsung tidak terlepas dari kebutuhan anggaran untuk 15
belanja langsung program pembangunan (program dinas untuk bidang pendidikan). Belanja langsung atau belanja publik mencapai rata-rata 31,57%. Belanja 71,27% selama 3 tahun terakhir diperuntukkan untuk program wajib belajar (Wajar). Trend anggaran yang diterima oleh program wajar mengalami peningkatan yang tinggi yaitu 57% pada tahun 2007 kemudian menjadi 85% pada tahun 2009. Artinya program Wajar merupakan program yang menjadi skala prioritas dinas pendidikan. Tabel 5.3 Sisa Anggaran Belanja Wajar (Rupiah) Tahu n
Anggaran
Realisasi
Sisa
44.927.723.40 0 41.817.731.41 1 3.109.991.989 2007 2008
52.193.094.10 0 36.647.479.35 0 15.545.614.75 0
yang kemudian menyebabkan ketidak efisienan belanja. Tabel 5.4 Efisiensi Belanja (Rupiah)
%
Anggaran
Realisasi
%
2007
44.927.723.400,00
41.817.731.411,00
0,93
2008
52.193.094.100,00
36.647.479.350,00
0,70
2009
67.924.979.760,00
66.321.117.775,00
0,98
Ratarata
55.015.265.753,33
48.262.109.512,00
0,88
Sumber : LKPJ Bupati, diolah
Tidak efisiennya belanja ditunjukkan oleh Belanja Wajar (E) < 1. Penyebab kelemahan dalam melakukan perencanaan karena perencanaan belum dilakukan dengan baik. Sub-program yang tidak terlaksana pada tahun 2009, sebernarnya adalah program yang tidak terlaksana pada tahun 2008. Seharusnya gagalnya sub-program tersebut tidak sampai berulang. Dari sisi yang berbeda bisa dikatakan adanya kondisi yang kurang kooperatif antara eksekutif dan legislatif, kewenangan kontrol dari lembaga legislatif masih kurang maksimal. Untuk mengetahui tingkat efisiensi yang diperoleh dengan melihat pada capaian output, atau dengan membandingan persentase serapan anggaran dengan capaian tujuan utama dari program Wajar yaitu Angka Partisipasi Murni (APM) dapat dilihat sebagaimana tabel 5.10 berikut: Tabel 5.5 Input – Output (%)
7% 30 % 2%
67.924.979.76 0 66.321.117.77 5 1.603.861.985 2009 Ratarata
Tahun
55.015.265.75 3 48.262.109.51 2 6.753.156.241
Sumber : LKPJ Bupati, diolah
Dari tabel di atas, sisa merupakan selisih anggaran dikurangi realisasi. Anggaran yang tersisa merupakan anggaran yang tidak terserap untuk melakukan pelayanan. Dari total anggaran rata-rata sebesar Rp. 55.015.265.753 terealisasi sebesar Rp. 48.262.109.512 dan tersisa Rp. 6.753.156.241 atau 12% anggaran yang tidak terserap pada program pelayanan. 5.2.1 Efisiensi Belanja Publik Program Wajar Pengukuran efisiensi belanja publik program wajar adalah dengan melihat selisih penggunaan anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan program dibandingkan dengan realisasi biaya program yang terlaksana. Secara relatif, tahun 2009 hampir semua program terlaksana jika dibandingkan dengan tahun 2008 dan tahun 2007. Berdasarkan pada temuan masih terdapatnya beberapa program yang tidak terlaksana, 4 program pada tahun 2008, 2 program pada tahun 2007, dan 1 program pada tahun 2009. Kondisi inilah yang kemudian memperbesar sisa anggaran belanja. Tidak efektifnya perencanan merupakan salah satu penyebabnya, hal ini diperkuat dengan adanya temuan bahwa program yang gagal pada tahun 2009 merupakan program yang gagal pada tahun 2008. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa besarnya sisa anggaran merupakan cerminan dari gagalnya pelaksanaan program
Tahun 2007
Serapan Anggaran 0,93
2008
0,70
2009
0,98
Rata-rata
0,88
APM SD/MI 99,74
APM SMP/MTs
98,67
76,49
95,07
76,70
97,83
73,43
67,10
Sumber : LKPJ Bupati, diolah Dari tabel di atas
menunjukkan bahwa serapan anggaran selama pelaksanaan program Wajar rata-rata mencapai 0,88% dengan sumbangan serapan tertinggi diberikan oleh tahun 2009 atau meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 0,70%. Pada sisi output untuk angka partisipasi SD/MI diperoleh rata-rata 97,83% atau sudah di atas ketentuan standar pelayanan minimal untuk bidang pendidikan. Untuk output angka partisipasi SMP/MTs mencapai rata-rata 73,43 atau sudah di atas standar pelayanan minimal. 16
Serapan anggaran program Wajar ternyata tidak terlalu mempengaruhi APM SD/MI. Dalam tabel inputoutput di atas, selama tiga tahun pelaksanaan program Wajar APM untuk SD/MI memiliki kecenderungan yang semakin menurun padahal dari sisi nominal serapan anggaran tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami peningkatan. Semakin menurunnya APM SD/MI bukan semata-mata karena faktor anggaran namun faktor jumlah anak usia sekolah dan faktor jumlah siswa yang putus sekolah. Sedangkan pada tingkatan SMPMTs serapan anggara memiliki korelasi yang positif, dimana peningkatan serapan anggaran berpengaruh secara positif pada jumlah APM.
