Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH I352090111
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor),” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah NRP I 352 090111
RINGKASAN ROFI’AH. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Nurmala K. Panjaitan. Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya antarsuku pada saat ini cenderung menimbulkan konflik antarbudaya, demikian juga kontak budaya yang terjadi antara Suku Sunda dan suku Madura. Namun, suku Sunda dan Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor memperlihatkan suatu kehidupan yang harmonis. Kondisi ini menarik menjadi landasan penelitian dengan tujuan: (1)Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura. (2)Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura. (3)Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura. Ting-Toomey (1998) berpendapat bahwa konflik antarbudaya dapat diatasi dengan diciptakannya komunikasi yang efektif antar individu dalam budaya yang berbeda. Efektivitas komunikasi antar budaya adalah adanya saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung diantara peserta komunikasi antarbudaya. efektivitas komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik individu yang diperoleh melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman terkait perbedaan-perbedaan kebudayaan. Pengamatan, pembelajaran, dan pengalaman tersebut akan melahirkan faktor pengetahuan dan faktor motivasi dari individu dalam mengupayakan komunikasi yang efektif. Dalam kasus komunikasi antarbudaya di Kelurahan Kebon Kelapa saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung yang tercipta melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman individu ini kemudian menimbulkan manajemen konflik antarbudaya yang baik diantara mereka dan mengakibatkan terciptanya harmonisasi antarsuku. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan strategi studi kasus. Jumlah informan yang ditemui peneliti sejumlah 18 yang didapat dengan teknik Snowball. yang terdiri dari 9 orang suku Sunda dan 9 orang suku Madura.Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW 10 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Bentuk komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura berupa penyelesaian konflik-konflik yang ada diantara mereka. Bentuk komunikasi antarbudaya di antara mereka juga berupa arena interaksi didalam area tinggal dan di luar area lingkungan tinggal. Melalui kedua bentuk komunikasi ini suku Sunda dan suku Madura menjalin keakraban diantara mereka (2) Jenis konflik yang terjadi dilokasi penelitian adalah menyangkut isu isi, relasi dan identitas. Konflik yang menyangkut isu isi dan relasi cenderung dapat dikompromikan disebabkan terpenuhinya kebutuhan akan kepentingan-kepentingan bersama. Sedangkan konflik menyangkut isu identitas lebih sulit dikompromikan karena terdapat kekhawatiran dianggap menyalahi kelompoknya menyangkut hal yang dianggap melanggar inti didalam nilai budaya masing-masing. Berkat pengamatan, pembelajaran dan pengalaman yang baik, generasi dua menggunakan gaya manajemen konflik berupa
mengkompromikan. Generasi ini menjadi panutan bagi generasi tiga dan generasi satu. Generasi tiga menggunakan gaya konflik intergrasi. Hal ini dapat mereka akukan berkat bimbingan dari generasi dua juga karena generasi ini mengalami pembauran budaya sejak kecil. Generasi satu bergaya konflik menghindari. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan dan motivasi diantara mereka (3) Efektivitas komunikasi antarbudaya antar suku Sunda dan suku Madura terjadi ketika konflik-konflik diatara mereka dapat diselesaikan, juga berkat adanya arena interaksi yang ada di dalam dan di luar lingkungan tinggal mereka. hal ini dikarenakan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman yang terus berkembang pada seluruh generasi sehingga pengetahuan dan motivasi antarbudaya semakin baik.
ABSTRACT ROFI’AH. intercultural communication effectiveness (conflict management in the village Kebon Kelapa) Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and NURMALA K. PANJAITAN (Members). Indonesia has experienced several severe ethnic conflicts since 1998. One of the most severe ethnic conflicts is Dayak and the Madurese conflict in Kalimantan. However there is a case of successful Madurese adapt and resolve conflicts with Sundanese in the village Kebon Kelapa. Identity Negotiation Theory, Hall’s cultural dimensions, and intercultural conflict management styles serve as the theoretical foundations for this research. The research data were collected by conducting indepth interviews with 9 Madurese residents and 9 Sundanese residents who represent three generations of conflict parties. Focus group discussions with Madurese and Sundanese were held to generate richer data. This study found that conflicts related to the content and relational issues as cultural differences; Madurese’s low context culture and Sundanese’s high context culture, resolved through compromise styles that led to better intercultural interpersonal relationship and working relationship. Improving those relationships were able to reduce an unresolved identity issue conflict that was usually exacerbated by economic disparity issues. More importantly, the second and third generations of those ethnic groups are found to have significant role on resolving conflicts. In this situation, the opinion leader of each ethnic group is a critical component that can facilitate dialog between conflicting parties, whereas the monumental event that symbolize the success of resolving conflict also plays a role as media of uniting Madurese and Sundanese as an community. It suggested principles or lessons for effectively handling intercultural conflicts. Key words: social identity negotiation, ethnic conflict, intercultural communication, management conflict style
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH I352090111
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: . Ir. Hadiyanto, MSi
Judul Tesis
:
Nama NIM Mayor
: : :
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Pada Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) Rofi’ah I352090111 Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA Anggota
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
a.n Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program S2
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal Pengesahan :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Penulisan tesis ini dilaakkan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Hadiyanto, Msi selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak apat disebutkan satu-persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermnfaat bagi penulis sendiri, akademisi, serta pihak lainnya. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaan dan kekurangan yang ada.
Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. xiv DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. xvi PENDAHULUAN ……………………………………………………………………1 Latar Belakang ……………………………………………………………. Perumusan Masalah ………………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………………………. Kegunaan Penelitian …………………………………………………………
1 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………….. 7 Komunikasi Antar Budaya……………………………………………….. 7 Pengertian Komunikasi Antar Budaya………………………………… 7 Konflik dan Manajemen Konflik.........……………………………….. 10 Tahapan Perkembangan Kearah Terjadinya Konflik................. 11 Dampak Konflik........................................................................... 12 Strategi Mengatasi Konflik........................................................... 13 Strategi Mengatasi Konflik antarpribadi....................................... 13 Individualistik dan Kolektivistik..... …………………….……............. 15 Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antar Budaya ……………………………………………….…..…….. 18 Efektifitas Komunikasi Antar Budaya …………………………..…… 19 KERANGKA BERPIKIR ………………………………………………………. 22 METODE PENELITIAN ……………………….………………………………. 25 Paradigma Penelitian …………………………………..……………………. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………………… Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………… Analisa Data ………………………………………….…………………… Triangulasi …………………………….……………………………………
25 27 27 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. 31 Profil dan Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa………………………….. 31 Sejarah Kedatangan Suku Madura dan berbagai Tanggapannya …….. 40 Kelembagaan Warga RT 04 RW 10…..……………………………….. 42 Bidang Ekonomi ………..…………………………………. 42 Bidang Keagamaan …………………………………………. 48 Pernikahan Antar Suku ……………………………………… 50 Pendidikan …………………………………………………… 53 Keberadaan Suku Lainnya …………………………………………… 58 Berbagai Arena Interaksi suku Sunda dan suku Madura..................... 59 Arena Interaksi dalam Lingkungan Tinggal…………………….. 59 Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal…………………….. 66 Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura………............. 75 Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 ………………………………… 75 Kasus bermuka galak ….……………………………………… 75 ……………………………………………….. 77 Kasus Clurit Kasus Pembangunan Masjid...........................................................80 Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi..................................................... 87 Kasus Penggunaan Jalan ................................................................92 Kasus Perdagangan Versus Jabatan.............................................. 94 Kasus Slametan...............................................................................95 Kasus Kaya Miskin...................................................................... 98 Jenis Konflik…………………………………………………………...100 Manajemen Konflik ...................................................................……. 111 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di RT 04 RW 10 ……………. 122 Gambaran Budaya
……………………………………………………….. 130
Suku Sunda ………………………………………………………….. 130 Suku Madura ………………………………………………………. 132 SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………..... 135 Simpulan…………………………………………………………......... 135 Saran ………………………………………………………………. 136 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
PENDAHULUAN Latar Belakang Percampuran budaya yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh beragam suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Berbagai suku tersebut mencirikan diri dengan bahasa yang khas, kebiasaankebiasaan yang unik, bahkan sistem nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kekhasan, keberbedaan dan keunikan masing-masing suku tersebut selanjutnya menentukan ciri-ciri keanggotaan setiap suku, juga menentukan interaksi dengan pola tertentu. Menurut Ting-Toomey (1998) identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi kedalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural (cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultur ini akan menentukan individu-individu yang termasuk dalm ingroup dan outgroup (Roger&Steinfatt dalam Raharjo 2004) Beragam suku tersebut selanjutnya menyebar dan menempati wilayah Indonesia yang luas. Hal ini memungkinkan terjadinya dua suku atau lebih menempati lingkungan sosial yang sama. Kelompok suku tersebut bertemu, berinteraksi dan menciptakan hubungan sosial yang khas. Masyarakat Indonesia yang multikultural ini secara demografis maupun sosiologis potensial bagi terjadinya konflik. dalam konteks identifikasi kultur ini, dimana para anggota kelompok suku dilahirkan, dididik,dan dibesarkan dalam suatu suasana askriptif primodial suku mereka yang mengakibatkan perbedaan antara “siapa saya” dengan “siapa anda” terlihat nyata, membutuhkan komunikasi yang efktif sebagai upaya menjalin hubungan antarsuku. Hubungan yang terjalin dengan baik akan menciptakan interaksi yang efektif, sebaliknya, hubungan yang tidak baik menyebabkan interaksi tidak efektif, tidak harmonis dan pada akhirnya mengarah kepada konflik. Salah satu contoh hubungan yang tidak harmonis antar dua suku yang menyebabkan konflik yaitu antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas, Kalimantan Barat.
2
Penelitian mengenai konflik yang melibatkan kedua suku tersebut pernah dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005. Bahari (2005) menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam budaya suku Dayak, sedangkan dari sisi suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan, baik yang sudah lama maupun masih baru, tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Keberanian orang Madura berbicara terus terang dan apa adanya dianggap tidak sopan dan terkesan sebagai suatu perlawanan pada suku pribumi. Oleh karena itu dalam pandangan suku Dayak, orang Madura merespon masalah atau kekerasan dengan tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan. Dapat dilihat dari sini bahwa komunikasi memegang peran penting dalam menentukan bentuk suatu hubungan. Perbedaan
keinginan dalam cara
berkomunikasi pada suku Madura dan suku Dayak dalam penelitian Bahari mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sehingga menimbulkan konflik. Penelitian Wuysang (2003) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara suku Melayu dan suku Madura di Sampit Kalimantan Tengah, salah satu pesan yang disampaikan yakni: ciri, sifat dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu suku tertentu. Perasaan negatif terhadap suku lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak sosial. Konflik-konflik yang terjadi menyiratkan makna bahwa sebagai bagian dari masyarakat multikultural, kita selama ini tidak atau belum melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan untuk meminimalisir kesalahpahaman budaya. Interaksi antar individu dan kelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi semu, tidak sungguhsungguh, cenderung tidak mencerminkan ketulusan, yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian komunikasi menjadi sekedar basa-basi, bukan untuk tujuan menyampaikan pesan yang sebenarnya.
3
Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal, kategori-kategori yang bersifat rutin, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1998). Artinya, ketika melakukan kontak antrbudaya individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktifitas komunikasinya tanpa dilandasi kesadaran dalam berpikir. Ia hanya menggunakan sudut pandangnya dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Seseorang yang mindless tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam masing-masing kelompok budaya disamping juga terdapat kesamaan-kesamaan diantara mereka. Bahwa komunikan merupakan individu-individu yang unik dan memerlukan pemahaman yang baik untuk dapat berperilaku yang tepat terhadap masingmasing individu tersebut. Konsep ini dikenal dengan emotional vulnerability, yaitu ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan mengalami emotional vulnerability. Dalam arti bahwa identitas kelompok (misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti sifat-sifat kepribadian) akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsi, berpikir dan bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial (Ting-Toomey, 1998). Cara komunikasi yang mindless ini disebabkan oleh munculnya situasi ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety). (Gudykunst & Kim, 1997) ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, atau khawatir tentang sesuatu yang akan terjadi. Penelitian ini melihat, suku Madura, sebagai salahsatu suku di Indonesia, sebagaimana menurut (Rahman, 2007) merupakan suku pengembara terbesar dan menempati banyak lokasi di Indonesia, Suku ini menyebar hampir di seluruh penjuru tanah air bahkan hingga manca negara. Di sebagian tempat sebagaimana dijelaskan di atas, suku ini mengalami konflik dengan suku lain. Di sebagian tempat lainnya suku Madura berhasil menjalin hubungan yang baik dengan suku setempat (Rifa‟i 2007).
4
Salah satunya di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Di daerah ini terdapat keragaman suku bangsa. Suku yang dominan adalah suku Sunda dan suku Madura. Suku Sunda sebagai penduduk asli sedangkan suku Madura sebagai suku pendatang. Mereka berdomisili di kelurahan Kebon Kelapa sejak tahun 70-an. Pernah terjadi beberapa konflik diantara kedua suku ini, diantaranya dalam kegiatan pembangunan mesjid serta memilih dan menetapkan pengurus masjid. Kegiatan ini ternyata memancing terjadinya konflik. Perbincangan santai dan musyawarah kerukunan warga yang diselenggarakan atas inisiatif salahsatu warganya dan berkat dukungan ketua RW setempat, untuk membahas konflik dalam perkara kepengurusan masjid dan beberapa kasus kesalahpahaman di antara keduanya, diduga memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk memahami dan menegosiasikan perbedaan budaya yang menjadi penyebab dari ketegangan dan permasalahan yang terjadi. Kemampuan suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda di Kelurahan Kebon Kelapa untuk menanggulangi konflik dan bertahan di lingkungan bersama, diduga tidak lepas dari kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi dan interaksi yang baik, yaitu menciptakan suatu situasi komunikasi antarbudaya yang di sebut mindfullness,
yaitu ketika seseorang berpikir tentang kecakapan
komunikasinya dan terus menerus berusaha merubah apa yang dia lakukan supaya menjadi lebih efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Suatu situasi komunikasi antarbudaya dimana masing-masing peserta komunikasi berusaha meningkatkan kecakapan komunikasinya serta mamapu merubah apa yang dilakukannya menjadi lebih baik adalah berkat kemampuan menghilangkan ketidakpastian dan kecemasan, serta mengaplikasikan pegetahuan budaya dan motivasi kedalam suatu kecakapan perilaku yang tepat disebut komunikasi antarbudaya yang efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Mindfulness juga merupakan proses memfokuskan kognitif yang dipelajari melalui praktik yang diulang-ulang. (Ting-Toomey, 1998). Dalam teori Negosiasi Identitas milik Ting-Toomey (1998), ia menegaskan bahwa mindful intercultural communication menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan antarbudaya yang penting, motivasi, dan kecakapan-kecakapan untuk berkomunikasi secara memuaskan, layak dan efektif,
5
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura? 2. Bagaimana konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura ? 3. Bagaimana efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura? Tujuan Penelitian Berbagai identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura. 2. Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura. 3. Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini bertujuan memperkaya khasanah penelitian mengenai komunikasi yang berkaitan dengan konflik antar etnik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengupayakan harmonisasi budaya atau memperbaiki kondisi pasca konflik untuk mengambil langkah-langkah terbaik.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Antarbudaya Pengertian Komunikasi Antarbudaya Gudykunts (1991) membedakan antara komunikasi lintasbudaya dengan komunikasi antarabudaya, yaitu jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Komunikasi lebih dari sekedar menolong seseorang untuk mengumpulkan informasi atau untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Komunikasi juga berperan dalam menentukan dan menjelaskan identitas, baik sebagai pribadi, kelompok maupun suatu identitas budaya. Interaksi seorang individu dengan yang lainnya menentukan siapakah dirinya. Identitas merupakan hal yang penting dalam komunikasi antarbudaya dalam menentukan jatidiri yang ditawarkan oleh seorang individu untuk dapat diterima oleh individu yang lainnya. Oleh karena itu pembahasan komunikasi antarbudaya adalah membahas ciri-ciri penting dan berbeda pada suatu individu yang disebabkan perbedaan budayanya (Mulyana, 2008) Berbagai definisi yang menyangkut komunikasi antarbudaya antara lain adalah sebagai berikut: Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2002) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras dan antar kelas sosial. Samovar (2010), mengatakan komunikasi antarbudaya yaitu komunikasi yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi
8
Dood (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok. Dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta Chen dan Starosta (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Ting-Toomey (1998) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Manusia merupakan makhluk pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lainnya. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Simbol dapat dalam bentuk suara, tanda, gerakan, dan lainlainnya yang dapat digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari hal ini mungkin terjadi. Bahwa seseorang menggunakan simbol untuk memberikan makna, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas perspektif, memeriksa ulang persepsi dan menamai perasaan-perasaan sehingga menjadi nyata. Dengan cara ini seseorang secara aktif memberikan arti melalui simbol-simbol. Menurut Ting-Toomey (1998) beragamnya latar belakang budaya dari para peserta komunikasi memungkinkan terjadinya keberagaman pemikiran diantara mereka. Hal ini yang menyebabkan
dibutuhkannya simbol untuk di
pertukarkan dan disepakati maknanya dalam suatu komunikasi. Karena itu agar menjadi efektif komunikasi antarbudaya memerlukan suatu situasi yang disebut mindfullness untuk dapat melakukan negosiasi terkait simbol dan pemaknaannya dalam suatu budaya tertentu, yang menjadi latarbelakang individu dalam suatu interaksi
antarbudaya.
mengembangkan
sebuah
dari teori
latarbelakang dalam
antarbudaya, yaitu teori negosiasi identitas.
pendapat
menjelaskan
ini
kejadian
Ting-Toomey komunikasi
9
Teori Negosiasi Identitas yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey memberikan sebuah dasar dalam memperkirakan bagaimana manusia akan menunjukan citra dirinya dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Citra diri adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan menampilkan dirinya di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Citra diri selanjutnya menjadi dasar perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi identitas mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam identitas orang lain. Beberapa asumsi teori Negosiasi Identitas
mencakup komponen-
komponen penting dari teori ini: citra diri, konflik, dan budaya. Dengan demikian poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey: 1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individuindividu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda. 2. Manajemen konflik dimediasi oleh citra diri dan budaya. 3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan. Asumsi pertama menekankan pada (self identity). Self identity ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan identitasnya dan identitas orang lain. Bagaimana persepsi seseorang tentang dirinya sendiri dan bagaimana seseorang ingin orang lain mempersepsi dirinya merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi. Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak identitas seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah „forum” bagi kehilangan identitas dan penghinaan terhadap diri ketika terdapat negosiasi yang tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang lain, memaksakan kehendak, dan lain sebagainya), Dalam hal ini cara
10
manusia bersosialisasi dalam budaya mereka memengaruhi bagaimana mereka akan mengelola konflik. Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap citra diri. Pertama, penyelamatan citra diri (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan citra diri sering kali menghindarkan rasa malu. Pemulihan citra diri (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa yang dianggap mempermalukan citra diri. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan citra diri dalam merespon suatu peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik pemulihan citra diri ketika suatu peristiwa yang dianggap memalukan terjadi. Konflik dan Manajemen Konflik Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu dihadapkan dengan berbagai macam masalah atau konflik. Konflik adalah hal yang akan selalu terjadi, entah konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat dihilangkan. Konflik hanya dapat dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah (Agus, 2003). Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Dengan dibawasertanya ciri ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Syarif, 2003) Menurut Nardjana (dalam Wijono,1993), konflik adalah suatu situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut Killman dan Thomas (dalam Wijono,1993), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja
11
Dalam konflik setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik seperti sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu seperti mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal ini mengakibatkan munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut, munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya (Wijono, 1993). Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik 1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya. 2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya. 3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan. 4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
12
5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan. Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja (Rahardjo, 2007) Dampak Konflik 1. Dampak Positif Konflik Apabila upaya penanganan dan pengelolaan suatu konflik
dilakukan
secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku para pelaku konflik berupa saling mendukung, saling menghargai dan saling pengertian. Semua ini bisa menjadikan tujuan bersama dapat tercapai bahkan berdampak pada produktivitas kerja yang meningkat sehingga akhirnya kesejahteraan bersama dapat terwujud dan terjamin. (Wijono, 1993). 2. Dampak Negatif Konflik Dampak negatif konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektifnya pengelolaan terhadap konflik yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik yang efektif. Akibatnya muncul keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan semua pihak berupa hilangnya kondusifitas lingkungan bahkan menurunnya produktivitas kerja. (Wijono, 1993). Strategi Mengatasi Konflik 1. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada). 2. Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
13
3. Menyepakati suatu solusi. Yaitu mengumpulkan masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Serta bersedia untuk menanggung secara bersma-sama keuntungan dan kerugian. 4. Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkahlangkah sebelumnya dan cobalah lagi. (Rahardjo, 2007) Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict) 1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy). Beroientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu: a. Arbitrasi (Arbitration). Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi (Mediation). Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihakpihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. 2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy). Dalam strategi saya menang anda kalah (win-lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan
win-lose
strategy
Hal
ini
dapat
melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task
14
independence). b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanalambiquity). c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers). d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits). e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy). Penyelesaian yang dipandang manusiawi karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak
yang
terlibat
dalam
konflik,
bukan
hanya
sekedar
memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu: a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problem Solving). Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
15
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses,
dimana
keduanya
tidak
mempunyai
kewenangan
untuk
menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik. (Rahardjo, 2007) Individualistik dan Kolektivistik Ting-Toomey memfokuskan pembahasan penyebabka konflik berdasarkan latarbelakang perbedaan budaya. Menurut (Ting-Toomey 1998) salah satu penyebab konflik terjadi adalah karena adanya perbedaan budaya individualis dan kolektivis. Budaya individualis adalah budaya “kemandirian” dan budaya kolektivis adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia memiliki kadar dan ragam yang berbeda-beda dalam hal individualis dan kolektivis. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara bagaimana citra diri dan konflik dikelola. Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan identitas
individual
dibandingkan
identitas
kelompok,
hak
individual
dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku. Iindividualisme menekankan inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai individualistik
menekankan
adanya
antara
lain
kebebasan,
kejujuran,
kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Individualisme melibatkan motivasi diri, otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks rendah. Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang, kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada tujuan
kelompok dibandingkan
tujuan
individu,
kewajiban
kelompok
dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi.
Kolektivisme
adalah
identitas
“Kita”.
Orang-orang
di
dalam
budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama dan memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik mementingkan keterlibatan. Beberapa nilai kolektivistik diantaranya adalah
16
menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang yang lebih tua, dan pemenuhan kebutuhan orang lain. Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak langsung
(lebih
banyak
basa-basi),
istilah
sering
dikenal
dengan
budaya komunikasi konteks tinggi. Ting-Toomey berargumen bahwa anggotaanggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih berorientasi pada citra diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada citra orang lain atau identitas bersama dalam sebuah konflik. Budaya kolektivistik berkaitan dengan
kemampuan
adaptasi.
Kemampuan
beradaptasi
memungkinkan
munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Maksudnya adalah anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator. Konflik sering kali terjadi ketika anggota-anggota dari budaya berbeda, atau memiliki tingkat individualistik dan tingkat kolektivistik yang berbeda bertemu, sehingga individu-individu yang berbeda tersebut akan menggunakan beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik pada berbagai peristiwa komunikasi. Menurut Ting-Toomey (1998) manajemen konflik mencakup Avoiding (menghindar), Obliging (menurut), Compromising (berkompromi), Dominating (mendominasi), dan Integrating (mengintegrasikan). Dalam menghindar, orang akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak menyenangkan dengan orang lain. Pada gaya menurut, orang yang berkonflik akan melakukan akomodasi pasif, yaitu berusaha memuaskan kebutuhan kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain. Dalam berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga kompromi dapat tercapai. Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan ide atau mengambil keputusan. Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk menemukan solusi masalah. Tidak seperti berkompromi, integrasi membutuhkan
17
perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain, yang mengharuskan masingmasing kelompok yang bertikai memperhatikan kelompok lainnya demi tercapainya kepentingan bersama. Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga menganggap penting persoalan citra diri dan citra orang lain. Sehubungan dengan perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat), Ting-Toomey beberapa hal: 1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak gaya mendominasi dalam manajemen konflik. 2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya mengintegrasikan dalam manajemen konflik. 3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut. 4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya. 5. Orang Korea menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari budaya-budaya lainnya. Budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat perhatian terhadap citra diri orang lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa penelitian mengenai citra diri dan konflik menunjukkan variabilitas budaya memengaruhi bagaimana konflik dikelola. Dalam budaya kolektivis, keanggotaan dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu, aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”. Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili citra diri memiliki pengaruh yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak citra sosial dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. ketika berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat dari budaya kolektivis cenderung menghindar. Masyarakat dari budaya
18
individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada citra sendiri dan cenderung menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk mengatasi konflik. Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi, gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat mengancam identitas. (Ting-Toomey, 1998). Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Kata competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang sehingga ia dapat berfungsi dalam keadaan yang mendesak dan penting. Kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang komunikator, atau kemampuan tertentu dari seorang komunikator untuk menghindari
perangkap
atau
hambatan
komunikasi.
Misalnya,
mampu
meminimalisasi kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan sikap dan persepsi orang lain. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang konkrit beserta sikap, struktur dan kebijakan yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya. Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya, antara lain adanya perbedaan nilai antarbudaya, tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri, kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan,
pengetahuan
kebudayaan
yang
sudah
institusionalisasi,
dan
mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi melayani orang lain. (Liliweri, 2002).
19
Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks. Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan pembentukan kata-kata dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi, yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gagasan pesan dalam berkomunikasi dengan orang lain; (3) konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun pesan dalam komunikasi. (Gudykunst, 1991). Menurut Ting-Toomey (1998), ada tiga komponen kompetensi dalam berkomunikasi yaitu: 1. Motivasi. Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain 2. Pengetahuan.
Pengetahuan
menentukan
tingkat
kesadaran
atau
pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif, komponen pengetahuan turut menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. 3. Keterampilan. Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari keterampilan semata-mata untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan. Untuk mengurangi ketidakpastian setidaknya seseorang harus mempunyai keterampilan empati, berperilaku seluwes mungkin dan kemampuan untuk mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Jadi kompetensi komunikasi antarbudaya adalah seperangkat pengetahuan dan motivasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang dituangkan dalam keterampilan berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia berbeda budaya. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya. Gudykunts antarbudaya
(1991) mengungkapkan
adalah
kemampuan
para
bahwa
peserta
efektivitas
komunikasi
komunikasi untuk
dapat
20
menciptakan iklim komunikasi yang positif. Iklim positif diartikan dengan adanya derajat kognitif yang baik, perasaan yang positif, dan tindakan yang menunjukan kemampuan berperilaku yang tepat. DeVito (1997) menyatakan bahwa untuk menghasilkan komunikasi antarbudaya yang efektif
adalah mengetahui pentingnya pemahaman kita
terhadap diri sendiri dan terhadap harapan orang lain dalam melintasi batas-batas interpersonal atau budaya. Mulyana dan Rakhmat (2006) menyatakan efektivitas komunikasi antarbudaya adalah mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalisir bias penilaian dan persepsi interpersonal, agar tidak terjebak dalam stereotype. Menurut Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2004) efekivitas komunikasi tergantung pada budaya yang mempengaruhi perilaku manusianya. Semakin baik kita mengenali dan memahami budaya mitra berkomuniaksi kita, maka akan semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan Selain itu sikap stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas ragam budaya dan uniknya manusia. Jadi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah jika dalam interaksi tersebut tercapai pemahaman dan penerimaaan yang tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya. Kealey dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) menyatakan efektivitas komunikasi terletak pada kepuasan seseorang untuk melakukan tindakan simbolik tertentu yang menggambarkan tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga motivasi untuk bertindak. Dalam hal ini, efektivitas komunikasi antarbudaya didahului oleh hubungan antarbudaya yang terjadi terus menerus sampai ke taraf kualitas terbaiknya. Kualitas ini dapat dicapai ketika seseorang dapat membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya dengan orang yang berbedabeda, sehingga dapat mengambil keputusan untuk mewujudkan suatu tindakan simbolik tertentu. Pada efektivitas komunikasi antarbudaya terdapat variabel yang menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel yang terkait dengan keterampilan social yaitu kejujuran, empati, pengungkapan rasa hormt dan keluwesan dari pelaku komunikasi. Variabel lain yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah variabel situasional
21
yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja, kondisi hidup, persoalan kesehatan, sasaran-sasarn proyek yang realistis, kesimpangsiuran politik, dan kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi. Kekuata pribadi, partisipasi sosial, kemampuan bahasa lokal dan apresiasi adat-istidat dari pelaku komunikasi juga mempengaruhi efektivitas komunikasi. Sebagai catatan, kelay dan Ruben menyatakan bahwa variabel pribadi menjadi lebih penting daripada variabel situasional didalam keefektivan komunikasi antrbudaya. Ting-Toomey (1998) menyatakan efektivitas komunikasi antarbudaya adalah sejauh mana komunikator mencapai makna bersama dan hasil yang diinginkan dalam suatu situasi interaksi tertentu. Dalam teori negosiasi identitas dinjelaskan tentang tercapainya makna bersama melalui proses negosiasi di dalam interaksi antarbudaya, serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya efektivitas dalam interaksi tersebut. Pendekatan ini dapat membantu memahami faktor-faktor yang penting dalam terjadinya negosiasi identitas yang efektif pada beragam kebudayaan yang melakukan interaksi dan komunikasi, dalam suatu lingkungan sosial bersama. Interaksi komunikasi antarbudaya yang kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan faktor-faktor motivasi ke dalam keterampilan interaksi sehari-hari, Ting-Toomey (1998). Artinya efektivitas dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya kemampuan peserta komunikasi dalam melakukan hal yang tepat dalam menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang ada dalam suatu interaksi antarbudaya. Kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut menurut Gudykunts(1991) berupa terciptanya suatu iklim komunikasi yang positif. Menurut Mulyana dan Rakhmat (2006) kemampuan tersebut berupa pengetahuan terhadap pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalisir bias penilaian dan persepsi interpersonal, agar tidak terjebak dalam stereotype. Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2004) kemampuan itu berupa pemahaman dan penerimaaan yang tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya, atau sebagaimana menurut Kealey dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) kemampuan melakukan hal yang tepat berupa kepuasan seseorang untuk dapat melakukan tindakan simbolik tertentu.
22
Ting Toomey menjabarkan kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut melalui didapatkannya pengetahuan yang baik terkait perbedaan budaya serta adanya motivasi dalam mencapai keselarasan makna suatu pesan. KERANGKA BERPIKIR Penelitian mengenai efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai konflik yang terjadi diantara mereka yang terjadi sejak kedatangan suku Madura pada tahun 70-an. Konflik-konflik tersebut membentuk interaksi yang unik diantara mereka. Pada dasarnya perbedaan budaya diantara mereka menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Hal ini disebabkan masingmasing suku menganggap nilai budayanya sebagai hal yang benar dan menganggap salah pada setiap nilai yang dianggap berbeda dengan nilai yang dianutnya. Kondisi ini dalam masa-masa awal percampuran budaya suku Sunda dan suku Madura mengakibatkan konflik-konflik terpendam dan konflik terbuka terjadi diantara mereka. Selanjutnya melalui proses yang panjang seiring masa yang dilalui oleh kedua suku ini, para anak muda berhasil melakukan manajemen konflik yang tepat berbasiskan penyelarasan berbagai kepentingan nilai dan budaya yang ada diantara mereka. Keterbukaan dan kesadaran pemikiran serta upaya-upaya penerimaan atas berbagai perbedaan dilakukan oleh para generasi muda ini. Dimasa selanjutnya apa yang dilakukan oleh para anak muda tersebut dilakukan pula oleh para orang tua dan juga oleh generasi yang lebih muda dari keduabelah suku. Hal inilah yang menghasilkan berkembangnya pengertian-pengertian terhadap pengetahuan terkait perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka. pengetahuan ini selanjutnya memotivasi kedua belah pihak untuk mengupayakan terciptanya komunikasi yang efektif diantara mereka. Melalui manajemen konflik tersebut suku Sunda dan suku Madura berhasil merubah pola pergaulan diantara keduanya yaitu hilangnya kecurigaan terhadap perbedaan nilai dan budaya. Kondisi ini menciptakan keakraban, kepercayaan bahkan kerjasama dalam berbagai bidang diantara mereka. Hal ini nampaknya sesuai dengan teori negosiasi identitas oleh Stella Ting-Toomey. Dalam teori negosiasi identitas, Ting-Toomey (1998) berasumsi
23
bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan identitasnya masing-masing, yaitu keinginan bagaimana kita memperlakukan dan diperlakukan oleh oran lain, dan untuk menegakkan dan serta menghormati identitas dirinya dan orang lain.
Tujuan utama yang hendak dicapai adalah
mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapat bernegosiasi dalam menangani konflik. Keinginan bernegosiasi diantara pelaku komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda tersebut mensyaratkan adanya pengetahuan dan motivasi terkait perbedaan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah adanya pengetahuan dan motivasi. Interaksi komunikasi antarbudaya yang kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan faktor-faktor motivasi ke dalam praktek interaksi sehari-hari. Analisa awal dalam melihat terjadinya berbagai konflik diantara suku Sunda dan suku Madura serta bagaimana cara mereka mengatasi konflik-konflik adalah untuk memahami alasan terbentuknya efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura. Melalui pemahaman yang mendalam perihal konflik dan penanganannya memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan sikap pada suku Sunda dan suku Madura yang dipelopori generasi muda dari kedua suku. Pada awal terjadinya percampuran budaya memperlihatkan bahwa keduanya merupakan dua suku yang berbeda dan saling terpisah dalam berbagai segi kehidupan
dan
kesehari-hariannya.
Pasca
konflik-konfik
yang
berhasil
diselesaikan berkembang kegiatan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman para individu dari kedua suku yang menurut Ting-Toomey berfungsi sebagai alat mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya. Penelitian ini menekankan bagaimana proses efektivitas komunikasi antarbudaya terjadi di kelurahan Kebon Kelapa antara suku Sunda dan suku Madura. Manajemen konflik yang dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura yang menjadi dasar terjadinya negosiasi identitas bagi masing-masing budaya bisa jadi membenarkan atau mengembangkan teori negosiasi identitas milik Stella Ting-Toomey
yang
menyatakan
bahwa
pengamatan,
pembelajaran
dan
pengalaman dapat melahirkan efektivitas komunikasi antarbudaya berupa pengertian, penghargaan dan dukungan.
24
Penelitian ini menekankan bagaimana proses interaksi dan komunikasi sosial yang dialami oleh suku Sunda dan Suku Madura sedang berjalan menuju sebuah identitas bersama yang unik, yang menjadi ciri khas lokal. Dimana dengan melalui tahapan-tahapan yang disepakati bersama, suku Sunda dan suku Madura menjadikan interaksi yang terjalin diantara mereka sebagai respon dari kebutuhan akan harmonisasi hidup berdampingan di satu sisi, dan pembuktian jati diri dan budayanya di sisi lain. Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Karakteristik Individu Pengamatan Pembelajaran Pengalaman
Faktor Pengetahuan Nilai budaya Bahasa Non verbal In-group out-group Relationshiph development Manajemen konflik Adaptasi antarbudaya
Faktor motivasi
Kesadaran identitas domain Kesadaran identitas needs
Efektivitas komunikasi antar budaya Saling mengerti Saling menghargai Saling mendukung
Keterangan : Pengaruh Langsung
Gambar 1. Kerangka pemikiran efektivitas komunikasi antar budaya
25
METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivisme.
Pemaknaan
terhadap
fenomena
efektivitas
komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura merupakan fakta sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh Sunda dan suku Madura itu sendiri. Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (induktif) dengan menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin (dalam Upe, 2010) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan pada fenomena yang sedang dikaji. Strategi penelitian adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa dan gejala kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996 dalam Widiyanto, 2009). Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi variabelvariabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan perhatian lebih luas. Penelitian kasus itu merintis dasar baru dan seringkali menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997). Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.
26
Mengingat studi mengenai efektivitas komunikasi adalah gejala yang mengandung dimensi-dimensi historis, maka menurut Sitorus (1999) agar gejala tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa percampuran budaya terjadi. Kemudian kajian sejarah lokal, yang memungkinkan perolehan pengetahuan mengenai perubahan sosial pada suku Sunda dan suku Madura. Penelitian ini kemudian akan memetakan proses terjadinya komunikasi antarbudaya, untuk memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor. Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain : Tabel Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian No
Tahap Penelitian
Kegiatan
Waktu
1.
Analisis Dokumen
Melakukan pengumpulan dan
Februari 2012
kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. 2.
Pra survey
Melakukan penelusuran awal
Maret 2012
tempat penelitian. Dari tahap ini dapat diperoleh gambaran umum wilayah penelitian, kondisi fisik demografi, kependudukan, dan kondisi sosial lainnya. 3.
