x
PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SUKU SUNDA DENGAN NON-SUNDA TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI
LINGGA DETIA ANANDA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015
Lingga Detia Ananda NIM I34110114
iii
ABSTRAK LINGGA DETIA ANANDA. Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO. Keberagaman budaya di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Secara umum, dampak positifnya yakni menjadi suatu kekayaan bangsa yang dapat menjadi modal untuk mempersatukan bangsa. Di sisi lain, dampak negatif yang dapat timbul adalah jika keberagaman budaya ini tidak dapat terintegrasi dan terorganisir dengan baik, akan memunculkan kesalahpahaman yang akhirnya dapat memicu konflik yang menyebabkan perpecahan bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis efektivitas komunikasi, 2) menganalisis hambatan komunikasi antarbudaya suku Sunda dan non-Sunda yang terjadi, 3) menganalisis pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya suku Sunda dan nonSunda terhadap efektivitas komunikasi. Lokasi penelitian terletak di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi dengan pertimbangan banyaknya penduduk pendatang dengan suku yang beragam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei jenis explanatory (penjelasan), dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang diberikan kepada responden, dan didukung oleh data kualitatif yang didapatkan melalui wawancara mendalam kepada informan. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan jumlah 40 pasang pertemanan berbeda budaya. Analisis statistik yang digunakan adalah uji regresi linier berganda yang bertujuan melihat bagaimana pengaruh antara dua variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan pada hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi. Hambatan komunikasi antarbudaya yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap efektivitas komunikasi secara berurutan yakni hambatan psikobudaya, hambatan budaya dan hambatan lingkungan. Kata kunci: budaya, efektivitas komunikasi, hambatan komunikasi antarbudaya
x
ABSTRACT LINGGA DETIA ANANDA. The influence of intercultural communication barriers between Sundanese and non-Sundanese on communication effectiveness. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO. Cultural diversity in Indonesia has positive and negative impacts. Generally, the positive impact is becoming a nation's wealth that could be a capital to unite the nation. In the other hand, the negative impact which occurred if this cultural diversity can not be integrated and well-organized so it will make misinterpret which is ultimately can lead to conflict and discord nation. This study aims to 1) analyze the communication effectiveness, 2) analyze intercultural communication barriers which occurred between Sundanese and non-Sundanese, 3) analyze the influence of intercultural communication barriers on the communication effectiveness between Sundanese and non-Sundanese. The research is located in Tanjungbaru village, Cikarang Timur district, Bekasi Regency considering the number of migrants with diverse ethnics. The methodology of this research was survey research method (explanatory), with the questionnaire as a research instrument was given to the respondents, and supported by qualitative data that obtained through in-depth interviews to the informants. The sampling technique that used was simple random sampling with 40 pairs of friends that have different cultures. The statistical analysis in this research was multiple linear regression test that aimed to see how the influences between the two variables. The result showed that there is a significant influence in intercultural communication barriers on communication effectiveness. The most significant influence on the effectiveness communication of the sequential is psychocultural barriers, cultural barriers and environmental barriers. Keywords: barriers in intercultural communication, communication effectiveness, culture
ivi
PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SUKU SUNDA DENGAN NON-SUNDA TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI
LINGGA DETIA ANANDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
x
Judul Skripsi : Nama NIM
: :
Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi Lingga Detia Ananda I34110114
Disetujui oleh
Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak saran serta masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Kepada orangtua tercinta Ibu Sri Wahyuni atas semangat, masukan, bantuan, dan doa yang tiada hentinya, kepada Bapak Andrianto Wijiasmoro yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tara, Kak Habibi, Kak Aliyyan, Kak Amri, Indah, Riri yang telah membantu dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini. Kepada seluruh teman-teman akselerasi SKPM 48, teman-teman SKPM 48, sahabat Amel, Novia, Pingkan, Dhira, Wenny, Ami, Hafid, Kiki, Cynda, Gina, Silpa, Mirfa, Anita, teman sebimbingan yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang positif kepada penulis. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak Desa Tanjungbaru, responden dan informan yang telah bekerja sama dalam penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2015
Lingga Detia Ananda
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
5 5
Kerangka Pemikiran Penelitian
25
Hipotesis
27
Definisi Operasional
27
PENDEKATAN LAPANGAN
33
Metode Penelitian
33
Lokasi dan Waktu Penelitian
33
Teknik Penarikan Sampel dan Informan
33
Teknik Pengumpulan Data
34
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
34
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
37
Kondisi Geografis
37
Kondisi Demografis
37
Sejarah Masuknya Pendatang
41
ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DAN HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
45
Efektivitas Komunikasi
45
Hambatan Komunikasi Antarbudaya
50
ANALISIS PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI
61
Pengaruh Hambatan Budaya terhadap Efektivitas Komunikasi
63
Pengaruh Hambatan Sosioudaya terhadap Efektivitas Komunikasi
65
Pengaruh Hambatan Psikobudaya terhadap Efektivitas Komunikasi
66
Pengaruh Hambatan Lingkungan terhadap Efektivitas Komunikasi
67
viiii
Hambatan Budaya, Sosiobudaya, Psikobudaya, dan Lingkungan secara Bersamaan Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi PENUTUP
69 71
Simpulan
71
Saran
72
DAFTAR PUSTAKA
73
LAMPIRAN
77
RIWAYAT HIDUP
87
x
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
7
8
Sebaran jumlah penduduk Desa Tanjungbaru menurut wilayah dan jenis kelamin, Tahun 2013-2014 Persentase penduduk menurut etnis di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014
38 38
Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014
39
Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014
40
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014
40
Sebaran nilai rata-rata, skor total minimal, skor total maksimal, dan persentase variabel pengaruh (hambatan budaya, psikobudaya, lingkungan) terhadap variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi)
45
Nilai signifikansi, nilai koefisien dan arah pengaruh variabel pengaruh terhadap variabel terpengaruh berdasarkan hasil uji statistik analisis regresi linier berganda Nilai koefisien, nilai signifikansi, dan arah pengaruh berdasarkan hasil uji statistik variabel pengaruh (individualistik, stereotype, etnosetrisme, prasangka, lingkungan fisik, situasi, situasional norms and rules, dan lingkungan psikologi) terhadap variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi)
61
69
DAFTAR GAMBAR 1
Model Communication with Stranger Gudykunst dan Kim
2
Kerangka Pemikiran Penelitian
7 27
DAFTAR LAMPIRAN 1
Peta Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat
77
2
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014-2015
78
3
Kerangka Sampling Penelitian
79
4
Hasil Uji Statistik Dokumentasi
81
5
83
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia yang saat ini berpenduduk 238 juta, memiliki masyarakat dengan keanekaragaman budaya yang sangat majemuk. Menurut Darmastuti (2013) ciri yang menandakan kemajemukan tersebut adalah adanya keberagaman budaya yang tercermin dari perbedaan adat istiadat, bahasa, suku, etnik (bangsa), keyakinan agama, dan lain-lain. Keberagaman budaya ini memiliki dampak positif dan negatif. Secara umum, dampak positifnya yakni keragaman budaya merupakan suatu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang sangat bernilai, dan dapat menjadi modal untuk memajukan serta mempersatukan bangsa, jika dapat terintegrasi dan terorganisir dengan baik. Dampak negatifnya, keberagaman budaya dapat memicu konflik dan terjadi perpecahan bangsa. Contoh kasus konflik di Sampit yaitu konflik antara suku Madura dan Dayak pada Tahun 2001. Kasus ini berawal dari pembunuhan empat anggota keluarga Madura oleh Dayak, karena terjadi kesalahpahaman akibat perbedaan latar belakang budaya. Oleh karena itu, mempelajari budaya masyarakat lain dan belajar berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda budaya menjadi suatu kebutuhan dalam proses komunikasi. Keberagaman budaya memiliki implikasi terhadap proses komunikasi. Jika dilihat dari aspek komunikasi, eberagaman budaya memiliki keuntungan dan tantangan. Keuntungannya yakni dapat menjadi sarana dalam proses peningkatan wawasan dan cara pandang seseorang di luar budaya dan lingkungannya. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi adalah perlunya upaya lebih untuk melakukan komunikasi antarbudaya, karena kadang-kadang makna pesan yang diterima oleh komunikan tidak sesuai atau tidak sama dengan makna pesan yang dikirim oleh komunikator yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Perbedaan makna pesan menyebabkan kesalahpahaman karena adanya perbedaan cara pandang, bahasa, norma, kebiasaan, persepsi dari masing-masing budaya yang dimiliki. Hasil penelitian Sanjaya (2013) menyatakan bahwa kesalahpahaman yang terjadi karena perbedaan kebiasaan, ketika orang Korea Selatan mengajak orang Indonesia untuk meminum kopi dengan maksud sebagai bentuk pertemanan, orang Indonesia tersebut justru membuatkan secangkir kopi untuk orang Korea Selatan itu. Kesalahpahaman terjadi ketika orang Korea Selatan ingin mengajaknya pergi keluar untuk meminum kopi sambil berbincang-bincang sebagai bentuk pendekatan pertemanan, namun dimaknai oleh orang Indonesia bahwa orang Korea Selatan ingin disajikan secangkir kopi. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan kebiasaan pada budaya masing-masing, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta mencapai keberhasilan komunikasi antara komunikator dan komunikan, dibutuhkan komunikasi yang efektif di dalamnya. Hal serupa terjadi di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari penduduk setempat, komposisi etnik di desa tersebut cukup beragam karena banyak penduduk pendatang dari berbagai daerah dengan etnik masing-masing, seperti etnik Batak, Jawa, Minangkabau, Betawi dan Madura yang ingin bekerja di pabrik
2 industri yang berada di Kecamatan Cikarang Timur. Dari sini lah [roses komunikasi antarbudaya suku Sunda yang merupakan pribumi dan suku nonSunda yang merupakan pendatang terjalin. Penulis mendapat informasi dari salah seorang warga yang menyatakan bahwa di Desa Tanjungbaru kadang-kadang terjadi kesalahpahaman dalam proses komunikasi mereka sehari-hari. Contohnya adalah ketika mereka menggunakan bahasa daerahnya, padahal sedang berbicara dengan pasangan temannya yang berbeda budaya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hambatan komunikasi antarbudaya (Sanjaya 2013, Christy 2013, Iswari dan Pawito 2012, Aksan 2009, Juariyah 2014, Wijaya 2013, Lubis 2012), ditemukan hambatan komunikasi antarbudaya yang beragam dan tidak diklasifikasikan (hambatan fisik, budaya, kebiasaan, motivasi, pengalaman, emosi, bahasa, nonverbal, kompetisi fikiran, low-high konteks, perbedaan nilai, sikap, kompetensi vebal, penggunaan bahasa, logat, stereotype, keterasingan dan ketidakpastian) seperti yang dinyatakan oleh Gudykunst dan Kim (1997). Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan terdapat empat filter konseptual yang dapat mempengaruhi proses komunikasi dengan orang lain dan dikategorikan ke dalam: Pertama, faktor-faktor budaya (cultural influences on the process) yang menjelaskan mengenai kemiripan dan perbedaan suatu budaya dengan budaya lainnya; Kedua, faktor-faktor sosiobudaya (sosiocultural influences on the process) yaitu merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada proses penataan sosial, dan berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu; Ketiga, faktor-faktor psikobudaya (psychocultural influences on the process) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi proses penataan pribadi; Keempat, faktor-faktor lingkungan (environmental influences on the process) faktor-faktor yang berasal dari lingkungan yang dapat mempengaruhi persepsi, emosi, sikap, tingkah laku, dan perasaan kita. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bermaksud untuk melihat pengaruh hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya berdasarkan dari temuan dan konsep yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Kim (1997) mengenai faktor yang mempengaruhi proses komunikasi, penulis mengasumsikan faktor tersebut sebagai suatu hambatan yang terjadi pada proses komunikasi. Diperlukan suatu komunikasi yang efektif untuk mengatasi hambatan tersebut. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif bertujuan untuk meminimalisasi kesalahpahaman yang ditandai dengan lahirnya kesamaan makna pesan atas pesan yang telah disampaikan oleh komunikator dan yang diterima oleh komunikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
3 Perumusan Masalah Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas komunikasi yang terjadi? 2. Apa saja hambatan komunikasi yang terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya? 3. Bagaimana pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis efektivitas komunikasi antarbudaya yang terjadi 2. Menganalisis hambatan komunikasi yang terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya 3. Menganalisis pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademisi, pemerintah dan masyarakat pada umumya mengenai kajian hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut: 1. Bagi akademisi Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai ilmu komunikasi khususnya mengenai hambatan komunikasi dan pengaruhnya terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya, serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para akademisi yang ingin meneliti lebih mendalam dan spesifik terkait hambatan komunikasi pada komunikasi antarbudaya 2. Bagi masyarakat Bagi masyarakat khususnya pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai hambatan komunikasi yang terjadi pada komunikasi antarbudaya agar dapat bersikap mindful (sadar siapa teman bicaranya) untuk mencapai efektivitas komunikasi antarbudaya serta keharmonisan mayarakat berbeda budaya
4
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya menjadi sesuatu yang penting mengingat beragamnya budaya yang terdapat di Indonesia. Mulyana (2008) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, oleh karena itu perlu mengetahui pengertian dari kata “komunikasi” dan “budaya”. Menurut Sihabudin (2013) komunikasi merupakan proses dinamik transaksional yang mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya dengan sengaja menyadari perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran guna merangsang atau memperoleh sikap atau perilaku tertentu. Martin dan Nakayama (2014) mengatakan komunikasi adalah sebuah proses simbolik dimana makna atau arti pesan dibagikan dan dinegosiasikan. Dengan kata lain, komunikasi terjadi setiap kali seseorang mengartikan kata-kata atau tindakan orang lain. Menurut Sihabudin (2013), budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Gudykunst dan Kim (1997) mengatakan budaya adalah sebuah bentuk yang menunjukkan bahwa terdapat banyak perbedaan hal pada orang yang berbeda. Devito (2009) mengungkapkan budaya ditularkan dari satu generasi ke generasi lain melalui enkulturasi, yaitu proses dimana seseorang belajar budaya di tempat seseorang tersebut dilahirkan. Unsur-unsur budaya terdiri dari nilai, kepercayaan, dan bahasa yang dapat membentuk perilaku individu dalam cara seseorang berkomunikasi dengan budaya lain. Nilai merupakan suatu konsep yang sangat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu dalam memandang dunia ini. Kepercayaan dipahami sebagai suatu konsep yang dimiliki setiap individu tentang bagaimana mereka melihat kondisi sekelilingnya. Bahasa dipahami sebagai satu unsur penting yang sangat diperlukan untuk berkomunikasi di antara anggota-anggota masyarakat tempat budaya itu berada. Budaya yang dimiliki masing-masing individu yang berbeda etnik akan mempengaruhi bagaimana kelompok atau individu itu menyampaikan simbol atau lambang yang berisi pesan ketika mereka melakukan interaksi sosial di dalam kelompok itu dengan masyarakat sekitarnya (Darmastuti 2013). Gudykunst dan Kim (1997) mengungkapkan komunikasi antarbudaya adalah proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Sihabudin (2013) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan merupakan anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain. Devito (2009) mengatakan komunikasi antarbudaya merujuk kepada komunikasi antara orang-orang yang memiliki perbedaan budaya, kepercayaan, nilai dan cara berperilaku). Tubbs dan Moss (2008) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
6 budaya. Darmastuti (2013) mengungkapkan komunikasi antarbudaya merupakan proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu. Terdapat empat tujuan komunikasi antarbudaya, yaitu 1) komunikasi antarbudaya digunakan untuk memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi antara individu yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, 2) agar dapat terjalinnya komunikasi antara orang yang berbeda budaya, 3) mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang muncul dalam komunikasi antara orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, 3) membantu mengatasi masalah komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Darmastuti (2013) mengemukakan beberapa asumsi yang mendasari komunikasi antarbudaya antara lain, sebagai makhluk sosial setiap individu akan berkomunikasi dengan individu lainnya. Latar belakang budaya yang dimiliki setiap individu akan mempengaruhi individu tersebut dalam berkomunikasi. Perbedaan latar belakang budaya ini akan mempengaruhi perbedaan antara komunikator dan komunikan. Perbedaan latar belakang budaya juga akan menimbulkan ketidakpastian dalam proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan, sehingga pemahaman terhadap budaya lain menjadi satu hal yang penting dalam membangun komunikasi yang efektif. Memahami budaya masyarakat lain merupakan satu hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi yang efektif, hal ini yang menjadikan komunikasi antarbudaya memiliki fungsi yang penting. Menurut Darmastuti (2013), fungsi komunikasi antarbudaya ada dua. Fungsi pertama adalah fungsi pribadi yang didapatkan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Fungsi tersebut digunakan untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah pengetahuan, dan melepaskan diri sebagai jalan keluar. Fungsi kedua adalah sebagai fungsi sosial yang didapatkan oleh seseorang sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi tersebut digunakan sebagai fungsi pengawasan, menjembatani perbedaan budaya, sosialisasi nilai, dan fungsi menghibur. Hal yang serupa dijelaskan oleh Pakpahan (2013) dalam penelitiannya terkait komunikasi antarbudaya pasangan suami istri berbeda suku, yakni terdapat tiga fungsi komunikasi antarbudaya, dan masing-masing fungsi ini terjadi pada keempat pasangan tersebut. Fungsi pertama, untuk menyatakan identitas sosial yang dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal, dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri, maupun sosial. Fungsi ini sangat membantu proses pernikahan adat yang akan mereka lakukan. Contohnya karakteristik suku Batak yang cenderung low context menjadi patokan pasangan berbeda etnis untuk berbicara dan bertingkah laku terhadap pasangannya, sehingga mengetahui bagaimana cara berkomunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Hambatan komunikasi antarbudaya Proses komunikasi antarbudaya tidak akan berjalan mulus karena terdapat hambatan-hambatan di dalamnya. Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budaya kerap menjadi hambatan dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan, yang dapat menjadi pemicu munculnya konflik antarbudaya.
7 Chaney dan Martin seperti dikutip oleh Sanjaya (2013) mengungkapkan bahwa hambatan komunikasi adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif karena adanya perbedaan budaya antara komunikator dan komunikan. Menurut Anugrah dan Kresnowati (2008), hambatan komunikasi adalah hal-hal yang menyebabkan terdistorsinya pesan yang disampaikan sehingga komunikan tidak dapat menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator secara utuh. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astagini (2009), hambatan komunikasi yang terjadi pada anggota yang memiliki perbedaan latar belakang budaya di suatu lingkungan interaksi yang sama, dapat menyebabkan perbedaan persepsi satu sama lain. Perbedaan persepsi inilah yang mengakibatkan munculnya beberapa faktor yang menghambat terjadinya proses komunikasi yang efektif. Merujuk pada buku Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication yang ditulis oleh Gudykunst dan Kim (1997), penyandian pesan dan penyandian balik pesan merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan ke dalam faktor-faktor budaya (cultural influences on the process), sosiobudaya (sosiocultural influences on the process), psikobudaya (psychocultural influences on the process) dan faktor lingkungan (environtmental influences on the process). Environmental Influences
Person B
Person A Cultural T Sociocultural Psychocultural
Message/Feedback
I
Cultural Sociocultural I Psychocultural
z Influence Influence
Message/Feedback
Influence Influence Influence
Influence
Environmental Influences T = Transmitting; I = Interpreting
Gambar 1 Model Communication with stranger Gudykunst dan Kim Pada Gambar 1 terlihat bahwa lingkaran pusat yang terdiri dari interaksi antara proses transmisi dan interpretasi pesan dikelilingi oleh tiga lingkaran lain yang terdiri dari cultural, sociocultural, dan psychocultural influences. Garis putus-putus mengindikasi bahwa satu elemen tersebut dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh elemen lain. Pada Gambar 1, kedudukan sender/decoder dengan receiver/decoder adalah sama. Individu A dan individu B dapat berperan sebagai pengirim sekaligus penerima pesan. Pesan dari individu A dapat menjadi umpan
8 balik bagi individu B, dan sebaliknya pesan dari individu B dapat pula menjadi umpan balik bagi individu A. Dalam penyampaian pesan, terdapat faktor berupa filter-filter konseptual yang dapat mempengaruhi komunikan dalam menginterpretasikan pesan dari komunikator. Pengaruh lingkungan yang digambarkan dengan kotak yang mengelilingi seluruh elemen model juga menjadi salah satu unsur yang melengkapi model tersebut, garis putus-putus menggambarkan bahwa lingkungan yang dimaksud ketika terjadinya proses komunikasi bukanlah lingkungan yang tertutup atau terisolasi, melainkan dalam lingkungan sosial. Hal tersebut berarti keadaan lingkungan dapat mempengaruhi partisipan komunikasi dalam menyandi dan menyandi balik pesan, seperti lokasi geografis, iklim, situasi arsitektual (lingkungan fisik). Di samping itu, persepsi partisipan komunikasi atas lingkungan tersebut mempengaruhi cara penafsiran dan prediksi mengenai perilaku orang lain, yang dipengaruhi oleh empat faktor konseptual. Faktor yang yang diasumsikan sebagai suatu hambatan yang mempengaruhi proses komunikasi tersebut diuraikan sebagai berikut: 1.
Hambatan budaya (cultural) Terdapat dua pendekatan dalam menilai proses budaya. Pertama yaitu memahami perilaku orang dalam suatu budaya dari sudut pandang mereka. Kedua adalah dengan membandingkan satu budaya dengan yang lain. Persamaan dan perbedaan dapat dijelaskan dan diprediksi secara teoritis melalui penggunaan dimensi variabilitas budaya (misalnya, individualistitikkolektivistik). Dimensi budaya variabilitas yang memungkinkan untuk memahami mengapa pola komunikasi sama atau berbeda di seluruh budaya. Menurut Gudykunst dan Kim (1997), hambatan budaya dalam proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat dijelaskan dengan menggunakan dimensi individualistik-kolektivistik. Individualistik-kolektivistik merupakan dimensi utama dari beragam budaya yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan antar budaya dan persamaan berkomunikasi antar budaya. Akan tetapi pada dasarnya, seorang individu tidak akan pernah dapat 100 persen digolongkan dalam orang yang memiliki karakteristik individual ataupun kolektif, namun kedua sifat tersebut tidak akan pernah terpisah. Seorang individu selalu akan berada di antara keduanya. Terkadang akan muncul sisi individualnya yang tinggi, dan terkadang pula sisi kolektivitasnya yang tinggi akan muncul juga. Menurut Mulyana (2008), seorang individualis cenderung lebih mandiri daripada seorang kolektivis, walaupun sebenarnya sifat kemandirian ini tidak selalu menguntungkan dalam setiap situasi. Individualistik adalah suatu sikap seorang individu yang cenderung hanya melihat dan mendahului kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka saja. Budaya-budaya individualis menekankan hak pribadi, kebebasan, inovasi, dan ekspresi diri. Kolektivistik adalah kesadaran seorang individu yang merasa bahwa dirinya merupakan anggota bagian dari suatu kelompok, dan kelompok tersebut akan melihat dirinya untuk suatu loyalitas. Orang yang berada di sini tidak akan bertindak atau berperilaku di luar kebiasaan kelompoknya. Mereka cenderung akan melakukan sesuatu untuk kelompoknya, sehingga mereka memandang aktivitas kelompoknya sebagai suatu harmoni dan kerjasama di antara kelompok, lebih diutamakan dari fungsi dan tanggung jawab individu.
