EFEKTIVITAS PENGGUNAAN JAMUR Verticillium lecanii DALAM PENGENDALIAN KEPIK PADA KAPAS Oleh : Umiati,SP dan Dyah Ambarwati, SP
A. PENDAHULUAN Tanaman kapas adalah tanaman penghasil serat yang merupakan bahan baku industri tekstil. Sampai saat ini peranannya masih lebih besar di banding serat sintesis, terutama di Negara yang beriklim tropis ( Shalimar Andaya Nia, 1996). Kebutuhan bahan baku industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, dan sampai saat ini kebutuhan tersebut telah mencapai sekitar 500 ribu ton serat kapas yang setara dengan 1,5 juta ton kapas berbiji per tahun. Namun perkembangan industri TPT tersebut belum didukung oleh kemampuan penyediaan bahan baku berupa serat kapas dalam negeri, sehingga sekitar 99,5% kebutuhan bahan baku tersebut masih dipenuhi dari impor. Masalah utama perkapasan adalah tingginya intensitas serangan hama kapas terutama hama pengisap daun dan penggerek buah. Kehilangan hasil akibat hama pengisap daun dapat mencapai 53,9 % (Isdiyoso & Subandrio, 1988 dalam BPTP Sulsel, 2002) dan penggerek buah sampai 90 % (Karsyono, 1988 dalam BPTP Sulsel, 2002). Pengendalian dengan pemakaian insektisida sintesis selama ini diyakini mampu membasmi hama dan penyakit tanaman kapas, namun menimbulkan dampak negative bagi lingkungan hidup, termasuk manusia. Oleh karena itu muncul berbagai pemikiran dan upaya menciptakan insektisida yang ramah lingkungan. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa Cendawan Verticillium lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama dari ordo Homoptera (Hoddle, 1999;cloyd, 1003) dan Hemiptera (Prayogo, 2004). Penggunaan cendawan V. lecanii sebagai agens hayati dapat memberikan hasil optimal dan berkelanjutan. B. HAMA KEPIK Nezara viridula tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, selain menyerang tanaman kedelai, serangga ini juga menyerang tanaman tembakau, kapas dan berbagai jenis tanaman berpolong.
Gambar 1. Serangga Kepik Hijau Ciri-ciri Nezara viridula : •
Serangga dewasa biasanya berwarna hijau yang merata pada seluruh tubuh, tetapi kadang-kadang berwarna kuning pada bagian kepala dan protorak, dan jarang sekali yang seluruh tubuhnya berwarna kuning.
•
Tubuhnya berbentuk segi lima seperti perisai, panjang tubuh sekitar 1-1.5 cm dan kepalanya bersungut.
•
Di punggungnya terdapat 3 bintik berwarna hijau. Sedangkan nimfanya (kepik muda) memiliki warna berbeda-beda tergantung perkembangan instarnya. Pada awalnya berwarna coklat muda, kemudian berubah menjadi hitam dengan bintik-bintik putih. Selanjutnya warna berubah menjadi hijau dan berbibtik-bintik hitam dan putih.
•
Kepik betina dewasa bertelur pada permukaan bawah daun dan jumlahnya mencapai 1100 butir selama hidupnya.
•
Telurnya berwarna kekuningan, kemudian berubah menjadi kuning, tetapi menjelang menetas warnanya berubah menjadi kemerahan (merah bata). Telur berbentuk oval agak bulat seperti tong.
•
Periode telur 4-6 hari.
•
Perkembangan dari telur sampai menjadi serangga dewasa kurang lebih selama 4-8 minggu.