Penelitian Lapang
Memahami gambaran umum
dan analisis
suku Sunda dan suku Madura , memahami bagaimana proses perkembangan interaksi dan komunikasi dari generasi satu, generasi dua dan genesari tiga, manajemen konflik sebagai hasil adaptasi dengan
April-Mei 2012
27
lingkungannya, dan perubahan pemaknaan terhadap identitas budaya. 4.
Analisis dan
Menganalisis fakta/temuan di
Penyusunan Hasil
lapangan
Juni-Juli 2012
Penelitian 5.
Verifikasi Hasil
Memverifikasi hasil penelitian
Penelitian
oleh tineliti (subyek
Juli 2012
penelitian) sebelum dipublikasi. 6.
Publikasi
Mempublikasi hasil penelitian
Agustus 2012
sebagai sumbangan ilmiah dalam pengembangan studi strategi komunikasi antarbudaya.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW Dimulai dari bulan Februari-Juli 2012. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa : 1. Di daerah ini komunitas Madura paling banyak terdapat diantara wilayah lainnya di Kelurahan Kebon Kelapa, dimana jumlah komunitasnya menyamai jumlah komunitas suku sunda yang tinggal di RT 04. 2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa terjadi harmonisasi hidup antara suku sunda dan suku Madura yang menunjukkan terdapat perbedaan pola pergaulan suku Madura yang berdiam di RT 04 dengan suku Madura yang berada di beberapa wilayah yang mengalami konflik dengan penduduk asli. 3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau. Teknik Pengumpulan data Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif field research dimulai dengan perumusan masalah yang tidak terlalu baku dengan strategi penelitian studi kasus. Untuk memperoleh data, maka teknik pengumpulan
28
data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan dari suku Sunda dan suku Madura area tinggal yang berbaur. Untuk memahami perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku Sunda dan suku Madura maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan kunci, ditentukan secara teknik snowball. Guna memahami fenomena sosial komunikasi antarbudaya, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci antara lain para orang tua dari generasi satu suku Sunda dan suku Madura. Mereka adalah orang-orang yang mengalami percampuran budaya paling awal yaitu dimulai dari kedatangan suku Madura lokasi penelitian. Generasi dua suku Sunda dan suku Madura, yaitu anak-anak dari generasi satu. Generasi tiga, yaitu anakanak dari generasi dua. Analisa Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1) meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusuri tema ; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998) Triangulasi Pensahihan pada suatu penelitian adalah dengan memeriksa satu butir uji baru dihadapkan dengan ukuran-ukuran keterampilan atau “construct” yang sama dan yang telah disahihkan. Bila mereka bertemu-bertumpang tindih, berkolerasi dengan kuat-butir atau uji baru tersebut memiliki “kesahihan bersama” yang baik.
29
Dalam penelitian kualitatif uji kesahihan dalam suatu penelitian disebut triangulasi. (Miles dan Huberman 1992) Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh dari generasi pertama, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi pertama, demikian pula mengecek data yang telah diperoleh dari generasi kedua, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi kedua, dan mengecek data yang telah diperoleh dari generasi ketiga kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi ketiga. Triangulasi teknik pengumpulan data adalah dengan cara membandingkan temuan lapangan dalam kasus pembangunan masjid dengan kasus interaksi di kasus penggunaan jalan dan kasus lainnya, dan dengan membandingkan temuan lapangan melalui wawancara antara peneliti dengan yang diteliti, dengan pengamatan peneliti perihal ketiga kasus tersebut.
30
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa Kelurahan Kebon Kelapa adalah salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Luas wilayah Kelurahan Kebon Kelapa adalah -/+ 57,81 Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 17.419 jiwa yang tersebar di 10 RW dan 45 RT. Kelurahan Kebon Kelapa berbatasan wilayah dengan Kelurahan Menteng di sebelah utara, berbatasan dengan Kelurahan Ciwaringin di sebelah timur, berbatasan dengan Kelurahan Gunung Batu di sebelah barat, dan berbatasan dengan Kelurahan Panaragan di sebelah selatan. Kelurahan Kebon Kelapa terletak di tengah-tengah kota Bogor. Kantor Kelurahan Kebon Kelapa berada tepat di pinggir jalan yang merupakan pertigaan jalan mawar. Jalur pertama ke arah utara jalan menjadi jalur menuju pusat perbelanjaan kota Bogor seperti PGB, taman topi, atau yang lebih dikenal dengan nama taman Ade Irma Suryani, deptstore matahari, stasiun kereta api Bogor, pusat perdagangan kaki lima jembatan merah, Balai Kota Bogor, hingga pusat pertokoan Suka Sari. Jalur kedua ke arah selatan adalah jalur menuju arah padang golf Bogor, rumah sakit Karya Bakti dan rumah sakit Marjuki Mahdi, serta merupakan jalan terusan ke Parung dan ke kota Jakarta. Jalur ketiga adalah ke arah timur menuju gelanggang olahraga kota Bogor, serta menuju pusat perbelanjaan Jambu Dua, dan arah menuju Cibinong. Letak Kelurahan Kebon Kelapa sendiri berhadapan dengan di pisah satu bidang jalan dengan dua area perdagangan kaki lima. Jajaran pedagang kaki lima pun terdapat di sebelah kiri Kelurahan Kebon Kelapa. Kondisi ini menjadikan kelurahan Kebon Kelapa dapat memantau kegiatan warga di sekelilingnya di satu sisi, namun menjadikannya berhadapan langsung dengan segala permasalahan perkotaan di sisi lain. Seperti kemacetan jalan raya, berbagai problem kaki lima, berbagai kejahatan di jalan raya, berbagai kecelakaan jalan serta banyak lagi masalah lainnya yang merupakan problem khas perkotaan. Kelurahan Kebon Kelapa juga berdekatan dengan pasar rakyat kota Bogor yaitu pasar Anyar dengan jarak satu kilometer. Pada malam hari di seluruh jalan menuju pasar dan di tengah jalan yang menjadi muara dari jalan-jalan yang berbentuk pertigaan tersebut menjadi pasar ilegal. Hal ini membuat wilayahnya
32
terus ramai selama 24 jam. Sejak dari pukul satu dini hari, badan jalan ini di padati oleh para pedagang yang menjual barang dagangannya di sepanjang jalan yang menghubungkan berbagai tempat sebagaimana disebutkan di atas. Aktivitas perdagangan ini sebenarnya merupakan kegiatan ilegal karena berada di lokasilokasi ilegal, mengingat tempat yang digunakan tersebut merupakan badan jalan raya, namun dikarenakan kemanfaatan yang didapat dari adanya para pedagang tersebut, seperti memudahkan para penjual makanan jadi untuk berbelanja ke tempat yag lebih dekat dan dengan harga yang lebih murah serta bahan bahan makanan yang masih segar, maka fenomena tersebut dibiarkan oleh pemerintah setempat, dengan ketentuan bahwa pasar harus sudah bubar pada pukul setengah lima pagi untuk menghindari permasalahan bagi pengguna jalan seperti kemacetan lalu lintas yang mulai ramai sejak pukul lima pagi tersebut. Para pedagang yang datang untuk berjualan di pasar dini hari itu terdiri dari para petani dan para pedagang yang tidak memiliki tempat berjualan di pasar legal, sehingga harus menjual sendiri hasil taninya, dengan tanpa melalui mata rantai perdagangan pasar yang legal. Jika kemudian barang-barang dagangan tersebut tidak habis terjual, maka para pedagang pasar ilegal itu akan menjualnya kepada para pedagang pasar legal. Barang-barang tersebut kemudian dijual pada pagi harinya oleh para pedagang pasar legal tersebut dengan harga mencapai dua kali lipat dari harga beli. Adapun para pembeli adalah mereka yang merupakan para pedagang makanan jadi. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru kota Bogor, termasuk para pedagang dari RT 04. Mereka sangat senang dengan adanya pasar ilegal tersebut, karena di samping tempatnya yang relatif lebih dekat dengan tempat tinggal mereka, juga karena di pasar ilegal tersebut mereka bisa mendapatkan bahan-bahan yang masih segar dengan harga yang cukup murah. Para pedagang makanan ini memulai aktivitasnya sejak pukul tiga dini hari sehingga olahan makanan segera dapat mereka jual untuk keperluan sarapan bagi mereka yang menjadi konsumen dagangannya. Pada awalnya, keberadaan pasar ilegal tersebut dilarang dan sering kali di bubarkan oleh pemerintah setempat, dengan alasan menggunakan tempat yang tidak semestinya, serta menyebabkan kotornya jalan raya oleh sampah dagangan. Namun setelah melihat manfaatnya baik bagi para warga yang menjadi pembeli
33
dan juga bagi para petani yang penjadi penjual di pasar ilegal tersebut, maka pemerintah kota Bogor membuat kesepakatan tidak tertulis dengan para pelaku pasar ilegal tersebut. Perjanjian yang dimaksud yaitu kegiatan pasar hanya boleh dimulai dari pukul dua dini hari dan sudah harus berakhir ketika pukul setengah lima pagi. Juga dengan catatan jalan yang menjadi area pedagangan harus bersih tanpa meninggalkan sampah sisa dagangan. Selama para pelaku pasar mampu untuk memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan itu, maka selama itu pula mereka di perbolehkan melakukan aktivitas ilegal tersebut. Bagi warga RT 04, keberadaan pasar ilegal tersebut semakin membuka peluang dalam mengembangkan berbagai usaha mereka terutama dalam hal penjualan makanan jadi dan juga kreativitas-kreativitas lainnya. Bahkan sebagian warga RT 04 memanfaatkan pasar ilegal tersebut untuk menjual jasa angkutan dan juga jasa tenaganya. Kelurahan Kebon Kelapa juga berdekatan dengan lokasi-lokasi penting yang ada di kota Bogor, yaitu jarak 5 kilometer dari jalan utama yang menghubungkan kota Bogor dengan kota-kota di sekitarnya seperti Jakarta, Banten, dan Bandung, 1 kilometer jarak menuju kebon raya Bogor, dan 2 kilometer menuju pasar dan pusat-pusat perdagangan kota bogor. Kedekatan pada berbagai lokasi penting ini berdampak pada kemudahan akses menuju lokasilokasi tersebut sehingga memungkinkan roda perekonomian berbasis perdagangan berkembang di sekitar wilayah kelurahan Kebon kelapa ini.
34
Tabel 1. Profil Kelurahan Kebon Kelapa Bogor Tahun 2011 No
Profil
1.
Luas Kelurahan Kebun Kelapa
2.
Formasi Kelurahan :
3.
4.
Jumlah -/+ 57,81 Ha
RT
45 RT
RW
10 RW
Batas wilayah : Utara
Kelurahan Menteng
Timur
Kelurahan Ciwaringin
Barat
Kelurahan Gunung Batu
Selatan
Kelurahan Panaragan
Keadaan demografi : Penduduk
16.460 jiwa
-Laki-laki
8.471 jiwa
-Perempuan
7.998 jiwa
Kepala Keluarga
4.654 KK
Sumber : Profil kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor Tahun 2011.
Adapun RT 04 RW 10 merupakan salah satu dari 45 RT dari 10 RW yang berada dalam lingkungan Kelurahan Kebon Kelapa. Letak RT 04 RW 10 berada di sebelah kanan dari kelurahannya, yaitu kelurahan Kebon Kelapa, oleh karena itu, RT 04 RW 10 pun berada di pusat kota Bogor, dengan jarak sejauh 500 meter ke Kelurahan, jarak 2 kilometer ke kecamatan dan jarak yang cukup dekat yaitu sekitar satu kilometer untuk ke berbagai pusat perdagangan dan perbelanjaan yang banyak terdapat di kota Bogor. Keadaan ini memungkinkan berkembangnya usaha perdagangan dan berbagai kreativitas usaha dan jasa. Kebanyakan warga RT 04 bergerak dibidang ini sehingga perekonomiannya di dominasi perdagangan, wiraswasta dan penyedia jasa. Sebagian yang lain berprofesi sebagai karyawan swasta atau negeri, atau sebagai tenaga pengajar. Wilayah RT 04 terdiri dari beberapa area pemukiman. Sebagai area utama adalah area yang disebut area pinggir jalan, yaitu sebuah lokasi pemukiman dimana posisi rumah-rumah warga saling berhadapan dengan dipisahkan jalan kecil yang hanya dapat dilalui satu mobil. Area ini selain sebagai area pemukiman, karena letaknya yang terpisah oleh sebuah ruas jalan, juga
35
merupakan pusat kegiatan ekonomi yang berada di RT 04. Di sana terdapat enam buah warung sembako besar dan kecil, tujuh buah warung makan, satu buah toko material, satu buah bengkel motor, dua buah pangkalan becak, dua buah warnet, satu buah warung bakso dan mie ayam dan satu buah warung soto. Selanjutnya adalah area pemukiman pinggir kali, dinamakan demikian karena letaknya yang berada di sepanjang aliran sungai Cidepit. Area ini terletak di pangkal jalan area pinggir jalan, disana terdapat pula tiga buah warung makan, empat buah warung sembako kecil, dua buah counter handphone dan satu buah warnet. Selanjutnya area gang kuburan. Area ini adalah sebuah gang yang dipisah oleh tembok yang tinggi yang berfungsi sebagai pembatas area ini dengan pekuburan umum yang terdapat di wilayah Kebon Kelapa. Posisi area ini berada di ujung jalan area pinggir jalan. Di pangkal jalan menuju area ini terdapat dua buah counter handphone sebagai tempat usaha milik warga setempat serta satu buah warung sembako dan satu buah home industri kacang kemasan. Keseluruhan wilayah yang masuk ke dalam RT 04 ini adalah seluas 20 hektar. Lokasi pemukiman yang digunakan juga untuk berbagai kegiatan perekonomian ini menjadikan RT 04 RW 10 ini relatif padat. Banyaknya kegiatan perdagangan yang terjadi di RT 04 ini tidak terlepas dari
kedekatannya
kepada
berbagai
akses
di
sekitarnya
sebagaimana
Kelurahannya. Ketersediaan berbagai kebutuhan yang mudah didapat pun menjadi faktor lain yang menghidupkan berbagai usaha di RT 04. Adapun para pembeli dari barang-barang dagangan yang ditawarkan di sepanjang jalan di RT 04 adalah para warga sendiri dan siswa sekoalah yang terdapat di sekitar area pemukiman RT 04. Terdapat beberapa lembaga pendidikan yang mengelilingi RT 04. Salah satunya adalah yayasan pendidikan Islam Alghazali. Yayasan pendidikan ini memiliki jenjang pendidikan dari SD, SMP dan SMA sebagai lembaga pendidikan umum, juga terdapat jenjang pendidikan Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sebagai pendidikan keagamaan. Ada juga SD impres yang terdiri dari SD 1, SD 2, SD 3, dan SD 4, yang berada dekat dengan wilayah RT 04 yang memungkinkan murid-murid di sana bermain dan berbelanja ke RT 04. Di dekat SD impres tersebut terdapat juga sekolah tingkat menengah bernama SMK Bina Bangsa. Lokasi jalan di RT 04 yang berfungsi sebagai jalan tembus ke berbagai tempat
36
seperti pemukiman rumah di Gunung Batu, pemukiman rumah Lebak, pemukiman rumah Kebon Kopi, memungkinkan area ini dapat menghidupkan berbagai jenis usaha. Hal ini membuat kemampuan berkreativitas mengelola potensi-potensi yang ada sangat dibutuhkan, karena di sisi lain, dampak perkotaan adalah kesulitan lapangan pekerjaan yang berakibat pada tingginya angka pengangguran bagi mereka yang berdaya kreatif rendah. Kedua hal tersebut terjadi di RT 04, yaitu bagi orang-orang yang memiliki daya kreativitas yang tinggi maka akan mampu untuk memperoleh penghidupan yang layak bahkan berlebih. Adapun mereka yang kurang kreatif akan menjadi korban persaingan hidup dan cenderung menjadi pengangguran. Orang-orang yang memiliki daya kreatif inilah selanjutnya yang menjadi kunci kesuksesan perekonomian RT 04. Mereka mengadakan kerjasamakerjasama bisnis di antara sesama RT 04. Kegiatan ini selain bertujuan membesarkan usaha-usaha yang mereka rintis, juga bertujuan membangun ekonomi bersama, yaitu mereka yang kurang beruntung direkrut untuk bekerjasama baik sebagai pegawai, sebagai partner dalam kegiatan ekonomi mereka, hingga peminjaman modal usaha. Luas wilayah RT 04 adalah 20 kilometer. Lahan ini terbagi menjadi tiga area pemukiman dan digunakan pula sebagai tempat berbagai usaha dan perekonomian. Ketersediaan lahan yang sempit dengan penduduk sebanyak 180 KK ini menjadikan RT 04 hanya memiliki fasilitas umum berupa satu buah masjid, satu buah puskesmas, satu buah lapangan futsal, satu buah tempat pemandian umum, satu buah mushola, dan satu ruas jalan sepanjang 500 meter.
37
Tabel 2. Profil Usaha Warga RT 04 RW 10 Area No
Bentuk Usaha
Pinggir Jalan
Pinggir
Gang Kuburan
Kali 1.
Warung
sembako
6 buah (besar
4
buah 1 buah (kecil)
(besar dan kecil)
dan kecil)
(kecil)
2.
Warung makan
7 buah
3.
Warung bakso
1 buah
3 buah
-
4.
Warung mie ayam
2 buah
-
-
5.
Warung soto
1 buah
-
-
6.
Warnet
2 buah
-
-
7.
Konter handphone
-
1 buah
2 buah
8.
Toko material
1 buah
2 buah
-
9.
Shworoom motor
1 buah
-
-
10.
Home industri
-
-
1 buah (kacang
-
kemasan) 11.
Pangkalan becak
2 buah
-
-
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011
Dipilihnya wilayah ini sebagai tempat penelitian, karena hanya di RT 04 lah komunitas Madura paling banyak terdapat, di antara wilayah lainnya di kecamatan Kebon Kelapa. Jumlah mereka yang sebanyak 35% dari total penduduk RT 04 menyamai jumlah suku Sunda yang tinggal bersama mereka sebagai warga RT 04 yaitu sebanyak 40% . Diketiga area yang masuk ke dalam wilayah RT 04 tersebut, suku Sunda dan suku Madura hidup berdampingan dan berbaur. Keberbauran tersebut dapat dilihat dari posisi rumah orang yang berasal dari suku Sunda yang bersebelahan, ataupun berhadapan dengan rumah orang yang berasal dari suku Madura. Kondisi rumah yang berdekatan satu sama lainnya ini memungkinkan mereka untuk bertemu dan bertegur sapa disetiap kesempatan. Di area pinggir jalan, pembauran antar suku lebih jelas terlihat, yaitu warga dari suku Sunda berdampingan rumah dengan tetangganya yang bersuku Madura. Terdapat 60 KK di area pinggir jalan, dan dari 60 KK yang ada tersebut terdiri dari suku Sunda sebanyak 28 KK, suku
38
Madura 22 KK, sedangkan sisanya terdiri dari suku Jawa, suku Padang dan suku Batak. Dari ketiga area yang termasuk dalam wilayah RT 04, suku Batak, suku Jawa dan suku Padang hanya terdapat di area pinggir jalan ini. Berbagai kondisi yang telah dijelaskan, menjadikan area ini merupakan pusat segala problematika sekaligus penyelesaiannya di RT 04. Pusat perdagangan di area RT 04 juga terdapat di sini. Masjid RT 04 juga terdapat di area ini. Berbagai kejadian konflik juga selalu berawal dari area ini. Demikian juga berbagai penyelesaiannya selalu merupakan inisiatif warga yang berada di area pinggir jalan ini. Para informan yang diambil dalam penelitian ini sebagian besarnya adalah warga RT 04 yang berada di area pinggir jalan ini. Seperti Pak Agus dan Pak Syamsudin dan juga beberapa informan yang kemudian masuk dalam kategori generasi ketiga. Lokasilokasi yang kemudian menjadi arena interaksi di lingkungan dalam wilayah tinggal juga terdapat di sini. Hal ini dikarenakan bentuk pemukiman yang terbentuk di sepanjang jalan RT 04 memungkinkan terjadinya beragam kegiatan di sana. Melalui jalan ini pulalah para penduduk RT 04 datang dan pergi. Para pedagang yang termasuk jajaran orang kaya RT 04 baik yang terdiri dari suku Sunda maupun yang terdiri dari suku Madura tinggal di area pinggir jalan ini. Di jalan ini juga lah beberapa isu berkembang dan kemudian menjadi konflik di antara suku Sunda dan suku Madura. Hal ini mengindikasikan bahwa selain jumlah kedua suku yang diteliti yaitu suku Sunda dan suku Madura di area yang pertama ini dapat dikatakan sepadan, juga bahwa di area inilah yang menjadi titik sentral bagi perkembangan hubungan kedua suku yang di teliti ini. Selanjutnya di area pinggir kali, warga yang tinggal di sana didominasi suku Madura, sebanyak 20 KK, sedangkan suku Sunda sebanyak 11 KK. Area ini masih merupakan bantaran kali Cidepit ketika suku Madura gelombang yang selanjutnya itu datang ke RT 04. Tidak terdapat perumahan penduduk di sana, sehingga orang Madura lah yang menjadi pemukim pertama di sepanjang pinggiran sungai Cidepit itu. Maka dari itu sangat wajar ketika kemudian penduduk yang berasal dari suku Madura jumlahnya lebih banyak dari penduduk yang berasal dari suku Sunda yang tinggal disana. Hal ini juga di sebabkan karena suku Sunda yang bertempat tinggal di area pinggir kali ini merupakan para
39
pendatang dari luar RT 04 yang kedatangannya terjadi setelah komunitas Madura di sana cukup banyak. Di area ini kehidupan antar suku relatif lebih tenang dibandingkan percampuran suku yang terjadi di area pinggir jalan maupun di area gang kuburan yang terkadang di warnai beberapa konflik. Di area ini tidak pernah terjadi konflik di antara suku Sunda dan suku Madura. Namun sisi negatif dari kondisi yang relatif tenang itu adalah tidak adanya perkembangan hubungan yang terjadi di sana. Kedua suku ini tetaplah merupakan dua suku yang terpisah satu sama lain. Masing-masing hanya peduli pada kehidupannya sendiri saja. Jika bukan karena hubungan yang semakin akrab antara suku Sunda dan suku Madura di area pinggir jalan pasca berbagai konflik yang mereka lalui, di area pinggir kali tidak akan terjalin keakraban antar suku. Hanya karena mengikuti pola interaksi warga pinggir jalan, dimana hal tersebut mereka lihat saat di masjid, maka area pinggir kali pun selanjutnya mengembangkan hubungan yang lebih akrab di antara suku Sunda dan suku Madura yang terdapat di sana Area penelitian yang ketiga adalah area gang kuburan. Di area gang kuburan suku Sunda sebanyak 32 KK, sedangkan suku Madura hanya 11 KK. Area gang kuburan adalah area pemukiman yang pertama ada di wilayah RT 04. Sejak awal, memang area inilah yang menjadi lingkungan tinggal warga yang pada awalnya semuanya terdiri dari suku Sunda. Di area inilah para tokoh utama suku Sunda berada. Di area ini pula komunitas Sunda memang merupakan penduduk asli RT 04. Di area ini pula warga sering berkumpul terutama ketika konflik-konflik terjadi, karena ketua RT 04 selalu merupakan warga yang berasal dari tempat ini, bertempat tinggal di sini dan bersama orang-orang yang merupakan komunitas penting suku Sunda. Orang Madura terutama para anak muda sering berkunjung ke tempat ini. Mereka akan memulai tradisi silaturahminya dari tempat ini. Serta sering kali menjadikan salah satu rumah warga di sana sebagai tempat merencanakan pertemuan antar suku ketika konflik mulai tercium. Walaupun pada akhirnya pertemuan-pertemuan besar di antara mereka selalu terjadi di area pinggir jalan, baik di masjid maupun di rumah salah satu warga Madura, karena alasan ruang yang luas yang cukup untuk menampung banyak orang seperti TPA milik Pak Syamsudin. Hanya terdapat sedikit suku Madura yang tinggal di area ini. Hal ini karena lokasi tinggal di area ini sudah
40
padat sejak semula sehingga hanya dapat menampung sedikit tambahan saja. Tidak terdapat suku lain selain suku Sunda dan suku Madura di area gang kuburan ini. Hal itu justru membuat keakraban antar suku menjadi lebih mudah terjadi. Sebelas keluarga suku madura yang tinggal di sana tidak kesulitan untuk berbaur dengan komunitas Sunda yang dominan di area tinggalnya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya suku Sunda memang merupakan suku yang ramah, ditambah kondisi suku Madura yang tinggal di sana tidak terlalu berbeda secara ekonomi dengan mereka, sehingga tidak terdapat kesenjangan di antara kedua suku yang tinggal berdampingan tersebut. Dari data ini terlihat bahwa terdapat pembauran dari segi posisi area rumah tinggal di seluruh wilayah RT 04, yang berdampak pula pada pergaulan dan interaksi keseharian warga setempat. Tabel 3. Wilayah dan jumlah warga RT 04 RW 10 Kelurahan Kebonkelapa Kota Bogor
NSuku No
Wilayah pinggir
Wilayah pinggir
Wilayah gang
jalan
kali
kuburan
Sunda 1
28 KK
11 KK
32 KK
Madura 2
22 KK
20 KK
11 KK
Sumber: Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011.
Sejarah kedatangan suku Madura dan berbagai tanggapannya Menurut keterangan dari informan, bahwa pendatang yang tinggal di RT 04 bukan saja dari suku Madura yang datang sejak tahun 70-an, tetapi dari suku Sunda pun ada sebagian yang merupakan pendatang, dimana asal mereka adalah dari kota Garut dan kota Banten. Ada pun kedatangan suku Madura ke RT 04 yang paling awal yaitu pada tahun 1970 disebut sebagai pendatang pertama. Suku Sunda pendatang berada di RT 04 sejak tahun 1978. Selain mereka adalah suku Sunda pribumi. Namun suku Sunda pribumi menganggap suku Sunda yang datang dari Garut dan Banten sebagai pribumi sebagaimana mereka, sedangkan pada orang Madura, tetap dianggap sebagai pendatang. Oleh karena itu, tetap terdapat dua kategori penghuni RT 04, pribumi yaitu suku Sunda dan pendatang yaitu suku Madura. Saya juga sebenernya lahirnya di daerah Bantar Kambing sana, bukan disini, tapi keluarga banyak di sini, pak Odih kan masih
41
saudara saya, ada juga pak Ukuy dari banten, ya sama aja sesama Sunda ya pribumi lah kita ini (Agus, Sunda generasi 2) Kedatangan suku Madura yang pertama kalinya, yaitu pak Munara, menempati area pinggir jalan. Dalam pengakuan informan yang merupakan suku Sunda pribumi, digambarkan sebagai orang yang tidak banyak bicara, raut wajahnya terkesan galak, dan berperilaku mudah marah dan mudah pula mengeluarkan senjata cluritnya. Hal ini mengakibatkan suku Sunda enggan menyapa ataupun berbincang dengan Pak Munara dan keluarganya, informasi ini dibenarkan oleh beberapa orang suku Sunda lainnya, bahkan orang-orang dari suku Madura pun membenarkan cerita tersebut. Selanjutnya terjadi perubahan sikap pada pendatang yang datang kemudian yaitu pada tahun 1973. Mereka yang datang kemudian itu adalah Pak Siddik, Pak Mawi dan Pak Bunawi. Mereka dianggap lebih ramah dan mau bertegur sapa dengan tetangganya yang berbeda suku, ketiga pendatang ini pun menempati area pinggir jalan. Karena kedatangan yang pertama dengan kedatangan gelombang kedua tidak terlalu jauh jaraknya, serta usia mereka yang hampir sepadan, maka mereka dikategorikan sebagai generasi pertama dari suku Madura yang datang ke RT 04. Selanjutnya suku Madura masih berdatangan ke RT 04 hingga tahun 2011. Ini mah saya mau cerita zaman dulu ya, dulu tuh sekitar tahun tujuh puluhan lah, saya ingetnya mah, Pak Munara, yang pertama datang tuh dia suku Madura, orangnya galak, ya gimana ya wajahnya tuh sangar menurut saya mah, ih pokoknya mah takut lah kita tuh, mau lewat depan rumahnya aja enggak berani da’, kebiasaannya nih kalau sore, itu celurit, gede, diasah sama dia di depan rumah teh, kaya gitu tuh, tapi pas kira-kira tiga tahunan lah dari itu, datang Pak Mawi, Pak Husen dan Pak Siddik, segitu kalau ga salah, nah mereka mah ramah tuh apalagi Pak Siddik, orangnya baik” (Ujang Madi, Sunda, generasi 1) Adapun dari suku Sunda, penghuni yang dianggap mula-mula adalah keluarga Pak Arsa, yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Arsa. Mbah Arsa lebih dikenal dari yang lainnya sebagai penduduk asli RT 04, lebih disebabkan posisinya
sebagai
pemuka
agama,
sehingga
orang-orang
kemudian
menganggapnya sebagi tetua suku mereka. Selanjutnya dari keturunan Pak Arsa
42
inilah para pemuka suku Sunda bermunculan, seperti Pak Odih yang dalam penelitian ini dimasukkan dalam kategori generasi pertama suku Sunda. Suku Sunda yang dijadikan sebagai informan generasi pertama dalam penelitian ini dilihat dari segi kesepadanan usia dengan para pendatang suku Madura di awal kedatangan suku ini. Mbah Arsa mah kabuyutan orang sini lah, iya kabuyutan, Sunda aslinya lah di RT 04 mah, orangnya sholeh, kita semua tuh ngaji ke dia dulu mah, sekarang kan ke keturunannya, Pak Odih, Pak Arif (Ujang Madi, Sunda, generasi satu) Kelembagaan Warga RT 04 RW 10 Bidang Ekonomi Terdapat banyak kerjasama di bidang ekonomi yang terjadi di RT 04. Di antaranya berupa anak-anak muda suku Sunda yang bekerja sebagai pegawai pada para pedagang suku Madura. Contoh model kerjasama ini seperti Mumuh, seorang suku Sunda yang bekerja kepada Pak Madi seorang suku Madura sebagai pegawainya yaitu sebagai tukang sate. Pekerjaan para tukang sate dimulai sejak dini hari. Seperti pak Madi yang akan berangkat ke pasar untuk membeli ayam serta berbagai keperluan bumbu sate pada pukul 03.00 dini hari. Sesampainya dirumah, dia bersama istrinya akan langsung bekerja seperti meracik bumbu dan mengolah ayam dan menusuk sate. Adapun sebagai pegawainya, Mumuh bertugas sejak dari pembuatan sate pada pagi harinya yaitu sekitar jam delapan pagi, dilanjutkan dengan mendorong gerobak pada pukul empat sore ke lokasi perdagangan yang di sediakan pemerintah yaitu disepanjang pinggiran jembatan merah, dan melayani pembeli sejak sore hingga malam hari. Adapun pak Madi bertindak sebagai pembakar sate serta peracik bumbu sate yang telah dipersiapkan oleh istrinya dari rumah. Disepanjang kegiatan ini, pak Madi akan mengajarkan kepada Mumuh berbagai ilmu dagang yang di milikinya, dengan tujuan kelak ketika Mumuh sudah siap untuk mandiri ilmu itu akan berguna untuknya. Ketika penelitian ini dilakukan, Mumuh sudah berkeluarga dan menjalani usaha sebagai pedagang sate dan mie ayam. Selain penghidupan yang semakin membaik, Mumuh juga semakin erat menjalin hubungan baik dengan mantan bosnya tersebut. Dia sering berkunjung kerumah pak Madi untuk sekedar ngobrol atau
43
bahkan mendiskusikan usaha dagang masing-masing. Sering juga mereka mengobrol sambil menusuk sate baik di rumah pak Madi maupun di rumah Mumuh. Bentuk lain kerjasama ekonomi adalah antara Indra dan Kiki. Kiki adalah anak muda suku Madura yang menangani usaha toko Material milik ayahnya. Ia mengajak Indra yang merupakan orang Sunda itu untuk membantunya sebagai pegawai di tokonya. Ketika penelitian ini dilakukan, kerjasama kedua anak muda ini berdampak pada kedekatan keluarga kedua belah pihak. Ibu Indra menjalin hubungan dekat dengan ibu Kiki, Bahkan ayah indra yang terkena PHK, akhirnya ikut bekerja di material Kiki. Selain dengan Indra, Kiki berteman juga dengan Adi. Adi adalah suku Sunda yang menjadi pemilik warung sembako kecil diseberang toko Material milik Kiki. Keduanya sering saling membantu dalam pengembangan usaha masing-masing. Tidak hanya soal perdagangan, mereka memperluas pergaulan pada berdiskusi berbagai hal termasuk hal-hal yang menyangkut agama, bahkan diantara mereka saling memperkenalkan nilai- nilai kebudayaan masing-masing. Perkembngn hubungan inilah yng di kemudian hari berdampk pada efektivitas komunikasi antarbudaya di RT 04. Kerjasama juga terjalin antara pak Marsuli (Madura) dan pak Edi (Sunda). Sebagai pemilik toko sembako yang relatif besar, pak Marsuli membantu pak Edi mengisi toko sembako kecilnya, dengan perjanjian pengembalian modal dilakukan secara menyicil. Nampaknya kedekatan hubungan pertemanan diantara mereka membuat kepercayaan ini terbentuk diantara mereka. Ketika penelitian ini dilakukan, pak Edi sedang mengalami masalah keuangan di toko sembakonya, yaitu pegawainya berbuat curang kepadanya dengan melarikan uang hasil penjualan. Hal ini mengakibatkan toko sembako pak Edi mengalami kebangkrutan. Menghadapi kondisi ini pak Marsuli kemudian menarik pak Edi untuk bekerja di warung sembakonya, dengan catatan hasil kerjanya harus di tabung sebagai bekal untuk menjadi modal usahanya, kelak ketika uang tersebut sudah cukup banyak. Kerjasama juga terjalin diantara Subhi dan Ekha. Ekha yang merupakan orang Sunda itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya meninggal ketika ia masih duduk di bangku kelas dua SD. Ekha hanya mampu bersekolah hingga tingkat
44
satu SMA berkat harta peninggalan ayahnya. Setelah putus sekolah Ekha menganggur cukup lama. Subhi seorang suku Madura itu adalah temannya semasa SMP dan juga mereka bertetangga rumah. Ketika Subhi melanjutnya ke jenjang pendidikan tinggi di jakarta, usaha yang baru dirintisnya berupa Warnet menjadi agak terbengkalai, oleh karena itu ia mengajak Ekha untuk bekerja membantunya mengurusi Warnet miliknya tersebut. Karena rumah Ekha yang kecil dengan penghuni yang cukup banyak, maka Subhi mengajak Ekha untuk tinggal dirumahnya. Hal ini mengakibatkan kedekatan bukan saja antara Ekha dengan keluarga Subhi, tapi juga keluarga Ekha akhirnya menjadi akrab dengan keluarga Subhi. Ketika penelitian ini dilakukan, mereka berdua sedang berusaha mencari akses dalam usaha menjual karigrafi buah tangan Ekha. Hasil kerjasama juga di rasakan oleh pak Amat. Ketika penelitian ini dilakukan pak Amat yang orang Sunda ini adalah seorang pedangan Sate yang sangat
sukses.
Dia
berhasil
membuka
sebuah
restouran
sate
dengan
mempekerjakan 10 karyawan. Kesuksesannya menyamai kesuksesan pedagangpedangan sate yang termasuk jajaran orang kaya dari suku Madura. Awalnya pak Amat adalah pegawai di Restoran Sate milik pak Ismail, seorang suku Madura. Selama bekerja pada pak Ismail Pak Amat secara bergantian ditempatkan diberbagai bagian seperti peracikan bumbu, pencarian akses penjualan, hingga mengurus keperluan pegawai restoran. Hal ini memungkinkan pak Amat mempelajari seluk beluk usaha sate yang memjadikannya sukses di kemudian hari. Ilmu dagannya ini kemudian diwariskannya kepada anak-anaknya. Namun dari keenam anaknya, hanya anaknya yang bernama Oma yang berhasil meneruskan bakat dagang sang ayah. Ketika penelitian ini dilakukan ayah dan anak ini telah sama-sama memiliki usaha perdagangan sate yang cukup besar dia lokasi perdagangan air mancur Kota Bogor. Pak Syamsudin dan pak Jajat berteman sejak mereka berdua duduk di bangku SD. Pak Syamsudin adalah orang dari suku Madura sedangkan pak Jajat berasal dari suku Sunda. Pak Syamsudin memiliki usaha pembuatan batako. Ia mempekerjakan Pak Jajat yang mengalami putus sekolah itu di rumah usahanya tersebut. Kedekatan hubungan pertemanan mereka merambat pada pendidikan keagamaan oleh Pak Syamsudin kepada Pak Jajat dan anak-anaknya. Pak Jajat
45
belajar mengaji kepada Pak Syamsudin. Kedua anak Pak Jajat belajar mengaji di TPA milik Pak Syamsudin tanpa di pungut bayaran. Mata pencarian warga di wilayah RT 04 terdiri dari para pedagang makanan jadi, pelaku ekonomi ini di dominasi warga dari suku Madura. Salah satu nilai budaya pada suku Madura adalah “giat bekerja”. Nilai ini nampaknya menjadi semakin kuat ketika suku ini mejadi suku pengembara terbesar di Indonesia. Mencari penghidupan di rantau orang membutuhkan kesungguhan dan kerja keras agar dapat bertahan hidup. Orang Madura akan merasa malu untuk pulang ke kampung halamannya jika tidak mampu berhasil di rantau orang. Hal ini membuat suku Madura menjadi suku yang terkenal gigih dan giat dalam bekerja. Untuk mewujudkan kesuskesan tersebut, orang Madura kebanyakan memilih dunia perdagangan sebagai alat mencapai keberhasilan. Hasil dari perdagangan ini akan mereka kumpulkan dengan tujuan untuk bekal naik haji dan menyekolahkan anak-anaknya. Demikian lah hal ini menjadi pendorong bagi suku Madura untuk mencapai kesuksesan melalui berdagang. Di RT 04 perdagangan yang biasanya di lakoni oleh suku Madura berupa jual beli besi tua, perdagangan ini adalah peringkat pertama diantara perdagangan lainnya dalam tingginya penghasilan yang di peroleh. Pelaku perdagangan besi tua dari suku Madura di RT 04 adalah Pak Siddik dan Pak Jamal. Kedua orang ini selain termasuk para pendatang yang mula-mula, juga karena usahanya terbilang paling sukses membuat keduanya termasuk orang-orang yang dituakan oleh warga Madura yang lainnya, juga oleh warga RT 04 yang bukan suku Madura. Perdagangan yang kedua yang berhasil memberikan kehidupan yang layak bagi orang Madura adalah perdagangan sate. Para pedagang sate yang berada di RT 04 dari warga Madura sangatlah banyak, bahkan rata-rata orang Madura di RT 04 berprofesi sebagai pedagang sate. Namun diantara mereka yang terlihat paling sukses adalah Pak Ismail, Pak Madi dan Pak adul. Mereka bertiga memiliki restoran sate di wilayah Bogor dan Jakarta. Sedangkan pedagang sate yang lebih kecil dari ketiga orang ini biasanya menggunakan gerobak yang mangkal di Jembatan Merah atau di area perdagangan air mancur dan di area Jalan Mawar.
