1
2
3
EFEKTIVITAS PASAL 7 AYAT (2) PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN MAKSIAT DI KOTA GORONTALO
Ajeng Sopaningsih Moh. Rusdiyanto Puluhulawa S.H., M.Hum Zamroni Abdussamad, SH, MH Jurusan Ilmu Hukum
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Keefektifan Pasal 7 Ayat (2) dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat khususnya Pornoaksi dan Pornografi dan mengetahui hambatan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memberantas maksiat yang berhubungan dengan Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan bulan November 2013 di Kota Gorontalo. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum Empiris. Obyek penelitian adalah masyarakat Kota Gorontalo dan instansi terkait yang berhubungan dengan penegakkan Perda Maksiat.Berdasarkan penelitian yang di lakukan di instansi terkait, di peroleh hasil bahwa Tidak Efektifnya pelaksanaan Pasal 7 Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat khususnya Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo
di
sebabkan oleh kurangnya koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Gorontalo dalam hal menjalankan peraturan daerah. Di samping itu juga di temukan salah satu faktor yang menghambat dalam penegakan perda yakni tingkat keegoisan masingmasing Satuan Kerja Perangkat Daerah serta kesadaran masyarakat yang masih kurang. Kata kunci: Efektivitas Pencegahan Maksiat A. Pendahuluan Indonesia merupakan bangsa yang memiliki hukum demokratis dan merupakan negara yang memiliki hak-hak asasi manusia untuk memberikan kebebasan
4
masyarakatnya dalam berekspresi. Pemberian kebebasan ini kadang memberikan pengaruh positif maupun pengaruh negatif dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang biasanya disalah artikan dan sering melanggar norma kesusilaan dan norma kesopanan. Negara Indonesia juga adalah negara yang memegang teguh normanorma dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius khususnya di Kota Gorontalo. Saat ini masalah pornografi dan porno-aksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya pun semakin nyata diantaranya sering terjadi perzinahan, perkosaan dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut tidak hanya perempuan dewasa tetapi banyak korban yang masih anak-anak baik anak laki-laki maupun perempuan. Pornografi paling banyak marak pada masyarakat yang sering mengunggah materi-materi yang bersifat negatif di situs-situs porno yang banyak terdapat di internet dan kebanyakan itu semua bisa di akses oleh masyarakat luas di tempat-tempat penyedia layanan internet seperti warnet walau sebenarnya situs-situs tersebut sudah di blokir. Masih banyak masyarakat yang sering menyalah gunakan warnet-warnet yang seharusnya disediakan untuk mencari informasi-informasi penting di dunia luar karena diakibatkan oleh masyarakat yang belum memiliki kesadaran hukum di dalam diri mereka. Salain itu pula mereka mungkin belum sadar bahwa perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan. Salah satu sarana yang banyak digunakan masyarakat dalam berekspresi adalah dengan menggunakan media masa. Menurut Sayling Wen dalam bukunya Future of the media, membagi media menjadi 3 (tiga) kategori, antara lain: Media komunikasi antar pribadi, terdiri dari media teks, grafik, suara, musik, animasi, video, Media penyimpanan, terdiri dari perekam video, disk optikal, dan Media transmisi, terdiri dari media komunikasi, media penyiaran dan media jaringan. Bunyi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 bagian keempat tentang pencegahan Porno-aksi dan pornografi Pasal 7 Ayat (2) yakni: Pemilik dan atau pengelola warung internet (warnet) dilarang memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengakses situs-situs porno di internet. Peraturan Daerah dibuat berdasarkan masalah yang sering banyak terjadi di daerah itu sehingga perlu dibuatkan sebuah aturan dalam menanganinya agar tercipta suatu kesenjangan di dalam daerah itu dengan harapan semoga masyarakat dapat
5
mengindahkan aturan yang di buat oleh pemerintah di daerah tempat bermukimnya tersebut. Karena Peraturan Daerah atau PERDA merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 tentang pemberantasan maksiat mestinya menjadi alat kontrol moral bagi setiap masyarakat khususnya di Kota Gorontalo, juga merupakan ikhtiar membersihkan kemaksiatan yang ada di Kota Gorontalo yang merupakan wujud kepedulian pemerintah Provinsi Gorontalo kepada kehidupan sosial masyarakatnya sehingga porno-aksi dan pornografi yang dapat merusak moral itu dapat dihilangkan agar setiap warga Kota Gorontalo memiliki batasan dan standar perilaku yang mengacu pada nilai dan norma positif. Misalnya kita dihadapkan dengan sebuah kasus Porno-aksi dan Pornografi terkesannya kini makin mejamur dikalangan masyarakat luas, sehingganya pemerintah Provinsi Gorontalo telah membuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang pencegahan maksiat. Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Efektivitas pelaksanaan Pasal 7 Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat dalam Pencegahan Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo dan untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang dihadapi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kota dalam memberantas maksiat yang berhubungan dengan Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo. Sehingga memberikan manfaat teoritisnya yakni memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Tata Negara khususnya, terutama mengenai pencegahan maksiat yang ditimbulkan akibat Porno-aksi dan Pornografi yang ada di Kota Gorontalo serta diharapkan dapat berguna sebagai bahan kajian serta kontribusi pemikiran baik bagi perorangan, masyarakat, serta pemerintah, khususnya aparat penegak hukum.