Gejala Serangan : Nimfa memakan biji kapas yang terbuka sehingga mengurangi daya kecambah biji kapas. Imago melubangi biji kapas agar dapat memakan biji kapas. C. CENDAWAN Verticillium lecanii V. lecanii termasuk dalam devisi Deuteromikotina: Hyphomycetes. Cendawan dalam kelas ini mempunyai paling banyak spesies yang mampu menyebabkan penyakit pada serangga hama (Ferron, 1985). Cendawan V. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama dari ordo Homoptera (Hoddle, 1999). Cendawan V. lecanii mudah tumbuh pada berbagai media, terutama pada medium PDA dan beras. Di dalam cawan petri, diameter koloni dapat mencapai 4-5 cm pada tiga hari setelah inokulasi. Koloni cendawan berwarna putih pucat. Dua hari setelah inokulasi, cendawan sudah mampu memproduksi konidia. Kumpulan konidia ditopang oleh tangkai konidiofor yang membentuk phialid (whorls) seperti huruf V. Setiap konidia menopang 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elip, terdiri dari satu sel, tidak berwarna dan berukuran 2,30-10×1-2,60 um. Cendawan V. lecanii tumbuh baik pada suhu 18-30oC dan kelembaban minimal 80%. Pada kelembaban lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd, 2003). Cendawan V. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan,
misalnya
dengan
hidup
pada
seresah
atau
sisa-sisa
hasil
pertanian. Cendawan V. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada dan Kaya, 1993). D. MEKANISME INFEKSI V. lecanii PADA SERANGGA Terdapat
empat
tahap
etiologi
penyakit
serangga
yang
disebabkan
oleh
cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh inang. Propagul cendawan V. lecanii berupa konidia. V. lecanii berkembangbiak secara tidak sempurna (imperfecti). Selain konidia, organ lain seperti hifa juga berfungsi sebagai alat infeksi pada serangga inang. Pada saat tersebut senyawa mukopolisakarida memegang peranan yang sangat penting (Ferron, 1985).
Tahap kedua yaitu proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada intergumen serangga (Ferron, 1985; Butts, 2003). Kelembaban yang tinggi dan bahkan air sangat diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Silva dan Messias, 1985). Pada tahap ini konidia cendawan akan memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada lapisan intergumen serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. Pada waktu melakukan penetrasi
dan
(appresorium).
menembus
intergumen,
cendawan
membentuk
tabung
kecambah
Pada tahap ini proses tersebut dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi
integument dengan titik penetrasi kecambah cendawan (Santoso, 1993).
Penembusan
dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Beberapa jenis cendawan entomopatogen mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amylase, proteinase (Lee dan Hou, 2003). Tahap keempat adalah dekstruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar dalam haemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada dan Kaya, 1993). E. EFEKTIVITAS PENGGUNAAN CENDAWAN V. lecanii DALAM PENGENDALIAN KEPIK PADA KAPAS Pada dasarnya, pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk menghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada batas tertentu yang secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi. Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Penggunaan cendawan entomopatogen dalam pengendalian hama tanaman terbilang efektif.
Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah
diaplikasikan, cendawan entomopatogen memerlukan kelembapan yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang ( Mazet et al., 1996). Kelembapan udara yang tinggi diperlukan selama proses pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integumen serangga (Steinkraus dan Slaymaker, 1994; Arthurs dan Thomas, 2001). Kelembapan di atas 90% selama 6−12 jam setelah inokulasi dibutuhkan cendawan untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga (Hoddle,1999; Altre dan Vandenberg, 2001a; Cloyd, 2003). Waktu aplikasi perlu diperhatikan karena cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Altre dan Vandenberg 2001b; Cloyd 2003). Bila terkena sinar matahari dalam waktu 4 jam, cendawan V. lecanii akan kehilangan viabilitas sebesar 16% (Prayogo dan Suharsono, 2005), dan bila terkena sinar matahari 8 jam, viabilitas berkurang hingga di atas 50%. Oleh karena itu, bila cendawan diaplikasikan pada musim kemarau perlu dihindarkan dari sinar matahari langsung dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembapan udara tinggi (sore hari) dengan kisaran suhu antara 25 – 28
kelembaban 75 – 80 %.
0
C dan
Aplikasi dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan jamur V. lecanii yang diarahkan pada daun-daun muda dimana hama berada. Burges (1981) menyatakan bahwa keberhasilan jamur entomopatogenik sebagai faktor pembatas populasi dengan menghasilkan penyakit dan kematian serangga uji sangat dipengaruhi oleh banyaknya inokulum. Jamur merata secara homogen sehingga kemungkinan konidia mempunyai peluang yang besar untuk kontak dengan inangnya, oleh karena itu pada saat konidia jatuh dipermukaan tubuh serangga kemudian berkecambah dan menginfeksi akan mempercepat proses penetrasi konidia kedalam tubuh serangga.