2006/2007 sebesar 99,74%, tetapi telah mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan minimal sebesar 95%. Maka dengan jumlah APM > SPM maka untuk angka partisipasi dapat dikatakan efektif. Penurunan APM tersebut antara lain disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah kelompok anak berusia di bawah 7 tahun yang memasuki jenjang sekolah Dasar. Pada Tahun 2007/2008 terdapat 48.05 % anak kelas 1 SD yang berusia kurang dan sama dengan 6 tahun dan meningkat menjadi 52,8% pada Tahun 2009. Tingginya angka partisipasi sekolah SD/MI tersebut salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan layanan, yaitu tersedianya 1067 lembaga SD/MI dan daya tampung lembaga tersebut. Namun, jika dilihat dari distribusi siswa per sekolah menunjukkan distribusi yang tidak merata. Tabel 5.7 Jumlah Siswa Per Sekolah SD/MI Tahun 2008/2009
5.2.2 Efektifitas Program Wajar Di bawah ini akan dianalisa kinerja layanan pemerintah Kabupaten Sampang dalam penyelenggaraan pendidikan SD/MI dilihat berdasarkan dua aspek yaitu (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan (angka partisipasi dan angka melanjutkan), dan (2) peningkatan mutu pendidikan (angka putus sekolah dan nilai rata-rata ujian nasional).
Kategori Siswa 1. dibawah 90 2. 90 s.d. 140 2. 140 s.d. 190 3. 190 s.d. 240 4. 240 ke atas Total Sekolah
5.2.2.1 Partisipasi Sekolah SD/MI Partisipasi sekolah anak usia SD/MI dapat dilihat dari aspek angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi sekolah (APS), dan angka partisipasi murni (APM). Pada Tabel 5.6 dapat dilihat capaian APK SD/MI yaitu, indikator yang menunjukkan berapa besar persentase jumlah siswa SD/MI terhadap jumlah anak usia 7-12 tahun, APK mencapai 100,41% telah melampaui standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan sebesar 100%. Tabel 5.6 Angka Partisipasi Pendidikan SD/MI Tahun 2007–2009 (%) Indikator 2006/2007 2007/2008 2008/2009 APM
99,74
98,67
95,07
APS
108,77
105,73
105,72
APK
117,80
112,79
100,41
SD/MI
%
226 333 237 131 140 1067
21% 31% 22% 12% 13% 100%
Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Disatu sisi terdapat 140
SD/MI (13%) yang kelebihan jumlah murid, ditandai dengan jumlah siswa per sekolah lebih dari 240 siswa. Sementara disisi lain terdapat 226 SD/MI (21%) yang memiliki siswa kurang dari 90 siswa. Meskipun angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan dasar sudah mencapai standar, tetapi masih terdapat tujuh Kecamatan dengan APM < 90% yaitu di Kecamatan Sreseh, Torjun, Pangarengan, Omben, Jrengik, Robatal dan Sokobanah. Ditengarai faktor rendahnya kesadaran orangtua tentang pentingnya pendidikan menjadikan salah satu penyebab masih rendahnya APM di kecamatan tersebut. Faktor lain yang umum terjadi adalah kondisi perekonomian keluarga. Meskipun sekolah wajib dan gratis, namun kondisi yang ada dilapangan dan masih menjadi beban bagi orang tua siswa keluarga miskin adalah biaya yang harus dikuarkan untuk biaya jajan saat putra-putrinya berangkat kesekolah, buku tulis, dan seragam sekolah.
Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Sementara itu, Angka Partisipasi murni (APM), yaitu indikator yang menunjukkan persentase jumlah siswa berusia 7-12 tahun terhadap jumlah anak berusia 7-12 tahun di Kabupaten Sampang, juga menunjukkan adanya penurunan. Pada Tahun 2008/2009 APM mencapai 95,07 %, menurun jika dibandingkan APM Tahun
17
5.2.2.2 Angka Melanjutkan SD/MI Jumlah lulusan SD/MI Tahun Ajaran 2008/2009 mencapai 19.419 siswa dan 79,96% diantaranya melanjutkan ke jenjang pendidikan SMP/MTs. Angka melanjutkan tahun 2008/2009 sebesar 79,96% meningkat dibandingkan dengan Tahun 2006/2007 sebesar 64,02%, namun masih di bawah SPM yang ditetapkan, minimal sebesar 95%. Analisis lebih lanjut menunjukkan terdapat tujuh kecamatan dengan angka melanjutkan di bawah 70%, yaitu Kecamatan Kedungdung, Tambelangan, Robatal, Karangpenang, Ketapang, Banyuates dan Sokobanah. Tabel 5.8 Angka Melanjutkan SD/MI ke SMP/MTs 2007-2009 (%) Data Jumlah siswa yang melanjutkan Jumlah lulusan Persentase Angka Melanjutkan
2006/2007 11.975
Tahun 2007/2008 11.900
18.706
21.201
19.643
64,02
56,13
79,96