6
B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris dengan jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan lokasi penelitian dilakukan di Kota Gorontalo. Populasi dalam penelitian ini semua para pihak yang terkait dengan Peraturan Daerah Tentang Pencegahan maksiat baik itu badan-badan penyusun perda serta para penegak perda, dan masyarakat dalam hal ini pemilik maupun pengelola warnet yang ada di Kota Gorontalo, sementara penentuan sampel yang dipergunakan adalah purposive sampling. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Teknik pengumpulan data berdasarkan data primer adalah data yang diperoleh dari data lapangan dan juga data sekunder sebagai penunjang yakni data yang diperoleh dari penelitian perpustakaan (library research) dan buku-buku (literature). Sehingga pengelolaan data akan dianalisis secara kualitatif. C. Hasil Dan Pembahasan Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo berada di kawasan teluk tomini yang sangat strategis dalam pengembangan berbagai fasilitas pengguna jasa daerah-daerah kawasan teluk. sebagai daerah otonom, secara resmi terbentuk pada tanggal 20 Mei 1960 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan Dati II Di Sulawesi. Menurut hasil registrasi penduduk tahun 2012 penduduk Kota Gorontalo pada tahun 2012 berjumlah 201.509 jiwa. Dengan tingkat kepadatan 2.550 orang/km2. Pada tahun 2012 sebagian besar penduduk di Kota Gorontalo memeluk agama Islam yakni sebanyak 94.41 persen. Hampir sebagian besar masyarakat di Kota Gorontalo memeluk agama islam sehingga tak heran Perda tentang pencegahan maksiat di Provinsi Gorontalo mengacu pada hal-hal yang bersifat religius juga merupakan Perda yang masih berlandaskan filosofi adat yang bersendikan syara atau syariat-syariat Islam. Syara yang dimaksud bersendikan Kitabullah atau sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Filosofi ini pula yang menjadi salah satu landasan dibentuknya Perda tentang pencegahan maksiat ini. Berdasarkan hasil penelitian di dinas-dinas dan kantor-kantor yang terkait dengan penelitian penulis sebagian besar para pemerintah dan pegawai di kantor tempat penulis meneliti ternyata masih banyak yang tidak mengetahui keberadaan Perda tentang pencegahan maksiat ini.