9 Titik berat orang-orang kolektivistik ini berada dalam kelompok. Seorang individu yang cenderung memiliki karakteristik kolektivistik akan lebih tertarik pada tradisi yaitu nilai-nilai yang sudah seharusnya dan biasanya terjadi, conformity (masa tenang dan aman), benevolence (berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan), serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau meninggalkan zona aman. Dalam hal berkomunikasi, orang-orang kolektif biasanya tidak langsung dalam mengungkapkan pendapatnya (masih banyak basa-basi), ambigu, tidak dinyatakan secara langsung seperti individualistik (cenderung tersirat), menggunakan banyak simbol, dan dengan pembicaraan mereka lebih menangkap tetapi dengan penolakan dia lebih sensitif. Kebanyakan orangorang kolektif akan menganggap orang atau grup lain berbeda dengan kelompoknya (Mulyana 2008). Individualistik-kolektivistik diharapkan dapat berpengaruh dalam berkomunikasi melalui pengaruhnya dalam identitas kelompok dan perbedaan antara kelompok inti dengan kelompok luar. Budaya cenderung lebih mengutamakan individual atau kolektif, baik individual maupun kolektif ada di tiap-tiap budaya, untuk menjelaskan mengenai konsep individualistik dan kolektivistik, dapat dilakukan dengan membandingkan nilai-nilai yang mendominasi budaya individualistik pada orang-orang Amerika Serikat dan budaya kolektivistik pada budaya Arab. Menurut Vander Zanden seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997), perilaku orang-orang Amerika Serikat, antara lain materialisme, sukses, kerja dan beraktivitas, kemajuan, rasionalitas, demokrasi, dan humanis. Berbeda dengan budaya individualistik, pada budaya kolektivistik pada orang-orang Arab cenderung bersikap ramah, murah hati, berani, menghormati, dan menjaga kehormatan diri. Terdapat beberapa faktor individual yang mempengaruhi budaya individualistik-kolektivistik pada proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya antara lain orientasi pribadi, nilainilai individu, dan self construal. Pertama adalah orientasi pribadi, efek budaya komunikasi individualistik-kolektivistik dipengaruhi oleh kepribadian. Kedua yakni nilai-nilai individu, menurut Schwartz seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997) terdapat 11 hal mengenai nilai-nilai motivasi yang mempengaruhi budaya individualistik-kolektivistik yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu nilai yang mempengaruhi perilaku individualistik (hedonisme, prestasi, self direction, kekuatan sosial, dan stimulasi) dan nilai yang mempengaruhi perilaku kolektivistik (prososial, konformitas, kesejahteraan, dan tradisi). Selain orientasi pribadi, Gudykunst dan Kim (1997) juga memaparkan bahwa self construal merupakan cara individu memandang diri mereka sendiri dalam hubungan/relasi dengan orang lain. Self construal memiliki dua konsep yang berbeda yaitu independent self construal dan interdependent self construal. Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari orang lain. Perilaku independent self construal dicirikan dengan selalu berfokus pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan independen. Tujuan utama
10 adalah tujuan diri sendiri. Perilaku ini cenderung terjadi di budaya individualistik seperti di negara-negara bagian Barat, seperti Amerika dan Eropa. Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri sendiri ditempatkan setelah relasi. Perilaku ini cenderung terjadi pada budaya kolektivistik seperti di negara-negara di Asia. 2.
Hambatan Sosiobudaya Hambatan sosiobudaya dapat berpengaruh pada proses penataan sosial, dan berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu yang dapat dilihat dari keanggotaan dalam kelompok sosial (membership dan reference group, ingroup dan outgroup), identitas sosial (identitas etnik, asimilasi dan pluralisme, perilaku identitas etnik, simbol etnik, bahasa identitas etnik, label etnik), dan role relationship. Contohnya yakni jika menjadi ketua dalam suatu organisasi, tentunya konsep diri dan ekspektasi diri menjadi sangat tinggi. Melakukan proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya akan dipengaruhi oleh budaya dari keanggotaan seseorang dalam kelompok budayanya. Keanggotaan seseorang dalam kelompok sosial dapat dilihat dari membership dan reference group. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa seorang individu merupakan anggota dari banyak kelompok yang berbeda, seperti keluarga, kelas sosial, kelompok ras, kelompok etnik, jenis kelamin, kelompok kerja dan bangsa. Individu dapat dikatakan anggota dari membership group ketika individu tersebut menyadari bahwa mereka memiliki sebuah kelompok sosial dan mendapatkan penghargaan positif dari keanggotaannya dalam kelompok tersebut, termasuk afeksi dan pertemanan. Contohnya salah satu membership group terbesar adalah bangsa. Hal ini berbeda dengan reference group yang berarti kelompok sosial yang menjadi acuan bagi individu (bukan merupakan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Semakin dekat dan tepat nilai-nilai yang ada pada suatu kelompok tersebut, semakin besar kemungkinan seseorang akan melihat kelompok tersebut sebagai kelompok referensi (reference group). Ingroup adalah kelompok yang terdiri dari individu-individu yang saling mementingkan kesejahteraan bersama, dengan siapa dia bersedia bekerjasama tanpa pamrih, dan memisahkan dari siapapun yang dapat membuat ketidaknyamanan bahkan menyakiti. Sebaliknya outgroup adalah kelompok yang terdiri dari sekelompok orang yang tidak saling peduli dan membutuhkan imbalan adil dalam rangka bekerja sama, dan cenderung untuk membedakan dirinya sebagai suatu ingroup dan outgroup dari kelompok tertentu. Dalam ingroup, anggota kelompok cenderung memiliki harapan dan pemikiran yang sama, membela ingroupnya, tidak terlalu memiliki kecemasan dalam berinteraksi dengan ingroup dibandingkan outgroup, dan
11 anggota kelompok memiliki prediksi akurat mengenai perilaku ingroup dibandingkan outgroup. Selain keanggotaan seseorang yang dilihat dari membership dan reference group serta ingroup dan outgroup, secara umum semua orang merupakan anggota kelompok mayoritas dan minoritas. Schafaer seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997) membagi lima karakteristik dari keanggotaan kelompok minoritas. Pertama anggota kelompok minoritas diperlakukan berbeda oleh kelompok mayoritas yang juga memperlakukan kelompok mayoritas lain. Kedua, kelompok minoritas memiliki karakteristik fisik dan budaya sendiri yang menonjol membedakan mereka dengan kelompok mayoritas. Ketiga, karena mereka menonjol, keanggotaan di dalamnya tidak dalam keadaan suka rela. Keempat, anggota kelompok minoritas cenderung berasosiasi dan menikah dengan anggota lain kelompok minoritas itu pula. Kelima, anggota minoritas menyadari bahwa mereka merupakan kelompok subordinat yang membuat mereka semakin kuat dan solid. Contohnya kelompok ras dan kelompok etnik. kelompok ras memiliki ciri atau tanda yang paling telihat dan permanen. Perbedaannya, kelompok etnik memiliki karakteristik bahasa, agama, budaya, maupun bangsa yang khas. Menyubstitusi istilah kelompok etnik untuk kelompok ras akan membantu menghindari konotasi negatif yang terkait dengan istilah rasial. Hal terpenting dari konsep diri yang mempengaruhi seseorang adalah berkomunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya adalah identitas sosial. Samovar et al. (2010) menyatakan bahwa identitas sosial merupakan perwakilan dari kelompok ketika seseorang tergabung dalam suatu kelompok tertentu seperti ras, etnisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman dan lain-lain. Identitas sosial yang dapat mempengaruhi komunikasi seseorang dengan orang lain yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat dilihat dari identitas budaya, identitas etnik, gender, ketidakmampuan, kelompok umur, kelas sosial, dan peran sosial. Pertama yakni identitas budaya, Darmastuti (2013) mengatakan bahwa identitas budaya adalah pemahaman tentang sesuatu yang identik maupun gambaran yang terkait dengan budaya. Identitas budaya yang terbentuk dalam kehidupan suatu masyarakat akan mempengaruhi persepsi diri setiap anggota dalam masyarakat. Bagaimana mereka memandang diri mereka, bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku, sangat dipengaruhi oleh identitas budaya mereka sendiri. Kedua adalah identitas etnik. Identitas etnik berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang sama. Ketiga yakni identitas gender, identitas gender agak berbeda dengan identitas seks secara biologis, gender merujuk pada bagaimana budaya tertentu membedakan peranan sosial feminin dan maskulin. Singkatnya yaitu merujuk pada pengertian dan interpretasi yang dimiliki yang berhubungan dengan gambaraan pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan (Ting-Toomey seperti dikutip oleh Samovar et al. 2010). Keempat, selain yang telah disebutkan sebelumnya, identitas sosial juga mempengaruhi komunikasi kita ini adalah apakah atau tidak salah seorang yaitu mengalami kecacatan. Individu mengelompokkan orang lain didasarkan pada penampilan fisik, yakni ketika orang yang komunikasi mengalami kecacatan dengan orang yang beberapa
12 cara tampak cacat, mereka cenderung pada pengalaman ketidakpastian dan kecemasan, dan ketika mungkin menghindari interaksi (ada sebuah prasangka dalam kelompok). Orang yang tidak cacat berkomunikasi dengan seorang yang di kursi roda, misalnya, memprediksi hasil lebih negatif dan semakin tidak peduli pada seseorang di kursi roda daripada mereka yang berkomunikasi dengan seorang individu yang tidak cacat (Grove & Werkman seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim 1997). Kelima adalah identitas usia, konsep diri yang terbentuk adalah hasil dari usianya dibandingkan dengan lawan bicaranya. Keenam adalah identitas kelas sosial yang menyangkut kepuasan antara posisi seseorang di dalam suatu masyarakat. Ketujuh adalah identitas peran yakni suatu kecenderungan dari penerimaan yang menjadi aturan di suatu masyarakat dapat menjadikan hal tersebut menjadi peran yang dimilikinya. 3.
Hambatan psikobudaya Hambatan psikobudaya dapat mempengaruhi proses penataan pribadi, penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis yaitu kita dapat melihat faktor psikologi dapat mempengaruhi ekspektasi, tafsiran dan prediksi yang kita atas perilaku orang lain dalam berkomunikasi dengan orang lain yang dapat dilihat dari stereotype, etnosentrisme, prasangka etnik. a. Stereotype Menurut Gudykunst dan Kim (1997), stereotype adalah representasi kognitif dari suatu kelompok yang mempengaruhi perasaan terhadap anggota kelompok tersebut. Stereotype merupakan bagian dari pengkategorian sosial. Stereotype dapat mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dan meningkatkan rasa percaya diri dalam memahami perilaku orang asing. Stereotype cenderung akan muncul saat seorang individu mengkategorikan orang asing dan tidak melakukan komunikasi dengan cara mindful. Stereotype juga mengharapkan bagaimana anggota suatu kelompok akan bertingkah laku sesuai dengan pengetahuan kita terhadap kelompok tersebut. Ketidaktepatan atau stereotype negatif akan menyebabkan pengertian yang kurang tepat terhadap orang yang berbeda budaya dan menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas dalam berkomunikasi dengan strangers, maka perlu meningkatkan kompleksitas dari suatu stereotype. Misalnya dengan membedakan ke dalam subkelompok dalam suatu kelompok yang telah disamaratakan dalam suatu stereotype tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rumondor et al. (2014), terdapat tiga faktor yang menjadi penentu terbentuknya stereotype, yang pertama adalah faktor lingkungan sosial seperti keluarga dan masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan dalam teori interaksionisme simbolik mengenai konsep diri dan masyarakat bahwa lingkungan kelompok yang memperlihatkan simbol-simbol memberikan pengaruh terhadap penilaian terhadap diri individu, sehingga akan ada kecenderungan untuk melakukan tindakan yang sama dengan kelompok. Kedua, faktor pengalaman individu yang membentuk stereotype informan. Menurut seorang psikolog George
13 Kelly seperti dikutip oleh Rumondor et al. (2014), pengalaman diciptakan oleh cara kita menafsirkan peristiwa dan setiap orang berbeda-beda satu sama lain dalam menginstruksi peristiwa. Pengalaman terdiri dari penafsiran peristiwa secara terus-menerus. Faktor yang ketiga adalah faktor kontak pribadi yang lebih intim. Trust atau percaya dapat meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksudnya. Tanpa percaya maka tidak akan ada pengertian dan tanpa pengertian maka akan terjadi kegagalan komunikasi primer. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan ketepatan prediksi berdasarkan stereotype tergantung pada kesesuaian antara pengetahuan informasi yang kita miliki tentang orang dalam kelompok tertentu, sama dengan pengetahuan informasi orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut. Prediksi berdasarkan kelompok etnis akan mungkin tepat hanya untuk strangers yang benar-benar kuat dengan identitas kelompok etnisnya dan tidak mengidentifikasi diri dengan budaya mereka. Ketidaktepatan disebabkan oleh adanya suatu batas antara berbagai kelompok yang tidak jelas. Misalnya warna kulit yang sama antara etnis yang berbeda akan mempengaruhi ketepatan dalam memprediksi orang berdasarkan warna kulit. Selain itu dapat juga karena anggota kelompok yang kita gunakan untuk mengkategorikan kelompok tersebut tidak mempengaruhi perilaku mereka dalam situasi tertentu. Ketika berkomunikasi dengan strangers, maka terdapat kemungkinan akan mengategorikan mereka berdasarkan suatu kenggotaannya dalam kelompok tertentu (misal etnis) dan menganggap bahwa identitas sosial kelompok mereka akan mempengaruhi mereka dalam berperilaku. Meningkatkan ketepatan dalam membuat prediksi dapat dilakukan dengan memahami identitas sosial yang mengarahkan perilaku strangers dalam situasi. Stereotype merupakan hasil dari persepsi yang terbatas, malas, dan sesat. Alasan pertama stereotype dapat menghambat komunikasi antarbudaya adalah stereotype merupakan sejenis penyaring; menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang, dengan begitu suatu hal yang benar tidak akan memiliki kesempatan untuk diketahui. Misalnya stereotype perempuan sebagai ibu rumah tangga menghalangi perempuan untuk maju dalam dunia kerja. Kedua, bukan pengelompokan tersebut yang menyebabkan masalah antarbudaya; namun asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Suatu stereotype menganggap semua orang dalam suatu kelompok tertentu memiliki sifat yang sama dengan anggota lainnya. Ketiga, stereotype menghalangi keberhasilan seseorang sebagai komunikator, karena stereotype biasanya berlebih-lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Keempat, stereotype jarang berubah, karena biasanya stereotype berkembang sejak awal kehidupan dan terus berulang dan dalam suatu kelompok, stereotype berkembang setiap waktu (Gudykunst dan Kim 1997).
14 b. Etnosentrisme Gudykunst dan Kim (1997) mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan anggapan dari kelompok ingroup yang menganggap dirinya sebagai pusat di dunia. Semua orang di dunia ini dapat digolongkan kedalam etnosentrisme, maka dari itu seseorang melakukan segala sesuatu sesuai dengan nilai budaya yang ada pada budaya kelompok ingroup individu tersebut, dan menganggap apa yang dilakukan olehnya adalah benar. Konsekuensi dari sikap ini adalah nilai-nilai yang ada pada ingroup dianggap lebih hebat dibandingkan dengan nilai yang ada pada outgroup. Konsekuensi lainnya adalah memberikan kecemasan kepada anggota ingroup untuk berinteraksi dengan orang asing. Menurut Tubbs dan Moss (1996) etnosentrisme adalah suatu kecenderungan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek budaya lain dengan menggunakan kelompok pribadi dan adat istiadat kelompok sosialnya sebagai suatu standar bagi semua penilaian. Hal ini menyebabkan tidak terhindarkannya anggapan bahwa kelompok sendiri, negeri sendiri, budaya sendiri sebagai yang terbaik dan paling bermoral. Menurut Devito (2011) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam budaya sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada budaya yang lainnya. Etnosentrisme dapat dilihat dalam tiga tingkatan yakni tingkatan positif, negatif, dan sangat negatif. Tingkatan pertama adalah positif, yakni merupakan kepercayaan bahwa paling tidak bagi seorang individu, budayanya lebih baik dari yang lain. Hal ini merupakan hal yang alami dan kepercayaan individu tersebut berasal dari budaya aslinya. Pada tingkat negatif, seorang individu akan mengevaluasi secara sebagian. Individu percaya bahwa budayanya merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur berdasarkan standar budayanya. Pada tingkat terakhir yaitu tingkat sangat negatif yakni bagi seorang individu tidak cukup hanya menganggap budayanya sebagai yang paling benar dan bermanfaat, ia juga menganggap budayanya sebagai budaya yang paling berkuasa dan mempercayai bahwa nilai dan kepercayaan individu tersebut harus diadopsi oleh orang lain (Samovar et al. 2010). Menurut Samovar et al. (2010) rasa etnosentris lebih mengakar kuat dalam konteks moral dan agama. Terdapat akibat yang serius jika seseorang individu terlibat dalam etnosentrisme negatif, ketika individu tersebut berusaha untuk berhasil proses dalam komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Salah satu akibat yang dirasakan dari rasa etnosentris negatif adalah rasa gelisah. Alasannya sederhana, yakni semakin etnosentris seseorang, semakin gelisah seseorang dalam berhubungan dengan budaya lain, ketika takut maka orang tersebut memiliki sedikit harapan positif dari suatu hubungan dan kurang dapat memepercayai orang dari budaya yang berbeda.
15 c. Prasangka Prasangka adalah istilah yang berasal dari kata praejudicium bahasa Latin yang berarti "preseden," atau "penilaian berdasarkan pada keputusan dan pengalaman sebelumnya. Prasangka dapat berupa positif atau negatif, ada kecenderungan bagi kebanyakan dari kita untuk menganggapnya sebagai negatif. Prasangka dapat dilihat sebagai emosi yang diwujudkan dengan rasa takut, jijik, penghinaan (rasa tidak suka), kemarahan, dan kecemburuan. Sebagian besar penelitian tentang prasangka memandangnya yakni sebagai suatu sikap. Setiap orang pasti memiliki sebuah prasangka, namun hanya berbeda dari segi derajat continuum, seberapa besar dia berprasangka pasti akan berbeda antara satu orang dengan lainnya (Gudykunst dan Kim 1997). Seperti halnya dengan etnosentrisme, prasangka adalah suatu hal yang terjadi secara alami dan tidak dapat dihindari. Hal ini merupakan hasil dari keanggotaan seorang individu dalam suatu grup yang mendapatkan sosialisasi atau informasi terhadap suatu orang atau grup di luar grupnya sendiri. Setiap derajat continuum prasangka seseorang akan berbeda, terutama saat dia berhubungan dengan orang di luar grup, semakin jauh jarak hubungan di luar grup, maka semakin berprasangka negatif, begitu pula sebaliknya ketika seorang individu akan semakin mengenal atau dekat hubungannya atau sesama grup maka akan semakin positif prasangkanya. Seseorang yang berprasangka cenderung berprasangka positif terhadap ingroup (kelompoknya sendiri) dan negatif berprasangka terhadap outgroup (kelompok luar). Hal ini berarti bahwa orang-orang yang sangat berprasangka cenderung lebih mengabaikan informasi yang tidak konsisten dengan generalisasi yang salah dan tidak mereka tidak fleksibel dengan informasi yang mereka dapat dari kelompok luar. Oleh karena itu, sangat penting bagi seseorang untuk mengubah keyakinan mereka untuk membenarkan sikap mereka ketika dihadapkan dengan informasi yang kontradiktif dengan informasi dalam kelompoknya (Gudykunst dan Kim 1997). Samovar et al. (2010) memberikan pengertian tentang prasangka sebagai generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang. Menyakitkan dalam hal ini berarti suatu sikap yang tidak fleksibel muncul pada seorang individu yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti sama sekali. Orang-orang dari kelas sosial, jenis kelamin, orientasi seks, usia, partai politik, ras atau etnis tertentu dapat menjadi target dari prasangka. Generalisasi kaku yang diberikan kepada sekelompok orang atau anggota masyarakat seringkali justru menjadi pemicu munculnya kesalahpahaman antar partisipan komunikasi. Hal tersebut dapat terjadi karena prasangka yang diberikan kepada sekelompok orang atau sekelompok masyarakat itu lebih didasarkan pada suatu keyakinan yang tidak pas atau bahkan seringkali didasarkan pada keyakinan yang keliru (Darmastuti 2013). Menurut Newberg seperti dikutip oleh Martin dan Nakayama (2013) mengatakan bahwa prasangka (buruk) adalah sikap negatif terhadap suatu kelompok budaya berdasarkan sedikit atau tanpa pengalaman. Ini merupakan sebuah prasangka. Lain hal dengan stereotype yang
16 menjelaskan seperti apakah sebuat kelompok tersebut, prasangka (buruk) menjelaskan bagaimana perasaan yang dirasakan terhadap kelompok tersebut). Prasangka seperti halnya stereotype memiliki beberapa fungsi, yakni fungsi pertahanan ego, fungsi ini memungkinkan orang untuk memiliki prasangka tanpa harus mengakui bahwa mereka memiliki suatu kepercayaan mengenai suatu kelompok luar dari kelompok sosialnya. Kedua adalah fungsi utilitarian yang memungkinkan orang untuk berfikir bahwa mereka mendapatkan penghargaan dengan mempertahankan prasangka yang mereka miliki. Ketiga adalah fungsi menyatakan nilai, yakni ketika oran-orang percaya bahwa perilaku mereka menunjukkan nilai tertinggi dan paling bermoral dari semua budaya. Hal ini biasanya berputar-putar pada nilai-nilai yang berhubungan dengan agama, pemerintah, dan politik. Yang terakhir adalah fungsi pengetahuan, melalui fungsi pengetahuan orang dapat mengelompokkan, mengatur, dan membentuk persepsi mereka terhadap oranglain dalam cara yang masuk akal bagi mereka, bahkan jika hal itu tidak akurat (Samovar et al. 2010). Pernyataan prasangka dapat dinyatakan dalam berbagai cara (kadang secara halus dan tidak langsung, namun terkadang juga dapat dinyatakan secara terang-terangan dan langsung). Menurut Allport seperti dikutip oleh Samovar et al. (2010) dalam penelitiannya prasangka disebut dengan sebutan antilokusi, yaitu istilah negatif atau stereotype mengenai anggota dari kelompok target. Contohnya seperti “jangan berikan gaji yang tinggi pada imigran itu. Mereka hanya berpendidikan rendah, jadi hanya akan menghambur-hamburkan uangmu saja”. Kedua, prasangka dapat dinyatakan ketika mereka menghindari dan/atau menarik diri untuk berhubungan dengan kelompok yang tidak ia sukai. Ketiga, prasangka dapat menghasilkan diskriminasi, orang yang menjadi target prasangka akan berusaha untuk keluar dari kelompoknya ketika pekerjaan, tempat tinggal, hal politk, kesempatan pendidikan dan rekreasi, gereja, rumah sakit, atau institusi sosial lainnya dipermasalahkan. Kadang dalam kasus diskriminasi, terlihat bahwa etnosentrisme, stereotype, dan prasangka datang dalam bentuk fanatisme yang jelas-jelas akan menghalangi seseorang dalam melakukan komunikasi antarbudaya. Keempat, ketika prasangka berpindah ke level berikutnya, yaitu ekspresi berupa serangan fisik. Bentuk prasangka ini akan meningkatkan permusuhan jika dibiarkan. Misalnya penyerangan terhadap kaum gay, tindakan fisik terjadi jika kaum minoritas menjadi target prasangka. Kelima adalah bentuk nyata prasangka yang paling mengkhawatirkan yakni extermination atau pembasmian. Prasangka seperti ini mengarah pada tindakan kekerasan fisik terhadap kelompok luar. Contohnya pembunuhan massal, pembantaian, dan program pemusnahan suatu suku bangsa (Samovar et al. 2010). 4. Hambatan lingkungan Hambatan lingkungan dalam proses komunikasi berasal dari kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi persepsi, emosi, sikap, tingkah laku, dan perasaan kita. Misalnya lingkungan fisik seperti lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural, persepsi atas lingkungan tersebut mempengaruhi cara kita
17 menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang kita buat mengenai perilaku orang lain karena orang lain mungkin mempunyai presepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka mungkin menafsirkan perilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi yang sama. Contohnya yakni perbedaan antara cara berbicara orang Sumatera berbeda dengan orang Jawa. Orang Sumatera cenderung berbicara dengan volume suara yang lebih keras dibanding orang Jawa, sehingga terkadang dipersepsikan bahwa orang Sumatera suka marah. Suara orang Sumatera ini terbentuk karena letak rumah di Pulau Sumatera relatif tidak terlalu padat seperti di Pulau Jawa (Gudykunst dan Kim 1997). a. Lingkungan fisik Lingkungan fisik ketika komunikasi sedang berlangsung akan mempengaruhi bagaimana cara seseorang untuk berkomunikasi. Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa kondisi geografis, iklim, arsitektur dan lanskap. Sikap ini dapat dilihat dari sikap seseorang ketika keadaan letak geografis membentuk budaya masing-masing, sikap seseorang yang terbentuk akibat adanya iklim yang terjadi saat proses komunikasi berlangsung, sikap seseorang yang terbentuk karena pandangan terhadap arsitektur lanskap seperti dekorasi, furniture yang digunakan, fungsi ruangan (Gudykunst dan Kim 1997). Menurut Mulyana (2008) lingkungan fisik tempat orang-orang hidup mempengaruhi perilaku mereka, termasuk perilaku komunikasi. Budaya orang yang tinggal di pantai akan lebih cepat berubah karena pengaruh luar (kedatangan orang dari sebrang laut) daripada orang yang tinggal di pedalaman. Mereka mungkin akan berbicara keras dengan sesamanya karena suara mereka harus mengatasi suara angin dan ombak. Ruangan yang memisahkan rumah yang satu dengan rumah yang lainnya akan mempengaruhi derajat keakraban hubungan antar tentangga. Di lingkungan yang rumah-rumahnya lebih rapat, hubungan antartetangga akan lebih akrab dibandingkan dengan lingkungan yang rumah-rumahnya lebih renggang. Selain itu, musim juga mempengaruhi suasana hati dan perilaku manusia. Konsekuensinya, musim yang berubah mendorong suasana hati dan perilaku yang berubah pula. Di negara yang terdiri dari empat musim, musim semi memunculkan semangat dan energi baru untuk meraih keberhasilan. Pada musim panas, orang cenderung lebih santai, dan lebih banyak beraktivitas di luar rumah karena hari lebih panjang dari biasanya. Pada musim gugur, suasana romantis lebih terasa. Pada musim dingin, orang cenderung dingin, murung, dan tergesa-gesa untuk menghndari udara dingin di luar. Lanskap, eksterior dan interior gedung/ruangan, juga lokasinya, menimbulkan efek tertentu pada perasaan manusia. Oleh karena manusia hidup dalam satu ruang fisik, mereka terikat dan dipengaruhi oleh ruang fisik tersebut. Tempat dapat menjadi bagian dari identitas dirinya, dan juga bagian dari kenangan hidupnya, baik yang indah maupun yang menyedihkan.