46
Jenis pedagang ketiga yang di lakoni suku Madura di RT 04 adalah pedagang bubur ayam yang biasanya juga sebagai penjual bubur kacang hijau. Para pedagang ini, sebagaimana pedagang sate, cukup berhasil untuk dapat hidup berkecukupan. Ada juga orang Madura yang berdagang martabak telor atau martabak manis. Para pedagang marabat telor dan martabak manis pun ternyata mampu untuk hidup berkecukupan. Hidup berkecukupan bagi orang Madura adalah mampu untuk naik haji dan menyekolahkan anak setinggi mungkin. Bahkan banyak anak-anak orang Madura yang melanjutkan sekolah hingga ke Mesir dan Riyadh. Selain yang telah di sebutkan di atas, sebagian kecil suku Madura di RT 04 ada yang menjadi pegawai swasta dan guru, baik guru umum maupun guru agama. Orang Madura yang menjadi pegawai maupun guru biasanya merupakan anak-anak dari generasi pertama, dengan orientasi keberhasilan yang lebih luas dari para orang tuanya. Sedangkan suku Sunda yang ada di RT 04 kebanyakan berprofesi sebagai pegawai baik negeri maupun swasta di kantor pemerintahan tingkat kelurahan, tingkat RW dan tingkat RT. Pak Ujang Madi dan keempat saudaranya bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pemerintahan bagian tata kota. Pak Jojo adalah ketua RT 04. Pak Sukirman adalah ketua RW 10 di kelurahan Kebon Kelapa. Pak Arif adalah ustadz yang mengajar di beberapa tempat di sekitar RT 04, tetapi ketiga Pak Arif adalah para pegawai di pabrik tekstil di Jakarta. Ada juga yang bekerja si swalayan dan pabrik yang terdapat di kota Bogor seperti Eko dan yang lainnya. Ada juga dari mereka yang berjualan makanan jadi, namun jumlah ini cukup sedikit dibanding suku Madura yang berdagang. Diantara suku Sunda yang berjualan makanan jadi adalah Pak Yunus, ia berjualan bubur ayam. Pak Husin, ia berjualan mie ayam. Pak Kardi berjualan sembako keliling dan Pak Sabar berjualan nasi goreng. Mereka berjualan di tempat yang berdekatan dengan para pedagang dari orang-orang Madura di area Jembatan Merah dan sebagian di dekat kantor kelurahan. Adapun pedagang yang paling sukses dari suku Sunda diantara yang lainnya adalah Pak Amat dan anaknya Pak Oma. Mereka memiliki restoran sate di daerah air mancur kota Bogor.
47
Dari semua kegiatan ekonomi warga RT 04 orang-orang dari suku Madura lah yang terlihat lebih survive secara ekonomi, meskipun suku Sunda sendiri secara umum tidak dalam kategori miskin. Kondisi yang cukup berimbang di antara suku Sunda dan suku Madura, juga karena berbagai kerjasama yang saling menguntungkan yang terjadi diantar mereka ini menjadikan RT 04 adalah salah satu basis kegiatan ekonomi yang baik. RT 04 mampu menjadi wilayah dengan tingkat perputaran ekonomi tertinggi diantara wilayah lainnya, sehingga penduduknya dikategorikan memiliki kesejahteraan ekonomi yang baik. Hal ini, sebagaimana di jelaskan sebelumnya terjadi akibat kejasama yang banyak terjadi diantara warga RT 04 sendiri terutama pada suku Sunda dan suku Madura. Karakteristik suku Madura yang giat bekerja menjadikan suku ini secara umum memegang kendali perdagangan bukan saja di RT 04 namun juga di beberapa wilayah di Kebon Kelapa. Kesadaran akan hidup bersama sebagai sesama RT 04, di samping kepentingan untuk hidup damai dengan cara saling menghargai satu sama lain membuat para pedagang suku Madura melibatkan banyak suku Sunda untuk bekerja dan belajar membangun usaha dari mereka. Kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di luar jawa, yang disebabkan oleh kesenjangan-kesenjangan ekonomi serta ketidakharmonisan antar warga bagaimanapun menjadi pelajaran bagi suku Madura di RT 04. Mereka mengambil pelajaran terutama untuk tidak hanya memperhatikan kesejahteraan diri dan kelompoknya. Keadaan suku Sunda yang hidup bersama mereka di RT 04 semestinya menjadi perhatian mereka juga jika ingin hidup damai dalam arti saling menghargai dan saling tolong menolong di antara sesama. Inilah yang melatar belakangi banyaknya kerjasama yang terjadi diantara kedua Suku tersebut. Meskipun banyaknya kerjasama yang sudah terjalin belum sepenuhnya berhasil mensejahterahan seluruh warga RT 04, namun warga sepakat bahwa hal yang sudah di lakukan merupakan upaya yang sangat berarti bagi kelangsungan harmonisasi diantara suku Sunda dan suku Madura yang ada di RT 04. Diperlukan suatu konsep yang lebih matang untuk dapat secara sempurna menjalin kerjasama di antara keduanya. Beberapa tokoh di RT 04 sudah sejak lama memikirkan hal tersebut. Diantara ide-ide itu adalah ekonomi berbasis masjid. Ekonomi model ini adalah dengan mengumpulkan zakat dari para orang
48
kaya RT 04 untuk dijadikan modal usaha bagi yang kurang mampu. Dengan pola usaha seperti ini diharapkan terjadi kerjasama yang baik dari semua pihak yang ada di RT 04. Ketika penelitian ini dilakukan ide ini masih dalam tahap rencana. Tabel 4. Profil Mata Pencarian warga RT 04 RW 10 Suku No.
Profil matapencarian
Sunda
Madura
1.
PNS
20 %
0%
2.
Pegawai swasta
40 %
10 %
3.
Pegawai pabrik
20 %
0%
4.
Guru
10 %
10 %
5.
Pedagang makanan jadi
10 %
50 %
6.
Toko sembako
0%
30 %
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011
Bidang Keagamaan Semenjak berdirinya masjid di RT 04 atas swadaya warga pada tahun 1990 lalu, kegiatan keagamaan warga semakin meningkat. Warga menginginkan menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat shalat namun juga sebagai pusat berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, pengajian remaja, hingga berbagai diskusi menyangkut keagamaan dan pemecahan masalah-masalah aktual yang terjadi di RT 04. Hubungan-hubungan pertemanan yang disebabkan kesamaan tujuan dalam hal menghidupkan kegiatan masjid banyak terjadi. Seperti yang terjadi diantara Pak Syamsudin dan Pak Agus. Pak Syamsudin adalah orang Madura, dia menjadi salah satu pemuka pendapat di RT 04 yang dipercaya warga karena di pandang memiliki ilmu agama yang baik. Pak Agus adalah orang Sunda, dia dipandang memiliki ilmu agama yang baik, sehingga menjadi orang kepercayaan suku Sunda untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut suku Sunda. Orang-orang Madura pun menaruh hormat kepadanya dikarenakan perangai sopan santun yang ditunjukkannya. Pak Syamsudin dan Pak Agus sering melakukan diskusi terutama menyangkut keagamaan. Diskusi-diskusi ini mereka lakukan di masjid, di rumah Pak Syamsudin dan terkadang juga mereka berdiskusi di rumah Pak Agus. Diskusi juga akan mereka lakukan untuk membahas masalah-masalah
49
yang terjadi di RT 04. Dikarenakan kesibukan sehari-hari yang cukup padat, mereka bertemu di masjid untuk berdiskusi pada saat malam hari ketika selesai shalat magrib dan isya. Saat berdiskusi di masjid beberapa orang yang juga ikut shalat berjamaah terkadang ikut juga berdiskusi dengan kedua orang ini. Hal ini memberikan dampak yang baik, terutama karena kebanyakan terselenggaranya berbagai kegiatan masjid merupakan hasil dari forum diskusi ini. Kegiatan diskusi ini selanjutnya diikuti oleh yang lain, seperti Pak Marsuli yang kemudian sering berdiskusi dengan Pak Arif, Pak Jaub menjadi suka berdiskusi dengan Pak Jojo. Kebiasaan yang baik ini menjadi lebih berkembang di kemudian hari, terutama karena Pak Sukirman, ketua RW setempat belakangan sering menyempatkan diri untuk mampir di toko material milik Kiki, untuk sekedar ngobrol dengan para anak muda yang memang banyak berkumpul di sana. Obrolan yang terjadi diantara mereka berkisar dari hal-hal ringan seperti tentang keseharian hidup, sampai tentang kegiatan-kegiatan masjid dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di RT 04. Pak Ujang Madi selaku ketua RT 04 melihat gejala positif ini pun ikut melakukan diskusi. Teman berdiskusinya adalah Pak Husen. Sebagai ketua RT ia berdiskusi dengan semua orang dan terutama para anak mudanya, sehingga membuat kegiatan-kegiatan yang di rencanakan yang berawal dari berdiskusi santai ini menjadi dapat di realisasikan karena selalu mendapatkan dukungan dari banyak pihak termasuk dari ketua RT dan ketua RW setempat Karena pada awalnya diskusi terjalin dengan alasan tema keagamaan, maka meskipun kemudian diskusi berkembang ke tema yang lain seperti membahas permasalahan aktual, bahkan tentang bisnis terutama di antara para anak muda, namun tema keagamaan tetap menjadi tema utama dalam setiap awal diskusi yang terjadi. Tema keagamaan inilah yang selanjutnya banyak melahirkan kegiatan-kegiatan di RT 04. Inilah nampaknya yang menjadi alasan masjid RT 04 terlihat sangat hidup oleh berbagai kegiatan keagamaan, dimana hal tersebut memang merupakan cita-cita semua warga RT 04. Selain berbagai kegiatan pengajian sebagaimana di sebutkan sebelumnya, kegiatan masjid yang menjadi sangat meriah adalah berbagai perayaan hari besar Islam seperti kegiatan acara maulid nabi, isra‟ mi‟raj nabi, dan terutama kegiatan berbuka puasa bersama di setiap bulan ramadhan datang. Kegiatan-kegiatan ini
50
menjadi hal besar bagi warga RT 04. Seluruh warga berpartisipasi dan ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan perayaan hari besar Islam yang diselenggarakan. Setiap perayaan menjadi kegembiraan seluruh warga, bahkan para tetangga RT di sekitar RT 04 yang ikut menghadiri setiap perayaan merasakan kemeriahan dan kegembiraan di setiap perayaan yang di selenggarakan di RT 04. Para tetangga RT 04 ini turut merasa senang dan selalu bersedia untuk ikut menghadiri setiap perayaan keagamaan yang di selenggarakan di RT 04. Para tetangga menganggap kebersamaan antar warga di RT 04 sangat baik sehingga berbagai kegiaan yang di selenggarakan dan kesuksesannya dapat menggambarkan kebersamaan yang baik tersebut. Pernikahan Antarsuku Banyak terjadi pernikahan diantara para anak muda suku Sunda dengan anak muda suku Madura. Pernikahan antar suku yang pertama adalah antara Pak Dayat seorang suku Madura yang merupakan anak dari Pak Munara yang menjadi pendatang pertama suku Madura di RT 04, dengan Susi, anak dari suku Sunda RT 04. Mereka adalah teman sewaktu di SMA. Mereka melangsungkan pernikahan setelah mereka lulus SMA. Pernikahan mereka terjadi pada tahun 1990 bertepatan dengan awal pembangunan masjid di RT 04. Saat pernikahan mereka menggunakan ritual adat Sunda. Ketika penelitian ini dilakukan keluarga ini telah memiliki enam anak dan tinggal di luar RT 04. Pernikahan selanjutnya adalah antara Johar dari suku Madura dengan Rusmini dari suku Sunda. Mereka bertetangga rumah. Johar adalah keponakan dari Pak Bunawi. Ia dan Rusmini menikah setelah Johar menyelesaikan pendidikan pesantrennya di tingkat SMA. Pasangan inipun menikah dengan tata cara adat suku Sunda. Ketika penelitian ini dilakukan pasangan ini sudah bercerai dan memiliki satu orang anak laki-laki yang kini dirawat oleh keluarga Pak Bunawi. Pernikahan juga terjadi diantara Asep dari suku Sunda dengan Zahroh dari suku Madura. Mereka adalah teman semasa kuliah. Pasangan ini menikah setelah tiga tahun mereka lulus kuliah. Zahroh adalah anak Pak Sidik, yaitu orang Madura yang menjadi pendatang kedua di RT 04, sedangkan Asep adalah suku Sunda yang berasal dari kota Tasikmalaya dan tinggal di RT 04. Ketika penelitian ini di
51
lakukan pasangan ini telah memiliki tiga anak perempuan. Mereka tinggal di luar RT 04. Meskipun tinggal di luar RT 04, mereka sering datang ke RT 04. Selain untuk mengunjungi orang tua mereka yang ada di RT 04, mereka juga datang untuk keperluan bisnis yang mereka lakukan dengan anak-anak muda RT 04 seperti Paul, suku Sunda, Indra, suku Sunda, Hafidz suku Madura dan banyak lagi yang lainnya. Bisnis mereka bergerak di bidang properti. Bisnis mereka meliputi pembangunan rumah baik didalam kota Bogor maupun di luar kota Bogor seperti Bandung dan Jakarta. Karena mereka menjalani bisnis yang cukup besar ini, maka sedikit banyak membuka lowongan pekerjaan yang baik untuk para anak muda RT 04 yang mereka rekrut untuk bergabung. Pak Asep juga mengajarkan berbagai ilmu bisnis yang di milikinya kepada para anak muda tersebut, sehingga ketika penelitian ini dilakukan, sudah terdapat dua anak muda RT 04 yang kemudian membangun bisnisnya sendiri, berkat bimbingan dan arahan dari Pak Asep selama bekerja dengannya. Kerjasama yang saling menguntungkan dan sekaligus pembinaan dan pengkaderan tersebut menjadikan keluarga ini dan juga keluarga kedua orang tua mereka sangat dicintai di RT 04, karena dianggap memiliki kepedulian yang besar terhadap sesama warga RT 04 dalam memperbaiki perekonomian bersama. Pasangan Sunda dan Madura yang lain adalah Nasiyah dari Madura dengan Adi dari Sunda. Pasangan inipun menikah dengan tata cara adat Sunda. Mereka berdua bertemu karena sama-sama mengajar di TPA milik Pak Syamsudin. Setelah menikah, pasangan ini membuka TPA nya sendiri. Pasangan ini tinggal di rumah orang tua Adi, sehingga TPA yang mereka bina pun berada dekat dengan rumah orang tua Adi. Belakangan setelah Adi mendapatkan pekerjaan sebagai guru SMP di sebuah sekolah swasta, maka TPA di tangani oleh Nasiyah. Hal ini menjadikan Nasiyah akrab dengan anak-anak Sunda dan Madura serta dengan anak-anak dari berbagai suku yang mengaji di tempatnya. Para muridnya itu ada yang berasal dari RT 04, ada juga yang berasal dari luar RT 04. Keakraban Nasiyah tidak saja dengan para muridnya, namun juga dengan para orang tua murid-muridnya itu. Hal ini mengakibatkan seringnya para orang tua tersebut mengobrol bahkan curhat dengan Nasiyah seputar permasalahan rumah tangga yang mereka hadapi. Nampaknya pasangan ini mendapatkan perhatian
52
pula dari warga RT 04 sebagai pasangan yang dilihat kemudian menjadikan orang-orang dari berbagai suku yang ada di RT 04, terutama antara suku Sunda dan suku Madura menjadi akrab dan saling sharing dan membantu dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan baik yang menyangkut kehidupan sehari-hari, maupun isu-isu di sekitar lingungannya. Pernikahan antarsuku juga terjadi pada Yuli, suku Sunda dengan Syarif suku Madura. Ketika menikah, mereka adalah janda dan duda yang masingmasing telah memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Yuli bercerai dengan suami pertamanya dikarenakan sang suami tidak pernah mau bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga kebutuhan rumah tangga sering kali tidak tercukupi. Adapun Syarif menikah dengan Yuli setelah istri pertamanya yang orang Madura itu meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya. Ketika penelitian ini dilakukan Syarif bekerja sebagai kepala bagian di sebuah perusahaan swasta, sedangkan Yuli telah diangkat sebagai pegawai negeri. Sebagaimana pasangan antarsuku lainnya, Yuli dan Syarif pun ternyata banyak membantu bagi lingkungan sekitarnya. Anak-anak muda yang sedang kuliah banyak yang meminta bantuan Syarif untuk mendapatkan tempat magang dan praktik kuliahnya di tempat Syarif bekerja. Tercatat beberapa anak dari suku Sunda seperti Dewi, Wiwi dan Sari yang kuliah di jurusan Ekonomi magang di tempat Syarif bekerja bersama Iyya dan David yang berasal dari suku Madura. Banyaknya pernikahan antara orang-orang dari suku Sunda dengan orangorang dari suku Madura berfungsi mempererat keakraban kedua suku. Apalagi dengan kemanfaatan-kemanfaatan yang dirasakan oleh warga akibat dari pernikahan-pernikahan antarsuku tersebut secara signifikan berkontribusi pada perbaikan ekonomi dan sosial bersama. Tidak hanya antara suku Sunda dan Suku Madura yang saling terhubung berkat berbagai kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Pada pergaulan dengan suku Jawa dan suku Padang yang ada di RT 04 pun terjadi jalinan sebagaimana yang terjadi diantara suku Sunda dan Madura. Istri Pak Syamsudin dan Pak Agus sama sama berasal dari suku Jawa. Keakraban suami-suami mereka juga berimbas kepada keduanya serta berfungsi memperkuat keakraban antar suku yang ada di RT 04. Suku Sunda yang pada dasarnya dikarenakan sejarah
53
kulturalnya cenderung merasa lebih dekat dengan suku Jawa, sehingga didalam pergauan sehari-hari kedua suku ini relatif serasi. Namun pada bagian kerjasama terutama di bidang ekonomi, suku Jawa lebih banyak bekerjasama dengan suku Madura. Hal ini dikarenakan kedua suku sama-sama berkarakter pekerja keras. Kondisi ini justru menciptakan keseimbangan pergaulan dikarenakan hubunganhunbungan yang khas yang cenderung tidak saling menganggu satu sama lain. Berbeda dengan pola suku Padang, mereka cenderung bekerja secara mandiri. Hal ini mengakibatkan model hubungan suku Padang dengan suku lainnya hanya sebatas tetangga dan sebagai sesama warga RT 04 saja. Oleh karena itu meskipun tidak banyak terdapat kerjasama antara suku Padang dengan suku lainnya yang berada di RT 04, namun kehidupan kerukunan warga diantara mereka cukup baik. Sedangkan terhadap suku Batak, meskipun tidak seakrab dengan suku yang lainnya, namun hingga penelitian ini di lakukan tidak pernah ada sengketa diantara suku-suku yang ada dengan suku Batak yang tinggal di RT 04. Bahkan suku ini sering kali ikut membantu dan memeriahkan berbagai acara yang di selenggarakan di RT 04 termasuk acara keagamaan meskipun suku Batak beragama Kristen. Ketika berbagai musyawarah diselenggarakan dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul, mereka ikut serta berembuk mencari solusi, meskipun perkara yang di bahas adalah perkara masjid yang identik dengan agama Islam. Hal ini mereka lakukan karena suku Batak menganggap diri mereka sebagai bagian dari warga RT 04, dan kepedulian mereka atas berbagai masalah di RT 04 sangat dihargai oleh warga setempat, sehingga suku Batak pun dihargai dan dihormati agamanya. Warga RT 04 terbiasa memberikan ucapan selamat ketika suku Batak merayakan hari besar Kristen, hal yang sama juga dilakukan oleh suku Batak terhadap warga yang beragama Islam. Pendidikan Bentuk pendidikan yang di ambil oleh warga RT 04 sangatlah beragam. Keberagaman pendidikan di RT 04 yaitu masih terdapat keluarga yang beranggapan pendidikan formal tidak penting dan mementingkan pendidikan keagamaan. Pendukung pola pendidikan ini ditandai dengan anak-anaknya di masukkan ke pendidikan pesantren kuno, dimana tidak terdapat jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA di dalamnya. Ada pula keluarga yang disamping
54
memasukkan
anaknya
ke
lembaga
pendidikan
pesantren,
namun
juga
mengupayakan pendidikan umum bagi anak-anaknya hingga ketingkat perguruan tinggi. Sebagian keluarga yang lain menyekolahkan anaknya di sekolah umum saja tanpa memasukkan anak tersebut ke lembaga pesantren. Di RT 04 keempat fenomena ini terjadi baik dari keluarga suku Madura maupun keluarga dari suku Sunda, sehingga dinamika pendidikan kedua suku tersebut dapat dikatakan sepadan. Artinya baik pada suku Sunda maupun suku Madura sama-sama terdapat anggotanya yang masih berpikiran tradisional, dan sebagiannya sudah berpikir lebih modern dan terbuka. Kondisi ini memungkinkan terjadinya saling pengertian satu sama lain, terutama karena pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang utama bagi kedua suku meskipun sebagian mereka tidak memasukkan anak-anaknya ke lingkungan pendidikan pesantren. Oleh karena setiap anak mendapatkan pendidikan keagamaan baik melalui pesantren maupun dari tempat mengaji seperti TPA, maka perbedaan pola pendidikan tidak menghalangi keberbauran pergaulan diantara mereka. Tingkat pendidikan yang beragam tetap dapat disatukan melalui latar belakang keagamaan. Diskusi-diskusi yang dilatarbelakangi agama dalam membahas masalah-masalah aktual memungkinkan perbedaan jenjang dan konsep pendidikan menjadi bukan kendala di antara mereka. Adapun bagi kedua suku yaitu suku Sunda dan suku Madura, model-model pendidikan yang relatif sama ini membuat satu sama lain merasa saling setara. Terutama karena keberagaman pendidikan juga terdapat pada mereka yang menjadi pemimpin di antara mereka. Pak Syamsudin adalah orang dengan latar pendidikan pesantren saja. Sedangkan Pak Agus memiliki latar belakang sekolah umum saja. Demikian juga Pak Marsuli yang bersekolah umum saja hingga tingkat SMA, Pak Ujang Madi mengenyam pendidikan hingga taraf sarjana muda. Kulsum mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, Jajah sekolah hanya sampai tingkat SMP dan keduanya berteman baik tanpa salah satu menganggap yang lain lebih utama. Semntara anak-anak yang lebih muda hampir seluruhnya berpendidikan tinggi, dengn latar belakang pesantren maupun non-pesantren. Mereka memiliki hubungan pertemanan yang paling baik diantara generasi yang lainnya, dimana latar belakang pendidikan yang berbeda tidak menghambat
55
mereka untuk saling menghargai satu sama lain, sebagaimana perbedaan suku tidak membuat mereka merasa berbeda. Perbedaan pendidikan pada warga di RT 04 juga tidak terlalu tampak di dalam perolehan pekerjaan mereka. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari warga menjalani wiraswasta yang mandiri. Hal ini lebih diakibatkan potensi lingkungan yang tersedia sebagaimana telah di paparkan. Suku Madura terlihat yang paling menonjol dalam hal kesuksesan ekonomi yang tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikannya, namun karena kemampuan eksplorasi kreatifitas usaha. Adapaun suku Sunda meskipun dengan berbagai bantuan dari suku Madura mengalami hal yang sama. Dari paparan ini menunjukan bahwa pendidikan berkontribusi bagi kerekatan hubungan antara kedua suku dengan cara yang tidak biasa sebagaimana yang banyak terjadi berupa tingkat pendidikan yang sama menciptakan keseimbangan
derajat
sosial,
melainkan
dikarenakan
keragaman
model
pendidikan yang sama-sama terjadi diantara kedua belah suku, dan karena tingkat pendidikan yang berbeda tidak terlalu menciptakan kesenjangan derajat sosial diantara keduanya. Permasalahan justru timbul dari mereka yang tidak memiliki daya kreatifitas yang baik meskipun berpendidikan tinggi. Dimana persaingan dunia kerja khas perkotaan yang kemudian menyingkirkan mereka dari mendapatkan pekerjaan yang dipandang layak dan sepadan dengan latar belakang pendidikan mereka, sehingga golongan inilah yang kemudian menjadi pengangguran di antara warga RT 04 lainnya. Bahkan melalui penelitian ini diketahui bahwa orang-orang inilah yang sering kali menyulut kerusuhan di RT 04 yang di beberapa kesempatan cukup berhasil mempengaruhi egoisme kesukuan diantara suku Sunda dan suku Madura, meskipun tidak pernah sampai ketingkat pecahnya pertikaian antar suku. Para pengangguran ini terdapat diantara suku Sunda dan suku Madura. Orang-orang menyebut mereka sebagai biang kerok dan cenderung di hubungkan dengan keterlibatan dengan dunia narkoba. Hingga penelitian ini dilakukan warga setempat merasa belum tahu cara mengatasi masalah ini dan merasa keberadaan mereka cukup mengganggu baik bagi kelangsungan kerukunan antar suku maupun
56
bagi keluarga yang mengalaminya. Para anak muda yang bergabung dalam remaja masjid sering kali mengalami bentrokan dengan kelompok ini sehingga para orang tua anak-anak pengangguran ini merasa sangat sedih dengan kondisi anggota keluarganya tersebut. Hal ini lebih dikarenakan para orang tua yang cenderung menyeluruh di RT 04 dalam mendukung masjid dimana para pemuda masjid termasuk didalamnya meresa kecewa karena anak-anak mereka tidak seperti para remaja masjid yang menjadi kebanggaan RT 04 itu. Permasalahan anak-anak yang menjadi pengangguran ini sudah berulang kali didiskusikan dan diupayakan penyelesaianya, namun belum juga menemukan penyelesaian yang tepat karena permasalahan bukan pada pendidikan yang kurang, karena banyak diantara mereka bahkan berhasil tamat kuliah. Gaya hidup modern yang terlalu mengagungkan pekerjaan yang disebut sepadan dengan tingkat pendidikan nampaknya membuat mereka justru tidak mau bekerja keras dan cenderung manja. Hal ini menunjukan budaya modern yang tidak dibarengi kekuatan nilai budaya justru membahayakan kehidupan.
Tabel 5. Profil Pendidikan Warga di RT 04 RW 10 Suku No.
Profil Pendidikan
Sunda
Madura
1.
Pesantren saja
20 %
30 %
2.
Pesantren dan Sekolah Umum
40 %
40 %
3.
Sekolah Umum saja
20 %
0%
4.
Perguruan Tinggi
20 %
30 %
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
Adapun informan penelitian ini memiliki keragaman tingkat pendidikan, dimana rata-rata informan dari generasi pertama yang dijadikan informan terdiri dari SD kelas dua hingga sarjana muda. Ujang Madi berpendidikan hingga tingkat sarjana muda. Ujang Madi adalah suku Sunda yang berteman baik dengan Pak Bunawi. Pak Bunawi adalah orang Madura yang berpendidikan hanya sampai kelas dua SD. Pak Husen adalah orang Madura dengan tingkat pendidikan lulus SD. Ia berteman baik dengan Pak Jojo yang berpendidikan terakhir SMA kelas
57
dua. Adapun Ibu Nipah adalah orang Madura berpendidikan SD kelas 4. Ia berteman baik dengan ibu Nunung, orang dari suku Sunda yang berpendidikan terakhir kuliah tingkat satu. Informan dari generasi kedua tingkat pendidikannya berkisar pada lulusan SMP hingga sarjana. Marsuli adalah orang Madura yang berpendidikan SMP, ia berteman baik dengan Arif yang berpendidikan pesantren tradisional, yaitu pesantren yang tidak ada jenjang pendidikan didalamnya. Adapun Pak Syamsudin adalah orang yang mengenyam pendidikan pesantren modern, yaitu terdapat jenjang pendidikan hingga Aliyah, setingkat SMA dan melanjutkan pendidikan di Kairo, Mesir. Ia berteman baik dengan Pak Agus yang lulusan SMA. Kulsum adalah suku Madura dengan pendidikan S1, berteman baik dengan Jajah, seorang suku Sunda, berpendidikan SMA. Informan dari generasi ketiga memiliki tingkat pendidikan berkisar lulusan SMA hingga sarjana. Ekha adalah suku Sunda dengan pendidikan terakhir SMA kelas dua. Ia berteman baik dengan Subhi. Subhi adalah orang Madura, ia mahasiswa tingkat akhir di UIN Jakarta. Adapun Kiki, ia adalah orang Madura, ia mahasiswa tingkat akhir di UIN Jakarta. Kiki berteman baik dengan Adi, seorang suku Sunda dengan pendidikan terakhir adalah lulus SMA. Halim adalah suku Madura. Saat penelitian ini dilakukan ia adalah santri di pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta. Ia masih kelas dua aliyah, setingkat kelas dua SMA. Halim berteman baik dengan Eka yang sudah lulus SMA dua tahun yang lalu. Eka kini bekerja di sebuah supermarket di Bogor. Responden penelitian ini, dalam hal pendidikan pesantren sebagian mengenyam pendidikan pesantren sebagian lagi tidak mengenyam pendidikan pesantren. Tabel 6. Ragam tingkat pendidikan generasi No
Generasi 1
Generasi
satu
(generasi
Tingkat Pendidikan awal
SD kelas dua – Sarjana Muda
terjadinya percampuran budaya) 2
Generasi dua (anak dari generasi
Lulus SMP - Sarjana
satu) 3
Generasi tiga (anak generasi dua)
Tingkat SMA - Sarjana
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
58
Keberadaan Suku Lain Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa para pribumi yaitu orangorang suku Sunda yang mula-mula bertempat tinggal di RT 04. Selain mereka, orang-orang Madura adalah suku yang juga dianggap mula-mula bertempat tinggal di RT 04 sebelum suku lainnya yaitu suku Jawa, suku Padang dan suku Batak kemudian datang dan bertempat tinggal disana. Suku Batak adalah pendatang kedua setelah suku Madura. Mereka datang ke RT 04 pada tahun 1977, terdiri dari tiga keluarga yang merupakan kakak beradik beserta istri dan anakanak mereka. Tidak terdapat pendatang kedua dari suku Batak ini, kecuali yang datang sebagai menantu dari keluarga yang telah ada. Jumlah mereka hingga penelitian ini dilakukan berjumlah 15 kepala keluarga saja. Pendatang selanjutnya datang pada 1978, mereka terdiri dari suku Jawa dan suku Padang. Mereka datang hampir bersamaan. Tidak seperti suku Batak, kedua suku ini mengalami pertambahan pendatang disetiap tahunnya. Hingga penelitian ini dilakukan jumlah mereka mencapai 20 persen dari total penduduk di RT 04. Pola interaksi yang telah terbentuk antara suku Sunda dan suku Madura sebagai penduduk yang lebih tua nampaknya menjadi pedoman bagi suku-suku yang datang kemudian. Mereka mengikuti keberbauran kedua suku ini dalam hal lokasi tinggal, yaitu tidak tinggal berkelompok dengan sukunya, namun berbaur dan bertetangga dengan suku lainnya yang ada di RT 04. Mereka juga melakukan interaksi didalam maupun diluar area pemukiman tinggal sebagaimana yang dilakukan suku Sunda dan suku Madura. Hal ini mereka lakukan karena menganggap hal-hal yang sudah ada tersebut merupakan hal yang baik dan bermanfaat bagi keharmonisan hidup bersama. Adapun pada berbagai konflik yang terjadi mereka memilih netral pada saat konflik muncul, dengan cara tidak memihak dan menolak membahasnya karena khawatir dianggap memperkeruh keadaan, namun mereka akan ikut berpartisipasi ketika forum-forum musyawarah dilaksanakan, serta akan ikut mensukseskan kesepakatan-kesepakatan yang diambil dalam forum musyawarah tersebut.