Sementara itu, apabila dilihat menurut jenjang kelas, tampak bahwa APTS disemua jenjang lebih dari 1% dengan persentase tertinggi di kelas satu yang mencapai lebih dari 3% dan kelas 2 yang mencapai 2%. Persentase APTS siswa laki-laki cenderung lebih tinggi dari pada perempuan. APTS yang terjadi disebabkan karena tingginya angka mengulang kelas, Siswa yang tidak naik kelas sampai dengan berulang kali berpotensi besar untuk putus sekolah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sebagai berikut: (1) tingginya jumlah angka mengulang kelas, (2) disamping kesadaran orang akan pendidikan, faktor ekonomi keluarga juga menentukan kemampuan dan kebersediaan orang tua untuk biaya sehari-hari dan bulanan anak (uang saku, kebutuhan sekolah seperti buku tulis dll.). Faktor ke (3) faktor yang tidak kalak pentingnya adalah kurang tersedianya guru yang memiliki kualifiasi yang memadai untuk tingkatan SD serta masih tingginya ruang kelas yang rusak berat hingga mencapai 28 persen (lihat tabel 5.23) yang juga menjadi penyebaba kurang betah dan nyamannya proses belajar-mengajar
2008/2009 15.706
5.2.2.4 Rata-Rata Nilai Ujian Sekolah SD/MI Rata-rata nilai UAS SD/MI dalam tiga tahun terakhir meningkat dari 5,7 pada Tahun 2006/2007 menjadi 6,59 pada Tahun 2008/2009. Mata pelajaran dengan rata-rata nilai UAS terendah adalah Matematika, meskipun sudah menunjukkan adanya peningkatan. Secara umum, ratarata nilai UAS SD pada Tahun 2008/2009 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nilai UAS MI sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.28. Tabel 5.10 Rata-rata Nilai Ujian SD/MI Per Mata Pelajaran
Sumber: Dinas Pendidikan 2009.
` Ketersediaan data angka melanjutkan di atas hanya mencatat anak-anak SD/MI yang melanjutkan ke SMP dan MTs, belum memperhitungan anak-anak yang mengikuti pendidikan non formal (kesetaraan SMP) dan melanjutkan ke pondok pesantren. 5.2.2.3 Angka Putus Sekolah (APTS) SD/MI Dalam dua tahun terakhir, angka putus sekolah (APTS) mengalami kenaikan dari 1,1 % pada Tahun 2007/2008 menjadi 1,8% pada Tahun 2008/2009 (lihat tabel 5.20). Angka tersebut masih melebihi batas maksimal angka putus sekolah dimana ketentuan standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan yaitu sebesar 1%. Bila dibandingkan antara sekolah dengan madrasah, tampak bahwa persentase putus sekolah di SD lebih tinggi daripada di madrasah. Dimana SD pada tahun 2008/2009 memberikan sumbangan 2,7% sedangkan madrasah hanya 0.4%. Tabel 5.9 APTS SD/MI Tingkat Kabupaten 2007-2009 (%) 2006/2007 2007/2008 Jenis Pendidikan SD 2.2% 1.5% MI 2.9% 0.5% Total 2.5% 1.1% Sumber: Dinas Pendidikan 2009.
2006/2007
2007/2008
2008/2009
Mata Pelajaran
SD
MI
SD
MI
SD
MI
Agama
6,36
5,47
6,72
6,79
7,08
6,67
PPKn
6,47
5,44
6,42
6,53
6,85
6,43
B.Indonesia
6,12
5,24
6,48
6,39
6,71
6,38
IPA
5,86
5,13
6,15
6,08
6,58
6,16
IPS
5,92
5,16
6,33
6,23
6,65
6,27
Matematika
5,81
4,98
6,13
5,99
6,07
6,04
Rata-rata
6,22
5,18
6,44
6,40
6,78
6,40
Rata-rata
5,7 Sum
ber: Dina
s ikan Pendid 200
6,42 9.
6,59
Sementara itu, terdapat 49 MI dan 26 SD dengan rata-rata nilai UAS di bawah 6. Terbatasnya kompetensi guru, kurang siapnya anak diawal masuk sekolah, terbatasnya sarana
2008/2009 2.7% 0.4% 1.8%
18
pembelajaran merupakan faktor yang berpengaruh terhadap mutu lulusan. 5.2.2.5 Partisipasi Sekolah SMP/MTs Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs, yakni indikator yang menunjukkan berapa persentase jumlah siswa SMP/MTs terhadap jumlah anak usia 13-15 tahun, mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2008/2009 APK mencapai 92,70 % meningkat tajam dibanding Tahun 2006/2007 sebesar 70,25 %. Capaian tersebut sudah melampaui (90%) Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan. Tabel 5.11 Angka Partisipasi SMP/MTs 2007–2009 (%) Indikator
2006/2007
2007/2008
2008/2009
APM
67,10
76,49
76,70
APS
69,16
78,40
87,58
APK
70,25
82,91
92,70
Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Sedangkan Angka Partisipasi murni (APM) SMP/MTs, yaitu indikator yang menunjukkan persentase jumlah siswa SMP/MTS berusia 13-15 tahun terhadap jumlah anak berusia 13-15 tahun, pada tahun 2008/2009 sebesar 76,70 % meningkat dibandingkan tahun 2006/2007 (67,10 %), meskipun belum mencapai SPM yang ditetapkan minimal sebesar 90%. 5.2.2.6 Angka Melanjutkan SMP/MTs Perkembangan jumlah siswa SMP/MTs yang melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas/sederajat dalam tiga tahun terakhir, berfluktuasi (tabel 5.12). Meskipun pada tahun 2009 mengalami penurunan namun persentase capaian sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimum (70%) sehingga dapat dikatakan efektif. Penurunan angka melanjutkan tersebut terjadi karena belum meratanya persebaran jumlah sekolah SMA/SMK/MAN, dengan kata lain, jarak menjadi kendala bagi lulusan SMP/MTs yang jauh dari kota.