18 b. Situasi Memprediksi bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu adalah dengan melihat bagaimana mereka memandang situasi. Tempat terjadinya interaksi menjelaskan latar dan tujuan interaksi. Latar mencakup interaksi lokal, waktu interaksi, dan pelaku interaksi. Tujuan dari interaksi berfokus pada jenis kegiatan dimana individu yang terlibat dan pengaruh dari percakapan. Pelaku interaksi harus dapat mempersepsikan situasi secara kritis untuk memahami perliaku di setiap situasi. Tempat untuk berkomunikasi melibatkan interaksi dengan orang lain. Ruang komunikasi yang besar memberikan peluang untuk komunikasi yang berbeda. Komunikasi yang terjadi menawarkan sejumlah isyarat yang memberitahu bagaimana orang menyesuaikan diri. Isyarat yang ada memudahkan koordinasi perilaku kita dan memungkinkan untuk interaksi yang lebih baik, tanpa isyarat kita harus mencari tahu bagaimana seseorang untuk bertindak dalam situasi tertentu. Seseorang yang ada dalam situasi mempengaruhi komunikasi, dimana kita cenderung lebih prihatin dengan bagaimana kita menampilkan diri pada seorang yang mempunyai status tinggi dari pada yang mempunyai status rendah. Tingkat keakraban dengan seseorang juga mempengaruhi bagaimana kita menampilkan diri khususnya situasi. Semakin akrab, maka semakin besar kemungkinan untuk memberikan pembenaran atas perilaku kita. c. Situational norms and rules Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa norma-norma dan aturan-aturan yang terdapat pada suatu budaya dapat mengarahkan seorang individu untuk berperilaku pada situasi tertentu, karena ketika berkomunikasi dengan orang asing/yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, maka norma dan aturan-aturan tersebut memiliki kecenderung yang lebih besar untuk dilanggar dibandingkan ketika sedang berkomunikasi dengan kelompok sosialnya. Ketika seseorang mengetahui norma dan aturan yang bersifat situasional pada kelompok sosial lain, maka hal tersebut akan dapat membimbing seorang individu untuk berperilaku sebagaimana mestinya agar dapat tercapai suatu komunikasi antarbudaya yang efektif. d. Lingkungan psikologi Persepsi seseorang yang muncul mengenai suatu lingkungan juga dapat berpengaruh secara langsung terkait bagaimana seseorang akan menginterpretasikan stimulus yang datang dan membuat suatu prediksi mengenai perilaku orang lain. Orang-orang dari beberapa budaya memahami suatu hambatan fisik (seperti pintu yang tertutup, penggunaan pagar untuk penjagaan rumah) sebagai sesuatu pengaturan dalam menjaga hal-hal pribadi mereka, sementara orang-orang dalam budaya lain tidak merasakan hambatan fisik tersebut sebagai mekanisme pengaturan penjagaan hal-hal pribadi. Sebaliknya, mereka menganggap hal-hal pribadi tersebut sebagaimana diatur oleh hambatan psikologis misalnya berpurapura bahwa tidak ada orang disana. Kesalahpahaman dapat terjadi kapanpun ketika seseorang yang berasal dari suatu budaya merasa menjadi seseorang yang asing pada budaya lain. Pada dimensi lingkungan psikologi terdapat
19 tiga aspek di dalamnya, yakni persepsi pribadi, penggunaan waktu, dan potensi interaksi dalam lingkungan (Gudykunst dan Kim 1997). Persepsi pribadi menurut Anugrah dan Kresnowati (2008) adalah suatu pemahaman terhadap suatu objek, peristiwa, yang bergantung kepada pengamatan dan penafsiran kita sendiri. Penggunaan waktu menurut Mulyana (2008) adalah waktu monokronik yakni individu melakukan satu aktivitas dalam satu waktu, konsep ini diidentikkan dengan konsep waktu linier (seperti garis lurus dan tidak akan pernah kembali), sedangkan waktu polikronik adalah individu cenderung melakukan beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan, konsep ini diidentikkan dengan konsep waktu daurulang (dianggap seperti waktu yang dapat didapatkan secara berulang seperti musim yang setiap tahun selalu datang). Potensi interaksi merupakan suatu kesempatan terkait waktu dan tempat para komunikan dan komunikator dapat bertemu untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Manusia berkomunikasi dalam kesehariannya dengan cara menyandi dan menyandi balik pesan. Dalam proses komunikasi, hal yang mutlak diperhatikan adalah tingkat keefektifan komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif apabila makna yang ada pada sumber pesan sama dengan makna yang ditangkap oleh penerima pesan. Devito (2009) mengatakan bahwa tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi secara efektif tanpa menyadari bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi manusia. Selain itu pernyataan Devito diperkuat oleh Gudykunst dan Kim (1997) yang mengatakan bahwa komunikasi yang efektif akan terjadi apabila kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Menurut Triandis dalam Gudykunst dan Kim (1997) komunikasi antarbudaya akan efektif apabila dalam komunikasi tersebut dapat menciptakan apa yang disebut dengan isomorphic attribution, yaitu penetapan kualitas atau karakteristik terhadap sesuatu supaya menjadi sama. Menurut Cahyana dan Suyanto (1996), komunikasi dapat dikatakan efektif ketika penerima melakukan tindakan sesuai dengan makna yang diinginkan oleh pengirim. Menurut Suranto (2011) komunikasi dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara sukarela oleh penerima pesan dan meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan dalam hal itu. Gudykunst dan Kim (1997) berasumsi bahwa setidaknya satu orang yang berada dalam pertemuan antarbudaya, maka orang tersebut akan menjadi seorang yang asing. Melalui seri krisis inisial, pengalaman seorang asing tentang keraguan dan ketidakpastian mereka tidak merasakan aman dan mereka tidak merasa yakin bagaimana untuk membiasakan diri. Meskipun orang-orang asing dan anggota ingroup mengalami beberapa tingkatan dalam keraguan dan ketidakpastian dalam setiap situasi interpersonal yang baru. Ketika pertemuan mereka terjadi, bertemu diatara orang-orang yang berbeda budaya, orang asing tersebut akan bersikap sangat berhati-hati terhadap perbedaan budaya. Mereka memiliki kecenderungan terlalu tinggi mengenai efek dari identitas budaya berdasarkan perilaku orangorang yang berasal dari masyarakat asing.
20 Berkomunikasi dengan orang asing/orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat menimbulkan suatu rasa ketidakpastian dan kecemasan atas proses penyampaian pesan yang disampaikan antara pelaku komunikasi. Saat pertemuan pertama kali dengan orang belum pernah dikenal sebelumnya, terutama orang yang berbeda budaya, rasa kecemasan tersebut berada di atas ambang batas maksimum, tetapi setelah saling berkomunikasi dan menjalin suatu hubungan yang lebih dekat maka rasa kecemasan itu semakin lama akan semakin berkurang, bahkan akan jatuh dibawah ambang batas kecemasan yang paling rendah ketika seorang individu telah merasa sangat nyaman dengan orang yang berbeda budaya tersebut (Gudykunst dan Kim 1997). Seorang individu itupun akan mungkin merasa takut kehilangan harga diri, dan merasa bahwa identitas sosialnya terancam, pada akhirnya akan merasa tidak nyaman jika berperilaku menyinggung orang asing. Berdasarkan penelitian Azis (2010), rasa ketidaknyamanan dapat terjadi karena adanya suatu rasa ketidakpastian (uncertainty) yang kita miliki terkait perilaku, perasaan, kepercayaan, nilai dan kebiasaan orang lain berbeda etnik dan akhirnya menimbulkan perasaan tersinggung (offend) di antara peserta komunikasi. Rasa cemas (anxiety) dan khawatir dapat timbul ketika seseorang tidak dapat memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator dari etnik lain karena kurangnya pengetahuan mengenai bahasa, cara bicara dan budaya etnik lain. Hal ini dapat membuat seseorang merasa canggung ketika berkomunikasi karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan ketika ingin berkomunikasi lawan bicaranya, dengan demikian kesalahpahaman diukur berdasarkan perasaan tersinggung yang timbul ketika berkomunikasi, sedangkan rasa cemas dan khawatir diukur berdasarkan perasaan canggung yang terjadi ketika proses komunikasi berlangsung. Menurut Gudykunst dan Kim seperti dikutip oleh Azis (2010) menyatakan bahwa kesalahpahaman yang terjadi di antara orang berbeda etnik yang berkomunikasi yakni karena masing-masing etnik memiliki latar belakang budaya, bahasa, dan nilai yang berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa para peserta komunikasi harus dapat mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi antarbudaya secara efektif. Gudykunst dan Kim (1997) juga menyatakan bahwa komunikasi yang efektif memiliki tujuan untuk mengurangi kesalahpahaman, rasa cemas, dan khawatir dari individu yang berkomunikasi. Keefektifan komunikasi akan tercapai ketika tingkat frekuensi perasaan tersinggung dan perasaan canggung ketika proses komunikasi menunjukkan tingkat yang rendah agar terciptanya situasi yang mindful yakni merupakan situasi kesalahpahaman yang minimal karena partisipan komunikasi dapat mereduksi hambatan yang timbul karena perbedaan latar belakang budaya dan kedua belah pihak dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang terjadi. Ketika berbicara dengan orang berbeda budaya, seorang individu akan cenderung merasa cemas dan memiliki perasaan tidak kompeten akan dirinya untuk berkomunikasi dengan orang asing, bingung, dan sulit dalam mengedalikan diri. Seorang individu akan lebih mencoba untuk mengantisipasi rasa ketidaknyamanan, frustasi, dan iritasi akibat perasaan canggung dari rasa kecemasan yang timbul dari interaksi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2013), pada hasil penelitiannya menjelaskan bahwa perbedaan latar belakang budaya yang
21 terjadi pada mahasiswa InHolland ketika berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia dalam satu kelompok mereka menimbulkan anxiety dan uncertainty dalam menjalani kerja kelompok. Ketika seseorang berpindah ke budaya baru, seseorang membawa nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan perilaku dari budaya lama mereka, yang dapat bertubrukan dengan budaya baru. Hal ini dapat menyebabkan disorientasi, kesalahpahaman, konflik, stres, dan kecemasan (anxiety). Karakteristik Suku Sunda, Batak, Madura, Jawa, Minangkabau, dan Betawi 1. Suku Sunda Menurut Koentjaraningrat (2010), secara antropologi budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Di daerah pedesaan pada umumnya bahasa pengantar menggunakan bahasa Sunda, sedang di kota-kota bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, dalam percakapan antar kawan dan kenalan yang akrab, dan juga tempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui bahwa mereka itu menguasai bahasa Sunda. Rofiah (2012) menyatakan bahwa dalam tatanan berbahasa, orang Sunda di desa ini cenderung tidak menggunakan strata penggunaan bahasa (undak usuk basa) yang dalam bahasa Sunda tingkatan pertama adalah basa alus yang biasanya digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, basa loma sebagai tingkatan kedua yang diigunakan untuk berbicara dengan teman sebaya, dan yang paling bawah adalah basa kasar. Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu secara bersama. Dalam kehidupan orang Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam sangat mempengaruhi suku Sunda. Kehidupan suku Sunda biasanya satu keluarga besar dapat tinggal berdekatan. Di satu area yang sama, tetangga yang berada di sekitarnya bisa jadi merupakan sanak saudara sendiri, seperti kakak, mertua, keponakan, paman, bahkan sampai cucunya. Selain itu memang kebanyakan orang tua dari orang Sunda yang tidak menganjurkan anaknya untuk merantau keluar Jawa Barat, maka mereka lebih memilih untuk hidup bersama dibandingkan merantau. Dalam hal agama yang dianut oleh orang Sunda, sejak pengislaman Banten dan Cirebon pada abad ke 15, Agama Islam menjadi agama yang dipeluk oleh orang Sunda. Pengaruh agama ini dalam kehidupan masyarakat Sunda dapat dikatakan menyeluruh dan sangatlah besar, yang tercermin dari hukum adatnya meliputi hukum waris, pernikahan, sosial, ekonomi, bahkan dalam budaya pesantren, hingga dapat dikatakan bahwa seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam (Ekadjati seperti dikutip oleh Rofiah 2012). Perilaku hubungan antara individu-individu suku Sunda dalam kehidupan sehari-hari berjalan dengan positif, apalagi masyarakat suku Sunda memiliki sifat “someah hade ka semah” dengan karakter yang lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Para pendatang juga mengakui bahwa orang Sunda memiliki sifat yang ramah kepada para pendatang baru.
22 2. Suku Batak Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa bahasa, yakni bahasa Karo yang digunakan oleh orang Karo, bahasa Pakpak yang digunakan oleh orang Pakpak, bahasa Simalungun yang diguanakan oleh orang Simalungun, dan bahasa Toba yang digunakan oleh orang Toba, Angkola, dan Mandailing. (Koentjaraningrat 2010). Menurut Nuraeni dan Alfan (2012) sikap mental masyarakat Batak tidak lepas dari kebudayaannya karena menyangkut keseluruhan pola berpikir dan pola bertindak yang diatur oleh tata kelakuan yang harus dipegang teguh di dalam kehidupan. Mayoritas orang Batak berbicara dengan volume suara yang keras, hal ini karena pemukiman asli orang Batak yang tinggal di daerah pegunungan, rumah berjauhan dan banyak dilalui oleh angin yang kencang, sehingga orang Batak harus berbicara keras-keras agar terdengar oleh lawan bicaranya. Orang Batak, mungkin hampir mirip dengan orang Jawa, yaitu apabila berbicara bahasa Indonesia, pasti terlihat dengan jelas dialek kentalnya. Hal tersebut pula yang memberikan kesan bahwa orang Batak cenderung kasar, padahal mungkin karena suara keras dan ceplas-ceplos. Berbeda dengan suku Sunda ataupun Jawa yang dalam kesehariannya sangat menghormati orang yang lebih tua dengan misalnya selalu bersalaman atau jalan bungkuk, dalam adat Batak memang tidak dianjurkan untuk memberi hormat yang berlebihan seperti itu. Bagi orang Batak dengan tidak menghina atau melecehkan orang lain, adalah penghargaan terhadap orang lain yang paling baik. 3. Suku Madura Kehidupan sehari-hari sifat orang Madura cenderung lebih egaliter dan terbuka dibandingkan dengan orang Jawa. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rifai seperti dikutip oleh Rofiah (2012) bahwa keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan resiko sehingga memunculkan keberanian mental dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2009), ciri khas suku Madura yakni memiliki sifat yang tempramen keras, kasar, dan pemberani. Mencari rezeki pun orang Madura sejak masa lalu sudah berani merantau ke luar pulau. Masyarakat Madura dikenal juga memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Orang Madura dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain. Hal inilah yang menjadikan orang-orang Madura di luar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap yang toleran terhadap sesama. Kadang memang kontradiktif jika melihat penampilan fisik dengan kenyataan hidup sebenarnya, sebagai contoh ketika orang Madura kedatangan tamu (terutama tamu jauh), pasti tamu tersebut akan sangat
23 dihormati kedatangannya. Orang Madura berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya dengan secangkir air atau bahkan berusaha memuaskan dengan jamuan yang lebih, bahkan berani mencari hutang untuk menghormati tamu jauh tersebut. Sebaliknya, jika penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau mencicipi suguhannya, maka tamu tersebut dianggap menginjak penghargaan tuan rumah, dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam. Disamping itu, watak suku Madura terkenal dengan orang yang pekerja keras, ulet dan rajin. 4. Suku Jawa Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2009), ciri khas suku Jawa yakni memiliki sifat sopan, tekun, ramah dan kurang gesit. Selain itu hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa dalam kesehariannya, suku Jawa cenderung ulet, menghormati, rajin, jujur, rapi, teliti, sederhana, dan mengalah. Suatu rumah tangga orang Jawa, harus berusaha menjalin suatu hubungan yang baik dengan para tetangga, kemudian dengan keluargakeluarga lain sekampung, lalu keluarga-keluarga lain sedukuh, dan baru kemudian dengan keluarga-keluarga yang tinggal di dukuh-dukuh lain. Dalam adat sopan santun Jawa, merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga. Seseorang yang mungkin tidak terlalu banyak bergaul dan mengenal baik suatu tetangga tertentu, misalnya, tetap harus mengundang dan mengirimkan makanan apabila mengadakan slametan (Koentjaraningrat 1984). Jaringan kekerabatan orang Jawa terbatas pada azas kegunaan yang nyata dalam pergaulan, pengenalan dan daya ingat seseorang dan biasanya tidak tergantung pada sistem normatif atau konsepsi, dan karena itu bagi tiap orang jawa wujud jaringan kekerabatan itu berlainan, tergantung keadaan masingmasing. Hubungan kekerabatan itu terutama berfungsi dalam sektor-sektor kehidupan sekitar berbagai aktivitas rumah tangga. Sistem kekerabatan Jawa memberikan identitas kapada warganya, yang dapat meninggikan kedudukan sosial serta gengsinya yang menentukan hak warisan nenek moyangnya, serta pembagian warisan kepada keturunannya (Koentjaraningrat 1984). Suku Jawa berdasarkan persepsi masyarakat, dianggap memiliki sifat yang lembut. Selaras dengan suku Sunda, suku Jawa pun memiliki tingkatan penggunaan bahasa dalm kehidupan sehari-hari. Menurut Koentjaraningrat (2010) tingkatannya terdiri atas bahasa Jawa Ngoko dan Kromo. Bahasa Jawa Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, orang dengan usia yang sama atau seseorang kepada orang lain yang status sosialnya lebih rendah. Bahasa Jawa Kromo biasanya digunakan kepada orang yang belum akrab, dari orang muda kepada orang tua atau dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi. Pada bahasa Kromo dibagi atas Kromo Madya yang digunakan sebagai bahasa pergaulan yang lebih sopan daripada bahasa Ngoko, sedangkan Kromo Inggil digunakan kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan dan status sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang berbicara. Melakukan komunikasi antara satu dengan lainnya menggunakan bahasa yang berbeda. Hal ini merupakan cara tersendiri bagi masyarakat suku Jawa dalam menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, dituakan,
24 pejabat, orang yang lebih muda, ayah, ibu dan sebagainya. Setiap suku pasti memiliki karakter dominan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Suku Jawa dikenal sebagai suku yang memiliki ciri-ciri seperti bertutur kata halus, ramah tamah, sopan santun, rajin, penakut, tekun, sederhana menghormati adat dan memiliki sifat atau ciri mengalah. Suku Jawa juga memiliki kecenderungan tertutup dan tidak berterus terang adalah salah satu watak yang paling terkenal pada suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang Jawa yang menghindari konflik dan ingin memelihara hubungan yang harmonis. Suku Jawa tidak menyukai pertikaian, namun seringkali menjadi negatif karena terkadang menyimpan dendam sesama saudara atau orang lain. Selain itu, masyarakat Jawa hidup berkumpul dengan sanak saudara dan hidup berdampingan dengan tetangga dari suku lain dirasakan tentram dan menyenangkan. Mereka beranggapan serta menyadari karena tidak mungkin hidup sendiri (Munawaroh 2009). 5. Suku Minangkabau Koentjaraningrat (2010) menyatakan bahwa penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau dengan dua alasan. Pertama ialah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Hal ini sebenarnya dapat dihubungkan dengan keadaan bahwa seorang lelaki tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain. Dalam penggunaan bahasa, orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat dengan bahasa Melayu. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya. Hal ini menjadi salah satu lagi keunikan dari masyarakat Minangkabau yang mungkin di Indonesia hanya terdapat di Minangkabau. Dari segi agama, suku Minangkabau dikenal sebagai suatu masyarakat yang sangat religius. Ada pepatah yang mengatakan, dimanapun kita berdiri diranah Minangkabau, dapat dipastikan kita akan mendengar kumandang adzan, panggilan untuk beribadah lima waktu. Kearah manapun kita menengok, hampir dipastikan kita akan melihat kubah sebuah masjid, minimal sebuah surau dengan arsitektur Minangkabau yang khas. Bahkan jika ada yang keluar dari agama islam, maka orang tersebut akan dikucilkan dari lingkungannya bahkan ia akan dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang demokratis dan egaliter, jadi semua masalah yang menyanggkut keseluruhan masyarakatnya wajib dimusyawarahkan secara mufakat. 6. Suku Betawi Betawi adalah suku yang berdiam di wilayah DKI Jakarta, dan wilayah sekitarnya yang termasuk wilayah provinsi Jawa Barat. Suku bangsa ini biasa
25 disebut orang Betawi, Melayu Betawi, atau orang Jakarta. Orang Betawi yang berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang telah melewati rentang waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti yang dikenal sekarang merupakan hasil dari suatu proses asimilasi. Masyarakat itu dengan budayanya merupakan hasil pembauran berbagai unsur budaya berbagai bangsa dari sukusuku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia (Rosyadi dan Sucipto 2006). Berdasarkan sistem kekerabatan, dalam menarik garis keturunan, mereka mengutip prinsip bilineal. Hal ini berasrti menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap setelah menikah bergantung kepada perjanjian kedua belah pihak. Pada kehidupan sehari-hari, suku Betawi memiliki sifat yang tidak berdendam dan tidak suka bermusuhan turut menjadi faktor pendukung kenapa orang-orang Cina lebih senang bersahabat dengan orang Betawi. Kebanyakan orang Betawi adalah mereka dengan sifat apa adanya, terutama soal apa yang mereka katakan. Jika ada yang mereka tidak sukai, biasanya mereka akan berusaha terus terang dengan maksud agar orang tersebut dapat memperbaiki diri. Orang Betawi juga dikenal dengan prinsipnya yang teguh. Jadi, jika Anda ingin dekat dengan keluarganya, janganlah terlihat seperti orang yang plin-plan atau ragu. Orang Betawi hampir seluruhnya memeluk agama islam. Mereka pada umumnya merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama Islam, sejak kecil sangat diutamakan bagi mereka untuk belajar mengaji Qur’an (Rosyadi dan Sucipto 2006).