59
Tabel 7. Ragam suku lain yang ada di RT 04 RW 10 No
Suku
Jumlah
1
Jawa
20 %
2
Padang
6%
3
Batak
4%
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
Berbagai Arena Interaksi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura Arena Interaksi di Dalam Lingkungan Tinggal “Anak-anak muda di sini mah paling seneng ngobrol di toko materialnya si Kiki. Kita soalnya ngobrolnya macem-macem, dari ngobrol santai, curhat, soal kejadian di sini, soal masid juga enak di pake ngobrol di si Kiki. Ya model diskusi santai gitu, namanya juga anak muda” (Subhi, Madura Generasi tiga) “Kalo orang tua mah seringnya ngumpul di masjid, eh tapi iya di pangkalan motor Pak Jamal juga ngumpul mereka. Kan Pak Jamal mantan ketua DKM, dari mulai dia jadi ketua DKM dulu sih mulai ngmpul-ngumpul di bengkelnya, ya karena ngobrolin kegiatan masjid sih, kadang kalau lagi ada berantem-berantem juga di situ jadi tempat diskusi bapak-bapak, banyak lagi sih di sini mah tempat ngumpul-ngumpul warga. Ya kalau anak muda paling banyak sih di tempat si Kiki ngumpul-ngumpulnya.(Pak Agus, Sunda, generasi dua) Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa terdapat pembauran posisi rumah tinggal antara suku Sunda dan suku Madura. hal ini menjadikan terdapatnya arena-arena interaksi di RT 04. Arena interaksi ini yang terpenting yang ada di dalam lokasi tinggal warga RT 04 adalah masjid, di sana warga biasanya selain bertegur sapa juga banyak membahas keagamaan dan permasalahan warga. Efektivitas interaksi yang terjadi di masjid merupakan imbas dari keterjalinan kerjasama dalam membangun masjid tersebut. Interaksi di antara kedua suku kian membaik setelah mereka berhasil menyelesaikan konflik diantara mereka terkait
60
masalah kepanitiaan masjid yang menjadi pemicu konflik yang menyertai pembangunan masjid. Interaksi juga terjadi di toko material milik orang Madura bernama Kiki.Kiki berusia 22 tahun. Ia mengelola toko material milik ayahnya, Pak Shaleh yang sudah berusia 70 tahun. Kiki adalah anak terkecil dalam keluarganya, ia seusia dengan Arman anak Pak Agus yang termasuk kategori generasi ketiga. Pak Agus merupakan generasi kedua suku Sunda. Oleh karena itu Kiki termasuk dalam kategori generasi ketiga suku Madura yang tinggal di RT 04. Sambil mengelola toko material milik ayahnya, Kiki sedang menyelesaikan kuliahnya di UIN Jakarta. Lokasi toko material Kiki berada di area pinggir jalan. Keberadaan toko material yang berada beberapa langkah ketika memasuki area pinggir jalan ini, memungkinkan setiap orang yang datang dan pergi dari RT 04 melewati toko material tersebut. Toko material Kiki menjadi arena interaksi warga RT 04 sebenarnya bermula dari pertemanan Kiki dengan Adi, pemilik toko sembako kecil yang berada tepat di hadapan toko material Kiki dengan dipisah sebuah jalan kecil. Adi berusia 3 tahun lebih tua dari Kiki. Adi juga merupakan generasi ketiga dari suku Sunda. Kedua sahabat ini sering ngobrol ketika ada waktu senggang seperti ketika kedua toko yang mereka kelola sedang sepi pembeli. Dari kebiasaan mengobrol, berlanjut pada Kiki banyak memperkenalkan teman-temannya sesama suku Madura kepada Adi. Demikian pula Adi mengajak teman-temannya yang berasal dari suku Sunda untuk ikut ngobrol dengan Kiki. Gerombolan anak muda ini selanjutnya menarik perhatian para orang tua dan kakak-kakak mereka yang kebetulan lewat atau pulang kerja untuk sejenak bergabung di toko material tersebut. Ketertarikan para orang tua itu bukan saja karena yang berkumpul di toko material tersebut terdiri dari berbagai suku yang ada di RT 04, tetapi juga karena para anak muda itu adalah orang-orang yang merupakan binaan Pak Syamsudin dan Pak Agus untuk terlibat aktif pada setiap acara masjid. Berkumpulnya para anak muda tersebut mempermudah para pemuka pendapat seperti Pak Syamsudin dan Pak Agus serta para orang tua untuk membicarakan berbagai kegiatan yang di rencanakan dan untuk meminta keterlibatan mereka semua. Karena mereka saling berteman, maka ketika terdapat kegiatan-kegiatan di
61
RT 04 terutama kegiatan masjid mereka akan bersama-sama menyukseskan kegiatan-kegiatan tersebut. Selanjutnya tempat mereka ngobrol dan berdiskusi berpindah-pindah antara toko material milik Kiki, di toko sembako milik Adi atau di masjid. Tempat lain yang menjadi arena interaksi warga adalah pangkalan becak milik Pak Kholik. Pak Kholik adalah suku Sunda, berusia 70 tahun. Di RT 04 banyak warga yang memiliki becak, baik itu orang Madura maupun orang Sunda. Karena terbatasnya lahan tinggal mereka, maka Pak Kholik menyewakan tempatnya untuk tempat menyimpan becak-becak tersebut. Orang-orang yang menitipkan becaknya paada Pak Kholik antara lain adalah Pak Husen, orang Madura, generasi satu, Pak Salim, orang Sunda generasi satu, Pak Tupi, orang Madura generasi dua dan bayak lagi yang lainnya. Hal ini mengakibatkan para pemilik becak dari berbagai suku yang menitipkan becaknya di tempat Pak Kholik sering bertemu satu sama lain. Awalnya pembicaraan diantara mereka adalah seputar becak dengan segala permasalahannya, namun lama kelamaan obrolan itu berkembang ke topik lainnya. Tidak hanya itu, perkumpulan yang awalnya hanya terjadi diantara para pemilik becak menjadi berkembang pada seluruh warga yang kebetulan lewat di sana. Tempat mengobrol semakin mengasyikkan ketika kemudian ada warung kopi kecil di sebelah pangkalan becak milik Pak Kholik tersebut. Meskipun arena interaksi di pangkalan becak milik Pak Kholik tidak berkembang kearah diskusi-diskusi sebagai mana yang terjadi di material milik Kiki, namun arena interaksi ini cukup efektif dalam menjalik keakraban antar warga. Kondisi yang sama terjadi di bengkel motor milik Pak Jamal. Pak Jamal adalah orang dari suku Madura berusia 70 tahun. Sebagian pegawainya adalah orang-orang dari suku Sunda generasi dua dan tiga seperti Wahyu dan Nandang,. Teman-teman pegawainya sering berkunjung ke bengkel motor itu unutuk sekedar mengobrol dengan teman mereka Wahyu dan Nandang yang bekerja di sana. Mereka kemudian sering pula mengobrol dengan teman-teman Pak Jamal yang kebetulan datang untuk membahas masalah bisnis motor dengan Pak Jamal seperi Pak Samat orang suku Madura dan Bandi orang dari suku Sunda. Kedua teman Pak Jamal ini termasuk kategori generasi satu. Perkumpulan ini pun ternyata
62
berkembang menjadi forum diskusi santai sebagaimana yang terjadi di toko material milik Kiki. Hal ini disebabkan selain sebagai pemilik bengkel motor, Pak Jamal adalah ketua DKM masjid. Sebagaimana telah di jelaskan bahwa masjid merupakan sentra interaksi warga, dimana masjid berfungsi sebagai tempat untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi. Dikarenakan Pak Jamal adalah ketua DKM, maka diskusi di masjid sering berlanjut atau di mulai dari bengkel motornya. Satu lagi arena interaksi warga, yaitu warung sembako milik ceu Emmi. Letak warung sembako ini berada dekat dengan masjid tepatnya disamping kiri masjid warga RT 04 tersebut. Pada awalnya obrolan para ibu dan remaja putri yang berbelanja hanya seputar sembako dengan segala permasalahannya tersebut. Namun belakangan terutama ketika masjid telah menjadi pusat interaksi warga melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakannya, obrolan di warung sembako ini berkembang menjadi membahas masjid. Mereka menghubungkan makananmakanan khas suku masing-masing yang akan di sajikan ketika acara keagamaan. Mereka menceritakan cara membuat makanan khas mereka, hingga nilai-nilai apa yang terkandung didalam makann tersebut. Topik juga berkembang membahas situasi yang dialami masjid seperti pertikaian yang terjadi, solusi yang diambil hingga kontribusi para ibu dalam meredam kemarahan para bapak yang berkonflik. Hal ini terjadi, sebagaimana menurut informan dari suku Sunda Ibu Nunug, toko sembako Ceu Emmi ramai di datangi para pedangang makanan jadi untuk membeli berbagai bahan pokok di sana. hal ini karena letak RT 04 yang berada di pusat kota Bogor menjadikan RT 04 adalah wilayah dengan potensi ekonomi yang baik. Dimana posisinya yang strategis membuat penduduk RT 04 memiliki banyak kegiatan ekonomi dan profesional di sekitar pemukimannya sendiri. Arena-arena interaksi yang berada di dalam lingkungan tinggal warga RT 04 ini adalah alasan pertama yang ditemukan dalam penelitian ini yang menjadi penyebab terjadinya proses efektivitas manajemen konflik di RT 04.
63
Tabel 8. Arena Interaksi Warga di Dalam Area Tinggal Suku No.
Arena Interaksi
Sunda
Madura
1.
Toko material (Kiki)
-
√
2.
Warung sembako (Ceu Emmi)
√
-
3.
Pangkalan becak (Pak Kholik)
√
-
4.
Bengkel Motor (Pak Jamal)
-
√
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011 Keterangan: √ (Suku Pemilik Arena interaksi)
Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa pembauran lokasi tinggal adalah salah satu penyebab bagi terjadinya efektivitas komunikasi antar budaya pada suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Bagi generasi tua pembauran area tinggal menuntut mereka untuk dapat saling menerima keberadaan satu dengan yang lainnya. Penerimaan yang di maksud oleh suku Sunda adalah terjalinnya intensitas bertegur sapa diantara mereka. Hal ini berbeda dengan suku Madura. Suku ini memiliki nilai menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan tinggal, namun arti keselarasan bagi suku Madura dalah terbatas pada tidak saling mengganggu kepentingan masing-masing. Perbedaan ini membuat kedua suku dari generasi tua ini sering mengalami ketidak sepahaman. Pembauran lokasi tinggal menjadi basis pasang surutnya hubungan antar generasi tua ini. Fokus mereka terhadap keselarasan lingkungan hidup diantara mereka justru menjadikan kedua suku saling berseberangan ketika terdapat ketidak samaan makna pada suatu konsep. Adapun ketika mereka merasakan suatu keselarasan diantara mereka dari suatu nilai tertentu maka hal itu pun akan berpengaruh pada terciptanya harmonisasi diantara mereka. Hingga peneltian ini dilakukan tarik menarik diantara nilai-nilai yang menselaraskan dan yang memisahkan diantara kedua suku pada generasi pertama ini masih sama. Tidak dapat disimpulkan perihal seberapa banyak hal-hal yang membuat mereka bersatu di bandingkan hal-hal yang memisahkan. Kondisi tarik menarik ini hanya mereda di saat-saat tertentu seperti ketika terdapat kegiatan bersama atau ketika baru terjadinya suatu penyelesaian konflik-konflik.
64
Pembauran area tinggal dengan segala problematikanya pada generasi pertama ini menjadikan kedua suku terus melakukan interaksi diantara mereka. Generasi selanjutnya yaitu generasi dua dan generasi tiga yang menyaksikan polapola yeng membentuk para orang tua mereka nampaknya membuat mereka mempelajari situasi yang ada diantara mereka. Generasi selanjutnya ini menimbang apa yang baik dan perlu dikembangkan dan apa yang buruk dan perlu di perbaiki. Oleh karena itu generasi selanjutnya memanfaatkan pembauran are tinggal ini degan cara yang berbeda dengan generasi pertama. Adapun bagi generasi dua dengan mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada generasi satu, pembauran area tinggal di manfaat kan oleh mereka untuk meningkatkan intensitas interaksi warga, sambil melibatkan diri pada setiap permasalahan yang ditimbulkan oleh intensitas interaksi tersebut. Mereka bertujuan mengurangi dampak perbedaan yang ada melalui pemahaman terhadap perbedaan itu sendiri. Generasi kedua selanjutnya berhasil merubah persepsi generasi satu terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Pada awalnya generasi pertama akan melihat perbedaan sebagai suatu yang salah dan tidak pantas. Pada masa selanjutnya mereka melihat perbedaan sebagai hanya perbedaan cara saja. Hal ini berakibat pada mengecilnya dampak dari konflik yang ditimbulkan. Kemampuan generasi dua merubah persepsi generasi satu diakibatkan karena pada umumnya mereka sendiri mengalami negosiasi pada perbedaan budaya yang mereka miliki. Negosiasi diantara para anak muda generasi kedua terjadi dengan lebih akrab yaitu karena mereka umumnya bergaul sejak kecil, bermain bersama dan memahami adanya perbedaan dengan cara yang lebih natural dan bertahap, tidak sekaligus sebagaimana yang terjadi pada generasi satu. Generasi satu adalah orang-orang yang telah terbentuk oleh adat kebiasaan masing-masing dan tidak punya kesempatan mengenal kebudayaan yang lain. Pemahaman atas kondisi ini membawa generasi dua untuk memanfaatkan pembauran area tinggal untuk kesadaran membangun kontak antar budaya, melalukan adaptasi budaya dan melakukan
kegiatan-kegiatan
bersama.
Generasi
dua
berharap
dengan
terbangunnya hal-hal tersebut menjadikan dampak konflik tidak terlalu keras sehingga dapat menjadikan konflik sebagai sarana bernegosiasi berbagai perbedaan budaya yang ada.
65
Adapun generasi tiga melihat pembauran area tinggal diantara mereka sebagai sarana membangun kebudayaan yang akan menjadi cirri khas warga RT 04 dengan memanfaatkan berbagai unsur budaya yang ada. Generasi ini mejalin keakraban dengan memanfaatkan keberbauran area tinggal diantara mereka. Mereka berkunjung, menginap dan berdiskusi di rumah-rumah mereka secara bergantian. Hal ini membuat strategi yang dibangun oleh generasi dua menjadi lebih mungkin tercapai yaitu membuat perbedaan tidak berdampak pada konflik yang keras. Melalui pembauran area tingggal pula generasi tiga membangun kesatuan warga RT 04 yang lebih mendalam. Pada dasarnya diawal percmpuran budaya antara suku Sunda dan suku Madura tidak terdapat lokasi khusus yang di jadikan arena berinteraksi pada generasi satu. Karena pada dasarnya kontak yang terjadi cenderung menimbulkan masalah bagi mereka. Arena interaksi baru tercipta ketika generasi tiga yang pada umumnya
adalah
anak-anak
sekolah
mulai
membantu
orang
tunya
mengembangkan usaha mereka yang ada di lingkungan tinggal. Arena interaksi yang pertama dan utama yang tercipta adalah di toko material milik Kiki. Arena interasi ini selanjutnya menginspirasi lahirnya arena-arena interaksi yang lainnya seperti pangkalan becak Pak Kholik, bengkel motor Pak Jamal dan Warug sembako Ceu Emmi. Kiki adalah genrasi tiga yang mengelola toko material milik ayahnya. Toko material itu sudah ada sejak lama sekali, namun ia hanya berfungsi sebagai ladang usaha milik orang tua Kiki. Baru ketika Kiki mengelola toko tersebut, toko material berfungsi sebagai arena interaksi warga RT 04. Di toko ini anak-anak muda berkumpul untuk mengobrol, bercanda, berbagi pengalaman, hingga berdiskusi berbagai permasalahan. Letak toko material yang berada tepat di pangkal jalan lokasi pemukiman pinggir jalan memungkinkan semua orang untuk melihat kegiatan anak-anak muda tersebut. Kondisi ini memobilisasi generasi yang lainnya untuk sekedar ikut bergabung mengobrol dengan mereka sepulang dari mereka bekerja, memanfaatkan perkumpulan tersebut sebagai basis mobilisasi anak muda, hingga menciptakan arena-arena interaksi yang kemudian banyak terdapat di RT 04 dengan berbagai variasinya sesuai level generasi yang menciptakannya. Generasi satu selanjutnya menciptakan arena interasi di dalam lingkungan tinggal berupa pangkalan becak, bengkel motor dan warung sembako.
66
Sedangkan generasi dua menambahkan fungsi masjid untuk mengembangkan kegiatan interaksi di sana. Adapun generasi dua memanfaatkan perkumpulan anak-anak muda generasi tiga ini sebagai alat pembauran antar suku yang lebih efektif. Generasi dua kemudian mendorong generasi tiga untuk memegang kendali di setiap kegiatan masjid yang di selenggarakan. Dari mulai kepanitiaan hingga pembagian tugas pada seluruh warga RT 04 dalam mensukseskan setiap acara yang diadakan. Keakraban antar suku yang terjadi pada generasi tiga selanjutnya menginspirasi generasi satu untuk lebih membayr satu sama lain. Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal Kegiatan ekonomi warga terdiri dari
sebagai pedagang sejumlah 110
orang, pegawai kelurahan sebanyak 20 orang, pegawai pabrik dan swalayan sebanyak 27, guru sekolah tingkat SD, SMP dan SMA, serta perguruan tinggi sebanyak 10 orang. Keadaan ini membuat di samping ekonomi warga secara umum terbilang cukup baik, juga disisi lain menjadi keuntungan tersendiri dari segi sosial, yaitu sesama warga RT 04 dapat saling berinteraksi bukan saja di wilayah pemukimannya, namun juga ditempat mereka berdagang karena samasama sebagai pedagang. Pak Husen bercerita, sebagai penjual sate di area jembatan merah dirinya pernah juga kehabisan nasi untuk di jual, sementara pembeli meminta nasi untuk teman makan satenya. Menghadapi masalah ini maka Pak Husen akan meminjam nasi pada Pak Amri, pedagang soto yang berjualan di sebelah tempat dirinya berjualan. Pak Husen memilih meminjam nasi kepada pak Amri karena Pak Amri adalah warga RT 04 juga sebagai mana dirinya meskipun Pak Amri adalah orang suku Sunda. Pak Amri juga akan melakukan hal yang sama, yaitu dia akan meminta pertolongan pada Pak Husen karena merasa lebih dekat dengan sesama RT 04. Keberadaan mereka di luar area tinggal nampaknya menjadikan satu sama lain saling merasa lebih membutuhkan. Terkadang interaksi lewat saling tolong menolong ini berlanjut di area tinggal. Pak Husen akan sengaja datang kerumah Pak Amri dengan alasan mengembalikan nasi yang di pinjamnya. Setelah itu biasanya mereka akan mengobrol. Interaksi di tempat dagang pun terkadang terjadi karena Pak Lupi seorang Madura yang berjualan soto ingin makan bubur, maka ia akan makan bubur jualan
67
Pak Husin, orang sunda yang berjualan di sebelah tempat ia berjualan. Pak Lupi melakukan hal tersebut agar ada kesempatan mengobrol dengan Pak Husin, karena mereka sama-sama sebagai warga RT 04. Mengobrol di tempat berjualan bagi mereka berfungsi mengusir kebosanan, terutama ketika sepi pelanggan. Hal itu akan semakin menyenangkan jika mengobrol dengan tetangga sesama warga RT 04, meskipun mereka tetap mengobrol juga dengan sesama penjul lainnya yang bukan dari RT 04. Adapun Pak Husin mengaku sering membantu Pak Lupi melayani pembelinya, jika kebetulan di tempatnya sedang sepi pembeli. Menurutnya ia senang membantu Pak Lupi karena merasa sama-sama sebagai warga RT 04. Pak Syamsudin selalu melewati pertigaan Mawar yang merupakan area pergadangan ketika pulang dari bekerja. Biasanya ia akan membeli beberapa makanan untuk makan malam keluarganya. Keluarga Pak Syamsudin senang makan malamnya ditemani martabak telor. Pak Syamsudin akan membeli martabak telot Pak Tupi. Ia juga sering kali membeli mie ayam Pak Sabar. Baginya membeli makanan dari sesama warga RT 04 merupakan cara mendekatkan diri satu sama lain apalagi para penjual itu terdiri dari suku Sunda dan suku Madura. Demikian juga pak Agus yang bekerja di Jakarta. Sepulang bekerja ia akan menyempatkan diri untuk membeli sate favoritnya dan juga favorit keluarganya. Keluarga Pak Agus suka pada sate Pak Madi. Menurut mereka sate Pak Madi sangat khas kemaduraannya, dan karena ketika dirinya membeli sate pada Pak Madi, maka Pak Agus sering kali mendapatkan tambahan sate dari Pak Madi. Demikian juga dengan Jajah. Jajah adalah orang Sunda yang berprofesi sebagai guru TK. Tempat mengajarnya yang berdekatan dengan area perdagangan di pertigaan Mawar membuatnya sering mampir ke area itu untuk membeli makanan. Terkadang ia membeli makanan pada sesama warga RT 04 karena bisa sambil mengobrol dengan mereka. Adapun pak Jojo, orang Sunda yang bekerja di kantor kelurahan Kebon Kelapa, karena kantornya berseberangan dengan area perdagangan Mawar, maka ketika makan siang ia akan memilih makan di area ini sambil mengobrol dengan sesama warga RT 04 yang berjualan di sana.
68
“kita mah kebanyakan kerjanya ya disekitar kita aja, soalnya tempat kerjanya deket-deket sini. Jadi kita mah sering ketemu satu sama lain. Dirumah ketemu, di luar RT ketemu. Saya kerja di kantor kelurahan kan, mau makan siang, nyebrang dikit, ketemu tuh si Tupi (madura generasi 1) yang jualan soto Madura, atau si Husin (Sunda generasi 1) disebelah Tupi, jualan bubur”(Ujang Madi, sunda generasi 1) Dari penjelasan di atas menggambarkan bahwa arena interaksi warga RT 04 diluar lingkungan tinggalnya yang pertama adalah lokasi kantor kelurahan yang berhadapan dengan lokasi perdagangan kaki lima di sekitar pertigaan Jalan Mawar. Lokasi antara area perdagangan dengan kantor kelurahan Kebon Kelapa ini dipisah oleh jalan beraspal yang tidak terlalu lebar. Di kantor kelurakan Kebon Kelapa terdapat beberapa warga RT 04 yang bekerja sebagai staf disana. Untuk makan siang mereka akan menyeberang jalan dan menemukan beberapa pedagang yang juga merupakan warga RT 04. Para pedagang ini terdiri pula dari beberapa suku Sunda dan beberapa suku Madura. Keadaan ini membuat terjalin interaksi diantara mereka yang memungkinkan satu sama lain merasa dekat akibat samasama sebagai warga RT 04. Demikian juga di antara pedagang yang bersebelahan lokasi dagang tersebut, mereka yang terdiri dari suku Sunda dan suku Madura itu menjadi sering mengobrol dan menjalin keakraban karena sama-sama sebagai warga RT 04. Lokasi interaksi di luar lingkungan tinggal yang kedua adalah lokasi pedagang kaki lima di sepanjang Jembatan Merah. Lokasi ini adalah tempat pemberhentian orang-orang yang menuju arah kelurahan Kebon Kelapa, dan juga RT 04. Beberapa para pedagang di jembatan merah adalah orang-orang RT 04 yang terdiri dari suku Sunda dan suku Madura. Mereka berinteraksi dan saling membantu keperluan dagang diantara mereka. Interaksi juga terjadi ketika para pegawai kantor dan juga para guru yang berasal dari RT 04 berhenti sejenak untuk membeli beberapa makanan kepada mereka yang berdagang di Jembatan Merah. Para karyawan dan guru tersebut mengutamakan membeli makanan jadi pada sesama warga RT 04 bukan saja karena alasan kedekatan sebagai sesama warga RT 04, namun juga karena seringnya mereka mendapat tambahan dari apa yang mereka beli jika mereka membeli pada sesama orang RT 04, disamping tentu saja
69
karena mereka merasakan makanan yang dijual memang enak dan layak untuk di beli sebagai oleh-oleh di rumah. Artinya selain interaksi yang terjadi antara pedagang, interaksi juga terjadi antara pedagang dengan sesama warga RT 04 yang bekerja sebagai pegawai kelurahan, karena kantor kelurahan pun berdekatan dengan tempat perdagangan. Interaksi dengan warga RT 04 yang berprofesi sebagai guru, dapat terjadi saat para pengajar pulang dari tempatnya bekerja melalui kantor kelurahan maupun area perdagangan. Dan meskipun terdapat beberapa warga yang memilki aktifitas ekonomi di luar Bogor seperti Jakarta, Depok dan Tangerang, namun orang-orang ini tetap memiliki waktu berinteraksi yaitu di masjid, karena secara kebetulan mereka adalah orang-orang yang sering ke mesjid untuk melakukan ritual shalat dan yang lainya. Meskipun demikian masih terdapat warga RT 04 yang menjadi pengangguran, dan biasanya komunitas ini tidak terlalu intens berinteraksi Saya kan kerja di Jakarta, jadi ketemu sama orang RT 04 ya di maasjid, subuh, magrib atau isya.kadang juga saya berkunjung kerumah Pak Syamsudin, lagian pulang kerja saya suka beli martabaknya orang Madura yang dipinggir jalan itu,itu Pak Samat, sekalian lewat” (Agus, Sunda, generasi 2) Sebagaiman di sebutkan terdahulu di area dalam RT 04 kegiatan ekonomi warga terkonsentrasi pada warung sembako, toko material, pangkalan becak dan bengkel motor. Tempat-tempat yang kemudian juga berfungsi sebagai tempat interaksi warga, disamping interaksi warga yang terjadi di masjid, dan merupakan tempat interaksi yang paling efektif karena menjadi pusat interaksi sosial warga RT 04. Kegiatan ekonomi warga yang tersebar pada perdagangan,
pegawai
kelurahan ataupun swasta, pofesional dalam hal ini tenaga pengajar, warung sembako, toko material, pangkalan becak, bengkel motor memberi kesempatan pada warga untuk melakukan interaksi. Demikian pula keberadaan masjid yang sejak awal pembangunannya, meski interaksi diwarnai beberapa konflik, telah menjadi alat pemersatu warga, dan telah membentuk pola interaksi yang khas bagi warga RT 04. “ya bisa dibilang sesama warga sering ngumpul, itu di toko material Pak Shaleh (Madura generasi 1), yang jaga kan anaknya si Kiki (madura generasi 3) anak mudanya hobi nongkrong disitu,
70
ada juga yang ngumpul sambil nyantainya di pangkalan becak Pak Kholik (sunda generasi 1) atau toko si Adi (Sunda generasi 3) disebelahnya toko Kiki kan, banyak lagi lah, saya juga kalau pas pulang kerja sering ikutan nongkrong sebentar, kan sekalian lewat, itung-itung silaturahmi” (ujang Madi, Sunda, generasi 1) Interaksi antar warga di RT 04 terutama di arena lokasi tinggal sudah terjalin sejak awal sekali dengan berbagai dinamikanya. Pada awal interaksi diwarnai stereotipe yang melekat pada suku Madura. Suku Madura dianggap tidak ramah oleh suku Sunda yang merupakan penduduk setempat. Berbagai stereotipe negatif di tujukan pada pendatang pertama suku Madura ini seperti berwatak keras, pemarah dan mudah mengeluarkan senjatanya. Gambaran ini seakan dibenarkan oleh pendatang pertama suku Madura yang bermukim di RT 04. Pencitraan buruk tersebut
menurut suku Sunda karena orang Madura yang
pertama datang beserta keluarganya itu berwajah tidak ramah, jarang bertegur sapa saat berpapasan dan sering terlihat mengasah celuritnya didepan rumahnya yang disaksikan oleh orang Sunda yang kebetulan lewat didepan rumahnya. Mereka mengartikan semua sikap yang terlihat pada orang Madura itu sebagai ketidakramahan. Meskipun terbukti hingga penelitian ini dilakukan bahwa orang pertama yang datang tesebut maupun keluarganya tidak pernah mengalami bentrok atau perseteruan dengan pribumi. Kondisi di atas telah cukup menjadikan interaksi antara suku Sunda dan suku Madura tidak berjalan baik, yaitu ditandai penghindaran orang Sunda untuk lewat didepan rumah orang Madura terutama ketika orang Madura ini sedang mengasah cluritnya, ataupun menghindari berpapasan dengan orang tersebut. Bahkan orang Sunda merasa tidak tenang bertetangga dengan orang Madura tersebut. Sedangkan bagi orang Madura sendiri, penghindaran suku Sunda terhadapnya membuat mereka menganggap suku Sunda enggan bergaul dan suka lainnya, dan berkumpul dengan sesama warga Sunda saja. Berbeda dengan suku Sunda yang merasa terganggu dengan segala tindak tanduk suku Madura, suku Madura tidak terlalu mempermasalahkan sikap suku Sunda. Bagi suku Madura merupakan hak suku Sunda untuk tidak mau bergaul dengan mereka. Sedangan suku Sunda justru menganggap hal yang benar adalah menjalin keakraban dengan sesama tetangga. Belakangan hal ini menimbulkan konflik di antara mereka.
71
Iya kalo Pak Munara itu bukan galak, cuman memang begitu wataknya, enggak banyak ngomong, orangnya mah baik, orang Sunda aja yang takut duluan,buktinya kan dia enggak pernah berantem, orang Sunda kan senengnya ngumpul ya bareng orang-orangnya sendiri, sambil mancing gitu, tapi ya suku Sunda kalau kita sapa ya baik lah” (Husen Madura generasi 1) Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena selang tiga tahun dari kehadiran orang pertama tersebut, datanglah keluarga Madura yang lainnya untuk bertempat tinggal di RT 04. Tipe orang yang datang kemudian ini dipandang berbeda dengan pendatang pertama, yaitu lebih ramah, mau bertegur sapa dan berwajah lebih bersahabat. Hal ini membuat suku Sunda mulai membuka diri dan bergaul dengan orang Madura, dan selanjutnya hubungan antar warga diatara kedua suku tersebut terjalin baik. Proses perubahan persepsi diantara suku Sunda dan suku Madura ini tidak pernah dibicarakan secara tebuka diantara kedua suku tersebut, yang terjadi hanyalah upaya masing-masing memperbaiki persepsinya sendiri. Proses ini pula yang kemudian sedikit demi sedikit menghapus stereotipe suku Madura yang paling mereka takuti. Bahkan selanjutnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya setiap orang ada yang baik dan ada yang buruk, bukan karena seseorang bersuku Madura, maka ia pasti berwatak buruk, sebagaimana sebaliknya pada suku Sunda pun terdapat orang baik dan buruk. Proses ini nampaknya memperbaiki corak interaksi dari yang tadinya negatif menjadi interaksi yang positif. Ya ngapain galak-galak, kita disini cuman cari hidup, numpang kita ya harus baik sama tetangga, peduli lingkungan lah” (Bunawi, Madura, generasi 1) “iya menurut saya mah sama aja sih mau Madura kek, mau Sunda kek, yang baik mah baik, yang galak ya galak”(Arif, Sunda, generasi 2) Semakin positifnya hubungan diantar keduanya juga terlihat dari cara mereka menceritakan kasus pembangunan masjid, dimana mereka menceritakan dulu kejadian musyawarah dan kesepakatan bersama perihal akan dibangunnya masjid di wilayah mereka dengan dana swadaya seluruh warga RT 04. Masingmasing suku mengakui kerukunan yang sudah ada antar warga, bahwa konflik di anggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam suatu masyarakat berbeda suku bangsa. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu di
72
hindari. Oleh karena itu, konflik harus di jadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong terjadinya motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Di RT 04 mah boleh dibilang sejak awal juga kita harmonis ya suku Sunda suku Madura, mesjid dibangunkan dari obrolanobrolan kita pas abis jumatan gitu, wah ga kebagian tempat deui euy, gitu, terus musyawarah lah kita untuk buat masjid, ya soal pernah enggak setuju mah ya biasa lah namanya juga orang banyak” (Syamsudin, Madura, generasi 2) Seperti di sebutkan sebelumnya bahwa interaksi dan komunikasi antar warga RT 04 dapat terjadi baik didalam wilayah tinggal maupun diluar wilayah tinggalnya. Menurut keterangan informan, di warung-warung sembako interaksi antar pedagang makanan jadi berkisar seputar harga sembako hingga perbedan adat istiadat dalam hal makanan, hingga perayaan-perayaan hari-hari besar Islam. Interaksi juga banyak terjadi di bengkel motor milik suku Madura maupun pangkalan becak milik suku Sunda. Ya kalau di warung ngobrolin masakan, ya misalnya pas acara maulidan, kita ngobrol, kalau di Madura mah biasanya maulidan itu harus kuah ahun itu, wajib, kalau Sunda yang harus ada itu tumpeng gitu jadi kita tau lah adat istiadat yang beda, seneng aja jadi saling tau (Nipah, Madura, generasi 1) Adapun di luar wilayah tinggal sebagaimana telah disebutkan, terjadi setelah interaksi di area wilayah tinggal semakin membaik. Tidak terdapat konflik di area ini. Orang Madura yang berprofesi sebagai pedagang banyak berinteraksi dengan sesama pedagang yang berasal dari suku Sunda, karena banyak dari mereka yang bersebelahan lokasi dagangnya. Para pedagang inipun dapat pula melakukan interaksi dengan warga RT 04 yang berprofesi sebagi pegawai kelurahan, karena lokasi kantor kelurahan yang berseberangan dengan lokasi perdagangan. Demikian juga interaksi dapat terjadi dengan warga RT 04 yang hendak pulang kerja sebagai guru atau yang bekerja di luar kota, karena mereka melalui jalan yang ditempati para pedagang dan kantor kelurahan. Bahkan tidak jarang terjadi para pegawai itu kemudian membeli makanan jadi dari sesama warga RT 04 saat mereka pulang kerja.
73
Saya senengnya sate, kalau pas pulang ngajar, kadang mampir buat beli sate ke Pak husen yang saya seneng mah, bumbunya banyak soalnya, (Jajah, Sunda, generasi 2) Arena interaksi di luar lingkungan tinggal terjadi pada generasi satu dan generasi dua. Arena ini tercipta setelah arena interaksi di dalam lingkungan tinggal di ciptakan oleh generasi tiga dan generasi dua dan di rasakan kemanfaatannya oleh seluruh warga RT 04. Arena interaksi di luar lingkungan tinggal yang berupa berdekatan lokasi perdagangan, bersebrangan dengan lokasi kantor kelurahan dimana banyak terdapat pegawai kelurakan yang merupakan warga RT 04, serta kegiatan membeli makanan jadi warga RT 04 ketika mereka pulang kerja kepada sesama warga RT 04 yang berdagang di area yang dilalui oleh para pegawai yang pulang kantor. Arena interaksi di luar lingkungan tinggal ini di rasakan sangat bermanfaat bagi generasi dua dan generasi tiga sebagai alat mendekatkan antar suku. Dari mulai memanfaatkan waktu luang unutk sekedar ngobrol mengusir kebosanan di tengah-tengah aktifitas berdagang, hingga mengenbangkan bisnis di antara mereka. Kesamaan fungsi pada terciptanya arena-arena interaksi antar warga di RT 04 selanjutnya di manfaatkan oleh seluruh warga dalam membangun sinergisinerga diantara mereka. Banyaknya terjalin berbagai hubungan baik berupa kerjasama dagang, diskusi-diskusi berbagai permasalah warga dan diskusi agama, serta terjadinya banyak perkawinan antar suku adalah akibat dari sinergi yang tercipta diantara suku Sunda dan suku Madura. Kepuasan yang mereka dapatkan dari terciptanya pembauran diantara mereka memberi ruang terutama bagi generasi tiga untuk menciptakan identita baru yang menjadi cirri khas seluruh warga melalui berbagai kegiatan bersama yang di lakukan. Ketika penelitian ini di lakukan berbagai pujian dari warga yang berasal di
luar RT 04 sering di tujukan pada para anak muda ini. Mereka
dianggap berhasil menyatukan warga dalam setiap kegiatan sehingga kegiatan itu terkesan akrab dan unik. Arena interaksi di dalam dan di luar area tinggal serta keseluruhan proses interaksi warga RT 04 berakibat terjalinnya keakraban diantara mereka. Hal ini pulalah yang mendukung dijadikannya proses interaksi di masjid sebagai pusat interaksi warga. Segala hal yang menyangkut tentang masjid baik dari awal
74
pembangunan hingga beragam kegiatan yang dilaksanakan di masjid, termasuk konflik dan penyelesaiannya selalu menjadi tema utama dan pusat perhatian seluruh warga. Semua informan mengetahui kasus yang menyangkut masjid, dari permasalahan yang menyertai pembangunannya hingga musyawarah warga yang menjadi penyelesaiannya. Sedangkan terhadap beberapa peristiwa konflik yang selain masalah masjid, terdapat beberapa informan yang tidak mengetahui, atau merasa tidak terlibat, dan mereka bangga pada hasil yang kemudian dapat mereka capai baik berupa kesuksesan pembangunan masjid, kesuksesan pada setiap kegiatan yang diselenggarakan di masjid, sampai terbangunnya kerekatan hubungan antar warga yang semakin baik dari generasi ke generasi berlatarbelakang kegiatan masjid. Iya sih meskipun kadang ada konflik, bahkan pernah cukup besar dalam pandangan orang tua kita, tapi ya masjid itu yang mempersatukan warga RT 04, semua antusias ambil bagian pokoknya kalau pas ada acara di masjid” (Syamsudin, Madura, generasi 2) Keseluruhan proses ini berdampak pada hilangnya stereotipe Madura di mata suku Sunda, yaitu tidak lagi menganggap orang Madura galak, mereka mulai merasa tidak takut pada orang Madura, dan tidak keberatan bertetangga dengan suku Madura. Suku Sunda menyebut kondisi tersebut sebagai upaya kedamaian hidup bermasyarakat, dengan mengutamakan hubungan baik dan upaya-upaya menjauh dari konflik. “Sekarang mah yang penting hidup rukun, tidak saling jegal, egois atau apalah, malah saya mah prinsipnya mengalah meskipun saya benar, kalau itu untuk kebaikan bersama, kan orang Madura juga udah pada baik sekarang mah ya yang tua, apalagi yang mudanya, walaupun dengan caranya masingmasing, yang lebih tua biasanya ya sekedar nyapa kalau lagi ketemu, atau yang lebih akrab lagi diskusi seperti Pak Agus dan Pak Syamsudin, kalau yang lebih muda ya udah bersahabatlah mereka mah, saling kerjasama, tolong menolong”(Arif, Sunda, generasi 2)
75
26
Gambar 2. Peta Arena interaksi didalam lingkungan tinggal dan diluar lingkungan tinggal suku Sunda dan suku Madura.
Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 Konflik antarbudaya di RT 04 sebenarnya bukan merupakan fenomena baru bagi warga RT 04 sendiri. Terdapat beberapa konflik yang diceritakan oleh mereka dan dianggap menemukan penyelesaian yang memuaskan semua pihak, sehingga hubungan menjadi semakin harmonis. Namun disisi lain terdapat pula konflik-konflik yang sifatnya masih terpendam, belum mengemuka, dan masih menjadi semacam duri dalam keharmonisan hidup di RT 04, dan masih memerlukan kesediaan masing-masing pihak untuk menemukan akar masalah serta cara menyelesaikannya. Beberapa konflik yang kemudian dapat diselesaikan dan menjadi media untuk menjalin komunikasi antarbudya yang lebih efektif antara lain adalah: Kasus Bermuka Galak “Ini saya bicara soal suku dulu ya, saya mah melihat memang ada perubahan pada orang Madura, dulu ya, waktu pertama kali orang madura datang kesini, itu pak Munara, wuah orangnya keras, galak keliatan dari mukanya juga, maen ngeluarin senjata aja
76
kalau ada masalah teh, apa itu celurit, iya bener, dia itu di takuti pokoknya mah. Orangnya dingin, enggak pernah nyapa, kecuali di sapa. Gitu dulu teh ya,saya mah sampe takut mau lewat depan rumahnya tapi kesini kesini, Pak Siddik, terus Pak Bunawi, enggak tuh, ya walaupun ada juga yang masih kaku, kaya pak jamal, tapi tetep enggak separah yang saya sebut tadi ya.“(Jojo, Sunda, generasi 1) Di masa awal kedatangan suku Madura ke wilayah RT 04 yaitu di tahun 70-an. Pendatang pertama itu bernama Pak Munara. Dia datang ke Bogor bersama istri dan keempat anaknya. Rumah tinggal Pak Munara berada di area pinggir jalan. Hal ini menyebabkan setiap waktu orang yang berlalu lalang di jalan depan rumhnya dapat melihatnya serta berbagai kegiatan yang di lakukannya. Ketika penelitian ini dilakukaan Pak Munara sudah meninggal. Ia meninggal pada tahun 1989. menurut keterangan informan, Pak Munara berwajah galak, tidak ramah pada tetangga, dan sering terlihat mengasah clurit di depan rumahnya. Hal ini mengakibatkan suku Sunda enggan bertegur sapa dengan orang Madura itu, bahkan merasa takut meskipun hanya untuk lewat di depan rumahnya, serta merasa terganggu dengan keberadaan orang tersebut di wilayahnya. Meskipun di akui oleh informan bahwa hingga meninggalnya pun, orang Madura yang menjadi pendatang pertama di RT 04 itu terbukti tidak pernah bersengketa dengan pribumi, namun dari sikap yang ditunjukannya di anggap membenarkan stereotipe yang terlanjur melekat pada diri orang Madura. dan meskipun selanjutnya orang Sunda mulai beranggapan bahwa setiap orang ada yang baik ada yang buruk, tidak terbatas apakah itu suku Madura ataupun suku Sunda. Namun masih menurut informan, tidak selang lama, sekitar tiga tahun kemudian, datanglah suku Madura yang lain, dengan ciri-ciri yang dianggap berbeda dengan orang yang datang sebelumnya, yaitu di nilai lebih ramah, mau bergaul, bahkan terkesan berperilaku sopan kepada pribumi. Hal ini membuat mereka selanjutnya tidak lagi merasa takut pada orang Madura dan mulai tidak keberatan bertetangga dengan mereka. “Sekarang mah semuanya udah baik orang Maduranya, apalagi anak mudanya, sopan banget, kaya’ si Apung itu lah. Ya sebenernya semua suku sama aja, ada yang baik ada yang enggak baik, tergantung orang nya kali ya.” (Nunung, Sunda, generasi 1)
77
Kasus Clurit “Orang madura zaman dulu yang saya ngeri banget, pernah kerumahnya Bu Nipah kan mau apa waktu itu teh lupa, eh di ruang tamunya teh, celurit di pajang, udah mah gede, mengkilap lagi, ih saya sampe merinding, mulai itu enggak pernah saya kerumahnya lagi, takut. Ya sekarang mah Bu Nipah juga udah enggak punya celurit. Saya juga tahu itu, makanya sekarangmah, apalagi kalau ada acara, ya sampe malem, dirumahnya, udah enggak apa-apa, ya dulu juga sebenernya mah enggak apa-apa, orang kata Bu Nipah teh itu mah cuman pajangan, kunaon atuh celurit gitu yang dipajang, apa kek, gitu” (Nunung, Sunda, generasi 1) “Kita orang Madura mah mengerti emang kudunya ngalah terus, kita itu sebagai pendatang meskipun lebih gigih dalam berusaha, ya tetep kudu menghargai pribumi, ya demi kerukunan bersama, pokonya mah jauh dari berantem lah. Sampe-sampe sayamah sekarang udah enggak punya celurit dirumah, ya karena orang Sundanya takut katanya, ya udah saya jual, ngapain bikin orang takut. Padahal mah itu seneng aja kenang-kenangan Madura ceritanya sih, ya pajangan lah gitu maksudnya mah, kalau sesama Maduranya mah itu tuh jadi topik pembicaraan, misalnya beli dimana, bahan nya apa, ya gitu lah” (Bunawi, Madura, generasi 1) Diawal-awal kedatangan suku Madura ke wilayah RT 04, salah satu kebiasaan mereka yang tidak disukai atau bahkan ditakuti oleh orang Sunda adalah kebiasaan suku Madura meletakkan clurit di dinding ruang tamunya. Hal tersebut membuat suku Sunda enggan datang kerumah suku Madura karena ketika melihat clurit itu, suku Sunda merasa terancam dan takut. Menurut keterangan informan orang Madura tidak bermaksud menakuti ataupun mengancam orang lain, diletakkannya clurit di dinding bagi suku Madura adalah sebagai hiasan semata. Sebagaimana menurut keterangan Ibu Nunung, seorang suku Sunda yang berusia 68 tahun ini. Dulu dirinya merasa takut untuk datang kerumah orang Madura. hal ini disebabkan ia melihat clurit di pajang di dinding ruang tamu oran Madura. Pada masa selanjutnya suku Madura akhirnya mendengar omonganomongan yang menyangkut ketakutan suku Sunda tersebut. Bahwa suku Sunda selalu tidak mau ketika di ajak mampir kerumah mereka, dengan alasan takut pada
78
clurit. Pada awal di ketahuinya permasalahan ini adalah terdapat salah satu suku Madura yaitu Pak Siddik yang melakukan kebiasaan memandikan burung-burung peliharaannya di sore hari saat rutinitas pekerjaannya sudah selesai. Sambil melakukan kegiatan tersebut yang dia lakukan di depan rumahnya ia sering bertegur sapa dengan siapa saja yang lewat di depan rumahnya tersebut, termasuk suku Sunda. Suku Sunda menganggap Pak Siddik berbeda dengan orang Madura yang mereka kenal sebeumnya. Pak Siddik selain tidak mengasah clurit, juga mau bertegur sapa. Ketika mereka membalas tegur sapa pak Siddik, dengan cara mengomentari burung-burung yang sedang di mandikannya, mereka akan bertanya banyak hal termasuk menanyakan mengapa tidak mengasah clurit sebagaimana orang Madura lainnya. Pak Siddik hanya menjawab bahwa cluritnya di simpan saja olehnya sehingga tidak perlu di bersihkan. Ia juga menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh beberapa orang Madura di depan rumahnya itu hanya sekedar bersantai dengan membersihkan benda kenangan tanah leluhurnya, bukan sedang mengasah senjata seolah akan berperang. Namun kejadian itu membuat Pak Siddik dan yang lainnya sadar bahwa kebiasaan mereka ternyata mengganggu ketenangan orang Sunda, Kejadian ini membuat orang Madura memindah clurit tersebut ke dinding kamar, atau tempat-tempat yang tidak terlihat oleh tamu. Mereka juga tidak lagi mengasah clurit di depan rumhnya. Dimasa selanjutnya sebagaiman pernyataan informan, suku Madura di RT 04 kebanyakan sudah tidak lagi memiliki senjata khas sukunya itu. Hal ini diketahui oleh suku Sunda dan mereka mulai mau berkunjung kerumah-rumah suku Madura. Bahkan sebagian orang Madura megaku menjual barang-barang tersebut, dan tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang syakral, atau identitas yang penting. Hal tersebut kemudian direspon oleh suku Sunda dengan mau bertegur sapa dan datang ke rumah suku Madura. Kedua konflik yang telah di jelaskan menunjukan bahawa di awal terjadinya percampuran budaya antar suku Sunda dan suku Madura, proses penyampaian pesan (encoding) dan penterjemahan pesan (decoding) masih bersifat spontan. Komunikasi di antara mereka belum secara sistematis diarahkan sebagai alat dalam memahami perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini
79
mengakibatkan
komunikasi antarbudaya diantara kedua suku belum efektif.
Konflik-konflik yang timbul diantara kedua suku ini pun diakibatkan hal tersebut. Masing-masing suku hanya melakukan komunikasi intrapersonal dalam menyikapi permasalahan-permasalahan di antara mereka. Contohnya, ketika suku Madura merasakan bahwa suku Sunda merasa takut pada beberapa kebiasaan mereka seperti di anggap berwajah galak, mengasah clurit di depan rumah di sore hari yang mereka lakukan sebagai teman bersantai setelah rutinitas yang padat seharian. Atau kebiasaan dipajangnya clurit di dinding ruang tamu, yang mereka maksudkan sebagai kenangan tanah leluhur, maka orang Madura mengubah kebiasaan tersebut, yaitu berusaha ramah, tidak lagi mengasah clurit di depan rumahnya dan tidak lagi memajang clurit di dinding ruang tamunya. Perubahan ini di lakukan oleh orang Madura karena kemudian mereka tahu perbedaan pandangan diantara mereka dengan suku Sunda. Dalam melihat kebiasaan mengasah clurit misalnya, mereka hanya bertujuan membersihkan benda yang mereka lihat sebagai kenang-kenangan mereka atas tanah leluhurnya yaitu Madura. Dibersihkannya clurit oleh mereka di sore hari itu dalam pandangan mereka agar benda tersebut tetap nampak bersih dan tidak berdebu saat di pajang nanti. Sedangkan suku Sunda melihat kegiatan mengasah clurit suku Madura di depan rumahnya tersebut sebagai ancaman pada mereka yang hendak lewat di depan rumahnya. Bagi suku Sunda kebiasaan suku Madura beserta pemaknaan yang mereka berikan pada kebiasaan-kebiasaaan tersebut membuat mereka enggan lewat di depan rumah suku Madura terutama di sore hari saat mereka mengasah cluritnya. Suku Sunda juga enggan bertegur sapa dengan suku Madura karena mereka sudah menganggap suku Madura sebagai suku yang tidak baik. Meskipun kedua konflik ini menurut kedua suku telah berhasil di selesaikan, namun tidak terdapat diskusi ataupun musyawarah yang terjadi dalam hal kedua konflik yang telah di sebutkan. Baik suku Sunda maupun suku Madura tidak pernah membicarakan secara langsung perihal kesalah pahaman yang terjadi diantara mereka. suku Sunda menyelesaikan masalah ini dengan cara merubah persepsinya sendiri, sedangkan suku Madura hanya merespon gelagat suku Sunda yang mereka artikan sendiri.
80
Kasus pembangunan Masjid. “Ya pada awalnya disitu tuh mushala, kondisinya udah rusak. Terus melalui obrolan ba’da jumatan di masjid bawah, obrolan juga berlanjut setelah acara-acara perayaan Islam, disepakatilah bahwa mushala akan dibongkar untuk dijadikan masjid. Kemudian dibentuklah panitia pembangunan masjid dengan ketua terpilih Pak Enday (Sunda, generasi 1) tapi memang terdapat sedikit kesalahan, yaitu inisiatif melanjutkan pembangunan mesjid tersebut tanpa melalui prosedur, yaitu membubarkan terlebih dahulu kepengurusan lama, terus pembentukan melalui rapat RT, nah hal itu kemudian memancing ketidaksukaan sebagian orang Sunda (Pak Odih dan Arif, Sunda, generasi 1 dan 2), (Pak Odih dan Arif adalah ayah dan anak, mereka salah satu tokoh suku Sunda)menjadi merasa tidak dilibatkan.” (Syamsudin, Madura, generasi 2) Informasi dari informan Madura tadi dibenarkan oleh informan lainnya yang berasal dari suku Sunda “Sayangnya orang Madura itu senengnya langsung aja apa-apa teh, ga pernah nanya-nanya dulu, jadilah pernah ada masalah, yaitu orang Sunda merasa tidak diajak kerjasama dalam pembangunan masjid. Sempet lama juga sih pada diem-dieman antara ya kebanyakan Suku Sunda dan Suku Madura yang diemdieman itu.” (Jojo, Sunda, generasi 1) Menurut keterangan informan, kasus konflik masjid terjadi pada tahun 1992 lalu. Pada awalnya terjadi perbincangan sekumpulan warga RT 04 perihal perlunya membangun masjid sendiri, karena permasalahan ketidakmampuan masjid Al-Hurriyah yang merupakan masjid bersama bagi warga RW 10 untuk menampung semua jama‟ah. Ide ini nampaknya direspon baik oleh semua pihak, yaitu warga RT 04 sendiri, maupun oleh pihak RT dan RW setempat. Karena itu selanjutnya diadakanlah musyawarah RT dalam rangka pembentukan kepanitiaan pembangunan masjid tersebut. Masalah kemudian timbul, ketika kepanitiaan pembangunan masjid mengalami kemandegan akibat Ketua panitia yaitu Pak Enday, yang merupakan suku Sunda dan bekerja sebagai PNS, dipindahtugaskan, sehingga harus keluar dari RT 04. Karena kefakuman tersebut, salah seorang anggota kepanitiaan yaitu Pak Agus dari suku Sunda, berinisiatif melanjutkan kegitan pembangunan masjid dengn cara meminta bantuan kepada beberapa warga yang dipandang mampu dan mau mendukung kegiatan tersebut. Warga yang di mintai bantuan oleh Pak Agus
81
antara lain adalah Pak Siddik, Pak Marsuli dan Pak Jamal. Ketiganya kebetulan merupakan orang-orang dari suku Madura. Pak Agus meminta bantuan ketiga orang ini dikarenakan mereka termasuk orang-orang yang menurut Pak Agus sangat bersemangat dalam upaya pembangunan masjid. Berkat inisiatif ini, serta berkat berbagai usaha yang dilakukan ketiga orang Madura tersebut, pembangunan masjid dapat dilanjutkan. Namun cara ini ternyata tidak disukai oleh sebagian orang Sunda karena dianggap menyalahi aturan, yaitu tidak melalui forum musyawarah. Oleh sebab itu selang beberapa waktu kemudian, terdengar isu bahwa seorang pemimpin dari suku Sunda tidak mau ikut serta menyukseskan pembangunan masjid. Dan menurut keterangan informan, hal ini mengakibatkan orang-orang Sunda yang lainnya pun melakukan hal yang sama yaitu tidak mau lagi terlibat dalam urusan pembangunan masjid. Sejak itu suasana di RT 04 menjadi terbagi dua golongan, yaitu golongan Madura dan gologan Sunda, dimana masing-masing golongan enggan untuk saling bertegur sapa, dan menjadi terkesan saling bermusuhan. Menyadari keadaan yang semakin tidak kondusif dan mulai mengarah pada konflik, maka beberapa anak muda saat itu berupaya mencari penyelesaian atas masalah yang terjadi. Para anak muda itu antara lain adalah Pak Syamsudin, Pak Oji dan Pak Marsuli. Berkat usaha para anak muda ini lah maka disepakatilah agar ketua RT 04
mengundang semua pihak yang berseteru untuk
menyelenggarakan forum musyawarah, yang karena pertimbangan tempat, maka musyawarahpun diadakan disalah satu rumah warga yaitu di TPA milik Pak Syamsudin. Forum musyawarah dilaksanakan dengan terlebih dahulu membaca sholawat bersama, dengan harapan dengan bacaan-bacaan shalawat pihak-pihak yang bersengketa mampu meredam amarahnya dan dapat menyelesaikan masalah dengan cara terbaik. “Ada yang ngomong si Madura kenceng suaranya, jadi bikin kaget lah, si Sunda yang suka diem aja padahal enggak setuju lah, terus saya juga jadi tahu untuk melibatkan mereka dalam kepengurusan mesjid itu kudu menawarkannya berkali-kali, terus orang Madura juga jadi mawas diri untuk ga langsung aja apaapa teh kudu diomongin dulu lah semuanya itu. Setelah itu mah berjalan lancar, rapat berjalan lancar, panitia pembangunan masjid diresmikan, ketuanya pak Ukuy,(Sunda, generasi 1) wakilnya saya (Syamsudin, madura, generasi 2)dan semua warga
82
terlibat, baik secara materiel, dengan cara setiap keluarga menyumbang sebanyak seratus ribu, tapi boleh nyicil, dan warga bersama-sama mencari dana kemana ajah. Nah kalau udah gitu tuh kita harus ngalah, denga datang kerumahnya, tanya apa maunya, biasanya mereka baru mau ngomong apa maunya, tidak setujunya kenapa.”(Kulsum, Madura, generasi 2) Menurut keterangan informan, forum musyawarah berjalan dengan baik, dimana masing-masing pihak dalam hal ini suku Sunda mengungkapkan sebab musabab ketidaksetujuannya yaitu tidak bermusyawarah dalam melanjutkan pembangunan mesjid dan tidak terlebih dahulu membubarkan kepanitiaan yang fakum. Artinya bagi suku Sunda masalah terjadi terutama disebabkan kegiatan melanjutkan pembangunan masjid tidak berlandaskan kesepakatan forum resmi Hal ini membuat suku Sunda merasa tidak dilibatkan, mengingat orang-orang yang kemudian menangani pembangunan masjid, dalam pandangan mereka, didominasi oleh orang Madura. Orang Madura pun kemudian menyatakan pendapatnya bahwa mereka tidak bermaksud menguasai masjid, karena mereka hanya membantu para panitia pembangunan masjid, dimana panitia itu berisikan orang-orang Sunda juga. “Padahal kan sebenernya saya kan juga termasuk penitia pembangunan masjid waktu itu, karena ketuanya Pak Enday (Sunda, generasi 1) tidak aktif disebabkan pindah tugas dan beliu tidak tinggal di sini lagi, jadi saya (Pak Agus) mengajak yang panitia yang masih ada, sambil minta bantuan Pak Siddiq (Madura, generasi 1), Pak Mawi (Madura, generasi 1)dan Pak Marsuli (Madura, generasi 2)utuk meneruskan pembangunan masjid ini, eh ternyata itu malah dianggap tidak etis, enggak musyawarah dulu katanya, itu yang ngomong ya Pak Odih (Sunda, generasi 1) jadinya orang-orang Madura sempet heran sama sikap Pak Odih, kok begitu aja jadi masalah, kan yang penting pembangunan masjid berjalan.” (Agus, Sunda, generasi 2) “Karena itu, saya (Syamsudin) bersama-sama dengan Pak Agus (Sunda, generasi 2)yang waktu itu salah satu panitia pembangunan masjid, berinisiatif mengumpulkan semua orang RT 04 terutama yang berseteru untuk duduk bareng, membicarakan permasalahan ini. Waktu itu sebelum rapat dimulai, sambil nunggu Pak Odih waktu itu, kita jadi ngobrolngobrol dulu, nah disitu orang Madura teh ngomong bahwa mereka tidak bermaksud memonopoli pembangunan masjid, begitu juga orang Sunda ngomong mereka hanya merasa tidak
83
dilibatkan karena tidak ditawari (Syamsudin, Madura, generasi 2)
untuk
bekerjasama”
Terselenggaranya forum musyawarah ini nampaknya berdampak sangat baik. Kegiatan pembangunan masjid yang kemudian berjalan baik hingga masjid selesai dibangun, juga berlanjut pada setiap kegiatan masjid, menjadi perekat bagi kehidupan warga RT 04 yang harmonis dan saling mendukung. Sebagimana keterangan informan “Setelah itu mah berjalan lancar, rapat berjalan lancar, panitia pembangunan masjid diresmikan, ketuanya Pak Ukuy (Sunda, generasi 1) , wakilnya Pak Syamsudin (madura, generasi 2) dan semua warga terlibat, baik secara materil, dengan cara setiap keluarga menyumbang sebanyak seratus ribu, tapi boleh nyicil, dan warga bersama-sama mencari dana kemana ajah. Alhamdulilah, pembangunan mesjid selesai lebih cepat dari perkiraan” (Marsuli, Madura, generasi 1) Pada kasus pembangunan masjid adalah kasus konflik terbuka yang pertama terjadi di RT 04. Kasus ini terjadi setelah suku Sunda dan suku Madura hidup berdampingan selama kurang lebih 20 tahun. Pesan non verbal suku Sunda berupa diam dan kembali menghindar bertegur sapa, diartikan sebagai bentuk ketidaksetujuan oleh anak-anak muda RT 04. Kemampuan anak-anaka muda tersebut memahami watak suku Sunda dengan lebih baik daripada para orang tua mereka adalah akibat mereka sudah bergaul sejak kecil dengan mereka, baik di sekolah maupun sebagai teman sepermaianan sehingga mereka lebih mengenal watak suku Sunda. Situasi tersebut dilihat sebagai suatu konflik oleh para anak muda RT 04, baik anak muda suku Sunda maupun anak muda suku Madura, sehingga mereka merespon kondisi ini dengan tawaran diadakannya forum musyawarah untuk mengungkapkan permasalahan sekaligus mencari solusinya. Tawaran ini mereka lakukan dengan cara sekumpuan anak muda yang terdiri dari anak muda suku Sunda seperti Pak Agus, Pak Oji dan Pak Jajat bersama anak-anak muda suku Madura seperti Pak Syamsudin, Pak Heri dan Pak Marsuli bersama-sama mendatangi rumah-rumah orang tua mereka baik orang tua suku Sunda maupun orang tua suku Madura. Di rumah-rumah para orang tua itu mereka akan mendengarkan keluhan mereka dan hal-hal yang mereka tidak setujui. Setelah itu
84
para anak muda itu akan menawarkan solusi di selenggarakannya forum musyawarah pada para orang tua tersebut. Kegiatan ini nampaknya berhasil menggugah kedua pihak baik suku Sunda maupun suku Madura untuk merespon ajakan para anak muda tersebut. Mereka kemudian
mau
untuk
menghadiri
forum
musyawarah
dalam
rangka
menyelesaikan permasalahan diantara mereka. Selanjutnya berkat para anak muda ini dan forum musyawarah, masalah berhasil di selesaikan. Orang-orang yang disebut sebagai anak muda saat peristiwa konflik masjid terjadi adalah mereka yang dalam penelitian ini disebut sebagai generasi kedua, yaitu anak-anak dari suku Madura dan suku Sunda yang mengalami persentuhan antarbudaya secara lebih akrab, berupa bersekolah di tempat yang sama, atau sebagai teman sepermainan sehingga diantara mereka telah berkembang pola hidup sebagai sesama warga RT 04. Meraka saling bertemu untuk membicarakan situasi
konflik dan dengan meminta
dukungan ketua RT setempat maka
diadakanlah forum musyawarah sebagai media dalam meyelesaikan konflik yang terjadi, hingga tercapai kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian diantara kedua suku yang berseteru tersebut. Terdapat kaitan antara budaya komunikasi konteks tinggi dan budaya konteks rendah dengan terjadinya konflik masjid ini, demikian juga pada konflikkonflik berikutnya diantara suku Sunda dan suku Madura. Gaya komunikasi konteks tinggi suku Sunda dicirikan menggunakan kata-kata implisit dan ambigu dalam meyatakan ketidak setujuan. Gaya komuniksai ini dilakukan untuk menghindari kesan asertif. Suku Madura terbiasa menggunakan kalimat langsung tanpa basa-basi dalam menyampaikan pesan. Gaya komunikasi model ini membuat mereka tidak terlalu banyak menggunakan bahasa non verbal, termasuk tidak akan merespon pesan yang tidak di sampaikan secara langsung. Dalam kasus kepanitiaan pembangunan masjid ketika suku Madura mengambil inisiatif melanjutkan pembangunan masjid yang terbengkalai akibat kefakuman panitia pembangunan masjid, mendapatkan respon diam dan menghindari bertegur sapa dari suku Sunda. Pesan “tidak setuju” suku Sunda yang disampaikan dalam bentuk non verbal tersebut tidak dapat dipahami suku Madura yang berbudaya konteks rendah. Suku Madura cenderung menganggap sikap diam suku Sunda
85
sebagai tanda semua baik-baik saja. Karena suku Madura akan menyemakan dengan kebiasaan mereka yaitu mereka akan angkat bicara ketika mereka tidak setuju terhadap suatu hal. Perbedaan gaya komunikasi ini selanjutnya mengakibatkan terjadinya konflik diantara kedua suku tersebut. Sikap diam suku Sunda berubah menjadi kemarahan karena tidak mendapatkan tanggapan apapun dari suku Madura. Suku Sunda selanjutnya memisahkan diri dari kegiatan pembangunan masjid. Mereka juga tidak lagi bertegur sapa dengan suku Madura di manapun mereka bertemu. Baru setelah keadaan semakin genting, yaitu terjadinya kondisi yang tidak harmonis di RT 04. Masing-masing orang saing menghindar dan berwajah tidak ramah. Setelah kondisi menjadi jelas iniah suku Madura baru megerti bahwa adanya permasalahan. Ajakan diadakannya forum musyawarah oleh para anak muda pun akhirnya mendapat dukungan dari semua pihak setelah kedua suku kemudian bertekad untuk menyelesaikan permasalahan yang dirasa merugikan semua pihak tersebut. Konflik pembangunan masjid ternyata menjadi interaksi yang penting bagi kedua suku. Keberhasilan mereka menyelesaikan konflik masjid menjadikan masjid dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya sebagai pusat interaksi sosial warga RT 04. Masjid pulalah yang menyebabkan konflik yang terjadi belakangan menjadi tidak terlalu keras di satu sisi, dan interaksi menjadi semakin efektif di sisi lain. Terjadinya konflik masjid serta keberhasilan pengelolaannya dikarenakan kedua suku sama-sama menganggap penting terhadap masjid, yang merupakan salah satu interpretasi keagamaan, bahkan sebagai inti kehidupan. Suku Sunda dan suku Madura adalah sama-sama suku yang di anggap lebih baik keagamaannya dari suku yang lainnya di Indonesia, sehingga keberhasilan menangani konflik masjid menjadi hal yang penting bagi kedua suku. Hal ini nampaknya menjadi kekuatan utama bagi mereka dalam menjaga perdamaian. Masjid bagi suku Sunda adalah pusat kehidupan. Masjid dijadikan sebagai tempat menempa berbagai ilmu dan juga sebagai tempat menyelesikan masalah yang mereka padankan dengan pesantren. Masjid juga bagi suku Sunda menjadi basis kekuatan masyarakat yang menjadi psat perlawanan terhadp pemerintahan Belanda ketika zaman penjajahan dan menjadi forum diskusi yang mengevaluasi
86
kegiatan pemerintahan pasca kemerdekaan. Inilah yang mereka sebut sebagi inti kehidupan di level kehidupan bermasyarakat. Sedangkan di tingkat individu masjid menjadi identitas yang lekat dengan suku Sunda. Mereka akan merasa bukan sebagi suku Sunda jika meskipun beragama islam namun di rumahnya tidak terdapat pasolatan. Suatu ruangan khusus untuk melaksanakan shalat yang selalu ada pada setiap rumah suku Sunda. Dari latar belakang makna masjid bagi suku Sunda ini dapat di mengerti mengapa kemudian konflik masjid menjadi konflik pertama yang terjadi di RT 04 setelah sebelumnya konflik-konflik yang terjadi cenderung dibiarkan terpendam meski
sebagian
terselesaikan.
Hal
ini
menunjukan
masjid
mencakup
pembangunan, penyelesaian konfliknya, serta setiap kegiatan yang diadakannya menjadi hal penting bagi identitas suku Sunda. Demikian pun suku Madura. Suku ini menganggap masjid sangatlah penting bagi kehidupan mereka. Di Madura, keluarga Madura selalu ditandai keberadaan masjid di tengah-tengah rumah-rumah yang berbentuk melingkar diantara sanak saudara yang tinggal berdampingan. Ini menunjukan masjid sebagai inti kehidupan bagi suku Madura. Organisasi orang Madura selalu berbasis masjid. Demikian pula pola pendidikan dan ekonomi mereka adalah representasi dari masjid. Pemaparan ini menunjukan suku Sunda dan suku Madura sama-sama menganggap penting keberadaan masjid di tempatnya. Mereka sangat berkepentingan dalam berkontribusi pada setiap hal yang menyangkut masjid dari sejak pembangunannya hingga setiap acara yang diadakannya. Inilah yang menyebabkan konflik menjadi sangat penting bagi mereka, baik dalam hal di terimanya masing-masing keinginan, maupun dalam menemukan solusi yang tepat bagi kelangsungan pembangunan masjid. Oleh karena itu kedua suku menjadi sama-sama berkepentingan untuk menyelesaikan masalah masjid demi identitas suku mereka. Hal ini menjadi penyebab terbesar bagi keberhasilan di selenggarakannya forum musyaawarah dan juga bagi ditemukannya kompromi atas konflik yang terjadi. Keberhasilan menangani konflik masjid menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap warga RT 04. Mereka menjadikan peristiwa tersebut sebagai alasan
87
perdamaian di setiap konflik yang terjadi pasca konflik masjid. Mereka menganggap masjid sebagai simbol yang mempersatukan antara suku Sunda dan suku Madura, juga bagi berbagai suku yang hidup bersama mereka. Sejauh ini masjid menjadi kekuatan yang dominan di RT 04 sehingga konflik-konfik yang berpotensi memisahkan cenderung tidak dominan disana. Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi “Tapi kita tetep akur, kalau ada acara hari besar Islam selalu bagus acaranya, kepanitiaannya selalu anak muda dari berbagai suku disini yang urus, ga ada yang dominan, tapi yang kemaren itu pas acara muludan, enggak tahu kenapa jadi kita teh tidak di undang rapat, tahu-tahu diminta bantuannya mencari dana, saya kurang setuju gitu tuh, tapi tetep saya bantuin carai dana, karena kan demi acara masji, Marsuli (Madura, generasi 2) juga udah minta maaf soal ini.ya gara-garanya anak mudanya lagi pada sibuk, jadi acara maulidan kemaren itu terkesan buru-buru.” (Jojo, Sunda, generasi 1) Sejak dibangunnya masjid RT 04, seluruh warga RT 04 menjadikan masjid sebagai pusat interaksi mereka melalui setiap kegiatan yang diselenggarakannya. Kebersamaan suku Sunda dan suku Madura melalui masjid nampaknya menjadi dasar kerukunan antar warga yang sama-sama mereka jaga, sekaligus tempat dimana mereka saling bernegosiasi identitas sosial dan kebudayaan masingmasing. Kasus-kasus selanjutnya menunjukan hal tersebut. Telah menjadi kebiasaan di RT 04 bahwa disetiap kepanitiaan acara hari besar Islam, ditangani oleh anak-anak muda dari berbagai suku yang tinggal di RT 04. Berbagai kegiatan masjid selalu sukses di tangan para anak muda ini. Mereka mampu melibatkan seluruh warga RT 04 dari para anak muda hingga orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan. Hal ini mengakibatkan seluruh warga merasa memiliki acara tersebut dan berkontribusi secara optimal untuk mensukseskannya. Kerekatan antar warga terjalin berkat berbagai acara masjid tersebut. Namun tidak seperti biasanya, kepanitiaan acara Maulid Nabi yang diselenggarakan pada bulan Januari 2012 ini di pimpin langsung oleh ketua DKM Masjid RT 04, yaitu Pak Jamal yang kebetulan adalah orang Madura. Pak Jamal berusia 70 tahun. Ia termasuk golongan Madura generasi pertama. Menurut
88
keterangan informan, hal ini disebabkan berbagai kesibukan yang ada, para anak muda saat itu kebetulan tidak ada yang bersedia menjadi ketua panitia. Hal ini ternyata menimbulkan masalah, yaitu Pak Jojo, ketu RT 04, seorang suku Sunda merasa tidak dilibatkan dalam acara tersebut, dan tidak pernah di undang untuk rapat pembentukan kepanitiaan. Namun meskipun tersinggung, Pak Jojo dan suku Sunda yang lainnya tetap mau membantu kesuksesan acara, karena acara tersebut berkaitan dengan agama dan masjid. Hal ini mereka buktikan dengan oarng Sunda tetap membantu ketika para pengurus masjid meminta bantuan mereka untuk mengumpulkan dana. mereka mau melakukannya pengumpulan dana bersama-sama orang Madura Adapun menurut keterangan dari Pak Marsuli, informan suku Madura dari generasi dua menyatakan, sebenarnya Pak Jamal sebagai ketua panitia waktu itu sudah mengundang suku Sunda ketika akan di adakan rapat pembentukan panitia acara maulid, namun suku Sunda tidak ada yang datang. Masalah ini diselesaikan berkat kesadaran Pak Marsuli. Sebagai anak muda ia mengetahui gelagat ketidak sukaan suku Sunda maka ia bersama dengan ketua DKM masjid datang ke rumah ketua RT 04 dan meminta maaf jika ada hal yang kurang berkenan di hati masyarakat suku Sunda. Pak Marsuli menyadari bahwa cara mengundang yang dilakukan Pak Jamal orang Madura kepada pak Jojo orang Sunda yang disampaikan ketika berpapasan di jalan, di anggap bukan cara yang baik, dan hanya dianggap sebagai pemberitahuan semata, bukan permintaan kehadiran yang bersangkutan. Sedangkan ketika para anak muda yang memimpin suatu acara, suku Sunda merasa dihargai dan selalu dilibatkan, karena sikap para anak muda itu, baik yang berasal dari suku Sunda maupun yang berasal dari suku Madura, dalam pandangan mereka, sama-sama bersikap sopan kepada mereka. Belakangan diketahui orang Sunda merasa orang Madura tidak serius dalam melibatkan suku Sunda untuk urusan kepanitiaan maulid ini, terbukti ketika mengundang untuk rapat pembentukan panitia maulid, dilakukan hanya satu kali saja, padahal dalam prinsip suku Sunda, mereka baru merasa benar-benar di undang rapat jika cara penyampaian undangannya dilakukan berkali-kali, karena bagi mereka pengulangan tersebut adalah bentuk penghargaan terhadap mereka. Sementara suku Madura menganggap semestinya satu kali menyampaikan
89
undangan sudah cukup, artinya ketika suatu pesan telah disampaikan dan mendapatkan tanggapan maka orang Madura tidak akan menganggap sebagai suatu masalah pada ketidak hadiran suku Sunda, karena beranggapan mungkin memiliki kesibukan lain. Jika ditelusuri pangkal masalahnya adalah terletak pada kata “mangga” yang di ucapakan oleh suku Sunda ketika menanggapi undangan rapat yang disampaikan oleh seorang yang bersuku Madura. Suku Madura memahami kata tersebut sebagai mana artinya yang berarti “iya” dan menganggap suku Sunda yang di undang telah memahami pesan yang disampaikannya. Namun ternyata bagi suku Sunda kata “mangga” tidak selalu berarti “iya”. Seseorang harus memahami lagu dari kata mangga yang diucapkan untuk dapat memaknai kata tersebut dengan tepat. Dalam hal ini sebagaimana pengakuan suku Sunda yang menganggap orang Madura tidak serius dalam mengundang, karena selain dilakukan sekali, juga dalam pandangan suku Sunda dilakukan dengan cara sambil lalu saja. Nampaknya hal tersebut mengindikasikan bahwa kata “mangga” yang diucapkan ketika menanggapi undangan rapat belum berarti “iya”, melainkan “tidak”. Karena suku Sunda akan menunggu undangan berikutnya untuk melihat keseriusan suku Madura, baru akan mengatakan “iya”. Adapun informan suku Madura menyatakan setelah mengetahui sebab musabab masalah sebagaimana dijelaskan diatas, mereka mengakui semakin berhati-hati dalam menghadapi suku Sunda yang dalam pandangan mereka serba formal itu. “Waktu itu, sama juga sih sama masalah yang baru-baru ini acara maulidan kemaren, saya tahu Pak Jamal sebagai orang Madura enggak ngerasa melangkahi Pak Jojo, atau enggak ngajak musyawarah, seinget saya udah diajak itu, tapi enggak taunya kalau diajaknya itu cuman sekali mereka merasa kurang mantep gitu lah.ya saya terus minta maaf aja, datang kerumah Pak Jojo, ya kaya’nya memeng kudu hati-hati sama Suku Sunda mah orangnya forml banget apa-apa juga”(Marsuli Madura, generasi 2) Adapun pernyataan informan bahwa suku Sunda untuk tetap bekerjasama menyukseskan acara meskipun ada ketidak cocokan, hal itu karena menyangkut masjid, dimana mereka merasa sebagai suatu keharusan mengutamakan semua hal yang berkaitan dengan masjid.