7
Pasal 7 Ayat (2) “Pemilik atau pengelola warung internet (warnet) dilarang memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengakses situs-situs porno di internet”. Menurut sekertaris Satpol PP Kota Gorontalo menyatakan bahwa untuk hal ini di Kota Gorontalo di atur oleh Kantor Pengelolaan Data Elektronik (KPDE) dengan memberikan surat edaran ke warnet-warnet bahwa untuk seluruh situs-situs porno tersebut diblok berdasarkan aturan Departemen Komunikasi dan Informatika atau DEPKOMINFO, jadi walaupun tak diatur berdasarkan perda tentang pencegahan maksiat hal tersebut di warnet memang sudah tidak bisa di buka lagi, kecuali saat ini makin canggihnya teknologi maka banyak cara untuk membuka situs-situs porno melalui internet tergantung dengan warnet tersebut. Sementara ketentuan pidana berdasarkan Pasal 14 dalam Perda Tentang Pencegahan Maksiat Tahun 2003 yang mengatur tentang Pasal 7 Ayat (2) yakni: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 ayat (2) peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)” Untuk data-datanya Satpol Provinsi dan Satpol kota memiliki perbedaan namun bukan dalam hal pemisahan karena Satpol PP provinsi fokusnya pada perda yang dibuat oleh pemerintah provinsi begitupun Satpol PP kota dan kabupaten, mereka lebih mengatur dan memfokuskan kinerja mereka pada perda diwilayahnya mereka. Inilah yang membuat ada suatu kesenjangan diantara keduanya karena secara faktual Satpol PP kota dan kabupaten yang lebih dekat memiliki wilayah dan masyarakatnya dibanding provinsi. Ini juga yang menjadi hambatan ketika Perda tentang pencegahan maksiat tersebut tidak jalan karena Perda tentang pencegahan maksiat terlalu mengatur hal-hal yang terjadi di wilayah kabupaten dan kota padahal Satpol PP itu harusnya secara global dan makro mengatur hal yang sifatnya regulasi jika mengatur hal yang seperti itu maka halnya menjadi spesifik. Nampak bahwa peran pemerintah dalam pelaksanaan keefetivitasan Perda Tentang Pencegahan maksiat dalam hal porno-aksi dan pornografi belum efektif. Dari Perda Nomor 10 Tahun 2003 nampak jelas bahwa Satpol PP memiliki tugas yang cukup penting dalam Penegakkan Perda-Perda yang dilaksanakan di Provinsi maupun Kota Gorontalo dalam pelaksanaannya di masyarakat. Namun dalam implementasinya peraturan daerah tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
8
Begitupun dalam penjelasan atas Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat Pasal 7 Ayat (2), Perda ini telah menentukan bahwa “Untuk mencegah pengguna internet mengakses situ-situs porno, pemilik/pengelola warnet wajib menata meja komputer sedemikian rupa sehingga semua komputer berada dalam posisi membelakangi dinding ruangan, sehingga pemilik/pengelola warnet dapat mengawasi aktifitas setiap pengguna internet”. Tetapi kenyataannya ternyata tidak sedikit warnetwarnet yang tidak mengindahkan pengaturan tersebut dan tetap meletakkan posisi komputer menghadap ke diding dengan alasan bahwa hal itu merupakan hak privasi dari setiap pengunjung dalam menggunakan internet. Uraian di atas mengindikasikan bahwa Perda Nomor 10 Tahun 2003 Pasal 7 Ayat (2) apabila dikomparasikan dengan teori sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman bahwa secara substansi, struktur hukum, dan kultur hukum tidak efektif dilaksanakan karena berhasil atau tidaknya Penegakan hukum itu sendiri bergantung pada tiga komponen tersebut. Dimana jika di sesuaikan dengan keadaan yang sesungguhnya bahwa secara garis besar ketiga teori sistem tersebut tidak jalan secara efektif dalam Perda Nomor 10 Tahun 2003 Pasal 7 Ayat (2). Substansial Komponen substansi hukum (legal substance) adalah aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun dalam hal ini Perda Tentang Pencegahan Maksiat yang mereka susun oleh anggota DPRD beserta kepala daerah tetapi mereka sendiri tidak menjalankannya secara efektif seperti yang telah dikemukakan oleh Kasubag Hukum dan Per-UU Provinsi Gorontalo dimana Badan legislasi baru akan membicarakan kembali mengenai Perda-Perda yang terkesan tidak efektif di Provinsi Gorontalo. Materi Perda Nomor 10 Tahun 2003 perlu dikaji kembali (direvisi) terutama pada bagian-bagian yang belum terakomodir seperti pencantuman sanksi-sanksinya yang selama ini tidak tegas dilaksanakan. Terkait dengan hal ini, maka jajaran pemerintah Kota Gorontalo maupun Provinsi Gorontalo perlu pro aktif untuk duduk bersama dengan pihak DPRD Provinsi Gorontalo untuk membahas secara intensif sisi kelemahan Perda.