Kerangka Pemikiran Hambatan komunikasi merujuk pada empat filter konseptual Gudykunst dan Kim (1997) yang terdiri dari hambatan budaya (tingkat individualistikkolektivistik), hambatan sosiobudaya (keanggotaan dalam kelompok sosial dan identitas sosial), hambatan psikobudaya (stereotype, etnosentrisme, prasangka), hambatan lingkungan yang dilihat dari sikap terhadap lingkungan fisik, sikap terhadap situasi, sikap terhadap situational norms and rules, dan sikap terhadap lingkungan psikologi. Keempat filter konseptual tersebut dapat mempengaruhi proses komunikasi antarbudaya untuk mencapai efektivitas komunikasi. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif memiliki tujuan untuk mengurangi kesalahpahaman, rasa cemas, dan khawatir dari individu yang berkomunikasi. Dampak dari kesalahpahaman yang terjadi pada komunikasi antarbudaya adalah timbulnya rasa ketidaknyamanan karena adanya suatu rasa ketidakpastian (uncertainty) yang kita miliki terkait perilaku, perasaan, kepercayaan, nilai dan kebiasaan orang lain beda etnik dan akhirnya akan menimbulkan perasaan tersinggung (offend) di antara peserta komunikasi. Rasa cemas (anxiety) dan khawatir dapat timbul ketika seseorang tidak dapat memahami pesan yang disampaikan oleh lawan bicara berbeda etnik, karena kurangnya pengetahuan mengenai bahasa, cara bicara dan budaya etnik lain, dan akhirnya orang tersebut merasa canggung ketika berkomunikasi karena tidak mengetahui apa yang harus
26 dilakukan ketika ingin berkomunikasi lawan bicaranya. Kesalahpahaman diukur berdasarkan perasaan tersinggung, sedangkan rasa cemas dan khawatir diukur berdasarkan perasaan canggung yang ditunjukkan ketika berkomunikasi. Semakin rendah tingkat perasaaan tersinggung dan canggung yang muncul pada saat proses komunikasi antara dua orang berbeda budaya, maka semakin efektif komunikasi di antara mereka, begitupun sebaliknya. Berikut penulis menyajikan gambaran kerangka analisis yang telah dirumuskan pada Gambar 2 di bawah ini: Indeks hambatan budaya (cultural) (X1) Tingkat individualitas-kolektivitas Indeks hambatan sosiobudaya (sociocultural) (X2) Keadaan keanggotaan dalam kelompok sosial Keadaan identitas sosial Indeks hambatan psikobudaya (psychocultural) (X3) Tingkat stereotype Tingkat etnosentrisme Tingkat prasangka Indeks hambatan lingkungan (environment) (X4) Sikap terhadap lingkungan fisik Sikap terhadap situasi (setting) Sikap terhadap situational norm and rules Sikap terhadap lingkungan psikologi
Efektivitas komunikasi (Y) Tingkat perasaan tersinggung Tingkat perasaan canggung
Keterangan: mempengaruhi (diuji secara statistik) mempengaruhi (tidak diuji secara statistik)
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
27 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Indeks hambatan budaya mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya 2. Indeks hambatan sosiobudaya mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya 3. Indeks hambatan psikobudaya mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya 4. Indeks hambatan lingkungan mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya 5. Indeks hambatan budaya, psikobudaya, dan lingkungan secara bersamaan mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Indeks hambatan budaya: skor total yang diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner yang mencerminkan sikap responden dalam menilai budaya dirinya berdasarkan sudut pandangnya. Dimensi ini dinilai melalui indikator tingkat individualistik-kolektivistik dengan parameter orientasi personal, nilai individual, penafsiran diri. Responden dikatakan individualisik ketika adanya sikap individu yang hanya mengutamakan kepentingan dirinya dan keluarga mereka saja, sedangkan responden dikatakan kolektivistik ketika adanya sikap individu yang memiliki kelompok dan mengutamakan kepentingan bersama sebagai bentuk loyalitas. Parameternya dengan menggunakan 1. Orientasi personal: sikap/perilaku responden yang hanya memprioritaskan suatu hal untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan seperti informasi tentang pembagian raskin untuk diri sendiri dibandingkan untuk kebutuhan/kepentingan kelompok. 2. Nilai individual: sikap individu berupa rasa senang, pencapaian, dan pemikiran yang dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi. 3. Penafsiran diri: penilaian seorang individu terhadap dirinya bahwa dirinya tidak butuh bantuan orang lain untuk menggantungkan kehidupannya pada orang lain. Total pertanyaan pada faktor budaya adalah 16 pertanyaan, dengan masingmasing pertanyaan memiliki penetapan skor yakni: Sangat tidak setuju (STS) : skor 1 Tidak setuju (TS) : skor 2 Setuju (S) : skor 3 Sangat setuju (SS) : skor 4
28 2. Indeks hambatan sosiobudaya: jawaban responden yang didapat dengan menggunakan kuesioner dan panduan pertanyaan yang mencerminkan identifikasi dirinya dalam kelompok sosial. Dimensi ini dapat dinilai dari indikator keanggotaan dalam kelompok dan identitas sosial. Variabel ini dijelaskan secara kualitatif menggunakan panduan pertanyaan menyangkut hal-hal berikut: a. Keadaan keanggotaan dalam kelompok sosial: kemampuan responden untuk menyadari identitas dirinya dalam kelompok sosial. Informan tersebut merupakan salah satu anggota dalam suatu kelompok sosial. Hambatan sosiobudaya akan terjadi ketika keanggotaannya dalam kelompok sosial mempengaruhi cara berkomunikasi dengan orang lain diluar kelompoknya b. Keadaan identitas sosial: konsep diri seseorang yang muncul dari pengetahuannya mengenai nilai dan aturan dalam kelompok sosialnya (suku). Perbedaan etnik, gender, kelas sosial, kelompok umur, dan identitas peran tersebut akan menjadi suatu hambatan komunikasi yang dapat menimbulkan rasa canggung ataupun menyinggung lawan bicaranya 3. Indeks hambatan psikobudaya: skor total yang diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner yang mencerminkan sikap individu mengenai proses penataan pribadi dalam komunikasi antarbudaya dengan indikator yang terdiri dari stereotype, etnosentrisme dan prasangka. Indikator tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Tingkat stereotype: penilaian responden mengenai pasangan temannya yang berbeda suku (kelompok lain) berupa label/cap (negatif) yang dapat mempengaruhi perasaan responden terhadap pasangan temannya tersebut. Parameternya dengan menggunakan 1. Responden mudah memberikan cap/label mengenai karakteristik pasangan temannya berdasarkan pengalaman atau pengetahuannya mengenai suku temannya tersebut 2. Responden dapat mengasumsikan pasangan temannya tersebut sebagai anggota dalam kelompok stereotype yang memiliki kesamaan karakter satu sama lain dan berbeda dengan kelompok lainnya. b. Tingkat etnosentrisme: kecenderungan responden berupa sikap untuk mengidentifikasikan dirinya dan mengevaluasi kelompok pasangan temannya sesuai dengan standar yang berlaku kelompok responden tersebut. Parameternya dengan menggunakan 1. Responden merasa sukunya lebih baik, lebih beradab dari suku pasangan temannya 2. Responden merasa tingkah laku/kebiasaan pasangan temannya harus sesuai dengan budaya pada sukunya.
29 c. Tingkat prasangka: emosi sosial atau sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok lain yang didasari keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Parameternya dengan menggunakan 1. Responden memiliki kecenderungan berpikir negatif seperti rasa curiga atas apa yang dilakukan orang lain dari suku berbeda terhadap dirinya 2. Adanya perubahan dalam kepercayaan yang diberikan responden kepada pasangan temannya setelah berprasangka tentangnya 3. Munculnya rasa kesal karena adanya rasa persaingan, cemas dan curiga. Total pertanyaan pada faktor psikobudaya adalah 28 pertanyaan, dengan masing-masing pertanyaan memiliki penetapan skor yakni: Sangat tidak setuju (STS) : skor 1 Tidak setuju (TS) : skor 2 Setuju (S) : skor 3 Sangat setuju (SS) : skor 4 4. Indeks hambatan lingkungan: skor total yang diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner yang mencerminkan respon individu berupa sikap, persepsi, emosi, tingkah laku, dan perasaan akibat perbedaan keadaan lingkungan, yang didapat dari indikator lingkungan fisik, situasi, situasional norm and rules, lingkungan psikologi. Indikator tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Sikap terhadap lingkungan fisik: keadaan alam secara fisik yang dapat mempengaruhi bagaimana emosi dan sikap responden dalam berkomunikasi dengan orang lain, seperti letak geografis dan iklim, dan arsitektur lanskap. Parameternya dengan menggunakan 1. Keadaan letak geografis seperti letak rumah membentuk sikap responden dalam berkomunikasi. 2. Emosi berupa perasaan marah/tidak marah, dan sikap berupa kecenderungan rasa suka/tidak suka responden yang terbentuk akibat keadaan iklim/cuaca yang terjadi saat proses komunikasi berlangsung. 3. Sikap berupa kecenderungan rasa suka/tidak suka responden yang terbentuk karena pandangan terhadap arsitektur lanskap seperti dekorasi, furniture rumah yang digunakan, dan fungsi ruangan. b. Sikap terhadap situasi (setting): sikap responden yang timbul berupa rasa senang, kesal, nyaman dengan kondisi yang sedang terjadi dapat mempengaruhi proses komunikasi yang berlangsung, seperti setting waktu dan tempat, tujuan berkomunikasi saat itu (materi yang didiskusikan), partisipan komunikasi, hubungan antara partisipan. Parameternya dengan menggunakan 1. Sikap responden berupa kecenderungan rasa suka/tidak suka yang terbentuk karena jarak/letak rumah, suasana setting waktu dan tempat ketika komunikasi berlangsung.
30 2. Sikap responden berupa kecenderungan rasa suka/tidak suka yang terlihat dari respon dirinya terhadap sifat pasangan temannya. 3. Sikap responden berupa kecenderungan rasa suka/tidak suka yang terbentuk sesuai dengan kesepakatan pendapat dan kesamaan makna yang terjalin antara dirinya dan pasangan temannya pada situasi saat itu (kondisional). c. Sikap terhadap situational norms and rules: sikap responden terhadap suatu norma dan peraturan situasional yang berada di dalam suatu budaya tertentu. Parameternya dengan menggunakan 1. Responden dapat menerima tingkah laku pasangan temannya yang berasal dari budaya yang berbeda 2. Responden dapat mengikuti norma dan peraturan yang berlaku di tempat dia berada 3. Responden dapat memberikan menegur pasangan temannya jika pasangan temannya melakukan kesalahan d. Sikap terhadap lingkungan psikologi: sikap yang berasal dari persepsi dan kognitif seseorang tentang situasi lingkungan seperti pintu yang tertutup menandakan bahwa orang tersebut tidak ingin diganggu. Parameternya dengan menggunakan 1. Persepsi pribadi, responden memiliki persepsi sendiri mengenai keadaan lingkungan yang ia temukan pada saat proses interaksi 2. Penggunaan waktu, adanya situasi komunikasi antara responden dan pasangan temannya yang cenderung untuk terlibat dalam beberapa kegiatan pada waktu yang sama. 3. Potensi interaksi, terdapat suatu kesempatan antara responden dan pasangan temannya untuk bertemu dan berinteraksi. Total pertanyaan pada faktor lingkungan adalah 34 pertanyaan, dengan masing-masing pertanyaan memiliki penetapan skor yakni: Sangat tidak setuju (STS) : skor 1 Tidak setuju (TS) : skor 2 Setuju (S) : skor 3 Sangat setuju (SS) : skor 4 5. Efektivitas komunikasi: skor total yang diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner yang mencerminkan indikator dari komunikasi yang efektif, yaitu perasaan tersinggung dan perasaan canggung ketika berkomunikasi dengan orang lain. Indikator tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: a. Tingkat perasaan tersinggung (offend) yaitu salah satu ungkapan emosi responden disebabkan oleh timbulnya perasaan tidak nyaman karena sikap, perkataan, dan perilaku pasangan temannya yang memiliki perbedaan latar belakang budaya saat proses komunikasi berlangsung. Perasaan tersinggung merupakan suatu respon yang ditunjukkan oleh responden berupa rasa kesal, membuang muka, perkataan kasar, atau pergi dari situasi saat komunikasi berlangsung
31 b. Tingkat perasaan canggung (awkward) yaitu salah satu perasaan responden yang timbul ketika responden tidak berani, malu, atau ragu-ragu dalam menyapa, memulai pembicaraan, atau bertukar pendapat dengan pasangan temannya yang memiliki perbedaan latar belakang budaya saat proses komunikasi berlangsung. Total pertanyaan pada efektivitas komunikasi adalah 32 pertanyaan, dengan masing-masing pertanyaan memiliki penetapan skor yakni: Sangat tidak setuju (STS) : skor 4 Tidak setuju (TS) : skor 3 Setuju (S) : skor 2 Sangat setuju (SS) : skor 1
32
33
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei dengan jenis penelitian explanatory untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang didukung oleh data-data kualitatif. Pendekatan ini dapat saling melengkapi sehingga dapat mendeskripsikan hasil penelitian secara menyeluruh. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang ditujukan kepada responden, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang ditujukan kepada informan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan lokasi ini karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, di wilayah Desa Tanjungbaru telah banyak dibangun berbagai macam pabrik industri, sehingga banyak pendatang dengan berbagai suku non-Sunda dari luar daerah untuk menetap dan mencari pekerjaan di pabrik industri sekitar desa ini. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu enam bulan terhitung mulai bulan Juni 2014 sampai dengan Januari 2015.
Teknik Penarikan Sampel dan Informan Teknik penarikan sampel yang digunakan yakni dengan terlebih dahulu membuat kerangka sampling berupa daftar nama pendatang yang terdiri dari suku non-Sunda sebanyak 71 orang (terlampir) di Dusun 1 Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat dengan pertimbangan bahwa jumlah pendatang (suku non-Sunda) yang menetap dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada di Dusun 1. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah probability sampling agar populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi 1989), berupa simple random sampling, yakni mengambil sampel dari anggota populasi dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata dalam populasi tersebut. Pengambilan sampel secara acak ini dibantu oleh program komputer dengan software Microsoft Excel 2007. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 40 pasang pertemanan berbeda suku yang telah terjalin maksimal 5 tahun, dengan usia masing-masing responden berkisar antara 17-45 tahun. Setelah didapatkan 40 nama pendatang suku nonSunda dengan kriteria yang sesuai, maka masing-masing responden suku nonSunda diminta untuk memilih satu teman sebagai pasangannya yakni warga
34 pribumi (suku Sunda). Hal tersebut dilakukan untuk menjamin terpenuhinya jumlah 40 pasangan pertemanan mengingat jumlah warga suku non-Sunda lebih sedikit dari jumlah warga suku Sunda. Informan dipilih secara purposive (sengaja) diwawancarai dengan menggunakan panduan pertanyaan, terdiri atas pejabat pemerintahan desa (kepala pemerintahan desa, ketua BPD), ketua RT, ibu RK, dan beberapa warga suku Sunda dan non-Sunda.
Teknik Pengumpulan Data Data penelitian diperoleh dari hasil pengambilan data langsung di lapangan melalui kuesioner yang telah disusun, sebagai alat ukur dalam mengumpulkan data kuantitatif. Kuesioner yang diberikan kepada responden terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengenai hambatan komunikasi yang terjadi saat ini, dan bagian kedua mengenai efektivitas komunikasi yang terjadi. Data penelitian juga diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan untuk mendapatkan penjelasan mendalam terkait dengan kondisi umum komunikasi antara warga suku Sunda dan non-Sunda serta digunakan sebagai instrumen pendekatan kualitatif dan sumber informasi lain terkait dengan variabel-variabel yang akan diuji pada penelitian ini. Hasil dari wawancara mendalam di lapangan dituangkan dalam bentuk uraian rinci dan kutipan langsung. Data sekunder yang mendukung penelitian ini diperoleh melalui informasi tertulis atau dokumen yang dapat mendukung kelengkapan kebutuhan data.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data penelitian secara statistik diolah dengan dibantu program komputer dengan software (perangkat lunak) bernama statistical for social science (SPSS) versi 21.0 for windows yaitu dengan menggunakan uji regresi berganda. Analisis Regresi digunakan untuk menelaah hubungan antara dua variabel atau lebih, jika X1, X2, ... Xi adalah variabel-variabel independen dan Y adalah variabel dependen, maka terdapat hubungan fungsional antara X dan Y, dengan variasi dari X akan diiringi oleh variasi dari Y. Secara matematika, hubungan tersebut dapat dijabarkan dengan Y = f(X1, X2, ..., Xi, e), dengan Y adalah variabel dependen, X adalah variabel independen, dan e adalah variabel residu (Muhidin dan Abdurahman 2009). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh hambatan komunikasi (hambatan budaya, psikobudaya, dan lingkungan) terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya (Yefektivitas= f(Xbudaya, Xpsikobudaya, Xlingkungan), dan untuk melihat pengaruh hambatan sosiobudaya terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya dijelaskan secara kualitatif. Skala yang digunakan adalah skala likert yang merupakan skala interval. Hasil olah data kuantitatif yang didukung dengan penjelasan secara kualitatif yang diperoleh melalui hasil wawancara mendalam. Wawancara mendalam tersebut dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang diajukan kepada informan. Dari hasil-hasil jawaban tersebut didapatkan realitas mengenai kondisi hambatan komunikasi yang terjadi antara
35 warga suku Sunda dan non-Sunda. Penarikan kesimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antarvariabel yang konsisten. Uji pengaruh hambatan komunikasi yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya dilakukan dengan menggunakan software SPSS 21.0 for windows melalui uji statistik regresi linier berganda. Pengujian dilakukan dengan memasukan variabel pengaruh (hambatan budaya, psikobudaya, dan lingkungan) dan melihat pengaruhnya terhadap variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi). Sebelum dilakukan uji pengaruh, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat dan asumsi klasik regresi berganda, yang terdiri dari uji normalitas, uji linearitas, uji kolinearitas, uji homoskedastisitas, dan uji autokorelasi yang telah memenuhi syarat.
36
37
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Saat ini Desa Tanjungbaru dipimpin oleh penanggung jawab sementara yakni oleh sekretaris desa Bapak Ana Mulyana, karena beberapa waktu lalu kepala desa Desa Tanjungbaru telah meninggal dunia. Desa Tanjungbaru merupakan salah satu desa yang terletak relatif dekat dengan kawasan Industri di Kabupaten Bekasi yang menurut informasi dari kepala pemerintahan desa setempat bahwa kawasan industri di Kabupaten Bekasi termasuk ke dalam kawasan industri besar di Asia Tenggara.
Kondisi Geografis Desa Tanjungbaru secara administratif terletak di Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Berdasarkan potensi Desa Tanjungbaru memiliki luas wilayah seluas 736, 278 ha, dengan ketinggian tanah 16 mdpl dan suhu udara ratarata yaitu 32°C. Jarak Kantor Desa ke Ibukota Kabupaten sejauh 15 km, untuk ke Ibukota Provinsi sejauh 75 km, dan untuk ke Ibukota Negara sejauh 45 km. Adapun batas-batas geografisnya adalah sebagai berikut: Sebelah utara Sebelah timur Sebelah selatan Sebelah barat
: Desa Karangsambung : Desa Bojongsari : Desa Cipayung : Desa Jatibaru
Kondisi geografis dengan potensi desa yang ada memiliki letak yang strategis dengan wilayah pusat industri di Kabupaten Bekasi. Hal ini menjadi salah satu alasan para pendatang untuk menetap di Desa Tanjungbaru karena dapat memudahkan mobilitas mereka untuk bekerja sehari-hari.