Perlakuan
konsentrasi suspense jamur V. lecanii ditambah dengan Agristik diperoleh hasil tingkat kematian tertinggi sebesar 100 % pada konsentrasi suspensi jamur
V. lecanii 1010
konidia/ml, dan terendah sebesar 48 % pada konsentrasi 104 konidia/ml. Sedangkan pada perlakuan konsentrasi suspensi V. lecanii tanpa ditambah Agristik tingkat kematian tertinggi sebesar 56,66% pada konsentrasi 1010 dan terendah 28 % pada konsentrasi 10. Tingkat kematian serangga yang tinggi berhubungan dengan peluang V. lecanii yang menginfeksi serangga, semakin banyak jamur yang menempel pada tubuh seranggga kemungkinan besar jamur tersebut menginfeksi dan sebaliknya. Suspensi jamur V.lecanii yang disemprotkan tanpa ditambah Agristik , konidia jamur yang disemprotkan banyak yang tidak menempel pada permukaan tubuh serangga, karena hal tersebut dipengaruhi oleh adanya lapisan lemak pada kulit serangga sehingga air tidak mungkin menyatu dengan lemak bila tidak ditambah zat pengemulsi. Waktu kematian serangga inang sangat beragam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain virulensi patogen ,dan sifat ketahanan inang serta kondisi lingkungan. F. PENUTUP Peningkatan produksi kapas dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tekstil mengalami hambatan yang cukup berat. Hal ini disebabkan adanya serangan hama penyakit pada tanaman kapas. Serangan hama penyakit kapas dapat dikendalikan dengan menggunakan insektisida sintesis atau nabati. Pengendalian yang efektif dan tidak menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan adalah menggunakan insektisida nabati (agens hayati).
Penggunaan
agens hayati akan mudah diadopsi pengguna apabila agens tersebut memiliki beberapa kelebihan, antara lain efektif terhadap hama sasaran, mudah dan cepat diperbanyak, murah, mudah menyesuaikan dengan lingkungan setempat, kompatibel dengan cara pengendalian yang lain dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada umumnya agens hayati sulit untuk memenuhi semua kreteria tersebut. Cendawan V. lecanii sebagai agens hayati, walaupun tidak seefektif insektisida kimia, memenuhi beberapa syarat tersebut. Oleh karena itu V. lecanii dapat direkomendasikan dalam mengendalikan serangga hama, khususnya hama kepik pada tanaman kapas.
Daftar Pustaka Altre, J.A. and J.D. Vandenberg. 2001. Factors influencing the infectivity of isolates of Paecilomyces fumosoroseus against diamondback moth Plutella xylostella.J.Invertebr. Pathol. (78): 31−36. Arthurs, S. and M.B. Thomas. 2001. Effects of temperature and relative humidity onspeculation of Metarhizium anisopliae var.acridumin mycosed cadavers of Schistocerca gregaria. J. Invertebr. Pathol. (78):59−65. BPTP Sulawesi Selatan, 2002. Departemen Pertanian. Petunjuk Teknis Pengendalian Hama Terpadu Kapas, Makasar.
Burges. H.D. 1981.Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970 -1980. Acad Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illinois. http://www.extension.umn. edu/distribution/horticulture/DG7373.html 11 November 2009. Ferron, P. 1985. Fungal control, pp. 313–346. In G. A. Kerkut and L. I. Gilbert (eds.), Comprehensive Insect Physiology, Biochenristry and Pharmacology, vol. 12. Insect control. Pergamon, Oxford, London, United Kingdom. Hoddle, M.S. 1999. The biology and management of Silverleaf whitefly Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhouse grown ornamentals. http://www.biocontrol.urc.edu /bemisia. html.#verticillium [5 September 2008]. Mazet, I., J.C. Pendland, and D.G. Boucias.1996. Dependence of Verticillium lecanii (Fungi:Hypomycetes) on high humidity for infection and sporulation using Myzus persicae (Homoptera:Aphididae) as host.Environ. Entomol. (15): 380−382. Prayogo, Y. 2004. Pemanfaatan cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin untuk mengendalikan hama ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. [Kolokium Pengendalian Hama Terpadu]. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 23 hlm. Prayogo. Y dan Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Malang. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm. 1−15. Shalimar Andaya Nia. 1996. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, Petunjuk Teknis Budidaya Kapas, Jakarta. Silva JC, Messias CL 1985. Virulência de Metarhizium var. anisopliae a Rhodnius prolixus. Cienc Cult 7:37-40. Steinkraus, D.C. and P.H. Slaymaker. 1994. Effect of temperature and humidity on formation, germination, and infectivity of conidia of Neozygites fresenii (Zygomycetes: Neozygitaceae) from Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae). J. Invertebr. Pathol.(64): 130−137. Suharsono dan Y. Prayogo. 2005. Pengaruh lama pemaparan pada sinar matahari terhadap viabilitas jamur entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Habitat XVI(2): 122−131. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology Academic Press, Inc. New York. PP.459-493.