Tabel 5.12 Angka Melanjutkan SMP/MTs ke SMA/MA/SMK (%) Tahun data
Data
2006/2007
Jumlah siswa yang melanjutkan
2007/2008
2008/2009
Jumlah lulusan Angka Melanjutkan (%) Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Angka melanjutkan Kecamatan Sampang. Hal 3.572
4.922
5.057
4.820
6.192
7.187
74,11
79,49
70.36
dominan terjadi di tersebut dikarenakan persebaran SMA/MA paling banyak di Kecamatan Sampang. 5.2.2.7 Angka Putus Sekolah (APTS) SMP/MTs Angka putus sekolah dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya kenaikan cukup tajam, dari 1,5 % atau terdapat 395 siswa yang putus sekolah pada Tahun 2006/2007 menjadi 3,2% atau 1112 siswa pada Tahun 2008/2009. Angka putus sekolah tertinggi selama tiga tahun terkakhir sumbagan terbesar lebih banyak diberikan oleh sekolah madrasah tsanawiha yang ratarata mencapai di atas 2% sedangkan sumbangan dari sekolah menengah pertama secara rata-rata memberikan sumbangan angka di atas 1%. Angka tersebut di atas ketentuan maksimal SPM yang ditetapkan sebesar 1%, dengan lebih dari 1000 siswa SMP/MTs yang putus sekolah Tabel 5.13 berikut ini. Tabel 5.13 Perkembangan APTS SMP/MTs 2007-2009 (%) Jenis Pendidikan SMP MTs Total
2006/2007
2007/2008
2008/2009
l.S°o
1.3% 21? 2.2% 328 1.7% 543
1.3% 244 5.6% 868 3.2% 1112
238 1.2% 157 1.5% 395
Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Data terpilah antara sekolah dan madrasah menunjukkan bahwa APTS SMP cenderung tetap dalam dua tahun terakhir 1,3 %, sementara peningkatan APTS terjadi untuk MTs dari 2,2% menjadi 5%.
19
Tabel 5.14 APTS SMP/MTs 20072009 (%) Tingkat Kelas
2006/2007
2007/2008
Kelas7
SMP L P 2.1 1.5
L 0.7
Kelas S
2.9
2.0
Kelas 9
1.0
Total (%)
JunUah
MTs P 1.7
SMP L 1.2
1.6
1.4
0.7
1.1
2.1
1.5
160
78
secara rerata, lulusan SMP/MTs menguasai lebih dari 70 persen dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai. Mencermati tabel di atas, menunjukkan bahwa rata-rata nilai ujian yang paling rendah pada Tahun 2008 adalah mata pelajaran Bahasa Inggris yang mencapai 7,13. Sementara terdapat 65 SMP dan 34 MTs dengan ratarata nilai UNAS SMP/MTs di bawah 7.
2008/2009
P 0.8
MTs L P 3.0 2.4
SMP L P 0.5 0.5
MTs L 1.3
P 1.1
2.1
2.0
2.7
1.6
2.4
2.0
7.7
7.S
1.0
0.7
1.0
1.5
1.6
1.2
1.6
8.4
9.1
1.1
1.4
1.4
1.3
2.4
1.9
1.3
1.3
5.6
5.6
80
77
131
84
198
130
142
102
447
391
5.2.2.9 APM Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Berikut ini akan di analisa output terhadap outcome, jika realisasi belanja program adalah input, maka angka partisipasi (APM) SD/MI dan SMP/MTs adalah output sedangkan yang akan dianalisa sebagai oucome adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan membandingkan capaian output dan outcome diperoleh persentase APM dan indeks laju pembangunan sebagaimana berikut: Tabel 5.16 Capaian Output – Outcome Output - Outcome Tahun SMP/MTs Pertub. Eko. SD/MI 2007 67,1 4,33 99,74 2008 76,49 4,67 98,67 2009 76,7 4,21 95,07
Variasi angka putus sekolah antar sekolah menunjukkan masih adanya 35 SMP/MTs dengan angka putus sekolah lebih dari 4%, terdapat di 12 SMP dan 23 MTs, yang tersebar di 14 kecamatan. Dengan dukungan dana BOS, asumsinya peserta didik dari keluarga miskin tidak lagi memiliki hambatan biaya dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan SMP/Mts. Faktor pendorong masih tingginya angka putus sekolah lebih pada kurangnya kesadaran masyarakat, sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pendidikan, khususnya di daerah-daerah dengan angka putus sekolah tinggi. Berikut ini adalah gambar sumbangan APTS terbesar yang tersebar di masing-masing kecamatan. Sumber: Dinas Pendidikan 2009.