Kondisi Demografis Desa Tanjungbaru memiliki jumlah penduduk sebanyak 15.067 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 7.704 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 7.363 jiwa. Penduduk tersebut tersebar di 3 dusun, yakni Dusun 1 yang terdiri dari 6 RT dan 3 RW, Dusun 2 yang terdiri dari 9 RT 5 RW, dan Dusun 3 yang terdiri dari 5 RT dan 3 RW. Banyaknya jumlah penduduk yang terdiri dari penduduk pribumi maupun pendatang ini, sangat memungkinkan komunikasi antarbudaya penduduk pribumi dan pendatang dapat terjadi. Adapun sebaran jumlah penduduk pada masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 8 berikut:
38 Tabel 1 Sebaran jumlah penduduk Desa Tanjungbaru menurut wilayah dan jenis kelamin, Tahun 2013-2014 Wilayah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kampung Kosambi Pasanggrahan Ceger Ceger Ceger Ceger Kp. Baru Kp. Baru Kp. Baru Kp. Baru Kp. Baru Kp. Baru Ceger Ceger Rawagebang Rawagebang Rawagebang Rawagebang Rawagebang Sasakpanjang
Ket Dusun 1 Dusun 1 Dusun 1 Dusun 1 Dusun 1 Dusun 1 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 2 Dusun 3 Dusun 3 Dusun 3 Dusun 3 Dusun 3
RT
RW
01 01 02 01 01 02 02 02 01 03 02 03 01 04 02 04 01 05 02 05 01 06 02 06 01 07 02 07 01 08 02 08 01 09 02 09 01 10 02 10 Jumlah
Jumlah Penduduk Jumlah L P 374 368 742 362 349 711 449 387 836 515 509 1 024 485 477 962 521 498 1 019 374 362 736 346 339 685 485 478 963 385 384 769 341 303 644 376 361 737 332 291 623 287 274 561 355 342 697 397 376 773 372 356 728 303 296 599 398 377 775 247 236 483 7 704 7 363 15 067
KK 221 206 217 258 269 318 223 227 304 207 163 313 221 211 214 223 211 195 229 141 4 571
Sumber: Data Profil Desa Tanjungbaru 2013-2014
Suku yang berdomisili di Desa Tanjungbaru cukup beragam. Suku Sunda merupakan suku pribumi Desa Tanjungbaru, selain itu ada suku pendatang seperti suku Betawi, suku Jawa, suku Madura, suku Batak, dan lain-lain. Beragamnya suku yang berada di Desa Tanjungbaru ini, akan mempengaruhi proses interaksi antarbudaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Komposisi masing-masing suku di Desa Tanjungbaru disajikan dalam bentuk presentase pada Tabel 2. Tabel 2 Persentase penduduk menurut etnis di Desa Tanjungbaru, Tahun 20132014 No Etnis/suku 1 Sunda 2 Betawi 3 Jawa 4 Lain-lain Jumlah Sumber: Data Profil Desa Tanjungbaru 2013-2014
Presentase 50 45 3 2 100
39 Agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) yang menjadi pedoman hidup umat manusia. Agama yang dianut oleh warga Desa Tanjungbaru cukup beragam, yakni Agama Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Mayoritas penduduk baik penduduk pendatang maupun pribumi memeluk Agama Islam. Jumlah penduduk dan persentasenya akan disajikan dalam Tabel 3 berikut: Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014 No Agama 1 Islam 2 Kristen 3 Katolik 4 Hindu 5 Buddha 6 Konghucu Jumlah
Jumlah (orang) 15 013 28 18 8 15 067
Persentase 99.64 0.18 0.12 0.00 0.06 0.00 100.00
Sumber: Data Profil Desa Tanjungbaru 2013-2014
Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk Desa Tanjungbaru mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Sebanyak 99.64 persen beragama Islam, 0.18 persen beragama Kristen, 0.12 persen beragama Katolik, dan 0.06 persen beragama Buddha. Desa Tanjungbaru memiliki beberapa sarana peribadatan yakni 5 bangunan Masjid, 20 bangunan Mushola, sedangkan Gereja dan Wihara tidak tersedia di Desa Tanjungbaru. Walaupun agama yang dianut berbeda-beda, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari informan, masarakat Desa Tanjungbaru merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi rasa saling menghormati antarumat beragama. Sampai saat inipun, belum pernah terjadi masalah antarwarga mengenai perbedaan agama. “Rata-rata orang sini mah Islam neng. Tapi ada itu orang Batak. Dia agamanya Kristen, tapi biar Kristen juga baik dia mah, kalo ketemu juga nyapa, kalau ada acara Natalan suka ngasih kue ke ibu, ibu juga sama kalau Lebaran ngasih makanan juga. Jadi tetep berhubungan baik, asal saling menghormati aja. Kan kitanya juga segen kalo dianya baik sama kita mah” (ERN, 42 th, Ibu RK) Kondisi perekonomian masyarakat di Desa Tanjungbaru dapat digolongkan pada tingkat menengah kebawah, hal ini memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan warga Desa Tanjungbaru yang sebagian hanya lulusan SD sampai dengan SMP, adapun sebaran jumlah tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
40 Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014 No Tingkat Pendidikan 1 TK 2 SD 3 SLTP 4 SLTA 5 Akademi 6 Sarjana Jumlah
Jumlah (orang) 425 5 855 3 595 1 559 122 55 11 611
Sumber: Data Profil Desa Tanjungbaru 2013-2014
Mata pencaharian warga pribumi mayoritas adalah dengan bekerja sebagai petani, hal ini karena potensi alam desa yang pada awalnya sebagian besar adalah areal pertanian. Akan tetapi, lambat laun sejak awal Tahun 2000 hingga saat ini, areal pertanian yang tersisa hanya 50 persen dari luas areal pertanian pada awalnya yang masih terbentang luas di daerah Dusun 2 dan Dusun 3, sedangkan di daerah Dusun 1 sudah banyak areal pertanian yang diperuntukan pembangunan jalan, pemukiman dan perumahan, serta pabrik industri. Akibatnya selain banyak pendatang yang mencari pekerjaan di desa tersebut, banyak juga warga pribumi yang berpindah pekerjaan menjadi buruh pabrik serta mencoba membuka usaha sendiri. Adapun sebaran mata pencaharian dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tanjungbaru, Tahun 2013-2014
No Mata Pencaharian 1 PNS 2 ABRI 3 Swasta 4 Wiraswasta 5 Tani 6 Buruh 7 Pensiunan 8 Jasa Jumlah
Jumlah (orang) 55 12 1 555 4 839 1 110 2 653 150 125 10 499
Sumber: Data Profil Desa Tanjungbaru 2013-2014
Sebaran pekerjaan pada masyarakat pribumi dan pendatang cukup beragam, berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketua BPD di Desa Tanjungbaru menyatakan bahwa pendatang yang berasal dari Madura mayoritas berwirausaha dengan berjualan sate, usaha kayu, usaha rongsokan. Pendatang yang berasal dari Medan mengembangkan usaha tambal ban. Pendatang yang berasal dari Padang mengembangkan usaha warung makan. Pendatang yang berasal dari Jawa juga banyak yang membuka pekerjaan di sini seperti jasa peminjaman uang. Pendatang yang berasal dari Jakarta sebagian besar bekerja di pabrik industri. Warga pribumi sendiri kebanyakan bekerja sebagai petani atau buruh. Pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing warga pribumi atau pendatang, menurut ketua BPD tersebut memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan yang di tempuh oleh warga, hal
41 itulah yang menyebabkan justru usaha warga pribumi sedikit lebih tertinggal dari usaha yang dilakukan oleh warga pendatang. “Nah untuk pribumi sendiri kebanyakan paling jadi buruh, atau ngelola lahan sawah yang ada deket lio. Ya ini juga mungkin karena faktor pendidikan pribumi juga kurang, kalo kultur atau budaya pendatang kan mendingan nggak makan dibanding nggak sekolah, nah ini mah beda sama orang sini yang nggak mikirin pendidikan, lah mikirnya kan nanti juga kawin. Jadi yang bisa mereka lakukan untuk pemenuhan kebutuhan mereka, untuk ngisi perut dan keluarganya yaa mereka menyumbang tenaganya. Contohnya pembuatan batu bata di lio, mereka bisa memproduksi 5000 bata perhari, itu nggak cewe nggak cowok loh, bahkan ibu-ibu juga banyak yang bekerja di situ” (JNN, 32 th, Ketua BPD)
Sejarah Masuknya Pendatang Pada awalnya wilayah Kabupaten Bekasi, Kecamatan Cikarang Timur, khususnya di Desa Tanjungbaru, masyarakat yang tinggal dan menetap di desa tersebut hanyalah orang pribumi dengan suku asli yaitu suku Sunda. Menurut keterangan dari informan, sekitar Tahun 1980an-1990an penduduk Desa Tanjungbaru semakin bertambah dengan kehadiran penduduk pendatang dari kota-kota lain. Pada saat itu, kebanyakan pendatang yang datang bertujuan untuk membangun usaha seperti pabrik industri. Akan tetapi, aktivitas tersebut sempat dikecam oleh preman setempat. Preman-preman di daerah tersebut kurang dapat menerima dengan adanya pendatang yang masuk ke daerah mereka, karena menganggap para pendatang mencoba untuk merambah desa ini dengan membangun-bangun industri. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, pada saat itu kepala ”pemegang wilayah” atau disebut dengan kepala preman sering mencegat mobil truk pembawa pasir untuk bangunan-bangunan para pendatang. Tetapi hal tersebut sudah tidak lagi terjadi pada awal Tahun 2000-an. Apalagi beberapa tahun belakangan makin berkembang kawasan industri yang menyebabkan semakin banyak pendatang yang pindah untuk mencari pekerjaan, seperti penuturan berikut: “Di sini tuh sarang jeger, termasuk rawan juga dulu mah dengerdenger ceritanya. Terus dulu daerah ini semuanya awalnya masih wilayah pertanian. Tapi sekarang udah ngga ada lagi jeger-jegernya, udah banyak juga kok pabrik yang dibangun.” (ADI, 37 th, Bidan) Pendatang yang pindah ke daerah ini tidak hanya bertujuan mencari pekerjaan saja, ada juga yang berniat untuk membangun pabrik industri. Seperti ketika penulis sedang melakukan penjajagan dan berkeliling melihat kondisi lokasi, penulis bertemu dengan ASP yang merupakan warga pribumi yang bekerja sebagai petani serta pengangon bebek. Beliau sebagai warga pribumi asli menyangka bahwa kedatangan penulis adalah bertujuan untuk mencari lahan yang akan dijadikan pabrik industri baru. Setelah ASP mengetahui tujuan kedatangan
42 penulis, beliau memberikan keterangan lebih lanjut mengenai awal mula datangnya pendatang dari berbagai suku dan daerah untuk membangun industri atau sekedar mencari pekerjaan di kawasan industri di Cikarang, khususnya Cikarang Timur, seperti penuturan salah satu informan berikut: “Saya pikir Ibu mau bangun gedung di sini. Ternyata Ibu orang universitas. Di sini memang sudah banyak yang datang untuk membangun pabrik industri, Bu. Itu tuh sawah-sawah sebelah kali aja udah ada yang liat-liat kemarin. Semenjak banyak pabrik ya emang banyak orang luar seperti dari Medan, Pemalang, Karawang, Bekasi, Jakarta juga ada Bu, pada pindah ke sini.” (ASP, 52 th, PribumiSunda) Penduduk pribumi di Desa Tanjungbaru mayoritas bekerja sebagai buruh tani, kemudian sejak awal Tahun 2000, semakin banyak pendatang dari daerah Jawa yang tinggal di Desa Tanjungbaru untuk mencari pekerjaan terutama yang bekerja di sektor industri, yang bekerja di PT yang ada di kawasan sekitar Cikarang, karena sejak tahun 1989 dilakukan pembebasan tanah di wilayah Cikarang yang merupakan awal mula berdirinya kawasan industri seperti Jababeka, Delta Silicon, EJIP, Hyundai, dan MM2100. Beberapa pabrik yang didirikan di dalam kawasan industri Cikarang di antaranya Unilever, Samsung, Epson, Mulia Keramik, dan lain sebagainya. Semakin pesatnya perkembangan industri wilayah Cikarang, semakin pesat pula jumlah penduduk pendatang yang tinggal di Desa Tanjungbaru untuk bekerja di pabrik-pabrik yang di dirikan di daerah Cikarang Timur. Selain pendatang dari Jawa, ada juga pendatang dari Medan dan Madura. Berdasarkan info yang penulis dapatkan, sejak 12 tahun terakhir pendatang sudah mulai banyak yang pindah ke desa ini, seperti penuturan kepala pemerintahan desa, Desa Tanjungbaru berikut: “Awal 2003 mulai datang orang-orang dari Sumatera. Awalnya mereka mencari pekerjaan” (TON, 44 th, Kepala Pemerintahan Desa). Senada dengan TON, JNN selaku ketua BPD juga memberikan informasi bahwa suku Batak yang berasal dari Kota Medan adalah suku pendatang pertama yang pindah ke Desa Tanjung Baru, berikut penuturannya: “Waktu awal-awal yang pertama kali datang kesini adalah pendatang dari Medan, baru makin kesini makin banyak, seperti dari Jawa, Madura, Padang. Ya sama, mereka juga kesini mencari pekerjaan” (JNN, 32 th, Ketua BPD) Jumlah penduduk Desa Tanjungbaru kini berjumlah lebih kurang 15 ribu jiwa. Komposisi penduduk tidak menentu, banyak penduduk yang pindah silih berganti keluar masuk desa. Akan tetapi, baru-baru ini sudah mencapai angka seratus lebih penduduk yang berdatangan ke Desa Tanjungbaru, terlebih memang beberapa tahun belakangan sejak makin banyaknya pabrik industri yang dibangun, semakin banyak pula pendatang baru dari luar Desa Tanjungbaru yang pindah ke
43 desa tersebut tinggal bahkan menikah dengan warga pribumi, informasi tersebut didapatkan dari penuturan kepala pemerintahan desa setempat berikut: “Mereka yang pindah kesini biasanya mengontrak atau menikah dengan orang sini, ada juga yang sudah berkeluarga. Akan tetapi kesulitannya, pendatang yang sudah datang kadang pergi tanpa melapor. Misanya ketika pendataan setiap 3 bulan sekali sering berbeda karena banyak yang pergi lagi tanpa lapor kembali” (TON, 44 th, Kepala Pemerintahan Desa).
44
45
ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DAN HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Efektivitas Komunikasi Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah bentuk komunikasi yang dapat mengurangi rasa cemas dan ketidakpastian dari dalam individu ketika berkomunikasi karena adanya kesalahpahaman. Apabila dua orang berbeda budaya yang sedang berkomunikasi tidak menunjukkan perilaku canggung dan tersinggung, maka dapat dikatakan bahwa proses komunikasi sudah efektif. Sikap canggung yang muncul dalam proses komunikasi dapat diwujudkan dengan perilaku malu, tidak berani, atau raguragu untuk menyapa, memulai pembicaraan, atau bertukar pendapat dengan lawan bicara. Sikap tersinggung dapat dilihat dari reaksi terhadap lawan bicara yang ditunjukkan dengan perilaku membuang muka, berkata kasar, atau pergi meninggalkan lawan bicara. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden antara suku Sunda dan suku non-Sunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi) dalam kehidupan ketetanggaan, didapatkan sebaran nilai seperti yang disajikan pada Tabel 6 berikut: Tabel 6 Sebaran nilai rata-rata, skor total minimal, skor total maksimal, dan persentase variabel pengaruh (hambatan budaya, psikobudaya, lingkungan) dan variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi) No Variabel 1 Efektivitas komunikasi (Y) 2 Hambatan Budaya (X1) 3 Hambatan Psikobudaya (X3)
Subvariabel
Individualistik (X1A)
Stereotype (X3A) Etnosentrisme (X3B) Prasangka (X3C) 4
Hambatan Lingkungan (X4) Lingkungan Fisik (X4A) Situasi (X4B) Situational Norms and Rules (X4C) Lingkungan psikologi (X4D)
Ratarata
Skor total min
Skor total max Persentase
96.83
32.00
128.00
67.53
40.83
16.00
64.00
51.72
63.33 18.84
28.00 8.00
112.00 32.00
42.06 45.16
13.64 30.85
6.00 16.00
24.00 56.00
42.44 40.11
87.38
36.00
144.00
47.57
20.08 33.93
8.00 14.00
32.00 56.00
50.33 47.46
16.61
7.00
28.00
45.76
16.76
7.00
28.00
46.47
46 Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden antara suku Sunda dan suku non-Sunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi) dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh nilai ratarata skor total efektivitas komunikasi (Y) sebesar 96.83 dengan standar deviasi sebesar 11.67, nilai skor total minimum adalah 71.00 dan nilai skor total maksimum adalah 121.00. Nilai rata-rata skor total yang didapat adalah 96.83 dari skor total sebesar efektivitas komunikasi (Y) 128.00 dan persentase hambatan sebesar 67.53. Hasil tersebut menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi yang terjadi memiliki kecenderungan yang tinggi, tetapi masih belum mencapai angka maksimal karena masih terdapat hambatan-hambatan yang dirasakan oleh pasangan pertemanan berbeda budaya tersebut. Hal ini terjadi karena perbedaan simbol-simbol yang digunakan oleh suatu budaya tidak jarang membawa dampak perbedaan pemaknaan terhadap simbol-simbol sehingga perbedaan persepsi terkadang masih terjadi. Jalinan pertemanan mereka yang belum terlalu lama dengan intensitas pertemuan mereka yang tidak terlalu tinggi juga menjadi salah satu alasan kesulitan mereka dalam memahami simbol-simbol budaya satu sama lain. Intensitas pertemuan yang tidak terlalu tinggi ini karena baik suku Sunda maupun non-Sunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi) memiliki kepentingan masing-masing. Selain itu mayoritas suku non-Sunda yang merupakan pendatang memang sibuk dengan pekerjaan yang mereka lakukan disana. Hal-hal tersebut yang masih membuat mereka merasa canggung ketika ingin memulai pembicaraan, atau tersinggung ketika terjadi salah persepsi dari pesan yang disampaikan oleh lawan bicaranya. Merujuk pada pendapat Gudykunst dan Kim (1997) saat pertemuan pertama kali dengan orang belum pernah dikenal sebelumnya, terutama orang yang berbeda budaya, rasa kecemasan tersebut berada di atas ambang batas maksimum, tetapi setelah saling berkomunikasi dan menjalin suatu hubungan yang lebih dekat maka rasa kecemasan itu semakin lama akan semakin berkurang, bahkan akan jatuh dibawah ambang batas kecemasan yang paling rendah ketika seorang individu telah merasa sangat nyaman dengan orang yang berbeda budaya tersebut. Begitu pula yang dirasakan oleh salah satu responden dari suku Sunda yang mengaku merasa canggung pada masa-masa awal perjumpaannya dengan tetangganya yang berbeda budaya, seperti penuturannya berikut: “Pas awalnya ibu kenal dia tuh emang rada segen sih, belum pati kenal kan. Apalagi kalau orang Batak kan ngomong apa adanya yah, awalnya ibu juga sempet rada suka canggung lah kalau ngomong sama dia, takut salah-salah ngomong gitu kan. Tapi kalau kesinggung-kesinggung sih nggak ada, sekarang ibu malah suka sering ngajak ngerujak bareng sambil nunggu anak pulang sekolah kan kayak gini.” (KRS, 30 th, Pribumi-Sunda) Rasa canggung atau tersinggung yang muncul dalam proses komunikasi harus dikendalikan bahkan dihilangkan, demi mencapai komunikasi yang efektif. Meramal tingkah laku lawan bicaranya yang sedang sedih, senang, marah merupakan salah satu cara untuk menjaga atau menghindarkan terjadinya rasa tersinggung pada lawan bicaranya. Perasaan tersinggung dapat muncul ketika
47 salah satu partisipan komunikasi tidak dapat membaca kondisi komunikasi yang sedang berlangsung. Hal tersebut akan menimbulkan kesalahan persepsi dan akhirnya muncul perasaan tersinggung dari orang yang berkomunuikasi. Kondisi menghindari kecemasan juga dapat dilakukan dengan cara bersikap terbuka, ramah dan tanpa perasaan tegang ataupun takut ketika sedang berkomunikasi kepada lawan bicara. Sikap seperti itu mampu membuat lawan bicara merasa nyaman tanpa harus merasa cemas akan dirinya. Perasaan cemas dapat muncul ketika salah satu komunikator atau komunikan merasa rendah diri dari lawan bicaranya. Perasaan rendah diri tersebut dapat muncul karena adanya perbedaan status sosial, pendidikan, pengetahuan atau bahkan cara pandang. Hambatan komunikasi antarbudaya yang terjadi antara suku Sunda dan nonSunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi) yang masih ada dapat diatasi. Perilaku canggung dan tersinggung akibat hambatan komunikasi yang terjadi juga tidak ditunjukkan secara langsung, sehingga komunikasi yang terjalin dapat efektif. Misalnya dengan menahan diri walaupun salah satu peserta komunikasi sedang merasa tersinggung dengan ucapan atau perilaku lawan bicaranya. Adanya proses adaptasi juga menumbuhkan sikap mindful untuk mengurangi rasa canggung dan tersinggung yang dirasakan oleh responden terhadap teman beda budayanya. Hal ini dibuktikan dalam penuturan salah satu responden yang mencoba untuk mengantisipasi rasa ketidaknyamanan akibat perasaan tersinggung yang timbul dari interaksi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya berikut: “Kalau teteh sih orangnya kagak mau ngajak ribut, ikutin aja dah mau dia kayak gimana, selama kagak keterlaluan mah. Suka kesel sih awalnya, tersinggung kalo yang namanya logat udah di ledek di mainmainin tapi ya dia mah emang suka becandanya begitu asal aja. Ya diemin aja kaga teteh masukin hati, anggep aja becandaan biasa aja gitu, males dibawa ribut.” (IWD, 21 th, Pendatang-Betawi)
Berdasarkan pengalaman tersebut, meramalkan suasana pada proses komunikasi yang sedang berlangsung menjadi suatu hal yang penting. Komunikator tersebut dapat memahami bagaimana kondisi perasaaan lawan bicaranya agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan tepat. Jika lawan bicaranya sedang senang, maka dia tidak akan merasa canggung untuk memulai pembicaraan bahkan bertukar pikiran dengan komunikator. Jika lawan bicara sedang sedih, misalnya dia akan cenderung mengalirkan pembicaraan kepada pembicaraan yang lebih pribadi dengan menceritakan permasalahannya. Contoh lain, jika lawan bicaranya terlihat sedang kesal, maka komunikator tidak akan memulai pembicaraan yang dapat menyinggung atau bahkan membuat amarahnya semakin menyala. Sikap mindful seperti itulah yang diperlukan dalam proses komunikasi agar dapat mencapai efektivitas komunikasi. Perasaan canggung dan tersinggung yang muncul akibat kesalahpahaman, jika dibiarkan dapat berujung kepada konflik. Berdasarkan penuturan dari responden dan informan, di desa ini tidak pernah ada konflik atau perselisihan yang mencuat, baik dari pendatang suku non-Sunda yang tinggal di kontrakan, maupun yang sudah memiliki tanah, dengan warga pribumi asli. Kondisi
48 komunikasi antarbudaya antara warga pribumi (Sunda) dan pendatang (nonSunda) masih tetap terjaga karena masing-masing warga yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat saling menjaga toleransinya, karena mereka mengetahui bahwa adat mereka memang berbeda. Beradaptasi juga memegang peranan agar seseorang tidak tersinggung ketika melakukan interaksi. Misalnya dengan menggunakan bahasa daerah hanya ketika sedang berbicara dengan kerabat dari suku yang sama dalam jarak interpersonal. Hal tersebut dilakukan agar orang yang berkomunikasi sama-sama merasa nyaman tanpa harus merasa canggung karena tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan, atau tersinggung karena merasa tidak dihargai. Menurut keterangan dari ibu RK (Rukun Kampung), pada kesehariannya masing-masing suku menggunakan bahasa Indonesia jika berkomunikasi dengan warga pribumi, namun memang masih menggunakan logat sukunya sebagai identitas kelompok sosialnya. Hal ini dilakukan agar menjaga perasaan suku Sunda dan menunjukan bahwa suku non-Sunda mau berbaur namun dengan tidak menghilangkan identitas aslinya. Mereka juga masih memegang adat-adat serta kebiasaan yang ada pada budaya masing-masing. Contohnya adalah suku Madura yang masih kental dengan logatnya ketika berbicara dengan ibu RK. Hambatan komunikasi antarbudaya yang timbul karena adanya perbedaan budaya, tidak pernah menimbulkan konflik-konflik manifest, sehingga kondisi interaksi sehari-hari suku Sunda dengan suku Jawa, Batak, Madura, Minangkabau, dan Betawi pun baik-baik saja, seperti penuturan berikut: “Di sini mah yah di Dusun 1 terkenal aman neng, walaupun masyarakatnya pada keras–keras gitu ya banyak pendatang juga, tapi aman, akur-akur aja gitu. Pas lagi minggon aja kan itu dibahas, dusun 1 mah aman, malah yang waktu itu sempet ribut mah di Dusun 3 gara-gara coran jalan gitu neng. Kalau di sini mah aman, mau dari orang asli nya sama pendatang gitu selama ibu jadi RK di sini nggak pernah ada yang berantem-berantem.” (ERN, 42 th, Ibu RK)
Sama seperti yang dikatakan oleh ibu RK, ketua RT 01/01 juga menyatakan bahwa sejak banyaknya penduduk dari luar desa datang, perbedaan latar belakang budaya yang dibawa oleh masing-masing suku diakui tidak menjadi suatu hambatan yang dapat mencuat menjadi konflik, seperti penuturannya berikut: “Di RT Bapak, di RT 01/01 ini alhamdulillah semua warganya mau pribumi ataupun pendatang, semuanya alhamdulillah rukun neng. Nggak ada parsilisian, rukun aman semuanya neng biar kata bedabeda adatnya. Ada ponakan Bapak juga dari Bekasi baru aja pindah, alhamdulillah juga sampe sekarang belum ada omongan apa-apa gitu.” (KSM, 46 th, Ketua RT 01/01) Menurut pendapat informan, warga pribumi (suku Sunda) lebih dapat menerima kedatangan dari para pendatang (non-Sunda), walaupun ada beberapa yang sulit diajak berinteraksi. Sebagai pribumi sudah seharusnya mereka bersikap terbuka kepada pendatang, agar interaksi yang terjalin dapat berjalan dengan baik.
49 Secara umum para pendatang pun dapat beradaptasi dengan cepat di lingkungan barunya. Hal inilah yang dapat memicu kemudahan dalam berinteraksi baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama dalam bidang ekonomi, contohnya seperti orang Jawa yang membuka usaha bank keliling dengan nasabahnya mayoritas adalah suku pribumi. Selain itu ada juga usaha ban yang ditekuni oleh orang Medan, kemudian limbah dari usaha ban tersebut diolah oleh warga pribumi. Hal yang sama dikatakan oleh informan lain yakni ketua BPD bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antarsuku, justru seiring berjalannya waktu, pemikiran warga suku Sunda sebagai pribumi maupun suku non-Sunda sebagai warga pendatang semakin terbuka terutama dalam hal mencari pekerjaan, seperti penuturan berikut: “Kalau konflik antara warga pribumi dan pendatang hampir tidak ada, sekarang saling terbuka malah rugi. Justru dengan datangnya para pendatang membuat kolaborasi dalam pekerjaan, contohnya memberdayakan masyarakat pribumi untuk mengelola limbah dari usaha besi orang Madura, dan usaha ban orang Medan”. (JNN, 32th, Ketua BPD) Konflik atau keributan hingga terjadi kontak fisik antara warga pribumi dan pendatang memang belum pernah terjadi, namun kehidupan bertetangga antara suku pribumi (Sunda) dan suku pendatang (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi) terkesan terpisah. Dilihat dari pemukimannya, para pendatang cenderung berkelompok dengan pendatang yang berasal dari suku yang sama. Contohnya adalah Madura, mereka tinggal di satu wilayah kontrakan yang sama. Sebagian warga pendatang memang dapat hidup berbaur, dan sebagian lagi terkesan “hidup masing-masing” karena memang kondisinya warga pendatang yang sibuk mencari pekerjaan, hanya memiliki waktu luang di akhir minggu, dan tidak jarang waktu tersebut dijadikan sebagai waktu istirahat mereka. Kondisi seperti ini membuat intensitas pertemuan warga pendatang (suku Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi) yang bekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri dengan warga pribumi (Sunda) sangat sedikit. Hal ini menyebabkan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain, berdiskusi atau hanya sekedar bertegur sapa pun cenderung kecil, apalagi ikut acara kerja bakti. Sebagai contoh penuturan salah satu responden suku Minangkabau yang mengatakan bahwa ia jarang mengikuti acara kampung seperti kerja bakti karena ia sibuk dan harus menjaga usaha rumah makan Padang nya dari pagi hingga larut malam, jadi tidak ada waktu untuk mengikuti kegiatan tersebut. Walaupun begitu, suku Sunda sebagian besar sudah memahami kondisi seperti ini, sehingga kerukunan hidup bertetangga dapat terjaga. Mereka memahami jika teman berbeda sukunya sedang sibuk dengan pekerjaannya, bukan diartikan sebagai orang yang tidak mau bergaul dan sombong. Begitu pula dengan para pendatang yang mencoba menjalin kehidupan bertetangga dengan sebaik mungkin. Mereka menyadari bahwa mereka merupakan “tamu” dan harus bersikap baik serta beradaptasi dengan kehidupan suku Sunda. Perbedaan budaya antara suku pribumi dan pendatang mungkin pada awalnya membuat mereka sulit mengikuti adat dan kebiasaan suku Sunda.