90
“Ya walaupun tidak cocok sama caranya orang Madura, saya itu tidak pernah di libatkan dalam rapat acara. Pernah cuman ngomong mau ngadain acara Maulid, waktu itu Pak Marsuli yang ngasi tau itu pun di jalan waktu pas ketemu. Saya enggak pernah di undang untuk datang tuh. Tapi saya tetep bantuin lah kan acara masjid” (Jojo, Sunda, Generasi satu) Terdapat kaitan antara budaya komunikasi konteks tinggi dan budaya konteks rendah dengan terjadinya konflik pada kasus kepanitiaan acara Maulid Nabi. Cara menyampaikan pesan yang praktis dan langsung dari suku Madura ketika mengundang rapat pembentukan panitia maulid yang dilakukan saat berpapasan di jalan, dianggap sebagai ketidakseriusan mengundang rapat oleh suku Sunda, sehingga kemudian hal tersebut menimbulkan konflik. Namun timbulnya berbagai konflik pasca konflik masjid menjadikan kedua suku semakin kreatif didalam menangani masalah diantara mereka. Hal ini dapat dilihat dari solusi yang mereka sepakati bersama dalam menyelesaikan peristiwa kepanitiaan maulid ini. Sebagai jalan tengah dipilih cara mengundang tetap satu kali, tidak berulang kali sebagaimana kebiasaan suku Sunda tetapi dilakukan dengan sopan berupa datang ke rumah orang yang akan diundang, tidak mengundang dengan cara suku Madura yaitu menyampaikan undangan saat berpapasan di jalan. Pada kasus peringatan Maulid Nabi orang Sunda kembali “merasa tidak dilibatkan” namun dalam perkara ini suku Sunda bersedia untuk tidak memperpanjang permasalahan, terbukti dengan tetap berpartisipasinya mereka dalam kegiatan tersebut, sebagaimana pernyataan mereka bahwa mereka ikut serta dalam pengumpulan dana dan perangkain acara, dan sebagainya. Suku Sunda menyadari bahwa suku Madura tidak bermaksud tidak sopan atau tidak melibatkan mereka, hanya caranya saja yang mereka tidak sukai, yaitu kurang prosedural dalam pandangan mereka. Adapun suku Madura merasa mulai mengerti, bahwa ketika suasana mulai terasa berbeda, itu berarti dalam kegiatan tersebut tercium gelagat adanya permasalahan, sehingga sebagaimana pernyataan mereka, mereka segera meminta maaf jika ada hal yang kurang berkenan dihati orag Sunda, meskipun mereka hanya menduga dan tidak tahu pasti apa permasalahannya. Disini terlihat kedua belah pihak mulai menyadari adanya perbedaan budaya diantara mereka meskipun dengan ungkapan yang lebih sederhana, yaitu
91
suku Sunda terlalu formal menurut suku Madura, dan suku Madura terlalu terburu-buru, menurut suku Sunda. Sehingga sebagaimana pernyataan mereka bahwa semua itu adalah proses untuk saling memahami dan agar dapat saling mendukung Dari kedua kasus diatas terihat, bahwa terjadi negosiasi diantara kedua suku diatas terkait perbedaan-perbedaan diatara mereka, yaitu berupa kesediaan suku Sunda menerima watak suku Madura yang terbiasa terburu-buru, sedangkan suku Madura bersedia memahami keinginan suku Sunda yang penuh formalitas. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya permasalahan yang sama mengahasilkan dampak yang berbeda. Pada kasus yang awal yaitu pembangunan masjid, perbedaan cara pada masing-masing budaya ternyata menimbulkan konflik yang cukup besar dan mencekam hingga dirasakan berat bagi seluruh warga RT 04, tetapi pada kasus yang kedua yaitu kepanitiaan Maulid, perbedaan itu selanjutnya disikapi dengan saling memaklumi dan mau menerima perbedaan tersebut demi apa yang mereka sebut kebaikan bersama, yaitu kesadaran yang semakin tinggi untuk tidak terlalu mempermasalahkan hal kecil, dan bahwa kesdaran akan timbulnya malapetaka yang merugikan semua pihak, jika permasalahan yang menyangkut perbedaan budaya tidak segera diredam dan diselesaikan. Perbedaan penyikapan terhadap konflik pun tergambar dalam pernyataan mereka bahwa konflik pertama memerlukan forum resmi yang melibatkan semua pemimpin suku dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya, dimana hal itu terjadi karena inisiatif generasi kedua yang mengupayakan dipertemukannya kedua pihak yang berseteru. Sedangkan pada kasus kedua, konflik sudah dapat diselesaikan hanya karena para generasi pertama menyaksikan kerjasama yang harmonis yang terjadi pada anak-anak muda, yang berbaur antara suku Sunda dan Madura, dimana mereka bersama-sama mensukseskan acara Maulid Nabi, tanpa merasa bahwa perbedaan tersebut perlu untuk dipermasalahkan, karena sebagaimana ungkapan generasi ketiga, sering kali kekakuan sikap para orang tualah yang menjadikan hal sepele menjadi besar dan rumit. Kasus yang berkaitan dengan masjid, entah itu perihal pembangunannya, hingga kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dimasjid seperti acara Maulid Nabi,
92
nampaknya mendapatkan perhatian paling besar di RT 04. Hal ini sebagaimana pengakuan mereka semua, karena masjid sesungguhnya menjadi alat pemersatu di antara warga RT 04 khususnya suku Sunda dan suku Madura yang menjadikan agama Islam sebagai salah satu identitas yang paling menonjol didalam suku masing-masing. Sebagaimana pernyataan mereka bahwa suku mereka adalah suku yang identik dengan agama Islam, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa masjid menjadi simbol bersama bagi suku Sunda dan suku Madura. Kasus Penggunaan Jalan “Ya kita karena cuman isu doang, jadi Saya tanya siapa yang keberatan, katanya itu si Pak Ukuy, trus kita panggil juga, Pak Ukuy bilang yang lain juga keberatan, sebabnya kan jalan baru di benerin, susah payah kita, masyarakat keluar biaya banyak untuk benerin jalan itu, makanya jangan sampe rusak lagi. Trus saya bilang Marsuli juga kan enggak jorok pake jalannya, dia hati-hati. Jadinya disepkatilah truknya jangan gede-gede, jadi bisa terus tetep boleh pake jalan itu. “(Ujang Madi, Sunda, generasi 1) “Iya ituh soal jalan yang portal juga, alasannyakan kuatir jalan cepet rusak kalau dilewati truk-truk yang terlalu gede gitu, maklum kan jalan baru aja beres diperbaiki, kita bareng-bareng betulin jalan itu, ya padahal mah menurut saya ya memang itu gunanya jalan diaspal kan supaya kuat, ya supaya bisa dilewatin truk.,” (Nipah, Madura, generasi 1) Kasus ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu sejak Pak Marsuli, seorang dari suku Madura terlihat semakin sukses mengelola toko sembakonya, sehingga perlu menggunakan truk-truk besar untuk mengangkut dagangannya. Truk itu melalui jalan yang baru di perbaiki di RT 04, dan hal tersebut membuat suku Sunda, salah satunya adalah Pak Ukuy, orang tua berusia 69 tahun ini merasa khawatir akan merusak jalan tersebut. Kekhawatiran suku Sunda di sebabkan perbaikan jalan cukup menguras tenaga dan uang seluruh warga RT 04. Hal itu mengkibatkan mereka merasa perlu untuk berhati-hati dalam menggunakannya agar jangan sampai rusak lagi. Adapun permasalah itu terus dipendam, menurut informan, hal itu karena suku Sunda khawatir dianggap iri hati pada kesuksesan suku Madura tersebut. Pada akhirnya suku Madura yang bersangkutan mengetahui isu-isu yang beredar terkait masalah dirinya dan usahanya, maka setelah bermusyawarah
93
dengan beberapa teman Madura yang ia mintai pendapat cara mnyelesaikan masalahnya, maka ia pun beserta beberapa suku Madura datang kepada ketua suku Sunda untuk mencari solusi masalah tersebut. Perbedaan dalam mengartikan nilai keberadaan jalan yang baru di perbaiki, yang tidak
dikomunikasikan dengan baik adalah menyebabkan
terjadinya konflik dalam kasus penggunaan jalan ini. Perbedaan nilai antara suku Sunda dan suku Madura dalam mengartikan fungsi jalan berupa memaksimalkan fungsi jalan bagi orang Madura bertentangan dengan nilai suku Sunda dalam memandang jalan yang baru diperbaiki yaitu menjaga keindahannya. Suku Madura menggunakan truk-truk besar yng menghabiskan badan jalan yang dilalui truk tersebut ketika mengangkut barang-barang dagangannya. Hal ini bagi mereka sebagai bentuk efisiensi, juga karena mereka ingin mempergunakan jalan secara maksimal. Adapun suku Sunda sebagai suku yang sangat mementingkan unsur keindahan setiap sesuatu memandang jalan sebagai hal yang penting untuk dijaga keindahannya dengan menggunakannya secara hati-hati agar tidak kembali rusak. Perbedaan ini menimbulkan perselisihan ketika orang Madura menyatakan nilai budayanya dengan cara digunakannya truk berukuran besar untuk mengangkut barang-barang dagangannya. Hal tersebut dipandang menyalahi nilai budaya yang dianut suku Sunda yaitu menjaga keindahan dengan menjaga jalan yang baru diperbaiki tidak kembali rusak. Perbedaan cara pandang terhadap keberadaan jalan yang baru diperbaiki ini selanjutnya diselesaikan dengan cara orang Sunda meminta suku madura untuk meskipun menggunakan jalan secara maksimum namun diharuskan berhati-hati agar tidak menimbulkan kerusakan pada jalan, sedangkan suku Madura meminta suku Sunda untuk tetap mengizinkan penggunaan jalan dengan mengurangi kadar maksimum penggunaan jalan tersebut demi kehati-hatian penggunaannya dan menjaga keindahan jalan tersebut. Setelah permasalahan diungkap, dan negosiasi dilakukan maka menghasilkan suatu solusi yang cukup unik di antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Negosiasi menghasilkan penggunaan truk berukuran sedang oleh para pengguna jalan dari suku Madura, sebagai bentuk dikuranginya nilai pemaksimalan penggunaan jalan, untuk menghormati nilai kehati-hatian menjaga keindahan suku Sunda yang juga sudah dikurangi intensitasnya tersebut.
94
Pada kasus ini musyawarah dan penyelesaian masalah dengan cara bernegosiasi perbedaan budaya masing-masing mulai mahir dilakukan oleh kedua belah pihak terutama pada generasi pertama yang masih kental terikat pada adat istiadat budaya sukunya. Pernyataan-pernyataan kerukunan, kerjasama, toleransi, saling pengertin, saling mendukung dan saling menghargai banyak disebutkan setelah konflik permasalahan jalan ini, terutama pada generasi pertama. Sedangkan pada generasi kedua dan ketiga kesadaran-kesadaran tersebut sudah ada sejak perselisihan terkait masjid berhasil didamaikan, meskipun penyebabnya belum benar-benar mereka fahami. Kasus Perdagangan versus Jabatan “Saya berangen-angen, Pak Syamsudin kan dipercaya banyak orang, ya Madura, ya Sunda, kenapa enggak coba dia jadi RT gitu, selama inikan jabatan tuh sunda doang yang suka heboh, rebutan, tapi pas saya obrolin ke pak Husen gitu, dia bilang orang Madura mah dagang aja lah, katanya mah gitu, trus Pak Syamsudin saya tanyain cuman senyum doang, enggak lah pak katanya gitu” (Agus, Sunda, generasi 2) “enggak lah, gini loh, kita inikan menurut saya kerukunan itu juga harus dilandasi saling menghargai, kita orang Madura, ya udahlah kemampuannya kan dagang, banyak yang sukses, sementara kalau orang Sunda sukses itu ya kalau punya jabatan, PNS, Lurah, RT, RW, ya udah bener, jadinya seimbang, saling merasa terhormat lah. Di masjid juga saya gitu, berusaha supaya imam dan pengurus masjid teh bareng-bareng ya Sunda ya Madura, supaya saling menghomati lah jadi bisa saling mendukung lah (Syamsudin, Madura, generasi 1) Menurut keterangan informan, dilihat dari banyaknya permasalahan yang berhasil diredam oleh para pemimpin terutama dari pemimpin suku Madura, informan beranggapan perlunya menjadikan pemimpin tersebut sebagai ketua RT atau ketua RW di wilayahnya. Pak Agus pernah meminta Pak Siddik utuk maju menjadi ketua RT 04, namun Pak Siddik menolak. Demikian juga Pak Symsudin menolak tawaran tersebut. Ketika peneliti mengkonfirmasi ide tersebut kepada Pak Syamsudin, ia menyatakan bahwa hal tersebut bukan lah ide yang baik jika untuk menjaga keseimbangan bermasyarakat di RT 04. Sebabnya, karena pada dasarnya suku Madura lebih suka berdagang daripada menjadi pejabat sebagai cara mereka
95
mencari kehormatan dalam hidupnya, sementara suku Sunda menganggap jabatan adalah hal yang penting bagi kehormatan diri dan keluarganya. Konsep ini justru menciptakan keseimbangan dan keselarasan warga di RT 04, sehingga hal tersebut justru baik untuk dipertahankan karena berdampak positif pada terbangunnya rasa saling mendukung dan menghargai antar suku. Beberapa orang suku Sunda memandang Pak Siddik dan juga Pak Syamsudin layak menjadi ketua RT di RT 04. Orang-orang ini selain terkenal baik, juga merupakan pemuka agama yang selalu menjadi rujukan mencari solusi ketika terjadi konflik. Orang-orang ini pun di pandang sebagai pemuka suku Madura. Dengan dijadikannya mereka ketua RT diharapkan kedekatan antara suku Sunda dan suku Madura menjadi lebih erat. Karena sebagai orang-orang yang dipandang baik, Pak Siddik ataupun Pak Syamsudin akan berbuat adil baik pada suku Sunda maupun pada suku Madura dan pada siapa saja yang berada di lingkungan RT 04. Ketika Pak Siddik menolak jabatan yang di tawarkan, warga RT 04 beralih pada Pak Syamsudin yang juga dianggap orang yang pantas memimpin warga RT 04. Pak Syamsudin juga ternyata menolak jabatan yang ditawarkan. Suku Madura menolak tawaran tersebut dengan alasan lebih suka berdagang. Alasan ini membuat suku Sunda tidak senang karena terkesan orang Madura tidak peduli pada kebaikan bersama dan kehormatan yang mereka tawarkan. Suku Sunda memiliki nilai budya sangat menghargai jabatan. Jabatan merupakan interpretasi bagi kehormatan hidup dan sebagi bentuk kepedulian bagi kebaikan bersama. Dalam hal ini konflik berhasil dihindari berkat terjadinya komunikasi antar pribadi yang dilakukan suku Sunda dan suku Madura berupa menyelaraskan perbedaan nilai terkait apa yang disebut kehormatan diri yang pada suku Sunda berupa jabatan, sedangkan bagi suku Madura kehormatan diri terletak pada kesuksesan berdagang. Kasus slametan. “Diundang coba suku Sunda teh kalau ada slametan gitu, kan sesama warga RT 04, kenapa sih cuman madura doang yang datang, malah sampe ada omongan yang sampe ke saya mah malah ngeluh apa karena kita miskin gitu, jadi enggak di undang, kan slametan gitu mah hak orang yang ngadain siapa saja yang
96
mau di undang, jadi kita merasa ada jurang pemisah lah dalam perkara ini (Jojo, Sunda, generasi 1) “Ya cuman slametan kita orang madura malah takut disangka sombong kalau pake ngundang segala, yang namanya slametan itu ya siapa aja yang mau datang ya datang, namanya juga slametan, bukan pesta kan ini mah yang perlu pake undangan segala, emang kawinan, pake ngundang resmi gitu” (Husen, Madura, generasi 1) Dalam pandangan umum slametan memiliki padanan arti syukuran, perayaan ataupun pesta. Namun bagi orang Madura, slametan “hanya” kata yang berarti berkumpulnya orang-orang untuk mendo‟akan sesuatu yang dianggap penting, maupun hal-hal yang dianggap baru, dan lain sebagainya, yang berbeda dengan acara pernikahan misalnya, yang memerlukan undangan. Tradisi slametan lebih dikenal berasal dari suku Madura, meskipun suku lain melaksanakan hal yang sama yang biasanya menggunakan kata Syukuran. Suku Madura, demikian juga suku Madura yang berada di wilayah RT 04, sering sekali mengadakan slametan. Mereka melaksanakan kegiatan ini dalam rangka menyambut kelahiran, pembangunan rumah, pindah rumah, khatam Qur‟an, haid pertama bagi perempuan, dan lain sebagainya. Pendeknya untuk semua hal yang dianggap penting untuk di do‟akan, maka akan diadakan slametan. Dalam slametan, tradisi yang berlaku adalah tanpa perlu diundang, sesama suku Madura akan merespon dengan datang kerumah orang yang mengadakan slametan tersebut sambil membawa berbagai kebutuhan terutama sembako, dalam rangka membantu orang yang mengadakan slametan tersebut. Selanjutnya pada malam hari slametan dilanjutkan dengan melantunkan berbagai do‟a bersama. Menutur keterangan responden para tamu yang hadir dalam acara slametan tersebut adalah mereka yang kebetulan mendengar akan diadakannya slametan, serta sedang memiliki waktu untuk menghadirinya. Bagi orang madura, slametan berbeda dengan pesta pernikahan, ataupun yang lainnya. Slametan bukanlah sebuah acara resmi dimana acara tersebut mengharuskan orang diundang untuk datang, melainkan suatu acara santai dan terbuka bagi siapa saja yang mendengar tentang diselenggarakannya slametan tersebut. Slametan adalah suatu acara yang di lakukan oleh orang Madura dalam rangka mensyukuri setiap kegembiraan yang mereka terima. Rasa syukur diwujudkan dalam bentuk pembacaan berbagai do‟a
97
bersama disambung dengan makan-makan secara sederhana pula. Dalam menghadapi acara slametan yang dilakukan oleh salah satu orang Madura, orang Madura yang lainnya akan merespon dengan datang kerumah si penyelenggara slametan dengan membawa berbagai sembako seadanya, sebagai bentuk keikut sertaan mereka atas kegembiraan yang dirasakan. Tradisi berupa kedatangan orang lainnya dengan membawa sembako alakadarnya ini terjadi secara spontan diantara mereka tanpa di koordinir ataupun di undang. Nilai yang di tekankan dalam kegiatan slametan suku Madura ini adalah kepedulian sesama terhadap kebahagiaan sesamanya, yaitu dengan cara merespon berupa meghadiri acara slametan tersebut. Diselenggarakannya slametan secara sederhana serta tanpa undangan merupakan aturan dari kegiatan tersebut, sehingga jika tidak demikian akan diartikan sebagai kesombongan bagi orang Madura. Nilai ini bertentangan dengan nilai budaya yang ada pada suku Sunda. Nilai kebersamaan yang dipedomani pada suku Sunda diwujudkan dengan cara meminta kehadiran orang lain atas suatu kegiatan yang diselenggarakan. Artinya suku ini memiliki nilai budaya pentingnya udangan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu diantara mereka. tidak adanya undangan berarti menunjukan kesombongan dari penyelenggara kegiatan karena menunjukan ketidak butuhan mereka pada sesamanya. Ketidaktahuan suku Sunda perihal aturan slametan ini ternyata memicu konflik. Dalam tradisi suku Sunda, semua acara yang menghadirkan masyarakat, haruslah dengan cara diundang. Dan tidak adanya undangan yang datang pada mereka perihal diadakanya berbagai acara slametan suku Madura, membuat mereka merasa suku Madura hanya mau berbagi dengan sesama sukunya saja. Kecurigaan diperparah dengan dihembuskannya isu kesenjangan sosial, yaitu orang Madura hanya mau mengundang dan berbagi dengan orang-orang kaya saja, sedangkan kepada yang miskin tidak mau mengundang untuk hadir di acara slametannya. Apalagi ketika diketahui si pembuat acara slametan adalah seorang suku Madura yang di dalam pergaulan sehari-harinya terkesan cuek dengan tetangganya, maka isu kesenjangan ini semakin besar. Dari keterangan informan diketahui, bagi suku Madura justru akan merasa terkesan sombong, jika hanya untuk acara slametan saja, sampai harus memakai
98
undangan segala. Karena bagi suku Madura undangan akan mengesankan formalitas, dan formalitas berarti kesenjangan antar sesama warga, dan merusak keakraban dan solidaritas. Belum ditemukannya titik temu dalam masalah ini, selain karena ditumpangi provokasi isu kesenjangan sosial, juga karena kedua belah pihak tetap menganggap slametan adalah hak setiap orang untuk melaksanakan, dan menentukan aturanya seperti siapa yang datang atau yang diundang. Slametan tidak dianggap sebagai kepentingan bersama dan tidak berhubungan dengan kerukunan warga sebagaimana masalah-masalah yang lainnya, seperti masalah masjid, dan yang lainnya. Kasus kaya miskin “Soalnya walaupun sebenernya sama ya dimana-mana kesenjangan ekonomi itu bikin masalah, tapi kalau ada kaitannya dengan perbedaan suku itu bisa gawat masalahnya, jadi harus segera diatasi, enggak enak gitu ngomongin kaya miskin segala. Selama ini solusi saya, banyak ngajak orang Sunda terutama yang muda untuk kerja disini, diwarung saya, tapi tetep kalau males saya berhentiin, atau warung-warung kecil ambil ke saya dengan harga yang beda dengan orang beli untuk dipake aja, itu juga sedikit banyak membantu menjalin persahabatan, bareng Pak Syamsudin dan yang lainnya sih kita juga sedang ngomongngomongin ekonomi berbasis masjid lah, Kenapa saya pilih mesjid sebagai alat pemersatu warga sini, Kita kalau ada acara hari besar Islam selalu bagus acaranya” (Marsuli, Madura, generasi 2) Sebagaimana di sebutkan seberlumnya, kasus tidak di undangnya suku Sunda pada acara slametan suku Madura berakibat suku Sunda merasa suku Madura hanya mengundang sesama suku Madura saja. Karena kebanyakan suku Madura yang tinggal di RT 04 adalah orang kaya, hal ini berakibat suku Sunda merasa bahwa mereka tidak di undang karena bukan orang kaya sebagaimana suku Madura. artinya sebenarnya kasus ini merupakan lanjutan dari kasus slametan, bahwa orang Madura tidak mau mengundang orang Sunda yang miskin dan hanya mau mengundang pada sesama Madura saja yang merupakan orang kaya. Hal ini kemudian timbul kesan umum bahwa suku Madura adalah orangorang kaya dan suku Sunda adalah orang-orang miskin . Menurut keterangan informan, meskipun diutarakan dengan nada berseloroh, kalimat-kalimat ini
99
sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari, bahkan terkadang membuat suasana ngobrol kemudian menjadi tidak nyaman. Menghadapi kondisi yang seperti itu, banyak dari suku Madura berinisiatif mencairkannya dengan berbagai cara. Sebagimana pernyataan informan, bahwa beberapa suku Madura memperkerjakan suku Sunda di toko sembako miliknya, di bengkel motor, di toko material, bahkan mengajak kerjasama dagang dan join bisnis. Sebagian lagi berpikir untuk mengagas ekonomi berbasis masjid, yaitu suatu pola pengumpulan dana yang dikoordinir oleh pengurus masjid untuk kemudian dijadikan modal usaha bagi orang-orang yang membutuhkan. Menurut informan hal ini akan baik dilakukan karena disamping masjid merupakan milik bersama, suku Sunda pun sebagaimana suku Madura seringkali merespon baik terhadap apapun yang menyangkut soal masjid. Kekeliruan cara menangani masalah ini diperparah dengan kenyataan bahwa usaha-usaha diatas belum melihatkan hasilnya. Hal ini dikarenakan kendala yang ada pada perbedaan karakter suku Sunda yang terlalu santai menurut suku Madura, dengan karakter suku Madura yang terlalu giat bekerja menurut suku Sunda. Meskipun demikian cara ini sedikit banyak memberikan pengaruh bagi peredaman kecemburuan sosial di RT 04. Telah cukup banyak kerjasama di bidang ekonomi antara suku sunda dan suku Madura dimana hal tersebut berhasil memperbaiki perekonomian beberapa keluarga suku Sunda, meski diakui semua pihak hal tersebut belumlah optimal, karena belum mempengaruhi perekonomian suku Sunda secara umum. Dari kedelapan kasus konflik yang terjadi di RT 04, kedua kasus yang terakhir ini dikategorikan sebagai konflik negatif, karena selain menyebabkan masing-masing suku saling menjauh, juga karena nilai yang diketahui bertolak belakang itu menjadi alat untuk memisahkan antar golongan, yang menjadi lawan dari kebersamaan yang diakibatkan oleh konflik masjid dan konflik yang lainnya, yang cenderung dapat di selesaikan dan mengakibatkan efektivitas komunikasi antarsuku. Maka terdapat dua kutub yang saling tarik-menarik di RT 04, yaitu perihal permasalaha-permasalah yang akhirnya mendekatkan suku Sunda dan suku
100
Madura, disamping ada juga konflik-konflik yang kemudian menjauhkan satu sama lainnya. Dari paparan ini jelas terlihat efektivitas komunikasi antarbudaya di RT 04 terjadi dan terjalin melalui proses yang sangat panjang, dimana benturanbenturan yang ada justru mengarah pada terbangunnya kesadaran bernegosiasi diantara mereka, bahkan hingga ketingkat kemampuan menemukan simbol bersama, dalam hal ini adalah masjid, serta terbangunnya kemampuan mencari solusi-solusi cerdas bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama Jenis Konflik Konsep menjaga kerukunan dan tidak saling menganggu ini nampaknya menjadi pedoman di semua generasi antar suku yang diteliti dalam menghadapi berbagai situasi konflik. Namun terdapat perbedaan tujuan dalam hal menjalin hubungan baik dan menjauh dari konflik tersebut. Pada generasi pertama hubungan baik dan upaya-upaya menjauh dari konflik bertujuan menjaga kerukunan hidup bertetangga, tetapi tetap mempertahankan adat dan kebiasaan masing-masing suku, termasuk dalam kedekatan pergaulannya, dalam hal ini yang dimaksud adat dan kebiasaan adalah cara saling memberikan penghargaan, dimana dalam setiap permasalahan yang timbul selalu menjadi penyebabnya, sedangkan yang di maksud jarak pergaulan adalah generasi ini hanya menjalin hubungan formal dan tidak menjalin hubungan yang akrab Di generasi kedua menjalin hubungan baik dan upaya menjauhi konflik bertujuan membangun masyarakat yang bersatu dan dinamis, baik dalam hal sosial maupun ekonomi. Suatu hubungan yang sudah lebih mendalam daripada yang ada pada generasi pertama. Tujuan ini diaplikasikan dengan diadakannya kegiatan-kegiatan bersama seperti acara maulid maupun perbaikan jalan. Kebiasaan saling kunjung mulai nampak pada generasi ini. Meskipun masih dalam kontek formal yaitu membahas masalah yang kebetulan terjadi atau berdiskusi tentang keagamaan. Adapun pada generasi ketiga, para anak muda ini melihat pentingnya penghargaan yang tulus pada setiap suku dengan kelebihan dan kekurangan yang ada. Hal ini mengakibatkan upaya-upaya membangun kepercayaan dalam persahabatan yang lebih akrab dan non-formal berkembang dalam pergaulan
101
generasi ini. Persahabatan, rekanan bisnis hingga pernikahan terjadi di generasi ini. Hal ini nampaknya semakin mencairkan suasana percampuran budaya di RT 04, dimana pembuka jalannya adalah generasi kedua. “Ya intinya menjaga kerukunan bertetangga, perkara yang lainlainnya mah, masalah dunia, kerjaan, ya itu mah masing-masing aja, ga usah saling ikut campur. (Husen, Madura, generasi 1) “Saya mah udah biasa diskusi ini itu sama Pak Syamsudin, Pak Marsuli, ya kalau enggak kita yang pedui lingkungan siapa lagi, hidup bertetangga kan harus saling peduli, enggak cuman selewat doang bergaul itu”, (Arif, Sunda generasi 2) “Iyalah anak mudanya mah udah sama, warga RT 04, kesusahan ditolong sebisa mungkin, curhat, gawe barengan, ya kaya si Indra kerja ke si Apung itukan mereka beda suku, tapi ya no problem istilah mereka mah, ya udah anak RT 04 lah.” (Agus, Sunda generasi 2) “Kaya’ saya misalnya, buka usaha rental, bareng Ekha, dia suku Sunda dan enggak males, Yang lebih baik, ya diadakan kegiatan bersama, kaya’ kepanitian masjid waktu acara maulid itu, justru supaya kita belajar menyikapi perbedaan yang ada, dan hasilnya baguskan, kita jadi bisa saling ngerti, saling dukung, saling menghormati, bahwa ada kelebihan dan kekurangan masingmasing orang mah. Contoh kecil ini mah, kita orang Madura misalnya bagus ditempatkan di penggalangan dana, karena kita orangnya aktif kesono-kesini, kuat lah, terus orang Sunda bagian dekorasi panggung, nah mereka telaten tuh bikin suasana acara jadi sesuai tema acaranya, gitu kan bagus, orang dari RT lain aja palng seneng katanya kalau ada acara di RT kita, meriah, dan hal kaya’ gitu bisa terjadi karena ada orang-orang kaya’ Pak Syamsudin, Pak Agus (Subhi, Madura, generasi 3) Terdapat delapan kasus konflik dengan latar belakang perbedaan budaya yang terjadi di lokasi penelitian. Konflik-konflik tersebut terbagi dalam tiga kategori yang telah disebutkan oleh Ting-Toomey (1998). Yang pertama adalah konflik-konflik yang menyangkut isi. Konfik-konfik yang masuk kedalam jenis ini adalah konflik berwajah galak dan konflik clurit. Kedua jenis konflik ini telah dipaparkan sebelumnya. Keduanya adalah konflik-konflik yang menyangkut relasi. Konflik ini termasuk kedalam jenis konflik relasi dikarenakan yang menjadi permasalahan dalam peristiwa di atas adalah terdapatnya perbedaan meyatakan hubungan. Suku Madura merasa cukup untuk menyapa sesekali saja sebagai bentuk hubungan bertetangga. Suku Sunda menganggap pentingnya intensitas bertegur sapa sebagai bentuk jalinan bertetangga yang baik. Sehingga
102
sikap suku Madura yang suka meyapa sambil lalu itu dianggap menunjukan karakternya yang tidak ramah. Demikian juga pada kasus clurit. Ancaman yang dirasakan oleh suku Sunda dengan dipajangnya clurit di ruang tamu suku Madura menunjukkan ketidakramahan antar tetangga. Terdapat juga kasus yang termasuk dalam kategori ini disebabkan perbedaan prosedural diantara kedua suku. Kasus kepanitiaan pembangunan masjid bermula dari perbedaan cara dalam menangani permasalahan
kefakuman
kepanitiaan
pembangunan
masjid.
Hal
ini
mengakibatkan hubungan yang tidak selaras diantara kedua belah pihak, demikian juga kasus perbedaan cara mengundang rapat diantara suku Sunda dan suku Madura, yang mengakibatkan perbedaan cara menyatakan hubungan diantara mereka. Kedua jenis konflik diatas cenderung dapat diselesaikan melalui kompromi-kompromi dan berhasil menemukan titik persetujuan seperti yang terjadi dalam konflik kasus karakter galak, kasus clurit, kasus pembangunan masjid, kasus kepanitiaan maulid dan kasus penggunaan jalan. Kebutuhankebutuhan bersama seperti kerukunan hidup bertetangga, harmonisasi sesama warga RT 04 melatarbelakangi keberhasilan penyelesaian konflik jenis ini. Budaya suku Sunda perihal nilai kerukunan warga yang di wujudkan berupa saling bertegur sapa dengan intensitas yang tinggi di satu sisi, serta kesediaan suku Madura mengikuti pola ini di sisi lain, mengakibatkan keberbauran rumah tinggal diantara mereka menjadi media interaksi dan komunikasi yang efektif untuk mencapai kepentingan kerukunan hidup bertetangga ini. Kepentingankepentingan inilah, disertai faktor pendukungnya berupa pembauran area tinggal dan adanya arena interaksi di dalam lingkungan tinggal menjadi penyebab keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah menyangkut relasi
ataupun
menyangkut isi sebagaimana di jelaskan diatas. Demikian juga keberadaan arena-arena interkasi di luar area tinggal, menjadi media komunikasi yang efektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sebagaimana telah di sebutkan, bahwa salah satu nilai suku Madura adalah giat bekerja. Nilai ini menjadikan suku Madura sangat menjaga jalinan relasi yang terkait dengan perdagangan. Kedekatan area perdagangan diantara beberapa suku
103
Sunda dan suku Madura dijadikan sebagai sarana interaksi dan komunikasi menjalin relasi perdagangan oleh suku Madura. Hal ini ternyata direspon baik oleh suku Sunda, meskipun bagi suku Sunda hal tersebut lebih karena kebutuhan menjalin kebersamaan sebagai warga RT 04. Ketika berada di luar lingkunga tinggal dan bertemu dengan banyak orang, bagi suku Sunda kesamaan sebagai sesama warga RT 04 menjadi sarana yang efektif dalam memenuhi kebutuhan akan rasa aman diantara mereka. Hal ini kemudian menjadi penyebab banyaknya jalinan kerjasama diantara keduanya, yang terjadi baik di dalam area tinggal maupun di area perdagangan itu sendiri. Ketercapaian tujuan membangun relasi melalui komunikasi di area perdagangan ini berdampak pada keberhasilan suku Sunda dan suku Madura menangani konflik-konflik berjenis relasi maupun isi diantara mereka. Konflik-konflik ini menjadi media untuk saling mengungkapkan keinginan masing-masing suku serta menemukan persetujuan dan solusi bersama, keberhasilan menyelaraskan nilai budaya diantara suku Sunda dan suku Madura menjadikan kepentingan-kepentingan diantara keduanya dapat terpenuhi dengan baik. Sedangkan konflik yang menyangkut identitas lebih sulit menemukan titik temu ketika berseberangan, seperti yang terlihat dalam konflik slametan. Identitas harga diri muncul dalam bentuk yang saling bertolak belakang. Orang Madura akan merasa bersikap sombong jika harus mengundang orang lain hanya untuk acara slametan yang diadakannya. Suku Sunda merasa tidak dihargai keberadaannya, jika orang Madura menyelenggarakan slametan dirumahnya tanpa mengundang mereka.
Dalam kasus kaya-miskin permasalahan terletak pada
perbedaan arti bekerja bagi kedua suku. Suku Sunda bekerja jika kebutuhan sehari-hari telah habis. Suku Madura bekerja untuk menabung. Kesulitan dalam menemukan titik temu pada konflik yang menyangkut identitas ini membuat terhambatnya komunikasi diantara mereka. hambatan komunikasi terjadi karena adanya perbedaan manafsirkan makna dalam kegiatan slametan. Dari uraian ini terlihat bahwa hambatan komunikasi terjadi karena hal yang mereka pertentangkan menyangkut nilai ideal dari kedua suku tersebut. Suku Madura akan merasa sombong jika harus mengundang dalam acara slametan, dimana bagi mereka kesombongan bukanlah identitas suku Madura sehingga mereka akan
104
menjauhinya karena tidak mau dianggap menyalahi nilai kelompoknya. Sedangkan suku Sunda merasa orang Madura sombong karena tidak mengundang mereka dalam acara slametan yang diadakannya, sehingga mereka merasa tidak dihargai. Penghargaan dengan cara di undang merupakan identitas yang penting bagi suku Sunda. Perbedaan nilai inilah yang mengakibatkan terhambatnya komunikasi diantara mereka untuk menemukan solusi bagi kasus yang menyangkut identitas tersebut. Bahkan meskipun para anak muda sudah berusaha mencairkan situasi ni dengan cara pemuda suku Madura akan mengajak para pemuda suku Sunda untuk datang ke acara slametan suku Madura, kedua suku ini sama-sama tidak dapat merubah kondisi ini karena mereka khawatir menyalahi nilai yang menjadi identitas budaya masing-masing. Inilah yang menyebabkan konflik yang menyangkut identitas suku sulit di selesaikan di antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Konflik identitas dapat pula menciptakan keseimbangan antarsuku, jika perbedaan yang ada justru menjadikan kedua suku
saling melengkapi. Suku
Sunda dan suku Madura berhasil mengkomunikasikan perihal perbedaan nilai diantara mereka. nilai yang berhasil mereka komunikasikan adalah bahwa Suku Sunda mengutamakan jabatan, sebagai bentuk kehormatan didalam hidupnya. Hal ini secara kebetulan dapat diselaraskan dengan nilai suku Madura yang mengutamakan perdagangan sebagai kehormatan di dalam menjalani hidup. Keberhasilan mengkomunikasikan tentang adanya keselarasan nilai diantara kedua budaya yang berbeda ini selanjutnya menciptakan keseimbangan hidup diantara mereka dalam sama-sama meraih kehormatan di dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai budaya suku masing-masing. Dari tipe konflik yang telah disebutkan, sebagian dapat di kompromikan dan berdampak pada kebersatuan kedua suku ini. Bentuk kebersatuan antara suku Sunda dan suku Madura adalah tumbuhnya saling percaya diantara mereka dalam hal perekonomian, diskusi keagamaan dan diskusi masalah-masalah aktual, serta pernikahan antar suku. Tidak ada yang mempermasalahkan atau menganggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya pada terjadinya kerjasama-kerjasama yang telah di sebutkan. Kedua suku tidak membatasi kerjasama ekonominya, diskusi
105
keagamaan dan masalah aktualnya serta tidak membatasi pernikahannya hanya untuk atau kepada sesama sukunya saja. Baik suku Sunda maupun suku Madura sama-sama menghargai ketika anggota sukunya bekerjasma dalam hal ekonomi, berdiskusi maupun menikah dengan suku lainya. Hal ini menunjukan kepercayaan diantara mereka telah membuat diantara mereka saling mengerti, menghargai dan mendukung satu sama lain, sehingga berbagai kerjasama itu dapat terjadi. Sebagian konflik yang terjadi di antara suku Sunda dan suku Madura tidak berhasil dikompromikan sehingga memisahkan suku Sunda dan suku Madura. Kondisi ini berdampak pada saling curiga diantara mereka. Tidak terselesaikannya masalah slametan berdampak pada munculnya isu kesenjangan sosial diantara mereka. Suku Sunda menganggap suku Madura hanya akan mengundang sesamanya saja. Bagi mereka suku Madura identik dengan orang kaya di RT 04, itu berarti mereka beranggapan orang Madura hanya akan mengundang sukunya saja sebagai sesama orang kaya. Isu kesenjangan sosial ini akan dapat berdampak buruk jika keberadaannya tidak segera di tanggulangi dengan benar, bahkan dapat memicu terjadinya konflik besar diantara mereka mengingat isu kesenjangan sosial adalah isu yang sering menimbulkan konflik besar. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa terdapat dua dampak konflik. Pertama adalah konflik-konflik yang kemudian menjadikan kedua suku lebih dapat saling mengerti, saling menghargai dan saling mendukung, sehingga mereka dapat bersatu dan hidup harmonis. Kedua adalah konfik-konflik yang berpotensi saling menjauhkan satu sama lain karena tidak berhasil mencapai kesepakatan dan kompromi. Di RT 04, hingga penelitian ini di lakukan terlihat bahwa kedua dampak konflik ini selanjutnya menjadi dua kutub yang saling tarik menarik, yaitu jika konflik yang mempersatukan menjadi kekuatan yang dominan, maka konflik yang memisahkan menjadi tidak berbahaya bagi kelangsungan keharmonisan kedua suku, sebaliknya jika konflik yang memisahkan itu menjadi semakin kuat dan konflik yang mempersatukan menjadi lemah, maka konflik besar mungkin bisa terjadi. “Iya bener damai itu bukan berarti tidak ada konflik, ya contohnya dulu yang paling besar masalahnya menurut saya, ya masalah pembangunan masjid itu.Karena kita mah sadar, kalau
106
ada masalah yang kebetulan beda suku, kalau enggak cepet diselesaikan takut merambat, bahaya kaya di sampit itu ya kan tau sendiri ceritanya gimana, itu sebabnya masalahnya di pendem-pendem terus enggak cepet diselesaikan jaadi pas ada kesempatan meledak (Ujang Madi, Sunda, generasi 1) Menurut saya memang ada perbedaan dulu dengan sekarang, kalau dulu masalah mesjid, kaya’nya itu jadi besar sekali, sampai Pak Odih ngambek enggak mau jadi imam lagi, terus orang Sunda yang lain jadi ikut-ikutan karena mengikuti pemimpinnya, orang Maduranya juga gitu sama aja, seneng ke geng Madura aja, (Nipah, Madura, generasi 1) kalau sekarang enggak begitu, ada yang berantem, yang lain apakah itu orang Sunda maupun orang Madura cepet cepet bertemu, meluruskan masalah, kita lihat yang salah siapa, masalahnya apa dan penyelesaiannya bagaimana, jadi enggak sampai kaya’ dulu semua orag ikutan berantem”(Marsuli, Madura, generasi 2) Konflik-konflik diatas selanjutnya dikategorikan pada jenis konflik positif. Karena sebagaimana menurut Johnson (dalam
Edhar
2003) konflik dapat
menjadikan seseorang sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan. Konflik juga dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan perubahan dalam dirinya dalam rangka memecahkan suatu permasalahan yang sebelumnya tidak disadari. Atau dengan kata lain ketika proses negosiasi berjalan dengan baik, dan menghasikan perbaikan-perbaikan sosial, maka suatu koflik menjadi salah satu proses sosial yang dibutuhkan. Jika dilihat dari konflik-konflik diatas, tipe konflik yang terjdi di RT 04 antara suku Sunda dan suku Madura bercorak “tidak terlalu keras” dan cenderung berhasil diselesaikan berkat kesadaran warga itu sendiri. Sebagaimana disebutkan, bahwa
keberhasilan
membangun
masjid,
terlebih
keberhasilan
dalam
menyelesaikan konflik yang terkait dengan mesjid, merupakan prestasi yang mereka banggakan sekaligus menjadi simbol kerukunan dan identitas bersama. Hal ini kemudian menyebabkan konflik-konflik diluar masalah masjid menjadi tidak terlalu keras, karena sudah mengutamakan kesamaan daripada perbedaan. Artinya kedamaian yang kemudian mereka dapatkan adalah berkat penyaluran secara benar perbedaan-perbedaan budaya yang ada melalui konflik-konflik yang tanpa kekerasan dan “beradab” (Varshney, 2009).