Rata-rata
2006/2007
2007/2008
MTs
SMP
MTs
SMP
Bhs Indonesia Matematika
7,21
6,85
6,85
6,87
7,33
7.19
6,60
7,29
7,29
7,39
Bahasa Inggris Rata-rata
7,05
6,43
7,27
7,21
7,24
7,15
6,63
7,13
7,12
7,34
MTs 6,91 6,93 7,03 7,12
6,89
7,12
4,40
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa capaian angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah mencapai rata-rata 97,83% selama berlangsungya program Wajar. APM tertinggi terjadi 99,74% terjadi pada tahun 2007, selanjutnya tahun 2008 mencapai 98,67% dan terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu 95,07%. Sedangkan untuk angka partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah mencapai rata-rata 73,43% dengan capaian tertinggi 76,7 terjadi pada tahun 2009 selanjutnya diikuti oleh jumlah 76,49 terjadi pada tahun 2008 dan terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu 67,1%. Angka partisipasi murni yang meningkat dikarenakan meningkatnya jumlah angka usia sekolah yang terdaftar disekolah SD/MI dibawah usia sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu. Disisi yang lain, masih tigginya angka putus sekolah yang disebabkan karena beberapa faktor kurang siapnya siswa menerima mata pelajaran, disamping karena segi usia dan latar belakang pendidikan yang tidak melalui taman kanak-kanak serta kompetensi guru yang masih rendah.
2008/2009
SMP
73,43
Sumber: Dinas Pendidikan dan BPS Jatim 2009.
5.2.2.8 Rata-Rata Ujian Nasional Perkembangan rata-rata nilai UNAS SMP/MTs dalam dua tahun terakhir meningkat sebesar 0,23 dari 6,89 pada Tahun 2006/2007 menjadi 7,12 pada Tahun 2007/2008. Pada Tahun 2007/2008, nilai rata-rata UNAS SMP (7,13) lebih baik dari MTs (7,12). Tabel 5.15 Rata-rata Nilai Ujian Nasional Per Mata Pelajaran 2006-2008 Mata Pelajaran
97,83
7, 23
Sumber: Dinas Pendidikan 2009. Rerata nilai UNAS >
SPM, sehingga dapat dikatakan sebagai capaian yang efektif. Dengan nilai mata pelajaran relatif cukup tinggi, yaitu 7,34 untuk SMP dan 7,12 untuk MTs, yang berarti 20
Tingginya anggka buta huruf berpengaruh terhadap kompetensi seseorang untuk mencari pekerjaan. Orang yang dapat membaca tulis akan berpeluang lebih baik daripada yang tidak bisa baca tulis, dengan kemampuan bisa baca tulis masyarakat diharapkan lebih mampu memacu pendapatannya dengan mencari pekerjaan yang lebih baik.
pada tahun 2009 hanya 1 program yang tidak terlaksana sehingga tahun tersebut secara relatif lebih efisien. Jika digambarkan dalam kurva Pigoe, posisi belanja publik Wajar berada pada titik ‘F’ dimana kepuasan marginal (marginal utility) barang publik (jarak CF) lebih kecil daripada ketidakpuasan masyarakat akan pembayaran pajak (FI) sehingga pemerintah diharapkan untuk melakukan belanja sesuai dengan perencaan penganggaran (kebutuhan publik). Analisa peningkatan serapan anggaran sebagai input ternyata tidak mencerminkan peningkatan APM SD/MI sebagai output, hal ini dikarenakan meningkatnya APM SD/MI yang terjadi pada tahun 2008 disebabkan karena meningkatnya jumlah anak usia sekolah masuk yang dibawah usia 7 tahun sehingga jumlah anak masuk sekolah berkurang pada tahun berkitunya. Sedangkan untuk SMP/MTs serapan anggaran memiliki korelasi yang positif, dimana peningkatan serapan anggaran (belanja publik) pelayanan berpengaruh secara positif pada jumlah APM. 2. Efektifitas Belanja Publik pada program wajib belajar (Wajar) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang sebagaimana berikut. A. Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan SD/MI 1) Angka Partisipasi Murni Tahun 2009 capaian angka partisispasi murni (95,07%) SD/MI > (95%) ketentuan SPM, dengan persentase tersebut maka angka partisipasi dikatakan efektif. Secara relatif sebenarnya persentase tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2007 sebesar 99,74%. Penurunan angka partisipasi murni disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah kelompok anak di bawah usia 7 tahun memasuki sekolah dasar. Pada Tahun 2007 terdapat 48.05 % anak kelas 1 SD yang berusia kurang dan sama dengan 6 tahun dan meningkat menjadi 52,8% pada Tahun 2009. 2) Angka Melanjutkan ke SMP/MTs Perkembangan lulusan SD/MI tahun ajaran 2008/2009 mencapai 19.419 siswa dan 79,96% melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. capaian angka melanjutkan tersebut kurang dari (<95%) ketentuan SPM, sehingga dikatakan tidak efektif.