50 Sebagai contoh berdasarkan keterangan responden yang merupakan salah satu pendatang dari suku Batak, menurutnya suku Sunda yang ramah selalu tersenyum dan bersalaman jika bertemu dengan orang baru (pendatang). Hal tersebut menjadi suatu hal yang tidak biasanya yang dirasakan oleh orang Batak tersebut. Orang Batak itu harus selalu mengikuti tata cara bersalaman dan membalas senyuman orang Sunda. Selain itu, jika bertemu dijalan dan orang Batak itu berniat untuk melintas, ia harus membungkukkan badan dan mengucap permisi dengan sentuhan senyuman manis. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dilakukan, cukup dengan mengucap “permisi”, itu sudah menunjukkan suatu kehormatan. Pada awalnya ia merasa canggung dan agak risih harus bersikap seperti itu, namun kelamaan karena ia merupakan pendatang, ia sadar harus mengikuti adat dan kebiasaan suku Sunda agar tidak ada suku Sunda yang merasa tersinggung. Hambatan Komunikasi Antarbudaya Kondisi efektivitas komunikasi yang belum maksimum terjadi karena masih terdapat hambatan pada proses komunikasi antarbudaya suku Sunda dan nonSunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi). Merujuk pada pendapat Gudykunst dan Kim (1997) mengenai empat filter konseptual faktor yang mempengaruhi proses komunikasi dengan orang asing, diasumsikan faktor-faktor tersebut merupakan suatu hambatan dalam proses komunikasi antarbudaya. Pengelompokan empat filter konseptual tersebut dapat menjadi acuan untuk menjelaskan dan mengelompokkan hambatan komunikasi, yakni hambatan budaya (X1), hambatan sosiobudaya (X2), hambatan psikobudaya (X3), hambatan lingkungan (X4). Hambatan sosiobudaya (X2) akan dijelaskan secara kualitatif melalui hasil wawancara mendalam, sedangkan untuk hambatan hambatan budaya (X1), psikobudaya (X3), dan lingkungan (X4) akan dijelaskan berdasarkan hasil uji kuantitatif melalui instrumen kuesioner. Hambatan Budaya Menurut Gudykunst dan Kim (1997) hambatan budaya dalam proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat dijelaskan dengan menggunakan dimensi individualistik-kolektivistik. Pada dasarnya, seorang individu tidak akan pernah dapat 100 persen digolongkan dalam orang yang memiliki karakteristik individual ataupun kolektif, akan tetapi kedua sifat tersebut tidak akan pernah terpisah. Seorang individu selalu akan berada di antara keduanya. Kadang kala akan muncul sisi individualnya yang tinggi pada waktu tertentu, dan terkadang pula sisi kolektivitasnya yang tinggi akan muncul juga. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan budaya (X1) dengan dimensi individualistik sebesar 40.84 dari skor total maksimum hambatan budaya sebesar 64.00 dan persentase hambatan sebesar 51.72. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan budaya memiliki nilai hambatan yang cenderung tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner responden pada hambatan individualistik mengenai orientasi personal,
51 yakni sikap individu yang hanya memprioritaskan pada kepentingan/keperluan diri sendiri. Orientasi personal merupakan aspek dimensi individualistik yang terjadi paling tinggi pada pasangan pertemanan berbeda budaya suku Sunda dan non-Sunda. Hal ini dibuktikan oleh pengakuan responden yang menggambarkan lebih mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan pasangan temannya. “Iya sih, kalau ada info raskin gitu mah aku kasih tau ke mama dulu, atau kalau misalnya kayak kemarin ada pembagian daging kurban tuh, langsung bilang mama biar kita ga keabisan, abis kadang suka pada double-double kupon orang-orang lain” (RFL, 24 th, Pendatang-Betawi) Selain itu penafsiran diri responden mengenai ketergantungan dirinya terhadap pasangan temannya juga menjadi aspek dimensi individualistik yang masih terjadi. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan responden yang cenderung dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus meminta pendapat dari pasangan temannya. “Teteh mah jarang cerita orangnya, main keluar juga jarang. Enakan di rumah sendiri, tapi ya kadang suka juga sih ke rumahnya dia, tapi keseringan di rumah, jadi jarang curhat-curhatan, paling ngobrol biasa aja.” (YYS, 30 th, Pribumi-Sunda) Aspek dimensi individualistik yang lain juga dapat dilihat dari aspek nilai individual, namun tidak menjadi suatu hambatan dalam komunikasi dibandingkan dengan aspek orientasi pribadi dan penafsiran diri karena pasangan pertemanan beda budaya ini cenderung masih mau berbagi satu sama lain. Hal ini dibuktikan oleh penuturan salah satu warga pribumi (suku Sunda) yang memiliki teman dari suku Jawa. “Ya kita mah sama-sama aja sih ya di sini. Dari pas pertama kali dia pindah juga emang udah sering ngobrol bareng, jadinya kalo ada apa-apa ya barengan aja, dianya juga emang baik sih kalo ada apa gitu punya apa sering ngasih ke ibu." (HUY, 30 th, Pribumi-Sunda) Hambatan sosiobudaya Hambatan sosiobudaya yang terjadi pada komunikasi pasangan pertemanan berbeda budaya yang terjadi fokus pada identitas sosial, terutama pada penggunaan bahasa sebagai bentuk dari identitas etnik. Perbedaan bahasa yang digunakan dalam suasana informal biasanya menggunakan bahasa ibu/bahasa daerah asal mereka datang. Akan tetapi, terkadang bahasa ibu yang digunakan tersebut baik sengaja atau tidak sengaja dapat menimbulkan suasana yang agak canggung karena tidak dimengerti oleh lawan bicaranya. Menurut beberapa informan, yang menjadi kendala komunikasi yang sering terjadi adalah kendala bahasa. Bahasa menjadi identitas paling mencolok untuk memperlihatkan identitas etniknya. Akan tetapi berbeda suku, pasti berbeda bahasa. Perbedaan bahasa sebagai alat komunikasi terkadang menjadi suatu hambatan yang dapat mengakibatkan kesalahan persepsi dan kesalahpahaman
52 dalam bertukar informasi. Bahasa berperan penting dalam menolong seseorang membentuk dan mempertahankan identitas etnik mereka. Pada kesehariannya, jika mereka sedang berbicara dengan sanak saudara yang memiliki kesamaan latar belakang budaya, mereka menggunakan bahasa daerahnya. Ketika mereka sedang berbicara dengan pasangan teman yang berbeda budaya, mereka menggunakan bahasa Indonesia, namun memang terkadang terdapat istilah-istilah bahasa daerah mereka yang tidak dapat dimengerti. Seperti ketika responden NHR yang merupakan warga suku Betawi tidak mengerti ketika teman suku Sunda nya menggunakan bahasa Sunda. “Bengong aja dah kita mah kan jadinya pas dia kalo lagi ngomong bahasa Sunda, lah orang kita kaga ngarti kan dia ngomong apa, suka bet tuh kayak gitu, yaudah saya bagenin aja, ya orang kita nggak ngerti hehe. Tapi paling kalo penasaran ya saya nanya itu apa artinya.” (NHR, 37 th, Pendatang-Betawi) “Kadang suka bingung Mba, apa yang mereka ketawain kalau lagi bercanda. Suka pakai bahasa Sunda, kalau saya ya ndak ngerti”. (KRM, 18 th, Pendatang-Madura) Hal yang sama juga dirasakan oleh IWD yang berasal dari suku Betawi. Selain hambatan bahasa, terdapat hambatan dalam penggunaan logat yang menjadi salah satu penciri identitas etnik, yakni logat Sunda yang masih kental digunakan oleh pasangan temannya yakni ASN. Dalam kesehariannya IWD menggunakan bahasa Indonesia, namun ketika berbicara dengan ASN, logat Sunda yang masih kental tersebut tidak terlalu menjadi suatu penghambat, karena kebetulan mertua merupakan suku Sunda, jadi ia sedikit terbiasa untuk mencoba mengerti bahasa Sunda. “Ya kalo hambatan teteh ngerasa ada, walaupun teteh udah kebawa jadi orang Sunda karena suami dan mertua teteh, tapi kadang teteh juga kagak ngarti sih kalo bahasa Sunda yang terlalu kayak gitu-gitu yang Sunda banget. Teteh paling cuma logatnya aja jadi gini. Kalo sama yang temen-temen teteh yang orang sini asli gitu ya kalo lagi kumpul di rumah itu tuh bareng teh Ai, terus kagak nggak ngerti ya teteh paling dengerin doang, teteh mah cuma ngerti dikit-dikit kalo mereka ngomong pake bahasa Sunda yang Sunda banget, tapi susah kalo mau ngomongnya” (IWD, 21 th, Pendatang-Betawi). Senada dengan IWD, HUY yang merupakan orang pribumi yang berasal dari suku Sunda juga memiliki pasangan teman yang berasal dari suku Jawa (SHR). Perbedaan logat tidak menjadi hambatan yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi keseharian di antara mereka, karena masing-masing menguasai bahasa Indonesia dengan baik, maka walaupun logat Jawa SHR masih kental, HUY tidak merasa perbedaan logat menjadi suatu masalah. “Kalau ngobrol sehari-hari ibu sama dia sama-sama pakai bahasa Indonesia, logatnya sih emang masih medok Jawa gitu, tapi ngerti sih
53 ibu mah, engga jadi masalah lah itu mah selama yang diomongin masih dimengerti”(HUY, 30 th, Pribumi-Sunda). Hal tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lubis (2012) yakni kesalahpahaman dapat terjadi karena penggunaan bahasa ibu yang digunakan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. Hambatan bahasa yang tidak dipahami masyarakat pribumi (Medan) tentang bahasa Hokkian atau Mandarin yang digunakan oleh etnik Tionghoa menyebabkan terjadinya kesalahpahaman terhadap pesan dan kesan miring terhadap etnik Tionghoa itu sendiri. Misalnya, ketika etnik Tionghoa berbicara dengan menggunakan bahasa Hokkian di lingkungan formal, maka hal tersebut dapat memicu kesalahpahaman pemikiran orang pribumi dalam mempersepsikan isi pesan mereka. Perilaku etnik Tionghoa yang selalu menggunakan bahasa Hokkian dengan sesama etniknya, menimbulkan kesan miring berupa kesombongan etnik Tionghoa yang tidak mau berbaur dengan masyarakat pribumi. Padahal hal tersebut mereka lakukan karena merasa lebih nyaman dan pesan yang disampaikan dapat sama-sama dipahami. Akan tetapi, pengakuan dari informan etnik Tionghoa mengungkapkan bahwa etnik pribumi juga melakukan hal yang sama. Mereka menggunakan bahasa ibu ketika berbicara dengan sesama etniknya. Sehingga memunculkan kesan miring bahwa etnik pribumi tidak bersifat terbuka dengan kehadiran etnik Tionghoa. Hambatan Psikobudaya Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa faktor psikobudaya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penataan pribadi. Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis yaitu kita dapat melihat faktor psikologi dapat mempengaruhi ekspektasi, tafsiran dan prediksi yang kita atas perilaku orang lain dalam berkomunikasi dengan orang lain yang dapat dilihat dari stereotype, etnosentrisme, prasangka etnik. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan psikobudaya (X3) sebesar 63.32 dari skor total maksimum hambatan psikobudaya sebesar 112.00 dan persentase hambatan sebesar 42.06. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan psikobudaya memiliki nilai hambatan yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan hambatan budaya dan hambatan lingkungan. Jika dipaparkan secara spesifik, hambatan psikobudaya terbagi menjadi 3 dimensi yakni dimensi stereotype (X3A), etnosentrisme (X3B), dan prasangka (X3C). 1. Stereotype (X3A) Secara pribadi stereotype ini terkadang dapat muncul saat kita berada di lingkungan baru dan bertemu dengan orang-orang baru sehingga dapat menimbulkan rasa cemas. Sebagai contoh orang suku Batak yang berasal dari Medan yang memang sudah terbiasa berbicara dengan menggunakan nada tinggi, memberikan kesan bahwa orang Batak itu galak. Orang Jawa cenderung lamban, Orang Madura suka berkelahi. Hal tersebut menyebabkan gejala stereotype etnik dapat dianggap sebagai penghambat dalam interaksi antar suku
54 bangsa dan lebih jauh lagi ke integrasi nasional karena sangat sulit diubah secara rasional (Munawaroh 2009). Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan stereotype (X3A) sebesar 18.84 dari skor total maksimum hambatan psikobudaya sebesar 32.00. dan persentase hambatan sebesar 45.16. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan stereotype (X3A) cenderung rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pada dasarnya memang mereka memiliki stereotype terhadap pasangan teman yang berbeda suku, namun hal tersebut tidak menjadi suatu hambatan yang berarti karena masing-masing saling menjaga perasaan pasangan temannya dalam berinteraksi sehari-hari, seperti penuturan berikut: “Kalau ibu mah gimana yah, orang Padang, orang Batak gitu pada baik-baik semua ke ibu, nggak ada yang suka nantangin gitu, gimana kitanya juga kali sih yah, katanya kan kalo orang Sumatera tuh keras orangnya, tapi asaan mah kalau kitanya ngerti sama sifat mereka mah mungkin ke kitanya juga nggak bakalan sakit hati gitu, kayak misalnya orang Batak yang suka ngomong kenceng-kenceng, kasar, ibu mah udah tau yah jadi ya biasa aja gitu, nggak dimasukin ke hati” (ERN, 42 th, Ibu RK) Hal tersebut didukung oleh pendapat Ketua BPD Desa Tanjungbaru ketika sedikit menyinggung bahasan tentang stereotype terhadap suku lain, berikut penuturannya: “...memang kalau stereotype ya ada yah buat saya pribadi, tapi kalau udah kenal dan dia orangnya asik dan bisa beradaptasi mah enak aja, lagian kalau dia yang tidak bisa beradaptasi dia yang rugi sendiri, kan dia hidup di sini butuh bantuan orang, misalnya butuh pasir, butuh apa gitu kalau udah kenal mah kan enak” (JNN, 32 th, Ketua BPD). 2. Etnosentrisme Etnosentrisme adalah suatu tendensi atau kecenderungan seorang individu untuk mengidentifikasi dan untuk mengevaluasi orang dari luar kelompok individu tersebut. Seorang individu menilai orang di luar kelompoknya dengan standar kita, dengan arti lain bahwa seorang individu itu menganggap sukunya adalah yang lebih baik dibandingkan dengan suku orang lain di luar kelompoknya. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan etnosentrisme (X3B) sebesar 13.64 dari skor total hambatan etnosentrisme sebesar 24.00 dan persentase hambatan sebesar 42.44. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan etnosentrisme (X3B) cenderung rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, etnosentrisme yang terjadi di Desa Tanjungbaru pun tidak mencuat secara nyata. Hambatan cenderung tidak tinggi dan tidak rendah. Hal tersebut terjadi karena responden
55 merasa bahwa masing-masing suku memiliki karakter, sifat, dan peraturan pada sukunya. Jadi, tidak dapat dengan mudah dikatakan bahwa pasangan temannya harus mengikuti standar nilai dan norma yang berada dalam sukunya, namun ia tetap menjadikan sukunya sebagai suatu kebanggaan bagi dirinya dalam kelompok sosialnya. “...ya kagak bisa gitu juga sih ya, kita kadang ngebela suku kita paling baik, kan emangnya karena suku kita sendiri, walaupun emang saya nganggepnya suku saya baik. Tapi kadang kalo kita juga salah, jadi malu kon. Lagian malah suku lain yang bisa lebih dekat dengan kita ya kan lebih baik.” (NHR, 37 th, PendatangBetawi) 3. Prasangka Menurut Gerungan seperti dikutip oleh Munawaroh (2009) menyatakan bahwa prasangka dapat terjadi karena adanya kecurangan pengetahuan dan pengertian akan hidup orang lain, kepentingan perorangan akan golongan dan ketidaksadaran akan kerugian yang dialami. Prasangka dapat menghambat komunikasi karena mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin dapat macet karena berlandaskan persepsi yang keliru. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih menyenangkan daripada dengan orang yang tidak dikenal. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan prasangka sebesar 30.85 dari skor total hambatan prasangka (X3B) sebesar 56.00 dan persentase hambatan sebesar 40.11. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan prasangka cenderung rendah. Hal ini dapat disimpulkan karena usia pertemanan yang terbilang belum terlalu lama, ditambah dengan intensitas pertemuan yang tidak terlalu tinggi memang belum membuat masing-masing pasangan pertemanan mengenal satu sama lain secara detil. Selain itu juga disebabkan oleh responden yang memiliki kecenderungan berpikir negatif atas apa yang dilakukan oleh temannya. Hal itulah yang menyebabkan adanya prasangka pada responden yang berupa perasaan negatif terhadap pasangan temannya. Menurut Samovar et al. (2010) prasangka dapat dinyatakan dalam berbagai cara (kadang secara halus dan tidak langsung, namun juga kadang secara terang-terangan dan langsung). Dari kelima pernyataan prasangka, maka prasangka yang terjadi di antara pertemanan orang berbeda budaya antara suku Sunda dan non-Sunda yakni ketika mereka menghindari dan/atau menarik diri untuk berhubungan dengan kelompok yang tidak disukai. “...komo lamun dulurna daratang. Dulurna mah sok sarombong nya pedah jelema beunghar mereun, da datangna ge sok make mobil kadieuna, lamun aya dulurna mah teteh tara milu ngobrol, ah beda weh ka teteh mah, jelema teu boga mereun. Manehna oge
56 kadang sok rada sombong, tapi da kumaha bae weh da sabenerna manehna mah ka teteh mah da bageur” (IPT, 31 th, PribumiSunda). Selain itu, prasangka juga sempat dialami oleh IWD (suku Betawi) yang sempat memiliki prasangka terhadap pasangan temannya yakni warga pribumi (Sunda), namun hal tersebut tidak berjalan lama, setelah adanya konfirmasi dari pasangan temannya tersebut. “...pas 3 bulan kemaren tuh pernah salah paham, pas dia ada hajatan ulang tahun anaknya, anak teteh kagak diundang tuh, kok gitu bangat sih sombong pikirnya teteh. Yaudah kan ya teteh kagak dateng, orang kita kagak diundang. Nah pas besoknya pas ketemu di warung, teteh ditanya tuh kenapa fadil (anak teteh) kagak dateng, padahal dateng ya dateng aja si fadil katanya. Paling gitu doang salah pahamnya.” (IWD, 21 th, Pendatang-Betawi) Hambatan Lingkungan Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa faktor lingkungan adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan yang dapat mempengaruhi persepsi, emosi, sikap, tingkah laku, dan perasaan kita. Misalnya lingkungan fisik seperti lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural, persepsi atas lingkungan tersebut mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang kita buat mengenai perilaku orang lain karena orang lain mungkin mempunyai presepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka mungkin menafsirkan perilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi yang sama. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh diperoleh rata-rata skor total hambatan lingkungan (X4) adalah 87.38 dari skor total hambatan lingkungan (X4) sebesar 144.00 dan persentase hambatan sebesar 47.57. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan lingkungan cenderung tinggi. Hal itulah yang menyebabkan adanya persepsi responden mengenai pasangan teman responden yang berupa perasaan negatif. Jika dipaparkan secara spesifik, hambatan lingkungan terbagi menjadi empat dimensi yakni dimensi lingkungan fisik (X4A), situasi (X4B), situational norms and rules (X4C), dan lingkungan psikologi (X4D). Berdasarkan Tabel 6 hambatan lingkungan yang mempengaruhi proses komunikasi dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu lingkungan fisik, situasi, situational norms and rules dan lingkungan psikologi. Lingkungan dimana tempat interaksi antara pasangan pertemanan berbeda budaya ini akan mempengaruhi proses komunikasi. 1. Lingkungan fisik Lingkungan fisik ketika komunikasi sedang berlangsung akan mempengaruhi bagaimana cara seseorang untuk berkomunikasi. Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa kondisi geografis, iklim, arsitektur dan lanskap. Berdasarkan hasil survei terhadap Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan lingkungan fisik
57 (X4A) sebesar 20.08 dari skor total hambatan lingkungan fisik (X4A) sebesar 32.00 dan persentase hambatan sebesar 50.33. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan lingkungan fisik memiliki nilai hambatan yang cenderung tinggi dibandingkan dengan dimensi hambatan lingkungan yang lain. Pada hambatan ini terjadi ketika keadaan letak geografis membentuk budaya masing-masing. Perbedaan letak geografis dan juga kepadatan penduduk baik yang ada di Desa Tanjungbaru maupun di tempat asal para pendatang suku non-Sunda dapat mempengaruhi bagaimana cara berkomunikasi. Pulau Sumatera yang kepadatan penduduknya cenderung lebih rendah dibandingkan di Pulau Jawa. Misalnya pemukiman asli orang Batak yang tinggal di daerah pegunungan, rumah berjauhan dan banyak dilalui oleh angin yang kencang, membuat suatu budaya komunikasi orang Batak yang harus berbicara dengan volume suara keras agar terdengar oleh lawan bicaranya. Berbeda dengan pulau Jawa, terlebih daerah Desa Tanjungbaru yang kini mulai padat penduduknya, awalnya mungkin tidak terbiasa atas perbedaan volume suara pada saat berkomunikasi yang mempengaruhi bagaimana cara kita berbicara dengan orang lain. Akan tetapi, seiring makin banyaknya pendatang suku non-Sunda dari daerah Sumatera yang datang, maka warga pribumi pun sudah tidak asing lagi jika berbicara dengan orang Medan yang menggunakan volume suara keras. “Kaget saya mbak awalnya dia kalo ngomong kenceng banget saya awalnya mikir ini padahal cewek ngga bisa pelan-pelan gitu,ngga ada lembut-lembutnya, rada cablak apa adanya juga kan, dulu sih pas awal kenal ya agak nggak enak gitu, tapi saya paham si, tau dia ya sebenernya maksutnya nggak gitu, cuma emang kalo ngomong kenceng banget gitu” (FAS, 26 th, Pribumi-Sunda). Selain letak geografis, penataan ruangan juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi proses komunikasi (Gudykunst dan Kim 1997). Berdasarkan keterangan yang didapat dari responden suku Jawa, jika di rumahnya hendak mengadakan acara atau hanya sekedar berkumpul dengan ibu-ibu, ia selalu menyiapkan tempat di bagian depan ruang tamu yang bersatu dengan usaha warungnya, sedangkan ruangan bagian dalam ditutup dengan kain gorden. Ia selalu menerima tamu di ruangan tersebut, karena menurutnya ruangan bagian dalam adalah ruangan pribadi untuk anak dan suaminya saja. Hal ini dilengkapi oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Astagini (2009) yang menyatakan bahwa penggunaan ruangan (arsitektur lanskap) dapat mempengaruhi arus komunikasi yang terjadi. Keluhan yang disampaikan oleh informan pada penelitian yang dilakukan oleh Astagini (2009) yakni pengaturan ruangan pada lembaga X yang terkesan memberikan jarak antara satu anggota kelompok dengan anggota lain. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan anggota ketika perubahan ruangan yang semula luas, terbuka dan tanpa sekat, kini berubah menjadi blok-blok ruangan yang terkesan sangat membedakan status anggota kelompok satu dengan lainnya. 2. Situasi Situasi saat berlangsungnya komunikasi juga mempengaruhi proses komunikasi antarbudaya. Ketika situasi seperti latar tempat, waktu, dengan
58 siapa berbicara, emosi, mood, dan apa tujuan pembicaraan menjadi suatu yang tidak sesuai dengan harapan, maka hal-hal tersebut tentunya akan membuat suasana komunikasi menjadi tidak efektif. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan situasi (X4B) sebesar 33.93 dari skor total hambatan situasi sebesar 56.00 dan persentase hambatan sebesar 47.46. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan situasi memiliki nilai hambatan yang cenderung rendah. Hambatan situasi yang terjadi yakni suatu kondisi yang dapat mempengaruhi proses komunikasi yang berlangsung, seperti setting waktu dan tempat, tujuan berkomunikasi saat itu (materi yang didiskusikan), partisipan komunikasi, hubungan antara partisipan. Secara keseluruhan hambatan situasi yang paling besar yakni pada aspek partisipan komunikasi, yaitu pasangan temannya sendiri. Terkadang terdapat sifat pada pasangan temannya yang sebenarnya tidak membuat responden untuk tertarik untuk berkomunikasi lebih lama. Sikap responden tersebut terbentuk sesuai tingkat responden menyukai lawan bicaranya. Hal tersebut dirasakan oleh salah satu responden, ketika pasangan teman suku Sunda ikut campur dalam mengomentari urusan keluarganya, NHR tetap memendam rasa kesalnya, hal tersebut kadang membuatnya agak sedikit “malas” untuk berkomunikasi, terutama membicarakan masalah pribadi. “... tapi tetep aja gitu, saya ngerasanya dia terlalu ikut campur banget masalah keluarga saya, mentang-mantang dia lebih tua gitu, abisnya kadang keseringan banget gitu neng ikut campurnya, ya kalo sekali dua kali bagen dah saya gapapa yah. Emangnya aja dia suka gitu. Tapi itu dulu sih, sekarang sih saya udah biasa aja ke dianya” (NHR, 37 th, Pendatang-Betawi). Hal tersebut diperkuat oleh informasi yang disampaikan oleh salah satu informan penelitian. ADI yang baru pindah sekitar tahun 2008 akhir ini mencoba untuk terus beradaptasi dengan keadaan dan suku pribumi. Dari awal membuka praktek bidan dirumahnya hingga kini banyak hal-hal atau kejadian yang cukup membuatnya agak kaget. ADI berasal dari Kuningan, dan menurutnya suku Sunda yang berasal dari Kuningan selalu menggunakan bahasa yang halus, berbeda sekali dengan kondisi lingkungan tempat ADI tinggal sekarang, yang penggunaan bahasanya dianggap lebih kasar dibandingkan dengan bahasa suku Sunda asal Kuningan. Akan tetapi, interaksi sehari-hari dengan orang pribumi ataupun orang suku lain diakuinya tidak dapat dihindari, terlebih istrinya merupakan seorang bidan yang bertugas di desa tersebut, jadi saat awal kepindahannya itu, ADI mengakui bahwa cukup berhubungan seperlunya dengan orang pribumi, seperti penuturan berikut: “...memang sih karakter orang sini begitu, jadi untuk berhubungan tuh terlalu jauh jangan, terlalu dekat juga jangan. Sunda di sini bahasanya kasar, makanya awal saya pindah saya kaget kok anak kecil ngomongnya tuh nggak semestinya gitu, kasar banget dan itu dibiarin aja sama orangtuanya” (ADI, 37 th, Bidan)