9
Sehingga nanti mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan keefektifan Perda Tentang pencegahan maksiat tersebut kedepan. Struktur Hukum Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Penegak Peraturan Daerah dalam hal ini Satpol PP berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Pedoman Organisasi Dan dalam Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja. Tertuang dalam Pasal 4 Ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Satpol PP mempunyai fungsi: a.
penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
b.
pelaksanaan kebijakan penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah;
c.
pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah;
d.
pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;
e.
pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;
f.
pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan mentaati penegakkan Perda dan Peraturan Kepala Daerah; dan
g.
pelaksanaan tugas lainnya.
Dimana hukum tidak dapat ditegakkan selama tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten, dan independen. Seberapa baiknya peraturan perundangundangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya akan menjadi angan-angan semata.
10
Berdasarkan keterangan antara Satpol PP Provinsi Gorontalo dan Satpol PP Kota Gorontalo bahwa diantara kedua instansi tersebut tidak terjalin kerjasama yang baik sehingga membuat Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat tidak efektif dilaksanakan dan bertolak belakang dengan Tata Kerja Satpol PP sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Pedoman Organisasi Dan dalam Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Pasal 16 “Satpol PP provinsi dan Satpol PP kabupaten/kota dalam melaksanakan kewenangannya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara vertikal dan horizontal”. Kaitan struktur hukum dalam Perda Tentang Pencegahan Maksiat ini, maka pemerintah Provinsi Gorontalo perlu menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut: 1) Memberikan program pembekalan teknis secara intensif dan berkesinambungan kepada jajaran Satpol PP Provinsi maupun Satpol PP Kota untuk menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat; 2) Melakukan koordinasi antara jajaran-jajaran yang terkait dengan penegakan Perda untuk mempertemukan kendala-kendala teknis yang muncul di lapangan untuk kemudian mencari solusi terbaik sebagai alternatif pemecahannya. 3) Penerapan penegakan hukum dan sanksi hukum yang konsisten terutama bagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pelanggar Perda tentang pencegahan maksiat sehingga dapat menimbulkan wibawa hukum dan efek jera bagi yang melanggar. Kultur Hukum Kultur hukum dalam bagian ini berkaitan erat dengan keseluruhan sikap dan perilaku warga masyarakat dalam menyikapi lahirnya ketetapan Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang pencegahan maksiat khususnya di Kota Gorontalo. Dimana makin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka budaya hukum dapat tercipta dengan baik serta dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Kaitan dengan item ini juga adalah langkah dan upaya yang dilakukan untuk mendorong terwujudnya peningkatan kesadaran hukum warga masyarakat dalam mencegah maksiat yang ada di Provinsi Gorontalo khususnya Kota Gorontalo sebagai salah satu ikon penting dalam
11
meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum agar penerapan peraturan perundang-undangan bisa lebih efektif. Dukungan penuh dari tokoh agama dan tokoh-tokoh lainnya pun menjadi salah satu dasar dibuatkannya Perda Tentang Pencegahan maksiat ini. Meskipun ada beberapa oknum yang juga tidak mengindahkan dengan sebaik-baiknya Perda tersebut. Beberapa masyarakat itu contohnya para pengelola warnet yang merasa dirugikan dengan adanya pasal yang memuat tentang pencegahan pornografi dan porno-aksi ini seperti isi dari Pasal 7 Ayat (2) Perda No 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan maksiat. karena dengan adanya pasal tersebut seakan para pengguna warnet di tempatnya merasa tidak bebas lagi dalam mengakses sesuatu yang di anggap pribadi. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan informan bahwa kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan Perda tersebut yang dikemukakan oleh Kepala kantor Satpol PP Provinsi Gorontalo Bapak Rifli M. Katili S.sos, M.Ec.Dev selaku penegak Perda yakni Perda tentang pencegahan maksiat ini harusnya dikaji kembali mengapa sampai tidak jalan secara maksimal karena Provinsi Gorontalo ini tidak sama seperti halnya di Provinsi Aceh yang merupakan daerah istimewa yang telah menerapkan ke khususan hukum islam di tempatnya, juga memiliki