5.3 Keterbatasan Penelitian Mengingat penelitian ini menganalisis data pelaksaan belanja publik dengan rentang waktu yang relatif singkat (studi program Wajar) yang berlangsung selama 3 tahun, maka memungkinkan hasil analisis ini tidak menggambarkan kondisi keseluruhan (dalam jangka panjang) dampak program Wajar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sampang. Selain itu, karena dalam analisis penelitian ini tidak memasukkan faktor-faktor internal (keluarga) yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah siswa maupun faktor ekternal (lingkungan), maka hasil analisis penelitian ini tidak menggambarkan pengaruh internal dan ekternal terhadap belanja program Wajar daerah yang menjadi objek penelitian. Karenanya diharapkan kedepan akan ada peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian dengan analisis data yang lebih panjang dan melibatkan faktor internal serta memasukan faktor ekternal variabel penelitiannya. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perkembangan belanja publik untuk program Wajar setiap tahun mengalami peningkatan capaian persentase 85,56% dari anggaran belanja langsung, 25% dari anggaran dinas pendidikan, dan 8,0% dari belanja pemda. Peningkatan anggaran pada tahun 2009 diikuti oleh serapan anggran belanja hingga mencapai 0,88% atau meningkat dari tahun sebelumnya 0,70%. Kondisi ini berada pada tingkat efisiensi (E) < 1, yang menggambarkan bahwa belanja publik berada pada posisi yang tidak efisien. Tidak efisiennya belanja ternyata disebabkan karena perencanaan yang tidak efektif sehingga berdampak pada tidak terlaksananya program. Pada tahun 2008 ada 4 program yang tidak terlaksana sedangkan
21
Hal ini dikarenakan ketersediaan data angka melanjutkan tersebut hanya mencatat anak-anak SD/MI yang melanjutkan ke SMP dan MTs, belum memperhitungan anak-anak yang mengikuti pendidikan non formal (kesetaraan SMP) dan melanjutkan ke pondok pesantren. B. Peningkatan Mutu Pendidikan SD/MI 1) Angka Putus Sekolah Dalam dua tahun, angka putus sekolah mengalami kenaikan dari 1,1 % tahun 2008 kemudian meningkat pada tahun 2009 sebesar 1,8% > 1% batas minimal ketentuan SPM, sehingga dikatakan tidak efektif. Jika ditelaah lebih jauh, penyumbang tingginya angka putus sekolah terbesar adalah siswa kelas satu dengan besaran 3% dan siswa kelas 2% yang menyebar diseluruh kecamatan. Faktor kemiskinan, tingginya angka mengulang kelas, dan faktor masukan yang tidak melalui taman-kanak merupakan penentu angka putus sekolah. 2) Nilai Ujian Sekolah Rata-rata nilai ujian akhir sekolah SD/MI dalam tiga tahun terakhir meningkat dari 5,7 pada tahun 2007 menjadi 6,59 pada tahun 2009. Sedangkat untuk tingkat kelulusannya mengalami kenaikan 0,58% dari 97,4% tahun 2007 menjadi 97,98% pada tahun 2009. Mata pelajaran dengan rata-rata nilai UAS terendah adalah Matematika, meskipun sudah menunjukkan adanya peningkatan. Secara umum, dengan nilai rata-rata ujian sekolah dan tingkat kelulusan yang semakin meningkat maka dapat dikatakan efektif, artinya tahun sekarang lebih baik dari tahun sebelumnya. Sementara itu, masih terdapat 49 MI dan 26 SD dengan rata-rata nilai UAS di bawah 6. Terbatasnya kompetensi guru, kurang siapnya anak diawal masuk sekolah, terbatasnya sarana pembelajaran merupakan faktor yang berpengaruh terhadap mutu lulusan.
C. Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan SMP/MTs 1) Angka Partisipasi Murni Angka partisipasi murni secara relatif selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Tahun 2007 mencapai 67,10% kemudian meningkat menjadi 76,49 pada tahun 2008. Capaian tahun 2009 yaitu 76,70 < 90% di bawah batas minimal SPM, dengan demikian angka partisipasi murni tidak efektif. Penyebab ketidak efektifan tersebut adalah rendahnya angka melanjutkan sekolah dasar kejenjang SMP/MTs disebabkan faktor internal keluarga maupun faktor lingkungan. 2) Angka Melanjutkan ke SMA/MA/SMK Perkembangan anak-anak SMP/MTs yang melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah (SM) tiga tahun terakhir, berfluktuasi. Dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan dari 79,49% pada tahun 2008 menjadi 70,36% pada tahun 2009. Efektivitas tercapai oleh capaian 70,36% > 70% batasan minimal SPM meskipun begitu hingga saat ini siswa yang melanjutkan ke pesantren tidak tercatat sebagai angka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dilihat dari sebaran menurut kecamatan, terdapat tujuh kecamatan dengan angka melanjutkan kurang dari 70% yaitu Kecamatan Banyuates, Jrengik, Karangpenang, Kedundung, Robatal, Sokobanah dan Tambelangan. D. Peningkatan Mutu Pendidikan SMP/MTs 1) Angka Putus Sekolah Angka putus sekolah dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya kenaikan cukup tajam dari 1,5 % pada Tahun 2007 menjadi 3,2 % pada Tahun 2009. Angka tersebut di atas ketentuan maksimal SPM yang ditetapkan sebesar 1%. Tidak efektifnya capaian angka putus sekolah adalah faktor kemiskinan dan kurangnya kesadaran masyarakat. 2) Nilai Ujian Nasional Perkembangan rata-rata nilai ujian nasional SMP/MTs dalam dua tahun terakhir meningkat sebesar 0,23 dari 6,89 pada tahun 2007 menjadi 7,12 pada 22
tahun 2008. Rata-rata nilai UNAS untuk seluruh mata pelajaran relatif cukup tinggi, yaitu 7,34 untuk SMP dan 7,12 untuk MTs, yang berarti secara rata-rata, lulusan SMP/MTs menguasai lebih dari 70% dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai. Capaian yag paling efektif adalah tahun 2009 dengan angka rata-rata nilai ujian akhir sebesar 7,23% > 5,50 dari ketentuan SPM. Efektivitas output angka partisipasi murni (APM) sebagai fokus utama program Wajar terhadap outcome (laju pertumbuhan ekonomi) ternyata tidak memiliki korelasi yang positif. Kondisi ini ditunjukkan oleh capaian APM (85,88%) tahun 2009 atau meningkat dari 83,42% pada tahun 2007, namun diikuti semakin menurunnya indek laju pertubuhan yang mencapai 4,21% yang sebelumnya 4,33% pada tahun 2007. Hal ini disebabkan oleh faktor masih tingginya angka tidak baca tulis (melek huruf) yang mencapai 32,82 sampai dengan tahun 2008.