59 3. Situational Norms and Rules Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa norma-norma dan aturanaturan yang terdapat pada suatu budaya dapat mengarahkan seorang individu untuk berperilaku pada situasi tertentu, karena ketika berkomunikasi dengan orang asing/yang memiliki perbedaan lata belakang budaya, maka norma dan aturan-aturan tersebut memiliki kecenderung yang lebih besar untuk dilanggar dibandingkan ketika sedang berkomunikasi dengan kelompok sosialnya. Dengan mengetahui norma dan aturan yang bersifat situasional pada kelompok sosial lain, maka akan dapat membimbing seorang individu untuk berperilaku sebagaimana mestinya agar dapat tercapai suatu komunikasi antarbudaya yang efektif. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata skor total hambatan situasional norms and rules (X4C) sebesar 16.61 dari skor total hambatan situasional norms and rules (X4C) sebesar 28.00 dan persentase hambatan sebesar 45.76. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan situasional norms and rules memiliki nilai hambatan yang cenderung rendah. Hal ini terjadi karena pada dasarnya masing-masing pasangan pertemanan tidak memiliki perbedaan norma dan aturan yang terbentang jauh, seperti penuturan salah satu responden berikut: “Kalau hambatan kayak norma atau aturan sih nggak ada yah, sama aja pada dasarnya, cuma memang ada beberapa hal aja yang beda, tapi jadi lucu. Misalnya kalau orang Sunda kan setiap bertamu tuh selalu salaman, murah senyum kan senyum terus, udah gitu selalu menawarkan makanan atau suguhan, nah kalau di adat saya kayak begituan ya dianggap seperlunya aja, nggak perlu berlebihan salaman-salaman terus. Waktu itu saya juga pernah makan bareng dia, terus saya sendawa, kalau di adat saya sih biasa aja, tapi katanya di adat dia itu dianggap tidak baik, kalau saya sendawa dia suka bilang goreng patut” (NRH, 24 th, Pendatang-Batak). 4. Lingkungan Psikologi Persepsi seseorang yang muncul mengenai suatu lingkungan juga dapat berpengaruh secara langsung terkait bagaimana seseorang akan menginterpretasikan stimulus yang datang dan membuat suatu prediksi mengenai perilaku orang lain. Orang-orang dari beberapa budaya memahami suatu hambatan fisik (seperti pintu yang tertutup, penggunaan pagar untuk penjagaan rumah) sebagai sesuatu pengaturan dalam menjaga hal-hal pribadi mereka, sementara orang-orang dalam budaya lain tidak merasakan hambatan fisik tersebut sebagai mekanisme pengaturan penjagaan hal-hal pribadi. Sebaliknya, mereka menganggap hal-hal pribadi tersebut sebagaimana diatur oleh hambatan psikologis misalnya berpura-pura bahwa tidak ada orang disana. Berdasarkan hasil survei terhadap 40 pasang pertemanan responden dalam kehidupan ketetanggaan yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh rata-rata
60 skor total sebesar 16.76 dari skor total hambatan lingkungan psikologi (X4D) sebesar 28.00 dan persentase hambatan sebesar 46.76. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hambatan lingkungan psikologi memiliki nilai hambatan yang cenderung rendah. Akan tetapi, masih ada hambatan yang terjadi pada responden ketika memang pintu rumah pasangan temannya selalu tertutup, hal tersebut memberi kesan kepada responden bahwa pasangan temannya merupakan orang yang tertutup dan tidak mau diganggu, seperti penuturan responden berikut: “...rumahnya emang keseringan ketutup teh, jarang keluar juga, paling keluar kalau mau kerja atau ada urusan aja, jadi saya juga kan jadi segen gitu ya teh kalau mau main, ya tapi kalau mau kesana sih ketok-ketok aja, atau sms dulu gitu dia ada di rumah apa engga. Emang orangnya rada tertutup sih teh, tapi kalo buat ngobrol sehari-hari mah negor ya negor gitu nyapa.” (ASH, 20 th, Pribumi-Sunda)
61
ANALISIS PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA TERHADAP EFEKTIVITAS KOMUNIKASI Hambatan komunikasi yang merujuk pada empat filter konseptual Gudykunst dan Kim (1997) diduga mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya secara signifikan. Oleh karena itu, untuk melihat pengaruh hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya, penulis menguji 40 pasang pertemanan berbeda budaya sebagai responden dalam penelitian ini. Hasil jawaban dari responden diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda. Hasil uji statistik regresi linier berganda menunjukkan bahwa hambatan komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai signifikansi, nilai koefisien, dan arah pengaruh variabel pengaruh terhadap variabel terpengaruh berdasarkan hasil uji statistik analisis regresi linier berganda No 1 2 3 4 5 6
Variabel Konstanta Budaya (X1) Psikobudaya (X3) Lingkungan (X4) Nilai signifikasi uji F Nilai koefesien determinasi
B 192.202 -0.420 -0.826 -0.296
Sig. 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.800
Arah pengaruh Negatif Negatif Negatif Negatif
Hasil uji F (anova) dan uji koefisien determinasi (R square) digunakan untuk melihat pengaruh hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. Hasil uji F (Tabel 7) hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi menghasilkan nilai signifikansi (p) = 0.000 (p < 0.05), dimana nilai signifikan tersebut merupakan nilai yang lebih kecil dari 5 persen atau 0.05, artinya hambatan komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas komunikasi. Hasil uji regresi koefisien determinasi (R Square) yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa hambatan komunikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas komunikasi. Hasil uji koefisien determinasi (R Square) menyatakan seberapa besar pengaruh yang dimiliki oleh hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi. Berdasarkan Tabel 7 diperoleh nilai R square yang menunjukan angka 0.800. Angka koefisien determinasi ketiga variabel tersebut tersebut memiliki arti bahwa pengaruh hambatan budaya (X1), hambatan psikobudaya (X3) dan hambatan lingkungan (X4) memberikan sumbangan sebesar 80.0 persen terhadap perubahan efektifitas komunikasi (Y), dan sisanya sebesar 20.0 persen merupakan sumbangan dari variabel lain.
62 Berdasarkan hasil pengujian regresi linier berganda pada Tabel 7 diperoleh mendapatkan suatu persamaan sebagai berikut: Ŷ = 192.202 – 0.420X₁ – 0,826X₃ – 0,296X₄ Keterangan: Y : Efektivitas komunikasi X1 : Hambatan Budaya X3 : Hambatan Psikobudaya X4 : Hambatan Lingkungan Nilai konstanta adalah 192.202. Hal tersebut berarti nilai hambatan budaya, hambatan psikobudaya, hambatan lingkungan bernilai 0, maka nilai skor efektivitas komunikasi bernilai 192.202. Berdasarkan hasil signifikansi dari hasil uji statistik analisis regresi linier berganda dapat diketahui signifikansi pengaruh variabel X (X1, X3, X4) terhadap variabel Y. Signifikansi hasil uji statistik analisis regresi linier berganda pengaruh hambatan komunikasi (hambatan budaya (X1), hambatan psikobudaya (X3), hambatan lingkungan (X4)) terhadap efektivitas komunikasi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan persamaan model regresi tersebut, jika koefisien variabelnya diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil maka diurutan pertama adalah koefisien dari variabel X3 (hambatan psikobudaya), urutan kedua adalah koefisien dari variabel X1 (hambatan budaya) dan urutan terakhir adalah koefisien dari variabel X4 (hambatan lingkungan), hal tersebut berarti bahwa hambatan yang terbesar pengaruhnya adalah hambatan psikobudaya, kemudian hambatan budaya, dan yang terakhir adalah hambatan lingkungan. Berdasarkan hasil Tabel 7, variabel hambatan budaya (X1), psikobudaya (X3), dan lingkungan (X4) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel efektivitas komunikasi (Y) dengan masing-masing arah pengaruh negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi hambatan budaya (X1), psikobudaya (X3), dan lingkungan (X4) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin rendah efektivitas komunikasi (Y) yang terjadi, begitupun sebaliknya, semakin rendah hambatan budaya (X1) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin tinggi efektivitas komunikasinya (Y). Secara spesifik, dapat dilihat menurut aspek apa yang memiliki pengaruh lebih besar dari masing-masing variabel, melalui nilai signifikansi dari subvariabel pada tabel berikut:
63 Tabel 8
No 1 2 3 4 5 6
Nilai koefisien, nilai signifikansi, dan arah pengaruh berdasarkan hasil uji statistik variabel pengaruh (Individualistik, stereotype, etnosetrisme, prasangka, lingkungan fisik, situasi, situasional norms and rules, dan lingkungan psikologi) dan variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi)
Variabel
Efektivitas komunikasi (Y) Budaya (X1) Individualistik (X1A) Stereotype (X3A) Etnosentrisme (X3B) Psikobudaya (X3) Prasangka (X3C) Lingkungan Fisik (X4A)
7 8 9
Subvariabel
Lingkungan (X4)
Situasi (X4B) Situational Norms and Rules (X4C) Lingkungan psikologi (X4D)
B
Sig.
Arah pengaruh
186.162 -0.277 -0.862 -0.674 -0.587
0.000 0.005 0.000 0.008 0.001
Negatif Negatif Negatif Negatif
-0.676
0.008
Negatif
-0.422
0.005
0.229
0.084
Negatif Positif (tidak signifikan)
-0.621
0.002
Negatif
Pengaruh Hambatan Budaya terhadap Efektivitas Komunikasi Berdasarkan Tabel 8 variabel hambatan budaya (variabel X1) berpengaruh terhadap variabel efektivitas komunikasi (variabel Y) dengan arah pengaruh negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi hambatan budaya (X1) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin rendah efektivitas komunikasi (Y) yang terjadi, begitupun sebaliknya, semakin rendah hambatan budaya (X1) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin tinggi efektivitas komunikasinya (Y). Berdasarkan Tabel 8, nilai signifikansi hambatan budaya adalah sebesar 0.000 lebih kecil 0.05 sehingga hipotesis diterima. Hambatan budaya merupakan hambatan dalam proses komunikasi yang dilihat dari dimensi individualistik-kolektivistik. Dimensi ini merupakan suatu dimensi utama keragaman budaya yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan dan kesamaan dalam komunikasi antar partisipan yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Berdasarkan Tabel 8 variabel hambatan individualistik (X1A) berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi secara signifikan dengan arah pengaruh negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi hambatan individualistik (X1A) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin rendah efektivitas komunikasi yang terjadi (Y). Begitupun sebaliknya, semakin rendah hambatan individualistik (X1A) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin tinggi efektivitas komunikasinya (Y). Pada Tabel 8 nilai signifikansi hambatan individualistik adalah 0.005 lebih kecil 0.05 sehingga hipotesis diterima. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh budaya dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya dilihat dari sisi individualistik responden terhadap pasangan teman berbeda budayanya, berupa sifat yang masih lebih mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan pasangan
64 temannya sebagai anggota dari suku yang berbeda sehingga masih menimbulkan perasaan canggung dan tersinggung pada beberapa responden. Hal ini dapat disebabkan kedekatan yang terjalin belum cukup lama, maka dari itu, masing-masing masih lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Sikap ini lah yang terkadang dapat memunculkan perasaan canggung untuk mencoba mendekati dan masuk kedalam kehidupan pasangan temannya. Intensitas pertemuan yang tidak terlalu tinggi menjadi faktor pendukung terjadinya hambatan budaya di antara mereka. Terlebih kondisi suku non-Sunda yang terkadang hanya berkumpul dengan sesama sukunya saja, contohnya seperti suku Madura. Hal tersebut membuat suku Sunda merasa canggung jika ingin mencoba bergabung dengan teman suku Madura nya tersebut. Selain itu, misalnya suku Batak yang cenderung low context yakni dicirikan dengan berkata apa adanya dan terbuka, terkadang menjadi suatu hal yang menyinggung perasaan teman berbeda budayanya. Sebagai contoh adalah yang dirasakan oleh salah satu responden ketika pasangan temannya berkomentar tentang dirinya, berikut penuturan FAS: “...dia mah emang cuek sih yah orangnya, jarang juga ngumpul sama kita-kita mah. kalo ngomong suka japlak, pas awal sih tersinggung mana kalau ngomong kayak judes gitu kan, tapi kesininya mah udah biasa aja, nggak usah dimasukin ke hati gitu, itu mah emang dia orangnya seperti itu kan”. (FAS, 26 th, Pribumi-Sunda) Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Aksan (2009) tentang komunikasi antarbudaya yang terjadi antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa di Solo. Sifat etnis Tionghoa yang mempunyai cara berpikir apabila mereka mempunyai masalah maka tidak perlu meminta pertolongan dari orang lain selama masalah tersebut dapat diselesaikan sendiri. Pemikiran inilah yang mungkin saja menimbulkan persepsi bahwa etnis keturunan Tionghoa merupakan sosok yang individual. Sikap individualistik yang sering melekat di etnik keturunan Tionghoa mungkin saja karena mereka selalu mengerjakan segala sesuatu itu dengan mengandalkan diri sendiri, bukan karena bantuan dariorang lain sehingga terciptalah sebuah persepsi bahwa etnik Tionghoa merupakan sosok yang individualistik. Hambatan budaya berupa sifat individualistik itulah terkadang memicu munculnya kesalahpahaman yang akhirnya mempengaruhi komunikasi etnis Jawa dan etnis Tionghoa sehari-hari. Penelitian lain yang mendukung adanya pengaruh hambatan budaya berupa sifat individualistik terhadap efektivitas komunikasi antar budaya yakni penelitian yang dilakukan oleh Tinambunan (2012). Dari hasil pengamatannya, diperoleh informasi bahwa pada umumnya responden dari suku yang sama tinggal berkelompok dalam suatu daerah tertentu, sehingga muncul nama-nama daerah sesuai dengan daerah asal mereka. Contohnya seperti salah satu nama jalan/gang di daerah Duri Kecamatan Mandau yang diberi nama Gang Toba. Nama jalan/gang tersebut menunjukkan bahwa migran yang bertempat tinggal di daerah itu dominan berasal dari daerah Toba atau Tapanuli, Sumatera Utara. Pengelompokan para migran dalam suatu daerah tertentu akan menghambat proses komunikasi antarbudaya, selain itu jika terjadi suatu peristiwa di luar dari etnis individu atau kelompoknya maka migran merasa tidak perlu mementingkan kelompok lain di luar kelompoknya.
65 Pengaruh Hambatan Sosiobudaya terhadap Efektivitas Komunikasi Merujuk pada pendapat Gudykunst dan Kim (1997) bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok dapat mempengaruhi proses komunikasi. Keanggotaan seorang individu dalam suatu kelompok etnis akan memunculkan suatu konsep diri yang merasa mereka merupakan bagian dari kelompok tersebut karena memiliki budaya, cara pandang, serta kemiripan satu sama lain. Identitas suatu kelompok etnik dapat di perlihatkan dengan penggunaan bahasa yang menjadi ciri khas setiap suku. Bahasa memang menjadi salah satu alat yang dapat mengeksistensikan sukunya, namun penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan suasana pembicaraan, seperti dalam keadaan formal, akan menjadi suatu hal yang dapat memicu kesalahpahaman. Perbedaan bahasa sebagai identitas etnik juga dapat menjadi hambatan ketika lawan bicara yang berbeda suku tidak dapat memahami pembicaraan, sehingga pada beberapa kasus membuat lawan bicaranya merasa canggung dan tersinggung. Hal tersebut terbukti ketika salah satu responden menyatakan bahwa perbedaan bahasa pada suku masing-masing terkadang membuat responden tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan, bahkan merasa tersinggung karena seperti merasa sedang menjadi bahan pembicaraan. Kesalahpahaman juga dapat memunculkan rasa canggung. Rasa canggung ini muncul karena tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan ketika sedang berkumpul dengan orang-orang yang berbeda suku dengannya. Hal tersebut dapat dilihat dari penuturan salah satu responden berikut: “Kadang suka tersinggung sih kalau lagi kumpul, sesama mereka mah ngomong bahasa Sunda, ngomong apaan sih ini kan, ngomongin kita apa kagak, kita jadi bingung mau bales ngomong apa, paling biar ngademin hati sendiri sih ya ikut iya iya aja, padahal mah kagak ngarti. Iya terus kan jadi canggung juga jadinya, ya kalau kita kagak ngarti mau ngomong apa, apalagi disini kan teteh baru yah, jadi juga belum terlalu tau sifat mereka banget. Jadi kendala yang paling susah sih bahasa, karena sukunya beda kan ya bahasa yang paling susah dipahami.” (IWD, 21 th, Pendatang-Betawi) Hal ini diperkuat oleh salah satu penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lubis (2012) menyatakan bahwa kesalahpahaman pada komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Batak disebabkan oleh penggunaan bahasa ibu sebagai identitas etniknya yang digunakan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. Hambatan bahasa yang tidak dipahami suku Batak tentang bahasa Hokkian dan Mandarin sebagai ciri identitas etnik Tionghoa menyebabkan terjadinya kesalahpahaman terhadap makna pesan yang disampaikan dan memberikan kesan miring terhadap etnik Tionghoa tersebut, bahkan menimbulkan rasa tersinggung pada etnik Batak selaku suku pribumi, seolah-olah etnik Tionghoa tidak mau ikut berbaur dengan suku pribumi. Padahal hal tersebut dilakukan oleh etnik Tionghoa karena mereka merasa lebih nyaman dan pesan yang disampaikan dapat sama-sama dipahami. Selain itu penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Christy (2013) terkait komunikasi antarbudaya antara dosen native asal China dengan mahasiswa asal
66 Indonesia, hambatan komunikasi terjadi karena pengginaan aksen yang masih melekat dalam pelafalan mahasiswa asal Indonesia yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan logat Jawa (Surabaya). Ketika menggunakan bahasa Mandarin di kelas, mahasiswa asal Indonesia tersebut menggunakan bahasa Mandarin dengan menambahkan aksen Surabaya. Hal ini menbuat dosen native sulit memahami pesan dan menyandi kembali pesan yang dimaksud oleh mahasiswa. Akan tetapi di sisi lain, berdasarkan keterangan salah satu informan mengatakan bahwa komunikasi sehari-hari berjalan efektif walaupun memiliki perbedaan agama. Misalnya orang Batak yang beragama Kristen, walaupun berbeda agama dengannya tetapi tetap menjalin hubungan baik. Kuncinya adalah saling menghormati dan saling menghargai. Misalnya ketika hari raya seperti Lebaran ataupun Natalan, masing-masing saling mengirimkan makanan, sebagai bentuk apresiasi dan bentuk saling menghargai. Kemudian rasa memaklumi kebiasaan suku lain juga membantu untuk mengurangi rasa tersinggung, seperti penuturan informan berikut: “Orang kan emang beda yah, misalnya agama deh. Biar kata orang Batak ada yang Kristen, kita Islam, kita tetep suka berbagi aja gitu. Ibu mah ngirim-ngirim makanan, dia juga gitu kalau Natal. Kalau ibu mah yah gimana yah, orang Padang, orang Batak gitu pada baik-baik semua ke ibu, nggak ada yang suka nantangin gitu, ya gimana kitanya juga kali sih yah, kalau kitanya ngerti sama sifat mereka mah mungkin ke kitanya juga nggak bakalan sakit hati gitu” (ERN, 52 th, ibu RK)
Pengaruh Hambatan Psikobudaya terhadap Efektivitas Komunikasi Berdasarkan Tabel 8, variabel hambatan psikobudaya (variabel X3) berpengaruh terhadap variabel efektivitas komunikasi (variabel Y) dengan arah pengaruh negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi hambatan psikobudaya (X3) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin rendah efektivitas komunikasi (Y) yang terjadi, begitupun sebaliknya, semakin rendah hambatan psikobudaya (X3) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin tinggi efektivitas komunikasinya (Y). Berdasarkan Tabel 8, nilai signifikansi hambatan psikobudaya adalah sebesar 0.000 lebih kecil 0.05 sehingga hipotesis diterima. Terdapat tiga dimensi dari hambatan psikobudaya, yakni stereotype, etnosentrisme, dan prasangka. Berdasarkan hasil uji statistik yang disajikan pada pada Tabel 8, jika diurutkan dari koefisien terbesar hingga terkecil pada variabel bebas X3A, X3B, dan X3C adalah koefisien variabel X3A (stereotype) dengan nilai koefisien -0.862, X3B (etnosentrisme) dengan nilai koefisien -0.674, kemudian diikuti X3C (prasangka) dengan nilai koefisien -0.587. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pada hambatan psikobudaya (X3) yang terjadi, dimensi stereotype (X3A) menduduki peringkat pertama dalam tingkat pengaruh hambatan psikobudaya terhadap efektivitas komunikasi dengan nilai signifikansi 0.000, kedua adalah dimensi etnosentrisme (X3B) dengan nilai signifikansi 0.008 dan
67 kemudian diikuti dimensi prasangka (X3C) dengan nilai signifikansi 0.001 pada peringkat ketiga. Hal tersebut terbukti ketika stereotype sempat dirasakan oleh salah satu responden terhadap pasangan temannya dari suku Batak. Suku Batak yang dianggapnya sebagai sosok yang berbicara apa adanya dan galak, membuat FAS (suku Sunda) merasa canggung untuk memulai pembicaraan, bertukar pendapat, bahkan pernah merasa tersinggung karena ucapan orang Batak yang mengatakan bahwa orang Sunda adalah pemalas, seperti penuturannya berikut: “Tapi kadang kalo ngomong suka to the point apa adanya mbak, pernah waktu itu saya kan sempet keluar dari kerjaan, terus kali dia ngeliat saya di rumah terus, eh dia malah bilang saya katanya cari pekerjaan lah jangan pemalas jadi pengangguran. Mungkin maksudnya ngingetin sih cuma pas itu kaget aja dia ngomongnya begitu, logatnya juga kan keras da‟ jadi bikin saya makin tersinggung”. (FAS, 26th, Pribumi-Sunda) Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iswari dan Pawito (2012), yang menyatakan bahwa hambatan stereotype merupakan salah satu hambatan yang mempengaruhi proses komunikasi antar mahasiswa yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Stereotype yang terjadi yakni karena terdapat image tentang orang Batak bahwa orang Batak adalah orang yang galak dan kasar, sehingga hal tersebut mempengaruhi komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa lain yang berbeda etnis dengan mereka. Contohnya adalah banyak mahasiswa lain yang segan bahkan takut kepada mahasiswa Batak, karena mereka dianggap kasar dan galak oleh temanteman yang berbeda etnis dengan mereka. Selain itu penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti (2014) juga dapat mendukung penelitian ini. Hasil penelitian Astuti menyatakan bahwa sikap stereotype yang sering kali nampak ketika seseorang menilai orang lain pada kelompok etnis tertentu, dan selanjutnya menjadi label yang menempel pada penilaian pribadi individu tersebut, dan akhirnya akan mempengaruhi cara individu tersebut dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya yang telah terstereotype-kan tersebut.