aturan yang kemudian harus
dilaksanakan berdasarkan hukum islam. Perlu juga ada kewajiban memberikan sosialisasi dari pihak-pihak biro hukum dalam menangani hal ini. Sementara itu penulispun meminta sedikit penjelasan dari ketua PPNS Satpol PP Provinsi Gorontalo . Beliau menjelaskan penyebab lainnya yakni masih banyak masyarakat yang belum mengetahui perda tentang pencegahan maksiat salah satunya karena sosialisasinya tidak secara terus menerus dan tidak berkesinambungan, solusinya seharusnya dibuatkan leaftlet. Sebenarnya sering ada himbauan dikoran-koran tetapi masalahnya masyarakat awam tidak sering membaca koran selain itu seharusnya tidak henti-hentinya disiarkan himbauan-himbauan yang dilakukan di media supaya bisa lebih efektif. Tapi kendalanya tak ada pendukung dana untuk mensosialisasikan. Hal lain yang menjadi penyebab masih terus terjadi kasus ini karena di setiap masing-masing individu mungkin kurang mendalami agama serta kurangnya penanaman keimanan dan ahklak, kurangnya personil dibandingkan dengan jumlah masyarakat luas, bidang keilmuan yang didalami oleh personil tidak sesuai dengan jabatan yang
12
diembannya, faktor ekonomi, SDM yang kurang, juga pengaruh globalisasi, serta perubahan kemajuan daerah. Sementara itu jika dikaitkan dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Sutami Suratinoyo selaku Sekertaris dari Satpol PP Kota Gorontalo tentang kandala yang dihadapi dalam proses penegakkan perda yakni: 1.
Egoisme individual dari setiap masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),
2.
Kurangnya anggaran ataupun biaya,
3.
Pemahaman dari masyarakat sekaligus pemahaman Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) karena mungkin kurangnya sosialisasi dari pihak instansi yang lebih tinggi, misalnya dari biro hukum provinsi atau Kabag Hukum dari kota,
4.
Pengaturan Standar Operasional Prosedurnya (SOP) seperti bagaimana cara Satpol PP dalam penanganan operasinya yang hanya secara umum dan tak ada batasan-batasannya untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk satpol PP sehingga pola pikir masyarakat berbedabeda,
5.
Kurangnya Koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), proaktif dari masing-masing dinas itu belum ada, sehingga BAP atau Berita Acara Pemeriksaan hanya ada di bagian PPNS Satpol PP saja sedang data-data memang tidak ada untuk Dinas Sosial yang terkesan tidak peduli dengan hal itu,
6.
Juga sanksi yang seharusnya diberikan untuk memberikan efek jera pada pelanggar aturan perda tidak ada karena dari pihak Dinas Sosial yang seharusnya memberikan pembinaan merupakan tugas dari mereka tidak pernah direalisasikan. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dikemukakan bahwa peran pemerintah
daerah baik di Provinsi maupun di Kota Gorontalo memiliki kendala yang ditemui. Kendala-kendala tersebut berasal dari intern dan ekstern. Secara intern, kendala lebih banyak disebabkan oleh kurangnya kepedulian masyarakat terhadap program yang dilaksanakan oleh Perda tentang pencegahan maksiat ini sedangkan secara ekstern kendala yang ditemui adalah kurangnya anggaran dan realisasinya yang berasal dari pemerintah kota maupun provinsi.
13
D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Tidak Efektifnya pelaksanaan Pasal 7 Ayat (2) Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat dalam Pencegahan Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo karena koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Gorontalo kurang khususnya para aparat penegak Perda dalam hal ini yakni Satpol PP Kota maupun Satpol PP Provinsi yang tak pernah berkoordinasi dalam penegakkan Perda Nomor 10 Tahun 2003 ini.
2.
Faktor-faktor yang menghambat pemerintah dalam memberantas maksiat yang berhubungan dengan Porno-aksi dan Pornografi di Kota Gorontalo diakibatkan oleh:Kurangnya Sosialisasi sosial yang di lakukan oleh pemerintah terkait, dan terkesannya tak mau tau tentang perkembangan perda ini, hanya beberapa saja yang terkesan mau dan mendukung dilaksanakan Perda tentang Pencegahan Maksiat ini. a. Kurangnya anggaran ataupun biaya, b. Kurangnya personil dan sumber daya manusia (SDM), c. Tingkat keegoisan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah serta kesadaran masyarakat yang masih kurang. d. Disamping itu pula dukungan dari orang tua sangat berpengaruh penting dalam peningkatan moral anak-anak sebagai penerus kedepannya.