3.
4.
5.
6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran yang terkait dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektifitas belanja publik pada program wajib belajar Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang sebagaimana berikut: 1. Hendaknya Dinas Pendidikan melakukan perencanaan program Wajar yang sesuai dengan kebutuhan publik, yang dapat dilaksnakan selama jangka waktu berakhirnya program. Perencanaan sebaiknya juga dilakukan dengan melibatkan aparatur sekolah yang lebih mengerti kebutuhan dan kekurangan. Sehingga tidak terjadi anggaran yang tidak terserap pada program sedangkan masih tingginya kondisi kelas rusak berat yang belum terprogramkan, dan belum terkelola dengan baik karena minimnya anggaran. 2. Hendanya Dinas Pendidikan selaku eksekutif lebih mengefktifkan perencaan program dengan melibatkan pengawasan dewan selaku legislatif pelayanan publik, sehingga tidak terjadi pengulangan program yang gagal pada tahun sebelumnya kembali terlulang pada tahun yang akan datang.
6.
23
Hendaknya pemerintah daerah melakukan kerjasama dengan pendidikan nonformal (pesantren) untuk melakukan pencatatan angka partisipasi sekolah bagi anak usia 7-15 tahun yang memasuki pendidikan non-formal (pesantren), supaya tidak ada ketimpangan data angka partisipasi maupun angka melanjutkan sekolah yang pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap berhasilnya program Wajar. Hendaknya daerah melalui Dinas Pendidikan melakukan pendistribusian guru dan peningkatan kompetensi guru kelas rendah (Kelas 1 dan 2 sekolah dasar), karena pendistrian yang baik akan membantu menurunkan angka proporsi guru siswa yang timpang dan selanjutnya akan mengurangi angka mengulang kelas maupun putus sekolah. Hendaknya Pemerintah Kabupaten Sampang melalui Dinas Pendidikan mengupayakan peningkatan minat peserta didik untuk mengikuti program wajib (Wajar) dengan memberikan pemahaman-pemahaman pentingnya melanjutkan sekolah pada jenjang SMP dan SMA dan melakukan kerjasama dengan pemerintah pusat untuk memberikan bantuan untuk keluarga-keluarga miskin yang masih mengeluhkan biaya sekolah. Biaya sekolah dalam arti seragam, uang saku, dan alat-alat tulis, sehingga orang tua keluarga miskin tidak kesulitan untuk hal tersebut yang nantinya akan berdampak pada efektifitas program Wajar. Hendaknya program Wajar lebih diorientasikan pada mutu pendidikan (nilai ujian nasional dan angka melanjutkan) tidak hanya berorientasi pada angka partisipasi murni (APM). Dengan melihat output yang tidak berkorelasi positif terhadap angka pertumbuhan yaitu disebabkan masih tingginya angka buta huruf, dimana APM yang tinggi ternyata tidak mencerminkan kualitas mutu pendidikan yang ditunjukkan dengan angka mengulang kelas dan angka putus sekolah yang masih tinggi atau melampaui standar pelayanan minmal (APM)
PUSTAKA Agoes Sukrisno dan Hoesada Jan 2009. “Bunga Rampai Auditing”.Salemba Empat Jakarta. Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari "Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?" dalam Policy Brief, No. II/PB/2003. Adnan, Muhammad. 2001. Otonomi Daerah Kaya Teori Lemah Praktik. Teguh Yuwono (ed). Manajemen Otonomi Daerah. CLGAPPSDiponegoro University. Semarang. Aswarodi. 2001. Analisis Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 di Kabupaten Malang. Dalam Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Penyunting: Abdul Halim. Edisi Pertama. Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN. Yogyakarta. Bana, M. Yahya, 2001, “Analisis Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur”, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak diublikasikan). Bastian, Indra. 2002. Akuntansi Sektor Publik Indonesia, Edisi Pertama Penerbit BPFE, UGM dan Pusat Pengembangan Akuntasi UGM. Baswir, R., 1993, Ekonomika Manusia dan Etika, Edisi ke I, BPFE, Yogyakarta. Cheema, Shabbir G. Dan Dennis Rondinelli. 1983. Desentralization and Development, Policy Implementation Developing Countris. Baverty Hills, Calivornia, Sege Publicatiion. Dedy, Rahman Ruhedi. 2001. Upaya Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah. Dalam Bunga Rampai Keuangan Daerah. Penyunting: Abdul Halim. Edisi Pertama. Unit Penerbit Percetakan (UPP) YKPN Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nomor 23 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. __________________ ,Nomor 129a Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Devas, Nick, Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey and Roy Kelly, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, (terjemahan oleh Masri Maris), UI – Press, Jakarta. Davey, Kenneth,1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek dan Relevansinya bagi Dunia