Pengaruh Hambatan Lingkungan terhadap Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Berdasarkan Tabel 8, variabel hambatan lingkungan (variabel X4) berpengaruh terhadap variabel efektivitas komunikasi (variabel Y) dengan arah pengaruh negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi hambatan lingkungan (X4) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin rendah efektivitas komunikasi (Y) yang terjadi, begitupun sebaliknya, semakin rendah hambatan lingkungan (X4) yang terjadi di antara partisipan komunikasi, maka semakin tinggi efektivitas komunikasinya (Y). Berdasarkan Tabel 8, nilai signifikansi hambatan lingkungan adalah sebesar 0.000 lebih kecil 0.05 sehingga hipotesis diterima.
68 Terdapat empat dimensi dari hambatan lingkungan (X4), yakni lingkungan fisik (X4A), situasi (X4B), situational norms and rules (X4C), dan lingkungan psikologi (X4D). Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 8 jika diurutkan dari koefisien terbesar hingga terkecil pada variabel bebas X4A, X4D, dan X4B adalah koefisien variabel X4A (lingkungan fisik) dengan nilai koefisien -0.676, X4D (lingkungan psikologi) dengan nilai koefisien -0.621, kemudian diikuti X4B (situasi) dengan nilai koefisien -0.422. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pada hambatan yang terjadi, dimensi lingkungan fisik (X4A) menduduki peringkat pertama dalam tingkat pengaruh hambatan lingkungan terhadap efektivitas komunikasi dengan nilai signifikansi 0.008, kedua adalah dimensi lingkungan psikologi (X4D) dengan nilai signifikansi 0.002 dan kemudian diikuti dimensi situasi (X4B) dengan nilai signifikansi 0.005 pada peringkat ketiga. Dimensi situational norms and rules (X4C) memiliki nilai signifikasi 0.084 lebih besar dari 0.05 sehinggadapat dikatakan variabel X4C ini tidak signifikan/tidak berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi. Pengaruh keadaan lingkungan terbukti mempengaruhi cara berkomunikasi responden kepada pasangan temannya yang berbeda budaya yakni ketika suku non-Sunda yang berasal dari Sumatera berbicara lantang karena memang terbentuk dari kondisi geografis di tempat awalnya antar satu rumah dengan rumah lain berjauhan, hal tersebut menyebabkan suatu kebiasaan berbicara dengan suara lantang, namun ketika berbicara dengan warga suku Sunda yang tidak terbiasa akan hal itu akan merasa tersinggung, ia akan merasa sedang berada dalam kondisi yang tidak nyaman sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan berujung pada rasa canggung. Selain itu, rasa canggung juga dirasakan oleh salah satu responden karena pintu rumah pasangan temannya dari suku Madura yang selalu tertutup. Hal ini membuat responden menjadi canggung jika ingin berkunjung ke rumah temannya, karena merasa bahwa temannya memang tidak ingin menerima tamu. Akan tetapi, orang Sunda tersebut memahami bahwa orang Madura memang pulang pada malam hari untuk istirahat, karena esok paginya harus kembali bekerja, sehingga dapat diatasi dengan saling mengerti kondisi masing-masing. Hal serupa terjadi pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juariah (2014), hasil penelitiannya menyatakan bahwa hambatan lingkungan psikologi yang terbentuk dari persepsi individu atas kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komunikasi antarbudaya yakni ketika mahasiswa asal Bekasi yang merasa tersinggung ketika sedang berbicara dengan mahasiswa asal Madura yang berbicara dengan nada keras seperti orang yang sedang marah, sehingga membuat mahasiswa asal Bekasi merasa kesal dan emosi. Padahal, mahasiswa asal Madura memang sudah terbiasa bersuara lantang akibat kondisi lingkungan di tempat asalnya merupakan wilayah pesisir dan membuat ia harus berbicara dengan volume suara yang keras.
69 Hambatan Budaya, Psikobudaya, dan Hambatan Lingkungan secara Bersamaan Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi Dari tabel Anova pada Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai F = 101.561 dengan nilai Sig. = 0.000 lebih kecil dari 0.05 yang menunjukkan bahwa hambatan budaya (X1), psikobudaya (X3), dan hambatan lingkungan (X4) secara bersamaan mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya (Y) secara signifikan dan negatif. Hal ini berarti semakin tinggi hambatan budaya, psikobudaya, dan lingkungan maka diikuti dengan rendahnya efektivitas komunikasi antarbudaya. Dari ketiga hambatan komunikasi yang terjadi, secara berurutan yang memberikan pengaruh paling signifikan adalah hambatan psikobudaya, hambatan budaya, dan hambatan lingkungan. Hambatan psikobudaya yang berpengaruh paling signifikan adalah stereotype. Hal tersebut dapat terjadi karena masingmasing suku memiliki ciri khas sukunya, sedangkan stereotype merupakan kognisi seseorang terhadap ciri negatif yang melekat suatu kelompok yang digeneralisasikan kepada seluruh anggota dari kelompok tersebut dapat dengan mudah menyinggung orang tersebut dan memicu munculnya konflik. Hal ini didukung oleh pernyataan Darmastuti (2013) mengenai stereotype, yakni suatu pandangan negatif yang seringkali ditempelkan kepada suatu masyarakat sebagai stempel yang harus melekat tanpa melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu. Bahkan tidak jarang stempel negatif ini juga dilekatkan kepada semua anggota yang ada dari suatu masyarakat atau komunitas tanpa pandang bulu yang akan mempengaruhi proses komunikasi, bahkan memicu konflik. Samovar et al. (2010) juga menyatakan bahwa stereotype dapat menjadi masalah ketika menempatkan orang di tempat yang salah. Stereotype dapat mengganggu kelancaran komunikasi antarbudaya. Contohnya seperti adanya stereotype mengenai orang Padang, bahwa orang Padang itu pelit. Melalui stereotype itu maka indvidu akan memperlakukan semua orang Padang seperti orang yang pelit tanpa memandang pribadi dan keunikan masing-masing individu. Orang Padang yang merasa diperlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan merasa tersinggung dan memunculkan konflik. Contoh lain adalah stereotype pada orang Batak bahwa mereka kasar. Oleh karena itu, individu yang tidak menyukai orang yang kasar akan merasa canggung dan berusaha menghindari komunikasi dengan semua orang Batak, sehingga tidak dapat mencapai komunikasi yang efektif dengan orang Batak. Hal tersebut menjadikan stereotype berpengaruh paling signifikan terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya.
70
71
PENUTUP
Simpulan Efektivitas komunikasi antabudaya yang terjadi antara suku Sunda dan nonSunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi) dalam kehidupan bertetangga di Desa Tanjungbaru sudah cukup tinggi walaupun belum maksimum karena masih terdapat hambatan komunikasi antarbudaya. Tingginya efektivitas komunikasi menunjukkan bahwa dampak negatif keberagaman tidak terjadi karena keberagaman budaya yang dimiliki masing-masing suku sudah dapat terorganisir dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena hambatan komunikasi antarbudaya yang terjadi masih dapat diatasi, terlebih kesadaran para suku nonSunda sebagai pendatang yang memang harus beradaptasi di tempat dimana mereka berada. Rasa toleransi, hormat, dan menghargai satu sama lain juga sudah mulai terjalin pada proses interaksi mereka sehari-hari untuk menghindari perasaan canggung dan tersinggung, sehingga dampak negatif keberagaman budaya seperti konflik antarsuku tidak terjadi di Desa Tanjungbaru. Hal tersebut didukung oleh pernyataan beberapa informan bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antarsuku di Desa Tanjungbaru. Merujuk pada klasifikasi hambatan komunikasi antarbudaya Gudykunst dan Kim (1997) yang melengkapi hambatan komunikasi antarbudaya yang diteliti pada penelitian-penelitian sebelumnya, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa di Desa Tanjungbaru hambatan komunikasi antarbudaya pada kasus pasangan pertemanan berbeda budaya antara suku Sunda dan non-Sunda yang paling tinggi adalah hambatan budaya (individualistik). Hal ini terjadi karena karena baik warga suku Sunda atau non-Sunda yang merupakan pendatang (memiliki kepentingan dan orientasi masing-masing, sesuai dengan tujuan awal datang yakni untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut menjadikan intensitas pertemuan mereka yang tidak dapat setiap hari berinteraksi untuk menghabiskan waktu bersama dalam menjalin kedekatan. Kedekatan yang belum terjalin lama juga menjadi salah satu alasan mengapa terkadang rasa canggung untuk menyapa, memulai pembicaraan, atau bahkan bertukar pendapat dapat muncul. Akan tetapi, kondisi kepadatan penduduk di desa tersebut sangat memungkinkan mereka berinteraksi, terlebih jarak dari satu rumah ke rumah/kontrakan lain tidak terlampau jauh. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, hambatan komunikasi yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah hambatan budaya (individualistik), hambatan psikobudaya (stereotype, etnosentrisme, prasangka), hambatan lingkungan (lingkungan fisik, situasi, situational norm and rules, lingkungan psikologi). Selain tiga hambatan tersebut, terdapat pula hambatan sosiobudaya yang dilakukan secara kualitatif dengan didukung oleh wawancara mendalam, dan terindikasi memiliki pengaruh terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. Berdasarkan seluruh hambatan komunikasi yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, didapatkan bahwa yang memiliki hasil paling signifikan secara berurutan adalah hambatan psikobudaya, hambatan budaya, dan hambatan lingkungan. Dimensi dari hambatan psikobudaya yang mempengaruhi paling signifikan adalah stereotype. Hal tersebut dapat terjadi karena kognisi seseorang terhadap ciri negatif yang melekat pada suatu kelompok,
72 yang kemudian digeneralisasikan kepada seluruh anggota dari kelompok tersebut dapat memunculkan rasa canggung, bahkan menyinggung seluruh anggota dari kelompok tersebut. Selain itu, stereotype juga merupakan sejenis penyaring, menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang, dengan begitu suatu hal yang benar tidak akan memiliki kesempatan untuk diketahui.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, efektivitas komunikasi antarbudaya dapat dikatakan sudah cukup efektif, namun belum maksimal, mengingat masih ada hambatan yang berpengaruh secara signifikan. Hambatan yang memiliki pengaruh paling signifikan secara berurutan adalah hambatan psikobudaya, budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain: 1. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan hambatan komunikasi antarbudaya yang masih terjadi, maka saran yang diajukan untuk akademisi adalah mengkaji lebih dalam terkait dengan masing-masing subvariabel hambatan. Mengkaji hambatan sosiobudaya secara kuantitatif, karena terindikasi memiliki pengaruh terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. 2. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya, maka saran yang diajukan untuk masyarakat yakni membuat suatu agenda yang memfasilitasi warga dengan berbagai suku agar dapat berinteraksi dan mengenal lebih dekat agar hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya dapat diminimalisasi karena memiliki kesadaran mengenai pentingnya komunikasi antarbudaya 3. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan stereotype sebagai hambatan paling berpengaruh, maka saran yang diajukan untuk masyarakat adalah bersikap mindful (kesadaran dalam berkomunikasi terkait siapa teman bicaranya), saling mendekatkan diri dan bergaul, aktif berpartisipasi kegiatan kampung, gunakan bahasa dan istilah yang dimengerti satu sama lain, bersikap terbuka, saling menghormati dan hindari berpikir negatif untuk meningkatkan kepercayaan.
73
DAFTAR PUSTAKA Aksan EE. 2009. Komunikasi antarbudaya etnik Jawa dan etnik keturunan Cina. J Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 7(1): 1-15. Dapat diunduh dari: http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/6/34 Anugrah D, Kresnowati W. 2008. Komunikasi Antar Budaya: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta (ID): Jala Permata. 188 hal. Astagini N. 2009. Hambatan komunikasi dalam komunikasi keorganisasian: kasus penggabungan lembaga pendidikan bahasa dengan orientasi berbeda [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. 108 hal. Astuti P. 2014 Komunikasi sebagai sarana akulturasi antara kaum urban dengan masyarakat urban dengan masyarakat lokal di Pasar Segiri. E-J Komunikasi [Internet]. [dikutip 9 Maret 2014]; 2(1): 305-320. Dapat diunduh dari: http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/02/ejournal%20puji%20(02-25-14-06-33-03).pdf Azis M. 2010. Efektivitas komunikasi antar etnis: kasus etnis Arab dan etnis Sunda di Kelurahan Empang, Bogor Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 72 hal. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010. Jakarta (ID): BPS Cahyana YY, Suyanto B. 1996. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya.Surabaya (ID): Airlangga University Press. 215 hal. Christy MP. 2013. Hambatan komunikasi antarbudaya antara dosen native asal China dengan mahasiswa Indonesia program studi Satra Tionghoa Universitas Kristen Petra. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 20 Februari 2014]; 1(2): 37-48. Dapat diunduh dari: http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/891 Darmastuti R. 2013. Mindfullnessdalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta (ID): Mata Padi Pressindo. 296 hal. Devito JA. 2009. Human Communication: The Basic Course. Edisi ke-11. New York (US): Pearson Education ________. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Edisi ke-5. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Maulana A). Pamulang (ID): Karisma Publishing Group. 600 hal. Gudykunst WB, Kim YY. 1997. Communicating with Strangers: An Approach to Interculture Communication. Edisi ke-3. New York (US): McGraw-Hill. 444 hal. Iswari AN, Pawito. 2012. Komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa (Studi tentang komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak dengan mahasiswa etnis Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta). J Komunikasi Massa [Internet]. [dikutip 5 Maret 2014]; 1: 1-13. Dapat diunduh dari: http://jurnalkommas.com/index.php?target=isi&jurnal=Komunikasi%20Antar%20Buday a%20di%20Kalangan%20Mahasiswa%20(%20Studi%20tentang%20Komuni kasi%20Antar%20Budaya%20%20di%20Kalangan%20Mahasiswa%20Etnis %20Batak%20dengan%20Mahasiswa%20etnis%20%20Jawa%20di%20Univ ersitas%20Sebelas%20%20Maret%20Surakarta%20
74 Juariyah. 2014. Miskomunikasi antarbudaya mahasiswa pendatang di Jember. J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 9 Maret 2014]; 10(3): 251-261. Dapat diunduh dari: http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/45/49 Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta (ID): Balai Pustaka. 556 hal. _____________. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta (ID): Djambatan. 395 hal. Lubis LA. 2012. Komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan pribumi di Kota Medan. J Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 10(1): 13-27. Dapat diunduhdari: http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/83/87 _______. 2012. Komunikasi antarbudaya Tionghoa dalam penggunaan bahasa. J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 10(3): 285-294. Dapat diunduh dari: http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/46/50 Martin JN, Nakayama TK. 2013.Intercultural Communication in Contexts. Edisi ke-6. New York (US): McGraw-Hill. 504 hal. ____________________. 2014. Experiencing Intercultural Communication: An introduction. Edisi ke-5. New York (US): McGraw-Hill. 576 hal. Muhidin SA, Abdurahman M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. 280 hal. Mulyana D. 2008. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung (ID): Rosda. 249 hal. Munawaroh S. 2009. Interaksi suku Jawa dan Madura di Surabaya. Patrawidya. 10(4):1001-1031 Nuraeni HG, Alfan M. 2012. Studi Budaya di Indonesia. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. 276 hal. Pakpahan FB. 2013. Fungsi komunikasi antarbudaya dalam prosesipernikahan adat Batak di Kota Samarinda (Studi kasus empat pasanganberbeda etnis antara etnis Batak dengan etnis Jawa, Toraja, dan Dayak). E-J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 21 Februari 2014]; 1(3): 234-248. Dapat diunduh dari: http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2013/08/jurnal%20jadi%20(08-26-13-03-35-36).pdf Rofiah. 2012. Efektivitas komunikasi antarbudaya suku Sunda dan suku Madura: kasus manajemen konflik di kelurahan Kebon Kelapa KecamatanBogor Tengah, Kota Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 139 hal. Rosyadi dan Sucipto T. 2006. Profil Budaya Betawi. Bandung (ID): Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. 323 hal. Rumondor FH, Paputungan R, Tangkudung P. 2014. Stereotip suku Minahasa terhadap etnis Papua (Studi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Sam Ratulangi). J Acta Diurna [Internet]. [dikutip 2 Januari 2012]; 3(2): 1-6. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/5038/4555
75 Sanjaya A. 2013. Hambatan komunikasi antarbudaya antara staf marketing dengan penghuni berkewarganegaraan Australia dan Korea Selatan di Apartemen X. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 20 Februari 2014]; 1(3): 252-263. Dapat diunduh dari: http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmukomunikasi/article/view/939/839 Samovar LA, Porter RE, McDaniel ER. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Edisi ke-7. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Sidabalok IM). Jakarta (ID): Salemba Humanika. 493 hal. [Judul asli: Communication Between Cultures] Sihabudin A. 2013. Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. 162 hal. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES Supardi. 2014. Aplikasi Statistika dalam Penelitian: Konsep Statistika yang Lebih Komprehensif. Jakarta (ID): Change Publication. 436 hal. Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal.Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. 174 hal. Wijaya R. 2013. Anxienty uncertaintymanagement mahasiswi InHolland program studi Manajemen Bisnis Internasional. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 15 Maret 2014]; 1(1): 1-10. Dapat diunduh dari: http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/127 Tinambunan WE. 2012. Dampak migrasi terhadap komunikasi lintas budaya. JIlmuKom. [Internet]. [dikutip 21 Februari 2014]; 1(1): 43-49. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JKMS/article/view/609 Tubbs SL, Moss S. 1996. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Mulyana D). Bandung (ID): Rosda. 316 hal. ______________. 2008. Human Communication. New York (US): McGraw-Hill
76
77
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat
78 Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014-2015 Kegiatan Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
Juni
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
79 Lampiran 3 Kerangka Sampling Penelitian No
Nama Pendatang
Asal
suku
Usia
Nama teman
suku
Usia
1
ABW
Madura
Madura
38
2
BRH
Pemalang
Jawa
32
WAK
Sunda
35
3
ARF
Pamekasan
Madura
20
ASH
Sunda
20
4
ADR
Karawang
Sunda
27
JJN
Sunda
32
5
AJS
Madura
Madura
28
DVA
Sunda
25
6
AJF
Karawang
Sunda
24
CWH
Sunda
26
7
ANM
Pamulang
Betawi
20
AMS
Sunda
20
8
ASJ
Subang
Sunda
43
9
AAM
Nganjuk
Jawa
23
ADT
Sunda
20
10
ANF
Karawang
Sunda
28
AJS
Sunda
31
11
AHS
Sampang
Madura
35
12
ANG
Pangkalan
Madura
38
13
ADY
Bantul
Jawa
22
WWN
Sunda
25
14
ABM
Madura
Madura
37
15
DRS
Purbalingga
Jawa
35
16
DNS
Medan
Batak
26
17
DSM
Tebing
Padang
27
IPT
Sunda
31
18
EMT
Sragen
Jawa
25
ABA
Sunda
27
19
EGW
Jakarta
Betawi
38
20
FUM
Pamekasan
Madura
23
21
HMD
Pamekasan
Madura
33
22
HRY
Yogyakarta
Jawa
41
23
HKS
Jakarta
Betawi
44
HDR
Sunda
39
24
IWD
Jakarta
Betawi
21
ASN
Sunda
22
25
IIR
Tasikmalaya
Sunda
30
HDY
Sunda
34
26
JLN
Medan
Batak
43
27
JTM
Medan
Batak
32
28
KRM
Madura
Madura
18
AKS
Sunda
18
29
KNT
Semarang
Jawa
44
30
MRW
Cilacap
Jawa
32
YNH
Sunda
37
31
LQD
Pamekasan
Madura
23
32
LSY
Padang
Padang
44
33
LSM
Sukoharjo
Jawa
36
MNS
Sunda
41
34
PSD
Kebumen
Jawa
34
KWA
Sunda
36
35
MLH
Kebumen
Jawa
39
36
SPR
Sleman
Jawa
36
MST
Sunda
35
37
MSK
Cilacap
Jawa
37
HDY
Sunda
41
38
MTR
Medan
Batak
35
39
NHR
Jakarta
Betawi
37
IKR
Sunda
43
40
NRH
Medan
Batak
24
FAS
Sunda
26
80 No
Nama Pendatang
Asal
suku
Usia
Nama teman
suku
Usia
41
NRC
Kulon Progo
Jawa
20
42
NHS
Jakarta
Betawi
34
43
SSH
Sampang
Madura
39
44
SSL
Madura
Madura
27
45
NRM
Padang
Padang
41
SPY
Sunda
37
46
RYN
Bojonegoro
Jawa
24
DAS
Sunda
27
47
RFL
Jakarta
Betawi
24
AGS
Sunda
26
48
RSP
Karawang
Sunda
22
ELR
Sunda
19
49
RDM
Padang
Padang
24
ACS
Sunda
25
50
SRR
Medan
Batak
33
KRS
Sunda
30
51
SRD
Subang
Sunda
29
TAS
Sunda
31
52
SDJ
Medan
Batak
29
KML
Sunda
26
53
NHY
Sibolga
Batak
35
ESG
Sunda
40
54
NJR
Medan
Batak
27
55
SUK
Brebes
Jawa-
34
YYS
Sunda
30
56
SML
Boyolali
Jawa
36
DAM
Sunda
34
57
SHR
Wonogiri
Jawa
33
HUY
Sunda
30
58
SBR
Jakarta
Betawi
40
KSY
Sunda
38
59
SDY
Purworejo
Jawa
33
ISN
Sunda
36
60
SGY
Jakarta
Betawi
43
61
SHY
Purworejo
Jawa
27
62
SPR
Pamekasan
Madura
20
63
STH
Pamekasan
Madura
36
64
SDN
Padang
Padang
41
AMS
Sunda
44
65
THR
Wonogiri
Jawa
28
KRN
Sunda
26
66
WST
Jakarta
Betawi
24
67
WNS
Jakarta
Betawi
20
68
YEF
Sijunjung
Padang
38
69
YES
Sijunjung
Padang
32
CCS
Sunda
32
70
YAD
Temanggung
Jawa
31
KNG
Sunda
29
71
ZAR
Medan
Batak
34
81 Lampiran 4 Hasil Uji Statistik Analisis Regresi Linier Berganda SPSS 21.00
82 Uji Statistik per subvariabel
83 Lampiran 5 Dokumentasi
84
85
86
87
RIWAYAT HIDUP Lingga Detia Ananda dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Agustus 1994. Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah SDN Jatiasih IX Bekasi pada tahun 1999-2005, SMPN 12 Bekasi pada tahun 2005-2008, SMAN 3 Bekasi pada tahun 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis, dan pada tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam aktivitas perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi dan unit kegiatan mahasiswa, seperti anggota PSM IPB AgriaSwara sekaligus Sekretaris pada Konser Angkatan „Spectaforia‟ periode 2011-2012, Sekretaris Departemen Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (PBOS BEM FEMA) periode 2012-2013. Disamping itu, penulis juga aktif diberbagai kepanitiaan dan perlombaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Lembaga Struktural yang ada di Institut Pertanian Bogor, dan pernah menjadi volunteer kegiatan di luar kampus.