1. Harus ada penanganan yang serius dari pemerintah dalam hal penegakkan Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat khususnya pornografi dan porno-aksi. 2. Kerjasama antar pemerintah dan aparat-aparat terkait serta Satuan Kerja Perangkat Daerah harus lebih di tingkatkan lagi baik antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota. 3. Perlu adanya sosialisasi yang harus berkesinabungan. 4. Perlu adanya sanksi yang tegas dari pemerintah agar memberi efek jera kepada pelanggar perda.
14
Saran Efektivitas Pasal 7 Ayat (2) Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat khususnya pornografi dan porno-aksi merupakan perda yang sangat penting dan harus di tegakkan. Oleh karena itu disarankan hal-hal sebagai berikut: 5. Harus ada penanganan yang serius dari pemerintah dalam hal penegakkan Perda Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat khususnya pornografi dan porno-aksi. 6. Kerjasama antar pemerintah dan aparat-aparat terkait serta Satuan Kerja Perangkat Daerah harus lebih di tingkatkan lagi baik antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota. 7. Perlu adanya sosialisasi yang harus berkesinabungan. 8. Perlu adanya sanksi yang tegas dari pemerintah agar memberi efek jera kepada pelanggar perda. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada Agung Kurniawan, 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan Alex A. Rachim, 1977. Pornografi dalam Pers, sebuah Orientasi Jakarta: Dewan Pers Andi Hamzah, 1987. Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Study Perbandingan, Cet. 1, Jakarta: Bina Mulia Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo. 2013. Kota Gorontalo Dalam Angka 2013. Gorontalo City in Figures 2013 Bambang Sunggono, 2012. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Burhan Bungin, 2003. Pornomedia: Konstruksi Sosial teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Bogor: Kencana Cipta Kreasi Indonesia (CKI) atas Prakarsa Fadel Muhhamad, 2004. Payung Hukum Provinsi Gorontalo, Jakarta: Cipta Kreasi Indonesia Cipta Kreasi Indonesia
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka Ensiklopedi Islam, 2002. Jakarta: Ikhtiar baru Van Hove H. Syafruddin Kalo, 2010, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran. Hans Kelsen, 1973. General Theory of Law and State, New York: Russell and Ruseell. Hidayat. 1986. Teori Efektifitas Dalam Kinerja Karyawan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Husni Mubaroq, 2008. Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut Ibn-Al Qayyim Al-Jauziyyah. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. K.Deaux, 1993. Social Psychology in The 90’s, California: Wadsworth Inc. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: 1998 Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011. Direktorat Jenderal
Peraturan
Perundang-Undangan:
Panduan
Praktis
Memahami
Perancangan Peraturan Daerah Lawrence M. Friedman, 2001. American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta Luftan Muntaqo, 2006. Porno, Devinisi dan kontroversi, Yogyakarta: Jagad Pustaka Neng Djubaedah, 2004. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta: Prenada Media Neng Djubaedah, 2009. Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam, Edisi Revisi, Cet. 3, Jakarta: kencana P. Joko Subagyo, 1997. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, Ronny Hanitijo, Soemitro, 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia
16
Soerjono Soekanto, 2007. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) Soerjono Soekanto, 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiono, 2001. Metode Penelitian Administrasi, Bandung, Alfabeta Syarifah, 2006. Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi, Jakarta: Penerbit Yayasan Kota Kita W.J.S.Poerwadarminta, 1975. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Zainudin Ali, 2005. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika Perundang-Undangan dan Dokumen: Kumpulan Kitab Undang-Undang KUH Perdata KUHP KUHAP. 2008. Wacana Intelektual Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat Dan Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pencegahan Maksiat. Sekretariat Daerah Provinsi Gorontalo Biro Hukum Dan Organisasi Tahun 2007 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen PertamaKeempat (1999-2002) Plus Piagam Jakarta Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Setia Kawan press Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Undang-Undang Pornografi (UU No. 44 Th. 2008). 2011. Jakarta: Sinar Grafika Undang-Undang Pornografi. 2009. Bandung: Fokusmedia
17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 2008. Yogyakarta: Pustaka Timur Majalah Dan Koran: Koran Lampung Post edisi 20 April 2012 Majalah Suara Islam edisi 28 Maret 2012