Ketiga, terjemahan Amanullah, UI Press, Jakarta. Fuady, Dati Fatimah, Rinto Adrioso dan Wahyu Basyir. 2002. Memahami Anggaran Publik. Idea press, Yogyakarta Haz, Hamzah. 2001. Mengkaji Ulang Politik Ekonomi Indonesia (Strategi Mewujudkan Keadilan Sosial). Penerbit: Pustaka Cianjur Indonesia. Jones, Bernard, 1995, Local Government Financial Management, ICSA, Publishing Limited. Kaho, J.R. 1997. Revormasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Menuju Otonomi Penuh. Yogyakarta. Keputusan Menteri Dalam Negeri, Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah. Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. BPFE UNIBRAW Malang. Lampiran Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 984/BSBN/XI/2007, tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional SMP, MTs. Lie, Anita. 2004. Menuntut Tanggungjawab Negara atas Pendidikan. KCM Harian Kompas, 5 Agustus 2004. Mahmudi.2009. “Manajemen Keuangan Daerah”. Erlangga Jakarta Mahsun, Mohammad, 2009. “Pengukuran Kinerja Sektor Publik”. Edisi Pertama. BPFE, UGM. Yogyakarta. Mamesah D.J., 1995, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, Gramedia Jakarta. Mangkoesoebroto, Guritno.1993. Ekonomi Publik, Edisi Keempat, BPFE, UGM. Yogyakarta. Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi. Yogyakarta. Musgrave, Richard. A, Feggy B Musgrave. 1993. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Nurkholis. 2002. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang.www.pendidikan-network.org.id. 24
Peraturan Pemerintah, Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. __________________ , Nomor. 108 Tahun 2000 : Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. ______________ , Nomor. 19/2005 tentang StandarNasional Pendidikan Pasal94 Ayat(d) dan PermenNo 39 tentang Ujian Akhir Sekolah BerstandarNasional(UASBN) _____________ , Nomor. 32 Tahun 2004 : Pemerintah Daerah. ______________ , Nomor. 17 Tahun 2003 : Keuangan Negara. Poister, TH. Streib, G., 1999, “Performance Measurement in Municipalities Government, Assesing State of the Practice”, Public Administration Review, Vol. 59. No. 4, 324 – 335. Rasyid Ryaas, Desentralisasi dalam menunjang pembangunan daerah dalam pembangunan administrasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1998. Reksohadiprodjo, R. Nugroho. 2003. Penerapan Data Emvelopment Analysis (DEA) Dalam Kasus Pemilihan Produk Inkjet Personal Printer. Usahan No. 10. THXXXII Oktober 2003. Rochaety, Eti, Pontjorini Rahayuningsih dan Prima Gusti Yanti. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta. Saragih, Juli Panglima, 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan DaerahDalam Otonomi, Penerbit Galia Indonesia. Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsyudin Makmun. 2005. Perencanaan Pendidikan, Suatu Pendekatan Komprehensif. Program Pasca Sarjana UI dan PT. Remaja Rosdakarya, Jakarta. Sidik, Machfud. 2002. “Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan daerah yang mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar nasional “Public Sector Scorecard”, Jakarta 17-18 April 2004. Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Penerbit: Andi Yogyakarta. Supriyono, Bambang. 2003. Tantangan Reformasi Kelembagaan Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah. Jurnal Forum Inovasi Edisi ke 5, Jakarta. Tabrany, Hasbullah. 2005. Social Health Insurance in Indonesia p 145-166. In Social Health Insurance: Selected Case Studies from Asia and the Pacific. WHO WPRO and SEARO. Manila-New Delhi. Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga – Edisi Kedelapan – Jilid 2. Alih bahasa Haris Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara. ____________ Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. ____________ Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. ____________ Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Umar, Asri. 1999. Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI No.22 tahun 1999 dan UU RI No. 25 tahun 1999. PSPP. Jakarta. Juli – Desember. Widodo. 2001. Analisa Rasio Keuangan pada APBD Kabupaten Boyolali. Dalam Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Penyunting: Abdul Halim. Edisi Pertama. Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN. Yogyakarta. WIKIPEDIA, 2010. Daftar negara menurut Indeks Pembangunan Manusia http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara _menurut_Indeks_Pembangunan_Manusi a#Pembangunan_manusia_Tinggi_.28nega ra_berkembang.29 31.07.2010. Wojang, J. 1995. Administrasi Keuangan Daerah. Penerbit Ichtiar. Jakarta. Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Menghadapi Otonomi Daerah. Dalam Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Penyunting: Abdul Halim. Edisi Pertama. Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN. Yogyakarta. Osbone, David dan Ted Gaebler (1993). Reiventing Goverment: How the Enterpreneurial Spirit is ransforming the Public Sektor. Pengins Books. New York. 25