107
Sudah sejak awal disadari oleh warga RT 04, sebagaimana keterangan informan, bahwa sejak kedatangan orang Madura yang pertama kalinya, sudah menampakkan perbedaan tersebut, sekaligus pola negosiasinya, dimana ketika kemudian orang-orang Madura yang datang kemudian dipersepsi dengan cara yang berbeda, menjadi alasan mereka mengelola stereotipe yang sudah ada. Demikian juga dalam kasus penggunaan jalan dan kasus keseimbangan jenis mata pencaharian, perbedaan cara pandang budaya terhadap suatu objek baik berupa pengutamaan keindahan jalan, berlawanan dengan pemaksimalan fungsi jalan, maupun pada apa yang disebut terhormat berupa jabatan bagi suku Sunda dan berupa kesuksesan perdagangan bagi orang Madura,
dinegosiasikan dengan
semangat keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat berlandaskan penghargaan atas perbedaan-perbedaan budaya. “Pak Siddik mah baik, terus berlanjut ke anak mudanya, Pak Syamsudin, Magfur, Rasyidi, terus ke yang lebih muda si Subhi misalnya, ada juga perempuannya si Kulsum, itu udah pada baik, ramah, mau berbaur, Nah saya sebagai RT membaca situasi itu, ada keinginan semua warga, baik orang Sunda maupun orang Madura, untuk hidup damai, tenteram, saling menghargai, saling mendukung, sama-sama membangun masjid, menghidupkan kegiatannya, itu semua adalah upaya semua warga untuk menciptakan kerukunan. Maka saya dukung habishabisan” (Ujang Madi, Sunda, generasi 1) Terjadinya negosiasi bagi berbagai kepentingan yang berseberangan tersebut, adalah hasil dari perjalanan panjang percampuran budaya yang terjadi di RT 04, serta dengan melibatkan seluruh generasi yang ada, demi terciptanya keharmonisan yang menyeluruh dan mendalam. Hal ini terliht dari di telusurinya konflik sejak keberadaan orang Madura pertama, dan beragamnya peran disetiap generasi dalam memicu maupun menyelesaikan konflik. Selanjutnya saya juga bergaul baik terutama dengan anak mudanya waktu itu, Pak Syamsudin, sering sharing, diskusi masalah-masalah warga, ya dia kan orang pinter ya, mau bergaul sama siapa aja lagi jadi saya suka tuh diskusi sama dia, dia sering ke sini rumah saya, saya juga suka kerumahnya walaupun lebih muda, tapi pikirannya lebih laus menurut saya mah, bahkan anak mudanya paling nurut sama dia, kepanitiaan bareng-bareng suku Sunda, suku Madura, ya ide dia sama Pak Agus juga (Arif, Sunda, generasi 2)
108
Pada kasus yang paling fenomenal, yaitu kasus masjid, peran anak muda saat kejadian terjadi, yang kemudian oleh peneliti disebut generasi kedua, yaitu orang-orang dalam rentan usia 39-50, terlihat dan diakui sangat menonjol oleh seluruh informan, yaitu baik orang-orang yang berusia lebih tua, yang oleh peneliti disebut generasi pertama, yaitu orang-orang dalam rentan usia 60 -70 tahun, maupun mereka yang lebih muda, yaitu orang-orang dalam rentan usia 1838, yang selanjutnya disebut generasi ketiga. “Saya sering diskusi sama Pak Syamsudin, saya bilang kedia sebenernya kita ini kalau misalnya, ngopi bareng aja, itu udah hal baik mencairkan kekakuan antar suku. Terus misalnya kalau lagi Pak Arif ada pengajian dirumahnya, kita sebisa mungkin hadir lah, mau diundang kek atau enggak. Dan kalau Madura juga dirumahnya ad acara pengajian misalnya ya kita undang orang Sunda nya juga, jangan masing-masing cuek gitu.” (Subhi, Madura, generasi 3) “Sekarang ini mah saya kan terlibat jadi panitia maulid, ya kita dengerinnya Pak Syamsudin, Pak Agus, pokoknya yang baik lah. Ya menurut saya mah orang tua emang kolot, kalau yang selanjutnya Pak Agus, Pak Syamsudin, itu lebih pinter mereka mah jadi bisa lah jadi penengah. Ya karena Pak Syamsudin dan Pak Agus mah ramah sama kita-kita yang muda, enggak ja’im, kalau ada acara mesjid kaya’ acara maulid kemaren kita di bimbing, tapi juga kita disuruh cari kreatifitas baru, jadinya kita seru aja.” (Ekha, Sunda, generasi 3) Keberanian berpikir berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan menyebut diri masing-masing sebagai sama-sama warga RT 04, serta kesadaran yang lebih jauh akan akibat konflik yang dapat meluas disebabkan keterkaitan isu suku, membuat generasi kedua ini, suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda, berani menggagas di adakannya forum musyawarah, dengan cara mengunjungi rumah para orang tua yang berseteru tersebut, dan meminta kesediaan mereka untuk meluruskan permasalahan melalui forum musyawarah. Meskipun pada awalnya ide itu tidak diacuhkan oleh semua pihak yang berseteru, namun dengan kesabaran dan kegigihan generasi ini, maka forum musyawarah berhasil di adakan, dan menghasilkan kesepakatan perdamaian serta kembali bekerjasamanya seluruh warga RT 04. Meskipun dalam forum musyawarah yang pertama kalinya ini, belum secara detail mengungkapkan dan membahas timbulnya permasalaha yang terkait perbedaan-perbedaan budaya pada
109
suku Sunda dan suku Madura, namun forum ini berhasil melahirkan titik temu yaitu sama-sama tidak bermaksud meguasai satu dengan yang lainnya, dan seiring berjalannya waktu, di dalam pergaulan sehari-hari yang kemudian menjadi lebih akrab pasca konflik masjid, sebagaimana pengakuan responden, mulai semakin membuka pengertian-pengertian akan adanya perbedaan-perbedaan budaya, atau yang mereka
sebut
“hanya
perbedaan
cara”,
dan
mulai
mahir
cara
menegosiasikannya. Sejak itu hubungan antar suku menjadi lebih erat ditandai dengan dimulainya saling kunjung kerumah temannya yng berbeda suku, dalam rangka membahas berbagai kejadian maupun diskusi keagamaan. Model hubungan ini meskipun sudah lebih baik dari hubungan generasi pertama yang kaku dan menjaga jarak, masih terkesan formal dan insidental, terutama ketika terjadi ketegangan maupun kasus-kasus tertentu. “Sebagai anak muda, saya kan disuruh mimpin kepanitiaan waktu itu, ya dibimbing sih sama Pak Agus, Pak Syamsudin, Pak Marsuli, Pak Arif juga, makanya saya sama temen-temen waktu itu, berusaha tahu maunya orang tua kita, suku Sunda kita datangin kerumahnya rame-rame, kita undang, enakkan jadinya , sama pak Jojo mah saya dianggap anak sendiri dah (Kiki, Madura, generasi 3) Buktinya kita kalau ada acara hari besar Islam selalu bagus acaranya, kepanitiaannya selalu anak muda dari berbagai suku disini yang urus, ga ada yang dominan. Setiap orang beda-beda, ada yang keras ada yang kalem, ya itu mah biasa aja ngapain jadi musuhan gara-gara itu Enggak usah lah disangkutpautkan sama suku segala, menurut saya setiap suku punya kelebihan dan kekurangan masingmasing.” (Eko, Sunda, generasi 3) Adapun peran generasi tiga, sebagaimana terlihat dalam kasus kepanitiaan acara Maulid Nabi, adalah sebagai menyempurnakan pembauran yang sudah dirintis oleh generasi dua ketingkat yang lebih akrab dan non formal, generasi inipun mampu membuat generasi pertama mulai berbaur lebih akrab terutama dengan generasi tiga sehingga menjadi hubungan layaknya anak dan orang tua. Pada generasi ketiga ini generasi tua bukan saja bersikap terbuka namun juga penuh perhatian seperti pada kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. “Iya untungnya kita itu enggak ngeblok lah istilahnya, disebelah rumah saya kan orang Madura, si Tupi, terus kesananya lagi ada si Enti, Sunda, disebelah enti kan rumah Pak Siddik, itu Madura, terus kesananya, Ceu iyuk, Sunda, keluarga Pak Munara,
110
disebelahnya, kan Madura, gitu terus, di gang kuburan juga gitu, pinggir kali juga berbaur kita. Menurut saya mah itu bagus jadi bersatu lah” (Kulsum, Madura, generasi 2) “Saya tetanggaan sama Suryati, dia orang Madura, enggak apaapa, sebelah dia pak Madroji, orang Sunda, emang gitu di RT 04 mah, enggak ketara mana Sunda mana Madura, nyampur aja” (Jajah, Sunda, generasi 2) Perbedaan hasil konflik di RT 04 dengan beberapa konflik yang juga melibatkan suku Madura seperti peristiwa Sampit dan Sambas misalnya, adalah juga berkat keberbauran kegiatan yang didukung pula dengan berbaurnya rumah tinggal mereka. Suku Sunda yang kemudian menjadi akrab dengan para pemuda madura karena anggapan mereka lebih sopan dan mengerti tatakrama suku Sunda sebagaimana yang terlihat dalam kasus kepanitiaan acara Maulid Nabi, melengkapi pemburan yang terjadi antar suku karena lokasi rumah yang bersebelahan, untuk membentuk interaksi yang lebih natural, berkelanjutan dan menjadi kekuatan kumunal yang kuat, terutama dimasa-masa terjadinya ketegangan. Hal ini sejalan dengan pendapat (Varshney, 2009) yang menyatakan bahwa keseharian ikatan kewargaan seperti melaksanakan kegiatan perayaan bersama, bermain dalam satu lingkungan bersama, adalah salah satu pendorong terwujudnya perdamaian. Tabel 10. jenis Konflik dan Akibatnya
111
Jenis Konflik
Jenis-jenis konflik serta penyelesaiannya
Relasi/isi
Identitas
Kasus
Karakter galak, clurit, panitia pembangunan masjid, panitia acara maulid, kegunaan jalan, Slametan, Miskin-kaya
Jenis penyelesaian Toleransi
Mempertahakan identitas masingmasing suku
Dampak Konflik
Bersatu
Memisahkan
Manajemen Konflik “Kita orang Madura mah mengerti emang kudunya ngalah terus, kita itu sebagai pendatang meskipun lebih gigih dalam berusaha, ya tetep kudu menghargai pribumi, ya demi kerukunan bersama, pokonya mah asal jauh dari berantem aja lah.” (Husen, Madura, generasi 1) “Pokoknya orangnya fleksibel dan kita orang Sunda seneng kalau sama pak Syamsudin mah, kalau ada masalah, dia tuh yang tukang mendamaikan dan kita mah percaya kalau dia yang urusin. Saya berteman baik sama Pak Syamsudin, sering diskusi, membahas bahwa kita tuh Sunda, Madura, memang beda, tapi gimana cara menyatukannya, gitu intinya mah, tapi bukan sama dia aja sih saya berteman, sama Pak Sidik (generasi 1), Pak Husen (gerasi 1), pak Mawi (generasi 1). Ya intinya kita bisa lah saling menerima, menghargai satu sama lain.” (Agus, Sunda, Generasi 2) “Kudunya begitu, kalau suka ngobrol jadinya kita akrab, saya sama Adi udah lama berteman, dari kecil. Kita mah enggak pernah berantem, ngapain berantem, mendingan diskusi apa aja,
112
agama, dagangan, cewek kan lebih asik. Kadang si Adi nolongin saya ngelayanin langganan material saya. Saya juga suka jagain warung sembakonya dia, dia suka nginep dirumah saya. Saya mah enggak pernah nginep dirumahnya, soalnyakan banyak tukang becaknya dia, ga ada tempat.” (Kiki, Madura, generasi 3) Kondisi di atas menunjukan terdapat manajemen konflik yang berbeda pada masing-masing generasi yang menjadi informan dalam penelitian ini. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam proses harmonisasi percampuran antarbudaya yang diteliti ditemukan bahwa terdapat tiga generasi pada suku Sunda dan suku Madura. Mereka mengembangkan pola hubungan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada generasi pertama, meskipun telah saling menjaga kerukunan dan sebisa mungkin menghindari konflik, namun generasi ini tetaplah dua suku yang terpisah, yang saling mempertahankan adat dan kebiasaan masing-masing. Hal ini dikarenakan identitas kesukuan yang mereka fahami adalah identitas yang secara fundamental berarti perbedaan-perbedaan antara suku Sunda dan suku Madura. Dengan berdasarkan identitas seperti ini baik orang Sunda maupun orang Madura menimbang persamaan dan perbedaan orang lain dengan dirinya. Semakin mirip seseorang dengan yang lainnya semakin suka mereka satu sama lain. Demikian sebaliknya, semakin berbeda seseorang akan membuat orang itu semakin jauh satu sama lain. Dalam kasus suku Sunda dan suku Madura ini, tidak adanya persamaan diantara mereka dalam segi watak antara watak suku Sunda yang cenderung lembut dengan watak suku Madura yang relatif keras, dan kebahasaan, baik berupa dialek, intonasi maupun gaya komunikasinya membuat suku Sunda merasa sangat berbeda denga suku Madura. Hal ini mengakibatkan kedua suku saling berjarak antara satu dengan yang lainnya. Kecenderungan terhadap perbedaan inilah yang menuntun pengertian dan pengenalan masing-masing suku akhirnya membentuk persepsi dan sikap yang mengarahkan suku Sunda dan suku Madura
pada stereotipe, prasangka dan
rasisme serta etnosentrisme. Dalam kasus-kasus yang diteliti menunjukan hal tersebut selalu muncul sebagai pemicunya. Masing-masing suku merasa adat dan kebiasaannyalah yang paling benar. Maka dapat dilihat kekakuan dari cara generasi ini bertegur sapa saat berpapasan di jalan, yaitu pergaulan dalam generasi
113
ini masih bersifat sambil lalu, dan tidak mendalam. Tidak terdapat kerjasama ataupun saling kunjung pada generasi ini, dan kesempatan bertemu hanya ketika kebetulan berpapasan di jalan, di warung atau bahkan di masjid. Pertama, mereka adalah para orang tua yan mengalami percampuran budaya sejak suku Madura datang pertama kalinya ke RT 04. Mereka telah saling menjaga kerukunan dan sebisa mungkin menghindari konflik. penyelesaian yang terjadi dalam kasus berwajah galak dan kasus clurit menunjukan hal tersebut. Bahwa perubahan persepsi yang mereka lakukan adalah untuk meghindari konflik dan menjaga citra kelompoknya. Mereka tidak mengupayakan penerimaan-penerimaan terhadap perbedaan budaya. Hal ini menjadikan generasi ini tetap merupakan dua suku yang terpisah. Meraka saling mempertahankan adat dan kebiasaan masingmasing. Hal yang berbeda maka akan direspon sebagai ketidak pantasan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai konflik yang terjadi. Bagi mereka kebiasaan suku madura yang tidak di sukai oleh mereka menunjukan kebiasaan tersebut adalah hal yang buruk. Oleh karenanya mereka menghubungkan kebiasaan tersebut dengan karakteristik pendatang pertama Madura yang digambarkan tidak ramah dan berwatak keras. Suku Sunda melihat perbedaan tersebut sebagai watak yang tidak pantas karena bertentangan dengan watak ramah dan lembut yang mereka pedomani sebagai hal yang benar. Suku Sunda selanjutnya menuntut suku Madura untuk merubah kebiasaan-kebiasaaan tersebut jika ingin dianggap orang yang baik bagi suku Sunda. Oleh karena itu suku Sunda baru mau menerima orang Madura sebagai orang yang layak menjadi tetangga mereka, ketika orang Madura mereka rasakan mau merubah watak tersebut. Adapun orang Madura menganggap keengganan orang Sunda untuk berbaur dengan mereka dianggap sebagai watak suku Sunda yang senang berkumpul dengan sesama sukunya saja. Suku Madura tidak terlalu peduli dengan keengganan suku Sunda bertegur sapa dengan mereka. Suku Madura pun tidak merasakan hal tersebut sebagai sebuah masalah. Bagi suku Madura pertengkaran baru merupakan masalah yang perlu diselesaikan, sedangkan keengganan bertegur sapa bagi mereka hanyalah hak masing-masing orang. Oleh karena itu, generasi ini hanya menjalin hubungan formal, sambil lalu dan tidak akrab. Keadaan pergaulan seperti ini sebenarnya meciptakan suasana yang tidak kondusif di antara
114
kedua suku. Tidak terdapat suasana kekeluargaan di RT 04 saat itu. Di sana pun tidak terdapat kerjasama-kerjasama yang menguntungkan antar warga RT 04. Secara tidak langsung kondisi ini pula mengakibatkan tidak berkembangnya perekonoian warga. Keterpisahan kedua suku pada generasi pertama ini berlangsung cukup lama sehingga suasana interaksi diantara mereka menjadi kaku, serta mudah terjadi salah paham dan konflik. Generasi ini nampaknya berpedoman pada prinsip manajemen konflik saling menghindari. Dalam menghindar, ditandai dengan reaksi saling menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak menyenangkan dengan orang lain. Pola ini ditunjukan oleh suku Sunda dengan cara menjaga jarak dengan
suku
Madura.
mereka
tidak
bertegur
sapa
ataupun
berusaha
mengklarifikasi persepsi mereka. Suku Sunda hanya akan mengubah cara pandang mereka ketika dirasa ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Momen merubah persepsi itu mereka temukan terhadap pendatang kedua suku Madura. Mereka menganggap pendatang kedua lebih ramah daripada pendatang Madura yang pertama, sehingga selanjutnya mereka mau hidup bertetangga dengan orang Madura. Hal ini menunjukan bahwa pada setiap konflik yang muncul upaya yang dilakukan adalah dalam rangka menyelamatkan identitas dan harga diri sukunya semata. Pada generasi kedua pola pertemanan mulai lebih akrab, bahkan masingmasing informan mau untuk menyatakan pertemanan dan keakraban dirinya dengan temannya yang berbeda suku, meski masih bersifat formal. Persahabatan yang mereka maksudkan adalah menjalin pola berdiskusi dan saling kunjung ke rumah meskipun hal itu terjadi hanya ketika ada konflik atau ketika mulai tercium akan
munculnya
masalah.
Dari
diskusi
dan
saling
kunjung
tersebut
mengakibatkan mulai disadari adanya perbedaan serta dinegosiasikannya perbedaan adat dan cara menyikapinya. Tradisi ini menjadi ajang pengamatan, pembelajaran dan pengalaman antarbudaya bagi mereka Kesadaran terhadap situasi dan kondisi lingkungan mulai dibina pada generasi ini, bahwa suasana yang kaku dan pergaulan yang sambil lalu, di nilai oleh generasi kedua ini sebagai merupakan cikal bakal konflik di RT 04, mereka pun telah mampu mengidentifikasi orang-orang dari kedua belah suku yang sangat
115
mungkin menjadi sumber konflik sehingga dilakukan upaya-upaya pendekatan pada orang yang di maksud. “Ya kaya waktu ada masalah soal masjid, kita yang muda bareng-bareng mendatangi Pak Odih dia kan sesepuhnya suku sunda lah, silaturahmi, dan hasilnya memang bagus, kita jadi bisa menyelenggarakan musyawarah dengan sukses, waktu lebaran juga kan kita berupaya saling kunjung lah”.(Marsuli, Madura, generasi 2) Dalam hal ini adalah para orang tua dari kedua belah suku, terutama para tetua yang memiliki pengikut. Orang-orang dari generasi kedua ini memulai tradisi kunjungan kepada para tetua setempat secara bersama-sama, artinya beberapa generasi dua dari suku Sunda bersama-sama dengan beberapa orang dari suku Madura secara bergerombol bersilaturahmi pada para orang tua tersebut. Hal ini sebagaimana pengakuan mereka agar para orang tua melihat keakraban pergaulan diantara mereka dan berharap mendapatkan respon baik dari mereka. “Nah kalau udah gitu tuh kita yang muda-muda harus ngalah, denga rame-rame datang kerumahnya, tanya apa maunya, biasanya mereka baru mau ngomong apa maunya, tidak setujunya kenapa (Agus, Sunda, generasi 2)”. Generasi ini pulalah yang mencetuskan ide di adakannya berbagai macam kegiatan bersama yang melibatkan kedua suku, seperti pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu. Namun dari keseluruhan upaya yang dilakukan oleh generasi dua, sebagaimana pengakuan mereka hal ini masih kurang berhasil, maka mereka mengalihkan upaya pembauran pada anak mudanya yang kemudian dalam penelitian ini disebut sebagai generasi ketiga. Dalam upaya ini seperti akan dibahas kemudian, cukup berhasil membuat para anak muda lebih akrab, bahkan menginspirasi para orang tua untuk juga mulai membaur. Ketika konflik terjadi generasi kedua inilah yang segera mengupayakan jalan keluar, bahkan musyawarah yang kemudian terjadi dimanfaatkan oleh mereka sebagi ajang saling mengenal lebih dekat antar suku. “Buktinya kalau ada apa-apa acara kawinan misalnya, saya ya diundang, disuruh mewakili keluarga pengantin segala, terus saya perhatikan, kaya’ pembetulan jalan waktu itu, atau acara maulid kaya’ kemaren, ya mereka turun bersama-sama orang Madura, bareng saya, kerjasama sampe kegiatan sukses.” (Pak Agus, Sunda, generasi 2).
116
Generasi kedua mengelola konflik dengan cara melakukan kompromi. Salah satu contohnya adalah upaya generasi ini penyelenggaraan forum musyawarah agar masing-masing suku dapat mengetahui adanya perbedaan cara menyelesaikan masalah kefakuman panitia pada kasus pembangunan masjid. Kompomi adalah gaya konflik yang didasari pemahaman-pemahaman terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Kesadaran-kesadaran yang terbangun akibat intensitas interaksi yang tercipta antar warga RT 04 menginspirasi generasi ini lebih dari yang lainnya dalam menciptakan kerukunan antar suku di RT 04. Generasi ini mengembangkan pola pendekatan ke atas yaitu generasi satu, dan ke bawah yaitu generasi tiga dalam upaya menegosiasikan perbedaan adat dan kebudayaan yang berbeda. Dari kebanyakan kasus konflik yang terjadi di RT 04 antara suku Sunda dan suku Madura, generasi dua selalu tampil sebagai penengah dan penyelesai konflik. kemampuan mereka mengkoordinir warga ini selanjutnya menjadi kunci bagi terselesaikannya berbagai konflik.
Apalagi keberhasilan mereka dam
membina generasi tiga melalui berbagai kegiatan bersama yang mereka selenggarakan, berhasil menciptakan pembauran warga RT 04. Pembauran yang dicapai oleh generasi tiga ini mencapai tingkat kemampuan mengintegrasikan berbagai perbedaan kebudayaan yang ada menjadi suatu kekuatan pemersatu yang menjadi ciri khas warga RT 04. Kompromi juga dilakukan dalam penyelesaian masalah jalan, berupa solusi di gunakan truk berukuran tanggung agar tercapai nilai suku Sunda berupa menjaga keindahan jalan, dan suku Madura tetap dapat melaksanakan nilai budayanya, yaitu menggunakan jalan secara maksimal. Pada kasus kepanitiaan masjid, perbedaan cara mengundang dikompromikan dengan cara mengundang dilakukan satu kali, tidak berkali-kali sebagaimana nilai suku Sunda, Namun dilakukan dengan sopan yaitu dengan datang kerumah orang yang diundang, tidak dilakukan ketika berpapasan di jalan sebagaimana kebiasaan suku Madura. bentuk kompromi dalam masalah penolakan Madura pada jabatan yang ditawarkan adalah menjaga keseimbangan hidup bersama berupa menempatkan suku Sunda pada jabatan RT, karena sesuai dengan nilai budayanya dalam memandang
117
kehormatan hidup, dan menempatkan suku Madura di sektor perdagangan karena sesuai nilai budayanya dalam memandang kehormatan hidup. Dalam mencapai kompromi, selain dengan menyelenggarakan forum musyawarah,
generasi dua juga mengupayakan berbagai macam kegiatan
bersama yang melibatkan kedua suku, seperti pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu, mengunjungi para tetua kedua suku dan lain-lain. Namun karena masih kurang berhasil,
maka mereka mengalihkan upaya pembauran pada anak muda dari
kedua suku. Para anak muda binaan generasi dua ini dalam penelitian ini disebut sebagai generasi ketiga. Usaha pembauran yang dimaksud adalah diadakan kegiatan bersama dalam kepanitiaan acara masjid, acara- acara RT, hingga gotong royong perbaikan jalan. Generasi kedua mampu mengembangkan pola kompromi dikarenakan identitas yang mereka pedomani bukanlah merupakan suatu yang statis, namun bisa berubah menurut pengalaman hidup. Generasi ini menyadari identitas kesukuan mereka masing-masing. Konsep diri mereka telah di bentuk oleh keluarga, budaya serta etnis mereka masing-masing. Suku Madura generasi dua berbahasa Madura terutama dengn keluarga dan orang tua mereka. mereka juga masih memegang berbagai adat dan kebiasaan sukunya, seperti pulang kampung saat lebaran haji, berdedikasi kerja yang baik, dan lain sebagainya. Demikian juga pada generasi dua suku Sunda. Mereka tetap dapat di identifikasi kesundaannya. Namun kedua suku Generasi dua ini mengembangkan makna identitas. pengalama dan keterlibatan generasi dua pada konflik masjid membuat mereka memahami perihal perbedaan yang ada diantara mereka, serta menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran yang menjadi pemandu dalam menghadapi konflikonflik berikutnya. Pada dasarnya identitas bagi generasi dua ini merupakan pandangan reflektif mengenai diri sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri mereka. Suku Madura generasi ini mampu melihat keunggulan nilai pada sukunya serta mepertahankannya. Mereka juga dapat melihat kekurangan pada sukunya dan bersedia memperbaikinya. Demikian juga suku Sunda melakukan hal yang sama, yaitu mampu melihat kelebihan dan kekurangan budaya sukunya. Kegiatan diskusi dan saling kunjung yang dimulai oleh generasi ini menggambarkan kesadaran tersebut, dan berusaha mempertukarkannya
118
diantara mereka. Hal ini mengakibatkan mereka saling mengembangkan identitas pribadi mereka sebagai tidak berhenti pada suku Sunda dan suku Madura saja, menjadi identitas yang lebih luas yaitu sebagai suku Madura yang sudah tercampur dengan berbagai adat dan kebiasaan suku Sunda dan juga sebagai suku Sunda yang sudah berbaur dengan adat dan kebiasaan suku Madura. Perkembangan identitas pada generasi kedua ini mereka peroleh akibat pergaulan yang lebih akrab yang kebanyakan dimulai sejak masa kanak-kanak, baik berupa teman bermain maupun teman sekolah. Identitas yang lebih kaya inilah yang membentuk generasi dua memiliki pandangan-pandanga yang berbeda dengan generasi sebelumnya, sehingga mereka mampu mengidentifikasi permasalahan serta mengupayakan jalan keluarnya. Pada generasi ketiga hubungan personal sudah sangat baik, persahabatan antar suku ditandai dengan kedekatan satu orang Sunda yang bersahabat dengan satu suku Madura tertentu dengan model pertemanan yang lebih dinamis, yaitu meliputi saling menginap dirumah temannya, bergerombol baik saat berdiskusi berbagai kegiatan masjid dan bisnis anak muda, maupun untuk nongkrong dan minum kopi bersama semata. Pertemanan ini dilatarbelakangi dengan berbagai penyebabnya, ada yang karena kerjasama bisnis, bertetangga rumah maupun dalam berbisnis, sampai pertemanan yang tidak terkait bisnis sama sekali. Generasi ini mengembangkan identitas yang khas yang terjadi dalam masyarakat multikultural. Generasi tiga adalah anak-anak yang di lahirkan dan besarkan di tempat yang sama, memiliki pergaulan yang sama serta berpola hidup yang sama.
Mereka mengembangkan identitasnya melalui interaksi dengan
kelompok budaya mereka dan interaksi dengan lingkungan sosial mereka secara bersamaan. Interaksi-interaksi ini memberi ruang bagi generasi tiga untuk melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari pengalaman budaya dan membentuk identitas sendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka sudah tidak memandang perbedaan adat sebagai pembatas dalam hubungan baik yang dibina, bahkan mereka melihat hal tersebut sebagai pelengkap bagi masing-masing suku, dan mampu dengan jujur mengakui kelebihan dan kekurangan sukunya dan suku temanya. Identitas baru yang mereka ciptakan ini membuat satu sama lain saling merasa nyaman untuk saling berbagi
119
dan mengisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hubungan generasi tiga sudah mencapai tarap hubungan interpersonal, dimana berbagai latar belakang perbedaan budaya sudah tidak menjadi penghalang diantara mereka untuk menjalin persahabatan dan melakukan berbagai kerjasama yang saling menguntungkan. Berbagai kegiatan bersama yang mereka lakukan seperti samasama menjadi panitia acara masjid, gotong royong jalan dan lain-lain, berhasil megintegrasikan perbedaan-perbedaan menjadi suatu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah
gaya
konflik
yang
dipakai
oleh
generasi
tiga,
yaitu
mengintegrasikan berbagai perbedaan kebudyaan yang ada menjadi sebuah kebersamaan yang khas milik warga RT 04. Dalam kerjasama melaksanakan acara maulid misalnya, suku Madura memandang suku Sunda baik ditempatkan di urusan dekorasi panggung karena sesuai dengan wataknya yang menyukai keindahan, sedangkan suku Madura ditempatkan di urusan penggalangan dana, karena dianggap cocok dengan tabiatnya yang gigih. Pengintegrasian ini menghasilkan berbagai keberhasilan disetiap kegiatan bersama yang dilaksanakan, seperti kemeriahan acara-acara masjid, kesuksesan perbaikan jalan dan lain-lain. Integrasi yang berhasil mereka ciptakan ini selain sebagai binaan generasi dua juga dikarenakan kedekatan yang tercipta diantar generasi tiga. Kesadarankesadaran membangun kontak berbasis antar budaya, dilakukannya berbagai kegiatan bersama serta dilakukannya adaptasi budaya nampak jelas pada genersi ini. Pembauran area tinggal antara suku Sunda dan suku Madura, terdapatnya arena-arena interaksi antar suku baik di dalam maupun
di luar area tinggal
memberi ruang untuk mengembangkan hubugan dekat diantara mereka, menghilangkan penghalang untuk berhubugan secara langsung dan terus menerus. Hal ini sesungguhnya menjadi cikal bakal terjalinnya keharmonisan dan integrasi diantara keduanya. Kondisi ini kemudian di perjelas dengan keberhasilan mereka menginterasikan berbagai perbedaan yang pada masa sebelumnya justru menimbulkan berbagai konflik. keharmonisan yang terjalin bahkan hingga di temukannya simbol bersama pada suku Sunda dan suku Madura berupa masjid. Pola yag lebih akrab ini sebagaimana mereka akui adalah binaan generasi dua, berdampak memancing generasi pertama untuk mulai mencairkan kekakuan
120
masing-masing, bahkan para orang tua ini mengakui bahwa dari generasi ketiga inilah mereka belajar banyak dan malu dengan sikap mereka yang kemudian dirasa terlalu menjaga jarak pada sesama warga RT 04. Kondisi sosial yang lebih akrab inilah yang kemudian berhasil mengintegrasikan seluruh warga RT 04 dari generasi satu hingga generasi tiga. Hal ini secara keseluruhan menjadi alasan keberhasilan manajemen konflik berkat peran aktif warga sendiri, dalam hal ini generasi dua dan diikuti oleh generasi tiga. Melalui rentan waktu dan proses yang amat panjang mereka berhasil saling membangun dan melindungi identitas masing-masing suku. Diterimanya identitas suku amatlah penting bagi kedua suku tersebut dikarenakan kedua budaya yang diteliti ini termasuk dalam kategori budaya kolektif. Budaya kolektivis memandang identitas suku sangat penting, mengutamakan kewajiban kelompok daripada hak individu, tujuannya menjaga identitas bersama. Meski sama-sama berbudaya kolektif, tingkat kolektivitas suku Sunda lebih kental daripada budaya kolektif yang ada pada suku Madura (Rifa‟i 2007). “Contoh kecil ini mah, kita orang Madura misalnya bagus ditempatkan di penggalangan dana, karena kita orangnya aktif kesono-kesini, kuat lah, terus orang sunda bagian dekorasi panggung, nah mereka telaten tuh bikin suasana acara jadi sesuai tema acaranya, gitu kan bagus, orang dari RT lain aja palng seneng katanya kalau ada acara di RT kita, meriah, dan hal kaya’ gitu bisa terjadi karena ada orang-orang kaya’ Pak Syamsudin, Pak Agus, tapi ya kalau sama kita Pak Jojo aja jadi suka ikutan nongkrong, asik katanya sama anak muda mah .”(Subhi, Madura, generasi 3) “Kalau sama Apung mah udah kaya anak sendiri, anaknya baik, saya kalau terlalu kekeh juga sekarang mah malu sama yang muda-muda itu, mereka bisa kerjasama, akrab dan enggak ada uh berantem-berantemannya, mereka mah ya mungkin karena masih muda aturannya ya aturan anak muda aja (Jojo, Sunda, generasi 1) Terdapat orang-orang yang disebut biang kerok, baik oleh suku Sunda maupun suku Madura untuk menyebutkan mereka yang sering menyulut pertikaian, orang-orang ini mereka sebut sebagai orang yang tidak mau bergaul dan merupakan akibat dari narkoba. Para biang kerok ini adalah orang-orang yang menjadi penyebab disetiap pertengkaran yang terjadi namun tidak terkait masjid, dan hampir menimbulkan bentrok antar suku. Penyebutan biang kerok ini
121
mengindikasikan bahwa tidak ada dari kedua belah suku yang mengakui perangai itu sebagai perangan kaumnya yang pantas untuk dibela. Para biang kerok ini terdiri dari generasi pertama, kedua bahkan ketiga. Maka bagi warga RT 04 sepanjang orang tersebut tidak mau membuka diri, ia akan dapat berpotensi menjadi biang kerok kerusuhan. Dan dari penamaan yang diberikan oleh warga pada para pengacau ini terlihat kesadaran akan pentingnya perangai baik sebagai landasan bagi penilaian setiap orang di RT 04, bahkan karena kesadaran itu pulalah warga RT 04 tidak membiarkan para biang kerok tersebut memecah belah mereka. “Ada sih berantem-berantem kecil kaya si Mail (Madura, generasi 3) emang biang kerok dia mah dari suku Maduranya, maklum kena narkoba, dan enggak bergaul lagi orangnya, mana dia punya temen, enggak, berantemnya sama oji (Sunda, generasi 2), sama tuh pengangguran ya biang kerok juga dari Sundanya, yang laen mah enggak, si Adi (Sunda, generasi 3), berteman akrab sama si Kiki (Madura, generasi 3) subhi, berteman sama ekha, mereka mah baik.” (Nunung, Sunda, generasi 1) Namun meskipun tidak ada dari responden yang mengakui akan pengaruh para biang kerok ini, nampaknya dalam beberapa kejadian yang memicu konflik, justru disebabkan oleh profokasi mereka. Peneliti melihat para biang kerok ini, jika yang berasal dari suku Sunda adalah mereka yang berstatus pengangguran, dan cenderung dekat dengan dunia narkoba. Adapun dari suku Madura, para penyebab konflik disamping juga para pecandu narkoba, ada juga mereka yang bertabiat cuek, dingin dan kurang akrab, bahkan meskipun berpapasan dijalan. Kedua karakter ini kemudian memicu bebagai kecurigaan, terutama ketika dikaitkan dengan isu kesenjangan ekonomi, maka kedua karakter ini memang kemudian memicu konflik. “Orang Sunda itukan memang agak males ya, anak mudanya masih banyak yang nganggur, sementara orang Madura mah kerja kerasnya bagus, wajar kalau mereka kebanyakan sukses, itu kadang menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi ditambah sikap cueknya ya kadang dari orang Madura masih ada aja yang cuek itu.” (Agus, Sunda, generasi 2) Tabel 11. Manajemen Konflik Antar Generasi
122
Manajemen Konflik Antar Generasi Pada Suku Sunda dan Suku Madura Generasi satu Peran
Formal- dua suku yang terpisah
Manajem Menghindari en Konflik konflik
Generasi dua
Generasi tiga
Formal-menjalin hubungan yang fungsional
Berbaur membangun keserasian budaya
Mengkompromika n perbedaanperbedaan demi keuntungan dan kebaikan bersama
Mengintegrasikan perbedaan menjadi identitas bersama dan saling melengkapi 21
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Pengamatan, proses belajar dan pengalaman terbukti berpengaruh terhadap didapat dan dikembangkannya pengetahuan dan motivasi yang berdampak pada komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu terciptanya saling mengerti, saling menghargai dan saling mendukung diantara suku Sunda dan suku Madura. Dalam penelitian ini terbangunnya saling pengertian, penghargaan dan dukungan antarbudaya disebabkan suatu konflik yang terjadi antara suku Sunda dan suku Madura dapat di selesaikan. Beberapa konflik yang dapat di selesaikan oleh mereka antara lain adalah konflik berwajah galak, konflik clurit, konflik masjid, konflik kepanitiaan maulid, konflik kegunaan jalan dan konflik perdagangan versus jabatan. Konflik-konflik yang cenderung akibat perbedaan persepsi budaya pada para orang tua ini dapat di selesaikan berkat komunikasi baik personal maupun interpersonal yang terjadi pada kedua suku tersebut. Ketika konflik – konflik tersebut terjadi generasi dua dari kedua suku berusaha untuk melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari perngalaman dari kejadian tersebut. Dengan cara ini mereka mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya sebagai upaya mencari penyelesaiannya. Hal ini yang mengakibatkan
123
pada masa selanjutnya generasi dua mampu memprakarsai penyelesaian konflik dengan lebih baik, yaitu konflik pada kasus masjid. Pada kasus ini generasi dua berkat pengetahuan budaya dan motivasi yang telah mereka kembangkan di masa sebelumnya
berhasil
memegang
kendali
dalam
menyelesaikannya
serta
menjadikan konflik sebagai sarana komunikasi yang efektif yang melahirkan pengertian, penghargaan dan dukungan antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura. Generasi dua ini melakukan manajemen konflik sebagai usaha pengelolaan atas konflik-konflik tersebut. keberhasilan ini selanjutnya menjadikan generasi dua di pandang sebagai figur pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan para pemimpin sebelumnya yang kaku dan bercirikan khas kesukuan. Para pemimpin muda ini lebih merupaka pemuka pendapat yang di ikuti karena kemampuan mereka mengupayakan kompromi-kompromi budaya daripada saling mempertentangkannya. Melalui peran sebagi pemuka pendapat ini, generasi dua mampu menegosiasikan adat dan budayaannya, hingga mampu mengorganisir generasi satu untuk lebih membuka diri sebagai upaya menyelesaikan konflik, dan mengorganisir generasi tiga melakukan pemburan budaya dalam melaksanakan berbagai kegiatan bersama. Konsep pembauran lokasi tinggal yang secara tidak sengaja terbentuk di RT 04 menjadi faktor melakukan
pengamatan,
pembelajaran
dan
utama bagi generasi dua untuk mencari
pengalaman
dalam
menciptakan efektivitas komunikasi antarbudaya disana. Pembagian peran dan tugas warga di RT 04 yang dibuat agar tercipta keseimbangan kedudukan pasca konflik dan berbagai kegiatan bersama antara suku Sunda dan Madura pun ternyata efektif membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan antar warga. Pada mulanya Pak Syamsudin di kenal warga sebagai orang Madura yang ramah dan mau bergaul dengan akrab dengan siapa saja. Hal yang memungkinkan Pak Syamsudin melakukan pembelajaran, pengamatan dan mencari pengalaman dalam mengembangkan pengetahuan dan motivasi budayanya. Pak Syamsudin dapat dengan akrab bergul dengan orang-orang yang lebih tua darinya, dapat juga bergaul dengan orang yang lebih muda dari dirinya, terlebih dengan orang-orang
124
yang sebaya dengan dirinya. Inilah yang menyebabkan ide Pak Syamsudin untuk melakukan pendekatan pada berbagai pihak yang beseteru, menggagas forum musyawarah serta mengupayakan negosiasi, mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pak Syamsudin berusia 40 tahun. Ia merupakan generasi kedua suku Madura yang tinggal di RT 04 Pak Syamsudin berteman baik dengan Pak Agus. Pak Agus sebaya dengan Pak Syamsudin. Oleh karena itu ia juga merupakan generasi kedua dari suku Sunda. Pak Agus adalah sosok yang di pandang memiliki perangai sama baiknya dengan pak Syamsudin dalam hal pergaulan. Ia menghormati setiap orang baik tua maupun muda dan tidak pernah memandang rendah siapa pun. Ia di kenal suka mendengarkan pendapat dari siapa saja dan akan mengikuti pendapat itu meskipun yang berpendapat tersebut adalah orang yang lebih muda darinya atau dalam pandangan umum lebih rendah ilmunya di banding pak Agus. Pak Agus inilah yang meminta bantuan pada warga RT 04 yang di pandangnya mampu meneruskan pembangunan masjid yang terbengkalai kala itu. Orang-orang Madura yang merespon ajakan Pak Agus saat itu antara lain karena kepercayaan mereka terhadap niat baik Pak Agus, disamping karena nilai budaya suku Madura yang menganggap penting pada masjid sebagaimana telah di paparkan. Kedua orang ini karena perangai mereka yang baik, serta karena berbagai penyelesaian konflik yang mereka lakukan menjadikan mereka di hormati di antar suku Sunda dan suku Madura. orang-orang tua akan merasa tenang jika mereka berdua turun tangan dalam menyeesaikan suatu masalah dan akan mendukung kedua orang ini ketika mereka menggagas suatu kegiatan. Kepercayaan ini mereka dapatkan karena mereka mampu mengemukakan pendapat yang di anggap tepat dalam menyelesaikan berbagai konflik atau dalam hal menyempaikan apa yang memang dibutuhkan oleh warga. Dalam konsep kepemimpinan mereka berdua termasuk dalam kategori pemuka pendapat. Seluruh warga akan menyatakan setuju dengan berbagai pendapat yang mereka ajukan serta mendukung bagi terrealisasikannya pendapat tersebut. Para pemuka pendapat selanjutnya adalah Pak Marsuli. Ia adalah suku Madura yang ketika penelitian ini dilakukan Pak Marsuli sedang menjabat sebagai ketua DKM. Pak Marsuli di kenal sebagai orang kaya yang senang membantu
125
terutama pada sesama pemilik warung sembako yang lebih kecil dari toko sembako miliknya. Ia juga banyak memperkerjakan anak-anak suku Sunda yang putus sekola sambil mengajarkan kepada para pegawainya tersebut berbagai ilmu dagang yang di milikinya. Pak Marsuli di kenal sangat loyal pada semua hal yang berurusan dengan masjid. Tidak jarang Pak Marsuli menggunakan uang pribadinya demi kelancaran kegiatan masjid. Pak Marsuli berteman dengan Arif. Suku sunda yang juga masuk dalam kategori generasi kedua. Pak Arif adalah anak Pak Odih,
seorang pemuka suku Sunda. Kedua orang ini sering berdiskusi
membahas berbagai permasalahan di RT 04. Kedua orang ini pun sering melakukan diskusi dengan Pak Agus dan Pak Syamsudin sehingga keempat orang ini akhirnya dianggap para pemimpin yang di ikuti pendapatnya oleh warga RT 04 baik suku Sunda maupun suku Madura. Model pertemanan yang di ciptakan oleh generasi dua ini selanjutnya menginspirasi hampir seluruh warga untuk menjalin model pertemanan yang sama. Terutama pada generasi tiga yang membuat pola pertemanan menjadi lebih akrab dan lebih bermanfaat bahkan berkembang hingga mereka berhasil menciptakan arena interaksi bagi warga RT 04. Ketika penelitian ini di lakukan pertemanan-pertemanan antar suku si RT 04 sudah mencakup keseluruhan generasi yang di teliti, demikian juga arena interaksi telah mencakup luar dan dalam lokasi tinggal pada seluruh generasi. Pengamatan, pembelajaran dan pengalaman juga lah yang membuat generasi dua menyadari pentingnya masjid bagi suku Sunda dan suku Madura. karena kesadaran ini mereka menjadikan masjid sebagai basis berbagai kegiatan bersama yang terbukti berhasil merekatkan kedua suku tersebut. keberhasilan ini ditandai dengan dijadikannya masjid sebagai media pemersatu oleh seluruh warga RT 04. Melalui masjid generasi dua mampu mengorganisir generasi satu untuk bersatu dalam mensukseskan kegiatan-kegiatan masjid di satu sisi, serta membangun pembauran dan kerjasama yang lebih mendalam pada generasi tiga. Hal ini selanjutnya membuat seluruh generasi pada suku Sunda dan suku Madura menjadikan masjid sebagai simbol bersama bagi mereka. Selanjutnya ketika konflik-konflik berhasil di selesaikan maka terjadilah saling pengertian, penghargaan dan dukungan diantara mereka. adapun pada
126
konfli-konflik yang tidak berhasil di komunikasikan dengan baik karena menyangkut identitas yang tidak dapat di tawar sehingga tidak dapat di temuka penyelesaiannya seperti konflik slametan dan konflik kaya versus miskin, mengakibatkan upaya pengamatan, pembelajaran ataupun pencarian pengalaman menjadi tidak optimal. Hal ini mengakibatkan komunikasi menjadi tidak efektif, yaitu tidak terjadinya saling pengertian, dukungn maupun penghargaan antarbudaya. Sebagaimana telah di sebutkan, terutama pasca konflik masjid, ketika berbagai kegiatan bersama berhasil dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura, berdampak pula terciptanya arena interaksi antara suku Sunda dan suku Madura di dalam lingkungan tinggal mereka dan di luar lingkungan tinggal kedua suku. Hal ini menjadi media yang palig efektif dalam mengupayakan harmoniasasi antara suku. Arena interaksi di dalam lingkungan tinggal diprakarsai para generasi muda terutama generasi tiga. Melalui arena interaksi dalam lingkungan tinggal ini mereka berhasil menciptakan interaksi antarsuku yang positif dan tanpa konflik. hal ini di sebabkan
para anak-anak muda ini melakukan pembelajaran
antarbudaya melalui pergaulan yang lebih akrab diantara mereka, disamping juga pengamatan dan pembelajaran yang mereka lakukan pada kejadian-kejadian konflik para orang tua mereka dan berkat arahan generasi dua. Pembauran lokasi tinggal yang secara tidak sengaja terbentuk di RT 04 yang mengakibatkan terjadinya berbagai konflik diantara orang tua di satu sisi, penyelesaianpenyelesaian konflik oleh generasi dua di sisi lain, memberi kesempatan pada generasi muda untuk melakukan
proses belajar melalui pengalaman para
pendahulunya tersebut. Melalui proses ini maka di arena interaksi ini para anak muda mengembangkan identitas kesukuan masing-masing menjadi lebih fleksibel. Mereka
menyadari
bahwa
mempertentangkan
perbedaan
budaya
hanya
melahirkan kesenjangan. Mereka juga belajar bahwa ternyata perbedaan budaya dapat di kompromikan bahkan diintegrasikan untuk menciptakan keselarasan diantara mereka. inilah bentuk pengetahuan dan motivasi yang lahir dari gnerasi tiga.
127
Dari arena interaksi ini pula adaptasi antarbudaya banyak dilakukan oleh generasi ini. Para anak muda suku Madura, pengetahuan terutama dari segi bahasa, cukup berhasil mempersempit jarak diantara kedua suku ini mengingat permasalahan awal pada percampuran budaya di RT 04 adalah perbedaan bahasa beserta intonasi suku Madura yang dirasakan amat bertolak belakang dengan bahasa dan sekaligus karakteristik suku Sunda. Adapun anak-anak suku Sunda dengan menginap di rumah temannya yang bersuku Madura, mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan perihal budaya suku ini dan termotivasi menjalin keakraban dengan para orang tua suku Madura. Arena interaksi yang di ciptakan generasi ini juga berhasil menginspirasi generasi yang lebih tua untuk menciptakan arena interaksi diantara mereka. ketika penelitian ini dilakukan terdapat empat arena interaksi dalam lingkungan tinggal yang paling efektif dalam membangun keharmonisan antarbudaya. keempat arena interaksi ini mencakup arena interaksi anak muda yaitu toko material, arena interaksi para bapak yaitu pangkalan becak dan bengkel motor, dan arena interaksi berupa warung sembako. Di arena-arena interaksi ini warga melakukan pembagian peran dan tugas sosial masing-masing suku sebagai warga di RT 04. Hal ini dilakukan agar tercipta keseimbangan kedudukan antara suku Sunda dan Madura dan membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan antarsuku. Efektivitas komunikasi antarbudaya selanjutnya yang juga tercipta akibat trinspirasi para anak muda yang mengembangkan interaksi di dalam lingkungan tinggal, terjadi di arena interaksi di luar lingkungan tinggal. Arena interaksi antarsuku ini terdiri dari para pedagang kaki lima, pegawai kelurahan dan pekerja lainnya. Kebutuhan menjalin relasi perdagangan melatarbelakangi terciptanya arena interaksi ini. Arena interaksi ini dan juga berkat arena interaksi di dalam lingkungan tinggal di masa selanjutnya menjadi penyebab banyaknya kerjasama antara suku Sunda dan suku Madura terutama didalam bidang ekonomi. Kedua arena interaksi ini merupakan media yang efektif dalam membina kerukunan antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Pada kondisi inilah generasi satu dari suku Sunda dan suku Madura mulai melakukan pengamatan, pembelajaran
dan
pencarian
pengalaman
budaya.
Mereka
berhasil
128
mengembangkan pengetahuan dan motivasi dalam kondisi ini. Keadaan ini menunjukan komunikasi atarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04 lebih efektif pada arena interaksi, daripada efektivitas komunikasi yang terjadi pada pecahnya konflik yang kemudian dapat di selesaikan. Adapun pada konflik yang tidak berhasil diselesaikan efektivitasa komunikasi antarbudaya tidak terjadi. Penelitian ini juga menunjukan bahwa dari kasus-kasus yang diteliti yaitu pada kasus pembangunan masjid dan kepanitian Maulid Nabi, terlihat bahwa seiring berjalannya waktu penyebab yang sama ternyata dapat menimbulkan efek yang berbeda disetiap kenflik yang terjadi. Pada kasus masjid, terjadinya masalah yang disebabkan oleh adanya perbedaan budaya menyebabkan kemarahan yang dikaitkan pada asumsi tidak adanya penghargaan satu pada yang lainnya, sehingga hal tersebut dianggap merendahkan harga diri masing-masing suku. Hal ini mengakibatkan konflik menjadi sangat besar. Namun dimasa selanjutnya, pada kasus kepanitiaan acara maulid baik para pelaku konflik maupun
para juru
damainya menyatakan permasalahan itu terjadi hanya dikarenakan adanya perbedaan cara pada suku Sunda dan suku Madura terkait suatu masalah. Asumsi ini ternyata berdampak pula pada respon masing-masing orang terhadap kemunculan konflik, yaitu dari anggapan “sangat urgen”, “menyangkut harga diri” bahkan “penghinaan” menjadi “hanya beda cara”, dan “untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah”. Dampak konflik menjadi jauh lebih mengecil lagi berkat kesadaran yang lebih tinggi lagi yang terjadi pada generasi dua dan tiga. Perubahan persepsi ini sebagai mana pengakuan mereka adalah karena intensitas komunikasi dan musyawarah yang terus meningkat di RT 04, sehingga setiap orang menjadi lebih berpengatahuan dan termotivasi untuk lebih saling mengerti, menghargai dan mendukung pada satu sama lain. Suatu proses sosial yang menghasilkan komunikasi antar budaya yang efektif, pembinaan kesadaran antarbudaya, serta pendewasaan karakter melalui upaya-upaya bersama, untuk kepentingan bersama pula. Artinya efektivitas komunikasi antarbudaya yang terjadi antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04 RW 10 ini adalah berkat kemampuan mereka melakukan manajemen konflik yang tepat, dan dalam kurun waktu yang sangat panjang, serta dengan melibatkan seluruh generasi yang ada. Mereka melakukan manajemen konflik dengan urutan memahami penyebab
129
konflik, mengurangi persepsi kerasnya konflik, mengurangi hambatan-hambatan budaya penyebab konflik, menegosiasikan perbedaan-perbedaan budaya, hingga menemukan keselarasan-keselarasan budaya. Sebagaimana telah di jelaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi terbagi menjadi dua kekuatan yang saling tarik menarik diantara yang berakibat mempererat hubungan dengan yang merusak hubungan keharmonisan pad suku Sunda dan suku Madura. Namun hingga penelitian ini dilakukan kebersatuan antar suku masih terlihat lebih dominan dari potensi pemisahan keduanya hal ini di karenakan diantar mereka terdapat media pemersatu yaitu masjid. Pengamatan Pembelajaran pengalaman
Pengetahuan dan motivasi pasca konflik yang diselesaikan
Pengetahuan dan motivasi melalui arena interaksi didalam lokasi tinggal Pengetahuan dan motivasi melalui arena interaksi diluar lokasi tinggal
Figur Pemimpin
Kerjasama antargenerasi Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Masjid sebagai simbol bersama
130
Gambaran Budaya Suku Sunda Dari 180 kepala keluarga yang bertempat tinggal di wilayah RT 04, sebanyak 90 KK merupakan suku Sunda. Tipe suku sunda yang berada di RT 04 terdiri dari suku sunda yang terlahir di RT 04 dan sebagiannya adalah suku sunda yang datang dari kota Garut dan kota Banten, namun kedua tipe ini tetap menyatakan diri sebagai pribumi, karena mereka datang dan bertempat tinggal dilingkungan Jawa Barat atau yang sering mereka sebut sebagai Tatar Sunda atau wilayah Sunda. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda itu adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda (Ajip Rosidi 1984). Adapun ciri-ciri sifat seperti suka humor, periang, senang kepada kesenian, tidak pendendam dan semacamnya menurut Budayan Ajip Rosidi (1984) masih perlu dibuktikan secara ilmiah, dan adapun pencirian suku Sunda terhadap dirinya sendiri seperti berwatak lemah lembut, sopan, halus, berjiwa satria, sangat menenggang rasa orang lain, dan sejumlah ciri yang dianggap baik lainnya, semestinya dipandang sebagi konsep ideal suku Sunda, karena menurut Ajip, pada kenyataannya masih banyak orang Sunda yang bersifat kebalikannya, seperti malas, kasar dan kurang bertanggung jawab. Dari adat yang sekarang masih terdapat, maupun naskah-naskah kuno dan cerita cerita pantun atau bentuk sastra lisan yang lainnya, masyarakat Sunda memperlihatkan kehidupan yang cukup demokratis. Artinya meskipun memiliki sejarah kerajaan, namun tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa pernah dikenal pembagian masyarakat kedalam kasta-kasta, birokrasi feodal, ataupun keraton sebagai pusat kebudayaan. Setelah terjadi penaklukan mataran atas Tatar Sunda, bermula ketika setiap tahun harus mengirimkan upeti yang mengharuskan penggunaan undak-unduk bahasa di pedaleman (lingkungan kabupaten), maka undak-unduk pun menjadi tradisi kaum terpelajar kala itu. Sejak itulah bahasa Sunda mengikuti bahasa Jawa yaitu dibuat menjadi terbagi kepada undak-unduk kasar-sedang-lemes yang kadang-kadang ditambah lemes pisan. Adapun dalam lingkungan yang jauh dari
131
kabupaten dan keluarga bupati, seperti didaerah pedalaman Karawang, Kuningan, dan lain-lain, undak-unduk basa belum mencengkeramkan akar-akarnya. Adapun jika dilihat dari banyaknya lelucon-lelucon yang lahir dengan mempertukarkan undak-unduk basa, dimana bahasa ayang disebut kasar dipakai untuk berbicara pada orang yang dipandang tinggi derajarnya sedangkan bahasa halus digunakan untuk dirinya sendiri, maka jelas kiranya bahwa sistem ini merupakan beban yang tidak ada manfaatnya, karena fenomena modern membuktikan orang Sunda menjadi takut berbahasa Sunda karena takut salah dan membuat mereka memilih menggunakan bahasa Indosesia dalam berkomunikasi dengan orang lain baik itu sesama suku Sunda sendiri maupun dengan orang yang diluar sukunya (Ekadjati, 1987). Di sepanjang sejarahnya ternyata bahwa masyarakat Sunda selamanya merupakan masyarakat terbuka yang mudah sekali menerima pengaruh dari luar, tetapi juga kemudian menyerap pengaruh itu sedemikian rupa hingga menjadi miliknya sendiri. Dalam hal seni misalnya, disamping banyaknya ragam kesenian yang memang merupakan milik mereka sendiri, yang biasanya sebagai alat mengekspresikan diri maupun menghibur diri, banyak pula ditemukan dari bentuk kesenian yang pada mulanya menunjukan pengaruh Mataram, kemudian berkembang sesuai dengan lingkungan kebudayaan Sunda yang tidak lagi memperlihatkan pengaruh asalnya. Nampaknya tanah Sunda yang terbukti merupakan tanah tersubur di Indonesia, yang menjadikan kehidupan penduduknya cukup santai, dan karena itu berdampak pada cukup tersedianya waktu untuk berkesenian dan terus mengembangkannya, hingga dikatakan seni Sunda terutama sastranya termasuk yang mempunyai potensi berkembang yang besar. Bahkan dari khazanah kesusastraan pasundan yang kaya inilah gambaran sosok manusia Sunda berhasil ditampilkan Dalam hal keberagamaan, sejak pengislaman Banten dan Cirebon pada abad ke 15, agama Islam menjadi agama yang dipeluk oleh orang Sunda. Pengaruh agama ini dalam kehidupan masyarakat Sunda dapat dikatakan menyeluruh dan sangatlah besar, yang tercermin dari hukum adatnya meliputi hukum waris, pernikahan, sosial, ekonomi, bahkan dalam budaya pesantren, dan
132
lain sebagainya, hingga boleh dikatakan seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam (Ekadjati, 1984). Menurut Ajip (1984) pengaruh Islam yang kuat pada suku Sunda pun dapat dilihat dari kenyataan, bahwa selama lebih dari seratus tahun sejak kedatangan misi Kristen pada abad ke 19, agama ini tidak banyak berkembang di kalangan orang Sunda. Dari segi bahasa, salah satu keistimewaan bahasa Sunda adalah dalam memahami sebuah kata terkadang bergantung pada lagu dari pengucapan kalimat tersebut, dan juga kontek ketika kata itu di ucapkan. Contohnya kata “mangga” dapat berarti “iya”, dapat juga berarti tidak, atau nanti dulu, atau penolakan secara halus, bahkan ketidak pedulian. Keunikan bahasa Sunda juga, subyek seringkali tidak ditemukan dalam kalimat bahasa Sunda, namun orang yang mendengarnya akan faham siapa yang melakukan predikat dan seterusnya, apakah hal ini merupakan manifestasi dari pribadi orang Sunda yang tidak suka menonjolkan diri. (Ajip Rosyidi, dalam Ekadjati, 1984)
Suku Madura Sebanyak 71 KK yang tinggal di RT 04 adalah suku Madura. Suku ini merupakan suku pendatang terbesar dan tertua yang menempati RT 04 selain suku Batak, suku Jawa, dan suku Ambon yang juga terdapat di RT 04. Tidak seperti suku Sunda yang di gambarkan oleh Ajip Rosidi (1984) melalui kekayaan khazanah kesusastraannya, karena diakibatkan hidup di alam tandus yang mengharuskan seluruh waktu di gunakan untuk berjuang menghidupi diri, suku bangsa Madura tidak memiliki waktu banyak untuk berkesenian. Dan meskipun mereka belakangan diidentifikasi melalui peribahasa yang mereka miliki, dikarenakan suku Madura mengalami perkembangan sastra yang miskin, dengan sendirinya hal tersebut mengakibatkan ketiadaan gambaran sosok ideal suku ini. Dengan sendirinya citra umum sosok manusia Madura yang terlukiskan adalah apa yang di wariskan oleh Belanda yang diabadikan dalam surat kabar, esai dan berbagai bentuk propaganda zaman penjajahan, yang karena tidak tertarik pada alam Madura yang tandus, serta pemberontakan suku Madura yang terus
133
menerus merepotkan penguasa Belanda, dan juga diperparah oleh memanasnya politik Madura-Jawa kala itu, maka sebagai gantinya dirangkailah segala sifat negatif untuk mengklasifikasikan dan penamaan, bahwa yang disebut sebagai suku Madura adalah orang dengan tabiat kasar, rendahan dan berbeda, dalam rangka melecehkan dan mengalahkan suku Madura secara politis (Rifai, 2007) . Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut sebagai mata pencarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan resiko sehingga memunculkan keberanian mental dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri (Rifai, 2007). Suatu karakter yang oleh budayawan Emha Ainun Nadjib disebut sebagai “the most favourable people” yang watak dan kepribadiannya patut di puji dan dikagumi dengan setulus hati. Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu serta lugas dalam berkata-kata. Oleh karena itu kalau orang madura menyatakan sesuatu
maka
memang
demikian
isi
hati
dan
pikirannya,
dan
jika
mengunggkapkan suatu bentuk sikap tertentu biasanya karena memang begitulah muatan batinnya. Atau dalam bahasa yang lain sebagai sosok yang berderajat rendah, tidak berpendidikan, kasar, kikir, pemarah dan pendendam. Sebagaimana suku Sunda di Jawa Barat, Suku Madura di pulaunya juga dianggap komunitas yang sangat patuh dalam menjalankan ajaran Islam, dibandingkan suku bangsa lainnya. Ketaatan pada agama Islam yang di anutnya merupakan penjatidiri penting orang Madura, sehingga tercermin dalam pakaiannya, pola rumahnya bahkan pola pendidikannya. Jeffrey Mellefont (1994) seorang pakar dari Australian National Maritime Museum di Sidney menggambarkan sifat dinamis orang Madura sebagai berikut: “layaknya baik anak perahu maupun tukang pembuatnya, selalu beradaptasi mengikuti perkembangan tuntutan zaman, walaupun kukuh memegang tuntunan
134
pertimbangan adat tradisinya dalam menerima inovasi. Untuk itu mereka bersikap menyayangi semua mahluk dan berusaha hidup serasi dengan lingkungan dan alamnya, disamping juga memanfaatkan pemaksimuman niai dan kegunaan lingkungan tersebut. Dari segi bahasa, dikatakan bahwa bahasa Madura tidak memiliki “kemanisan” nyanyian merdu berdawai bahasa Sunda, serta “kedalaman lembab yang berbayang-bayang redup” seperti bahasa Jawa, suatu model bahasa yang mencerminkan perwatakan apa adanya, langsung dan terbuka pada pemiliknya (Huub De Jonge, dalam Rifai 2007) Demikianlah selanjutnya gambaran suku Madura yang dimasa belakangan berhasil di indentifikasi melalui peribahasanya, bahwa nilai budaya yang dikandung peribahasa Madura secara tidak langsung dapat mencerminkan sosok manusia Madura yang diidealkan suku tersebut.
135
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Bentuk komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura berupa penyelesaian konflik-konflik yang ada diantara mereka. Bentuk komunikasi antarbudaya di antara mereka juga berupa arena interaksi didalam area tinggal suku Sunda dan suku Madura yang diprakarsai anakanak muda generasi tiga dari kedua suku tersebut, dan arena interaksi diluar area tinggal mereka yang dikembangkan oleh para pedagang dan pegawai dari kedua suku. 2. Penyebab terjadinya konflik adalah perbedaan budaya berupa konteks tinggi suku Sunda dengan konteks rendah suku Madura. Hal ini mengakibatkan jenis konflik yang terjadi di lokasi penelitian adalah menyangkut isu isi, relasi dan identitas. Konflik yang menyangkut isu isi dan relasi cenderung dapat dikompromikan disebabkan terpenuhinya kepentingan kepentingan bersama berupa kepentingan hidup rukun bagi suku Sunda. Kepentingan ini terpenuhi melalui interaksi didalam lingkungan tinggal yang berbaur dan adanya arena interaksi di dalam lingkungan tinggal. Kepentingan lain yang terpenuhi adalah menjaga relasi dalam perdagangan bagi suku Madura. kepentingan ini terpenuhi berkat interaksi di area perdagangan suku Sunda dan suku Madura yang berdekatan. Sedangkan konflik menyangkut isu identitas lebih sulit di kompromikan karena terdapat
kekhawatiran dianggap menyalahi
kelompoknya menyangkut hal yang di anggap inti didalam nilai budaya masing-masing, sehingga saling bersikukuh dalam memegang nilai-nilai budaya tersebut. Peran generasi terutama generasi dua adalah pemrakarsa terjadinya manajemen konflik yang efektif dengan melibatankan generasi tiga dan generasi satu. Generasi dua menggunakan gaya manajemen konflik berupa mengkompromikan Hal ini disebabkan terbentuknya identitas budaya yang lebih fleksibel pada generasi dua, yaitu meskipun bersuku bangsa berbeda, namun karena bergaul di tempat yang sama, maka mereka mengadopsi nilai-nilai budaya di lingkungannya. Sedangkan pada generasi tiga
dengan gaya konflik mengintergrasikan, telah
136
menciptakan identitas baru yaitu sama-sama sebagai warga RT 04 RW 10. Hal ini membedakan generasi dua dan generasi tiga dari cara generasi satu yang menyatakan identitas kesukuannya secara kaku dan mutlak. Generasi satu bergaya konflik menghindar. 3. Efektivitas komunikasi antarbudaya antar suku Sunda dan suku Madura terjadi ketika konflik-konflik diatara mereka dapat diselesaikan. Adapun konflik-konflik yang tidak berhasil diselesaikan mengakibatkan efektivitas komunikasi antarbudaya tidak terjadi. Efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura juga terjadi berkat adanya arena interaksi yang ada di dalam dan di luar lingkungan tinggal mereka. Adapun efektivitas komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura yang terjadi di arena interaksi lebih besar pengaruhnya pada lahirnya pengertian, penghargaan dan dukungan yang terjadi pada kedua suku daripada efektivitas komunikasi yang dihasilkan pasca konflik. Saran 1. Perlunya membangun
identitas bersama yang lebih fleksibel dengan
menggali potensi dan kreativitas pembauran antarbudaya pada generasi muda 2. Perlunya menemukan media-media pemersatu antar suku yang hidup berdampingan yang berfungsi menjaga keharmonisan dan juga dapat digunakan sebagai alat peredam konflik ketika terjadi lagi ketegangan antar suku 3. Penelitian tentang sebab terjadinya konflik-konflik yang mempersatukan dan konflik-konflik yang memisahkan perlu dilakukan lebih lanjut untuk melihat dampaknya pada efektivitas komunikasi antarbudaya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkn di Bogor, 22 Desember. Penulis adalah anak ke 6 pasangan bapak H. Siddiq dan ibu Hj. Misbah. Pendidikan SD penulis tempuh di Bogor, sedangkan SMP, dan SMA penulis tempuh di kota Pasurun- Jawa Timur. Pendidikan Sarjana ditempuh di universitas Ibn Khaldun Bogor. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasajana IPB Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP). Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang berjudul Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kota Bogor) dibawah bimbingan Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA.
137
DAFTAR PUSTAKA . Asy‟ari, Suaidi. 2003. Konflik Kumunal di Indonesia Saat ini. Leiden, Jakarta Bahari,Yohanes. 2005. Konflik Sambas dan Kekerasan budaya. Universitas Indonesia. Jakarta. Devito, Joseph, A. 1998. Komunikasi Antar Manusia. edisi kelima. Alih bahasa: Agus Maulana. Profesional Book. Jakarta Editor Cornell University. 1990. Measurement and Application. Guilford. New York.
Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln (1998). The Landscape of Qualitative Research: Theory and Issues, Thousand Oak. London, new delhi, Sage Publication Effendy OU. 2006. Ilmu komunikasi: teori dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya Ekadjati, Edi S. 1987. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka. Gudykunst,
et
al.
1991.
Handbook
of
International
&
Intercultural
Communication. Sage Publications. London Hartati, Sri. 2009. Pengaruh Komunikasi Antarbudaya Dan Harmonisasi Kerja Di PT Sumber Tani Agung Medan. Universitas Indonesia. Jakarta Herwening, Eko. 2003. Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus di Kelorahan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi). Tesis IPB Bogor Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian Politik (Pengantar Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS. Ibrahim, Syarif. 2003. Konflik etnis: suatu tinjauan sosiologi antropologi Indonesia.
Universitas Indonesia. Jakarta.
138
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Liliwer, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta. Muhammad A. 2009. Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyana D. 2008. Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana dan Rakhmat (Ed). 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya Rakhmat. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem sosial Budaya Indonesia. Galia Indonesia. Bogor. Rahman, Taufiqur. 2007. Identitas Budaya Madura. STAIN-Pamekasan Rahardjo,
Tornomo. 2007 Menghadapi Perbedaan Kultural.
Jakarta: Salemba
Humanika Rifa‟i. Mien. A. 2007. Manusia Madura. Nuansa Aksara. Yogyakarta. Rosidi, Ajip. 1984. Manusia Sunda.Inti Idayu Press. Jakarta. Samovar, et al. 2010. Komunikasi Lintas Budaya Jakarta: Salemba Humanika Sikwan,
Agus.
2003.
Model
Program
Pemberdayaan
Dalam
Rangka
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Empowerment Program Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from sambas In Pontianak, West Kalimantan). Universitas Sumatra Utara. Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif ; Suatu Pengenalan. Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Bogor. Suryabrata, Sumadi. 1997 Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Press.
139
Soekanto, Soerjono 1990. Sosiologi, Suatu pengantar. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Ting-Toomey, Stella. 1998. Communicating Across Cultures. New York London Upe, Ambon. 2010. Asas-Asas Multiple Researches. Tiara Wacana. Vardiansyah D. 2004. Pengantar ilmu komunikasi: pendekatan taksonomi konseptual. Bogor: Ghalia. Varshney, Ashutosh 2002. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil, Pengalaman India. Yale university Wuysang, Anandar. 2003. Kebudayaan dan Atribut Negatif Studi Kasus Sampit Kalimantan Tengah. Universitas Sumatra Utara. Widiyanto. 2009. Strategi nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing. Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec. Bulu Kab. Temanggung Jateng. Tesis Master SPS-IPB. Bogor. Wijono, Hendro. 2008. Konflik dan Beragam Penyebab Konflik. ISAI (Institut Studi Arus Informasi) West R dan Turner LH. 2009. Pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi. Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika. Zamzami, Amiruddin. 2010. Efektivitas Komunikasi antarbudaya. Warta Litkayasa.